Doc1

11

description

document

Transcript of Doc1

Page 1: Doc1
Page 2: Doc1

2.3 TINJAUAN TENTANG OBAT ANTI HIPERTENSI Pada prinsipnya, pengobatan hipertensi dilakukan secara bertahap. Kelompok obat antihipertensi yang saat ini digunakan sebagai pilihan terapi hipertensi, yaitu :

1.3.1 Diuretik Semua kelas diuretik menyebabkan peningkatan eksresi natrium oleh ginjal (natriuresis) dimana efek ini bertanggung jawab terhadap aktivitas antihipetensi dari diuretik. Diuretik tiazid memiliki efek natriuresis sedang dan merupakan diuretik yang paling banyak digunakan dalam pengobatan hipertensi. Loop diuretic memiliki efek natriuresis besar dan hanya digunakan bila diuretik thiazid tidak efektif atau dikontraindikasikan untuk penderita. Potassium sparing diuretic memiliki efek natriuresis yang rendah, dan umumnya digunakan dalam bentuk kombinasi dengan diuretik thiazid atau loop diuretik mengurangi ekskresi kalium atau untuk mencegah hipokalemia (Banner dan Stevens, 2006). Suatu meta-analysis dari 42 percobaan klinis pada tahun 2003 membuktikan bahwa diuretik dosis rendah merupakan antihipertensi pilihan pertama yang paling efektif untuk mencegah mortalitas kardiovaskular (Saseen dan Carter, 2005).

2.3.1.1 Diuretik thiazid

Contoh obat Yang tergolong di dalamnya ialah: hidrochlortiazid, bendroflumethiazide, chlortalidone, metolazone, indapamide, dan xipamide (Mehta, 2007). Indikasi Diuretik thiazid merupakan pilihan pertama untuk terapi hipertensi. Thiazid dapat digunakan dalam bentuk tunggal maupun kombinasi dengan antihipertensi lain. Kombinasi dengan ACEI atau β-bloker merupakan kombinasi yang umum digunakan (Shankie, 2001). Mekanisme kerja Pada penggunaan jangka pendek, diuretik thiazid menurunkan volume darah yang berdampak pada penurunan cardiac output. Pada penggunaan jangka panjang, diuretik thiazid juga menurunkan tahanan

Page 3: Doc1

perifer, yang tampaknya berperan dalam efek antihipertensi jangka panjang dari obat ini (Brenner dan Stevens, 2006). Perhatian Hipokalemia dapat terjadi pada penggunaan diuretik tiazid. Hipokalemia berbahaya pada pasien PJK dan yang sedang menerima obat cardiac glycosides. Seringkali untuk mengatasi efek hipokalemia penggunaannya dikombinasi dengan potasium sparing diuretik atau suplement potasium (Mehta, 2007).

2.3.1.2 Loop diuretik Contoh obat Yang tergolong di dalamnya ialah: Furosemide, Torasemide, dan Bumetanide (Mehta, 2007). Indikasi Loop diuretik digunakan pada pasien pulmonary oedema akibat gangguan pada ventrikel kiri, pada pasien CHF (Chronic Heart Failure), dan juga pasien diuretic-resistant oedema (Mehta, 2007). Mekanisme kerja Loop diuretik terutama bekerja pada bagian menaik dari loop of Henle dengan menghambat reabsorbsi elektrolit sehingga meningkatkan ekskresi natrium (Shankie, 2001). Perhatian Hipokalemia dapat terjadi pada penggunaan furosemid. Hipokalemia berbahaya pada pasien PJK berat dan yang sedang menerima obat cardiac glycosides. Resiko hipokalemia dapat meningkat pada penggunaan furosemid dosis tinggi apalagi bila diberikan dalam bentuk sediaan injeksi. Seringkali untuk mengatasi efek hipokalemia penggunaannya dikombinasi dengan potasium sparing diuretik atau suplement potasium (Mehta, 2007; Opie et.al, 2005).

2.3.1.3 Potassium Sparing Diuretik Contoh obat Yang tergolong di dalamnya ialah: Amiloride HCl, dan Triamterene (Mehta, 2007). Indikasi Potassium sparing diuretik digunakan sebagai tambahan pada terapi dengan diuretik thiazid dan loop diuretik untuk mencegah terjadinya hipokalemia (Shankie, 2001). Mekanisme kerja Potassium sparing diuretik terutama bekerja pada tubulus distal ginjal untuk meningkatkan ekskresi natrium dan menurunkan ekskresi kalium (Shankie, 2001). Perhatian Potasium sparing diuretik dapat meyebabkan terjadinya hiperkalemia terutama pada pasien yang dengan riwayat gangguan ginjal kronis atau diabetes dan pasien yang sedang menggunakan ACE inhibitor, ARB, NSAID atau potassium suplement (Dipiro, 2005).

2.3.1.4 Aldosterone Antagonist Contoh obat Termasuk golongan Potassium sparing diuretik. Yang tergolong di dalamnya ialah: Eplerenone, dan Spironolactone, (Mehta, 2007). Indikasi Aldosteron antagonis diindikasikan untuk oedema, pada dosis rendah memiliki efek kerja pada penderita gagal jantung dan juga digunakan pada penderita primary hyperaldosteronism (Mehta, 2007). Pemberian jangka lama aldosteron antagonis umumnya direkomendasikan pada penderita post STEMI tanpa gangguan fungsi ginjal yang berat atau hiperkalemia LEVF (Left Ventricle Ejection Fraction) pada penderita gagal jantung dan diabetes (Dipiro, 2005).

Page 4: Doc1

Spironolacton adalah antagonis aldosteron yang paling banyak digunakan. Suatu penelitian Radomized Aldactone Evaluation Study (RALES) menunjukkan, terjadi 30% penurunan angka kematian dengan menggunakan spironolacton pada penderita gagal jantung sedang sampai berat (Kumar and Clark, 2002). Mekanisme kerja Aldosterone antagonist bekerja pada bagian distal tubulus renal sebagai antagonis kompetitif dari aldosteron (Shankie, 2001). Perhatian Untuk jenis obat spironolacton harus dihindari pada gangguan fungsi ginjal dan hati-hati bila dikombinasikan dengan ACE inhibitor/ARB, akan menyebabkan hiperkalemia (Soemantri dan Nugroho, 2006).

2.3.2 α-Bloker Contoh obat Yang tergolong di dalamnya ialah: Doxazosin, Prazosin, Terazosin, dan Indoramin (Mehta, 2007). Indikasi α-bloker merupakan antihipertensi alternatif pilihan pertama apabila diuretik atau β-bloker dikonraindikasikan atau tidak ditoleransi dengan baik. α-bloker terutama diindikasikan untuk penderita benign prostatic hyperplasia. α-bloker tidak berpengaruh terhadap profil lipid dan glukosa sehingga berguna pada penderita dengan dislipidemia atau intoleransi glukosa (Shankie, 2001). Mekanisme kerja α-bloker menyebabkan vasodilatasi dan menghambat aksi noradrenalin pada post sinaptic adrenoseptor α1 baik pada arteriol maupun vena, dimana hal ini mengakibatkan penurunan tahanan perifer dan tekanan darah (Shankie, 2001). Perhatian Jarang digunakan sebagai pilihan utama karena mempunyai efek samping yang sering menganggu yaitu hipotensi postural, palpitasi dan sakit kepala (Soemantri dan Nugroho, 2006).

2.3.3 β-blocker Contoh obat Terbagi menjadi 2 sub class yaitu β-bloker cardioselektif (selektif reseptor β-1) yaitu atenolol, acebutolol, metoprolol, bisoprolol, betaxolol, celiprolol dan β-bloker non-cardioselektif (reseptor β-1 dan β-2) yaitu carvedilol, propanolol dan pindolol (Opie dan Wilson, 2005). Indikasi Beta bloker pertama kali direkomendasikan oleh JNC-7 sebagai terapi ’first line’ alternatif dari diuretik. Pilihan terapi pada semua bentuk iskemik heart disease kecuali pada angina varian vasospastic prinzmetal. Beta bloker merupakan pilihan terapi pada angina, baik angina stabil maupun angina tidak stabil, dapat menurunkan resiko mortalitas pada fase akut infark miokard dan setelah periode infark dan juga pilihan terapi untuk kondisi lainnya seperti hipertensi, arrhythmia’s serius dan cardiomyopathy. Pada peningkatan titrasi dosis secara hati-hati diketahui memiliki efek mengurangi resiko mortalitas pada pasien gagal jantung. Pada dosis kecil β-bloker cardioselektif dapat digunakan pada pasien bronkospasme atau chronic lung disease. Pada angina dan hipertensi penggunaan β-bloker cardioselektif lebih efektif dibandingkan dengan noncardioselektif, sedangkan β-bloker noncardioselektif memiliki efek antiarrhytmics yang lebih baik dibandingkan dengan cardioselektif. Bisoprolol merupakan agent β1 yang selektif, tidak memiliki ISA (Intrinsik Sympathomimetic Activity) dan bekerja lama, dipakai secara luas dan berhasil dalam studi besar pada populasi gagal jantung dimana terjadi penurunan yang besar yang tidak hanya pada mortalitas namun juga sudden cardiac death. (Opie dan Wilson, 2005).

Page 5: Doc1

β-bloker direkomendasikan untuk penderita hipertensi dengan infark miokard karena obat ini mempunyai keuntungan sebagai anti hipertensi, anti iskemia, anti aritmia dan mampu mengurangi remodelling ventrikel. Dosis awal dari beta bloker umumnya kecil dan pelan-pelan dinaikkan sampai dosis target (berdasarkan trial klinis yang besar), peningkatan ini tergantung pada individual. Kontraindikasi harus diawasi, seperti asma bronkial, severe bronkial disease, bradikardia simptomatik dan hipotensi (Hadi, 2007). Mekanisme kerja Secara umum β-bloker menghambat aksi noradrenalin pada reseptor adrenergik β-1 di jantung dan jaringan lain sehingga menyebabkan penurunan cardiac output melalui penurunan denyut jantung dan kontraktilitas. β-bloker juga menghambat sekresi renin dari sel-sel juxtaglomerular ginjal yang mengakibatkan penurunan pembentukan angiotensin II dan rilis aldosteron (Shankie, 2001). Perhatian Penghentian mendadak terapi beta blocker menyebabkan gejala putus obat (withdrawl) yang dapat memperburuk PJK. Dapat dilakukan tindakan preventif dengan pengurangan bertahap dosis beta blocker sebelum terapi dihentikan. Penggunaan beta blocker bersamaan dengan verapamil menyebabkan risiko hipotensi dan asystole yang dapat meningkatkan risiko gagal jantung pada penderita penyakit jantung koroner (Mehta, 2007).

2.3.4 ACE inhibitor ( ACEI ) Contoh obat Yang tergolong di dalamnya ialah: Captopril, Cilazapril, Enalapril maleat Lisinopril, Perindopril erbumine, dan Ramipril (Mehta, 2007). Indikasi ACE inhibitor merupakan antihipertensi alternatif pilihan pertama apabila diuretik atau β-bloker dikontraindikasi atau tidak ditoleransi dengan baik. ACEI terutama direkomendasikan pada penderita gagal jantung, disfungsi ventrikel kiri dan EF <40%, hipertensi disertai dengan diabetes tipe 2 (Dipiro, 2005). ACE inhibitor juga sangat bermanfaat bila diberikan terutama pada infark luas, infark dengan penurunan fungsi ventrikel kiri, infark dengan edema paru akut dan infark miokard dengan hipertensi. Umumnya dipilih jenis obat dengan lama kerja pendek dan mempunyai gugus sulfhidril (Adipranoto, 2006). Dalam meminimalisir risiko hipotensi dan kerusakan pada ginjal, terapi ACE inhibitor hendaknya dimulai dari dosis kecil dan kemudian dilanjutkan dengan titrasi dosis sampai dosis target. Fungsi renal dan konsentrasi potasium harus dievaluasi dalam 1-2 minggu setelah dimulai pemberian secara perodik, terutama setelah dosis ditingkatkan (Dipiro, 2005). Mekanisme kerja ACE inhibitor menghambat Angiotensin Converting Enzym sehingga menyebabkan vasodilatasi, penurunan resistensi perifer dan penurunan kadar hormon aldosteron (Shankie, 2001). Perhatian Pada penggunaan ACE inhibitor yang harus diperhatikan yaitu meningkatnya kadar K+ dalam tubuh (hiperkalemia) bila digunakan bersamaan dengan potasium sparing diuretik, oleh karena itu selama penggunaan perlu dilakukan monitoring kadar K+ dalam tubuh. Pada penggunaan kombinasi pertamakali dengan diuretik efek hipotensi dapat muncul dengan tiba-tiba sehingga diuretik perlu dihentikan satu hari saat menggunakan ACE inhibitor. ACE inhibitor juga dapat meningkatkan serum kreatinin, sehingga pada pasien dengan risiko renal impairment selama penggunaan harus hati-hati dan dilakukan monitoring serum kreatinin (Mehta, 2007; Gardner, 2007).

2.3.5 Angiotensin Receptor Bloker (ARB)

Page 6: Doc1

Contoh obat Yang tergolong di dalamnya ialah: candesartan cilexetil, losartan potassium, irbesartan, olmesartan medoxomil, valsartan, dan telmisartan (Mehta, 2007). Indikasi Angiotensin II Receptor Antagonist merupakan alternatif pilihan antihipertensi untuk penderita yang tidak mentoleransi ACEI karena efek samping yang berupa batuk kering dan angioedema (Opie et.al, 2005). ARB dapat diberikan pada penderita STEMI yang intoleren terhadap ACEI, dimana penderita tersebut secara klinis dan radiologis menunjukkan kondisi gagal jantung atau fraksi ejeksi <0.40 untuk itu biasanya direkomendasikan penggunaan valsartan dan candesartan (Dipiro, 2005). Mekanisme kerja ARB merupakan antagonis kompetitif dari angiotensin II pada reseptor AT1, yang menyebabkan penurunan resistensi perifer tanpa adanya reflek peningkatan denyut jantung dan menurunkan kadar aldosteron. ARB tidak menimbulkan efek bradikinin yang menyebabkan munculnya efek samping batuk seperti pada penggunaan ACEI (Dipiro, 2005). Perhatian Monitoring konsentrasi plasma potasium terutama pada pasien lansia dan pasien dengan renal impairment, karena efek hiperkalemianya (Mehta, 2007).

2.3.6 Antagonis Kalsium Antagonis kalsium dibagi menjadi dua subclass yaitu dihydropyridine dan non dihydropyridine. Dihydropyridine mempengaruhi baroreseptor dengan refleks takikardia karena efeknya yang kuat dalam mengakibatkan vasodilatasi perifer. Dihydropyridine tidak mempengaruhi konduksi nodal atrioventrikular dan tidak efektif pada supraventrikular tachyarrhytmias, Sedangkan non dihydropyridine menyebabkan penurunan heart rate dan memperlambat konduksi nodal atrioventrikular, sama dengan golongan beta bloker obat ini dapat digunakan pada supraventrikular tachyarrhytmias (Dipiro, 2005). a. Dihydropyridine Contoh obat Yang tergolong di dalamnya ialah: Amlodipine, Nifedipine dan Felodipine (Mehta, 2007). Indikasi Jika angina stabil dan tekanan darah tidak dapat dikontol dengan beta bloker atau jika terjadi kontraindikasi dengan beta bloker maka dapat menggunakan golongan calcium channel bloker. Calcium channel bloker dapat mengurangi total resisten perifer dan resistensi koroner sehingga dapat menurunkan tekanan darah. Seringkali beta bloker dan calcium channel bloker dikombinasikan (Chobanian, et.al, 2004). Mekanisme aksi CCB bekerja dengan mengintervensi pemindahan ion kalsium melalui kanal kalsium di membran sel, dimana bertanggung jawab menjaga plaeau phase potensi aksi. Depolarisasi jaringan lebih bergantung kepada influks kalsium ketimbang natrium, terutama pada otot polos vaskular, sel-sel myokardial, dan sel-sel yang terdapat dalam nodus-nodus sinoatrial dan atrioventrikular. Blokade pada kanal kalsium mengakibatkan vasodilatasi koroner dan perifer, aksi inotropik negatif, mereduksi denyut jantung, dan memperlambat konduksi ventrikular (Shankie, 2001). Perhatian Nifedipine short acting tidak direkomendasikan pada penderita angina atau untuk terapi jangka panjang pada penderita hipertensi, karena efeknya yang dapat menyebabkan hipotensi dan reflek takikardia. Nifedipine memiliki efek inotropik negatif sehingga tidak disarankan pada pasien gagal jantung dengan efek mereduksi kerja dari ventrikel kiri.

Page 7: Doc1

Penghentian mendadak terapi calcium channel blocker menyebabkan gejala putus obat (withdrawl) yang dapat memperburuk angina (Mehta, 2007).

b. non Dihydropyridine Contoh obat (Mehta, 2007) Yang tergolong di dalamnya ialah: diltiazem HCl, dan verapamil HCl Indikasi Sama dengan antagonis kalsium dihydropyridine. Mekanisme aksi Sama dengan antagonis kalsium dihydropyridine. Perhatian Verapamil tidak boleh diberikan bersamaan dengan beta bloker karena efek kronotropik dan inotropik negatif nya yang kuat, sehingga harus diberikan dengan hati-hati pada penderita gagal jantung atau yang sedang diterapi dengan beta bloker. Penghentian mendadak terapi calcium channel blocker menyebabkan gejala putus obat (withdrawl) yang dapat memperburuk angina (Mehta, 2007).

2.4.6 Penatalaksanaan Pengobatan Pada PJK 2.4.6.1 Nitrat Nitrat bekerja dengan mengurangi kebutuhan oksigen dan meningkatkan suplai oksigen. Nitrat I.V harus diberikan pada pasien yang masih mengalami nyeri dada setelah pemberian 3 tablet nitrat sublingual (bila tidak ada kontraindikasi seperti penggunaan sildenafil dalam 24 jam terakhir) EKG menunjukan iskemia miokard (menderita gagal jantung). Pemberian intravena dilaksanakan dengan titrasi ke atas (dosis lebih besar) sampai keluhan terkendali atau sampai timbul efek samping (terutama nyeri kepala atau hipotensi). Kemudian Nitrat oral dapat diberikan setelah 12-24 jam periode bebas nyeri. Rebound angina dapat terjadi bila nitrat dihentikan secara mendadak Nitrat mempunyai efek anti-iskemik melalui berbagai mekanisme : 1. Menurut kebutuhan oksigen miokard karena penurunan preload dan afterload, 2. Efek vasodilatasi sedang, 3. Meningkatkan aliran darah kolateral, 4. Menurunkan kecendrungan vasospasme, serta 5. Potensial dapat menghambat agregasi trombosit. (Muchid dkk, 2006).

2.4.6.2 Anti Hipertensi Menurut InaSH (Indonesian Society of Hypertension) penyakit jantung iskemik merupakan kerusakan organ target yang paling sering ditemukan pada pasien dengan hipertensi. Pada pasien hipertensi dengan angina pektoris stabil, obat pilihan pertama β-blocker (BB) dan sebagai alternatif calcium channel blocker (CCB). Pada pasien dengan sindroma koroner akut (angina pektoris tidak stabil atau infark miokard), pengobatan hipertensi dimulai dengan beta bloker dan Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI) dan kemudian dapat ditambahkan anti hipertensi lain bila diperlukan. Pada pasien pasca infark miokard, ACEI, beta bloker dan antagonis aldosteron terbukti sangat menguntungkan tanpa melupakan penatalaksanaan lipid profil yang intensif dan penggunaan aspirin (www.inashonline.org).

2.4.6.3 Anti Platelet Aspirin dosis rendah termasuk golongan anti platelet yang bisa mengurangi kemungkinan serangan jantung berulang dengan cara mencegah melekatnya sel-sel darah (platelet-platelet) bersama-sama.

Page 8: Doc1

Aspirin paling baik digunakan bersama makanan untuk mencegah iritasi lambung. Kontraindikasi aspirin sangat sedikit, termasuk alergi (biasanya timbul gejala asma), ulkus peptikum aktif, dan diatesis perdarahan. Aspirin disarankan untuk semua pasien PJK, bila tidak ditemui kontraindikasi. Pada penderita yang kontra indikasi dengan aspirin dapat diganti dengan ticlopidin atau clopidogrel yang merupakan golongan ADP (Antagonis Reseptor Adenosin Diphospat) (Muchid dkk, 2006).

2.4.6.4 Anti Koagulan Heparin diberikan pada penderita dengan risiko sedang dan tinggi. Berbeda dengan UFH (Unftactionated Heparin), LMWH (Low Molecular Weight Heparin). LMWH mempunyai efek antifaktor Xa yang lebih tinggi dibandingkan efek antifaktor IIa (antitrombin). Rasio antifaktor Xa dan antifaktor IIa yang lebih tinggi menunjukan efek inhibisi pembentukan trombin dan efek hambatan terhadap aktivitas trombin yang lebih besar. LMWH mempunyai efek farmakokinetik yang lebih dapat diramalkan, bioavaliabilitasnya lebih baik, mengurangi ikatan pada protein pengikat heparin, waktu paruhnya lebih lama, tidak membutuhkan pengukuran APTT, risiko perdarahan kecil, serta pemberian lebih mudah, Secara ekonomis lebih hemat (Muchid dkk, 2006).

2.4.6.5 Terapi Inhibitor Reseptor Glikoprotein IIb/IIIa ACC/AHA dalam pedomannya merekomendasikan penggunaan antagonis reseptor GP IIb/IIIa dengan berbagai alasan dan pertimbangan antara lain; Berdasarkan data klinis terkini, tirofiban dan eptifibatide harus dipertimbangkan sebagai tambahan dari aspirin, klopidogrel dan UFH / LMWH, untuk penggunaan upstream pada pasien APTS (Angina Pektoris Tidak Stabil) atau NSTEMI dengan iskemi yang berkepanjangan atau kondisi risiko tinggi lainnya. Abciximab dan eptifibatide tetap merupakan pilihan pertama dan kedua pada pasien APTS/NSTEMI. Yang menjalani angioplasti atau stenting, yang sebelumnya tidak mendapat antagonis reseptor GP IIb /IIIa (Muchid dkk, 2006).

2.4.6.6 Terapi Fibrinolitik Terapi fibrinolitik (dulu dinamakan trombolitik) bermanfaat pada STEMI, akan tetapi secara umum terapi ini tidak disarankan pada Angina unstabil dan NSTEMI. Contohnya adalah streptokinase, alteplase, reteplase dan tenecteplase (Muchid dkk, 2006). Direkomendasikan pada pasien berusia <75 tahun yang datang kerumah sakit setelah 12 jam onset nyeri atau pasien berusia 75 tahun atau lebih yang datang kerumah sakit antara 12 jam dan 24 jam onset nyeri dengan tanda-tanda iskemia berlanjut (Dipiro, 2005).

2.4.6.7 Statin Obat golongan ini dikenal sebagai penghambat HMGCoA reduktase. HMGCoA reduktase adalah suatu enzym yang dapat mengontrol biosintesis kolesterol. Dengan dihambatnya sintesis kolesterol di hati dan hal ini akan menurunkan kadar LDL dan kolesterol total serta meningkatkan HDL plasma. Suatu penelitian membuktikan penurunan kadar lemak atau kolesterol secara agresif oleh obat golongan statin sangat bermanfaat dalam menekan atau mengurangi kejadian-kejadian koroner akut. Dilaporkan juga, pemberian statin sesudah serangan SKA ternyata dapat mengurangi lesi aterosklerosis telah diteliti secara quantitative coronary angiography, disamping perbaikan gejala klinisnya. Diperkirakan pemberian statin secara dini sesudah serangan jantung dapat mengurangi kemungkinan pembentukan lesi baru, mengurangi kemungkinan progresi menjadi oklusi. Statin juga ternyata dapat memperbaiki fungsi endotel (RICIFE trial), menstabilkan plak, mengurangi pembentukan trombus, bersifat anti-inflamasi, dan mengurangi oksidasi lipid (pleotrophic effect) (Muchid dkk, 2006).