Disertasi 1(16-10-2010)

161
PENGEMBANGAN ASESMEN PEMBELAJARAN IPA DI SMP DALAM RANGKA PENDIDIKAN SCIENCE FOR ALL Disertasi Diajukan untuk Memenuhi Sebagin dari Syarat Memperoleh Gelar Doktor Ilmu Pendidikan dalam Bidang Ilmu Pengetahuan Alam Oleh: Yohanes Soenarto NIM : 0706406

Transcript of Disertasi 1(16-10-2010)

Page 1: Disertasi 1(16-10-2010)

PENGEMBANGAN ASESMEN PEMBELAJARAN IPA DI SMP DALAM RANGKA PENDIDIKAN SCIENCE FOR ALL

Disertasi

Diajukan untuk Memenuhi Sebagin dari Syarat MemperolehGelar Doktor Ilmu Pendidikan dalam Bidang

Ilmu Pengetahuan Alam

Oleh:

Yohanes Soenarto

NIM : 0706406

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN IPASEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIABANDUNG

2011

Page 2: Disertasi 1(16-10-2010)

PERNYATAAN

Saya menyatakan bahwa karya tulis dengan judul “Pengembangan Asesmen

Pembelajaran IPA di SMP dalam rangka Science for All” serta seluruh isinya

adalah benar-benar karya Saya sendiri dan Saya tidak melakukan penjiplakan atau

mengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai etika dalam masyarakat keilmuan.

Atas pernyataan ini Saya siap menanggung resiko atau sanksi yang

dijatuhkan apabila di kemudian hari ditemukan adanya pelanggaran atas etika

keilmuan dalam karya Saya ini, atau ada keberatan terhadap keaslian karya Saya

ini.

Bandung, 2011

Yang membuat pernyataan,

Yohanes Soenarto

Page 3: Disertasi 1(16-10-2010)

DISETUJUI DAN DISAHKAN OLEH PANITIA PEMBIMBING

Promotor :

Prof. Dr. Hj. Nuryani Y. Rustaman, M.Pd

Ko–Promotor :

Dr. Agus Setiawan, M.Si, Ph.D

Anggota :

Dr. Wahyu Sopandi, MA

Page 4: Disertasi 1(16-10-2010)

ABSTRAK

Kurangnya kesempatan dan ketersediaan program pembelajaran IPA untuk siswa SMP berkontribusi pada rendahnya pengetahuan IPA masyarakat, mengingat banyak lulusan SMP tidak dapat melanjutkan pendidikan atau kurang mampu mengembangkan pemahaman IPA. Penelitian dan pengembangan ini bertujuan untuk menemukan kemampuan-kemampuan dasar IPA yang berguna bagi masyarakat dan dapat diajarkan kepada siswa SMP dalam rangka Science for All. Subyek penelitian adalah siswa kelas IX SMP dan kelas X SMU dengan pembagian kelas tanpa peringkat di Jabodetabek. Penelitian berhasil mengidentifikasi sebelas kemampuan dasar IPA dan enam kemampuan dasar lintas bidang sains yang dibutuhkan (disetujui penyelenggara, siswa kelas IX, dan pengguna), kerangka dasar program, dan satu jenis unit sampel program pembelajaran IPA berbasis laboratorium yang mengakomodasi keenam kemampuan lintas bidang. Unit program pembelajaran berhasil memfasilitasi siswa secara efektif mencapai perolehan belajar dengan baik. Siswa menanggapi positif pembelajaran aspek-aspek IPA. Hasil studi ini merekomendasikan bahwa IPA dapat dan perlu ditingkatkan pengajarannya di SMP.

Page 5: Disertasi 1(16-10-2010)

ABSTRACT

Page 6: Disertasi 1(16-10-2010)

KATA PENGANTAR

Bismillaahirrahmaanirrahiim,

Assalaamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Puji syukur kehadirat ALLAH SWT., atas berkah rahmat-Nya, atas limpahan

nikmat yang tiada batasnya. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada

Rasulullah SAW, Uswah dan qudwah bagi seluruh makhluk di bumi.

Alhamdulillaahhirabbil’aalamiin atas selesainya disertasi ini, Saya

mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu proses

selesainya disertasi ini. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa disertasi ini dapat

diselesaikan berkat bantuan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak

langsung. Oleh karena itu penulis pada kesempatan ini dengan segala kerendahan

hati menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada yang terhormat,

1. Ibu Prof. Dr. Liliasari, M.Pd selaku Ketua Program Studi Pendidikan IPA

Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia;

2. Ibu Prof Dr. Hj. Nuryani Y. Rustaman, M.Pd selaku Promotor yang telah

memberikan semangat kepada penulis untuk melakukan penelitian;

3. Bapak Dr. Agus Setiawan, M.Si, Ph.D selaku Ko-Promotor yang telah

memberikan dorongan moril hingga selesainya kegiatan penelitian ini;

4. Bapak Dr. Wahyu Sopandi, MA selaku anggota yang telah memberikan banyak

masukan sehingga disertasi ini selesai.

Page 7: Disertasi 1(16-10-2010)

Semoga Allah SWT memberikan balasan yang setimpal atas segala kebaikan

itu dan akhirnya peneliti berharap semoga penelitian ini bermanfaat bagi yang

membaca terutama peneliti.

Amiin.

Jakarta, September 2011

Penulis

Page 8: Disertasi 1(16-10-2010)

DAFTAR ISI

PERNYATAAN

PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN

ABSTRAK

ABSTRACT

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

DAFTAR GAMBAR

DAFTAR GRAFIK

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

B. Rumusam Masalah

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

D. Penjelasan Istilah

BAB II ASPEK LITERASI SAINS DALAM PEMBELAJARAN IPA UNTUK

SMP

A. Sains untuk Semua (Science for All)

B. Asesmen dalam Pembelajaran Sains

C. Asesmen untuk Literasi Sains

D. Strategi dan Prosedur Asesmen

E. Mengembangkan Tes sebagai Instrumen Asesmen

F. Pengembangan Model Asesmen dalam Pembelajaran IPA di SMP

Page 9: Disertasi 1(16-10-2010)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. Paradigma Penelitian

B. Jenis dan Rancangan Penelitian

C. Tempat dan Waktu Penelitian

D. Subyek Penelitian

E. Instrumen Penelitian

F. Teknik Analisis Data

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

B. Pembahasan

BAB V KESIMPULAN, REKOMENDASI, DAN SARAN

A. Kesimpulan

B. Rekomendasi

C. Saran

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN–LAMPIRAN

Page 10: Disertasi 1(16-10-2010)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Menghadapi globalisasi, perdagangan bebas, dan perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi (IPTEK), kualitas SDM masyarakat Indonesia harus

ditingkatkan. SDM berkualitas mempersyaratkan masyarakat melek sains. Melek

sains atau literasi sains (science literacy) yang mencakup matematika, sains,

dan teknologi merupakan sasaran pandangan pendidikan “Science for All”

(Ruterford and Ahlgren, 1990; AAAS, 1993). Poedjiadi (2005a) mengeksplisitkan

literasi sains dan teknologi bagi masyarakat sebagai tujuan utama pendidikan

sains. Isi kurikulum Pendidikan sains (IPA yang diakomodasi dari matematika

dan teknologi) “wajib belajar” hendaknya memprioritaskan kompetensi-

kompetensi tentang sains yang diperlukan oleh semua anggota masyarakat dalam

kehidupan sehari-hari sebagai bagian dari melek sains.

Salah satu tujuan siswa SMP mempelajari IPA adalah untuk menumbuhkan

kemampuan beradaptasi dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, baik

pada saat belajar maupun pada dunia studi lanjut. Akan tetapi, hasil studi

pendahuluan yang dilakukan terhadap 132958 siswa SMP Negeri dan Swasta pada

Ujian Nasional tahun 2009 di DKI Jakarta memperlihatkan berbagai masalah

dalam pembelajaran IPA dalam rangka mencapai tujuan tersebut. Siswa SMP

tersebut hanya sebagian kecil yang mendapatkan nilai 10 (0,05%), sedangkan

sisanya 5% pada rentang nilai 9.00 – 9.99, 12,32% pada rentang nilai 8.00 – 8.99,

18,72% pada rentang nilai 7.00 – 7.99, 30,35% pada rentang nilai 6.00 – 6.99,

1

Page 11: Disertasi 1(16-10-2010)

24,64% pada rentang nilai 5.00 – 5.99, dan 8,89% pada rentang nilai 4.00 – 4.99.

Pembelajaran IPA diselenggarakan dalam bentuk kegiatan tatap muka, terstruktur,

dan mandiri. Sebagai sumber belajar terdapat buku tercetak. Dengan latar

belakang siswa, penyelenggaraan pembelajaran, dan sumber belajar tersebut,

ternyata penguasaan konsep IPA siswa menurun, yang dicerminkan oleh rata-rata

nilai IPA tahun pelajaran 2007/2008 sebesar 7,35 dan tahun pelajaran 2008/2009

sebesar 6,66. Diperoleh pula data, bahwa siswa tersebut mempersepsikan IPA

sebagai terlalu banyak rumus (86%), materi terlalu rumit (84%), sulit dihafalkan

(77,5%), perhitungan yang rinci (65%), berkaitan dengan penalaran (48%). Selain

itu siswa sendiri tidak suka IPA (43%), takut terlebih dulu sebelum mempelajari

IPA (15%), dan tidak tahu tujuan mempelajari IPA (8%).

Hasil studi pendahuluan tersebut selaras dengan penelitian yang dilakukan

oleh OECD tentang PISA untuk anak usia 15 tahun, yang telah tiga periode

diselenggarakan, Indonesia ikut berpartisipasi dalam ketiga penelitian tersebut.

Pertama, tahun 2000 diikuti oleh 41 negara, Indonesia berada pada urutan ke-38

pada kemampuan sains dengan skor rerata pencapaian literasi sains 393 (OECD,

2003: 109). Kedua, tahun 2003 diikuti oleh 40 negara, Indonesia berada pada

urutan ke-38 pada kemampuan sains dengan skor rerata pencapaian literasi sains

395 (OECD, 2004: 294). Dan ketiga, tahun 2006 yang diikuti oleh 57 negara,

Indonesia berada pada urutan ke 50 pada kemampuan sains dengan skor rerata

pencapaian literasi sains 393 (OECD, 2007: 56). Artinya skor rerata pencapaian

siswa Indonesia rendah dan masih dibawah standar yang ditetapkan PISA sekitar

nilai 500 dengan standar deviasi 100 point. Hal ini disebabkan kira-kira dua per

2

Page 12: Disertasi 1(16-10-2010)

tiga siswa di negara-negara peserta memperoleh skor antara 400 dan 600

sedangkan Indonesia dibawah masih dibawah skor rerata 400.

Di pihak lain, hasil penelitian Wenning (2006) memperlihatkan bahwa

mengases hakikat literasi sains (assessing nature of science literacy) sebagai

komponen dari scientific literacy sangat penting, karena dengan mengases hakikat

literasi sains dapat diperoleh informasi penting mengenai kesenjangan (gap)

kemampuan siswa, menuntun praktek-praktek pembelajaran, menjaga

akuntabilitas sekolah untuk mencapai tujuan tertentu, dan menentukan efektivitas

program lebih jauh. Wenning (2007) menyatakan bahwa hendaknya terdapat

instrumen assesmen untuk mengukur perkembangan kemampuan siswa untuk

menuju tujuan yang diinginkan.

Fenomena di atas menunjukkan bahwa bentuk atau sistem asesmen yang

digunakan dalam mengukur hasil belajar siswa sangat berpengaruh terhadap

strategi pembelajaran yang dirancang dan dilaksanakan guru. Sistem asesmen

yang benar adalah yang selaras dengan tujuan dan proses pembelajaran. Tujuan

pembelajaran sains SMP, dapat dirangkum ke dalam tiga aspek sasaran

pembelajaran yaitu penguasaan konsep Sains, pengembangan keterampilan

proses/kinerja siswa, dan penanaman sikap ilmiah. Oleh karenanya agar informasi

tentang hasil belajar siswa dapat mengungkap secara menyeluruh, maka perlu

melakukan pengukuran terhadap ketiga aspek tersebut di atas. Dengan demikian

sasaran dari asesmen hasil belajar di SMP meliputi semua komponen yang

menyangkut proses dan hasil belajar siswa dalam kegiatan belajar mengajar.

3

Page 13: Disertasi 1(16-10-2010)

Agar hasil belajar dapat diungkap secara menyeluruh, maka selain

digunakan alat ukur tes obyektif dan subyektif perlu dilengkapi dengan alat ukur

yang dapat mengetahui kemampuan siswa dari aspek kerja ilmiah (keterampilan

dan sikap ilmiah) dan seberapa baik siswa dapat menerapkan informasi

pengetahuan yang diperolehnya. Dengan menerapkan asesmen seperti itu terhadap

siswa, dapat dikumpulkan bukti-bukti kemajuan siswa secara aktual yang dapat

digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk memperbaiki proses pembelajaran

selanjutnya. Selain itu asesmen dengan cara ini dirasakan lebih adil bagi siswa

serta dapat meningkatkan motivasi siswa untuk terlibat secara aktif dalam proses

pembelajaran.

Dengan mengkaji kenyataan yang ditemukan di lapangan, nampak ada

ketidaksesuaian antara pembelajaran Sains di SMP dengan sistem asesmen yang

digunakannya. Proses asesmen yang biasa dilakukan guru selama ini hanya

mampu menggambarkan aspek penguasaan konsep peserta didik, akibatnya tujuan

kurikuler mata pelajaran sains belum dapat dicapai dan/atau tergambarkan secara

menyeluruh. Untuk itu perlu diupayakan suatu teknik asesmen yang mampu

mengungkap aspek produk dan proses, salah satu dengan menerapkan asesmen

kinerja siswa.

Berdasarkan uraian di atas, asesmen pembelajaran IPA yang dipandang

sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan siswa SMP adalah pembelajaran yang

memanfaatkan asesmen pembelajaran IPA. Karakteristik ini selanjutnya

membentuk model asesmen pembelajaran IPA. Akan tetapi, perlu dilakukan

penelitian apakah model asesmen pembelajaran IPA mampu meningkatkan

4

Page 14: Disertasi 1(16-10-2010)

keterampilan pembelajaran secara umum dan pemecahan masalah pada siswa

SMP.

B. Rumusan Masalah

Bertolak dari latar belakang di atas, rumusan masalah yang ingin dipecahkan

dalam penelitian ini adalah “Bagaimana model asesmen yang dapat

dikembangkan untuk pendidikan Science for All pada siswa SMP ?”

Permasalahan di atas dapat dirinci secara lebih operasional menjadi

pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimanakah karakteristik model asesmen pada pembelajaran IPA bagi

siswa SMP dalam rangka Science for All?

2. Bagaimana implementasi model asesmen pembelajaran IPA berwawasan

Science for All pada siswa SMP ?

3. Bagaimana tanggapan siswa SMP (subyek penelitian) terhadap implementasi

program asesmen pembelajaran IPA berwawasan Science for All?

4. Apa keunggulan dan kelemahan program asesmen pembelajaran IPA

berwawasan Science for All ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Penelitian dan pengembangan ini bertujuan untuk menemukan pengembangan

model asesmen pembelajaran IPA untuk siswa SMP dalam rangka pendidikan

5

Page 15: Disertasi 1(16-10-2010)

Science for All dan menghasilkan produk berupa tes untuk mengukur kemampuan

IPA siswa.

2. Manfaat Penelitian

Studi ini diharapkan memberi manfaat baik secara teoritik maupun praktis

dalam pengembangan asesmen pembelajaran untuk pendidikan Science for All

untuk mengukur sejauh mana literasi sains siswa SMP.

a. Secara teoritis, penelitian dan pengembangan ini diharapkan bermanfaat untk

dapat menguatkan paradigma pendidikan Science for All pada jenjang sekolah

wajib belajar untuk memenuhi kebutuhan kemampuan dasar sains pada

masyarakat yang diperlukan dalam zaman sains dan teknologi;

b. Secara praktis, model pengembangan program diharapkan dapat menjadi

masukan bagi pengambil kebijakan dan para pendidik untuk mengembangkan

kerangka dasar program yang berkontribusi besar dan akan bermuara pada

peningkatan kemampuan dasar sains masyarakat.

D. Penjelasan Istilah

Terdapat beberapa istilah dalam penelitian ini yang perlu dijelaskan, yakni:

1. Asesmen pembelajaran IPA adalah asesmen pembelajaran IPA yang memiliki

tiga dimensi sasaran pembelajaran, yaitu dimensi proses, produk dan sikap

yang satu sama lain tidak dapat dipisahkan dan diabaikan dalam proses

belajar mengajar IPA (Moh. Amin, 1987: 16). Target pembelajaran IPA ini

selain mengembangkan aspek kognisi juga meningkatkan keterampilan

6

Page 16: Disertasi 1(16-10-2010)

proses, sikap, kreativitas dan kemampuan aplikasi konsep (Yager, 1996:9).

Mengingat antara belajar dan asesmen mempunyai hubungan yang erat, maka

agar siswa terdorong untuk mengembangkan daya kreasi dan keterampilan

berfikirnya maka asesmen pembelajaran IPA dalam penelitian ini adalah

asesmen yang dilakukan tidak hanya ditujukan pada aspek penguasaan

konsep saja. Namun perlu dilengkapi dengan penilaian terhadap proses

belajar siswa atau aktivitas siswa, karya siswa, dan sikap siswa. Instrumen

asesmen yang digunakan untuk menilai kinerja siswa tersebut adalah dengan

menggunakan penilaian berbasis asesmen (Assessment based Evaluation).

2. Science for All adalah ilmu pengetahuan yang diperuntukkan bagi seluruh

warga masyarakat yang mempunyai kriteria isi yaitu (a) berupa pengetahuan

atau ketrampilan secara signifikan meningkatkan prospek kemampuan kerja

jangka panjang dari lulusan yang berguna dalam pembuatan keputusan

personal; (b) membantu warga negara dalam berpartisipasi secara cerdas

dalam membuat keputusan sosial dan politik pada masalah-masalah yang

melibatkan sains dan teknologi; (c) menyajikan aspek-aspek sains,

matematika, dan teknologi yang telah terbukti begitu penting dalam sejarah

manusia atau berkontribusi dalam budaya yang mana sebuah pendidikan

umum tidak akan lengkap tanpa aspek-aspek tersebut; (d) berkontribusi pada

kemampuan orang untuk peduli pada pertanyaan-pertanyaan arti kemanusiaan

yang selalu muncul seperti kehidupan dan kematian, tanggapan dan realitas,

kepentingan pribadi lawan kepentingan umum, kepastian dan keraguan; (e)

mengayakan kehidupan masa anak-anak (childhood) sebagai sebuah waktu

7

Page 17: Disertasi 1(16-10-2010)

kehidupan yang penting dalam masalah hak yang dimiliki anak dan tidak

semata untuk kemampuan masa depan (Rutherford & Ahlgren, 1990).

3. Performance Assessment adalah penggunaan jenis asesmen yang tepat dalam

menentukan keberhasilan dalam mengakses informasi yang berkenaan

dengan proses pembelajaran. Pemilihan metode asesmen harus didasarkan

pada target informasi yang ingin dicapai. Informasi yang dimaksud adalah

hasil belajar yang dicapai siswa. Jenis asesmen dalam penelitian ini adalah

Performance Assessment seperti yang dikemukakan Stiggins (1994:3,67)

bahwa Performance Assessment yang dilakukan adalah pengukuran langsung

terhadap prestasi yang ditunjukkan siswa dalam proses pembelajaran.

Asesmen ini terutama didasarkan pada kegiatan observasi dan evaluasi

terhadap proses dimana suatu keterampilan, sikap, dan produk ditunjukkan

oleh siswa. Objek Performance Assessment (asesmen kinerja) ini adalah

segala yang berkaitan dengan 'observabel performance' dari siswa. Kinerja

yang memungkinkan untuk diobservasi mungkin saja berkenaan dengan

proses kognitif yang kompleks semisal melakukan analisis, meme-cahkan

masalah, melakukan percobaan, membuat keputusan, mengukur, bekerja

sama dengan yang lain, pernyataan oral, atau mengunjukkan suatu produk.

Lebih kompleks lagi kedua jenis asesmen tersebut dapat digunakan untuk

mengases cara berpikir (habit of mind), cara bekerja, dan perilaku nilai

(behaviors of value) dari siswa dalam kehidupan nyata. Penggunaan jenis

asesmen seperti ini diharapkan berkesuaian dengan efektivitas pembelajaran.

(Borich, 1996:634-640; Baker, 1997:248).

8

Page 18: Disertasi 1(16-10-2010)

9

Page 19: Disertasi 1(16-10-2010)

BAB II

ASPEK LITERASI SAINS DALAM PEMBELAJARAN IPA UNTUK SMP

A. Sains untuk Semua (Science for All)

Kesadaran untuk membangun masyarakat dunia dengan kehidupan yang lebih

baik, mengarahkan pada pendidikan “Science for All (SFA)” sebagai pandangan

baru pendidikan sains mulai akhir abad ke-20. SFA dimaksudkan untuk

pembekalan kemampuan dasar sains agar setiap warga masyarakat melek sains

yang dibutuhkan dalam zaman teknologi modern. Orang yang melek sains sadar

bahwa sains, matematika, dan teknologi merupakan usaha manusia yang saling

bergantung dengan kekuatan dan kelemahannya; mengerti konsep-konsep dan

prinsip-prinsip sains, akrab dengan dunia alam dan mengenali keanekaragaman

dan keutuhan alam; menggunakan pengetahuan dan caran berpikir sains untuk

tujuan pribadi dan sosial (Rutherford & Ahlgren, 1990; AAAS, 1993).

Premis dasar SFA adalah sekolah tidak perlu diminta mengajarkan konten

yang banyak, tetapi cukup lebih berfokus pada apa yang esensial untuk melek

sains dan mengajarkannya secara lebih efektif (Rutherford & Ahlgren, 1990).

Rekomendasi SFA untuk inti belajar dibatasi pada ide-ide dan ketrampilan-

ketrampilan yang memiliki signifikansi ilmiah dan pendidikan yang terbesar

untuk melek sains. Kriteria pemilihan konten SFA menurut Rutherford & Ahlgren

(1990) adalah sebagai berikut. Pertama, berupa pengetahuan atau ketrampilan

secara signifikan meningkatkan prospek kemampuan kerja jangka panjang dari

lulusan yang berguna dalam pembuatan keputusan personal; Kedua, membantu

10

Page 20: Disertasi 1(16-10-2010)

warga negara dalam berpartisipasi secara cerdas dalam membuat keputusan sosial

dan politik pada masalah-masalah yang melibatkan sains dan teknologi; Ketiga,

menyajikan aspek-aspek sains, matematika, dan teknologi yang telah terbukti

begitu penting dalam sejarah manusia atau berkontribusi dalam budaya yang mana

sebuah pendidikan umum tidak akan lengkap tanpa aspek-aspek tersebut;

Keempat, berkontribusi pada kemampuan orang untuk peduli pada pertanyaan-

pertanyaan arti kemanusiaan yang selalu muncul seperti kehidupan dan kematian,

tanggapan dan realitas, kepentingan pribadi lawan kepentingan umum, kepastian

dan keraguan; Kelima, memperkaya kehidupan masa anak-anak (childhood)

sebagai sebuah waktu kehidupan yang penting dalam masalah hak yang dimiliki

anak dan tidak untuk kemampuan masa depan semata.

SFA yang dikembangkan oleh American Association for the Advancement of

Science atau AAAS (Rutherford & Ahlgren, 1990) meliputi 12 topik. AAAS

1993) kemudian merumuskan kelompok-kelompok benchmarks for science

literacy sesuai dengan masing-masing topik tersebut. Benchmarks

menspesifikasikan bagaimana siswa berkembang ke arah science literacy,

merekomendasikan apa yang semestinya siswa ketahui dan dapat kerjakan ketika

mereka sudah mencapai jenjang kelas tertentu (dalam masa sekolah 13 tahun

hingga kelas XII). Benchmarks for Science Literacy ditawarkan sebagai butir-butir

rujukan untuk menganalisis kurikulum yang ada atau yang dirancang ke arah

sasaran melek sains (AAAS, 1993). Benchmarks merupakan set outcomes

pendidikan sains (bukan set kurikulum). Lebih lanjut, National Academy of

Science (NAS, 1996) mengembangkan Standar Pendidikan Sains Nasional

11

Page 21: Disertasi 1(16-10-2010)

(NSES) untuk Amerika Serikat. Negara-negara bagian di Amerika Serikat

mengembangkan standar pendidikan sains untuk daerah yang bersangkutan

dengan pola organisasi yang cukup bervariasi. Penekanan prinsip-prinsip dasar

sains dan kebermaknaannya, serta fleksibilitas pengorganisasiannya dalam SFA,

membuka peluang untuk mengembankan pendidikan SFA dimanapun.

Benchmarks dan standar konten sains mengasumsikan pencakupan semua

siswa dalam tantangan kesempatan belajar sains dan mendefinisikan tingkat-

tingkat pemahaman dan kemampuan yang semestinya dikembangkan. Siswa

diberi kesempatan yang sama dalam belajar sains, tetapi akan mencapai

pemahaman dalam cara dan kedalaman berbeda-beda ketika mereka menjawab

pertanyaan-pertanyaan tentang dunia nyata (NRC, 1996).

Benchmarks melek sains atau literasi ilmiah (scientific literacy) dapat

berkembang mengikuti temuan-temuan penelitian dan masukan-masukan dari

pengalaman pengguna. Acuan dasar melek sains (Science for All) fleksibel

terhadap variasi konteks rancangan pengembangan Science for All. Walaupun

benchmarks dirumuskan secara terpisah sesuai topik, implementasinya dianjurkan

menggunakan pendekatan lintas benchmarks sesuai dengan konteks, sehingga

berguna dalam kehidupan di luar sekolah. Inti umum (common core) dari belajar

sains bukan pada pemahaman dari masing-masing disiplin yang terpisah (AAAS,

1993). Meskipun demikian, karakteristik belajar sesuai dengan masing-masing

bidang masih diperlukan, terutama dalam membangun konsepsi dasar dalam

bidang yang relevan.

12

Page 22: Disertasi 1(16-10-2010)

Science for All (AAAS, 1993) menekankan sains sebagai produk, proses, dan

sikap. Poedjiadi (2005a) menyoroti kemungkinan optimalisasi pendidikan sains

dalam pembangunan moral bangsa melalui pemahaman gejala alam seperti

keteraturan, sistem kesetimbangan, dan anomali-anomali gejala alam yang

berguna untuk kelangsungan sistem alam. Dengan demikian kebutuhan sains

hendaknya terdiri dari pengetahuan (konsep) dan ketrampilan sains, serta

kebiasaan mental (berpikir dan sikap) yang mencerminkan penguasaan sains

untuk membangun masa depan yang lebih baik. Sains sebagai produk dalam

Science for All ditekankan pada konsep-konsep dasar sains yang esensial.

Sementara sains sebagai proses menuntut bahwa pokok bahasan atau m,ateri

pelajaran juga harus mengandung ketrampilan sains seperti optimalisasi pemilikan

ketrampilan inkuiri sains sebagai cara untuk membangun konsepsi-konsepsi sains,

dan menumbuhkan kebiasaan mental (sains) pada anak. Rancangan proses/

strategi pembelajaran (pendekatan dan metode pembelajaran) yang dipilih

hendaknya mampu secara efektif mencapai tujuan yang dirumuskan. Strategi

pembelajaran hendaknya efektif membangun konsepsi-konsepsi, ketrampilan, dan

kebiasaan mental sains pada siswa.

Science for All membatasi pada pengetahuan dan ketrampilan dasar sains

yang esensial, serta sikap sains bagi semua warga masyarakat. Sejumlah

pengetahuan dan ketrampilan dasar sains yang berkaitan dengan energi penting

sekali bagi kehidupan sehari-hari masyarakat. MCDuell (1986) menyatakan

physics is an essential part of the curriculum of young people berween 11 and 14

years old yang bisa berupa mata pelajaran tersendiri atau sebagai komponen sains.

13

Page 23: Disertasi 1(16-10-2010)

Konten dianjurkan tentang the nature of substances and changes which they can

undergo. ---the material is important and relevant.

Sejumlah ketrampilan dasar sains merupakan ketrampilan hidup dan

sekaligus diperlukan untuk melathkan ketrampilan proses sains. Pengetahuan dan

ketrampilan sains di atas untuk IPA sederhana yang ada dalam kehidupan sehari-

hari di masyarakat kuranya dapat diajarkan pada siswa SMP dan berkontribusi

besar dalam menumbuhkan sikap sains pada siswa dan masyarakat dalam rangka

Science for All.

Keberhasilan perumusan kerangka konseptual Science for All oleh AAAS

(1993) juga telah diikuti dengan keberhasilan perumusan kelompok-kelompok

benchmarks (acuan) melek sains atau literasi sains (scientific literacy) sesuai

dengan 12 topik konten atau kebutuhan dalam SFA untuk Amerika Serikat

(AAAS, 1993). Ke-12 kelompok benchmarks tersebut adalah (1) ciri-ciri sains,

(2) matematika, (3) teknologi, (4) the physical setting, (5) lingkungan hidup, (6)

organisme manusia, (7) masyarakat manusia, (8) dunia yang direncanakan

(rekayasa), (9) dunia matematika, (10) perspektif historis, (11) tema-tema umum,

dan (12) kebiasaan mental (habits of mind).

Masing-masing kelompok benchmarks dirinci berdasarkan jenjang kelompok

tingkat kelas atau kelompok usia sesuai tingkat perkembangan kognitif siswa

yaitu dari kelas kecil hingga kelas 2, kelas 3-5, kelas 6-8, dan kelas 9-12.

Pengembangan dan pengorganisasian benchmarks untuk suatu kelompok tingkat

perkembangan dapat disesuaikan dengan sistem penyelenggaraan pendidikan di

daerah atau negara yang bersangkutan. Sistem pendidikan blok di suatu negara,

14

Page 24: Disertasi 1(16-10-2010)

sains bagi kelompok kelas 6-8 mungkin diprogramkan sekaligus di kelas 7.

Sementara dalam pendidikan di Indonesia setiap bidang sains diprogramkan

secara berkelanjutan dalam setiap tingkat kelas dan bahkan setiap semester.

Dalam sistem berkelanjutan, urutan pemrograman konsep-konsep untuk bidang

sains tertentu (misal sains untuk setiap tingkatan kelas) perlu disesuaikan dengan

jadwal kelas yang berlaku dan mensinergikan dengan pembelajaran aspek-aspek

sains yang lain pada setiap jenjang kelas.

Secara lebih ringkas, acuan kebutuhan melek sains yang terkait dekat dengan

sains dapat dikelompokkan ulang: (1) kebiasaan mental, (2) sains sebagai inkuiri,

(3) topik-topik bidang sains yang mencakup sub-topik IPA, dan (4) sains

teknologi-masyarakat.

B. Asesmen dalam Pembelajaran Sains

Seperti diketahui bahwa pembelajaran Sains memiliki tiga dimensi sasaran

pembelajaran, yaitu dimensi proses, produk dan sikap yang satu sama lain tidak

dapat dipisahkan dan diabaikan dalam proses belajar mengajar sains. Target

pembelajaran Sains ini selain mengembangkan aspek kognisi juga meningkatkan

keterampilan proses, sikap, kreativitas dan kemampuan aplikasi konsep (Yager,

1992: 9). Mengingat antara belajar dan asesmen mempunyai hubungan yang erat,

maka agar siswa terdorong untuk mengembangkan daya kreasi dan keterampilan

berfikirnya hendaknya asesmen yang dilakukan perlu dilengkapi dengan asesmen

terhadap proses belajar siswa atau aktivitas siswa, karya siswa, dan sikap siswa,

bukan hanya penguasaan konsep saja.

15

Page 25: Disertasi 1(16-10-2010)

Penggunaan jenis asesmen yang tepat akan sangat menentukan keberhasilan

dalam mengakses informasi yang berkenaan dengan proses pembelajaran.

Pemilihan metode asesmen harus didasarkan pada target informasi yang ingin

dicapai. Informasi yang dimaksud adalah hasil belajar yang dicapai siswa.

Stiggins (1994:3,67) mengemukakan lima kategori target hasil belajar yang layak

dijadikan dasar dalam menentukan jenis asesmen yang akan digunakan oleh

pengajar. Kelima hasil belajar tersebut adalah: (1) Knowledge Outcomes,

merupakan penguasaan siswa terhadap substansi pengetahuan suatu mata

pelajaran (2) Reasoning Outcomes, yang menunjukkan kemampuan siswa dalam

menggunakan pengetahuannya dalam melakukan nalar (reason) dan memecahkan

suatu masalah. (3) Skill Outcomes, kemampuan untuk menunjukkan prestasi

tertentu yang berhubungan dengan keterampilan yang didasarkan pada

penguasaan pengetahuan. (4) Product Outcomes, kemampuan untuk membuat

suatu produk tertentu yang didasarkan pada penguasaan pengetahuan

(5) Affective Outcomes, pencapaian sikap tertentu sebagai akibat mempelajari dan

mengaplikasikan pengetahuan.

Untuk lima kategori hasil belajar di atas, Stiggins (1994: 83) menawarkan

empat jenis metode asesmen dasar. Keempat metode tersebut adalah: (1) Selected

Response Assessment, termasuk ke dalamnya pilihan ganda (multiple-choice

items), benar-salah (true-false items), menjodohkan atau mencocokkan (matching

exercises), dan isian singkat (short answer fill-in items); (2) Essay Assessment,

dalam asesmen ini siswa diberikan beberapa persoalan kompleks yang menuntut

jawaban tertulis berupa paparan dari solusi terhadap persoalan tersebut;

16

Page 26: Disertasi 1(16-10-2010)

(3) Performance Assessment, merupakan pengukuran langsung terhadap prestasi

yang ditunjukkan siswa dalam proses pembelajaran, terutama didasarkan pada

kegiatan observasi dan evaluasi terhadap proses dimana suatu keterampilan, sikap,

dan produk ditunjukkan oleh siswa; (4) Personal Communication Assessment,

termasuk ke dalamnya adalah pertanyaan-pertanyaan yang diajukan guru selama

pembelajaran, wawancara, perbincangan, percakapan, dan diskusi yang menuntut

munculnya keterampilan siswa dalam mengemukakan jawaban/gagasan.

Kategori asesmen dari Stiggins yang cenderung dapat dipandang sebagai jenis

asemen alternatif adalah performance assessment dan personal communication

assessment.

Performance assessment dan personal communication assessment bercirikan

pengukuran secara langsung (direct) dan autentik terhadap pembelajaran. Yang

menjadi objek Performance Assessment (asesmen kinerja) ini adalah segala yang

berkaitan dengan 'observabel performance' dari siswa. Kinerja yang

memungkinkan untuk diobservasi mungkin saja berkenaan dengan proses kognitif

yang kompleks seperti melakukan analisis, memecahkan masalah, melakukan

percobaan, membuat keputusan, mengukur, bekerja sama dengan yang lain,

pernyataan oral, atau menunjukkan suatu produk. Lebih kompleks lagi kedua jenis

asesmen tersebut dapat digunakan untuk mengases cara berpikir (habit of mind),

cara bekerja, dan perilaku nilai (behaviors of value) dari siswa dalam kehidupan

nyata. Penggunaan jenis asesmen seperti ini sangat berkesuaian dengan efektivitas

pembelajaran (Backer, 2001:248).

17

Page 27: Disertasi 1(16-10-2010)

Asesmen terhadap kinerja siswa, target pencapaian hasil belajar yang dapat

diraih meliputi aspek-aspek berikut ini: 1) Knowledge; 2) Reasoning; aplikasi

pengetahuan dalam berbagai konteks pemecahan masalah; 3) Skill; kecakapan

dalam berbagai jenis keterampilan komunikasi, visual, karya seni, dan lain-lain; 4)

Product; dan 5) Affect; berhubungan dengan perasaan, sikap, nilai, minat,

motivasi (Stiggins, 1994: 171). Selanjutnya dikemukakan bahwa diantara kelima

target tersebut, asesmen kinerja siswa sangat efektif untuk menilai pencapaian

target dari reasoning, skill dan karya cipta.

Dalam pedoman asemen di SMP, dinyatakan bahwa tes kinerja adalah tes

yang penugasannya disampaikan dalam bentuk lisan atau tertulis dan proses

asesmen dilakukan sejak siswa melakukan persiapan, melaksanakan tugas sampai

dengan hasil akhir (Depdikbud, 2004: 8). Sebagai alat penunjang dalam

melaksanakan tes perbuatan digunakan lembar observasi atau sebuah format

pengamatan kinerja atau penampilan siswa. Dalam lembar pengamatan tertera

aspek-aspek yang diamati sesuai dengan target pembelajarannya. Berdasarkan

deskriptor-deskriptor yang nampak selama proses pengamatan, ditentukanlah skor

kinerja siswa dengan berpe-doman pada kriteria asesmen yang telah ditetapkan

sebelumnya.

Langkah-langkah yang harus diperhatikan dalam mengembangkan metode ini

adalah: kejelasan karakter penampilan yang akan dinilai, pengembangan tugas

atau latihan (sifat, materi, jumlah), dan prosedur penskoran meliputi teknik,

pencatatan hasil, identifikasi dan keterampilan asesmen. Sebagai contoh, aspek-

aspek kinerja iswa apa saja yang akan dinilai? Sifatnya individual atau kelompok?

18

Page 28: Disertasi 1(16-10-2010)

Prosedur penyekorannya menggunakan skala, rubrik atau catatan harian?

Bagaimana kriteria asesmen dari masing-masing aspek kinerja siswa? Selain itu

sangat dibutuhkan pelibatan siswa secara penuh mulai dari perencanaan,

pengembangan dan penggunaannya.

Standar untuk tugas-tugas sebelumnya harus ditetapkan secara jelas termasuk

juga identifikasi prestasi yang harus didemonstrasikan, kondisi demonstrasi dan

standar kualitas yang ditetapkan. Demikian pula kriteria asesmen dari tiap-tiap

kinerja siswa yang akan diamati harus sudah di-mengerti dan disepakati bersama

siswa. Melalui cara tersebut, asesmen terhadap kinerja siswa dapat dirasakan lebih

terbuka dan adil bagi semua siswa, karena siswa mempunyai acuan yang jelas

dalam mengerjakan tugas dari guru.

Pelaksanaan pembelajaran yang berbasis kompetensi menghendaki adanya

perubahan kegiatan pembelajaran di kelas, baik dalam cara guru mengajar

maupun dalam melakukan asesmen proses dan hasil belajar siswa. Dengan

penekanan pada penguasaan kompetensi, maka jenis asesmen juga harus

disesuaikan dengan kekhasan masing-masing kompe-tensi. Bentuk asesmen yang

sama (model pilihan ganda) untuk menilai se-mua mata pelajaran yang selama ini

digunakan oleh guru tidak bisa digunakan untuk menilai kompetensi yang

beragam.

Asesmen kelas merupakan salah satu pilar dalam pembelajaran berbasis

kompetensi. Asesmen kelas adalah proses pengumpulan dan penggunaan

informasi oleh guru untuk pemberian nilai terhadap hasil belajar siswa

berdasarkan tahapan kemajuan belajarnya sehingga didapatkan potret kemampuan

19

Page 29: Disertasi 1(16-10-2010)

siswa sesuai dengan daftar kompetensi yang ditetapkan dalam pembelajaran.

Asesmen kelas dilaksanakan secara terpadu dengan kegiatan pembelajaran.

Asesmen dapat dilakukan baik dalam suasana formal maupun informal, di dalam

kelas, di luar kelas, terintegrasi dalam kegiatan pembelajaran atau dilakukan pada

waktu yang khusus. Asesmen kelas dilaksanakan melalui berbagai cara, seperti tes

tertulis (paper and pencil test), asesmen hasil kerja siswa melalui kumpulan hasil

kerja karya siswa (portofolio), asesmen produk 3 dimensi, dan asesmen unjuk

kerja (performance) siswa. Asesmen kelas merupakan suatu proses yang

dilakukan melalui langkah-langkah perencanaan, pengumpulan informasi melalui

sejumlah bukti yang menunjukkan pencapaian hasil belajar siswa, pelaporan, dan

penggunaan informasi tentang hasil belajar siswa.

Terdapat beberapa tujuan asesmen yang dilakukan guru, antara lain untuk

grading (membedakan kedudukan hasil kerja siswa dibandingkan dengan siswa

lain dalam satu kelas), alat seleksi (memisahkan antara siswa yang masuk dalam

kategori tertentu dan yang tidak, atau untuk menentukan seorang siswa dapat

masuk atau tidak di sekolah tertentu), menguasai kompetensi (menentukan apakah

seorang siswa telah menguasai kompetensi tertentu atau belum), bimbingan

(mengevaluasi hasil belajar siswa dalam rangka membantu siswa memahami

dirinya, membuat keputusan yang harus dilakukan siswa, atau untuk menetapkan

penjurusan), alat prediksi (mendapatkan informasi yang digunakan untuk

memprediksi kinerja siswa pada pendidikan berikutnya) dan alat diagnosis

(melihat kesulitan belajar atau dalam hal apa siswa memiliki prestasi untuk

menentukan perlu remediasi atau pengayaan). Dalam kaitannya dengan

20

Page 30: Disertasi 1(16-10-2010)

pelaksanaan asesmen berbasis kelas, jenis asesmen diagnosis, bimbingan, dan

pencapaian penguasaan kompetensi harus menjadi perhatian utama guru pada

setiap kali mengajar. Guru dituntut mampu melaksanakan asesmen mulai dari

awal sampai akhir proses belajar mengajar. Untuk menilai sejauhmana siswa telah

menguasai beragam kompetensi, tentu saja berbagai jenis asesmen perlu diberikan

sesuai dengan kompetensi yang akan dinilai, seperti unjuk kerja/kinerja

(performance), penugasan (proyek), hasil karya (produk), kumpulan hasil kerja

siswa (portofolio), dan asesmen tertulis (paper and pencil test). Asesmen berbasis

kelas merupakan suatu proses yang dilakukan guru melalui langkah-langkah

perencanaan, pengumpulan sejumlah bukti yang menunjukkan pencapaian hasil

belajar siswa, pelaporan, dan penggunaan informasi tentang hasil belajar siswa.

Jadi, peran asesmen berbasis kelas adalah memberikan masukan atau

informasi secara komprehensif tentang hasil belajar siswa dilihat ketika kegiatan

pembelajaran sedang berlangsung hingga hasil akhirnya dengan menggunakan

berbagai cara asesmen sesuai dengan kompetensi yang diharapkan dicapai siswa.

Dengan demikian Asesmen Kelas merupakan asesmen yang dilakukan guru baik

yang mencakup aktivitas asesmen untuk mendapatkan nilai kualitatif maupun

aktivitas pengukuran untuk mendapatkan nilai kuantitatif (angka). Perlu diingat

bahwa asesmen kelas dilakukan terutama untuk memperoleh informasi tentang

hasil belajar siswa yang dapat digunakan sebagai diagnosis dan masukan dalam

membimbing siswa dan untuk menetapkan tindak lanjut yang perlu dilakukan

guru dalam rangka meningkatkan pencapaian kompetensi siswa.

21

Page 31: Disertasi 1(16-10-2010)

C. Asesmen untuk Literasi Sains

1. Asesmen literasi ilmiah

Asesmen merupakan komponen penting dalam pembelajaran. Asesmen juga

penting dalam penyelesaian utama dalam mempelajari tujuan literasi ilmiah. Dua

diantara program survei komprehensif yang paling lengkap yang mengarah pada

literasi ilmiah (scientific literacy) sekarang adalah: Program Asesmen Siswa

Internasional/Program for International Student Assessment (PISA) dari

Organization for Economic Co-operation and Development (OECD, PISA, 2005),

dan Trends in Mathematics and Science Studies (TIMSS) (NCES, 2006). Untuk

TIMSS sebagian besar memfokuskan bukan hanya pada aspek struktural sekolah

seperti kurikulum tetapi pada konten yang berpusat pada guru dan siswa yang

dilakukan di sekolah, sedangkan PISA cenderung memfokuskan pada ‘practical

knowledge in action’, yaitu mengenali pertanyaan-pertanyaan sebagai literasi

ilmiah, mengidentifikasi bukti-bukti yang relevan, dengan kritis mengevaluasi

kesimpulan, dan mengkomunikasikan ide-ide ilmiah (Fensham & Harlen 1999;

Backer, 2001; Harlen 2001; OECD/ PISA, 2005).

Sebagai tambahan, filsafat yang berbeda, kerangka teoritis yang berbeda,

agenda pengembangan penelitian yang berbeda dari berbagai penelitian untuk

mengkaji aspek literasi ilmiah yang berbeda, biasanya memfokuskan diri pada

salah satu hal yang berikut:

a. Sebagai alat pengukur ukuran daya ingat akibat sains sekolah. Isi

pengetahuan biasanya menjadi pertimbangan penting pada literasi ilmiah

(scientific literacy), dan oleh karenanya, literasi ilmiah merupakan aspek

22

Page 32: Disertasi 1(16-10-2010)

kajian kebanyakan yang dikaji oleh pendidik dan guru sains (Laugksch &

Spargo, 1996a, 1996b).

b. Sebagai alat pengukur kemampuan dalam menerapkan prinsip-prinsip ilmiah

di non-academic contexts. Karakteristik-karakteristik utama dari alat yang

demikian akan mendisain tugas aslinya, dan mengevaluasi kapabilitas

kemampuan (performance capabilities). Dalam pendekatan ini, daya ingat

dengan pengetahuan adalah sekunder, dan asesmen difokuskan pada

penjelmaan keterampilan (Champagne & Newell, 1992; Zuzovsky, 1997;

Champagne & Kouba, 1998; Fensham & Harlen, 1999).

c. Sebagai alat pengukur kemampuan literasi dalam hubungan kalimat ilmiah,

yaitu untuk mengevaluasi kemampuan individual dalam membaca, menulis,

memberi alasan, dan mencari informasi selanjutnya (Wandersee, 1988;

Champagne, 1997; Phillips & Norris, 1999; Duschl & Osborne, 2002; Norris

& Philips, 2003; Simon, et al., 2006). Beberapa contoh pendekatan kajian

kemampuan ini menggunakan laporan media penelitian ilmiah (Norris dan

Philips, 1994, 2003; Champagne, 1997; Korpan, et al., 1997).

d. Sebagai alat pengukur pemahaman siswa pada hakekat sains (nature of

science) (NOS), dan pemahaman siswa pada sains dan sikap ke arah topik-

topik Sains-Teknologi-Masyarakat/Science-Technology-Society (STS).

Antara lain, Pandangan pada Sains-Teknologi-Masyarakat/ Views on Science-

Technology-Society (VOSTS) instrumen dan validasinya dikembangkan oleh

Aikenhead & Ryan (1992).

23

Page 33: Disertasi 1(16-10-2010)

2. Perspektif Teoritis Asesmen Literasi Ilmiah

Dalam melakukan kajian, agar dalam mengkaji aspek apapun dengan

menggunakan literasi ilmiah, beberapa isu-isu teoritis perlu ditujukan: yang

pertama adalah pemahaman yang secara ilmiah terliterasi, tak satu pun keadaan

yang ‘ya atau tidak ada’. Ada berbagai tingkatan-tingkatan dan ekspresi-ekspresi

dengan literasi ilmiah. Antara lain, yang dilakukan oleh Shen (1975), Pella

(1976), Scribner (1986), dan Shamos (1995), semuanya adalah tingkatan-

tingkatan dan ekspresi-ekspresi literasi ilmiah serupa yang disarankan. Tingkat

terendah adalah sering disebut literasi praktis atau fungsional (practical or

functional literacy) yang menunjukkan kemampuan seseorang untuk berfungsi

secara normal pada kehidupan sehari-hari mereka, sebagai satu konsumen dengan

produk ilmiah dan teknologi. Kesepakatan dasar ini dengan manusia diperlukan

seperti makanan dan kesehatan. Tingkat yang lebih tinggi literasi adalah seperti

literasi sebagai kewarganegaraan (atau literasi sebagai kekuatan), menunjukkan

kemampuan seseorang untuk berpartisipasi dengan bijaksana pada

kemasyarakatan mengenai satu bahasan ilmiah dan secara teknologi berhubungan

dengan isu-isu. Literasi ideal atau budaya meliputi suatu apresiasi usaha ilmiah,

dan persepsi sains sebagai suatu aktivitas intelektual utama. Shamos (1989) juga

menyarankan suatu skala pasif ke aktif (passive to active scale), dengan

membedakan daya ingat pengetahuan, hafalan yang dikomunikasikan, dan

penggunaan ide-ide ilmiah.

Bybee (1997) dan BSCS (1993) menyarankan skala teoritis yang

komprehensif untuk menjadikan yang lebih pantas untuk asesmen literasi ilmiah

24

Page 34: Disertasi 1(16-10-2010)

selama belajar sains di sekolah, yang hirarkinya dapat mudah ditransfer ke

penggunaan instruksional. Skala ini dipergunakan pada salah satu kerangka

teoritis untuk pembahasan saat ini. Taraf skala yang berikut menyarankan dengan

literasi ilmiah (scientific literacy):

Literasi ilmiah : Siswa yang tidak dapat menghubungkan ke atau merespon ke

suatu pertanyaan yang layak tentang sains. Siswa tidak mempunyai kosa kata,

konsep, hubungan kalimat, atau kapasitas teori untuk mengidentifikasi pertanyaan

sebagai sesuatu yang ilmiah. Literasi ilmiah nominal. Siswa dapat mengenali

suatu konsep sebagai konsep terkait ke sains, tapi taraf dari pemahamannya

dengan jelas menandakan miskonsepsi/kesalah pahaman. Literasi ilmiah

fungsional. Siswa dapat mendeskripsikan satu konsep dengan benar, tapi punya

satu pemahaman yang terbatas dari konsep tersebut. Literasi ilmiah konseptual.

Siswa dapat mengembangkan beberapa pemahaman skema-skema konseptual

yang utama dari satu disiplin dan hubungan skema-skema itu untuk pemahaman

umum sains mereka. Kemampuan prosedur dan pemahaman proses dengan inkuiri

ilmiah dan desain teknologi termasuk dalam tingkatan literasi ini. Literasi ilmiah

multidimensional. Perspektif ini dengan literasi ilmiah menggabung menjadi satu

pemahaman sains yang meluas berada di luar konsep disiplin ilmiah dan prosedur

investigasi ilmiah. Literasi ilmiah ini meliputi filosofis, historis, dan dimensi

sosial dari sains dan teknologi. Di sini siswa mengembangkan beberapa

pemahaman dan apresiasi sains dan teknologi yang berhubungan dengan

hubungannya untuk kehidupan sehari-hari siswa. Lebih terperinci, siswa berawal

25

Page 35: Disertasi 1(16-10-2010)

membuat koneksi diantara disiplin ilmiah, dan di antara sains, teknologi, dan isu-

isu besar masyarakat yang lebih menantang.

3. Dimensi Asesmen Literasi Sains

Status dan mutu proses pembelajaran sains di sekolah Australia (Goodrum,

Hackling, & Rennie, 2001) dikatakan bahwa pemanfaatan lingkup sains pada usia

15 tahun bagi semua siswa adalah untuk mengembangkan literasi sains (science

literacy) bagi seluruh siswa, apakah meneruskan mempelajari sains atau tidak

setelah itu.

Dimensi literasi sains meliputi dimensi konten literasi sains, dimensi proses

literasi sains, dan dimensi konteks literasi sains. Dalam dimensi konsep ilmiah

(scientific concepts) siswa perlu menangkap sejumlah konsep kunci/esensial

untuk dapat memahami fenomena alam tertentu dan perubahan-perubahan yang

terjadi akibat kegiatan manusia. Hal ini merupakan gagasan besar pemersatu yang

membantu menjelaskan aspek-aspek lingkungan fisik. PISA mengajukan

pertanyaan-pertanyaan yang mempersatukan konsep-konsep fisika, kimia, biologi,

serta ilmu pengetahuan bumi dan antariksa (IPBA). Pada dimensi process literasi

sains, PISA (Programme for International Student Assessment) mengases

kemampuan untuk menggunakan pengetahuan dan pemahaman ilmiah, seperti

kemampuan siswa untuk mencari, menafsirkan dan memperlakukan bukti-bukti.

PISA menguji lima proses semacam itu, yakni: (1) mengenali pertanyaan ilmiah,

(2) mengidentifikasi bukti, (3) menarik kesimpulan, (4) mengkomunikasikan

kesimpulan, dan (5) menunjukkan pemahaman konsep ilmiah. Sedangkan dalam

dimensi konteks literasi sains, PISA (Programme for International Student

26

Page 36: Disertasi 1(16-10-2010)

Assessment) lebih pada kehidupan sehari-hari daripada kelas atau laboratorium.

Sebagaimana dengan bentuk-bentuk literasi lainnya, konteks melibatkan isu-isu

yang penting dalam kehidupan secara umum seperti juga terhadap kepedulian

pribadi. Pertanyaan-pertanyaan dalam PISA 2000 dikelompokkan menjadi tiga

area tempat sains diterapkan, yaitu: (1) kehidupan dan kesehatan, (2) bumi dan

lingkungan, serta (3) teknologi.

Literasi Sains (Literacy Science) sangat penting saat ini dalam berkontribusi

pada kesejahteraan ekonomi dan sosial bangsa, dan meningkatkan pengambilan

keputusan pada tingkat personal dan publik (Laugksch, 2000). Ini adalah bantahan

bahwa secara ilmiah orang terpelajar adalah “ mampu pada penggunaan

pengetahuan ilmiah (scientific knowledge) dan proses-proses tidak selalu dapat

memahami hakekat dunia kecuali untuk berpartisipasi dalam keputusan-keputusan

pengaruh pengetahuan ilmiah” (OECD Programme for International Student

Assessment, 1999; 13).

OECD PISA (1999; 60) telah mendefinisikan literasi (scientific literacy)

ilmiah sebagai:

…the capacity to use scientific knowledge, to identify questions (investigate)

and to draw evidence-based conclusions in order to understand and help make

decisions about the natural world and the changes made to it through human

activity.

Diartikan sebagai kapasitas penggunakan pengetahuan sains,

pengidentifikasian pertanyaan (investigasi), dan penggambaran bukti yang

27

Page 37: Disertasi 1(16-10-2010)

mendasari kesimpulan agar dapat dipahami dan dapat menolong dalam

pengambilan keputusan hakekat perubahan dunia melalui aktivitas manusia.

D. Strategi dan Prosedur Asesmen

Terdapat beberapa langkah pokok yang harus dilakukan dalam melaksanakan

asesmen. Dari berbagai pendapat yang disampaikan oleh sejumlah pakar,

termasuk Anderson (2003) dan Sudijono (2005), secara garis besar terdapat 7

(tujuh) langkah pokok asesmen pembelajaran sebagai berikut. Menyusun Rencana

Asesmen atau Evaluasi Hasil Belajar; Menghimpun Data; Melakukan Verifikasi

Data; Mengolah dan Menganalisis Data; Melakukan Penafsiran atau Interpretasi

dan Menarik Kesimpulan; Menyimpan instrumen asesmen dan hasil asesmen; dan

Menindaklanjuti Hasil Evaluasi.

Berdasarkan data yang telah dihimpun, diolah, dianalisis, dan disimpulkan

maka dapat diambil keputusan atau dirumuskan kebijakan sebagai tindak lanjut

kongkrit dari kegiatan asesmen. Dengan demikian, seluruh kegiatan asesmen yang

telah dilakukan akan membawa banyak manfaat karena terjadi berbagai perubahan

dan atau perbaikan.

E. Mengembangkan Tes sebagai Instrumen Asesmen

1. Konsep Dasar Instrumen Asesmen

Tes pada dasarnya adalah alat ukur atribut psikologis yang objektif atas

sampel perilaku tertentu. Tes merupakan salah satu instrumen asesmen yang

banyak digunakan untuk menggali informasi tentang sejauh mana tingkat

28

Page 38: Disertasi 1(16-10-2010)

penguasaan kompetensi siswa terhadap kompetensi yang dipersyaratkan. Tes pada

dasarnya merupakan alat ukur pembelajaran yang paling banyak digunakan dalam

melakukan asesmen proses dan hasil belajar siswa dalam pengajaran klasikal.

Terdapat lima jenis atau cara pembagian tes yaitu: a) Pembagian jenis tes

berdasarkan tujuan penyelenggaraan, b) Pembagian jenis tes berdasarkan waktu

penyelenggaraan, c) Pembagian jenis tes berdasarkan cara mengerjakan, d)

Pembagian jenis tes berdasarkan cara penyusunan, dan e) Pembagian jenis tes

berdasarkan bentuk jawaban.

Jenis tes berdasarkan tujuan penyelenggaraan terdiri dari tes seleksi, tes

penempatan, tes hasil belajar, tes diagnostik, dan tes uji coba. Adapun jenis tes

berdasarkan tahapan/waktu penyelenggaraan meliputi tes masuk (entrance test),

tes formatif (formative test), tes sumatif (summative test), pre-tes dan pos-tes.

Secara umum, tes dapat dikerjakan secara tertulis dan secara lisan dalam bentuk

tes essay maupun obyektif.

2. Langkah-langkah Menyusun tes

Penyusunan tes sangat besar pengaruhnya terhadap siswa yang akan

mengikuti tes, untuk mengurangi kesalahan dalam pengukuran maka tes harus

direncanakan secara cermat. Dalam perencanaan tes ada beberapa kegiatan yang

harus dilakukan guru sebagai pendidik yaitu:

a. Menentukan cakupan kompetensi yang akan diukur. Terdapat tiga langkah

dalam mengembangkan kisi-kisi tes dalam sistem asesmen berbasis

29

Page 39: Disertasi 1(16-10-2010)

kompetensi dasar, yaitu (1) Menulis kompetensi dasar, (2) Menulis materi

pokok, (3) Menentukan indikator, (4) Menentukan jumlah soal.

b. Memilih Bentuk Tes. Pemilihan bentuk tes dapat dilakukan dengan tepat bila

didasarkan pada tujuan tes, jumlah peserta tes, waktu yang tersedia untuk

memeriksa lembar jawaban tes, cakupan kompetensi tes yang akan diukur, dan

karakteristik mata pelajaran yang diujikan.

c. Menetapkan panjang Tes. Terdapat tiga hal yang harus dipertimbangkan

dalam menentukan jumlah soal, yaitu: bobot masing-masing bagian yang telah

ditentukan dalam kisi-kisi, keandalan yang diinginkan, dan waktu yang

tersedia. Dalam kegiatan pokok penulisan butir soal perlu diperhatikan: a)

menulis draft soal, b) memantapkan content validity, dan c) melakukan try out.

Beberapa langkah yang harus diperhatikan dalam mengembangkan instrumen

adalah: menjaga obyektivitas pelaksanaan, memberikan skor pada hasil tes,

dan melakukan analisis hasil tes.

d. Menetapkan langkah-langkah pengembangan tes sebagai instrumen Asesmen

di kelas.Terdapat tiga langkah dalam mengembangkan tes sebagai instrumen

Asesmen di kelas, yang masing-masing langkah dapat dijelaskan sebagai

berikut:

1) Menjabarkan Kompetensi Dasar ke dalam Indikator Pencapaian Hasil

Belajar. Kegiatan ini dalam langkah kegiatan umum masuk dalam langkah

”Menentukan cakupan materi yang akan diukur” Indikator merupakan

ukuran, karakteristik, ciri-ciri, pembuatan atau proses yang

berkontribusi/menunjukkan ketercapaian suatu kompetensi dasar. Sesuai

30

Page 40: Disertasi 1(16-10-2010)

dengan Kurikulum Tngkat Satuan Pendidikan (KTSP), maka indikator

pencapaian hasil belajar dikembangkan oleh pendidik/guru dengan

memperhatikan perkembangan dan kemampuan setiap peserta didik,

keluasan dan kedalaman kompetensi dasar, dan daya dukung sekolah.

2) Menetapkan Jenis Tes dan Penulisan Butir Soal. Setelah guru menjabarkan

standar kompetansi, kompetensi dasar dan indikator keberhasilannya,

maka guru mulai dapat menetapkan indikator yang menunjukkan tingkat

pencapaian kompetensi tersebut. Kemudian melakukan pemilihan bentuk

tes berdasarkan pada tujuan tes, cakupan materi tes, karakteristik mata

pelajaran yang diukur pencapaiannya, jumlah peserta tes, termasuk waktu

yang tersedia untuk memeriksa lembar jawaban tes. Dalam menyusun

instrumen asesmen tertulis perlu dipertimbangkan hal-hal berikut (1)

materi, (2) konstruksi, (3) bahasa, dan (4) kaidah penulisan.

3) Mengembangkan tes pada Kawasan Kognitif, Afektif dan Psikomotor.

Dalam mengukur indikator pencapaian hasil belajar baik kognitif, afektif

maupun psikomotor dapat menggunakan berbagai macam bentuk tes baik

tertulis maupun lisan. Domain kognitif dapat diukur menggunakan seperti

misalnya tes lisan, tes pilihan ganda, tes obyektif, tes uraian, tes jawaban

singkat, menjodohkan, dan tes unjuk kerja. Tes pada domain afektif untuk

mengukur sikap dengan teknik antara lain observasi, pertanyaan langsung,

dan laporan pribadi yang diukur dengan menggunakan skala Likert.

Sedang hasil belajar psikomotor yang indikator keberhasilannya lebih

31

Page 41: Disertasi 1(16-10-2010)

berorientasi pada gerakan dan menekankan pada reaksi fisik atau

keterampilan tangan.

3. Kriteria Tes yang Baik

Ada beberapa kriteria yang dapat dipakai untuk menyusun butir-butir tes yang

berkualitas yaitu a) Valid, b) Relevan, c) Spesifik, d) Representatif, e) Seimbang,

f) Sensitif, g) adil, h) Praktis. Kualitas instrumen sebagai alat ukur ataupun alat

pengumpul data diukur dari kemampuan alat ukur tersebut untuk dapat

mengungkapkan dengan secermat mungkin fenomena-fenomena ataupun gejala

yang diukur. Kualitas yang menunjuk pada tingkat keajekan, kemantapan serta

konsistensi dari data yang diperoleh itulah yang disebut dengan validitas dan

Reliabilitas.

Validitas alat ukur menunjukkan kualitas kesahihan suatu instrument, Alat

pengumpul data dapat dikatakan valid atau sahih apabila alat ukur tersebut mampu

mengukur apa yang seharusnya diukur /diingikan. Jenis-jenis validitas yang dapat

dipakai sebagai kriterium, dalam menetapkan tingkat kehandalan tes, diantaranya

adalah : a) validitas permukaan (face validity); b) validitas konsep (construct

validity); c) validitas isi (content validity).

Cara mencari koefisien reliabilitas alat ukur, dapat dilakukan dengan

menggunakan beberapa cara, yang masing-masing mempunyai kekurangan dan

keunggulan. Berbagai pilihan tentang cara menetapkan tingkat reliabilitas alat

32

Page 42: Disertasi 1(16-10-2010)

ukur tersebut adalah : a) teknik pengulangan (test and re-test reliability); b).

teknik bentuk paralel (alternate form reliability); c) teknik belah dua (split half

reliability), oleh karenanya untuk mendapatkan gambaran koefisien secara

keseluruhan, koefisien antar belahan tersebut masih perlu dikoreksi dengan rumus

sebagai berikut :

Reliability =

dimana x1 adalah skor dari belahan satu, x2 adalah skor dari belahan kedua, dan N

adalah banyaknya subyek pada setiap bagian (belahan); d) Kuder Richardson

Reliability, cara ini diberlakukan bila instrumen digunakan untuk mengukur satu

gejala psikologis atau perilaku yang sama, artinya alat ukur tersebut dapat

dikatakan reliabel bila terbukti ada konsistensi jawaban antar item yang satu

dengan item yang lain; dan e) Cronbach Alpha Reliability, cara ini juga

dikembangkan untuk mengujir konsistensi internal dari suatu alat ukur. Perbedaan

pokok dengan model Kuder Richardson adalah bahwa teknik ini tidak hanya

untuk instrumen dengan dua pilihan tetapi tidak terikat pada dua pilihan saja,

sehingga penerapannya lebih luas. Misalnya untuk menguji reliabilitas skala

pengukuran sikap dengan 3, 5 atau 7 pilihan. Satu hal yang tak kalah pentingnya

adalah Indeks sensitivitas, yang merupakan perbedaan kemampuan peserta didik

antara setelah mengikuti proses pembelajaran dengan sebelum mengikuti proses

pembelajaran. Indeks ini menyatakan tingkat keberhasilan peserta didik dalam

mengikuti porses pembelajaran dan keberhasilan guru dalam melaksanakan proses

33

Page 43: Disertasi 1(16-10-2010)

pembelajaran. Besarnya indek yang baik adalah positif dan besar. Indeks ini

sering dinyatakan dalam bentuk formula seperti berikut ini:

Dimana menyatakan indeks tingkat keberhasilan peserta didik dalam mengikuti

porses pembelajaran dan keberhasilan guru dalam melaksanakan proses

pembelajaran; RA menyatakan Jumlah peserta didik yang menjawab benar setelah

mengikuti proses pembelajaran; RB menyatakan Jumlah peserta didik yang

menjawab benar sebelum mengikuti proses pembelajaran; dan T menyatakan

Jumlah peserta didik yang mengikuti ujian

F. Pengembangan Model Asesmen dalam Pembelajaran IPA di SMP

Pengembangan model asesmen terutama konten model asesmen pembelajaran

seharusnya mempertimbangkan hasil assesmen kebutuhan. Assesmen kebutuhan

dapat memfasilitasi penyamaan persepsi terhadap kurikulum sebagai ide (Hasan,

1988) antara masyarakat dan pengembang. Model yang dikembangkan

berdasarkan hasil assesmen kebutuhan mengarahkan pada keterkaitan model

dengan desired needs.

Untuk model yang dirancang secara berkelanjutan, penyusunan kerangka

dasar model secara keseluruhan sangat diperlukan. Selanjutnya, rancangan unit-

unit model asesmen pembelajaran sebagai unit-unit implementasi dari kerangka

dasar model dikembangkan dengan menjabarkan konten kerangka dasar.

34

Page 44: Disertasi 1(16-10-2010)

Asesmen kebutuhan merupakan analisis kesenjangan (discrepancies) antara

kondisi kebutuhan yang ada saat ini dan yang seharusnya (Kaufman, 1972; Borg

& Gall, 1989; Hancock, 2003). Dalam beberapa buku pengembangan kurikulum,

pengertian terhadap aspek yang sama dengan asesmen kebutuhan juga dilingkupi

dalam analisis situasional (Brady, 1990; Print, 1993). Satu dari tiga karakteristik

minimal dari asesmen kebutuhan yang diajukan Kaufman (1972) dan ditekankan

kembali dalam beberapa buku pengembangan pembelajaran (Print, 1993) adalah

asesmen kebutuhan sebagai proses yang mengidentifikasikan kesenjangan dalam

bentuk produk atau outcomes (terms of product atau goals statements).

Hancock (2003) menekankan sejumlah fungsi assesmen kebutuhan. Fungsi-

fungsi tersebut antara lain mengungkap kesenjangan; mengungkap (examins) their

nature and causes; mendesain prioritas untuk tindakan ke depan dan menentukan

kriteria untuk solusi masalah; dan mengarahkan tindakan pada penyempurnaan

model, layanan, struktur pengorganisasian, dan pengoperasian.

Asesmen kebutuhan bersifat tentatif seiring dengan perubahan kebutuhan.

Asesmen kebutuhan mestinya dilakukan secara sistematik dan berkelanjutan yaitu

sebelum menspesifikasi sasaran dan tujuan (goals and objectives) kurikuler,

sesudah identifikasi sasaran dan tujuan kurikuler, setelah evaluasi pembelajaran,

dan setelah evaluasi kurikulum (Kaufman, 1972).

Subjek yang dilibatkan asesmen kebutuhan semestinya melingkupi semua

pihak-pihak yang berkepentingan (partner and stakeholders) dalam upaya

mencapai keberhasilan pendidikan. Pihak-pihak yang terkait yang dianjurkan oleh

Kaufman (1972) adalah : 1) pebelajar; 2) orang tua dari siswa dan komunitas

35

Page 45: Disertasi 1(16-10-2010)

masyarakat; dan 3) pendidik (implementers). Selanjutnya dinyatakan bahwa data

dari berbagai pihak dapat diperoleh melalui banyak cara seperti melalui panels,

dan berbagai metode wawancara dan kuesioner.

Asesmen kebutuhan untuk pengembangan kurikulum hendaknya

memperhatikan; 1) ciri dari pengetahuan; 2) ciri pebelajar; dan 3) ciri masyarakat

(Hanna dalam Kaufman, 1972). Di antara masukan ciri yang saling terkait

tersebut, dimensi ciri masyarakat merupakan titik masuk yang logis.

Prosedur asesmen kebutuhan bergantung pada model pengembangan

kurikulum yang digunakan. Kaufman & Hars (Kaufman, 1972) menawarkan

paling tidak ada tiga prosedur asesmen kebutuhan atau model yang mungkin

diidentifikasi, yaitu: 1) Model induktif; 2) Model deduktif; dan 3) Model klasik.

Setiap model melibatkan beberapa tahapan. Perbedaan ketiga model ini terutama

dalam konteks starting point untuk penentuan sarana dan tujuan pendidikan.

Dalam model induktif, sasaran, harapan-harapan, dan outcomes pertama

diungkap/dirumuskan berdasarkan kebutuhan masyarakat tempat program akan

dikembangkan. Kemudian kebutuhan yang diharapkan tersebut dibandingkan

dengan sasaran-sasaran (pemenuhan kebutuhan) pendidikan yang sedang

diprogramkan untuk menganalisis kesenjangan antara kebutuhan yang diharapkan

dan realitas pemenuhan kebutuhan. Dalam upaya untuk mengatasi atau

memperkecil kesenjangan yang ditemukan, set tujuan-tujuan pembelajaran dan

sebuah program pembelajaran yang kondusif dikembangkan, diimplementasikan,

dan dievaluasi.

36

Page 46: Disertasi 1(16-10-2010)

Model deduktif dimulai dari identifikasi dan pemilihan sasaran-sasaran

pendidikan yang sedang diberlakukan (ada dalam kurikulum), kemudian

pengembangan ukuran-ukuran kriteria (indikator-indikator). Langkah selanjutnya

adalah mendapatkan data untuk change requirements dari berbagai stakeholders.

Dari data aktual, kriteria yang dapat dan tidak dapat terealisasi diketahui.

Kemudian untuk mengatasi/meminimalkan kesenjangan, set tujuan-tujuan

pembelajaran dan sebuah program pembelajaran yang kondusif dikembangkan.

Terakhir, model klasik dimulai dari sasaran umum (generic goals), kemudian

langsung masuk ke dalam pengembangan program.

37

Page 47: Disertasi 1(16-10-2010)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Paradigma Penelitian

38

Kajian Pustaka kebutuhan belajar

Sains SMP

Prinsip-prinsip pembelajaran

Sains SMP

Analisis kebutuhan Sains jenjang wajib

belajar 9 tahun

Pendidikan Science for All sebagai

tantangan zaman teknologi

Kemampuan Sains jenjang wajib

belajar

Kemampuan lintas bidang belajar Sains:Kebiasaan mental sains;Inkuiri (kerja ilmiah);Rantai proses & konsep;Hubungan Sains-Teknologi-

Masyarakat;Apresiasi penemuan Sains

Rumusan sementara butir-butir kebutuhan kemampuan Sains serta lintas bidang yang diharapkan bagi jenjang SMP

Kajian Lapangan kebutuhan

kemampuan Sains pendidikan SMP

Analisis kebutuhan Sains di masyarakat

Kondisi intelektual Siswa

SMP

Respon terhadap survey :Penyelenggara;Siswa SMP;Pengguna;Pertimbangan Ahli;Survey pendapat

masyarakat (dengan angket kebutuhan)

Pengembangan dan penerapan asesmen pembelajaran IPA

Indikator-indikator ketercapaian aspek

Science for All

Asesmen Kinerja

Asesmen Tes

PROSES ASESMEN

Gambar 1 Bagan pemikiran paradigma penelitian

Page 48: Disertasi 1(16-10-2010)

Gambar 1 di atas secara rinci memperlihatkan bagan pemikiran paradigma

penelitian ini, yang menunjukkan alur pikir atau langkah-langkah identifikasi

kebutuhan dan asesmen kebutuhan kemampuan IPA berwawasan Science for All

untuk jenjang SMP dalam wajib belajar 9 tahun.

Berdasarkan paradigma tersebut, diperlukan sebuah penelitian yang mampu

mengembangkan model asesmen pembelajaran IPA di SMP dalam rangka Science

for All. Bagan alir rancangan R & D yang akan dilakukan dapat ditunjukkan

dalam gambar 2.

39

Page 49: Disertasi 1(16-10-2010)

B. Jenis dan Rancangan Penelitian

Studi ini merupakan Penelitian dan pengembangan pendidikan (Educational

Research and Development yang disingkat dengan R & D). Menurut Borg & Gall

(1989: 782), Educational Research and Development adalah suatu proses

pengembangan dan validasi produk-produk pendidikan, yang diuji lapangan, dan

direvisi berdasarkan data uji lapangan. Borg & Gall (1989: 781) menyatakan

bahwa Research and Development (R &D) terdiri dari suatu siklus dalam mana

sejenis produk dikembangkan, diuji lapangan, dan direvisi berdasar data uji

lapangan. Rencananya produk pendidikan yang ingin dihasilkan dalam penelitian

ini adalah model asesmen pembelajaran IPA untuk siswa SMP dan asesmen

pembelajaran kemampuan dasar IPA untuk siswa kelas 9 yang berwawasan

Science for All.

C. Tempat dan Waktu Penelitian

40

Asesmen Kebutuhan

Pembelajaran IPA

Pengembangan Draf Model

Asesmen Awal

Masukan dari Pakar, Siswa yang dinilai, dan

Revisi Awal

Ujicoba Terbatas dan dan Revisi

Keterobservasian Indikator Performan

Ujicoba Utama Model

Asesmen

Validitas dan Reliabilitas

Model Asesmen

Gambar 2 Tahapan pengembangan model asesmen melalui rancangan R & D

Page 50: Disertasi 1(16-10-2010)

Penelitian dilakukan pada beberapa SMP di Jadebotabek baik Negeri maupun

Swasta sebagai sampel dari data penelitian, dan di UPI Bandung sebagai tempat

perancangan penelitian, pengembangan instrumen, analisis data, dan penyusunan

laporan penelitian. Sejak penyusunan proposal sampai dengan diselesaikannya

laporan, penelitian ini memerlukan waktu 18 bulan, mulai dari Agustus 2010

sampai dengan Januari 2012.

D. Subyek Penelitian

Subyek penelitian ini adalah siswa kelas 9 SMP pilihan di Jadebotabek

dengan karakter yang berbeda-beda atau heterogen.

E. Instrumen Penelitian

Variabel penelitian, instrumen, teknik validitas dan reliabilitas instrumen

dapat ditunjukkan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Variabel Penelitian, Instrumen, Teknik Validitas dan Reliabilitas Instrumen

Variabel Domain Jenis Instrumen Validitas ReliabilitasPenerapan asesmen pembelajaran IPA

Implementasi model asesmen pada pembelajaran IPA bagi siswa SMP dalam rangka Science for All

Angket Isi dan konstruksi

-

Efektifitas proses model asesmen pada pembelajaran IPA bagi siswa SMP dalam rangka Science for All

Rubrik (Kriteria Penilaian) e-portfolioSistem asesmen berupa template e-portfolio

Isi dan konstruksi

Isi dan konstruksi

Interrater of agreement (Garret et al., 2003).

Angket validasi rubrik dan template e-portfolio

Isi dan konstruksi

-

Tanggapan siswa Angket Isi dan Percentage of

41

Page 51: Disertasi 1(16-10-2010)

terhadap implementasi asesmen

konstruksi agreement(Grinnel, 1988)

Panduan wawancara

Isi dan konstruksi

-

Angket Isi dan konstruksi

-

Panduan wawancara

Isi dan konstruksi

-

Keunggulan dan kelemahan model asesmen pembelajaran IPA

Angket Isi dan konstruksi

Percentage of agreement(Grinnel, 1988)

Panduan wawancara

Isi dan konstruksi

-

Angket Isi dan konstruksi

-

Panduan wawancara

Isi dan konstruksi

-

F. Teknik analisis Data

Analisis data adalah masukan dari siswa dan pakar, dan hasil ujicoba terbatas

dilakukan secara deskriptif dengan menemukan/mengidentivikasi indikator-

indikator garadasi kriteria kualitas performan dari setiap butir model asesmen

yang sulit atau tidak pernah terobservasi. Analisis validitas dan reliabilitas model

asesmen dari hasil uji utama menggunakan rumus-rumus korelasi konsistensi

internal dari tipe skor uraian.

Untuk mendapatkan hasil penelitian yang baik, analisis validitas dan

reliabilitas di cari dengan cara menggunakan program EXCEL.

42

Page 52: Disertasi 1(16-10-2010)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Penyajian hasil penelitian dikelompokkan atas data untuk pengenbangan

program (hasil survey kebutuhan, masukan ahli terhadap kerangkan dasar

program, dan hasil uji coba tiga sampel program pembelajaran untuk kelas VII,

VIII, dan IX) dan hasil implementasi ketiga program pembelajaran. Data hasil

43

Page 53: Disertasi 1(16-10-2010)

penelitian dan penggunaannya sesuai dengan rancangan tahapan-tahapan

pengembangan dalam Bab III disajikan secara diagramatik dalam Gambar dalam

Gambar 4.1.

44

Page 54: Disertasi 1(16-10-2010)

Gambar 4.1. Langkah-langkah Pengembangan Program, Bentuk Data,

dan Penggunaannya

1. Data untuk Pengembangan Program

Program terdiri dari kerangka dasar program atau kurikulum dan tiga unit

sampel program pembelajaran. Kerangka dasar program pembelajaran aspek

Fisika berwawasan Science for All dirumuskan berdasarkan data hasil asesmen

kebutuhan masyarakat dan masukan ahli. Kemudian tiga unit sampel program

pembelajaran untuk siswa kelas VII, VIII, dan IX dengan strategi pembelajaran

yang merepresentasikan cirri belajar sains (sains sebagai proses, produk, dan

sikap) dikembangkan sesuai karakteristik isi sampel kemampuan dasar dan

rambu-rambu pengembangan dalam kerangka dasar program. Ketiga unit sampel

program pembelajaran diujicoba dan direvisi.

a. Hasil Asesmen Kebutuhan

Hasil asesmen kebutuhan terdiri dari hasil identifikasi kebutuhan kemampuan

dasar aspek fisika berwawasan Science for All dan kesenjangan pemenuhannya

dalam implementasi kurikulum 1994 yang sedang berlaku ketika studi disertasi

ini dirancang. Hasil identifikasi kebutuhan yang dilakukan melalui kajian pustaka

45

Page 55: Disertasi 1(16-10-2010)

dan survey jastifikasi oleh pihak-pihak yang berkepentingan (masyarakat) berupa

kebutuhan kemampuan dasar aspek fisika dan kemampuan lintas bidang sains

yang menguatkan kontribusi aspek fisika sebagai bagian integral dari sains dan

dapat diajarkan kepada siswa SMP. Identifikasi dilakukan melalui kajian pustaka

pendidikan “Science for All” dalam menemukan dan merumuskan butir-butir

kebutuhan (angket) yang kiranya cocok untuk masyarakat Indonesia, khususnya

masyarakat di daerah studi ini dikembangkan, dan kemudian jastifikasi butir-butir

kebutuhan dan teknik analisis data hasil survey sesuai dengan rancangan dalam

metodologi dalam Bab III.

1). Hasil Studi Literatur

Hasil studi literature dalam bagian ini berupa rangkuman dari hasil studi

literatur yang telah dipaparkan pada latar belakang penelitian dalam Bab I dan

pada kajian pustaka dalam Bab II. Kajian literature dipusatkan pada pengkajian

kesesuaian pandangan pendidikan Science for All sebagai pendidikan sains pada

jenjang sekolah wajib belajar dan identifikasi kemampuan-kemampuan aspek

fisika berwawasan Science for All untuk SMP dalam wajib belajar 9 tahun.

Kriteria pendidikan Science for All mengarahkan pada hak dan kewajiban

masyarakat dalam menguasai dan memanfaatkan sains untuk hidup dalam

masyarakat di zaman teknologi modern (masyarakat melek sains), serta kewajiban

pemerintah mewujudkannya melalui pendidikan public, terutama pada jenjang

sekolah wajib belajar. Kebutuhan pendidikan Science for All dengan sasaran

46

Page 56: Disertasi 1(16-10-2010)

masyarakat melek sains tidak dapat dihindari, jika masyarakat diharapkan dapat

hidup wajar dan berpartisipasi aktif dalam zaman sains dan teknologi. Sementara

pengetahuan masyarakat tentang aspek fisika sampai saat ini kurang.

Pemilihan isi sains (konsep dan proses) yang dasar dan esensial, serta

optimalisasi proses inkuiri dalam pembelajaran sains ditekankan dalam

pendidikan Science for All, karena lama waktu jenjang sekolah wajib belajar

relative sangat pendek jika dibandingkan dengan waktu yang diperlukan untuk

penguasaan seluruh sains dan teknologi yang terus berkembang dengan cepat.

Pendidikan Science for All juga menekankan pembinaan kebiasaan mental

(termasuk peningkatan apreasiasi terhadap sains) dan pemberdayaan kemampuan

lintas bidang lainnya, seperti penguasaan konsep-konsep dan proses-proses

pengait dalam belajar sains.

Rumusan-rumusan kebutuhan kemampuan aspek fisika yang ditawarkan

dalam penelitian ini diadaptasikan dari Benchmarks for Science Literacy

pendidikan Science for All (AAAS, 1993) dengan memperhatikan kondisi

pendidikan sains pada jenjang Pendidikan Dasar di Indonesia, khususnya di kota

Depok Jawa Barat. Rumusan-rumusan kemampuan-kemampuan dalam

pembelajaran aspek fisika (untuk SMP) dikelompokkan menjadi dua yaitu

kemampuan aspek fisika (angket Bagian A) dan kemampuan-kemampuan lintas

bidang yang dapat diakomodikasikan dalam pembelajaran aspek fisika (angket B).

Angket identifikasi kebutuhan untuk kedua bidang (Bagian A dan B). disajikan

dalam Lampiran 1.

47

Page 57: Disertasi 1(16-10-2010)

Angket kebutuhan kemampuan aspek fisika (Bagian A) terdiri dari 11

kemampuan dasar yang terdiri dari 41 butir sub-kemampuan lintas bidang dalam

MIPA (Bagian B) terdiri dari 4 kemampuan dasar yang terdiri dari 39 butir sub-

kemampuan. Butir-butir rumusan kemampuan aspek fisika (angket Bagian A)

dalam angket disesuaikan dengan tingkat kelas.

Sementara kemampuan-kemampuan dasar lintas bidang (angket Bagian B)

diorganisasikan dalam 1) Kebiasaan mental sains (berpikir kritis, berpikir kreatif,

dan kebiasaan dasar sains lainnya), 2) inkuiri atau kerja ilmiah, 3) proses dan

konsep pengait, dan 4) sains-teknologi-masyarakat (termasuk apresiasi terhadap

penemuan sains dan teknologi). Namun butir-butir kemampuan lintas bidang

tidak dirinci berdasarkan tingkat kelas, tetapi sepanjang jenjang program

pendidikan SMP (kelas VII – IX). Hal ini dilakukan dalam rangka fleksibilitas

keterampilan-keterampilan ini, sehingga sering dapat dilatihkan pada

pembelajaran kemampuan-kemampuan dasar sains yang dapat

mengakomodasikannya.

2). Hasil Survey Jastifikasi Kebutuhan Aspek Fisika

Kemampuan dasar dan rincian jumlah butir sub-kemampuan aspek fisika yang

dibutuhkan (B), tidfak dibutuhkan (TB), dan mendapat tanggapan berbeda (BD)

dari ketiga kelompok disajikan dalam table 4.1. Hasil dalam table meliputi hasil

yang direkam melalui angket dan juga hasil wawancara klarifikasi terhadap

sejumlah sampel responden tentang butir-butir sub-kemampuan yang belum

48

Page 58: Disertasi 1(16-10-2010)

diterima melalui angket (Terutama butir yang tidak mendapat kesamaan

tanggapan dari ketiga kelompok responden). Klarifikasi butir dalam wawancara

dilakukan melalui pemberian contoh kegunaan sehari-hari atau dalam masyarakat

dari butir kemampuan yang bersangkutan. Melalui angket, lebih dari 80% rincian

butir kemampuan aspek fisika (34 dari 41 butir) diterima secara signifikan tanpa

terjadi perbedaan respon antar kelompok responden pihak-pihak terkait. Lima dari

tujuh sub-kemampuan yang diklarifikasi lanjut diterima sebagai kebutuhan dan

dua sub-kebutuhan tetap ditolak.

Tiga butir kemampuan yang ditolak oleh ketiga kelompok melalui angket

adalah butir kemampuan mengenal letak unsur-unsur logam dan bukan logam

dalam table system periodic unsure-unsur (angket nomor 30), kemampuan

mengenal jumlah jenis zat penyusun suatu campuran (noda) dengan kromatografi

kertas atau lapis (angket nomor 16), dan kemampuan mengamati perubahan sifat

keasaman atau kebasaan dengan cara sederhana ( menggunakan kertas lakmus)

jika bahan asam dan basa dicampur (angket nomor 37).

Tabel 4.1. Distribusi Butir Kemampuan Aspek Fisika yang

Dibutuhkan (B),

Ditolak (TB), dan Tidak Mendapat Kesamaan

Tanggapan (BD)

49

Page 59: Disertasi 1(16-10-2010)

50

Page 60: Disertasi 1(16-10-2010)

Butir kemampuan aspek fisika nomor 30 (terkait dengan system periodik)

diputuskan untuk digugurkan tanpa diklarifikasi lebih lanjut. Kekhawatiran semua

pihak pada butir dapat diterima. Informasi yang tersimpan dalam table system

periodik unsure-unsur sangat banyak dan cenderung akan membuat siswa frustasi,

kartena siswa belum memiliki banyak pengetahuan dasar tentang kimia.

Walaupun pengetahuan tentang penentuan letak suatu unsur dalam system

periodik penting dalam mempermudah mempelajari unsure-unsur, pembuangan

pengetahuan ini tidak akan banyak berpengaruh terhadap efektivitas pencapaian

sasaran pembelajaran aspek fisika pada tingkat SMP. Pengenalan table system

periodik pada tingkat SMP cenderung sebagai pengayaan pengetahuan. Butir-butir

kemampuan lain yang telah disetujui, cukup membekali lulusan SMP untuk

mempelajari sendiri lambang-lambang unsure dan letaknya dalam system

periodik.

Dua butir kemampuan aspek fisika lainnya yang ditolak oleh ketiga kelompok

masih terkait dengan kemampuan aspek fisika lainnya yang diterima. Butir

kemampuan cara mengenal jumlah jenis zat penyusun suatu campuran (noda)

dengan kromatografi kertas/lapis tipis (butir no. 16) diperlukan untuk

51

Page 61: Disertasi 1(16-10-2010)

membedakan zat dan campuran tertentu secara cepat dan sederhana. Sedangkan

butir kemampuan mengamati perubahan sifat keasaman atau kebasaan dengan

cara sederhana (menggunakan kertas lakmus) jika bahan asam dan basa dicampur

(butir no. 37) sangat berguna dalam masyarakat, seperti penghilangan sifat

keasaman tanah dalam pertanian atau karang kitri, penawar sengatan serangga

yang bersifat asam atau basa , dan menetralkan sifat asam atau basa yang merusak

lainnya (banyak obat yang bekerja berdasarkan prinsip penetralan sifat asam atau

basa). Kemampuan ini juga terkait dengan kemampuan mengenal asam-basa yang

telah disetujui. Kedua butir kemampuan nomor 16 dan 37 diputuskan untuk

diklarifikasi melalui wawancara. Setelah diadakan klarifikasi, kedua butir

kemampuan ini disetujui oleh semua pihak.

Butir kemampuan aspek fisika tentang pemahaman pengertian/definisi

kecepatan reaksi atau memahami jumlah zat-zat yang bereaksi atau terbentuk

bergantung pada waktu (angket nomor 40) ditolak, tetapi terdapat perbedaan

pendapat secara signifikan pada ketiga kelompok responden. Kemampuan ini

terkait dengan kemampuan lain yang dianggap perlu yaitu kemampuan

mengetahui beberapa cara sederhana untuk mempercepat dan mempertlambat laju

reaksi yang berguna dalam kehidupan sehari-hari (seperti mencegah perkaratan

logam). Kemampuan ini cenderung ditolak oleh kelompok pendidik dan

pengguna, tetapi siswa cenderung menerima. Kemampuan ini juga diputuskan

untuk diklarifikasi lebih lanjut melalui wawncara. Ternyata butir kemampuan ini

tetap ditolak oleh responden. Karena pngertian laju reaksi sangat diperlukan

dalam memahami butir kemampuan lain yang disetujui (faktor-faktor yang

52

Page 62: Disertasi 1(16-10-2010)

mempengaruhi laju rekasi), maka butir ini tetap diprogramkan, tetapi hany pada

tingkat kualitatif.

Tiga butir kemampuan yang diterima secara signifikan tetapi tidak

mendapatkan kesamaan tanggapan dari ketiga kelompok responden. Ketiga butir

ini adalah kemampuan melakukan penggunaan kalorimeter dan termometer dan

penguapan (angket nomor 14), kemampuan melakukan pengambilan langsung

fase cair dari campuran yang tampak terpisah jelas atau melakukan dekantasi

(angket nomor 15), dan membedakan unsure dan senyawa melalui reaksi kimia

penguraian air dengan elektrolisis yang didukung oleh model partikel-pertikelnya

masing-masing (nomor 21).

Butir kemampuan nomor 14 dan 15 merupakan keterampilan kerja dasar

fisika dan juga kererampilan hidup (life skills) yang sangat sering dilakukan dalam

kehidupan sehari-hari. Butir nomor 14 cenderung ditolak oleh pihak siswa dan

butir nomor 15 cenderung ditolak oleh pihak pendidik. Baik pihak siswa maupun

pihak pendidik tampak kurang memahami dengan baik manfaat keterampilan-

keterampilan kerja dasar fisika dalam belajar fisika dan dalam kehidupan sehari-

hari.

Kemampuan aspek fisika nomor 21 yang masih diragukan (tentang

penguraian senyawa air dengan elektrolisis menjadi unsur-unsurnya yang

divisualisasi melalui model partikelnya) saling melengkapi dan memperkuat

dengan butir kemampuan nomor 20 yang telah diterima (tentang pembentukan

senyawa air dari reaksi antara unsure-unsur penyusunnya yang juga divisualisasi

melalui model partikelnya). Kemampuan menggunakan model partikel dalam

53

Page 63: Disertasi 1(16-10-2010)

memahami reaksi fisika pembentukan dan penguraian senyawa sangat diperlukan

dalam kemampuan membedakan unsur dan senyawa. Kedua kemampuan ini

merupakan kererampilan procedural yang diperlukan untuk mendefinisikan unsur

dan senyawa. Istilah unsur dan senyawa banyak digunakan dalam bidang sains

yang lain. Banyak miskonsepsi yang terkait dengan konsep-konsep ini terjadi

pada siswa SMA hingga perguruan tinggi (Kirna dan Sudria, 1998; Sudria dan

Wijayadi, 1999; Sudria dkk, 2000). Tanpa penunjukan fakta melalui pengetahuan

procedural ini, definisi unsur dan senyawa berupa hafalan. Definisi unsur dan

senyawa yang dihafal sangat membebani siswa, karena pemahaman unsur dan

senyawa hamper selalu digunakan dalam pembahasan fisika. Butir nomor 21

cenderung diterima oleh pendidik dan siswa, tetapi ditolak oleh pihak pengguna.

Pihak pengguna tampaknya mengkhawatirkan penggunaan alat yang berkesan

cukup rumit dan pembahasannya relative sulit untuk siswa SMP. Kekhawatiran

ini cukup beralasan, tetapi seperangkat alat elektrolisis yang siap pakai (pesawat

Hofman) cukup praktis digunakan.

Ketiga butir yang diterima tetapi tidak mendapat kesamaan tanggapan (butir

nomor 14, 15, dan 21) juga diputuskan untuk diklarifikasi lebih lanjut. Seletah

mendapat penjelasan yang lebih lengkap, ketiga pihak responden yang

diwawancari kemudian menyetujui kemampuan ini dimasukkan ke dalam

kerangka dasar program.

3). Hasil Survey Jastifikasi Kebutuhan Kemampuan Lintas Bidang Sains

54

Page 64: Disertasi 1(16-10-2010)

Kemampuan dasar dan rincian jumlah sub-kemampuan lintas bidang yang

dibutuhkan (B), ditolak (TB), tidak mendapat kesamaan tanggapan atau tanggapan

antar kelompok berbeda (BD), dan hasil klarifikasi disajikan dalam Tabel 4.2.

Tabel 4.2. Distribusi Butir Kemampuan Lintas Bidang MIPA yang

Dibutuhkan,

Ditolak, dan Tidak Mendapat Kesamaan Tanggapan

Sekitar 95% (37 dari 39 butir) kemampuan lintas bidang diterima secara

signifikan tanpa terjadi perbedaan respon antar kelompok pihak-pihak terkait.

Persetujuan yang sangat tinggi oleh pihak-pihak terkait juga ditunjukkan terhadap

kebutuhan kemampuan lintas bidang yang ditawarkan dalam pembelajaran aspek

55

Page 65: Disertasi 1(16-10-2010)

fisika untuk SMP. Masyarakat menyadari bahwa kemampuan-kemampuan lintas

bidang tersebut diperlukan dalam proses pembelajaran sains yang berkualitas.

Semua butir-butir tersebut diperlukan dalam pembelajaran proses sains dan sudah

gencar disosialisasikan dalam buku-buku sains dan media masa. Keterampilan

proses yang diindikasikan dalam kemampuan-kemampuan lintas bidang yang

belum efektif diimplementasi dalam kurikulum 1994 tetap dituntut oleh

masyarakat.

Hanya dua butir (5%) kemampuan lintas bidang yang tidak mendapat

kesamaan tanggapan. Kedua butir kemampuan itu adalah kemampuan

berkomunikasi menggunakan table, grafik, dan gambar atau peta (butir nomor 6)

dan kemampuan memahami kerja ilmiah sebagai upaya memahami temuan-

temuan baru atau perubahan-perubahan yang mungkin terjadi (butir nomor 18).

Kedua kemampuan ini cenderung ditolak oleh pihak siswa. Siswa tersebut tampak

kurang memahami maksud dari kedua butir nomor ini. Kedua kemampuan ini

setelah diklarifikasi melalui wawancara diterima oleh ketiga kelompok responden.

4). Pendapat Tambahan dari Responden

Pendapat responden dalam 4 butir pertanyaan terbuka tentang masalah-

masalah yang perlu ditambahkan lagi yaitu pengetahuan fisika (butir nomor 1),

keterampilan fisika (butir nomor 2), perubahan urutan pada tingkat kelas (butir

nomor 3), dan masalah-masalah lain (butir nomor 4) disajikan pada Tabel 4.3.

56

Page 66: Disertasi 1(16-10-2010)

Tabel 4.3. Pendapat Tambahan Responden terhadap Kebutuhan

Kemampuan

Aspek Fisika dalam 4 Butir Pertanyaan Terbuka

Sebagaian besar responden mengisi butir pertanyaan terbuka nomor 1 (66%)

dan 2 (58%). Sebaliknya, sebagian besar siswa tidak mengisi butir pertanyaan

nomor 3 sebanyak 71% dan butir nomor 4 sebanyak 75%. Responden yang tidak

mengisi (tidak memberikan pendapat tambahan) dapat diintepretasikan bahwa

mereka penganggap pendapatnya melalui pernyataan pilihan sudah cukup.

Sebagian besar pengetahuan (butir nomor 1) dan kererappilan fisika (butir

nomor 2) yang ditambahkan oleh secara implicit sudah terakomodasi dalam

tanggapan dalam butir-butir pernyataan pilihan. Sementara sebagian besar

responden tidak mengusulkan perubahan urutan kemampuan pada tingkat kelas.

Dengan demikian pertanyaan tambahan dalam butir pernyataan terbuka

menguatkan tanggapan responden yang positif dalam butir-butir pernyataan

pilihan. Masalah ini mengidentifikasikan bahwa secara keseluruhan, butir-butir

kemampuan aspek fisika dan aspek kemampuan lintas bidang yang ditawarkan

dalam bentuk respon pilihan (pertanyaan tertutup) sudah cukup memadai untuk

57

Page 67: Disertasi 1(16-10-2010)

jenjang sekolah wajib belajar SMP sehingga tidak perlu lagi menambahkan butir

kemampuan. Beberapa masukan lain dari responden diakomodasi dalam

penyempurnaan program.

Kebanyakan responden menyarankan penambahan pengetahuan fisika dalam

kehidupan sehari-hari atau masyarakat (32%) dan pengetahuan dasar fisika (25%).

Ini menunjukkan fisika semakin diperlukan oleh masyarakat. Mereka menyadari

untuk memahami fisika dalam kehidupan sehari-hari memerlukan pengetahuan

dan kererampilan dasar fisika awal minimal tertentu. Butir-butir kemampuan

dalam angket asesmen kebutuhan sesungguhnya sudah menekankan pada

penggunaan contoh-contoh konsep fisika yang dekat dengan kehidupan siswa,

walaupun terbatas pada contoh-contoh zat dan proses fisika yang sederhana.

Masalah ini sengaja dirancang karena siswa SMP masih sebagai pebelajar fisika

pemula dan kebanyakan fenomena fisika dalam kehidupan sehari-hari melibatkan

pengetahuan fisika yang kompleks. Penggunaan contoh-contoh zat dan proses

fisika yang kompleks dihindari untuk mencegah masalah yang mungkin

menurunkan motivasi siswa belajar fisika.

Beberapa (6%) responden pengguna lulusan SMP yaitu staf pengajar di

sekolah Menengah Kejuruan (SMK) (keterampilan rumah tangga) menginginkan

penambahan pengetahuan fisika lanjut seperti senyawa karbon, kimia di sekitar,

koloid dan suspense, makromolekul, asam-basa-garam dan dasar keahlian seperti

persamaan reaksi, ikatan kimia, dan hukum kekekalan massa. Masalah ini cukup

beralasan karena kemampuan fisika sangat diperlukan untuk menunjang profesi

kejuruan yang dikembangkan SMK tersebut. Masukan mereka diakomodasi hanya

58

Page 68: Disertasi 1(16-10-2010)

sebatas pengenalan reaksi kimia dan hokum kekekalan massa. Sementara ikatan

kimia belum dapat diprogramkan di SMP, tetapi istilah sebatas pengikat atom-

atom dalam molekul dapat dikenalkan dalam mengenalkan konsep dasar partikel

materi yang berupa molekul.

Kebanyakan responden juga menyarankan agar siswa diberi praktek teknologi

fisika sederhana dalam masyarakat (26% responden) dan latihan keterampilan

dasar fisika (22% responden) seperti penggunaan alat-alat fisika, membedakan

reaksi kimia dan perbahan fisika, dan mengenal zat kimia di sekitar. Saran ini

sudah diakomodasi dalam butir-butir kemampuan yang ditawarkan dan telah

disesuaikan dengan keberadaan pengetahuan dan pengembangan mental siswa

SMP, serta sedapat mungkin menggunakan alat-alat yang praktis atau

perangkat/rangkaian alat-alat dan pemilihan contoh-contoh bahan yang sederhana.

Hal ini dirancang untuk memperkecil tingkat kegagalan dalam menggunakan alat.

Sementara masukan untuk menambahkan pengetahuan kimia (oleh 9% responden)

dan praktek teknologi kimia yang agak lanjut (oleh 6 % responden) mungkin

dapat diakomodasi sebatas pengenalan oleh guru jika siswa sudah memiliki bekal

pengetahuan dasar minimal (misalnya di kelas III) dan tidak perlu dimasukkan

dalam program.

Pada pertanyaan terbuka butir nomor 3, sebagian besar responden tidak

mengusulkan perubahan urutan. Sembilan belas responden (29&) yang mengisi

menyarankan perubahan urutan dengan usulan yang sangat bervariasi. Dua belas

orang (16%) mengusulkan beberapa atau keseluruhan kemampuan aspek kimia

seperti kerja dasar kimia dipindahkan dari kelas VII ke kelas yang lebih tinggi

59

Page 69: Disertasi 1(16-10-2010)

(5%) dan beberapa usulan lain yang masing-masing diusulkan oleh 2-3%

responden. Kekhawatiran ini tampak dipengaruhi oleh persepsi kebanyakan orang

bahwa kerkja kimia harus selalu dilakukan di laboratorium dengan alat khusus

dan sering berbahaya. Dengan mempertimbangan kerumitan alat yang digunakan,

hanya keterampilan pemisahan dengan penyulingan dip[indah ke kelas VIII atau

IX (dapat disesuaikan dengan situasi sekolah). Kemampuan penyulingan

diakomodasi dalam kemampuan dasar memanfaatkan sifat-sifat fisika dan kimia

bahan dalam memahami proses alam dan kualitas bahan kebutuhan hidup. Apabila

sekolah tidak memiliki perangkat alat penyulingan, konsep destilasi dapat

dijelaskan dengan mengajak siswa mengamati penguapan dan pengembunan uap

air yang terjadi pada kegiatan memasak dengan system pengukusan.

Usulan pemindahan keterampilan dasar kerja kimia yang lain tidak dapat

dipenuhi. Latihan keterampilan dasar kerja kimia di kelas VII dirancang sebagai

pengenalan keterampilan-keterampilan dasar kerja kimia dengan memilih

pelibatan alat-alat dan proses-proses dasar yang sederhana dan kurang berbahaya.

Walaupun demikian, guru atau tutor diwajibkan membimbing dan mengawasi

agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diharapkan.

Keberatan terhadap pemindahan sebagian besar keterampilan kerja dasar

tersebut dari kelas VII ke kelas VIII atau IX didasarkan pada peranan

keterampilan ini yang tidak dapat diabaikan terutama dalam membedakan zat dan

campuran. Penggolongan materi ke dalam zat dan campuran melibatkan kajian

aspek makroskopis (objek dan proses kinkrit yang dapat diamati langsung).

Keterampilan menggolongkan materi ke dalam zat dan campuran berdasarkan

60

Page 70: Disertasi 1(16-10-2010)

sifayt makroskopis hendaknya secara optimal dilakukan sebelum penggolongan

materi ke dalam unsure, senyawa, dan campuran yang melibatkan kajian aspek

mikroskopis dan symbol-simbol kimia yang abstrak. Hal ini sangat penting bagi

pebelajar kimia pemula (SMP) sebelum mempelajari konsep kimia yang abstrak.

Pembinaan keterampilan kerja dasar kimia di atas memerlukan waktu yang

cukup lama. Sementara pembelajaran konsep-konsep kimia untuk kelas VIII dan

kelas IX secara bermakna memerlukan keterampilan kerja dasar kimia tersebut.

Jika keterampilan dasar tersebut diberikan di kelas VIII atau IX akan kurang

memberikan manfaat yang optimal dan alokasi waktu belajar yang tersedia di

kelas VIII dan IX tidak mencukupi.

Di pihak lain, 6% responden mengusulkan beberapa sub-kemampuan pindah

dari kelas yang tinggi ke kelas yang lebih rendah yaitu pengenalan asam-basa dari

kelas IX ke kelasa VII (3%) dan pembelajar unsure, senyawa, dan campuran

pindah dari kelas VIII ke kelas VII (3%). Hal ini sesuai dengan draft KBK 2002

(Diknas, 2002), namun keberatan terhadap penerimaan usulan ini. Pembel;ajaran

unsure dan senyawa dalam klasifikasi memerlukan keterampilan prasyarat kerja

dasar kimia yang dalam rancangan KBK 2002 tidak diberikan di kelas VII atau

sebelumnya. Demikian juga jika atom, molekul, dan klasifikasi materi (unsur,

senyawa, dan campuran) diberikan di kelas VII, maka materi pelajaran kimia di

kelas VII kan terlalu padat dan cenderung akan bersifat hafalan. Hal ini akan

sangat berat bagi siswa kelas VII sebagai awal mengenal pelajaran kimia secara

bermakna dan cenderung akan menurunkan minat belajar kimia.

61

Page 71: Disertasi 1(16-10-2010)

Usulan untuk pengenalan asam dipindahkan dari kelas XI ke kelas VII agar

bias menggunakan kimia lebih dini dapat diakomodasi sebatas pengamatan sifat

asam dan basa terhadap perubahan warna kertas lakmus atau bunga tertentu yang

dideminstrasikan pada pendahuluan (menegnal fakta kimia disekitar kita).

Sementara kajian asam-basa tetap dicanangkan lebih lanjut di kelas IX.

Hanya 16 orang (25%) yang mengisi hal lain-lain. Sebagian besar masukan-

masukan lain secara ekplisit dan inflisit diakomodasi oleh butir-butir kemampuan

yang dirumuskan dalam pertanyaan tertutup dalam angket dan sesuai rancangan

pengembang. Kekhawatiran 8% responden terhadap ketersediaan alat-alat

laboratorium dasar (seperti gelas kimia, tabung reaksi, pipit tetes, dan gelas ukur)

sudah umum ditemukan dalam laboratorium IPA SMP dan perlu dikenalkan pada

siswa. Di samping itu, kebanyakan alat-alat dan bahan percobaan tersebut dapat

diganti/dimodifikasi dengan alat-alat yang mudah ditemukan di sekitar/pasar,

kecuali alat untuk penyulingan. Kekhawatiran terhadap buku-buku dan scenario

pembelajaran diharapkan akan mulai dipenuhi melalui studi ini dan

pengembangan program sejenis lainnya.

5). Kesenjangan Pemenuhan Aspek Fisika dalam Kurikulum 1994

Kesenjangan kebutuhan kemampuan aspek kimia antara yang dibutuhkan

masyarakat (hasil survey) dan pemenuhannya dalam kurikulum 1994 disajikan

dalam kolom terakhir pada lampiran 2. Dari semua butir-butir kebutuhan

kemampuan dasar yang disetujui, hanya beberapa pengetahuan yang

62

Page 72: Disertasi 1(16-10-2010)

diprogramkan dalam kurikulum 1994 yakni 6 dari 39 butir kemampuan aspek

kimia yang disetujui (sekitar 15%). Pengetahuan asdpek kimia yang ditawarkan

dalam kurikulum IPA 1994: 1) partikel materi hanya terbatas pada atom, 2) massa

jenis, 3) titik didih, 4) susunan partikel padat, cair, dan gas, 5) pengaruh

pemanasan terhadap perubahan wujud, 6) unsure dan senyawa hanya sekedar

disinggung (hafalan) . Sementara kemampuan lintas biodang secara inflisit sudah

ditekankan dalam kurikulum 1994 melalui penggunaan keterampilan proses sains,

tetapi tidak secara ekplisit seprti yang dinyatakan dalam butir-butir kemampuan

lintas bidang dalam rancangan program dalam penelitian ini. Kebutuhan yang

diharapkan dan temuan kesenjangan tersebut kemudian digunakan sebagai dasar

untuk pengembangan program pembelajaran aspek kimia dalam studi ini.

b. Kerangka Dasar Program

Pengembangan kerangka dasar program melibatkan penyusunan draft awal,

pertimbangan ahli, dan revisi draft. Penyusunan draft awal kerangka dasar

program mengikuti tahap-tahap sebagai berikut.

Tahap 1 : Menetapkan kebutuhan atau tujuan yang secara signifikan diperlukan

berdasarkan hasil studi pustaka dan hasil survey.

Tahap 2 : Mengembangkan indicator kemampuan, menentukan materi pokok, dan

menentukan organisasi materi pelajaran.

Tahap 3 : Menetukan alternatif pendekatanm dan metode pembelajaran.

Tahap 4 : Merumuskan petunjuk asesmen pembelajaran.

Tahap 5 : Mengorganisasi komponen-komponen kerangka dasar program.

63

Page 73: Disertasi 1(16-10-2010)

Tahap 6 : Menyusun rambu-rambu penggunaan kerangka dasar program.

1). Draft Kerangka Dasar Program

Draft kerangka dasar program dikembangkan berdasarkan rumusan kebutuhan

kemampuan-kemampuan dasar yang direvisi berdasarkan hasil survey dan

dengan mempertimbangkan kesenjangan-kesenjangan dari hasil asesmen

kebutuhan. Pengembangan kerangka dasar program memperhatikan kajian

filsafat, sosiologi, dan psikologi pendidikan. Kajian ketiga bidang dalam

pengembangan kerangka dasar program sains aspek kimia berwawasan Science

for All dalam studi ini diilustrasikan dalam diagram Gambar 4.2.

Gambar 4.2. Rancangan Pengembangan Kerangka Dasar Program

Aspek Fisika Berwawasan Pendidikan Science for All.

Kerangka dasar program dikembangkan terdiri dari sejumlah ko,mponen.

Komponen-komponen kerangka dasar program adalah: a) rasional yang meliputi

landasan sosial budaya, filsafat/hakekat belajar dan mengajar sains, penyesuaian

program dengan perkembangan siswa, dan pengembangan profesionalisme; b)

pengertian aspek kimia sebagai bagiaan integral dari sains; c) fungsi dan tujuan

pembelajaran aspek kimia; d) criteria pemilihan materi program sains; e)

kemampuan dasar yang meliputi aspek kimia sesuai tingkat kelas dan lintas

bidang dalam matematika dan IPA secara keseluruhan jenjang SMP; f) materi

64

Page 74: Disertasi 1(16-10-2010)

pokok; g) pandangan dan strategi pembelajaran (pendekatan dan metode) ; h)

asesmen pembelajaran sains; i) rambu-rambu pengembangan pembelajaran.

2). Pertimbangan Pakar

Dalam expert judgment dilibatkan dua orang ahli pendidikan sains dan satu

orang ahli kurikulum. Kedua ahli pendidikan sains dimohon memberikan

penilaian dan pertimbangan terhadap program terutam dari bidang kajian

pedagogi dan isi sains. Sementara ahli kurikulum dimohon memberikan penilaian

danm pertimbangan terutama yterhadap prosedur poengembangan program.

Ketiga ahli dimohon membubuhkan penilaian dan saran-saran terhadap perbaikan

program pada lembar yang disediakan oleh pengembang. Di samping itu, kepada

ketiga ahli juga juga dilampirkan angket identifikasi kebutuhan untuk

mengakomodasi masukan dari pihak-pihak terkait tentang kemampuan dasar

aspek kimia dan kemampuan dasar lintas bidang yang perlu dilingkupi dalam

kerangka dasar program. Tiga contoh program yang mempresentasikan

pembelajaran sains sebagai produk dan proses juga dilampirkan.

Sesuai dengan harapan, masing-masing ahli memberikan penilaian dan

masukan-masukan sesuai bidang keahliannya dalam penyempurnaan kerangka

dasar program. Kedua pakar pendidikan sains mendukung sebagian besar isi dan

proses sains yang dikembangkan dan memberikan sejumlah masukan.

Rangkuman masukan dari pakar pendidikan dan kurikulum serta tindak lanjut

(solusi) pengembang disajikan dalam Tabel 4.4.

65

Page 75: Disertasi 1(16-10-2010)

Tabel 4.4. Masukan-Masukan Ahli Pendidikan dan Kurikulum dan

Tindak Lanjut

Revisi atau tindak lanjut (kolom 4 dalam table 4.4) terhadap kerangka dasar

dilakukan dengan mengakomodasi masukan dari tiga pakar. Kerangka dasar

program yang sudah direvisi disajikan pada lampiran 3.

Pakar kurikulum juga mempertanyakan cara mendorong guru agar mau dan

mampu mengadopsi inovasi hasil penelitian pnegembangan program ini. Pada

tingkat penelitian ini, kakhawatiran ini sudah diantisipasi dengan merancang

penggunaan tim mengajar antara peneliti/pengembang dan guru dalam

mengimplementasikan rancangan program pembelajaran. Sementara masalah

desiminasi dan adopsi merupakan upaya lebih jauh seperti melalui pelatihan guru

atau penugasan dosen pendidikan sains yang berkolaborasi dengan guru dalam

bentuk academic staf deployment (ASD) perguruan tinggi ke SMP. Masalah

adopsi ini di luar permasalah penelitian ini atau masalah penelitian lebih lanjut.

Karakteristik dan organisasi isi aspek kimia (kompetensi mata pelajaran sains

tentang materi dan sifatnya) dalam kerangka dasar program/kurikulum yang

dikembangkan dalam studi ini cukup berbeda dengan yang dikembangkan dalam

kurikulum 2004., Beberapa perbedaan utama tersebut disajikan dalam Tabel 4.5.

66

Page 76: Disertasi 1(16-10-2010)

Tabel 4.5. Karakteristik dan Organisasi Isi Aspek Fisika dalam

Kerangka Dasar

Yang dikembangkan dalam Studi ini dan dalam Kurikulum

2004

Kerangka dasar program yang dikembangkan dalam studi ini juga dilengkapi

dengan analisis konsep terhadap konsep-konsep kimia untuk SMP (Lampiran 4).

Analisis konsep akan memperkecil kemungkinan terjadinya miskonsepsi atau

67

Page 77: Disertasi 1(16-10-2010)

penyimpangan dalam pengembangan unit-unit program pembelajaran untuk

implementasi.

c. Unit-Unit Program Pembelajaran

Tiga unit sampel draft program pembelajaran aspek kimia masing-masing

satu untuk kelas VII, VIII, dan IX dikembangkan dengan mengacu pada isi dan

rambu-rambu pengembangan dalam kerangka dasar program. Masing-masing

draft diujicobakan pada satu kelas yang sesuai (kelas VII, VIII, dan IX) di satu

sekolah yang dijadikan sampel uji coba program. Masing-masing draft program

pembelajaran kemudian direvisi berdasarkan temuan-temuan hasil uji coba.

1). Draft Program Pembelajaran

Ketiga program pembelajaran meliputi sejumlah sampel kemampuan dasar.

Kriteria pemilihan sa,mpel kemampuan dasar untuk dikembangkan dalam ketiga

unit pembelajaran di kelas sebagai berikut.

a) Kemampuan merupakan lkecakapan hidup dan atau bersifat sangat dasar.

b) Melatih siswa mempelajari konsep kimia sesuai karakteristik aspek kimia

yakni meliputi belajar aspek kimia makroskopis, mikroskopis, dan symbol-

simbol dengan proporsi kedalaman sesuai dengan tingkat kelas.

c) Pentahapan tingkat komplekan konsep-konsep yang dipelajari siswa sesuai

dengan perkembangan kognitif siswa.

68

Page 78: Disertasi 1(16-10-2010)

d) Pembinaan kemampuan lintas bidang sains.

e) Pengoptimalan penggunaan keterampilan proses melalui pemilihan,

pendekatan, dan metode pembelajaran.

Dalam upaya merepresentasikan variasi pendekatandan metode pembelajaran

yang cocok dan saling melengkapi dalam pembelajarana sains, serta

menyesuaikan dengan karakteristik sasaran kemampuan maka dipilih tiga variasi

program pembelajaran. Masing-masing program pembelajaran mempunyai

rasional teoritik, outcome (sasaran) belajar yang diharapkan, prosedur

instruksional, dan lingkungan belajar dalam pencapaian outcome (Arends, 1997).

Keempat komponen isi tersebut sebagai ciri dari masing-masing program

pembelajaran disajikan dalam Tabel 4.6.

Tabel 4.6. Rasional, Sasaran, Prosedur Instruksional, dan Lingkungan

atau

Suasana Belajar dalam Masing-masing Sampel Program

Pembelajaran.

Komponen-komponen utama dan langkah-langkah umum pengembangan

rancangan pembelajaran diadaptasikan dari model pengembangan Dick & Carey

(1985) dan disajikan secara diagramatik pada gambar 4.3. Perbedaan dari ketiga

unit program pembelajaran terutama terletak pada pendekatan, metode

pembelajaran, organisasi pembelajaran, dan perlengkapan pembelajaran yang

69

Page 79: Disertasi 1(16-10-2010)

mendukung LKS atau perbedaan model LKS. Masing-masing program

pembelajaran disajikan pada (Lampiran 5 sub A, B, dan C).

Rancangan pembelajaran berisi komponen-komponen rancangan yaitu

kemampuan dasar, konsep, hasil belajar dan indicator hasil belajar, kemampuan

lintas bidang yang diakomodasikan, materi pokok, target, dan bentuk asesmen

belajar. Rancangan pembelajaran juga mengindikasikan keterkaitan hubungan

antara komponen.

70

Page 80: Disertasi 1(16-10-2010)

Gambar 4.3. Model Pengembangan RTancangan Pembelajaran Aspek

Kimia

Berwawasan Science for All untuk SMP (Diadaptasikan

dari Dick &

Carey, 1989).

Kemampuan dasar (aspek kimia dan lintas bidang), indicator hasil belajar, dan

materi pokok diambil dari rumusan kemampuan dasar dalam kerangka dasar

program yang akan dikembangkan. Kemampuan/sub-kemampuan lintas bidang

sains yang diakomodasikan pada pembelajaran setiap kemampuan/sub-

kemampuan aspek kimia dinyatakan secara eksplisit dalam rancangan unit

program pembelajaran. Suatu kemampuan/sub-kemampuan lintas bidang sedapat

mungkin sering dilatihkan/diprogramkan dan sesuai untuk diakomodasikan pada

kemampuan/sub-kemampuan dasar aspek kimia yang diprogramkan, serta sesuai

dengan alokasi waktu yang tersedia.

Pengembangan program pembelajaran aspek kimia untuk SMP

mempertimbangkan karakteristik siswa dan konteks kebutuhan. Karakteristik

siswa SMP yaitu: 1) siswa berada pada fase kognitif peralihan dari fase

operasional formal (umumnya mengalami perkembangan kognitif yang tajam); 2)

71

Page 81: Disertasi 1(16-10-2010)

siswa belum memiliki konsep dasar tentang kimia (baru mengenal beberapa gejala

kimia secara terbatas); dan 3) juga sedang mengalami pertumbuhan fisik yang

cepat. Konteks kemampuan sains yang diajarkan adalah bekal kebutuhan hidup di

zaman teknologi modern yakni kemampuan sains yang dasar dan esensial.

Demikian juga konteks belajar aspek kimia secara bermakna melibatkan

keterkaitan kajian aspek makroskopis, mikroskopis, dan symbol kimia.

Karakteristik siswa SMP dan konteks pembelajaran aspek kimia yang demikian

akan mewarnai rancangan pembelajaran aspek kimia yang dikembangkan dalam

studi ini yakni studi pembelajaran yang dirancang secara bertahap dengan

mempertimbangkan tingkat perkembangan kognitif siswa, berkonteks life skills,

dan sesuai dengan karakteristik perkembangan pembelajaran aspek kimia

(terutama pengenalan aspek mikroskopis dan symbol dimulai dari contoh-contoh

sederhan).

Instrumen asesmen yang dikembangkan menggunakan multi bentuk asesmen

yang disesuaikan sesuai dengan target asesmen. Indikator hasil dalam kerangka

dasar program untuk kemampuan dasar yang akan dikembangkan dan

digolongkan menjadi target-target yang lebih spesifik. Target dan bentuk asesmen

mengikuti penggolongan yang dikembangkan oleh Stiggins (1994). Target

digolongkan atas pengetahuan, penalaran skill, produk, dan sikap. Sementara

asesmen meliputi respon pilihan (selected respons), bentuk uraian (esay), kinerja

(performance), dan komunikasi personal (personal communication). Target,

bentuk, dan instrumen asesmen belajar dinyatakan secara eksplisit sebagai

komponen dari rancangan program.\Sejumlah jenis instrumen asesmen belajar

72

Page 82: Disertasi 1(16-10-2010)

digunakan dalam studi ini yaitu tes (bentuk pilihan dan uraian), rubric penilaian

kinerja (skill, produk praktikum/eksperimen, dan komunikasi personal), dokumen

jurnal hasil kegiatan dalam lembar kerja (LKS) yang meliputi lembar diskusi,

lembar tugas-tugas perorangan dan kelompok, dan angket pembelajaran.

Pengembangan instrument sesuai dengan kisi-kisi asesmen.

Strategi pembelajaran meliputi pendekatan dan metode pembelajaran yang

digunakan. Strategi pembelajaran sedapat mungkin mempresentasikan

karakteristik sains (khususnya aspek kimia) terutama sebagai proses. Pendekatan

dan metode yang dipilih dalam unit program pembelajaran secara optimal

disesuaikan dengan karakteristik kemampuan yang diajarkan, konteks materi

pelajaran, dan kemungkinan pengalaman yang telah dimiliki siswa. Beberapa

pendekatan pembelajaran yang dipilih adalah inkuiri dan diskoveri terbimbing dan

sains-teknologi-masyarakat. Sementara beberapa metode pembelajaran yang

dipilih adalah metode kerja laboratorium, interaktif computer, dan proyek sains.

Bahan ajar atau materi pelajaran dikembangkan dari materi pokok dalam

kerangka dasar program sesuai dengan kemampuan dasar yang dikembangkan.

Bahan ajar berisi deskripsi konsep-konsep dan prinsip-prinsip penting sebagai

materi pelajaran untuk pencapaian tujuan/kemampuan yang diharapkan pada

siswa. Karena materi pelajaran aspek kimia jarang ditemukan pada buku-buku

pelajaran sains untuk SMP yang beredar, bahan ajar diberi uraian lebih panjang

dalam bentuk informasi pada akhir setiap kegiatan dalam LKS rancangan unit

program pembelajaran 1 (untuk kelas VII) dan pada bagian akhir LKS untuk

rancangan program pembelajaran 2 dan 3 (kelas VIII dan IX). Organisasi sajian

73

Page 83: Disertasi 1(16-10-2010)

informasi tersebut secara bertahap melatih siswa untuk menemukan informasi

sendiri.

LKS diperbanyak dan dibagikan kepada setiap siswa. Secara umum LKS dari

setiap unit program pembelajaran berisi pengantar (arahan kegiatan dalam LKS)

dan rangkaian kegiatan sesuai dengan judul-judul kegiatan. Rangkaian kegiatan

pada setiap judul kegiatan secara umum berisi rumusan masalah, daftar alat dan

bahan, langkah-langkah kerja atau diskusi, lembar pencatatan data hasil

pengamatan/diskusi, pertanyaan dan ruang untuk penulisan jawaban, dan ruang

untuk menulis kesimpulan. Dalam LKS program pembelajaran 1, siswa membuat

simpulan hasil kegiatan/pengamatan dengan mengisi kata-kata yang dihilangkan

dalam kerangka kalimat simpulan. Hal ini dimaksudkan untuk member latihan

terbimbing kepada siswa yang belum bias mebuat rumusan simpulan dari hasil

pengamatan, mengingat siswa SMP kelas VII berasal dari sekolah dasar yang

mempunyai latar belakang pengalaman kerja sains yang bervariasi. Sementara

dalam program pembelajaran 2 dan 3, siswa membuat rumusan simpulan sendiri

pada beberapa kegiatan.

2). Uji coba dan Revisi Rancangan Program Pembelajaran

Masing-masing rancangan program pembelajaran diujicoba pada satu kelas

sesuai dengan tingkat kelas yang dirancang yakni program pembelajaran aspek

makroskopis suhu dan kalor berbasis laboratorium pada siswa kelas VII (41)

orang; program pembelajaran unsur, senyawa, dan campuran berbasis interaktif

74

Page 84: Disertasi 1(16-10-2010)

computer pada siswa kelas VIII (44 orang); dan program pembelajaran

pemanfaatan sifat-sifat kimia dan fisika berbasis proyek sains pada siswa kelas IX

(41 orang). Analisis terhadap hasil ujicoba efektivitas dan kelengkapan program

dilakukan secara deskriptif. Revisi terhadap rancangan program pembelajaran

didasarkan pada temuan dalam ujicoba. Revisi pada tahapan ini diharapkan dapat

menghindari kesalahan konsep maupun prosedural yang penting.

Uji coba program pembelajaran juga meliputi uji coba instrumen asesmen

yang juga sebagai instrumen penelitian untuk menganalisis reliabilitas tes dan

konsistensi internal tiap butir soal sebagai pengambil data utama dan menjajaki

visibelitas penggunaan beberapa instrumen lain sebagai pengambil data

pendukung. Namun teknik analisis validitas dan reliabilitas instrumen dibahas

dalam bagian instrumen penelitian.

Hasil uji coba secara keseluruhan cukup baik. Sebagian besar komponen

rancangan program pembelajaran dan prosedur implementasinya sudah memadai.

Beberapa temuan kekuranga dan kendala dalam uji coba digunakan dasar untuk

menyempurnakan program p[embelajaran yang bersangkutan.

Strategi penyajian informasi tentang konsep-konsep secara keseluruhan pada

bagian akhir LKS pada siswa kelas VII yang semula dimaksudkan untuk

mengoptimalkan kreatifitas/inisiatif siswa dalam pemanfaatan sumber pustaka dan

untuk menyajikan keutuhan jalinan konsep, kurang terlaksana dengan baik.

Sampai dengan pertemuan praktikum ketiga, sebagian besar siswa kelas VII

belum memanfaatkan/ mencari sendiri informasi tentang konsep-konsep yang

dibahas pada bagian akhir LKS, walaupun sudah beberapa kali

75

Page 85: Disertasi 1(16-10-2010)

diberitahukan/diarahkan. Untuk mengatasi masalah ini, revisi terhadap strategi

penyajian informasi dilakukan dengan memecah informasi-informasi tersebut dan

mencantumkan masing-masing pada bagian akhir prosedur kerja sub-kegiatan

praktikum konsep yang bersangkutan (setela komponen simpulan). Pengubahan

strategi demikian tidak dilakukan pada penyajian informasi dalam program

pembelajaran 2 dan 3 untuk kelas VIII dan IX, karena pada pertemuan ketiga

sebagian besar siswa sudah cukup tanggap memanfaatkan informasi terkait yang

disajikan pada bagian akhir LKS.

Penugasan siswa untuk membuat sendiri rancangan percobaan penghilanagan

noda/kotoran pada kain dengan menggunakan air dan minyak tanah dalam

rancangan program pembelajaran 1 (kelas VII) dibatalkan, karena memerlukan

bimbingan yang sangat intensif sementara waktu yang tersedia tidak mencukupi

(waktu yang direncanakan 12 x 40 menit). Dari hasil wawancara dan penjajakan

kemampuan awal perancangan kegiatan ditemukan bahwa siswa belum pernah

dilibatkan/dilatih dalam membuat rancangan percobaan (eksperimen). Kegiatan

penghilangan noda dengan air dan minyak tanah dilakukan, tetapi dengan kegiatan

percobaan secara terbimbing.

Indikator kemampuan menjelaskan kontribusi penemuan sains (penggolongan

materi kedalam unsur, senyawa, dan campuran) terhadap perkembangan sains,

teknologi, dan masyarakat untuk program 2 (kelas VIII) yang dirancang melalui

diskusi dibatalkan. Dalam uji coba proses ini kurang berjalan baik (aktivitas siswa

jauh dari yang diharapkan). Isi pelajaran atau penggolongan materi atas unsur,

senyawa, dan campuran dalam program ini (kelas VIII) baru pada tahap

76

Page 86: Disertasi 1(16-10-2010)

pembelajaran awal (pengenalan) dan masih memerlukan pengayaan. Siswa masih

sulit menganalisis kegunaannya atau peranannya dalam perkembangan sains,

teknologi, dan masyarakat (budaya). Pengakomodasian kemampuan lintas bidang

tersebut dalam pembelajaran aspek kimia penggolongan materi ke dalam unsur,

senyawa, dan campuran di kelas VIII masih belum efektif dan masih punya

peluang dikembangkan pada kemampuan aspek kimia lain seperti dalam

pembelajaran reaksi kimia di kelas VIII semester 2 (setelah pembelajaran unsur,

senyawa, dan campuran) dan penemuan reaksi kimia dalam aki (sel volta) di kelas

IX.

Teknik pengkomunikasian hasil kegiatan proyek sains (kerja ilmiah) yang

dicanangkan hanya melalui presentasi verbal di depan kelas oleh kelompok

sebagai sarana tukar menukar hasil temuan proyek antar kelompok, ternyata

kurang efektif. Penyaji hanya membacakan hasil temuan di depan kelas (sarana

presentasi melalui OHP dalam beberapa tahun ke depan masih kurang di SMP).

Pendengar (kelompok lain) cenderung agak ribut dan kurang konsentrasi

mendengarkan presentasi siswa di depan kelas, karena sebelum presentasi, siswa

(audien) kurang mempunyai gambaran tentang materi yang akan dipresentasikan.

Mereka tidak mengerjakan proyek yang dikerjakan kelompok lain. Untuk

mengefektifkan komunikasi, teknik pengkomunikasina diubah menggunakan

pajangan poster hasil proyek selama seminggu pada dinding kelas. Selama itu,

dengan menggunakancwaktu di luar jam pelajaran, siswa secara perorangan

ditugaskan mencari minimal tiga informasi dari poster kelompok lain dan

membuat minimal tiga pertanyaan permohonan klarifikasi terhadap hal yang

77

Page 87: Disertasi 1(16-10-2010)

ditemukan kurang jelas pada poster. Untuk menjajaki kemampuan penyajian hasil

secara verbal, prtesentasi hasil proyek (poster) secara oral di depan kelas tetap

dilakukan setelah poster dipajang seminggu pada dinding.

Rancangan ketiga program pembelajaran yang telah direvisi disajikan dalam

lampiran 5 (sub A, B, dan C). Kisi-kisi asesmen dan instrumen asesmen belajar

masing-masing disajikan pada lampiran 6 (sub A, B, dan C) dan lampiran 7 (sub

A, B, dan C).

2. Hasil Implementasi Program Pembelajaran

Data hasil implementasi masing-masing program pembelajaran yang

dikembangkan terdiri dari skor kemampuan aspek kimia dan kemampuan lintas

bidang sains. Semua kemampuan aspek kimia direkam melalui pretes dan postes.

Sementara hanya sebagian dari keseluruhan kemampuan lintas bidang sains yang

dikembangkan direkam melalui pretes dan postes dalam satu program

pembelajaran. Namun secara keseluruhan kemampuan lintas bidang sains yang

dikembangkan dalam ketiga program pembelajaran, semua kemampuan lintas

bidang terwakili dalam materi pretes dan postes.

Sebagian kemampuan/sub-kemampuan lintas bidang dalam masing-masing

rancangan pembelajaran, terutama yang tidak direkam dalam pretes dan postes,

direkam menggunakan rubrik penilaian, jurnal hasil kegiatan, dan tugas selama

pembelajaran. Asesmen selama proses pembelajaran terbatas pada kemampuan

secara kelompok, kecuali beberapa hal yang berupa tugas rumah pengayaan secara

78

Page 88: Disertasi 1(16-10-2010)

perorangan. Sejumlah momenn suasana siswa mengikuti pembelajaran (foto)

dalam masing-masing program pembelajaran dan tanggapan siswa tehadap

program pembelajaran juga berhasil direkam.

Data hasil pretes dan postes dianalisis secara statistik sampel berpasangan

dengan t-tes (untuk data yang berdistribusi normal) dan z Wilcoxon (untuk data

yang berdistrribusi tidak normal) untuk menentukan signifikansi perolehan hasil

belajar siswa secara keseluruhan maupun per sub-kemampuan. Di samping itu

rerata skor postes dari setiap kemampuan juga dideskripsikan untuk

menggambarkan tingkat penguasaan kemampuan itu pada akhir pembelajaran.

Sementara aktivitas dan kemampuan lintas bidang selama pembelajaran serta

tanggapan siswa terhadap implementasi program pembelajaran dianalisis secara

deskriptif.

a. Skor Penguasaan Aspek Fisika

Rerata skor pretes, postes, dan gain score yang ternormalisasi (normalized

gain score atau NGS), serta harga hasil penghitungan t-tes (untuk data

berdistribusi normal) atau z Wilcoxon (untuk data berdistribusi tidak normal) dari

beda skor pretes-postes untuk masing-masing kemampuan/sub-kemampuan

maupun secara keseluruhan aspek kimia untuk setiap program dari ketiga program

pembelajaran disajikan secara terpisah sebagai berikut.

79

Page 89: Disertasi 1(16-10-2010)

1). Pembelajaran Suhu dan Kalor Berbasis Kegiatan Laboratorium pada

Siswa Kelas VII

Rerata skor dan hasil analisis skor kemampuan atau sub-kemampuan aspek

fisika yang dikembangkan dalam program pembelajaran suhu dan kalor berbasis

laboratorium pada siswa kelas VII disajikan dalam Tabel 4.7.

Hasil uji normalitas menunjukkan 7 dari 12 sub-kemampuan mempunyai skor

pretes dan atau postes berdistribusi normal (diuji dengan t-tes) dan lima sub-

kemampuan lagi memperoleh skor berdistribusi tidak normal yang diuji dengan z

Wilcoxon (kolom 5). Kebanyakan ketidaknormalan distribusi skor sub-

kemampuan terjadi pada skor pretes (Lampiran 9 sub A). Namun skor total

keseluruhan kemampuan berdistribusi normal. Taraf signifikansi harga t-tes atau

z hasil perhitungan untuk setiap sub-kemampuan disajikan dalam kolom 6 dan

keterangan keberartian harga t dan z pada taraf signifikansi 0,05 dicantumkan

dalam kolom 7.

Tabel 4.7. Rerata dan Hasil Analisis Skor Kemampuan Aspek Fisika

dalam

Pembelajaran Suhu dan Kalor pada Kelas VII SMPN1

80

Page 90: Disertasi 1(16-10-2010)

Hasil analisis statistik perolehan belajar (peningkatan skor postes terhadap

skor pretes) dalam kolom 5, 6, dan 7 menunjukkan bahwa implementasi program

pembelajaran mampu membawa siswa untuk mencapai perolehan belajar secara

signifikan pada taraf signifikansi 0,05 untuk semua sub-kemampuan yang

dikembangkan. Rerata normalizad gain score sebesar 0,42 (42% dari peningkatan

ideal atau peningkatan untuk mencapai nilai sepuluh). Rerata skor pretes adalah

sangat rendah (2,37). Sementara rerata skor postes tergolong cukup (5,94).

Hampir semua sub-kemampuan memperoleh rerata skor penguasaan awal

atau pretes (kolom) tergolong sangat kurang (rerata < 4,0). Hanya satu dari 12

sub-kemampuan (8%) yang memperoleh rerata skor 4,15 (kurang) yaitu sub-

kemampuan membedakan suhu dan kalor melalui fakta hasil pengukuran suhu

secara sederhana berdasarkan perbedaan sifat fisik zat-zat yang diperkirakan

menyusun bahan. Sebelas sub-kemampuan yang lain (92%) memperoleh skor

awal kurang dari 4,0 (sangat kurang).

Sembilan dari 12 sub-kemampuan (75%) memperoleh rerata skor dengan

kategori cukup ke atas (≥ 5,5). Kesembilan sub-kemampuan ini yaitu

membedakan penampakan materi atau bahan homogen atau, heterogen, sebuah

sub-kemampuan penguasaan konsep membedakan suhu dan kalor berdasarkan

fakta hasil pengukuran dengan cara kimia secara sederhana, empat sub-

kemampuan dasar kerja fisika pengukuran suhu dan kalor, dan tiga buah sub-

81

Page 91: Disertasi 1(16-10-2010)

kemampuan dasar fisika tentang proses penggunaan Kalorimeter dan Termometer.

Tiga sub-kemampuan (25%) memperoleh rerata skor postes masih dalam kategori

kurang (antara 4,0 – 5,4) yaitu sub-kemampuan pengukuran suhu dan kalor

dengan Kalorimeter dan Termometer (4,47), menghitung kadar zat dalam

pengukuran (5,11), dan mencegah atau mengurangi masalh dalam penggunaan

alat Kalorimeter dan Termometer (5,04).

2). Pembelajaran Suhu dan Kalor Berbasis Kegiatan Laboratorium pada

Siswa Kelas VII

3). Pembelajaran Berbasis Proyek Sains tentang Fisika dalam Masyarakat

b. Skor Penguasaan Kemampuan Lintas Bidang

1). Hasil Asesmen Kemampuan Lintas Bidang Melalui Pretes dan Postes

82

Page 92: Disertasi 1(16-10-2010)

2). Hasil Asesmen Kemampuan Lintas Bidang selama Orises Pembelajaran

c. Suasana dalam Pembelajaran

Suasan dalam pembelaran untuk masing-masing program pembelajaran cukup

baik. Beberapa foto momen suasana siswa mengikuti pelajaran (lampiran 10)

mengindikasikan bahwa siswa tampak antusias dan senang mengikuti

pembelajaran. Siswa tidak terlihat tertekan dalam mengikuti pembelajaran. Hal ini

juga dirasakan oleh pengembang saat mengobservasi suasana di sekolah terkait

dengan penerapan program pembelajaran. Setelah beberapa kali pembelajaran

dilakukan, banyak siswa dari kelas (terutama kelas VII dan VIII) yang tidak diajar

berharap mendapatkan pembelajaran dengan model yang dikembangkan.

3. Tanggapan Siswa terhadap Program Pembelajaran

Tanggapan siswa (subyek implementasi) terhadap masing-masing program

pembelajaran direkam melalui seperangkat angket untuk masing-masing unit

program pembelajaran. Masing-masing angket terdiri dari sejumlah pernyataan

utama dalam utama dalam bentuk butir-butir pilihan dan sebuah butir pertanyaan

83

Page 93: Disertasi 1(16-10-2010)

terbuka tentang komentar tambahan yang belum tercakup dalam butir-butir

pernyataan pilihan.

a. Tanggapan Siswa melalui Butir Pernyataan Pilihan

Respon disediakan dalam lima bentuk pilihan terhadap pernyataan yaitu

sangat tidak setuju (STS), tidak setuju (TS), biasa-biasa saja/ragu (R), Setuju (S),

dan sangat setuju (SS). Dalam pengolahan dalamdata kelima, kajian dipusatkan

pada respon dalam bentuk kategori tidak setuju atau TS (mencakup sangat tidak

setuju dan tidak setuju) dan siswa yang setuju S (mencakup setuju dan sangat

setuju) terhadap masing-masing aspek tersebut (Tabel 4.13 ). Sementara

presentase

b. Komentar Tambahan

Tidak semua siswa mengisi butir pernyataan tambahan terbuka. Hanya 33 dari

41 orang subyek dalam model pembelajaran 1 (kelas VII), 29 dari 38 orang

subyek dalam model pembelajaran 2 (kelas VIII), dan 33 dari 48 orang subyek

dalam model pembelajaran 3 yang mengisi pernyataan tambahan. Pendapat

tambahan dari ketiga model disampaikan dalam tabel 4.9 pendapat

dikelompokkan atas tanggapan positif dan negatif.

Tabel 4.14. Komentar Tambahan dari Siswa

84

Page 94: Disertasi 1(16-10-2010)

* Keterangan :

- presentase dari 33 orang siswa yang mengisi pernyataan terbuka untuk program 1 (kelas

VII).

- presentase dari 29 orang siswa yang mengisi pernyataan terbuka untuk program 2 (kelas

VIII).

Secara umum pendapat tambahan dari siswa subyek implementasi program

terhadap masing-masing program pembelajaran adalah positif. Hampir semua

pendapat siswa positif terhadap aspek pembelajaran makroskopis zat campuran

berbasis kegiatan laboratorium pada siswa kelas VII dan pembelajaran unsure,

senyawa, dan campuran pada kelas VIII. Untuk kelas IX, meskipun sebagian

besar pendapat siswa positif terhadap pembelajaran kimia dalam masyarakat

berbasis kegiatan proyek sains, siswa mengajukan beberapa keluhan. Siswa

menyatakan bahwa pembelajaran menyita waktu persiapan ujian akhir sekolah

(11,6% atau 5 orang) dan tugas terlalu banyak (9,3% atau 4 orang), tetapi mereka

berterimakasih dibimbing mempelajari kimia. Di samping itu, ada dua kritik

terhadap proses pembelajaran yaitu: penjelasan cepat, tetapi berterimakasih

(9,3%); dan penjel;asan dan tugas/pertanyaan sangat jauh (tinggi/sulit), sehingga

siswa kurang mengerti (7%).

c. Suasana dalam Pembelajaran

85

Page 95: Disertasi 1(16-10-2010)

Suasana dalam pembelajaran untuk masing-masing program pembelajaran

cukup baik. Beberapa foto momen suasana siswa mengikuti pelajaran (Lampiran

10) mengindikasika bahwa siswa tampak antusias dan senang mengikuti

pembelajarana. Siswa tidak terlihat tertekan dalam mengikuti pembelajaran. Hal

in dirasakan juga oleh pengembang saat mengobservasi suasana di sekolah terkait

dengan penerapan program pembelajaran. Setelaha beberapa kali pembelajaran

dilakukan, banyak siswa dari kelas (terutama kelas VII dan VIII) yang tidak diajar

berharap mendapatkan pembelajaran dengan model yang dikembangkan.

4. Kendala-kendala yang dialami selama Implementasi Program

Berbagai kendala dalam implementasi program secara keseluruhan untuk

kelas VII, VIII, dan IX yang dialami dapat dikelompokkan atas kendala-kendala

yang dapat diantisipasi dalam pelaksdanaan penelitian ini dan kendala di luar

kemampuan pengelola sekolah danguru-guru. Kendala-kendala dalam

pelaksanaan penelitian dapat diatasi melalui bantuan pengelola sekolah dan kerja

sama guru-guru.

Beberapa kendala ditemukan yang dapat diantisipasi dalam penelitian ini dan

memerlukan perhatian lebih lanjut dari pengelola sekolah dan guru-guru jika

program yang dikembangkan dalam penelitian ini akan diadopsi. Kendala-kendala

tersebut, yaitu: 1) jadwal pelajaran kimia yang mengalokasikan waktu pelajaran

kimia belum ada; 2) teks/buku pelajaran sains yang menyajikan pembelajaran

kemampuan aspek kimia sesuai dengan perkembangan fase kognitif dan

86

Page 96: Disertasi 1(16-10-2010)

pengalaman siswa SMP belum tersedia di pasaran: 3) belum tersedianya tenaga

laboran yang membantu guru untuk mempersiapkan pelaksanaan

praktikum/eksperimen di laboratorium sekolah apabila beban guru mengajar yang

padat masih terus berlangsung dan pengaturan jadwal masih konvensional; 4)

kemampuan guru mengajarkan aspek kimia belum memadai; 5) media dan

bimbingan dari staf pendidik untuk pengembangan dan penyaluran inovasi kreatif

belajar sains seperti ruang poster dinding untuk karya-karya ilmiah masih sangat

kurang. Beberapa kendala ini dapat diantisipasi dengan: 1) membatasi jumlah

sampel penelitian masing-masing pada satu kelas untuk siswa kelas VII, VIII, dan

IX; 2) penyediaan kelengkapan pembelajaran seperti menyajikan teks rangkuman

pelajaran dalam LKS; 3) kolaborasi peeliti dengan guru dalam bentuk tim

mengajar, sosialisasi, diskusi, dan pembagian peran dalam pembelajaran.

Kendala-kendala yang memerlukan pemecahan dengan melibatkan kolaborasi

dari instansi-instansi terkait lebih lanjut: 1) latihan inservice dalam peningkatan

kemampuan guru-guru mengajarkan kemampuan aspek kimia yang berwawasan

sains untuk kebutuhan masyarakat di SMP; 2) pengadaan variasi buku pelajaran

aspek kimia sebagai sumber bacaan yang sesuai dengan perkembangan kognitif

dan pengalaman belajar siswa SMP; dan 3) rekrutmen guru sains khususnya

pendidik sains aspek kimia yang professional untuk SMP.

B. Pembahasan

Pengembangan program pembelajaran aspek kimia ini berwawasan Scince for

All. Isi program adalah aspek kimia dfasar dan esensial, serta mengakomodasi

87

Page 97: Disertasi 1(16-10-2010)

kemampuan lintas bidang sains. Dalam bentuk demikian, pendidikan sains secara

komprehensif yang memenuhi harapan Science for All dalam rangka masyarakat

melek sains (Rutherford & Algreen, 1990; AAAS, 1993) dapat diupayakan. Tiga

model pembelajaran sains yang dikembangkan (model berbasis kegiatan

laboratorium, berbasis kegiatan interaktif komputer, dan )

BAB V

KESIMPULAN, REKOMENDASI, DAN SARAN

A. Kesimpulan

Aspek kimia dalam rangka pendidikan Science for All dapat diajarkan secara

bermakna pada siswa SMP. Program dan kualitas pendidikan aspek kimia di SMP

sebagai jenjang pendidikan tertinggi dalam program sekolah wajib belajar

sembilan tahun, sangat penting dalam rangka membekali lulusan SMP

88

Page 98: Disertasi 1(16-10-2010)

(masyarakat), terutama pada lulusan yang tidak melanjutkan ke SMA. Isi aspek

kimia SMP harus sangat dasar dan esensial, serta sesuai dengan perkembangan

kognitif dan pengalaman sisiwa dalam aspek belajar kimia.

Pengembangan program pembelajaran kimia berwawasan Science for All

menggunakan prosedur penelitian dan pengembangan (research & development).

Prosedur meliputi asesmen kebutuhan yang melibatkan studi literature dan

justifikasi kebutuhan kemampuan oleh pihak penyelenggara, siswa, dan pengguna

lulusan SMP; pengembangan draft produk (kerangka dasar dan sejumlah unit

sampel program pembelajaran); masukan ahli, dan revisi draft; dan uji produk.

Isi belajar aspek kimia berwawasan Science for All meliputi kemampuan

aspek kimia dan kemampuan lintas bidang sains. Sebelas kemampuan dasar aspek

kimia dan enam kemampuan dasar lintas bidang sains untuk SMP berhasil

diidentifikasi. Tiga sampel dari sebelas kebutuhan kemampuan dasar yang secara

keseluruhan mengakomodasi keenam kemampuan lintas bidang tersebut berhasil

diimplementasi di kelas yaitu: (1) memanfaatkan sifat-sifat konkret (makroskopis)

zat dan campuran dalam kehidupan sehari-hari untuk kelas VI; (2) membedakan

zat, unsur, senyawa, dan campuran melalui aspek makroskopis, mikroskopis, dan

symbol kimia untuk kelas VIII; dan (3) memanfaatkan sifat-sifat fisika dan kimia

bahan dalam memahami proses alam dan kualitas bahan kebutuhan hidup untuk

siswa kelas IX. Keenam kemampuan lintas bidang adalah: (1) kebiasaan dasar

sains; (2) kemampuan berpikir kritis; (3) kemampuan berpikir kreatif; (4)

kemampuan menggunakan konsep-konsep dan proses-proses pengait; (5) kerja

ilmiah; dan (6) kemampuan sains-teknologi-masyarakat.

89

Page 99: Disertasi 1(16-10-2010)

Isi program berhasil diorganisasikan dalam kerangka dasar program

berwawasan pendidikan Science for All. Kerangka dasar program terdiri dari: (a)

rasional; (b) pengertian aspek kimia sebagai bagian integral dari sains; (c) fungsi

dan tujuan pembelajaran aspek kimia; (d) kriteria pemilihan materi sains; (e)

kemampuan dasar yang terdiri dari kemampuan dasar aspek kimia dan

kemampuan dasar lintas bidang sains serta indikator-indikatornya; (f) materi

pokok; (g) pandangan, pendekatan, dan metode pembelajaran; (h) asesmen

pembelajaran; dan (i) rambu-rambu pengembangan pembelajaran. Kerangka dasar

program dilengkapi dengan analisis konsep-konsep kimia. Kemampuan-

kemampuan aspek kimia diorganisasikan sesuai dengan tingkatan kelas.

Sedangkan kemampuan-kemampuan lintas bidang dicanangkan selama jenjang

(tidak dispesifikasi berdasarkan tingkat kelas). Organisasi materi aspek kimia

sesuai dengan perkembangan kognitif siswa dan ciri-ciri perkembangan belajar

aspek kimia khususnya bagi pemula.

Kerangka dasar program dapat memfasilitasi pengembangan unit-unit

program pembelajaran sesuai karakteristik kemampuan dasar yang dikembangkan.

Tiga unit sampel program pembelajaran aspek kimia (untuk kelas VII, VIII, dan

IX) dengan variasi strategi pembelajaran yang disesuaikan dengan karakteristik

kemampuan dasar dan perkembangan siswa berhasil dikembangkan dan

diimplementasikan secara efektif. Ketiga unit program pembelajaran tersebut

ialah: (1) pembelajaran berbasis aspek makroskopis atau konkret zat dan

campuran berbasis kegiatan laboratorium untuk kelas VII; (2) pembelajaran unsur,

senyawa dan campuran yang melibatkan aspek mikroskopis, simbol, dan

90

Page 100: Disertasi 1(16-10-2010)

makroskopis berbasis kegiatan interaktif komputer untuk kelas VIII; dan (3) aspek

kimia dalam masyarakat berbasis kegiatan proyek sains untuk kelas IX. Ketiga

unit secara keseluruhan mampu mengakomodasi keenam kemampuan litas bidang

yang dikembangkan.

Keberadaan proses pembelajaran dalam implementasi model pembelajaran

berwawasan Science for All dalam penelitian ini cukup baik. Setelah dilatih dan

dengan bantuan peneliti, guru IPA SMP dapat menerapkan model pembelajaran

dengan baik. Strategi pembelajaran dalam masing-masing unit pembelajaran

terlaksana dengan efektif. Asesmen proses dan hasil pembelajaran berhasil

dengan baik dilakukan dengan menggunakan multi bentuk asesmen. Alat-alat dan

bahan-bahan praktikum atau eksperimen mudah didapat dan mencukupi.

Penggunaan alat-alat rumah tangga sebagai pengganti alat-alat praktikum

dimungkinkan. Siswa cukup senang dan sungguh-sungguh mengikuti

pembelajaran.

Siswa mencapai perolehan belajar (gain score) secara signifikan pada semua

sub-kemampuan aspek kimia maupun kemampuan lintas bidang sains yang

diakomodasikan ke dalam tiga sampel kemampuan dasar aspek kimia. Rerata skor

penguasaan aspek kimia maupun kemampuan lintas bidang pada ketiga model

meningkat dari rerata skor pre-test dengan kategori sangat kurang hingga

mencapai rerata skor post-test dengan kategori cukup. Ada sejumlah sub-

kemampuan aspek kimia yang relatif sulit bagi siswa (rerata skor post-test belum

mencapai cukup), yaitu pemahaman pemisahan zat dengan kromatografi kertas

(kelas VII), membedakan lambang unsur atau lambang atom dengan rumus kimia

91

Page 101: Disertasi 1(16-10-2010)

unsure, hubungan reaksi kimia dengan perubahan partikel materi (kelas VIII),

melakukan perhitungan dasar (membagi dengan bilangan pecahan atau decimal

bagi siswa kelas VII), dan meramal dari informasi terbatas.\

Aspek-aspek pembelajaran yang dikembangkan dalam ketiga model

berwawasan Science for All mendapat dukungan positif dari siswa. Siswa merasa

memerlukan pengetahuan dan kemampuan aspek kimia yang dikembangkan.

Sebagian siswa senang dan sungguh-sungguh mengkuti kegiatan belajar yang

dirancang.

Keunggulan prosedur pengembangan program pembelajaran berwawasan

Science for All adalah mengarahkan pada pemilihan prioritas isi sains aspek kimia

yang dasar dan esensial sesuai dengan perkembangan siswa, pengakomodasian

kemampuan-kemampuan lintas bidang dalam sains yang berkontribusi

mutualistik, pembelajaran sains yang kontekstual, pelatihan kemampuan inkuiri

sains yang telah terbukti membawa percepatan kemajuan dalam pemahaman

sains. Sementara keterbatasan prosedur pengembangan program pembelajaran ini

adalah menuntut banyak persiapan dan komitmen terutama dari guru/

pengembang, kemampuan/ sub-kemampuan lintas bidang kurang efektif

diakomodasi lengkap dalam satu unit (satuan) rancangan pembelajaran, masih

cukup banyak sub-kemampuan lintas bidang sains yang hanya diobservasi/ dinilai

selama proses pembelajaran secara kelompok (karena alokasi waktu sangat

terbatas), dan menuntut guru yang professional.

B. Rekomendasi

92

Page 102: Disertasi 1(16-10-2010)

C. Saran

Bertolak dari pembahasan dan kesimpulan hasil penelitian di atas sejumlah

saran diajukan kepada siswa, guru, dan institusi penyelenggara pendidikan, dan

pengembang/ peneliti. Alokasi sisa waktu jenjang sekolah wajib yang sangat

pendek (terakhir sampai SMP) semsetinya dimanfaatkan secara optimal oleh

semua pihak untuk membekali kemampuan aspek kimia yang dasar dan berguna

terutama untuk lulusan yang tidak melanjutkan studi ke jenjang SMA/ setingkat.

Siswa SMP sebagai pemula dalam belajar kimia secara bermakna perlu

mengenal cirri-ciri dan cara belajar kimia yang baik. Siswa kelas VII (yang baru

mulai belajar kimia secara bermakna) hendaknya berusaha menguasai konsep-

konsep zat dan campuran yang melibatkan aspek makroskopis (gejala konkret)

dengan contoh-contoh bahan murni yang sudah dikenal dan bahan campuran yang

mudah dipisahkan, melatih beberapa kemampuan kerja dasar kimia seperti dalam

program pembelajaran untuk kelas VII penelitian ini. Praktek-praktek pengayaan

kerja dasar kimia serupa dapat dilakukan sendiri di luar kelas. Selanjutnya, siswa

perlu mempelajari dengan baik penggolongan materi (unsur, senyawa, dan

campuran) yang melibatkan keterkaitan kajian aspek makroskopis, mikroskopis,

dan simbolik secara bertahap dengan contoh-contoh materi yang tersusun dari zat-

zat dengan rumus kimia sederhana seperti dalam program pembelajaran untuk

kelas VIII dalam penelitian ini. Pengetahuan dan kemampuan kerja dasar tersebut

sangat membantu keberhasilan mempelajari kimia dalam masyarakat.

93

Page 103: Disertasi 1(16-10-2010)

Banyak hal yang hendaknya disiapkan oleh guru dan penyelenggara

pendidikan sains (aspek kimia pada khususnya) yang berwawasan SFA untuk

siswa SMP. Guru hendaknya menyiapkan semua perangkat pembelajaran,

terutama rancangan isi dan model pembelajaran dan instrumen-instrumen asesmen

yang berwawasan SFA sebelum pembelajaran. Guru mengembangkan kolaborasi

antarguru dalam bentuk tim mengajar atau dengan pendidik dari perguruan tinggi

kependidikan, misalnya dalam bentuk Academic Staff Deployment (ASD) dalam

pengembangan rancangan pembelajaran dan efektivitas penerapan multi bentuk

asesmen. Menyediakan atau mengarahkan sumber-sumber belajar berkualitas

(terutama buku-buku dasar tentang kimia yang memperhatikan perkembangan

kognitif dan pengalaman belajar siswa) dan kontekstual. Program in-service

terhadap guru secara berkelanjutan baik dari inisiatif guru maupun departemen

terus dikembangkan.

Masih banyak hal yang harus dilakukan dalam mewujudkan masyarakat

melek sains sebagai tuntutan hidup dalam zaman sains dan teknolgi modern.

Peneliti dapat: (1) melanjutkan pengembangan unit-unit rancangan pembelajaran

kemampuan-kemampuan dasar aspek kimia berwawasan Science for All dalam

kerangka program yang dikembangkan dalam studi ini; (2) mengembangkan

model pembelajaran yang mengakomodasi kemampuan-kamampuan litas bidang

sains secara lebih komprehensif terutama mengembangkan teknik pelaksanaan

multi bentuk asesmen yang lebih merepresentasikan kemampuan individu, baik

selama proses pembelajaran maupun setelah pembelajaran (ujian performance);

dan (3) menyusun buku pegangan belajar untuk siswa dan buku pedoman guru

94

Page 104: Disertasi 1(16-10-2010)

dengan memperhatikan perkembangan kognitif dan pengalaman belajar sains

(khususnya aspek kimia) siswa SMP dan pengoptimalan pelatihan yang

merangsang siswa untuk melakukan inkuiri sains dan pemberdayaan kemampuan-

kemampuan lintas bidang sains (termasuk matematikan dan teknologi) dengan

prinsip mutualistis dalam rangka melek sains.

DAFTAR PUSTAKA

Aikenhead S.G. and Ryan A.G. (1992). The development of a new instrument: Views on Science-Technology-Society” (VOSTS), Science Education, 76, 477–491.

American Association for the Advancement of Science (AAAS) (1993), Benchmarks for science Literacy, New York, Oxford University Press.

American Association for the Advancement of Science. (1993). Benchmarks for Science Literacy: Project 2061. New York : Oxford University Press.

Backer S., Mathematical and scientific literacy in PISA: The OECD program for international student assessment. In: O. De Jong, E.R. Savelsbegh, and A. Albas (Eds.)(2001), Teaching for scientific literacy: context, competency,

95

Page 105: Disertasi 1(16-10-2010)

and curriculum, Proceedings of the 2nd international Utrecht/ICASE symposium, Utrecht, The Netherlands.

Biological Science Curriculum Studies (BSCS), (1993), Developing biological literacy, Dubuque, IA: Kendall Hunt Publishing Company, 1–25.

Bybee, R.W., (1997), Achieving scientific literacy: from purposes to practices, Portsmouth, NH, Heinmann Publishing, 82–86.

Borg, W.R. & Gall, M.D. (1989). Educational Research. Fifth Edition. New York: Longman.

Brady, L. (1990). Curriculum Development. Third Edition. Sydney: Prentice Hall.

Champagne A. and Newell S.T., (1992), Directions for research and development: alternative methods of assessing scientific literacy, Journal of Research in Science Teaching, 29, 841–860.

Champagne A., (1997), Assessment of science literacy standards: assessment in the service of education, Proceedings of a symposium – Globalization of science education – International conference on science education moving towards science education standards, Seoul, Korea.

Champagne A.B. and Kouba V.L., (1998), Literacy in the National Science and Mathematics Standards: communication and reasoning, Albany, NY, Center of English Learning and Achievement.

Duschl R. and Osborne J., (2002), Supporting and promoting argumentation discourse in science education, Studies in Science Education, 39–72.

Fensham P.J. and Harlen W., (1999), School science and public understanding of science, International Journal of Science Education, 21, 755–763.

Goodrum, D., Hackling, M., & Rennie, L. (2001). The status and quality of teaching and learning of science in Australian schools. Canberra: Department of Education, Training and Youth Affairs.

Grinnel, Jr., R. M. (1988). Social Work Research and Evaluation. Illionis: F.E. Peacock Pub. Inc.

Hackling, M. W., Goodrum, D., & Rennie, L. (2001). The state of science in Australian secondary schools. Australian Science Teachers Journal, 47(4), 6–17.

Hancock, N.I. (2003). Meeting the Challenger : Conducting a Comprehensive Needs Assessment for Title I, Part C. Tersedia:

96

Page 106: Disertasi 1(16-10-2010)

http://www.gov.on.ca/OMAFRA/english/rural/facts/89-127.html [20–02–2008]

Kaufman, R.A. (1972). Educational System Planning. Engelewood NJ: Prentice Hall.

Korpan C.A., Bisnaz G.L. and Bisnaz J., (1997), Assessing literacy in science: evaluation of scientific new briefs, Science Education, 81, 515–532.

Laugksch R.C. and Spargo P.E., (1996a), Development of a pool of scientific

literacy test-items based on selected AAAS literacy goals, Science Education, 80, 121–143.

Laugksch R.C. and Spargo P.E., (1996b), Scientific literacy test items, Cape Town, SA: University of Cape Town.

Laugksch, R. C. (2000). Scientific literacy: A conceptual overview. Science Education, (1), 71–94.

McDuell, B. (1986). Physics 1–3 Foundation Skills for 11–14 Year olds (Study Aids). London: Charles Letts & Co Ltd.

Norris S.P. and Philips L.M., (1994), Interpreting pragmatic meaning when reading popular reports on science, Journal of Research in Science Teaching, 31, 947-967.

Norris S.P. and Phillips L.M., (2003), How literacy in its fundamental sense is central to scientific literacy, Science Education, 87, 224-240.

OECD (1999). Programme for International Student Assessment. Measuring student knowledge and skills: A new framework for assessment. Paris: OECD.

OECD/UNESCO-UIS (2003). Programme for International Student Assessment. M Literacy Skills for the World of Tomorrow-Further Results From PISA 2000 Paris: OECD.

OECD (2004). Programme for International Student Assessment. Learning for Tomorrow’s World First Results from PISA 2003. Paris: OECD.

OECD (2007). Programme for International Student Assessment. PISA 2006 Science competencies for tomorrow’s world. Paris: OECD.

Poedjiadi, A. (2005a). Pendidikan Sains dan Pembangunan Moral Bangsa. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

97

Page 107: Disertasi 1(16-10-2010)

Print, M. (1993). Curriculum Development. Second Edition. Malaysia: Allen dan Unwin Pty Ltd.

Pella M.O., (1976), The place of function of science for a literate citizenry. Science Education, 60, 97-101.

Phillips L.M. and Norris S.P., (1999), Interpreting popular reports of science: what happens when the readers’ world meets the world on paper?, International Journal of Science Education, 21, 317-327.

Puspendik, (2009). Ujian Nasional 2008/2009. Tersedia: http://puspendik.info/v4/index.php?option=com_content&view=frontpage&Itemid=200001&lang=id [05 Mei 2010]

Rutherford, F.J. and Ahlgren, A. (1990). Science for All American. New York: Oxford University Press.

Scribner S. (1986). Literacy in three metaphors. In N. Stein (Ed.) Literacy in American Schools: learning to read and write, pp 7-22, Chicago, IL: University of Chicago Press.

Shamos M.H. (1995). The myth of scientific literacy, New Brunswick, NJ: Rutgers University Press.

Shen B. (1975). Science literacy and the public understanding of science, In S.B Day (Ed.), Communication of scientific Information, Basel: Karger, AG.

Simon S., Erduran S. and Osborne J. (2006). Learning to teach argumentation: research and development in the science classroom, International Journal of Science Education, 28, 235-260.

Stiggins, R.J. (1994). Student – Centered Classroom Assessment. New York: McMillan Collage Publishing Company.

Wenning, C.J. (2006). Assessing nature-of-science literacy as one component of scientific literacy. Journal of Physics Teacher Education Online. 3(4), Summer, 3-14.

Wenning, C.J. (2007). Assessing inquiry skills a component of scientific literacy. Journal of Physics Teacher Education Online. 4(2), Winter, 21-24.

Wandersee J.H. (1988). Ways students read text, Journal of Research in Science Teaching, 25, 69-84.

Yager, R.E. (Ed). (1992). International Council of Associations for Science Education–ICASE Yearbook–The Status of Science–Technology–Society

98

Page 108: Disertasi 1(16-10-2010)

Reforms Effort Around the World. Washington: National Science Teacher Association.

Zuzovsky R. (1997). Assessing scientific and technological literacy among sixth graders in Israel. Studies in Educational Evaluation. 23, 231-256.

99