Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Lomba · PDF filedalam penulisan dan penyusunan...
Transcript of Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Lomba · PDF filedalam penulisan dan penyusunan...
PENINGKATKAN KEMAMPUAN ANAK DALAM BERWUDHU
PADA ANAK TUNAGRAHITA SEDANG
DI SLB BINA BHAKTI MANDIRI (Penelitian Tindakan Kelas di SLB Bina Bhakti Mandiri SMALB Kelas X C1)
Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Lomba Kreativitas Guru (LKG) Tingkat Provinsi Tahun 2014
Oleh :
ISARIS ARWIANTI, S.Pd.,M.M.Pd.
NIP : 196902122008012010
SLB BINA BHAKTI MANDIRI
GUGUS XLVI Jl. Raya Sumedang Darmaraja KM 18 Dusun Dustan Rt 03 Rw 04 Desa
Situmekar Kec. Cisitu Kab. Sumedang Provinsi Jawa Barat 45371
2014
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Subhana wa Ta’ala atas
perkenan-Nya lah kami dapat menyelesaikan Laporan PTK (Penelitian Tindakan
Kelas) dengan judul Penggunaan Pendekatan Kontekstual Untuk Meningkatkan
Kemampuan Anak dalam Berwudhu Pada Anak Tunagrahita Sedang di SLB Bina
Bhakti Mandiri (PTK di SMALB Kelas X C1 SLB Bina Bhakti Mandiri Cisitu).
Tidak lupa pula shalawat dan salam kami sampaikan kepada junjungan
kita Nabi Besar Muhammad SAW, keluarganya, para sahabatnya, serta semoga
kita semua termasuk umatnya yang selalu tunduk dan taat hingga hari kiamat.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada kepada seluruh pihak yang
telah berkontribusi dalam penyusunan Laporan ini.Penulis menyadari bahwa
dalam penulisan dan penyusunan Makalah ini masih jauh dari sempurna, sehingga
kritik, saran sangat kami harapkan.
Akhir kata mudah-mudahan Laporan ini dapat bermanfaat khususnya bagi
rekan-rekan guru Pendidikan Luar Biasa.
Sumedang, 30 Mei 2014
Penyusun
2
ABSTRAK
Pendekatan kontektual (Contextual Teaching and Learning) adalah salah satu
inovasi pendekatan dalam pembelajaran. Apakah pendekatan kontekstual dapat
digunakan untuk meningkatkan aktivitas dan kreativitas anak tunagrahita sedang
dalam pembelajaran PAI? Dalam penelitian yang berjudul “Penggunaan
Pendekatan Kontekstual Untuk Meningkatkan Kemampuan Berwudhu Pada Anak
Tunagrahita Sedang di SLB Bina Bhakti Mandiri” (Penelitian Tindakan Kelas di
SMALB Kelas X C1 SLB Bina Bhakti Mandiri) akan ditemukan jawaban
pertanyaan tersebut. Proses pembelajaran PAI yang hanya menggunakan model
pembelajaran yang hanya menggunakan metode peniruan, kurang meningkatkan
aktivitas dan kreativitas belajar anak tunagrahita sedang. Untuk meningkatkan
aktivitas dan kreativitas anak tunagrahita tersebut, diperlukan langkah-langkah
model pembelajaran dengan menggunakan pendekatan kontekstual. Tujuan
penelitian ini adalah untuk memperoleh data-data bagaimana model pembelajaran
PAI dengan pendekatan kontekstual pada anak tunagrahita sedang, dan bagaimana
proses pembelarannya, serta bagaimana pula hasil pembelajarannya. Metode
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian tindakan
kelas (classroom action research). Teknik pengumpulan datanya menggunakan
studi literatur dan studi lapangan melalui observasi, wawancara, tes hasil
pembelajaran, dan studi dokumentasi. Lokasi penelitian di SLB Bina Bhakti
Mandiri Cisitu yang beralamatkan di Jalan Raya Sumedang-Darmaraja KM 18
Dusun Dustan Rt03 Rw 04 Desa Situmekar Kec. Cisitu Kab. Sumedang.
Pelaksanaan penelitian model pembelajaran PAI bagi anak tunagrahita sedang
melalui pendekatan kontekstual, dilakukan melalui uji coba pelaksanaan Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang telah dipersiapkan oleh peneliti dan guru
PAI. Hasil dari uji coba itu diperoleh data-data yang menunjukan ada peningkatan
aktivitas dan kreativitas anak tunagrahita sedang di SLB Bina Bhakti Mandiri
Cisitu dalam pembelajaran PAI. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian dan
pembahasan yang dipaparkan pada bab IV. Kesimpulannya bahwa model
pembelajaran PAI pada anak tunagrahita sedang melalui pendekatan kontekstual
di SLB Bina Bhakti Mandiri, dapat meningkatkan aktivitas dan kreativitas anak
tersebut yang cukup berarti.
3
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN .......................................................................... i
LEMBAR PERNYATAAN .......................................................................... ii
KATA PENGANTAR ................................................................................... iii
ABSTRAK ..................................................................................................... iv
DAFTAR ISI .................................................................................................. v
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................ 2
C. Tujuan Penelitian .......................................................................... 3
D. Manfaat Penelitian ........................................................................ 3
BAB II KAJIAN PUSTAKA ....................................................................... 4
A. Kerangka Konseptual .................................................................. 4
B. Hasil Penelitian/Jurnal yang Relevan ......................................... 21
C. Hipotesis Tindakan ..................................................................... 21
BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN ................................................ 22
A. Pendekatan Penelitian ............................................................... 22
B. Waktu dan Tempat Penelitian ................................................... 23
C. Prosedur Siklus Tindakan ......................................................... 23
D. Analisis Data ............................................................................. 27
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................... 28
A. Hasil .......................................................................................... 28
B. Pembahasan ............................................................................... 30
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................... 38
A. Kesimpulan ................................................................................. 38
B. Saran ........................................................................................... 40
4
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 41
RIWAYAT HIDUP
LAMPIRAN
5
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan yang berkualitas akan membuat warga Negara Indonesia
cerdas, memiliki keterampilan hidup (life skills), mampu mengenal dan mengatasi
masalah diri dan lingkungan, mendorong tegaknya masyarakat madani yang
dijiwai nilai-nilai Pancasila. Hal tersebut menjadi salah satu tujuan Negara
sebagaimana dituangkan dalam pembukaan Undang-undang Dasar (UUD) Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa salah satu tujuan Negara Republik
Indonesia adalah “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Untuk itu setiap warga
Negara Indonesia berhak memperoleh pendidikan yang berkualitas sekurang-
kurangnya sampai tingkat pendidikan dasar, melalui sistem pendidikan nasional
yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia. Perkembangan
pandangan masyarakat akan kebutuhan pendidikan makin banyaknya peserta
didik mengakibatkan kesulitan anak tunagarahita dalam mengikuti pembelajaran
butuh program khusus.
Pendidikan agama Islam bertujuan untuk meningkatkan keyakinan,
pemahaman, penghayatan, dan pengamalan siswa tentang agama Islam sehingga
menjadi manusia muslim yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT serta
berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara juga untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi.
Tujuan pendidikan ini ditujukan kepada semua manusia, tidak memandang Anak
tersebut berkebutuhan khusus atau Anak pada umumnya. Dalam kurikulum
pendidikan Anak Tunagarhita, tujuan Pendidikan untuk Anak Tunagrahita
dirumuskan berdasarkan berat dan ringannya ketunagrahitaan untuk tunagrahita
ringan menjadi warga Negara yang baik, dapat melakukan kegiatan bina diri,
dapat bekerja, dan bergaul, sedangkan untuk Anak Tunagrahita Sedang dapat
bergaul dengan tetangga, temannya, dapat melakukan kegiatan bina diri, bekerja
dengan pengawasan. Landasan pendidikan untuk anak tunagarhita sebagai alasan
pendidikan tunagarahita dibangun berdasarkan anak tunagarahita yaitu dapat
6
mendidik dan dapat didik, perlu adanya landasan agama dan prikemanusiaan,
landasan hak anak, landasan sosial ekonomi.
Penyandang Tunagarahita (cacat ganda) adalah seorang yang mempunyai
kelainan mental, atau tingkah laku akibat kecerdasan yang terganggu, adakalanya
cacat mental dibarengi dengan cacat fisik sehingga disebut cacat ganda misalnya,
cacat intelegensi yang mereka alami disertai dengan keterbelakangan penglihatan
(cacat mata), selain cacat intelegensi inilah yang menciptakan istilah lain untuk
anak Tunagrahita yakni cacat ganda. Menurut katakteristiknya, pengelompokan
anak tunagrahita pada umumnya berdasarkan atas taraf intellegensinya, yang
terdiri dari tunagrahita ringan, sedang dan berat.
Seiring dengan keterbatasan Anak Tunagarhita maka penaganan pada
setiap pengelompokan Anak Tunagrahita memiliki cara tersendiri, mulai dari segi
akademik, pribadi dan sosial mereka. Semuanya disesuaikan dengan kondisi fisik
dan mental mereka (American Anak tunagrahita sedang merupakan bagian dari
anggota masyarakat, dalam kehidupan sehari-hari selalu dituntut untuk dapat
berperilaku sesuai norma-norma yang berlaku di lingkungannya. Untuk memenuhi
harapan tersebut, sekolah mempunyai tugas yang tidak ringan. Sekolah Luar Biasa
(SLB) sebagaimana sekolah pada umumnya tidak mendidik anak dalam mencapai
kecakapan akademisnya saja, tetapi juga membimbing dan mengarahkan aspek
sosial anak, serta keterampilan yang sesuai dengan kemampuannya.
Salah satu upaya untuk menangani masalah-masalah Anak Tunagrahita
tersebut menjadi penting bagi guru-guru Sekolah Luar Biasa dalam menyusun
strategi pembelajaran yang tepat. Untuk merealisasikan hal itu, penulis mencoba
menulis makalah dengan judul :
“PENGGUNAAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL UNTUK
MENINGKATKAN KEMAMPUAN ANAK DALAM BERWUDHU PADA
ANAK TUNAGRAHITA SEDANG DI SLB BINA BHAKTI MANDIRI (PTK
di SMALB Kelas X C1 SLB Bina Bhakti Mandiri Cisitu)”
7
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut:
1. Bagaimana cara mengajarkan membasuh telapak tangan saat berwudhu
pada anak tunagrahita sedang melalui pendekatan kontekstual ?
2. Bagaimana cara mengajarkan membersihkan mulut (berkumur-kumur)
saat berwudhu pada anak tunagrahita sedang melalui pendekatan
kontekstual ?
3. Bagaimana cara mengajarkan membasuh lubang hidung saat berwudhu
pada anak tunagrahita sedang melalui pendekatan kontekstual ?
4. Bagaimana cara mengajarkan membasuh muka saat berwudhu pada
anak tunagrahita sedang melalui pendekatan kontekstual ?
5. Bagaimana cara mengajarkan membasuh kedua tangan saat berwudhu
pada anak tunagrahita sedang melalui pendekatan kontekstual ?
6. Bagaimana cara mengajarkan membasuh mengusap sebagian rambut
saat berwudhu pada anak tunagrahita sedang melalui pendekatan
kontekstual?
7. Bagaimana cara mengajarkan membasuh kedua telinga saat berwudhu
pada anak tunagrahita sedang melalui pendekatan kontekstual ?
8. Bagaimana cara mengajarkan membasuh kedua kaki saat berwudhu
pada anak tunagrahita sedang melalui pendekatan kontekstual ?
9. Bagaimana cara mengajarkan berwudhu secara baik dan benar pada
anak tunagrahita sedang melalui pendekatan kontekstual ?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan perumusan masalah yang telah dikemukakan, maka tujuan
penelitian ini yaitu :
1. Anak dapat melakukan membasuh telapak tangan
2. Anak dapat melakukan membersihkan mulut (berkumur-kumur)
3. Anak dapat melakukan membasuh lubang hidung
4. Anak dapat melakukan membasuh muka
5. Anak dapat melakukan membasuh kedua tangan
6. Anak dapat melakukan membasuh sebagian rambut
8
7. Anak dapat melakukan membasuh kedua telinga
8. Anak dapat melakukan membasuh kedua kaki
9. Anak dapat berwudhu dengan baik dan benar
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang bisa diambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Manfaat bagi Anak
a. Siswa dapat meningkatkan pemahaman tentang urutan tata cara
berwudhu melalui pendekatan kontekstual dengan tari kreasi.
b. Siswa dapat mengikuti pembelajaran aktif, inovatif, kreatif, edukatif
dan menyenangkan (PAIKEM).
2. Manfaat bagi Guru
a. Melalui PTK ini guru dapat menjawab permasalahan yang dihadapi
mengenai pendekatan kontekstual melalui tarian kreasi dalam
meningkatkan kemampuan berwudhu pada Anak Tunagrahita Sedang.
b. Mendorong guru untuk menciptakan proses belajar mengajar yang bisa
menimbulkan keterkaitan pelajaran yang satu dengan yang lainnya.
(Pendidikan Agama Islam dengan SBK).
c. Meningkatkan kemampuan guru dalam menggunakan dan
memanfaatkan segala sumber daya kreatifitas anak yang ada
dilingkungan siswa, dalam proses pembelajaran sehingga keterampilan
proses siswa dapat dimaksimalkan.
d. Guru memperoleh pengetahuan, keterampilan dan pengalaman.
e. Guru mampu mendeteksi permasalahan yang ada di proses
pembelajaran sekaligus mencari alternatif mencari permasalahan yang
tepat.
f. Guru mampu memperbaiki proses pembelajaran didalam kelas dalam
rangka meningkatkan kemampuan siswa.
3. Manfaat bagi Sekolah
a. Sekolah mampu mengevaluasi media pembelajaran yang tepat untuk
peningkatan pemahaman belajar siswa.
9
b. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai alternatif dalam menentukan
strategi dalam memberikan pembelajaran melalui pendekatan
kontekstual.
c. Hasil penelitian dapat dijadikan acuan meningkatkan mutu
pembelajaran Pendidikan Agama Islam dengan memanfaatkan media
yang ada di sekolah.
10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kerangka Konseptual
1. Anak Tunagrahita
a. Pengertian
Tunagrahita termasuk dalam golongan anak berkebutuhan khusus
(ABK). Pendidikan secara khusus untuk penyandang tunagrahita lebih
dikenal dengan sebutan sekolah luar biasa (SLB). Pengertian tunagahita pun
bermacam-macam.
Tunagrahita ialah istilah yang digunakan untuk menyebut anak yang
mempunyai kemampuan intelektual di bawah rata-rata. Istilah lain untuk
tunagrahita ialah sebutan untuk anak dengan hendaya atau penurunan
kemampuan atau berkurangnya kemampuan dalam segi kekuatan, nilai,
kualitas, dan kuantitas.
Pengertian lain mengenai tunagrahita ialah cacat ganda. Seseorang yang
mempunyai kelainan mental, atau tingkah laku akibat kecerdasan yang
terganggu. Istilah cacat ganda yang digunakan karena adanya cacat mental
yang dibarengi dengan cacat fisik. Misalnya cacat intelegensi yang mereka
alami disertai dengan keterbelakangan penglihatan (cacat mata). Ada juga
yang disertai dengan gangguan pendengaran.
Namun, tidak semua anak tunagrahita memiliki cacat fisik. Contohnya
pada tunagrahita ringan. Masalah tunagrahita ringan lebih banyak pada
kemampuan daya tangkap yang kurang. Secara global pengertian
tunagrahita ialah anak berkebutuhan khusus yang memiliki keterbelakangan
dalam intelegensi, fisik, emosional, dan sosial yang membutuhkan
perlakuan khusus supaya dapat berkembang pada kemampuan yang
maksimal.
Berbagai definisi telah dikemukakan oleh para ahli. Salah satu definisi
yang diterima secara luas dan menjadi rujukan utama ialah definisi yang
dirumuskan Grossman (1983) yang secara resmi digunakan AAMD
(American Association on Mental Deficiency) sebagai berikut.
11
“Mental retardaction refers to significantly subaverage general
Intellectual functioning resulting in or adaptive behavior and manifested
during the developmental period”. Artinya, ketunagrahitaan mengacu pada
fungsi intelektual umum yang secara nyata (signifikan) berada di bawah
rata-rata (normal) bersamaan dengan kekurangan dalam tingkah laku
penyesuaian diri dan semua ini berlangsung (termanifestasi) pada masa
perkembangannya.
Sejalan dengan definisi tersebut, AFMR (1987) menggariskan bahwa
seseorang yang dikategorikan tunagrahita harus melebihi komponen
keadaan kecerdasannya yang jelas-jelas di bawah rata-rata, adanya
ketidakmampuan dalam menyesuaikan diri dengan norma dan tuntutan yang
berlaku di masyarakat.
b. Karakteristik Anak Tungrahita
Menurut katakteristiknya, pengelompokan anak tunagrahita pada
umumnya berdasarkan atas taraf intellegensinya, yang terdiri dari
tunagrahita ringan, sedang dan berat. Pengelompokan tersebut dapat
diuraikan sebagai berikut :
1) Tunagrahita Ringan
Tunagrahita ringan disebut juga moron atau debil. Kelompok ini
memiliki IQ antara 68-52 menurut binet, sedangkan menurut skala
weschler (WISC) memiliki IQ 69-55. Mereka masih dapat belajar
membaca, menulis dan berhitung sederhana. dengan bimbingan dan
pendidikan yang baik anak tunagrahita ringan pada saatnya akan dapat
memperoleh penghasilan untuk dirinya sendiri.
Anak tunagrahita ringan dapat dididik menjadi tenaga kerja semi
skilled seperti pekerjaan laundry, pertanian, peternakan, pekerjaan rumah
tangga, bahkan jika dilatih dan dibimbing dengan baik anak tunagrahita
ringan dapat bekerja dipabrik-pabrik dengan sedikit pengawasan.
Namun demikian anak tunagrahita ringan tidak mampu melakukan
penyesuaian sosial secara independen. Ia akan membelanjakan uangnya
dengan semaunya, tidak dapat merencanakan masa depan dan bahkan suka
berbuat kesalahan.
12
Pada umumnya anak tunagrahita pada umumnya tidak mengalami
gangguan fisik. Mereka secara fisik tampak seperti anak normal pada
umumnya. Oleh karena itu agak sukar membedakan secara fisik antara
anak tuna grahita ringan dengan anak normal.
2) Tunagrahita Sedang
Anak tunagrahita sedang disebut juga imbisil. Kelompok ini
memiliki IQ 51-36 berdasarkan skala binet sedangkan menurut skala
wsechler (WISC) memiliki IQ 54-40. Anak tuna grahita sedang bisa
mencapai perkembangan MAsampai kurang lebih 7 tahun. Mereka dapat
dapat dididik mengurus diri, melindungi diri sendiri dari bahaya seperti
menghindari kebakaran, berjalan dijalan raya, berlindung dari hujan dan
sebagainya.
Anak tunagrahita sedang sangat sulit bahkan tidak dapat belajar
secara seperti belajar menulis, membaca dan berhitung, walaupun mereka
masih dapat menulis secara social misalnya menulis namanya sendiri,
alamatnya dan lain-lain, dapat dididik mengurus diri seperti mandi,
berpakaian, makan, minum, mengerjakan pekerjaan rumah tangga ringan
seperti menyapu,membersihkan perabot rumah tangga dan sebagainya.
Dalam kehidupan sehari-hari membutuhkan pengawasan yang terus
menerus.
3) Tunagrahita Berat
Kelompok anak tuna grahita ringan disebut idiot. Kelompok ini
dapat dibedakan lagi antara anak tuna grahita berat dan sangat berat.
Tunagrahita berat (severe) memiliki IQ antara 32-20 menuru skala binet
dan antara 39-25 menurut skala wsechler (WISC). Tunagrahita sangat
berat (provound) memiliki IQ dibawah 19 menurut skala binet dan IQ
dibawah 24 menurut skala wsechler (WISC). Kemampuan mental
maksimal dapat dicapai kurang dari 3 tahun.
Tunagrahita berat memerlukan bantuan perawatan secara total dalam
hal berpakaian, mandi, makan dll. Bahkan mereka memerlukan
perlindungan dari bahaya sepanjang hidupnya.
Karakteristik belajar dalam pembicaraan ini adalah hal-hal yang
perlu diperhatikan dalam belajar anak tunagrahita yang harus disesuaikan
13
dengan keadaannya. Berhubung keadaan anak tunagrahita sedemikian
rupa, maka tentu saja dalam pembelajarannya harus memperhatikan ciri-
ciri yang berkaitan dengan situasi belajarnya.
c. Kebutuhan Pendidikan Bagi Tunagrahita
Anak tunagrahita sangat memerlukan pendidikan serta layanan khusus
yang berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Ada beberapa pendidikan
dan layanan khusus yang disediakan untuk anak tunagrahita, yaitu:
1) Kelas Transisi
Kelas ini diperuntukkan bagi anak yang memerlukan layanan
khusus termasuk anak tunagrahita. Kelas transisi sedapat mungkin
berada disekolah reguler, sehingga pada saat tertentu anak dapat
bersosialisasi dengan anak lain. Kelas transisi merupakan kelas
persiapan dan pengenalan pengajaran dengan acuan kurikulum SD
dengan modifikasi sesuai kebutuhan anak.
2) Sekolah Khusus (Sekolah Luar Biasa bagian C dan C1/SLB-C,C1)
Layanan pendidikan untuk anak tunagrahita model ini diberikan
pada Sekolah Luar Biasa. Dalam satu kelas maksimal 10 anak dengan
pembimbing/pengajar guru khusus dan teman sekelas yang dianggap
sama keampuannya (tunagrahita). Kegiatan belajar mengajar sepanjang
hari penuh di kelas khusus. Untuk anak tunagrahita ringan dapat
bersekolah di SLB-C, sedangkan anak tunagrahita sedang dapat
bersekolah di SLB-C1.
3) Pendidikan terpadu
Layanan pendidikan pada model ini diselenggarakan di sekolah
reguler. Anak tunagrahita belajar bersama-sama dengan anak reguler di
kelas yang sama dengan bimbingan guru reguler. Untuk matapelajaran
tertentu, jika anak mempunyai kesulitan, anak tunagrahita akan
mendapat bimbingan/remedial dari Guru Pembimbing Khusus (GPK)
dari SLB terdekat, pada ruang khusus atau ruang sumber. Biasanya
anak yang belajar di sekolah terpadu adalah anak yang tergolong
tunagrahita ringan, yang termasuk kedalam kategori borderline yang
biasanya mempunyai kesulitan-kesulitan dalam belajar (Learning
Difficulties) atau disebut dengan lamban belajar (Slow Learner).
14
4) Program sekolah di rumah
Progam ini diperuntukkan bagi anak tunagrahita yang tidak mampu
mengkuti pendidikan di sekolah khusus karena keterbatasannya,
misalnya: sakit. Proram dilaksanakan di rumah dengan cara
mendatangkan guru PLB (GPK) atau terapis. Hal ini dilaksanakan atas
kerjasama antara orangtua, sekolah, dan masyarakat.
5) Pendidikan inklusif
Sejalan dengan perkembangan layanan pendidikan untuk anak
berkebutuhan khusus, terdapat kecenderungan baru yaitu model
Pendidikan Inklusif. Model ini menekankan pada keterpaduan penuh,
menghilangkan labelisasi anak dengan prinsip “Education for All”.
Layanan pendidikan inklusif diselenggarakan pada sekolah reguler.
Anak tunagrahita belajar bersama-sama dengan anak reguler, pada kelas
dan guru/pembimbing yang sama. Pada kelas inklusi, siswa dibimbing
oleh 2 (dua) orang guru, satu guru reguler dan satu lagu guru khusus.
Guna guru khusus untuk memberikan bantuan kepada siswa tunagrahita
jika anak tersebut mempunyai kesulitan di dalam kelas. Semua anak
diberlakukan dan mempunyai hak serta kewajiban yang sama. Tapi saat
ini pelayanan pendidikan inklusif masih dalam tahap rintisan.
2. Pendidikan Agama Islam
a. Pengertian
Semua manusia tanpa terkecuali, memerlukan pendidikan. Dalam hal
ini tentunya pendidikan agama Islam sebagai dasar agar dapat
berkomunikasi dengan Pencipta.
Menurut Heri Jauhari Mukhtar dalam bukunya Fiqih Pendidikan,
“Pendidikan agama adalah cara satu-satunya yang baik dan efisien untuk
menanamkan akhlak yang mulia dan mengajarkan budi pekerti yang halus
pada seseorang”. Karena agama dengan pengaruhnya yang kuat terhadap
jiwa seseorang dapat membentuk mental yang luhur dan membangkitkan
naluri yang peka dalam dirinya. Kepekaan naluri dan kesadaran jiwa
merupakan intisari dan hakekat iman serta bibit aqidah yang mantap, serta
15
menandakan Allah SWT meridhoi dan menghendaki kebaikan bagi seorang
hamba-Nya.
Pendidikan Islam menurut Naqvid Al-Attas ( Hasan Langgulung, 1984 :
52) merupakan proses pengenalan yang ditanamkan secara bertahap dan
berkesinambungan dalam diri manusia mengenai objek – objek yang benar
sehingga hal itu akan membimbing manusia kearah pengenalan dan
pengakuan terhadap eksistensi Tuhan dalam kehidupan, kemudian dengan
pengetahuan itu manusia diarahkan untuk mengembangkan kehidupan yang
lebih baik.
Para ahli pendidikan Islam telah sepakat bahwa maksud dari pendidikan
dan pengajaran bukanlah memenuhi otak anak didik dengan segala macam
ilmu yag belum mereka ketahui (M. Athiyah Al-Abrasyi 1970 : 1), tetapi
maksudnya adalah mendidik akhlak dan jiwa mereka, menanamkan rasa
fadillah, membiasakan mereka dengan kesopanan yang tinggi dan
mempersiapkan mereka untuk suatu kehidupan yang suci seluruhnya ikhlas
dan jujur. Maka tujuan pokok pendidikan Islam adalah mendidik budi
pekerti dan pendidikan jiwa.
b. Prinsip-prinsip Pembelajaran PAI bagi Anak Tunagrahita
Siswa tunagrahita mempunyai permasalahan yang majemuk dan
komplek dalam proses pembelajaran. Pembelajaran PAI hendaknya
menyesuaikan dengan karakteristik dan spesifikasi kemampuan siswa.
Penyesuaian tersebut baik dari segi mental, sosial, fisik, intelegensi
kemampuan motorik dan psikososialnya. Adapun prinsip-prinsip
pembelajaran bagi siswa tunagrahita dibagi menjadi prinsip-prinsip umum
dan prinsip-prinsip khusus.
1) Prinsip-Prinsip Umum
a) Prinsip Kasih Sayang
Setiap proses pembelajaran hendaknya dilakukan dengan dasar
kasih sayang, sifat kasih sayang merupakan prinsip dasar. Prinsip kasih
sayang ini diartikan sebagai pemberian perhatian secara tulus-ikhlas oleh
guru kepada para siswanya, yaitu menyangkut kesediaan pendidik untuk
berbahasa lemah lembut, berperangai sabar dan tidak mudah marah, suka
16
memaafkan, rela berkorban, bertindak sportif, memberi contoh prilaku
yang positif, ramah, supel terhadap para siswanya. Pemberian kasih
sayang kepada siswa tunagrahita merupakan salah satu cara untuk
menarik perhatian siswa dalam proses pembelajaran. Dengan sikap
tersebut diharapkan siswa tertarik dan memperhatikan apa yang diajarkan
oleh guru, sehingga akan menumbuhkan rasa percaya diri. Misalnya
ketika siswa yang memiliki perilaku malas, cengeng, usil, suka
mengganggu teman, kurang percaya diri, sulit bersosialisasi, mudah
putus asa dan lain-lain, maka tindakan guru adalah dengan memberikan
perhatian dan kasih sayang. Guru hendaknya memberikan permainan
edukatif yang bisa menghentikan perilaku negatif tersebut.
b) Prinsip Keperagaan
Peragaan adalah penggunaan alat peraga untuk membantu
memudahkan penyerapan informasi dari suatu komunikasi timbalbalik.
Dalam proses pembelajaran pada hakekatnya terdapat unsur komunikasi
timbal-balik antara guru dengan siswa. Siswa tunagrahita akan lebih
mudah tertarik perhatiannya, apabila dalam proses pembelajaran
menggunakan berbagai media, alat dan metode. Dengan prinsip
keperagaan akan memudahkan siswa dalam menyampaikan materi
pelajaran dan membantu memudahkan siswa dalam menerima materi
pelajaran tersebut. Oleh karena itu, dalam proses pembelajaran
hendaknya guru lebih banyak menggunakan alat peraga yang disesuaikan
dengan kondisi dan karakteristik siswa tunagrahita. Misalnya ketika
siswa belajar praktek sholat, maka guru harus menyediakan alat peraga
misalnya VCD tentang sholat. Kemudian pendidik memperagakan satu
demi satu, mulai bacaan maupun gerakannya. Siswa juga harus
ditanamkan kebiasaan sholat sejak dini, yaitu mengajak dan
membiasakan sholat berjamaah di sekolahnya. Guru tidak hanya
mengajar di kelas saja, tetapi juga ada tindakan langsung untuk
membiasakan sholat di sekolah dan di rumah bersama orang tuanya
mustahil peserta didik tunagrahita akan memiliki kemampuan dan
kebiasaan untuk sholat dengan baik.
17
c) Prinsip Pelayanan Individual
Pelayanan individual adalah pemberian bantuan, bimbingan dan
pengarahan kepada seorang siswa, secara perseorangan sesuai dengan
kemampuannya dalam mengikuti proses pembelajaran. Pendekatan
individual ini lebih tepat diterapkan untuk menangani siswa tuna grahita
dari pada pendekatan klasikal. Pembelajaran bagi siswa tunagrahita
menggunakan prinsip pelayanan individual karena siswa tunagrahita
sangat heterogen; memiliki keunikan dalam cara belajar, tempo belajar,
stabilitas emosi, perkembangan sensori-motorik dan lain-lain.
d) Prinsip Kesiapan
Prinsip kesiapan adalah ketika guru akan melaksanakan proses
pembelajaran harus memperhatikan tahap kematangan, perkembangan
dan pertumbuhan siswa. Setiap siswa mengalami masa kematangan,
perkembangan dan pertumbuhan berbeda-beda. Hal ini yang
memungkinkan siswa dapat mengerjakan atau siap menerima materi
pelajaran. Kematangan psikis dan fisik sangat diperlukan oleh siswa saat
akan belajar. Misalnya, supaya siswa dapat belajar membaca al-Qur’an
dengan baik, maka harus sudah mempunyai kemampuan mengenal huruf
hijaiyyah, membaca dan melafalkan huruf hijaiyyah serta menulis huruf
hijaiyah.
e) Prinsip Habilitasi dan Rehabilitasi
Usaha habilitasi adalah usaha agar siswa tunagrahita menyadari
bahwa mereka masih memiliki kemampuan atau potensi yang dapat
dikembangkan. Usaha tersebut juga menyangkut bagaimana cara
memupuk dan mengembangkan kemampuan yang mereka miliki. Siswa
tunagrahita masih memiliki kemampuan, tetapi terbatas dan bahkan ada
yang sangat terbatas. Karena itu diperlukan usaha untuk
mengaktualisasikan kemampuan yang terbatas tersebut dengan berbagai
cara supaya dapat mengembangkan rasa percaya diri dan memiliki harga
diri. Guru memberikan tugas kepada siswa tunagrahita sesuai dengan
kemampuan siswa. Usaha rehabilitasi pada siswa tuna grahita menuntut
keterlibatan beberapa ahli, misalnya siswa, dokter spesialis, pekerja
sosial, psikiater, ahli terapi bicara dll. Penanganan rehabilitasi harus
18
dilakukan secara bertahap, sistematis, berkelanjutan, serta berjangka dan
dikoordinasikan dalam bentuk tim atau kelompok kerja. Dengan
demikian pendidik agama Islam dalam melaksanakan rehabilitasinya
hendaknya berpegang pada prinsip rehabilitasi, yaitu menjalin kerja sama
yang harmonis dengan para ahli.
f) Prinsip Penanaman dan Penyempurnaan Sikap
Sikap dan penampilan seseorang dalam pergaulan sangat
menentukan. Kesan pertama mengenai seseorang didapat dari
penampilannya. Ada seseorang yang cepat dikenal dan diterima dalam
pergaulan, dan ada pula yang sebaliknya. Siswa tunagrahita dikenal
sebagai pribadi yang mengalami kesulitan mengenal konsep diri, maka
pelajaran bina diri merupakan kebutuhan khusus yang harus diajarkan
kepada siswa tunagrahita. Siswa tunagrahita sering menunjukkan sikap
fisik kurang sempurna, sulit konsentrasi atau khusyu’ dalam sholat,
badan bungkuk kedepan, jalan terhuyung-huyung dengan tumit agak
diangkat dan suka melamun. Oleh karena itu, guru harus sabar
membetulkan dan membenahi jika ada sikap dan perbuatan yang salah
atau tidak tepat tersebut.
2) Prinsip-Prinsip Khusus
Problema mendasar bagi siswa tunagrahita ringan adalah memiliki
Intelegensi dibawah rata-rata. Oleh sebab itu guru hendaknya selalu
memperhatikan prinsip-prinsip khusus agar materi PAI lebih fungsional,
aplikatif dan bermanfaat bagi siswa. Adapun prinsip-prinsip tersebut antara
lain :
a) Menyederhanakan materi bila terdapat materi yang sulit diterima oleh
siswa.
b) Menghindari penyampaian materi PAI secara abstrak, teoritis dan
verbal.
c) Penyampaian materi PAI secara kontekstual, praktis, mudah, visual,
bertahap, berkesinambungan dan berulang-ulang, agar siswa dapat
menerima dan memahami.
d) Mengoptimalkan potensi afektif dan psikomotor dari pada
kognitifnya.
19
e) Menggunakan media dan metode yang sesuai dengan kebutuhan
siswa.
3. Berwudhu
a. Pengertian
Wudhu menurut lugot (bahasa) berarti bersih dan indah. Sedangkan
menurut syara’ berarti membersihkan anggota–anggota wudhu untuk
menghilangkan hadas kecil.
Wudhu adalah suatu syarat untuk sahnya shalat yang dikerjakan
sebelum orang mengerjakan shalat. Perintah wajib wudhu ini sebagaimana
firman Allah Swt. Yang bunyinya sebagai berikut:
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu akan mengerjakan
shalat, basuhlah wajahmu dan dua tanganmu hingga kedua siku, sapulah
kepalamu kemudian basuhlah kedua kakimu hingga kedua mata kaki”(QS.
Al-Ma’idah ,ayat 6).
b. Tujuan Wudhu
Ibadah yang oleh karenanya seseorang berwudhu disebut tujuan wudhu,
dan itu antara lain adalah :
1) Shalat wajib atau sunnah
2) Tawaf
3) Menyentuh tulisan al-qur’an.
Telah diriwayatkan dari imam shadiq bahwa beliau berkata
kepadanya Isma’il “Hai anakku, bacalah mushaf!” anaknya
berkata, Saya belum berwudhu1 beliau berkata, “jangan sentuh
tulisannya, sentuhlah kertasnya dan baca.”
Perlu disebutkan disini bahwa menyentuh al-Qur’an sebenarnya bukan
termasuk tujuan wudhu, karena menyentuh bukan wajib dan bukan pula
sunah, jika demikian, wudhu untuk menyentuh lebih tidak wajib dan lebih
tidak sunah lagi, karena sarana tidaklah wajib bila tanpa tujuan dank arena
yang mengikuti tidak akan lebih dari yang diikuti. Atas dasar ini, wudhu
untuk menyentuh sama sekali tidak disyariatkan. Kalau begitu, yang
dimaksud adalah: orang yang tidak berwudhu diharamkan baginya
20
menyentuh tulisan Al-Qur’an dan yang berwudhu untuk tujuan lain boleh
menyentuh tulisan yang suci itu.
c. Syarat-syarat Wudhu
Ada beberapa syarat – syarat yang harus dipenuhi dalam berwudhu,
diantaranya :
1) Air yang digunakan untuk berwudhu harus air yang mutlaq / suci.
2) Air yang halal, bukan hasil ghasab (hasil curian)
3) Suci anggota wudhu dari najis
4) Melaksanakan wudhu sendiri, tidak boleh diwakilkan oleh orang lain
5) Diwajibkan adanya urutan di antara anggota – anggota wudhu.
6) Wajib bersifat segera. Artinya, tidak ada tenggang waktu yang
panjang dalam membasuh nggota wudhu yang satu dengan yang
lain, sebelum kering. Kecuali airnya kering karena terkena sinar
matahari, ataupun panas badan.
Untuk sah nya wudhu, disyaratkan adanya waktu yang cukup untuk
wudhu dan salat, dalam arti bahwa setelah berwudhu yang bersangkutan
masih memungkinkan untuk melaksanakan shalat yang dimaksud pada
waktunya yang telah ditentukan. Sedangkan jika waktunya sempit, dimana
jika ia berwudhu maka keseluruhan salatnya atau sebahagian salatnya
berada diluar waktu salat yang telah ditentukan, sementara jika ia
tayammum maka keseluruhan salatnya masih bias ia laksanakan, maka
dalam hal ini ia wajib tayammum, maka apabila ia berwudhu, maka batallah
wudhunya. Dan adapun syarat sah wudhu antara lain:
1) Islam; orang yang tidak beragama islam tidak sah melaksanakan
wudhu
2) Tamyiz, yakni dapat membedakan baik buruknya sesuatu pekerjaan
3) Tidak berhadats besar
4) Dengan air suci, lagi mensucikan (air mutlak)
5) Tidak ada sesuatu yang menghalangi air, sampai ke anggota wudhu,
misalnya getah, cat dan sebagainya
6) Tidak ada najis pada tubuh, sehingga merubah salah satu sifat air
yang suci lagi mensucikan.
21
d. Fardhu Wudhu
Fardhu wudhu ada enam perkara, yakni:
1) Niat: hendaknya berniat menghilangkan hadast kecil, dan cara
melakukannya tepat pada waktu membasuh muka, sesuai dengan
pengertian niat itu sendiri : “Qhasdus Syai’in, muqtarinan bi
fi’lihi”
2) Yang artinya : meniatkan sesuatu secara beriringan dengan
perbuatan.
3) Membasuh seluruh muka (mulai dari tumbuhnya rambut kepala
hingga bawah dagu, dan dari telinga kanan hingga telinga kiri)
4) Membasuh kedua tangan sampai siku-siku
5) Mengusap sebagian rambut kepala
6) Membasuh kedua belah kaki sampai mata kaki
7) Tertib (berturut-turut), artinya mendahulukan mana yang harus
didahulukan, dan mengakhirkan mana yang harus diakhirkan.
e. Sunnah-sunnah Wudhu
Ada beberapa sunnah dalam melaksanakan wudhu, antara lain :
1) Membaca basmallah pada permulaan wudhu
2) Membasuh kedua telapak tangan sampai pergelangan
3) Berkumur-kumur
4) Membasuh lubang hidung sebelum berniat
5) Menyhapu seluruh kepala dengan air
6) Mendahulukan naggota kanan daripada kiri
7) Menyapu kedua telinga luar dan dalam
8) Menigakalikan membasuh
9) Menyela-nyela jari-jari tangan dan kaki
10) Membaca doa sesudah wudhu
Namun ada beberapa hal yang perlu kita ketahui selain sunnah dalam
waktu melaksanakan wudhu, yakni sunah berwudhu.
Tersebut dalam kitab “Wasa’il al-Syi’ah” dari Syeh Mufid, bahwa
Rasulullah Saw bersabda “Hai Anas, banyak-banyaklah bersuci, maka Allah
22
akan memperpanjang umurmu. Jika kamu bias senantiasa dalam wudhu
pada malam dan siang hari, kerjakanlah, karena jika kamu mati dalam
keadaan wudhu, maka kamu syahid”. Dari Nabi Saw : “Siapa yang berhadas
dan tidak berwudhu, maka ia telah memutuskan hubungannya denganku”.
Riwayat-riwayat di atas dan lainnya menunjukkan bahwa wudhu
disamping merupakan sarana kepada yang lainnya, juga merupakan tujuan
itu sendiri dan mempunyai nilai lebih. Karena itu, seseorang boleh
berwudhu sekadar agar ia senantiasa dalam keadaan suci sepanjang hari.
Atas dasar ini maka wudhu adakalanya wajib untuk lainnya. Seperti :
shalat lima waktu; tawaf wajib, dan nazar. Dan adakalanya sunah karena
wudhu itu sendiri atau karena lainny, seperti : salat sunnah dan tawaf sunah.
f. Hal – Hal yang Membatalkan Wudhu
Adapun hal-hal yang dapat membatalkan wudhu antara lain:
1) Keluar sesuatu dari qubul dan dubur meskipun hanya angin.
2) Hilang akal karena gila, pingsan, mabuk, atau tidur nyenyak.
3) Bersentuhan kulit anatara laki-laki dan perempuan yang bukan
muhrimnya dan tidak memakai tutup.
4) Tersentuh kemaluan (qubul dan dubur) dengan tapak tangna atau jari
yang tidak memakai tutup.
4. Pendekatan Kontekstual
Pendekatan kontekstual adalah salah satu pembelajaran yang dapat
digunakan oleh guru untuk melaksanakan kegiatan proses pembelajaran.
Pendekatan pembelajaran merupakan jalan yang akan ditempuh oleh guru dan
siswa dalam upaya mencapai tujuan intruksional untuk suatu satuan
intruksional tertentu (Syarif Sagala, 2007:68). Dalam tulisan ini penulis akan
menguraikan pendekatan kontekstual, sesuai dengan judul sub bab ini, yang
akan memaparkan pengertian, tujuan, karakteristik dan strategi penerapan
pembelajaran kontekstual dan penerapan pembelajaran kontekstual di kelas.
23
a. Pengertian Pembelajaran Kontekstual
Pembelajaran kontekstual dapat dikatakan sebagai sebuah pendekatan
pembelajaran yang mengakui dan menunjukan kondisi alamiah
pengetahuan. Melalui hubungan di dalam dan di luar ruang kelas, suatu
pendekatan pembelajaran kontekstual menjadikan pengalaman lebih relevan
dan berarti bagi siswa dalam membangun pengetahuan yang akan mereka
terapkan dalam pembelajaran seumur hidup. Pembelajaran kontekstual
menyajikan suatu konsep yang mengaitkan materi pelajaran yang dipelajari
siswa dengan konteks materi tersebut digunakan, serta hubungan bagaimana
seseorang belajar atau siswa belajar.
Dengan demikian, dalam kegiatan pembelajaran perlu adanya upaya
membuat belajar lebih mudah, sederhana, bermakna dan menyenangkan
agar siswa mudah meneriman ide, gagasan, mudah memahami
permasalahan dan pengetahuan serta dapat mengkonstruksi sendiri
pengetahuan barunya secara aktif, kreatif dan produktif. Untuk mencapai
usaha tersebut segala komponen pembelajaran harus dipertimbangkan
termasuk pendekatan kontekstual.
Depdiknas (2002), menyampaikan bahwa pendekatan kontekstual
adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang
diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat
hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapan dalam
kehidupan mereka sehari-hari. Selain itu pembelajaran kontekstual
merupakan suatu konsep tentang pembelajaran yang membantu guru-guru
untuk menghubungkan isi bahan ajar dengan situasi-situasi dunia nyata serta
penerapannya dalam kehidupan sehari-hari sebagai anggota keluarga, warga
negara dan pekerjaan serta terlibat aktif dalam kegiatan belajar mengajar
yang dituntut dalam pelajaran.
Pada dasarnya pembelajaran kontekstual merupakan pembelajaran yang
membantu guru untuk mengaitkan materi yang dipelajari dengan kehidupan
nyata, dan memotivasi siswa untuk mengaitkan pengetahuan yang
didapatnya dengan kehidupan mereka sehari-hari. Nurhadi (2004: 13),
menyatakan bahwa pembelajaran kontekstual adalah konsep belajar dimana
guru menghadirkan dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa
24
membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan
penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa pembelajaran kontekstual adalah pembelajaran yang
memotivasi siswa untuk menghubungkan antara pengetahuan yang
diperolehnya dari proses belajar dengan kehidupan mereka sehari-hari, yang
bermanfaat bagi mereka untuk memecahkan suatu masalah di lingkungan
sekitarnya. Sehingga pembelajaran yang diperoleh siswa lebih bermakna.
b. Tujuan model pembelajaran kontekstual
1) Model pembelajaran ini menekankan dalam belajar itu tidak hanya
sekedar menghafal tetapi perlu dengan adanya pemahaman
2) Model pembelajaran ini menekankan pada pengembangan minat
pengalaman siswa.
3) Model pembelajaran ini bertujuan untuk melatih siswa agar dapat
berfikir kritis dan terampil dalam memproses pengetahuan agar
dapat menemukan dan menciptakan sesuatu yang bermanfaat bagi
dirinya sendiri dan orang lain.
4) Agar pembelajaran lebih produktif dan bermakna.
5) Untuk mengajak anak pada suatu aktivitas yang mengkaitkan materi
akademik dengan konteks jehidupan sehari-hari.
6) Agar siswa secara individu dapat menemukan dan mentrasfer
informasi-informasi komplek dan siswa dapat menjadikan informasi
itu miliknya sendiri.
c. Karakteristik pembelajaran kontekstual
1) Pembelajaran dilaksanakan dalam konteks autentik, yaitu
pembelajaran yang diarahkan pada ketercapaian keterampilan dalam
konnteks kehidupan nyata atau pembelajaran yang dilaksanakan
dalam lingkungan yang alamiah (learning in real life setting).
2) Pembelajaran memberikan kesempatan kepada siswa untuk
mengerjakan tugas-tugas yang bermakna (meaningful learnig).
3) Pembelajaran dilaksanakan dengan meberikan pengalaman
bermakna kepada siswa (learning by doing).
4) Pembelajaran dilaksanakan melalui kerja kelompok, berdiskusi,
saling mengoreksi antarteman (learning in a group).
25
5) Pembelajaran memberikan kesempatan untuk menciptakan rasa
kebersamaan, bekerjasama, dan saling memahami antara satu dengan
yang lain secara mendalam (learning to know each other deeply).
6) Pembelajaran dilaksanakan secara aktif, kreatif, produktif, dan
mementingkan kerjasama (learning to ask, to inquiry, to work
together).
7) Pembelajaran dilaksanakan dalam situasi yang menyenangkan
(learning as an enjoy activity).
8) Pembelajaran yang kontekstual adalah belajar dalam rangka
memperoleh dan menambah pengetahuan baru.
9) Melakukan refleksi terhadap strategi pengembangan pengetahuan.
d. Strategi Penerapan Pembelajaran Kontekstual
Beberapa strategi pembelajaran yang perlu dikembangkan oleh guru
secara konstektual antara lain :
1) Pembelajaran berbasis masalah.
Dengan memunculkan problem yang dihadapi bersama, siswa
ditantang untuk berfikir kritis untuk memecahkan.
2) Menggunakan konteks yang beragam.
Dalam CTL guru membermaknakan pusparagam konteks sehingga
makna yang diperoleh siswa menjadi berkualitas.
3) Mempertimbangkan kebhinekaan siswa.
Guru mengayomi individu dan menyakini bahwa perbedaan
individual dan social seyogianya dibermaknakan menjadi mesin
penggerak untuk belajar saling menghormati dan toleransi untuk
mewujudkan ketrampilan interpersonal.
4) Memberdayakan siswa untuk belajar sendiri.
Pendidikan formal merupakan kawah candra dimuka bagi siswa
untuk menguasai cara belajar untuk belajar mandiri dikemudian hari.
5) Belajar melalui kolaborasi
Dalam setiap kolaborasi selalu ada siswa yang menonjol
dibandingkan dengan koleganya dan sisiwa ini dapat dijadikan
sebagai fasilitator dalam kelompoknya.
6) Menggunakan penelitian autentik
26
Penilaian autentik menunjukkan bahwa belajar telah berlangsung
secara terpadu dan konstektual dan memberi kesempatan pada siswa
untuk dapat maju terus sesuai dengan potensi yang dimilikinya.
7) Mengejar standar tinggi
Setiap sekolah seyogianya menentukan kompetensi kelulusan dari
waktu kewaktu terus ditingkatkan dan setiap sekolah hendaknya
melakukan Benchmarking dengan melakukan study banding
keberbagai sekolah dan luar negeri.
Berdasarkan Center for Occupational Research and
Development (CORD) Penerapan strategi pembelajaran konstektual
digambarkan sebagai berikut:
a. Relating
Belajar dikatakan dengan konteks dengan pengalaman nyata, konteks
merupakan kerangka kerja yang dirancang guru untuk membantu peserta
didik agar yang dipelajarinya bermakna.
b. Experiencing
Belajar adalah kegiatan “mengalami “peserta didik diproses secara aktif
dengan hal yang dipelajarinya dan berupaya melakukan eksplorasi
terhadap hal yang dikaji, berusaha menemukan dan menciptakan hal
yang baru dari apa yang dipelajarinya.
c. Applying
Belajar menekankan pada proses mendemonstrasikan pengetahuan yang
dimiliki dengan dalam konteks dan pemanfaatanya.
d. Cooperative
Belajar merupakan proses kolaboratif dan kooperatif melalui kegiatan
kelompok, komunikasi interpersonal atau hubunngan intersubjektif.
e. Transfering
Belajar menenkankan pada terwujudnya kemampuan memanfaatkan
pengetahuan dalam situasi atau konteks baru.
Ciri kelas yang menggunakan pendekatan konstektual : Pengalaman
nyata, kerja sama, saling menunjang, gembira, belajar dengan bergairah,
pembelajaran terintegrasi, menggunakan berbagai sumber, siswa aktif dan
kritis, menyenangkan, tidak membosankan, guru kreatif.
27
B. Hasil Penelitian yang Relevan
Sebagai bahan pembanding, peneliti melakukan kajian terhadap penelitian
terdahulu yang dianggap memiliki relevansi dengan penelitian yang sedang
dilaksanakan. Beberapa hasil penelitian terdahulu, antara lain sebagai berikut:
1. L. Kamalia (2009), dengan judul “Model Pembelajaran Seni Tari Bagi Anak
Tunagrahita Ringan Melalui Pendekatan Kontekstual di SLB-C Sukapura
Bandung”. Dari hasil penelitian yang telah dilakukannya tersebut
menyimpulkan bahwa model pembelajaran kontekstual dapat digunakan
untuk pembelajaran seni tari bagi anak tunagrahita ringan. Model
pembelajaran kontekstual sejalan dengan kurikulum SLB-C Sukapura
Bandung yang bersifat tematik.
2. Rantini (2010), dengan judul “Metode Pembelajaran Pendidikan Agama
Islam (PAI) Bagi Anak Tunagrahita di SLBN Semarang”. Dari hasil
penelitian yang telah dilakukannya tersebut menyimpulkan bahwa
penerapan masing-masing metode pembelajaran PAI bagi siswa tunagrahita
dilaksanakan dengan cara diulang-ulang, baik mengulang penjelasan materi
maupun mengulang teknik yang diajarkan. Siswa sering berbicara sendiri,
oleh karena itu guru harus aktif berkomunikasi dengan siswa.
C. Hipotesis Tindakan
Pembelajaran PAI melalui pendekatan kontekstual dapat meningkatkan
pemahaman siswa dalam tata cara berwudhu.
28
BAB III
METODE
A. Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan Penelitian
Tindakan Kelas (PTK). Arah dan tujuan tindakan kelas (classroom action
research) yang dilakukan oleh guru adalah demi kepentingan peserta didik dalam
memperoleh hasil belajar yang memuaskan.(Arikunto, 2008:2).
Rochiati Wiraatmadja (2006:36) mengemukakan bahwa Penelitian
Tindakan Kelas dapat memperkecil kesenjangan antara idealisme seorang guru
yang baik dengan tampilan sehari-hari agar guru bekerja lebih profesional.
Selanjutnya Rochiati W (2006:75) mengingatkan bahwa tujuan dasar Penelitian
Tindakan Kelas adalah memperbaiki pembelajaran guru di kelas, bukan untuk
menghasilkan pengetahuan atau teori.
Ada beberapa model Penelitian Tindakan Kelas, salah satu diantarnya
adalah model Pelaksanaan Penelitian Tindakan Kelas yang dikemukakan oleh
Arikunto (2008:20) mencakup empat langkah , yaitu: (1) perencanaan, (2)
pelaksanaan, (3) pengamatan dan (4) refleksi (perenungan). Proses Penelitian
Tindakan Kelas itu oleh Mc Kernan dalam Depdikbud (1999:6), dijabarkan lagi
ke dalam tujuh langkah, yaitu:
1. Analisis situasi (reconnaissance) atau kenal medan.
2. Perumusan dan klarifikasi masalah.
3. Hipotesisi tindakan.
4. Perencanaan tindakan.
5. Implementasi tindakan dan monitoringnya.
6. Evaluasi hasil tindakan.
7. Refleksi hasil tindakan keputusan untuk pengembangan selanjutnya.
Ditinjau dari rumusan sederhana Arikunto, maka langkah (1), (2), (3) dan
(4) merupakan penjabaran dari langkah perencanaan. Langkah (5), (6) dan (7)
merupakan langkah pelaksanaa, pengamatan dan refleksi. Langkah-langkah
penelitian kelas yang digunakan peneliti adalah model Penelitian Tindakan Kelas
yang mencakup empat langkah sebagaimana dikemukakan di atas.
29
B. Waktu dan Lokasi Penelitian
Waktu penelitian dilakukan dari bulan Juli 2013 sampai dengan Desember
2013 dan dilakukan di SLB Bina Bhakti Mandiri yang terletak di Jalan Raya
Sumedang Darmaraja KM 18, Dusun Dustan RT 03 RW 04 Desa Situmekar
Kecamatan Cisitu Kabupaten Sumedang, dengan menggunakan sample penelitian
anak-anak tunagrahita sedang kelas X SMALB.
Penentuan lokasi SLB Bina Bhakti Mandiri ini lebih kepada pemilihan
berdasarkan kebutuhan proses aplikasi yang diinginkan, yaitu dalam penerapan
pendekatan kontekstual pada anak tunagrahita, dapat dijadikan sebagai studi kasus
dalam penelitian ini, sehingga dapat menjawab rumusan masalah yang menjadi
fokus penelitian. Dengan demikian pemilihan sample didasarkan atas purposive
sampling.
C. Proses/Siklus Penelitian
Model PTK yang akan digunakan adalah Model yang diperkenalkan oleh
Kurt Lewin (Depdiknas, 2003:16), yaitu bahwa satu siklus terdiri dari empat
langkah, yaitu: (1) perancanaan (planning), (2) aksi atau tindakan (action), (3)
observasi (observing), (4) refleksi (reflecting), hal tersebut dapat digambarkan
sebagai berikut:
SIKLUS PELAKSANAAN PTK
P
Gambar 3.1
(Bagan diadopsi dari langkah-langkah Penelitian Tindakan Kelas)
Pelaksanaan
Pengamatan
pelaksanaan
SIKLUS 1
Refleksi
Perencanaan
SIKLUS 2
Refleksi
PERENCANAAN PENGAMATAN
30
Dalam penelitian ini akan menggunakan PTK eksferimentalis yang
ditujukan untuk mengetahui hubungan antara teknik maupun metode yang
berkaitan dengan penerapan pendekatan kontekstual learning yang dikhususkan
dalam pembelajaran PAI. Teknik pengumpulan data yang digunakan berupa
observasi partisifasi langsung ke lapangan dengan menerapkan pendekatan
kontekstual learning, kemudian diadakan pengukuran untuk memperoleh fakta-
fakta dari gejala-gejala yang ada dan mencari keterangan-keterangan secara
faktual dengan kondisi yang bersangkutan.
Siklus 1 Perencanaan Ide
Awal
Meningkatkan aktifitas belajar anak
tunagrahita dalam pembelajaran PAI
Temuan Awal Selama ini sering ditemukan bahwa anak
tunagrahita kurang memahami konsep yang
abstrak, sehingga mempengaruhi proses dan
hasil pembelajaran yang kurang efektif dan
hasil belajar yang kurang optimal.
Untuk itu diperlukan adanya upaya dari pihak
guru untuk menggunakan pendekatan
pembelajaran yang dapat membawa anak
tunagrahita pada hal yang sifatnya kongkrit
dan langsung, agar proses dan hasil
pembelajaran sesuai dengan yang diharapkan.
Diagnosa
(hipotesis)
Dengan menggunakan pendekatan kontekstual
meningkatkan aktifitas belajar tunagrahita
dalam merawat dirinya sendiri dan akan
berdampak pada proses dan hasil dari
pembelajaran yang dilakukan.
Perencanaan - merencanakan program pembelajaran
- mempersiapkan silabus
- menyusun Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran
- menyiapkan format observasi
- meyiapkan format evaluasi
- menyiapkan alat bantu pembelajaran
- menyiapkan media pengiring
- menata kelas
Tindakan - mengajak para siswa untuk melihat guru
sedang berwudhu
- memulai pembelajaran dengan appersepsi
- penyampaian materi pembelajaran dengan
menggunakan media, alat bantu atau alat
peraga
- pemberian tugas dan evaluasi
31
Observasi
(pengamatan)
- mengamati proses pembelajaran terutama
cara siswa belajar berwudhu
- menilai hasil tindakan dengan
menggunakan format Lembar Kerja Siswa
Refleksi - melakukan evaluasi tindakan yang telah
dilakukan, meliputi evaluasi: perhatian,
konsentrasi, cara menggunakan alat,
pemahaman cara berwudhu saat
pembelajaran berlangsung
- memperbaiki pelaksanaan sesuai hasil
evaluasi, untuk digunakan dalam siklus
berikutnya
Siklus 2 Perencanaan - merencanakan program pembelajaran
- menyusun Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran
- menyiapkan format evaluasi
- menyiapkan format observasi
- menyiapkan alat bantu pembelajaran
- menyiapkan media
Tindakan - memulai pembelajaran dengan appersepsi
- menyampaikan pembelajaran dengan model
pembelajaran yang berpusat pada aktifitas
siswa
- penyampaian materi pembelajaran dengan
menggunakan media, alat bantu atau alat
peraga
- pemberian tugas dan evaluasi
Observasi
(pengamatan)
- mengamati proses pembelajaran terutama
cara siswa belajar berwudhu dengan
menggunakan format observasi
- menilai hasil tindakan dengan
menggunakan format Lembar Kerja Siswa
Refleksi - melakukan evaluasi tindakan yang telah
dilakukan, meliputi evaluasi: perhatian,
konsentrasi, cara menggunakan alat,
pemahaman cara berwudhu saat
pembelajaran berlangsung
- melakukan pertemuan untuk membahas
hasil evaluasi tentang tindakan yang telah
dilakukan
- memperbaiki pelaksanaan sesuai dengan
hasil evaluasi, untuk digunakan pada siklus
berikutnya
Tabel 3.1
Tahapan Siklus Penelitian
32
Untuk jelasnya Tahapan Siklus Penelitian dapat dilihat dari skema gambar
berikut :
Gambar 3.1
Tahap Penelitian
RANCANGAN
PROGRAM I
Observasi dan
Pengumpulan Data
Revisi
Program
TINDAKAN I
KBM dengan membawa
anak ke halaman sekolah
Refleksi
(Perenungan)
TINDAKAN II
KBM dengan mengenalkan
tatacara berwudhu
Masalah
33
D. Analisis Data
Pada dasarnya analisis data merupakan suatu proses penyusunan data agar
mudah diinterpretasi oleh peneliti. Semua data yang terkumpul direduksi dengan
memperhatikan keakuratan data dengan mengklasifikasikan dan mengeliminasi
data-data yang tidak perlu, sehingga diperoleh data yang benar-benar akurat.
Peneliti melakukan analisis data sejak awal tindakan pada setiap kegiatan
tindakan. Analisis data hasil observasi dapat dilakukan langsung oleh peneliti
bersamaan dengan kegiatan proses pembelajaran. Dengan demikian aktifitas
belajar anak yang diteliti benar-benar dapat diamati dengan jelas dan langsung
dapat diinterpretasi dan dikategorikan ke dalam aktifitas belajar yang: baik, cukup
atau kurang.
34
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
E. Hasil
Pemaparan hasil penelitian ini adalah hasil dari observasi dan analisis
pelaksanaan, proses pembelajaran PAI pada siswa kelas X SMALB C1 di SLB
Bina Bhakti Mandiri sebelum dan sesudah menggunakan pendekatan kontekstual
yang dilaksanakan oleh peneliti (guru) di SLB Bina Bhakti Mandiri
Mengobservasi dan menganalisis pelaksanaan proses pembelajaran PAI
sebelum menerapkan pendekatan kontekstual dan sesudah melaksanakan
pendekatan kontekstual oleh peneliti.
Mendeskripsikan penemuan-penemuan data hasil pelaksanaan proses
pembelajaran, khususnya mengenai kemampuan dan hasil belajar siswa
sebelum menggunakan pendekatan kontekstual dan sesudah menggunakan
pendekatan kontekstual pada pelajaran PAI.
Semua data itu dianalisis, diklasifikasi dan diinterpretasi serta disimpulkan
yang didasarkan pada tujuan penelitian.
Pemaparan data-data tersebut diklasifikasikan pada kelompok kualitatif.
Data kualitatif menggambarkan hasil observasi selama penelitian tindakan kelas
dan rekaman prestasi hasil belajar siswa.
F. Pembahasan
1. Proses Pembelajaran Tata Cara Berwudhu dengan Menggunakan
Pendekatan Kontekstual di SLB Bina Bhakti Mandiri
Pemaparan pelaksanaan proses pembelajaran tata cara berwudhu dengan
pendekatan kontekstual, akan memaparkan gambaran kondisi guru, siswa, alat
bantu pendukung sarana pembelajaran. Paparan ini merupakan data yang
dikumpulkan dari pendataan awal sampai akhir kegiatan penelitian, dengan
menggunakan teknik pengumpulan data observasi. Semua data yang terkumpul
direduksi, diklasifikasi, dianalisis, ditafsirkan (diinterpretasi) yang akhirnya
disimpulkan.
35
a. Kondisi Guru
Komposisi guru di SLB Bina Bhakti Mandiri Cisitu berjumlah 10 orang
terdiri dari: 1 orang guru yang berstatus Pegawai Negeri Sipil yaitu Kepala
Sekolah dan 9 orang lainnya merupakan guru sukarelawan. Hanya sebagian
guru yang memiliki latar belakang pendidikan S1 sedangkan guru lainnya
masih menempuh pendidikan S1 jurusan Pendidikan Luar Biasa. Guru
sukarelawan mendapatkan Surat Keputusan (SK) dari Ketua Yayasan Bina
Bhakti Mandiri untuk masa kerja satu tahun ajaran. Dan setiap awal tahun
ajaran SK tersebut diperpanjang lagi, apabila masih dibutuhkan.
b. Kondisi Siswa
SLB Bina Bhakti Mandiri yang berdiri sejak tahun 2013, saat ini
memiliki siswa yang berjumlah 33 orang. Sebagian besar merupakan
penyandang tunagrahita dan sebagian ada pula penyandang tunarungu dan
autistik. Anak tunagrahita dari SD sampai SMA ada yang termasuk
tunagrahita ringan dan tunagrahita sedang.
Berdasarkan hasil observasi dalam proses pembelajaran dari pertemuan
pertama sampai dengan pertemuan terakhir ditemukan beberapa kendala
sebagai berikut:
1) Pada saat mengamati demonstrasi guru tentang tahapan berwudhu,
para siswa kurang mampu melakukan pengamatan, bertanya dan
meyimpulkan suatu temuan secara optimal. Namun meskipun
demikian aktivitas belajar siswa menunjukkan peningkatan yang
berarti.
2) Tingkat ketergantungan kepada guru memang cukup besar, namun
dengan dorongan dari guru untuk bekerja sama dengan sesama
teman sekelompoknya ada kecenderungan meningkat.
3) Pada saat guru mengikutsertakan refleksi, para siswa nampak ada
sikap responsif menanggapinya dengan ungkapan bahasa, sikap dan
gerak yang sederhana.
4) Diakhir pembelajaran para siswa mampu mengikuti tes lisan untuk
ukur pengetahuaannya, selanjutnya mengikuti tes perbuatan untuk
diukur prestasi pemahaman tata cara berwudhu, baik perorangan
maupun kelompok dan prestasinya cukup memuaskan.
36
c. Kondisi Alat Bantu Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
SLB Bina Bhakti Mandiri yang baru berusia 1 tahun masih memiliki
sarana prasarana yang cukup minim. Sampai saat ini yayasan dan sekolah
masih terus menambah sarana dan prasarana yang diperlukan guna
menunjang kegiatan akademik sekolah. Skala prioritas sarana dan prasarana
masih pada penambahan ruang kelas beserta kelengkapannya. Sarana
penunjang untuk mata pelajaran secara spesifik merupakan prioritas
berikutnya. Maka dari itu sarana pendukung pendidikan PAI belum lengkap.
Adapun alat/media pendukung yang ada ialah gambar tata cara berwudhu.
2. Aplikasi Pendekatan Kontekstual di SLB Bina Bhakti Mandiri
Pendekatan kontekstual dalam pembelajaran PAI adalah untuk
meningkatkan aktifitas siswa dalam proses pembelajaran PAI. Karena dengan
pembelajaran kontekstual proses pembelajaran PAI, siswa terlibat aktif dalam
proses pembelajaran PAI.
Kondisi siswa tunagrahita dengan keterbatasan kemampuannya ditambah
dengan bakat minat yang hetorogen diperlukan pendekatan pembelajaran PAI
yang tepat yang berorientasi kepada siswa yang didukung media dan
komponen pembelajaran lainnya.
a. Perencanaan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam dengan
Menerapkan Pendekatan Kontekstual
Penelitian Tindakan Kelas dimulai dengan penyusunan rencana
pembelajaran PAI. Materi atau bahan ajarnya mengambill tema merawat
diri sendiri yang diterapkan kepada cara memakai kaok kaki. Metode yang
digunakan ialah metode pemodelan, simulasi, demonstrasi dan tugas resitasi
yang digunakan secara variatif. Pendekatan pembelajarannya adalah
pendekatan kontekstual sebagaimana yang telah dipaparkan deskripsinya
pada bab sebelumnya. Adapun gambaran model pembelajaran kontekstual
Pendidikan Agama Islam adalah sebagai berikut:
37
Pertemuan I
Pengamatan Objek di luar Kelas
(Demonstrasi Guru Tentang Tata Cara Berwudhu)
Bagan 4.2
Mengkonstruksi melalui pengamatan terhadap
aktivitas/demonstrasi guru tentang tata cara berwudhu
Penemuan (inkuiri) dengan Tanya Jawab tata cara
berwudhu yang didemonstrasikan oleh guru
Diskusi ringan tentang alat-alat yang dipergunakan untuk
berwudhu
Bersama-sama mencoba melakukan tahapan-tahapan
berwudhu
Melakukan gerakan berwudhu tanpa menggunakan air
dengan meniru gerakan guru
Mengadakan perenungan (refleksi) terhadap kegiatan
pembelajaran yang baru diikuti
Pengumpulan data hasil pengamatan/penilaian dalam
proses dan penilaian hasil belajar, dengan menggunakan
beberapa sumber dan cara
38
Pertemuan I
39
Pertemuan II
Penerapan hasil pengamatan ke dalam gerak tari berwudhu
Bagan 4.3
Rekontruksi gerakan tahapan-tahapan berwudhu (membasuh
telapak tangan, muka, kedua tangan, sebagian rambut dan
kedua kaki)
Mencoba menemukan musik yang menarik siswa untuk
menjadikan gerak-gerak wudhu ke dalam gerakan tari
Mencoba menemukan gerakan-gerakan tari yang diambil dari
tahapan wudhu
Aktif bekerjasama berlatih gerak-gerak wudhu dengan musik
sesuai imajinasi siswa
Beberapa orang siswa dicoba untuk tampil menjadi model
Mengadakan perenungan (refleksi) terhadap semua gerakan
yang baru dipelajari
Semua data yang diperoleh dari hasil pengamatan/penilaian
dalam proses dan akhir belajar, dijadikan dasar penentuan
40
Pertemuan II
41
Pertemuan III
Tari Kreasi dengan Tema Berwudhu
Bagan 4.4
Revisi gerakan-gerakan tari berwudhu (membasuh telapak
tangan, muka, kedua kaki, sebagian rambut dan kedua kaki)
Mencoba menemukan cara yang lebih mudah untuk siswa
mengetahui gerakan berwudhu
Tanya jawab mengenai semua gerakan berwudhu yang telah
dipelajari
Berlatih bersama menari gerakan wudhu dengan musik
rekaman dalam kaset
Beberapa orang siswa dicoba untuk tampil menjadi model
Melakukan perenungan (refleksi) terhadap tarian yang baru
saja diperaktikan dengan iringan musik
Mengumpulkan data-data yang diperoleh dari hasil
pengamatan, penilaian dalam proses dan hasil akhir kegiatan
sebagai bahan penilaian
42
Pertemuan III
v
43
Pertemuan IV
Tari Kreasi Berwudhu dengan Penerapan Irama, Tempo dan Pola Lantai
Bagan 4.5
Rekontruksi/revisi gerakan-gerakan tari kreasi berwudhu
dengan iringan musik
Mencoba menemukan gerak yang disesuaikan dengan irama,
tempo dan pola lantai
Tanya jawab antar guru, siswa mengenai irama, tempo dan
pola lantai dalam menari
Berlatih menari berwudhu dengan iringan musik, sesuai
dengan irama, tempo dan pola lantai
Mengganti dan mengikuti model yang ditayangkan dalam
monitor TV dari VCD
Merefleksi keseluruhan gerak tari berwudhu untuk meneliti
gerak mana yang sudah tepat dan yang belum
Data yang terkumpul dari hasil pengamatan dalam proses dan
hasil akhir, dengan menggunakan beberapa alat evaluasi
44
Pertemuan IV
45
Pertemuan V
Pentas Tari Kreasi dengan Tema Berwudhu
Bagan 4.6
Rekonstruksi seluruh gerak, irama, tempo, dan pola lantai
dengan iringan musik
Inkuiri akhir sesuai dengan kemampuan siswa masing-masing
mempertunjukan tarian yang dikuasai
Diskusi kecil mempersiapkan pementasan tari berwudhu
Latihan berkelompok untuk pentas tari kreasi dengan tema
berwudhu
Pentas tari berwudhu secara berkelompok
Refleksi akhir untuk menyimak dan mencerna dalam memori
siswa masing-masing tentang gerakan tari berwudhu
Semua data dari pertemuan I sampai V dihimpun dan dioleh
menjadi dasar penentuan penilaian sebenarnya yang
diperoleh siswa, sebagai prestasi belajar
46
47
b. Hasil Pengamatan dengan Tes Perbuatan
Keberhasilan siswa dalam pembelajaran PAI dengan menggunakan
pendekatan kontekstual selain dari hasil observasi juga dilakukan dengan tes
perbuatan. Penilaian dilakukan terhadap pemahaman siswa tentang tata cara
berwudhu dalam pertemuan-pertemuan yang sudah dilaksanakan. Pelaksanaan tes
itu dilakukan pada pertemuan akhir pembelajaran PAI.
Indikator Penilaian :
a) Kemampuan menirukan dan mengingat tahapan berwudhu
b) Kesesuaian urutan dalam berwudhu
c) Penguasaan pemahaman tata cara berwudhu
d) Kekompakan dalam saling mengingatkan tata cara berwudhu dengan teman
e) Kreativitas menemukan tahapan berwudhu yang cocok untuk diaplikasikan
dalam gerakan tari sesuai irama dan tempo
Kriteria Penilaian:
86-100 : A (Sangat Baik)
71-85 : B (Baik)
56-70 : C (Cukup)
41-55 : D (Kurang)
0-40 : E (Sangat Kurang)
Penilaian Hasil Tes Perbuatan Tari Berwudhu
No Nama Siswa Pertemuan
yang
Indikator Penilaian Rata-rata Keterangan
a b c d e
1 Dedi Supriatna Pertama 60 58 55 60 58 58,2
Naik dari C ke B Terakhir 75 73 72 75 72 73,4
2 Didi Tarsidi Pertama 52 58 55 60 59 56,8 Naik dari C ke B
Terakhir 75 72 72 73 72 72,8
3 Febryan Pertama 60 61 61 60 60 60,4 Naik dari C ke B
Terakhir 75 75 74 72 72 73,6
4 Unang Pertama 61 62 60 60 61 60,8 Naik dari C ke B
Terakhir 75 73 72 71 71 72,4
5 Warliah Pertama 62 65 64 63 62 63,2 Naik dari C ke B
Terakhir 75 74 73 72 72 73,2
Rata-rata
Pertama 59 60,8 59 60,6 60 59,88 Naik dari C ke B
Terakhir 75 73,4 72,6 72,6 71,8 73,08
Tabel 4.1
Grafik Penilaian Hasil Tes Perbuatan Tari Berwudhu
59 60,8 59 60,6 60 59,88
75 73,4 72,6 72,6 71,8 73,08
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2
Skor
Indikator Penilaian
1 = Pertemuan Pertama 2 = Pertemuan Terakhir
a b
c
d
e
Rata-rata
0
Berdasarkan tabel penelitian di atas dijelaskan bahwa:
1) Dalam kemampuan menirukan dan mengingat tahapan berwudhu
diperoleh nilai rata-rata pertemuan pertama 59 dalam pertemuan terakhir
naik menjadi 75. Jika dikonversikan pada kriteria penilaian termasuk
kategori C (Cukup) naik menjadi B (Baik).
2) Kesesuaian dalam urutan berwudhu diperoleh nilai rata-rata pertemuan
pertama 60,8 dalam pertemuan terakhir naik menjadi 73,4. Jika
dikonversikan pada kriteria penilaian termasuk kategori C (Cukup) naik
menjadi B (Baik).
3) Penguasaan pemahaman tata cara berwudhu diperoleh nilai rata-rata
pertemuan pertama 59 dalam pertemuan terakhir naik menjadi 72,6. Jika
dikonversikan pada kriteria penilaian termasuk kategori C (Cukup) naik
menjadi B (Baik).
4) Kekompakan dalam saling mengingatkan tata cara berwudhu dengan
teman diperoleh nilai rata-rata pertemuan pertama 60,6 dalam pertemuan
terakhir naik menjadi 72,6. Jika dikonversikan pada kriteria penilaian
termasuk kategori C (Cukup) naik menjadi B (Baik).
5) Kreativitas menemukan tahapan berwudhu yang cocok untuk
diaplikasikan dalam gerakan tari sesuai irama dan tempo diperoleh nilai
rata-rata pertemuan pertama 60 dalam pertemuan terakhir naik menjadi
71,8. Jika dikonversikan pada kriteria penilaian termasuk kategori C
(Cukup) naik menjadi B (Baik).
6) Nilai rata-rata keseluruhan hasil pembelajaran pada pertemuan pertama
59,88 termasuk kategori C (Cukup), naik menjadi 73,08 termasuk kategori
B (Baik).
Dari penjelasan hasil penelitian di atas maka dapat disimpulkan bahwa
kemampuan menirukan dan mengingat tahapan berwudhu ada peningkatan dari
Cukup menjadi Baik. Kesesuaian dalam urutan berwudhu ada peningkatan juga
dari Cukup menjadi Baik. Penguasaan pemahaman tata cara berwudhu juga
mengalami peningkatan dari Cukup menjadi Baik. Kekompakan dalam saling
mengingatkan tata cara berwudhu dengan teman juga meningkat dari Cukup
1
menjadi Baik. Kreativitas menemukan tahapan berwudhu yang cocok untuk
diaplikasikan dalam gerakan tari sesuai irama dan tempo ada peningkatan juga
dari Cukup menjadi Baik. Kesimpulan bahwa secara umum penguasaan siswa
terhadap pemahaman tahapan wudhu melalui tari kreasi dengan tema berwudhu
adalah baik.
2
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Bab V ini merupakan hasil kesimpulan dari hasil penelitian dan
menyampaikan saran-saran kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
Dalam pembelajaran PAI peneliti mencoba melaksanakan pembelajaran
PAI dengan menggunakan pendekatan kontekstual pada anak tunagrahita sedang
di SLB Bina Bhakti Mandiri. Dari peneltian diuji coba model pembelajaran
tersebut, peneliti menemukan data-data mengenai proses pembelajaran, data hasil
pembelajaran, sebagai dampak positif dari model pembelajaran dengan
menggunakan pendekatan kontekstual.
Oleh karena itu penelitian ini menghasilkan prinsip bahwa pembelajaran
untuk Anak Tunagrahita Sedang lebih cocok dengan menggunakan pendekatan
kontekstual. Model pembelajaran dengan pendekatan kontekstual ternyata dapat
digunakan pada pembelajaran PAI bagi anak tunagrahita sedang. Model
pembelajaran kontekstual sejalan dengan kurikulum SLB C1 (Tunagrahita
Sedang) yang bersifat tematik ditinjau dari sisi karakteristik anak tunagrahita
mengalami kesulitan dalam pembelajaran yang bersifat abstrak maka, ada
kesesuaian dengan model pembelajaran kontekstual yang memilki karakteristik
yang tematik dan kongkrit. Pendekatan kontekstual sangat dianjurkan oleh
Departemen Pendidikan Nasional untuk digunakan guru dalam melaksanakan
tugasnya sesuai dengan tuntutan kurikulum yang berlaku.
Tahapan-tahapan pembelajaran kontekstual pada pembelajaran PAI
ternyata mampu menumbuhkembangkan kreatifitas belajar anak tunagrahita
sedang. Hal ini dapat dilihat dari data hasil pengamatan (observasi) selama proses
pembelajaran berlangsung seperti dalam merespon objek yang diamati, menjawab
dan bertanya, melaksanakan tugas dari guru, kerjasama dalam kelompok, dan
merespon kegiatan perenungan (refleksi). Suasana pembelajaran menunjukan
pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan serta bermakna.
Pembelajaran tidak monoton tetapi berfariasi sebab pemebelajaran tidak hanya
3
berlangsung di dalam kelas tetapi juga dapat di luar kelas, bahkan di alam terbuka
di luar lingkungan sekolah.
Hasil pembelajaran PAI pada anak tunagrahita sedang sebagai dampak
positif dari model pembelajaran dengan menggunakan pendekatan kontekstual,
menunjukan hasil yang cukup signifikan. Dari pertemuan pertama sampai dengan
pertemuan terakhir, baik secara kelompok maupun perorangan menunjukan
peningkatan.
Berdasarkan hasil penelitian di SLB Bina Bhakti Mandiri, peneliti
akhirnya sampai pada satu kesimpulan bahwa pendekatan kontekstual dalam
pembelajaran PAI pada anak tunagrahita sedang dapat meningkatkan aktifitas dan
kreatifitas mereka. Dengan meningkatnya aktifitas dan kretifitas belajar PAI,
maka motivasi belajar pun bisa meningkat dan sekaligus akan meningkat pula
hasil belajarnya. Tujuan pembelajaran yang telah ditentukan dalam program
pembelajaran PAI dapat tercapai. Peningkatan aktifitas dan kreativitas
pembelajaran siswa sebagai hasil model pembelajaran PAI dengan menggunakan
pendekatan kontekstual, dapat menjadi motivator untuk mengikuti pembelajaran
selanjutnya.
B. Saran-saran
Hasil penelitian awal, menurut penjelasan guru PAI bahwa pembelajaran
PAI di SLB pada umumnya sering menggunakan metode ceramah dan peniruan,
sehingga pembelajaran PAI hasil belajarnya kurang optimal dan kurang bermakna
bagi kehidupan siswa. Hasil belajar siswa hanya terbatas meniru, menghapal dan
mengingat apa yang diajarkan guru. Kreativitas, aktivitas dan sikap apresiatif
siswa terhadap mata pelajaran kurang diperhatikan. Karena proses
pembelajarannya hanya dilaksanakan diruang kelas dengan metode mengajar yang
kurang menumbuhkembang ranah afektif siswa. Akibatnya pengetahuan siswa
tentang keterkaitan materi PAI dengan kehidupan nyata yang ada dilingkungan
hidupnya kurang mendapat perhatian pendekatan akademis. Hasil pembelajaran
4
PAI hanya terbatas untuk mendapatkan nilai akademis mata pelajaran PAI. Lebih
jauhnya paling sekedar anak hanya bisa berwudhu tetapi tidak dengan baik dan
benar.
Pembelajaran PAI dengan menggunakan pendekatan kontekstual dapat
dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi guru-guru di SLB Bina Bhakti
Mandiri sebagai alternatif pendekatan pembelajaran, untuk diterapkan dalam
pembelajaran PAI dan pembelajaran mata pelajaran lainnya. Pendekatan
kontekstual dalam pembelajaran PAI sudah selayaknya dipertimbangka oleh guru-
guru untuk digunakan, apalagi di SLB C yang kemampuan berfikir terhadap hal-
hal yang abstrak, mereka lemah sekali. Pendekatan kontekstual memberikan jalan
keluar bagi anak tunagrahita dengan mengaitkan materi atau bahan ajar pada hal-
hal yang kongkrit (nyata).
Harapan peneliti sekaligus mengajukan saran kepada kepala sekolah
hendaknya dengan sikap yang bijak ada upaya dengan penuh pengabdian
memberikan motivasi kepada guru-guru untuk menerapkan pendekatan kontektual
dalam pembelajaran PAI, dengan ditunjang sarana pendukungnya. Pendekatan
kontekstual perlu didukung berbagai faktor, seperti faktor profesionalisme guru,
kebijakan kepala sekolah, motivasi belajar siswa yang tinggi dan faktor-faktor lain
yang terkait dengan keberhasilan pembelajaran PAI.
Bagi pihak-pihak yang tertarik untuk melakukan penelitian yang lebih
mendalam tentang obyek penelitian yang sama penelitian ini, diharapkan hasil
penelitian ini dapat dijadikan salah satu masukan dalam penelitian selanjutnya.
5
DAFTAR PUSTAKA
Mulyasa, E. (2008). Manajemen Berbasis Sekolah, Konsep, Strategi dan
Implementasi. Bandung : Remaja Rosda Karya
Kamalia, L. (2019). Model Pembelajaran Seni Tari Bagi Anak Tunagrahita
Ringan, tersedia : http://repository.upi.edu/id/1353
Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama. (2002). Pendekatan Kontekstual (CTL).
Jakarta: Depdiknas
Ratini. (2010). Metode Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) Bagi Anak
Tunagrahita, tersedia: http://library.walisongo.ac.id
Amin, Moh. (1996). Pendidikan Anak Tunagrahita, Jakarta: PPPTG Ditjen Dikti
Cece Wijaya, (1996). Pendidikan Remedial: Sarana Pengembangan Mutu Sumber
Daya Manusia. Bandung: PT. Remaja Rosdaka.
Fallen, N.H. dan Umansky, W. (1985). Young Children With Special Needs,
Columbus-Ohio: Charles E Merrill Publishing Company.
Indria Laksmi G. (1997). Pengalaman Upaya Penanganan Anak dengan Gangguan
Pemusatan Perhatian di PPPTA. Makalah Seminar Pengkajian dan
Tumbuh Kembang Anak, Yogyakarta.
Ingalls, Robert P., (1978). Mental Retardation: The Changing Outlook, New
York:John Wiley & Sons, Inc.
McLoughlin, J.A. dan Lewis, R.B. (1986). Assesing Special Students. Ohio:
Merril Publishing Company
Mulyono Abdurrahman, (1996). Pendidikan bagi Anak Berkesulitan Belajar.
Jakarta: Dirjen Dikti PPPG.
Natawidjaja, Rochman, (1997). Penelitian Tindakan (Action Research), Bandung:
IKIP Bandung
Natawidjaya dan Alimin, (1996). Penelitian dalam Pendidikan Luar Biasa.
Jakarta: Depdikbud.