file · Web viewSetelah amandemen keempat UUD 1945. pada 2002, pemilihan presiden. dan...
Transcript of file · Web viewSetelah amandemen keempat UUD 1945. pada 2002, pemilihan presiden. dan...
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sejak proklamasi kemerdekaan hingga tahun 2004 di Indonesia telah dilaksanakan
pemilihan umum sebanyak sepuluh kali, yaitu dimulai tahun 1987, 1992, 1997, 1999, 2004,
2009. Jumlah kontestan partai partai politik dalam pemilihan disetiap tahunya tidak selalu
sama, kecuali pada pemilu tahun 1977 sampai 1997.
Pemilihan umum (pemilu) di Indonesia pada awalnya ditujukan untuk memilih anggota
lembaga perwakilan, yaitu DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Setelah
amandemen keempat UUD 1945 pada 2002, pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres),
yang semula dilakukan oleh MPR, disepakati untuk dilakukan langsung oleh rakyat sehingga
pilpres pun dimasukkan ke dalam rezim pemilu. Pilpres sebagai bagian dari pemilu diadakan
pertama kali pada Pemilu 2004. Pada 2007, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2007, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) juga dimasukkan sebagai
bagian dari rezim pemilu. Di tengah masyarakat, istilah "pemilu" lebih sering merujuk
kepada pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden yang diadakan setiap 5
tahun sekali.
Namun dalam Pemilu dan Pemilu Kada di Indonesia terjadi banyak kecurangan dan
masalah hukum yang terjadi sejak orde lama hingga demokrasi sekarang ini. Oleh karena itu,
kami tertarik untuk mengambil tema dan pokok permasalahan tentang pelaksanaan pemilu di
Indonesia yang telah carut-marut,
1
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud pemilu itu?
2. Apa saja syarat pelaksanaan pemilu?
3. Apa saja dasar hokum diadakannya pemilu?
4. Apa tujuan diselenggarakannya pemilu?
5. Bagaimana pelaksanaan pemilu di Indonesia?
6. Masalah apa saja yang timbul saat pemilu dilaksanakan?
7. Apa solusi untuk menyelesaikan masalah-masalah yang timbul akibat pemilu?
C. TUJUAN
1. Mengetahui pengertian pemilu
2. Mengetahui syarat pelaksanaan pemilu
3. Mengetahuin dasar hokum dan asas pemilu yang berlaku di Indonesia
4. Mengetahui tujuan diadakannya pemilu
5. Mengetahui pelaksanaan pemilu di Indonesia
6. Mengetahui masalah-masalah yang timbul saat pemilu
7. Mencari solusi untuk masala-masalah yang terjadi
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN PEMILU
Pemilihan Umum, selanjutnya disebut Pemilu, adalah sarana pelaksanaan kedaulatan
rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. (Pasal 1 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2008 tentang
Pemilu )
Pemilu merupakan salah satu usaha untuk mempengaruhi rakyat secara persuasif (tidak
memaksa) dengan melakukan kegiatan retorika, public relations, komunikasi massa, lobby
dan lain-lain kegiatan. Meskipun agitasi dan propaganda di Negara demokrasi sangat
dikecam, namun dalam kampanye pemilihan umum, teknik agitasi dan teknik propaganda
banyak juga dipakaioleh para kandidat atau politikus selalu komunikator politik.
Dalam Pemilu, para pemilih dalam Pemilu juga disebut konstituen, dan kepada
merekalah para peserta Pemilu menawarkan janji-janji dan program-programnya pada masa
kampanye. Kampanye dilakukan selama waktu yang telah ditentukan, menjelang hari
pemungutan suara.
Setelah pemungutan suara dilakukan, proses penghitungan dimulai. Pemenang Pemilu
ditentukan oleh aturan main atau sistem penentuan pemenang yang sebelumnya telah
ditetapkan dan disetujui oleh para peserta, dan disosialisasikan ke para pemilih.
3
Dalam melaksanankan pemilu ada beberapa system yang digunakan, yaitu system
pemilihan mekanis dan system organis.
1. System pemilihan mekanis
a. System distrik
System pemilihan dimana warga Negara terbagi dalam daerah-daerah bagian
(distrik) pemilihan yang jumlahnya sama dengan anggota badan perwakilan
rakyat yang dikehendaki.( setian distrik satu wakil)
b. Sistem proporsional
Merupakan system pemilihan berdasarkan presentasi kursi parlemen yang akan
dibagikan pada partai politik.
2. System organis
Partai politik tidak perlu dikembangkan, karena pemilihan diselenggarakan dan
dipimpin oleh masing-masing persekutuan hidup lungkungannya sendiri.
(Dra. Rinta Rihayani S., 2009)
B. SYARAT PENYELENGGARAAN PEMILU
1. Adanya kesempatan yang sama bagi setiap warga Negara untuk menggunakan hak
pilihnya (aktif dan pasif)
2. Adanya kesempatan, perlakuan serta kemandirian yang sama bagi setiap kontestan untuk
memenangkan pemilu, mengajukan calon, berkampanye dan menggunakan sarana
komunikasi
3. Adanya kemandirian dari lemnbaga pemilu yang independen (masyarakat, parpol, KPU)
(Dra. Rinta Rihayani S., 2009)
4
C. TUJUAN PEMILU
1. Menyeleksi para pemimpin dan alternative kebijakan umum
2. Memindahkan konflik kepentingan dari masyarakat ke lembaga-lembaga perwakilan
3. Memobilitas dukungan rakyat terhadap Negara
4. Melaksanakan kedaulatan rakyat
5. Perwujudan HAM
6. Memilih wakil rakyat
7. Menjamin kesinambungan pembangunan nasional
(Dra. Rinta Rihayani S., 2009)
D. DASAR HUKUM TENTANG PEMILU
I. DASAR HUKUM PEMILU
a) Menurut UUD 1945 Hasil Amandemen IV Tahun 2002
Bab VIIB Tentang Pemilihan umum Pasal 22 E
1. Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan
adil setiap lima tahun sekali ***)
2. Pemilihan umum diselenggarakan untuk memeilih anggota dewan perwakilan
rakyat, dewan perwakilan daerah, presiden dan wakil presiden dan dewan
perwakilan rakyat daerah ***)
3. Peserta pemilihan umum untuk memeilih anggota dewan perwakilan rakyat dan
anggota dewan perwakilan rakyat daerah adalah partai politik ***)
4. Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota dewan perwakilan daerah adalah
perseorangan***)
5. Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang
bersifat nasional, tetap dan mandiri ***)
6. Ketentuan lebih lanjut pemilihan umum diatur dengan Undang – Undang ***)
b) Menurut Undang-Undang Repubilik Indonesia Nomor 22 Tahun 2007 Tentang
Penyelenggara Pemilihan Umum :
5
1. Pemilihan Umum, selanjutnya disebut Pemilu, adalah sarana pelaksanaan kedaulatan
rakyat yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah adalah Pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
3. Pemilu Presiden dan Wakil Presiden adalah Pemilu untuk memilih Presiden dan
Wakil Presiden dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila
dan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
4. Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Pemilu untuk memilih
kepala daerah Penyelenggara Pemilu. Agar Kode Etik Penyelenggara Pemilu dapat
diterapkan dalam penyelenggaraan pemilihan umum, dibentuk Dewan Kehormatan
KPU, KPU Provinsi, dan Bawaslu.
c) Menurut UU Pasal 19 nomor10 tahun 2008 tentang hak pilih
1. WargaNegara Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah genap
berumur17 (tujuhbelas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin
mempunyai hak memilih.
2. WargaNegara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didaftar oleh
penyelenggara Pemilu dalam daftar pemilih.
6
II. ASAS – ASAS PEMILU
Berdasarkan Pasal 28 E ayat 1 UUD 1945, Pemilu dilaksanakan dengan cara langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.
a. Langsung
Rakyat sebagai pemilih memiliki hak untuk memberikan suaranya secara
langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara atau paksaan.
b. Umum
Pada dasarnya semua warga negara yang memenuhi persyaratan sesuai dengan
undang – undang ini berhak mengikuti pemilu. Pemilihan yang bersifat umum
mengandung makna menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua
warga negara, tanpa deskkriminasi berdasarkan suku, agama, ras, golongan, jenis
kelamin, kedaerahan, pekerjaan, dan status social.
c. Bebas
Setiap warga negara yang berhak memilih bebas menentukan pilihannya tanpa
tekanan dan paksaan dari siapapun. Di dalam melaksanakan haknya, setiap warga
nega dijamin keamanannya sehingga dapat memmilih sesuai dengan kehendak
hati nurani dan kepentingannya.
d. Rahasia
Dalam memberikan suaranya pemilih dijamin bahwa suaranya tidak akan
diketahui oleh pihak manapun dan dengan jalan apapun. Pemilih memberikan
suaranya pada surat suara dan tidak dapat diketahui oleh orang lain kepada
siapapun suaranya diberikan.
e. Jujur
Dalam penyelenggaraan pemilu, setiap penyelenggara pemilu, aparat pemerintah,
peserta pemilu, pengawas pemilu, pemantau pemilu, serta semua pihak yang
terkait harus bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundang – undangan.
f. Adil
Dalam penyelenggaraan pemilu setiap pemilih mendapatkan perlakuan yang
sama, serta bebas dari keccurangan pihak manapun.
7
E. PELAKSANAAN PEMILU DI INDONESIA
1. PEMILU ORDE LAMA
Pada masa sesudah kemerdekaan, Indonesia menganut sistem multi partai yang ditandai
dengan hadirnya 25 partai politik. Hal ini ditandai dengan Maklumat Wakil Presiden No.
X tanggal 16 Oktober 1945 dan Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945.
Menjelang Pemilihan Umum 1955 yang berdasarkan demokrasi liberal bahwa jumlah
parpol meningkat hingga 29 parpol dan juga terdapat peserta perorangan. Pemilu pertama
dilangsungkan pada tahun 1955 dan bertujuan untuk memilih anggota-anggota DPR dan
Konstituante. Pemilu ini seringkali disebut dengan Pemilu 1955, dan dipersiapkan di
bawah pemerintahan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Namun, Ali Sastroamidjojo
mengundurkan diri dan pada saat pemungutan suara, kepala pemerintahan telah dipegang
oleh Perdana Menteri Burhanuddin Harahap.
Sesuai tujuannya, Pemilu 1955 ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu:
Tahap pertama adalah Pemilu untuk memilih anggota DPR. Tahap ini diselenggarakan
pada tanggal 29 September 1955, dan diikuti oleh 29 partai politik dan individu,
Tahap kedua adalah Pemilu untuk memilih anggota Konstituante. Tahap ini
diselenggarakan pada tanggal 15 Desember 1955.
Berikut hasil Pemilu 1955:
1. Partai Nasional Indonesia (PNI) - 8,4 juta suara (22,3%)
2. Masyumi - 7,9 juta suara (20,9%)
3. Nahdlatul Ulama - 6,9 juta suara (18,4%)
4. Partai Komunis Indonesia (PKI) - 6,1 juta suara (16%)
Pada masa diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sistem kepartaian
Indonesia dilakukan penyederhanaan dengan Penpres No. 7 Tahun 1959 dan Perpres No.
13 Tahun 1960 yang mengatur tentang pengakuan, pengawasan dan pembubaran partai-
8
partai. Kemudian pada tanggal 14 April 1961 diumumkan hanya 10 partai yang
mendapat pengakuan dari pemerintah, antara lain adalah sebagai berikut: PNI, NU, PKI,
PSII, PARKINDO, Partai Katholik, PERTI MURBA dan PARTINDO. Namun, setahun
sebelumnya pada tanggal 17 Agustus 1960, PSI dan Masyumi dibubarkan.
Dengan berkurangnya jumlah parpol dari 29 parpol menjadi 10 parpol tersebut, hal
ini tidak berarti bahwa konflik ideologi dalam masyarakat umum dan dalam kehidupan
politik dapat terkurangi. Untuk mengatasi hal ini maka diselenggarakan pertemuan parpol
di Bogor pada tanggal 12 Desember 1964 yang menghasilkan "Deklarasi Bogor."
(Perpus, 2011)
2. PEMILU ORDE BARU
Orde Baru dikukuhkan dalam sebuah sidang MPRS yang berlangsung pada Juni-
Juli 1966. diantara ketetapan yang dihasilkan sidang tersebut adalah mengukuhkan
Supersemar dan melarang PKI berikut ideologinya tubuh dan berkembang di Indonesia.
Menyusul PKI sebagai partai terlarang, setiap orang yang pernah terlibat dalam aktivitas
PKI ditahan. Sebagian diadili dan dieksekusi, sebagian besar lainnya diasingkan ke pulau
Buru. Pada masa Orde Baru pula pemerintahan menekankan stabilitas nasional dalam
program politiknya dan untuk mencapai stabilitas nasional terlebih dahulu diawali dengan
apa yang disebut dengan konsensus nasional. Ada dua macam konsensus nasional, yaitu :
1. Pertama berwujud kebulatan tekad pemerintah dan masyarakat untuk melaksanakan
Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Konsensus pertama ini disebut
juga dengan konsensus utama.
2. Sedangkan konsensus kedua adalah konsensus mengenai cara-cara melaksanakan
konsensus utama. Artinya, konsensus kedua lahir sebagai lanjutan dari konsensus utama
dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan. Konsensus kedua lahir antara pemerintah
dan partai-partai politik dan masyarakat.
Pemilu berikutnya diselenggarakan pada tahun 1971, tepatnya pada tanggal 5 Juli
1971. Pemilu ini adalah Pemilu pertama setelah orde baru, dan diikuti oleh 9 Partai
9
politik dan 1 organisasi masyarakat. Lima besar dalam Pemilu ini adalah Golongan
Karya, Nahdlatul Ulama, Parmusi, Partai Nasional Indonesia, dan Partai Syarikat Islam
Indonesia.
Pada tahun 1975, melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai
Politik dan Golkar, diadakanlah fusi (penggabungan) partai-partai politik, menjadi hanya
dua partai politik (yaitu Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia)
dan satu Golongan Karya
Pemilu-Pemilu berikutnya dilangsungkan pada tahun 1977, 1982, 1987, 1992, dan
1997. Pemilu-Pemilu ini diselenggarakan dibawah pemerintahan Presiden Soeharto.
Pemilu-Pemilu ini seringkali disebut dengan "Pemilu Orde Baru". Sesuai peraturan Fusi
Partai Politik tahun 1975, Pemilu-Pemilu tersebut hanya diikuti dua partai politik dan
satu Golongan Karya. Pemilu-Pemilu tersebut kesemuanya dimenangkan oleh Golongan
Karya.
Dari hasil pemilu pada masa orde baru tersebut, terlihat ada kejanggalan-
kejanggalan yang terjadi yaitu semua pemilu yang dilaksanakan selalu dimenangkan oleh
partai Golongan Karya dan presiden yang terpilih adalah Soeharto. Sehingga pada
tahun1998 terjadi reformasi yang meminta dilenengserkannya Soeharto. Mundurnya
Soeharto dari jabatannya pada tahun 1998 dapat dikatakan sebagai tanda akhirnya Orde
Baru, untuk kemudian digantikan "Era Reformasi".Masih adanya tokoh-tokoh penting
pada masa Orde Baru di jajaran pemerintahan pada masa Reformasi ini sering membuat
beberapa orang mengatakan bahwa Orde Baru masih belum berakhir. Oleh karena itu Era
Reformasi atau Orde Reformasi sering disebut sebagai "Era Pasca Orde Baru".
3. PEMILU REFORMASI
Berakhirnya rezim Orde Baru, telah membuka peluang guna menata kehidupan
demokrasi. Reformasi politik, ekonomi dan hukum merupakan agenda yang tidak bisa
ditunda. Demokrasi menuntut lebih dari sekedar pemilu. Demokrasi yang mumpuni harus
dibangun melalui struktur politik dan kelembagaan demokrasi yang sehat. Namun
10
nampaknya tuntutan reformasi politik, telah menempatkan pelaksanan pemilu menjadi
agenda pertama.
Pemilu pertama di masa reformasi hampir sama dengan pemilu pertama tahun
1955 diwarnai dengan kejutan dan keprihatinan. Pertama, kegagalan partai-partai Islam
meraih suara siginifikan. Kedua, menurunnya perolehan suara Golkar. Ketiga, kenaikan
perolehan suara PDI P. Keempat, kegagalan PAN, yang dianggap paling reformis,
ternyata hanya menduduki urutan kelima. Kekalahan PAN, mengingatkan pada
kekalahan yang dialami Partai Sosialis, pada pemilu 1955, diprediksi akan memperoleh
suara signifikan namun lain nyatanya.
Pemilu pertama setelah runtuhnya orde baru, yaitu Pemilu 1999 dilangsungkan
pada tahun 1999 (tepatnya pada tanggal 7 Juni 1999) di bawah pemerintahan Presiden BJ
Habibie dan diikuti oleh 48 partai politik.
Walaupun Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan meraih suara terbanyak
(dengan perolehan suara sekitar 35 persen), yang diangkat menjadi presiden bukanlah
calon dari partai itu, yaitu Megawati Soekarnoputri, melainkan dari Partai Kebangkitan
Bangsa, yaitu Abdurrahman Wahid (Pada saat itu, Megawati hanya menjadi calon
presiden). Hal ini dimungkinkan untuk terjadi karena Pemilu 1999 hanya bertujuan untuk
memilih anggota MPR, DPR, dan DPRD, sementara pemilihan presiden dan wakilnya
dilakukan oleh anggota MPR.
Walaupun pengesahan hasil Pemilu 1999 sempat tertunda, secara umum proses
pemilu multi partai pertama di era reformasi jauh lebih Langsung, Umum, Bebas dan
Rahasia (Luber) serta adil dan jujur dibanding masa Orde Baru. Hampir tidak ada
indikator siginifikan yang menunjukkan bahwa rakyat menolak hasil pemilu yang
berlangsung dengan aman. Realitas ini menunjukkan, bahwa yang tidak mau menerima
kekalahan, hanyalah mereka yang tidak siap berdemokrasi, dan ini hanya diungkapkan
oleh sebagian elite politik, bukan rakyat.
Pemilu 2004, merupakan pemilu kedua dengan dua agenda, pertama memilih
anggota legislatif dan kedua memilih presiden. Untuk agenda pertama terjadi kejutan,
yakni naiknya kembali suara Golkar, turunan perolehan suara PDI-P, tidak beranjaknya
11
perolehan yang signifikan partai Islam dan munculnya Partai Demokrat yang melewati
PAN.
Pemilu 2004 merupakan pemilu pertama di mana para peserta dapat memilih
langsung presiden dan wakil presiden pilihan mereka. Dalam pemilihan presiden INI
diikuti lima kandidat, yakni Susilo Bambang Yudhoyono, Megawati Soekarno Putri,
Wiranto, Amin Rais dan Hamzah Haz. Pilpres ini dilangsungkan dalam dua putaran,
karena tidak ada pasangan calon yang berhasil mendapatkan suara lebih dari 50%.
Putaran kedua digunakan untuk memilih presiden yang diwarnai persaingan antara
Yudhoyono dan Megawati yang akhirnya dimenangi oleh pasangan Yudhoyono-Jusuf
Kalla
Pergantian kekuasaan berlangsung mulus dan merupakan sejarah bagi Indonesia
yang belum pernah mengalami pergantian kekuasaan tanpa huru-hara. Satu-satunya cacat
pada pergantian kekuasaan ini adalah tidak hadirnya Megawati pada upacara pelantikan
Yudhoyono sebagai presiden.
Pilpres 2009 diselenggarakan pada 8 Juli 2009. Pasangan Susilo Bambang
Yudhoyono-Boediono berhasil menjadi pemenang dalam satu putaran langsung dengan
memperoleh suara 60,80%, mengalahkan pasangan Megawati Soekarnoputri-Prabowo
Subianto dan Muhammad Jusuf Kalla-Wiranto.
F. MASALAH DALAM PEMILU
1. Meningkatnya golongan golput dimasyarakat
Golput adalah wujud apriori rakyat, sebagai suatu mosi tidak percaya terhadap
Parpol maupun Capres/Cawapres peserta Pemilu atau para kandidat yang berlaga dalam
Pilkada. Ataupun memahami Golput sebagai basis perkembangan dan pertahanan
demokrasi radikal.Alasan terjadinya golput pertama, adalah orang yang secara sadar
memilih untuk tidak memilih. Termasuk di dalamnya adalah kelompok pemilih cerdas
yang mungkin karena pengalaman pahitnya dengan Pemilu atau Pilkada, maka dia
memilih Golput. Beberapa diantaranya adalah sebagai bentuk protes sosial yang
disebabkan, antara lain, karena tingkat kepercayaannya yang rendah terhadap
penyelenggara Negara, kesulitan hidup yang dialaminya dan lain sebagainya.Umumnya
12
pemilih seperti ini berada di daerah perkotaan. Sehingga sampai atau tidak sampai
sosialisasi Pemilu, terdaftar atau tidak terdaftar dia sebagai pemilih, tidak banyak
mempengaruhi keputusannya itu. Meski mungkin tidak sedikit, tetapi jumlah pemilih
seperti ini juga tidak terlalu banyak.Kedua, adalah kelompok pemilih yang tidak terdaftar.
Mereka sebenarnya punya minat untuk menggunakan hak suaranya tapi tidak terdaftar
sebagai pemilih hingga secara otomatis mereka masuk ke daftar Golput karena tidak
dapat menyumbangkan suaranya.Penyebab masalah ini adalah hal-hal teknis pendataan
pemilihan yang disebabkan pendatan kita dan mungkin keterbatasan lainnya. Kelemahan
inilah yang sering di jadikan isu yang di usung para Parpol atau para Caleg untuk
mengklaim suara konstituennya yang tidak terdaftar. Tidak jarang pula masalah ini
menuai konflik. Namun karena sifatnya yang sangat politis, sering kali kebenaran dari
data pemilihan yang tidak terdaftar ini menjadi kabur.Ketiga, adalah orang yang terpaksa
tidak memilih karena kesibukannya. Sering kali orang yang tidak bisa meninggalkan
pekerjaannya atau orang yang sedang perjalanan keluar daerah. Untuk memilih bagi
mereka adalah hal yang sulit dan memerlukan waktu ekstra karena itu hak memilih sering
diabaikan.Keempat, adalah suara tidak sah. Sebetulnya mereka adalah orang yang sudah
memberikan suaranya dan berpartisipasi dalam pemilihan. Hal teknis seperti kesalahan
dalam mencoblos membuatnya menjadi tidak punya suara karena pemilihannya di
batalkan. (DR. Drs. H. Ramli, 2009)
2. Adanya pengelembungan daftar pemilih tetap
Berbagai cara dilakukan oleh para kandidat untuk memnangkan pemilu salah satunya
dengan penggelembungan daftar pemilih tetap. Masalah DPT terjadi di beberapa daerah
atau sebagian besar daerah di Indonesia atau bahkan diseluruh Indonesia dan kemudian
banyak pihak-pihak yang merasa dirugikan dengan penggelembungan DPT sehingga bisa
menjadi stimulan untuk menjadi pemicu konflik.
Kisruh masalah DPT akhirnya masuk ke wilayah politik DPR. Hak angket digunakan
untuk membedah kesemrawutan daftar tersebut. Sebanyak 22 anggota DPR dari enam fraksi
menggunakan hak konstitusional mereka untuk mempersoalkan kesemrawutan DPT (Daftar
Pemilih Tetap). Mereka menilai bahwa pemerintah ikut bertanggung jawab atas hilangnya
13
hak pilih warga negara dalam pemilu legislatif 9 April 2009 yang lalu. Langkah politik DPR
ini sangat masuk akal manakala langkah hukum atas hilangnya hak pilih warga negara belum
menemukan salurannya. Pengaduan warga negara ke kepolisian belum mendapatkan
tanggapan memadai. Padahal, hilangnya hak pilih warga negara adalah pelanggaran hak asasi
manusia yang diatur dalam Konstitusi UUD 1945 dan Kovenan Internasional Hak Sipil dan
Politik. (Rencana, 2009)
Adalah suatu kenyataan bahwa hingga kini belum ada pihak yang bertanggung jawab atas
kesemrawutan DPT (Daftar Pemilih Tetap). Komisi Pemilihan Umum yang kewenangannya
turun dari konstitusi menolak untuk bertanggung jawab, sementara Departemen Dalam
Negeri menimpakan tanggung jawab kepada KPU. Pada akhirnya, rakyat ditempatkan
sebagai pihak yang ikut bersalah karena tidak mau mengecek Daftar Pemilih Sementara
(DPS) serta aktif mendaftarkan diri. Kecurangan Pemilu melalui manipulasi DPT atau
electoral fraud merupakan pelanggaran HAM Pasal 25 Kovenan Internasional Hak Sipil dan
Politik. Hal ini adalah indikasi pengurangan integritas masyarakat. Suatu hal kritis yang telah
memaksa BAWASLU (Badan Pengawas Pemilu) menyatakan perlunya suatu pemungutan
suara ulang. Kecuarangan tersebut sudah tidak mungkin dipermaklumkan sebagai kesalahan
yang tidak bisa dihindari. Kelemahan administrasi penyelenggaraan Pemilu sudah semakin
terlihat sebagai bentuk lain dari strategi pemenangan dengan medium pemilu. (Putri, 2009)
3. System pehitungan hasil pemilu
Di era globalisasi seperti sekarang ini Indonesia memilih cara yang manual untuk
menghitung hasil pemilihan umum. Sistem ini memperlama pengumuman hasil pemilihan
umum , para perancang Undang-undang Pemilu di negara kita ini benar-benar tidak mau
mempercayai teknologi. Buktinya, Indonesia tetap memilih menggunakan hitungan manual
di abad informasi saat ini. Hitungan secara eletronik diperkenankan, tetapi yang menjadi
patokan tetap hitungan manual yang yang hasilnya bisa memakan waktu satu bulan. Padahal
selain masalah waktu yang jika dinilai dengan uang adalah sulit, penggunaan IT juga akan
memangkas biaya secara signifikan –tentu dengan catatan jika dibuat dengan benar.Oleh
sebab itu, tidak berlebihan kiranya jika bangsa Indonesia mulai memikirkan untuk
menggunakan IT dalam pemungutan suara di tahun 2014 seperti yang telah dilakukan oleh
banyak negara maju di dunia. Penggunaa IT dalam pemilu berikutnya bukan hanya
14
membicarakan masalah waktu dan biaya, namun juga sesuatu yang lebih penting yakni
masalah transparansi hasil Pemilu.
4. Kekurangan Surat Suara
Hal ini biasanya disebabkan karena kurangnya koordinasi antara pihak TPS dengan pihak
penyelenggara PEMILU. Kekurangan surat suara cukup merepotkan, apalagi jika hal ini baru
disadari pada saat hari dilaksanakannya PEMILU.
5. Pembagian Form C-4 Tidak Merata
Sehari sebelum pelaksanaan PEMILU, ada warga yang protes karena tidak mendapatkan
Form C-4. Warga tersebut protes karena merasa tidak bisa menyalurkan hak pilihnya pada
saat PEMILU. Sebenarnya, pemilih tidak diwajibkan membawa Form C-4 tersebut asalkan
namanya sudah benar-benar terdaftar dalam DPT (Daftar Pemilih Tetap). Bagi warga yang
tidak mendapatkan Form C-4, tetap bisa melakukan pencontrengan dengan menunjukkan
kartu identitas diri, baik itu berupa KTP, SIM, dll.
6. Ukuran Surat Suara yang Terlalu Besar
Masalah ini saya rasakan sendiri. Saat membuka surat suara, ternyata ukurannya sangat
besar dan lebar sehingga cukup menyulitkan pemilih dalam mencontreng karena biliknya
cukup kecil. Mungkin masalah ini bisa diatasi dengan memperkecil surat suara atau
memperbesar ukuran bilik.
7. Pemilih yang Buta Huruf
Masalah yang satu ini memang sulit untuk dihindari terutama untuk PEMILU yang
diadakan di pelosok desa. Surat suara yang hanya dipenuhi nama-nama calon tanpa foto
cukup menyulitkan para penyandang buta huruf. Hal ini tidak jarang membuat mereka
memilih sembarang calon. (Alexander Sirait, 2009)
8. Pencontrengan yang dilakukan lebih dari 1 (satu) kali
9. Money politic yang dilakukan salah satu caleg untuk mencari simpati rakyat.
10. Pelanggaran administratif
15
Yaitu pelanggaran tentang tata cara atau tahapan Pemilu. Jenis pelanggaran ini ditangani oleh
KPU akan tetapi cenderung kurang maksimal dijalankan
11. Pelanggaran pidana
Pelanggaran ini merupakan wilayah dengan penyelesian “criminal justice system” yang
melibatkan pihak Kepolisian, Kejaksaan, atau Pengadilan serta ditambah bawaslu atau
Panwaslu
12. Sengketa Pemilu
Yaitu sengketa antar peserta Pemilu yang selama ini kurang menonjol karena faktanya jarang
sekali terjadi sengketa antar peserta Pemilu diluar masalah hasil Pemilu dan Tindak Pidana
Pemilu
13. Perselisihan hasil Pemilu
Yang merupakan domain Mahkamah Konstitusi (MK).
G. SOLUSI MASALAH YANG TIMBUL SAAT PEMILU
1. Melakukan sosialisasi pentingnya pemilu dan cara-cara pemilu
2. Menyeleksi kandidat dalam pemilu dengan hati-hati dan dengan seksama sesuai dengan
prosedur dan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk menghindari adanya
money politic
3. Menyeleksi anggota KPU
4. Melakukan pendataan DPT secara menyeluruh
5. Memenfaatkan teknologi di era global ini agar perhitungan suara sesuai dengan hasil
yang ada
16
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari pembahasan dapat ditarik kesimpulan bahwa pemilu adalah sarana pelaksanaan
kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang sesuai dengan Pasal 1 ayat (1) UU No.
10 Tahun 2008. Pelaksanaan pemilu diatur dalam UUD 1945 Hasil Amandemen IV Tahun
2002 Bab VIIB Tentang Pemilihan umum Pasal 22 E, Undang-Undang Repubilik Indonesia
Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, UU Pasal 19 nomor10
tahun 2008 tentang hak pilih, dan asas pemilu diatur dalam Pasal 28 E ayat 1 UUD 1945.
Indinesia telah melakukan sepuluh kali pemilu, yaitu pada tahun 1955, 1971,1977,1982,
1987, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009. Pelaksanaaan pemilu di Indonesia mengalami beberapa
kendala sejak masa orde lama, tetapi memuncaknya pada tahun 2009. Permasalahan-
permasalahan yang terjadi antara lain meningkatnya golongan golput dimasyarakat, adanya
pengelembungan daftar pemilih tetap, system pehitungan hasil pemilu, kekurangan surat
suara, pembagian form C-4 tidak merata, ukuran surat suara yang terlalu besar, pemilih yang
buta huruf, pencontrengan yang dilakukan lebih dari 1 (satu) kali, money politic yang
dilakukan salah satu caleg untuk mencari simpati rakyat, pelanggaran administratif,
pelanggaran pidana, sengketa pemilu, dan perselisihan hasil pemilu.
Solusi yang dapat diambil oleh pemerintah antara lain dengan, melakukan sosialisasi
pentingnya pemilu dan cara-cara pemilu, menyeleksi kandidat dalam pemilu dengan hati-hati
dan dengan seksama sesuai dengan prosedur dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku untuk menghindari adanya money politic, menyeleksi anggota KPU, melakukan
pendataan DPT secara menyeluruh, dan memenfaatkan teknologi di era global ini agar
perhitungan suara sesuai dengan hasil yang ada.
17
DAFTAR PUSTAKA
Alexander Sirait, R. (2009, April). Masalah-Masalah Pemilu. Retrieved November 20, 2011, from http://sebuah-blog.blodgspot.com/2009/04/malasah-masalah-pemilu-2009.html
DR. Drs. H. Ramli, M. (2009, Januari 27). Meningkatkan Partisipasi Politik Rakyat Dalam Pemilu. Retrieved November 20, 2011, from http://beritasore.com/2009/01/27/meningkatkan-partisipasi-politik-rakyat-dalam-pemilu/
Dra. Rinta Rihayani S., M. S. (2009). Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta: SMAN 2 Bantul.
Parawansa, K. I. (2009). Pencerdasan Demokrasi. Jakarta: Harian Seputar Indonesia.
Parawansa, K. I. (2009, April 27). Pencerdasan Demokrasi. Harian Seputar Indonesia , p. 4.
Perpus, H. A. (2011, maret 24). Retrieved November 20, 2011, from http://unnes.com
Putri, A. (2009, April 18). Terulanginya Pemilu Manipulator. Harian Kompas , p. 6.
Rencana, T. (2009, April 29). Isu DPT Masuk Parlemen. Harian Kompas , p. 6.
18