iv Oleh : Ahmad Hafifi NIM : M0398003 Skripsi Disusun dan ...
Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010 ...
Transcript of Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010 ...
i
POSSIBLE-WORLD INDONESIA:
INTERPRETASI ATAS JEPANG PADA PEMBACA FILM TELEVISI
Tesis
Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora (M.Hum.) di
Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Disusun oleh:
Georgius Benardi Darumukti
NIM: 146322010
PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2017
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
IIALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING
TESIS
P OS S IB LE.VO RLD IITTDONESIA :
INTERPRETASI ATAS JEPANG PADA PEMBACA rILM TELEYISI
Pembimbing I
Dr" St. Sunafdi
Pembimbing II Tanggal: 24luli2017
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-wI.,:
HALAMAN PENGESAHAN
TESIS
P OS S I B LE.WORLD IITDONESIA :
INTERPRETASI ATAS Jf,PANG PADA PEMBACA rILM TELEVISI
Dipersiapkan dan ditulis oleh:
Georgius Benardi Darumukti
NIM: 1463220fi
P, itia,Fenguji
Ketua ,
Sekretaris
Anggota,l
3. Dr. G. Budi Subanar;'S:f.
ilt
24 Jlurli}Ol7
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
=___El.
PERNYATAAIY KEASLIAIY KARYA
Deugan ini saya, mahasiswa Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang bernama
Georgius Benardi Darumukti (NIM: 146322010), menyatakan bahwa tesis berjudul:
POSSIBLE.WCIRLD INDONESIA: INTERPRETASI ATAS JEPA}IG PADA
PEMBACA TELEVISI menrpakanhasil karya danpenelitian saya sendiri.
Di dalam tesis ini tidak terdapat karya peneliti lain yang pernatr diajukan untuk
memperoleh getar kesarjanaan di suatu perguruan ting$ lain. pemakaian,
pemiqiaman/pengutipan dari karya peneliti lain di dalam tesis ini saya pergunakan
hanya untuk keperluan ilmiah sesuai dengan peratuan yang berlalaro sebagaimana
diacu secara ternrlis dalam daftar pustaka.
Yogyakarta, 24 Juli 2017
Yang membuat pemyataan,
IV
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
I-
LEMBAR PERSETUJUA]\I
PUBLIKASI KARYA ILMIAH I]NTUK KEPENTINGAI{ AKADEMIS
Yang bettanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta
NAMA : GEORGIUS BENARDI DARUMUKTI
NIM :146322010
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada
Perpustakaan Universitas Sanata Dhamra karya ilmiah yang berjudul:
Possible-w orld fn donesia :
Interpretasi atas fepang pada Pembaco Film Televisi
beserta perangkat yang dipertukan (bila ada). Dengan demikian, saya memberikan
kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan
dalam bentuk media lain, mengelolanya di interret atau media lain unnrk kepentingan
akademis tanpa perlu merninta rjin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya
selama tetap mencanturnkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal:24 Juli 2017
Yang menyatakan,
Georgius Benardi Darumukti
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vi
POSSIBLE-WORLD INDONESIA:
INTERPRETASI ATAS JEPANG PADA PEMBACA FILM TELEVISI
Georgius Benardi Darumukti
ABSTRAK
Imaji Jepang di Indonesia selalu dinegosiasikan di antara posisinya sebagai
objek yang ditakuti, ditiru, dikagumi, dicintai, maupun diidamkan. Sejak masa
penjajahan, negosiasi ini selalu dimainkan melalui berbagai permainan tanda oleh
masyarakat Indonesia. Satu bagian yang penting pada semesta ini adalah kehadiran
media film Jepang di Indonesia, terutama yang masif dilakukan oleh televisi.
Penelitian untuk mengkaji pembentukan interpretasi atas Jepang ini dilakukan untuk
menstrukturkan negosiasi yang terjadi di dalam proses pembacaan film televisi
Jepang di Indonesia.
Dengan memakai konsep Possible-world oleh Umberto Eco sebagai
paradigma penelitian, maka penelitian ini bertujuan mencari fondasi Indonesia yang
selalu terbawa oleh para pecinta Jepang. Pada usaha penciptaan possible-world
Jepang melalui film-teks, penelitian ini berangkat dengan mendasarkan analisa pada
literatur historis perkembangan media film dan televisi Jepang sebagai bentuk
negosiasi mereka atas represi modernitas. Melalui metode wawancara terhadap lima
orang anggota aktif komunitas pecinta budaya populer Jepang di Yogyakarta,
penelusuran strategi penciptaan ini kemudian menunjukkan dua hal, yaitu adanya
kuasa pengetahuan atas Jepang yang beredar kuat di Indonesia, dan adanya konteks
Indonesia yang dipakai untuk mengontraskan Jepang. Pada penelusuran terakhir,
yaitu penelusuran stategi penamaan Jepang dalam bahasa narasumber, Indonesia yang
absen dalam bahasa mereka dianalisa dalam kerangka pembentukan final interpretant.
Dalam analisa ini terlihat bahwa Indonesia diposisikan secara inferior dengan Jepang
dalam dua bentuk, yaitu peminjaman ikon Jepang dan pelegitimasian utopia atas
hukum Jepang.
Melalui penelitian ini dapat disimpulkan Indonesia yang mungkin
memberangkatkan fenomena ini. Yang pertama adalah Indonesia sebagai negara yang
di dalamnya terjadi persebaran pengetahuan akan Jepang yang masif. Kedua,
Indonesia sebagai negara yang juga mengalami represi modernitas, sehingga Jepang
diangkat sebagai penanda baru.
Kata kunci: Film televisi Jepang, Budaya pop Jepang, Umberto Eco, interpretasi,
possible-world, final interpretant
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vii
INDONESIAN POSSIBLE-WORLD:
INTERPRETATION OF JAPAN BY THE READER OF TELEVISION FILMS
Georgius Benardi Darumukti
ABSTRACT
The image of Japan in Indonesia is always negotiated among its positions as
a feared object, imitated, admired, loved, or desired object. By the time of
colonization, these negotiations have always been played through various meaning-
makings by Indonesians. The presence of Japanese film in Indonesian media culture
became one of important aspects that helps on building it, especially the massive ones
done by television. This research on the formation of interpretation of Japan tends to
structure the negotiations that occurred in the reading of Japanese television films in
Indonesia.
By using Umberto Eco‟s concept of Possible-world as research paradigm,
this research is aimed to find a form of Indonesia as a foundation which is always
carried by Japanese lovers. To study on the creation of Japanese possible-world
through text-film, this research departs with literatures analysis on the development
of Japanese film and television media as a form of their negotiations over the
repression of (Western) modernity. By interviewing five active members of Japan's
popular culture lovers community in Yogyakarta, the search for these creation then
shows two things, namely the power of knowledge about Japan that circulated
strongly in Indonesia, and the Indonesian context used to contrast Japan. In the final
analysis, the search for the meaning-making process on Japan‟s image by their
narration, the absence of Indonesia in their language was analyzed with the
formation of final interpretant. It is seen that Indonesia is positioned inferior with
Japan in two forms, namely the abduction of Japanese icon and the process of
legitimizing utopia over the Japanese law.
At the end of this research, two phenomena can be concluded in connection
with the presense of Japan in Indonesia. First, Indonesia is a country which
undergoes a massively spreading knowledge of Japan. Second, Indonesia as a
country that also experienced the repression of modernity selected Japan as a new
signifier.
Keywords: Japanese television films, Japan pop culture, Umberto Eco, interpretation,
possibe-world, final interpretant
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
viii
HALAMAN MOTTO
The visitors to the world anime
journeys across the boundaries of time and space,
through mysterious realms and epic histories,
through the lives of the characters who laugh and cry and dream,
through emotions and experiences too profound for words…
and then gently back to reality,
carrying priceless and encouraging echoes of the message of hope,
which promises:
“THE FUTURE WILL BE GLORIOUS,
if only we remember what is truly important and persevere no matter what…
It is hard to maintain something divine in this world;
it is easy to forget.
ANIME SERVES TO REMIND”
Eri Izawa, The Romantic, Passionate Japanese in Anime: A Look at the Hidden Japanese Soul
dalam Timothy J. Crag. JAPAN POP! Inside the World of Japanese Popular Culture
(New York: M.E.Sharpe. Inc., 2002)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ix
KATA PENGANTAR
Pengerjaan tesis ini bagi saya bukanlah sekedar pengalaman akademisi semata,
namun juga menciptakan kedirian baru dalam dunia yang selama ini memfanakan
pandangan saya. Di sini lah saya mensyukuri pilihan saya untuk melanjutkan
pembelajaran di dunia yang baru. Di sini saya diarahkan untuk tidak hanya berakting
sebagai peneliti, tetapi juga menyelami segala pengalaman ke-Jepang-an yang tak
sadar selalu ada dalam diri. Bahkan, keberlanjutan penyelaman dunia semiotika justru
menyeret saya masuk ke palung terdalam dunia yang saya geluti selama ini.
Semua ini tidak bisa terlepas dari segala kehadiran dan bantuan. Terima kasih
sebesar-besarnya kepada teman-teman di dunia Jepang-jepangan, Sastra Jepang,
maupun segala komunitas yang mengorbit di sekitarnya – yang tak mungkin disebut
satu per satu – atas segala pengalaman dan penerimaan. Terima kasih juga kepada
keluarga saya sendiri yang selalu memberikan pengertian dan harapan. Terima kasih
kepada teman-teman IRB USD yang selalu tidak pernah berhenti membuat iri dengan
berbagai keanehan pengetahuannya. Terima kasih kepada Romo Banar yang selalu
berusaha mengenalkan saya pada wilayah-wilayah baru yang sebelumnya kabur, dan
juga Pak Nardi yang memancing saya untuk melakukan petualangan intelektual ini.
Kepada dosen-dosen yang lain, Romo Budi, Romo Bas, Mbak Katrin, Pak Pratik, Pak
Tri, dan Mbak Ita, terima kasih atas segala ilmu yang menyempurnakan ini semua.
Kepada orang-orang lain yang selalu ber-sliwer-an di kampus, Mbak Desi, Pak Mul,
Mbak Dita, teman perpus dan workstation, serta semua di KBI dan LB, terima kasih
atas kehangatan sapaan yang selalu mencerahkan. Tak lupa saya ucapkan terima
kasih yang teramat sangat kepada orang-orang yang (pernah) selalu menemani saya
dalam berpetualang dari satu tempat ke tempat yang lain, petualangan untuk
menghindari kebosanan yang sama setiap malam. Terakhir, dan yang paling penting,
terima kasih kepada Tuhan yang serba Maha, karena ke-selow-an-Nya yang selalu
memberikan berbagai pengalaman kekagetan, kesakitan, kebahagiaan, dan
membukakan seribu satu jalan menuju masa depan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
x
DAFTAR ISI
Halaman Judul ......................................................................................................... i
Halaman Persetujuan Dosen Pembimbing ............................................................. ii
Halaman Pengesahan ............................................................................................ iii
Pernyataan Keaslian Karya ................................................................................... iv
Lembar Persetujuan Karya Ilmiah .......................................................................... v
Abstrak .................................................................................................................. vi
Abstract ................................................................................................................ vii
Halaman Motto.................................................................................................... viii
Kata Pengantar ...................................................................................................... ix
Daftar Isi ................................................................................................................ x
Daftar Figur ........................................................................................................ xiii
Daftar Gambar ................................................................................................... xiii
Daftar Tabel ...................................................................................................... xiii
Daftar Lampiran ................................................................................................ xiii
BAB I. PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................ 1
1.2 Tema Penelitian .................................................................................... 14
1.3 Rumusan Masalah................................................................................. 14
1.4 Tujuan Penelitian .................................................................................. 15
1.5 Manfaat Penelitian ................................................................................ 15
1.6 Tinjauan Pustaka................................................................................... 17
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xi
1.6.1 Jepang dan ke-Jepang-an (Japaneseness) yang Dinamis ......... 18
1.6.2 Anime, Manga, Dorama, dan Media yang Memanggil
Pembaca .................................................................................... 20
1.6.3 Kehidupan Komunitas Pecinta Budaya Jepang
di Indonesia............................................................................... 24
1.7 Kerangka Teoritis ................................................................................. 25
1.7.1 Menelusuri Jejak, Membentuk Dunia Baru .............................. 30
1.7.2 Possible World sebagai Strategi Penciptaan Aktualitas ........... 38
1.7.3 Penelusuran dengan Abduksi.................................................... 39
1.8 Metode Penelitian ................................................................................. 44
1.9 Sistematika Penulisan ........................................................................... 45
BAB II. USAHA PENCIPTAAN JEPANG DI INDONESIA ............................ 48
2.1 Orbit Jepang ........................................................................................... 50
2.1.1 Sejarah Film Jepang sebagai Budaya Populer Tandingan ........ 51
2.1.2 Era Televisi dan Reproduksi Ideologis ..................................... 60
2.1.3 Menyiarkan Budaya Populer, Menciptakan Jepang ................. 70
2.1.3.1. Menumpang Amerika .................................................. 73
2.1.3.2. “Membantu” Asia Tenggara ........................................ 76
2.2 Penyiaran ala Jepang: dari Dipaksakan hingga Didambakan .............. 79
2.2.1 Ingatan Terjajah dalam Hiburan ............................................... 80
2.2.2 Kembalinya Jepang ke Indonesia ............................................. 86
2.2.3 Membangun Mimpi dalam Rutinitas Televisi .......................... 71
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xii
2.3 Kesimpulan: Real-World yang Tak (Akan) Sampai ............................. 98
BAB III. BERKENALAN DENGAN JEPANG BARU ................................... 100
3.1 Menjadi “Jepang” sedari Kecil ........................................................... 101
3.1.1 Berjabat Tangan dengan Jepang ............................................. 105
3.1.2 Kehangatan dalam Keaktifan di Dunia Jepang ....................... 108
3.1.3 Mengidentifikasi dan Terus Menanti ...................................... 112
3.2 (Pe)nilai Film Televisi Jepang ............................................................ 116
3.2.1 Not Impossible World: Teknologi, Kota, dan Sejarah ............ 117
3.2.2 Shinka: Pantang Menyerah, Disiplin, dan Kekerabatan ......... 124
3.3 Kesimpulan: Mereka(?) dan Kita-Indonesia ....................................... 134
BAB IV. MENCARI POSSIBLE-WORLD JEPANG,
MENEMUKAN INDONESIA ........................................................... 136
4.1 Gerbang Masuk pada Film: Mempercayai Jepang yang Mungkin ..... 138
4.2 Hidup sebagai Jepang ......................................................................... 159
4.2.1. Dunia Kepercayaan ................................................................... 176
4.2.2. Dunia Hasrat ............................................................................. 180
4.2.3. Dunia Kewajiban ...................................................................... 182
4.2.4. Tujuan dan Rencana yang Dijalankan Karakter ....................... 184
4.2.5. Mimpi dan Angan milik Karakter ............................................ 187
4.3 Orang Jepang yang Sedang Menyikapi Indonesia .............................. 190
BAB V. PENUTUP .......................................................................................... 216
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 225
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiii
Daftar Figur
Figur 1. Trikotomi Peircean ................................................................................. 31
Figur 2. Dynamic Object sebagai penghubung Isi dan Ekspresi .......................... 33
Figur 3. Perbandingan properti Dunia Digimon dan Dunia Jepang ................... 147
Daftar Gambar
Gambar 1. Stasiun Fuji TV dalam anime Digimon Adventure 1
dan dunia aktual ................................................................................. 144
Gambar 2. Kakuranger dan Ninninger dalam kostum ninja .............................. 165
Daftar Tabel
Tabel 1. Data Possible State of Affairs ............................................................... 139
Tabel 2. Data Possible Individual ...................................................................... 160
Tabel 3. Data Possible Course of Events ........................................................... 172
Tabel 4. Data Propositional Attitudes ................................................................ 194
Daftar Lampiran
Lampiran 1. Protokol Wawancara ...................................................................... 231
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada 2012, saya dikagetkan dengan adanya sebuah benda baru yang berdiri di
ujung jalan Malioboro1, tepat berada sebelum perempatan nol kilometer. Benda
tersebut adalah sebuah torii, yaitu gerbang masuk kuil Shinto atau Buddha yang
biasanya merupakan representasi dari kebudayaan Jepang atau China. Bentuk
gerbang seperti ini biasanya saya dapati di depan tempat-tempat ibadah agama
Buddha ataupun di depan daerah pecinan di berbagai tempat, bukan di ujung jalan
umum di pusat kota. Kehadiran torii di tempat yang tidak biasanya tersebut tentu saja
menjadi ketertarikan tersendiri bagi masyarakat Yogyakarta, sehingga selama satu
bulan gerbang tersebut menjadi objek foto baru yang laris di tengah kepadatan jalan
Malioboro.
Kehadiran benda baru tersebut ternyata merupakan bagian dari rangkaian acara
Jogja Japan Week. Acara ini adalah rangkaian kegiatan yang diadakan setiap dua
1 Jalan Malioboro adalah salah satu jalan utama di Yogyakarta yang seringkali menjadi simbol pariwisata. Orang mengidentikkan Yogyakarta salah satunya melalui keberadaan jalan ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
tahun sekali untuk memperingati hubungan sister city2 antara kota Yogyakarta,
Indonesia, dan kota Kyoto, Jepang. Acara ini pertama kali diadakan secara besar-
besaran pada 2010 sebagai peringatan 25 tahun hubungan sister city kedua kota.
Keseluruhan rangkaian acara ini menampilkan berbagai kebudayaan dari Indonesia,
atau Yogyakarta khususnya, dengan berbagai kebudayaan Jepang. Dengan rangkaian
panjang semacam itu, tajuk pertukaran kebudayaan tentu adalah hal yang tepat.
Yang kemudian menggelitik saya lebih lanjut melalui adanya rangkaian acara
tersebut adalah adanya kegiatan street cosplay selama beberapa jam di jalanan
Malioboro. Cosplay merupakan singkatan dari Costume Play yang dalam budaya
Jepang digunakan untuk menggambarkan permainan kostum yang dilakukan untuk
meniru berbagai tokoh fiksi, baik tokoh dalam anime, manga, tokusatsu3, maupun
kreasi fiksi orisinil seseorang yang mengambil ide dari realitas masyarakat seperti
seragam sekolah (seifuku) Jepang. Dalam berbagai acara kebudayaan Jepang, cosplay
biasanya dihadirkan sebagai sebuah kompetisi yang melihat seberapa akurat peniruan
tokoh-tokoh fiksi dilakukan. Penilaian biasanya bisa berangkat dari akurat tidaknya
kostum yang dibuat dan dikenakan, ataupun bisa berangkat dari akurat tidaknya
kepribadian dan gaya tokoh fiksi tersebut dihadirkan oleh cosplayer.4 Selain dalam
2 http://www.pref.kyoto.jp/en/01-04-02.html, diakses pada 25 Mei 2015 3 Anime adalah istilah yang digunakan untuk menyebut film animasi atau kartun Jepang. Kata ini diambil dari pelafalan kata animation dalam bahasa Inggris. Manga adalah istilah yang digunakan untuk menyebut komik Jepang. Tokusatsu (special-effect) adalah kata yang digunakan untuk menyebut film-film superhero Jepang yang menggunakan efek-efek visual. 4 Istilah yang digunakan untuk menyebut para pelaku cosplay. Pada perkembangannya, istilah ini tidak hanya digunakan untuk menunjuk orang-orang yang sedang melakukan cosplay¸tetapi juga biasa untuk menunjukkan kelompok atau komunitas yang memiliki kesamaan hobi cosplay.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
bentuk kompetisi, cosplay juga biasanya dihadirkan dalam bentuk cosplay cabaret,
yaitu bentuk penampilan drama diatas panggung yang dilakukan oleh beberapa orang
dengan menampilkan gambaran cerita tokoh fiksi yang mereka bawa melalui
penggunaan kostumnya.
Konsep street cosplay sendiri merupakan konsep yang sedikit berbeda dengan
konsep dua penampilan cosplay di atas. Ketika dua konsep diatas merujuk pada
penampilan cosplay yang dilakukan diatas panggung tertentu yang berjarak dengan
penontonnya, konsep street cosplay membawa para cosplayer hadir di tengah
penontonnya dan menghapus jarak yang ada antara penampil dan penonton. Kegiatan
dengan konsep seperti ini biasanya menuntut para cosplayer senantiasa membawa
dan menampilkan gaya dan kepribadian dari tokoh fiksi yang mereka tiru selama
waktu yang telah ditentukan (biasanya beberapa jam) dan berinteraksi langsung
dengan orang-orang yang mereka temui di arena (biasanya berupa jalan atau tempat
umum).5 Konsep ini meminta para cosplayer tidak lagi tampil di dalam suatu arena
kegiatan tertutup yang berisi orang-orang dengan pengetahuan akan budaya seperti
itu, tetapi sudah harus menampilkan diri mereka di tengah masyarakat umum yang
tidak semuanya memiliki pemahaman akan budaya tersebut.
Sama seperti kehadiran torii yang diterima di ujung “Malioboro”, hal yang
menarik untuk dilihat dari adanya kegiatan street cosplay tersebut adalah sisi
5 Konsep ini berangkat dari daerah Akihabara di Jepang, yang dikenal sebagai pusat dari komunitas-komunitas hobi di Jepang, termasuk salah satunya adalah komunitas cosplay. Di daerah ini, para cosplayer sudah tidak segan lagi untuk berkostum ataupun bersikap sebagai tokoh fiksi yang mereka representasikan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
pengalaman dan alasan para cosplayer tersebut menampilkan dirinya dan yang
kemudian diterima di tengah masyarakat di Malioboro. Entah demi kepentingan
kompetisi itu saja, atau menjadikannya sebagai ajang berekspresi dan pembuktian
personal dan komunitasnya, satu hal yang pasti adalah mereka tidak merasa segan
untuk berpenampilan “berbeda” di tengah masyarakat umum di Malioboro tersebut.
Kata “berbeda” disini bukan dalam arti mereka membedakan diri secara eksklusif
dengan masyarakat lainnya, tetapi lebih menekankan pada berbeda melalui
penghadiran sosok fiksi di tengah realitas sekitarnya.
Hal yang sama dengan fenomena di atas juga saya dapati ketika melihat
karnaval ulang tahun Yogyakarta dalam rangkaian kegiatan Jogja Java Carnival 2010.
Kegiatan karnaval ini berlangsung pada 16 Oktober 2010 di sepanjang jalan
Malioboro dengan diikuti oleh berbagai macam komunitas yang ada di Yogyakarta.
Saat itu, saya mendapati seorang teman yang ikut dalam karnaval dengan
mengenakan kostum tokoh sebuah anime. Dari banyaknya komunitas yang ikut,
karnaval ini memang hanya melibatkan satu komunitas pecinta budaya Jepang, yaitu
komunitas Atsuki J-Freak. Kehadiran satu komunitas pecinta budaya Jepang dalam
karnaval ini kemudian saya lihat sebagai bentuk penerimaan masyarakat Yogyakarta
terhadap komunitas semacam ini. Komunitas-komunitas pecinta budaya Jepang ini
tidak lagi merupakan komunitas yang secara eksklusif terpisah dengan komunitas lain
atau masyarakat pada umumnya di Yogyakarta. Hal ini menandakan, penghadiran
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
sosok fiksi melalui kegiatan cosplay yang mereka sering lakukan tersebut pun telah
diterima menjadi satu sisi masyarakat.
Penerimaan masyarakat terhadap bentuk ekspresi kelompok pecinta budaya
Jepang ini pun mulai terlihat dengan banyaknya pembahasan mengenai kelompok-
kelompok ini melalui berbagai media, baik majalah maupun media sosial di internet.
Beberapa majalah berskala nasional yang memiliki rubrik khusus untuk
membahasnya adalah Anima, Ultima, Animonstar, dan J-Pop. Bahkan dalam majalah
Animonstar selalu ada rubrik yang membahas para cosplayer bertaraf nasional
maupun internasional. Cosplayer bertaraf nasional maupun internasional yang
dimaksud di sini adalah para cosplayer yang telah berhasil memenangkan berbagai
kompetisi cosplay tingkat nasional dan internasional. Salah satu kompetisi yang
diminati di Indonesia adalah CLAS:H (Cosplay Live Action Show: Hybrid)6, yaitu
sebuah kompetisi cosplay yang diadakan di Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, Medan,
dan Bandung. Melalui kerjasamanya dengan Tokyo Game Show, para pemenang dari
kompetisi ini akan diberangkatkan ke Jepang untuk mengikuti ajang cosplay
internasional dalam rangkaian Tokyo Game Show.
Mulai tahun 2015 ini, CLAS:H bekerjasama dengan WCS (World Cosplay
Summit) dalam memberikan fasilitas bagi para pemenangnya, seperti salah satunya
adalah keikutsertaan dalam acara WCS. Melalui acara-acara seperti ini, para
cosplayer tidak lagi menjadikan kegiatan mereka hanya sebagai ajang berekspresi
6 Lihat laman www.clashcosplay.com
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
semata. Mereka dapat menjadikan kegiatan mereka itu sebagai ajang pembuktian diri
untuk diakui di mata masyarakat melalui kemenangan di berbagai kompetisi, serta
melalui kesempatan untuk ikut serta di ajang internasionalnya. Bahkan beberapa
nama yang sudah menjuarai berbagai kompetisi internasional pun menjadi semacam
artis tersendiri yang diundang untuk jadi bintang tamu di ajang coslay berbagai
negara lainnya.
Fenomena-fenomena seperti ini biasanya dilandasi oleh dua faktor, yakni faktor
yang berangkat dari diri sendiri maupun faktor dari luar.7 Biasanya faktor internal
yang mendorong mereka berupa motif-motif individu untuk berekspresi, kebutuhan
akan tempat untuk keluar dari kesibukan sehari-hari, ataupun pemenuhan hobi dan
kesenangan pribadi. Faktor eksternal yang menarik orang-orang ini berupa pengaruh
budaya populer Jepang dan terutama peran-peran media massa dalam
menghadirkannya.
Media jelas merupakan faktor kuat pembentuk fenomena ini, dan salah satunya
adalah televisi. Media televisi berkembang pesat pada masa pemerintahan Soeharto,
dan pertama kali dihadirkan pada tahun 1962 dengan hanya satu kanal, yaitu TVRI
(Televisi Republik Indonesia). Pada pertengahan tahun 1970-an, Soeharto membuat
peraturan terkait penyebaran televisi, yaitu untuk mewajibkan adanya minimal satu
televisi di setiap desa. Kebijakan ini menjadi hal penting dalam penghadiran
pengaruh budaya populer Jepang, karena masyarakat Indonesia telah lebih mudah
7 Data-data ini merupakan hasil analisis beberapa penelitian yang masuk dalam tinjauan pustaka.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
menggapai kehadiran televisi ketika serial Doraemon mulai ditayangkan secara rutin
pada tahun 1990.8
Selain media televisi, satu lagi yang berpengaruh pada perkembangan budaya
populer Jepang di Indonesia adalah perkembangan teknologi informasi. Setiap
penggemar budaya populer Jepang dapat dengan mudah mengakses internet untuk
mengunduh film-film Jepang atau bahkan menontonnya di waktu bersamaan dengan
penayangan film tersebut di televisi Jepang. Bahkan tidak jarang beberapa anggota
komunitas pecinta budaya Jepang memiliki koleksi data film Jepang yang sangat
lengkap dari hasil pengunduhannya ataupun bertukar koleksi dengan teman sesama
penggemar. Beberapa anggota komunitas tersebut bahkan seringkali menghabiskan
waktu setiap harinya berhadapan dengan komputer demi mengunduh segala macam
film Jepang dengan lebih cepat yang hanya berselang satu atau dua jam dari waktu
penayangannya di televisi Jepang. Tidak sedikit juga anggota komunitas yang tidak
hanya bersosialisasi dengan teman sesama penggemar lainnya, tetapi juga aktif dalam
forum-forum media sosial nasional maupun internasional. Kebiasaan-kebiasaan
seperti ini tidak lain merupakan pengaruh dari konsumsi mereka terhadap media-
media yang membawa budaya populer Jepang.
Jika dilihat dari adanya dua jenis faktor (penarik dan pendorong) bagi pecinta
budaya Jepang yang telah disebut di atas, maka dapat dianalogikan bahwa faktor
8 Saya S. Shiraishi. Doraemon Goed Abroad dlm Craig, Timothy (ed). Japan Pop! Inside the World of Japanese Populer Culture. 2000. New York: M.E.Sharpe Inc. Hlm 300
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
pendorong tidak bisa muncul ketika tidak ada faktor penariknya, begitu juga
sebaliknya. Hal yang menarik untuk dilihat di sini adalah penawaran yang dilakukan
oleh budaya populer Jepang yang menjadi faktor penarik bagi penerimanya di
Indonesia. Dengan ini, hal pertama yang harus dilakukan adalah mencari penawaran
di dalam media-media yang membawa budaya Jepang di dalamnya tersebut. Jika
dibandingkan dengan kehadiran internet yang baru mudah dijangkau di akhir tahun
1990-an, maka kehadiran media-media film Jepang di televisi memiliki kedekatan
yang lebih di tengah masyarakat. Hal ini ditambah dengan munculnya televisi-televisi
swasta pada periode 1990-an yang sejak awal berdirinya telah aktif menayangkan
film-film yang diimpor dari Jepang. Film-film Jepang yang dihadirkan televisi
menjadi pintu masuk pengaruh budaya Jepang dalam dinamika penggemar-
penggemar budaya populer Jepang ini.
Tiga jenis film yang sering mendapat tempat intim di tengah penggemar-
penggemar budaya populer Jepang di Indonesia adalah dorama9
, anime, dan
tokusatsu. Masing-masing jenis tersebut jelas akan memberikan penawaran yang
berbeda-beda. Ambil satu contoh yang telah sejak lama diterima di Indonesia, yaitu
Doraemon. Doraemon adalah anime yang memberikan narasi mengenai kehidupan
beberapa anak sekolah dasar di Jepang. Narasi anime ini berputar di sekitar tokoh
Nobita Nobi yang hidup bersama robot kucing dari masa depan bernama Doraemon.
Menurut Saya Shiraishi, anime ini menawarkan banyak hal yang membuatnya dapat
9 Dorama adalah istilah yang digunakan untuk menyebut film-film drama Jepang. Beberapa dorama yang ditayangkan di Indonesia adalah Oshin, Friends, Strawberry on Shortcake.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
disukai tidak hanya oleh anak-anak, tetapi juga orang dewasa. Bagi anak-anak, narasi
yang berputar di sekitar Nobita dapat terlihat sebagai representasi dari kehidupan
anak-anak yang menontonnya. Nobita adalah anak kelas 5 sekolah dasar yang
menghadapi banyak permasalahan, baik dari orang tua, sekolah dan guru-gurunya,
dan juga dari teman-temannya. Doraemon datang sebagai jawaban bagi
permasalahan-permasalahan Nobita melalui alat-alat canggih dalam kantong ajaibnya.
Permasalahan yang dihadapi Nobita merupakan masalah-masalah umum yang juga
dihadapi oleh anak-anak sekolah dasar yang menontonnya, sehingga keseluruhan
narasi dalam anime ini dapat memberikan kesenangan tersendiri bagi anak-anak yang
menontonya. Bagi orang dewasa, kehadiran narasi Doraemon di tengah-tengah
mereka dapat memberikan harapan bagi perkembangan teknologi di dunia nyata.10
Dari penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa anime Doraemon
memberikan penawaran yaitu kesenangan bagi anak-anak dan juga harapan bagi
orang dewasa. Ulasan yang dilakukan Saya Shiraishi tersebut menghadirkan unsur
intrinsik dalam anime Doraemon yang sekiranya dapat menarik penontonnya untuk
terus menikmati dan mengikutinya. Unsur intrinsik merupakan hal umum yang bisa
didapat dari pembacaan terhadap film-teks ketika menyandingkannya dengan
kehadiran pembacanya. Lain halnya jika yang ingin dicari adalah alasan pembaca
untuk menikmati dan mengikuti film-teks, karena alasan pembaca tersebut pasti
merupakan hal personal yang berangkat dari pengalaman hidup sang pembaca di
10 Ibid. Hlm 289-290
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
kesehariannya. Jika itu yang ingin dilihat, maka analisis semacam yang dilakukan
Saya Shiraishi pada anime Doraemon berada di wilayah yang lain.
Ada dua alasan kenapa saya menganggap analisis semacam itu kurang dapat
menjawab kegelisahan saya. Pertama, dari sisi pembacanya, penelitian yang ditujukan
untuk mencari alasan ketertarikan pembaca harus dilakukan melalui wawancara yang
mendalam terhadap subjek pembaca. Pembaca yang diwawancara harus diajak untuk
mengeluarkan alasan yang sangat personal dan subjektif, dan hal tersebut harus
dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari yang dialami subjek. Di tahap ini
analisis Doraemon diatas dirasa tidak menggunakan wawancara yang mendalam
untuk mengetahui alasan yang sangat personal dan subjektif dari pembacanya.
Dengan kata lain, ulasan mengenai alasan ketertarikan penonton semacam itu pun
masih terlalu umum, dan merupakan alasan yang mungkin dapat dikeluarkan oleh
orang-orang dari negara mana pun yang menikmati anime tersebut.
Alasan yang kedua adalah film-teks yang diangkat berupa anime yang hanya
diterjemahkan dari bahasa Jepang ke bahasa Indonesia. Film-teks yang diangkat ini
adalah film yang dibuat oleh orang Jepang, di Jepang, dan otomatis juga awalnya
ditujukan untuk orang Jepang, sehingga di dalamnya pasti terdapat hal-hal yang tidak
relevan dengan konteks kehidupan sehari-hari penonton di luar Jepang. Misalnya saja
bentuk kamar tidur Nobita yang menggunakan futon (tempat tidur gulung), atau
sistem sekolahannya yang mengenakan baju bebas. Hal-hal yang tidak relevan itu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
terlihat kontras dengan kesimpulan analisis yang mengatakan bahwa kehidupan
Nobita dekat dengan kehidupan anak-anak yang menontonnya.
Supaya tidak hanya terjebak pada penelitian di wilayah ini, penelitian untuk
mengetahui penawaran dalam film televisi yang dapat menarik pembacanya harus
berangkat dari menyandingkan film Jepang tersebut dengan konteks hidup khas dari
subjek pembaca. Ketertarikan pembaca untuk terus menonton dan mengikutinya lebih
lanjut tidak dapat dilihat dari sisi film-teks (faktor eksternal) saja. Penelitian perlu
beranjak pada faktor internal yang menyebabkan pembaca merasa tertarik dan
kemudian mengikuti film tersebut, bahkan sampai melakukan cosplay dengan
kostum-kostum dari tayangan-tayangan film Jepang. Pengaruh dari film dari Jepang
tentu tidak akan diterima begitu saja, bahkan dirayakan melalui berbagai komunitas
dan kegiatan, jika tidak ada dorongan untuk menerima terlebih dahulu.
Seperti telah diulas sebelumnya, dorongan untuk menerima (faktor internal) ini
biasanya disimpulkan berupa motif-motif individu untuk berekspresi, kebutuhan akan
tempat untuk keluar dari kesibukan sehari-hari, ataupun pemenuhan hobi dan
kesenangan pribadi. Kekurangan dari kesimpulan semacam ini terdapat pada
penempatannya di konteks Indonesia yang khas. Penempatan di konteks Indonesia di
sini menjadi penting karena dorongan untuk menerima dan bahkan mereproduksi
melalui kegiatan atau komunitas tidak akan terjadi jika tidak berangkat dari konteks
di mana orang-orang ini hidup. Dalam artian, pertanyaan-pertanyaan yang masih bisa
digali dari kesimpulan semacam itu misalnya: kenapa orang-orang ini memilih
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
berekspresi dengan cara seperti ini, dan bukan dengan cara yang lain? Kesibukan atau
keseharian seperti apa yang membuat orang-orang ini perlu keluar ke arah bentuk
kegiatan seperti ini? Atau, apa yang menyebabkan mereka hobi dan senang terhadap
budaya populer Jepang ini, dan bukan budaya populer yang lain? Kenapa bentuk
budaya populer ini menarik bagi orang-orang Indonesia ini?
Dari beberapa pertanyaan tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang menjadi
pertanyaan utama sekiranya berupa: apa yang dilihat para konsumen dari negaranya,
Indonesia, yang dapat menyebabkan kehadiran budaya populer Jepang begitu
dirayakan? Pertanyaan ini adalah jenis pertanyaan untuk mencari tahu kondisi
seorang penonton ketika menerima budaya populer Jepang tersebut. Kondisi yang
dicari tersebut tentu saja kondisi personal setiap penerimanya yang hidup dalam
keseharian di konteks Indonesia. Dengan kata lain, kondisi tersebut adalah konteks
Indonesia.
Keinginan saya untuk melakukan penelitian semacam ini juga berangkat dari
rasa penasaran yang timbul dari fenomena perubahan penerimaan Jepang di Indonesia.
Dulu imaji Jepang di benak orang Indonesia merupakan imaji yang cenderung negatif
yang ditimbulkan karena sejarah kolonialisme Jepang di Indonesia dan juga beberapa
peristiwa setelahnya seperti peristiwa Malari. Beberapa tahun terakhir, semenjak
perkembangan media televisi dan teknologi internet, imaji Jepang di benak orang
Indonesia sudah menjadi imaji negara maju yang bisa dijadikan acuan. Bahkan dalam
benak penggemar budaya populer Jepang di Indonesia, imaji Jepang diagung-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
agungkan dan dirayakan melalui bentuk-bentuk ekspresi mereka seperti cosplay dan
penerimaan dorama, anime, manga, tokusatsu secara intens dalam keseharian mereka.
Bentuk penerimaan dan perayaan budaya populer ini juga lebih lanjut telah diterima
di tengah masyarakat dan bahkan diakui oleh pemerintah melalui acara-acara bertajuk
kebudayaan Jepang.11
Tujuan ini dapat dicapai dengan wawancara mendalam yang berangkat dari
analisis film-teks yang pembaca anggap mengawali atau membangun kecintaan
mereka terhadap Jepang. Hal ini perlu dilakukan karena pembaca diandaikan sebagai
subjek yang aktif dalam melakukan pemaknaan yang khas pada film Jepang yang dia
hadapi. Dengan membandingkan unsur-unsur film-teks dengan variasi pemaknaan
yang dilakukan pembaca, maka kekhasan pembaca Indonesia dalam memaknai film-
teks bisa didapatkan. Perbedaan penerimaan yang dilakukan oleh pembacanya akan
menjadi data penting untuk melihat alasan mendalam penonton yang terkonteks di
Indonesia, dan lebih jauh juga berguna untuk menganalisis terbentuknya
pembandingan superior-inferior Jepang-Indonesia. Hal ini dapat diartikan bahwa
penelitian ini ditujukan untuk mencari tanda-tanda dari jawaban responden yang
mencerminkan kondisi atau konteks khas Indonesia yang mengawali mereka dalam
melakukan penerimaan.
11 Beberapa acara bertajuk kebudayaan Jepang yang berskala nasional antara lain: festival Ennichisai 2015, Jakarta Japan Matsuri, Popcon Asia 2015, atau Anime Festival Asia: Indonesia 2015 (AFA:ID 2015). Beberapa acara kebudayaan Jepang yang tahun ini diadakan di Yogyakarta antara lain: Okaeri Matsuri 2015 yang diadakan oleh Himpunan Mahasiswa D3 Jepang Universitas Gadjah Mada (Himadije UGM), Jogja-Japan Week 2015 yang diadakan oleh Dinas Pariwisata, ataupun Mangafest 2015 yang diadakan oleh Himpunan Mahasiswa Jepang Universitas Gadjah Mada (Himaje UGM).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
1.2 Tema Penelitian
Tema yang diangkat dalam penelitian ini adalah “Pembentukan Interpretasi atas
Jepang di Indonesia dalam Konsumsi Budaya Populer Jepang” melalui kajian
terhadap proses pembacaan film-teks Jepang oleh pencinta budaya populer Jepang di
Yogyakarta.
1.3 Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang di atas, kegelisahan utama saya adalah mengenai
alasan mengapa interpretasi atas Jepang di Indonesia menimbulkan fenomena seperti
ini? Dengan kata lain, pertanyaan yang mendasarinya adalah: Indonesia seperti apa
yang memberangkatkan adanya kemungkinan terjadinya fenomena seperti ini? Untuk
menjadi panduan terurut dalam analisis dan pencarian konteks Indonesia pada
pembaca film televisi Jepang, saya merumuskan empat pertanyaan yang secara runtut
akan mengarahkan saya pada jawaban pertanyaan di atas:
1. Pengetahuan tentang Jepang apa saja yang beredar pada sejarah Indonesia
yang memungkinkan untuk dibawa pada kegiatan membaca film-teks oleh
pembaca film televisi Jepang?
2. Bagaimana film televisi Jepang yang dihadapi pembaca memungkinkan
adanya kebutuhan akan pengetahuan tertentu untuk dapat dibaca?
3. Bagaimana pembentukan interpretasi atas Jepang tercipta melalui peletakan
pengetahuan pembaca pada teks film?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
4. Bagaimana Indonesia disiratkan atau dibayangkan melalui narasi pembaca
setelah mengalami proses pembentukan interpretasi atas Jepang?
1.4 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah mencari konteks
Indonesia tertentu yang memberangkatkan kecintaan pembaca film televisi terhadap
Jepang, yaitu:
1. Menguraikan pengetahuan tentang Jepang yang tersebar di Indonesia yang
memungkinkan menjadi penyebab keintiman pembacaan film televisi Jepang.
2. Menelusuri tanda-tanda dalam film-teks yang memungkinkan adanya
kebutuhan pengetahuan di luar film-teks itu dalam pembacaannya.
3. Mencari interpretasi atas Jepang melalui kedekatan pembaca terhadap film
televisi Jepang.
4. Mencari konteks Indonesia yang senantiasa tersingkirkan dari permukaan
oleh pengetahuan-pengetahuan lain dalam membaca film televisi Jepang.
1.5 Manfaat Penelitian
Secara akademis, penelitian ini bermanfaat untuk memberikan arah baru dalam
penelitian efek media bagi penerimanya. Arah baru ini bermanfaat supaya penelitian
mengenai efek media dalam kaitannya dengan penerimanya tidak hanya berhenti
pada pembahasan medianya (intrinsik) saja, ataupun hanya sampai ke relasi politik-
ekonomi yang membuat film tersebut hadir. Penelitian juga harus mempertimbangkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
konteks lokal dan kesejarahan personal para penerimanya, sehingga bisa
mendapatkan hasil yang berbeda-beda sesuai dengan konteks lokal tempat penelitian
itu berada. Hanya dengan bentuk itu penelitian mengenai efek media dapat
bermanfaat kepada masyarakat di luar lingkaran akademisnya secara terperinci dan
khusus di suatu wilayah tertentu. Hal ini memberi kontribusi bagi penelitian efek
media selama ini yang memiliki kecenderungan terlalu umum dan kecenderungan
pembuatan kesimpulan yang serupa di mana pun penelitian itu dilakukan.
Di sisi lain, penelitian ini juga bermanfaat bagi perkembangan kajian Jepang di
Indonesia. Manfaat ini didapatkan karena penelitian yang dilakukan selama ini
berkisar di penelitian seputar budaya populer Jepang – baik secara intrinsik maupun
melihat komunitas yang menerimanya dan mereproduksinya. Ataupun penelitian
seputar pembandingan budaya Indonesia dengan budaya Jepang. Bahkan penelitian
secara mendalam suatu budaya Jepang. Penelitian untuk melihat Indonesia melalui
budaya Jepang yang diterima di Indonesia masih minim dilakukan.
Secara praksis, penelitian ini bermanfaat bagi komunitas pecinta budaya Jepang
karena keprihatinan terhadap kecintaan anggota-anggota komunitas ini seringkali
muncul tetapi tidak dapat dibahasakan. Ada dua keprihatinan yang paling sering
muncul, yaitu keprihatinan terhadap Indonesia, dan keprihatinan terhadap kecintaan
yang berlebihan terhadap Jepang. Saya berharap penelitian ini dapat memberi bahasa
baru bagi komunitas-komunitas ini secara spesifik dan seluruh pecinta budaya Jepang
secara umum dalam membahasakan apa yang menjadi keprihatinan mereka.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
Di sisi lain, penelitian ini juga bermanfaat bagi masyarakat secara umum
supaya masyarakat dapat lebih kritis dalam menerima dan mengonsumsi pengaruh-
pengaruh budaya populer di tengah keseharian mereka. Di tengah perkembangan
dunia internet, masyarakat dibentuk untuk selalu melakukan kegiatan konsumsi
secara aktif. Dengan adanya penelitian ini, saya berharap konsumen budaya populer
dapat lebih kritis dalam mengkonsumsi budaya-budaya tersebut dalam berbagai
media yang semakin mudah didapatkan. Lebih kritis di sini dalam artian bahwa saya
berharap penelitian ini bermanfaat untuk melihat sejauh apa masyarakat pembaca
budaya populer tersebut menjadi dan merasakan diri mereka sendiri.
1.6 Tinjauan Pustaka
Karena minimnya penelitian yang bertemakan “Pembentukan Interpretasi atas
Jepang di Indonesia pada Konsumen Budaya Populer Jepang”, saya membagi
tinjauan pustaka ini menjadi tiga kategori yang sekiranya merupakan aspek-aspek
pembangun tema tersebut. Tiga kategori ini yaitu: (i) penelitian mengenai negara
Jepang sebagai sebuah konsep yang dinamis dan dapat diinterpretasikan secara
beragam, yang nantinya juga berhubungan dengan meluasnya pengaruh budaya
populer Jepang di berbagai negara yang sekiranya dapat membentuk interpretasi
bervariasi; (ii) penelitian mengenai budaya populer Jepang dari sudut pandang teks
budayanya sebagai duta di luar Jepang, yang nantinya juga berhubungan dengan
bagaimana teks-teks itu diterima dan ditempatkan di tengah komunitas di berbagai
tempat; (iii) penelitian mengenai efek budaya Jepang di Indonesia, dan Yogyakarta
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
khususnya, yang dilakukan dengan sudut pandang pembentukan komunitas dan
ekspresi kecintaan masyarakat Indonesia terhadap Jepang.
1.6.1 Jepang dan Ke-Jepang-an (Japaneseness) yang Dinamis
Ada dua penelitian mengenai Jepang dan pembangunan ke-Jepang-an
(Nihonjinron12
) yang sesuai untuk diangkat. Yang pertama adalah penelitian Koichi
Iwabuchi yang berjudul Recentering Globalization: Popular Culture and Japanese
Transnationalism (2002). Penelitian kedua adalah penelitian Marylin Ivy dalam buku
Discourse of the Vanishing: Modernity, Phantasm, Japan (1995).
Iwabuchi banyak menggunakan paradigma poskolonialisme dengan
menghadirkan pembandingan Occident-Orient dan menghadirkan konsep Self-
Orientalism sebagai strategi Jepang dalam membangun ke-Jepang-annya. Ke-Jepang-
an harus di-imajinasi-kan13
oleh Liyan (dengan L besar) dan juga oleh masyarakatnya,
walaupun secara berbeda. Konsep Self-Orientalism ini disebut sebagai cara Jepang
dalam membangun negaranya sendiri, bukan sebagai Occident yang menilai negara
lain, atau sekedar Orient yang dinilai oleh negara lain. Jepang menggunakan
pembayangan yang dilakukan oleh negara lain untuk membentuk negaranya
kemudian menggabungkan (dan terkadang memaksakan) dalam pembayangan
masyarakatnya.
12 Menurut Iwabuchi, Nihonjinron adalah genre sastra/tulisan non-fiksi yang berisi teori-teori mengenai “Japaneseness” yang biasanya dibangun dari oposisi biner antara Jepang dengan Barat (terutama Amerika). 13 Iwabuchi banyak menggunakan konsep Imagined Communities karya Ben Anderson.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
Di sisi lain, Ivy lebih banyak menggunakan paradigma psikoanalisa, terutama
kaitannya dengan pembentukan fantasi sebagai cara Jepang membangun ke-Jepang-
annya. Salah satu program pemerintah yang banyak dikritik adalah Kokusaika14
(internasionalisasi), yang menandakan bahwa segala yang berada di dalam Jepang
harus ditransformasikan dengan teratur sesuai keinginan untuk meng-internasional-
kannya (Ivy, 1995: 5). Ivy melihat bahwa program ini, terutama juga masa reproduksi
elektris, menjadi pengaruh penting untuk masuk dan melihat bagaimana aspek-aspek
– seperti cerita rakyat, tradisi dan festival, sampai ke upacara-upacara adat – di
masyarakat Jepang selalu berdinamika di sekitar isu tersebut.
Yang menjadi kesamaan bagi kedua penelitian ini adalah adanya strategi yang
diterapkan Jepang dalam membangun ke-Jepang-annya, baik sewaktu berhadapan
dengan Barat maupun berhadapan dengan rangka waktu paska-perang dan paska-
modern dan segala fenomena globalnya. Keduanya sama-sama menekankan bahwa
strategi semacam ini bukanlah strategi yang secara penuh sadar direncanakan, diatur,
dan dijalankan sebelumnya, tetapi sebagai strategi yang muncul ketika Jepang sudah
diletakkan berhadapan dengan liyannya. Identitas ke-Jepang-an yang dibangun oleh
Jepang merupakan representasi pertemuannya dengan liyannya, dan ini selalu
merupakan hal yang temporer sehingga selalu akan digiatkan terus menerus.
14 Kata ini menjadi penting karena ini yang biasa menjadi sasaran kritik dari peneliti/akademisi seperti Iwabuchi dan Ivy.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
Dalam hubungannya dengan penelitian ini, data-data dalam penelitian-
penelitian tersebut dapat memberi posisi yang lebih jelas bagi imaji Jepang yang
didapatkan melalui media film televisi. Hal ini berarti bahwa Jepang yang
disampaikan melalui media televisi adalah Jepang yang juga di-fantasi-kan oleh
masyarakat Jepang sendiri. Sehingga, imajinasi yang dilakukan oleh pecinta budaya
Jepang di Indonesia tidak pernah berupa Jepang secara nyata dan benar, karena
“Jepang” itu sendiri masih terus dikonstruk di negaranya.
1.6.2 Anime, Manga, Dorama, dan Media yang Memanggil Pembaca
Penelitian yang membahas mengenai perkembangan dan pengaruh budaya
popular Jepang sudah banyak dilakukan di berbagai tempat. Beberapa penelitian yang
sekiranya dapat membantu pendekatan peneliti dalam melihat pengaruh budaya
popular Jepang dalam konteks hubungan antar negara, antara lain: Japan Pop! Inside
the World of Japanese Popular Culture (2000) yang dieditori oleh Timothy J. Craig;
Feeling Asian Modernities: Transnational Consumption of Japanese TV Drama
(2004) yang dieditori oleh Koichi Iwabuchi; Hip-Hop Japan: Rap and the Paths of
Cultural Globalization (2006) oleh Ian Condry; In Godzilla‟s Footsteps: Japanese
Pop Cultural Icons on the Global Stage (2006) yang dieditori oleh William M.
Tsutsui dan Michiko Ito; JAPANamerica: How Japanese Pop Culture Has Invaded
U.S (2006) oleh Roland Kelts; Popular Culture, Globalization, and Japan (2006)
yang dieditori oleh Matthew Allen dan Rumi Sakamoto; Japanese Visual Culture:
Exploration in the World of Manga and Anime (2008) yang dieditori oleh Mark W.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
MacWiliiams; dan Boys‟ Love Manga: Essays on the Sexual Ambiguity and Cross-
Cultural Fandom of the Genre (2008) yang dieditori oleh Antonia Levi, Mark
McHarry, dan Dru Pagliassotti. Selain penelitian yang sudah berbentuk buku tersebut,
ada beberapa penelitian lain yang dipublikasikan dalam bentuk esai lepas, antara lain:
POP POWER: Pop Diplomacy for Global Society oleh Luiz Antonio Vidal Perez;
Soft Sell, Hard Cash: Marketing J-Cult in Asia oleh Brian Moeran dari Department of
Intercultural Communication and Management di Copenhagen Business School.
Secara garis besar, penelitian-penelitian ini memiliki kesamaan dalam tujuan,
namun berbeda sudut pandang penelitiannya. Penjelasan yang cukup rapi
disampaikan oleh Iwabuchi dalam Feeling Asian Modernities: Transnational
Consumption of Japanese TV Drama (2005). Dalam buku yang dieditori oleh Koichi
Iwabuchi ini terdapat dua poin yang dijadikan alasan atas kebutuhan adanya
penelitian ini. Pertama, Koichi Iwabuchi melihat bahwa kajian terhadap tayangan
drama di televisi mendapat porsi kurang dibanding dengan kajian budaya populer
yang lain, seperti musik dan film populer. Padahal, appropriasi yang dipaksakan di
berbagai negara tidak hanya terjadi pada bidang musik dan film populer saja, tetapi
juga bidang-bidang yang lain, seperti drama.
Kedua, ia mendapati bahwa kajian terhadap globalisasi budaya (Studies of
Cultural Globalization) pun mulai bias di berbagai tempat, terutama ketika selama ini
porsi terhadap kajian globalisasi budaya terlalu besar dalam melihat barat sebagai
yang global. Dengan adanya dua alasan itu, ia memulai buku ini dengan beberapa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
pertanyaan: Apa sifat alami dari kekuatan kultural Jepang dan pengaruhnya di
beberapa tempat, dan juga kenapa secara sejarah selalu dideterminasi secara lebih?
Bagaimana persamaan atau perbedaan kekuatan dan pengaruhnya ini dibanding
dengan “Amerikanisasi” ataupun negara Asia yang kuat juga pengaruh kulturalnya?
Jenis imaji apa, dan juga perasaan kedekatan ataupun keberjarakan seperti apa yang
didapat melalui resepsi drama televisi Jepang? Apakah drama Jepang membangkitkan
semacam imajinasi transnasional dan refleksi diri terhadap kultur dan lingkungan
seseorang?15
Pertanyaan-pertanyaan ini sangat relevan dengan penelitian yang akan
saya lakukan, sehingga secara garis saya memposisikan penelitian ini di tengah
semesta pertanyaan yang juga dilontarkan Koichi Iwabuchi.
Ia merumuskan beberapa hal: pertama, operasi kekuasaan kultur global (global
cultural power) hanya dapat berhasil melalui praktek-praktek lokal (glocalize)
melalui reproduksi kultural atau appropriasi pada tingkat lokal. Praktek seperti ini
memang melemahkan kekuatan kultur yang transnasionalis itu, namun sekaligus
menyebabkannya solid dan kuat di tingkat lokal secara khas. Kedua, salah satu
strategi pemasaran global yang dilakukan Jepang adalah dengan menumpang
kekuatan media Barat (Amerika) untuk mempromosikan, mendistribusikan, maupun
melokalisasikan Jepang di berbagai tempat. Ketiga, Jepang tidak akan berhasil
melakukan strategi ini tanpa adanya kerjasama dan penerimaan yang besar dari media
lokal (media Asia di pasar Asia.) Ketiga rumusan yang dihasilkan Koichi Iwabuchi
15 Iwabuchi, Koichi, ed. 2004. Feeling Asian Modernities: Transnational Consumption of Japanese TV Dramas. Hong Kong: Hong Kong University Press. Hlm. 5
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
ini lebih menekankan pandangan dari atas ke bawah (top-down) dari sebuah struktur
penyebaran media transnasional, dan terlihat mengesampingkan dinamika yang
terjadi di arus bawah pada pembaca di setiap area nasional tertentu.
Penelitian-penelitian tersebut dapat digunakan dalam penelitian ini untuk
melihat cara pendekatan yang dilakukan berbagai peneliti dalam melihat pengaruh
budaya populer dari sudut pandang negara non-Jepang yang terkena pengaruh budaya
populer Jepang. Pendekatan-pendekatan yang dilakukan kebanyakan menggunakan
kaca mata budaya populer dalam hubungannya dengan globalisasi dan budaya
transnasional. Penelitian-penelitian ini menjadi penting karena data-data yang
ditampilkan didalamnya dapat membantu untuk menganalisis film-teks yang akan
diangkat dalam penelitian saya. Dalam arti, keluasan wacana yang ditampilkan dalam
penelitian-penelitian ini dapat menjadi data yang penting untuk menjawab rumusan
masalah penelitian ini.
Di sisi lain, seperti yang sudah dikatakan dalam latar belakang di atas, buku-
buku semacam ini cukup kurang dalam membantu peneliti untuk melihat lebih jauh
ke dalam konteks Indonesia yang spesifik. Bahkan beberapa essai di dalam buku-
buku tersebut, seperti essai oleh Saya Shiraishi dalam buku Japan Pop! Inside the
World of Japanese Popular Culture16
dan Yamila Abraham dalam buku Boys‟ Love
Manga: Essays on the Sexual Ambiguity and Cross Cultural Fandom of the Genre17
,
16 Essai Saya Shiraishi berjudul Doraemon Goes Abroad 17 Essai Yamila Abraham berjudul Boys’ Love Thrives in Conservative Indonesia
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
yang secara spesifik berlandaskan penelitian di Indonesia dirasa tetap kurang
memadai. Kekurangan tersebut dikarenakan essai tersebut menampilkan hasil yang
masih terlalu umum, dan bukan hasil dari sebuah pendekatan wawancara mendalam
di suatu tempat terkhusus. Oleh karena itu, peneliti merasa penting untuk
menghadirkan beberapa penelitian lain di Indonesia yang menggunakan metode
wawancara terhadap penerima budaya popular Jepang.
1.6.3 Kehidupan Komunitas Pecinta Budaya Jepang di Indonesia
Kehidupan komunitas pecinta budaya Jepang – dan bagaimana mereka
menanggapi budaya Jepang di tengah kehidupan mereka – telah cukup banyak
dilakukan di Indonesia, terutama oleh mahasiswa perguruan tinggi yang memiliki
program studi strata 1 Jepang di dalamnya. Beberapa penelitian para mahasiswa
Indonesia, Yogyakarta secara spesifik, yang menggunakan pendekatan wawancara
terhadap konsumen budaya popular Jepang antara lain: Penerimaan J-Pop di
Kalangan Anak Muda Jogjakarta (2008) oleh Eka Rahayu Kartini; Faktor-faktor
yang Melatarbelakangi Kemunculan Komunitas Pencinta Budaya Populer Jepang di
Yogyakarta (2009) oleh Prima Nur Cahyaningrum; Makna Aktualisasi Diri Para
Cosplayer di Yogyakarta (2011) oleh Nugrah Nur Saraswati; Kehidupan Otaku di
Yogyakarta sebagai Penggemar Produk Budaya Populer Jepang (2011) oleh Firman
Kurniawan; Fenomena Kemunculan Band-band Lokal Bernuansa Jepang di
Yogyakarta (2011) oleh Sri Wulaningsih; Komunitas Pencinta Tokusatsu Jepang:
Studi Kasus Tiga Komunitas Pencinta Tokusatsu Jepang di Yogyakarta (2012) oleh
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
Galih Harilaning Perdana; Perkembangan Toko Mainan Anime dan Tokusatsu Jepang
di Yogyakarta (2013) oleh Heru Widiatmoko; dan Japan Adult Video (Studi Kasus 4
Mahasiswa Universitas Gadjah Mada Penggemar JAV) (2013) oleh Muhammad
Naufal Ridha.
Penelitian-penelitian tersebut memiliki kesimpulan yang tidak jauh berbeda,
yaitu adanya faktor internal dan faktor eksternal seperti yang telah dijelaskan di
bagian latar belakang di atas. Penelitian-penelitian ini dirasa masih belum cukup
dalam menganalisis alasan sebenarnya para penggemar Indonesia ini dalam
mereproduksi budaya popular Jepang karena belum melakukan wawancara yang lebih
mendalam. Hasil dalam penelitian-penelitian ini masih bisa dilanjutkan untuk melihat
pengaruh konteks Indonesia secara spesifik yang dapat menyebabkan budaya popular
ini begitu dinikmati dan dirayakan di tengah kehidupan masyarakat terkhusus
Indonesia. Oleh karena itu, data-data hasil wawancara yang sudah diolah dalam
penelitian-penelitian ini bisa menjadi data penting untuk ditindaklanjuti.
1.7 Kerangka Teoritis
Teori utama yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah teori
pembentukan interpretasi dalam analisis teks-wicara18
atau Possible World oleh
Umberto Eco dalam bukunya yang berjudul The Role of The Reader: Exploration in
the Semiotics of Texts (1979) dan The Limits of Interpretation (1991). Dalam buku
18 Istilah teks-wicara ini tidak hanya merujuk pada bahasa atau wicara yang dikeluarkan oleh pembicara, tetapi juga merujuk kepada keluasan semesta teks-wicara berupa teks verbal, teks tertulis seperti karya sastra dan iklan, ataupun media visual seperti film dan komik.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
The Limits of Interpretation (1991) Eco melihat bahwa interpretasi terhadap sebuah
teks-wicara bukanlah tanpa batas, tetapi justru memiliki batasan-batasan tertentu yang
tercipta dari hubungan antara intensi pembicara (intentio auctoris), teks-wicara itu
sendiri (intentio operis), dan juga intensi pembaca (intentio lectoris). Ketika sebuah
teks-wicara sudah diungkapkan oleh pembicaranya – dan juga intensi pembicaranya
sudah terungkap – maka teks-wicara tersebut melayang-melayang di dunia yang
dipenuhi oleh berbagai interpretasi dalam membacanya (Eco, 1991: 2). Teks-wicara
tersebut telah terlepas dari pembicara awalnya, dan juga terutama dari intensi
pembicaranya yang berada pada suatu konteks tertentu. Dengan pandangan seperti ini,
anggapan bahwa sebuah teks-wicara dianggap memiliki satu keutuhan makna orisinil
yang sudah final adalah hal yang utopis.
Ketika sebuah teks-wicara dapat memicu terciptanya keberagaman interpretasi,
maka keberagaman interpretasi tersebut merupakan hal yang berada di antara teks-
wicara dan penerimanya. Dengan kata lain, penerima teks-wicara tersebut merupakan
pihak yang sangat menentukan hadirnya keberagaman interpretasi. Umberto Eco
mengenalkan keberagaman interpretasi tersebut melalui istilah Possible World. Istilah
ini dihadirkan Eco karena Possible World tersebut hanya dapat tercipta ketika
berhadapan dengan Real World di mana penerima teks-wicara itu berada. Jadi, Eco
menganggap bahwa ada dua dunia yang hadir pada kegiatan penerimaan teks-wicara,
yaitu Possible World dan Real World.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
Untuk membicarakan dua dunia ini, Eco mengajak untuk melihat keduanya
terlebih dahulu sebagai dunia yang dikonstruk secara kultural. Real World adalah
dunia logika, dunia tempat dua tambah dua sama dengan empat. Dunia ini merupakan
dunia yang diterima secara benar dan salah dari hal-hal semacam ensiklopedia dunia,
majalah-majalah, cerita-cerita sejarah, dan dari berbagai fakta-data yang diterima
setiap orang. Dengan ini, tidak salah jika Eco menyebutnya sebagai dunia yang
dikonstruk secara kultural, karena pengetahuan tentang Real World ini merupakan
pengetahuan yang dibentuk oleh berbagai pengaruh yang ada di setiap orang. Hal ini
menyebabkan Real World tersebut dianggap bukanlah dunia yang satu utuh, karena
pengaruh yang hadir di setiap orang pun bisa berbeda-beda.
Dunia yang kedua adalah Possible World. Eco beberapa kali menyebutnya juga
dengan dunia fiksi.19
Dunia ini adalah dunia yang tercipta ketika orang berhadapan
dengan sebuah teks-wicara. Ketika seseorang berhadapan dengan sebuah teks-wicara,
maka seseorang tersebut akan memiliki keberagaman interpretasi. Eco (1979)
menyatakan bahwa possible-world adalah hasil dari konstruk kultural tertentu.20
Hal
ini yang menyebabkan teks tidak pernah lagi sama ketika diserap oleh pembaca yang
berbeda-beda.21
Akan tetapi, hal ini tidak bermaksud menempatkan Eco pada sisi
yang sama seperti Derrida – dengan dekonstruksinya yang mengadvokasi
ketakstabilan makna pada teks di suatu konstruk kultural tertentu. Dengan membawa
19 Umberto Eco, The Limits of Interpretation (Bloomington: Indiana University Press, 1991), hal. 66 20 Umberto Eco, The Role of The Reader: Exploration in the Semiotics of Text (Bloomington: Indiana University Press, 1979), hal. 221 21 Lihat konsep Small worlds dalam Eco (1991), op.cit. hal. 67
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
konsep unlimited semiosis yang dikenalkan Pierce, Eco justru ingin mengatakan
bahwa interpretasi bukanlah tanpa batas (limitless), namun justru memiliki
batasannya yang diatur juga oleh teks. Di sini ia menekankan pentingnya intentio
operis sebagai dasar negosiasi pada wilayah intentio lectoris.22
Sebuah teks yang
mendeskripsikan keadaan atau jalannya suatu peristiwa adalah bentukan strategi
linguistik tertentu yang digunakan sebagai pemantik interpretasi dalam Model
Reader.23
Penggunaan istilah Pembaca (reader) dalam penelitian ini dimaksudkan untuk
memberi arti lebih pada penonton atau penikmat film televisi Jepang yang dihadirkan
di televisi Indonesia. Arti lebih di sini dalam artian bahwa penonton atau penikmat
bukanlah subjek pasif yang hanya begitu saja menikmati pertemuannya, tetapi
menganggap bahwa penonton adalah pembaca tanda-tanda yang disajikan di dalam
teks film. Dengan melihat penonton sebagai pembaca berarti saya menganggap
bahwa pembaca secara aktif melakukan pemaknaan pada tanda-tanda yang ia baca di
dalam teks film. Hal ini juga dibahasakan oleh Eco:
“…to privilege the initiative of the reader does not necessarily mean to
guarantee the infinity of readings. If one privileges the initiative of the reader,
one must also consider the possibility of an active reader who decides to read a
text univocally…” (Eco, 1991: 51)
22 Stephan Collini (.ed), Interpretation and Overinterpretation: Umberto Eco with Richard Rorty, Jonathan Culler, Christine Brooke-Rose (Cambridge: Cambridge University Press, 1992). Hal. 7 - 10 23 Strategi linguistik tersebut dapat berupa (i) kode linguistik tertentu, (ii) gaya bahasa atau penulisan tertentu, atau (iii) rujukan-rujukan khusus tertentu. Lihat Eco (1991), op.cit. hal. 66
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
Dalam buku The Role of the Reader (1979), Eco menjelaskan bahwa sebuah
teks-wicara hanya bisa dipahami sesuai dengan bagaimana teks-wicara dibentuk bila
kode-kode yang dibangun dalam teks-wicara tersebut juga dimiliki oleh pembaca.
Dalam pengertian ini, Eco mengatakan bahwa sang pengarang bisa membayangkan
adanya pembaca yang mampu untuk menginterpretasikan ekspresi-ekspresi sesuai
dengan cara sang pengarang menginterpretasikan ekspresi-ekspresi yang ia bangun.
Hanya pembaca yang dimungkinkan (possible reader) yang mampu menciptakan
Possible World dari pertemuannya dengan teks-wicara. Possible Reader ini yang
diistilahkan oleh Eco dengan konsep Model Reader.24
Possible World tidak bisa semena-mena tercipta begitu saja oleh sang penerima
tanpa terpengaruh teks-wicaranya. Possible World tersebut adalah dunia yang
dibangun diatas objek teks-wicara, dan hanya akan muncul ketika penerima sudah
berhadapan dengan sesuatu yang ada di dalam teks-wicara. Sesuatu yang di dalam
teks mengontrol dorongan yang tak terkontrol milik penerima. Sehingga, sesuatu
yang mungkin didapatkan di dalam teks-wicara tersebut pun akan berbeda-beda
tergantung identitas (konteks) penerimanya, dan dorongan penerimanya.25
Untuk memahami lebih dalam teori Possible World, dan juga penerapannya
dalam penelitian ini, ada beberapa konsep yang harus ditempatkan secara analitis dan
terurut. Konsep pertama berangkat dari trikotomi tanda oleh Peirce yang membawa
24 Pembaca yang menjadi syarat dalam pembacaan teks secara khusus, sehingga teks memiliki kemungkinan untuk bisa dibaca sesuai harapan sang pencipta teks ataupun teks itu sendiri. Lihat Eco (1979), op.cit. hal. 7 25 Eco (1991), op.cit. hal. 59
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
konsep final interpretant dan habit. Konsep kedua adalah Possible World oleh Eco
sendiri, terutama strategi pembentukannya yang terstruktur. Konsep ketiga adalah
konsep abduksi oleh Eco yang akan melatarbelakangi struktur penulisan penelitian ini.
1.7.1 Menelusuri Jejak, Membentuk Dunia Baru
Berbeda dengan Roland Barthes yang menggunakan pemahaman semiotika
Ferdinand de Saussure dalam membagi sistem tanda (sign) menjadi dua aspek
penanda (signifier) dan petanda (signified), Umberto Eco membawa pemahaman
Charles Sanders Peirce atas trikotomi sistem semiotika: tanda (sign, representamen),
object, dan interpretant. Representamen selalu merupakan sesuatu yang bersifat
indrawi yang berfungsi sebagai tanda dari suatu objek. Representamen ini yang
membangkitkan interpretant di benak interpreternya. Interpretant tidak dapat
didefenisikan sebagai sekedar interpretasi atas suatu representamen. Menurut Eco,
interpretant lebih baik diartikan sebagai sebuah representasi dari objek lain yang
dapat mengacu pada objek yang sama.
“…interpretant as another representation which is referred to the same „object‟.
In other words, in order to establish what the interpretant of a sign is, it is
necessary to name it by means of another sign which in turn has another
interpretant to be named by another sign and so on…” (Eco, 1976: 68-69)
Seperti terlihat pada figur. 1, hubungan trikotomi ini menjadi segitiga yang
saling terhubung.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
Figur 1. Trikotomi Peircean
Saling keterhubungan ketiga aspek ini yang juga berarti bahwa kemungkinan
untuk pertukaran posisi bisa terjadi. Peirce mengistilahkan pertukaran posisi yang
mungkin tersebut dengan istilah proses Unlimited Semiosis. Representamen
berangkat dari adanya sebuah objek, dan digunakan untuk menandai sebuah objek
dan kemudian didefinisikan melalui adanya interpretant. Representamen ini hadir
pada semesta bahasa, dan didefinisikan menggunakan bahasa yang mengacu pada
objek-objek yang lain. Mengacunya interpretant pada objek-objek lain pada semesta
bahasa yang akhirnya memunculkan representamen yang baru dan otomatis juga
kemudian menghadirkan interpretant lain, dan selalu begitu.
“…a sign is “anything which determines something else (its interpretant) to
refer to an object to which itself refers (its object) in the same way, this
interpretant becoming in turn a sign, and so on ad infinitum…. If the series of
successive interpretants comes to an end, the sign is thereby rendered imperfect,
at least…” (Peirce via Eco, 1991: 35-36)
Konsep ini juga didukung Derrida pada bukunya On Grammatology (1976)
yang mengatakan bahwa:
“…the representamen functions only by giving rise to an interpretant that itself
becomes a sign and so on to infinity…” (Derrida via Eco, 1991: 35)
Menurut Eco, konsep Unlimited Semiosis ini sesuai dengan konsep yang
dilahirkan Derrida kemudian, yaitu Indefinite Deferral, seperti terlihat pada kutipan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
di atas. Melalui konsep ini, Derrida menyatakan bahwa setelah sebuah teks
dilepaskan dari intensi subjektif di belakangnya, pembaca teks tidak lagi memiliki
kewajiban atau kemungkinan untuk menaati intensi yang sudah hilang itu. Teks
tersebut tidak lagi memiliki makna satu yang utuh. Penanda tidak pernah hadir
bersama petanda yang satu karena selalu mengalami penundaan, dan itu disebabkan
karena penanda selalu berelasi dengan penanda yang lain.26
Proses semiosis Peirce yang diangkat Eco ini tidak terbatas, dan selalu
digiatkan berputar antara beragam interpretant, yang menjelaskan sesuatu melalui
sesuatu itu sendiri dalam bahasa. Sebuah pohon didefinisikan melalui kata tumbuhan,
dan tumbuhan itu merujuk pada interpretant yang lain, dan terus berlangsung seperti
itu. Namun, hanya ada dua hal yang membuat bahasa ini harus berkonfrontasi (dan
memungkinkan adanya pembatasan) dengan hal diluar bahasa. Pertama adalah index
atau penunjuk. Ketika seorang mengatakan pohon dengan mengarahkan jarinya pada
sebatang pohon di hadapannya, maka proses semiosis terkonfrontasi. Index, menurut
Eco, adalah perujukan pada sesuatu di dunia ekstralinguistik atau ekstrasemiosis.
Kedua adalah adanya Objek Dinamis (Dynamic Object) yang diartikan sebagai
realitas yang sedemikian mungkin diatur untuk menentukan tanda pada
representamen. Kita memproduksi representamen karena kita dipaksa oleh sesuatu
yang diluar lingkaran semiosis (Eco, 1991: 38). Seperti terlihat pada Figur. 2, ketika
setiap Isi (atau Immediate object) dari sebuah ekspresi (atau representamen)
26 Ibid. hal. 33
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
diinterpretasikan dengan ekspresi lain yang memiliki isi-nya sendiri, maka Unlimited
semiosis pun terjadi. Sesuatu yang membatasi, atau memaksa, hadirnya sebuah
representamen tertentu adalah Objek Dinamis. Yang hadir secara nyata dalam pikiran
kita atau dalam lingkaran semiosis hanyalah Immediate Object yang diinterpretasikan
oleh tanda-tanda yang lain. Objek Dinamis tidak berwujud (dan tidak pernah
berwujud) dan hanya bisa diketahui jejaknya melalui keberadaan Immediate object.
Akan tetapi, kehadiran representament dan juga kehadiran Immediate object (baik di
pikiran atau lainnya) menandakan bahwa Objek Dinamis sudah pernah ada. Pada
Figur. 2 di bawah, Objek Dinamis dapat ditempatkan sebagai garis hitam yang selalu
menghubungkan isi-ekspresi.
Figur. 2 Dynamic Object sebagai pengubung Isi dan Ekspresi
Yang dimaksudkan oleh Peirce melalui istilah objek pada trikotomi tanda
bukanlah objek yang konkret (benda fisik). Objek bukanlah sebuah benda atau bentuk
duniawi, namun berupa aturan, hukum, petunjuk – nampak sebagai deskripsi yang
berisi pengalaman apa pun yang mungkin. Di sini Peirce membagi konsep objek ini
menjadi dua, yaitu immediate object dan dynamic object. Dynamic object dapat
diartikan sebagai objek (realitas) yang menentukan hubungan antara tanda dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
representasinya (representament), sedangkan Immediate object adalah objek
sebagaimana tanda itu merepresentasikannya, dan keberadaannya bergantung pada
representasi di dalam tanda.27
Kita memproduksi representasi (representamen) karena
dipaksa oleh sesuatu yang berada di luar lingkaran semiosis. Dynamic object bukan
sesuatu yang berwujud benda dari dunia fisik, namun berupa pikiran (thought), emosi
(emotion), perasaan (feeling), atau kepercayaan (belief).28
Namun, bagaimana sebuah
tanda dapat mengekspresikan Dynamic Object yang ada di Outer World? Jawabannya
dibicarakan oleh Peirce di akhir definisinya yang terkenal pada kata lithium:
“the peculiarity of this definition – or rather the precept that is more
serviceable than a definition – is that it tells you what the word lithium
denotes by prescribing what you are to do in order to gain a perceptual
acquaintance with the object of the word”29
Makna dari sebuah simbol terletak pada aksi-aksi yang bertujuan untuk
menghadirkan efek tertentu. Dengan begitu, usaha untuk memahami sebuah tanda
adalah usaha untuk mempelajari apa yang harus dilakukan demi memproduksi situasi
konkret yang membuat seseorang dapat memiliki pengalaman perseptual atas objek
yang ditunjuk tanda tersebut.30
Pengalaman perseptual pada pertemuan terhadap “hal”
baru selalu diawali dengan kejutan, yang kemudian masuk pada usaha
menerjemahkan “hal” yang ditemui tersebut ke dalam feeling-sign.31
Interpretasi
27 Ibid. hal. 181 28 Eco (1991). op.cit. hal. 38 29 Eco (1979), op.cit. hal. 191 30 Ibid. hal. 192 31 A feeling of surprise, a feeling of strange, an uncanny feeling, or a feeling of shock even, sometimes a feeling of absolute awe. Lihat Valentine Daniel, The Limits of Clture, dalam Dirks, B.Nicholas, In Near
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
pertama atas persepsi disebut emotional interpretant. Tahap berikutnya dari proses
interpretasi meliputi dualitas yang terjadi antara usaha penyuntikkan oleh “outer-
world” dan resistensi yang dilakukan oleh “inner-world”, antara aksi dan reaksi,
antara masa lalu – persepsi yang diharapkan – dan masa kini – persepsi aktual yang
membuat frustasi. Dualitas antara usaha masuk dan resistensi ini adalah bentuk dari
energetic interpretant, yaitu efek dari usaha masuknya tanda pada interpreting
agents.32
Energetic interpretant ini tidak membawa tanda, namun hanya berupa efek.
Eco menjelaskan kedua jenis interpretant ini dengan memberi contoh melalui musik.
Emotional interpretant adalah reaksi normal kita atas memukaunya sebuah musik,
dan emotional interpretant ini bisa menciptakan adanya usaha mental ataupun fisik.33
Usaha mental atau fisik semacam ini merupakan energetic interpretant. Energetic
interpretant ini tidak perlu diinterpretasikan, namun justru menghasilkan (melalui
repetisi di kemudian waktu) perubahan habit. Dengan berkali-kali memproduksi
energetic interpretant, dan berulang kali mengimpor konsep/pemaknaan tanda,
sebuah tanda sedikit demi sedikit membentuk habit. Peirce menjelaskan habit ini
dengan mengatakan bahwa habit berupa “a tendency … to behave in similar way
under similar circumstances in the future” dan final interpretant dari sebuah tanda
adalah habit ini.34
Dengan kata lain, setelah berkali-kali terpapar oleh tanda, dan
berulang kali berusaha menginterpretasikannya dengan berbagai cara, cara kita
Ruins, Cultural Theory at the End of the Century (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1998), hal. 86 32 Ibid. 33 Elicit a sort of muscular or mental effort. Lihat Eco (1979), op.cit. hal. 194 34 Ibid. hal. 192
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
bersikap di dunia ini pun berubah – baik permanen maupun sementara. Sikap yang
baru ini adalah final interpretant. Eco (1991) menjelaskan habit ini dengan
menekankan pentingnya komunitas sebagai pemberi garansi atas kebenaran dalam
penjelasan Habit. Habit sebagai kecenderungan dalam menyikapi dunia
membutuhkan pengakuan yang transenden supaya penyikapan yang menandakan
adanya Hukum ini dimungkinkan. Kata transenden ini hadir untuk menyatakan
bahwa komunitas dan hukum yang mengatur bukanlah sesuatu yang hadir secara fisik
– hukum dalam arti ini bukanlah hukum yang terucap ataupun hukum yang diatur
secara jelas tertulis. Justru komunitas ini yang keberadaannya membawa hukum,
sebagai sebuah peng-amin-an yang intersubjektif. Pemikiran atau pemahaman yang
membentuk realitas selalu berada dalam lingkaran suatu komunitas yang saling
mengetahui (community of knowers), dan komunitas ini selalu terstruktur dan
didisiplinkan oleh prinsip-prinsip supra-individual.35
Ketiga tahapan ini (emotional –
energetic – final) menunjukkan tahapan immediacy – directness – familiarity pada
proses kognisi sebuah tanda, yaitu urutan dari perasaan (feeling) menjadi kebiasaan
(familiarity).36
Dengan kata lain, negosiasi berulang kali atas aspek-aspek “stranger”
dari inner-world dan beberapa komponen dari outer-world membentuk tanda yang
akhirnya taken-for-granted oleh seseorang dalam sebuah komunitas.
Penjelasan di atas menunjukkan bagaimana pengalaman meresepsi “hal”
sukses dalam menjadi tanda melalui apropriasi aspek outer-world dalam inner-world.
35 Eco (1991), op.cit. hal. 39-40 36 Valentine Daniel, The Limits of Clture, dalam Dirks (1998), op.cit. hal. 88
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
Namun tidak semua pengalaman resepsi mengalami kesuksesan seperti itu. Ada juga
pengalaman resepsi yang berhenti begitu saja pada emotional interpretant. Ada yang
berhasil menerjemahkannya sampai energetic interpretant, namun tetap
menganggapnya sebagai sesuatu “yang asing”, sebuah peristiwa yang tidak bisa
diinterpretasikan, sebuah aksi yang tidak bisa dijelaskan, sesuatu yang tidak bisa
dibahasakan. Pada tahap ini, dengan menganggap tanda dan tahapannya adalah
sesuatu yang selalu berevolusi, maka “yang asing” tersebut baru bisa diterjemahkan
menjadi tanda apabila mendapat aspek dari outer-world yang lebih bisa
mengakomodasi pengalaman tersebut. Baru di titik ini, energetic interpretant bisa
menjadi sebuah tanda pada inner-world – dengan menyisakan ikon dari Liyan pada
immediate object.37
Di sini terlihat bahwa outer-world (konteks/habit) berperan
penting dalam menentukan penamaan terhadap objek.
“…Text are the human way to reduce the world to a manageable format, open
to an intersubjective interpretive discourse. Which means that, when symbols
are inserted into a text, there is, perhaps, no way to decide which interpretation
is the “good” one, but is still possible to decide, on the basis of the context,
which one is due, not to an effort of understanding “that” text, but rather to a
hallucinatory response on the part of the addresse…” (Eco, 1991: 21)
Jejak-jejak Peirce, dan juga Derrida, yang memberangkatkan Possible World
Eco ini menjadi penting untuk membangun konsep-konsep yang tepat dalam
melakukan penelitian terhadap pembaca film televisi Jepang di Indonesia ini. Hal ini
dibutuhkan karena Objek Dinamis di pembaca Indonesia, dan Yogyakarta khususnya,
jelas sama beragamnya dengan di Jepang, di mana film-film ini pertama
37 Ibid. hal. 88-89
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
diberangkatkan. Untuk melihat ini secara lebih jelas, penelitian ini perlu berangkat
dari penentuan karakter pembaca yang memiliki Objek Dinamis terkhusus pada suatu
komunitas di Indonesia, dan juga komunitas yang meletakkan Habit-nya pada
pembaca.
1.7.2 Possible World sebagai Strategi Penciptaan Aktualitas
Eco membagi proses pembentukan possible-world secara sistematis dalam
empat aspek.38
Pertama (1), possible-world adalah possible state of affair (keadaan
yang mungkin) yang diekspresikan melalui proposisi baik faktual (p) maupun
kontrafaktualnya (-p). Pada bagian ini, keadaan-keadaan yang terdeskripsikan
(tertangkap) dalam dunia di dalam film-teks berusaha dilihat kemungkinan-
kemungkinannya ketika dihadapkan dengan pembaca.
Kedua (2), possible-world mengisahkan kelompok possible individuals yang
membawa propertinya masing-masing. Ketiga (3), properti-properti yang dibawa
individu tersebut terkadang berupa aksi-aksi yang memiliki hukumnya (dunianya)
sendiri, maka possible-world juga merupakan possible course of events (kejadian-
kejadian yang mungkin terjadi). Kedua aspek ini akan dibahas secara bersamaan
dalam satu bagian karena rangkaian kejadian yang terlihat aktual tersebut dijahit oleh
jejaring peristiwa virtual yang hanya terjadi pada pembayangan karakter (individu) –
atau pembayangan dari pembaca. Rangkaian ini bisa disebut juga sebagai system of
38 Eco (1979), op.cit. hal. 219
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39
possible-worlds. Narasi teks tidak hanya memproyeksikan dunia, tetapi berupa
semesta yang terbangun dari struktur semantik.39
Ryan, dalam artikelnya di tahun
2006, menjelaskan bahwa semesta ini bisa digambarkan dalam dua bagian: pertama,
di tengah dari semesta tekstual tersebut terdapat dunia yang diciptakan se-aktual
mungkin, yang ditentukan oleh pernyataan dari narator (selama naratornya bisa
dipercayai oleh pembaca) – dan dalam kasus ini adalah Jepang; kedua, wilayah-
wilayah (dunia) privat dari individu-individu mengorbit pada keberadaan dunia aktual
tersebut, sehingga bisa diibaratkan sebagai sistem tata surya yang di dalamnya berisi:
(1) Dunia kepercayaan (The world of beliefs); (2) Dunia hasrat (The world of desires);
(3) Dunia kewajiban (The world of obligations); (4) Tujuan dan rencana-rencana yang
dijalankan oleh karakter (The aims and active plans of the characters); dan, (5)
Mimpi dan angan/keinginan milik karakter-karakter (The dreams and whims of the
character).
Aspek yang terakhir (4), karena jalannya peristiwa-peristiwa di dalam film-
teks bukanlah peristiwa yang aktual, maka peristiwa tersebut harus bergantung pada
propositional attitudes (kecenderungan dalam menyikapi) milik seseorang. Dengan
kata lain, possible-world adalah dunia yang diimajinasikan, dipercaya, diharapkan,
dan lain-lain.
1.7.3 Penelusuran dengan Abduksi
39 http://www.univ-paris-diderot.fr/clam/seminaires/RyanEN.htm (diakses pada tanggal 31 Januari 2016)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
Pembentukan interpretasi bagi Model Reader diatur oleh pengetahuan yang ia
miliki, baik itu pengetahuan eksternal teks maupun pengetahuan yang didapat dari
semesta teks-teks yang sebelumnya. Jika ini ditempatkan pada paradigma semiosis
Peirce yang sudah dijelaskan di atas, maka interpretasi (dan berarti termasuk
penandaan atau representamen) dibentuk oleh Habit, atau sesuatu yang sudah diamini
oleh komunitas. Dengan kata lain, Objek Dinamis berada di antara pengetahuan
ensiklopedis dan juga Immediate Object yang terlihat pada interpretasi. Objek
Dinamis, yang tadinya disebut transenden ini, menandai sebuah proses pengolahan
pengetahuan ensiklopedis untuk ditempatkan pada teks, pada representamen, dan
menghasilkan interpretasi. Di sini terjadi negosiasi pada sisi pembaca. Dengan kata
lain, intensi dari sebuah teks bisa dilihat melalui hasil yang keluar pada proses
mengira-ira yang dilakukan di sisi pembaca. Proses ini yang oleh Eco disebut dengan
Abduksi, yaitu proses memperkirakan atau memprediksi Hukum (Law) yang dapat
menjelaskan adanya sebuah Hasil (Result). “Kode rahasia” dari sebuah teks adalah
hukum tersebut.40
Untuk menempatkan konsep Abduksi Eco pada penelitian ini, saya berangkat
dari pembentukan konsep Abduksi oleh Peirce. Peirce mengenalkan konsep Abduksi
untuk melengkapi dua konsep yang sudah lebih dikenal sebelumnya, yaitu Induksi
dan Deduksi. Analogi Deduksi dipakai ketika seseorang berhadapan dengan suatu
Kasus (Case) di dalam Hukum yang sudah diakui kebenarannya. Analogi ini
40 Eco (1991), op.cit. hal. 58-59
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
digunakan untuk mencari Hasil yang jelas dari penghubungan antara Kasus dengan
Hukumnya. Di sisi lain, metode induksi biasa digunakan ketika seseorang mendapati
Hasil yang terus sama dari beberapa kali percobaan Kasus, sehingga seseorang
tersebut dapat menyimpulkan bahwa Kasus tersebut memiliki Hukum yang satu dan
nyata benar. Namun, Peirce melihat bahwa tidak tetapnya jumlah percobaan yang
harus dilakukan dalam metode Induksi untuk bisa mencapai suatu kesimpulan Hukum
menjadi dasar dari adanya bentuk analogi yang lain. Di sini lah analogi Abduksi
dihadirkan oleh Peirce, yaitu analogi yang menyaratkan adanya proses
memperkirakan adanya hubungan antara Hasil dengan suatu Hukum tertentu. Analogi
ini menyaratkan bahwa subjek yang berhadapan dengan suatu Kasus akan
menteorisasikan suatu Hukum tertentu dan mempercayai terlebih dahulu bahwa
Kasus dari Hukum tersebut dapat menyebabkan terjadinya Hasil yang ada di hadapan
matanya. Peirce melihat bahwa analogi ini sebenarnya yang mendasari penalaran
dalam percobaan-percobaan ilmiah yang menggunakan metode induksi, yaitu untuk
mempertaruhkan bahwa Hukum yang sudah diperkirakan oleh subjek adalah benar.
Dengan kata lain, Abduksi adalah bentuk penalaran dalam memperkirakan adanya
sebuah Hukum dari suatu Hasil yang pada awalnya terlihat aneh, sehingga Hasil
tersebut tidak lagi terlihat aneh.
Metode ini sering terlihat pada logika-logika yang dibawa oleh para detektif,
yaitu dengan memperkirakan bahwa suatu Hukum adalah nyata dan benar untuk
menjelaskan adanya suatu Kasus, sehingga tugas para detektif ini adalah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
membuktikan adanya Kasus yang membuat Hukum ini sah menjadi penyebab dari
Hasil yang terpampang. Yang paling kuat terlihat pada analogi Abduksi ini adalah
proses memperkirakan dan mempertaruhkan bahwa Hukum tersebut ada sehingga
pencarian Kasus dari suatu Hasil mulai bisa dikerjakan. Metode memperkirakan atau
memprediksi dengan menculik Hukum dari wilayah tertentu dan mempercayai bahwa
Hukum tersebut benar untuk terjadinya suatu Hasil ini juga biasa dilakukan tokoh
dalam cerita-cerita detektif seperti yang dilakukan Conan Doyle.41
“…but we cannot forget that in English “abduction” also means kidnapping. If
I have strange Result in a field of phenomena not yet studied, I cannot look for
a Rule in that field (if there were and if I did not know it, the phenomenon
would not be strange). I must go and “abduct,” or “borrow,” a Rule from
elsewhere…” (Eco, 1991: 158)
Eco membagi Abduksi ini menjadi tiga tingkatan. Pada tingkat pertama, Hasil
yang dihadapi adalah Hasil yang aneh dan tidak bisa dijelaskan. Namun Hukumnya
sudah ada, baik di arena lain atau bahkan di arena yang sama dengan Hasilnya.
Seseorang hanya perlu untuk mendapatkannya dan membuktikannya sebagai suatu
yang paling mungkin. Pada tingkat kedua, Hukumnya sulit untuk diidentifikasikan.
Hukumnya ada di arena lain, dan seseorang perlu untuk bertaruh bahwa hukum ini
bisa ditarik dan ditempatkan pada fenomena di arena ini. Proses mempertaruhakan
menjadi poin penting pada tingkat ini. Pada tahap ketiga, Hukumnya tidak ada, dan
orang tersebut perlu untuk menciptakannya. Abduksi pada tahap kedua dan ketiga ini
lah yang paling sering terjadi pada fenomena pembentukan interpretasi atas suatu
41 Ibid. hal. 158
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
teks-wicara. Ketika melakukan Abduksi, mereka (pembaca) harus bertaruh bahwa
solusi yang ia temukan (Possible World dari hipotesa yang imajinatif) berkorelasi
dengan dunia nyata.42
Dalam artian, solusi (Hukum) yang mereka ciptakan harus
berangkat dari pengetahuan yang diamini kebenarannya (Real World).
Konsep Abduksi ini penting ditempatkan dalam penelitian ini, karena ada tiga
hal yang bisa dilihat melalui kacamatanya. Pertama, Abduksi digunakan untuk
melihat proses pembacaan yang dilakukan oleh para pembaca film televisi Jepang di
Indonesia. Kacamata ini digunakan untuk melihat kesemena-menaan yang dilakukan
pembaca film televisi Jepang di Indonesia dalam menyimpulkan Jepang hanya
melalui paparan media di Indonesia. Pembaca melakukan Abduksi dengan
mempertaruhkan bahwa Jepang yang mereka percayai melalui paparan tersebut
adalah Jepang yang nyata. Di titik ini lah penelitian ini berangkat, karena possible-
world tidak mungkin tercipta tanpa adanya real-world yang sudah begitu saja diamini.
Kedua, Abduksi bisa ditempatkan sebagai arah pada metode penelitian dan
sistematika penulisan dengan mencari terlebih dahulu literatur-literatur historis
mengenai Jepang, Indonesia, dan medianya. Hasil penelusuran ini menjadi usaha
untuk memperkirakan dan mempertaruhkan bahwa ada Hukum yang nantinya akan
menyebabkan Hasil pada fenomena yang diteliti. Hasil penelusuran ini kemudian
dikaitkan pada Hasil nilai-nilai atas Jepang melalui pembacaan film televisi yang
sudah diciptakan oleh pembaca. Dengan demikian, keseluruhan penelitian ini bisa
42 Ibid. hal. 160
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
dikatakan menggunakan dasar analogi Abduksi karena membagi struktur penulisan
dengan Hukum di Bab II, Hasil pada Bab III, dan membuktikan bahwa Hukum
tersebut berkorelasi dengan Kasus pada bab analisis dengan metode pembentukan
interpretasi possible-world dan final interpretant.
Ketiga, konsep ini membantu dalam mencari proses pengolahan pengetahuan
yang dimiliki oleh Model Reader sehingga bisa mereka gunakan dalam
menginterpretasikan film-teks. Peminjaman pengetahuan untuk mengisi teks ini yang
nantinya menampilkan kecenderungan (Objek Dinamis) pemilihan pengetahuan
tertentu dalam berhadapan dengan film televisi Jepang. Lebih jauh, peminjaman
pengetahuan ini yang diharapkan membawa saya untuk menemukan pembentukan
interpretasi atas Jepang oleh pembaca film televisi Jepang di indonesia.
1.8 Metode Penelitian
Penelitian ini menerapkan metode Abduksi yang diangkat Eco, sehingga secara
runtut metodenya akan terdiri dari:
1. Metode penelusuran literatur untuk menemukan hukum-hukum yang
mungkin berlaku bagi terjadinya fenomena tersebut.
2. Metode wawancara etnografis pada lima orang anggota komunitas yang
berbeda-beda di Yogya, dan dipilih berdasarkan keaktifan dan perannya di
tengah dunia Jepang-jepangan di Yogyakarta. Wawancara ini dilakukan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
terutama untuk mencari bentuk penilaian atas film-teks tertentu dan
pembentukannya dalam kesejarahan pembaca.
3. Metode penelusuran literatur atas film-teks Jepang yang diungkap para
narasumber dan menguatkannya dengan analisis terhadap film-teks tersebut.
4. Analisis terhadap bahasa yang diungkap narasumber dan
menyandingkannya dengan hukum, kesejarahan, nilai, dan konteks
Indonesia tertentu. Analisis ini dilakukan untuk menemukan semesta
pengetahuan dan proses pembentukan dunia Jepang baru yang
mempengaruhi bagaimana pembaca melihat realitas.
1.9 Sistematika Penulisan
Dengan menggunakan metode Abduksi yang dibawa oleh Eco (1991), maka
tesis ini akan terdiri dari lima bab. Bab Pertama akan ditempatkan sebagai penjelasan
awal atas hasil (result) sebagai sebuah fenomena. Bab ini berisi Latar Belakang
Masalah, Tema Penelitian, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian,
Tinjauan Pustaka, Kerangka Teoritis, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
Bab Kedua akan ditempatkan sebagai pencarian akan Hukum (Law) yang
mungkin berlaku sebagai dasar dari terjadinya kasus yang diangkat. Bab ini akan
dibagi menjadi dua bagian. Pertama adalah penelusuran perkembangan media Jepang
sejak awal terbentuknya media televisi dan relasi kuasa yang terjadi dalam arena
modernitas. Kedua, penelusuran akan bergerak pada narasi sejarah Indonesia sejak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
46
terinstitusikannya media sebagai sarana propaganda pada masa pendudukan Jepang.
Pada bagian ini juga, kemunculan media televisi dan posisinya di tengah masyarakat
akan menjadi pembahasan utama.
Bab Ketiga akan kembali melihat pada wilayah hasil (result) secara mendalam
dengan menarasikan data yang didapat dari proses wawancara. Bab ini akan dibagi
menjadi dua bagian. Bagian pertama berisi kesejarahan pembaca film-teks Jepang
yang diwakili 5 orang anggota komunitas Jepang-jepangan di Yogyakarta. Keintiman
mereka dalam membaca teks-film tersebut juga akan dibahas pada bagian pertama ini.
Bagian kedua berisi bentuk-bentuk menilai film-teks, sekaligus juga nilai-nilai Jepang
yang terberi, yang diungkap oleh pembaca.
Bab keempat adalah bab analisis. Bab ini akan dibagi menjadi tiga bagian.
Bagian pertama berisi analisa terhadap aspek possible state of affairs. Bagian kedua
berisi analisa terhadap aspek possible individual dan possible course of events. Kedua
bagian ini akan memberikan kesimpulan atas strategi pembentukan interpretasi atas
Jepang yang biasa dilakukan oleh pembaca yang diwakili narasumber. Bagian ketiga
berisi analisa terhadap kecenderungan dalam menyikapi yang muncul pada narasi
narasumber. Di bagian ini, konteks Indonesia yang berhasil atau tidak berhasil
dibahasakan oleh pembaca akan dianalisa untuk mendapatkan kecenderungan umum.
Bab Kelima merupakan kesimpulan dari penelitian ini. Bab kesimpulan ini
berisi jawaban dari empat rumusan permasalahan yang diangkat, dan menarik
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
jawaban dari keempatnya untuk menjawab pertanyaan utama penelitian ini. Pada
dasarnya, kesimpulan ini akan berangkat dari jawaban rumusan masalah yang utama,
karena pencarian semua data atau analisis sebelumnya digunakan untuk mencari
jawaban dari topik permasalahan tersebut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
BAB II
USAHA PENCIPTAAN JEPANG DI INDONESIA
Sebelum masuk pada penjelasan mengenai bentuk strategi pembaca dalam
meresepsi film-teks Jepang di Yogyakarta, terlebih dahulu harus dijelaskan posisi
film-teks tersebut sebagai film televisi Jepang dalam wacana global. Hal ini
diperlukan karena penelitian ini justru berusaha untuk mencari Jepang yang khas
ciptaan dari masyarakat Indonesia. Film televisi yang mereka tonton memantik
adanya penciptaan “Jepang baru” di benak pembaca. Mereka mengimajinasikan
Jepang sesuai dengan yang mereka bisa. Mereka membangun imaji yang mereka
jadikan representasi dari Jepang yang jauh di sana. Pembangunan intepretasi tersebut
terwujud melalui beberapa jenis usaha: impor model-model kognisi yang
terinternalisasi di benak mereka, mekanisme pemberian referen secara otomatis,
pengalaman dunia nyata, dan pengetahuan budaya, yang termasuk pengetahuan dari
teks-teks lain.43
Jenis-jenis usaha tersebut yang akan menjadi landasan berpikir dalam bagian
ini. Pada bagian pertama, pembahasan mengenai posisi media televisi Jepang
43 Marie-Laure Ryan, Narrative as Virtual Reality: Immersion and Interactivity in Literature and Electronic Media (Baltimore: The John Hopkins University Press, 2001), hal. 91
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
49
dilakukan untuk menemukan apakah impor model kognisi sesuai dengan harapan dari
sang pencipta merupakan sesuatu yang mungkin terjadi di Indonesia – sesuai harapan
sang pencipta (intentio auctoris), atau sejauh apakah itu bergeser. Bagian ini
menjelaskan bagaimana penciptaan media televisi dilakukan, dilemparkannya media
tersebut beserta nilai-nilainya ke seluruh dunia, hingga usaha ekspornya ke Asia
Tenggara, terutama Indonesia, dengan menumpang jalur lain. Proses yang terus
menerus ini menggambarkan bagaimana Jepang berusaha membentuk mekanisme
pemberian referen secara otomatis oleh pembaca yang diharapkan. Pemaksaan ini
sendiri bermasalah bagi masyarakat Jepang, karena teks yang dilemparkan dianggap
tidak merepresentasikan Jepang itu sendiri – seperti yang terlihat pada analisa
beberapa penelitian di tinjauan pustaka.
Bagian kedua akan berisi pembahasan mengenai pembentukan model-model
kognisi (pengetahuan) yang beredar di Indonesia. Pelacakan pembentukan model-
model ini dimulai dari masa kolonialisme, yang menandakan banyaknya impor media
Jepang ke Indonesia untuk propaganda pembangunan imaji mereka. Pelacakan
pembentukan model-model ini dilanjutkan hingga era televisi, terutama saat pembaca
kemudian mulai disodori – tanpa bisa memilih – film-teks Jepang secara rutin melalui
layar kaca.
Kedua bagian ini juga yang kemudian mencerminkan adanya usaha
penyebaran pengalaman dunia nyata, pengalaman budaya, termasuk juga
pengetahuan dari teks-teks lain dalam tiap prosesnya. Tanpa adanya penyebaran itu,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50
sebuah wacana tak bisa terbentuk. Sebuah pembentukan “Jepang baru” tak akan
terjadi di Indonesia. Oleh karena itu, penting untuk menampilkan kekayaan jaringan
yang membentuk mekanisme pemberian referen secara otomatis dan internalisasi
model kognisi terlebih dahulu sebelum membahas pengalaman dan penyebaran
pengetahuan yang lebih subjektif.
2.1 Orbit Jepang
Pada 1954, hanya 0,3% rumah di Jepang yang memiliki televisi. Pada 1973
angka tersebut melonjak tinggi, lebih dari 88% rumah memiliki setidaknya satu buat
televisi.44
Ini menunjukkan bahwa hanya dalam dua dekade sejak pertama kali
diluncurkan (1953), hampir seluruh penduduk Jepang telah memaknai kehadirannya
di tengah keseharian mereka. Hanya dalam waktu sebentar saja, televisi sudah berada
dalam posisi penting di tengah usaha rekonstruksi sosial dan politik paska perang
dunia, dan tentu saja konstruksi budaya populernya.
Hal ini tidak lepas dari peran kunci televisi untuk mempropagandakan nilai-
nilai, memberikan gambaran keteraturan dan kesatuan masyarakat, serta standarisasi
pada masa paska-perang. Pada masa itu, situasi masyarakat Jepang sedang dilanda
ketidak-teraturan. Lingkungan sosial masyarakat dipenuhi ketakutan dan
keterpecahan. Tiga hal yang menyebabkan terjadinya hal ini adalah: kekaisaran
(imperialisme) Jepang yang kehilangan kuasanya, kebingungan dengan diterapkannya
44 Shunsuke Tsurumi, A Cultural History of Postwar Japan: 1945-1980 (New York: KPI, 1987), 63 .via Chun, Jayson Makoto. “A Nation of a Hundred Million Idiots”? A Social History of Japanese Television, 1953-1973 (New York: Routledge, 2007), hal.4
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
banyak budaya baru pada saat Jepang dijajah sekutu (hingga April 1952 – setahun
sebelum hadirnya televisi), dan perkembangan konsumsi budaya massa.45
Dalam hal
ini, televisi berperan penting untuk menyatukan negara kembali dan mempromosikan
ulang adanya konsensus atas kebudayaan.
Peran televisi seperti ini yang menjadi permasalahan bagi beberapa peneliti
Jepang. Ketika membicarakan televisi – ataupun konsumsi budaya massa seperti film
di Jepang, pembicaraan harus masuk pada pengaruh besar Barat sebagai cermin bagi
Jepang. Pengonstruksian identitas nasional Jepang hanya bisa terjadi ketika Jepang
sudah berhadapan dengan Barat sebagai Liyan budayanya. Para peneliti melihat ini
sebagai ambivalensi dari konstruk budaya nasional Jepang. Ambivalensi ini
mengandaikan adanya pertanyaan besar: apakah ada budaya nasional Jepang ketika
budaya nasional tersebut terbentuk hanya melalui negosiasi simbolis dengan
kapitalisme yang didominasi oleh Barat?46
Hal ini juga yang perlu ditanyakan ketika
melihat persebaran budaya populer Jepang ke negara-negara lain, terutama Asia
Timur dan Asia Tenggara yang menjadi pasar terbesarnya.
2.1.1 Sejarah Film Jepang sebagai Budaya Populer Tandingan
Paska restorasi Meiji 1868, Jepang mulai menjalankan program modernisasi
dengan mengimplementasikan sistem-sistem baru di pemerintahan, pertahanan, dan
pendidikan. Terutama di bidang pendidikan, beberapa ranah akademis baru seperti
45 Ibid. hal. 35-51 46 Koichi Iwabuchi, Recentering Globalization: Popular Culture and Japanese Transnationalism (Durnham: Duke University Press. 2002), hal. 18
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
52
pengetahuan alam, kedokteran, hukum, maupun seni mulai dikenalkan di dalam
bidang pendidikan formal.47
Kebijakan modernisasi di berbagai bidang ini disponsori
oleh negara melalui slogan “Eastern Ethics, Western Science”,48
yang bermaksud
untuk mempelajari sebanyak-banyaknya pengetahuan Barat namun tetap
mempertahankan etika ke-Timur-an di dalamnya. Ini menandakan banyaknya usaha
penerapan pengetahuan Barat yang telah mereka pelajari selama pengiriman orang-
orang Jepang ke Barat – pada masa Sakoku (penutupan negara) dari 1639 sampai
1854 Jepang mengirimkan banyak orang untuk mempelajari budaya Barat.49
Bidang film sendiri diawali pada masa-masa ini melalui hadirnya prototipe
Kinetoscope50
pada 1896. Teknologi ini hadir tepat pada saat Jepang sedang
mentransformasikan basis ekonomi dan sosialnya menjadi sebuah kekuatan
internasional baru. Pada masa ini, media film menjadi senjata nyata dan juga metafor
bagi kemajuan dan keberhasilan masyarakat Jepang.51
Hal ini seperti terlihat pada
besarnya ketertarikan publik Jepang dalam menyikapi penyiaran perang Rusia-Jepang
47 Walter Edwards, “Japanese Archaeology and Cultural Properties Management: Prewar Ideology and Postwar Legacy,” dalam Robertson, Jennifer (ed,) A Companion to the Anthropology of Japan (Oxford: Blackwell Publishing Ltd, 2005) hal. 36 48 Slogan (touyou no doutoku seiyou no gakugei) ini pertama kali dikenalkan oleh Sakuma Shouzan (1811-1864), seorang pejabat pemerintahan Tokugawa yang mempelajari persenjataan Belanda dan Barat. Kekalahan China pada perang opium di Inggris (1842) menjadi alasan utama baginya untuk menyarankan perlunya pembelajaran terhadap teknologi Barat. Slogan ini juga yang nantinya akan terus dikembangkan hingga periode Showa (1926-1989) melalui slogan “wakon yousai” (Japanese spirit, Western technologies) sejak pra-perang dunia 49 Isolde Standish, A New History of Japanese Cinema: A Century of Narrative Film (New York: Continuum, 2006), hal. 17 50 Kamera Kinetograph dan kotak Kinetoscope pertama didemonstrasikan dan dipatenkan di Amerika pada 1891. 51 Ibid, hal. 18
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53
di 1904. Karena penerimaan masif seperti itu, hanya dalam 13 tahun sejak perusahaan
film pertama Jepang – Asakusa Denkikan di Tokyo – didirikan, Jepang memiliki
lebih dari 300 rumah film yang tersebar di berbagai daerah.
Film populer, sebagai produk komersil, kemudian diproduksi dalam sistem
studio yang menekankan efisiensi demi mendapatkan profit sebanyak-banyaknya.
Sebagai hasilnya, terjadi perdebatan antara pihak yang mengamini praktek ekonomis
dengan pihak yang meluhurkan tradisi seni. Perdebatan ini yang kemudian bisa
dilihat dari tiga fase perkembangan industri film yang terjadi sejak perkenalan
pertama kegiatan produksi film (1903) hingga akhir masa pendudukan Amerika 1952.
Fase pertama dilihat dari perubahan sistem benshi (narator dalam film bisu)
dengan hadirnya star-system. Pada masa awal produksi film ini, studio Nikkatsu
(1912) mulai mendominasi munculnya sistem kebintangan untuk menggantikan tren
narator dalam film bisu. Fase ini mengawali tren bintang drama (jidaigeki – periode
drama) di pertengahan 1920-an. Fase kedua bisa dilacak dari akhir 1910-an melalui
munculnya pendekatan intelektual dalam pembuatan film (pure film movement –
jun‟eiga undou.) Fase ini dimanifestasikan oleh studio Shouchiku (1920) melalui
sistem terpusatnya film pada sutradara (director-centered system.) Di bawah sistem
ini, kekuatan sutradara mengalahkan pemain bintang sebagai kunci dari film. Yang
terakhir, fase ketiga menunjukkan rasionalisasi ekonomi industri film Jepang untuk
menyejajarkan sistem mereka pada sistem Barat dan juga masifnya adopsi sistem
Hollywood. Hal ini ditunjukkan oleh Souchiku Kinema Company dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54
bereksperimen dan mengadaptasi teknik dan teknologi sinematik Barat pada pasar
domestik Jepang. Pada kisaran tahun 1930, studio ini berhasil menciptakan gaya
pembuatan film yang oleh masyarakat dilihat sebagai sebuah konsep modernisme –
kemudian disejajarkan dengan „Americanism‟ – untuk memenuhi permintaan
masyarakat yang berkembang pesat saat itu. Proyek ini bisa dilihat dari pendirian
sekolah aktor, dan juga pengiriman jurnalis ke Hollywood untuk mempelajari teknik
pembuatan film. Bahkan, studio ini kemudian juga akhirnya mendapatkan aktor
Hollywood berkebangsaan Jepang yang besar di Hawaii, Henri Kotani, untuk
menempati posisi sentral dalam berbagai produksi film. Henri Kotani juga yang
akhirnya mengajarkan teknik-teknik dan teknologi Hollywood pada banyak. pekerja
studio Souchiku. Hal ini berlanjut hingga studio Shouchiku dipimpin oleh dua orang
terpelajar yang tertarik dengan sastra Amerika, yaitu Kido Shirou dan Ushihara
Kyouhiko, dan juga pembentukan kelompok belajar film asing yang melibatkan Ozu
Yasujirou. Ketiga fase ini menggambarkan bagaimana awal film sebagai teknologi
modern menjadi medium sosial yang penting bagi wacana modernisme di Jepang. (lih.
Standish, 2006: 34-79.)
Pentingnya film sebagai medium penyampaian wacana – terutama modernitas
– pada masyarakat Jepang membuat pemerintah perlu untuk melakukan kontrol dan
propaganda dengan berbagai cara. Cara pertama adalah produksi “kyouiku eiga”
(education film) pada periode 1920-an, yang kemudian diperkuat dengan regulasi
kementrian dalam negeri pada 1925. Cara kedua adalah dengan memperkuat sensor
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55
pemerintah, yang terwujud dengan pembuatan Film Law pada 1939.52
Kedua cara ini
menegaskan bagaimana pemerintah Jepang menganggap film sebagai alat penting
bagi pembentukan bangsa. Dua cara ini yang kemudian juga diterapkan lebih jauh
untuk mendukung perhatian pemerintahan terhadap pembentukan imaji internasional
Jepang. Intensi pemerintah ini termanifestasikan melalui dua jalan, yaitu (1)
keinginan untuk mempromosikan film Jepang ke luar negeri sebagai proyek
interkultural pembangunan pemahaman bersama, dan (2) memastikan standar
penyensoran film Jepang sesuai dengan „negara maju‟ lain.
Peraturan yang dibuat oleh pemerintah Jepang ini kemudian ditambah juga
dengan peraturan dari pendudukan Amerika. Ketika pasukan sekutu datang untuk
menduduki Jepang pada 27 Agustus 1945, Jendral MacArthur membentuk
Information Dissemination Section untuk mengontrol media Jepang. Pada 22
September, departemen ini dinamai dengan Civil Information and Education Section
(CIE), dan bertugas untuk menjaga kebebasan beragama, kebebasan beropini atau
berbicara di depan umum, dan kebebasan pers dengan cara menyebarkan prinsip-
prinsip demokrasi melalui berbagai media. Dengan kata lain, CIE mendukung
pengembangan prinsip-prinsip yang sesuai dengan demokrasi Amerika.53
Tantangan
bagi peraturan dan penyensoran yang dilakukan oleh CIE – terutama berkaitan
dengan demokratisasi Jepang – ada pada perbedaan konsep kepatuhan/kesetiaan
52 Ibid, hal. 136 - 144 53 Untuk daftar 10 ‘desirable subject’ yang dikeluarkan CIE dan juga 13 tema film yang dilarang, bisa dilihat dalam Standish (2006), hal 155 - 157
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
56
(loyalty) dan pembalasan dendam (revenge) yang berangkat dari Neo-konfusianisme,
dan konsep aturan hukum yang berangkat dari prinsip dasar baik dan buruk a la Barat.
Perdebatan semacam ini terutama terlihat dari kritik CIE terhadap pementasan
Kabuki yang dinilai terlalu menonjolkan loyalitas dan pembalasan dendam dalam
cerita-ceritanya.
Dengan munculnya peraturan-peraturan film, baik dari pemerintah awalnya
maupun dari pendudukan Amerika, sebuah film hanya bisa dinilai sebagai film
nasional melalui kelekatannya terhadap dunia politik-ekonomi Jepang untuk
membentuk masyarakatnya. Film bukan lagi masalah seni seperti yang masih
dinyatakan pada fase kedua di atas. Film nasional Jepang yang dapat dirasakan
setelahnya merupakan turunan dari sistem film pada fase ketiga, yaitu produksi yang
sudah melibatkan pencerminan terhadap tradisi/sistem Barat. Ditambah dengan segala
peraturan dan penyensoran yang muncul setelahnya, film Jepang semakin tak bisa
melepaskan jati dirinya dari pengaruh Barat.
…In films of the post-defeat decade, the underlying ethos was the desire for a
renewal of society based on the promises of „democracy‟ offered by the
occupation reforms... (Standish, 2006: 175)
Konstruk film untuk masyarakat sesuai dengan sistem politik-ekonomi
pemerintah Jepang yang seperti ini juga yang akan turut mengawali tradisi budaya
tontonan massa dalam televisi.54
Pembentukannya yang tak pernah benar-benar
54 Pada 1 Januari 1946, paska kekalahan Jepang, Kaisar Hirohito menyiarkan Deklarasi Kemanusiaan (Ningen Sengen) yang juga menekankan penggabungan antara monarki dan demokrasi – seperti juga pada Charter Oath 1968 yang ia kutip – yang telah dibicarakan sejak Restorasi. Poin-poin deklarasi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
mandiri tersebut yang tentu saja masih akan menyiratkan pengaruh simbolik Barat.
Konstruk masyarakat melalui budaya populer semacam ini yang selalu akan menjadi
arena pertarungan antara „yang dianggap Jepang‟ dengan „yang dianggap Amerika‟
seperti yang diungkap pada kritik terhadap Amerikanisme dalam sejarah film di atas.
Era modern Jepang selalu didefinisikan di antara wacana spiritualisme Jepang dan
materialsme Barat.55
Hal ini berkaitan dengan pembangunan narasi film yang berkembang
setelahnya setelahnya. Paska kekalahan Jepang di perang dunia kedua, juga
pendudukan Amerika hingga 1952, dan juga Perang Korea serta politik Perang
Dingin, keberadaan pengaruh Amerika yang kuat di Jepang membuat masyarakat
tidak merasa cocok dengan fantasi happy-ending yang ditawarkan „American Dream‟
dalam konstruk film-film nasional mereka. Dibanding hanya sekedar menawarkan
film dengan penokohan yang „goal-oriented‟ dan „action driven‟, Ozu Yasujiro
menawarkan film dengan bingkai narasi yang penuh berisi introspeksi dan motivasi
psikologis sang tokoh.56
Gaya film seperti ini yang ternyata sangat berpengaruh pada narasi film
sebagai budaya populer Jepang, seperti anime dan tokusatsu. Film-film yang populer
dalam genre ini biasanya mengutamakan penggambaran tokoh utama dalam
introspeksi dan motivasi psikologisnya dibanding dengan peranan tokoh dalam cerita.
Kaisar Hirohito ini dapat dilihat dalam Henshall, Kenneth G., A History of Japan: From Stone Age to Superpower. (New York: Palgrave McMillan, Edisi Kedua 2004) hal. 145-148 55 Ibid, hal. 171 56 Ibid, hal.205
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
Hal ini bisa dilihat dari bagaimana tokoh utama supersentai ataupun kamen rider
yang biasanya digambarkan bukan sebagai orang yang pintar atau memiliki kekuatan
lebih, tetapi lebih kepada orang yang memiliki semangat dan membawa nilai-nilai
tertentu dalam perjuangannya. Hal ini menyiratkan pembentukan ke-Jepang-an
(Japaneseness.) Popularitas budaya pop Jepang bukan dari bentuknya semata, tetapi
dari pencarian jati diri dan gerakan psikologis sang tokoh utama.57
Bentuk atau form
hanyalah simbol saja, yang ditangkap adalah pencerminan psikologis tokoh.
Pembentukan gaya narasi film Jepang seperti ini tidak bisa terlepas sebagai
tandingan dari gaya narasi American Dream. Hal ini dilihat oleh Standish (2006)
melalui film epic The Human Condition (Ningen no Jouken) yang dirilis pada 1959-
1961 dan diangkat dari novel enam bagian karya Gomikawa Junpei. Standish
mengatakan bahwa:
“…The very concept of a Rambo-like „goal-oriented hero‟ who takes on a
problem and is victorious is alien to the reality of the worldview depicted in
The Human Condition. To borrow Foucault‟s term, the „technologies‟ of
power at work on the individual are so great that not even the exceptional
strenght, both physical and moral, of Kaji can withstand them. All the
individual can do is acknowledge his complicity as an unwilling vehicle of
these mechanisms and make restitution in death…” (Standish, 2006: 215)
Kekuatan yang terlepas dari kekuatan fisik atau moral seperti yang diungkap
Standish di atas dijelaskan oleh Tadao Sato (1976) dengan memberikan penekanan
57 Contoh yang lebih jelas bisa dilihat juga dari sistem idol-grup Jepang yang menawarkan pengamatan mendetil terhadap perkembangan karir dan kehidupan keseharian – dan tentu saja termasuk di dalamnya perkembangan psikologis – sang idola sehingga penggemar tertarik untuk terus mengikuti dan mendukung. Ini merupakan konsep idola yang diusung AKB48, yaitu idola yang bisa ditemui setiap hari. Keintiman seperti ini juga yang membedakan sistem idola di Jepang dengan star-system di Hollywood. (Iwabuchi (2002), op.cit. hal 100)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
59
pada iji58
sebagai konsep untuk memahami popularitas – dan sebagai motivasi
penciptaan – dari tokoh-tokoh dalam budaya populer Jepang. Ia mendefinisikan
kebanggaan – juga yang dilakukan oleh Ikegami (1995) – dalam konsep kehormatan
(meiyo/honour). Dalam konteks psikososial Jepang paska-perang, Sato berargumen:
„Human beings are living creature who have an impulse to prove their righteousness‟
(Standish, 2006: 284). Impulsi yang ia maksud di sini berkaitan dengan konsep
„hubris‟ (ijippari – obstinacy). Hubris ini yang dianggap Sato sebagai kekuatan
pendorong bagi rantai perkembangan budaya populer Jepang. Ia menjelaskan hubris
seperti yang terlihat di bawah ini:
“…A young child at the time he first distinguishes between good and bad
becomes confused, when by mistake or caprice, he is unfairly corrected by an
adult or an older child. At such a time, the child learns obstinacy and hubris.
Why hubris? As the child cannot explain the situation logically, he has two
possible reactions, the expression of hubris or doing exactly what he is told
and thereby losing his sense of his own subjectivity. Put another way, it is at
this juncture that the ego is awakened…” (Sato, 1986: 50)
Melihat sejarah keberangkatan film Jepang sebelum masuk ke era reproduksi
masal dalam televisi, ada beberapa poin yang bisa diambil sebagai kecenderungan
film-film Jepang yang ternyata masih bertahan hingga saat ini. Pertama, nilai loyalitas
dan pembalasan dendam yang dijadikan tandingan dengan prinsip baik-buruk oleh
Amerika melahirkan ciri khas tertentu – dan ini identik dengan semangat samurai
(bushido) yang sering diungkap oleh pembaca film Jepang. Kedua, pertarungan
antara dua prinsip (Jepang-Amerika) tersebut kemudian melahirkan ciri khas
penokohan dalam sebagian besar film-film Jepang, yaitu ijippari. Secara singkat,
58 kebanggaan, atau pride, disposition, spirit, willpower, obstinacy, backbone, appetite
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
Standish (2006) menyimpulkan analisisnya terhadap sejarah film Jepang dengan
mengungkap:
“…the form of cinema, a Western technological invention, and the content,
often derived from ancient storytelling traditions, formed a dialectic out of
which some sort of accommodation was reached between the foreign and the
familiar…” (Standish, 2006: 339)
Poin-poin pada bagian ini penting untuk diangkat karena ciri ini yang akan
didapat dalam pembacaan terhadap interpretasi pembaca film televisi Jepang ketika
membandingkannya dengan film-film di luar Jepang. Pembacaan melalui poin-poin
ini juga yang membuat analisis terhadap resepsi pembaca tidak bisa terlepas dari
kekuatan simbolis Barat bagi Jepang, terutama ketika melihat perkembangan
reproduksi ideologi dalam penyampaian film di media televisi.
2.1.2 Era Televisi dan Reproduksi Ideologi
Kehadiran televisi pada 1953 tidak bisa terlepas dari berakarnya budaya
media yang telah ada sebelumnya: radio. Sejak pertama diluncurkan pada 22 Maret
1925 oleh Tokyo Broadcast Station (JOAK), radio sukses menjadi perlengkapan
rumah tangga yang wajib ada bersanding dengan sarana informasi dan hiburan lain
seperti koran, majalah, dan film. Penerimaan masif masyarakat terhadap sistem
penyiaran radio yang terpusat di beberapa stasiun siaran – hanya bisa menerima
siaran dengan pasif tanpa bisa mengatur kontennya – menjadi fondasi bagi hadirnya
sistem penyiaran televisi hampir 30 tahun kemudian.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
Hal yang sama seperti pada sejarah film di atas pun terjadi pada sistem
penyiaran radio: monopoli pemerintah. Karena masifnya penerimaan masyarakat, dan
juga anggapan bahwa masyarakat hanya bisa secara pasif menerima begitu saja apa
pun yang disiarkan oleh radio, pemerintah menyatukan tiga stasiun radio yang
berpengaruh menjadi satu korporasi publik yang dikontrol oleh pemerintah dengan
nama Nippon Housou Kyoukai (NHK). Stasiun NHK ini yang menjadi basis dari
jaringan penyiaran radio nasional. Stasiun NHK ini juga yang kemudian menerbitkan
televisi untuk pertama kali.
Penyatuan yang dilakukan pemerintah ini dilakukan dengan anggapan bahwa
tujuan utama dari siaran radio adalah menyebarkan budaya secara nasional yang
sudah disetujui oleh negara. Gubernur Goto Shinpei menjelaskan alasan ini dalam
pidatonya pada upacara peresmian Tokyo Broadcasting Station pada 1925. Empat
poin utama yang ia sampaikan adalah adanya kesempatan untuk kesetaraan kultural,
adanya reformasi hidup di dalam rumah, adanya sosialisasi pendidikan, dan adanya
percepatan pembangunan ekonomi.59
Pemahaman seperti ini menunjukkan bahwa radio memiliki potensi sebagai
alat yang efektif dalam menyatukan bangsa dan menyebarkan budaya standar ke
seluruh Jepang. Radio berpotensi untuk mengonstruk kehidupan di dalam rumah dan
berkontribusi dalam homogenisasi lingkungan masyarakat Jepang yang beragam.
Salah satu bentuk penyatuan perbedaan-perbedaan dalam bangsa melalui radio adalah
59 Chun (2007), op.cit. hal 22
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
dikenalkan siaran radio Calisthenics60
pada 1928. Dengan mengajak jutaan
masyarakat Jepang untuk berolahraga bersama-sama secara rutin, radio dapat
memberikan rasa nasionalis karena kebersamaannya, dan juga pembiasaan budaya
siaran melalui rutinitasnya.61
Bentuk propaganda melalui rutinitas penyiaran radio seperti ini menjadi
agenda pemerintah dalam menyebarkan budaya modern ke seluruh Jepang. Di sini
ke-ambivalen-an pemerintah pada budaya massa mulai dikritik. Ambivalen itu bisa
terlihat dari anggapan budaya modern oleh pemerintah pada masa itu yang berupa
budaya yang cenderung mengarah pada Barat, seperti musik klasik Barat ataupun
penggunaan bahasa Inggris dalam beragam siaran. Dengan pengontrolan konten
siarannya, budaya radio tidak bisa menjadi ruang budaya alternatif dari masyarakat.
Bentuk budaya modern yang diajukan oleh pemerintah tak bisa keluar dari tiga aspek:
Barat, mendidik, dan berisi informasi.
Agenda propaganda pemerintah untuk menciptakan Jepang yang homogen ini
merupakan fondasi bagi kelahiran televisi di tahun 1953. Apalagi, televisi hadir tepat
di saat pemerintah Jepang merasa bahwa Jepang perlu mulai dari awal lagi dalam
pembangunan bangsanya setelah kekalahan PD II dan juga pendudukan Amerika.
Pemerintah Jepang merasa perlu untuk kembali melihat pada bentuk bangsa Jepang
pra-perang dan juga belajar mengenai televisi lebih banyak dari Barat yang sukses
60 adalah bentuk olahraga ritmis (semacam senam) yang tidak memerlukan bantuan alat apa pun, dan biasanya dilakukan beramai-ramai di tempat umum. 61 Sampai pada musim panas 1933, lebih dari 40 juta orang (mendekati 60% total populasi Jepang) berpartisipasi dalam budaya Calisthenic ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
menggunakan sistem siaran terpusat sebagai pembentuk bangsanya62
– terutama
Jerman yang telah memulai budaya televisinya sejak tahun 1935, Inggris sejak 1936,
dan Amerika sejak 1941.63
Dengan kata lain, menyingkap budaya televisi Jepang
sama saja dengan mengungkap usaha pembentukan bangsa Jepang.64
Keterpusatan budaya massa sebagai sarana hiburan yang dikontrol pemerintah
seperti ini bertahan hingga pada pertengahan 1960-an ketika televisi berhasil
menggantikan film (sinema) sebagai bentuk hiburan utama. Studio-studio film yang
sudah banyak berdiri di seluruh Jepang mulai mengalami penurunan produksi dan
satu-per-satu pun terpaksa tutup. Beberapa yang bertahan pun memutuskan untuk
menjadi tandingan dari budaya televisi yang sudah terkontrol pemerintah. Saat itu,
para pembuat film mulai melihat adanya kebebasan untuk tidak lagi membuat film
62 Sejak pertengahan 1930an, beberapa peneliti di bawah NHK dikirimkan ke negara-negara Barat seperti Jerman, Inggris, dan Amerika untuk mempelajari perkembangan televisi. Motivasi penelitian ini besar karena munculnya keputusan pengadaan Olimpiade 1940 di Tokyo, dan NHK ingin bisa menyiarkannya ke seluruh Jepang. Namun, penelitian ini sempat tersendat karena militerisasi Jepang pada perang China (1937), digagalkannya Olimpiade, hingga keterlibatan pada perang dunia II. Beberapa orang yang tetap melanjutkan penelitiannya sempat melakukan percobaan siaran pada 1939 (oleh peneliti terkenal Takayanagi), dan pada tahun 1940 membuat percobaan drama televisi untuk pertama kalinya (berjudul Yugemae, berdurasi 12 menit.) Pada tahun 1951, barulah NHK melakukan penelitian mendetil tentang pengaruh televisi Amerika bagi masyarakatnya. Penelitian ini dilakukan oleh Kamimura Shin’ichi, dan berhasil menyimpulkan poin-poin pembelajaran televisi untuk berbagai bidang dalam laporannya. Isi laporan dapat dilihat dalam Chun (2007) hal. 47-51 63 Menurut Takayanagi, pentingnya televisi membuat negara-negara ini menghabiskan lebih dari 300 juta yen. Inggris dan Amerika mengusahakan formasi industri baru yang bisa mengalahkan radio, terutama karena televisi dapat meningkatkan kesejahteraan dan memberikan kebahagiaan. Lain halnya dengan Jerman, mereka menggunakan televisi sebagai alat propaganda untuk membangkitkan semangat masyarakat. Negara-negara ini berusaha menyempurnakan teknologi sistem televisi sehingga mereka bisa meningkatkan kebanggaan nasional mereka di tengah dunia. Juga, mereka mengharapkan televisi dapat menjadi industri yeng sentral dalam pengembangan pengetahuan, sains, dan dunia komunikasi (Kenjirou Takayanagi, “Naigai Terebijyon no Shinkyou (Great Progress in Domestic and Foreign Television)” Housou, Januari 1939, 21.) Lihat Chun (2007) hal. 31 64 Ibid. hal 7-10.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64
yang berideologi nasional, atau film bergenre mukokuseki (nationless). Film-film
yang termasuk dalam genre mukokuseki ini biasanya adalah film yang menceritakan
kisah seseorang bernegosiasi dengan lanskap asing walaupun berada dalam Jepang –
tidak lagi berideologi menyamakan Jepang, sehingga bisa menggambarkan dengan
cara yang hanya memiliki sedikit kesamaan dari realitas Jepang.65
Para kritikus film
melihat bahwa bentuk-bentuk film seperti ini baru bisa hadir pada periode 1960-an
juga karena Jepang sedang mengalami regenerasi ekonomi – 1955-1973 hingga
puncaknya pada 1980-1990 dengan meletusnya ekonomi gelembung. Di sisi lain, film
dengan narasi seperti ini menggawali narasi film dengan wacana turistis, di mana
Jepang digambarkan sebagai objek konsumsi yang abstrak dan eksotis.
Film yang awalnya diidentikkan dengan genre mukokuseki ini sebenarnya
bukanlah film yang benar-benar nationless karena kemudian pada pertengahan 1970-
an mulai muncul slogan “Discover Japan”. Slogan ini merupakan bentuk kampanye
Japan National Railway untuk mengajak orang-orang melakukan perjalanan wisata ke
tempat-tempat yang eksotis di Jepang. Melalui slogan ini, Jepang mulai ditampilkan
sebagai komoditas dan meminta masyarakatnya untuk mengonsumsi perjalanan
wisata. Film-film yang bergenre mukokuseki pun dimanfaatkan dalam
65 Aaron Gerow, “Nation, Citizenship, and Cinema,” dalam Jennifer (2005), hal. 411. Contoh yang diberikan Gerow di sini adalah film berjudul Daisougen no Wataridori (The Rambler Rides Again, 1960) yang mengisahkan perjalalan seorang pria dalam menyelamatkan orang-orang Ainu dari kekejaman gangster. Walaupun lanskap yang digambarkan adalah Hokkaido, narasi diciptakan seperti kisah cowboy dan Indian ala Amerika.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65
mempromosikan ke-eksotis-an Jepang karena seringkali menampilkan imaji/lanskap
yang sudah sulit ditemui dalam realitas homogen ciptaan pemerintah.
Ivy (1995) melihat proyek ini bukanlah usaha mempromosikan ke-eksotis-an
yang terdapat di daerah-daerah tertentu di Jepang. Ivy justru melihat bahwa slogan ini
menyiratkan usaha pembentukan keeksotisan yang sebelumnya tidak ada –
pembentukan imajinasi akan adanya nostalgia berdasarkan hal yang baru diciptakan.
Nostalgia bukan lagi mengenai masa lalu empiris, namun merupakan bentuk
apropriasi „masa lalu‟ melalui konotasi yang diperindah. Oleh karena itu, sarana
komunikasi massa seperti televisi atau film ini menggambarkan adanya nostalgia
terbayang (imagined nostalgia) di mana orang-orang terdorong untuk memediasikan
dunia yang sebenarnya tak pernah hilang, dan diperindah dengan peminjaman
kacamata non-Jepang (borrowed nostalgia.)66
Dalam penelitiannya, Ivy melihat
bagaimana bentuk-bentuk ke-eksotis-an seperti geisha, samurai, kabuki, festival dan
ritual-ritual, bahkan mitos-mitos diformulasikan untuk menjadi objek fetish bagi
masyarakat Jepang sehingga bisa dijadikan komoditas turisme.67
Anggapan Ivy semacam ini semakin terlihat ketika lebih dari sepuluh tahun
kemudian (1984) Japan National Railway merubah slogan kampanyenya menjadi
Ekizochikku Japan (Exotic Japan). Berbeda dengan Discover Japan yang dituliskan
66 Appadurai (1996, 77) dalam Iwabuchi (2002), op.cit. hal. 174 67 Ivy juga menekankan pada bahasa yang digunakan (discover Japan) yang menggambarkan bahwa subjek yang diminta untuk menemukan Jepang bukanlah orang Jepang, atau bukan orang dari dalam Jepang. Bahkan Ivy menyebut bahwa proyek Discover Japan ini memiliki maksud yang sama dengan Discover Myself: “Discovery is really one’s own self… the self of travel, the discovery of myself, travelling through myself…Discovery Myself (jisukabaa maiserufu)” (Ivy (1995), op.cit, hal. 29-48)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66
dalam tulisan latin, slogan baru ini dituliskan dalam huruf khusus dalam bahasa
Jepang. Ivy melihat bahwa Ekizochikku Japan yang dituliskan dalam huruf katakana68
menggambarkan Jepang yang sudah diproyeksikan sebagai negara asing – sesuatu
yang datang dari luar. Walaupun penggunaan Japan ini justru menandakan yang
bukan Jepang, penulisan slogan dalam huruf katakana ini tetap menandakan Jepang.
Sehingga, Ivy berargumen bahwa “„Ekizochikku Japan‟ establishes Japan as
elsewhere, as other: the non-Japanese seen through Japanese eyes.”69
Bentuk ideologi melalui slogan-slogan seperti ini memiliki banyak rupa di
berbagai bidang, dan terus berubah sejak 1960-an. Namun, Ivy mengatakan bahwa
motivasi dasar dari pembentukan slogan-slogan seperti itu masih tetap tidak banyak
mengalami perubahan. Nostalgia akan sesuatu yang “Jepang” selalu menjadi
pendorong bagi berbagai bidang.70
Nostalgia seperti ini juga yang mendorong
munculnya genre film mukokuseki di atas, di mana orang-orang film mulai merasa
mendapat kebebasan untuk bisa memasarkan sesuatu yang tak lagi didikte oleh
pemerintah. Dengan kata lain, ideologi dominan di Jepang tetap bergantung pada
politik nostalgia yang sejalan dengan kebijakan-kebijakan kapitalis – dan oleh karena
itu tak bisa terlepas dari pengaruh kapital Barat.
68 Katakana adalah huruf Jepang yang digunakan khusus untuk menuliskan kata-kata serapan bahasa asing – seperti banana (pisang), basu (bis), hoteru (hotel) – maupun nama-nama asing seperti nama orang atau nama perusahaan. Dalam bahasa Jepang sendiri, kata ‘Jepang’ adalah Nihon. Penggunaan kata Japan dalam Ekizochikku Japan berarti menempatkan Jepang sesuai dengan yang disebut di mata internasional: Japan. 69 Ibid, hal. 50 70 Ibid, hal. 65
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67
Perkembangan ideologi-ideologi seperti ini juga yang akan mengikuti
terjadinya Japan Boom mulai tahun 1980-an di Barat dan Asia – yang kemudian
terulang kembali pada tahun 1990-an. Generasi muda di Jepang menerapkan ideologi
nostalgia dengan cara yang berbeda dari nostalgia generasi lama yang merasakan
Jepang pra-perang. Generasi muda di Jepang ini mengembangkan genre mukokuseki
lebih jauh melalui pembacaan terhadap popularitas wacana Nihonjinron
(Japaneseness – ke-Jepang-an) pada awal 1980.71
Wacana Nihonjinron yang
dikembangkan sejak paska-perang – sejalan dengan munculnya slogan-slogan ke-
eksotis-an Jepang di atas – adalah usaha mendeskripsikan keunikan budaya Jepang.
Wacana ini berusaha menjelaskan aspek-aspek khas dari kehidupan masyarakat
Jepang dan budaya Jepang dalam bingkai esensialis. Dalam wacana ini, budaya
tradisional Jepang digambarkan bukan lagi secara fisik semata, tetapi sebagai budaya
yang bernilai khusus dan unik dari Jepang, serta menyiratkan usaha penggambaran
Jepang yang homogen.72
Secara tidak langsung, wacana ini sedikit demi sedikit
menghapus heterogenitas Jepang yang ada di sudut-sudut bangsanya, dan memulai
pembangunan budaya Jepang yang memiliki nilai universal.73
71 Yumiko Iida, Rethinking Identity in Modern Japan: Nationalism as Aesthetic (London: Routledge, 2002), hal.166-168. Pembahasan mengenai Nihonjinron terutama bisa dilihat pada bab 5 – Back to Identity: ‘Postmodern’, Nihonjinron, and the Desire of the Other (hal. 164-208) 72 Iwabuchi (2002), op.cit. hal. 6-7 73 Homogenisasi ini juga yang banyak menuai kritikan karena menggambarkan usaha penafian terhadap budaya-budaya heterogen yang ada di Jepang, seperti budaya orang-orang Okinawa, orang-orang keturunan Korea, orang-orang keturunan kasta Burakumin (kasta rendah pada masa sebelum Meiji), dan lingkaran-lingkaran lain yang dianggap “bukan-Jepang”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68
Di sini terlihat bagaimana peran genre mukokuseki (1960-an), slogan-slogan
seperti Discover Japan (1970-an) dan Ekuzochikku Japan (1984), serta wacana
Nihonjinron (1960-1980) yang digunakan untuk membangun sebuah bangsa yang
bisa diimajinasikan bersama-sama – komunitas terbayang – menciptakan ke-
universal-an produk budaya Jepang. Berbagai reproduksi ideologi ini hadir dalam
reproduksi media film di dalam televisi. Peran ideologi ini yang kemudian
bernegosiasi dengan perkembangan film paska perang yang juga mengembangkan ke-
Jepang-annya, yaitu narasi yang berputar pada perkembangan psikologis tokoh dan
juga konsep ijippari (1960-1970) seperti yang sudah dijelaskan di atas.
Justru karena mukokuseki ini yang menyiratkan ke-universal-an produk
budaya Jepang, produk budaya ini bisa diterima dengan masif di negara-negara lain.
Iwabuchi (2002) menyebut produk seperti ini dengan produk cultural odorless – tidak
memiliki aroma budaya – sehingga justru bisa diterima di berbagai budaya lain.
Produk budaya seperti anime justru diterima ketika tidak ada lagi tanda-tanda Jepang
secara fisik di dalamnya.74
Produk budaya ini diterima ketika tidak lagi menampilkan
Jepang secara fisik, tetapi masih tetap bisa dinamai sebagai “Jepang” karena
negosiasi di dalamnya.
Perkembangan televisi – dan terutama kontennya – tidak pernah bisa terlepas
dari segala proses reproduksi ideologis yang terjadi di sekitarnya tersebut. Melalui
proses reproduksi ideologis yang terjadi terus menerus ini, media televisi Jepang
74 ibid. hal. 33
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
69
menampilkan kekuatan mediasi terhadap segala pengaruh yang masuk dari Barat.
Perkembangan konten televisi menjadi kacamata untuk melihat perkembangan
masyarakat Jepang sesuai dengan reproduksi ideologis yang terjadi secara kronologis
tersebut. Mediasi yang dilakukan televisi ini juga terbukti dari bagaimana budaya
media televisi diterima dengan sangat besar di Jepang. Pada 1965, masyarakat Jepang
menghabiskan waktu paling banyak di depan televisi dibandingkan dengan makan,
melakukan hobinya, ataupun berinteraksi dengan orang lain. Hanya tidur dan bekerja
lah kegiatan yang menghabiskan waktu lebih banyak dibanding menonton televisi.
Hasil survey yang sama pun terlihat kembali 30 tahun kemudian (1995).75
Perkembangan televisi dan reproduksi ideologis yang berdasarkan
pencerminan terhadap Barat – baik kritik, acuan, maupun anti-Barat – menunjukkan
besarnya kekuatan simbolis Amerika yang berakar dan diterima di Jepang. Jepang
mengambil budaya media Amerika, dan menginovasikan ulang budaya tersebut untuk
memberikan pemahaman akan aktivitas santai (leisure) dan pengkonsumsian di
wilayah privat (domestik) kehidupan masing-masing orang di Jepang. Komoditi
seperti radio, mobil, alat-alat elektronik, atau barang-barang budaya populer, menjadi
elemen simbolis dari Amerikanisme di Jepang (e.g. Gordon, 1993; Ivy, 1995;
Iwabuchi, 2002; Chun, 2007) Usaha seperti ini sejalan dengan analisis Perdana
Menteri Yoshida Shigeru terhadap isi perjanjian Amerika – Jepang pada tahun 1951:
75 Chun (2007), op.cit, hal.4
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
“Just as the United States was once colony of Great Britain but is now the
stronger of the two, if Japan becomes a colony of the United States it will
eventually become the stronger.”76
Perkataan yang diungkap oleh PM Yoshida Shigeru tersebut menunjukkan
usaha Jepang yang harus menumpang pada Amerika untuk membangun negaranya.
Jepang juga harus memanfaatkan jaringan dan budaya yang sudah dibangun oleh
Amerika Serikat untuk masuk ke berbagai negara. Jepang membangun basis identitas
mereka – yang terlepas dari Amerika – ketika sudah menempati posisi di negara-
negara tersebut. Melalui alur seperti inilah proyek pembangunan imaji “Jepang” di
hadapan negara-negara lain (terutama Asia) dapat diciptakan.
2.1.3 Menyiarkan Budaya Populer, Menciptakan Jepang
“…Hello Kitty is Western, so she will sell in Japan. She is Japanese, so she
will sell in the West…” (McGray, 2002: 50)
Kutipan ini terdapat dalam artikel berjudul Japan‟s Gross National Cool oleh
Douglas McGray (2002). Ia mengenalkan istilah Gross National Cool (GNC) yang
merupakan permainan kata dari Gross National Product (GNP) Jepang yang menurun
paska meletusnya ekonomi gelembung. Ia berargumen bahwa Jepang sudah memiliki
tradisi untuk menggabungkan berbagai elemen dari berbagai budaya negara lain
menjadi satu keutuhan yang hampir koheren.77
Dari contoh pemahaman terhadap
Hello Kitty di atas – dan juga berlaku bagi semua budaya populer Jepang yang
76 Brian Reading, Japan: The Coming Collapse (New York: Harpercollins, 1992) hal.1 via Iriye, Akira dan Wampler, Robert A (ed). Partnership: The United States and Japan 1951-2001. (Tokyo: Kodansha International .Ltd, 2001), hal. 240 77 Douglas McGray, Japan’s Gross National Cool, dalam Foreign Policy (Mei/Juni 2002), hal. 44-54
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
71
diekspor ke luar negeri – budaya populer Jepang dapat dicintai karena produk-
produknya tidak menampilkan suatu tradisi kultural autentik tertentu. Pemahaman
akan Japanese Cool yang dimiliki oleh produk budaya populer Jepang seperti ini pun
juga diamini oleh media-media arus utama di berbagai negara lain.78
Konsep Cool Japan ini diakui oleh pemerintah Jepang pada 2005 dalam
konferensi pers Kementrian Luar Negeri. Barulah pada 2010, secara resmi
Kementrian Ekonomi, Perdagangan, dan Industri (METI) mengadopsi konsep ini dan
membentuk proyek-proyek untuk memajukan industri kreatif dibawah bendera Cool
Japan. Kementrian ini mengalokasikan banyak dana untuk kegiatan-kegiatan Cool
Japan, termasuk mendanai kegiatan di delapan negara pada tahun 2011.79
Sampai
pada tahun 2013, METI menginisiasi pembentukan Cool Japan Fund, Inc. untuk
mengurusi proyek-proyek promosi budaya populer Jepang di luar negeri. Bahkan,
METI berencana mendirikan kanal televisi kabel berjudul Japan Channel yang secara
khusus akan disiarkan di Asia Tenggara.80
Pendirian kanal televisi ini juga belajar
dari program NHK yang sejak 2009 telah menciptakan program televisi Cool Japan:
78 Contohnya adalah adanya artikel berjudul “Cool Japan: le Japon superpuissance de la pop” dalam Le Monde (18 Desember 2003), dan “Japan’s Empire of Cool” dalam Washington Post (27 Desember 2003) 79 Japan Times (15 Mei 2012), diakses dalam http://www.japantimes.co.jp/news/2012/05/15/reference/exporting-culture-via-cool-japan/#.V2p5hBKvhsV 80 Japan Times (9 Januari 2014), diakses dalam http://www.japantimes.co.jp/culture/2014/01/09/general/will-cool-japan-finally-heat-up-in-2014/#.V2p5khKvhsV
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
72
Kakkoi Nippon yang berisi pengalaman orang – diwakili oleh orang asing dan orang
Jepang – dalam mengungkap budaya-budaya Jepang.81
Departemen Penelitian Ekonomi Japan External Trade Organization
(JETRO) melabeli fenomena Cool Japan ini dengan “Gelombang Ketiga Japonisme”.
Gelombang pertama adalah ketika bentuk lukisan Ukiyo-e dan pakaian Kimono
muncul dalam pameran di Paris akhir 1867. Gelombang kedua terjadi pada 1950-an
hingga 1960-an, mengawali popularitas produk budaya Jepang seperti film-film Akira
Kurosawa. Namun gelombang ketiga yang terjadi sejak tahun 1990-an ini berbeda
karena efeknya yang sangat luas di berbagai negara.82
Hal ini dianalisis oleh JETRO
melalui meningkatnya ekonomi negara Asia lain yang menjadi pesaing Amerika
sebagai tujuan ekspor terbesar. Negara-negara Asia seperti China, Hong Kong,
Taiwan, dan juga empat negara ASEAN (The ASEAN Four) – yaitu Indonesia,
Malaysia, Filipina, dan Thailand – mendominasi angka ekspor Jepang. Hal ini terjadi
karena investasi langsung – terutama di bidang industri – yang selama ini telah
dilakukan Jepang di negara-negara tersebut membuat mereka dengan mudahnya
mengekspor berbagai produk.83
81 Acara ini banyak menghadirkan orang asing yang berbicara dalam bahasa Jepang dan menikmati budaya-budaya Jepang. Judul “Kakkoi Nippon” pun mengalami permasalahan ketika dikritik dengan cara Ivy (1995). Di satu sisi, Kakkoi merupakan bahasa Jepang dari cool dan ditulis dalam huruf hiragana seperti biasanya. Di sisi lain, nama Jepang menggunakan kata Nippon yang merupakan bentuk lama (era Meiji) dari Nihon, dan justru dituliskan dengan huruf katakana yang biasa digunakan untuk bahasa asing. 82 JETRO, “Cool” Japan’s Economy Warms Up (Maret 2005), hal. 7-8 83 Ibid, hal. 13
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
73
Pada poin ini, dapat disimpulkan terlebih dahulu dua jalan yang penting bagi
Jepang dalam menyebarkan budaya populer mereka. Jalan pertama adalah
pemanfaatan Jepang terhadap kekuatan simbolik Amerika. Hal ini terjadi melalui
penempatan budaya Amerika dalam budaya Jepang, dan juga sebaliknya. Jalan kedua
adalah dukungan ekonomi Jepang terhadap negara-negara di Asia, terutama Asia
Timur dan Asia Tenggara.
2.1.3.1 Menumpang Amerika
Aspek pertama terlihat dari bagaimana Jepang berusaha menumpang Amerika.
Setelah Jepang diakui sebagai negara yang berhasil meningkatkan ekonomi dan
teknologinya dengan pesat (economic miracle yang terjadi pada 1970-1980), Amerika
banyak melakukan pembelajaran terhadap Jepang. Hal ini terlihat dari mulai
munculnya banyak institusi pendidikan yang membuka bidang studi spesifik terhadap
Jepang. Di sisi lain, orang-orang Jepang juga banyak berpindah ke Amerika untuk
melanjutkan studi maupun bekerja. Pertukaran semacam ini merupakan aspek penting
bagi pembangunan imaji Jepang di Amerika.84
Pembukaan jalan oleh Amerika ini sejalan dengan prinsip internasionalisasi
(kokusaika) yang dijalankan oleh Jepang. Jepang tidak menyia-nyiakan kesempatan
84 Untuk grafik dan prosentasi pertukaran di bidang pendidikan ini bisa dilihat dalam Watanabe Yasushi, dan David L. McConnel (ed.) Soft Power Superpowers: Cultural and National Assets of Japan and the United States, (New York: M.E.Sharpe, 2008), hal 75-96. Untuk tabel grafik jumlah pembelajar bahasa Jepang di luar negeri dapat dilihat pada halaman 148.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74
ekonomi yang diberikan oleh Amerika tersebut.85
Mereka menggunakan
internasionalisasi sebagai senjata untuk menyebarkan Jepang ke dunia – terutama
keinginan mereka untuk menjelaskan mengapa Jepang berbeda (dan lebih baik)
dibanding negara lain.86
Usaha Jepang untuk menyebarkan pengaruhnya juga diwujudkan melalui
keinginan Jepang untuk tidak hanya menguasai pasar perangkat keras tetapi juga
perangkat lunak produk budaya populer di dunia. Hal ini terlihat dari dua pembelian
besar perusahaan Jepang di Amerika. Sony membeli Columbia Picture pada 1989 dan
Matsushita membeli MCA (Universal) pada 1990. Beberapa perusahaan Jepang lain
juga melakukan jalan yang sama dengan melakukan investasi besar pada perusahaan
Amerika, seperti Sumitomo kepada CTI, dan Itochu kepada Time Warner.87
Strategi
untuk membangun korporasi media global seperti ini dibicarakan oleh Morley dan
Robin (1995) dengan tiga sistem: (1) menciptakan produk-produk budaya, (2)
mendistribusikan produk-produk, dan (3) menguasai perangkat keras untuk
menyebarkan produk-produk itu.88
Dari pembagian strategi ini jelas terlihat bahwa
Jepang telah lebih dahulu diakui dalam penguasaan perangkat keras. Pembelian dan
investasi terhadap perusahaan-perusahaan besar Amerika menjadi tahapan untuk
menguasai pendistribusian produk-produk budaya mereka. Dengan dua tahapan yang
85 Henshall (2004), op.cit. hal. 156 86 Ibid. hal.171 87 Iwabuchi (2002), op.cit. hal 29-37 88 David Morley dan Kevin Robins, Spaces of Identities: Global Media, Electronic Landscapes, and Cultural Boundaries. (London: Routledge, 1995) hal. 13
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
75
bisa dijalankan terlebih dahulu, peningkatan popularitas produk budaya populer
Jepang pun bisa tercipta.
Peningkatan ini bisa dilihat dari bagaimana sebelumnya Jepang sukses
meningkatkan popularitas produk budaya populer Jepang seperti permainan komputer
di Amerika. Permainan-permainan seperti Super Mario Bros, Sonic, maupun
Pokemon mendapat popularitasnya karena Jepang telah menguasai penjualan
perangkat keras dalam permainan komputer – Nintendo, Sega, dan Sony. Hal yang
sama pun terjadi pada produk budaya berbentuk anime. Penguasaan perusahaan-
perusahaan Jepang terhadap korporasi media Amerika membuat anime seperti
Pokemon mendapat pengakuan global. Bahkan kemudian film-film layar lebar
Pokemon pun diciptakan dengan penambahan pengisi suara ataupun soundtrack dari
penyanyi Amerika yang sudah populer, sehingga penikmat Pokemon dari berbagai
negara bisa menikmati produk budaya Amerika melalui produk Jepang, dan juga
sebaliknya – menikmati produk budaya Jepang melalui Amerika. Di sini terlihat
bagaimana negosiasi antara Jepang dengan Amerika terjadi. Bahkan beberapa
produser film Hollywood seperti Matrix dan Kill Bill mengatakan bahwa mereka
banyak dipengaruhi oleh konten anime ataupun manga dalam kegiatan produksinya.89
Popularitas budaya populer Jepang di Amerika ini bukan berarti hegemoni
kultural Amerika telah kalah dengan Jepang. Penguasaan Jepang pada korporasi
89 Untuk daftar produk budaya populer Jepang yang masuk dan popular di Amerika ataupun negara-negara lain, serta tabel perbandingannya dengan produk budaya populer Barat dapat dilihat pada tulisan Sugiura Tsutomu, Japan’s Creative Industries: Culture as a Source of Soft Power in the Industrial Sector, dalam Yasushi (2005), op.cit. 128-187
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
76
media global dari Amerika justru secara tidak langsung meluaskan pengaruh kultural
Amerika. Dengan bantuan kemampuan pengembangan teknologi perangkat keras
yang ditawarkan Jepang, korporasi media Amerika bisa lebih mudah menebar
kekuatannya. Walaupun popularitas program televisi Amerika mengalami penurunan,
kekuatan kultural Amerika masih bisa terlihat jelas dari pengakuan bentuk budaya
media global yang memiliki asal dari Amerika.90
2.1.3.2 “Membantu” Asia Tenggara
Pada 1977, dalam perjalanannya ke Manila, Perdana Menteri Fukuda
mengeluarkan arah baru kebijakan Jepang untuk daerah Asia Tenggara. Arah baru ini
dikenal dengan istilah “Fukuda Doctrine”, yang isinya seperti terlihat pada kutipan
berikut:
…Fukuda doctrine, this encompassed three pillars: (1) contribution to the
peace and prosperity of Southeast Asia by rejecting the role of military
power; (2) consolidation of relationship of mutual confidence and trust based
on „heart-to-heart‟ understanding; and (3) Japan as an equal partner of
ASEAN and its member countries while aiming at fostering a relationship
based on mutual understanding with the nation of Indochina… (Sudou Sueo,
“Japan-ASEAN Relations: New Direction in Japanese Foreign Policy,” Asian
Survey, Vol. 28, No. 5 (May 1988), pp. 511-12)
Setelah adanya Fukuda Doctrine ini, ASEAN menjadi arah utama bagi
kebijakan-kebijakan Jepang di Asia Pasifik. Melalui berbagai forum yang terkoneksi
dengan Jepang, Jepang mempromosikan proyek mereka untuk membangun industri-
industri yang berbasis regional Asia Tenggara dan menawarkan bantuan dalam hal
90 Morley (1995), op.cit. hal. 223-24
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77
teknis di dunia industri. Dalam komunikasi ini Jepang juga berusaha menegosiasikan
kebijakan yang menguntungkan mereka dalam bidang ekspor-impor. Usaha-usaha ini
berbuah hasil yang memuaskan, karena negara-negara ASEAN mulai menerima
dengan baik ekspansi komersial Jepang, dan akhirnya memandang Jepang sebagai
model mereka dalam mengembangkan ekonomi negara masing-masing.91
Usaha-
usaha ini menciptakan imaji Jepang sebagai “negara maju yang harus ditiru” seperti
yang sering terlihat pada wacana pembangunan sejak orde baru di Indonesia.92
Pembangunan arah kebijakan Jepang pada negara-negara Asia Pasifik seperti
ini berangkat dari pembelajaran terhadap gerakan ekonomi multilateral yang
berlangsung sejak 193093
, Perang Dunia ke II, hingga terbentuknya European
Economic Community pada 1957. Mereka melihat bahwa sejarah di 1930 membentuk
sikap Amerika dalam pengembangan institusi-institusi paska-perang untuk
membangun kerjasama multilateral dan global.94
Hingga 1990-an, Jepang telah
berhasil mengejar kesuksesan Amerika dalam melakukan investasi langsung ke Asia
Timur dan Asia Tenggara – berbagi dengan Amerika. Jepang menjadi investor utama
91 Sudou Sueo, Japan-Asian Relations, (Asian Survey, Vol. 28, No. 5, May 1988) pp. 512-22 via Iriye (2001), op.cit. hal. 24 92 Lihat satu contohnya pada Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan (Jakarta: PT Gramedia, 1983) 93 Jatuhnya ekonomi dunia (Depresi Ekonomi) yang dimulai sejak insiden Selasa Kelam (jatuhnya pasar saham) di New York pada Oktober 1929 dan kemudian kelebihan industry (over-industry) pada tahun 1930. 94 Bagian introduksi dalam Jeffrey A. Frankel, dan Miles Kahler (ed.), Regionalism and Rivalry: Japan and the United States in Pacific Asia. (Chicago: The University of Chicago Press, 1993), hal.1-18
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
78
di Thailand, Indonesia,95
dan Korea Selatan, serta menjadi investor nomor dua di
Malaysia, Filipina, Hong Kong, Taiwan, dan Singapura.96
Kedekatan Jepang terhadap negara-negara di Asia Tenggara seperti ini tentu
berpengaruh pada ekspor produk mereka. Jepang melakukan ekspor produk budaya
populer mereka dengan menyesuaikan pada kedekatan Jepang – pengetahuan
mengenai pasar di Asia Tenggara. Kekhususan ini yang menyebabkan ekspor produk
budaya populer Jepang yang meliputi dorama, pop idols, karakter dalam pernak-
pernik seperti HelloKitty, ataupun majalah fashion justru jarang sekali ditemui di
Barat tetapi mudah ditemui di negara-negara Asia Timur dan Asia Tenggara. Bahkan
beberapa judul anime dan manga hanya khusus diekspor ke Asia. Seperti diungkap
pada Japanese Ministry 1997, perlakuan khusus ini semakin terlihat pada 1995 ketika
Pasar Asia Timur dan Asia Tenggara menerima 47% dari total ekspor program
televisi Jepang. Hal ini menggambarkan bagaimana produk kultural Jepang
membawa ketertarikan simbolis bagi negara Asia yang lain dalam konteks
perkembangan non-Western indigenized modernities.97
Ketertarikan ini berkaitan
dengan kedekatan budaya yang dirasakan oleh negara-negara Asia terhadap Jepang
ketika dihadapkan dengan modernitas Barat. Dengan kata lain, penerimaan terhadap
produk kultural Jepang di Asia Timur dan Tenggara hanya bisa terjadi ketika negara-
95 Total investasi Jepang ke negara-negara Asia di tahun 1951-1990 mencapai USD 47.5 Juta. Porsi terbesar adalah investasi ke Indonesia (USD 11.5 Juta). Lihat deskripsi dalam Curtis Andressen, A Short History of Japan: From Samurai to Sony, (Chiang Mai: Silkworm Books, 2002), hal 172-173 96 Untuk tabel investasi Jepang ke negara-negara ini dapat dilihat dalam tulisan Richard F. Doner, “Japanese Foreign Investment and the Creation of a Pacific Asian Region” dalam Frankel (1993), hal. 161-165 97 Iwabuchi (2002), op.cit. hal. 47
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
79
negara ini sudah berhadapan dengan simbol modernitas yang dibawa oleh Barat.
Tanpa adanya kekuatan simbolis dari Barat, penerimaan pun tidak bisa begitu saja
membentuk adanya rasa kedekatan budaya.
Dengan pemahaman seperti ini, maka Amerika (Barat) telah memasuki
tingkatan baru yang disebut oleh Baudrillard dengan istilah Hysteresis, yaitu sebuah
proses ketika sesuatu berkembang secara berkelanjutan, dan secara tak sadar efeknya
terus berkelanjutan walaupun penyebabnya sudah tidak lagi disadari (hilang).
Walaupun kekuatan hegemoni Amerika sudah meredup, Baudrillard berargumen
bahwa redupnya kekuatan tersebut menandakan kekuatan Amerika telah mengalami
perubahan sifat dasar.98
“…It [America] has become the orbit of an imaginary power to which
everyone now refers. From the point of view of competition, hegemony, and
„imperialism,‟ it has certainly lost ground, but from the exponential point of
view, it has gained some…“ (Baudrillard via Iwabuchi, 2002: 41)
2.2 Penyiaran ala Jepang: dari Dipaksakan hingga Didambakan
Seperti telah dibicarakan sebelumnya, Jepang menjadikan Asia Timur dan
Asia Tenggara sebagai pasar terbesar bagi persebaran budaya mereka. Pembangunan
imaji Jepang seperti ini dimulai sejak masa kolonialisme melalui penerjemahan
berbagai teks budaya Jepang seperti sastra dan film. Pembangunan rutinitas pun juga
sudah dijalankan melalui siaran radio. Namun, pembangunan imaji melalui
penyebaran media seperti itu tidak akan pernah bisa terjadi sesuai dengan yang
98 Iwabuchi (2002), op.cit. hal. 41
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
80
diharapkan Jepang. Ien Ang (1996) mengatakan bahwa pembaca yang komprehensif
sesuai dengan harapan sang pencipta teks tidak pernah ada. Pembaca selalu
merupakan audiens yang aktif – baik sebagai subjek, maupun objek yang terkena
interpelasi dari teks tersebut. Pembaca dibayangkan selalu bisa merangkai makna
sendiri dari pertemuannya dengan teks, dan itu dibangun dari semesta wacana yang
tidak hanya berasal dari teks.99
Karena itu, penting untuk membandingkan dua proses
pembentukan imaji Jepang yang menghasilkan imaji bertolak belakang di dua
generasi. Pertama, penerjemahan media dan rutinitas penyampaiannya pada masa
kolonialisme. Kedua, rutinitas penayangan program-program Jepang pada penyiaran
televisi sejak masa Orde Baru yang menjadikan Jepang sebagai objek damba bagi
para penggemarnya. Di antara kedua periode tersebut, perlu juga dijelaskan
kembalinya Jepang ke Indonesia paska-penjajahan dan perannya pada pembangunan
ekonomi Indonesia.
2.2.1 Ingatan Terjajah dalam Hiburan
Penjajahan Jepang di Indonesia menyisakan ingatan negatif di masyarakat.
Masyarakat Indonesia memiliki kecenderungan dalam membandingkan penjajahan
Belanda dan Jepang dengan menyebut bahwa penjajahan Jepang yang tiga setengah
tahun lebih kejam dibandingkan yang 350 tahun. Selain dari kekejaman secara fisik
yang benar-benar dialami, kekejaman tersebut juga kadang diingat dari banyak dan
99 Ien Ang, Living Room Wars: Rethinking Media Audiences for a Postmodern World (London: Routledge, 1996), hal. 23
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
81
ketatnya pengaturan Jepang di masyarakat. Ketatnya pengaturan itu misalnya terlihat
dari bagaimana pemerintah Jepang memaksa masyarakat Indonesia untuk ikut
melakukan senam pagi – pukul 08.45 setiap harinya – sesuai dengan siaran radio
arahan tentara Jepang.100
Keterlibatan berbagai media tentu tidak bisa dilepaskan
sebagai aparatus propaganda Jepang.
Propaganda merupakan kewajiban pokok yang harus ada pada sistem
penjajahan Jepang demi menjalankan niatnya untuk “menyita hati rakyat” (minsbin
ba‟aku) dan “mengindoktrinasi dan menjinakkan mereka” (senbu kousaku). Oleh
karena itu mereka membentuk Sendenbu (Departemen Propaganda) di dalam badan
pemerintahan militer (Gunseikanbu) pada Agustus 1942.101
Di dalamnya terdapat
lima seksi, yaitu seksi administrasi, sastra, musik, seni rupa, dan seni pertunjukkan
(teater, tari, film). Masing-masing seksi dipimpin oleh orang Indonesia, dan berisi
orang-orang Indonesia yang spesialis di bidang-bidang tersebut, serta staf instruktur
dari Jepang untuk melatih mereka. Departemen ini juga memobilisasi para pemimpin
politik setempat, pemuka agama, penyanyi, musisi, aktor, dalang, penari, sampai
badut untuk melancarkan agenda propaganda mereka.102
Kriteria dari orang-orang
yang direkrut dilihat dari popularitas, pendidikan, dan penghormatan masyarakat
100 Jadwal siaran radio Jepang setiap harinya dapat dilihat dalam Aiko Kurasawa, Kuasa Jepang di Jawa: Perubahan Sosial di Pedesaan 1942-1945 (Jakarta: Komunitas Bambu, 2015), hal. 284. Sistem penyiaran seperti ini sama dengan budaya Calisthenic radio di Jepang yang sudah dijelaskan sebelumnya. 101 Ibid, hal. 247-49. Daftar organisasi propaganda yang berada di bawah Sendenbu dapat dilihat pada halaman 148, termasuk adanya organisasi Nihon Eigasha atau Nichi’ei (Perusahaan Film Jepang) dan Eiga Haikyuusha atau Eihai (Perusahaan Pendistribusian Film). 102 Di Yogyakarta sendiri, orang-orang yang dilibatkan misalnya Bekel Tembong (badut), Kadaria (pemain ketoprak), Bagio (badut dan pemain ketoprak), dan Mangun Ndoro (dalang).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
82
umum. Karena mereka juga harus mampu menjangkau masyarakat desa yang
kebanyakan tak berpendidikan dan buta huruf, media yang mereka anggap paling
efektif dalam membantu propaganda ini adalah film, seni panggung, kamishibai
(gambar kertas) dan musik. Jepang menganggap bahwa media tulis mungkin
berdampak bagi masyarakat kota yang terdidik, tetapi tidak ada gunanya bagi
masyarakat desa.103
Dalam hal ini, film memiliki dampak paling besar, baik secara kuantitas
maupun isi. Pesan yang ingin disampaikan melalui film disesuaikan dengan kebijakan
langsung dari pemerintah Tokyo. Studio yang menangani produksi dan penyebaran
film pun dipilih dari studio yang sudah mapan di Tokyo dengan strategi pembukaan
cabang baru di Jawa. Salah satu studio yang dipilih adalah Nichi‟ei. Selain
memproduksi film, pembangunan studio besar Jepang di Jawa ini juga digunakan
untuk mengontrol impor film asing yang masuk ke Indonesia. Pemerintah Jepang
melarang film dari negeri “musuh” untuk masuk, sebaliknya mereka menerapkan
kebijakan impor 52 film Jepang setiap tahun, juga rencana untuk mengimpor 32 film
China dan 6 film dari negara sekutu lain.
Film-film Jepang yang diimpor pun dipilih dengan ketat, dan terutama hanya
“film kebijakan nasional” Jepang yang boleh masuk. “Film kebijakan nasional” yang
dimaksud ini pada intinya adalah film-film yang menggambarkan penolakan terhadap
103 Laporan sukarelawan propaganda di Cirebon yang ditampilkan dalam Jawa Shinbun (Koran Jawa) pada 5 November 1944. Lihat Kurasawa (2015), hal. 256-257
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
83
budaya Barat dan pengunggulan budaya dan nilai-nilai yang khas Jepang. Di sini
peran Nichi‟ei menjadi penting karena perkembangan media film di Jepang juga
sedang mengalami kontrol ketat oleh pemerintah Jepang pada waktu yang sama.
Kurasawa (2015) membagi film-film yang dipertunjukkan di Jawa tersebut menjadi
enam kategori:
1. Film yang menekankan persahabatan antara bangsa Jepang dan bangsa-
bangsa Asia serta peran pengajaran Jepang.
2. Film yang mendorong pemujaan patriotisme dan pengabdian terhadap
bangsa.
3. Film yang melukiskan operasi militer dan menekankan kekuatan militer
Jepang.
4. Film yang menekankan kejahatan bangsa Barat.
5. Film yang menekankan moral berdasarkan nilai-nilai Jepang, seperti
pengorbanan diri, kasih sayang ibu, penghormatan terhadap orang-orang
tua, persahabatan yang tulus, sikap kewanitaan, kerajinan, dan kesetiaan.
6. Film yang menekankan pentingnya produksi dan kampanye perang
lainnya.104
Penyebaran film-film ini dilakukan oleh Jawa Eihai dengan cara
menyebarkan ke bioskop setempat, bioskop-bioskop yang sudah disita, memutar film
104 Ibid, hal. 259. “Film kebijakan nasional” seperti ini sejalan dengan perkembangan studio film di Jepang dan ideologinya yang sudah sempat dibahas di sub-bab sebelumnya. Namun, film-film yang diproduksi di Indonesia justru mendapat penekanan lebih mendalam pada nilai-nilai tersebut dibandingkan film-film yang dibawa langsung dari Jepang.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
84
di lapangan terbuka, serta mengadakan bioskop keliling. Hingga Desember 1943,
mereka telah mendirikan pangkalan operasional bioskop keliling di Jakarta,
Semarang, Surabaya, Yogyakarta, dan Malang. Mobilisasi masyarakat untuk
menonton pemutaran film di lapangan, maupun bioskop keliling dilakukan oleh
pejabat desa. Bagi penduduk desa, film menawarkan salah satu kesempatan yang
jarang untuk hiburan, pada saat kehidupan sulit dan penuh penderitaan. Kalau ada
pengumuman mengenai bioskop keliling, masyarakat rela berjalan jauh menuju
tempat yang ditetapkan. Pemutaran film di daerah pedesaan jarang mengalami
kesulitan menarik pengunjung. Kurasawa (2015) menyatakan bahwa para informan
dalam penelitiannya pernah melihat film sekurangnya sekali selama masa
pendudukan Jepang, dan biasanya ini merupakan pengalaman pertama mereka
menonton film.105
Mudahnya media film sebagai aparatus propaganda – karena dalam film
permasalahan bahasa tidak terlihat membuat Pemerintah Jepang meningkatkan
bentuk media ini. Terlepas dari penerimaan masyarakat yang masif – terutama di
pedesaan – terhadap film propaganda, masyarakat Indonesia pada intinya melihat
media ini sebagai bentuk hiburan baru, tanpa mengetahui bahwa mereka akan
“diindoktrinasi.” Justru tujuan indoktrinasi melalui pengontrolan tema-tema film
tidak begitu dirasakan secara langsung oleh masyarakat. Dengan mengevaluasi
agenda propaganda Jepang seperti ini, Kurasawa melihat bahwa tampaknya ada
105 Ibid, hal. 266
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
85
rencana indoktrinasi politik berjangka panjang serta sasaran propaganda jangka
pendek.106
Kecurigaan Kurasawa akan adanya rencana jangka panjang itu tampaknya
terbukti dalam perkembangan media film di Indonesia paska pendudukan Jepang.
Andjar Asmara, seorang sutradara film pada masa itu, melihat bahwa euforia film
yang dilihatnya pada masa pendudukan Jepang itu mendorongnya untuk berharap
bahwa film bisa memainkan peranan sebagai “alat pendidik rakyat yang sangat
penting” di kemudian hari. Arti masa pendudukan Jepang bagi hari depan perfilman
di Indonesia pun dinilai cukup penting oleh Usmar Ismail, seperti terlihat berikut:
“…Hawa baru jang sebenarnja, baik mengenai isi maupun mengenai proses
pembikinan film, datang pada waktu pendudukan Djepang. Barulah pada
masa Djepang orang sadar akan fungsi film sebagai komunikasi sosial. Satu
hal lagi jang patut ditjatat ialah terdjaganja bahasa, hingga dalam hal ini
kentara apa jang dikemukakan lebih dahulu, bahwa film mulai tumbuh dan
mendekatkan diri kepada kesadaran perasaan kebangsaan…” (Usmar Ismail:
“Sari Soal dalam Film-film Indonesia,” Star News, Th. III, No. 5, 25
September 1954, hal. 30)107
Di sini terlihat bagaimana imaji negatif penjajahan Jepang berkelindan dengan
imaji positif dari hal-hal yang bisa menjadi pembelajaran masyarakat Indonesia –
seperti pengaruh film. Ada perbedaan ingatan yang tercipta dari dua imaji yang saling
berkelindan tersebut. Yang perlu dicermati adalah bagaimana ingatan tersebut
termanifestasikan oleh waktu. Ingatan negatif dialami oleh orang-orang yang
mengalami secara langsung – generasi tua. Di sisi lain, generasi muda pada masa
106 Ibid, hal. 291 107 Salim Said, Profil Dunia Film Indonesia (Jakarta: Grafiti Pers, 1982), hal. 34
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
86
pendudukan Jepang adalah kelompok masyarakat yang memiliki kesempatan lebih
luas untuk tersentuh propaganda Jepang melalui bentuk-bentuk hiburannya.108
Generasi inilah yang bertahan cukup lama hingga Jepang kembali ke Indonesia dan
memulai proyek pembangunan imajinya yang lebih positif – semakin mengikis
ingatan akan imaji negatif.
2.2.2 Kembalinya Jepang ke Indonesia
Kekalahan Jepang pada Perang Dunia ke-II menyebabkan Jepang mengalami
banyak kerugian dan melepaskan pengaruh fisiknya terhadap negara-negara bekas
jajahannya. Baru pada 1951, ketika Jepang dan Sekutu, bersama negara-negara lain
(total berjumlah 48 negara) menandatangani San Francisco Treaty, Jepang bisa
memulai kegiatan internasionalisasinya.109
Sebagian besar isi dari perjanjian ini
terutama adalah misi rekonsiliasi – memberikan pampasan perang110
– Jepang
terhadap negara-negara jajahannya, dan pembangunan kerjasama dengan negara-
negara sekutu. Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, dalam hal pembangunan
kerjasama dengan sekutu tersebut Jepang memilih untuk banyak “menumpang” pada
Amerika.
108 Kurasawa (2015), op.cit, hal. 298. Dasar dari argument Kurasawa ini adalah seringnya media film, drama, kamishabai dipertunjukkan di sekolah, rapat-rapat local seinendan, Barisan Pelopor, dan Keibodan, yang kebanyakan anggotanya terdiri dari golongan muda. 109 Penandatanganan dilakukan pada 8 September 1951. Isi dari perjanjian tersebut dapat diakses pada https://treaties.un.org/doc/Publication/UNTS/Volume%20136/volume-136-I-1832-English.pdf 110 Di Indonesia sendiri, Jepang membutuhkan waktu hampir 6 tahun untuk menghitung pampasan perang ini, sehingga Jepang baru membuka hubungan diplomatik dengan Indonesia pada Januari 1958.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
87
Sampai pada awal 1970, kepemimpinan Amerika di bidang militer, politik,
dan ekonomi sangat mendominasi. Diikuti dengan “keajaiban ekonomi” yang terjadi
di Jepang, Amerika mempertahankan dominasinya tersebut dengan membangun
segitiga kooperasi ekonomi dan politik bersama Eropa Barat dan Jepang.111
Segitiga
ekonomi yang tercipta paska bebasnya pendudukan Jepang dari Amerika bertahan
hingga ideologi komunis di ASEAN membuat mereka harus menentukan sikap.
Amerika yang memutuskan bersikap keras dalam menolak komunis
memposisikan negaranya sebagai pendukung penghancuran ideologi komunis di
ASEAN – yang membuatnya berseteru dengan China dan meledaknya perang
Vietnam. Di sisi lain, Jepang mengambil posisi yang lebih netral. Jepang tidak begitu
menyukai pembentukan ASPAC (Asian and Pacific Council) pada tahun 1966
sebagai kelompok negara yang anti-komunis dan mendukung intervensi militer
Amerika di Vietnam (Grup ini bubar pada 1975). Jepang lebih mendukung
pembentukan ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) pada 1967 oleh
Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand yang bertujuan membangun
otonomi kolektif terhadap konfrontasi Perang Dingin.
Karena tujuannya yang berbeda, pendekatan yang dilakukan Jepang ke
negara-negara ASEAN dianggap lebih tidak ideologis dibanding dengan tujuan
Amerika. Jepang melihat bahwa agenda investasi di Asia Tenggara merupakan
111 Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Japan and Indonesia in a Changing Environment (Jakarta: CSIS, 1981), hal. 33-34
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
88
manifestasi keinginan mereka untuk berbagi pengalaman dalam memodernkan
Jepang. Hal ini seperti diungkap oleh Perdana Menteri Ikeda Hayato,
“…Our cooperation and assistance to these countries [in Southeast Asia],
rather than being guided by the Cold War motive of checking the inroad of
communism, are animated by our desire to fellow Asians to share with them
the experience we gained in the process of modernizing our nation…”112
Di Indonesia, Jepang justru berutang pada terjadinya gerakan 30 September
PKI (Partai Komunis Indonesia). Indonesia yang sebelumnya sangat enggan
menerima investasi modal asing demi memperjuangkan kemandirian ekonomi
nasional, mulai membuka jalan bagi masuknya bantuan modal dan bantuan ekonomi
dari Barat, terutama Jepang. Kurasawa, di bukunya yang berjudul Peristiwa 1965:
Persepsi dan Sikap Jepang (2015), menyatakan bahwa Jepang dapat menikmati
kemakmurannya karena berdiri di atas korban satu juta orang tak bersalah yang tewas
akibat pembunuhan massal. Ekspansi ke Asia Tenggara dan posisi Indonesia sebagai
pasar terbesar investasi modal dan ekspor Jepang ini yang akhirnya membuat Jepang
menjadi salah satu kekuatan ekonomi terbesar di dunia.113
Sejak dibukanya politik pintu terbuka Indonesia melalui Peraturan Penanaman
Modal Asing (1967), investasi Jepang membanjiri industri-industri di Indonesia.
Jepang menjadi penanam modal paling besar terutama di bidang industri pengolahan.
Dominasi Jepang di sektor ini terutama disebabkan oleh ketergantungan pengusaha-
pengusaha Indonesia terhadap pembiayaan pabrik, mesin, peralatan dan suplai, serta
112 Dennis T. Yasutomo, Japan and the Asian Development Bank (New York: Praeger, 1983), p.27 via Iriye (2001), op.cit, hal. 20 113 Aiko Kurasawa, Peristiwa 1965: Persepsi dan Sikap Jepang (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2015), hal. viii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
89
tenaga teknis dan staf manajerial dari negara-negara yang lebih berpengalaman.114
Investasi Jepang merambah semua sektor industri selain pertambangan yang
didominasi Amerika. Di sektor manufaktur, Jepang menjadi investor terbesar. Tidak
heran jika akhirnya merek barang dari Jepang lebih mudah ditemui dibanding
Amerika maupun Eropa, karena Jepang menguasai sektor manufaktur. Alasannya
adalah bahan mentah dan tenaga buruh yang murah.115
Hal lain yang menyebabkan Indonesia menjadi target investasi potensial bagi
Jepang adalah adanya kemungkinan untuk memasarkan hasil olahan industri-industri
tersebut di pasar domestik – Indonesia. Potensi ini yang sulit didapatkan di Singapura
atau Malaysia karena jumlah penduduk yang tidak sebanyak Indonesia – sehingga
potensi pasar pun lebih kecil di sektor domestik, dan lebih memberatkan pada potensi
ekspor.116
Namun, justru karena potensi Indonesia untuk memasarkan hasil olahan
industri di pasar domestik saja, perdagangan yang terjadi antara Indonesia dan Jepang
terwujud secara asimetris. Tingkat ketergantungan Indonesia kepada Jepang dalam
bidang perdagangan jauh lebih besar dibandingkan dengan tingkat ketergantungan
Jepang terhadap Indonesia. Jumlah ekspor impor yang tidak berimbang menjadi
alasan dari tidak berimbangnya neraca perdagangan ini. Hal ini berbeda dengan
114 Mayling Oey, “Organisasi Perusahaan Jepang: Suatu Analisa Sosiologis” dalam Prisma,Vol. 5, Mei 1983 (Jakarta: LP3ES), hal. 44 115 Widiarsi Agustina, et. al., Massa Misterius Malari, Rusuh Politik Pertama dalam Sejarah Orde Baru (Jakarta: Tempo Publishing, 2014), hal.13 116 Jun Onozawa, “Kebijaksanaan Merebut Teknologi” dalam Prisma (1983), op.cit, hal. 56
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
90
Singapura atau Malaysia yang melakukan kebijakan ekspor pada hasil olahan
industrinya.117
Tidak imbangnya neraca perdagangan antara Indonesia-Jepang menjadi alasan
munculnya berbagai demonstrasi terhadap Jepang di tahun 1970-1974.
Momentumnya adalah kunjungan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka pada 14-17
Januari 1974. Unjuk rasa mahasiswa itu memprotes semakin besarnya aliran modal
asing, yang dianggap memeras ekonomi Indonesia dan membunuh pengusaha lokal.
Puncaknya adalah ketika sekelompok orang mulai membakar dan menjarah toko-toko.
Mereka merusak pabrik Coca-cola dan showroom mobil Toyota. Peristiwa ini
kemudian dikenal sebagai Peristiwa Malari – akronim dari Malapetaka 15 Januari.118
Tempo (2014) melacak bahwa ada pihak pemerintah yang menunggangi
gerakan mahasiswa dan memobilisasi kerusuhan tersebut – terutama keterlibatan Ali
Moertopo dan Soemitro sebagai orang dekat Soeharto. Malari, yang merupakan rusuh
politik pertama di era Orde Baru, dijadikan Soeharto sebagai kesempatan untuk
mengukuhkan kekuasaannya hingga 24 tahun kemudian. Ia meringkus semua yang
dianggap berseberangan dengannya. Pers mulai diberangus dan diawasi ketat, dan
117 Untuk tabel jumlah ekspor-impor Jepang-Indonesia dapat dilihat pada Pande Radja Silalahi, “Penataan Kembali Hubungan EKonomi Indonesia-Jepang: Suatu Tuntutan dan Kebutuhan” dalam Prisma (1983), hal. 5-7 118 Agustina (2014), op.cit. hal. 4
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
91
kegiatan politik menjadi barang haram di kampus-kampus. Kekuasaan Soeharto
dikukuhkan atas nama stabilitas nasional.119
Sejak saat itu, bercokolnya pengaruh kuat Jepang di Indonesia sebagai sebuah
permasalahan tidak lagi diangkat ke permukaan. Pemerintah Orde Baru
melanggengkan besarnya investasi Jepang kemudian. Produk Jepang mulai diterima
kembali di masyarakat. Kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap peran Jepang
dalam perkembangan ekonomi meningkat pesat. Berdasarkan poling yang dilakukan
beberapa koran Jepang, 88% responden menyatakan setuju atas kontribusi Jepang
pada pertumbuhan ekonomi. 74,5% dari responden bahkan menyatakan bahwa
kekejaman yang pernah dilakukan militer Jepang di Indonesia tidak menjadi
rintangan bagi terciptanya hubungan baik dengan Indonesia. Sehingga, 85% dari
responden pun menyatakan bahwa Jepang telah menjadi negara yang bisa diandalkan
di Asia.120
Penerimaan terhadap imaji Jepang semakin kuat pada masa ini. Satu hal
yang tidak bisa dilepaskan dari penerimaan kembali adalah peran media yang
dikontrol dengan ketat oleh pemerintah. Salah satunya adalah televisi.
2.2.3 Membangun Mimpi dalam Rutinitas Televisi
Sejak kehadiran televisi di Indonesia pada 1962, penyiarannya tidak pernah
bebas dari tangan pemerintah. Televisi adalah proyek pemerintah yang “penuh
119 Ibid, hal. 112 120 Hasil survei ini disampaikan oleh beberapa koran, yaitu Asahi Shinbun (Agustus 1995), Yomiuri Shinbun (Mei 1995 dan September 1996), serta Nihon Keizai Shinbun (April 1997). Lihat Sueo Sudo, The International Relations of Japan and South East Asia: Forging a New Regionalism (London: Routledge, 2002) hal. 54
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
92
muatan” karena hubungannya yang erat dengan pemerintah dan koneksi bisnis elite
keluarga istana.121
Menurut Kitley (2001), televisi di Indonesia bisa dipahami sebagai
bagian “proyek kebudayaan nasional” Indonesia, yaitu serangkaian kegiatan yang
diarahkan dan disponsori negara yang dirancang untuk secara simbolik memberi
legitimasi bagi identitas kebudayaan nasional Indonesia.122
Siaran televisi pertama Indonesia pada Agustus 1962 adalah siaran perayaan
peringatan Hari Kemerdekaan ke-17, dan liputan 12 hari Asian Games. Penggerak
utama dalam pengaturan-pengaturan awal televisi adalah Menteri Penerangan Maladi.
Pada 1959, lobi Maladi tentang televisi kepada pemerintah tepat waktu untuk
memulai persiapan penayangan Asian Games 1962 – belajar dari kesuksesan Jepang
dalam menggunakan media televisi pada 1958. Tim awal yang dibentuk Maladi untuk
menciptakan televisi sebagai bagian dari proyek Asian Games ini kemudian
diberangkatkan ke Jepang untuk mengikuti tiga bulan pelatihan intensif dengan NHK.
Anggota awal tim yang diberangkatkan ke Jepang ini juga beberapa merupakan
121 Philip Kitley, Konstruksi Budaya Bangsa di Layar Kaca, terj. (Jakarta: Institut Studi Arus Informasi, 2001), hal. 10 122 Seperti dikutip oleh Philip Kitley (2001), menurut pasal 32 UUD 1945, kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budinya rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah di seluruh Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju kearah kemajuan adab, budaya dan persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
93
orang-orang yang sudah pernah bekerja di bawah Sendenbu pada masa pendudukan
Jepang.123
Penciptaan televisi di Indonesia juga tidak bisa dilepaskan dari keterlibatan
Jepang (terutama NHK) dalam membantu kelancarannya. Selain orang-orang
Indonesia yang memang sudah pernah bekerja di Sendenbu, NHK juga mengirimkan
sekelompok teknisi dan reporter untuk mendampingi tim Indonesia selama Asian
Games. Mereka ini juga yang bertugas mengambil gambar dan mengirimkannya ke
Jepang untuk siaran NHK. Asian Games menjadi proyek pertama siaran televisi
Indonesia, sekaligus siaran internasional pertama – disiarkan di Jepang, Thailand, dan
Filipina. Pada waktu itu baru Jepang (1953), Filipina (1953), dan Thailand (1954)
yang memiliki televisi, sehingga penyiaran Asian Games ini juga menyediakan bagi
Indonesia pentas internasional untuk menampilkan diri pada bangsa-bangsa
sekitarnya sebagai bangsa yang modern, berkembang dengan cepat, dan canggih
dalam perkara teknologi.124
Stasiun televisi pertama Indonesia adalah TVRI (Televisi Republik Indonesia).
TVRI ini juga yang sampai pada 1980-1990 berkuasa mengeluarkan ijin
penyelenggaraan siaran televisi swasta untuk pertama kalinya (Rajawali Citra
Televisi (RCTI) – 1987, dan Surya Citra Televisi (SCTV) – 1990. Sejalan dengan
peningkatan resepsi televisi di masyarakat Indonesia, terutama akibat peraturan
123 Ibid, hal. 28. 124 Ibid, hal. 35. Daftar sembilan stasiun siaran televisi di daerah-daerah Indonesia dan juga jumlah jam siarannya dapat dilihat pada halaman 40-43. Yogyakarta sendiri mulai mendapatkan siaran televisi pada 17 Agustus 1965 dengan jam siaran yang setara dengan siaran di Jakarta.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
94
Soeharto untuk mewajibkan adanya televisi di setiap desa pada tahun pertengahan
1970an,125
konten hiburan menjadi salah satu siaran yang paling ditunggu oleh
masyarakat. Menurut Direktorat Televisi pada 1972, konten kebudayaan/hiburan di
TVRI menempati prosentase 40% dari total penyiaran mereka. Pentingnya konten
hiburan itu yang membuat sepertiga lebih dari mata acara adalah film dan hampir
semua film adalah impor serta menggunakan dialog dalam bahasa Asing.126
Berkat
hadirnya film-film impor ini – yang sebagian besar merupakan impor dari Amerika
dan Inggris – serta dimulainya budaya iklan di televisi, budaya konsumerisme
internasional pun mulai mempengaruhi banyak sisi masyarakat.127
Kitley (2001) membagi pengaruh perkembangan televisi Indonesia menjadi
dua fase, yaitu periode yang dimulai dengan pendirian televisi pertama dan berakhir
dengan kemunculan penyelenggara siaran swasta pertama. Fase berikutnya adalah
fase masifnya siaran televisi swasta. Perbedaan dua fase ini dilihat dari kuatnya
kontrol pemerintah pada siaran televisi – kuat di TVRI, dan lemah di televisi
swasta.128
Seperti yang ia bahas dalam penelitiannya, wacana-wacana yang berkisar
pada siaran televisi di periode yang kuat kontrol pemerintahnya adalah wacana (1)
pemirsa sebagai bangsa, yang menampilkan kekuasaan terpusat negara; (2) Pemirsa
sebagai keluarga, yang menampilkan usaha pembangunan gaya hidup baru; dan (3)
125 Saya S. Shiraishi. Doraemon Goed Abroad dlm Craig (2000), op.cit. Hlm 300, ini terutama disebabkan peluncuran Satelit Palapa pada tahun 1976 yang membuat siaran televisi mulai dapat dijangkau ke seluruh Indonesia. 126 Kitley (2001), op.cit. hal. 43 127 Sampai akhirnya peraturan pelarang Iklan pun dibuat untuk mengontrol TVRI, dan ini membuat TVRI mengalami masalah finansial, terutama minimnya sponsor. 128 Ibid, hal, 79
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
95
Pemirsa Kekanak-kanakan, yang menampilkan usaha penciptaan pengaturan sebagai
“Bapak”. Selain wacana dari pemerintah, para akademisi dan jurnalis juga
menampilkan televisi sebagai wacana yang menciptakan Pemirsa sebagai Warga
Masyarakat.129
Munculnya televisi swasta untuk pertama kalinya dimotori oleh RCTI pada
1987 – secara resmi pada 1989.130
Kehadirannya merubah paradigma televisi, dan
membuat TVRI sebagai televisi pemerintah menjadi kalah pamor. Televisi swasta
adalah perusahaan komersial yang harus menghasilkan laba, sehingga RCTI
membayangkan pemirsanya sebagai sesuatu yang harus direbut dari TVRI supaya
pemasang iklan siap menggunakan saluran mereka. Untuk merebut pemirsa, RCTI
bereksperimen dengan membeli acara-acara dari Amerika, dan ternyata eksperimen
ini berhasil dan membuat acara-acara tersebut memiliki rating yang tinggi. Secara
umum, RCTI menyusun pemirsanya secara nasional, dan bahkan internasional,
sehingga porsi siaran berkonten internasional menduduki porsi tinggi. Di sini lah
televisi mulai menyampaikan gagasan pemirsa sebagai Warga Negara Dunia.
Agendanya untuk mengejar keuntungan semakin terpenuhi ketika biaya impor
konten televisi ternyata lebih murah dibanding biaya produksi acara lokal. TVRI yang
memiliki peraturan minimal 80% siarannya adalah produksi sendiri mengalami
kekalahan telak terhadap televisi swasta. Bahkan televisi swasta kemudian membujuk
129 Untuk deskripsi lebih jelasnya, lihat Kitley (2001), hal . 84-101 130 Ade Armando, Televisi Indonesia di Bawah Kapitalisme Global (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2016), hal. 152-53
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
96
TVRI untuk mengikuti cara yang sama dalam mempertahankan pemirsanya dari
bujukan nilai-nilai yang sangat konsumtif dan global.131
Masuknya siaran televisi pada fase kedua seperti ini menghancurkan
monopoli pemerintah terhadap siaran televisi. Hal ini juga diikuti dengan munculnya
teknologi video (mulai 1980an) yang bisa disewa dengan harga murah dan teknologi
televisi satelit transnasional (karena peluncuran satelit Palapa 1976) yang bisa
ditangkap oleh orang-orang yang mampu membeli teknologi parabola. Perkembangan
semacam ini menyeret pemerintah Indonesia untuk menghadapi fakta bahwa bangsa
Indonesia tidak bisa menutup diri dari proses, tekanan, dan pengaruh budaya luar.
Kuatnya pengaruh teknologi-teknologi baru ini membuat pemerintah mengambil
keputusan untuk memperkenalkan televisi swasta. Ini kemudian yang menggantikan
monopoli televisi oleh pemerintah: monopoli televisi oleh pihak swasta yang
bernegosiasi dengan pemerintah. Departemen Penerangan – yang berada di bawah
Menteri Penerangan Harmoko – pada tahun 1992-1993 akhirnya mengambil
keputusan untuk membuka kran pelayanan televisi dan perlunya mengartikulasikan
pengaruh asing. Keputusan itu dimaksudkan untuk memerangi infiltrasi hasil-hasil
budaya internasional yang sangat tidak diinginkan, tidak diminta, tetapi tidak bisa
dibendung.132
131 Kitley (2001), op.cit, hal. 108 132 Ibid, hal. 238-48
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
97
Fase kedua ini menyiratkan tidak terbendungnya pengaruh dari tayangan-
tayangan televisi impor. Penonton meresepsi tayangan televisi sesuai dengan caranya
masing-masing, dan tidak dapat lagi diawasi oleh pemerintah. Walaupun
pengaruhnya tidak selalu negatif – seperti yang dinyatakan Saya Shiraishi dalam
analisisnya terhadap resepsi kartun Doraemon di Indonesia133
– kesatuan
pembentukan jati diri nasional untuk membangun komunitas terbayang tak lagi
berfungsi dengan maksimal.
Menurut beberapa narasumber yang saya temui, pembangun kecintaan
terhadap budaya populer Jepang di Indonesia dimulai dari kecintaan mereka terhadap
tayangan televisi impor Jepang yang disiarkan oleh stasiun televisi swasta.
Pembangunan kecintaan itu yang akan terus dibangun ketika para pembaca film
televisi impor Jepang telah masuk pada fase ketiga perkembangan teknologi
penyiaran: era internet. Argumen saya akan adanya fase ketiga ini terutama berkaitan
masifnya pembangunan kecintaan pecinta budaya populer Jepang melalui rutinitas
dalam menikmati konten di media internet. Di fase ketiga ini, orang bisa menonton
kembali siaran anime Dragon Ball yang dahulu disiarkan di Indosiar, dan bahkan
mengikuti seri tersebut hingga kemunculan seri terbarunya pada 2015. Sampai di sini,
saya menyimpulkan bahwa pengaruh impor film televisi Jepang di Indonesia menjadi
fondasi bagi terbentuknya hobi mencintai budaya populer Jepang dan juga bentuk-
133 Lihat Saya S. Shiraishi. Doraemon Goed Abroad dlm Craig (2000), op.cit. Hlm 300
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
98
bentuk pengekspresian hobi-hobi tersebut di fase ketiga yang terjadi sampai sekarang
ini.
2.3 Kesimpulan: Real-World yang Tak (Akan) Sampai
Pembahasan terhadap usaha impor model kognisi dan juga pembentukan
mekanisme pemberian referen secara otomatis di atas menampilkan kekayaan
jaringan kuasa yang saling berkelindan dalam proses menciptakan Jepang di
Indonesia. Usaha ini mencerminkan pembentukan Real-World yang diharapkan dapat
berkonfrontasi dengan subjek pembaca film di Indonesia untuk membentuk Possible-
World yang diharapkan.
Perlu diingat terlebih dahulu bahwa pembentukan Possible-World hanya bisa
terjadi melalui konfrontasinya dengan Real-world yang beredar di sekitar subjek
pembaca teks-film. Dengan ini kita tidak boleh menafikan pengalaman subjektif dari
pembaca film-teks di Indonesia yang turut membangun Real-world yang independen
atas jaringan kuasa tersebut. Pembaca film-teks hanya akan melakukan abduksi dari
semesta pengetahuan yang bisa dan pernah terpapar padanya. Semesta pengetahuan
yang tak pernah sampai – seperti kebijakan-kebijakan pemerintah Jepang, atau
sejarah bentuk-nilai film Jepang seperti yang dijelaskan di atas – pada pembaca film-
teks tak akan berpengaruh banyak pada cara ia menginterpretasikan pertemuannya
dengan film.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
99
Dapat disimpulkan bahwa jaringan kuasa dan proses historis seperti yang
dijelaskan di atas tidak pernah bisa sepenuhnya menjadi Real-world dari pembaca
film teks Jepang di Indonesia. Apa yang terjadi di struktur atas dan historis dari
proses penciptaan Jepang di Indonesia tak akan dapat secara penuh memaksakan
kuasanya untuk membentuk Possible-World para pembaca film-teks di lapisan
masyarakat.
Real-world menjadi penting pada penelitian ini karena potensinya untuk bisa
sejalan dengan interpretasi para pembaca film-teks. Setelah bertemu beberapa
narasumber, hal seperti nilai-nilai dalam film yang mereka interpretasikan – secara
tanpa paksaan – memiliki kemiripan dengan nilai-nilai film Jepang, walaupun mereka
tak pernah membaca literatur mengenai sejarah film Jepang seperti yang disampaikan
di atas. Oleh karena itu, yang menarik untuk dilihat pada bab berikutnya adalah
pengalaman nyata dan penyebaran pengetahuan budaya dan teks-teks yang terjadi di
masyarakat Indonesia – dalam hal ini khususnya Yogyakarta – yang dapat memantik
terbentuknya interpretasi yang nyaris sejalan tersebut. Dengan kata lain, pertanyaan
yang akan dijawab berikutnya adalah: Model Reader macam apa yang terbentuk
melalui konfrontasinya terhadap Real-world yang khas Indonesia? Dan mengapa
mereka bisa independen dari Real-world yang dipaksakan Jepang, atau dengan kata
lain, Possible World apa yang tercipta di Indonesia?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
100
BAB III
BERKENALAN DENGAN JEPANG BARU
Pertemuan pembaca dengan film televisi Jepang tidak semata-mata membuat
semua pembacanya menilai film tersebut dengan cara yang sama. Hal ini bergantung
kepada seberapa jauh para pembaca tersebut menempatkan aktivitas menonton film
pada rutinitas keseharian mereka – yaitu pembentukan pengetahuan (ensiklopedi)
yang ia bawa. Pembaca yang tidak mengalami kepenuhan dalam menonton rangkaian
film televisi Jepang tersebut tentu akan mengeluarkan penilaian yang berbeda dengan
pembaca yang memenuhi keseharian dengan menempatkan aktivitas menonton ini
sebagai sentralnya.
Berangkat dari argumen ini, pembahasan atas data yang diungkap narasumber
pada bab ini akan dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama akan berisi pemaparan
atas kesejarahan pembaca film di Yogyakarta dan proses bagaimana para pembaca ini
bisa menempatkan kegiatan membaca film-teks Jepang ini dalam posisi sentral di
tengah kehidupannya. Pada bagian ini, cara mereka dalam menanggapi kehadiran
teknologi baru ini sebagai sesuatu yang khas pun akan terlihat. Bagian kedua akan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
101
memaparkan nilai-nilai yang terbentuk dari pertemuan pembaca dengan film-teks dan
pengetahuan yang terbentuk di dalamnya.
3.1 Menjadi “Jepang” Sedari Kecil
Data dalam penelitian ini didapatkan melalui wawancara terhadap lima orang
penggiat Jepang-jepangan di Yogyakarta, yaitu Kira, Geyol, Koh Oyon, Xakha, dan
John Switch.134
Kira135
, yang merupakan mantan ketua komunitas Atsuki J-Freak136
,
adalah alumni S1 Program Studi Sastra dan Bahasa Jepang Universitas Gadjah Mada
(UGM). Lahir dan besar di Yogyakarta, pemuda kelahiran 1990 ini sempat mengikuti
berbagai pelatihan guiding oleh Dinas Pariwisata, sehingga ia sering mendampingi
orang Jepang yang berkunjung ke Yogyakarta. Darah sebagai pemandu wisata yang
ia miliki ternyata menurun dari ayahnya yang sudah menjadi pemandu wisata
berbahasa Jepang sejak ia belum lahir. Ia menceritakan bagaimana tamu-tamu
ayahnya merupakan orang-orang Jepang yang berkunjung ke Indonesia khusus untuk
menemui Gesang di Solo – karena popularitas Gesang yang cukup besar di Jepang.
Karena itu, perkenalan pertamanya dengan Jepang – dan juga pada Gesang – adalah
134 Kelimanya bukan nama asli, melainkan nama pena mereka yang lebih dikenal di dalam lingkaran-lingkaran Jepang-jepangan. Kira dan John Switch merupakan nama yang dipilih sendiri berdasarakan kesukaan terhadap karakter yang pernah mereka tonton, dan nama ini hanya digunakan di dalam lingkaran Jepang-jepangan. Ketika ada orang yang mengenali mereka berdua dengan nama tersebut, dapat dipastikan bahwa orang itu merupakan orang yang pernah berkecimpung di dunia Jepang-jepangan. Di sisi lain, Geyol, Koh Oyon, dan Xakha merupakan nama yang juga dipakai ketiganya di luar lingkaran-lingkaran ini. Mereka bertiga memilih tidak menciptakan nama pena tersendiri di dalam dinamika Jepang-jepangan. 135 Wawancara dilakukan pada tanggal 6 dan 31 Agustus 2016 136 Mengenai komunitas ini bisa dilihat dalam http://atsuki-jfreak.blogspot.co.id/ atau https://www.facebook.com/Atsuki-J-freak-Community-180324222019464/
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
102
melalui pertemuan terhadap tamu-tamu Jepang sewaktu ia masih digendong. Sewaktu
kecil ia juga sering mendapat mainan-mainan dari tamu-tamu tersebut – satu yang ia
ingat adalah beberapa mainan Ultraman yang sekarang sudah “entah kemana”.
Sekarang ia mendirikan warung makanan Jepang bernama Peko-peko di Lippo Plaza
Yogyakarta, dan disibukkan dengan kegiatannya mengisi stand-stand makanan di
berbagai acara Jepang-jepangan.
Narasumber kedua adalah Geyol137
, yang sewaktu berumur lima hingga
sepuluh tahun mengenyam pendidikan sekolah dasar di Jepang bersama orang tuanya.
Mantan anggota Yogyakarta Tokusatsu Fans Club (YTFC) dan Jogja-Tokusastsu (J-
Toku) Special Effect Studio ini merupakan alumni program Diploma 3 Bahasa Jepang
UGM yang kemudian melanjutkan studinya pada program ekstensi Sastra Jepang dan
sempat mendapat kesempatan pertukaran pelajar selama 1 tahun di daerah Hiroshima.
Pemuda asal Lampung ini sudah datang ke Yogyakarta sejak SMA, namun baru
mulai mengenal komunitas Jepang-jepangan saat kuliah. Dengan memiliki
kemampuan bahasa Jepang N1138
, ia beberapa kali bekerja sebagai interpreter orang
Jepang, baik di Yogyakarta maupun Jakarta. Karena kemampuannya ini juga, ia
mendapat posisi penting ketika bergabung ke komunitas Jepang-jepangan, karena
komunitas ini membutuhkan translasi atas film-film Jepang yang mereka tonton.
Kemampuan bahasa Jepang menjadi kemewahan yang ia miliki yang kemudian
137 Wawancara dilakukan pada tanggal 19 Oktober 2016 138 Level tertinggi pada tes kemampuan bahasa Jepang (JLPT – Japanese Language Proficiency Test)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
103
mempengaruhi posisinya di komunitas. Saat ini, ia membuka warung okonomiyaki
bernama Kote-kote dan disibukkan dengan kegiatannya sebagai interpreter.
Yang ketiga, Koh Oyon139
, ia adalah pemilik Pengok rental VCD di daerah
Langensari. Rental ini menjadi rujukan pertama sejak 2003-2004 bagi para pecinta
Jepang-jepangan dalam mendapatkan film-film dengan koleksi paling lengkap di
Yogyakarta dan informasi mengenai film-film terbaru secara cepat – tentu saja
sebelum menjamurnya warung internet yang menyediakan film-film dalam bentuk
data, dan ini juga yang menurut Koh Oyon menyebabkan omzet usahanya menurun
drastis dan harus tutup pada 2014. Pemuda kelahiran 1976 ini besar di Magelang dan
berpindah ke Yogyakarta untuk berkuliah di jurusan Arsitektur Universitas Atma
Jaya pada 1994. Setelah sukses dengan Pengok rental VCD, ia kemudian membuka
usaha Otaku Hobby Shop, yang mengimpor mainan hobi Jepang sesuai pesanan dan
menjadi tempat paling lengkap untuk membeli mainan seperti Gundam yang
digunakan oleh komunitas Gunpla140
– usaha ini juga tutup ketika maraknya toko
berbasis online yang khusus menjual barang-barang dari Jepang seperti
titipjepang.com. Sekarang ia disibukkan dengan membuka warung ramen Otaku
Ramen.
139 Wawancara dilakukan pada tanggal 26 Oktober 2016 140 Komunitas Gunpla atau Gundam Play merupakan komunitas pecinta miniatur robot dari anime Gundam. Seri awalnya yang dulu sempat ditayangkan di Indosiar adalah Gundam Wing yang menceritan 5 pilot mobile suit (robot raksasa yang dikendalikan manusia) untuk melindungi galaksi yang sudah terpecah-pecah ke beberapa aliansi. Permainan Gunpla, atau membangun miniatur mainan Gundam, ini dikompetisikan di berbagai negara.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
104
Berikutnya adalah Xakha.141
Ia adalah mahasiswa angkatan 2013 S1 program
studi Sastra Jepang UGM yang besar di Yogyakarta. Xakha aktif di berbagai acara
Jepang-jepangan di Yogyakarta, terutama sebagai panitia dan pemberi jaringan bagi
acara tersebut untuk mendatangkan tamu dari Jepang melalui teman-temannya di
Jakarta. Ia menjadi salah satu penggagas utama acara Jogja Ora Ngidol142
selama dua
tahun berturut-turut dan rutin menjadi panitia bagi acara CLAS:H143
region
Yogyakarta. Ia juga yang mendatangkan pengisi utama acara Mangafest144
yaitu para
penyiar Japanese Station145
dari Jakarta. Ia bergabung dengan berbagai komunitas
Jepang-jepangan di Yogyakarta, baik secara resmi maupun tidak. Sekarang ia
disibukkan dengan bekerja di kantor titipjepang.com dan berusaha menyelesaikan
studi tingkat akhirnya di UGM.
Yang terakhir adalah John Switch146
yang lahir di Jakarta pada 1990 namun
besar di Yogyakarta. Sebagai anak dari seorang seniman ibukota, bakat seninya ia
gunakan untuk menciptakan kostum dan pernak-pernik cosplay dan membawa dia
141 Wawancara dilakukan pada tanggal 26 Oktober 2016 142 acara dengan tajuk utama Idol Group dengan menampilkan berbagai idol group Indonesia dan Yogyakarta yang menampilkan lagu-lagu idol group Jepang 143 Cosplay Live Action Show: Hybrid (CLAS:H) adalah kompetisi cosplay tahunan secara nasional yang dimulai sejak tahun 2011. Tahun ini acara ini akan diadakan di Bandung, Medan, Yogyakarta, Surabaya, dan berakhir di Jakarta sebagai finalnya. Kompetisi ini bekerja sama langsung dengan Indonesia Cosplay Grand Prix (ICGP) dan World Cosplay Summit (WCS) sehingga setiap tahunnya akan memberangkatkan pemenang CLAS:H sebagai peserta WCS di Jepang. Perwakilan dari Indonesia berhasil menjadi juara umum di WCS 2016. 144 Acara festival komik – lebih ke Manga yang menegaskan komik-komik dengan pengaruh dari Jepang 145 Stasiun Radio yang secara penuh menayangkan konten Jepang dan rutin merilis berita online mengenai Jepang. Para penyiar ini sudah jadi semacam artis tersendiri yang seringkali diundang untuk mengisi acara Jepang-jepangan di berbagai kota di Indonesia, dan terkadang juga melakukan siaran secara langsung di acara-acara tersebut. 146 Wawancara dilakukan pada tanggal 18 November 2016
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
105
masuk ke Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Kostum yang ia ciptakan berhasil
dibawakan oleh cosplayer Yogya untuk memenangkan CLAS:H 2014, sehingga ia
memutuskan untuk turun ber-cosplay di CLAS:H pada 2015 dan memenangkannya.
Keberangkatannya ke Jepang untuk mewakili Indonesia di WCS membuat ia
memiliki jaringan luas pada berbagai cosplayer di berbagai belahan dunia, dan
membuatnya mampu mengundang cosplayer-cosplayer tersebut sebagai tamu di
acara-acara di Indonesia. Kedekatannya dengan berbagai cosplayer luar negeri juga
membantunya dalam menyelesaikan tugas akhirnya di ISI dengan menciptakan helm
besi prajurit Jepang pada masa perang saudara. Sekarang ia masih terus berkarya dan
mencipta bersama timnya yang bernama Eternal Creativity dengan menjual kostum
dan perlengkapan cosplay. Ia juga disibukkan dengan kegiatannya sebagai juri
cosplay dan pengisi di berbagai workshop.
Data yang didapat dari wawancara terhadap lima narasumber tersebut akan
disampaikan dalam bagian pertama bab III ini dengan membaginya menjadi tiga
bagian. Bagian pertama berisi perkenalan awal dengan sesuatu yang mereka namai
dengan “Jepang” sedari kecil. Bagian kedua menarasikan bagaimana “Jepang” ini
semakin dikuatkan dengan kegiatan mereka dalam kegiatan-kegiatan di waktu luang
hingga dewasa. Bagian ketiga akan masuk kepada bentuk film-teks macam apa yang
mereka minati sebagai pembawa objek “Jepang” ini.
3.1.1. Berjabat Tangan dengan Jepang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
106
Ketika narasumber ditanya mengenai film televisi Jepang yang paling
berkesan, mereka semua menyebutkan kembali judul tayangan televisi yang mereka
nikmati sewaktu mereka kecil. Beberapa menyebutkan Satria Baja Hitam dan judul
film tokusatsu lainnya seperti Jetman, yang lain menyebutkan anime seperti Digimon,
dan beberapa kemudian juga menyebutkan beberapa judul dorama seperti Love
Generation. Menariknya, judul-judul yang disebut ini adalah judul-judul yang
termasuk dalam film-film Jepang yang pertama kali masuk ke televisi Indonesia. Kira
ingat dengan jelas jam tayang serial satria baja hitam yang ia tonton sewaktu kelas 1
SD, yaitu pukul setengah empat sore di RCTI. Ia juga ingat dengan rutinitasnya setiap
hari minggu pagi, yaitu menonton Indosiar sejak pukul 6 pagi dengan sailormoon-
nya.147
Ketika ditanya mengapa anime ia sebut sebagai jenis produk budaya populer
Jepang yang paling berpengaruh, John Switch mengatakan:
“aku akuin, yang pertama kali muncul di Indonesia tu anime […] anak-anak
tu males baca, pasti lebih suka nonton. Sekarang kalau hari minggu apa yang
ditunggu? Anime kan..”148
Ia bahkan menambahkan dengan bercerita seberapa jengkelnya ia ketika
terkadang Indosiar menayangkan Gelar Tinju Indonesia di hari Minggu dan
memotong jadwal siaran digimon yang sudah ia tunggu-tunggu. Kira juga merasakan
hal yang sama ketika televisi di rumahnya belum mampu mendapat siaran stasiun
TV7 sehingga belum mampu menikmati beberapa anime yang disiarkan di sore hari.
147 Wawancara dengan Kira 148 Wawancara dengan John Switch
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
107
“Hikaru no Go saya gak ngikuti, itu TV7, tapi tempat saya karena gak ada
TV7 makanya saya gak bisa nonton. Sedih. TV7 tu mulai saya SMP kalau gak
salah.”149
Namun, Koh Oyon yang berusia paling tua di antara narasumber yang lain
justru menyatakan bahwa awal kesukaan dia justru bukan pada anime yang disiarkan
oleh televisi swasta. Ia sudah mulai menikmati produk budaya populer Jepang sejak
Oshin disiarkan di TVRI – dan seperti yang sudah dibicarakan di bab sebelumnya,
film ini mengawali impor produk budaya populer Jepang dalam bentuk serial televisi
bahkan sebelum berdirinya televisi swasta. Ia bahkan masih mengingat soundtrack
dari salah satu judul film yang dulu ia nikmati.
“Pertama kali Oshin TVRI, habis itu ada 101 proposal, just the way we are,
terus ada love generation […] ya love generation itu pokoknya [lalu ia
menyanyikan soundtrack-nya]”150
Terlepas dari seberapa mudahnya orang-orang ini kemudian untuk mengakses
produk budaya populer tersebut kemudian, baik melalui rental beta-video, rental
komik, rental VCD, atau bahkan maraknya internet, yang menarik di sini adalah
kembalinya nostalgia masa kecil mereka yang dipenuhi oleh tayangan-tayangan ini.
Mereka justru tidak menyebutkan judul-judul yang kemudian mereka ketahui dari
media-media lainnya tersebut. Hal ini menandakan bahwa (yang dulunya) anak-anak
ini mengakui adanya kesamaaan pembayangan, yaitu kesamaan hal yang dinikmati
dan dihadapi dalam televisi. Geyol yang mengalami masa kecil di Jepang pun
ternyata memiliki alasan yang tidak jauh berbeda dengan yang lain. Ia mengatakan
149 Wawancara dengan Kira 150 Wawancara dengan Koh Oyon
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
108
bahwa hobinya dalam menikmati tayangan-tayangan televisi Jepang seperti ini juga
merupakan sebuah nostalgia.151
Kesamaan bentuk nostalgia yang keluar dari kemajemukan narasumber ini
menandakan bahwa mereka sama-sama memiliki masa lalu yang sama, nostalgia
yang sama, atau bahkan pembentukan yang sama. Walaupun mereka lahir di daerah
yang berbeda-beda atau merupakan perwakilan dari generasi yang berbeda, mereka
mewarisi keberhadapan dengan media yang sama. Dengan kata lain, tayangan televisi
Jepang sempat menduduki jam tayang utama bagi penonton (yang dulunya) anak-
anak ini, yaitu sore hari, dan pagi hari di akhir minggu. Kegiatan waktu luang anak-
anak diisi penuh dengan produk budaya populer Jepang, dan bukan yang lain. Salah
seorang narasumber pun dengan berani menegaskan jawabannya ketika ditanya
alasannya kenapa dulu memilih menonton Jepang, yaitu:
“Adanya itu kok dulu. Hahaha. Kan gak ada yang lain”152
3.1.2. Kehangatan dalam Keaktifan di Dunia Jepang
Pengaruh kehadiran bentuk teknologi baru ini tidak berhenti sampai di situ –
tidak hanya mengisi waktu luang di depan televisi. Kehadiran tayangan film Jepang
dalam televisi yang permanen itu juga memberikan kesadaran baru bagi anak-anak ini
di kegiatan keseharian lainnya. Beberapa narasumber mengatakan bahwa di luar
aktivitas menonton televisi yang mereka lakukan, mereka juga mengisi waktu-waktu
151 Wawancara dengan Geyol 152 Wawancara dengan Xakha
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
109
santai mereka dengan kegiatan yang berkaitan erat dengan kegiatan menontonnya.
Bentuk pengisian ini berkaitan dengan jenis fasilitas atau kegiatan macam apa yang
mampu mereka akses.153
Kira menghabiskan waktu SMP-nya dengan rutin meminjam
komik sepulang sekolah, namun tetap harus sudah berada di depan televisi ketika
anime dimulai sore harinya. Kegiatan meminjam komik ini diawali dari rasa
penasaran untuk mengikuti lebih jauh anime di televisi, dan kemudian menjurus
dengan meminjam banyak komik-komik yang ia sukai.
Ketika ia menjejak SMA, ketika rental VCD film Jepang sudah mulai muncul,
ia rutin meminjam, meng-copy, dan menonton berulang kali film yang ia suka.154
Koh
Oyon menyatakan bahwa ia mulai melakukan kegiatan meminjam film-film televisi
Jepang sejak masa beredarnya video-beta, hingga dilanjutkan pada masa LaserDisc,
lalu VCD, dan hingga era internet sekarang. Ia pun rutin mengoleksi komik-komik
sejak Gramedia mulai mengeluarkan terjemahan komik-komik asing, terutama Jepang
dan China.155
Lain pula dengan Xakha yang bisa mengakses mainan-mainan yang diangkat
dari anime yang ia tonton. Ia mengaku mengoleksi jenis-jenis digivice dari seri anime
153 Tidak bisa dipungkiri, kemampuan ini menunjukkan juga kelas dari para penikmat produk budaya popular Jepang ini. Semakin tinggi kelasnya, semakin jauh juga fasilitas yang bisa mereka gapai. Namun, pembahasan tidak akan masuk ke dalam pengkategorian kelas dengan harapan penelitian ini dapat menjangkau secara umum kesamaan yang tercipta – tidak sengaja diciptakan – oleh keadaan sang pembaca produk budaya popular ini. 154 Wawancara dengan Kira. Ia hanya meminjam komik-komik jenis shonen (komik action yang ditujukan untuk pembaca pria) karena di televisi ia juga selalu mengikuti anime dan tokusatsu semacam itu, seperti naruto dan seri kamen rider. Saat SMA pun ia rutin meminjam dan meng-copy anime naruto untuk menjadikannya koleksi yang bisa ia tonton berkali-kali. 155 Wawancara dengan Koh Oyon.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
110
digimon berapa pun harganya, dan ia rutin dalam memainkannya.156
Permainan
memelihara monster imut ini memaksa pemainnya untuk rutin mengecek, merawat,
memberi makan, menggunakan alat kecil tersebut. Ia berfantasi – keluar dari
realitasnya – untuk merasa memiliki digimon di dunia nyata yang mengikuti
kemanapun sang pemilik pergi persis seperti di dalam anime-nya. Imajinasi
menyeruak masuk ke dalam lingkungan sosial melalui keaktifan para pemainnya
dalam memerhatikan denting suara dari permainan ini, bahkan di ruang-ruang
kelas.157
Geyol yang tidak memiliki kemampuan akses yang sama memilih untuk
bergabung dengan komunitas yang berisikan orang-orang yang memiliki koleksi
mainan tokusatsu – seperti alat perubah dan senjata – yang lengkap, sehingga ia bisa
turut melakukan permainan sesuai dengan film yang ia tonton. Hasrat untuk bisa
menikmati lebih keberhadapannya dengan seri supersentai yang ia sukai menjelma
dalam tubuh: tubuh yang memiliki kemampuan rahasia yang kemudian diarahkan
pada mainan-mainan yang mereka konsumsi dan kenakan. Seakan-akan mereka
156 Wawancara dengan Xakha. 157 Allison (2002) – dengan mengutip Appadurai (1996) – melihat bahwa garis batas antara realitas dan imajinasi berubah sangat cepat dengan kehadiran permainan ini. Ia menyatakan bagaimana tidak hanya yang virtual menyeruak ke dalam realita sosial, tetapi juga yang sosial menjadi realita yang virtual. LIhat Anne Allison, Millenial Monster: Japanese Toys and Global Imagination (Berkeley dan Los Angeles: University of California Press, 2006) Hal. 179
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
111
berharap bahwa dengan menyatunya tubuh dan mainan tersebut, begitu pula mereka
mendapatkan kemampuan super tersebut.158
Hal ini juga yang terjadi dengan John Switch. Ia mengatakan bahwa berkat
hobinya menikmati tayangan Jepang dan permainan komputernya, ia suka
membayangkan segala benda di hadapannya seakan benda di dunia virtual yang
memiliki kategori dan kemampuannya masing-masing. Dengan alasan tersebut, ia
masuk ke dunia cosplay. Ia ingin lebih jauh membayangkan hidup di dunia nyata
yang selayaknya virtual.159
Paparan ini menunjukkan bahwa pengisian waktu luang para narasumber ini
tidak hanya berhenti pada kegiatan menonton televisi. Seberapa besar kemampuan
mereka dalam mengakses produk-produk lainnya pun menentukan seberapa besar
mereka kemudian terbentuk menjadi pecinta budaya populer Jepang.
“temen-temen yang cenderung suka tokusatsu tu orang-orang yang punya.
Karena orang tuanya bisa menyewakan video-beta, punya beta player.
Karena itulah mereka kuat untuk beli mainan. Emang background
keluarganya kebanyakan orang kaya, orang punya, orang mampu lah…”160
Dengan kata lain, pertemuan dengan televisi tidak bisa begitu saja lengkap
hanya dengan disodorkannya jenis-jenis tayangan film televisi Jepang oleh sistem
stasiun televisi – dianggap sebagai pembaca pasif. Pertemuan dengan tayangan film
televisi Jepang juga kuat ditentukan oleh pemenuhan yang mereka lakukan di
158 Wawancara dengan Geyol. Allison (2006) juga melihat bahwa fenomena mimesis ini membentuk kesadaran baru dalam realitas anak-anak tersebut. (Ibid. Hal. 111 – 12) 159 Wawancara dengan John Switch 160 Wawancara dengan Geyol
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
112
pengisian waktu santai mereka. Mereka membangun ensiklopedi bukan hanya dengan
pengetahuan yang disodorkan oleh televisi, namun juga besar dipengaruhi oleh
kemampuan dan usaha mereka dalam melengkapinya atas bantuan dunia sekitarnya –
berlebihnya akses mereka terhadap dunia Jepang di waktu luang mereka. Bahkan
beberapa narasumber dengan jelas menyatakan bahwa mereka sangat bersyukur bisa
masuk dan berkenalan dengan teman-teman lain yang memiliki minat dan hobi sama
dengan mereka. Kira, misalnya, bisa sangat bahagia ketika sewaktu SMA dikenalkan
dengan teman yang juga menyukai Jepang. Mereka berdua kemudian membangun
komunitasnya sendiri di SMA tersebut. Geyol pun mengalami perasaan yang sama
ketika akhirnya menemukan komunitas YTFC di Yogyakarta. Dunia Jepang semacam
ini memberikan kehangatan bagi anak-anak muda ini untuk bisa terus aktif dan
melengkapi-memuaskan imajinasinya.
3.1.3. Mengidentifikasi dan Terus Menanti
Identifikasi mereka terhadap dunia Jepang yang mereka imajinasikan tentu
saja akan berbeda-beda tergantung pemilihan subjektif mereka terhadap objek Jepang
yang mereka paling sukai. Kira memilih seri tokusatsu terutama kamen rider
walaupun ia juga tetap rutin menonton anime dan membaca komik-komik Jepang.
Geyol memilih seri super sentai dalam genre tokusatsu, dan juga anime-anime yang
bertemakan kehidupan nyata seperti kehidupan sekolah dan olahraga. Xakha ketika
ditanya mengenai produk yang ia favoritkan, ia lebih memilih anime – walaupun
beberapa waktu sebelumnya dia intens bergabung dengan komunitas penggemar idol
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
113
group dan juga sempat bergabung dengan komunitas penggemar tokusatsu. Koh
Oyon tetap memilih menyukai dorama, walaupun ia juga rutin menonton anime dan
tokusatsu selama ia membuka usaha rental film. John Switch lebih menyukai dorama
atau anime yang berlatarkan sejarah walaupun ia banyak menceritakan kedekatannya
dengan digimon maupun dunia permainan komputer Jepang.
Yang menjadi pertanyaan di sini kemudian: dorongan apa yang begitu kuat
sehingga memaksa audiens untuk meminta dipuaskan terus menerus setiap harinya
dan setiap minggunya? Dorongan apa yang dapat membuat mereka bisa begitu
kecewa ketika jadwalnya terganggu oleh tayangan lain seperti siaran pertandingan
tinju, sepak bola, atau badminton bahkan ketika timnasnya yang bertanding?
Xakha yang memilih digimon sebagai anime favoritnya mengatakan bahwa
perubahan digimon-digimon-nya yang ia tunggu terus sampai penasaran.
“iya, upgrade terus […] baru terus kemampuannya, yang bikin orang tertarik
untuk ngikutin, besok ada apa lagi ya. Kayak penasaran gitu […] paling kena
spoiler sedikit. Katakanlah di satu seri, orangnya ada tujuh, yang ini sudah
berubah, yang ini besok berubah jadi apa ya”161
Kira yang menyukai seri kamen rider lebih menyukai cerita dan cara berubah tokoh-
tokohnya. Ia lebih memilih kamen rider dibandingkan dengan seri ultraman atau garo
karena ia menilai bahwa cerita ultraman semakin lama semakin aneh, dan cerita garo
terlalu complicated karena konsumsi dewasa. Ia bahkan tidak begitu suka seri-seri
terbaru dari kamen rider yang menampilkan terlalu banyak kamen rider di dalamnya
161 Wawancara dengan Xakha
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
114
dan berubah-ubah sehingga membingungkan dan membosankan. Ia tetap bertahan
dengan cerita lama kamen rider karena ceritanya yang menyenangkan dan tidak
membosankan dengan hanya satu tokohnya saja. Ia bahkan sempat menangis ketika
menyaksikan akhirnya satria baja hitam bisa berubah menjadi kamen rider black RX.
Ia terharu dengan mengikuti secara intens perkembangan seorang tokoh – tidak
terlalu banyak.
“Bingung saya itu. Jujur saya nonton kamen rider bingung ya itu. Semenjak
Ryuki itu ada 13 kamen rider, bingung. Berdebat sama adik saya waktu itu.
Tokohnya ini yang ini, ini yang ini. Salah semua. Hahaha…” 162
Koh Oyon yang menyukai dorama pun juga menyebutkan hal yang tidak jauh
berbeda, yaitu perubahan pada tokoh utamanya. Ia mengatakan bahwa:
“Itu apik. Aku seneng yang gitu-gitu. Ada dia yang bener-bener dari yang
bajingan jadi apik. Aku lebih seneng itu.”163
John Switch pun mengamininya dengan mengatakan:
“Logis kan dia bisa gitu kenapa. Ya dia latihan dari dulu. Dia emang punya
bakat dari pertama, terus akhirnya dikembang-kembangin ikut kompetisi dan
sebagainya, logis kan dia bisa ke luar negeri. Bukan karena tiba-tiba aku mau
gini, terus gitu thok, cring, tiba-tiba bisa.”164
Argumen-argumen ini membahasakan adanya dorongan kuat audiens untuk
terus dipuaskan dikarenakan adanya rasa penasaran untuk terus mengamati perubahan
yang terjadi pada tokoh utama. Kamen rider mendapat kekuatan baru dan berubah,
monster di digimon berevolusi sesuai dengan perkembangan diri sang pemilik, tokoh
162 Wawancara dengan Kira 163 Wawancara dengan Koh Oyon 164 Wawancara dengan John Switch
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
115
di dorama berusaha kerus melewati berbagai tantangan sehingga bisa mencapai goal-
nya. Mereka tidak ingin perubahan yang mereka nantikan terganggu oleh hadirnya
tayangan lain yang semena-mena menggantikan film kesayangan mereka.
Kesemuanya menanti perubahan yang akan terjadi di hari-hari berikutnya, atau
minggu-minggu berikutnya.165
Rasa penasaran untuk selalu mengikuti perubahan – bahkan kadang mencari
spoiler – menimbulkan yang disebut oleh Sonia Livingstone (2002) dengan
kecemasan. Menurut Livingstone, para penggemar budaya populer ini disebut dengan
istilah “generasi digital”. Salah satu ciri dari generasi ini adalah adanya kecemasan,
yaitu kecemasan untuk tidak bisa mengikuti cepatnya perkembangan arus informasi.
Dengan kata lain, generasi digital ini berisi orang-orang yang bersaing untuk “tidak
kalah tahu” dibanding orang-orang di sekitarnya. Mereka menempatkan media di
posisi vital dalam pengkonstruksian identitas diri, pembangunan kelompok sosial,
dan pemberian makna alternatif bagi budaya-budaya yang sudah ada.166
Dengan ini jelas bahwa hadirnya teknologi baru ini menempati posisi yang
vital. Teknologi ini menyeruak masuk ke dalam rutinitas keseharian para
penikmatnya dan memaksanya sebisa mungkin untuk mengerahkan tenaga dan
165 Bisa jadi ini juga alasan mengapa nama besar seperti doraemon tidak muncul sama sekali dari narasumber. Kehidupan nobita yang terus berulang tanpa perubahan untuk mencapai goalnya tidak menjadi ketertarikan yang memancing rasa penasaran untuk terus mengikuti dan mengembangkan ensiklopedi pembacanya. Permasalahan berkaitan dengan pembandingan nilai film Jepang tidak akan dibahas dalam penelitian ini karena memerlukan kerja terkhusus untuk membandingkan beberapa genre film televisi Jepang dan tradisi studionya. 166 Sonia Livingstone, Young People and New Media: Childhood and the Changing Media Environment, (London: Sage Publication, 2002), hlm. 2
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
116
kemampuan (akses) untuk bisa selalu melengkapi yang diminta oleh sang teks itu
sendiri. Pada titik ini, dengan menganggap teknologi baru ini sebagai sebuah teks
yang menuntut pembaca aktif dalam membacanya, penelusuran perlu masuk pada
nilai-nilai yang dibaca pada relasi pembaca dengan film teksnya masing-masing.
3.2 (Pe)Nilai Film Televisi Jepang
Nilai-nilai dari film televisi Jepang tidak akan bisa ditentukan begitu saja
hanya dengan membaca filmnya. Nilai-nilai tersebut harus dibaca dari pertemuan
dengan film televisi Jepang yang disiarkan di Indonesia, dan pembaca Indonesia
dengan beragam kepenuhan pengetahuannya. Eco (1979) melihat bahwa pembaca
yang telah membaca sebuah teks dalam serial akan membawa pengetahuan yang
mereka dapatkan itu dalam membaca teks-teks berikutnya.167
Dalam artian, pembaca
film digimon yang runtut menonton dari awal, dan juga memainkan digivice juga di
rutinitas keseharian, akan menjadi model reader film televisi digimon. Begitu juga
pula yang terjadi ketika model reader anime digimon melanjutkan pembacaannya
dengan rutin mengikuti jenis film televisi Jepang yang lain.
Berdasarkan hal tersebut, pada bagian ini pembahasan akan masuk pada
bentuk-bentuk kegiatan menilai yang dilakukan oleh pembaca film televisi Jepang.
Pembahasan akan terbagi menjadi dua bagian. Yang pertama adalah pembahasan
mengenai kegiatan menilai film televisi Jepang yang membentuk adanya imaji
167 Eco (1979), op.cit, hal. 7
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
117
tentang sebuah negara bernama Jepang. Pembahasan akan hal tersebut akan menjadi
landasan penting dalam melihat peng-amin-an identitas ke-Jepang-an pada bagian
kedua, karena imaji negara Jepang yang di-amin-i tersebut memancing pembaca
dalam menyimpulkan nilai ke-Jepang-an tertentu. Proses peng-amin-an seperti itu
yang menggambarkan adanya penarikan nilai-nilai “yang dianggap” Jepang dari
pertemuan pembaca dengan film televisi Jepang di Indonesia.
3.2.1 Not Impossible World : Teknologi, Kota, dan Sejarah
Proses peng-amin-an terhadap nilai-nilai yang didapat oleh pembaca dari
pertemuannya dengan film-teks tidak begitu saja bisa terjadi tanpa adanya
pengetahuan yang mendukung pembacaan tersebut. Seperti yang sudah dibahas
sebelumya, model reader film televisi Jepang bergantung kepada seberapa intens
pengetahuan mereka dibangun dalam keseharian di luar kegiatan menonton mereka.
Pembaca menilai film-teks atas persetujuan pengetahuan yang mereka bawa.
Pembaca tidak bisa begitu saja menilai bagian-bagian film yang tidak tersetujui.
Nilai-nilai yang mereka gambarkan atas pertemuan mereka dengan film-teks juga
secara tidak langsung menunjukkan pengetahuan apa saja yang mereka dapat dari
sekitar mereka.
Dalam hal ini, analisis Saya Shiraishi terhadap anime Doraemon di negara-
negara Asia, terutama Indonesia, dapat dibenarkan. Saya Shiraishi menyatakan bahwa
salah satu alasan mengapa Doraemon bisa disukai adalah kuatnya pemberian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
118
optimisme terhadap (kemajuan) teknologi.168
Doraemon disiarkan secara masif
seturut dengan masifnya persebaran teknologi televisi di Indonesia dan munculnya
stasiun televisi swasta untuk pertama kalinya. Masifnya penyiaran Doraemon –
berarti juga masifnya persebaran nilai optimisme terhadap teknologi – tepat sasaran
karena masyarakat juga sudah akrab dengan nama Jepang dan kemajuan teknologi
negara tersebut sejak dekade sebelumnya, yaitu sejak Jepang menguasai industri
manufaktur di Indonesia. Sejak periode 70an awal, Jepang telah menguasai industri
manufaktur di Indonesia – sehingga nama-nama produk Jepang telah akrab di tengah
keseharian masyarakat Indonesia – dan justru bukan nama Amerika karena yang
dikuasai Amerika adalah pertambangan.169
Masyarakat Indonesia sudah biasa melihat
televisi, kendaraan bermotor, perkakas dapur, peralatan mandi, dan lain-lain yang
ditempeli merk berbahasa Jepang. Pengetahuan semacam ini terbawa dalam
pembacaan film-teks Doraemon beberapa tahun setelahnya – baik secara langsung,
maupun melalui transfer pengetahuan dari orang tua (pengasuh) kepada anak.
Transfer semacam ini terlihat pada contoh berikut:
“Ya dikasih tahu. Ya itu kan tiap awal sama endingnya kan pasti ada tulisan-
tulisan Jepang. Bapak baca, terus nerjemahin ke aku…”170
Transfer pengetahuan semacam ini menjadi penting karena pembaca Doraemon
adalah sebagian besar anak-anak yang belum bisa secara langsung mendapatkan
akses terhadap pengetahuan tersebut. Pemberian pengetahuan tersebut, dan juga
168 Saya Shiraishi, Doraemon Goes Abroad, dlm Craig (2002), op.cit., hal. 293 169 Widiarsi Agustina, et. al., (2014), op.cit., hal.13 170 Wawancara dengan Kira
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
119
pembacaan terhadap film-teks Doraemon dari Jepang, menciptakan garis penghubung
antara optimisme kemajuan teknologi dengan negara Jepang. Secara definitif,
pembaca membentuk sebuah kalimat: Jepang adalah negara dengan teknologi maju.
Dari situ, strata Jepang sebagai negara yang dilihat, dengan Indonesia sebagai negara
yang memandangnya pun tercipta.
“Canggih. Itu alatnya Jepang semua soalnya.[…] ya paling teknologi sih. Itu
perbedaan [dengan Indonesia] yang paling kenceng banget”171
Namun, justru nama Doraemon tidak pernah keluar dalam wawancara ketika
narasumber ditanya mengenai film-teks yang mereka favoritkan. Mereka mengenal
anime itu, dan masih menghafal jam tayangnya setiap hari Minggu. Itu menandakan
bahwa mereka juga menontonnya, namun kesadaran akan nilai dari Doraemon sudah
masuk ke bawah sadar mereka dan menjadi pengetahuan umum bagi mereka. Mereka
sudah beranjak dari anime tersebut, yaitu beranjak dari kegiatan mengevaluasi film-
teks berdasarkan dunia yang direferensikannya. Mereka membawa hasil evaluasi –
pengetahuan – yang didapat sebelumnya untuk tidak sekedar mengevaluasi anime-
anime berikutnya, tetapi berusaha untuk masuk berimersi di dalam dunia film-teks
yang mereka hadapi.172
Masuknya narasumber ke dalam dunia film-teks yang mereka hadapi terlihat
dari cara mereka menceritakan film-teks yang mereka favoritkan. Geyol mengatakan
bahwa ia menyukai film-film yang riil, seperti lifestyle-anime, dibandingkan dengan
171 Wawancara dengan Kira 172 Marie-Laure Ryan (2001), op.cit., hal. 101-04
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
120
anime yang fiksi. Ia tidak begitu suka yang fiktif, sehingga ketika memilih anime pun
ia akan memilih anime yang bertemakan dunia nyata, seperti sekolah atau olahraga.
Karena di kesehariannya ia juga sempat tergabung dengan Yogyakarta Tokusatsu
Fans Club, maka ketika memilih tokusatsu pun ia lebih memilih genre super-sentai
yang masih menunjukkan kerja sama tim layaknya dunia nyata.173
Koh Oyon
mengatakan bahwa ia menyukai dorama karena lebih ada wujudnya. Dalam artian, ia
lebih bisa berimersi dengan tokoh utama di dorama dibanding dengan di anime atau
fiksi. John Switch pun menyukai film-teks Jepang, baik itu dorama maupun anime,
yang menggambarkan kehidupan nyata karena ia bisa membayangkan berada dalam
film-teks tersebut. Ia sampai bisa membayangkan berada di tengah-tengah ibu-ibu
yang sedang menggosip di dalam film-teks tersebut.
“terus misalkan, ibu-ibu gosip ya misalkan, woh ternyata ada yang sempet
nyeletuk, wah jam buang sampah tu jam segini. Pas tak lihat, emang jam
buang sampah jam segini? Pas ngecek di kebudayaan kota-kota Jepang,
ternyata memang ada jam buang sampah di Jepang tu jam segini.”174
Mereka tidak hanya membayangkan berada di tengah-tengah dunia yang
sedang mereka hadapi, tetapi juga terus menambah pengetahuan dari luarnya ketika
menemukan sesuatu yang masih kosong ketika mereka hadapi.
“misalkan sempet lihat, ternyata orang lebih suka, kalau di anime terlihat,
wah ternyata mereka lebih suka jalan daripada naik sepeda, kenapa ya”175
173 Anne Allison menyebutnya sebagai keunggulan dari seri supersentai yang kemudian populer setelah dibuat ulang oleh Amerika dengan Mighty Morphin Power Ranger – yang juga popular di televisi Indonesia. Lihat Allison (2006) op.cit., Hal. 95 174 Wawancara dengan John Switch 175 Wawancara dengan John Switch
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
121
Karena mendapati hal tersebut, ia mencari tahu di berbagai literatur dan media
hingga ia menemukan (atau menyimpulkan) fakta bahwa bentuk kota di Jepang itu
kecil dan saling berdekatan. Ia membedakan dengan keadaan di Indonesia yang
jalannya besar-besar dan jauh, sehingga wajar banyak orang menggunakan kendaraan
pribadi dibanding angkutan umum. Dengan penambahan pengetahuan secara mandiri
tersebut, imersi yang mereka inginkan akan tercipta jauh lebih dalam.
Yang paling jelas, imersi mereka semakin terlihat ketika mereka menceritakan
film-teks yang mereka tonton dengan membandingkannya pada film Korea maupun
Indonesia yang jam tayangnya seringkali bersaing di televisi Indonesia. Mereka
menyatakan bahwa drama Korea yang “ngono-ngono wae”, ataupun sinetron
Indonesia “yang lebay,” berbeda dengan film Jepang yang logis.
“Masih logis. Namanya drama ya tetap aja gak pernah ada yang logis. Tapi,
kesannya tu masih bisa dijangkau dengan otak ya […] logis, bukan karena
tiba-tiba mau gini terus cuman gitu , ting! Tiba-tiba bisa. Itu gak logis.”176
Dari kutipan ini terlihat bahwa mereka melihat latar tempat – seperti kota,
desa, atau sekolah – dalam film-teks tidak hanya salah satu aspek yang membuat
mereka bisa merasakan kesan berada di tengah dunia film-teks tersebut. Se-fiksi apa
pun film-teks Jepang yang mereka hadapi, mereka menggeneralisir dengan
menilainya sebagai sesuatu yang aktual – yang logis, atau paling tidak lebih logis
dibanding cara film-teks Indonesia menyampaikan situasi keseharian di Indonesia.
176 Wawancara dengan John Switch
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
122
Kelogisan yang mereka kemukakan bahkan beranjak pada jenis-jenis film-
teks Jepang yang banyak menarasikan sejarah, ataupun film-teks yang memasukkan
latar sejarah baik dalam latar tempat, waktu, maupun penokohannya. Salah satu
narasumber tidak menyatakan bahwa anime semacam Jigoku Sensei Nube, yang
menggambarkan seorang guru sekolah yang memiliki tangan setan dan mampu
mengendalikan kemampuan setan, atau anime Tobe-Isami, yang menggambarkan
perjalanan masa lalu sang tokoh utama kembali ke era shinsengumi, sebagai film-teks
yang tidak logis. Ia tetap bisa menilai kedua anime tersebut dari sisi lain, dan
menghindari menyebutnya sebagai tidak logis. Ia berargumen bahwa ia belajar
banyak sejarah Jepang dari kedua anime tersebut, baik sejarah hantu-hantu dan
legenda Jepang maupun sejarah kelompok shinsengumi. Ia berargumen:
“Di Jepang sendiri kan, samurai, dan semuanya yang berhubungan dengan
masa lalu paling dihormati kan […] kegiatan-kegiatan bersejarah yang
menngangkat sejarah-sejarah dan perayaan sejarah, kesannya bagi mereka,
itu hal yang menarik. Bukan menarik lagi, itu hal-hal luar biasa. Itu aset
negara bagi mereka […] buat keuntungan mereka. Tapi di sini jarang. Malah
dipermasalahkan terus…177
Pada argumen ini terlihat bagaimana ia menerima pertemuannya dengan film-
teks Jepang sebagai sesuatu yang seharusnya terjadi, dan hal tersebut tidak terjadi di
Indonesia. Ia kemudian bahkan menegaskan bahwa jenis film yang sekarang sedang
tren di Jepang adalah Taiga-dorama, yaitu film drama yang bertemakan sejarah –
menarasikan ulang sejarah. Ia tidak memandang realita yang ia dapatkan dari film-
teks itu tidak logis, tetapi justru mengkontraskannya dengan membawa
177 Wawancara dengan John Switch
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
123
pengetahuannya atas Indonesia untuk menilai film-teks tersebut – sekaligus menilai
Jepang. Ia melakukan kegiatan menilai, dan sekaligus melakukan kegiatan imersi
pada pembacaan film-teks tersebut.178
Geyol pun menyatakan hal yang serupa ketika menilai perkembangan
tokusatsu hingga sekarang. Ia menilai bahwa film-film tokusatsu yang muncul hingga
sekarang semakin tidak membawakan konsep budaya khas Jepang, seperti ninja
ataupun samurai yang otentik. Ia berargumen bahwa pembawaan nilai ninja atau
samurai harus budaya Jepang, tidak bisa dijadikan banal dengan memasukkan unsur-
unsur modern. Ia menilai bahwa seorang ninja harus berambut hitam, secara fisik
sesuai dengan gambaran orang Jepang, dan benar-benar memiliki kemampuan yang
sepadan dengan seorang ninja – bukan sekedar akting.179
Kira pun juga sejalan
dengan argumen tersebut, yaitu mengenai film kamen rider Gaim yang masih
“Jepang banget” desainnya karena membawakan unsur samurai. Hal ini menjadi
alasannya untuk tetap mengikuti seri kamen rider. Kedua narasumber ini juga
melakukan kegiatan menilai berdasarkan pengetahuan yang sudah terbentuk selama
ini dari pertemuannya dengan film-teks Jepang, atau bahkan sebaliknya –
melanjutkan imersinya pada film-teks Jepang berdasarkan nilai yang mereka
simpulkan.
178 Ia bahkan menambahi pengalamannya berkunjung ke Jepang dan minum air dari sumur yang dulu menjadi tempat istirahat Oda Nobunaga. Ia menyatakan bahwa ia bisa merasakan kesan sebagai Oda Nobunaga ketika akhirnya berhasil mewujudkan kegiatan tersebut. 179 Wawancara dengan Geyol
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
124
Berdasar argumen-argumen yang telah dinyatakan di atas, para narasumber ini
membutuhkan peng-amin-an terhadap dunia yang disajikan di hadapan mereka.
Dengan kata lain, mereka merubah yang fiksi menjadi dunia nyata atas bantuan
semesta pengetahuan yang mereka terima atau mereka cari secara mandiri, baik itu
teknologi, kota, maupun sejarahnya. Nilai-nilai yang mereka terima dari pembacaan
film-teks ini yang nantinya akan melancarkan proses imersi mereka ke dalam teks
tersebut. Mereka tidak hanya memandang film-teks dari luar, tetapi juga menyeruak
masuk – merasai menjadi tokoh di dalamnya.
3.2.2 Shinka180
: Pantang Menyerah, Disiplin, dan Kekerabatan
Ketika membicarakan bagaimana film televisi Jepang dapat menjadi arena
imersi bagi pembacanya, pembahasan harus berangkat dari periode paska-perang di
Jepang, di mana budaya visual Jepang mulai dipandang di luar Jepang. MacWilliams
(2002) melihat bahwa kemampuan budaya visual Jepang yang semacam ini berangkat
sejak meledaknya karya Osamu Tezuka pada 1963 di dunia internasional. Ia menilai
bahwa Tezuka hebat dalam menyiasati “otherness”, yaitu keberjarakan dari dunia
nyata dan kehidupan para pembacanya. Tezuka mampu untuk meletakkan simbol-
simbol, karakter, kejadian-kejadian, dan detil-detil yang sesuai dengan jamannya
180 Shinka dapat diartikan evolusi, atau perubahan, atau proses perubahan (progress). Digimon meneriakkan istilah ini untuk menandai proses perkembangan dan perubahan digimon ke spesies yang lebih kuat. Yang ingin ditekankan di sini adalah adanya unsur proses dalam perubahan tersebut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
125
menjadi latar cerita yang mendasar tanpa menjadikannya anakronisme yang seakan
tidak pada tempatnya.181
Siasat film-teks tersebut dalam menyikapi “otherness” semacam ini membuat
pembaca tidak lagi merasa kesulitan dalam berimersi dalam film-teks. Pembaca dapat
lebih mudah mengamini fiksi yang disampaikan di dalam film-teks menjadi suatu
yang aktual. William M. Tsutsui (2006) dalam analisisnya mengenai film Godzilla
dan Rikidouzan mengatakan bahwa siasat ini berkaitan dengan strategi fake-
nationalism dan menghilangkan ke-Jepang-an:
Nationality of Rikidouzan or Godzilla was consumed in part because it was
fictional […] culture that could enjoy the fake as the fake […] both that the
enjoyment of Rikidouzan was based on a cognizance of his constructed
performance, and that his status as epitomizing ideal Japaneseness was thus
only possible through the fictionality of his nationality.182
Susan J. Napier (2005) mengatakan bahwa bagi sebagian besar konsumsen
anime di Jepang, kebudayaan yang mereka hadapi sudah bukanlah kebudayaan
Jepang yang otentis.183
Iwabuchi (2002) melihatnya dengan menggunakan istilah
mukokuseki (nationless), yang di Jepang memili dua pemahaman, yaitu; menandakan
adanya pencampuran elemen-elemen dari berbagai kebudayaan, dan menyiratkan
adanya erosi terhadap karakter kebudayaan tertentu.184
181 Mark Wheeler MacWilliams, Japanese Comics and Religion: Osamu Tezuka’s Story of the Buddha, dalam Craig (2002), op.cit., hal. 119 – 21. 182 William M. Tsutsui dan Michiko Ito. (2006) op.cit. hal 78-9 183 Susan J. Napier, Anime From Akira to Howl’s Moving Castle: Experiencing Contemporary Japanese Animation (New York: Palgrave Macmillan, 2005) Hal. 22 184 Iwabuchi (2002) op.cit. Hal. 71
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
126
Berdasarkan hal-hal ini, pengambilan nilai-nilai oleh pembaca Indonesia dan
memaknainya sebagai sesuatu yang Jepang memiliki unsur kesemena-menaan.
Dinamika mereka dalam membaca pun menjadi ambigu, karena mereka menciptakan
Jepang mereka sendiri. Mereka mengamini latar yang “Jepang”, lalu masuk ke dalam
kehidupan yang “Jepang”, dan seturut perjalanan film yang dihadapi, mereka
mengambil nilai-nilai dan mengakuinya sebagai Jepang.
Salah seorang narasumber mengatakan mengenai nilai pantang menyerah
yang dimiliki tokoh kamen rider yang ia sukai. Kotaro Minami dalam Kamen Rider
Black bisa dihajar habis-habisan, hingga mati, namun ia bangkit kembali karena
usahanya belum selesai. Bahkan, karena usahanya yang belum selesai, melalui tetesan
air mata orang-orang di sekitarnya, ia mendapat kemampuan baru dari matahari dan
berubah menjadi Kamen Rider Black RX. Dengan tangisan anak matahari, ia
melanjutkan perjuangannya. Proses berjuang keras seperti ini yang dihargai sebagai
aspek yang akan merubah kehidupan. Narasumber ini menilai bahwa orang Jepang
mementingkan proses dibandingkan hasil akhir. Nilai yang narasumber dapatkan dari
film kamen rider ini ia gunakan untuk memaknai keberhasilannya dalam berangkat ke
Jepang sesuai dengan mimpinya: “Usaha keras tidak akan mengkhianati.”
Narasumber yang menyukai digimon menyatakan bahwa adegan yang paling
ia suka dari 50 episode digimon adventure 1 adalah perubahan terakhir wargreymon
dan metalgarurumon . Perubahan ini bisa terjadi ketika dua pemilik digimon tersebut,
yaitu Taichi dan Yamato, berusaha keras untuk melindungi bumi bersama anak-anak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
127
terpilih dari seluruh bumi. Usaha pantang menyerah yang meruka berdua lakukan
menampilkan bagaimana mereka tidak peduli dengan kondisi badan yang sudah
hampir mati. Perubahan kedewasaan dua anak SD ini memancing angewomon untuk
menembakkan panah cahaya ke tubuh mereka berdua, yang akhirnya digimon yang
mereka miliki bisa melakukan mega-evolution.
Narasumber yang menyukai dorama menyatakan bahwa ia menyukai
bagaimana perubahan yang terjadi pada tokoh-tokohnya. Pada Great Teacher
Onizuka, ia melihat bagaimana seorang guru bisa merubah murid-muridnya yang
nakal-nakal menjadi murid-murid yang mau berusaha keras demi kehidupannya. Di
dorama berjudul Yasuko to Kenji, ia menyukai bagaimana mantan ketua geng motor
yang notabene bajingan dan hidup dengan kebebesan, berusaha keras untuk menjadi
seorang komikus. Usaha yang dilakukan sang tokoh utama menampilkan bagaimana
sang tokoh berusaha untuk berdisiplin dengan masyarakat, dengan ritme kerja tinggi
dan jam yang teratur. Walaupun sang tokoh akhirnya tidak menjadi komikus, tetapi
justru membuat warung di pinggir jalan, narasumber menilai bahwa usaha keras
untuk berubah dari bajingan menjadi baik itu merupakan nilai utama yang ia lihat.
Lagi-lagi di sini terlihat bagaimana bukanlah hasil yang penting, namun prosesnya.
Narasumber yang lain mencontohkan nilai-nilai yang ia dapat dengan dorama
berjenis olahraga. Ia mengatakan bahwa dorama Jepang berbeda dengan drama di
Indonesia maupun Korea. Dorama Jepang selalu menampilkan usaha keras sang
tokoh untuk mencapai mimpinya, dan bukan mimpinya itu sendiri yang menjadi poin
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
128
utama. Pada titik inilah ia menyebut dorama Jepang sangat logis. Seperti pada
dorama Long Vacation, ia melihat bahwa sang tokoh utama berusaha keras untuk
latihan, mengikuti berbagai macam kompetisi, mengembangkan kemampuannya,
sehingga akhirnya dia bisa ke luar negeri.
Dari semua argumen narasumber ini, terlihat adanya proses perubahan
kehidupan (kepribadian) yang ditandai dengan adanya evolusi. Beberapa narasumber
mengatakan bahwa hal ini yang melatarbelakangi pola pikir masyarakat Jepang sejak
anak-anak untuk berdisiplin dalam menjalani ritme kehidupan di tengah masyarakat.
“Kalau pingin hidup ya kayak gitu,” kata salah seorang narasumber. Narasumber
yang lain juga mengatakan:
“pola pikir masyarakat Jepang itu adalah mereka setia, dengan pekerjaan.
Dan maksudnya dengan loyalnya. Loyalitasnya itu, pola pikir bushido
kasarannya. Pola pikir samurai”
Hal-hal ini menunjukkan nilai kedisiplinan yang diperlukan oleh orang Jepang
untuk diterima dalam berbagai aspek masyarakat, baik sekolah, keluarga, lingkungan
pertemanan, pekerjaan, maupun bidang olahraga. Film-teks yang mereka hadapi
selalu menggambarkan usaha keras sang tokoh dalam menjadi manusia yang lebih
baik, apa pun tujuan akhir yang dibawanya. Perubahan kepribadian yang
digambarkan sang tokoh menjadi lebih dewasa – dalam artian lebih disiplin – dalam
mencapai impiannya tersebut menjadi alasan mengapa narasumber-narasumber ini
merasa film Jepang lebih cocok dalam format serial panjang. “Kalau Jepang
cenderung berat banget kalau di movie,” kata salah seorang narasumber. Proses
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
129
berubah dalam mendisiplinkan diri dan pola pikir tersebut yang menuntut film-teks
Jepang harus menyampaikan narasinya secara pelan-pelan dalam setiap episodnya.
Eri Izawa (2002) mengatakan hal serupa melalui penelitiannya mengenai
nilai-nilai ke-Jepang-an dalam film-teks Jepang. Ia mengatakan bahwa:
The essence of the anime world, however, lies in the characters that inhabit it
[…] the mental and emotional plight of the individual character in anime is
almost never forgotten. In fact, it is often central, and the characters‟
emotions […] tendency to highlight the individual struggle is […] even stories
about “normal” people are turned into high drama […] these thoughts,
actions, the very expressions on the characters‟ faces – joy, sorrow,
humiliation, triumph – are magnified […] 185
Bahkan beberapa karakter dalam film-teks Jepang yang diberkahi kemampuan
super seringkali digambarkan sebagai “lone wolf” karena justru terbebani dengan
kemampuan supernya. Beban kemampuan paling berat adalah immortality,
kemampuan yang di dunia nyata sering kali diidamkan. Tokoh di dalam film-teks ini
justru biasanya melihatnya sebagai sebuah kutukan. Tokoh-tokoh berkemampuan ini
biasanya bertarung menggunakan kemampuannya justru untuk mencari nilai dari
hidupnya yang berbeda.
Eri Izawa menyimpulkan bahwa pelajaran hidup yang dibaca melalui film-
teks Jepang itu berkaitan dengan perjuangan (struggle), yang meski tidak
menyenangkan, tapi itu perlu. Kenyataan itu kejam, kemenangan selalu datang
dengan penalti, dan para pahlawan ini berkutat dan jatuh pada kekelaman, kehancuran,
185 Eri Izawa, The Romantic, Passionate Japanese in Anime: A Look at the Hidden Japanese Soul, dalam Craig (2002), op.cit., hal. 145 - 47
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
130
kemarahan, dan lain-lain. Kadang mereka mati. Tetapi mereka tetap bertarung.
Kadang mereka justru harus mengalahkan dirinya sendiri sebelum bisa melihat dunia.
It is this dynamic, passionate, continuing struggle of the individual characters
that gives these stories life, and not only keeps the audience intrigued but
gives them encouragement in their own everyday trials. “Never give up” it
tells them, “no matter what happens!”186
Nilai berikutnya yang didapatkan dari pembacaan terhadap film-teks Jepang
adalah nilai yang berkaitan dengan garis hubungan individualitas dan kerja sama.
Salah seorang narasumber mengatakan bahwa ia menyukai film tokusatsu seri super-
sentai karena kerja tim yang dilakukan dengan banyak jenis orang. Biasanya dalam
film supersentai, sebuah tim selalu memiliki tokoh yang kuat, tokoh yang pintar dan
logis, tokoh yang membawa nilai modern. Namun, yang selalu menjadi tokoh utama,
sekaligus pemimpin, di tim tersebut adalah ranger merah yang tidak pintar, tidak kuat,
dan hidup biasa-biasa saja – tidak membawa nilai modern seperti fashion dan
shopping-holic. Nilai lebih yang dibawa tokoh ini – dan menjadi alasan bagi
posisinya sebagai kapten – adalah keinginannya untuk berbuat sesuatu demi sesama
dan selalu memikirkan kepentingan orang lain. Ia selalu digambarkan sebagai sosok
yang paling cepat mengorbankan dirinya demi menyelamatkan orang lain.
Eri Izawa (2002) menyatakan bahwa bahkan ketika tokoh di dalam film-teks
Jepang sibuk dengan perjuangan dirinya sendiri, dengan kemampuannya sendiri,
mereka seringkali akhirnya menemukan kenyataan bahwa ternyata kemampuannya
akan maksimal ketika ia berjuang untuk orang lain, dan dari situ biasanya sang tokoh
186 Ibid, hal. 150
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
131
mempelajari nilai hidup dan kemampuannya. Puncaknya, jelas adalah munculnya
sekilas gambaran kebijaksanaan atau pencerahan pada sang pahlawan – dan juga
terlihat oleh para pembaca. Ada bagian kecil dari cerita yang selalu menggambarkan
adanya kebahagiaan yang mengalahkan kesakitan, cinta yang melampaui kematian,
dan nilai-nilai lain yang penting untuk diperjuangkan.
Hal ini juga terlihat dari kesaksian narasumber lain yang menyukai digimon,
terutama ketika perubahan kedewasaan Taichi dan Yamato sanggup merubah
digimonnya menuju mega-evolution. Dua tokoh ini – dan hanya dua tokoh ini yang
mendapat kemampuan tersebut – mengalami perubahan kepribadian karena usaha
kerasnya dalam melindungi bumi dan anak-anak terpilih yang lain. Perubahan ini
mempengaruhi digimonnya karena mereka berdua menjadi lebih percaya dengan
digimonnya dibanding sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan yang
terjadi di antara kedua pihak tersebut – baik manusia maupun digimon – hanya bisa
terjadi dengan adanya keterikatan dari keduanya. Bahkan, mereka pun akhirnya
meraih kemampuan tersebut karena mendapat kepercayaan dari angewomon yang
menembakkan panah cahaya ke arah mereka.
Dalam dorama-dorama yang dijelaskan oleh narasumber yang lain pun
terlihat jelas bagaimana usaha keras sang tokoh utama berdasarkan pada
hubungannya dengan orang lain. Dalam Yasuko to Kenji, Kenji yang seorang anggota
geng motor ketika ingin menjadi komikus perlu untuk berusaha keras demi adiknya
yang masih SMA. Dalam Great Teacher Onizuka pun, tokoh Onizuka seringkali
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
132
mengatasi kenakalan murid-muridnya dengan menanamkan nilai-nilai kerja sama di
antara murid-murid tersebut.
Dari adanya nilai-nilai ini terlihat bagaimana film-teks Jepang menampilkan
usaha keras seorang individu untuk berdisiplin menggapai sesuatu secara individu,
namun juga tidak pernah bisa terlepas dari keberadaannya di tengah yang lain.
Individualitas yang seringkali ditampilkan sangat kuat oleh tokoh-tokohnya
berdampingan dengan nilai kekerabatan yang tetap berusaha terus diajarkan. Nilai
seperti ini juga yang diungkap oleh Hiroshi Yamanaka dalam MacWilliam (2008),
ketika menganalisis film Spirited Away karya Hayao Miyazaki.187
Tokoh di dalam
anime ini bisa mendapatkan kediriannya juga karena perhatian dan kebaikan yang
ditunjukkan oleh individu di sekitarnya, termasuk orang tuanya. Yamanaka
menyimpulkan bahwa alasan di balik kesuksesan tokoh utama dalam menemukan
identitasnya adalah “invisible affectionate support network.” Dalam artian,
kesuksesan tokoh utama dalam film-film Hayao Miyazaki demi menggapai tujuan
akhirnya berujung pada afirmasi bahwa mereka adalah bagian dari keluarga ataupun
komunitasnya. Dalam dunia Hayao Miyazaki, tokoh utama tidak pernah kehilangan
ikatan sosialnya dalam menggapai independensi tujuannya. Tokoh-tokoh ini justru
membangun ikatan baru, persahabatan baru, keluarga baru untuk bisa bertahan dalam
perjuangannya.
187 Hayao Miyazaki, dengan Studio Ghibli yang ia dirikan, merupakan nama besar dalam dunia animasi Jepang, yang pada medio 1990-an hingga 2000-an awal disebut “Fenomena Miyazaki.” Film-filmnya banyak diakui di dunia internasional, bahkan karyanya yang berjudul Spirited Away ini merupakan anime pertama yang memenangkan Academy Award di tahun 2001.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
133
“Individuality in Spirited Away is established through the help of an
interpersonal network of friends, rather than through the lonely struggle
represented in the modern Western mythic type.”188
Hayao Miyazaki, juga Osamu Tezuka, merupakan nama-nama besar yang
pengaruhnya di dunia narasi media visual Jepang tidak bisa dinafikan. Nilai
individualitas yang berbalut erat dengan kekerabatan menjadi poin penting yang
banyak disampaikan oleh berbagai film televisi, baik anime, tokusatsu, maupun
dorama. Pembaruan hidup, seperti perubahan maupun evolusi, dalam dunia film
televisi Jepang selalu berkaitan dengan apa yang menjadi dasar dari diri masing-
masing, seperti ikatan. Proses perubahan yang disukai oleh narasumber-narasumber
ini selalu berujung dengan penemuan kembali apa yang menjadi dasar dari diri
masing-masing, seperti Taichi dan Yamato yang akhirnya bisa membuat digimonnya
berevolusi karena mereka menyadari pentingnya berjuang untuk demi bumi dan
berjuang bersama sesama anak-anak terpilih dari seluruh dunia. Hayao Miyazaki
bahkan dengan tegas mengatakan:
“No! I‟m fed up with exposing the differences between people. That‟s what
human nature is all about. Rather, it seems more important to think about
how we can live together. With the twentieth century coming to an end, and
various problems pilling up before us, don‟t you think there is no use dwelling
on such things?”189
Seperti yang sudah dikatakan oleh para narasumber, mereka dengan setia
menanti siaran anime maupun dorama di televisi sewaktu mereka kecil, hingga
akhirnya mengikuti terus sampai sekarang karena didasari adanya rasa penasaran
188 Hiroshi Yamanaka, The Utopian “Power to Live”: The Significance of the Miyazaki Phenomenon, dalam MacWilliam (2008), op.cit, 245 - 49 189 Ibid, hal. 248
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
134
terhadap proses perubahan yang terjadi pada tokoh-tokoh di dalam film-teks tersebut.
Mereka berimersi terhadap film-teks di hadapannya dan merasakan menjadi tokoh
yang menjalani proses tersebut. Tangisan anak matahari yang dialami kamen rider
black pun ikut menjelma menjadi tangisan pembaca filmnya. Yang perlu diingat,
sebagai film serial, imersi semacam ini hanya bisa terjadi pada pembaca yang secara
runtut membaca dan melengkapi pengetahuannya mengenai dunia yang ia hadapi. Ini
menjadi syarat yang tidak semua pembaca akan bisa memenuhinya – mereka dituntut
aktif. Hanya setelah mereka bisa mengaktualisasikan dunia virtual di hadapannya,
mereka bisa masuk menjadi ke dalam realitas virtual.
The visitors to the world anime journeys across the boundaries of time and
space, through mysterious realms and epic histories, through the lives of the
characters who laugh and cry and dream, through emotions and experiences
too profound for words… and then gently back to reality, carrying priceless
and encouraging echoes of the message of hope, which promises: “The future
will be glorious, if only we remember what is truly important and persevere
no matter what.[…] It is hard to maintain something divine in this world; it is
easy to forget. Anime serves to remind”190
3.3 Kesimpulan: Mereka(?) dan Kita-Indonesia
Dari paparan yang telah disampaikan sepanjang bab ini, ada dua hal yang
dapat dilihat. Pertama, perbedaan kepenuhan pengetahuan yang dibawa oleh pembaca
mempengaruhi pertemuan mereka dalam film-teks. Teknologi baru yang masuk ke
Indonesia ini didukung dengan pengetahuan atas negara bernama Jepang yang telah
terbentuk mulai masa kembalinya Jepang ke Indonesia – bukan masa penjajahan.
190 Eri Izawa, The Romantic, Passionate Japanese in Anime: A Look at the Hidden Japanese Soul, dalam Craig (2002), op.cit., hal. 151 - 52)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
135
Ingatan mengenai penjajahan justru menjadi pengetahuan yang dilupakan dalam
pembacaan ini. Wacana Jepang sebagai negara maju yang membantu perkembangan
ekonomi Indonesia diperkuat dengan hadirnya narasi-narasi melalui film-teks, dan
justru meredupkan narasi mengenai penjajahan. Keberlebihan akses dalam
melengkapi pengetahuan untuk membaca film-teks juga menjadi alasan mengapa
semua orang yang menonton anime di televisi tidak begitu saja menjadi anak Jepang-
jepangan.
Kedua, narasi mengenai nilai-nilai yang dianggap “Jepang” oleh para
pembaca kemudian semakin memperkuat wacana yang terbentuk sebelumya. Dengan
nilai-nilai positif yang mereka ambil – yang tentu seringkali mereka kontraskan
dengan konteks Indonesia – dan didukung dengan latar yang memudahkan mereka
berimersi, pembaca film-teks Jepang menyimpulkan imaji negara Jepang hanya
dengan pertemuannya dengan film-teks. Penggabungan keduanya menciptakan
imajinasi masa depan yang mungkin tercipta bagi mereka. Jepang bukanlah
impossible-world, oleh karena itu Indonesia pun bisa menggapainya dengan
menanamkan nilai-nilai yang sama. Jepang bukanlah negara maju yang
diimajinasikan oleh para pembaca ini, tetapi masa depan Indonesia lah yang menjadi
imajinasi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
136
BAB IV
MENCARI POSSIBLE-WORLD JEPANG, MENEMUKAN INDONESIA
Pada bab II telah dibahas sejarah perkembangan film di Jepang melalui ranah
ideologis dan keterpengaruhannya dengan kapasitas modernitas (Barat), sehingga kita
bisa mulai melihat film Jepang sebagai sebuah bahasa kosong yang maknanya akan
selalu digiatkan melalui berbagai usaha. Bab tersebut juga telah menunjukkan usaha
dalam memetakan semesta wacana akan Jepang yang selama ini beredar di Indonesia.
Kedua aspek ini menunjukkan bagaimana intentio auctoris berusaha dibahasakan
dalam pembentukan media film dan mempengaruhi adanya intentio operis oleh
media-media yang masuk ke Indonesia – terutama film serial – serta menunjukkan
jalan masuk bagi pembentukan pengetahuan pembaca akan Jepang di Indonesia. Bab
III kemudian menunjukkan intentio lectoris pembaca Indonesia dan kesejarahan
mereka dalam memaknai dunia film yang mereka hadapi sejak kecil. Semua aspek
yang sudah dibahas sebelumnya ini menjadi wilayah-wilayah yang akan diletakkan
secara simultan dalam peta analisis bab IV ini. Negosiasi dari intentio operis dan
intentio lectoris yang ada dalam proses pembacaan serial televisi Jepang tersebut
yang akan membentuk pembacaan film serial Jepang khas Indonesia. Dengan kata
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
137
lain, possible-world tercipta dari negosiasi antara ensiklopedia pengetahuan (semesta
wacana akan Jepang) yang dibawa oleh pembaca dengan teks yang dihadapinya.
Oleh karena itu, secara terstruktur bab ini akan menggunakan sistematika 4
aspek pencarian possible-world oleh Eco (1979: 219) yang dibagi menjadi tiga bagian.
Bagian pertama akan berisi pembahasan pada aspek possible state of affairs. Bagian
kedua akan berisi pembahasan pada aspek possible individual dan possible course of
events, termasuk di dalamnya pembahasan mengenai lima dunia, yaitu: (1) Dunia
kepercayaan; (2) Dunia hasrat; (3) Dunia kewajiban; (4) Tujuan dan rencana-rencana
yang dijalankan oleh karakter; dan, (5) Mimpi dan angan/keinginan milik karakter-
karakter. Bagian ketiga akan berisi pembahasan mengenai aspek terakhir yaitu
propositional attitudes. Di bagian terakhir ini, kecenderungan dalam menyikapi
Jepang yang dilakukan oleh pembaca akan dilihat untuk mencari konteks Indonesia
yang khas yang nampak dalam bahasa mereka. Dengan menyandingkannya pada
konteks ensiklopedi pembaca, dan menyimpulkan penelusuran pada dua bagian
sebelumnya, pembentukan nilai atas “Jepang” yang nantinya dipercaya oleh pembaca
akan ditelusuri secara kontekstual.
Keempat aspek yang digariskan Eco ini adalah langkah sistematis dalam
mendefinisikan possible-world, untuk melacak kemungkinan adanya akses antara
dunia-dunia (actual – possible), dan juga untuk melacak adanya transworld identity –
identitas yang terletak di batas ambang antara yang actual dan possible melalui
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
138
pertemuannya pada teks.191
Meminjam definisi yang digunakan Ryan (2005),
identitas yang ambang tersebut merupakan nasib interpreter teks yang tidak hanya
harus memahami apa yang terjadi dalam teks, tetapi juga konteks, lingkungan, dan
keseluruhan properti storyworld192
seperti yang diungkap Eco melalui 4 aspek di atas.
4.1. Gerbang Masuk pada Film: Mempercayai Jepang yang Mungkin
Konsep storyworld menganggap pembaca harus terbawa untuk berimersi pada
teks, dan menunjukkan kemampuan teks (intentio operis) untuk memindahkan
pembaca ke tempat dan waktu yang harus dihidupi pembaca jika mereka ingin
memahami teks secara komprehensif. Pembaca tidak hanya mengonstruk sekuen
kejadian dan segala kehidupan di dalam teks, melainkan justru harus tinggal secara
imajinatif di dalam teks tersebut sehingga bisa merasakan, memuja, menggelisahkan,
menampik, bahkan menertawakan dan menangisi segala kejadian di dalamnya.193
Untuk bisa sampai ke titik tersebut, pembaca harus mampu untuk tidak hanya
mengonstruk kejadian-kejadian di dalamnya, tetapi juga harus bisa mengonstruk
keseluruhan konteks dan lingkungan dalam teks sesuai dengan ensiklopedinya. Tabel
berikut menunjukkan narasi dari narasumber yang menyiratkan proses usaha mereka
untuk bisa membayangkan berada di tengah-tengah state of affairs dalam film-teks:
191 Eco (1979), op.cit. hal 219 192 Mentally and emotionally projected environments in which interpreters are called upon to live out complex blends of cognitive and imaginative response. Lihat bagian Storyworld dalam David Herman, Manfred Jahn dan Marie-laure Ryan, Routledge Encyclopedia of Narrative Theory (New York: Routledge, 2005) 193 Herman (2005), ibid. bagian Storyworld
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
139
Kira K1
Ya paling teknologi sih. Itu yang perbedaan paling kenceng
banget… Teknologi sama ritme kehidupannya. Maksudnya ritme
kehidupannya di sini dalam artian,, “ya kalau jam segini ya harus
gini, jam segini harus gini.” Ga bisa dilawan tu lho.. maksudnya
dia ya ritmenya udah kayak gini. A ya A, B ya B.. Ya itu sih. Kalau
di ritme. Waktu sih. Ya ktinggalan kereta ya karena kereta
berikutnya ada lagi. 15 menit apa 5 menit Ya ada y ada lagi.
Beneran ada. Beneran dateng. Ya itu sih…
Geyol G1
Kalau saya tu nostalgia […] ini ya, live style anime… Kalau
sekarang,, bukan love-story, bukan action,,, ya action kadang-
kadang saya nonton ya. Yang saya kira asyik lah. Yang masih ada
jiwa apa ya, api membaranya, misalnya yang keren, yang super-
heroik gitu kan ya,, tapi selain itu saya lebih suka nonton yang
kayak olahraga, kayak istilahnya tu sekolah Jepang, lucu-lucuan,
segala macem itu fresh buat saya. Kalau yang fiktif-fiktif malah
justru saya suka enggak nonton…
Koh
Oyon
O1 Dorama soale kalau Jepang itu,, lebih... Apa ya… Nek kaya
dikaya-kayakke tenan, tapi nek enggak kaya, ya bener.
O2
Nek sekarang, sing nonton itu sing kui,, sing hideaki takizawa sing
anyar… Yang jadi manager e perusahaan,, apa namanya,,,
perusahaan berlian tiffany.. Jadi ceritanya, nyritakke perusahaan
tiffany. Jadi kalau di Jepang itu terkenal bikin kalung, bikin… asli
ada. kan sponsor tu dia. Nyritakke manajer tiffany.
Xakha X1
bagian, apa namanya, waktu,,, pertama kali berubah wargreymon
sama metalgarurumon. Yang waktu, Taichi sama Yamatonya
ditembak panah sama angewomon…Itu… waktu di bumi… lawan
aguremon, eh, bukan…
John
Switch J1
Kalau dari kecil sih aku cuman ngliat kalau Jepang lebih ke
keadaan kotanya sih. Sama dari keadaan visual kotanya di Jepang
sekarang kayak gimana, kan yang dulu tu kayak gimana. Kan
sempet juga kan ngikutin dari anime-anime yang kadang-kadang
muncul cuman jam sore kan ya, di TV7 apa ya. Kan aku sering
ngikutin anime-anime yang di TV7 kan bukan anime-anime yang
mainstream gitu itungannya… Kayak jigoku-sensei nube gitu-gitu
tu ada, terus tobe-isami, tentang shinsengumi tapi yang lebih
modern lah. Itu tu dua anime yang aku sukain. Aku tu lebih, yang
dilihat dari menggambarkan Jepang tu dari, satu, kotanya, terus
kehidupannya, tak akuin sebenernya, sama sejarahnya di anime.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
140
J2
Yang paling gampang sih, sekolah. Sekolah kan gini. Kalau dulu
kan aku mikir wah bangun pagi berangkat sekolah. Tapi aku lebih
ngelihat gini. Wah sekolah di sana, ternyata, kalau di SD
misalnya, bajunya bebas ya. Itu paling simpelnya lho. Kok bajunya
bebas ya… Terus misalkan, ibu-ibu gosip ya misalkan, who
ternyata ada yang sempet nyeletuk, wah jam buang sampah tu jam
segini. Pas tak lihat, emang jam buang sampah jam segini? Pas
ngecek di kebudayaan kota-kota Jepang, ternyata memang ada
jam buang sampah di Jepang tu jam segini… Terus kalau misalkan
tu sempet lihat, ternyata orang tu lebih suka, kalau di anime kan
lihat, wah ternyata mereka lebih suka jalan daripada naik sepeda,
kenapa ya. Wah ternyata emang di sana tu bentuk kotanya tu kecil.
Terus naik kereta api, pas aku lihat itu wah ternyata mereka anu,
ternyata letak kotanya sama letak ini dan sebagainya tu ternyata
gak begitu jauh kayak di sini, kalau di sini kan jalannya gedhe-
gedhe semua. Kalau di sana tu jalannya kecil-kecil semua. Kecil
dan bisa dijangkau jalan kaki semua...
J3
Dan habis itu, setelah itu muncul dorama. Nah begitu ada dorama,
woooo kayak gini ta Jepang...Dulu paling seneng ngikutin tu
Beach Boys. Terus La-La-La-LoveSong. Nah itu kotanya kan yang
aku bilang. Kalau Beach Boys tu aku sukanya satu, suasana
pantainya tu bagus banget. Ceritanya juga. Itu juga artis
kesukaanku juga ada di situ sih. Ryoko Hirosue. Sama yang ngisi
OST nya kan Takashi Sorimachi. Nah itu, favoritku.
J4
Sama kayak sejarah,,, kenapa sih di Jepang tu kayak gini, misal
tata kota, dan sebagainya. Misalnya gini, yang gampang, kenapa
sih kalau di Jepang tu banyak vending machine. Satu, jepang itu
aman. Ga mungkin ada penjarahan. Kalau pun ada penjarahan
paling cuman 0,1persen.
J5
Dua, pola hidup orang Jepang itu adalah mereka butuh instan.
Karena mereka tu kerja, cepet, fokus mereka adalah kerja. Selain
kerja, mereka gak akan mikir. Mereka gak mau mikir “wah aku
masak apa hari ini,” udah, jegleg, masuk, ambil. Itu sederhananya
kayak gitu tu. Udah, dua alasan sederhana itu udah cukup
menjawab semuanya. Iya. Mereka tu butuh yang instan. Mereka
butuh instan, mereka butuh cepet, mereka butuh akurat. Nah
karena mereka butuh akurat, pemerintah pingin, perusahaan dari
mereka tu kalau bisa “kamu bisa gak akurat?” nah itulah, itu
akhirnya mereka bikin,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
141
J6
satu hal lagi, pola pikir masyarakat Jepang itu adalah mereka
setia, dengan pekerjaan. Dan maksudnya dengan loyalnya.
Loyalitasnya tu, jadi kesannya tu, pola pikir bushido kasarannya.
Pola pikir samurai, semangat samurai tu, menurun ke mereka.
Jadi mereka itu, kenapa orang itu bisa loyal sekali sama
atasannya. Sampe ada yang bilang, kalau atasan bilang “bumi itu,
bumi itu kotak,” kamu harus menjaga bumi itu kotak, walaupun
kamu ditodong pistol sekalipun. Iya.. masih turun sampe sekarang.
Itu juga makanya banyak orang mati karena pekerjaan.
Tabel 1. Data Possible state of affairs
Penarasian “Jepang” yang dibahasakan oleh kelima narasumber di atas
menunjukkan adanya proses pembayangan yang beragam, dan justru tidak
menghasilkan satu keutuhan dunia “Jepang”. Hal ini terutama disebabkan oleh
pemilihan film-teks yang berbeda-beda ketika mereka berusaha menarasikan Jepang
dan filmnya. Walaupun kemungkinan masing-masing dari mereka juga menikmati
film-film yang disebutkan oleh narasumber lainnya194
, pemilihan atas satu-dua jenis
film yang mereka favoritkan menentukan arah penarasian yang mereka lakukan. Kira
yang lebih memilih seri Kamen Rider (kamen rider black – 1993) sebagai film-teks
yang ia favoritkan tentu akan menarasikan Jepang yang berbeda dengan Geyol yang
lebih memilih anime sekolah atau olahraga macam SlamDunk (2000). Hal tersebut
juga diperjelas melalui Geyol yang jelas-jelas menyatakan lebih menyukai seri Super
Sentai dibanding seri Kamen Rider. Bahkan, perbedaan itu akan semakin terasa ketika
film-teks yang mereka bicarakan tidak hanya di satu genre anime saja, namun juga
194 Terutama karena sebagian besar film-teks yang disebutkan oleh para narasumber adalah film yang juga disiarkan di televisi Indonesia, seperti Kamen Rider Black (Satria Baja Hitam), Jetman dari seri super sentai, SlamDunk, Digimon, Oshin,ataupun Tokyo Love Story.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
142
menyentuh baik dorama maupun tokusatsu. Di sini peran teks sebagai penentu
batasan interpretasi atas Jepang terlihat dengan jelas.
Peran teks tersebut terlihat akan terlihat dari bagaimana para narasumber
menarasikan film-teks yang mereka sukai masing-masing, yaitu dengan melihat pada
narrative semantics di dalamnya.195
Narrative semantics ini bergantung pada adanya
bentuk atau aturan khusus sebuah struktur naratif – tentu sebagai sebuah bahasa yang
kemudian diciptakan supaya bisa dimengerti di pihak model reader – yang dapat
memantik interpretasi pembaca untuk mengasosiasikannya dengan suatu dunia
tertentu. Dalam hal ini, bentuk naratif teks ditempatkan sebagai satuan sinyal
linguistik yang menghubungkan pembaca dengan sudut pandang pembicara (intentio
auctoris) dan menghasilkan pembentukan storyworld tertentu. Dalam dunia linguistik,
sinyal semacam ini dikenal dengan istilah deixis (misal: disini - disana, sekarang -
kemarin, aku - kamu.)196
Dari tabel.1 di atas terlihat bahwa deixis yang selalu
digunakan untuk menarik pembaca masuk adalah penggambaran Jepang, baik secara
riil – non-animasi (dalam dorama dan tokusatsu) maupun animasi (dalam anime).
Perbedaan bentuk antara film riil dan animasi tidak dijadikan permasalahan
bagi para narasumber untuk menentukan aktualitas film-film tersebut. Justru mereka
menyatakan bagaimana yang riil pun hadir dalam pemaknaan mereka terhadap bentuk
film animasi. Geyol mengungkapkan bahwa ia lebih menyukai live-style anime atau
195 Herman (2005), ibid, bagian Narrative Semantics 196 Ibid. narrative semantics. Ketiganya merupakan tiga bentuk deixis, yaitu spatial, temporal, dan personal deixis. Ketiga jenis deixis ini juga menentukan tiga jenis imersi pembaca pada film-teks, yaitu Spatial, Temporal, dan Emotional immersion. Lihat Ryan (2001), op.cit, hal. 122 - 41
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
143
live-action (G1), yaitu film yang menggambarkan kehidupan yang sedekat mungkin
dengan realitasnya. Baik itu animasi maupun non-animasi, ia tetap mengutamakan
kedekatan penggambaran sesuai realitas dunia Jepang yang ia ketahui. Dari kalimat
yang ia ungkap terlihat bahwa ia hanya merasa asyik apabila ia berhadapan dengan
film-teks yang ia pahami realitasnya seperti apa.(G1) Dengan menyebut istilah fiktif
untuk menerangkan film yang tidak ia tonton, ia mulai melakukan diferensiasi
terhadap film-teks Jepang dengan membaginya antara yang fiksi dan non-fiksi –
walaupun hakikat dari film-film yang ia nikmati adalah film fiksi.197
Contoh dari
film-teks yang ia anggap sebagai film non-fiksi adalah film Jepang yang berlatar
olahraga dan sekolah. Di sini ia melakukan diferensiasi bukan berdasarkan film riil
dan animasi, tetapi dari seberapa mudah ia bisa menerima deixis yang dilayangkan
oleh narator, yaitu penggambaran lingkungan (konteks).
Hal yang sama juga terlihat dari bagaimana Xakha menjelaskan bagian film
Digimon Adventure 1 (1999 – 2000) yang ia sukai. Ia justru paling mengenang
adegan pertarungan yang terjadi di bumi (X1), sedangkan sebagian besar latar
Digimon justru berada di dunia digital. Latar bumi di dalam anime Digimon
Adventure 1 hadir pada episode 28 hingga episode 39 (11 episode dari total 54
episode), dengan narasi yang menceritakan bahwa anak-anak terpilih harus kembali
ke bumi untuk menyelamatkan dunia nyata yang mulai membaur dengan dunia digital.
197 Terlihat dari judul-judul film yang ia ungkap dalam wawancara sebagai film yang mengena di ingatannya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
144
Gambar 1. Stasiun Fuji TV dalam anime Digimon Adventure 1 dan dunia aktual198
Latar yang dipilih untuk arena pertarungan ini adalah Jepang199
, dan yang
dijadikan latar untuk pertarungan utama antara anak-anak terpilih dan
VenomVandemon adalah daerah Odaiba, Tokyo, dengan ikon terkenalnya berupa
stasiun Fuji TV. Bahkan bagian lingkaran dari stasiun tersebut menjadi ikon yang
kemudian dihancurkan oleh Vandemon dan berusaha diselamatkan oleh anak-anak
terpilih.
Sekuen yang dipilih Xakha ini pun menunjukkan bagaimana pertarungan
dunia Digimon tidak hanya terjadi antara anak-anak terpilih dengan digimon jahat,
namun juga menunjukkan keterlibatan aspek dunia nyata secara lebih banyak. Aspek
yang dimasukkan dalam sekuen ini misalnya adalah keluarga dari anak-anak terpilih
198 https://twitter.com/yuyucow/status/499230707001356289 (diakses pada 1 Maret 2017) 199 Berbeda dengan seri Digimon Adventure 2 yang juga di dalamnya terdapat narasi pertarungan di bumi, namun latar yang dipilih tidak hanya Jepang, tetapi juga New York, China, Brasil, dan beberapa tempat yang memiliki simbol-simbol yang sudah mendunia (Patung Liberty, Tembok China, Piramida Mesir, dan lain-lain)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
145
dan properti yang dilekatkan pada keberadaan mereka seperti status pekerjaan,
kendaraan, pola pikir orang tua dan kakak.200
Kesemuanya hadir pada akhirnya
berfungsi untuk memanggil (deixis) pembaca lebih jauh masuk ke dalam dunia anime
ini.
Contoh lain bagaimana situasi dalam film-teks bisa dianggap mungkin oleh
pembaca terlihat pada narasi Koh Oyon – dalam hal ini dorama (O1-O2). Ia
menyukai dorama Jepang dengan menilai bahwa dorama Jepang itu seperti nyata,
sekaligus juga bisa terlihat tidak nyata apabila dilihat sebagai sebuah film (O1). Ia
menanyatakan bahwa dorama Jepang yang ia tonton menyerupai kenyataan Jepang
dengan mencontohkan pada dorama berjudul For the Romantic / Love Catharsis
(Seisei-suru Hodo, Aishiteru) (2016). Dorama tersebut bercerita mengenai manajer
perusahaan perhiasaan Tiffany (O2). Ia menamai dorama tersebut sebagai sesuatu
yang nyata karena mengetahui bahwa dorama ini disponsori juga oleh perusahaan
Tiffany yang memang terkenal di Jepang.201
Dalam hal ini, ia mengakui bahwa
dorama ini di satu sisi adalah nyata (kedekatannya dengan Jepang nyata yang ia
ketahui) sekaligus di sisi lain juga fiksi. Peran deixis untuk menamai Jepang menjadi
sangat kuat dengan strategi peminjaman simbol ke dalam film-teks untuk memancing
pembaca supaya menamainya “Jepang” – dalam hal ini adalah nama perusahaan.
200 Aspek Possible Individu dan property-propertinya akan dibahas lebih lanjut di sub-bab kedua. 201 Ini juga dibantu dengan adanya iklan perusahaan Tiffany di setiap awal episode.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
146
Untuk mencari bagaimana dunia nyata Jepang (WO) dapat diakses dengan
masuk ke dalam dunia film-teks (WN), ambil contoh dari bagaimana Xakha
menceritakan sekuen di dalam anime Digimon Adventure 1 (Wd) – lihat figur.1 di
bawah. Di dalam sekuen tersebut, Taichi (C1) dan Yamato (C2) menjadi karakter
utama yang akhirnya mampu untuk merubah digimonnya menjadi level ultimate
sehingga bisa menghadapi VenomVandemon di arena pertarungan Fuji TV di Odaiba
(OF). Perubahan tersebut hanya bisa terjadi ketika sebuah ramalan terpenuhi, yaitu:
the angels will let fly the arrow of hope and light at the loved ones of those whom
they are to protect, and a miracle will happen.202
Ramalan ini terpenuhi dengan
meminta digimon berbentuk malaikat (DA) milik kedua adik (K) Taichi dan Yamato
untuk menembakkan panah harapan dan panah cahaya ke arah Taichi dan Yamato.
Kedua adik (Hikari dan Takeru) dari Taichi dan Yamato adalah sosok yang
dilindungi oleh digimon malaikat, sehingga orang yang dicintai mereka adalah kakak-
kakak mereka.
Pada Figur.1 di bawah, terlihat bahwa di dunia anime Digimon terdapat tiga
karakter (C1-C3, yaitu Taichi, Yamato, dan Koushiro – sebagai karakter yang juga
terlibat kuat di dalam sekuen ini – yang ketiganya adalah tiga anak terpilih pemilik
digimon). Mereka bertiga sama-sama memiliki properti pria (M – male), bisa
mengakses area Odaiba dan Fuji TV (OF), dan sama-sama memiliki digimon (D).
Walaupun Koishiro juga memiliki digimon dan memiliki kerabat yang ia cintai (K),
202 Anime Digimon Adventure 1 episode 38
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
147
namun kerabatnya bukanlah pemilik digimon (DA) sehingga ia tidak memiliki
properti digimon yang melindungi kerabatnya (DPK). Bagi Taichi (C1) dan Yamato
(C2), properti digimon yang melindungi adiknya (DPK) dan properti adik yang
mencintai kakaknya (KLC) menjadi S-necessary properties203
dalam fabula ini
(ditunjukkan dengan tanda kurung braket).
Figur 1. Perbandingan properti Dunia digimon dan Dunia Jepang
Pertanyaan mengenai akses dunia nyata Jepang (WO) melalui pembentukan
dunia digimon (WD) bisa dijawab dengan melihat tabel properti pembangunan sekuen
tertentu dari fabula dunia digimon tersebut. Dengan mengandaikan bahwa di dunia
nyata terdapat dua manusia pria (M) dan wanita (F), dan mereka dapat mengakses
area Fuji TV di Odaiba (OF), maka pengandaian akses antar dunia ini menjadi
mungkin. Dari tabel pembentukan dunia Jepang (WO) di atas, properti kepemilikan
digimon dihilangkan, sehingga di dunia Jepang nyata, dua manusia pria dan wanita
ini hanya tinggal memiliki properti kekerabatan (K) dan kerabat yang mencintai
mereka (KLC). Namun, kedua properti ini sudah tidak lagi menjadi S-necessary
203 Properti yang tidak bisa tidak ada dalam pembangunan fabula. LIhat Eco (1979), op.cit., hal. 240-241
WO M OF D K DA DPK KLC
M (+) (+) 0 (+) 0 0 (+)
F (-) (+) 0 (+) 0 0 (+)
WD M OF D K DA DPK KLC
C1 (+) (+) (+) (+) (+) [+] [+]
C2 (+) (+) (+) (+) (+) [+] [+]
C3 (+) (+) (+) (+) (-) (-) [+]
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
148
property, karena tidak lagi melihatnya dalam kerangka kepentingan plot. Oleh karena
itu, properti Fuji TV Odaiba menjadi aksen penting dari keberadaan akses antar dua
dunia ini, karena melalui tempat itulah jembatan antara kedua dunia ini bisa dibangun.
Pertemuan antara dunia film-teks digimon dan dunia nyata bisa terjadi ketika
pembaca mengakses Odaiba. Pengetahuan yang diperlukan untuk benar-benar merasa
masuk ke dalam anime tersebut dapat dilihat dari pengetahuan akan Odaiba – Tokyo
– Jepang.204
Hal yang sama juga dialami oleh Geyol yang lebih menyukai anime dengan
tema sekolah dan olahraga, karena pengetahuan yang ia bawa sudah lebih lengkap
untuk bisa digunakan dalam membaca anime sejenis itu – mengingat ia pernah
merasakan sekolah di Jepang dan Indonesia dan dapat membandingkan keduanya.205
Sama juga dengan Koh Oyon yang menganggap dunia dorama Jepang itu nyata
ketika memasukkan pengetahuan akan perusahaan Tiffany dan strategi perusahaan
sponsor tersebut dalam membentuk dorama ini. Eco (1991) menjelaskan hal semacam
ini dengan menggunakan istilah topoi/topos, yaitu bahwa pembaca untuk dapat
menikmati allusion (pernyataan yang merujuk pada sesuatu tanpa harus menyebutnya
secara langsung) harus mengetahui topoi yang orisinil. Topoi tersebut adalah sesuatu
yang terekam oleh pembaca, dan membangun kekayaan imajinasi kolektif milik
204 Odaiba sekarang menjadi atraksi wisata unggulan di daerah sekitar Tokyo. Bahkan sekarang di sana sudah berdiri patung replica Gundam dari seri anime Gundam dengan ukuran nyata, dan juga museum anime dan manga One Piece. 205 Bahkan ia mengatakan secara jelas dalam wawancara bahwa kegiatannya menonton film Jepang adalah sebuah nostalgia.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
149
pembaca tersebut, hingga waktunya topoi tersebut akan dipanggil ke permukaan. Eco
menegaskan bahwa topoi ini berkaitan dengan adanya teks yang dikutip dari teks-teks
yang lain, dan pengetahuan akan teks-teks yang lain tersebut – taken for granted –
merupakan hal yang harus dimiliki untuk bisa menikmati teks yang baru.206
Di sini para pembaca harus membawa banyak pengetahuan dalam
ensiklopedinya, yaitu pengetahuan mengenai keberadaan film-film yang lain
(intertextual knowledge), dan juga mengetahui latar belakang dari film-teks yang
mereka hadapi (seperti produser, sutradara, studio film, sampai ke negara pembuatnya
yang memiliki kebiasaan tertentu dalam pembuatan film – lihat sejarah film pada
masa ideologi Discover Japan dan Cool Japan yang sudah dibahas di bab 2.1.2 dan
2.1.3). Mereka harus tidak hanya memiliki pengetahuan tentang film-teks tersebut,
tetapi juga pengetahuan mengenai dunia, kondisi yang terjadi di luar teks. Di sini
kesulitan penelusuran pengetahuan pembaca di era internet masif menjadi mungkin,
karena pembaca bisa dengan mudah mencari pengetahuan tentang apa pun untuk
membantu mereka membaca – termasuk mencari tahu gedung berbentuk lingkaran di
dalam anime Digimon yang ternyata juga ada di dunia Jepang nyata.
Kesemua strategi penghadiran deixis untuk menarik pengetahuan pembaca
keluar ke permukaan ingatannya dan mengajak pembaca untuk bisa masuk ke dalam
dunia film-teks ini menjadi aksen penting untuk bisa membuat pembaca berimersi
dengan dunia di dalam film-teks. Ryan (2001) mengembangkan konsep deixis
206 Eco (1991), op.cit, hal. 88 - 9
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
150
tersebut untuk menyebut tiga jenis imersi, yaitu imersi spasial, temporal, dan
emotional. Dalam pembentukan possible state of affair ini jelas strategi yang
digunakan adalah penciptaan usaha imersi spasial, dimana pembaca membangun
relasi intim dengan latar dan juga menciptakan perasaan hadir di scene suatu
peristiwa dalam film-teks. Mereka menciptakan mental model of space207
yang
mengisyaratkan bahwa mereka masuk ke dalam peta suatu dunia fiksi dan membuat
gambaran imajinasi atas perubahan-perubahan lanskap seturut sekuen tertentu dari
karakter dalam film-teks. Pengalaman imersif ini bergantung pada intensitas
pengetahuan yang dipakai dalam mendeskripsikan suatu penggambaran tertentu di
dalam imajinasi mereka.
Usaha untuk memancing pembentukan mental model of space ini sangat kuat
dibantu dengan penggunaan nama tempat – seperti Odaiba, atau perusahaan Tiffany.
Menurut skala imersivitasnya, Ryan (2001) membagi tiga jenis perangkat
pengonstruksian tempat (spasial) sebagai strategi yang sering dilakukan dalam teks.
Pertama, penggunaan nama tempat yang sudah pernah dikunjungi atau nama tempat
yang memiliki ikatan kuat dengan pembaca dan memanggil memori akan suatu
deskripsi tertentu di ingatan pembaca. Dua, penggunaan nama dari tempat-tempat
terkenal yang nyata terdapat di suatu wilayah dan pernah kita dengar atau kita
impikan walaupun belum pernah dikunjungi. Ketiga, penggunaan detil-detil dalam
207 Ryan (2001) membedakan antara sense of place dan mental model of space. Dalam konsep Sense of place, pembaca menyerap atmosfer dari tempat yang mereka hadapi, sedangkan mental model of space lebih mengisyaratkan proses menggambarkan perubahan lanskap dalam imajinasi pembaca. Lihat Ryan (2001), op.cit., hal. 123 - 24
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
151
mendeskripsikan suatu wilayah, yang oleh Roland Barthes disebut dengan the Reality
Effect, yaitu: penyebutan detil konkret yang bertujuan untuk menghidupkan atmosfer
sebuah tempat yang kemudian menyentak masuk ke dalam ingatan pembaca.
Perangkat ini justru biasanya terlepas dari ikatan simbolik di dalam teks dan juga
terlepas dari kepentingannya atas plot. Dengan kata lain, perangkat ini justru sesuatu
yang trivial dan muncul secara sembarang di dalam teks, tetapi berfungsi untuk
mengatakan bahwa “ini adalah dunia nyata.”208
Dalam tiga pembagian ini, argumen dari Geyol (G1) menunjukkan jenis yang
pertama, karena dia memiliki ingatan yang kuat di masa kecilnya dengan kehidupan
sekolah di Jepang, sehingga ia menyebutkan live-style anime atau film tentang
sekolah atau olahraga sebagai film ia sukai. Jenis yang kedua tampak dari argumen
Koh Oyon (O2) dan Xakha (X1) dengan menunjukkan bahwa film-teks Jepang juga
merupakan dunia nyata dengan memasukkan pengetahuan tertentu. Kedua jenis
strategi ini menampakkan bagaimana ingatan pembaca dan pengetahuan yang (harus)
dibawa oleh pembaca terpanggil oleh teks untuk akhirnya membentuk dunia imajinasi
di pembaca.
Yang ketiga, jenis perangkat Reality Effect justru tampak jelas dari argumen-
argumen yang dikeluarkan oleh Kira dan John Switch. Mereka menarasikan hal-hal
yang trivial di dalam film-teks, dan justru bukan hal yang mempengaruhi plot utama
film-teks, namun tetap menganggapnya sebagai aspek yang membangun dunia nyata
208 Ibid. hal. 130
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
152
Jepang. Kira menyebutkan mengenai efek teknologi yang maju sehingga
mempengaruhi ritem kehidupan orang Jepang (K1). John Switch menceritakan
mengenai keadaan kota dan kehidupannya (J1), yang termasuk di dalamnya adalah
situasi sekolah yang berbaju bebas, kegiatan dari ibu-ibu yang membicarakan
peraturan membuang sampah, serta kebiasaan orang Jepang berjalan kaki (J2).
Semuanya ini merupakan narasi yang dihasilkan dari pertemuan Kira dan John
Switch dengan film-teks – yang sebagian sudah dibahas juga di bab 3.2.1: Teknologi,
Kota, dan Sejarah. Dengan menyebutkan aspek-aspek tersebut – yang bukan
merupakan strategi penamaan secara jelas seperti pada jenis pertama dan kedua –
proses negosiasi antara penggambaran hal trivial di dalam film-teks dan paparan
pengetahuan yang terbawa oleh pembaca menjadi kompleks. Pembaca melakukan
proses menemukan “Jepang” dengan memberi nama baru pada state of affairs yang
tampak di dalam film-teks dan mencari segala kemungkinan (possible)209
untuk
disebut Jepang. Dalam hal ini, kesadaran bahwa dirinya berada di dalam suatu state of
affairs tersebut mandiri (independen) dari dunia tekstual yang seakan-akan nyata di
hadapannya.210
Ketika Kira mengatakan, “…ketinggalan kereta ya kereta berikutnya ada lagi.
15 menit apa 5 menit. Ya ada ya ada lagi. Beneran ada, beneran dateng…”, (K1) di
dalam kalimat tersebut terlihat bagaimana ia mencampur-adukkan dunia tekstual yang
209 Untuk menginterpretasikan sebuah tanda (sign) berarti untuk meramal – secara ideal – segala kemungkinan konteks yang ke dalamnya bisa dimasukkan tanda tersebut. Lihat Eco (1991), op.cit. hal. 213 210 Ryan (2001), op.cit. hal. 130
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
153
seakan-akan nyata dengan pengetahuan yang ia bawa. Pemberian waktu 15 menit
atau 5 menit bukanlah informasi yang didapat secara jelas di dalam film-teks. Ia
hanya mendapatkan informasi bahwa ketika tokoh di dalam film-teks terlambat
menaiki kereta, kereta berikutnya datang tidak lama setelah. Ia menegaskan, “…ya
ada lagi. Beneran ada, beneran dateng…” dari fakta tersebut, namun menambahkan
penghitungan waktu 15 atau 5 menit melalui pengetahuan yang ia bawa selama ini.
Fungsi dari informasi yang ia tambahkan ini adalah untuk menyangatkan kata
“beneran” yang ia ungkap – yang menandakan bahwa ada pengalaman kaget atas
sesuatu fenomena yang baru (bahwa ada yang tidak beneran – di sini terlihat posisi
pembicara menempatkan dirinya dari suatu lingkungan tertentu)
Pencampur-adukkan pengetahuan dengan film-teks terlihat lebih jelas dalam
ucapan John Switch, yang mengatakan, “… emang jam buang sampah jam segini?
Pas ngecek di kebudayaan kota-kota Jepang ternyata memang ada jam buang
sampah di Jepang tu jam segini…” (J2). Secara jelas John Switch menyatakan bahwa
ia mengakses informasi mengenai kebudayaan kota-kota di Jepang untuk memenuhi
rasa keingintahuannya terhadap informasi yang sebenarnya hadir secara acak dan
tidak memiliki keterikatan dengan plot utama – sehingga pemenuhannya pun
sebenarnya bukanlah hal yang wajib.
Beberapa bahasa yang diungkap oleh John Switch pun menunjukkan hal yang
sama. Dalam ucapan “wah ternyata mereka lebih suka jalan dibanding naik sepeda,
kenapa ya? […] wah ternyata emang di sana tu bentuk kotanya kecil […] ternyata
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
154
letak kotanya sama letak ini dan sebagainya tu ternyata gak begitu jauh kayak di sini,
kalau di sini kan jalannya gedhe-gedhe semua. Kalau di sana tu jalannya kecil-kecil
semua. Kecil dan bisa dijangkau jalan kaki semua.”(J2) Dari bahasa yang diungkap
ini bisa didapat beberapa hal yang melatarbelakangi pemilihan pembaca – atau dalam
istilah Eco adalah proses abduksi presuposisi,211
yaitu:
1. Menyimpulkan secara niscaya bahwa “mereka” lebih suka berjalan kaki
daripada naik sepeda di dalam film-teks, sehingga pertanyaan “kenapa ya”
muncul dari membandingkan dengan keadaan yang dialami secara
personal oleh John Switch. Dalam artian, John Switch hidup di lingkungan
dimana “kita” (untuk menegasikan “mereka”) lebih tidak suka jalan kaki,
sehingga pertanyaan “kenapa ya” menjadi relevan.
2. Kata “ternyata” yang hadir di depan kalimat “di sana bentuk kota kecil”
menandakan bahwa John Switch mendapatkan informasi mengenai bentuk
kota yang kecil “di sana” setelah pertemuannya dengan film-teks.
Informasi tersebut bukan informasi yang didapat dari film-teks.
3. Kata “di sana” berarti menempatkan diri sebagai yang “di sini”, sehingga
kalimat “gak begitu jauh kayak di sini” menjadi relevan. Hal ini
disangatkan dalam kalimat “Kalau di sini kan jalannya gedhe-gedhe
211 Proses abductive presuppositions menegaskan bahwa teks hadir sebagai empty form to which can be attributed various possible sense. Lihat Umberto Eco, A Theory of Semiotics (London: Indiana University Press, 1976), hal. 139
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
155
semua” sehingga memperlihat proses pembandingan dua area spasial yang
berbeda.
4. Pada kalimat “kecil dan bisa dijangkau jalan kaki semua” menunjukkan
adanya proses generalisasi secara tak disadari. Dengan menggunakan kata
“semua” berarti John Switch juga ingin menyatakan bahwa semua orang
“di sana” suka jalan kaki. Di sini terlihat bahwa John Switch mulai tidak
hanya membandingkan dua area spasial, namun juga membandingkan dua
tradisi, antara yang “di sini” dan “di sana,” antara yang suka jalan kaki
dan yang tidak.
Contoh lain dari data yang didapat ada pada ungkapan John Switch: “kenapa
sih kalau di Jepang tu banyak vending machine?”(J4). Ia menerangkan alasannya
yaitu “…Jepang itu aman, gak mungkin ada penjarahan, kalau pun ada penjarahan
paling cuma 0,1 persen…”(J4) dan “mereka butuh instan […] mereka gak mau mikir
“wah aku masak apa hari ini,” udah, jegleg, masuk ambil” (J5). Dari ungkapan-
ungkapan ini dapat ditarik beberapa hal, yaitu:
1. Pertanyaan yang dilontarkan John Switch lagi-lagi menandakan konteks
pengetahuannya, yaitu tempat yang tidak banyak terdapat vending
machine.
2. Dengan menyangatkan bahwa Jepang itu aman melalui kata “gak mungkin”
dan ”0,1 persen”, ia berusaha untuk menafikan pencarian data keamanan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
156
Jepang dan menyimpulkan sebuah prosentase.212
Ia berusaha
menampilkan bahwa Jepang – secara keseluruhan – adalah daerah yang
aman dengan membandingkan pada konteks adanya daerah lain yang tidak
aman – di sini terdapat kemungkinan ia membandingkan dengan konteks
dimana ia hidup.
3. Ia menyimpulkan adanya pola kehidupan di Jepang yang serba ingin
instan dengan mengaitkannya pada kehadiran banyaknya vending machine
dari film-teks yang ia hadapi. Di sini terlihat bagaimana ia bukan hanya
mencampur-adukkan dunia film-teks dengan dunia nyata, tetapi lebih jauh
berusaha kemudian menggunakannya untuk menamai Jepang di dunia
nyata.
Dari beberapa aspek yang berhasil didapatkan dari narasi kelima narasumber
di atas, terdapat dua aspek penting yang menunjukkan proses mereka dalam
mempercaya state of affairs di dalam film-teks menjadi mungkin. Pertama, abduksi
yang mereka lakukan menunjukkan proses pentingnya topoi yang disusupkan oleh
pembaca pada film-teks untuk bisa membangun konteks dan lingkungan yang
mungkin tercipta secara utuh. Dari dua jenis strategi penciptaan imersi spasial
pertama dan kedua, didapatkan bahwa Geyol menanggapi realitas di dalam film-teks
sesuai dengan ingatannya (nostalgia), dan Xakha maupun Koh Oyon mengakui
212 Untuk rerata tingkat kriminalitas – termasuk penjarahan – bisa dilihat pada http://www.nationmaster.com/country-info/compare/Japan/United-States/Crime atau https://knoema.com/atlas/Japan/topics/Crime-Statistics (diakses pada 7 April 2017)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
157
realitas tersebut melalui pencarian pengetahuan akan nama Odaiba dan Tiffany.
Ketiganya menunjukkan proses pencurian topoi yang digunakan untuk memberi
makna pada nama-nama yang hadir di dalam film-teks, baik berdasarkan pengalaman
personal, maupun dari interpretant yang bisa diakses berdasar nama riil (Odaiba dan
Tiffany). Sekolah dan olahraga tidak akan dinamai dengan Jepang apabila tidak
menyangkutkan pengalaman personal. Begitu juga Odaiba maupun Tiffany tidak
akan disebut sebagai simbol dari nama Jepang apabila tidak disusupi pengetahuan
tentangnya.
Kedua, selain mencuri topoi atas Jepang yang terpapar kepada mereka di
dalam konteks Indonesia, mereka melakukan proses menamai Jepang juga dengan
secara intens membandingkan Jepang dengan konteks dimana mereka hidup. Di sini
terlihat pembangunan dunia melalui adanya dunia yang kontrafaktual dari dunia
dalam teks. Mereka menciptakan yang “Jepang” melalui strategi pengontrasan
terhadap konteks lokal kehidupan mereka di Indonesia. Kata “beneran” yang diucap
Kira menunjukkan pengetahuan akan dunia yang ia tinggali, dimana rasa tidak
percaya bisa muncul menyertai kata “15 menit apa 5 menit” atas ketepatan waktu
yang selalu terjadi di Jepang. Narasi John Switch pun demikian, bahwa pertanyaan
“kenapa” bisa hadir menyertai ketidakpercayaan bahwa orang Jepang lebih menyukai
jalan kaki. Kata “ternyata” menggambarkan kebutuhan John Switch akan informasi
yang harus ia dapatkan untuk menamai kenyataan Jepang yang ia lihat di dalam film-
teks – kenyataan dalam film-teks menjadi kenyataan di dunia aktual. Bahkan John
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
158
Switch secara jelas menyatakan “di sini jalannya gedhe-gedhe semua” yang secara
tidak langsung membuatnya berpikir bahwa orang yang hidup di sini tidak menyukai
jalan kaki. Konteks khas kota Yogya dan Jakarta tempat ia pernah tinggali hadir di
sini, dimana kedua kota ini menyiratkan kesulitannya dalam berjalan kaki di tengah
banyaknya orang yang menggunakan kendaraan. Simpulan tentang alasan banyaknya
vending machine di Jepang pun menjadi satu hal yang semakin memperlihatkan
konteks di mana ia tinggal, yaitu di tempat yang tidak aman sehingga tidak terdapat
vending machine seperti di Jepang. Antara yang aman dan tidak aman menjadi alasan
baginya untuk menamai Jepang lebih jauh.
Dua teknik ini – menyusupkan pengetahuan akan Jepang dan mengontraskan
terhadap Indonesia – menjadi proses yang terlihat untuk mencipta state of affairs
dalam film-teks menjadi possible state of affairs Jepang. Detil-detil yang sebenarnya
acak tersebut – karena tidak mempengaruhi fabula – menyampaikan kesadaran akan
latar film-teks dan memfasilitasi terjadinya imersi spasial. Proses yang sebenarnya
tidak bisa begitu saja digunakan untuk menamai Jepang menjadi proses masuknya
mereka ke dunia Jepang yang mungkin. Result dari pola abduksi yang sudah
disampaikan di bab 3.2 terlihat jejaknya melalui proses penamaan ini.
Namun, menamai mungkinnya state of affairs saja tidak cukup untuk
mencapai Result dimana para narasumber bisa akhirnya melakukan kritik atas
lingkungan mereka dari sudut pandang luar – berposisi di dalam teks, di luar dunia
aktualnya. Keberjarakan dari kritik tersebut menandakan bahwa mereka tidak lagi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
159
semata-mata hidup di dunia aktual, tetapi sudah menjelma menjadi karakter yang
berposisi di dalam fabula film-teks. Kehadiran topoi dibalik narasi yang mereka
ungkap menunjukkan jalan yang membawa mereka masuk ke dalam film-teks dan
memudahkan mereka menjelma menjadi karakter yang hidup di dalamnya. Topoi
menjadi semacam shibboleth213
yang menunjukkan konteks tertentu dimana mereka
hidup, walaupun setelahnya mereka tak lagi hanya hidup di satu dunia, tetapi juga
hidup di dalam dunia Jepang yang mereka percayai.
4.2. Hidup sebagai Jepang
Seperti yang diungkap Ryan (2006) di atas, semesta system of possible-world
terdiri dari dua bagian. Yang pertama adalah dunia yang dibuat se-aktual mungkin.
Dunia ini merupakan dunia bentukan dari possible state of affairs – seperti yang telah
dibahas di sub-bab 4.1 – yang aktualitasnya justru diciptakan oleh usaha pembaca.
Yang kedua adalah konstelasi wilayah (dunia) privat individu yang mengorbit pada
keberadaan dunia aktual tersebut. Kedua bagian ini terbangun serupa sistem tata
surya. Ketika pembaca sudah mencipta possible state of affairs, maka yang perlu
dicari berikutnya adalah bagaimana pembaca menamai karakter dan aksinya di dalam
film-teks sehingga bisa membentuk sistem tata surya possible-world yang lengkap.
Berikut narasi dari narasumber yang menunjukkan proses menamai individu dalam
film-teks:
213 Eco (1991), op.cit, hal. 88 – 89. Shibboleth adalah kata atau cara berbicara atau bersikap yang menunjukkan bahwa seseorang adalah anggota suatu kelompok tertentu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
160
Kira
K2
Ya walaupun kalah tapi tetep dicoba terus sampai dia bisa. Soalnya
kalau, menurut saya, di Jepang tu yang dihargai tu mungkin proses
ya. Prosesnya orang itu ya. Lebih mengutamakan proses daripada
hasil. Soalnya kalau jepang, kalau prosesnya sudah susah gitu,
hasilnya enggak gitu ya udah, diulang dari proses lagi. Enggak
hasilnya itu nanti diapain tu enggak. Prosesnya yang diulangi,
bukan hasilnya…
K3
Kalau gaim memang aku ikuti karena Jepang banget tu lho.
Walaupun desainnya buah-buahan, tapi kan dia kan desainnya
desain samurai…
K4
Ya kalau kotaro minami kan ya pantang menyerah itu. Walaupun
dihajar habis-habisan, dia tetap pantang menyerah. Dia selalu
bangkit dari masalah. Dengan cara dia sendiri...
Geyol
G2
temen-temen saya itu adalah konsumsinya konsumsi superhero
Jepang. Mereka mendapatkan sebuah jiwa kepahlawanan itu dari
film-film tokusatsu Jepang….
G3
Yang masih ada jiwa apa ya, api membaranya, misalnya yang
keren, yang super-heroik gitu kan ya,, tapi selain itu saya lebih
suka nonton yang kayak olahraga, kayak istilahnya tu sekolah
Jepang, lucu-lucuan, segala macem itu fresh buat saya. Kalau yang
fiktif-fiktif malah justru saya suka enggak nonton…
G4
Kok berantemnya pun ga ada gregetnya gtu lho istilahnya… Tapi
kalau jaman saya, seperti kamen rider ichigo, superone, segala
macem, sampai aktornya sendiri itu turun. Bisa berantem, ya kan.
Seperti itu. Dan juga ada kringetnya, lari-lari. Terus juga dari segi
bahasanya tu kan lebih kecowokan, pahlawan banget gitu kan,
pembela kebenaran lah istilahnya. Tapi kalau yang sekarang-
sekarang tu sangat gitu-gitu aja, yaudah gitu-gitu aja, seperti
yaudah, punya musuh, tapi punya musuh di lingkup yang sama. Ga
ada istilahnya tu melindungi dunia. Mereka bilang melindungi
dunia tapi kok, gitu-gitu aja….
G5
Kalau dulu lebih konsepnya lebih ke,, apa ya… eee.. seperti tenaga
dalam. Seperti budaya-budaya Jepang seperti ninja,
seperti…Kakuranger… itu pun… sebenernya kemarin keluar serial
baru, namanya Ninninger. Tapi ninninger, bagi saya itu bukan
ninja, gitu. Karena ya seorang ninja itu harus budaya Jepang, ya
kan. Harus yang istilahnya itu, ya kalau saya pikir sih rambutnya
hitaam, ya kan, selalu, istilahnya tu ninja tu kan bersembunyi. Tapi
konsep yang sekarang tu ninninger, bisa dikatakan bahwa ninja
yang tidak bersembunyi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
161
G6
Bagi saya itu, wah kok seperti ini. Menjual sekali. Karena bajunya
mentereng, robot-robotnya mentereng, banyak jenis robotnya.
Bukan storynya yang, apa ya,, alur ceritanya yang dijual, tapi
adalah.. apa yang bisa dijual. Aktornya ganteng-ganteng, padahal
dulu ga ganteng-ganteng gitu lho. Bener-bener yang keliatan
seperti ninja yang dipilih, yang matanya sipit, yang kira-kira
badannya lincah gitu kan. Yang tenaga dalam pun, aktornya harus
bisa kungfu. Bener-bener latihan kungfu… Tapi kalau sekarang sih
aktor ya kan. Kok jagoan maksudnya lempeng kayak gini, waktu
berubah kok jadi keren banget transformnya. Itu yang ga masuk
akal. Itu yang membuat saya tidak tertarik lagi…
G7
Saya lebih suka, karena kalau dari sifat saya sendiri lebih suka
bekerja tim kan. Jadi ada leader, ada wakil leader, ada istilahnya
tu, apa ya, eee bagian penyemangatnya, ada bagian yang sedih-
sedihnya, yang tabah segala macem. Lebih berwarna filmnya itu.
Kalau kamen rider, ya satu orang itu yang ditonjolkan. Yang
lainnya cuman, istilahnya tu, ya pelengkap lah. Istilahnya kan
rider-rider lainnya pelengkap. kalau supersentai kan satu tim….
G8
Supersentai saya yang paling berkesan tu Jetman. Jetman tu tahun
90 berapa itu. 94 atau 93… 92. Iya saya langsung nonton di
Jepang. Itu, justru malah untuk dewasa, bukan untuk anak-anak.
Karena ada percintaan setiga, cinta segitiga, yang warna..apa..
hitam malah ngerokok, sering main club, clubbing, tapi dia punya
jiwa kepahlawanan walaupun omongannya kasar. Jadi
memperlihatkan bahwa jangan menilai orang dari sisi luarnya, tapi
dalamnya. Justru malah mengajarkan hal-hal seperti itu…
Misalkan kayak si putih seneng sama si merah, si hitem seneng
sama si putih, si hitemnya itu benci sama si merah, tetapi sebagai
tim bagus. Dan tetap mengalah. Dan pada akhirnya si hitam mati…
Dan helmnya sampe pecah-pecah, sampai efek-efek darahnya ada.
Koh
Oyon
O3
Ya asik wae. Padahal itu cinta-cintaan lho kui. Iya.. tapi ya asik
aja. Dalam artian, yo lakone full gitu. Beda sama hideaki takizawa
yang dulu. Hideaki takizawa yang dulu kan ketoke ya cuman cinta-
cintaan tapi masih kayak anak muda. Nah sekarang sudah enggak.
Beda. Memang sudah tua ta…
O4 Ada pelajarannya, gampangane gitu lah… daripada sing cuman
cinta-cintaan thok.. ya gitu-gitu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
162
O5
Ada… ini.. jadi guru ki ngene ngene ngene ki lho. Iki lho critane.
Suka duka guru tu seperti ini. Terus nanti kan mesti ada komunitas
kayak gini.. Nah, gitu.. Pokoknya yang ada wujudnya, apa ya…
yang aku seneng, kalau jadi guru… Terus yang itu, yang… yang
mangaka bekas geng motor itu…Iya. Itu. Itu kan juga bagus itu..
Nha… itu apik.. aku seneng yang gitu-gitu.. Ada yang dia bener-
bener dari yang bajingan jadi apik. Aku lebih seneng itu…
Xakha
X2
berkesan gitu lho, maksude yo nek dibandingke sama bagian yang
lain. Ya soalnya kan cuman dua orang itu yang dapet kekuatan
itu... Ya makanya kan anime jaman dulu tu enaknya kita gak mikir
fanservice. Emang kita juga menikmati jalan ceritanya dan
nganunya itu. Kayak emang digimon tu udah ada nilai,, nilai jual
tersendiri gitu lho. Di luar fanservicenya, jadi dari cerita, dari
karakter, atau dari apanya gitu lho. Ya kalau ditanya, dari aku dari
karakter sama ceritanya. Karakternya keren-keren gitu lho.
Maksudnya, buat menarik untuk anak-anak jaman dulu gitu lho,
untuk ditonton. Lha alasannya ditonton ulang tu ya masih worth it
gitu… Ya karakternya keren-keren gitu. Bentukan karakternya…
X3
Iya. Terus digimon-digimonnya kan keren-keren… Walaupun
sampai terakhirnya x-cross kan malah kayak lebih ke anak-anak
lagi kan. Emang,, ya emang itu untuk, pasarnya, pasarnya untuk
anak-anak lagi. Untuk mendongkrak mainan ta. Kan Bandai.
X4
Kesamaannya sih. Kalau dari digimon, sama-sama berubah. Iya,
kamen ridernya juga berubah. Iya, upgrade. Upgrade terus… Ya
kokehan mungkin di situ ya, nilai nganunya, yang bikin orang
tertarik untuk ngikutin, besok ada apa lagi ya. Kayak penasaran
gitu… Katakanlah di satu seri, orangnya ada tujuh, woh yang ini
udah berubah, woh yang ini besok berubah jadi apa ya… Kan
istilahnya kayak itu, digimon pertama, yang bisa berubah cuma
wargreymon sama metalgarurumon, lha trus sekarang bisa ada
semua. Semua bisa berubah. Sekarang garudamon jadi
phoenixmon… Di sini angewomon berubah. Terus
megakabuterimon itu berubah jadi herculeskabuterimon. Jadi
emas. Zudomon itu juga berubah. ini berubah semua nanti…
John
Switch J7
Di Jepang misalnya kayak La-La-La-LoveSong. Itungannya, dia
bisa sampai ke luar negeri, dia bisa dapet ini. Endingnya kan dia ke
luar negeri. Kan itu kan, logis kan, dia bisa gitu ya kenapa. Ya dia
latian dari dulu, dia emang punya bakat dari pertama, terus
akhirnya dikembang-kembangin ikut kompetisi dan sebagainya.
Logis kan dia bisa ke luar negeri… Bukan karena tiba-tiba aku mau
gini, terus cuman gitu tok, ting, tiba-tiba bisa. Itu ga logis kan.
Tabel 2. Data Possible Individual
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
163
Dari tabel data possible individual di atas terlihat bagaimana kelima
narasumber menarasikan pertemuannya dengan film-teks melalui properti-properti
yang dibawa oleh karakter di dalamnya. Melalui strategi pemberian properti semacam
itu, individual di dalam film-teks yang pada hakikatnya adalah fiksi dimungkinkan
untuk dipercaya sebagai individu yang juga hidup di dunia nyata – atau pembaca
masuk ke dalam dunia film-teks dan menganggapnya sebagai dunia nyata dengan
individu-individu yang juga nyata. Saling tumpang tindihnya identitas individu yang
ada di dunia film-teks dan dianggap ada di dunia nyata ini menyiratkan adanya
strategi pembentukan transworld identity sebagai strategi yang dilakukan oleh
pembaca. Eco (1979) menyebutkan bahwa strategi pembentukan transworld identity
ini menggambarkan usaha pembaca untuk dapat meletakkan bermacam profil di
dalam objek yang mereka hadapi. Usaha membangun profil ini adalah usaha untuk
mencipta suatu topik secara tekstual.214
Dengan melihat data pada tabel.2 melalui peletakan properti-properti untuk
menamai individu, maka data tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua jenis usaha
peletakan properti. Pertama, individu yang menjadi mungkin dengan
menempatkannya pada konteks Jepang tertentu, seperti fisik, konsep budaya, atau
pola individu yang oleh pembaca dimitoskan sebagai yang “Jepang”. Pada bagian ini,
usaha pembaca dalam meletakkan topoi akan kembali terlihat. Kedua, individu yang
menjadi mungkin ketika pembaca melihat fungsinya dalam fabula untuk menamai
214 Eco (1979), op.cit. hal. 230
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
164
film-teks itu sebagai sesuatu yang Jepang. Justru pada jenis yang kedua ini mulai
terlihat usaha pembaca dalam menjelma menjadi karakter di dalam film-teks –
sehingga pembaca tidak lagi mengkritik dari luar teks, namun menjadi subjek yang
dikritik di dalam film-teks.
Dalam memaknai tokoh di dalam film-teks, Kira menyatakan bahwa ia
mengikuti seri kamen rider hingga Kamen Rider Gaim karena masih adanya unsur
Jepang yang selalu ia cari dalam memilih film. Ia berargumen bahwa Gaim masih
“Jepang banget” walaupun desain dari kostumnya berangkat dari unsur buah-buahan.
Ia menamai Gaim sebagai sesuatu yang sangat Jepang ketika melihat bahwa desain
yang tampak adalah desain samurai (K2). Dengan ini ia secara tegas menyatakan
bahwa individu Gaim mungkin untuk dinamai sebagai Jepang karena membawa
properti samurai sebagai pembangunnya.
Lain halnya dengan Geyol, ia mengalami keragu-raguan dalam menilai film-
teks yang ia nikmati. Ketika Geyol mengatakan bahwa dulu konsep dari seri super
sentai yang ia nikmati lebih ke “tenaga dalam” (G5), terlihat keragu-raguan dalam
menamai istilah tersebut hingga ia kemudian merekatkannya dengan konsep “budaya-
budaya Jepang seperti ninja” untuk menyatakannya sebagai film yang bisa dianggap
“Jepang”.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
165
Gambar 2. Kakuranger (kiri) dan Ninninger (kanan) dalam kostum ninja215
Namun pernyataan tersebut kembali ia negasikan dengan menampilkan
penjelasan bahwa di seri super sentai sudah dua kali konsep Ninja diangkat, yaitu
Kakuranger (1994-1995) dan Ninninger (2015-2016), namun mengontraskan
keduanya. Ia mengatakan bahwa ninninger bukanlah ninja, tidak seperti
pendahulunya, karena ninja haruslah “budaya Jepang” sedangkan ia menganggap
ninninger tidak lagi membawa properti “budaya Jepang.”
Ia menjelaskan ninja yang membawa properti “budaya Jepang” tersebut
melalui dua hal, yaitu ninja yang memiliki rambut berwarna hitam (seperti terlihat
dalam gambar.2 di atas, dalam ninninger tidak semua individu berambut hitam), dan
ninja yang bersembunyi – sedangkan dalam ninninger justru para karakternya
menegaskan bahwa mereka ninja yang tidak bersembunyi.216
Di sini Geyol mulai
215 https://www.pinterest.com/Tjhill96/kakuranger/ dan https://dryedmangoez.com/tag/shuriken-sentai-ninninger/page/2/ (diakses pada 9 April 2017) 216 Dalam ninninger, karakter utamanya (ranger merah) seringkali mengucapkan “Shinobi dakedo, shinobanai” sebagai slogan tim mereka. Kata shinobi berangkat dari kata kerja shinobu yang artinya bersembunyi, sehingga ketika dirubah menjadi kata benda shinobi kata tersebut memiliki makna leksikal yaitu tersembunyi atau tidak terlihat. Dalam perkembangannya, kata shinobi dilekatkan dengan dunia ninja sehingga kata ini kemudian memiliki makna gramatikal yaitu untuk menamai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
166
melakukan diferensiasi untuk membentuk pengelompokan berbasis “budaya Jepang”
yang ia namai sendiri, berlawanan dengan intentio auctoris dari film-teks yang
tampak ingin membawa konsep ninja secara baru. Hal ini bisa dilihat sebagai sebuah
bentuk kritik dari pembaca yang memperlihatkan ragam topoi yang dibawanya.
Geyol kemudian melanjutkan kritiknya dengan membandingkan lebih jauh
properti yang dibawa oleh kedua seri supersentai tersebut. Ia menilai bahwa ganteng
atau tidaknya aktor juga menunjukkan sejauh apa film-teks yang dihadapi bisa ia
terima (G6). Dengan membawa topoi “budaya Jepang”, ia juga meletakkan properti
mata sipit dan badan yang lincah sebagai syarat untuk bisa menerima konsep ninja
yang dibawa oleh kedua film-teks – dan meletakkannya di dalam kerangka “budaya
Jepang.” Seorang aktor untuk bisa memerankan ninja bagi Geyol haruslah aktor yang
memiliki tenaga dalam dan memiliki kemampuan kungfu secara nyata, tidak seperti
aktor-aktor dalam ninninger yang ia nilai dengan “lempeng” namun bisa “keren”
ketika berubah (G6.) Selain itu, ia mengajukan syarat bahwa untuk bisa diakui secara
nyata, tokoh-tokoh dalam film-teks ini harus bisa “berantem,” berkeringat ketika
“lari-lari,” aktornya benar-benar “turun” sendiri di dalam bertarung (G4), bahkan
sampai terlihat adanya efek darah dari pertarungan tersebut (G8.) Semua properti
yang ia nyatakan berangkat dari usahanya mengritik film-teks yang lebih baru, dan
hal ini menunjukkan seberapa kuat imaji nostalgia dalam pembangunan kritiknya.
sosok ninja itu sendiri – untuk menegaskan sifat ninja yang selalu tidak terlihat seperti dalam mitos-mitosnya. Kata shinobanai sendiri adalah perubahan bentuk negatif dari kata kerja shinobi. Sehingga kalimat tersebut bisa juga diartikan sebagai “tersembunyi (ninja) namun tidak bersembunyi.”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
167
Sama halnya dengan Geyol, Xakha juga menunjukkan imaji nostalgia dalam
narasinya. Ini berawal dari kata-katanya yang mengatakan alasannya sewaktu kecil
mengikuti anime Digimon Adventure 1 (1999-2000), yaitu dari cerita dan karakternya
dengan berkata, “karakternya keren-keren gitu lho, maksudnya buat menarik untuk
anak-anak jaman dulu gitu lho [...] bentukan karakternya.”(X4) Karena menariknya
bentuk karakter dalam anime tersebut, ia mengatakan bahwa anime yang menurutnya
ditujukan untuk anak-anak tersebut masih menarik untuk “ditonton ulang itu ya
masih worth it gitu.”(X4) Di sini terlihat bagaimana imaji nostalgia sangat kuat
mempengaruhi usaha Xakha mempertahankan topoi dalam pengulangan kegiatan
menonton anime Digimon bahkan sampai ia dewasa.
Dengan mengatakan “digimonnya kan keren-keren... walaupun sampai
terakhirnya Xros kan malah kayak lebih ke anak-anak lagi kan,” ia menampakkan
kebingungan dalam merakit lini waktu kata-katanya. Sebelumnya ia mengakui bahwa
digimon yang ia nikmati berulang kali (digimon adventure 1) memiliki karakter yang
keren dan pandangan keren tersebut bertahan hingga ia menontonnya untuk kesekian
kalinya sewaktu sudah mahasiswa. Digimon yang keren untuk anak-anak akan tetap
keren hingga ia mahasiswa – dengan kata lain, hakikatnya adalah untuk menarik
Xakha yang “anak-anak.”
Namun, dengan memasukkan kata “walaupun,” ia sekarang justru
menyayangkan bagaimana karakter pada digimon XrosWars (2010) kembali ke
tujuannya untuk menarik anak-anak. Ketika imaji nostalgia begitu kuat, properti
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
168
“kembalinya tujuan untuk anak-anak” seharusnya menjadi kesamaan yang bisa
membuat dua anime digimon ini setara di mata Xakha.
Hal ini menandakan bahwa argumennya tentang digimon adventure 1 yang
“worth it” untuk ditonton berulang kali karena karakternya menarik untuk anak-anak
menjadi gugur dihadapan argumen berikutnya. Nostalgia tetap menjadi alasan paling
kuat yang belum terjelaskan ketika melihatnya dari argumen ini saja. Argumen Xakha
yang menyiratkan nostalgia harus dilihat dengan menghapus imbuhan berupa alasan
“karakternya menarik untuk anak-anak,” sehingga yang terlihat dengan jelas
hanyalah pada kalimat “anime jaman dulu tu enaknya kita gak mikir fanservice,
emang kita juga menikmati jalan ceritanya... [...] kayak memang digimon tu udah ada
nilai jual tersendiri.”(X2) Dari kalimat ini terlihat bagaimana sewaktu kecil ia
menikmati digimon ala kadarnya tanpa dibubuhi perasaan adanya fanservice atau
kepentingan pasar dan Bandai sebagai perusahaan mainan. Dengan kata lain,
argumen Xakha yang awalnya memperlihatkan pentingnya fisik, atau konsep budaya
dari karakter, harus dimasukkan pada kategori kedua dari usaha peletakan properti,
yaitu pentingnya posisi individu-individu di tengah fabula.
Kategori kedua dari usaha pengakuan possible individu terlihat melalui
penilaian karakter dalam film-teks dengan mengutamakan fungsinya di dalam fabula.
Seperti Xakha yang menekankan pentingnya kenikmatan mengikuti karakter seturut
jalan cerita (X2), narasumber lain juga mengungkap proses mereka menamai karakter
dengan berargumen bahwa karakter-karakter dalam film-teks “ya walaupun kalah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
169
tapi tetep dicoba terus sampai bisa,” dan pantang menyerah (K2, K4) jiwa
kepahlawanan dan “jiwa api membara,” (G2, G3) tokoh yang memberikan pelajaran
dan kedewasaan (O3 – O5), maupun perubahan karakter (X4, J7). Kesemuanya
memberikan simpulan bagaimana karakter dalam film-teks berusaha dinamai melalui
pengalaman pertemuan yang personal – yang kemudian sebagian mereka gunakan
untuk menciptakan Jepang.
Dalam narasinya, Kira mengatakan bahwa karakter yang ia dapati dalam
film-teks membawa properti sifat yang pantang menyerah (K2). Ia menegaskan
bahwa tokoh Kotaro Minami dalam seri kamen rider Black bisa “dihajar habis-
habisan, dia tetap pantang menyerah. Dia selalu bangkit dari masalah, dengan cara
dia sendiri.” (K4) Simpulan ini terutama disangatkan ketika akhirnya ia menceritakan
bagaimana ia menangis terharu ketika melihat Kotaro Minami sebagai kamen rider
Black kalah, mati, namun dibangkitkan kembali melalui tangisan anak matahari dan
menjadi kamen rider Black RX – lihat bab 3. Ia melakukan proses penamaan karakter
dalam film-teks Jepang melalui pengalaman pertemuannya tersebut. Namun,
usahanya tidak berhenti di situ, karena kemudian ia membawa simpulan proses
penamaan itu juga untuk menamai Jepang, seperti tampak pada argumen, “walaupun
kalah tapi tetap dicoba terus sampai dia bisa, soalnya kalau menurut saya, di Jepang
tu yang dihargai tu mungkin proses ya, prosesnya orang itu ya, lebih mengutamakan
proses daripada hasil.”(K2) Di sini tampak bahwa Kira menyimpulkan bahwa
Kotaro Minami dan kamen rider Black – Black RX adalah Jepang karena lebih
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
170
mengutamakan proses daripada hasil – walaupun hasilnya sang kamen rider pun
berhasil menang. Hal menghargai usaha dari karakter di dalam film-teks pun tampak
dari argumen Geyol yang menyatakan bahwa teman-temannya mendapatkan jiwa
kepahlawanan dari film-film tokusatsu Jepang (G2) melalui adanya “jiwa api
membara [...] yang super-heroik,” yang merupakan properti “kecowokan, pahlawan
banget gitu lah, pembela kebenaran istilahnya.”
Properti lain untuk menamai individu seturut fabula pun nampak melalui
argumen Geyol berikutnya yang mengutamakan bahwa karakter dalam film-teks
Jepang yang ia sukai adalah yang mementingkan kerja sama tim (G7). Hal ini sesuai
dengan pernyataan bahwa karakter film-teks Jepang menganggap pentingnya
kehadiran orang lain untuk bisa mendapatkan perubahan yang berarti (lihat
pembahasan di bab 3.2.2.) Hal ini didukung juga dengan kisah Xakha yang penasaran
atas film-teks Jepang yang “bikin orang tertarik untuk ngikutin, kayak penasaran gitu
[...] yang ini udah berubah, yang ini besok berubah jadi apa ya [...] semua bisa
berubah.”(X4) Pengaruh kebersamaan (tim) karakter dalam film-teks mempengaruhi
mereka kemudian untuk menamai karakter dalam film-teks Jepang menjadi mungkin,
karena kedekatannya dengan dunia pembaca yang menyukai tim dan penasaran akan
perkembangan tidak hanya tokoh utamanya.
Properti ketiga yang terlihat pada argumen-argumen narasumber adalah
adanya proses perubahan yang membuat mereka tertarik untuk terus mengikuti – dan
berimersi dalam film-teks. Xakha di atas menyebutkan bahwa “sama-sama berubah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
171
[...] kamen rider juga berubah [...] upgrade terus”(X4) menjadi hal penting baginya.
Koh Oyon sepakat dengan hal tersebut dengan mengatakan bahwa karakter Hideaki
Takizawa yang sudah tidak sekedar “cinta-cintaan” (O3) memberikan pelajaran
baginya (O4). Ia menceritakan bagaimana dalam Great Teacher Onizuka ia
mendapatkan pelajaran mengenai suka-duka guru dan cara menjadi guru, serta
bagaimana dalam Yasuko to Kenji ia mendapatkan pelajaran mengenai “dia yang
bener-bener dari yang bajingan jadi apik.”(O4)
Tiga properti tersebut – kepahlawanan dalam proses, kebersamaan tim, dan
perubahan – menjadi properti yang berbeda dibandingkan properti yang didapatkan
pembaca melalui usaha mistifikasi. Properti ini baru nampak ketika pembaca
melakukan usaha menilai karakter melalui fungsinya di tengah fabula film-teks.
Ketiganya bukanlah hal yang semena-mena berangkat dari peletakan topoi para
pembaca, namun justru tercipta dari imersi pembaca pada karakter di dalam film-teks.
Proses ini justru menandai adanya negosiasi topoi untuk membangun atau
memperkaya ensiklopedia pembaca melalui keikutsertaan sebagai karakter yang
menjalani peristiwa-peristiwa di dalam film-teks.
Keikutsertaan pembaca dalam menjalani hidup karakter di dalam fabula
menandakan usaha pembaca untuk juga mengangkat course of events di dalam film-
teks menjadi aktual. Dengan kata lain, proses penamaan possible individu sebagai
Jepang juga harus dilihat melalui possible course of events. Berikut adalah tabel yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
172
menampilkan usaha pembaca untuk mengakui course of events dalam film-teks
sebagai sesuatu yang mungkin untuk kemudian menamai individu:
Kira
K5
Yang dulu kan serius. Kayak kamen rider Black itu kan ceritanya
enggak, ga ada komedi-komedinya sama sekali. Ga ada ya… Ya..
Lebih nyari ketertarikan cerita yang agak-agak berat kalau kamen
rider tu, kalau aku pribadi… Yang serius, yang agak serius, yang
tidak kebanyakan komedi atau banyolannya. Ya semacam Decade,
Faiz, terus kamen rider Kiva. Ya itu kan memang buat anak kecil,
tetapi kan di situ kan agak kompleks…Ya soalnya itu membuat kita
jadi pingin nonton, pingin nunggu episod selanjutnya. Itu yang
membuat aku pingin nonton episod selanjutnya, ceritanya itu…
K6
Mungkin anu sih. Mungkin.. Bisa diaplikasikan ke kehidupan. Yo
ada pesan morale.Misale.. mungkin kamen rider Faiz. Kan kamen
rider Faiz kan itu ternyata malah melawan sahabatnya sendiri.
Lawan orphon. Itu kan sempet sahabatan kentel. Faiz sama yang
satunya. Yang jadi Orga. Orphon yang mati, artis yang kemarin
meninggal. Sopo yo jenenge yo… Yo maksudnya kan ada pesan
moralnya lah. Ya semua kan tidak selamanya bisa jadi teman.
Suatu saat bisa jadi musuh. Nah karakter itu gimana caranya
supaya bisa gitu…. Karakter itu gimana cara menyelesaikan
masalahnya… perseteruan dengan sahabat.Nah kalau di Dekade
kan semua mengalahkan kamen rider. Tapi kan dibalik itu ada
tujuannya tertentu… Kalau dekade itu kan tujuannya untuk
mengembalikan dunia yang hancur, dunia kamen rider yang
hancur. Dia kan mengalahkan semua kamen rider tu supaya stabil.
Supaya stabil dunia… Tapi dia kan ngambil cara itu tu menurut
orang kan itu mesti ya pie-pie. Ya bisa kita ambil kesimpulkan dari
situ tu ada selain opsi A tu ada opsi F, dan G, dan H yang bisa
diambil untuk menyelesaikan sebuah masalah.. Jadi, bukan terus
kamu harus melawan monster, trus ada yang jahat tu enggak.
Kadang kamu harus melawan kamen rider kamen rider kabeh,
membunuh semua kamen rider baru bisa mencapai tujuan…
K7
kalau di kamen rider tu pasti ada di situ, salah satu episod tu
berhubungan dengan hewan peliharaan. Pasti ada itu kayaknya,
jadi yang berhubungan dengan hewan peliharaan. Jadi di situ ada
masalahe misalnya melindungi hewan peliharaan. Nah itu kan di
kehidupan nyata jadi penyayang binatang sih. Jadi sampai
sekarang aku kalau lihat kucing atau apa gitu, jadi ada rasa kalau
bisa aku pelihara ya aku pelihara…
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
173
K8
Black sama Black Rx ya itu pantang menyerah bro. Dihajar
gorgom sampai sak entek-enteke, sak dia mati terus berevolusi jadi
Black RX tu dia tetep ga menyerah lah. Evolusine black jadi black
Rx itu lho… yang membuat aku nangis. Anak matahari…Soalnya
kan tokoh utama ga mungkin kalah, tapi di sini kalah. Tokoh
utama kalah, dihajar habis-habisan, tapi ternyata terus jadi Black
Rx,,, Pokoknya pas dia tidur terus kena air mata, netes ke
sabuknya, trus pas itu kan ada matahari, trus dia disinari
matahari. Jreeng…
K9
Mungkin beda ya, orang yang pertama misale kamu cuman
melihat kamen rider satu episod saja, sama kalau ngelihat dari
episod satu sampai episod selesai. Beda. Beda ya kalau di
argumenkan. Ya kalau kamu ngira kamen rider cuman untuk anak-
anak jika kamu cuman nonton satu episod. Coba kamu lihat kamen
rider itu dari episod satu sampai selesai, kamu enggak, enggak,
pasti kamu bilang “itu ya emang buat anak-anak, tapi buat
dewasa juga bisa pasti…”
Geyol G9
Itu, justru malah untuk dewasa, bukan untuk anak-anak. Karena
ada percintaan setiga, cinta segitiga, yang warna..apa.. hitam
malah ngerokok, sering main club, clubbing, tapi dia punya jiwa
kepahlawanan walaupun omongannya kasar. Jadi memperlihatkan
bahwa jangan menilai orang dari sisi luarnya, tapi dalamnya.
Justru malah mengajarkan hal-hal seperti itu… Misalkan kayak si
putih seneng sama si merah, si hitem seneng sama si putih, si
hitemnya itu benci sama si merah, tetapi sebagai tim bagus. Dan
tetap mengalah. Dan pada akhirnya si hitam mati… Dan helmnya
sampe pecah-pecah, sampai efek-efek darahnya ada.
Koh
Oyon
O6
Ya.. Kalau Jepang cenderung berat banget kalau aku bilang sih,
kalau di movie… tapi biasane produser e sing nggawe kenthir-
kenthir ta.. Imajinasinya terlalu tinggi. Hehehe.. dadi kacau…
Baru…
O7
Nek sekarang, sing nonton itu sing kui,, sing hideaki takizawa sing
anyar… Yang jadi manager e perusahaan,, apa namanya,,,
perusahaan berlian tiffany.. Jadi ceritanya, nyritakke perusahaan
tiffany. Jadi kalau di Jepang itu terkenal bikin kalung, bikin… asli
ada. kan sponsor tu dia. Nyritakke manajer tiffany..
O8
Ya itu, kayak GTO, sama sing itu,, aku yang paling seneng yang
itu sih…Yang ada,,, apa ya,,, adaa…Ada pelajarannya,
gampangane gitu lah… daripada sing cuman cinta-cintaan thok..
ya gitu-gitu.Ada… ini.. jadi guru ki ngene ngene ngene ki lho. Iki
lho critane. Suka duka guru tu seperti ini. Terus nanti kan mesti
ada komunitas kayak gini.. Nah, gitu.. Pokoknya yang ada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
174
wujudnya, apa ya… yang aku seneng, kalau jadi guru… Terus
yang itu, yang… yang mangaka bekas geng motor itu…Iya. Itu. Itu
kan juga bagus itu.. Nha… itu apik.. aku seneng yang gitu-gitu..
Ada yang dia bener-bener dari yang bajingan jadi apik. Aku lebih
seneng itu… terutama dia mainnya gimana..
Xakha
X5 Dan itu pun, haikyu tu ga lebay. Ga ada jurus-jurusnya, jurus apa
gitu,
X6
Kalau dulu kan, maksudnya kita waktu kecil nonton kan, ga peduli
ceritanya dipanjang-panjangin, yang penting ada terus, kita bisa
nonton terus gitu lho… Pas kalau menurutku, ga dipanjang-
panjangin.
John
Switch
J8
Apa ya… satu, asik aja punya peliharaan gitu, lucu… Nah dulu
waktu aku nonton, ini monster apa, ini pokemon pa? kan ada
beberapa monster yang bentuknya mirip. Terus begitu aku tonton,
oh ternyata beda juga ceritanya, Terus aku ngikut-ngikutin, oh
ternyata asyik. Boleh juga ni. Gitu… Itu kayak, kayak lebih
menghayal, wah punya hewan peliharaan kayaknya lucu gitu.
J9
Kan kalau misalkan jigoku-sensei nube kan lebih ke sejarah hantu-
hantunya. Kan mereka menceritakan kalau hantu ini awalnya dari
mana, kenapa bisa jadi kayak gini. Kalau tobe-isami kan lebih ke
sejarah shinsengumi, tapi diangkat ke saat modern. Jadi ternyata
tokohnya tu keturunan shinsengumi, nemu senjata, ke masa lalu,
ini kita harus ngelawan karasu tengu. Terus karasu tengu
membuat komunitas terus berencana membuat negara baru. Dia
berusaha meluluhlantakkan Jepang. Kayak gitu. Tobe isami. Ya
anime lawak-lawakan juga sih. Banyak sih dulu anime-anime
kayak gitu...
J10
Gak terlalu lebay sebenernya sih. Kalau Indonesia kan lebay…
Menye-menye gitu kan walaupun sebenernya masih logis ya.
Masih logis. Namanya drama ya tetep aja gak pernah ada yang
logis. Tapi, kesannya tu masih bisa dijangkau dengan otaknya ya
kasarannya kalau misalnya ditonton… Di Jepang misalnya kayak
La-La-La-LoveSong. Itungannya, dia bisa sampai ke luar negeri,
dia bisa dapet ini. Endingnya kan dia ke luar negeri. Kan itu kan,
logis kan, dia bisa gitu ya kenapa. Ya dia latian dari dulu, dia
emang punya bakat dari pertama, terus akhirnya dikembang-
kembangin ikut kompetisi dan sebagainya. Logis kan dia bisa ke
luar negeri… Bukan karena tiba-tiba aku mau gini, terus cuman
gitu tok, ting, tiba-tiba bisa. Itu ga logis kan.
Tabel 3. Data Possible Course of Events
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
175
Pada tabel.3 tersebut terlihat bagaimana proses pembaca dalam mempercayai
course of events dalam film-teks sebagai sesuatu yang aktual sehingga membantu
mereka dalam menamai individu-individu di dalamnya. Hal ini menandakan
terjadinya jenis imersi yang kedua, yaitu bentuk imersi temporal. Ryan (2001)
menjelaskan bahwa imersi temporal bisa terlihat melalui adanya hasrat pembaca
terhadap pengetahuan yang menunggu mereka di akhir lini waktu narasi – Ryan
menyebutkan konsep ini dekat dengan bentuk suspense dalam film. Dengan kata lain,
imersi temporal adalah keterlibatan pembaca dalam proses perjalanan strutur naratif
dimana di setiap titiknya pembaca harus mengantisipasi adanya kemungkinan
percabangan, memilih satu sesuai prinsip aktualitas yang ia bawa, dan secara tidak
langsung mengesampingkan kemungkinan-kemungkinan lainnya yang tidak terpilih
sebagai sesuatu yang selamanya virtual. Bagi pembaca, berjalannya waktu di dalam
struktur naratif bukanlah sebuah akumulasi lini waktu yang terstruktur, namun
merupakan proses penyibakan (disclosure.)217
Dalam narasi yang kuat mengangkat aspek suspense, ada beberapa hal yang
bisa dilihat. Pertama, ketegangan dalam narasi berkaitan erat pada ketertarikan
pembaca terhadap takdir karakter di dalam film-teks di setiap akhir konflik. Kedua,
teks dan peristiwa yang terkonstruksi secara virtual menandakan adanya proses
terstruktur yang sedang berjalan, adanya hasrat dari karakter dan tujuan akhir yang
mendorong karakter, serta segala rencana-rencana yang dibangunnya. Ketiga, adanya
217 Ryan (2001), op.cit. hal. 140
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
176
proses semakin mengerucutnya segala kemungkinan seturut jalannya struktur narasi.
Kemampuan pembaca untuk menjalani narasi dari dalam film-teks terfasilitasi
utamanya oleh perangkat-perangkat naratif yang mengikat rantai kemungkinan bagi
pembaca untuk dapat meramal apa yang akan terjadi selanjutnya – juga untuk dapat
membangun possible-world. Yang possible ditentukan oleh pengaturan hukum-
hukum yang membentuk perangkat naratif.218
Dengan kata lain, imersi temporal
bergantung kuat pada keberadaan lima dunia yang sudah disebutkan sebelumnya di
atas, yaitu: dunia kepercayaan, dunia hasrat, dunia kewajiban, tujuan dan rencana-
rencana yang dijalankan, serta mimpi dan angan/keinginan para karakter yang
menjadi titik fokus pembaca.
1. Dunia Kepercayaan
Dunia ini merefleksikan keseluruhan sistem secara utuh – termasuk wilayah
individu-individu lain – dan mencakupi kelompok-kelompok representasi yang
berperan sebagai dunia aktual bagi dunia privat sang karakter. Dengan melihat
semesta dunia kepercayaan ini sebagai sistem yang berperan sebagai dunia aktual
bagi dunia privat sang karakter, analisa pada bagian possible state of affairs dan
possible individual mendapat posisinya bagi karakter di dalam film-teks itu sendiri.
Dalam proses pembentukan possible state of affairs, konsep reality effect hadir
sebagai strategi yang akhirnya mempengaruhi keputusan pembaca untuk menamai
Jepang yang aktual – walaupun seringkali hadir didasari pandangan kontrafaktual atas
218 Ibid. Hal. 141
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
177
kehidupan personalnya. Pada proses pembentukan possible individual, pembaca
menilai individu di dalam film-teks dengan melekatkan properti kepahlawanan,
kebersamaan, dan perubahan. Kedua proses pembentukan ini bisa menjadi jalan
masuk untuk melihat bentukan sistem semesta secara keseluruhan yang
mempengaruhi berdirinya film-teks.
Seperti yang sudah dibahas pada bab 2.1 ketika membicarakan sejarah film
Jepang, kontribusi Yasujiro Ozu dalam menawarkan cara untuk terlepas dari
kepengaruhan film gaya Amerika yang “goal-oriented” dan “action driven” menjadi
tonggak penting bagi perkembangan narasi film di bawah payung budaya populer
Jepang, seperti anime, dorama, dan tokusatsu. Pada masa itu, film-film Jepang mulai
dibentuk untuk mengutamakan bingkai narasi yang penuh berisi introspeksi dan
motivasi psikologis tokoh di dalamnya, baik itu iji (kebanggaan), meiyou
(kehormatan), atau ijippari (keras kepala berdasarkan kebanggaan dan
kehormatan).219
Penggambaran perkembangan psikologis sang tokoh tersebut
dianggap lebih penting dibanding peran tokoh tersebut dalam cerita dan
penyelesaiannya.220
Bahkan, penyelesaian cerita oleh sang tokoh pun seringkali
bergantung besar pada perkembangan psikologisnya dalam mencapai titik tertentu.
Pada bab 3.2.2 dijelaskan bahwa titik tertentu tersebut seringkali berupa penerimaan
tokoh terhadap keberadaan tokoh yang lain, dan sang tokoh bisa berubah menjadi
219 Standish (2006), op.cit. hal. 215 220 Ibid. hal. 205
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
178
lebih mampu menyelesaikan masalah ketika ia lebih mementingkan orang lain
dibanding dirinya sendiri.221
Kira menamai tokoh Kamen rider yang bisa kalah namun tetap berkeras hati
berusaha untuk bisa menang tersebut dengan istilah pantang menyerah (K8), bahkan
tokoh tersebut terkadang harus mengalahkan sahabatnya, mengalahkan seluruh
pahlawan-pahlawan dan dinilai jahat (K6), bahkan harus mati terlebih dahulu (K8)
untuk dapat mencapai tujuannya. Geyol menyebutkan tokoh sejenis itu dalam super
sentai dengan mengatakan “bahwa jangan menilai orang dari sisi luarnya, tapi
dalamnya,” (G9) yaitu bahwa walaupun di luar mereka menampakkan kebiasaan
yang tidak baik – seperti merokok, clubbing – tapi dia punya “jiwa
kepahlawanan”(G9). Koh Oyon pun menceritakan hal yang sama dengan menilai
tokoh Kenji dalam film Yasuko to Kenji yang menggambarkan “dari bajingan jadi
apik” (O8) dengan melepas status preman dalam geng motornya. Xakha pun
menggambarkan bahwa hanya dua tokoh dalam anime Digimon adventure 1 yang
mampu berubah karena sudah melalui pertengkaran yang akhirnya membuat mereka
dipercaya oleh adiknya (X2-X4). Dengan menceritakan dorama Long Vacation, John
Switch pun menyatakan hal yang sama dengan menilai bahwa sang tokoh
menampilkan usaha yang sangat keras untuk akhirnya bisa sampai ke luar negeri
(J10). Bahkan ia juga menceritakan bagaimana anime dengan latar sejarah tetap
mengajarkan kekerasan hati untuk melindungi murid-muridnya (anime Nube) dan
221 Eri Izawa dalam Craig (2002), op.cit. hal. 145-47
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
179
melindungi negara (anime Tobe Isami). Kesemua penggambaran ini menampilkan
bagaimana kekerasan hati tokoh di dalam film-teks yang ditemui oleh para pembaca
menjadi sebuah sistem yang dipercaya dan taken for granted bagi film-film Jepang.
Yang tidak boleh dilepaskan dari konsep kekerasan hati yang dimiliki oleh
individu-individu di dalam film-teks adalah kehadiran orang-orang di sekitarnya yang
menjadi aspek penting bagi kekuatan kekerasan hati sang tokoh. Dalam anime
Digimon Adventure 1, Taichi dan Yamato akhirnya bisa dipanah oleh kedua digimon
dan menyebabkan digimonnya berevolusi justru ketika kedua anak SD ini berusaha
mati-matian dalam melindungi bumi dan keluarganya. Dalam seri kamen rider,
kamen rider black mati melindungi bumi dan teman-temannya, kamen rider Faiz
harus membunuh sahabatnya sendiri, kamen rider Dekade justru harus mengalahkan
seluruh kamen rider yang ada di semesta untuk bisa membuat stabil dunia. Dalam seri
super sentai, kelima tokoh yang selalu digambarkan berbeda-beda selalu akhirnya
bisa menyatukan kekuatan, saling percaya, dan tidak mau kalah bahkan hingga
hampir mati ketika mereka harus melindungi sesamanya, keluarganya, atau kawan-
kawan satu timnya. Dalam kakuranger, negara dan seluruh masyarakatnya menjadi
alasan mereka bertarung, sedangkan dalam ninninger, keluarga dan kakek ranger
merah menjadi alasan mereka untuk berubah menjadi super sentai. Dalam anime
jigoku-sensei Nube, sang guru bernama Nube harus berulang kali mati-matian dalam
melindungi murid-muridnya dari pengaruh setan, sedangkan di dalam anime Tobe-
isami, sang tokoh harus melindungi Jepang dengan ia kembali ke masa lalu. Dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
180
dorama Great Teacher Onizuka, sang guru yang awalnya berandalan akhirnya
merubah sistem pendidikan di suatu sekolah yang berisi anak-anak nakal karena di
setiap episodenya ia selalu berhasil menyelamatkan murid-muridnya dari masalah dan
merubah kenakalan mereka. Guru ini justru mendapat kekuatan dari kepercayaan
murid-muridnya. Lain halnya dengan dorama Yasuko to Kenji yang menggambarkan
“dari bajingan jadi apik”, karena dalam dorama ini sang kakak (Kenji) harus melepas
segala kegiatan jalanannya dan mencari kerja sebagai pengarang komik atau bahkan
penjual angkringan untuk bisa menghidupi adiknya (Yasuko) yang masih sekolah. Ia
bahkan juga merubah teman-teman satu kelompok geng motornya untuk mengikuti
jalannya. Dalam dorama Long Vacation, sang tokoh akhirnya merasa mampu
berusaha keras dan mampu menggapai mimpinya justru setelah kehadiran teman
kamarnya yang sebenarnya selalu memberi masalah dan mengganggunya, namun
selalu menemani tokoh utama dalam segala kompetisi.
2. Dunia Hasrat
Setelah melihat dunia Kepercayaan di mana hal tersebut mendasari
pembentukan dunia yang lain yang beredar mengitari dunia “aktual” dalam film-teks,
dunia hasrat adalah dunia yang mencerminkan axiological system, yaitu sistem yang
mendasari terjadinya pembagian mana yang baik, buruk, atau tidak berbeda (good,
bad, indifferent). Dunia hasrat ini terlihat melalui perjalanan karakter dan akan mulai
dinamai seturut pembaca menarasikan pertemuannya dengan film-teks dan imersinya
menjadi individu di dalam film-teks.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
181
Kira memperlihatkan bahwa di dalam film-teks, tokoh tidak harus melawan
monster sebagai pihak yang jahat. Kamen rider Faiz melawan sahabatnya, dan
Kamen rider Dekade mengalahkan segala kamen rider yang ada untuk bisa
menstabilkan dunia (K6). Keduanya menunjukkan bahwa pembagian baik dan buruk
tidak semena-mena dikotak-kotakkan menurut manusia dan monster. Dalam film-teks,
pembagian baik dan buruk harus dilihat kembali pada psikologi masing-masing
individu, sehingga terkadang di awal film semua terlihat membingungkan ketika
pembaca bertujuan untuk langsung mengotak-ngotakkan individu sesuai baik dan
buruknya. Geyol menegaskan hal tersebut dengan melihat bagaimana ranger hitam
yang menampilkan banyak hal buruk namun ternyata mampu mengutamakan tim
(G7) dan justru mati demi melindungi teman-temannya (G9) – dan Geyol melihatnya
sebagai sesuatu yang baik. Koh Oyon melihat bagaimana guru yang berandalan justru
mendapat kepercayaan dari kepala sekolah, dan ternyata justru dengan dunia
berandalannya ia mampu mengajarkan banyak kebaikan pada murid-muridnya yang
nakal (O8) serta justru menjadi contoh bagi kementerian pendidikan yang dikirim
untuk mengawasi. Koh Oyon juga melihat bahwa tokoh yang sebelumnya “bajingan”
bisa berubah menjadi kakak yang sangat bertanggung jawab demi kehidupan adiknya
(O8). Peletakan karakter dalam sisi yang baik pun bahkan terlihat melalui hal trivial
seperti perlakuan karakter pada hewan peliharaan. Kira dan John Switch
menunjukkan hal tersebut melalui pemaknaan adanya sekuen di setiap seri kamen
rider dimana sang tokoh menyelamatkan binatang peliharaan (K7) sehingga membuat
Kira menyayangi binatang atau melalui anime Digimon yang membuat pembaca
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
182
merasa punya ikatan dengan hewan peliharaannya sama seperti anak terpilih dan
digimonnya (J8) dalam film-teks.
Dari berbagai argumen ini bisa dilihat bahwa pembagian baik-buruk dalam
dunia film-teks Jepang tidaklah semata-mata untuk membangun kotak-kotak dari
awal dimana yang baik akan selalu menang dan monster selalu yang jahat. Seringkali
yang buruk justru menjadi tokoh utama dan perjalanan peristiwa-peristiwa di dalam
film-teks merubahnya menjadi baik. Di sini terlihat bagaimana justru dari basis
perkembangan psikologi sang tokoh, course of events dalam film-teks menjadi
mungkin. Mereka menganggap bahwa aktualitas dari yang possible tersebut terlihat
melalui tidak jelasnya pembagian baik-buruk, bahwa di dunia ini “tidak selamanya
menjadi teman” (K6). Mereka menjadi percaya bahwa di dunia ini justru tidak semua
bisa dikotak-kotakkan dengan baik-buruk, karena “jangan menilai dari sisi luarnya
saja”(G9) – dengan kata lain, penilaian harus dilihat dari perkembangan sisi
dalamnya (psikologisnya) juga.
Yang utama bagi dunia hasrat ini berarti adalah keinginan psikologis sang
tokoh untuk berbuat baik. Baik dan buruk pada awalnya digambarkan tidak berbeda.
Perbedaan baru didapatkan ketika dalam perjalanannya sang tokoh akhirnya
mendapatkan penyelesaian dan penyelesaian tersebut dihasilkan dari pilihan yang
harus dinamai dengan “baik” oleh pembaca.
3. Dunia Kewajiban
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
183
Konsep ijippari dan pembangunan dunia hasrat mempengaruhi juga
pembentukan dunia kewajiban dalam film-teks. Dunia ini mencerminkan kuatnya
deontic system, yang menggambarkan mana yang diperbolehkan, dilarang, ataupun
diwajibkan. Pada bagian possible state of affairs sudah terlihat melalui berbagai
penamaan bahwa “Jepang” yang dinamai oleh pembaca merupakan Jepang yang
berisi dengan tradisi dan peraturan seperti ketepatan waktu, kebiasaan jalan kaki, jam
buang sampah, keamaan, dan lain-lain. Kesemuanya menggambarkan bagaimana
individu sebagai “Jepang” dinamai berdasarkan ketaatannya terhadap peraturan.
Geyol melihat hal tersebut dengan berargumen bahwa “jangan menilai
luarnya, merokok atau apa,”(G9) tetapi yang penting justru dilihat dari porsinya
melakukan kewajiban yang menghasilkan nilai kepahlawanan. Jelas nilai kewajiban
ini pun dibentuk oleh Geyol dengan melihat kepentingan individu pada konsep tim
dalam seri super sentai. John Switch pun menyatakan hal tersebut ketika
membicarakan anime Tobe Isami. Tokoh di dalam film-teks tersebut kembali ke masa
lalu dan harus berhadapan dengan tokoh jahat yang berusaha menguasai Jepang. John
Switch melihat bahwa walaupun sang tokoh datang dari masa depan, menyelamatkan
negara adalah hal yang wajib dilakukan oleh warga negara.
Koh Oyon menyampaikan contoh yang menarik ketika membicarakan
mengenai dorama Great Teacher Onizuka. Ia melihat bahwa sosok berandalan yang
diangkat menjadi guru tersebut merupakan sosok yang tidak cocok menjadi guru –
karena membawa properti-properti berandalannya. Di sini ia memasukkan tokoh
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
184
Onizuka sang guru berada di sisi buruk dari dunia hasrat, dan juga terpancing untuk
mengarahkan sang guru pada sisi yang dilarang dari dunia kewajiban. Namun,
melalui jalannya narasi yang menggambarkan bagaimana sosok guru yang “pada
umumnya” justru tidak berhasil menangani permasalah murid-murid, Koh Oyon
mulai melihat bahwa hal-hal di dalam properti berandalan bisa menjadi salah satu
jalan untuk menjadi sosok guru yang dipercaya oleh murid-muridnya. Ia mengatakan
bahwa Onizuka menjadi “guru yang tidak bener, tapi bener.”(O8) Secara tidak
langsung, guru Onizuka ini masuk kepada pemenuhan kewajiban seorang guru untuk
dekat dengan muridnya – menjadi diperbolehkan – dan justru berseberangan dengan
guru “pada umumnya” – yang akhirnya ditempatkan pada sisi tidak baik pada dunia
hasrat.
Dari tiga dunia ini saja sudah terlihat bagaimana individu-individu berusaha
dibagi-bagi oleh para pembaca. Hal ini menunjukkan bagaimana nilai sang tokoh
utama juga bergantung pada nilai-nilai yang diberikan pada tokoh-tokoh lainnya.
Konsep seperti ijippari pada dunia kepercayaan, pembagian baik-buruk pada dunia
hasrat, serta pengkotak-kotakan narasi sesuai dunia kewajiban, ketiganya menjadi
dasar penting untuk kemudian pembaca memaknai tujuan dan rencana yang
dijalankan oleh karakter.
4. Tujuan dan Rencana yang Dijalankan Karakter
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
185
Berlawanan dengan dunia hasrat atau dunia kewajiban yang statis, tujuan dan
rencana yang dimiliki oleh karakter selalu dinamis. Dunia ini justru berisi rangkaian
peristiwa yang berujung pada penggambaran adanya model yang statis tadi. Dengan
kata lain, dunia ini menggambarkan rangkaian peristiwa yang kemudian membuat
pembaca mampu menamai individu di dalam film-teks dengan ijippari,
kepahlawanan, kebersamaan, pentingnya orang-orang di sekitar tokoh, terjadinya
perubahan individu, atau bahkan ketaatan terhadap peraturan seperti keamanan dan
ketertiban waktu.
Semua pelekatan properti individu semacam itu baru bisa terjadi seturut
selesainya pertemuan pembaca dengan film-teks. Kira berargumen bahwa terdapat
perbedaan antara orang yang baru menonton satu episode dengan orang yang sudah
menyelesaikan semua episode.(K9) Argumen ini membuktikan bahwa seluruh
semesta film-teks memang dibangun dengan menekankan perkembangan psikologis
sang tokoh. Ia menyukai film-teks Jepang dimana ceritanya serius dan tidak
kebanyakan komedi (K5) – sehingga ia benar-benar bisa berimersi dengan karakter
yang ia temui. Bahkan Koh Oyon pun menyetujuinya dengan mengatakan bahwa film
Jepang “berat kalau dimasukkan jadi movie” yang hanya berdurasi 2 jam.(O6) Ia
merasa bahwa perkembangan tokoh dalam dorama perlu didalami dengan lebih
intens melalui bentuk serial beberapa episode.222
Xakha menyatakan hal serupa ketika
membandingkan film-teks Jepang dengan film serial di Indonesia (sinetron). Ia
222 Panjangnya serial dorama biasanya menyesuaikan pergantian musim, sehingga setiap judul hanya sepanjang 11-16 episode –tiga sampai empat bulan penayangan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
186
menyatakan bahwa film-teks Jepang “gak lebay, pas karena tidak dipanjang-
panjangin,” sehingga perkembangan psikologis tokoh sampai titik tertentu yang
disampaikan sesuai jangka waktu tertentu baik di anime, dorama, maupun tokusatsu
merupakan hal yang tepat. Penyelesaian film-teks sesuai tercapainya sang tokoh
“bajingan” dalam mendapatkan pekerjaan mapan demi adiknya (Yasuko to Kenji),
keberhasilan sang pemain piano ke dunia internasional (Long Vacation),
pendewasaan ranger merah sehingga bisa mendapat kepercayaan lebih dari rekan
atau keluarga dan berhasil menyelamatkan dunia (seri super sentai) ataupun
keberhasilan kamen rider dalam menyelamatkan dunia melalui tercapainya tingkat
kemampuan yang paling tinggi pemberian dari orang-orang yang dipercaya (seri
kamen rider), kedewasaan sikap dalam bekerja sama sebagai tim bagi anak-anak SD-
SMP dalam bekerja sama dengan monster-monster (Digimon), kontrol terhadap
kekuatan setan yang merasukinya melalui bantuan kepercayaan murid-muridnya
(Jigoku sensei Nube), kesemuanya menampilkan bagaimana tujuan utama dari tokoh
terkadang tidak terencana dan justru berhasil dengan membawa nilai-nilai yang
didapat dari sekitarnya – bantuan dari sekitarnya. Di sini terlihat bagaimana dalam
film-teks Jepang, tujuan dan rencana karakter bukan mendasari penyimpulan dunia
hasrat ataupun kewajiban. Bukan tujuan mereka dalam menyelamatkan dunia, atau
mengalahkan monster maupun setan yang menjadi rangkaian utama yang mendasari
terbentuknya narasi film-Jepang. Namun yang terjadi justru sebaliknya, bahwa
penemuan dan pengakuan – baik oleh karakter dalam film-teks maupun pembaca –
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
187
terhadap dunia kepercayaan, hasrat, dan kewajiban justru menjadi tujuan utama yang
harus diselesaikan.
5. Mimpi dan Angan milik Karakter
Representasi akan mimpi dan angan ini bukanlah sebuah dunia, tetapi berupa
semesta alternatif yang diatur beredar di sekitar dunia aktual karakter. Bentuk
representasi semacam ini yang akan terus mengalami pengulangan dalam model
semantik sebuah teks. Atau dengan kata lain, bentuk representasi ini yang
mewujudkan negosiasi antara dunia privat sang karakter dengan dunia aktual yang
digambarkan dalam film-teks. Tentu penamaan atas representasi ini tidak bisa dilihat
terlepas dari pengakuan atas dunia-dunia lainnya yang dilakukan oleh pembaca.
Dalam film-teks Jepang, hal ini terutama tidak bisa dilepaskan dari kuatnya konsep
ijippari dan kekerabatan yang tergambar dalam dunia kepercayaan. Justru konsep
mimpi dan angan milik karakter ini seringkali sengaja dikalahkan untuk menguatkan
dunia kepercayaan yang berusaha digambarkan film-teks – mengingat bahwa ideologi
pada sejarahnya adalah untuk melawan gaya Amerika yang goal-oriented dan action-
driven. Sama seperti dunia tujuan dan rencana milik karakter, dunia mimpi dan angan
ini juga hanya menjadi bumbu bagi perjalanan narasi film-teks Jepang.
Dalam Digimon adventure 1, setelah anak-anak terpilih berhasil
mengalahkan Vandemon dan menyelamatkan bumi, film-teks ini tidak berhenti di
situ. Konflik berikutnya dimunculkan melalui terancamnya eksistensi dunia digital
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
188
dan seluruh digital monster – juga termasuk digimon peliharaan mereka. Walaupun
keluarga mereka mengkhawatirkan anak-anak SD-SMP ini untuk kembali ke dunia
digital demi melakukan misi penyelamatan, mereka berkeras hati ingin
menyelamatkan digimon-digimon mereka walaupun harus mengorbankan nyawa.
Walaupun masing-masing dari mereka memiliki mimpi masing-masing dalam
kehidupan aktualnya, berdasar kedekatannya dengan digimon, mimpi dan angan
tersebut dikalahkan oleh kekerasan hati tokoh untuk menyelamatkan kawan-kawan
digimonnya. Dalam Great Teacher Onizuka, menjadi guru bukanlah mimpi dan
angan milih tokoh. Jalannya narasi justru didasari dorongan mendadak tokoh untuk
menyelesaikan segala masalah muridnya yang ditemui satu persatu dalam setiap
episodenya. Dalam Yasuko to Kenji, mimpinya untuk bisa menjadi komikus nomor
satu di Jepang dikalahkan oleh kebutuhan dan negosiasinya pada kehidupan adiknya,
sehingga narasi akhirnya ditutup dengan sang tokoh membuka angkringan. Dalam
Long Vacation, walaupun akhirnya sang tokoh mendapatkan kesempatan untuk bisa
melanjutkan ke luar negeri seperti mimpinya yang diceritakan sejak awal, ia
bersikeras menolak kesempatan tersebut jika keberangkatannya tidak
mengikutsertakan teman sekamarnya yang sudah menemani prosesnya.
Dalam beberapa contoh tersebut dapat terlihat bahwa mimpi dari tokoh yang
sejak awal diceritakan secara gamblang dan menjadi alasan bagi tokoh tersebut untuk
terus berjalan di setiap episodenya justru dikalahkan dengan keinginan yang muncul
didasari konsep ijippari ataupun kebersamaan. Melalui bentuk-bentuk seperti ini,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
189
film-film serial Jepang seakan ingin mengatakan bahwa mimpi dan keinginan privat
milik tokoh merupakan hal yang harus selalu dinegosiasikan dengan dunia aktualnya,
dan pada akhirnya negosiasi tersebut tetap harus memenangkan kepentingan dunia
aktualnya. Konsep ijippari yang berarti kekerasan hati berdasar kebanggaan atau
kehormatan harus didasari kuat oleh dunia aktualnya, bukan berangkat dari
kebanggan atau kehormatan yang berdasar dunia privat.
Dari segala negosiasi lima dunia yang telah digambarkan di atas dapat terlihat
bagaimana dua konsep dalam dunia kepercayaan menjadi satu kesatuan yang
mendasari pembentukan possible course of events dan kemudian membantu
terciptanya possible individual bagi pembaca. Pembaca dibuat seakan menamai dunia
privat sang individu yang ia temui saja, namun yang terjadi justru mereka ditarik
masuk menjadi individu sendiri dan merasakan bagaimana caranya bernegosiasi
antara dunia privat dan dunia aktual di dalam film-teks. Pengenalan tujuan dan
rencana karakter, serta mimpi dan angan milik karakter hanya menjadi sarana bagi
pembaca untuk melakukan imersi temporal pada awalnya. Yang terjadi setelahnya
adalah pembaca harus merombak segala pembagian dunia hasrat dan dunia kewajiban
yang ia bentuk di awal – yang diilusikan oleh permukaan film-teks ketika pembaca
hanya membaca dari luar tanpa melakukan peletakan topoi dan tanpa melakukan
penamaan possible course of events, possible individual, dan possible state of affairs.
Kemudian pembaca dipaksa untuk merasakan sendiri menjadi subjek yang didasari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
190
oleh dunia kepercayaan yang sama dengan yang dialami oleh semua individu di
dalam film-teks.
Di sini terlihat bagaimana bentuk film fantasi justru menjadi gerbang masuk
paling efektif bagi film-teks Jepang, karena ini menandakan bahwa intentio operis
bisa dengan bebas bernegosiasi pada properti-properti di dalamnya untuk mengangkat
struktur lima dunia yang sangat “Jepang.” Usaha untuk menjadikan film-teks sebagai
yang aktual bagi pembaca juga menjadi usaha untuk memasukkan bentuk lima dunia
dalam dunia aktual pembaca juga – membentuk dunia aktual Jepang yang diakui
pembaca. Dari titik ini, yang kemudian harus dilacak sebagai sebuah kasus adalah
usaha pembaca untuk bisa mempercaya kehidupan yang mereka masuki dan hidupi,
dan kemudian membawa kepercayaan tersebut keluar dari dunianya. Di titik ini,
kedua pembahasan sebelumnya harus dilihat sebagai keutuhan semesta system of
possible-worlds.
4.3. Orang Jepang yang Sedang Menyikapi Indonesia
Eco (1979) melihat bahwa aspek semantik dari narasi bukan sebagai possible-
world yang tunggal, namun sebagai semesta yang tercipta dari konstelasi tiga jenis
possible-world. Possible-world yang pertama adalah possible-worlds yang
diimajinasikan dan dinyatakan oleh pengarang. Dunia-dunia ini berkorespondensi
antara fabula oleh pengarang. Hal ini nampak pada proses penciptaan possible state of
affairs, possible individual, dan possible course of events sebagai struktur yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
191
keberadaannya diinterpretasikan oleh pembaca, namun terikat kuat pada
pembangunan struktur dan dunia-dunia di dalam film-teks oleh pengarang – possible-
world pengarang (Jepang) secara tak langsung memberikan batasan atas interpretasi
pembaca dalam membangun possible-world. Pada titik ini terlihat bagaimana sejarah
pembentukan media film dan televisi di Jepang menjadi aspek intentio auctoris –
seperti konsep ijippari yang dikenalkan Yasujiro Ozu – yang bertahan hingga
diresepsi pembaca di Indonesia beberapa puluh tahun kemudian.
Possible-world yang kedua adalah possible-subworlds yang diimajinasikan,
dipercaya, atau diangankan oleh karakter-karakter dalam fabula. Hal ini nampak pada
usaha pembaca dalam menilai individu dan course of events melalui imersi temporal
yang mereka lakukan. Penilaian atas hal ini terlihat melalui negosiasi antara lima
dunia yang sudah dijelaskan sebelumnya dengan dunia aktual “Jepang” yang
berusaha diciptakan. Pengakuan atas dunia aktual Jepang dalam film-teks ini juga
yang akan menunjukkan proses penarikan dunia aktual film-teks menjadi dunia aktual
yang diimajinasikan, dipercaya, atau diangankan.
Possible-world yang ketiga adalah possible-subworld yang diimajinasikan,
dipercaya, atau diangankan oleh Model Reader di setiap disjunction of probability
(setiap kemungkinan kelanjutan kisah yang mungkin terjadi) dalam fabula. Possible-
world yang ketiga ini baru akan terbukti (benar atau tidak, diakui atau tidak diakui
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
192
oleh teks) setelah mengikuti lebih lanjut narasi dalam fabula.223
Hal ini terlihat
melalui usaha pembaca untuk mengakui yang “Jepang” melalui imersi spasial dan
temporal yang mereka lakukan secara penuh sampai akhir setiap filmnya. Seperti
yang diungkap oleh Kira, bahwa pembaca akan menyimpulkan hal yang berbeda
ketika hanya melihat film-teks ini secara terpotong-potong.
Kesimpulan pada analisa di dua sub-bab sebelumnya menunjukkan bahwa
pada aspek possible state of affairs para pembaca menamai Jepang dengan
teknologinya yang maju – narasi mengenai kereta api (K1) dan vending machine (J4)
– dan Jepang dengan kehidupannya yang penuh ritme tertentu – tepat waktu (K1),
butuh instan dan aman (J4), disiplin terhadap peraturan kota (J2). Pada aspek possible
individual, para pembaca menamai Jepang melalui pengetahuan atas budayanya –
samurai (K2), ninja (G2), anime Tobe-isami yang menceritakan sejarah dan anime
Nube yang menceritakan mitos setan-setan Jepang (J9), aspek tradisional dan
mencintai sejarah (J1 dan J4), serta masyarakat yang memiliki nilai moral tersendiri
(X2), baik kerja keras (K1) maupun semangatnya (G2) – dan juga melakukan proses
menamai Jepang melalui fungsi karakter dalam fabula – pantang menyerah (K4 dan
K8), kepahlawanan (G2), kerja keras (K8), pendewasaan (O8) dan perkembangan
karakter (X4), mementingkan proses daripada hasil (K2), jiwa kepahlawanan (G2),
semangat untuk terus bekerja (J5), dan loyalitas (J6). Pada analisa aspek possible
course of events, pembaca menamai Jepang melalui kuatnya peran dunia kepercayaan
223 Eco (1979), op.cit. hal. 234 - 35
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
193
sebagai pengatur cerita – bahkan aspek tujuan dan rencana, serta aspek mimpi dan
angan milik karakter dikorbankan demi kepentingan dunia hasrat dan dunia
kewajiban untuk menguatkan dunia kepercayaan – dan di dalamnya mencerminkan
nilai kekerasan hati orang Jepang untuk terus berjuang dan bekerja keras melalui
pengakuan adanya interpersonal network. Kesemua analisa pada bagian-bagian
possible-world oleh pembaca ini yang akan menentukan langkah selanjutnya dalam
pembentukan Jepang yang aktual bagi pembaca.
Eco (1979) pernah mengatakan bahwa ketiga possible-world ini
berkepentingan bagi pembaca untuk menjadi pengakuan atas usaha penciptaan
actual-world,224
sehingga usaha pembacalah yang akan menjadi benang pengikat atas
aspek-aspek possible-world yang sudah dibahas sebelumnya. Semua strategi
penamaan state of affair dan individual serta pengakuan atas struktur narasi (lima
dunia) yang ditemukan sebelumnya akan menjadi titik masuk untuk melihat
bagaimana pembaca membawa “Jepang” yang mereka temui dalam film-teks menjadi
Jepang yang aktual. Untuk melihat usaha pembaca dalam mengakui possible-world
menjadi actual-world, maka analisis harus kembali pada konsep trikotomi tanda
dalam membentuk final interpretant serta peran habit di dalamnya.
Dengan menggunakan konsep tersebut. maka data-data dari narasumber pada
sub-bab ini bisa dilihat dalam hubungannya antara proses mereka dalam menamai-
menyimpulkan possible state of affairs, possible individual, dan possible course of
224 Ibid. hal. 235
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
194
events dengan proses mereka dalam menamai Jepang yang mereka anggap aktual.
Jepang yang sudah dibahas pada bagian-bagian sebelumnya akan ditempatkan
sebagai tahapan awal yang mempengaruhi mereka membentuk final interpretant
Jepang yang aktual. Oleh karena itu, analisis akan masuk pada pencarian tahapan
pada narasi narasumber mengenai Jepang yang dianggap aktual – baik yang masih
menampakkan jejak film-teks maupun yang sudah terlepas – dan mengaitkannya
dengan segala pengetahuan yang beredar di Indonesia (outer-world) yang
mempengaruhi pembaca untuk menginterpretasikan Jepang – kesimpulan pada inner-
world. Analisa pada tahap ini juga akan mencari apakah terdapat sisa-sisa ikon Liyan
pada bahasa yang diungkap oleh narasumber. Berikut adalah data-data narasi
narasumber yang menunjukkan interpretasi atas Jepang yang aktual:
Kira
K10
Ya.. ya kenapa kamen rider tu sampai detik ini masih ada. Ya
mungkin, dari situ, ditontonkan tiap hari minggu untuk anak-
anak. Ya mungkin itu lah yang membentuk pola pikir orang
Jepang kecil sampai orang Jepang gedhe.
K11
Ya mungkin, orang Jepang kan harus bisa… Ya maksude, kalau
melakukan satu hal A ya tetap harus selesai. Walaupun kenapa,
walaupun apa, kalau belum ketemu hasilnya kan belum anu ta,
wong Jepang ya gitu sih. Kalau menurutku katsudou sama orang
Jepang, kalau mereka belum sampai, kalau belum ketemu hasil A,
belum sesuai harapan, ya dia belum mau ngapai-ngapain,, yo
sakjane itu jelek sih. Tapi kan bisa diambil dari sisi lain. Ya
emang kesannya terlalu memaksakan, tapi emang kalau
tujuannya A ya harus A…
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
195
K12
Ya sekarang kalau aku ambil contoh. Pas katsudou sama orang
Ritsumeikan, ya misale mereka mau ngadain kunjungan orang tua
murid ke sekolah. Ya kita datang ke rumah-rumah dan ngasih tau
besok ini lho ada kunjungan. Lihat anak-anaknya belajar. Di
Desa A, jadi orang Jepang sama kita ke rumah-rumah, “ini lho
besok ada acara ini, kamu bisa dateng apa enggak“ Yo orang
Jepang itu pingin orang tua itu datang. Walaupun orang tuanya
alasannya apa, alasannya apa, orang Jepang itu tetep pingin
orang tua itu datang. Kan ini demi anak-anakmu. Kamu harus
datang. Kan kalau orang tuanya emang bener-bener ga bisa
datang, ya kita sebagai penerjemahnya kan ya bingung, maksa
orang tuanya untuk datang ke sekolah. kalau misalnya memang
orang tuanya tidak bisa karena ada kerja atau apa. Ya tapi kalau
pinginnya orang Jepangnya itu ya ijin. Tapi kan di Indonesia kan
hal-hal seperti itu ya belum bisa. Beda dengan di Jepang.
Geyol
G10
Kok berantemnya pun ga ada gregetnya gtu lho istilahnya… Tapi
kalau jaman saya, seperti kamen rider ichigo, superone, segala
macem, sampai aktornya sendiri itu turun. Bisa berantem, ya kan.
Seperti itu. Dan juga ada kringetnya, lari-lari.
G11
Bener-bener yang keliatan seperti ninja yang dipilih, yang
matanya sipit, yang kira-kira badannya lincah gitu kan. Yang
tenaga dalam pun, aktornya harus bisa kungfu. Bener-bener
latihan kungfu…
G12
kalau saya sih karena memang tetangga dari nenek saya di
purworejo juga sudah tahu kalau bapak saya udah belajar dari
sana lama, justru menimba ilmu di negara yang modern, seperti
itu… cuman ya gitu, angkatannya nenek saya, mungkin tetangga-
tetangga yang tanda kutip tidak berpendidikan, gak lulus, bahkan
gak sekolah, tu memang image Jepang masih penjajah…
Koh
Oyon O9
Nek kaya dikaya-kayakke tenan, tapi nek enggak kaya, ya bener.
Dalam artian gini.. kayak contohne ya.. gampange nek… Wong
Jepang ki kayak musike itu, bisa ngepas. Kalau misalkan nek-nek
e sendu, ya musiknya bisa ngepas. Jadi tambah sendu. Nek lucu
ya lucu, bisa ngepas gitu lho… Ga lebay. Tapi nek pas, komedi
lebay ya lebaybanget. Umpamane pertama kali, uwaah cring
cring cring.. uwaaa, hahaha, nek kayak gitu biasane cinta-
cintaan. Dorama nek yang kayak gitu ya ada… Gitu, agak seru..
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
196
O10
Ya itu, kayak GTO, sama sing itu,, aku yang paling seneng yang
itu sih…Yang ada,,, apa ya,,, adaa…Ada pelajarannya,
gampangane gitu lah… daripada sing cuman cinta-cintaan thok..
ya gitu-gitu.Ada… ini.. jadi guru ki ngene ngene ngene ki lho. Iki
lho critane. Suka duka guru tu seperti ini. Terus nanti kan mesti
ada komunitas kayak gini.. Nah, gitu.. Pokoknya yang ada
wujudnya, apa ya… yang aku seneng, kalau jadi guru… Terus
yang itu, yang… yang mangaka bekas geng motor itu…Iya. Itu.
Itu kan juga bagus itu.. Nha… itu apik.. aku seneng yang gitu-
gitu.. Ada yang dia bener-bener dari yang bajingan jadi apik. Aku
lebih seneng itu… terutama dia mainnya gimana..
O11
Aku kalau disuruh ke jakarta wegah kok… Ngopo yo. Wongane ki
kayak ga bisa menikmati hidup, nek aku sih. Ya semua kota besar
lah.. Lha mending temenku di jepang itu. Sing si,,, siapa,, temenku
yang di jepang itu, balik-balik sugih. Kerja di sana setahun dua
tahun, di sini dua tahun nganggur ya tetep bisa makan kok. Ga
nyari duit aja tetep bisa makan…. Tapi ya kerjanya ya,, ngerti
wae.. sehari bisa 500 ribu. Tips e tok.. 500 ribu sehari…
Xakha
X7
Kan ga ada yang lain. Ada paling juga cuman film-film
Indonesia. Ya itu kan kayak selingan, film Indonesia jaman dulu.
Ya cuman kayak, selesai nonton anime, ya nonton tuyul dan mbak
yul, nonton jinny oh jinny gitu.
X8 Ya kokehan mungkin di situ ya, nilai nganunya, yang bikin orang
tertarik untuk ngikutin, besok ada apa lagi ya. Kayak penasaran
John
Switch J11
Saya tukang nghayal. Saya suka nghayal. Dari kecil tu sukanya tu
aku suka ngehayal… Tapi dulu kan saya lebih suka main game.
Terus selalu membayangkan bagaimana sih kalau kita jadi
karakter ini. Apalagi kalau maen game RPG kan, kalau kita main
game RPG ya, ngliat botol ini aja udah,,, ini botol biasa, tapi
kalau kita lihat tu udah kayak ada tulisannya, item, efeknya apa,
fungsinya apa. Nah itu udah keliatan. Itu awal-awalnya…
Sekarang pun juga masih. Jadi kadang ngliat-ngliat, kadang
ngliat hape gini, jadi muncul opsi-opsinya. Nah itu. Hahaha…
Nah kalau gini mikir, kayaknya kalau bikin kostum asik nih…
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
197
J12
Tapi sebenernya gini, kalau boleh jujur sih, sebenernya banyak
ya, kalau gak ada Jepang aku akuin Indonesia ga bisa merdeka,
satu. Terus kalau gak ada negara Belanda tu Indonesia gak bisa
sampe kayak gini sebenernya. Semua hal-hal yang kita ambil
sekarang tu kita adopsi dari unsur Jepang. Hal yang paling
gampang: Baju! Baju itu sebenernya dari Belanda sama Jepang.
Sebenernya. Kita mengadopsinya. Misalkan kita ga sampai
dijajah Belanda sama Jepang, sampai sekarang kita masih pake
kebaya sama blankon. Kayak gitu… Persenjataan, teknik irigasi,
terus teknik penciptaan dan lain sebagainya, makanan, kuliner,
semua, pengelolaan negara, kan ambil dari tentara Belanda.
Makanya kalau misalkan mau tahu sejarah Indonesia sama
dokumen Indonesia paling lengkp, pergilah ke Belanda. Kayak
gitu… Iya hiperbola. Orang-orang jaman dulu aja…. Nah itulah,
hiperbola orang jaman dulu tu terlalu berlebihan sih sebenernya.
Apalagi kalau kayak orang main kata gitu lho. Si A ngomong apa,
si ini ngomomg,.. Misalkan dia ngomong ke temenya ini, nah
nanti sampai ke orang lain udah bisa Z. Kayak gitu sih…
J13
Yang pertama kali muncul ya, ya anak-anak, aku sih kalau aku
pakai logisnya ya, anak-anak tu males baca, pasti lebih suka
nonton. Sekarang kalau hari minggu apa yang ditunggu? Anime
kan… kalau baca kan kita bisa tiap hari baca, tapi itu kan jadi
cepet bosen. Lha terus sekarang yang paling kita tunggu apa
kalau hari minggu? “enggak, aku mau nonton anime dulu,
digimon, wah, ya. Ada tinju, sialaaan!” hahaha, yaudah, orang
pasti ngincernya apa? Anime… Kalau dulu tu, paling ya, anime
yang paling berkesan tu digimon sih sampai sekarang… Itu awal-
awal aku nonton, yang bener-bener, istilahnya, sampai kayak
addicts. Sama beyblade dulu. Beyblade, crushgear, tamiya, itu.
Itu paling aku incer-incer terus tiap hari, tiap minggu. Sekarang
kalau dipikir-pikir, anime tu bener-bener mempengaruhi anak.
Misalkan ya, woh, anime beyblade, orang pada beli beyblade
J14
…Nah soalnya gini. Di Jepang sendiri kan, samurai, dan
semuanya yang berhubungan dengan masa lalu paling juga
dihormati kan. Bahkan sampai dibikin eventnya khusus… Di luar
negeri soalnya kegiatan-kegiatan bersejarah yang mengangkat
sejarah-sejarah dan perayaan sejarah tu, kesannya bagi mereka
tu, itu hal yang menarik. Bukan menarik lagi, itu hal-hal luar
biasa. Itu aset negara bagi mereka… Bisa dijual. Buat
keuntungan mereka. Tapi di sini jarang. Malah dipermasalahkan
terus. Lha malah ribut-ribut gitu. Mereka lebih mikirin politiknya
dan sebagainya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
198
J15
Sederhana, satu, pihak kreatif mereka tu di support… Negara.
Industrinya juga. Bagi perusahaan-perusahaan yang pihak kreatif
tu mereka menghargai. Apa pun ide yang mereka masuk, apa pun
kita hargai. Indonesia? Baru kita masukin aja udah di tolak. Ga
menghasilkan. Bagi mereka tu ini enggak blablablabla… ya
dikembalikan. Itungannya ide-ide mainstream doank. Ga jelas.
Kayak gitu bisa apa Indonesia…
J16
malah mungkin, sekarang kesannya kayak datar hidupku.Iya.
Soalnya bagiku sih Jepang tu menarik masalahnya. Ya bagiku
menarik soalnya. Apalagi setelah kesana, semuanya kayaknya
wah, menarik gitu. Banyak hal yang itungannya bahkan tidak bisa
dijelasin dengan kata-kata. Bagi kit a tu, kayak, aku seneeeeng
(dengan penekanan) banget sama itu… Banyak faktornya.
Pokoknya kamu ngerasa kayaknya bener-bener cinta, banyak hal
gitu. Tapi,,, di satu sisi, aku juga suka Indonesia. Bahkan, aku
cinta Indonesia. Cinta banget. Aku juga cinta Jepang. Bahkan aku
kadang sekarang di Indonesia pun aku tu memperagakan gaya
hidup di Jepang tu kayak gimana dan sebagainya. Terus habis itu,
begitu aku jadi wakil Indonesia, itu aku tetap menjunjung tinggi
bahwa aku orang Indonesia di sana. Tapi begitu aku merasa
melihat Jepang itu menarik, menariknya tadi, woh kayaknya
kehidupannya menarik, sejarahnya menarik, budayanya menarik,
terus macem-macem lah hal yang menarik di situ. Mungkin bagi
mereka yang juga suka sama budaya Rusia mungkin ya, mereka
juga berkata “oh disana menarik”. Menurut saya kayak gitu aja
sih.
J17
Biasa aja sih. Dulu, dari orang tua, apalagi bapak. Bapak kan
bener-bener, apa ya, kasarannya kalau kita mau bilang itu, suka
banget sama Soekarno. Cinta Indonesia banget. Kalau
kasarannya tu bener-bener cinta indonesia garis keras. Dia tau
saya suka cosplay dan sebagainya itu dia pasti berpikir, “ah itu,
kamu tu, udah tau Jepang itu menjajah juga dan sebagainya,
ngapain juga kayak gitu.” Ngomong kayak gitu, “kamu masak
mau sih dijajah lagi. blablabla. Kita tu dulu tu makan, kita tu
sekarang tu makan di Indonesia, ngapain kamu pake budaya
Jepang”.. Ya awalnya kan kalau kita labil, kita bilang “ah papa
tu gak tau apa-apa, udah aku keluar dari rumah!” hahaha. Nah,
karena untungnya, waktu itu saya juga belajar dari, latar
belakang keluarga saya seni, saya juga belajar di sekolah seni.
Akhirnya, saya diajarin, ada kita diajarin, bagaimana sih cara
kita menjelaskan, soal seni yang kita suka kepada orang yang gak
tahu soal seninya, budaya yang kita suka kepada orang yang gak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
199
tau budaya itu apa. Akhirnya, seiring berjalannya waktu, aku
jelasin ke papaku, “pa, cosplay itu gak semuanya harus jepang
kok pa. cosplay itu kan universal. Ada barat, indonesia juga
ada.” terus aku ngomong, “yang ku tonjolin di sini tu bukan aku
ngambil Jepang-jepangnya, yang ku ambil tu lebih ke skillnya
pa.” kesukaannya dan sebagainya. Aku nunjukkin. Akhirnya,
kalau nunjukkin dengan kata-kata tidak mempan, tunjukkin
dengan bakat sekalian, Aksi. “Aku lho bisa bikin kayak gini, gini,
gini…” “woo, bagus ya kayak gini. Kalau Jepang emang
gimana?” aku jelasin, “di Jepang tu ada gini-gini lho pa,” dan
sebagainya. “Teknik keris, Indonesia sama Jepang tu sama lho
sebenernya. Cuman beda di panjang, modifikasi, terus
gini,gini,gini. Jepang tu sebenernya mix, gini,gini,gini dan
sebagainya” aku jelasin aja. Misal, apa yang bisa di mix, apa
yang bisa diambil, apa yang bisa diterima dari jepang ke
Indonesia tu apa. Blablabla dan sebagainya. Akhirnya emang,
emang butuh waktu juga, tapi papaku sekarang ngedukung, “apa
yang lagi kamu kerja, lagi ada orderan apa nih?” gitu. Sekarang
kan juga, papaku kalau ada orderan yang ada hubungannya
tentang kostum, desainnya malah sama aku. “Bim tolong donk,
kamu ada orang versi Jepang gak? Yang soal ini,ini, tolong cariin
donk. Soal yang kuil-kuil Jepang kayak gimana” akhirnya kita
saling mutualisme.
Tabel 4. Data Propositional Attitudes
Interpretasi atas Jepang yang aktual seperti yang dibahasakan oleh narasumber
pada tabel.4 di atas menunjukkan adanya dua jenis usaha menurut arah narasinya.
Jenis usaha yang pertama adalah narasi yang lebih memberatkan proses penamaannya
melalui film-teks. Jenis yang pertama ini menunjukkan usaha narasumber yang lebih
memberatkan pengalaman inner-world mereka, yaitu pertemuannya dengan film-teks.
Di sisi lain, jenis usaha yang kedua tampak pada narasi yang seakan menunjukkan
Jepang yang sudah terlepas dari film-teks. Usaha jenis kedua ini menunjukkan
kemenangan kuasa outer-world atas pengalaman inner-world.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
200
Kira menyampaikan bahwa seri kamen rider menjadi pengaruh kuat bagi
pembentukan pola pikir orang Jepang sampai mereka dewasa (K10). Ia secara tidak
langsung mengaitkan properti individu Jepang yang ia percaya dalam film-teks
sebagai properti bagi orang Jepang aktual, yaitu efek teknologi maju yang
mempengaruhi terciptanya ritme kehidupan yang teratur (K1 dan K4), pantang
menyerah (K4 dan K8), bekerja keras (K8), dan orang Jepang yang mementingkan
proses daripada hasil (K2). Pada argumen ini tampak Kira melakukan usaha jenis
pertama – menyimpulkan interpretant melalui pertemuannya dengan film-teks. Yang
memaksa Kira untuk menarik interpretant tersebut menjadi final interpretant bagi
Jepang yang aktual adalah pengalaman personalnya terhadap orang Jepang di dunia
aktual – di sini nampak usaha jenis yang kedua. Di argumen berikutnya ia
menunjukkan bahwa orang Jepang “harus bisa” mengerjakan satu hal sampai selesai
(K11) melalui kegiatannya (katsudou) bersama dengan orang Jepang selama ia kuliah.
Dengan mengatakan bahwa “kalau mereka belum sampai, kalau belum ketemu hasil
A, belum sesuai harapan, ya dia belum mau ngapa-ngapain,” Kira menjadikan
properti pantang menyerah, kerja keras, dan pementingan hasil daripada proses
menjadi final interpretant bagi orang Jepang. Pada argumen berikutnya (K12), ia
kemudian menunjukkan secara jelas bagaimana pengetahuan dari outer-world yang
mengakomodasi terbentuknya final interpretant atas Jepang tersebut hadir melalui
pembandingannya dengan kondisi Indonesia. Ketika ia menjelaskan kegiatannya
bersama dengan orang Jepang, ia mengakhiri ceritanya dengan narasi “tapi kan di
Indonesia kan hal-hal seperti itu ya belum bisa, beda dengan di Jepang.” Kalimat ini
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
201
menunjukkan habit pada komunitas (Indonesia) yang memaksa Kira untuk
menyimpulkan nilai atas Jepang melalui kata “belum bisa – beda dengan.” Hukum
dalam komunitas (habit) sebagai “yang belum bisa” membantu Kira untuk
menyimpulkan Jepang “yang sudah bisa” menjalankan nilai-nilai tertentu. Dengan
kata lain, pengalaman menilai Jepang dalam pertemuannya dengan film-teks
terjelaskan ketika Kira memasukkan aspek “Indonesia yang belum bisa” dalam
properti yang ia dapat dalam film-teks sehingga ia dapat menyimpulkan nilai-nilai
yang dimiliki oleh Jepang.225
Di titik ini ia tidak menerangkan secara jelas apa yang
“Indonesia belum bisa,” sehingga penamaannya justru harus dilihat melalui proses
Kira menamai Jepang.
Pada narasi yang diungkap oleh Geyol (G10 dan G11), ia tidak banyak masuk
pada proses penamaan Jepang yang aktual dan tetap mempertahankan usahanya
dalam menamai film-teks. Argumen ini bisa dilihat sebagai bentuk ketidakberhasilan
narasumber dalam menarik pemaknaan film-teks sebagai akar terbentuknya final
interpretant Jepang yang aktual. Pada analisa di bagian sebelumnya, Geyol
menunjukkan bahwa melalui film-teks yang membawa nilai tradisional Jepang seperti
ninja (G5), pergeseran atas budaya tersebut terjadi pada beberapa film/seri yang
diterbitkan dengan tahun yang berbeda cukup jauh, dan pergeseran ini ia lihat melalui
225 Lihat pembahasan pada Bab I dan Bab II mengenai wacana “meniru Jepang” yang muncul sekitar periode 1970 akhir ketika investasi perusahaan Jepang dan produk-produknya membanjiri Indonesia. Pengetahuan terhadap hal ini menjadi sarana yang masuk akal untuk terus terbawa menjadi aspek outer-world yang membentuk final interpretant Jepang seperti pada narasi yang diucapkan Kira walaupun tidak secara langsung mampu untuk ditarik garis hubungan ketika Kira tidak pernah membaca atau mendengar mengenai wacana tersebut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
202
aktualitas budaya dalam film-teks yang dulu ia temui. Aktualitas tersebut hanya ia
nyatakan melalui istilah “greget”(K10), yaitu bahwa film yang ia nikmati ketika
masih kecil merupakan film yang lebih memiliki “greget” – dan tidak menjelaskan
lebih lanjut fungsi dari kata tersebut selain dari nilai-nilai yang ia dapat. Ketika ia
diminta menjelaskan mengenai nilai yang bisa didapatkan melalui film-teks Jepang,
ia berulang kali menyebutkan properti nilai kepahlawanan (G2), “jiwa api membara”
(G3) dan nilai “jangan menilai orang dari sisi luarnya” (G9) yang bisa didapat
olehnya dan teman-temannya, namun tidak kemudian membawa pengalamannya
tersebut untuk menamai Jepang yang berusaha direpresentasikan film-teks.
Ketidakberhasilan semacam ini menyebabkan kata “negara modern” pada
argumennya (G12) menjadi tidak terjelaskan. Ia meletakkan imaji “negara modern”
sebagai outer-world yang terlepas dari nilai kepahlawanan yang ia dapat dari film-
teks. Keduanya tidak dinegosiasikan oleh Geyol untuk bisa saling membangun
penamaan tanda baru bagi Jepang, sehingga dua jenis argumen ini menunjukkan dua
jenis usaha yang berbeda: usaha jenis pertama untuk menamai Jepang dalam film-teks,
dan usaha jenis kedua untuk menamai Jepang yang aktual – terlepas dari film-teks.
Pada usaha jenis pertama, Geyol menunjukkan bahwa properti atas Jepang
yang ia dapat dari film-teks berhenti pada energetic interpretant dan hanya berhasil
dinamai dengan bantuan kata “greget”. Ia tidak berhasil memproduksi situasi konkret
yang membuatnya mampu memiliki pengalaman perseptual atas objek Jepang yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
203
ditunjuk dalam film-teks. Dengan kata lain, Jepang dalam interpretasi Geyol melalui
pertemuannya dengan film-teks tidak berhasil menjadi sebuah final interpretant.
Pada usaha jenis kedua, kata “negara modern”menjadi kata yang secara jelas
menunjukkan peredaran pengetahuan atas Jepang yang beredar di Indonesia, dan
hanya berhenti sampai pada pengetahuan sebagai bahan mentah yang siap
diaktualisasikan melalui pengalaman personal macam pertemuan dengan film-teks.
Ketidakberhasilan ini hanya bisa terjadi ketika ia sudah menjadikan konsep Jepang
yang modern sebagai common-sense yang taken-for-granted dan tidak perlu
dijelaskan kembali. Hal ini terlihat melalui cara ia menarasikan kata “Jepang masih
penjajah” dengan meletakkan properti “tidak berpendidikan, tidak lulus, bahkan
tidak sekolah” sebagai properti yang dimiliki oleh individu yang masih melihat
Jepang sebagai penjajah, bukan sebagai negara modern. Ia tidak mendekonstruksi
pembentukan properti negara modern yang dilekatkan pada objek Jepang.
Koh Oyon pada argumen-argumennya (O9 – O11) menunjukkan tiga tahapan
pemaknaan. Pertama ia berusaha membahasakan pengalamannya dalam menciptakan
pengalaman perseptual terhadap objek Jepang yang aktual, namun ia tidak berhasil
menegosiasikannya dengan outer-world. Dalam narasinya, ia menggunakan ekspresi
“ngepas” atau “uwaa… cring, cring,cring” untuk mengekspresikan film-teks Jepang
yang ia anggap aktual – tidak lebay (O9). Kata-kata yang sekedar menunjukkan
ekspresi tanpa bisa dibahasakan tersebut menjadi resiko dari intepreter yang akhirnya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
204
tidak berhasil menemukan komponen outer-world untuk diculik menjadi bahan
penciptaan final interpretant, sehingga pengalamannya tetap tidak terbahasakan.
Pada argumen berikutnya nampak bahwa Koh Oyon memimjam komponen-
komponen outer-world untuk bisa membahasakan pengalamannya. Ia berargumen
bahwa film-teks Jepang memberikan pelajaran-pelajaran, dan tidak sekedar “cinta-
cintaan” (O10). Di sini ia mulai meletakkan pengetahuan outer-world-nya, yaitu
film-teks yang bukan Jepang sebagai film-teks yang selalu berisi kisah cinta. Ia
melakukan penamaan terhadap film-teks Jepang melalui strategi semacam ini, namun
masih membicarakan film-teks Jepang. Pada bagian argumen yang sama juga
kemudian ia menunjukkan bagaimana film-teks Jepang berusaha ia bawa keluar dari
filmnya dengan membawa nilai-nilai yang ia dapat. Dengan mengatakan bahwa aspek
yang ia sukai dari film-teks Jepang adalah adanya “dia bener-bener dari yang
bajingan jadi apik,” maka ia mulai memakai komponen outer-world (yang bukan
film-teks) untuk menciptakan final interpretant. Ia menggunakan kata bajingan dan
apik yang menunjukkan pemberatan makna pada bahasa sehari-hari (bukan bahasa
Indonesia formal) yang lebih sering digunakan oleh masyarakat dimana ia tinggal –
dan cenderung memiliki makna negatif yang disangatkan untuk kata bajingan.
Ada beberapa hal yang bisa dilihat dari pemilihan kata yang diungkap oleh
Koh Oyon pada argumen ini. Pertama, pemilihan kata bajingan dan apik
menunjukkan aspek familiarity pada final interpretant karena ia lebih memilih bahasa
yang paling dekat dengan kesehariannya dari semesta pengetahuan outer-world yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
205
beragam untuk dia pilih. Kedua, pemilihan kata tersebut menunjukkan hukum (habit)
dalam komunitas yang ia tinggali (Indonesia) – dimana “yang bajingan” sebagai yang
tidak bisa diterima oleh masyarakat meminta adanya perubahan untuk bisa masuk
pada “yang apik.” Film-teks Jepang yang ia temui memberikan jalan (pelajaran) pada
kemungkinan perubahan dari bajingan jadi apik, dari yang dibenci menjadi disukai,
dari yang dijauhkan menjadi diterima, dari ekslusi menjadi inklusi. Dengan kata lain,
ketiga, pemilihan kata ini juga menyiratkan adanya proses menerima “stranger”
menjadi “familiar”, atau dari yang masih asing menjadi yang intim. Proses
menjadikan film-teks Jepang – dan juga otomatis objek Jepang – sebagai sesuatu
yang intim terbaca dari argumen ini.
Pada argumen berikutnya, dengan menempatkan Jepang sebagai salah satu
kota besar (O11), ia justru terjebak di ambang. Ia menilai kota besar (Jepang) sebagai
jalan keluar bagi masalah ekonomi. Di sisi lain, ia menghindari kota besar karena
ritme kerjanya yang “tidak menikmati hidup.” Di sini posisinya di tengah komunitas
pemberi hukum pun mengalami proses tarik-ulur. Di satu sisi ia menyimpulkan
Jepang sebagai jalan keluar, sebagai pemberi solusi bagi salah satu bidang kehidupan,
yaitu ekonomi, di komunitasnya sekarang. Di sisi lain, ia menolak diberi hukum yang
ia lihat hadir dengan kuat di komunitas yang memberi jalan keluar tersebut. Namun,
dengan menempatkannya pada konteks sesuai argumen sebelumnya (O10), nampak
secercah harapan pada Koh Oyon untuk perubahan pada komunitas yang sekarang ia
tinggali. Dengan terus melihat objek pemberi nilai “perubahan dari yang bajingan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
206
jadi apik”, Koh Oyon menegosiasikan keberadaannya dengan tidak perlu memasuki
komunitas kota besar (Jepang) yang memiliki hukum tersendiri. Ia memberi (atau
sekedar memperkuat) hukum pada komunitas yang ia tinggali dengan meminjam
hasil pembentukan final interpretant pada pertemuannya dengan Jepang. Di titik ini
jelas bahwa usaha yang dilakukan Koh Oyon berangkat dari pengalamannya terhadap
film-teks untuk dibawa terlepas dari teksnya dan digunakan untuk menegosiasikan
dunia aktualnya.
Sesuai dengan pembagian dua jenis usaha yang nampak pada narasi
narasumber, Xakha pada dua argumennya (X7 dan X8) menunjukkan jenis arah yang
pertama dan tidak berhasil membawanya benar-benar terlepas dari film-teks. Film-
teks Jepang ia anggap menarik karena membawa nilai tersendiri (X2) yang
merupakan nilai moral seperti kerja keras dan perubahan karakter dari setiap
episodenya (X4). Perubahan individu di dalam film-teks seperti ini yang membuat
Xakha tertarik melakukan imersi spasial maupun temporal pada fabula film-teks
Jepang. Ia mengatakan bahwa rasa penasaran merupakan dorongan utamanya untuk
tetap terus menikmati film-teks Jepang (X8).
Ketika ditanya mengenai posisi film-teks Indonesia yang seringkali jam
siarannya berurutan dengan film-teks Jepang yang ia nikmati di televisi, ia
menegaskan bahwa film Indonesia hanyalah “selingan,” dan hiburan satu-satunya
yang ia anggap adalah film-teks Jepang (X7). Di sini terlihat bahwa Xakha berhasil
berimersi masuk pada film-teks Jepang – sesuai analisa pada bagian possible state of
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
207
affairs – namun tidak berhasil membahasakan nilai-nilai yang ia hidupi pada
pengalaman imersinya tersebut. Dengan menempatkan film-teks Indonesia sebagai
pembanding, ia berusaha membahasakan usahanya dalam menciptakan pengalaman
perseptual terhadap objek Jepang yang ia temui dalam imersinya. Usaha Xakha hanya
berhasil dibahasakan melalui peminjaman film-teks Indonesia untuk diposisikan
kontras dengan pengalaman pertemuannya, namun tetap tidak berhasil menyimpulkan
final interpretant yang mampu dipercaya juga oleh pembaca lain. Di sini objek
Jepang hanya berhenti menjadi energetic interpretant dan akan terus berusaha
dinegosiasikan oleh Xakha berdasar komponen outer-world yang selalu berubah-ubah
tergantung dengan paparan pada suatu konteks tertentu.
Pada narasi mengenai objek Jepang oleh John Switch, nampak dua jenis arah
baik dari film-teks maupun dari dunia aktual, dan keduanya ditarik pada sisi
terkontrasnya oleh John Switch. Pada jenis usaha yang lebih memberatkan proses
penamaan pada film-teks, ia menyatakan dua alasan dalam imersinya ke dalam film-
teks. Alasan pertamanya adalah pengakuan dirinya sebagai orang yang suka
menghayal, dalam artian bukan menghayal untuk masuk ke dalam film-teks namun
justru membayangkan dunia aktual yang ia hidupi sesuai dengan film-teks yang ia
sukai – misalnya dengan membayangkan properti-properti benda seperti item di
dalam dunia permainan komputer yang memiliki kemampuannya masing-masing
(J11). Dari argumen ini nampak bagaimana John Switch memiliki kemungkinan
besar untuk bisa membawa possible-world yang ia bentuk melalui pertemuannya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
208
dengan film-teks menjadi sebuah dunia yang senyata mungkin aktual. Ini juga yang
menjadi alasannya dalam melakukan cosplay secara intens, yaitu untuk bisa memiliki
pengalaman perseptual yang konkret dalam pertemuannya dengan film-teks. Ia tidak
sekedar masuk berimersi ke dalam film-teks, namun membawa keluar dunia film-teks
ke dunia nyata – dan memungkinkan dunia aktualnya yang lama tersingkirkan dengan
objek Jepang yang ia bawa keluar.
Alasan yang kedua yang diungkap oleh John Switch adalah objek Jepang
dalam film-teks sebagai hiburan satu-satunya sewaktu ia kecil. Objek Jepang dalam
film-teks menjadi satu-satunya hal yang ditunggu setiap hari minggu (J13). Pada
argumen tersebut pun nampak ia mengakui bahwa anime benar-benar mempengaruhi
kehidupan anak kecil secara nyata di Indonesia, membuat anak-anak ingin membeli
segala mainan tentang film-teks yang ia temui. Dengan kata lain, ia menyamakan
anak-anak kecil yang lain dengan dirinya, yaitu subjek yang memiliki keinginan
bukan untuk sekedar masuk pada film-teks, namun berhasil membawa keluar objek
Jepang menuju dunia nyata setiap anak-anak. Acara selingan yang hadir di hari
minggu menjadi sasaran kemarahan anak-anak yang ingin terus berusaha membangun
keintiman dengan objek Jepang.
Pengaruh pengalaman perseptual terhadap objek Jepang yang didapat oleh
anak-anak seperti John Switch terlihat melalui narasinya pada usaha pembentukan
possible world. Pada bagian possible state of affairs, John Switch menamai Jepang
dengan teknologinya yang maju (vending machine – J4) dan ritme kehidupannya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
209
yang berbeda dengan Indonesia – yang terkadang dibandingkan dengan menempatkan
Indonesia dalam posisi inferior – melalui kehidupan orang Jepang yang butuh serba
instan, kota yang lebih aman, kedisiplinan yang lebih baik, dan ketaatan terhadap
peraturan kota (J2). Pada aspek possible individual, ia menamai objek individu
Jepang dengan atribut penghargaan terhadap sejarah dan nilai-nilai tradisional (J1, J4,
dan J9), dan juga melalui adanya properti kerja keras, suka bekerja (J5) dan loyalitas
tinggi terhadap pekerjaan seperti seorang samurai (J6). Pada aspek possible course of
events, pengakuan terhadap pentingnya posisi dunia kepercayaan melalui nilai
kekerasan hati dan peran kerabat menjadi nilai yang diangkat untuk menamai lebih
jauh individu Jepang.
Pengalaman perseptual seperti ini ia bawa pada proses pembentukan final
interpretant di tahap yang kedua, yaitu terlepas dari film-teksnya. Pada argumen J14
dan J15 nampak dengan jelas bagaimana ia mengakui properti yang ia dapat dari
proses penamaan possible-world Jepang. Ia mengakui bahwa Jepang yang aktual
adalah Jepang yang menghargai sejarah dan nilai-nilai tradisional. Nilai-nilai tersebut
menjadi aset yang menguntungkan bagi Jepang aktual. Ia menyangatkan argumen
tersebut kemudian dengan kembali mengontraskan pengalaman pertemuannya dengan
film-teks dan pengalaman pertemuannya dengan outer-world Indonesia yang “malah
ribut-ribut terus” (J14). Pada argumen J15 pun nampak strategi yang sama, yaitu
menyimpulkan final interpretant Jepang aktual melalui pengalaman dengan outer-
world Indonesia yang “ga jelas, kayak gitu bisa apa Indonesia” (J15). Kedua nilai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
210
yang ia dapat dari pertemuannya dengan film-teks, ia negosiasikan dengan
pengalaman outer-world Indonesia, sehingga akhirnya menciptakan final interpretant
Jepang sebagai negara yang mencintai dan menghargai sejarah dan nilai-nilai
tradisional, serta Jepang sebagai negara yang mendukung industri kreatif sehingga
bisa menghasilkan film-teks senyata Jepang aktual.
Melalui strategi pembentukan dengan pembandingan seperti ini, ia membawa
final interpretant yang sudah ia bentuk untuk kemudian menamai Indonesia dan
kehidupan yang ia jalani selama ini. Ia menjadikan tanda tersebut untuk menamai
ulang kehidupannya. Proses menamai ulang Indonesia tampak pada argumen J12,
dimana ia mulai mendekonstruksi sejarah berdasarkan penyimpulannya terhadap
properti yang ia lekatkan pada objek negara Jepang. Ia mengatakan dengan tegas
bahwa “kalau gak ada Jepang, aku akuin Indonesia gak bisa merdeka” (J12). Ia
menegaskan bahwa semua hal yang diambil oleh Indonesia merupakan bentuk adopsi
dari Jepang. Di sini ia berusaha menegosiasikan jejak sejarah Indonesia pada
kehidupan yang ia jalani dengan properti-properti objek negara Jepang yang ia bawa.
Akan tetapi, negosiasinya tidak berhasil ia bahasakan, dan justru berulang kali
melakukan peminjaman atribut Belanda untuk membahasakan apa yang tidak bisa ia
ungkapkan. Dalam argumen J12 terlihat bagaimana John Switch terjebak dalam
menempatkan Jepang di tengah kuasa pengetahuannya atas kemajuan Barat yang ia
ketahui seperti persenjataan, teknik irigasi, ataupun teknik penciptaan yang tidak ia
lekatkan kepada Jepang. Di sini terlihat bahwa objek Jepang yang ia gunakan untuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
211
menamai Indonesia sebagai inferior pun mengalami inferioritas serupa dengan
Belanda.
Proses menamai ulang kehidupannya sendiri ia tampilkan pada argumen J16
dan J17. Ketika diajak membayangkan kehidupannya tanpa kecintaannya terhadap
Jepang, ia menegaskan bahwa hidupnya akan menjadi “datar” (J16) karena objek
Jepang menjadi objek yang sangat menarik baginya – hingga harus ia ungkap
berulang kali dalam narasinya. Kontradiksi terlihat pada argumen J16 ini. Ia
menyatakan ia mencintai Jepang sekaligus mencintai Indonesia, namun melekatkan
properti bahasa yang kontras dalam bahasanya. Ketika ia menyatakan bahwa ia
mencintai Jepang, ia mengisahkan bagaimana di Indonesia ia “memperagakan gaya
hidup di Jepang tu kayak gimana dan sebagaimana”. Di sisi lain, ketika ia
menyatakan bahwa ia juga mencintai Indonesia, ia melekatkan kata “wakil Indonesia”
dan “menjunjung tinggi bahwa aku orang Indonesia” tanpa melekatkan
properti ”memperagakan gaya hidup” seperti yang ia lakukan pada kecintaannya atas
Jepang. Setelah itu ia justru menegaskan sekali lagi bahwa Jepang adalah objek yang
menarik dengan menambahkan properti ”kehidupan, sejarah, budaya, macem-macem
lah yang menarik”. Segala properti yang sebelumnya telah dibahas sebagai properti
yang ada dalam simpulannya atas possible-world Jepang telah ia rubah menjadi
properti bagi objek aktual Jepang. Pada titik ini, ia menunjukkan bagaimana ia
berhasil memproduksi situasi konkret untuk menamai pengalaman perseptualnya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
212
terhadap objek bernama Jepang – tentu dengan bantuan kuat dari pengalamannya di
luar film-teks.
Pada argumen J17 nampak bahwa keberhasilannya dalam memproduksi final
interpretant atas Jepang dan penerapannya dalam kehidupan akhirnya harus
dinegosiasikan dengan kehadiran hukum dari kerabatnya (ayahnya) sebagai
perwakilan dari hukum yang bertahan di komunitas Indonesia. Ia harus melawan
secara langsung anggapan “Jepang penjajah” dengan Jepang yang sudah ia simpulkan.
Pada argumen tersebut tampak keberhasilan John Switch dalam menegosiasikan
Jepang yang ia bawa untuk bernegosiasi melalui usahanya menitikberatkan pada
nilai-nilai yang “universal” dari Jepang, nilai-nilai yang bisa ia bawa masuk ke dalam
komunitas dimana ayahnya tinggal – bukan membawa Jepang sebagai objek negara
tetapi membawa sekedar properti-propertinya. Ia menarasikan dengan jelas bentuk
strateginya ini melalui narasi “apa yang bisa di-mix, apa yang bisa diambil, apa yang
bisa diterima dari Jepang ke Indonesia tu apa” (J17). Ia menghapus kata “Jepang”
dari properti-properti yang ia dapat, kemudian memasukkan kata “universal”,
sehingga negosiasinya bisa diterima. Dengan kata lain, objek Jepang sebagai sebuah
nama diserap menjadi tersirat, dan keberadaannya akan selalu menjadi bayangan bagi
John Switch ketika membicarakan properti-properti kemajuan, teknologi (J4), etos
kerja, disiplin, dan keteraturan (J2), loyalitas (J6), serta penghargaan terhadap nilai-
nilai tradisional dan sejarah (J1, J4, J9). Kebingungan yang muncul pada argumen
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
213
J16 sebelumnya menjadi jelas di sini, karena properti “membantu Indonesia merdeka”
sudah menyisakan Jepang hanya sebagai bayangan di belakang kalimat tersebut.
Melalui analisa terhadap narasi kelima narasumber, dapat disimpulkan adanya
dua hal yang mengiringi kecenderungan pembaca dalam menyikapi film-teks dan
aktivitas mereka dalam membaca film televisi Jepang di Indonesia. Pertama, dua
narasumber (Geyol dan Xakha) menunjukkan ketidakberhasilan mereka dalam
membentuk final interpretant, dan pengalaman resepsi mereka atas film-teks tidak
bisa terbahasakan dengan utuh untuk menarasikan pengalaman perseptual mereka
atas objek Jepang yang mereka temui. Terdapat dua alasan yang menyebabkan
ketidakberhasilan ini, yaitu:
1. Kuatnya kuasa pengetahuan akan Jepang dalam ingatan pembaca yang
menyebabkan “Jepang” sebagai objek sudah diterima begitu saja tanpa
perlu dinegosiasikan ulang secara terus menerus melalui pembacaan film-
teks. Kegiatan membaca hanya akan menguatkan interpretant yang sudah
diterima begitu saja. Di sini, unlimited semiosis memiliki kemungkinan
untuk berhenti hingga di suatu akhirnya pembaca bisa menemukan objek
baru yang cukup kuat. Selama ini yang terjadi adalah penolakan karena
kuatnya pengetahuan yang sudah terbentuk – Jepang dalam film-teks yang
baru selalu kalah. Hal ini menunjukkan kuatnya pengalaman pembaca atas
Jepang di luar fillm-teks.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
214
2. Lemahnya komponen dari outer-world karena paparan yang justru selalu
berubah-ubah. Ini terjadi ketika pembaca terpapar dengan berbagai jenis
pengetahuan yang terlalu beragam dan juga objek Jepang yang terlalu
beragam dalam dalam berbagai media – baik itu film-teks, internet,
ataupun jenis lain dari produk budaya Jepang.
Kedua, tiga narasumber (Kira, Koh Oyon, dan John Switch) menunjukkan
keberhasilan dalam membentuk final interpretant. Mereka berhasil memproduksi
bayangan situasi konkret untuk membahasakan pengalaman perseptual atas objek
Jepang. Yang perlu diingat di sini adalah pemahaman bahwa ikon Liyan bisa tersisa
dalam proses merubah energetic interpretant menjadi final interpretant, sehingga
relasi kuasa selalu terjadi di dalam perubahan tersebut. Melalui narasi ketiga
narasumber terlihat bahwa penamaan atas objek Jepang – membawa dari possible
menjadi aktual – selalu melibatkan proses penamaan atas komunitas yang
memberangkatkan para pembaca ini, yaitu Indonesia. Ketiganya menunjukkan habit,
yaitu hukum yang dipahami secara intersubjektif oleh ketiganya dalam memposisikan
Indonesia di tengah proses penamaan tersebut.
Dengan melihat analisa pada tiga narasumber ini, bisa didapat dua posisi
Indonesia dalam proses mereka menamai Jepang. Pertama, Indonesia tersingkirkan
dan hadir hanya di dalam penamaan terhadap Jepang melalui strategi kontrafaktual.
Di sini Indonesia digunakan untuk menamai Jepang tetapi justru penamaan terhadap
Indonesia tidak bisa terbahasakan secara lugas. Hal ini menunjukkan bahwa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
215
Indonesia kemudian akan dinamai melalui penamaan terhadap Jepang. Properti yang
digunakan untuk menamai Jepang harus dipinjam untuk menamai Indonesia. Dengan
kata lain, penamaan terhadap Indonesia harus meminjam ikon dari Liyan, sehingga
Indonesia akan ditempatkan sebagai inferior. Posisi Indonesia yang inferior ini
berkaitan dengan jenis posisi kedua, yaitu keberhasilan dalam membahasakan
Indonesia sebagai yang inferior, atau sebagai komunitas yang membutuhkan hukum
baru. Di sini posisi penamaan terhadap objek Jepang dijadikan sebagai hukum baru
yang diangankan untuk terbawa ke Indonesia. Pada posisi ini, film-teks Jepang
diposisikan sebagai hukum baru (Liyan) yang diinginkan – menginginkan kehidupan
pada dunia simbolik yang baru walaupun tidak menyenangkan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
216
BAB V
PENUTUP
Penerimaan yang semakin masif atas produk budaya popular Jepang di
Indonesia tahun-tahun terakhir ini tentu saja menyebabkan penerimaan terhadap
Jepang yang juga semakin mapan di benak masyarakat Indonesia. Kisah mengenai
Jepang yang pernah menjajah semakin lama semakin dide(kon)struksi oleh para
pecinta Jepang baru ini. Perubahan imaji menjadi hal yang maklum di tengah-
tengahnya. Jepang menjadi negara impian yang utopis untuk dicapai di jantung
Indonesia. Jelas yang harus ditanyakan adalah bagaimana Indonesia bisa
memberangkatkan fenomena semacam ini? Atau dengan kata lain, Indonesia seperti
apa yang hadir di tengah para pecinta Jepang ini sehingga membuat mereka
mengostumi dirinya dengan Jepang?
Penelitian ini berusaha menjawab pertanyaan utama tersebut dengan
merumuskan empat pertanyaan yang membawahinya melalui metode abduksi.
Pertama, pengetahuan tentang Jepang apa saja yang beredar pada sejarah Indonesia
yang memungkinkan untuk dibawa pada kegiatan membaca film-teks oleh pembaca
film televisi Jepang? Pengetahuan tentang Jepang ini yang terus beredar di Indonesia
semenjak masa kolonialisme. Antara penjajahan dan pendidikan, antara kekejaman
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
217
dan potensi, antara ingatan negatif dan harapan positif, pengetahuan akan Jepang
beredar di garis antara semacam ini sejak masa itu. Kasusnya, bentuk propaganda
media pada masa ini oleh sendenbu – yang dinilai secara positif – menjadi embrio
bagi kehadiran media televisi kemudian. Kuatnya kuasa Jepang pada pembangunan
media yang kemudian mengisi penuh waktu luang anak-anak muda di Indonesia jelas
akan memberikan pengaruh.
Pengaruh yang didapat pada anak-anak muda ini tentu juga perlu ditarik pada
sejarah pembangun media televisi di Jepang. Media televisi di Jepang hadir sebagai
bentuk fantasi atas represi modernitas dari Barat. Perkembangan film dan media
televisi Jepang tidak pernah terlepas dari strateginya yang selalu menegosiasikan
modernitas. Slogan eastern ethics, western science mengawali hal tersebut, ideologi
discover Japan – exotic Japan menjadi sarananya, dan konsep ijippari dalam film
menjadi produk hasil negosiasinya. Melalui hal ini, narasi film Jepang selalu
dibangun berdasarkan penekanan atas motivasi psikologis sang tokoh dibanding
penekanan atas aksi-aksi dan tujuan akhir tokoh – yang merupakan gaya film
Hollywood. Oleh karena itu, kekhasan pada media Jepang selalu berupa kesuksesan
negasi mereka atas Barat – modernitas – dan bahkan kehadirannya di Indonesia tidak
bisa terlepas dari peran Barat.
Kesuksesan tersebut pun terdengar kencang hingga Indonesia melalui media-
media dan berbagai literatur yang mengisahkan kemajuan Jepang dan bagaimana hal
tersebut harus ditiru oleh Indonesia – sebagai sesama negara Timur. Kehebatan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
218
negara Timur ini seringkali didengar pada pembicaraan menyoal etos kerja, disiplin,
keteraturan hidup, dan nilai-nilai yang selalu berangkat dari penilaian atas individu
Jepang. Pengetahuan tentang kesuksesan itu pun bisa secara langsung dirasakan oleh
tangan-tangan Indonesia melalui pertemuan dengan nama-nama macam Honda,
Toyota, atau Sanyo yang mengisi-membantu kehidupan mereka. Iklan-iklan dan
baliho-baliho yang bertebaran dimana-mana menyangatkan kesuksesan tersebut.
Jepang bukan lagi negara yang asing bagi masyarakat Indonesia.
Lalu bagaimana pengetahuan seperti ini bisa termanifestasi secara nyata
dalam kehidupan melalui pembacaan serial televisi Jepang? Hal ini merupakan
pertanyaan yang akan dijawab melalui rumusan masalah kedua, yaitu: Bagaimana
film televisi Jepang yang dihadapi pembaca memungkinkan adanya kebutuhan akan
pengetahuan tertentu untuk dapat dibaca? Kemungkinan itu hadir melalui dua faktor.
Pertama, kepenuhan film televisi Jepang dalam mengisi waktu luang anak-anak
Indonesia, baik melalui tayangan televisi setiap sore dan setiap hari minggu, maupun
melalui berbagai mainan yang mudah didapatkan di toko-toko terdekat – walaupun
seringkali merupakan tiruan atau bajakan. Intensitas yang tinggi dalam mengintimkan
diri terhadap produk Jepang ini menuntut pembacanya untuk masuk ke dalam dunia
yang direpresentasikan dalam film.
Hal ini yang menghadirkan adanya alasan kedua, yaitu bentuk narasi film-teks
Jepang yang lebih mengutamakan pergulatan psikologis dan motivasi sang tokoh.
Bentuk ini terbukti dari lambatnya plot narasi film-teks Jepang, karena bukan aksi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
219
yang menjadi tujuan akhir dari film, namun berupa pemenuhan nilai-nilai yang
dibawa sang karakter. Di sini peran pengetahuan tentang kemajuan Jepang dan
individu-individunya yang sudah sering beredar di Indonesia menjadi penting. Pada
pembahasan di Bab III terlihat bagaimana para pembaca membicarakan Jepang yang
mereka temui dalam film-teks melalui kemajuan Jepang (teknologi, kehidupan kota,
dan penghargaan terhadap sejarah) serta nilai-nilai individu Jepang (pantang
menyerah, disiplin, dan pentingnya kekerabatan). Pada pembahasan posisi lima dunia
di Bab IV pun pentingnya narasi mengenai pergulatan psikologis dalam menemukan
nilai ijippari dan pentingnya kekerabatan di dalam film-teks pun kembali disangatkan.
Lalu pertanyaan yang muncul dari pembicaraan mengenai Jepang tersebut
adalah: bagaimana para pembaca dapat menyimpulkan hal tersebut dari
pertemuannya dengan film-teks? Pertanyaan ini merupakan pertanyaan yang akan
dijawab melalui rumusan masalah yang ketiga, yaitu: Bagaimana pembentukan
interpretasi atas Jepang tercipta melalui peletakan pengetahuan pembaca pada teks
film? Ada tiga strategi yang umum dilakukan oleh para pembaca berkaitan dengan
proses peletakan topoi pada pertemuan mereka dengan film-teks Jepang. Pertama,
mereka meletakkan topoi tentang Jepang yang mereka ketahui (atau berusaha
ketahui) dari berbagai media lain secara intertekstual. Strategi pertama ini dilakukan
oleh pembaca untuk menyimpulkan Jepang seperti apa yang sedang mereka hadapi.
Strategi kedua adalah strategi peletakan topoi tentang Jepang sesuai dengan
pemahaman masyarakat Indonesia yang sudah mapan atas Jepang, yaitu sebagai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
220
negara yang lebih maju daripada Indonesia. Strategi yang kedua ini pada akhirnya
berfungsi untuk menyangatkan pemahaman mereka atas Jepang yang mereka bawa
dalam pembacaan. Apabila film-teks yang mereka temui tidak mampu untuk
menyangatkannya, maka film-teks tersebut akan selalu dinilai negatif oleh para
pembaca. Di sini terdapat kecenderungan untuk menilai film-teks Jepang yang
dinikmati dulu lebih baik dibanding yang sekarang.
Strategi ketiga adalah strategi peletakan topoi tentang Indonesia dalam film-
teks Jepang. Pada pembahasan possible state of affairs, possible individual, dan
possible course of events, strategi ini berulang kali digunakan oleh pembaca untuk
akhirnya menamai properti Jepang yang tidak bisa mereka isi dengan aspek-aspek
pengetahuan akan Jepang sehingga mereka harus menyimpulkan Jepang baru ini
berdasarkan strategi kontrafaktual terhadap Indonesia. Pada strategi ini, Indonesia
selalu ditempatkan dalam posisi inferior supaya nama Jepang bisa tercipta.
Melalui strategi ketiga ini, posisi Indonesia yang sebenarnya dibayangkan
oleh para pembaca film televisi Jepang ini pun mulai nampak. Analisa terhadap
proses pembentukan final interpretant Jepang menyisakan pembayangan akan
Indonesia tertentu pada pembaca film televisi Jepang ini. Melalui hal ini, pertanyaan
terakhir yang akan dijawab adalah: Bagaimana Indonesia disiratkan atau dibayangkan
melalui narasi pembaca setelah mengalami proses pembentukan interpretasi atas
Jepang?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
221
Pada proses pembentukan interpretasi atas Jepang terlihat dua cara
pembayangan Indonesia yang umum dilakukan oleh narasumber. Pertama, Indonesia
yang tidak berhasil dibahasakan, dan hanya bisa dibahasakan melalui peminjaman
ikon Liyan dari Jepang – menjadikan Indonesia inferior atas Jepang. Posisi inferior
ini berkaitan dengan bentuk pembayangan yang kedua, yaitu membayangkan
Indonesia yang memiliki hukum baru sesuai dengan Jepang. Atau dengan kata lain,
membayangkan perubahan Indonesia menuju lebih baik sesuai dengan yang mereka
temui dalam film. Film yang mereka temui dijadikan simbol harapan akan Indonesia
baru.
Melalui jawaban dari empat pertanyaan ini, dapat disimpulkan Indonesia
macam apa yang memberangkatkan adanya kemungkinan terjadinya fenomena
penerimaan Jepang yang masif di Indonesia. Pertama, Indonesia sebagai konteks khas
yang di dalamnya membawa pengetahuan yang masif tentang Jepang – baik melalui
sejarah maupun pengetahuan kontemporer – yang membuat terciptanya pembayangan
bersama atas Jepang. Atau dengan kata lain, Indonesia yang menciptakan adanya
komunitas Jepang terbayang baru di Indonesia. Kedua, Indonesia sebagai negara
paskakolonial terbentuk menjadi negara yang terpapar dengan pengaruh modernitas
(Barat), sehingga adanya Jepang baru ini menjadi penanda baru atas represi
modernitas. Bukan Jepang yang sebenarnya dilihat, namun nilai-nilai yang
disimpulkan sendiri secara khas yang menjadi inti dari proses masifnya penerimaan
terhadap Jepang ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
222
Dengan kata lain, Jepang hanya berupa medium dalam penelusuran wacana
penikmat produk budaya populer Jepang seperti ini. Pembentukan makna melalui
pengalaman dan paparan sehari-hari merupakan negosiasi yang mandiri, terlepas dari
kuasa Jepang sebagai sebuah negara. Pengalaman mengalami, merasakan, dan
pengalaman visual yang dihidupi oleh para penikmat budaya populer Jepang ini
mandiri karena berkaitan erat dengan konteks khas Indonesia yang memberangkatkan
yang menjadi tanah pijakan mereka.
Oleh karena itu, penelusuran konteks khas Indonesia melalui penelusuran
teknik pembacaan penikmat budaya populer yang masuk ke Indonesia bergerak di
ranah yang cukup berbeda dengan penelusuran sejarah empiris yang terkadang
menekankan perkiraan adanya teori konspirasi secara sadar. Pada penelitian ini
terlihat bahwa Hukum yang berusaha disampaikan oleh Jepang (intentio auctoris)
tidak dapat berbicara banyak pada proses negosiasi pembaca. Negosiasi pembaca
terletak pada mediasi pengalaman keseharian mereka – dalam ranah pembentukan
intentio lectoris – dengan intensi teks yang membawa strategi-strategi linguistik
tertentu (intentio operis). Sehingga, pertanyaan bahwa perubahan imaji Jepang dari
negatif menjadi positif – seperti yang disampaikan pada latar belakang – tidak bisa
begitu saja dikatakan sebagai proyek yang secara sadar dibangun oleh Jepang sebagai
Hukum. Penekanan yang justru terlihat di sini adalah adanya kepenuhan pengetahuan
akan Jepang – yang secara mandiri diamini sebagai real-world pembaca Indonesia –
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
223
sehingga memberangkat pembentukan possible-world yang berpijak pada konteks
khas Indonesia.
Pendekatan melalui teori pembentukan interpretasi atau possible-world yang
diajukan oleh Eco ini menjadi sangat berguna untuk menjadi jalan lain untuk masuk
pada kajian-kajian yang melakukan pendekatan pada film – terutama ketika arah
kajiannya menekankan pada peran pembaca. Teori ini menyediakan alur-alur
sistematis dalam melihat teks-film sebagai media yang membawa kepenuhan strategi
linguistik tertentu yang dapat memancing interpretasi pembaca (model reader).
Melalui teori ini, teks-film dapat dilihat sebagai arena negosiasi antara intensi
penciptanya – atau lebih spesifik pada intensi teksnya, ketika melihat teks sebagai
kesatuan bahasa atau kesatuan intertekstual – dengan intensi pembacanya yang
membawa pengalaman khas tertentu. Namun, teori possible-world oleh Eco ini masih
dirasa kurang dalam memberikan penekanan pada pengalaman ketidaksadaran yang
hadir pada pembaca itu sendiri. Eco yang berangkat dari wilayah kajian teks,
terutama linguistik dan sastra, perlu dikombinasikan dengan bentuk kajian yang lebih
konkrit dalam memberikan penekanan pada pengalaman pembaca yang subjektif. Di
sini peran teori-teori yang dikemukakan oleh Marie-laure Ryan ataupun Ien Ang yang
secara intens membicarakan pengalamanan subjektif dan imersivitas pembaca
menjadi penting. Keduanya menyediakan alur yang lebih runtut ketika penelitian
akan membicarakan dan menekankan pada pengalaman keberhadapan pembaca pada
film sebagai sebuah teks. Dengan kata lain, penelitian ini menemukan keterbatasan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
224
teori Eco ketika penekanan ada pada pembaca. Sehingga, penggabungan antara Eco
dengan teori-teori yang lebih kontemporer mengenai pembacaan film kemudian dapat
merumuskan kembali kerangka pikir yang bisa dipakai untuk menganalisis
pengalaman yang berbasis visual. Melalui hal tersebut, kepenuhan analisis dalam
kerangka negosiasi tiga intensi (intensio auctoris – intentio operis – intentio lectoris)
pada teks visual menjadi berimbang.
Secara khusus, melalui kesimpulan ini, penelitian ini dapat memberikan arah
baru bagi perbincangan dalam ranah komunikasi antar bangsa, terutama jika berkaitan
dengan strategi persebaran bentuk-bentuk budaya populer yang sudah tidak dapat
dibendung lagi di era internet saat ini. Hal ini bisa memberikan cara pandang sejarah
yang baru, sehingga penelusuran tidak hanya berhenti dalam menyimpulkan negosiasi
yang kecenderungannya hanya melihat dalam lapisan atas. Kecenderungan seperti ini
tampak pada penelusuran paradigma Cool Japan yang seringkali dilihat sebagai
strategi Jepang dalam mempromosikan negaranya. Penelitian ke arah yang baru, yang
fokus pada pembacaan subjektif sesuai konteks tertentu baru banyak dimulai belum
lama ini. Salah satunya dengan munculnya buku berjudul The End of Cool Japan:
Ethical, Legal, and Cultural Challenges to Japanese Popular Culture (2016) dan
beberapa penelitian sejenis yang sedang banyak dikerjakan oleh peneliti Jepang di
berbagai negara. Diharapkan penelitian ini mampu untuk memberikan kontribusi
nyata di tengah kajian-kajian yang masih segar untuk dikerjakan seperti ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
225
DAFTAR PUSTAKA
Agustina, Widiarsi, et.al. 2014. Massa Misterius Malari: Rusuh Politik Pertama
dalam Sejarah Orde Baru. Jakarta: Tempo Publishing
Allen, Matthew. dan Rumi Sakamoto. 2006. Popular Culture, Globalization, and
Japan. New York: Routledge
Allison, Anne. 2006. Millenial Monster: Japanese Toys and Global Imagination.
Berkeley dan Los Angeles: University of California Press
Andressen, Curtis. 2002. A Short History of Japan: From Samurai to Sony. Chiang
Mai: Silkworm Books
Ang, Ien. 1985. Watching Dallas: Soap Opera and the Melodramatic Imagination.
London: Methuen & Co.Ltd
____. 1996. Living Room Wars: Rethinking Media Audiences for a Postmodern
World. London: Routledge
Armando, Ade. 2016. Televisi Indonesia di Bawah Kapitalisme Global. Jakarta:
Penerbit Buku Kompas
Chambert-Loir, Henri. 2009. Sadur. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia
Chun, Jayson Makoto. 2007. “A Nation of a Hundred Million Idiots”?: A Social
History of Japanese Television, 1953-1973. New York: Routledge
Condry, Ian. 2006. Hip-Hop Japan: Rap and the Paths of Cultural Globalization.
Durnham and London: Duke University Press
Craig, Timothy J. 2000. Japan Pop! Inside the World of Japanese Popular Culture.
New York: M. E. Sharpe .Inc
Eco, Umberto. 1976. A Theory of Semiotics. London: Indiana University Press
____. 1979. The Role of The Reader. Bloomington: Indiana University Press
____. 1991. Limits of Interpretation. Indianapolis: Indiana University Press
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
226
Frankel, Jeffrey A., dan Miles Kahler (ed.) Regionalism and Rivalry: Japan and the
United States in Pacific Asia. Chicago: The University of Chicago Press
Gordon, Andrew. 1993. Postwar Japan as History. Berkeley: University of California
Press
Henshall, Kenneth G. 2004. A History of Japan: From Stone Age to Superpower.
Edisi Kedua. New York: Palgrave McMillan
Herman, David, Manfred Jahn, dan Marie-laure Ryan. 2005. Routledge Encyclopedia
of Narrative Theory. New York: Routledge
Iida, Yumiko. 2002. Rethinking Identity in Modern Japan: Nationalism as Aesthetic.
London: Routledge
Iriye, Akira dan Robert A. Wampler. 2001. Partnership: The United States and Japan
1951-2001. Tokyo: Kodansha International Ltd.
Ito, Mizuki, Daisuke Okabe, dan Izumi Tsuji (ed.) 2012. Fandom Unbound: Otaku
Culture in a Connected World. New Haven & London: Yale University Press
Iwabuchi, Koichi. 2002. Recentering Globalization: Popular Culture and Japanese
Transnationalism. Durnham: Duke University Press
____. 2004. Feeling Asian Modernities: Transnational Consumption of Japanese TV
Drama. Hong Kong: Hong Kong University Press
Ivy, Marylin. 1995. Discourse of the Vanishing: Modernity, Phantasm, Japan.
Chicago: The University of Chicago Press
Kelts, Roland. 2006. JAPANAMERICA: How Japanese Pop Culture Has Invaded U.S.
New York: Palgrave McMillan
Kingston, Jeff. 2011. Contemporary Japan: History, Politics, and Social Change
since the 1980s. West Sussex: Wiley-Blackwell
Kitley, Philip. 2001. Konstruksi Budaya Bangsa di Layar Kaca (terj.) Jakarta: Institut
Studi Arus Informasi
Koentjaraningrat. 1983. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: PT.
Gramedia
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
227
Kurasawa, Aiko. 2015. Kuasa Jepang di Jawa: Perubahan Sosial di Pedesaan 1942-
1945. Jakarta: Komunitas Bambu
____. 2015. Peristiwa 1965: Persepsi dan Sikap Jepang. Jakarta: Penerbit Buku
Kompas
Levi, Antonia, dkk. 2008. Boys‟ Love Manga: Essays on the Sexual Ambiguity and
Cross-Cultural Fandom of the Genre. North Carolina: McFarland &
Company .Inc
Livingstone, Sonia. 2002. Young People and New Media: Childhood and The
Changing Media Environment. London: Sage Publication
MacWilliams, Mark W. 2008. Japanese Visual Culture: Exploration in the World of
Manga and Anime. New York: M. E. Sharpe Inc.
Morley, David, dan Kevin Robins. 1995. Spaces of Identities: Global Media,
Electronic Landscapes, and Cultural Boundaries. London: Routledge
Napier, Susan J. 2005. Anime From Akira to Howl‟s Moving Castle: Experiencing
Contemporary Japanese Animation. New York: Palgrave Macmillan
Robertson, Jennifer (ed.) 2005. A Companion to the Anthropology of Japan. Oxford:
Blackwell Publishing Ltd.
Ryan, Marie-Laure. 2001. Narrative as Virtual Reality: Immersion and Interactivity
in Literature and Electronic Media. Baltimore: The John Hopkins University
Press
Said, Salim. 1982. Profil Dunia Film Indonesia. Jakarta: Grafiti Pers
Standish, Isolde. 2006. A New History of Japanese Cinema: A Century of Narrative
Film. New York: Continuum
Sudo, Sueo. 2002. The International Relations of Japan and South East Asia:
Forging a New Regionalism. London: Routledge
Tsutsui, William M. dan Michiko Ito. 2006. In Godzilla‟s Footsteps: Japanese Pop
Cultural Icons on the Global Stage. New York: Palgrave MacMillan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
228
Yasushi, Watanabe, dan David L. McConnel (ed.) 2008. Soft Power Superpowers:
Cultural and National Assets of Japan and the United States. (New York:
M.E.Sharpe, 2008)
SUMBER ARTIKEL
Centre for Strategic and International Studies (CSIS). 1981. Japan and Indonesia in a
Changing Environment. Jakarta: CSIS
Iwabuchi, Koichi. 2015. Complicit Exoticism: Japan and Its Other. Dalam jurnal
Continuum: The Australian Journal of Media & Culture. (Vol. 8, No. 2, 1994)
JETRO, “Cool” Japan‟s Economy Warms Up (Maret 2005)
McGray, Douglas. 2002. Japan‟s Gross National Cool. Dalam Foreign Policy
(Mei/Juni 2002)
Moeran, Brian. 2004. Soft Sell, Hard Cash: Marketing J-Cult in Asia dari Department
of Intercultural Communication and Management di Copenhagen Business
School.
Perez, Luis Antonio Vidal. 2014. POP POWER: Pop Diplomacy for Global Society.
Dalam laman Academia.edu.
PRISMA. 1983. Mengapa Jepang? Vol. 5, Mei 1983. Jakarta: LP3ES
SUMBER TULISAN LAIN
Cahyaningrum, Prima Nur. 2009. Faktor-faktor yang Melatarbelakangi Kemunculan
Komunitas Pencinta Budaya Populer Jepang di Yogyakarta. Skripsi Jurusan
Sastra dan Bahasa Jepang Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Kartini, Eka Rahayu. 2008. Penerimaan J-Pop di Kalangan Anak Muda Jogjakarta.
Skripsi Jurusan Sastra dan Bahasa Jepang Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Kurniawan, Firman. 2011. Kehidupan Otaku di Yogyakarta sebagai Penggemar
Produk Budaya Populer Jepang. Skripsi Jurusan Sastra dan Bahasa Jepang
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
229
Perdana, Galih Harilaning. 2012. Komunitas Pencinta Tokusatsu Jepang: Studi Kasus
Tiga Komunitas Pencinta Tokusatsu Jepang di Yogyakarta. Skripsi Jurusan
Sastra dan Bahasa Jepang Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Ridha, Muhammad Naufal. 2013. Japan Adult Video: Studi Kasus 4 Mahasiswa
Universitas Gadjah Mada Penggemar JAV. Skripsi Jurusan Sastra dan Bahasa
Jepang Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Saraswati, Nugrah Nur. 2011. Makna Aktualisasi Diri Para Cosplayer di Yogyakarta.
Skripsi Jurusan Sastra dan Bahasa Jepang Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Widiatmoko, Heru. 2013. Perkembangan Toko Mainan Anime dan Tokusatsu Jepang
di Yogyakarta. Skripsi Jurusan Sastra dan Bahasa Jepang Universitas Gadjah
Mada Yogyakarta.
Wulaningsih, Sri. 2011. Fenomena Kemunculan Band-band Lokal Bernuansa Jepang
di Yogyakarta. Skripsi Jurusan Sastra dan Bahasa Jepang Universitas Gadjah
Mada Yogyakarta.
SUMBER INTERNET
http://www.pref.kyoto.jp/en/01-04-02.html (diakses pada 26 Mei 2015)
www.clashcosplay.com (diakses pada 26 Mei 2015)
http://wwwmcc.murdoch.edu.au/readingroom/8.2/Iwabuchi.html (diakses pada 10
September 2015)
http://www.univ-paris-diderot.fr/clam/seminaires/RyanEN.htm (diakses pada tanggal
31 Januari 2016)
http://www.japantimes.co.jp/news/2012/05/15/reference/exporting-culture-via-cool-
japan/#.V2p5hBKvhsV (diakses pada 20 Juni 2016)
http://www.japantimes.co.jp/culture/2014/01/09/general/will-cool-japan-finally-heat-
up-in-2014/#.V2p5khKvhsV (diakses pada 20 Juni 2016)
https://treaties.un.org/doc/Publication/UNTS/Volume%20136/volume-136-I-1832-
English.pdf (diakses pada 21 Juni 2016)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
230
https://twitter.com/yuyucow/status/499230707001356289 (diakses pada 1 Maret
2017)
http://www.nationmaster.com/country-info/compare/Japan/United-States/Crime
(diakses pada 7 April 2017)
https://knoema.com/atlas/Japan/topics/Crime-Statistics (diakses pada 7 April 2017)
https://www.pinterest.com/Tjhill96/kakuranger/ (diakses pada 9 April 2017)
https://dryedmangoez.com/tag/shuriken-sentai-ninninger/page/2/ (diakses pada 9
April 2017)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
231
LAMPIRAN I. PROTOKOL WAWANCARA
1. Real-World Film-Teks
A. Awal Menerima Budaya Populer Jepang
1. Pertama mengenali budaya populer Jepang apakah melalui anime, tokusatsu,
manga, atau dorama? Apa judulnya? Tentang apa?
2. Siapa yang mengenalkan? Usia berapa anda saat itu? Anda berdomisili
dimana?
3. Setelah itu, apa saja yang anda tonton? Di mana anda menontonnya?
4. Mengenai apa film yang anda tonton tersebut?
5. Serutin apa anda menonton hal tersebut?
6. Sampai kapan anda melakukan kegiatan menonton itu?
B. Awal Masuk Pengaruh Media Massa
1. Sejak kapan anda mengenal majalah Animonstar, Anima, atau sejenisnya?
2. Sejak kapan anda aktif mencari konten film Jepang di internet?
3. Sepenting apakah peran majalah, atau internet, bagi hobi anda ini?
C. Awal Berkomunitas
1. Sejak kapan anda merasa ingin berkomunitas?
2. Komunitas apa yang pertama kali anda ikuti? Siapa yang mengajak? Mengapa
tertarik?
3. Seberapa sering komunitas itu berkumpul? Apa yang dilakukan ketika
berkumpul?
4. Apakah relasi anggota komunitas hanya ketika jadwal kumpulan rutin saja?
Bagaimana pengaruh dengan dunia kerja, atau pendidikan yang sedang di
jalani?
5. Bagaimana kalau anda tidak pernah mengenali budaya populer Jepang ini?
2. Real-World Indonesia
1. Sejak kapan anda mengetahui mengenai Jepang?
2. Dari mana anda mendapatkan pengetahuan mengenai Jepang?
3. Menurut anda, bagaimana Jepang?
4. Apa yang anda ketahui mengenai sejarah Jepang di Indonesia?
5. Bagaimana anda menyikapi sejarah Jepang di Indonesia tersebut?
6. Menurut anda, bagaimana kalau Jepang masih menjajah Indonesia? Atau,
kembali menjajah Indonesia?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI