dkp4

9
Pencegahan Tinea Pedis 1. Perkembangan infeksi jamur diperberat oleh panas, basah dan maserasi. Jika faktor-faktor lingkungan ini tidak diobati, kemungkinan penyembuhan akan lambat. 2. Pasien dengan hiperhidrosis dianjurkan agar memakai kaos dari bahan katun yang menyerap keringat, jangan memakai bahan yang terbuat dari wool ataubahan sintetis. 3. Pakaian dan handuk agar sering diganti dan dicuci bersih-bersih dengan air panas Sumber : Robbins, courtney M, dkk,2012, Tinea Pedis, Online artikel. Diunduh pada 10 september 2012; dari http://emedicine.medscape.com/article/1091684-overview Pencegahan Tinea Capitis 1. Menghindari kontak yang erat dengan penderita tinea capitis 2. Menjaga kebersihan diri dengan mandi setelah beraktivitas dan berkeringat 3. Mengeringkan badan dengan baik setiap setelah mandi 4. Mencuci pakaian, sprei, dan barang-barang pribadi lainnya secara rutin

description

dd

Transcript of dkp4

Page 1: dkp4

Pencegahan Tinea Pedis

1. Perkembangan infeksi jamur diperberat oleh panas, basah dan maserasi. Jika faktor-

faktor lingkungan ini tidak diobati, kemungkinan penyembuhan akan lambat.

2. Pasien dengan hiperhidrosis dianjurkan agar memakai kaos dari bahan katun yang

menyerap keringat, jangan memakai bahan yang terbuat dari wool ataubahan sintetis.

3. Pakaian dan handuk agar sering diganti dan dicuci bersih-bersih dengan air panas

Sumber : Robbins, courtney M, dkk,2012, Tinea Pedis, Online artikel. Diunduh

pada 10 september 2012; dari http://emedicine.medscape.com/article/1091684-

overview

Pencegahan Tinea Capitis

1. Menghindari kontak yang erat dengan penderita tinea capitis

2. Menjaga kebersihan diri dengan mandi setelah beraktivitas dan

berkeringat

3. Mengeringkan badan dengan baik setiap setelah mandi

4. Mencuci pakaian, sprei, dan barang-barang pribadi lainnya secara rutin

5. Tidak menggunakan sisir, alat cukur, dan handuk secara bersama-sama

Sumber :

1. Wirya Duarsa. Dkk.: Pedoman Diagnosi dan Terapi Penyakit

Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Udayana,

Denpasar. 2010.

2. Djuanda, Adhi. Dkk.: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia. 2004.

Page 2: dkp4

Pencegahan Tinea Unguium

1. Menjaga kebersihan kuku

Sumber :

1. Wirya Duarsa. Dkk.: Pedoman Diagnosi dan Terapi Penyakit Kulit dan

Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar. 2010.

Pencegahan Tinea Versicolor

Untuk mencegah terjadinya Pityriasis versicolor dapat disarankan pemakaian 50%

propilen glikol dalam air untuk pencegahan kekambuhan. Pada daerah endemik

dapat disarankan pemakaian ketokonazol 200 mg/hari selama 3 bulan atau

itrakonazol 200 mg sekali sebulan atau pemakaian sampo selenium sulfid sekali

seminggu.

Untuk mencegah timbulnya kekambuhan, perlu diberikan pengobatan

pencegahan, misalnya sekali dalam seminggu, sebulan dan seterusnya. Warna

kulit akan pulih kembali bila tidak terjadi reinfeksi. Pajanan terhadap sinar

matahari dan kalau perlu obat fototoksik dapat dipakai dengan hati-hati, misalnya

oleum bergamot atau metoksalen untuk memulihkan warna kulit tersebut.

Sumber :

1. Madani, Fattah. Infeksi Jamur Kulit. In : Harahap Marwali, Ilmu

Penyakit Kulit. Jakarta : Hipokrates, 2000 p. 73-74

2. Radiono, S. Pitirasis Versicolor. In : Budimulja, U., et al,

Dermatomikosis Superfisialis. Jakarta : Balai Penerbit FK UI,2001 p.

19-22.

Page 3: dkp4

GAMBARAN KLINIS

Kuku jari kaki lebih sering terinfeksi dibandingkan kuku jari tangan. Sekitar

80% tinea unguium terjadi pada kaki. Gambaran klinis tinea unguium berdasarkan

klasifikasinya, yaitu:

1. Onikomikosis Distal Subungual (ODS)

Onikomikosis Distal Subungual (ODS) merupakan pola tinea unguium yang

paling sering terjadi. Infeksi dimulai dari stratum korneum daerah hiponokium

atau lipatan kuku, kemudian masuk ke subungual. Onikomikosis Distal

Subungual (ODS) sering dikaitkan dengan tinea pedis. Biasanya disebabkan

oleh T. rubrum.

Onikomikosis

Subungual Distal (OSD)

2. Onikomikosis Subungual Proksimal (OSP)

Jamur masuk melalui kutikula lipatan kuku posterior kemudian berpindah

sepanjang lipatan kuku proksimal menginvasi matrik kuku. Pada tipe ini,

paling sering disebabkan oleh T. rubrum. Tipe ini selalu dikaitkan dengan

keadaan immunocompromised. Banyak ditemukan pada pasien HIV.

Onikomikosis Subungual Proksimal (OSP) dapat mengenai satu atau dua

kuku. Gambaran klinis yang dapat ditemukan adalah bintik putih di bawah

lipatan kuku proksimal.

Page 4: dkp4

Onikomikosis Subungual Proksimal (OSP)

3. Onikomikosis Superfisial Putih (OSPT)

Pada tipe ini, jamur menginvasi permukaan dorsal kuku. Penyebab terbanyak

adalah T. mentagrophytes atau T. rubrum (pada anak-anak). Penyebab yang

jarang Acremonium, Fusarium, dan Aspergillus terreus. Permukaan lempeng

kuku yang terinvasi oleh jamur menunjukkan gambaran putih, seperti tepung/

serbuk kapur (chalky white) dan kadang mudah retak. 3,4

Onikomikosis Superfisial Putih (OSPT)

Sumber :

1. Elewski BE, Hughey LC, Sobera JO, Hay R. Fungal disease. In:

Bolognia J L, Lorizzo J L, Rapini RP, editors. Dermatology. 2nd ed.

New York: Mosby Elsevier; 2008; p. 1265-70.

2. James D, Berger G, Elston M. Diseases resulting from fungi and yeast.

Andrew’s Disease of The Skin Clinical Dermatology, 10th edition.

Philadelphia: Saunders Elsevier; 2008; p.305-7.

Page 5: dkp4

3. Wolff KL. Johnson RA. Disorder of The Nail Apparatus. In:

Fitzpatrick’s Color Atlas & Sinopsis Of Clinical Dermatology, 5th ed.

New York: The McGraw-Hill companies; 2007. p.1016-21.

Tatalaksana effluvium

1. Karena telogen effluvium aktif adalah proses reaktif yang dapat smebuh

sendiri maka treatment terbatas pada pemberian pengertian pada pasien.

2. Pasien dapat diedukasi bahwa penyakit ini tidak menyebabkan botak

permanen.

3. Penyebab rambut rontok yang sifat nya refersible dapat dikoreksi seperti

pola diet, anemia, penggunaan obat

4. Transplantasi rambut tidak efektif

5. Diet tinggi protein, kurangi intake vitamin A jika berlebih,diet untuk

meningkatkan kadar besi dalam darah

6. Pasien dapat memakai terapi minoxidil karena terbukti bermanfaat dan

efek samping nya minim. tujuan utama dari farmakoterapi adalah untuk

mengurangi morbiditas dan mencegah komplikasi. Obat yang digunakan

adalah Minoxidil (Loniten, Rogaine) yang berfungsi merelaksasikan otot

polos arteriol sehingga menyebabkan vassodilatasi sehingga mendorong

tumbuhnya rambut baru. Obat ini diberikan per oral dengan dosis tidak

lebih dari 100 mg per hari

Sumber :

Page 6: dkp4

Elizabeth CW Hughes, MD .Telogen effluvium. In: Dermatologist, Group

Health Cooperative 2006. Diakses 11 november 2015. Available at:

www.emedicine. medscape.com

Patofisiologi Tinea Pedis

Trichophyton rubrum yang umumnya menyebabkan tinea pedis menggunakan

enzim yang disebut keratinase, jamur dermatofit menyerang keratin superfisial

kulit, dan infeksi hanya terbatas pada lapisan ini. Dinding sel dermatofit juga

mengandung mannans (sejenis polisakarida), yang dapat menghambat respon

kekebalan tubuh. Trichophyton rubrum khususnya mengandung mannans yang dapat

mengurangi proliferasi keratinosit, sehingga tingkat penurunan pengelupasan dan

keadaan infeksi kronis.

Pemakaian bahan yang tidak berpori akan meningkatkan temperatur dan keringat

sehingga mengganggu fungsi barier stratum korneum. Infeksi dimulai dari terjadinya kolonisasi

hifa atau cabang-cabangnya dalam jaringan keratin yang mati. Hifa ini memproduksi enzim

keratolitik yang mengadakan difusi ke dalam jaringan epidermis dan merusak keratinosit.

Suhu dan faktor serum, seperti globulin beta dan feritin, tampaknya

memiliki efek penghambatan pada pertumbuhan dermatofit, namun, patofisiologi

ini tidak sepenuhnya dipahami. Sebum juga menghambat pertumbuhannya,

sehingga infeksi dermatofit memiliki kecenderungan menginfeksi kaki, yang

tidak memiliki kelenjar sebaceous. Faktor-faktor host seperti pecah di kulit dan

maserasi kulit dapat menunjang invasi dermatofit. Presentasi dari kulit tinea pedis

juga tergantung pada sistem kekebalan host dan infeksi dermatofit.

Sumber :

Robbins, courtney M, dkk,2012, Tinea Pedis, Online artikel. Diunduh pada 10

november 2015; dari http://emedicine.medscape.com/article/1091684-overview