DISTROPI OTOT
-
Upload
m-syaqib-arsalan -
Category
Documents
-
view
82 -
download
10
description
Transcript of DISTROPI OTOT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Otot merupakan alat gerak aktif. Gerakan tersebut disebabkan karena kerja
sama antara otot dan tulang. Tulang tidak dapat berfungsi sebagai alat gerak jika
tidak digerakan oleh otot. Otot mampu menggerakan tulang karena mempunyai
kemampuan berkontraksi. Kerangka manusia merupakan kerangka dalam, yang
tersusun dari tulang keras (osteon) dan tulang rawan (kartilago). Sistem otot
adalah sistem tubuh yang memiliki fugnsi seperti untuk alat gerak, menyimpan
glikogen dan menentukan postur tubuh. Terdiri atas otot polos, otot jantung dan
otot rangka.
Jaringan otot tersusun atas sel-sel otot yang fungsinya menggerakkan organ-
organ tubuh. Kemampuan tersebut disebabkan karena jaringan otot mampu
berkontraksi. Kontraksi otot dapat berlangsung karena molekul-molekul protein
yang membangun sel otot dapat memanjang dan memendek.
Otot lebih dikenal karena kemampuannya untuk fleksibel dan memberikan
bentuk pada sebuah benda. Seperti bagian tubuh lain, otot juga cenderung
penyakit. Penyakit otot, seperti jenis lain penyakit dan infeksi, dapat
mempengaruhi siapa saja. Ia bahkan bisa membuat orang cacat fisik. Penyakit otot
ini sering membuat orang yang lemah.Penderitaan orang dari otot Penyakit nyeri
terus-menerus berada di bawah dan merasa kelemahan pada otot.Dia menemukan
kesulitan untuk berjalan, duduk dan bangun, memanjat, lari, mengangkat atau
membawa, atau memindahkan anggota badan.Dalam kebanyakan kasus, otot
progresif membuang diikuti oleh kontraksi otot terjadi.
Penyakit otot bervariasi dalam kondisi mereka dan memerlukan berbagai
jenis pengobatan.Meskipun beberapa perawatan menanggapi obat-obatan, yang
lain memiliki 'hanya' kemungkinan perbaikan.Penyakit otot mungkin karena
disebabkan berbagai alasan.Beberapa Penyakit Muscle adalah genetik. Ini adalah
disebabkan oleh gen yang rusak dalam tubuh yang disebabkan. penyakit tersebut
1
adalah gangguan genetik yang dapat membuat individu cacat permanen, secara
fisik.
Penyakit genetik otot sering tidak perlu diwarisi dari orangtua dengan
riwayat keluarga gangguan genetik.Hal ini dapat terjadi secara spontan, karena
kelainan gen. Penyakit ini dapat mempengaruhi mata, menyebabkan otot
pemborosan dan bahkan kelumpuhan.Penyakit yang paling terkenal dari otot yang
terjadi secara genetik adalah raga, membaca, atau otot-buang penyakit. Hal ini
disebabkan oleh kesalahan dalam gen dan dapat mempengaruhi siapa saja pada
usia berapa pun. Ia juga dikenal untuk mempengaruhi hati dalam beberapa kasus.
Distrofi otot merupakan kelompok gangguan otot kronik
dikarakteristikkan oleh kelemahan dan pelisutan skelet progresif atau otot
volunteer.Kebanyakan penyakit ini diturunkan.Gambaran patologik mencakup
degenerasi atau hilangnya serat-serat otot, ukuran serat otot, fagositosis, dan
regenerasi serta pergantian jaringan otot dengan jaringan penyambung.Umumnya
karakteristik penyakit ini terdiri dari berbagai derajat pelisutan dan kelemahan
otot; peningkatan abnormal pada kreatinin fosfokinase serum, yang menunjukkan
kebocoran enzim-enzim otot; dan temuan miopatik pada EMG dan biopsi otot.
Perbedaan berpusat pada pola yang diturunkan, keterlibatan otot, usia awitan, dan
kecepatan progresi.
1.2 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dalam penulisan makalah ini adalah agar mahasiswa dapat :
a. Memahami dan mengetahui tentang pengertian distrofi otot.
b. Mengetahui klasifikasi distrofi otot.
c. Memahami dan mengetahui epidemiologi dari distrofi otot.
d. Mengetahui etiologi distrofi otot.
e. Memahami patofisiologis distrofi otot.
f. Mengetahui manifestasi klinis distrofi otot.
g. Mengetahui tentang prognosis dan komplikasi distrofi otot.
h. Memahami pemeriksaan diagnostic distrofi otot.
i. Mengetahui dan memahami penatalaksanaan dan pengobatan distrofi otot.
j. Mengetahui dan memahami asuhan keperawatan dengan klien distrofi otot
2
1.3 Perumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang terdapat dalam makalah ini, antara lain :
a. Apa tentang pengertian distrofi otot ?
b. Apa saja klasifikasi dari distrofi otot ?
c. Bagaimana epidemiologi dari distrofi otot ?
d. Bagaimana etiologi distrofi otot ?
e. Bagaimana patofisiologis distrofi otot ?
f. Bagaimana manifestasi klinis distrofi otot ?
g. Bagaimana tentang prognosis dan komplikasi distrofi otot ?
h. Bagaimana pemeriksaan diagnostikdistrofi otot ?
i. Bagaimanapenatalaksanaan dan pengobatan distrofi otot ?
j. Bagaimana asuhan keperawatan dengan klien distrofi otot ?
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Distrofi Otot
Distrofi otot adalah suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan
lebih dari 40 macam penyakit otot yang berlainan, yang kesemuanya ditandai
dengan kelemahan dan kemunduran yang progresif dari otot-otot yang
mengendalikan pergerakan. Distrofi ialah sekelompok miopati herediter yang
ditandai dengan kelemahan otot progresif tanpa bukti morfologis, histokimia, atau
biokimia adanya penyimpanan abnormal karbohidrat atau lemak di dalam serat-
serat otot. Biopsi otot akan memperlihatkan kelainan degenaratif, tetapi bukan
kelainan morfologik yang khas. Distrofi otot adalah berbagai penyakit yang
ditandai oleh atrofi otot. Gangguan ini tidakdisebabkanoleh abnormalitas saraf,
hormon, atau aliran darah, melainkan gangguan herediter yang melibatkan defek
enzimatik atau metabolik. pada defek tersebut, yang menyebabkan terbentuknya
jaringan parut dan penurunan fungsi otot.
Distrofi otot merupakan kelompok gangguan otot kronik
dikarakteristikkan oleh kelemahan dan pelisutan skelet progresif atau otot
volunter. Kebanyakan penyakit ini diturunkan. Gambaran patologik mencakup
degenerasi atau hilangnya serat-serat otot, fagositosis, dan regenerasi serta
pergantian jaringan otot dengan jaringan penyambung. Umumnya karakteristik
penyakit ini terdiri dari berbagai derajat pelisutan dan kelemahan otot;
peningkatan abnormal pada kreatinin fosfokinase serum, yang menunjukkan
kebocoran enzim-enzim otot, dan temuan miopatik pada EMG dan biopsi otot.
Perbedaan berpusat pada pola yang diturunkan, keterlibatan otot, usia awitan, dan
kecepatan progresi.
2.2 Klasifikasi Distrofi Otot
Distrofi otot ditandai sekelompok otot rangka tertentu berdegenerasi
secara progresif dan bersifat diturunkan.Sejumlah bentuk penyakit berbeda telah
4
dapat dibedakan berdasarkan manifestasi klinis dan genetik.Distrofi otot adalah
penyebab paling utama dari penyakit otot pada masa kanak-kanak.
1. Distrofi Otot Duchenne.
Penyakit ini adalah tipe utama, yang paling berat dari antara penyakit
distrofi otot dengan insidens 30 diantara 100.000 anak laki-laki yang lahir hidup.
Pada pemeriksaan DNA didapati ada gen yang hilang di nomor 21 lengan pendek
kromosom X (Xp21) pada sekitar 70% anak laki-laki yang menderita distrofi
Duchenne. Tempat ini dikenal sebagai gen distrofin karena gen ini mengkode
pembentukan protein distrofin yang terdapat pada semua sel otot yang
normal.Distrofin adalah sebuah protein sitoskeletal besar (400kD), terdapat dalam
jumlah sedikit di otot (0,002% dari protein total otot), tempat protein ini terletak
di sarkolema, jaringan lain yang mengandung distrofin adalah jantung, otot polos,
dan otak. Fungsi distrofin tidak diketahui, tetapi protein mungkin mempunyai
peran dalam menghubungkan sitoskeleton serat otot dengan matriks
ekstraselular.Distrofin tidak ditemukan pada sel-sel otot anak laki-laki penderita
distrofi Duchenne. Penurunannya bersifat resesif terkait-seks, akan tetapi sering
terjadi mutasi dan mutasi ini berperan pada 30% kasus khusus. Wanita pembawa
sifat (karier) biasanya tidak menunjukkan gejala-gejala (asimtomatis).
Gejala-gejala muncul di 5 tahun pertama kehidupan anak dan terdiri dari
keterlambatan berjalan, sering jatuh, sikap berjalan yang bergoyang-goyang
dengan posisi lordosis, dan sulit menaiki tangga.Otot-otot betis yang menonjol
adalah tanda klinis yang dini dan disebut ‘pseudohypertrophy’ karena meski otot-
ototnya besar tetapi lemah dan sering timbul nyeri otot. Karena kelemahan otot-
otot gluteus dan otot ekstensor paha menghasilkan ayunan langkah bergoyang-
goyang yang khas dan lordosis lumbalis kompensatorik, anak laki-laki berkondisi
ini akan mengangkat tungkai mereka ketika bangun dari posisi berbaring (tanda
Gower).Secara dini juga terlihat bahwa pasien berjalan dengan berjinjit secara
gerakan berlari aneh.Kelemahan otot proksimal lengan muncul belakangan, tetapi
fungsi otot kranilalis dan sfingter selalu tidak terkena. Refleks lutut (knee jerk)
lenyap secara dini, tetapirefleks pergelangan kaki (ankle jerk)mungkin bertahan
5
sampai akhir perjalanan penyakit yang kecepatan perkembangan penyakit ini
bervariasi.
Diagnosis distrofi Duchenne ditegakkan dengan menemukan peningkatan
kadar kreatinin kinase dalam serum 10-200 kali lebih tinggi dari normal,
terdapatnya perubahan miopati pada pemeriksaan elektromiografi dan gambaran
biopsi otot yang khas. Elektromiografi (EMG) akan memperlihatkan potensial
kecil dengan durasi singkat, peningkatan jumlah potensial polifasik, dan
rekrutmen berlebihan potensial unit motorik dengan usaha ringan. Fibrilasi dan
lepas muatan kacau berfrekuensi tinggi dapat dijumpai pada penyakit tahap
lanjut.Gambaran EMG mungkin normal pada stadium praklinis. Biopsy otot akan
memperlihatkan berbagai kelainan berikut, bergantung pada stadium penyakit:
peningkatan variasi ukuran serat, serat opak besar, daerah-daerah degenerasi dan
regenerasi serat yang bersifat fokal, peningkatan jumlah nucleus internal, dan
ilfiltrasi lemak dan jaringan ikat.Penting untuk memikirkan kemungkinan
diagnosis distrofi Duchenne di setiap anak laki-laki yang mengalami
keterlambatan perkembangan menyeluruh dan tidak dapat dijelaskan penyebabnya
atau yang mengalami keterlambatan berjalan lebih dari usia 18 bulan. Kadar
kreatinin kinase serum selalu sangat meningkat sebelum kelemahan otot terdeteksi
6
secara klinis dan hal ini dapat digunakan untuk uji skrining pada kasus-kasus
tersebut di atas.
Hampir semua anak laki-laki dengan distrofi Duchenne tidak dapat
berjalan sampai usia 8-11 tahun dan terbatas pada sebuah kursi roda. Mereka
sering mengalami skoliosis dan juga deformitas kaki ekuinus karena kelemahan
otot dan ketidakseimbangan. Infeksi saluran napas akan mempercepat kematian
menjelang usia 15-25 tahun. Perkembangan intelektual biasanya normal, tetapi
terdapat sedikit peningkatan frekuensi cacat mental.
Pada distrofi otot Duchenne penting dilakukan konseling genetik dan
wanita pembawa sifat dapat dideteksi dengan mendapatkan suatu peningkatan
kadar kreatinin kinase dalam serum. Bila seorang wanita diduga sebagai pembawa
sifat, diagnosis prenatal mungkin dapat ditegakkan dengan amniosentesis atau
biopsi vilus korionik.Hal ini benar bila terdapat suatu gen yang hilang di Xp21.
Karena tidak adanya terapi yang spesifik, perempuan pembawa sifat harus
dideteksi untuk mencegah timbulnya kasus baru.Sebagian dapat diidentifikasi
dengan menggunakan analisis silsilah sederhana.Ibu dari anak laki-laki yang
terkena dengan satu atau lebih saudara laki-laki ibu juga terkena juga dianggap
sebagai pembawa sifat yang definitive.Identifikasi kemungkinan pembawa sifat
sebagian (tidak semua) dapat dilakukan dengan analisis DNA langsung, dengan
analisis sekuens DNA polimorf yang terkait kegen Duschenne, atau
imunohistokimia distrofin pada biopsy otot.Diagnosis pralahir dibawa oleh
analisis DNA langsung pada vili amniosit atau chorionic.
2. Distrofi Otot Becker
Penyakit ini merupakan bentuk yang ringan dari antara penyakit distrofi
otot yang diturunkan secara resesif terkait-seks, yaitu secara klinis kelemahan otot
muncul lebih lambat. Sekarang telah diketahui bahwa gen penyebab distrofi otot
Becker beralel dengan gen distrofi Duchenne. Pada distrofi otot Becker ada
distrofin otot meskipun hanya tinggal sedikit.Gejalanya menyerupai distrofi otot
Duchenne, tetapi lebih ringan.Gejala pertama kali muncul pada usia 10
tahun.Ketika mencapai usia 16 tahun, sangat sedikit penderita yang harus duduk
di kursi roda dan lebih dari 90% yang bertahan hidup sampai usia 20 tahun.
7
3. Distrofi Otot Facioscapulohumeral
Pola penyakit ini diturunkan secara dominan autosom dan bermanifestasi
pada akhir masa kanak-kanak atau awal masa remaja, yang mungkin dihubungkan
dengan kerusakan otak dan mempengaruhi kedua jenis kelamin sama banyaknya.
Onsetnya saat pubertas ditandai oleh pengecilan progresif pada gelang bahu dan
gelang panggul serta wajah.Terdapat variasi keparahan penyakit yang jelas dalam
keluarga yang terserang.Kelemahan gelang bahu merupakan tanda awal diikuti
terkenanya wajah dan ketidakmampuan menutup mata secara kuat. Bersayapnya
scapula merupakan tanda lain. Keadaan tersebut berkembang lambat dan cocok
dengan rentang hidup normal.Gangguan ini bisa menghilang secara spontan atau
berkembang mengenai otot-otot pada batang tubuh dan ekstremitas bawah.
Biasanya penderita bisa hidup sepanjang usia normal.
4. Distrofi Gelang Ekstremitas (Gelang Bahu dan Panggul/ERB)
Jenis distrofi otot progresif ini diwariskan sebagai resesif autosomal
sehingga dapat menyerang anak perempuan dan laki-laki.Muncul pada usia 20-40
tahun. Kelainan ini mengenai otot-otot pada gelang bahu dan panggul dan
progresif perlahan-lahan, biasanya kematian terjadi pada usia pertengahan. Otot
gelang pinggul lebih terkena daripada otot gelang bahu. Distrofi tersebut dapat
menyerupai distrofi Duchenne pada seorang anak laki-laki tetapi distrofin otot
normal.
Bentuk lain bisa mengenai otot-otot wajah dan mata (distrofi
okulomuskular) atau otot-otot bagian distal ekstremitas (dstrofi muskular Gower).
Jenis ini sangat jarang.
5. Distrofi Miotonik
Distrofi ini sebelumnya dianggap sebagai suatu penyakit menyerang orang
dewasa tetapi saat ini diketahui bahwa onset pada masa kanak-kanak tidak jarang
terjadi. Distrofi tersebut berbeda dengan distrofi otot lain, tidak hanya pada
adanya keadaan miotonia tetapi juga karena terkenanya jaringan lainsecara luas.
Baik laki-laki maupun perempuan terkena dan pewarisan ini bersifat dominan
8
autosomal.Kelemahan otot secara khas mengenai otot wajah dan leher yang
menimbulkan fasies miopati, ptosis, mulut terbuka dan rahang turun.Miotonia
terlihat sebagai gejala terlambatnya mata untuk membuka setelah tertutup atau
kesulitan merelaksasi genggaman.Kelemahan ekstremitas distal juga dapat terjadi.
Gambaran lainmencakup terkenanya jantung, katarak, atrofi testis dan disfungsi
adrenal.
Pada bentuk kongenital, janin mengalami kesulitan bernapas dan
menyusu.Banyak kematian pada periode neonatus tetapi bagi yang selmat
memperlihatkan pemulihan yang baik.Namun, sebagian besar pendidikannya
subnormal.Pada setiap kasus kongenital orang tua yang terkena adalah ibu.
Miopati kongenital.Miopati ini merupakan sekelompok gangguan yang
kompleks yang hanya dapat dikenali setelah pemeriksaan detil otot diperoleh saat
biopsi, misalnya penyakit ini sentral dan miopati nemalin.
Miopati metabolik.Penyakit simpanan glikogen tipe II, defisiensi maltase
asam, merupakan keadaan resesif autosomal yang kelemahan ototnya merupakan
gambaran utama.Pada bentuk infantile (penyakit Pompe) bayi dating dengan gagal
jantung, hepatomegali, dan hipotonia yang nyata. Sebagian besar meninggal
sebelum usia 18 bulan.
2.3 Epidemiologi Distrofi Otot
Insidensi Duchenne distrofi otot terjadi pada anak laki-laki muda.Distrofi
otot Duchenne menyerang 1 dari setiap 3000 anak laki-laki(terkait–X resesif).
Anak perempuan dapat terserang, tetapi jarang.Distrofi muscular Duchenne terjadi
pada sekitar 50% dari semua kasus.Distrofi otot Becker menyerang anak laki-laki
dan terjadi pada sekitar 1 dalam 30.000 sampai 40.000 laki-laki yang lahir.
Distrofi muskular limb-girdle kira-kira memiliki insidens yang sama.Distrofi
fasioskapulohumeral menyerang semua jenis kelamin secara seimbang.Distrofi
limb-girdle dan okular menyerang kedua jenis kelamin (resesif autosom). Sekitar
50% saudara perempuan dari anak laki-laki dengan distrofi muskular akan
menjadi karier, dan separuh dari keturunan laki-laki mereka akan
mewarisipenyakit ini. Sekitar 50% anak dengan distrofi muskular dapat dicirikan
9
memiliki kepribadian yang normal.Perbedaan belajar dan/atau penurunan IQ tidak
jarang terjadi.
2.4 Etiologi Distrofi Otot
Distrofi otot disebabkan oleh kesalahan informasi genetic/hilangnya
informasi genetik yang menghambat tubuh dalam membuat protein yang
dibutuhkan untuk membangun dan mempertahankan otot yang sehat. Gen yang
mengkode protein bernama dystrophin. Protein ini esensial untuk kerja otot. Gen
yang mengkode protein ini berlokasi pada kromosom X. Sedangkan pada hasil
riset Kemajuan terakhir dalam bidang genetik molukelur memperlihatkan
penyebab bentuk distrofi yang paling sering, termasuk distrofi otot Duchenne,
distrofi otot Becker, dan distrofi miotonik. Penelitian serupa sedang dilakukan
terhadap distrofi lain dan kita dapat berharap diperolehnya kemajuan yang pesat
dalam pemahaman tentang gangguan yang parah ini.
2.5 Patofisiologi Distrofi Otot
Distrofi muscular adalah penyakit yang menyebabkan pelisutan otot
volunter secara simetris dan bilateral.Otot-otot mengalami pseudohipertropi, dan
jaringan otot diganti jaringan ikat dan lemak. Jenis distrofi muscular termasuk
Duchenne, Becker, limb-girdle, kongenital, okular, dan
fasioskapulohumeral.Awitan jenis resisif yang terkait seks (Duchenne, Becker,
limb-girdle, kongetal) terjadi lebih awal dari jenis yang dominan
(fasioskapulohumeral, okular). Distrofi muscular Duchenne dan Becker
disebabkan oleh mutasi pada gen distrofin. Distrofin adalah protein otot yang
tidak terdapat pada distrofi muscular Duchenne dan berubah pada distrofi
muscular Becker. Gejala-gejala awal yang tampak adalah gaya berjalan yang
abnormal dan kaku. Otot-otot sfingter, tangan, kaki,lidah,palatum, dan pengunyah
jarang terkena distrofi ini.Retardasi ringan sampai sedang tidak jarag
terjadi.Perbedaan belajar juga sering terjadi.Anak dengan distrofi muscular
Duchenne jarang ada yang hidup sampai berumur diatas 20 tahun kecuali jika
dapat mendapat bantuan ventilasi mekanik jangka panjang. Ciri lain dari distrofi
otot Duchenne adalah:
10
1. Diturunkan sebagi resesif terkait seks(terkait-X).
2. Ditandai dengan keterlibatan otot volunteer secra progresif.
3. Perjlanan penyakitnya cepat.
4. awitan gejala terjadi antara usia 3 dan 5 tahun.
5. Kematian terjadi kira-kira 10 sampai 15 tahun setelah awitan.
2.6 Manifestasi Klinis Distrofi Otot
Gejala berhubungan dengan otot volunter yang terkena. Gejala yang paling
sering dijumpai adalah sebagai berikut:
1. Keseimbangan buruk
2. Sulit menaiki tangga
3. Gaya berjalan seperti bebek atau berjinjit
4. Tanda Gowers (tangan “mendaki” tungkai saat bagun dari posisi duduk)
menandakan kelemahan pinggul.
5. Sulit berlari
6. Sulit mengangkat lengan diatas kepala karena penyakit ini mengenai otot
lengkung bahu.
7. Sering kehilangan kemampuan ambulasi saat berusia 10 rahun.
8. Pseudohipertrofi, khususnya otot betis, juga kuadriseps, legkung bahu, dan
lengkung pinggul.
9. Timbul skoliosis 2 tahun setelah anak bergantung pada kursi roda
2.7 Prognosis Distrofi Otot
Duchenne distrofi otot fatal dalam 2 atau 3 dekade kehidupan.Distrofi
Becker lebih lambat progresif, dan harapan hidup yang lebih besar.Walaupun
penyakit ini masih belum dapat disembuhkan dan fatal, terdapat dua jenis riset
yang memberikan harapan bagi pengidap distropi otot yaitu pendekatan
transplantasi sel dan terapi gen. Teknik transplantasi sel mencakup penyuntikan
mioblas ke dalam otot-otot yang distropik. Mioblas (pembentuk otot) adalah sel-
sel yang tidak berdiferensiasi yang selama perkembangan masa mudigah befungsi
untuk membentuk sel otot rangka besar berinti banyak. Setelah masa
perkembangan, sekelompok kecil mioblas imatur ini tetap berada dekat dengan
11
permukaan otot. Walaupun sel-sel otot tidak dapat membelah diri secara mitosis
untuk menggantikan sel-sel yang rusak, perbaikan terbatas atas kerusakan otot
dapat dilakukan melalui aktivitas mioblas ini. Sekelompok mioblas dapat
bergabung bersama-sama membentuk sebuah sel otot rangka baru untuk
menggantikan sel yang rusak. Namun apabila kerusakan ototnya luas, mekanisme
yang terbatas ini tidak adekuat untuk mengganti semua serat yang hilang.
Suatu pendekatan terapetik baru bagi distrofi otot adalah transplantasi
mioblas penghasil distrofin yang di panen dari biopsi otot donor sehat ke otot-otot
pasien yang mengecil.Teknik yang masih bersifat eksperimental ini pertama kali
di coba pada tahun 1990 dengan menyuntikkan mioblas ke dalam salah satu
jempol kaki seorang pasien Duchenne. Hasilnya membahagiakan karena pasien
dapat menggerak-gerakkan jempol kakinya lebih kuat. Mioblas sehat berfusi
dengan sel-sel otot distrofik pasien, dan gen-gen normal di dalam sel donor
menghasilkan protein distrofin. Akibatnya otot yang diobati mengalami
peningkatan massa dan kekuatan.
Keberhasilan awal ini diikuti oleh prosedur-prosedur yang lebih ekstensif
dengan menyuntikkan larutan yang mengandung miliaran mioblas sehat ke dalam
enam puluh sembilan kelompok otot besar di tungkai dan bokong dari dua puluh
satu anak laki-laki pengidap distrofi otot Duchenne. Data awal menunjukkan 43%
mengalami penigkatan kekuatan pada otot yang diterapi dengan 38% menetap dan
19% terus mengalami penurunan kekuatan. Walaupun interpretasi hasil-hasil ini
masih kontroversial, sebagian pakar dalam bidang ini tetap optimis bahwa
transplantasi mioblas menawarkan harapan besar untuk menahan semakin
parahnya kelemahan otot dan mencegah kematian pada para penderita penyakit
ini. Walaupun teknik ini tidak dapat diterapkan untuk semua otot yang melemah,
harapannya adalah menyelamatkan otot-otot yang penting untuk bernapas dan
berjalan, sehingga para pasien ini dapat hidup normal lebih lama.
Pendekatan terapetik alternatif yang sedang diteliti adalah kemungkinan
“perbaikan gen”. Sekelompok peneliti telah berhasil memasukkan salinan normal
gen distrofin menusia ke dalam otot paha mencit. Gen tersebut masuk ke dalam
sekitar 1% sel otot paha mencit dan yang lebih penting menghasilkan distrofin,
untuk gen yang dimasukkan ke lokasi yang semestinya di membran plasma sel.
12
Apabila teknik ini dapat diperbaiki untuk menigkatkan jumlah sel yang menyerap
gen yang dimasukkan tersebut,ada harapan bagi perbaikan gen pada distrofi otot.
Langkah-langkah ke arah terapi final ini berarti bahwa diharapkan suatu hari
anak-anak pengidap penyakit tersebut dapat melangkah sendiri dan tidak terpaku
di kursi roda dan berjalan menuju kematian di usia dini.
Komplikasi
Dekompensasi jantung dan kardiomiopati
Infeksi paru
Osteoporosis
Obesitas
Kontraktur
Skoliosis
Depresi
2.8 Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan Laboratorium
Tabel Pemeriksaan Laboratorium pada Pengkajian Muskuloskeletal
Uji Nilai Normal Dewasa Abnormalitas
Kalsium serum
Fosfor
Alkalin fosfatase
8-10,5 mg/dl atau 4,5-
5,5 mg/l
2,5-4,0 mg/dl dalam
serum
30-90 IU/l
Hiperkalsemia: metastase
kanker pada tulang, stadium
penyembuhan fraktur
Hipokalsemia: osteoporosis,
osteomalasia
Hiperfosfatemia: fase
penyembuhan fraktur, tumor
tulang, akromegali
Hipofosfatemia: osteomalasia
Meningkat: metastase kanker
pada tulang, osteomalasia,
penyakit paget
13
Laju endap darah
(LED)
Enzim otot (creatine
phosphokinase, CPK)
LDH (lactate
dehidrogenase)
SGOT (serum
glutamic
oxalotransaminase)
Aldose
Westergen
Pria: 0-15 mm/jam
Wanita: 0-20 mm/jam
Wintrobe
Pria: 0-9 mm/jam
Wanita: 0-15 mm/jam
15-150 IU/l
60-150 IU/l
10-50 mu/ml
1,3-8,2 U/al
Meningkat: infeksi/
peradangan, karsinoma,
kerusakan pada sel
Meningkat: trauma otot,
distrofi otot progresif, efek
elektromiografi
Meningkat: nekrosis otot
skeletal, karsinoma, distrofi
otot progresif
Meningkat: trauma otot
skeletal, distrofi otot progresif
Meningkat: poliomyelitis dan
dermatomiositis, distrofi otot
2. Biopsi.Pada pemeriksaan laboratorium biopsi ini digunakan untuk
menunjukkan adanya lemak.
3. Elektromiografi (EMG). Pemeriksaan ini memberi informasi mengenai
potensi listrik otot dan sarafnya. Tujuan prosedur ini adalah menentukan
setiap abnormalitas fungsi unit dan menunjukkan penurunan aktivitas otot
yang terkena. Pasien perlu dijelaskan bahwa prosedur ini dapat menimbulkan
rasa tidak nyaman karena jarum elektrode masuk ke otot. Perawatan setelah
pemeriksaan adalah beri kompres hangat, dapat membantu mengatasi rasa
nyeri, jika terjadi hematoma pada bekas tusukan jarum, beri kompres dingin
4. Kadar fosfokinase keratin-menigkat jelas pada tahap awal penyakit
5. Studi genetik dan protein, seperti studi penghilangan distrofin
6. Studi konduksi saraf-mengukur aktivitas listrik otot
14
2.9 Penatalaksanaan
Tindakan terhadap distrofi muskular pada saat ini berfokus pada
perawatan pendukung dan pencegahan komplikasi, yaitu:
a. Penatalaksanaan suportif ditujukan untuk mempertahankan pasien seaktif
mungki dan berfungsi senormal mungkin serta meminimalkan penyimpangan
fungsional. Program latihan terapeutik ditujukan untuk pasien individual
untuk mencegah ketegangan otot, kontraktur, dan atrofi disuse. Bebat malam
dan latihan peregangan digunakan untuk menunda kontraktur sendi,
khususnya pergelangan kaki, lutut, dan panggul. Brace dapat mengompensasi
kelemahan otot.
b. Deformitas spinal merupakan masalah besar. Kelemahan otot batang tubuh
dan kolaps spinal terjadi paling sering pada pasien dengan penyakit
neuromuskular yang berat. Dalam berperang melawan perubahan bentuk
spinal, pasien mencocokkan ukuran jaket ortotik untuk meningkatkan
kestabilan saat duduk dan menurunkan kecacatan batang tubuh. Keberhasilan
yang dicapai juga mendukung status kardiovaskuler. Pada waktunya
penyatuan spinal dilakukan untuk mempertahankan stabilitas spinal. Prosedur
lain dapat mengoreksi deformitas.
c. Kesulitan laindisamping kelemahan otot dan kontraktur, dimanifestasikan
dalam hubungannya dengan penyakit. Masalah gigi dan bicara dapat
disebabkan oleh kelemahan otot-otot wajah, yang membuat sukar melakukan
kebersihan gigi, dan untuk berbicara dengan jelas. Masalah gastrointestinal
dapat mencakup dilatasi lambung, prolaps rektum, dan impaksi feses.
Akhirnya kardiomiopati muncul sebagai komplikasi yang biasa terjadi dalam
bentuk distrofi otot.
d. Konseling genetik diberikan pada keluarga dan saudara kandung pasien
karena penyakit ini bersifat genetik. Muskular Dystrophy Assocition bekerja
untuk memberantas penyakit neuromuskular melalui penelitian, program
pelayanan pasien dan klinik perawatan dan pendidikan professional dan
masyarakat (lihat Bibliografi untuk alamatnya).
15
Penatalaksanaan Medis
Pendekatan tim interdisiplin yang komperhensif digunakan dalam
penatalak-sanaan jangka panjang terhadap anak-anak dengan distrofi muskular.
Pada umumnya, pendekatan interdisiplin yang dilakukan mencakup bidang-
bidang neurologi, ortopedi, terapi fisik an pekerjaan psikologi dan/atau sosial,
serta keperawatan. Mereka yang mengalami distrofi otot Duchenne biasanya
menjalani fusi spinal antara usia 11 sampai 13 tahun untuk menghindari
peningkatan skoliosis berat dan gangguan paru. Pembesaran tendon otot
ekstremitas bawah dan pemasangan brace dapat membantu mencaegah kontraktur
setelah ambulasi menjadi sulit. Ventilasi tekanan positif dan tekanan jalan nafas
positif bilevel nasal nokturnal dapat membantu memperlambat komplikasi
pulmonal deasa muda dengan distrofi muscular Duchenne dapat memilih untuk
menggunakan bantuan mekanik jangka panjang untuk bertahan sampai usia dua
puluh akhir. Peneitian yang berkelanjutan mendukung penggunaan terapi gen dan
sel, tetapi penanganan tersebut belum diyakini siap untuk praktik klinis
Pengobatan
Saat ini belum ada obat atau metode untuk menghambat perkembangan
penyakit ini. Meskipun demikian, banyak hal yang dapat dilakukan untuk
menangani komplikasi dan untuk memperbaiki kualitas hidup anak yang terkena.
Dekompensasi jantung sering berespons baik terhadap digoksin, paling tidak pada
stadium awal. Infeksi paru harus segera diterapi. Penderita harus mengahidari
kontak dengan anak yang menderita sakit pernapasan yang jelas atau penyakit
menular lain. Imunisasi terhadap virus influenza dan vaksinasi rutin terindikasi.
Pemeliharaan status nutrisi yang baik adalah penting. Distrofi muskulus
Duchenne bukan penyakit defisiensi vitamin dan dosis vitamin yang berlebihan
harus dihindari. Masukkan kalsium yang cukup adalah penting untuk
meminimalkan osteoporosis pada anak laki-laki yang terikat kursi roda, dan
tambahan fluorida dapat juga diberikan, khususnya jika kandungan fluorida air
yang biasa digunakan penderita rendah. Karena anak yang kurang beraktivitas
lebih sedikit membakar kalori daripada anak yang aktif, dan karena depresi
sebagai faktor tambahan, anak ini cenderung makan berlebihan dan berat
16
badannya bertambah. Kegemukan mengakibatkan penderita dengan miopati
bahkan kurang fungsional karena sebagian kekuatan otot cadangan yang terbatas
telah digunakan untuk mengangkat berat jaringan lemak dibawah kulit yang
berlebihan. Pembatasan diet dengan pengawasan mungkin diperlukan.
Fisioterapi menunda tetapi tidak selalu mencegah kontraktur. Kadang-
kadang, kontraktur sebenarnya dapat bermanfaat untuk rehabilitasi fungsional.
Misalnya, jika kontraktur mencegah ektensi siku sampai 900 dan otot-otot tungkai
atas tidak lagi cukup kuat untuk mengatasi gravitasi, kontraktur siku secara
fungsional menguntungkan dalam memfiksasi gerakan tangan berkibar dan
menungkinkan penderita untuk makan dan menulis. Koreksi bedah kontraktur
siku mungkin secara teknik dapat dilaksanakan, tetapi hasilnya mungkin
merugikan. Fisioterapi memberikan sedikit sumbangan pada penguatan otot
karena penderita biasanya telah menggunakan seluruh cadangannya untuk
fungsinya sehari-hari, dan latihan fisik tidak dapat memperkuat lebih lanjut otot
yang terlibat. Latihan fisik yang berlebihan sebenarnya dapat mempercepat proses
degenerasi serabut otot.
Penemuan molekul distrofin, gena yang mengkodenya dan mutasi tertentu
pada distrofi muskularis Becker dan Duchenne meningkatkan potensi pengobatan
secara teoritis melalui rekayasa genetika molekular. Terapi pemindahan mioblas
merupakan salah satu pendekatan eksperimental . Mioblas normal dari otot sanak
keluarga yang dekat secara genetik, biasanya adalah ayah, dibiakkan in vitro dan
kemudian disuntikkan ke dalam otot yang distrofi dengan harapan bahwa mioblas
ini akan membentuk serabut otot yang sehat dengan distrofin normal untuk
mengganti serabut yang mengalami degenerasi. Hambatan utama adalah
kebutuhan akan imunosupresi untuk mencegah penolakan sel asing. Pendekatan
lain adalah pemasukan melalui injeksi intramuskular gena distrofin rekombinan
yang diikat pada promotor yang cocok. Strategi ketiga yang menjanjikan adalah
penggunaan retrovirus, dengan DNA virus menggabungkan rangkaian gena
distrofin nukleotid yang terhapus yang mungkin dapat memasuki sel otot
pascamiotosis dengan penyisipan DNA. Metode ini telah mempunyai beberapa
keberhasilan dalam terapi model tikus mdx dari distrofi muskularis Duchenne.
17
Penanganan dalam rangka penelitian lain terhadap penderita distrofi
muskularis Duchenne manusia melibatkan penggunaan prednison atau steroid
lain. Glukokortikoid mengurangi kecepatan apoptosis atau kematian sel miotube
yang terprogram selama ontogenesis dan secara teoritis dapat memperlambat
nekrosis serabut otot pada distrofi muskularis. Kekuatan biasanya membaik pada
mulanya, tetapi komplikasi terapi steroid kronis dalam jangka panjang, termasuk
pencapaian berat badan yang berlebihan dan osteoporosis, dapat mengimbangi
manfaat ini atau bahkan mengakibatkan kelemahan yang lebih besar daripada
yang mungkin telah terjadi pada perjalanan alamiah penyakit ini.
Harapan untuk pengobatan distropi otot, suatu penyakit pengisutan otot
fatal yang terutama menyerang anak laki-laki dan menyebabkan kematian dini
pada usia kurang dari 20 tahun sudah mulai nampak. Distrofi otot mencakup
serangkaian keadaan patologis herediter, yang semuanya memperlihatkan
degenerasi progresif unsur-unsur kontraktil otot yang kemudian digantikan oleh
jaringan ikat. Penyusutan otot secara bertahap pada distrofi otot itu ditandai
dengan kelemahan progresif dalam waktu beberapa tahun, biasanya menyebabkan
kematian akibat kegagalan pernapasan sewaktu otot-otot pernapasan menjadi
terlalu lemah untuk berkontraksi.
Pencegahan
Memeriksakan diri sebelum menikah atau merencanakan mempunyai anak.
Karena jika suami menderita distrofi otot sedangkan istri carrier (pembawa gen
distrofi otot) maka kemungkinan besar anak-anaknya menderita distrofi otot.
2.10 Asuhan Keperawatan
I. Pengkajian
Pengkajian Sistem Otot
Pengkajian sitem otot meliputi kemampuan mengubah posisi, kekuatan
dan koordinasi otot, serta ukuran masing-masing otot.Kelemahan sekelompok otot
menunjukkan berbagai kondisi seperti polineuropati, gangguan elektrolit,
miastenia grafis, polimielitis, dan distrofi otot.
18
Palpasi otot dilakukan ketika ekstremitas rileks dan digerakkan secara
pasif, perawat akan merasakan tonus otot. Kekuatan otot dapat diukur dengan
meminta pasien menggerakkan ekstremitas dengan atau tanpa tahanan.Misalnya,
otot bisep yang diuji dengan meminta klien meluruskan lengan sepenuhnya,
kemudian fleksikan lengan melawan tahanan yang diberikan oleh perawat.
Klonus otot (kontraksi ritmik otot) dapat dibangkitkan pada pergelangan
kaki dengan dorso-fleksi kaki mendadak dan kuat atau tangan dengan ekstensi
pergelangan tangan.Fasikulasi (kedutan kelompok otot secara involunter) dapat
terlihat.
Lingkar ekstremitas harus diukur untuk memantau pertambahan ukuran
akibat edema atau perdarahan, penurunan ukuran akibat atrofi, dan dibandingkan
ekstremitas yang sehat. Pengukuran otot dilakukan di lingkungan terbesar
ekstremitas, pada lokasi yang sama, pada posisi yang sama, dan otot dalam
keadaan istirahat.
Kotak 3-2 Gradasi Ukuran Kekuatan Otot
0 (zero) Tidak ada kontraksi saat palpasi,
paralisis
1 (trace) Terasa adanya kontraksi otot, tetapi
tidak ada gerakan
2 (poor) Dengan bantuan atau menyangga sendi
dapat melakukan gerakan sendi (range
of motion, ROM) secara penuh
3 (fair) Dapat melakukan gerakan sendi (ROM)
secara penuh dengan melawan
gravitasi, tetapi tidak dapat melawan
tahanan
4 (good) Dapat melakukan ROM secara penuh
dan dapat melawan tahanan yang
sedang
5 (normal) Dapat melakukan gerakan sendi (ROM)
secara penuh dan dapat melawan
gravitasi dan tahanan
19
Pengkajian Cara Berjalan
Pada pengakajian ini, pasien diminta berjalan.Perhatikan hal berikut
1. Kehalusan dan irama berjalan, gerakan teratur atau tidak
2. Pincang dapat disebabkan oleh nyeri atau salah satu ekstremitas pendek
3. Keterbatasan gerak sendi dapat mempengaruhi cara berjalan
4. Abnormalitas neurologis yang berhubungan dengan cara berjalan. Misalnya,
pasien hemiparesis-stroke menunjukkan cara berjalan spesifik; pasien dengan
penyakit Parkinson menunjukkan cara berjalan bergetar.
Pengkajian Kulit dan Sirkulasi Perifer (KMB III)
Sebagai tambahan pengkajian sistem muskuloskeletal, perawat harus
melakukan inspeksi kulit dan melakukan pengkajian sirkulasi perifer.Palpasi kulit
dapat menunjukkan adanya suhu yang lebih panas atau lebih dingin dari lainnya
dan adanya edema.Sirkulasi perifer dievaluasi dengan mengkaji denyut perifer,
warna, suhu dan waktu pengisian kapiler.Adanya luka, memar, perubahan warna
kulit dan tanda penurunan sirkulasi perifer atau infeksi dapat mempengaruhi
penatalaksanaan keperawatan.
II. Diagnosa Keperawatan
Adapun diagnose keperawatan yang mungkin muncul pada pasien BPH
adalah sebagai berikut:
No. Diagnosis Tujuan Intervensi
1 Intoleransi
Aktivitas
b.dKelemahan
Umum
Konservasi Energi
Klien mampu mengatur energi
untuk memulai dan
mampertahankan aktivitas.
Kriteria hasil:
1. Keseimbangan aktivitas
dan istirahat
2. Penggunaan tidur siang
untuk mengembalikan
Manajemen Energi
1. Kaji status fisiologis pasien
berhubungan dengan usia dan
perkembangan.
2. Observasi adanya pembatasan
klien dalam melakukan
aktivitas.
3. Dorong klien untuk
mengungkapkan perasaan
20
energi
3. Mengakui keterbatasan
energi
4. Penggunaan teknik
konservasi energi
5. Organisasi aktivitas untuk
konservasi energi
6. Adaptasi gaya hidup
terhadap tingkat energi
7. Pemeliharaan nutrisi
adekuat
8. Laporan ketahanan yang
adekuat dalam beraktivitas
Perawatan Diri: Aktivitas
Sehari-hari
Klien mampu melakukan tugas
fisik dasar dan aktivitas perawatan
personal secara mandiri dengan
atau tanpa alat bantu.
Kriteria hasil:
1. Kemampuan makan
2. Kemampuan berpakaian
3. Kemampuan toileting
4. Kemampuan mandi
5. Kebersihan diri
6. Kebersihan mulut
7. Kemampuan berjalan
8. Kemampuan berpindah
9. Kemampuan mengubah
posisi tubuh
terhadap keterbatasan.
4. Kaji adanya faktor yang
menyebabkan kelelahan.
5. Monitor nutrisi dan sumber
energi yang adekuat.
6. Monitor klien tentang adanya
kelelahan fisik dan emosi
secara berlebihan.
7. Monitor respon
kardiovaskuler terhadap
aktivitas.
8. Monitor pola tidur dan
lamanya tidur atau istirahat
klien.
9. Bantu pasien untuk
mengidentifikasi pilihan
aktivitas.
10. Batasi stimulus lingkungan
untuk memfasilitasi relaksasi.
11. Batasi jumlah pengunjung.
12. Sarankan alternatif periode
istirahat dan aktivitas.
Terapi Aktivitas
1. Kolaborasikan dengan tenaga
rehabilitasi medik dalam
merencanakan program terapi
yang tepat.
2. Bantu klien untuk
mengidentifikasi aktivitas
yang mampu dilakukan.
3. Bantu untuk memilih
21
aktivitas konsisten yang
sesuai dengan kemampuan
fisik, psikologi, dan sosial.
4. Bantu untuk mengidentifikasi
dan mendapatkan sumber
yang diperlukan untuk
aktivitas yang diinginkan.
5. Bantu untuk mendapatkan
alat bantuan aktivitas seperti
kursi roda atau krek.
6. Bantu untuk mengidentifikasi
aktivitas yang disukai.
7. Bantu klien untuk membuat
jadwal latihan di waktu
luang.
8. Bantu pasien dan keluarga
untuk mengidentifikasi
kekurangan dalam
beraktivitas.
9. Sediakan penguatan positif
untuk partisipasi dalam
beraktivitas.
10. Bantu pasien untuk
mengembangkan motivasi
diri dan penguatan.
11. Monitor respon fisik, emosi,
sosial dan spiritual.
12. Bantu pasien dan keluarga
untuk memonitor
perkembangan menuju
pencapaian tujuan.
22
2 Defisit Perawatan
Diri b.d Kerusakan
Muskuloskeletal
dan Kelemahan
Perawatan Diri: Aktivitas
Sehari-hari
Klien mampu melakukan tugas
fisik dasar dan aktivitas perawatan
personal secara mandiri dengan
atau tanpa alat bantu.
Kriteria hasil:
1. Kemampuan makan
2. Kemampuan berpakaian
3. Kemampuan toileting
4. Kemampuan mandi
5. Kebersihan diri
6. Kebersihan mulut
7. Kemampuan berjalan
8. Kemampuan berpindah
9. Kemampuan mengubah
posisi tubuh
Bantuan Perawatan Diri :
Aktivitas Sehari-hari
1. Monitor kemampuan klien
untuk perawatan diri yang
mandiri.
2. Monitor kebutuhan klien
untuk alat-alat bantu untuk
kebersihan diri, berpakaian,
berhias, toileting dan makan.
3. Sediakan bantuan sampai
klien mampu untuk
melakukan perawatan diri
sendiri.
4. Dorong klien untuk
melakukan aktivitas sehari-
hari yang normal sesuai
kemampuan yang dimiliki.
5. Dorong untuk melakukan
secara mandiri tetapi beri
bantuan ketika klien tidak
mampu melakukannya.
6. Ajarkan klien dan keluarga
untuk mendorong
kemandirian, untuk
memberikan bantuan hanya
jika pasien tidak mampu
untuk melakukannya.
7. Berikan aktivitas rutin sehari-
hari sesuai kemampuan.
8. Pertimbangkan usia klien jika
mendorong pelaksanaan
aktivitas sehari-hari.
23
3 Gangguan Citra
Tubuh b.d
Penyakit
Citra Tubuh
Klien memiliki citra tubuh positif
terhadap penampilan dan fungsi
tubuh.
Kriteria hasil:
1. Gambaran diri internal
2. Kesesuaian antara realita
tubuh, ideal tubuh, dan
penampilan tubuh
3. Kepuasan terhadap
penampilan tubuh
4. Penyesuaian terhadap
perubahan penampilan
tubuh
5. Penyesuaian terhadap
perubahan status kesehatan
Adaptasi terhadap
Ketidakmampuan Fisik
Klien mampu berespon adaptif
terhadap ketidakmampuan fisik.
Kriteria hasil:
1. Adaptasi terhadap
keterbatasan fungsi
2. Modifikasi gaya hidup
untuk mengakomodasi
ketidakmampuan
3. Penggunaan strategi untuk
mengurangi stres
berhubungan dengan
ketidakmampuan
4. Identifikasi cara untuk
Peningkatan Citra Tubuh
1. Tentukan harapan citra
tubuh pasien berdasarkan
tahap perkembangan.
2. Gunakan bimbingan
antisipasi untuk
menyiapkan pasien kepada
perubahan citra tubuh
yang diperkirakan.
3. Bantu pasien untuk
mendiskusikan perubahan
akibat penyakit.
4. Identifikasi efek budaya ,
agama, suku, jenis
kelamin, dan usia pasien
terhadap citra tubuh.
5. Monitor frekuensi
pernyataan mengkritik diri
sendiri.
6. Tentukan persepsi pasien
dan keluarga tentang
perubahan citra tubuh
dengan realita.
7. Bantu pasien untuk
mengidentifikasi bagian
tubuhnya yang memiliki
persepsi positif
berhubungan dengan
dirinya.
8. Bantu pasien untuk
mengidentifikasi tindakan
yang akan meningkatkan
24
meningkatkan kontrol
terhadap tubuh
5. Identifikasi rencana untuk
melakukan aktivitas
sehari-hari
6. Penerimaan kebutuhan
untuk bantuan fisik
7. Laporan penurunan
perasaan negatif
8. Laporan penurunan citra
tubuh yang negatif
9. Laporan peningkatan
kenyamanan fisiologis
penampilan.
9. Fasilitasi kontak dengan
individu dengan
perubahan citra tubuh
yang mirip.
10. Identifikasi ketersediaan
kelompok pendukung
pasien.
Diagnosis keperawatan lain yang mungkin muncul antara lain12:
1. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan muskuloskeletal,
penurunan kekuatan dan kontrol otot, dan intoleransi aktivitas.
2. Kerusakan berjalan berhubungan dengan kerusakan muskuloskeletal dan
insufisiensi kekuatan otot.
3. Defisit perawatan diri mandi berhubungan dengan kerusakan muskuloskeletal
dan kelemahan.
4. Defisit perawatan diri berpakaian berhubungan dengan kerusakan
muskuloskeletal dan kelemahan.
5. Defisit perawatan diri makan berhubungan dengan kerusakan muskuloskeletal
dan kelemahan.
6. Defisit perawatan diri toileting berhubungan dengan kerusakan
muskuloskeletal dan kelemahan.
7. Risiko jatuh dengan faktor risiko penurunan kekuatan otot ekstremitas bawah.
1.
25
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari penulisan makalah ini maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Distrofi otot adalah berbagai penyakit yang ditandai oleh atrofi otot.
Gangguan ini tidakdisebabkan oleh abnormalitas saraf, hormon, atau aliran
darah, melainkan gangguan herediter yang melibatkan defek enzimatik
atau metabolik. pada defek tersebut, yang menyebabkan terbentuknya
jaringan parut dan penurunan fungsi otot3.
2. Pendekatan tim interdisiplin yang komperhensif digunakan dalam
penatalak-sanaan jangka panjang terhadap anak-anak dengan distrofi
muskular. Pada umumnya, pendekatan interdisiplin yang dilakukan
mencakup bidang-bidang neurologi, ortopedi, terapi fisik an pekerjaan
psikologi dan/atau sosial, serta keperawatan.
3. Saat ini belum ada obat atau metode untuk menghambat perkembangan
penyakit ini. Meskipun demikian, banyak hal yang dapat dilakukan untuk
menangani komplikasi dan untuk memperbaiki kualitas hidup anak yang
terkena. Dekompensasi jantung sering berespons baik terhadap digoksin,
paling tidak pada stadium awal. Infeksi paru harus segera diterapi.
3.2 Saran
Guna menyempurnakan makalah ini, diharapkan adanya masukan saran
dan kritik dari para pembaca. Makalah ini diharapkan dapat bermanfaat bagi
penulis maupun pembaca agar dapat memahami lebih lanjut tentang asuhan
keperawatan klien dengan distrofi otot. Untuk dosen yang mengampu atau dosen
yang memberikan tugas dalam pembuatan makalah ini agar dapat menjelaskan
pada mahasiswa lebih detail lagi pada bagian yang masih kurang pada
pembahasan yang dilakukan pada saat diskusi.
26
DAFTAR PUSTAKA
1. http://id.shvoong.com/medicine-and-health/epidemiology-public-health/ 1994150-penyakit-otot/#ixzz1gjEe76JQ. Diakses pada tanggal 1 Desember 2012.
2. Brunner, Suddarth. Keperawatan Medikal-Bedah edisi 8 volume 3. Jakarta: EGC, 2001.
3. Corwin EJ. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC, 2003.
4. Hull D, Derek IJ. Dasar-Dasar Pediatri. Jakarta: EGC, 2008.
5. Rudolph AM, Hoffman JIE, Rudolph CD. Buku Ajar Pediatri Rudolph Edisi 20. Jakarta: EGC, 2007.
6. Rubenstein D, David W, John B. Kedokteran Klinis Edisi 6. Jakarta: EMS, 2007.
7. Yip K. Muscular Dystrophies http://indonesian.orthopaedicclinic.com.sg/?p=114 1 . Diakses pada tanggal 1 Desember 2012.
8. Betz CL, Linda AS. Buku Saku keperawatan Pediatri Edisi 5. Jakarta: EGC 2009.
9. Sherwood L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 2. Jakarta: EGC, 2001.
10. Suratun, Heryati, Santa M, Een R. Klien Gangguan Sistem Muskuloskeletal: Seri Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC, 2008.
11. Behrman, Kliegman, Arvin. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Edisi 15 Volume 3. Jakarta: EGC, 2000.
12. Wiley J. Nursing Diagnoses: Definition & Classification. USA: United Kingdom. 2010.
13. Bluchek dkk. Nursing Outcome Classification. USA: United Kingdom. 2010.
14. Bluchek dkk. Nursing Intervention Classification. USA: United Kingdom. 2010.
27