DM Tipe II + Abses Pedis Kel 1

90
Bagian Farmakologi Klinik Laporan Kasus Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman DM TIPE II + ABSES PEDIS SINISTRA Dipresentasikan pada tanggal: 8 September 2011 Disusun Oleh: Nur Anisah Karina Oleh: Nurul Salamah Khoirun Nisa Siti Mu’awanah Sizigia Hascharini Utami Pembimbing: dr. Lukas D. Leatemia, M. Kes M. Pd. Ked Dibawakan dalam Rangka Tugas Kepaniteraan

description

DM Tipe II + Abses Pedis Kel 1

Transcript of DM Tipe II + Abses Pedis Kel 1

Page 1: DM Tipe II + Abses Pedis Kel 1

Bagian Farmakologi Klinik Laporan KasusFakultas KedokteranUniversitas Mulawarman

DM TIPE II + ABSES PEDIS SINISTRA

Dipresentasikan pada tanggal: 8 September 2011

Disusun Oleh:

Nur Anisah

Karina

Oleh:

Nurul SalamahKhoirun Nisa

Siti Mu’awanahSizigia Hascharini Utami

Pembimbing:

dr. Lukas D. Leatemia, M. Kes M. Pd. Ked

Dibawakan dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik pada

Lab/SMF Farmakologi Klinik RSUD A. Wahab Sjahranie

Fakultas Kedokteran

Universitas Mulawarman

SAMARINDA

2011

Page 2: DM Tipe II + Abses Pedis Kel 1

BAB ILAPORAN KASUS

Presentasi KasusFarmakologi Klinik Tanggal: 1 September 2011

RSUD AWS – FK Unmul

I. Identitas Pasien : Tanggal pemeriksaan: 1 September 2011

Nama : Ny. S P/L Dokter yg memeriksa : dr. jaga IRD

Usia : 50 tahun

Tanggal Lahir : -

Agama : Islam

Status : Menikah

Alamat : Jl. Adam Malik No. 2

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

No RM : 11035671

II. Anamnesis (Subjektif)

Keluhan Utama :

Nyeri di luka kaki sejak 1 minggu yang lalu.

Riwayat Penyakit Sekarang :

Terdapat luka pada ibu jari kaki kiri sejak kurang lebih 1 minggu yang

lalu. Luka awalnya tampak seperti letupan dan tidak diawali oleh trauma. Luka

makin meluas kemudian pasien mengalami demam dan badan lemah.

Riwayat Penyakit Dahulu :

Riwayat DM (+) sejak 1 tahun yang lalu, rutin minum obat glibenklamid.

Riwayat hipertensi (-).

Page 3: DM Tipe II + Abses Pedis Kel 1

Riwayat Penyakit Keluarga :

Tidak diketahui.

III. Pemeriksaan Fisik (Objektif)

Keadaan umum : Sedang

Kesadaran : Compos mentis

Vital sign : TD : 140/90 mmHg RR: 30 x/menit

N : 120 x/menit cepat lemah T: 37,8˚C

Kepala dan leher : Anemis (+), Ikterik (-), sianosis (-)

Thoraks : Pulmo: Bentuk dan gerak simetris, ronkhi -/-, wheezing -/--/- -/--/- -/-

Cor : S1 S2 tunggal reguler, suara tambahan (-)

Abdomen : Flat, soefl, nyeri tekan epigastrium (-), BU (+)

Ekstremitas : Akral hangat

Lain-lain : Regio pedis sinistra: ulkus pada digiti I, dasar jaringan

granulasi, pus (+)

IV. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Laboratorium

1. Laboratorium (01 - 09 -2011)

Pemeriksaan laboratorium kimia darah:

Pemeriksaan yang dilakukan

Hasil yang didapat Nilai normal

GDS 252 mg/dl 60-150 mg/dlUreum 65.8 mg/dl 10-40 mg/dlKreatinin 1.3 mg/dl 0.5-1.5 mg/dl

Page 4: DM Tipe II + Abses Pedis Kel 1

Pemeriksaan laboratorium darah lengkap:

Pemeriksaan yang dilakukan

Hasil yang didapat Nilai normal

WBC 19.5 K/ul 5.0-10.00 K/ulRBC 2.96 M/ul 4.00-5.50 M/ulHGB 7.3 g/dl 12.0-16.0 g/dlHCT 22.0% 36.0-48.0%MCV 74.3 fl 82.0-92.0 flMCH 24.7 pg 27.0-31.0 pgMCHC 33.2 g/dl 32.0-36.0 g/dlPLT 417 K/ul 200-400 K/ul

2. Laboratorium (02 - 09 -2011)

Pemeriksaan yang dilakukan

Hasil yang didapat Nilai normal

HbsAg Negatif NegatifGDS 257 mg/dl 60-150 mg/dlSGOT 9 UI W<31 UISGPT 12 UI W<32 UIBil total 1.1 mg/dl 0-1 mg/dlBil direct 0.5 mg/dl 0-0.25 mg/dlBil Indirect 0.6 mg/dl 0-0.75 mg/dlProtein Total 6.7 mg/dl 6.6-8.7 mg/dlAlbumin 2.2 g/dl 3.2-4.5 g/dlGlobulin 4.5 g/dl 2.3-3.5 g/dlKolesterol 119 mg/dl 150-220 mg/dlAsam Urat 10.5 mg/dl 2-6 mg/dlUreum 113.7 mg/dl 10-40 mg/dlCreatinin 1.9 mg/dl 0.5-1.5 mg/dl

3. Laboratorium (03 - 09 - 2011)

Page 5: DM Tipe II + Abses Pedis Kel 1

Pemeriksaan laboratorium darah lengkap:

HCT Hasil yang didapat Nilai normalWBC 5.3 K/ul 5.0-10.00 K/ulRBC 0.80 M/ul 4.00-5.50 M/ulHGB 1.9 g/dl 12.0-16.0 g/dl

6.2% 36.0-48.0%MCV 77.2 fl 82.0-92.0 flMCH 23.8 pg 27.0-31.0 pgMCHC 30.6 g/dl 32.0-36.0 g/dlPLT 146 K/ul 200-400 K/ul

4. Laboratorium (05 - 09 - 2011)

Pemeriksaan yang dilakukan

Hasil yang didapat Nilai normal

GD 2 PP 121 mg/dl 70-150 mg/dlWBC 21.5 K/ul 5.0-10.00 K/ulRBC 3.61 M/ul 4.00-5.50 M/ulHGB 9.2 g/dl 12.0-16.0 g/dlHCT 27.2% 36.0-48.0%MCV 75.3 fl 82.0-92.0 flMCH 25.5 pg 27.0-31.0 pgMCHC 23.8 g/dl 32.0-36.0 g/dlPLT 433 K/ul 200-400 K/ul

V. Diagnosis (Assesment)

DM tipe II + abses pedis sinistra

VI. Terapi ( yang diberikan )

1. IVFD RL 20 tpm

2. Injeksi cefotaxim 3x1 gr

3. Metronidazole 3x500 mg

4. RI 3x4 IU

5. Injeksi ranitidin 2x1 amp

Page 6: DM Tipe II + Abses Pedis Kel 1

6. Injeksi antrain 3x1 amp

7. Parasetamol 3x500 mg bila demam

8. Rawat luka

9. Konsul ke Sp. OT

VII. Pemeriksaan Lanjutan

1. Pemeriksaan laboratorium

2. Pemeriksaan EKG

VIII. Perawatan di ruangan (Flamboyan)

Tanggal Subjektif & Objektif Assesment & Planning2 September 2011 S: pusing, terasa melayang, nyeri

di luka kaki kiriO: CM; anemis (+), TD 130/80

mmHg; N 88x/i; RR 20x/i; T 36,5˚CRonki -/- Wheezing -/-

-/--/-

A: DM tipe II + abses pedis sinistraP: - RL 20 tpm

- inj cefotaxime 3x1 gr- inj ranitidin 2x1 amp- inj antrain 3x1 amp- metronidazole 500 mg 3x1- RI 3x4 IU- parasetamol 500 mg 3x1 prn

3 September 2011 S: nyeri di luka kaki kiri, nyeri ulu hati tidak ada, sudah tidak pusing

O: CM; anemis (+), TD 120/80 mmHg; N 90x/i; RR 20x/i; T 36,6˚CRonki -/- Wheezing -/-

-/--/-

A: DM tipe II + abses pedis sinistraP: - RL 20 tpm

- inj cefotaxime 3x1 gr- inj ranitidin 2x1 amp- inj antrain 3x1 amp- metronidazole 500 mg 3x1- RI 3x4 IU- parasetamol 500 mg 3x1 prn- lasix ekstra sebelum

transfusi PRC 2 unit- perlu foto rontgen ap dan

lateral pedis sinistra5 September 2011 S: nyeri di luka kaki kiri, nyeri ulu

hati, sesak nafasO: CM; TD 160/80 mmHg; N

88x/i; RR 28x/i; T 36,7˚CRonki -/- Wheezing -/-

-/--/-

A: DM tipe II + abses pedis sinistraP: - RL 20 tpm

- inj cefotaxime 3x1 gr- inj ranitidin 2x1 amp- inj antrain 3x1 amp- metronidazole 500 mg 3x1- RI 3x4 IU- parasetamol 500 mg 3x1 prn

Page 7: DM Tipe II + Abses Pedis Kel 1

6 September 2011 S: nyeri di luka kaki kiri kronik, nyeri ulu hati

O: CM; TD 150/90 mmHg; N 89x/i; RR 25x/i; T 36,7˚CRonki -/- Wheezing -/-

-/--/-

A: DM tipe II + abses pedis sinistraP: - RL 20 tpm

- inj cefotaxime 3x1 gr- inj ranitidin 2x1 amp- inj antrain 3x1 amp- metronidazole 500 mg 3x1- RI 3x4 IU- parasetamol 500 mg 3x1 prn

7 September 2011 S: nyeri di luka kaki kiri, nyeri ulu hati

O: CM; TD 100/90 mmHg; N 88x/i; RR 20x/i; T 36,8˚CRonki -/- Wheezing -/-

-/--/-

A: DM tipe II + abses pedis sinistraP: - RL 20 tpm

- inj cefotaxime 3x1 gr- inj ranitidin 2x1 amp- inj antrain 3x1 amp- metronidazole 500 mg 3x1- RI 3x4 IU- parasetamol 500 mg 3x1 prn

IX. Masalah yang akan dibahas

1. Penggunaan obat-obatan pada kasus ini berdasarkan diagnosis

2. Rasionalisasi pengobatan pada kasus ini

3. Interaksi dan efek samping obat-obat yang digunakan

Page 8: DM Tipe II + Abses Pedis Kel 1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Mellitus

2.1.1 Definisi

Diabetes mellitus (DM) adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan

karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kerusakan sekresi insulin, kerja

insulin atau keduanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes mellitus berhubungan

dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi (kelainan fungsi tubuh), kegagalan

dari 14 berbagai organ tubuh terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh

darah (Fauci et al, 2008). Menurut WHO (1999) Diabetes mellitus (DM)

didefinisikan sebagai suatu penyakit atau gangguan metabolisme kronis dengan

multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan

gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat insufisiensi

fungsi insulin. Insufisiensi fungsi insulin dapat disebabkan oleh gangguan atau

defisiensi produksi insulin oleh sel-sel beta Langerhans kelenjar pankreas, atau

disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin (WHO, 1999).

Di Amerika Serikat, DM merupakan penyebab utama terjadinya penyakit ginjal

tahap akhir (PGTA), amputasi ekstremitas bawah dan kebutaan pada usia dewasa.

Selain itu juga, DM menjadi faktor predisposisi penyakit kardiovaskuler. Dengan

peningkatan insidensi di seluruh dunia, DM menjadi penyebab utama morbiditas

dan mortalitas banyak penyakit-penyakit lainnya (Fauci et al, 2008).

2.1.2 Klasifikasi

Klasifikasi diabetes melitus mengalami perkembangan dan perubahan dari

waktu ke waktu. Dahulu diabetes diklasifikasikan berdasarkan waktu munculnya

(time of onset). Diabetes yang muncul sejak masa kanak-kanak disebut “juvenile

diabetes”, sedangkan yang baru muncul setelah seseorang berumur di atas 45

tahun disebut sebagai “adult diabetes”. Namun klasifikasi ini sudah tidak layak

dipertahankan lagi, sebab banyak sekali kasus-kasus diabetes yang muncul pada

Page 9: DM Tipe II + Abses Pedis Kel 1

usia 20-39 tahun, yang menimbulkan kebingungan untuk mengklasifikasikannya.

Pada tahun 1968, ADA (American Diabetes Association) mengajukan

rekomendasi mengenai standarisasi uji toleransi glukosa dan mengajukan istilah-

istilah Pre-diabetes, Suspected Diabetes, Chemical atau Latent Diabetes dan

Overt Diabetes untuk pengklasifikasiannya. British Diabetes Association (BDA)

mengajukan istilah yang berbeda, yaitu Potential Diabetes, Latnt Diabetes,

Asymptomatic atau Sub-clinical Diabetes, dan Clinical Diabetes (Depkes,2005).

WHO pun telah beberapa kali mengajukan klasifikasi diabetes melitus.

Pada tahun 1965 WHO mengajukan beberapa istilah dalam pengklasifikasian

diabetes, antara lain Childhood Diabetics, Young Diabetics, Adult Diabetics dan

Elderly Diabetics. Pada tahun 1980 WHO mengemukakan klasifikasi baru

diabetes mellitus memperkuat rekomendasi National Diabetes Data Group pada

tahun 1979 yang mengajukan 2 tipe utama diabetes melitus, yaitu "Insulin-

Dependent Diabetes Mellitus" (IDDM) disebut juga Diabetes Melitus Tipe 1 dan

"Non-Insulin-Dependent Diabetes Mellitus" (NIDDM) yang disebut juga Diabetes

Melitus Tipe 2. Pada tahun 1985 WHO mengajukan revisi klasifikasi dan tidak

lagi menggunakan terminologi DM Tipe 1 dan 2, namun tetap mempertahankan

istilah "Insulin-Dependent Diabetes Mellitus" (IDDM) dan "Non-Insulin-

Dependent Diabetes Mellitus" (NIDDM), walaupun ternyata dalam publikasi-

publikasi WHO selanjutnya istilah DM Tipe 1 dan 2 tetap muncul (Depkes, 2005).

Disamping dua tipe utama diabetes melitus tersebut, pada klasifikasi tahun

1980 dan 1985 ini WHO juga menyebutkan 3 kelompok diabetes lain yaitu

Diabetes Tipe Lain, Toleransi Glukosa Terganggu atau Impaired Glucose

Tolerance (IGT) dan Diabetes Melitus Gestasional atau Gestational Diabetes

Melitus (GDM). Pada revisi klasifikasi tahun 1985 WHO juga mengintroduksikan

satu tipe diabetes yang disebut Diabetes Melitus terkait Malnutrisi atau

Malnutrition-related Diabetes Mellitus (MRDM. Klasifkasi ini akhirnya juga

dianggap kurang tepat dan membingungkan sebab banyak kasus NIDDM (Non-

Insulin-Dependent Diabetes Mellitus) yang ternyata juga memerlukan terapi

insulin. Saat ini terdapat kecenderungan untuk melakukan pengklasifikasian lebih

Page 10: DM Tipe II + Abses Pedis Kel 1

berdasarkan etiologi penyakitnya (Depkes, 2005). Klasifikasi Diabetes Melitus

berdasarkan etiologinya dapat dilihat pada tabel 1.

2.1.3 Patofisiologi

A. Diabetes Mellitus Tipe 1

Diabetes tipe ini merupakan diabetes yang jarang atau sedikit populasinya,

diperkirakan kurang dari 5-10% dari keseluruhan populasi penderita diabetes.

Page 11: DM Tipe II + Abses Pedis Kel 1

Gangguan produksi insulin pada DM Tipe 1 umumnya terjadi karena kerusakan

sel-sel β pulau Langerhans yang disebabkan oleh reaksi otoimun. Namun ada pula

yang disebabkan oleh bermacam-macam virus, diantaranya virus Cocksakie,

Rubella, CMVirus, Herpes, dan lain sebagainya. Ada beberapa tipe otoantibodi

yang dihubungkan dengan DM Tipe 1, antara lain ICCA (Islet Cell Cytoplasmic

Antibodies), ICSA (Islet cell surface antibodies), dan antibodi terhadap GAD

(glutamic acid decarboxylase) (Depkes, 2005).

ICCA merupakan otoantibodi utama yang ditemukan pada penderita DM

Tipe 1. Hampir 90% penderita DM Tipe 1 memiliki ICCA di dalam darahnya. Di

dalam tubuh non-diabetik, frekuensi ICCA hanya 0,5-4%. Oleh sebab itu,

keberadaan ICCA merupakan prediktor yang cukup akurat untuk DM Tipe 1.

ICCA tidak spesifik untuk sel-sel β pulau Langerhans saja, tetapi juga dapat

dikenali oleh sel-sel lain yang terdapat di pulau Langerhans (Depkes, 2005).

Sebagaimana diketahui, pada pulau Langerhans kelenjar pancreas terdapat

beberapa tipe sel, yaitu sel β, sel α dan sel δ. Sel-sel β memproduksi insulin, sel-

sel α memproduksi glukagon, sedangkan sel-sel δ memproduksi hormon

somatostatin. Namun demikian, nampaknya serangan otoimun secara selektif

menghancurkan sel-sel β. Ada beberapa anggapan yang menyatakan bahwa

tingginya titer ICCA di dalam tubuh penderita DM Tipe 1 justru merupakan

respons terhadap kerusakan sel-sel β yang terjadi, jadi lebih merupakan akibat,

bukan penyebab terjadinya kerusakan sel-sel β pulau Langerhans. Apakah

merupakan penyebab atau akibat, namun titer ICCA makin lama makin menurun

sejalan dengan perjalanan penyakit (Depkes, 2005).

Otoantibodi terhadap antigen permukaan sel atau Islet Cell Surface

Antibodies (ICSA) ditemukan pada sekitar 80% penderita DM Tipe 1. Sama

seperti ICCA, titer ICSA juga makin menurun sejalan dengan lamanya waktu

(Depkes, 2005).

Beberapa penderita DM Tipe 2 ditemukan positif ICSA. Otoantibodi

terhadap enzim glutamat dekarboksilase (GAD) ditemukan pada hampir 80%

pasien yang baru didiagnosis sebagai positif menderita DM Tipe 1. Sebagaimana

halnya ICCA dan ICSA, titer antibodi anti-GAD juga makin lama makin menurun

Page 12: DM Tipe II + Abses Pedis Kel 1

sejalan dengan perjalanan penyakit. Keberadaan antibodi anti-GAD merupakan

prediktor kuat untuk DM Tipe 1, terutama pada populasi risiko tinggi (Depkes,

2005).

Di samping ketiga otoantibodi yang sudah dijelaskan di atas, ada beberapa

otoantibodi lain yang sudah diidentifikasikan, antara lain IAA (Anti-Insulin

Antibody). IAA ditemukan pada sekitar 40% anak-anak yang menderita DM Tipe

1. IAA bahkan sudah dapat dideteksi dalam darah pasien sebelum onset terapi

insulin (Depkes, 2005).

Destruksi otoimun dari sel-sel β pulau Langerhans kelenjar pancreas

langsung mengakibatkan defisiensi sekresi insulin. Defisiensi insulin inilah yang

menyebabkan gangguan metabolisme yang menyertai DM Tipe 1. Selain

defisiensi insulin, fungsi sel-sel α kelenjar pankreas pada penderita DM Tipe 1

juga menjadi tidak normal. Pada penderita DM Tipe 1 ditemukan sekresi

glukagon yang berlebihan oleh sel-sel α pulau Langerhans. Secara normal,

hiperglikemia akan menurunkan sekresi glukagon, namun pada penderita DM

Tipe 1 hal ini tidak terjadi, sekresi glukagon tetap tinggi walaupun dalam keadaan

hiperglikemia. Hal ini memperparah kondisi hiperglikemia. Salah satu manifestasi

dari keadaan ini adalah cepatnya penderita DM Tipe 1 mengalami ketoasidosis

diabetik apabila tidak mendapat terapi insulin. Apabila diberikan terapi

somatostatin untuk menekan sekresi glukagon, maka akan terjadi penekanan

terhadap kenaikan kadar gula dan badan keton. Salah satu masalah jangka panjang

pada penderita DM Tipe 1 adalah rusaknya kemampuan tubuh untuk mensekresi

glukagon sebagai respon terhadap hipoglikemia. Hal ini dapat menyebabkan

timbulnya hipoglikemia yang dapat berakibat fatal pada penderita DM Tipe 1

yang sedang mendapat terapi insulin (Depkes, 2005).

Walaupun defisiensi sekresi insulin merupakan masalah utama pada DM

Tipe 1, namun pada penderita yang tidak dikontrol dengan baik, dapat terjadi

penurunan kemampuan sel-sel sasaran untuk merespons terapi insulin yang

diberikan. Ada beberapa mekanisme biokimia yang dapat menjelaskan hal ini,

salah satu diantaranya adalah, defisiensi insulin menyebabkan meningkatnya asam

lemak bebas di dalam darah sebagai akibat dari lipolisis yang tak terkendali di

Page 13: DM Tipe II + Abses Pedis Kel 1

jaringan adiposa. Asam lemak bebas di dalam darah akan menekan metabolisme

glukosa di jaringan-jaringan perifer seperti misalnya di jaringan otot rangka,

dengan perkataan lain akan menurunkan penggunaan glukosa oleh tubuh (Depkes,

2005).

Defisiensi insulin juga akan menurunkan ekskresi dari beberapa gen yang

diperlukan sel-sel sasaran untuk merespons insulin secara normal, misalnya gen

glukokinase di hati dan gen GLUT4 (protein transporter yang membantu transpor

glukosa di sebagian besar jaringan tubuh) di jaringan adipose (Depkes, 2005).

B. Diabetes Mellitus Tipe 2

Diabetes Tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih umum, lebih banyak

penderitanya dibandingkan dengan DM Tipe 1. Penderita DM Tipe 2 mencapai

90-95% dari keseluruhan populasi penderita diabetes, umumnya berusia di atas 45

tahun, tetapi akhir-akhir ini penderita DM Tipe 2 di kalangan remaja dan anak-

anak populasinya meningkat (Depkes, 2005).

Etiologi DM Tipe 2 merupakan multifaktor yang belum sepenuhnya

terungkap dengan jelas. Faktor genetik dan pengaruh lingkungan cukup besar

dalam menyebabkan terjadinya DM tipe 2, antara lain obesitas, diet tinggi lemak

dan rendah serat, serta kurang gerak badan (Depkes, 2005).

Obesitas atau kegemukan merupakan salah satu faktor pradisposisi utama.

Penelitian terhadap mencit dan tikus menunjukkan bahwa ada hubungan antara

gen-gen yang bertanggung jawab terhadap obesitas dengan gen-gen yang

merupakan faktor pradisposisi untuk DM Tipe 2 (Depkes, 2005).

Berbeda dengan DM Tipe 1, pada penderita DM Tipe 2, terutama yang

berada pada tahap awal, umumnya dapat dideteksi jumlah insulin yang cukup di

dalam darahnya, disamping kadar glukosa yang juga tinggi. Jadi, awal

patofisiologis DM Tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, tetapi

karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tak mampu merespon insulin secara

normal. Keadaan ini lazim disebut sebagai “Resistensi Insulin” (Depkes, 2005).

Resistensi insulin banyak terjadi di negara-negara maju seperti Amerika

Serikat, antara lain sebagai akibat dari obesitas, gaya hidup kurang gerak

(sedentary), dan penuaan. Di samping resistensi insulin, pada penderita DM Tipe

Page 14: DM Tipe II + Abses Pedis Kel 1

2 dapat juga timbul gangguan sekresi insulin dan produksi glukosa hepatik yang

berlebihan. Namun demikian, tidak terjadi pengrusakan sel-sel β Langerhans

secara otoimun sebagaimana yang terjadi pada DM Tipe 1. Dengan demikian

defisiensi fungsi insulin pada penderita DM Tipe 2 hanya bersifat relatif, tidak

absolut. Oleh sebab itu dalam penanganannya umumnya tidak memerlukan terapi

pemberian insulin (Depkes, 2005).

Sel-sel β kelenjar pankreas mensekresi insulin dalam dua fase. Fase

pertama sekresi insulin terjadi segera setelah stimulus atau rangsangan glukosa

yang ditandai dengan meningkatnya kadar glukosa darah, sedangkan sekresi fase

kedua terjadi sekitar 20 menit sesudahnya. Pada awal perkembangan DM Tipe 2,

sel-sel β menunjukkan gangguan pada sekresi insulin fase pertama, artinya sekresi

insulin gagal mengkompensasi resistensi insulin Apabila tidak ditangani dengan

baik, pada perkembangan penyakit selanjutnya penderita DM Tipe 2 akan

mengalami kerusakan sel-sel β pankreas yang terjadi secara progresif, yang

seringkali akan mengakibatkan defisiensi insulin, sehingga akhirnya penderita

memerlukan insulin eksogen (Depkes, 2005).

Penelitian mutakhir menunjukkan bahwa pada penderita DM Tipe 2

umumnya ditemukan kedua faktor tersebut, yaitu resistensi insulin dan defisiensi

insulin.

Berdasarkan uji toleransi glukosa oral, penderita DM Tipe 2 dapat dibagi

menjadi 4 kelompok:

a. Kelompok yang hasil uji toleransi glukosanya normal

b. Kelompok yang hasil uji toleransi glukosanya abnormal, disebut juga Diabetes

Kimia (Chemical Diabetes)

c. Kelompok yang menunjukkan hiperglikemia puasa minimal (kadar glukosa

plasma puasa < 140 mg/dl)

d. Kelompok yang menunjukkan hiperglikemia puasa tinggi (kadar glukosa

plasma puasa > 140 mg/dl).

Secara ringkas, perbedaan DM Tipe1 dengan DM Tipe 2 adalah sebagai

berikut:

Page 15: DM Tipe II + Abses Pedis Kel 1

Tabel 2. Perbedaan DM Tipe 1 dan Tipe 2

2.1.4 Faktor Resiko

Setiap orang yang memiliki satu atau lebih faktor risiko diabetes

selayaknya waspada akan kemungkinan dirinya mengidap diabetes. Para petugas

kesehatan, dokter, apoteker dan petugas kesehatan lainnya pun sepatutnya

memberi perhatian kepada orang-orang seperti ini, dan menyarankan untuk

melakukan beberapa pemeriksaan untuk mengetahui kadar glukosa darahnya agar

tidak terlambat memberikan bantuan penanganan. Karena makin cepat kondisi

diabetes melitus diketahui dan ditangani, makin mudah untuk mengendalikan

kadar glukosa darah dan mencegah komplikasi-komplikasi yang mungkin terjadi.

Beberapa faktor risiko untuk diabetes melitus, terutama untuk DM Tipe 2, dapat

dilihat pada tabel 3 berikut ini (Depkes, 2005).

Tabel. 3 Faktor Resiko Diabetes Mellitus Tipe 2

Page 16: DM Tipe II + Abses Pedis Kel 1

2.1.5 Gejala Klinis

Diabetes seringkali muncul tanpa gejala. Namun demikian ada beberapa

gejala yang harus diwaspadai sebagai isyarat kemungkinan diabetes. Gejala tipikal

yang sering dirasakan penderita diabetes antara lain poliuria (sering buang air

kecil), polidipsia (sering haus), dan polifagia (banyak makan/mudah lapar). Selain

itu sering pula muncul keluhan penglihatan kabur, koordinasi gerak anggota tubuh

terganggu, kesemutan pada tangan atau kaki, timbul gatal-gatal yang seringkali

sangat mengganggu (pruritus), dan berat badan menurun tanpa sebab yang jelas

(Depkes, 2005).

Pada DM Tipe I gejala klasik yang umum dikeluhkan adalah poliuria,

polidipsia, polifagia, penurunan berat badan, cepat merasa lelah (fatigue),

iritabilitas, dan pruritus (gatal-gatal pada kulit).

Pada DM Tipe 2 gejala yang dikeluhkan umumnya hampir tidak ada. DM

Tipe 2 seringkali muncul tanpa diketahui, dan penanganan baru dimulai

beberapa tahun kemudian ketika penyakit sudah berkembang dan

komplikasi sudah terjadi. Penderita DM Tipe 2 umumnya lebih mudah

terkena infeksi, sukar sembuh dari luka, daya penglihatan makin buruk,

dan umumnya menderita hipertensi, hiperlipidemia, obesitas, dan juga

komplikasi pada pembuluh darah dan syaraf.

2.1.6 Diagnosis

Diagnosis klinis DM umumnya dapat dipertimbangkan bila ada keluhan

khas berupa poliuria, polidipsi, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak

dapat dijelaskan. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan oleh pasien adalah

lemah, kesemutan, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus

vulva pada wanita (Fauci et al, 2008).

Jika terdapat keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu ≥ 200

mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan kadar

glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dl juga digunakan sebagai patokan diagnosis DM.

Untuk kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah yang

baru satu kali saja abnormal belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis klinis

Page 17: DM Tipe II + Abses Pedis Kel 1

DM. Dilakukan pemeriksaan lebih lanjut dengan mendapatkan sekali lagi angka

abnormal, baik kadar glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dl, kadar glukosa darah

sewaktu ≥ 200 mg/dl pada hari yang lain atau dari hasil tes toleransi glukosa oral

(TTGO) yang abnormal (Fauci et al, 2008).

Kriteria diagnostik DM adalah sebagai berikut (Fauci et al, 2008):

a. Kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) ≥ 200 mg/dl, atau

b. Kadar glukosa darah puasa (plasma vena) ≥ 126 mg/dl (puasa berarti

tidak ada asupan kalori sejak 10 jam terakhir), atau

c. kadar glukosa plasma ≥ 200 mg/dl pada 2 jam sesudah beban glukosa

75 gram pada TTGO.

Beberapa penelitian mengatakan bahwa hemoglobin A1C (Hb A1C)

merupakan tanda diagnostik DM. meskipun memang terdapat korelasi yang kuat

antara A1C dengan glukosa plasma, namun hubungan antar glukosa darah puasa

dan A1C pada seseorang yang mengalami toleransi glukosa normal atau

intoleransi glukosa ringan masih kurang jelas, sehingga penggunaan A1C belum

direkomendasikan untuk menegakkan diagnosis diabetes.

Tes hemoglobin terglikosilasi disingkat sebagai A1C merupakan cara

untuk menilai efek perubahan terapi 8-12 minggu sebelumnya. Tes ini dapat

digunakan untuk menilai hasil pengobatan jangka pendek. Pemeriksaan A1C

dianjurkan dilakukan minimal 2 kali dalam setahun (Fauci et al, 2008).

Untuk menegakkan diagnosis DM Tipe 1, perlu dilakukan konfirmasi

dengan hasil uji toleransi glukosa oral. Kurva toleransi glukosa penderita DM

Tipe 1 menunjukkan pola yang berbeda dengan orang normal sebagaimana yang

ditunjukkan dalam gambar 1(Depkes, 2005)

Page 18: DM Tipe II + Abses Pedis Kel 1

Gambar 1. Kurva Toleransi Glukosa normal dan pada pasien DM Tipe 1.

Garis titik-titik menunjukkan kisaran kadar glukosa darah normal.

2.1.7 Tatalaksana

Penatalaksanaan diabetes mempunyai tujuan akhir untuk menurunkan

morbiditas dan mortalitas DM, yang secara spesifik ditujukan untuk mencapai 2

target utama, yaitu:

1. Menjaga agar kadar glukosa plasma berada dalam kisaran normal

2. Mencegah atau meminimalkan kemungkinan terjadinya komplikasi diabetes.

The American Diabetes Association (ADA) merekomendasikan beberapa

parameter yang dapat digunakan untuk menilai keberhasilan penatalaksanaan

diabetes sebagai berikut (Depkes, 2005).

Tabel 4. Target Penalataksanaan Diabetes

Parameter Kadar Ideal yang diharapkanKadar Glukosa Darah PuasaKadar Glukosa Plasma PuasaKadar Glukosa Darah Saat TidurKadar Glukosa Plasma Saat TidurKadar InsulinKadar HbA1CKadar Kolesterol HDL

Kadar TrigliseridaTekanan Darah

80-120 mg/dl90-130 mg/dl100-140 mg/dl110-150 mg/dl<7%<7 mg/dl>45 mg/dl (Pria)>55 mg/dl (Wanita)<200 mg/dl<130/80 mg/dl

Page 19: DM Tipe II + Abses Pedis Kel 1

Pada dasarnya ada dua pendekatan dalam penatalaksanaan diabetes,yang

pertama pendekatan tanpa obat dan yang kedua adalah pendekatan dengan obat.

Dalam penatalaksanaan DM, langkah pertama yang harus dilakukan adalah

penatalaksanaan tanpa obat berupa pengaturan diet dan olah raga. Apabila dengan

langkah pertama ini tujuan penatalaksanaan belum tercapai, dapat dikombinasikan

dengan langkah farmakologis berupa terapi insulin atau terapi obat hipoglikemik

oral, atau kombinasi keduanya.

Bersamaan dengan itu, apa pun langkah penatalaksanaan yang

diambil,satu faktor yang tak boleh ditinggalkan adalah penyuluhan atau konseling

pada penderita diabetes oleh para praktisi kesehatan, baik dokter, apoteker, ahli

gizi maupun tenaga medis lainnya (Depkes, 2005)

Terapi non Farmakologi

a. Terapi Diet

Diet yang baik merupakan kunci keberhasilan penatalaksanaan diabetes.

Diet yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam

hal karbohidrat, protein dan lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik sebagai

berikut (Depkes, 2005):

Karbohidrat : 60-70%

Protein : 10-15%

Lemak : 20-25%

Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres

akut dan kegiatan fisik, yang pada dasarnya ditujukan untuk mencapai dan

mempertahankan berat badan ideal. Penurunan berat badan telah dibuktikan dapat

mengurangi resistensi insulin dan memperbaiki respons sel-sel β terhadap

stimulus glukosa. Dalam salah satu penelitian dilaporkan bahwa penurunan 5%

berat badan dapat mengurangi kadar HbA1c sebanyak 0,6% (HbA1c adalah salah

satu parameter status DM), dan setiap kilogram penurunan berat badan

dihubungkan dengan 3-4 bulan tambahan waktu harapan hidup. Selain jumlah

kalori, pilihan jenis bahan makanan juga sebaiknya diperhatikan. Masukan

kolesterol tetap diperlukan, namun jangan melebihi 300 mg per hari. Sumber

lemak diupayakan yang berasal dari bahan nabati, yang mengandung lebih banyak

Page 20: DM Tipe II + Abses Pedis Kel 1

asam lemak tak jenuh dibandingkan asam lemak jenuh. Sebagai sumber protein

sebaiknya diperoleh dari ikan, ayam (terutama daging dada), tahu dan tempe,

karena tidak banyak mengandung lemak. Masukan serat sangat penting bagi

penderita diabetes, diusahakan paling tidak 25 g per hari. Disamping akan

menolong menghambat penyerapan lemak, makanan berserat yang tidak dapat

dicerna oleh tubuh juga dapat membantu mengatasi rasa lapar yang kerap

dirasakan penderita DM tanpa risiko masukan kalori yang berlebih. Disamping itu

makanan sumber serat seperti sayur dan buah-buahan segar umumnya kaya akan

vitamin dan mineral (Depkes, 2005).

b. Olah Raga

Berolah raga secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar gula

darah tetap normal. Saat ini ada dokter olah raga yang dapat dimintakan

nasihatnya untuk mengatur jenis dan porsi olah raga yang sesuai untuk penderita

diabetes. Prinsipnya, tidak perlu olah raga berat, olahraga ringan asal dilakukan

secara teratur akan sangat bagus pengaruhnya bagi kesehatan. Olahraga yang

disarankan adalah yang bersifat CRIPE (Continuous, Rhytmical, Interval,

Progressive, Endurance Training). Sedapat mungkin mencapai zona sasaran 75-

85% denyut nadi maksimal (220-umur), disesuaikan dengan kemampuan dan

kondisi penderita. Beberapa contoh olahraga yang disarankan, antara lain jalan

atau lari pagi, bersepeda, berenang dan lain sebagainya. Olahraga aerobik ini

paling tidak dilakukan selama total 30-40 menit per hari didahului dengan

pemanasan 5-10 menit dan diakhiri pendinginan antara 5-10 menit. Olahraga akan

memperbanyak jumlah dan meningkatkan aktivitas reseptor insulin dalam tubuh

dan juga meningkatkan penggunaan glukosa (Depkes, 2005).

c. Terapi ObatApabila penatalaksanaan terapi tanpa obat (pengaturan diet dan olahraga)

belum berhasil mengendalikan kadar glukosa darah penderita, maka perlu

dilakukan langkah berikutnya berupa penatalaksanaan terapi obat, baik dalam

bentuk terapi obat hipoglikemik oral, terapi insulin, atau kombinasi keduanya

(Depkes, 2005).

Page 21: DM Tipe II + Abses Pedis Kel 1

Terapi Insulin

Terapi insulin merupakan satu keharusan bagi penderita DM Tipe 1. Pada

DM Tipe I, sel-sel β Langerhans kelenjar pankreas penderita rusak, sehingga tidak

lagi dapat memproduksi insulin. Sebagai penggantinya, maka penderita DM Tipe

I harus mendapat insulin eksogen untuk membantu agar metabolisme karbohidrat

di dalam tubuhnya dapat berjalan normal. Walaupun sebagian besar penderita DM

Tipe 2 tidak memerlukan terapi insulin, namun hampir 30% ternyata memerlukan

terapi insulin disamping terapi hipoglikemik oral (Depkes, 2005).

Pengendalian Sekresi Insulin

Pada prinsipnya, sekresi insulin dikendalikan oleh tubuh untuk

menstabilkan kadar gula darah. Apabila kadar gula di dalam darah tinggi, sekresi

insulin akan meningkat. Sebaliknya, apabila kadar gula darah rendah, maka

sekresi insulin juga akan menurun. Dalam keadaan normal, kadar gula darah di

bawah 80 mg/dl akan menyebabkan sekresi insulin menjadi sangat rendah

(Depkes, 2005).

Stimulasi sekresi insulin oleh peningkatan kadar glukosa darah

berlangsung secara bifasik. Fase 1 akan mencapai puncak setelah 2-4 menit dan

masa kerja pendek, sedangkan mula kerja (onset) fase 2 berlangsung lebih lambat,

namun dengan lama kerja (durasi) yang lebih lama pula (Depkes, 2005).

Gambar berikut ini menunjukkan pengaruh pemberian infus glukosa

terhadap kadar insulin darah. Infus glukosa diberikan untuk mempertahankan

kadar gula darah tetap tinggi (lebih kurang 2 sampai 3 kali kadar gula puasa

selama 1 jam). Segera setelah infus diberikan kadar insulin darah mulai meningkat

secara dramatis dan mencapai puncak setelah 2-4 menit. Peningkatan kadar

insulin fase 1 ini berasal dari sekresi insulin yang sudah tersedia di dalam granula

sekretori. Peningkatan kadar insulin fase 2 berlangsung lebih lambat namun

mampu bertahan lama. Peningkatan fase 2 ini merefleksikan sekresi insulin yang

baru disintesis dan segera disekresikan oleh sel-sel b kelenjar pankreas. Jadi jelas

bahwa stimulus glukosa tidak hanya menstimulasi sekresi insulin tetapi juga

menstimulasi ekspresi gen insulin (Depkes, 2005).

Page 22: DM Tipe II + Abses Pedis Kel 1

Disamping kadar gula darah dan hormon-hormon saluran cerna, ada

beberapa faktor lain yang juga dapat menjadi pemicu sekresi insulin, antara lain

kadar asam lemak, benda keton dan asam amino di dalam darah, kadar hormon-

hormon kelenjar pankreas lainnya, serta neurotransmiter otonom (Depkes, 2005).

Kadar asam lemak, benda keton dan asam amino yang tinggi di dalam

darah akan meningkatkan sekresi insulin.

Gambar 2. Pengaruh pemberian infus glukosa terhadap kadar insulin darah

Dalam keadaan stres, yaitu keadaan dimana terjadi perangsangan syaraf

simpato adrenal, hormon epinefrin bukan hanya meninggikan kadar glukosa darah

dengan memacu glikogenolisis, melainkan juga menghambat penggunaan glukosa

di sel-sel otot, jaringan lemak dan sel-sel lain yang penyerapan glukosanya

dipengaruhi insulin. Dengan demikian, glukosa darah akan lebih banyak tersedia

untuk metabolisme otak, yang penyerapan glukosanya tidak bergantung pada

insulin. Dalam keadaan stres, sel-sel otot terutama menggunakan asam lemak

sebagai sumber energi, dan epinefrin memang menyebabkan mobilisasi asam

lemak dari jaringan (Depkes, 2005).

Mekanisme Kerja Insulin

Insulin mempunyai peran yang sangat penting dan luas dalam

pengendalian metabolisme. Insulin yang disekresikan oleh sel-sel β pankreas akan

Page 23: DM Tipe II + Abses Pedis Kel 1

langsung diinfusikan ke dalam hati melalui vena porta, yang kemudian akan

didistribusikan ke seluruh tubuh melalui peredaran darah (Depkes, 2005).

Efek kerja insulin yang sudah sangat dikenal adalah membantu transpor

glukosa dari darah ke dalam sel. Kekurangan insulin menyebabkan glukosa darah

tidak dapat atau terhambat masuk ke dalam sel. Akibatnya, glukosa darah akan

meningkat, dan sebaliknya sel-sel tubuh kekurangan bahan sumber energi

sehingga tidak dapat memproduksi energi sebagaimana seharusnya (Depkes,

2005).

Disamping fungsinya membantu transport glukosa masuk ke dalam sel,

insulin mempunyai pengaruh yang sangat luas terhadap metabolisme, baik

metabolisme karbohidrat dan lipid, maupun metabolisme protein dan

mineral.insulin akan meningkatkan lipogenesis, menekan lipolisis, serta

meningkatkan transport asam amino masuk ke dalam sel. Insulin juga mempunyai

peran dalam modulasi transkripsi, sintesis DNA dan replikasi sel. Itu sebabnya,

gangguan fungsi insulin dapat menyebabkan pengaruh negatif dan komplikasi

yang sangat luas pada berbagai organ dan jaringan tubuh (Depkes, 2005).

Prinsip Terapi Insulin

Indikasi

Semua penderita DM Tipe 1 memerlukan insulin eksogen karena produksi

insulin endogen oleh sel-sel β kelenjar pankreas tidak ada atau hampir tidak

ada

Penderita DM Tipe 2 tertentu kemungkinan juga membutuhkan terapi insulin

apabila terapi lain yang diberikan tidak dapat mengendalikan kadar glukosa

darah

Keadaan stres berat, seperti pada infeksi berat, tindakan pembedahan, infark

miokard akut atau stroke

DM Gestasional dan penderita DM yang hamil membutuhkan terapi insulin,

apabila diet saja tidak dapat mengendalikan kadar glukosa darah.

Ketoasidosis diabetik

Page 24: DM Tipe II + Abses Pedis Kel 1

Insulin seringkali diperlukan pada pengobatan sindroma hiperglikemia

hiperosmolar non-ketotik

Penderita DM yang mendapat nutrisi parenteral atau yang memerlukan

suplemen tinggi kalori untuk memenuhi kebutuhan energi yang meningkat,

secara bertahap memerlukan insulin eksogen untuk mempertahankan kadar

glukosa darah mendekati normal selama periode resistensi insulin atau ketika

terjadi peningkatan kebutuhan insulin.

Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat

Kontra indikasi atau alergi terhadap OHO

Cara Pemberian

Sediaan insulin saat ini tersedia dalam bentuk obat suntik yang umumnya

dikemas dalam bentuk vial. Kecuali dinyatakan lain, penyuntikan dilakukan

subkutan (di bawah kulit). Lokasi penyuntikan yang disarankan ditunjukan pada

gambar 4 disamping ini. Penyerapan insulin dipengaruhi oleh beberapa hal.

Penyerapan paling cepat terjadi di daerah abdomen, diikuti oleh daerah lengan,

paha bagian atas dan bokong. Bila disuntikkan secara intramuskular dalam, maka

penyerapan akan terjadi lebih cepat, dan masa`kerjanya menjadi lebih singkat.

Kegiatan fisik yang dilakukan segera setelah penyuntikan akan mempercepat

waktu mula kerja (onset) dan juga mempersingkat masa kerja (Depkes, 2005).

Selain dalam bentuk obat suntik, saat ini juga tersedia insulin dalam

bentuk pompa (insulin pump) atau jet injector, sebuah alat yang akan

menyemprotkan larutan insulin ke dalam kulit. Sediaan insulin untuk disuntikkan

atau ditransfusikan langsung ke dalam vena juga tersedia untuk penggunaan di

klinik. Penelitian untuk menemukan bentuk baru sediaan insulin yang lebih

mudah diaplikasikan saat ini sedang giat dilakukan. Diharapkan suatu saat nanti

dapat ditemukan sediaan insulin per oral atau per nasal (Depkes, 2005).

Penggolongan Terapi Insulin

Untuk terapi, ada berbagai jenis sediaan insulin yang tersedia, yang

terutama berbeda dalam hal mula kerja (onset) dan masa kerjanya (duration).

Page 25: DM Tipe II + Abses Pedis Kel 1

Sediaan insulin untuk terapi dapat digolongkan menjadi 4 kelompok, yaitu

(Depkes, 2005):

1. Insulin masa kerja singkat (Short-acting/Insulin), disebut juga insulin reguler

2. Insulin masa kerja sedang (Intermediate-acting)

3. Insulin masa kerja sedang dengan mula kerja cepat

4. Insulin masa kerja panjang (Long-acting insulin)

Tabel 5. Penggolongan sediaan insulin berdasarkan mula dan masa kerja

Respon individual terhadap terapi insulin cukup beragam, oleh sebab itu

jenis sediaan insulin mana yang diberikan kepada seorang penderita dan berapa

frekuensi penyuntikannya ditentukan secara individual, bahkan seringkali

memerlukan penyesuaian dosis terlebih dahulu. Umumnya, pada tahap awal

diberikan sediaan insulin dengan kerja sedang, kemudian ditambahkan insulin

dengan kerja singkat untuk mengatasi hiperglikemia setelah makan. Insulin kerja

singkat diberikan sebelum makan, sedangkan Insulin kerja sedang umumnya

diberikan satu atau dua kali sehari dalam bentuk suntikan subkutan. Namun,

karena tidak mudah bagi penderita untuk mencampurnya sendiri, maka tersedia

sediaan campuran tetap dari kedua jenis insulin regular (R) dan insulin kerja

sedang (NPH) (Depkes, 2005).

Waktu paruh insulin pada orang normal sekitar 5-6 menit, tetapi

memanjang pada penderita diabetes yang membentuk antibodi terhadap insulin.

Insulin dimetabolisme terutama di hati, ginjal dan otot. Gangguan fungsi ginjal

yang berat akan mempengaruhi kadar insulin di dalam darah (Depkes, 2005).

Tabel 6. Sediaan insulin yang beredar di Indonesia

Page 26: DM Tipe II + Abses Pedis Kel 1

Terapi Obat Hipoglikemi Oral

Obat-obat hipoglikemik oral terutama ditujukan untuk membantu

penanganan pasien DM Tipe II. Pemilihan obat hipoglikemik oral yang tepat

sangat menentukan keberhasilan terapi diabetes. Bergantung pada tingkat

keparahan penyakit dan kondisi pasien, farmakoterapi hipoglikemik oral dapat

dilakukan dengan menggunakan satu jenis obat atau kombinasi dari dua jenis

obat. Pemilihan dan penentuan rejimen hipoglikemik yang digunakan harus

mempertimbangkan tingkat keparahan diabetes (tingkat glikemia) serta kondisi

kesehatan pasien secara umum termasuk penyakit-penyakit lain dan komplikasi

yang ada (Depkes, 2005).

Page 27: DM Tipe II + Abses Pedis Kel 1

Penggolongan OHO

Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat-obat hipoglikemik oral dapat

dibagi menjadi 3 golongan, yaitu (Depkes, 2005):

a) Obat-obat yang meningkatkan sekresi insulin, meliputi obat hipoglikemik oral

golongan sulfonilurea dan glinida (meglitinida dan turunan fenilalanin).

b) Sensitiser insulin (obat-obat yang dapat meningkatkan sensitifitas sel terhadap

insulin), meliputi obat-obat hipoglikemik golongan biguanida dan

tiazolidindion, yang dapat membantu tubuh untuk memanfaatkan insulin

secara lebih efektif.

c) Inhibitor katabolisme karbohidrat, antara lain inhibitor α-glukosidase yang

bekerja menghambat absorpsi glukosa dan umum digunakan untuk

mengendalikan hiperglikemia post-prandial (post-meal hyperglycemia).

Disebut juga “starch-blocker”.

Tabel 7. Penggolongan obat hipoglikemik oral

Hal yang Perlu Diperhatikan dalam Penggunaan OHO

1. Dosis selalu harus dimulai dengan dosis rendah yang kemudian dinaikkan

secara bertahap.

Page 28: DM Tipe II + Abses Pedis Kel 1

2. Harus diketahui betul bagaimana cara kerja, lama kerja dan efek samping

obat-obat tersebut.

3. Bila diberikan bersama obat lain, pikirkan kemungkinan adanya interaksi

obat.

4. Pada kegagalan sekunder terhadap obat hipoglikemik oral, usahakanlah

menggunakan obat oral golongan lain, bila gagal lagi, baru pertimbangkan

untuk beralih pada insulin.

5. Hipoglikemia harus dihindari terutama pada penderita lanjut usia, oleh

sebab itu sebaiknya obat hipoglikemik oral yang bekerja jangka panjang

tidak diberikan pada penderita lanjut usia.

6. Usahakan agar harga obat terjangkau oleh penderita.

Terapi Kombinasi

Pada keadaan tertentu diperlukan terapi kombinasi dari beberapa OHO

atau OHO dengan insulin. Kombinasi yang umum adalah antara golongan

sulfonilurea dengan biguanida. Sulfonilurea akan mengawali dengan merangsang

sekresi pankreas yang memberikan kesempatan untuk senyawa biguanida bekerja

efektif. Kedua golongan obat hipoglikemik oral ini memiliki efek terhadap

sensitivitas reseptor insulin, sehingga kombinasi keduanya mempunyai efek saling

menunjang. Pengalaman menunjukkan bahwa kombinasi kedua golongan ini

dapat efektif pada banyak penderita diabetes yang sebelumnya tidak bermanfaat

bila dipakai sendiri-sendiri (Soegondo, 2005).

2.1.8 Komplikasi

Diabetes yang tidak terkontrol dengan baik dapat menimbulkan

komplikasi akut dan kronis. Berikut ini akan diuraikan beberapa komplikasi yang

sering terjadi dan harus diwaspadai.

HIPOGLIKEMIA

Sindrom hipoglikemia ditandai dengan gejala klinis penderita merasa

pusing, lemas, gemetar, pandangan berkunang-kunang, pitam (pandangan menjadi

Page 29: DM Tipe II + Abses Pedis Kel 1

gelap), keluar keringat dingin, detak jantung meningkat, sampai hilang kesadaran.

Apabila tidak segera ditolong dapat terjadi kerusakan otak dan akhirnya kematian.

Pada hipoglikemia, kadar glukosa plasma penderita kurang dari 50 mg/dl,

walaupun ada orang-orang tertentu yang sudah menunjukkan gejala hipoglikemia

pada kadar glukosa plasma di atas 50 mg/dl. Kadar glukosa darah yang terlalu

rendah menyebabkan sel-sel otak tidak mendapat pasokan energy sehingga tidak

dapat berfungsi bahkan dapat rusak (Depkes, 2005).

Hipoglikemia lebih sering terjadi pada penderita diabetes tipe 1, yang

dapat dialami 1 – 2 kali perminggu. Dari hasil survei yang pernah dilakukan di

Inggris diperkirakan 2 – 4% kematian pada penderita diabetes tipe 1 disebabkan

oleh serangan hipoglikemia. Pada penderita diabetes tipe 2, serangan hipoglikemia

lebih jarang terjadi, meskipun penderita tersebut mendapat terapi insulin (Depkes,

2005).

Serangan hipoglikemia pada penderita diabetes umumnya terjadi apabila penderita

(Depkes, 2005):

Lupa atau sengaja meninggalkan makan (pagi, siang atau malam)

Makan terlalu sedikit, lebih sedikit dari yang disarankan oleh dokter atau

ahli gizi

Berolah raga terlalu berat

Mengkonsumsi obat antidiabetes dalam dosis lebih besar dari pada

Seharusnya

Minum alcohol

Stress

Mengkonsumsi obat-obatan lain yang dapat meningkatkan risiko

hipoglikemia

Disamping penyebab di atas pada penderita DM perlu diperhatikan apabila

penderita mengalami hipoglikemik, kemungkinan penyebabnya adalah:

a) Dosis insulin yang berlebihan

b) Saat pemberian yang tidak tepat

c) Penggunaan glukosa yang berlebihan misalnya olahraga anaerobic berlebihan

Page 30: DM Tipe II + Abses Pedis Kel 1

d) Faktor-faktor lain yang dapat meningkatkan kepekaan individu terhadap

insulin, misalnya gangguan fungsi adrenal atau hipofisis.

HIPERGLIKEMIA

Hiperglikemia adalah keadaan dimana kadar gula darah melonjak secara

tiba-tiba. Keadaan ini dapat disebabkan antara lain oleh stress, infeksi, dan

konsumsi obat-obatan tertentu. Hiperglikemia ditandai dengan poliuria, polidipsia,

polifagia, kelelahan yang parah (fatigue), dan pandangan kabur. Apabila diketahui

dengan cepat, hiperglikemia dapat dicegah tidak menjadi parah. Hipergikemia

dapat memperburuk gangguan-gangguan kesehatan seperti gastroparesis,

disfungsi ereksi, dan infeksi jamur pada vagina. Hiperglikemia yang berlangsung

lama dapat berkembang menjadi keadaan metabolisme yang berbahaya, antara

lain ketoasidosis diabetik (Diabetic Ketoacidosis = DKA) dan (HHS), yang

keduanya dapat berakibat fatal dan membawa kematian. Hiperglikemia dapat

dicegah dengan kontrol kadar gula darah yang ketat (Depkes, 2005).

KOMPLIKASI MAKROVASKULAR

tiga jenis komplikasi makrovaskular yang umum berkembang pada

penderita diabetes adalah penyakit jantung koroner (coronary heart disease =

CAD), penyakit pembuluh darah otak, dan penyakit pembuluh darah perifer

(peripheral vascular disease = PVD). Walaupun komplikasi makrovaskular dapat

juga terjadi pada DM tipe 1, namun yang lebih sering merasakan komplikasi

makrovaskular ini adalah penderita DM tipe 2 yang umumnya menderita

hipertensi, dislipidemia dan atau kegemukan. Kombinasi dari penyakit-penyakit

komplikasi makrovaskular dikenal dengan berbagai nama, antara lain Syndrome

X, Cardiac Dysmetabolic Syndrome, Hyperinsulinemic Syndrome, atau Insulin

Resistance Syndrome (Depkes, 2005).

Karena penyakit-penyakit jantung sangat besar risikonya pada penderita

diabetes, maka pencegahan komplikasi terhadap jantung harus dilakukan sangat

penting dilakukan, termasuk pengendalian tekanan darah, kadar kolesterol dan

lipid darah. Penderita diabetes sebaiknya selalu menjaga tekanan darahnya tidak

Page 31: DM Tipe II + Abses Pedis Kel 1

lebih dari 130/80 mm Hg. Untuk itu penderita harus dengan sadar mengatur gaya

hidupnya, termasuk mengupayakan berat badan ideal, diet dengan gizi seimbang,

berolah raga secara teratur, tidak merokok, mengurangi stress dan lain sebagainya

(Depkes, 2005).

KOMPLIKASI MIKROVASKULAR

Komplikasi mikrovaskular terutama terjadi pada penderita diabetes tipe 1.

Hiperglikemia yang persisten dan pembentukan protein yang terglikasi (termasuk

HbA1c) menyebabkan dinding pembuluh darah menjadi makin lemah dan rapuh

dan terjadi penyumbatan pada pembuluh-pembuluh darah kecil. Hal inilah yang

mendorong timbulnya komplikasi-komplikasi mikrovaskuler, antara lain

retinopati, nefropati, dan neuropati. Disamping karena kondisi hiperglikemia,

ketiga komplikasi ini juga dipengaruhi oleh factor genetik. Oleh sebab itu dapat

terjadi dua orang yang memiliki kondisi hiperglikemia yang sama, berbeda risiko

komplikasi mikrovaskularnya. Namun demikian prediktor terkuat untuk

perkembangan komplikasi mikrovaskular tetap lama (durasi) dan tingkat

keparahan diabetes (Depkes, 2005).

Satu-satunya cara yang signifikan untuk mencegah atau memperlambat

jalan perkembangan komplikasi mikrovaskular adalah dengan pengendalian kadar

gula darah yang ketat. Pengendalian intensif dengan menggunakan suntikan

insulin multi-dosis atau dengan pompa insulin yang disertai dengan monitoring

kadar gula darah mandiri dapat menurunkan risiko timbulnya komplikasi

mikrovaskular sampai 60% (Depkes, 2005).

Page 32: DM Tipe II + Abses Pedis Kel 1

2.2 Abses

2.2.1 Definisi

Abses merupakan kumpulan nanah yang terakumulasi di suatu tempat di

dalam tubuh. Hal ini terjadi akibat reaksi pertahanan tubuh karena adanya benda

asing (misalnya serpihan, luka peluru, atau jarum suntik) (Fauci et al, 2008).

Ketika benda asing masuk ke dalam jaringan yang sehat, maka akan terjadi

proses peradangan. Sebagian sel mati dan hancur, meninggalkan rongga yang

berisi jaringan dan sel-sel yang terinfeksi. Sel-sel darah putih yang merupakan

pertahanan tubuh dalam melawan infeksi, bergerak ke dalam rongga tersebut dan

setelah menelan bakteri, sel darah putih akan mati. Sel darah putih yang mati

inilah yang membentuk nanah, yang mengisi rongga tersebut. Akibat penimbunan

nanah ini, maka jaringan di sekitarnya akan terdorong. Jaringan pada akhirnya

tumbuh di sekeliling abses dan menjadi dinding pembatas abses; hal ini

merupakan mekanisme tubuh untuk mencegah penyebaran infeksi lebih lanjut.

Jika suatu abses pecah di dalam, maka infeksi bisa menyebar di dalam tubuh

maupun dibawah permukaan kulit, tergantung kepada lokasi abses (Meislin HW

& Guisto JA, 2006).

2.2.2 Manifestasi klinis

Karena abses merupakan salah satu manifestasi peradangan, maka tanda

dan gejala yang muncul adalah tanda dan gejala dari proses inflamasi, yakni:

kemerahan, panas, pembengkakan, rasa nyeri, dan hilangnya fungsi. Abses dapat

terjadi pada setiap jaringan solid, tetapi paling sering terjadi pada permukaan

kulit, pada paru-paru, otak, gigi, ginjal, dan tonsil. Komplikasi mayor abses

adalah penyebaran abses ke jaringan sekitar atau jaringan yang jauh dan kematian

jaringan setempat yang ekstensif (gangren) (Askandar, 2001).

Pada sebagian besar bagian tubuh, abses jarang dapat sembuh dengan

sendirinya, sehingga tindakan medis secepatnya diindikasikan. Suatu abses dapat

menimbulkan konsekuensi yang fatal (meskipun jarang) apabila abses tersebut

mendesak struktur yang vital, misalnya abses leher dalam yang dapat menekan

trakhea (Fauci et al, 2008).

Page 33: DM Tipe II + Abses Pedis Kel 1

2.2.3 Penatalaksanaan

Suatu abses tidak memiliki aliran darah, sehingga pemberian antibiotik

biasanya sia-sia. Antibiotik bisa diberikan setelah suatu abses mengering dan hal

ini dilakukan untuk mencegah kekambuhan. Antibiotik juga diberikan jika abses

menyebarkan infeksi ke bagian tubuh lainnya (Meislin HW & Guisto JA, 2006).

Suatu abses perlu diamati dengan teliti untuk mengidentifikasi

penyebabnya, terutama apabila disebabkan oleh benda asing, karena benda asing

tersebut harus diambil. Apabila tidak disebabkan oleh benda asing, biasanya

hanya perlu dipotong dan diambil absesnya, bersamaan dengan pemberian obat

analgesik dan mungkin juga antibiotik (Fauci et al, 2008).

Drainase abses dengan menggunakan pembedahan biasanya diindikasikan

apabila abses telah berkembang dari peradangan serosa yang keras menjadi tahap

nanah yang lebih lunak. Apabila menimbulkan risiko tinggi, misalnya pada area-

area yang kritis, tindakan pembedahan dapat ditunda atau dikerjakan sebagai

tindakan terakhir yang perlu dilakukan (Belkin et al, 2008).

Karena sering kali abses disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus,

antibiotik antistafilokokus seperti flucloxacillin atau dicloxacillin sering

digunakan. Dengan adanya kemunculan Staphylococcus aureus resisten

Methicillin (MRSA) yang didapat melalui komunitas, antibiotik biasa tersebut

menjadi tidak efektif. Untuk menangani MRSA yang didapat melalui komunitas,

digunakan antibiotik lain: clindamycin, trimethoprim-sulfamethoxazole, dan

doxycycline (Meislin HW & Guisto JA, 2006).

Page 34: DM Tipe II + Abses Pedis Kel 1

2.3 Ulkus Diabetikum

2.3.1 Definisi

Ulkus diabetikum adalah luka pada kaki yang merah kehitam-hitaman dan

berbau akibat adanya sumbatan yang terjadi di pembuluh sedang atau besar di

tungkai (Askandar, 2001).

2.3.2 Etiologi

Faktor-faktor yang berpengaruh atas terjadinya ulkus diabetikum dibagi

menjadi faktor endogen dan ekstrogen. Faktor endogen antara lain genetik,

metabolic, angiopati diabetic, dan neuropati diabetic. Sedangkan faktor ekstrogen

yaitu trauma, infeksi, dan obat (Fauci et al, 2008).

2.3.3 Patofisiologi

Ada dua teori utama mengenai terjadinya komplikasi kronik DM akibat

hiperglykemia yaitu teori sorbitol dan teori glikosilasi (Fauci et al, 2008).

Teori Sorbitol

Hyperglikemia akan menyebabkan penumpukan kadar glukosa pada sel

dan jaringan tertentu dan dapat mentransport glukosa tanpa insulin.

Glukosa yang berlebihan ini tidak akan termetabolisasi habis secara

normal melalui glikolisis, tetapi sebagian dengan perantaraan enzim aldose

reduktasi akan diubah menjadi sorbitol. Sorbitol akan menumpuk dan

menyebabkan kerusakan dan perubahan fungsi.

Teori Glikosilasi

Akibat hyperglikemia akan menyebabkan terjadinya glikosilasi pada

semua protein, terutama yang mengandung senyawa lisin. Terjadinya

proses glikosilasi pada protein membrane basal dapat menjelaskan semua

komplikasi baik makro maupun mikro vaskule.

Terjadinya ulkus diabetikum sendiri disebabkan oleh faktor-faktor yang

disebutkan dalam etiologi. Faktor utama yang berperan pada timbulnya ulkus

diabetikum adalah angipati, neuropati dan infeksi. Adanya neuropati perifer akan

menyebabkan hilang atau menurunnya sensai nyeri pada kaki, sehingga akan

Page 35: DM Tipe II + Abses Pedis Kel 1

mengalami trauma tanpa terasa yang mengakibatkan terjadinya ulkus pada kaki

gangguan motorik juga akan mengakibatkan terjadinya atrofi pada otot kaki

sehingga merubah titik tumpu yang menyebabkan ulsestrasi pada kaki klien.

Apabila sumbatan darah terjadi pada pembuluh darah yang lebnioh besar maka

penderita akan merasa sakit pada tungkainya sesudah ia berjalan pada jarak

tertentu. Adanya angiopati tersebut akan menyebabkan terjadinya penurunan

asupan nutrisi, oksigen serta antibiotika sehingga menyebabkan terjadinya luka

yang sukar sembuh (Askandar, 2001).

2.3.4 Manifestasi klinis

Ulkus diabetikum akibat mikriangiopatik disebut juga ulkus panas

walaupun nekrosis, daerah akral itu tampak merah dan terasa hangat oleh

peradangan dan biasanya teraba pulsasi arteri dibagian distal . Proses

mikroangipati menyebabkan sumbatan pembuluh darah, sedangkan secara akut

emboli membrikan gejala klinis 5 P yaitu (Fauci et al, 2008):

1. Pain (nyeri)

2. Paleness (kepucatan)

3. Paresthesia (kesemutan)

4. Pulselessness (denyut nadi hilang)

5. Paralysis (lumpuh)

Bila terjadi sumbatan kronik, akan timbul gambaran klinis menurut pola dari

fontaine :

1. Stadium I : asimptomatis atau gejala tidak khas (kesemutan)

2. Stadium II : terjadi klaudikasio intermiten

3. Stadium III : timbul nyeri saat istitrahat

4. Stadium IV : terjadinya kerusakan jaringan karena anoksia (ulkus)

2.3.5 Klasifikasi

Menurut berat ringannya lesi, kelainan ulkus diaberikum dibagi menjadi

enam derajat menurut Wagner, yaitu:

Page 36: DM Tipe II + Abses Pedis Kel 1

1. Derajat 0 : tidak ada lesi terbuka, kulit masih utuh dengan kemungkinan

disertai dengan kelainan bentuk kaki "claw,callus"

2. Derajat I : ulkus superficial terbatas pada kulit

3. Derajat II : ulkus dalam, menembus tendon atau tulang

4. Derajat III : abses dalam dengan atau tanpa osteomilitas

5. Derajat IV : ulkus pada jari kaki atau bagian distal kaki atau tanpa selulitas

6. Derajat V : ulkus pada seluruh kaki atau sebagian tungkai

2.3.6 Penatalaksanaan

Pengobatan ulkus diabetikum terdiri dari pengendalian diabetes dan

penanganan terhadap ulkus itu sendiri (Askandar, 2001).

a) Pengendalian Diabetes

Langkah awal penanganan pasien ulkus diabetikum adalah dengan melakukan

manajemen medis terhadap penyakit diabetes secara sistemik karena

kebanyakan pasien dengan ulkus diabetikum juga menerita mal nutrisi,

penyakit ginjal kronis dan infeksi kronis.

DM jika tidak dikelola dengan baik akan dapa menyebabkan terjadinya

berbagai komplikasi kronik diabetes salah satunya adalah terjadinya ulkus

diabetikum. Jika keadaan gula darah selalu dapat dikendalikan dengan baik

diharapkan semua komplikasi yang akan terjadi dapat dicegah paling tidak

dihambat.

Mengelola DM langkah yang harus dilakukan adalah pengelolaan non

farmakologis diantaranya perencanaan makanan dan kegiatan jasmani, baru

bila langkah tersebut belum tercapai dilanjutkan dengan langkah berikutnya

yaitu dengan pemberian obat atau disebut pengelolaan farmakologis.

b) Penanganan Ulkus diabetikum

Strategi pencegahan

Fokus pada penanganan ulkus diabetikum adalah pencegahan terjadinya

luka. Strategi yang dapat dilakukan meliputi edukasi kepada pasien,

perawtan kulit, kuku dan kaki serta pengunaan alas kaki yang dapat

melindungi. Pada penderita dengan resiko rendah boleh menggunakan

Page 37: DM Tipe II + Abses Pedis Kel 1

sepatu hanya saja sepatu yang digunakan jangan sampai sempit atau sesak.

Perawatan kuku yang dianjurkan pada penderita Resiko tinggi adalah kuku

harus dipotong secara tranversal untuk mencegah kuku yang tumbuh

kedalam dan merusak jaringan sekitar.

Penanganan Ulkus Diabetikum

Penangan ulkus diabetikum dapat dilakukan dalam berbagai tingkatan :

Tingkat 0

Penanganan pada tingkat ini meliputi edukasi kepada pasien tentang

bahaya dari ulkus dan cara pencegahan.

Tingkat I

Memerlukan debrimen jaringan nekrotik atau jaringan yang infeksius,

perawatan lokal luka dan pengurangan beban.

Tingkat II

Memerlukan debrimen antibiotic yang sesuai dengan hasil kultur,

perawatan luka dan pengurangan beban yang lebih berarti.

Tingkat III

Memerlukan debrimen yang sudah menjadi gangren, amputasi

sebagian, imobilisasi yang lebih ketat dan pemberian antibiotik

parenteral yang sesuai dengan kultur.

Tingkat IV

Pada tahap ini biasanya memerlukan tindakan amputasi sebagaian atau

seluruh kaki.

Page 38: DM Tipe II + Abses Pedis Kel 1

2.4 Tinjauan Tentang Farmakologis

1. Ringer Laktat (RL)

Ringer laktat (RL) merupakan cairan yang dapat diberikan pada kebutuhan

volume dalam jumlah besar. Keunggulan terpenting dari larutan RL adalah

komposisi elektrolit dan konsentrasinya yang sangat serupa dengan yang

dikandung cairan ekstraseluler. Natrium merupakan kation utama dari plasma

darah dan menentukan tekanan osmotik. Klorida merupakan anion utama di

plasma darah. Kalium merupakan kation terpenting di intraseluler dan berfungsi

untuk konduksi saraf dan otot. Elektrolit-elektrolit ini dibutuhkan untuk

menggantikan kehilangan cairan pada dehidrasi dan syok hipovolemik termasuk

syok perdarahan. Larutan RL tidak mengandung glukosa, sehingga bila akan

dipakai sebagai cairan rumatan, dapat ditambahkan glukosa yang berguna untuk

mencegah terjadinya ketosis (Tjay dan Raharja, 2002).

Komposisi dan sediaan: Kemasan larutan kristaloid RL yang beredar di

pasaran memiliki komposisi elektrolit Na+(130 mEq/L), Cl- (109 mEq/L), Ca+ (3

mEq/L), K+ dan laktat (28 mEq/L). Osmolaritasnya sebesar 273 mOsm/L. Sediaan

yang tersedia adalah 500 ml dan 1.000 ml.

Indikasi: mengembalikan keseimbangan elektrolit pada keadaan dehidrasi

dan syok hipovolemik.

Kontraindikasi: hipernatremia, kelainan ginjal, kerusakan sel hati,

asidosis laktat.

Efek samping: edema jaringan pada penggunaan dengan volume yang

besar, biasanya pada paru-paru. RL juga dapat menyebabkan hiperkloremia dan

asidosis metabolik, karena akan menyebabkan penumpukan asam laktat yang

tinggi akibat metabolisme anaerob. (Ganiswarna, S.G., dkk. 1995)

2. Cefotaxim

Cephalosporin generasi III yang berikatan dengan membran sel bakteri

dan menginhibisi sintesis dinding sel. Bersifat bakterisid.

Dosis dan sediaan: Vial 500 mg dan 1 gr IV/IM dewasa 1 gr 2x/hari,

bila infeksi ringan-sedang1-2 gr tiap 8 jam, bila infeksi berat 2 gr 3-4x/hari.

Page 39: DM Tipe II + Abses Pedis Kel 1

Anak berat badan >50kg 1-2 gr 3-4x/hari, 1 bulan-12 tahun, berat badan <50

kg 100-200 mg/kg/hari dibagi 3-4 dosis (Ellsworth, 2005; MIMS, 2008).

Farmakokinetik:

Absorbsi:-

Distribusi: didistribusi luas, termasuk CSF. Protein binding 30-

50%

Metabolisme: dimetabolisme di hati menjadi metabolit aktif

Ekskresi: melalui urine. T ½ 1 jam (Ellsworth, 2005).

Interaksi obat: Aminoglikosida dan loop diuretik meningkatkan efek

nefrotoksik, kloramfenikol menginhibisi cefotaxime, oral antikoagulan

menyebabkan hipoprotrombinemia (Ellsworth, 2005; MIMS, 2008).

Efek samping: Diare ringan, kram perut, jarang menimbulkan

rash,pruritus, urtikaria, kandidiasis oral atau vagina (Ellsworth, 2005; MIMS,

2008).

Perhatian: Hipersensitif penicillin, gangguan ginjal berat, riwayat penyakit

GIT terutama colitis, hamil dan laktasi (Ellsworth, 2005; MIMS, 2008).

3. Metronidazole

Antimikroba yang berfungsi sebagai terapi pada infeksi yang disebabkan

bakteri anaerob, trikomoniasid, dan amubisid terhadap Giardian lamblia serta

tindakan profilaksis pra dan pasca bedah.

Farmakokinetik : Absorbsi metronidazol baik melalui oral. Setelah

diberikan dosis tunggal 500 mg peroral akan diperoleh kadar plasma 10

mikrogram/mL. Untuk bakteri dan protozoa yang sensitif rata-rata diperlukan

kadar 8 mikrogram/mL. Waktu paruhnya 8 – 10 jam. Dalam beberapa kasus

dapat terjadi kegagalan terapi karena absorbsi yang buruk atau metabolisme

yang terlalu cepat. Ekskresi obat ini melalui urine. Urine dapat menjadi

kemerahan karena pigmen yang berasal dari obat. Eksresi lain melalui saliva,

ASI, cairan vagina dan cairan seminal tetapi kadarnya rendah.

Page 40: DM Tipe II + Abses Pedis Kel 1

Efek Samping : Tidak ada efek samping yang berat untuk pemberian

metronidazol. Efek samping yang biasa timbul adalah sakit kepala, mual,

mulut kering, dan rasa kecap logam. Muntah, diare dan spasme usus jarang

terjadi. Lidah berselaput, glositis dan stomatitis berkaitan dengan moniliasis.

Efek samping lain adalah vertigo, ataksia, parestesia ekstremitas, urtikaria,

flushing, pruritus, disuria, sistitis, nyeri tekan pelvis, kering pada mulut,

vagina dan vulva. Jika pemakaian lebih dari 7 hari lakukan monitoring

leukosit untuk mengetahui bila terjadi neutropenia. Neutrofilnya akan kembali

normal jika pengobatan dihentikan. Jika ditemukan ataksia, kejang atau gejala

sistem saraf pusat yang lain, obat yang dihentikan.

Indikasi : Digunakan untuk infeksi amubiasis, trikomoniasis, dan

infeksi bakteri anaerob. Metronidazol efektif untuk abses hati. Metronidazol

bermanfaat bagi ulkus peptikum akibat infeksi H. Pylori.

Kontraindikasi : Tidak dianjurkan pada pasien yang memiliki kelainan

darah, dan gangguan sistem saraf pusat. Metronidazol tidak bersifat

teratogenik, tidak menyebabkan prematuritas, dan kelainan pada bayi baru

lahir.

Jika terdapat obstruksi hati yang berat dan gangguan fungsi ginjal dosis harus

dikurangi.

Sediaan : Tersedia dalam bentuk tablet 250 dan 500 mg; suspensi 125

mg/5 mL dan suppositoria 500 mg dan 1 g. Untuk dosis dewasa amubiasid 3 x

750 mg/hari selama 5 – 10 hari sedangkan untuk anak 35 – 50 mg/kgBB/hari

terbagi dalam tiga dosis. Trikomoniasis untuk wanita 3 kali 250 mg/hari

selama 7 – 10 hari bila perlu ulang selang waktu 4 – 6 minggu.

4. Reguler Insulin

Insulin ini merupakan insulin dengan kerja short acting yang dapat

meningkatkan penyimpanan lemak dan glukosa dalam sel khusus dan

mempengaruhi pertumbuhan sel serta fungsi metabolisme berbagai macam

jaringan melalui ikatan dengan reseptor insulin di jaringan. Dapat diberikan

Page 41: DM Tipe II + Abses Pedis Kel 1

pada pasien Diabetes Mellitus tipe I dan tipe II (Sweetman, 2005; MIMS,

2008).

Dosis dan sediaan: Vial 40 IU/ml x 10 ml, 100 IU/mlx10 ml, vial

cartridge 100 IU/ml x 3 ml. Dapat diberikan SC atau IV pada kondisi

ketoasidosis. Dosis tergantung kondisi pasien dan kadar gula darah

(Sweetman, 2005; MIMS, 2008).

Farmakokinetik:

Absorpsi: cepat diabsorbsi melalui suntikan SC, di abdomen lebih

cepat dari lengan , bokong atau paha. Meningkat dengan latihan

fisik. IM lebih cepat daripada SC. Mulai kerja ½ jam, durasi 6-8 jam,

puncak 2-4 jam

Distribusi: ke hepar, otot, jaringan lemak

Metabolisme: di hepar, ginjal dan otot

Ekskresi: di ginjal, hanya sedikit yang utuh. T ½ 3-5 menit

(Sweetman, 2005; MIMS, 2008).

Interaksi obat: Kortikosteroid, diuretik, oral kontrasepsi, tiroksin

meningkatkan kebutuhan insulin, b bloker, MAO Inhibitor, alkohol

meningkatkan efek hipoglikemik dari insulin (Sweetman, 2005; MIMS, 2008).

Efek samping: Hipoglikemi. Jarang menyebabkan lipodistrofi, resisten

terhadap insulin, reaksi alergi lokal atau umum (Sweetman, 2005; MIMS,

2008).

Perhatian: Pemindahan dari insulin lain, sakit atau gangguan emosi,

diberikan bersama obat hiperglikemi aktif (Sweetman, 2005; MIMS, 2008).

5. Ranitidine

Ranitidin merupakan antagonis H2 reseptor. Obat ini menduduki

reseptor H2 di sel parietal sehingga menghambat sekresi asam lambung dan

pepsin (Sukandar, 2009; Tjay, 2007; Dewoto, 2007).

Farmakokinetik:

Ranitidine diberikan dalam bentuk injeksi IV.

Page 42: DM Tipe II + Abses Pedis Kel 1

Absorbsi: cepat dan baik tidak dipengaruhi makanan, bioavailabilitas

50-60%, T ½ 2 jam,

Distribusi : melewati barier otak, dan plasenta.

Metabolisme: hepar

Ekskresi: renal (Sukandar, 2009; Tjay, 2007; Dewoto, 2007).

Indikasi: peptic ulcer, refluks esofagitis, sindroma zolinger Ellison

(Sukandar, 2009; Tjay, 2007; Dewoto, 2007).

Peringatan : gangguan fungsi hepar dan ginjal dosis dikurangi

(Sukandar, 2009; Tjay, 2007; Dewoto, 2007).

Efek samping obat: pusing, rash, sakit kepala, konstipasi (Sukandar, 2009;

Tjay, 2007; Dewoto, 2007).

6. Metamizole Na (Antrain)

Antrain mengandung Metamizole  Na.  Metamizole  Na adalah  derivat 

metansulfonat  dari  aminopirin  yang mempunyai khasiat analgesik.

Mekanisme kerjanya adalah menghambat transmisi rasa sakit ke susunan saraf

pusat dan perifer. Metamizole  Na  bekerja  sebagai  analgesik (Farmasiku,

2010; MIMS, 2008).

Farmakokinetik:

Absorbsi: diabsorbsi disaluran cerna

Metabolisme: -

Distribusi: -

Ekskresi: melalui urin. T ½ 1-4 jam (Farmasiku, 2010; MIMS,

2008).

Indikasi: untuk meringankan rasa sakit terutama nyeri kolik operasi

(Farmasiku, 2010; MIMS, 2008).

Kontraindikasi: hipersensitif terhadap metamizole Na, wanita hamil

dan menyusui, penderita dengan TD sistolik < 100 mmHg, dan bayi usia < 3

bulan atau berat badan < 5 kg (Farmasiku, 2010; MIMS, 2008).

Efek samping: rush (kemerahan) dan agranulositosis (Farmasiku, 2010;

MIMS, 2008).

Page 43: DM Tipe II + Abses Pedis Kel 1

Perhatian:

Tidak untuk mengobati sakit otot pada gejala-gejala flu dan tidak

untuk mengobati rematik, sakit punggung, bursitis, sindroma bahu

lengan.

Karena dapat menimbulkan agranulositosis yang berakibat fatal,

maka sebaiknya tidak digunakan dalam jangka panjang.

Hati-hati   pada   penderita   yang   pernah   mengalami   gangguan

pembentukan darah/kelainan darah. gangguan fungsi hati atau ginjal.

Karena itu perlu dilakukan pemeriksaan fungsi hati dan darah pada

penggunaan yang lebih lama dari penggunaan untuk mengatasi rasa

sakit akut.

Pada pemakaian jangka lama dapat menimbulkan sindrom

neuropathy yang akan berangsur hilang bila pengobatan dihentikan

(Farmasiku, 2010; MIMS, 2008).

Interaksi obat: Bila Metamizole Na diberikan bersamaan dengan

Chlorpromazine dapat mengakibatkan hipotermia (Farmasiku, 2010; MIMS,

2008).

Dosis: Tablet : 1 tablet jika sakit timbul, berikutnya 1 tablet tiap 6-8

jam,maksimum 4 tablet sehari. Injeksi: 500 mg jika sakit timbul, berikutnya 1

tablet tiap 6-8 jam maksimum 3 kali/hari. Diberikan secara injeksi baik IM/IV

(Farmasiku, 2010; MIMS, 2008).

7. Paracetamol

Obat ini memiliki efek antipiretik dan analgesi melalui mekanisme

sentral yang dapat menghilangkan nyeri ringan sampai sedang. Efek

antiinflamasinya sangat rendah, bahkan tidak ada. Paracetamol dapat

menghambat sintesis prostaglandin di daerah jejas, meskipun lemah (Wilmana

& Sulistia, 2007).

Farmakokinetik:

Absorbsi: diabsorpsi baik melalui saluran cerna. Konsentrasi tertinggi

dalam plasma dicapai dalam waktu ½ jam

Page 44: DM Tipe II + Abses Pedis Kel 1

Metabolisme :dimetabolisme di hati oleh enzim mikrosom hati (80% oleh

asam glukoronat dan sisanya oleh asam sulfat)

Distribusi: tersebar ke seluruh cairan tubuh. 25% terikat oleh protein

plasma.

Ekskresi : melalui ginjal 3% dalam bentuk utuh dan siasnya dalam bentuk

terkonjugasi. T ½ 1-3 jam (Wilmana & Sulistia, 2007).

Perhatian : penderita gagal ginjal dan gagal hati, konsumsi alcohol.

(Wilmana & Sulistia, 2007).

Efek samping: reaksi hipersensitivitas (Wilmana & Sulistia, 2007).

Kontra indikasi : penderita insufisiensi hati dan ginjal (Wilmana &

Sulistia, 2007).

Interaksi obat: alkohol, anti koagulan, kloramfenikol, aspirin,

fenobarbital (Wilmana & Sulistia, 2007).

Sediaan: paracetamol tablet 500 mg, sirup 120 mg/5 ml x 60 ml (MIMS,

2008).

Page 45: DM Tipe II + Abses Pedis Kel 1

BAB III

PEMBAHASAN DAN DISKUSI

Berdasarkan hasil anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan

penunjang pada pasien ini, maka pasien didiagnosa Diabetes Melitus tipe II,

Abses Pedis, dan Ulkus Pedis

Diagnosa

Teori Kasus

DM dapat dipertimbangkan bila ada

keluhan khas berupa poliuria, polidipsi,

polifagia dan penurunan berat badan

yang tidak dapat dijelaskan.

Kriteria diagnostik DM adalah sebagai

berikut (Sudoyo, 2006):

Kadar glukosa darah sewaktu

(plasma vena) ≥ 200 mg/dl, atau

Kadar glukosa darah puasa

(plasma vena) ≥ 126 mg/dl

(puasa berarti tidak ada asupan

kalori sejak 10 jam terakhir),

atau

Kadar glukosa plasma ≥ 200

mg/dl pada 2 jam sesudah beban

glukosa 75 gram pada TTGO.

Riwayat DM 1 tahun terakhir

Pemeriksaan kadar Glukosa

Darah Sewaktu (01/09/2011) :

252 mg/dl

Terdapat luka di digiti I 1

minggu terakhir dan di daerah

sekitar maleolus

Terdapat demam dan badan

lemas beberapa hari terakhir

Terdapat keadaan anemis yang

ditunjukkan pada pemeriksaan

fisik dengan keadaan

konjungtiva anemis dan

pemeriksaan Hb yang berjumlah

7,3 g/dl

Pada pasien ini didiagnosa dengan DM tipe 2, abses pedis, dan ulkus

pedis ditambah keadaan anemis pada awal.

Page 46: DM Tipe II + Abses Pedis Kel 1

Penatalaksaan pasien ini meliputi:

Diet yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam

hal karbohidrat, protein dan lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik yang

bertujuan untuk penurunan berat badan. (Depkes, 2005)

Terapi Farmakologis

Untuk menetapkan rasional tidaknya terapi yang diberikan, harus

memenuhi kriteria sebagai berikut:

1. Obat yang diberikan harus tepat indikasi sesuai dengan standar

medis/panduan klinis atau sesuai dengan penyakit yang dihadapinya. Contoh

penggunaan obat tidak rasional: penggunaan antibiotik untuk diare yang non

spesifik, penggunaan antibiotik untuk infeksi virus saluran nafas akut.

2. Tepat obat, obat berdasarkan efektifitasnya, keamanannya dan dosis

3. Tepat pasien, tidak ada kontra indikasi dan kemungkinan efek yang tidak

diinginkan, misal pasien yang mempunyai gangguan iritasi lambung tidak

diberikan analgesik yang mempunyai efek samping mengiritasi lambung

4. Tepat penggunaan obat artinya pasien mendapat informasi yang relevan,

penting dan jelas mengenai kondisinya dan obat yang diberikan (Aturan

minum, sesudah atau sebelum makan, dll)

5. Tepat monitoring, artinya efek obat yang diketahui dan tidak diketahui

dipantau dengan baik.

Dengan demikian, kerasionalan dalam pemberian terapi dapat dirangkum

secara keseluruhan menjadi 4T 1W + EARMU, yaitu Tepat Indikasi, Tepat Dosis,

Tepat Pemakaian, Tepat Pasien dan Waspada efek samping + Efektif Aman

Rasional Murah dan Mudah didapat.

1. Ringer Laktat

Pada pasien ini, terapi cairan yang diberikan yaitu ringer laktat. Biasanya

cairan ini diberikan sebagai cairan pengganti sesuai dengan sifatnya yang isotonis,

Page 47: DM Tipe II + Abses Pedis Kel 1

dimana partikel yang terlarut sama dengan CIS, dapat melewati membran semi

permeabel. Tonositas 275-295 mOsm/kg. Dengan tekanan onkotiknya yang

rendah, cairan ini dapat dengan cepat terdistribusi ke seluruh cairan ekstraseluler.

Pada pasien ini diberikan 20 tetes/ menit (1 tetes=0,05 ml). Berarti cairan infus

akan habis dalam waktu + 8 jam. Penentuan kecepatan pemberian ini dilihat dari

keadaan pasien. Karena keadaan pasien tidak menunjukkan tanda-tanda terjadi

gangguan keseimbangan cairan maka cukup diberikan cairan infus RL dengan

kecepatan 20 tetes/menit untuk memelihara, mengganti cairan tubuh dalam batas-

batas fisiologis.

No Teori kasus Rasional

Ya Tidak1 Indikasi: mengembalikan

keseimbangan elektrolit pada keadaan dehidrasi dan syok hipovolemik

sebagai terapi rumatan √

2 Kontraindikasi: hipernatremia, kelainan ginjal, kerusakan sel hati, asidosis laktat.

tidak ada kontraindikasi pada pasien

3 Dosis : sesuai dengan kondisi penderita

20 tpm habis dalam 8 jam

4 Efek samping: edema jaringan pada penggunaan dengan volume yang besar, biasanya pada paru-paru hiperkloremia dan asidosis metabolic

-

2. Cefotaxim

Merupakan antibiotik golongan sefalosporin generasi ke III yang bersifat

bakterisid serta bekerja sebagai antibiotik Broad Spectrum. Pada pasien

ini, hasil kultur yang seharusnya menjadi pedoman untuk terapi

antimikroba belum didapatkan sehingga diperlukan pemberian antibiotik

golongan broad spectrum.

Page 48: DM Tipe II + Abses Pedis Kel 1

no Teori kasus rasional

Ya tidak1 Indikasi : infeksi bakteri

gram positif dan negatif,

misalnya infeksi saluran

nafas, kulit dan jaringan

lunak, saluran kemih,

intra-abdomen, tulang dan

sendi. Bakteremia,

septikemia, dan meningitis

Pasien mengalami infeksi pada ekstremitas bawah sinistra dan hasil kultur belum didapatkan

2 Dosis : Vial 500 mg dan 1 gr IV/IM dewasa 1 gr 2x/hari, bila infeksi ringan-sedang1-2 gr tiap 8 jam, bila infeksi berat 2 gr 3-4x/hari

Diberikan injeksi Cefotaxim 1 gr 3x/hari

3 Efek samping: Diare ringan, kram perut, jarang menimbulkan rash,pruritus, urtikaria, kandidiasis oral atau vagina

-

4 Interaksi obat: Aminoglikosida dan loop diuretik meningkatkan efek nefrotoksik, kloramfenikol menginhibisi cefotaxime, oral antikoagulan menyebabkan hipoprotrombinemia

Tidak didapatkan obat yang dapat menimbulkan interaksi

5 Cara Pemakaian: dapat digunakan secara parenteral

Pada pasien ini diberikan secara parenteral

3. Metronidazole

Merupakan Antimikroba yang berfungsi sebagai terapi pada infeksi yang

disebabkan bakteri anaerob serta diperlukan untuk tindakan profilaksis pra

dan pasca bedah. Pada kasus ini, pasien mengalami infeksi serta

mendapatkan penanganan perawatan pada lukanya tersebut. Hasil kultur

Page 49: DM Tipe II + Abses Pedis Kel 1

bakterinya belum didapatkan sehingga perlu penggunaan antibiotik Broad

Spectrum yang dikombinasikan dengan Metronidazole.

No Teori Kasus rasional

Ya tidak1 Indikasi: infeksi

yang disebabkan

bakteri anaerob,

trikomoniasid, dan

amubisid terhadap

Giardian lamblia serta

tindakan profilaksis

pra dan pasca bedah.

Infeksi yang belum diketahui hasil kulturnya; dalam perawatan luka

2 Dosis : dws: tab: 500 mg 3x/hari 5-7 hari; inf: 500mg tiap 8 jam IV; supp: 1 g supp 3x/hari 7 hari

diberikan Metronidazole tab 500 mg 3x/hari

3 Efek samping: sakit

kepala, mual, mulut

kering, dan rasa kecap

logam. Muntah, diare dan

spasme usus, Lidah

berselaput, glositis dan

stomatitis, vertigo, ataksia,

parestesia ekstremitas,

urtikaria, flushing,

pruritus, disuria, sistitis,

nyeri tekan pelvis, kering

pada mulut, vagina dan

vulva, ataksia, kejang.

- √

Page 50: DM Tipe II + Abses Pedis Kel 1

4 Cara Pemakaian: dapat digunakan secara oral, parenteral, suppositoria.

Pada pasien ini diberikan secara oral

4. Reguler Insulin

Merupakan insulin dengan kerja short acting yang dapat meningkatkan

penyimpanan lemak dan glukosa dalam sel khusus dan mempengaruhi pertumbuhan

sel serta fungsi metabolisme berbagai macam jaringan melalui ikatan dengan reseptor

insulin di jaringan. Dapat diberikan pada pasien Diabetes Mellitus tipe I dan tipe II.

Pada pasien ini, ditegakkan diagnosa yaitu DM tipe II sejak setahun terakhir dan rutin

mengkonsuksi Glibenclamide. Namun pada pemeriksaan kadar gluksa didapatkan

hasil kadar glukosa yang sangat tinggi sehingga tatalaksana OHO dihentikan dan

memerlukan reguler Insulin.

No Teori Kasus Rasional

Ya Tidak1 Indikasi : Diabetes Mellitus

tipe I dan tipe II Diabetes Melitus tipe II √

2 Dosis : 0,2-1 iu/kgBB/hari. Vial 40 IU/ml x 10 ml, 100 IU/mlx10 ml, vial cartridge 100 IU/ml x 3 ml. Dapat diberikan SC atau IV pada kondisi ketoasidosis. Dosis tergantung kondisi pasien dan kadar gula darah.

diberikan RI 3x4 iu √

3 Interaksi obat:

Kortikosteroid, diuretik, oral

kontrasepsi, tiroksin

meningkatkan kebutuhan

insulin, b bloker, MAO

Inhibitor, alkohol

meningkatkan efek

hipoglikemik dari insulin

Tidak didapatkan obat yang dapat menimbulkan interaksi

Page 51: DM Tipe II + Abses Pedis Kel 1

4 Efek samping obat :

Hipoglikemi. Jarang

menyebabkan lipodistrofi,

resisten terhadap insulin,

reaksi alergi lokal atau

umum

- √

5 Cara Pemakaian: dapat digunakan secara parenteral

Pada pasien ini diberikan secara parenteral

5Ranitidin

Merupakan antagonis H2 reseptor sehingga bekerja sebagai

menghambat sekresi asam lambung dan pepsin. Pada pasien ini ditemukan

gejala nyeri ulu hati yang dianalisa disebabkan pemberian Antrain yang

memiliki efek samping pada GIT. Sehingga pada pasien ini dibutuhkan

pemberian Ranitidin.

No Teori Kasus rasional

Ya tidak1 Indikasi: peptic ulcer,

refluks esofagitis,

sindroma zolinger Ellison

Nyeri ulu hati √

2 Dosis dan sediaan: 150

mg 2x/hari selama 4

minggu; 300 mg 1x/hari

selama 4-8 minggu. Tab

150 mg; Amp 50

mg/2mL

Diberikan inj Ranitidin 2x1 amp

3 Efek samping obat:

pusing, rash, sakit kepala,

konstipasi

- √

4 Cara Pemakaian: dapat Pada pasien ini √

Page 52: DM Tipe II + Abses Pedis Kel 1

digunakan secara oral, parenteral

diberikan secara parenteral

6. Metamizole Na (Antrain)

Merupakan derivat  metansulfonat  dari  aminopirin  yang mempunyai khasiat

analgesik. Pada pasien ditemukan rasa nyeri dari luka pada kaki kirinya sehingga

dibutuhkan analgesik untuk mengatasi nyerinya.

no Teori kasus rasional

Ya tidak1 Indikasi: untuk

meringankan rasa sakit, pasca operasi, nyeri kolik

Nyeri pada ulkus √

2Dosis Dosis dan sediaan :

Tablet : 1 tablet jika sakit

timbul, berikutnya 1 tablet

tiap 6-8 jam,maksimum 4

tablet sehari. Injeksi: 500

mg jika sakit timbul,

berikutnya 1 tablet tiap 6-8

jam maksimum 3 kali/hari.

Diberikan secara injeksi

baik IM/IV

Pada pasien diberikan inj Antrain 3x1 amp

3 IO: Bila Metamizole Na

diberikan bersamaan

dengan Chlorpromazine

dapat mengakibatkan

hipotermia

Tidak didapatkan obat yang dapat menimbulkan interaksi

4 Efek samping: rush

(kemerahan) dan

agranulositosis

- √

5 Cara Pemakaian: dapat digunakan secara oral dan parenteral

Pada pasien ini diberikan injeksi

Page 53: DM Tipe II + Abses Pedis Kel 1

7. Paracetamol

Merupakan terapi yang memiliki efek antipiretik dan analgesi melalui

mekanisme sentral yang dapat menghilangkan nyeri ringan sampai sedang.

Efek antiinflamasinya sangat rendah, bahkan tidak ada. Pada awal kasus

ini didapatkan demam pada pasien sehingga diperlukan pemberian

antipiretik.

no Teori kasus rasional

Ya tidak1 Indikasi: untuk

menghilangkan demam dan meredakan nyeri

Terdapat demam dan nyeri

2Dosis Dosis dan sediaan :

paracetamol tablet 500 mg,

sirup 120 mg/5 ml x 60 ml,

supp 125 mg dan 250 mg.

Dws: 1-2 tab 3-4x/hari

Pada pasien diberikan Paracetamol 500 mg 3x/hari bila demam

3InteraIO: alkohol, anti

koagulan, kloramfenikol,

aspirin, fenobarbital

Tidak didapatkan obat yang dapat menimbulkan interaksi

4 Efek samping: reaksi

hipersensitivitas

- √

5 Cara Pemakaian: dapat digunakan secara oral dan suppositoria

Pada pasien ini diberikan oral

8. Packed Red Cells (PRC)

Transfusi sel darah merah merupakan komponen pilihan untuk mengobati

anemia dengan tujuan utama adalah memperbaiki oksigenisasi jaringan.

Pada pasien ini ditemukan keadaan anemis yang diperlihatkan pada hasil

pemeriksaan lab hemoglobinnya hanya 1,9 gr/dl.

no Teori kasus rasional

Ya tidak

Page 54: DM Tipe II + Abses Pedis Kel 1

1 Indikasi : • Hb < 8

g/dL

• Hb 8 – 10 g/dL,

normovolemik disertai

tanda-tanda gangguan

miokardium, serebral

dan respirasi

• Perdarahan hebat: 10

ml/kg pada 1 jam

pertama atau > 5 ml/kg

pada 3 jam pertama

Terdapat hasil Hb 1,9 g/dL

2 Risiko transfusi:

• Acute: overload,

reaksi alergi, reaksi

hemolitik, demam,

emboli udara.

Delayed: infeksi dan

imunosupresi

Pada pasien diberikan PRC 2 unit

Page 55: DM Tipe II + Abses Pedis Kel 1

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan

a. Penggunaan RL dilihat dari Indikasi (rasional), dosis (rasional),

Pemakaian (rasional), tepat pasien & keamanan atau efek samping

(rasional).

b. Pemberian Cefotaxim dilihat dari indikasi (rasional), dosis (rasional),

Pemakaian (rasional), tepat pasien & keamanan atau efek samping

(rasional).

c. Penggunaan Metronidazole dilihat dari Indikasi (rasional), dosis

(rasional), Pemakaian (rasional), tepat pasien & keamanan atau efek

samping (rasional).

d. Penggunaan Regular Insulin dilihat dari Indikasi (rasional), dosis

(rasional), Pemakaian (rasional), tepat pasien & keamanan atau efek

samping (rasional).

e. Penggunaan Ranitidin dilihat dari Indikasi (rasional), dosis (rasional),

Pemakaian (rasional), tepat pasien & keamanan atau efek samping

(rasional).

f. Penggunaan Antrain dilihat dari Indikasi (rasional), dosis (rasional),

Pemakaian (rasional), tepat pasien & keamanan atau efek samping

(rasional).

g. Penggunaan Paracetamol dilihat dari Indikasi (rasional), dosis

(rasional), Pemakaian (rasional), tepat pasien & keamanan atau efek

samping (rasional).

h. Pemberian transfusi PRC dilihat dari Indikasi (rasional), dosis

(rasional), Pemakaian (rasional), tepat pasien & keamanan atau efek

samping (rasional).

Page 56: DM Tipe II + Abses Pedis Kel 1

2. Saran

Dalam menyelesaikan ada sedikit kendala terutama untuk klinis pasien

yang tidak dievaluasi tetapi mungkin mendukung untuk follow up dan

pencatatan data rekam medis atas setiap tindakan yang diberikan pada pasien.

Diharapkan ke depannya pencatatan tersebut lebih lengkap lagi sehingga akan

lebih mudah untuk dianalisis dan juga dipertanggungjawabkan.

Page 57: DM Tipe II + Abses Pedis Kel 1

DAFTAR PUSTAKA

Meislin HW, Guisto JA. Soft tissue infections. In: Marx JA, ed. Rosen's

Emergency Medicine: Concepts and Clinical Practice. 6th ed. Philadelphia,

PA: Mosby Elsevier; 2006:chap 135

Fauci, Anthony S., et al. Harrison's Principles of Internal Medicine. 17th ed.

United States: McGraw-Hill Professional, 2008.

Tjokroprawiro Askandar, 2001. Diabetes Millitus Klasifikasi Diagnosa dan

Terapi. PT Gramedia Pustaka Utama : Jakarta

Belkin M, et al. 2008. Sabiston Textbook of Surgery. In: Townsend CM,

Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL, eds.. 18th ed. Philadelphia, Pa:

Saunders Elsevier; chap 66.

Anonim. 2000. Informatorium Obat Nasional Indonesia (IONI), Direktorat.

Jendral Pengawasan Obat dan Makanan, Departemen Kesehatan.

Departemen Kesehatan RI. 2005. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Diabetes

Mellitus. Jakarta : Departemen Kesehatan.

Soegondo, Sidartawan. 2005. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus Terkini.

Dalam: Subekti, Imam et al. 2005. Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu.

Jakarta: FKUI.

Perkumpulan Endokrinologi (PERKENI). 1998. Konsensus Pengelolaan Diabetes

Melitus di Indonesia. Jakarta: Perkeni.

Ellsworth, A.; Witt, D.; Dugdale, D. Mosby’s Medical Drug Reference. USA.

Elsevier Mosby. 2005

Ganiswarna, S.G., dkk. 1995. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Bagian

Farmakologi FKUI

Irnizarifka. Manajemen Dasar Cairan. Nizar MD Medical Articles.

http://nizarmd.wordpress.com/2010/07/09/manajemen-dasar-cairan, [diakses,

tanggal 9 Agustus 2011]

Mansjoer A, Dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta Penerbit Media

Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 2001: 518

Page 58: DM Tipe II + Abses Pedis Kel 1

McFadden Jr. ER. In : Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo

DL, Jameson JL, (Eds.). 2001. Harrison’s. Principles of Internal Medicine.

Volume 2. 15Th Edition. USA: McGraw-Hill. p.1456-1462

MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi. Edisi 9. Jakarta. PT. Infomaster Lisensi

dari CMP Medica. 2009/2010

Pramonohadi Prabowo; Penyakit Jantung Koroner, Lab/UPF Ilmu Penyakit

Jantung;FK Unair RSUD dr.Soetomo,Surabaya,1994,hal 33-36.

Sukandar, E.Y., dkk. 2008. ISO Farmakoterapi. PT ISFI Penerbitan-Jakarta

Tjay,Tan Hoan., Rahadja, Kirana. 2002. Obat-obat Penting, Khasiat,

Penggunaan, dan Efek-efek Sampingnya. Jakarta: PT alex Media computindo