dk3
-
Upload
christover-firstnando-s-s -
Category
Documents
-
view
213 -
download
0
description
Transcript of dk3
1. Definisi : Diabetes mellitus (DM) adalah penyakit kronik degenerative tersering dengan
angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi di dunia. World Health Organization (WHO)
melaporkan bahwa Indonesia berada di urutan keempat negara yang jumlah penyandang
DM terbanyak. Jumlah ini akan mencapai 21,3 juta pada tahun 2030.1 Retinopati adalah
salah satu komplikasi mikrovaskular DM yang merupakan penyebab utama kebutaan
pada orang dewasa.2,3
2. Epidemiologi Retinopati diabetikum : Penelitian epidemiologis di Amerika, Australia,
Eropa, dan Asia melaporkan bahwa jumlah penderita retinopati DM akan meningkat dari
100,8 juta pada tahun 2010 menjadi 154,9 juta pada tahun 2030 dengan 30% di antaranya
terancam mengalami kebutaan.4The DiabCareAsia 2008 Study melibatkan 1 785
penderita DM pada 18 pusat kesehatan primer dan sekunder di Indonesia dan melaporkan
bahwa 42% penderita DM mengalami komplikasi retinopati, dan 6,4% di antaranya
merupakan retinopati DM proliferatif.5
3. Faktor resiko retino diabetikum : Faktor risiko lain untuk retinopati DM adalah
ketergantunganinsulin pada penyandang DM tipe II, nefropati, danhipertensi.6,7
Sementara itu, pubertas dan kehamilan dapatmempercepat progresivitas retinopati DM.8,9
4. Klasifikasi retinopati diabetikum berdasarkan ETDRS13
5. Patofisiologi retinopati diabetikum :
Hiperglikemia kronik mengawali perubahan patologis pada retinopati DM dan terjadi
melalui beberapa jalur. Pertama, hiperglikemia memicu terbentuknya reactive
oxygenintermediates (ROIs) dan advanced glycationendproducts (AGEs). ROIs dan
Klasifikasi retinopati DM Tanda pada pemeriksaan mata
Derajat 1 Tidak terdapat retinopati DM
Derajat 2 Hanya terdapat mikroaneurisma
Derajat 3 Retinopati DM non-proliferatif derajat ringan -
sedang yang ditandai oleh mikroaneurisma dan
satu atau lebih tanda:
• Venous loops
• Perdarahan
• Hard exudates
• Soft exudates
• Intraretinal microvascular abnormalities
(IRMA)
• Venous beading
Derajat 4 Retinopati DM non-proliferatif derajat sedang-
berat yang ditandai oleh:
• Perdarahan derajat sedang-berat
• Mikroaneurisma
• IRMA
Derajat 5 Retinopati DM proliferatif yang ditandai oleh
neovaskularisasi dan perdarahan vitreous
AGEs merusak perisit dan endotel pembuluh darah serta merangsang pelepasan factor
vasoaktif seperti nitric oxide (NO), prostasiklin, insulin-likegrowth factor-1 (IGF-1), dan
endotelin yang akan memperparah kerusakan. Kedua, hiperglikemia kronik mengaktivasi
jalur poliol yang meningkatkan glikosilasi dan ekspresi aldose reduktase sehingga terjadi
akumulasi sorbitol. Glikosilasi dan akumulasi sorbitol kemudian mengakibatkan
kerusakan endotel pembuluh darah dan disfungsi enzim endotel. Ketiga, hiperglikemia
mengaktivasi transduksi sinyal intraseluler protein kinase C (PKC). Vascular
endothelialgrowth factor (VEGF) dan faktor pertumbuhan lain diaktivasi oleh PKC.
VEGF menstimulasi ekspresi intracellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) yang memicu
terbentuknya ikatanantara leukosit dan endotel pembuluh darah. Ikatan
tersebutmenyebabkan kerusakan sawar darah retina, serta thrombosis dan oklusi kapiler
retina. Keseluruhan jalur tersebut menimbulkangangguan sirkulasi, hipoksia, dan
inflamasi padaretina. Hipoksia menyebabkan ekspresi faktor angiogenik yang berlebihan
sehingga merangsang pembentukanpembuluh darah baru yang memiliki kelemahan
padamembran basalisnya, defisiensi taut kedap antarsel endotelnya,dan kekurangan
jumlah perisit. Akibatnya, terjadikebocoran protein plasma dan perdarahan di dalam
retina dan vitreous.9-11
Daftar pustaka yang retinopati diabetikum :
1. Wild S, Roglic G, Green A, Sicree R, King H. Global prevalence of diabetes: estimates for the
year 2000 and projections for 2030. Diabetes Care. 2004;27:1047-53.
2. Noble J, Chaudhary V. Diabetic retinopathy. CMAJ. 2010; 182(15):1646.
3. Fong DS, Aiello L, Gardner TW, King GL, Blankenship G, Cavallerano JD. Diabetic
retinopathy. Diabetes Care. 2003; 26(Suppl1):S99-102.
4. Wong TY, Yau J, Rogers S, Kawasaki R, Lamoureux EL, Kowalski J. Global prevalence of
diabetic retinopathy: Pooled data frompopulation studies from the United States, Australia,
Europe and Asia. Prosiding The Association for Research in Vision and Opthalmology Annual
Meeting; 2011.
5. Soewondo P, Soegondo S, Suastika K, Pranoto A, Soeatmadji DW, Tjokroprawiro A. The
DiabCare Asia 2008 study – Outcomes on control and complications of type 2 diabetic patients
in Indonesia. Med J Indones. 2010;19(4):235-43.
6. Paulus YM, Gariano RF. Diabetic retinopathy: A growing concern in an aging population.
Geriatrics. 2009;64(2):16-26.
7. American Diabetes Association. Standards of medical care in diabetes - 2010. Diabetes Care.
2010;33(Suppl1):S11-61.
8. Fong DS, Aiello L, King GL, Blankenship G, Cavallerano JD, Ferris FL. Retinopathy in
diabetes. Diabetes Care. 2004;27 (Suppl1):S84-7.
9. Garg S, Davis RM. Diabetic retinopathy screening update. Clinical Diabetes. 2009;27(4):140-
5.
10. Westerfeld CB, Miller JW. Neovascularization in diabetic retinopathy. In: Levin LA, Albert
DM, editor. Ocular disease: mechanisms and management. USA: Saunders; 2010. p. 514-7.
11. Bloomgarden ZT. Screening for and managing diabetic retinopathy: Current approaches. Am
J Health-Syst Pharm.2007;64 (Suppl12):S8-14.
6. Konjungtivitis adalah peradangan pada konjungtiva dan penyakit ini adalah penyakit
mata yang paling umum di dunia. Karena lokasinya, konjungtiva terpajan oleh banyak
mikroorganisme dan faktor-faktor lingkungan lain yang mengganggu (Vaughan, 2010).
7. klasifikasi Konjungtivitis
2.2.2.1. Konjungtivitis Bakteri
A.Definisi
Konjungtivitis Bakteri adalah inflamasi konjungtiva yang disebabkan oleh bakteri. Pada
konjungtivitis ini biasanya pasien datang dengan keluhan mata merah, sekret pada mata dan
iritasi mata (James, 2005).
B.Etiologi dan Faktor Resiko
Konjungtivitis bakteri dapat dibagi menjadi empat bentuk, yaitu hiperakut, akut, subakut dan
kronik. Konjungtivitis bakteri hiperakut biasanya disebabkan oleh N gonnorhoeae, Neisseria
kochii dan N meningitidis. Bentuk yang akut biasanya disebabkan oleh Streptococcus
pneumoniadan Haemophilus aegyptyus. Penyebab yang paling sering pada bentuk konjungtivitis
bakteri subakut adalah H influenzadan Escherichia coli, sedangkan bentuk kronik paling sering
terjadi pada konjungtivitis sekunder atau pada pasien dengan obstruksi duktus nasolakrimalis
(Jatla, 2009).
Konjungtivitis bakterial biasanya mulai pada satu mata kemudian mengenai mata yang sebelah
melalui tangan dan dapat menyebar ke orang lain. Penyakit inibiasanya terjadi pada orang yang
terlalu sering kontak dengan penderita, sinusitis dan keadaan imunodefisiensi (Marlin, 2009).
2.2.2.2. Konjungtivitis Virus
A.Definisi
Konjungtivitis viraladalah penyakit umum yang dapat disebabkan oleh berbagai jenis virus, dan
berkisar antara penyakit berat yang dapat menimbulkan cacat hingga infeksi ringan yang dapat
sembuh sendiridan dapat berlangsung lebih lama daripada konjungtivitis bakteri (Vaughan,
2010).
B.Etiologi dan Faktor Resiko
Konjungtivitis viral dapat disebabkan berbagai jenis virus, tetapi adenovirusadalah virus yang
paling banyak menyebabkan penyakit ini, dan herpes simplex virusyang paling membahayakan.
Selain itu penyakit ini juga dapat disebabkan oleh virus Varicella zoster, picornavirus
(enterovirus 70, Coxsackie A24), poxvirus, dan human immunodeficiency virus(Scott, 2010).
Penyakit inisering terjadi pada orangyang seringkontak dengan penderita dan dapat menular
melalu di droplet pernafasan, kontak dengan benda-benda yang menyebarkan virus (fomites)
dan berada di kolam renang yang terkontaminasi (Ilyas, 2008).
2.2.2.3. Konjungtivitis Alergi
A.Definisi
Konjungtivitis alergi adalah bentuk alergi pada mata yang paing sering dan disebabkan oleh
reaksi inflamasi pada konjungtiva yang diperantarai oleh sistem imun (Cuvillo et al, 2009).
Reaksi hipersensitivitas yang paling sering terlibat pada alergi di konjungtiva adalah reaksi
hipersensitivitas tipe 1 (Majmudar, 2010).
B.Etiologi dan Faktor Resiko
Konjungtivitis alergi dibedakan atas lima subkategori, yaitu konjungtivitis alergi musiman dan
konjungtivitis alergi tumbuh-tumbuhan yang biasanya dikelompokkan dalam satu grup,
keratokonjungtivitis vernal, keratokonjungtivitis atopic dan konjungtivitis papilar raksasa
(Vaughan, 2010).
B. Etiologi dan faktor resiko pada konjungtivitis alergi berbeda-beda sesuai dengan
subkategorinya. Misalnya konjungtivitis alergi musiman dan tumbuh-tumbuhan biasanya
disebabkan olehalergi tepung sari, rumput, bulu hewan, dan disertai dengan rinitis alergi serta
timbul pada waktu-waktu tertentu. Vernal konjungtivitis sering disertai dengan riwayat asma,
eksema dan rinitis alergi musiman. Konjungtivitis atopik terjadi pada pasien denganriwayat
dermatitis atopic, sedangkan konjungtivitis papilar rak pada pengguna lensa-kontak atau mata
buatan dari plastik (Asokan, 2007).
2.2.2.4. Konjungtivitis Jamur
Konjungtivitis jamur paling sering disebabkan oleh Candida albicans dan merupakan infeksi
yang jarang terjadi. Penyakit ini ditandai dengan adanya bercak putih dan dapat timbul pada
pasien diabetes dan pasien dengan keadaan sistem imun yang terganggu. Selain Candida sp,
penyakit ini juga dapat disebabkan oleh Sporothrix schenckii, Rhinosporidium serberi, dan
Coccidioides immitis walaupun jarang (Vaughan, 2010).
2.2.2.5. Konjungtivitis Parasit
Konjungtivitis parasit dapat disebabkan oleh infeksi Thelazia californiensis, Loa loa, Ascaris
lumbricoides, Trichinella spiralis, Schistosoma
2.2.2.6. Konjungtivitis kimia atau iritatif
Konjungtivitis kimia - iritatif adalah konjungtivitis yang terjadi oleh pemajanan substansi iritan
yang masuk ke sakus konjungtivalis.Substansi-substansi iritan yang masuk ke sakus
konjungtivalis dan dapat menyebabkan konjungtivitis, seperti asam, alkali, asap dan angin, dapat
menimbulkan gejala -gejala berupa nyeri, pelebaran pembuluh darah, fotofobia, dan
blefarospasme. Selain itu penyakit ini dapat juga disebabkan oleh pemberian obat topikal jangka
panjang seperti dipivefrin, miotik, neomycin, dan obat-obat lain dengan bahan pengawet yang
toksik atau menimbulkan iritasi. Konjungtivitis ini dapat diatasi dengan penghentian substansi
penyebab dan pemakaian tetesan ringan (Vaughan, 2010).
2.2.2.7. Konjungtivitis lain
Selain disebabkan oleh bakteri, virus, alergi, jamur dan parasit, konjungtivitis juga dapat
disebabkan oleh penyakit sistemik dan penyakit autoimun seperti penyakit tiroid, gout dan
karsinoid. Terapi pada konjungtivitis yang disebabkan oleh penyakit sistemik tersebut diarahkan
pada pengendalian penyakit utama atau penyebabnya (Vaughan, 2010). Konjungtivitis juga bisa
terjadi sebagai komplikasi dari acne rosacea dan dermatitis herpetiformis ataupun masalah kulit
lainnya pada daerah wajah. (AOA, 2008).
Daftar pustaka konjungtivitis
Vaughan D. 2010.Oftalmologi Umum. Edisi 17. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
James, B., Chew, C., Bron, A., 2005. Konjungtiva, Kornea, dan Sklera. Dalam: Bruce, J., et al. (eds). Lecture Notes Oftalmologi. Edisi 9. Jakarta: Penerbit Erlangga, 6-66.
Jatla, K.K., 2009. Neonatal Conjunctivitis. University of Colorado Denver Health Science Center. Available at: http://emedicine.medscape.com/ article/1192190-overview.
Marlin, D.S., 2009. Bacterial Conjunctivitis. Penn State College of Medicine. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/1191370-overview.
Scott, I.U., 2010. Viral Conjunctivitis. Departement of Opthalmology and Public Health Sciences: Available from: http://emedicine.medscape.com/article/ 1191370-overview.
Ilyas, S., 2008. Mata Merah. Dalam: Ilyas, S. (ed). Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 64-77.
Asokan, N., 2007. Asthma and Immunology Care. Diplomate of American Board of Allergy & Immunology and American Board of Pediatrics. Available from: http://www.trinityallergy.com/md-natarajan-asokan-trinity-allergy-asthma-immunology-kingman-az.htm.
Majmudar, P.A., 2010. Allergic Conjunctivitis. Rush-Presbyterian-St Luke’s Medical Center. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/1191467-overview.
Alatas, H., Karyomanggolo, W.T., Musa, D.A., Boediarso, A., Oesman, I.N., 2008. Desain Penelitian. Dalam: Sastroasmoro, S., Ismael, S. (eds). Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi 3. Jakarta: Sagung Seto, 92-100