DINAMIKA PEMBELAJARAN KURIKULUM 2013 SEKOLAH …

17
41 DINAMIKA PEMBELAJARAN KURIKULUM 2013 SEKOLAH MENENGAH ATAS DI KOTA KENDARI (2013-2019) LEARNING DYNAMICS OF 2013 CURRICULUM FOR SENIOR HIGH SCHOOL IN KENDARI CITY (2013-2019) Sahajuddin Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan Jalan Sultan Alauddin/ Tala Salapang Km. 7 Makassar, 90221 Telepon (0411) 885119, 883748, Faksimile (0411) 865166 Pos-el: [email protected] Handphone: 081342630331 Diterima: 01 April 2020; Direvisi: 09 Mei 2020; Disetujui: 01 Juni 2020 ABSTRACT This article aims to describe the learning dynamics of 2013 Curriculum for senior high schools in Kendari City related to this curriculum implementation, the importance of partnership-based learning, and the learning ideality. The method used is the historical method with an oral history approach. The study results indicate that the implementation of 2013 Curriculum-based learning for senior high schools level in Kendari City has not been maximally implemented from two schools that were used as case studies. The causes vary, such as, ineffective socialization because it is concerned with the completion of the program rather than the substance; too many assessment systems, thus the modification of local government policies are less, and other issues, even though they are already in process with their dynamics. Meanwhile, there are also a creative initiative from the school through MGMP and School Committees, but they are not consistently sustainable. The both institutions contributed and were able to minimize the 2013 Curriculum problems, although not all problems were able to be solved because of their limited rights and authorities. Therefore, the 2013 Curriculum needs improvement and development, as well as the fulfillment of teacher competencies before teaching. Keywords: dynamics, learning, 2013 Curriculum, partnership, and ideality. ABSTRAK Artikel ini bertujuan untuk menguraikan tentang dinamika pembelajaran Kurikulum 2013 Sekolah Menengah Atas (SMA) di Kota Kendari terkait dengan penerapan kurikulum tersebut, pentingnya pembelajaran yang berbasis kemitraan, dan idealitas pembelajaran. Metode yang digunakan adalah metode sejarah dengan pendekatan sejarah lisan. Hasil kajian menunjukkan bahwa pelaksanaan pembelajaran berdasarkan Kurikulum 2013 di tingkat SMA di Kota Kendari belum terlaksana secara maksimal dari dua sekolah yang dijadikan studi kasus. Penyebabnya bermacam-macam, antara lain: sosialisasi yang kurang efektif karena mementingkan penyelesaian program dari pada substansinya; sistem penilaian yang terlalu banyak, sehingga syarat modifikasi kebijakan pemerintah daerah kurang maksimal, dan persoalan lainnya, walaupun sudah berproses dengan dinamikanya. Sementara itu, terdapat pula inisiatif yang kreatif dari pihak sekolah melalui MGMP dan Komite Sekolah, namun belum berkesinambungan secara konsisten. Kedua lembaga ini berkontribusi dan mampu meminimalisasi persoalan Kurikulum 2013, walaupun tidak semua persoalan mampu diselesaikan karena dibatasi oleh hak dan kewenangannya. Oleh sebab itu, Kurikulum 2013 ini perlu pembenahan dan pengembangan, serta pemenuhan kompetensi guru sebelum bertugas. Kata Kunci: dinamika, pembelajaran, Kurikulum 2013, kemitraan, dan idealitas.

Transcript of DINAMIKA PEMBELAJARAN KURIKULUM 2013 SEKOLAH …

Page 1: DINAMIKA PEMBELAJARAN KURIKULUM 2013 SEKOLAH …

41

WALASUJI Volume 11, No. 1, Juni 2020:

DINAMIKA PEMBELAJARAN KURIKULUM 2013 SEKOLAH MENENGAH ATAS DI KOTA KENDARI (2013-2019)

LEARNING DYNAMICS OF 2013 CURRICULUM FOR SENIOR HIGH SCHOOL IN KENDARI CITY (2013-2019)

SahajuddinBalai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan

Jalan Sultan Alauddin/ Tala Salapang Km. 7 Makassar, 90221Telepon (0411) 885119, 883748, Faksimile (0411) 865166

Pos-el: [email protected]: 081342630331

Diterima: 01 April 2020; Direvisi: 09 Mei 2020; Disetujui: 01 Juni 2020

ABSTRACTThis article aims to describe the learning dynamics of 2013 Curriculum for senior high schools in Kendari City related to this curriculum implementation, the importance of partnership-based learning, and the learning ideality. The method used is the historical method with an oral history approach. The study results indicate that the implementation of 2013 Curriculum-based learning for senior high schools level in Kendari City has not been maximally implemented from two schools that were used as case studies. The causes vary, such as, ineffective socialization because it is concerned with the completion of the program rather than the substance; too many assessment systems, thus the modification of local government policies are less, and other issues, even though they are already in process with their dynamics. Meanwhile, there are also a creative initiative from the school through MGMP and School Committees, but they are not consistently sustainable. The both institutions contributed and were able to minimize the 2013 Curriculum problems, although not all problems were able to be solved because of their limited rights and authorities. Therefore, the 2013 Curriculum needs improvement and development, as well as the fulfillment of teacher competencies before teaching.

Keywords: dynamics, learning, 2013 Curriculum, partnership, and ideality.

ABSTRAK

Artikel ini bertujuan untuk menguraikan tentang dinamika pembelajaran Kurikulum 2013 Sekolah Menengah Atas (SMA) di Kota Kendari terkait dengan penerapan kurikulum tersebut, pentingnya pembelajaran yang berbasis kemitraan, dan idealitas pembelajaran. Metode yang digunakan adalah metode sejarah dengan pendekatan sejarah lisan. Hasil kajian menunjukkan bahwa pelaksanaan pembelajaran berdasarkan Kurikulum 2013 di tingkat SMA di Kota Kendari belum terlaksana secara maksimal dari dua sekolah yang dijadikan studi kasus. Penyebabnya bermacam-macam, antara lain: sosialisasi yang kurang efektif karena mementingkan penyelesaian program dari pada substansinya; sistem penilaian yang terlalu banyak, sehingga syarat modifikasi kebijakan pemerintah daerah kurang maksimal, dan persoalan lainnya, walaupun sudah berproses dengan dinamikanya. Sementara itu, terdapat pula inisiatif yang kreatif dari pihak sekolah melalui MGMP dan Komite Sekolah, namun belum berkesinambungan secara konsisten. Kedua lembaga ini berkontribusi dan mampu meminimalisasi persoalan Kurikulum 2013, walaupun tidak semua persoalan mampu diselesaikan karena dibatasi oleh hak dan kewenangannya. Oleh sebab itu, Kurikulum 2013 ini perlu pembenahan dan pengembangan, serta pemenuhan kompetensi guru sebelum bertugas.

Kata Kunci: dinamika, pembelajaran, Kurikulum 2013, kemitraan, dan idealitas.

Page 2: DINAMIKA PEMBELAJARAN KURIKULUM 2013 SEKOLAH …

42

WALASUJI Volume 11, No. 1, Juni 2020:

PENDAHULUAN

Pendidikan merupakan suatu konsep ilmu pengetahuan yang terencana secara sadar dari suatu ketidaktahuan menjadi tahu. Konsep itu dipercaya sebagai jalan untuk membentuk pribadi peserta didik. Diharapkan dapat bernilai secara spritual, sosial, pengetahuan, keterampilan dan dapat berpartisipasi dalam pembangunan. Hal itu sesuai dengan sistem pendidikan nasional yang diarahkan agar siswa dapat berprestasi secara kognitif, efektif dan psikomotor (Tilaar, 2011: 252). Tiga (3) kemampuan itu menjadi target idealitas pendidikan sebagaimana yang tersurat dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Bab I, Pasal 1 tentang “Ketentuan Umum” yang menyatakan bahwa “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran, agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya, memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan untuk dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”.

Meskipun demikian, idealitas itu kadang tidak sejalan dengan kenyataan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari karena banyaknya persoalan-persoalan yang mengitari sistem pendidikan Indonesia. Selain itu, masih banyak pekerjaan rumah yang belum terselesaikan dari semua stakeholder terkait dalam sistem pendidikan. Ditambah lagi dengan perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) yang begitu cepat. Mengharuskan komponen-komponen atau unsur-unsur pendidikan seperti guru, siswa, tujuan, bahan ajar, kegiatan belajar, metode, alat, sumber belajar, dan evaluasi (Syaiful dan Aswan, 2010: 16) harus bergerak cepat secara terencana dan tepat sasaran. Jika ukuran idealnya dipakai sebagai cita-cita mewujudkan manusia yang hebat dan tangguh, maka itu boleh-boleh saja, tetapi dalam tataran praktek, hal itu masih dianggap sebagai sebuah harapan karena pelaksanaannya masih berproses dalam ruang dinamika. Di sana ada kepentingan pemajuan

pendidikan itu sendiri, ada kepentingan politik dan kepentingan-kepentingan lainnya.

Kajian ini berfokus pada persoalan dinamika pembelajaran K13 Sekolah Menengah Atas di Kota Kendari. Batasan spasialnya adalah Kota Kendari, itu pun tidak semua sekolah menengah tingkat atas dan sederajatnya yang dijadikan studi kasus, tetapi hanya 2, yaitu SMA Neg. 4 dan SMA Neg. 9 Kendari. Kedua sekolah itu cukup dikenal di Kota Kendari, bahkan salah satu di antaranya adalah sekolah favorit. Keduanya memiliki prestasi yang bagus sehingga dapat direpresentasikan sebagai sekolah yang baik dan memiliki standar masing-masing. Walaupun demikian tidak dimaksudkan mewakili semua sekolah sederajatnya di Kota Kendari. Pemilihan sekolah sebagai studi kasus hanya didasarkan pada pemahaman bahwa rekonstruksi sejarah merupakan hasil interpratasi fakta-fakta sesuai dengan peristiwa yang diwakilinya. Bukan mewakili peristiwa lain, alias sekolah lain tetapi hanya mewakili dirinya sendiri alias sekolah yang dijadikan objek studi kasus.

Jika pandangan atau persepsi dalam kajian ini memiliki persamaan dengan narasumber atau informan di luar sekolah yang dijadikan studi kasus, maka hal itu bukan sebagai sikap peneliti tetapi sebagai suasana atau pengalaman dari para narasumber atau informan yang memiliki perasaan yang sama. Batas temporal kajian ini adalah 2013 sampai 2019. Tema dalam kajian ini adalah kurikulum 2013, sehingga tahun 2013 dijadikan patokan atau dasar temporal penelitian. Sementara tahun 2019 sebagai batas akhir dari kajian ini karena ingin mendapatkan data-data dari pengalaman guru-guru sampai tahun 2019. Antara tahun 2013 sampai 2019 merupakan waktu yang cukup panjang untuk mendapatkan pengalaman dari guru-guru tentang pelaksanaan kurikulum 2013. Para guru merupakan pelaksana atau pelaku dalam penerapan kurikulum tersebut, sehingga periode ini cukup penting. Sementara batas keilmuan atau substansi kajian ini adalah pembelajaran kurikulum 2013 berdasarkan pengalaman guru-

41—57

Page 3: DINAMIKA PEMBELAJARAN KURIKULUM 2013 SEKOLAH …

43

WALASUJI Volume 11, No. 1, Juni 2020:

guru bidang studi pada sekolah yang dijadikan objek studi kasus.

Pembelajaran yang dimaksud di sini adalah pembelajaran yang didasarkan pada Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang menyebutkan bahwa pembelajaran adalah proses interaksi antara siswa dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Jika pembelajaran sebagai proses interaksi antara siswa dengan gurunya bersama sumber belajar dalam lingkungan sekolah, maka di situ ada proses lain yang berjalan, yaitu memori, kognisi, dan metakognisi yang berproses dan saling mempengaruhi sehingga membentuk suatu pemahaman (Huda, 2013:2). Oleh sebab itu, dalam pembelajaran memiliki juga beberapa unsur atau kompenen yang saling terkait seperti guru, siswa, tujuan, bahan ajar, kegiatan belajar, metode, alat, sumber belajar, dan evaluasi (Syaiful dan Aswan, 2010:16). Unsur-unsur tersebut dalam kajian ini juga dibatasi pada persoalan kurikulum 2013 menurut pandangan beberapa pihak, khususnya guru-guru yang dijadikan narasumber atau informan, sehingga unsur atau komponen pembelajaran yang dibahas dalam kajian ini hanya komponen guru, kaitannya dengan siswa. Oleh sebab itu, secara berturut-turut yang akan diuraikan dalam kajian ini adalah dinamika Kurikulum 2013 di Kota Kendari; pentingnya sistem pembelajaran yang berbasis kemitraan; dan menjelaskan tentang idealitas sekolah yang berprestasi.

Kurikulum 2013 populer disebut dengan K13. Dalam proses pelaksanaannya di berbagai daerah dan berbagai tingkatan jenjang pendidikan, K13 mengalami dinamika. Dinamika kurikulum ini sering didapati dalam berbagai sumber data, baik tertulis, media cetak, elektronik, maupun media sosial, dan termasuk beberapa pendapat dari para guru yang dijadikan narasumber dan informan. Ada yang menganggap K13 merupakan kurikulum yang sangat baik, ada yang menganggap kurikulum itu baik tetapi kurang tepat dengan budaya Indonesia, ada yang menganggap sudah sangat tepat untuk

diterapkan di Indonesia, tetapi ada juga yang pesimis. Namun dari sekian banyak pendapat, pada umumnya menganggap bahwa Kurikulum 2013 merupakan kurikulum yang baik, namun perlu penyempurnaan. Kurikulum itu dalam pelaksanaannya juga memberi peluang dan peran pemerintah daerah dalam mengembangkannya sesuai dengan UU Otonomi Daerah. Akibatnya munculah beberapa kebijakan daerah sebagai bentuk interpretasi dan implementasi kurikulum tersebut. Namun tidak sedikit juga persoalan yang muncul, terkait dengan kebijakan daerah otonom dalam memajukan pendidikan di daerah.

Proses pembelajaran antara siswa dengan pendidik akan tercermin secara kelembagaan di sekolah, sehingga sekolah merupakan ujung tombak pelaksanaan kurikulum pendidikan, baik kurikulum yang berbasis nasional maupun kurikulum tentang muatan lokal. Kedua-duanya diwujudkan dalam proses belajar mengajar untuk mencapai tujuan pendidikan nasional, institusional, kurikuler dan instruksional. Agar proses belajar mengajar dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien, maka diperlukan proses pembelajaran dengan manajemen yang tepat. Sebab proses pembelajaran tidak akan tercapai kalau tidak didasari dengan proses perencanaan yang tepat (Mulyasa, 2005:41)

Sejak Indonesia merdeka pada 1945 sampai sekarang (2019), sudah ada beberapa Kurikulum yang pernah berlaku, mulai kurikulum tahun 1947 sampai pada Kurikulum 2013 (https://www.4muda.com/inilah- 11- jenis-kurikulum-pendidikan-indonesia-dari-1947- hingga-2015/). Dari sekian banyak Kurikulum itu, Kurikulum 2013 banyak melakukan perubahan yang sangat mendasar dari kurikulum-kurikulum sebelumnya. Kurikulum 2013 ini memiliki dampak luas terhadap masyarakat, khususnya para peserta didik dan para guru. Oleh sebab itu, dengan pemahaman tersebut, diperlukan keahlian dan keterampilan yang berbasis dari pengalaman guru-guru, sebab mereka yang merasakan kelebihan dan kekurangan Kurikulum 2013, sehingga dinamika pembelajaran K13 penting

Dinamika Pembelajaran Kurikulum 2013 Sekolah... Sahajuddin

Page 4: DINAMIKA PEMBELAJARAN KURIKULUM 2013 SEKOLAH …

44

WALASUJI Volume 11, No. 1, Juni 2020:

untuk dikaji, khususnya terkait dengan pengalaman para guru.Persoalan dalam kajian ini adalah bagaimana dinamikan pembelajaran K13 pada Sekolah Menengah Atasi di Kota Kendari. Untuk menguraikan dan menjelaskan hal tersebut, juga perlu menjelaskan persoalan berikut: (1) bagaimana dinamika pelaksanaan Kurikulum 2013, (2) bagaimana pentingnya pembelajaran berbasis kemitraan, dan (3) bagaimana dinamika idealitas pembelajaran.

METODE

Metode yang dipergunakan pada artikel ini adalah metode sejarah, khususnya pendekatan sejarah lisan. Untuk menguraikan dan menjelaskan hal tersebut, maka didahului dengan studi pustaka, diteruskan dengan pendekatan sejarah lisan melalui wawancara kepada beberapa informan dan narasumber yang sesuai dengan substansi penelitian (mengutamakan guru-guru yang telah lama melaksanakan K13). Tahap penelitian sejarah pada umumnya menurut Gottschalk (1985:27) adalah: heuristik, yaitu mencari dan mengumpulkan data-data atau sumber-sumber yang berkaitan dengan studi pustaka maupun studi lapangan; proses heuristik melalui wawancara dan observasi dilakukan pada 2 (dua) sekolah tingkat atas, yaitu SMA Neg. 4 dan SMA Neg. 9 Kendari pada bulan Agustus 2019. Guru-guru di sekolah ini yang dijadikan informan, khususnya guru pelajaran sejarah, PPKn, Pendidikan Agama Islam, Ketua MGMP Sejarah Provinsi Sulawesi Tenggara, Guru Pengembangan Kurikulum, dan juga ada kepala sekolah; Kritik sumber; interpretasi; dan historiografi yang sering diartikan sejarah penulisan sejarah secara luas. Maksudnya seba-gai suatu kesatuan dari proses rekonstruksi yang kita sebut historiografi (Kartodirdjo, 1985: 9).

PEMBAHASAN

Pelaksanaan Kurikulum 2013

Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi bahan pelajaran serta cara yang digunakan, sebagai pedoman

penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar (UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional). Jadi kurikulum merupakan niat dan harapan yang dituangkan dalam bentuk rencana atau program pendidikan untuk dilaksanakan oleh semua komponen pembelajaran di sekolah. Sementara kurikulum menurut salah satu sumber online menyatakan bahwa kurikulum ternyata telah berganti atau mengalami perubahan sebanyak 11 kali yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, 2006, 2013, dan 2015. Pergantian tersebut merupakan konsekuensi logis dari terjadinya perubahan sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan iptek dalam masyarakat berbangsa dan bernegara (https://www.4muda.com/inilah-11-jenis-kurikulum-pendidikan-indonesia-dari-1947-hingga-2015/).

Sejak munculnya kurikulum pertama sejak pascakemerdekaan Indonesia sampai kurikulum yang ada saat ini, sedikit banyaknya telah berkontribusi dalam sistem pendidikan nasional Indonesia. terutama Kurikulum 1947, Rencana Pelajaran Terurai 1952, Kurikulum 1968, Kurikulum 1975, Kurikulum 1984, Kurikulum 1994, Kurikulum 2004, dan KTSP 2006. Seiring dengan perjalanan waktu, kurikulum ini juga mengalami perkembangan dan perubahan. Perkembangan dan perubahan yang cukup signifikan terjadi pada 1984, namun Kurikulum 1984 ini, juga terus mengalami perkembangan sampai pada perkembangan terakhir, yaitu munculnya Kurikulum 2013.Kurikulum ini banyak melakukan perubahan yang sangat mendasar dari kurikulum-kurikulum yang ada sebelumnya. Kurikulum 2013 ini memiliki dampak yang cukup luas, baik kepada siswa, guru dan terhadap masyarakat luas, khususnya para orang tua siswa.

Kurikulum 2013 adalah kurikulum yang terintegrasi atau mengintegrasikan beberapa hal, seperti skill, theme, concepts, dan topic.Dengan kata lain bahwa Kurikulum 2013 ialah kurikulum yang terpadu sebagai suatu konsep, suatu sistem atau suatu pendekatan pembelajaran yang melibatkan beberapa disiplin ilmu untuk

41—57

Page 5: DINAMIKA PEMBELAJARAN KURIKULUM 2013 SEKOLAH …

45

WALASUJI Volume 11, No. 1, Juni 2020:

memberikan pengalaman yang bermakna dan luas kepada peserta didik. Dikatakan bermakna karena dalam kurikulum konsepnya terpadu, di mana peserta didik diharapkan akan memahami konsep-konsep yang mereka pelajari itu dengan utuh dan realistis. Dikatakan luas karena yang akan mereka peroleh bukan hanya dalam satu ruang lingkup disiplin melainkan banyak lintas disiplin yang berkaitan satu sama lain.

Perubahan kurikulum dari waktu ke waktu, juga tidak menuntut kemungkinan adanya perubahan ke arah perbaikan dan penyempurnaan K13. Melihat kenyataan sekarang, sistem pendidikan kita masih jauh dari sempurna. Dari segi konsep tidak terlalu bermasalah tetapi dari segi proses masih banyak kendala dan permasalahan yang ditemukan, termasuk kompetensi guru pada bidang studi tertentu, juga pengetahuan dan keterampilan guru pada konten-konten lokal (Wawancara dengan Sarifuddin L., 6 Agustus 2019). Jika kita mengacu pada UU No. 20 Tahun 2003 pasal 3, maka tujuan pendidikan nasional Indonesia masih dianggap belum tercapai. Walaupun demikian juga harus diakui bahwa di sana sini ada peningkatan dan keberhasilan. Bahkan, banyak siswa-siswi kita memperoleh prestasi dengan predikat juara 1 pada perlombaan di tingkat nasional dan tingkat dunia dalam berbagai macam kategori keilmuan. Namun itu hanya sedikit dan tidak mempengaruhi secara signifikan statistik di tingkat nasional. Sehingga secara nasional peningkatan pendidikan dianggap belum memadai karena ukurannya adalah kualitas sumber daya manusianya, bahkan kajian Human Development Report tahun 2003 versi UNDP menyatakan bahwa kualitas sumber daya manusia Indonesia berada di urutan 112, jauh di bawah Filipina (25), Malaysia (58), Brunai Darussalam (31) dan Singapura (28)(https://pendidikan-keilmuan//2011/06/model-pengembangan-kurikulum)

Kenyataan itu menjadi salah satu bukti bahwa tujuan pendidikan nasional belum tercapai secara merata dari Sabang sampai Merauke, padahal setiap daerah, mestinya

mengambil andil dan berkontribusi atas maju tidaknya pendidikan secara nasional. Pemerintah daerah juga dituntut untuk memajukan pendidikan di daerahnya. Apalagi di zaman modern saat ini, di mana ilmu pengetahuan dan teknologi selalu mempercepat terjadinya perubahan dalam berbagai kehidupan, termasuk perubahan dalam dunia pendidikan (Jujun dan Sumantri, 1980: 19). Berdasarkan pernyataan tersebut, nampak bahwa peranan pendidikan sangat besar dalam menunjang peningkatan kehidupan manusia. Meskipun demikian, sistem pendidikan itu harus mampu dijabarkan dalam sistem kurikulumnya, sebab kurikulum menjadi jalan atau proses dalam mewujudkan tujuan pendidikan. Menurut pandangan lama, kurikulum merupakan kumpulan mata pelajaran yang harus disampaikan guru atau dipelajari siswa. Dengan demikian kurikulum dalam pengertian yang lama lebih menekankan pada isi pelajaran. Kemudian konsep kurikulum berkembang sejalan dengan perkembangan teori dan praktek pendidikan, juga bervariasi sesuai dengan aliran atau teori pendidikan (Sukmadinata, 1997: 4).

Sistem Pendidikan Nasional, menyatakan bahwa kurikulum adalah “seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi, bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar (Hamalik, 2007: 92). Ada juga yang mengatakan bahwa kurikulum adalah niat dan harapan yang dituangkan dalam bentuk rencana atau program pendidikan untuk dilaksanakan oleh guru dan komponen-komponen lainnya di sekolah (Sukmadinata, 1997: 4). Pendapat dan pemahaman tentang kurikulum tersebut menggiring kita pada pemahaman bahwa kurikulum di sini lebih menekankan pada proses ketimbang pada isinya, sehingga secara umum kurikulum dapat dipandang sebagai suatu program pendidikan yang direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai sejumlah tujuan-tujuan pendidikan.

Mengenai implementasi K13 di sekolah-sekolah pada 3 jenjang tingkatan sekolah, para

Dinamika Pembelajaran Kurikulum 2013 Sekolah... Sahajuddin

Page 6: DINAMIKA PEMBELAJARAN KURIKULUM 2013 SEKOLAH …

46

WALASUJI Volume 11, No. 1, Juni 2020:

guru memiliki pandangan yang berbeda-beda.Walaupun pada dasarnya mengakui bahwa K13 sangat bagus pada tataran konsep, namun perlu ada pembenahan dari beberapa sisi, terutama sistem penilaiannya. Sistem penilaian K13 menjadi rumit karena sangat banyak unsur penilaiannya, termasuk penekanan dan penilaian pada 4 Kompetensi Inti (KI) dalam Kurikulum 2013 yang berisi tujuan dari proses pembelajaran. Sikap, karakter, sosial dan keterampilan harus disinkronkan, sehingga dalam jenjang pendidikan menengah atas mengenal KI satu (1) sampai KI empat (4) yang harus dilengkapi dengan rubrik-rubrik penilaiannya (Wawancara dengan Sudarso, 06 Agustus 2019). Sistem tersebut didasarkan pada Permendikbud No. 69 Tahun 2013 Tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah. Adapun KI satu (1) sampai KI empat (4) yang dimaksud adalah: (1) Kompetensi Inti-1 atau (KI-1) adalah kompetensi inti mengenai sikap spiritual; (2) Kompetensi Inti-2 (KI-2) adalah kompetensi inti sikap sosial; (3) Kompetensi Inti-3 (KI-3) adalah kompetensi inti pengetahuan; dan (4) Kompetensi Inti-4 (KI-4) adalah kompetensi inti keterampilan.

Persoalan dan keluhan para informan (guru-guru) di atas, kemudian dipertanyakan kepada guru-guru lain dari 3 tingkatan pendidikan (SD, SMP dan SMA), ternyata memiliki pandangan yang hampir sama, khusus mengenai sistem penilaian dalam K13. Sangat banyak penilaian K13, para guru mengakui. Sementara di lain pihak, guru-guru terlebih dahulu dituntut untuk memahami prinsip-prinsip penilaian dan pendekatan penilaian; ruang lingkup, teknik, dan instrumen penilaian; termasuk skala penilaian (Kurniasih dan Sani, 2014: 47-57). Menurut salah seorang informan bahwa kemungkinan pemerintah menyadari hal itu. Itulah sebabnya K13 ini tidak dilakukan secara serentak tetapi dilakukan secara bertahap.Sekolah yang diikutkan pertama mengikuti K13 adalah sekolah-sekolah yang menurut pemerintah memiliki kesiapan. Oleh sebab itu,

sekolah-sekolah yang ikut pertama pada tahun 2013 itu dikenal dengan sekolah piloting dari semua jenjang pendidikan (Wawancara dengan St. Suraidah, 9 Agustus 2019).

Sekolah piloting pun tidak semua kelas diikutkan tetapi dimulai dari kelas dasar, misalnya SMA dimulai kelas 1 atau kelas X istilah sekarang karena guru-gurunya akan ditatar/pelatihan atau disosialisasikan terlebih dahulu. Kemudian, guru yang sudah mengikuti pelatihan atau sosialisasi akan diwajibkan untuk mengimbas ke guru-guru lain atau sekolah-sekolah lain. Mata pelajarannya pun juga dibagi 2, jadi ada yang dikenal Wajib “A” dan Wajib “B”. Mata pelajaran yang masuk Wajib “A” adalah mata pelajaran Matematika, Pendidikan Agama, Sejarah, PPKn, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris; Sementara yang masuk Wajib “B” yaitu mata pelajaran Pendidikan Seni, Budaya, Olahraga, Prakarya dan sejenisnya, termusuk muatan lokal diperbolehkan (Wawancara dengan Sukadi L. dan Muh. Djafar, 9 Agustus 2019).

Demikian juga masalah beban jam wajib mengajar, banyak guru yang merasa kelebihan jam mengajarnya tetapi banyak juga yang merasa kekurangan jam mengajarnya kalau dibandingkan dengan KTSP. Misalnya guru bidang studi (mata pelajaran) PPKn merasa kekurangan jam mengajarnya karena ada pengurangan jam dari 3 jam pada waktu KTSP menjadi 2 jam pada K13. Bukan hanya mata pelajaran PPKn tetapi banyak mata pelajaran lain, tergantung sekolah dan jumlah kelasnya.

Ada juga mata pelajaran yang mendapat penambahan jam mengajar seperti Pendidikan Agama, dari 2 jam pada KTSP menjadi 3 pada K13, tetapi ada juga bidang studi yang memanen jam mengajar, yaitu mata pelajaran Sejarah. Dari kasus itu saja, K13 memang perlu perbaikan atau pembenahan menurut beberapa guru, sehingga wajar jika ada beberapa guru yang mengatakan bahwa KTSP penilaiannya tidak terlalu rumit, sementara di K13 penilaiannya rumit Apa lagi mengajar dengan sistem fullday School membuat guru

41—57

Page 7: DINAMIKA PEMBELAJARAN KURIKULUM 2013 SEKOLAH …

47

WALASUJI Volume 11, No. 1, Juni 2020:

sangat capek setelah sampai di rumah karena seharian wajib mengajar minimal 8 jam selama 5 hari. Setelah sampai di rumah bukannya untuk istirahat melainkan kadang dipakai untuk penyelesaian tugas sekolah. Termasuk menyusun rencana pembelajaran dan intrumen-instrumen penilaiannya (Wawancara dengan Sarifuddin L., St. Wardha Sanusi, Sudarso, dan Sartini, 6 Agustus 2019).

Dengan penilaian K13 yang sangat banyak, maka penilaiannya terpaksa dimodifikasi. Sebagai ilustrasi sederhana: setiap hari, guru bidang studi minimal mengajar 4 kelas, setiap kelas terdiri atas 36 sampai 40 siswa, sehingga dalam satu hari ada 160 siswa yang harus dinilai. Ada nilai awal pembelajaran, ada nilai proses pembelajaran dan ada nilai evaluasi akhir pembelajaran. Kalau semua itu harus dinilai berdasarkan aturan yang sesungguhnya, maka kemungkinan besar waktu 8 jam itu tidak cukup bagi guru untuk memberikan penilaian sebanyak 160 siswa setiap hari. Di sinilah para guru bidang studi memiliki metode dan penilaian masing-masing yang kami sebut modifikasi penilaian. Penilaian itu dapat dipermudah sesuai dengan keinginan guru berdasarkan penilaian dan tanggung jawab masing-masing guru bidang studi. Penilaian tersebut, baru penilaian per mata pelajaran setiap hari, belum termasuk penilaian lainnya yang juga wajib dilakukan oleh setiap guru.

Beban jam wajib mengajar guru pada K13 sebanyak 24 jam per minggu merupakan beban yang sangat merepotkan menurut beberapa guru. Apa lagi jika di sekolah induknya tidak cukup jam wajib mengajarnya, maka wajib mencari sekolah lain untuk mencukupi jam wajib mengajar. Sementara mencari sekolah sangat susah, apa lagi persyaratannya harus dalam satu zona. Kalau pun dapat sekolah yang satu zona tetapi waktu akan banyak yang terbuang dalam proses perjalanan, sementara tugas-tugas lain sudah menunggu. Celakanya, kalau tidak dapat jam tambahan untuk mencukupi jam wajib, maka sasarannya adalah dapur rumah tangga guru yang “tidak berasap” karena gaji

sertifikasi terancam tidak diterima. Walaupun pada sisi lain, ada mata pelajaran yang panen waktu jam mengajar seperti guru bidang studi sejarah. Jam Sejarah kelebihan jam di tingkat SMA karena kelas IPA pun mendapat semua pelajaran Sejarah wajib 2 jam, khususnya kelas X dan XI. Sementara kelas di IPS sejak kelas X sampai kelas XII mendapatkan 2 jam wajib. Selain itu, kelas IPS juga disamping ada Sejarah wajib yaitu pelajaran sejarah Indonesia sebanyak 2 jam per minggu. Ada pelajaran sejarah peminatan (sejarah tanpa ada kata Indonesia jadi di dalamnya, termasuk belajar Sejarah Dunia) dengan 2 jam per minggu (Wawancara dengan Sarifuddin L., St. Wardha Sanusi, Sudarso, dan Sartini, 6 Agustus 2019).

Pelajaran Sejarah yang memiliki banyak jam di tingkat SMA Negeri tentu berimplikasi dalam pelaksanaan K13. Dalam arti, apakah siswa tidak bosan dengan banyaknya waktu pelajarannya.Terkait dengan hal itu, guru sejarahnya menjawab bahwa gurunya harus pandai-pandai mempergunakan metode pembelajaran. Kalau metode pembelajarannya monoton, dipastikan siswanya bosan. Sebaliknya, jika metode mengajarnya bervariasi seperti ada ceramah, ada diskusinya, ada metode pembelajaran lapangan maka waktu tidak akan terasa. Jadi, guru harus pintar mensiasati, tetapi tidak semua guru mampu melakukan itu.Termasuk harus ada strategi pencapaian Kompetensi Dasarnya (KD). Menurut salah seorang guru, bahwa kalau KD-nya sudah ada, maka tinggal menunjukkan indikator-indikatornya sebagai tujuan (Wawancara dengan Sudarso, 06 Agustus 2019). Jam wajib mengajar K13 adalah 24, sementara KTSP dulu adalah 18 jam wajib mengajar perminggu. Sebenarnya 18 jam mengajar itu sudah cukup dan ideal buat guru SMA pada Kurikulum K13 menurut beberapa guru. Kalau dihitung-hitung wajib mengajar saja beban guru yang terkait dengan perangkat pembelajaran dapat menghabiskan waktu yang cukup banyak. Karena ketentuan untuk mendapatkan gaji sertifikasi adalah 24 jam, maka mau tidak mau guru harus ikut

Dinamika Pembelajaran Kurikulum 2013 Sekolah... Sahajuddin

Page 8: DINAMIKA PEMBELAJARAN KURIKULUM 2013 SEKOLAH …

48

WALASUJI Volume 11, No. 1, Juni 2020:

aturan. Kenyataan itu menimbulkan pertanyaan apakah dengan sistem itu dapat mencapai tujuan substansi pembelajarannya. Di situ titik balik Kurikulum 2013 karena lebih banyak mengejar tercapai jam pembelajaran.

Hampir semua guru yang dijadikan sebagai narasumber atau informan setuju, supaya sistem penilaian dibenahi dan disederhanakan. Salah satu alasan untuk membenahi sistem penilaian K13 menurut beberapa guru karena dianggap tidak berguna, kalau sistem penilaiannya banyak. Sementara implementasi substansinnya di lapangan tidak dapat terlaksana, dan tidak mencapai sasaran pembelajaran. Walaupun sebenarnya dalam aturan K13, seharusnya guru tidak capek karena yang dituntut aktif adalah siswa, sementara guru hanya menjadi mediator. Pandangan beberapa informan mengatakan bahwa teorinya seperti itu, tetapi dalam pelaksanaannya tidak segampang yang diteorikan, sebab siswa-siswi yang dihadapi bukan siswa yang memiliki kemampuan yang sama dalam satu kelas. Kalau pun kemampuannya sama, juga tetap bermasalah. Logikanya jika siswa sedang aktif berdiskusi atau sedang bekerja sama dalam satu kelompok, sementara guru tidak terlibat aktif mengarahkan siswa karena hanya sibuk memberikan penilaian. Besar kemungkinan kompetensi dasarnya tidak akan tercapai karena lebih mementingkan pertanggungjawaban administrasi dibanding tercapainya kompetensi dasar proses pembelajaran.

Sementara guru dalam melaksanakan tugasnya sebagai guru memiliki peran yang wajib mereka tunaikan. Menurut Burrup dalam Tilaar (2011: 254) bahwa ada enam peranan guru yang diharapkan dapat dimainkan oleh setiap guru, yaitu pengarah aktivitas belajar siswa; petugas bimbingan dan konseling; mediator kebudayaan; penghubung antara sekolah dan masyarakat (komunitas); sebagai anggota masyarakat; dan anggota profesi keguruan (pendidikan). Jika kita melihat kenyataan di lapangan, banyak guru yang belum menunaikan 6 perannya secara maksimal

karena berbagai faktor yang mempengaruhi peran tersebut. Jika guru hanya merasa takut jika pertanggungjawaban administrasinya tidak lengkap, maka waktu menunaikan perannya dialihkan sebagian untuk memenuhi pertanggungjawabannya.

Tingkat efektifitas peran dan kompetensi guru yang menentukan tercapainya proses pembelajaran. Kalau pandangan ini dapat diterima, maka semestinya guru yang akan menunaikan tugas dengan kompetensi yang memadai; tidak cukup karena ia lulus menjadi CPNS atau PNS melalui Surat Keputusan (SK) diterima menjadi guru, tetapi harus dan wajib dipastikan kompetensinya terpenuhi secara mutlak dengan ukuran yang jelas. Artinya bahwa guru yang sudah dinyatakan PNS 100% misalnya, tidak serta merta dianggap kompetensinya sudah terpenuhi tetapi pemerintah wajib melakukan pelatihan dan keterampilan. Kemudian, dalam proses pelatihan dan keterampilan kompetensi tidak didasarkan pada patokan waktu. Misalnya, satu bulan atau tiga bulan, lalu dianggap selesai dan dianggap telah terpenuhi kompetensinya, tetapi waktunya jangan dibatasi, yang dibatasi adalah pencapaian kompetensi. Pemerintah betul-betul harus hadir menjadi fasilitator akan terpenuhinya kompetensi guru dengan menyiapkan perangkat-perangkatnya sebelum ditugasi. Jika semuanya dapat berjalan dengan baik dan efektif, maka tidak ada lagi guru yang akan bertugas ke sekolah tanpa terpenuhi kompetensi dan keterampilannya terlebih dahulu. Hasilnya tujuan dan capaian kompetensi dasar dan dasar kompetensi sistem pembelajaran akan mudah diwujudkan.

Sebaliknya, jika seseorang telah dinyatakan lulus sebagai PNS karena sudah menyelesaikan prajabatan dan langsung ditugasi mengajar, maka hal ini merupakan awal kegagalan sistem pengajaran dan pendidikan. Mestinya, pemerintah bertanggung jawab memenuhi kompetensi guru tersebut terlebih dahulu, jangan beranggapan bahwa kompetensinya akan terpenuhi dengan sendirinya. Ada pun

41—57

Page 9: DINAMIKA PEMBELAJARAN KURIKULUM 2013 SEKOLAH …

49

WALASUJI Volume 11, No. 1, Juni 2020:

kompetensi yang dimaksud adalah kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional (Tilaar. 2011:254-255). Apalagi jika mengacu pada K13 yang mempersempit waktu belajar para guru untuk meningkatkan kompetensinya. Pandangan tersebut, tentu berlaku kepada semua guru secara nasional, walaupun juga harus ada pengetahuan tambahan khusus yang harus dipenuhi, khususnya budaya lokalitas penempatan. Hal ini dianggap sangat penting karena terjadinya interaksi yang baik, jika mereka memiliki pemahaman budaya lokalitas. Apa yang terjadi di Kota Kendari hubungannya dengan budaya lokalitas dan pemuatan lokalitas tidak berjalan karena persoalan tersebut. Termasuk petugas penilaian dan pengawas di Sulawesi Tenggara perlu pemahaman tentang budaya lokalitas. Akibatnya, kadang sekolah melakukan sistem penilaian sendiri-sendiri, sehingga sering terjadi perbedaan pendapat antara pegawas dengan pihak sekolah (Wawancara dengan Sarifuddin L., 6 Agustus 2019).

Dinamika K13, juga terjadi pada persoalan koordinasi antara dinas dan pihak sekolah, terkait pelaksanaan kurikulum ini. Sehingga koordinasi diperlukan, Kurikulum 2013 perlu dibenahi di tingkat dinas supaya ada keseragaman penilaian dan pengawasannya. Sebab kurikulum merupakan syarat mutlak untuk terlaksananya pendidikan di sekolah tanpa dipisahkan dengan sistem pendidikan. Sehingga betul-betul menjadi pedoman dan pegangan pengajaran (Sukmadinata, 1997: 4). Maka pelaksanaannya disusun berdasarkan jenjang per jenjang, sebab dengan adanya tingkat dan jenjang pendidikan berarti pula terdapat perbedaan dalam hal tujuan institusional, perbedaan isi dan struktur pendidikan, perbedaan strategi pelaksanaan kurikulum, perbedaan sarana dan lain-lain. Sehingga dalam proses belajar mengajar tidak terjadi tumpang tindih, siswa dan guru dituntut aktif sehingga terjadi interaksi dan komunikasi yang harmonis agar tercapai tujuan pembelajaran (Nurdin dan Usman, 2002: 56-57).

Pembelajaran Berbasis Kemitraan

Pembelajaran kurikulum 2013 merupakan pembelajaran aktif. Maksudnya, dalam proses pembelajaran guru harus menciptakan suasana komunikatif yang interaktif sehingga siswa aktif bertanya, mempertanyakan, dan mengemukakan gagasan. Belajar merupakan proses aktif dari siswa untuk memahami dan membangun pengetahuannya. Bukan sebaliknya, hanya pasif menerima penjelasan dari guru tentang pengetahuan dan keterampilan. Dengan aktif berbicara (diskusi), anak lebih mengerti konsep atau materi yang dipelajari. Selain aktif berbicara dalam proses pembelajaran, juga siswa perlu ada keterlibatan dengan gerakan fisik, sebab siswa yang lebih banyak duduk dan diam akan menghambat perkembangan motorik, akademik, dan kreativitasnya (Tilaar, 2011: 250)

Pencapaian perkembangan siswa tersebut, tidak mungkin dapat terpenuhi di sekolah semata, tetapi dapat dilengkapi di tempat-tempat lain sebab sumber belajar ada di mana-mana. Pendidikan tidak hanya berlangsung di sekolah, anak didik juga bukan hanya tanggung jawab sekolah tetapi juga menjadi tanggung jawab lingkungan keluarga dan masyarakat pada umumnya. Setiap peran akan menyumbang atau berkontribusi pada pendidikan para peserta didik. Oleh karena itu, harus ada usaha untuk menjembatani agar kontribusi yang diberikan maksimum. Perlu membangun sistem kemitraan antara semua pihak. Pendidikan akan berlangsung efisien dan efektif bila semua pihak kemitraan yang berbeda itu dapat pula berkolaborasi secara efisien dan efektif.

Selain itu, untuk mewujudkan cita-cita pemerintah dalam meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah, juga diupayakan terciptanya Sekolah Ramah Anak (SRA). Hal ini membuat siswa ketika datang di sekolah tidak merasa terbebani, tidak takut dipermainkan oleh temannya, tetapi sebaliknya mereka merasa senang. Sehingga siswa memperoleh hak pendidikan yang baik dan berkualitas, termasuk hak dasar lain untuk

Dinamika Pembelajaran Kurikulum 2013 Sekolah... Sahajuddin

Page 10: DINAMIKA PEMBELAJARAN KURIKULUM 2013 SEKOLAH …

50

WALASUJI Volume 11, No. 1, Juni 2020:

menikmati dunianya (Tilaar, 2011: 241). Sistem pendidikan di sekolah, khususnya sekolah yang dijadikan studi kasus memperlihatkan pentingnya sekolah bekerja sama dengan orang tua siswa dan bekerja sama antarguru bidang studi. Sedikit banyaknya, kerja sama atau kemitraan sekolah dapat mempengaruhi kemajuan pendidikan. Terutama orang tua siswa sebab tanpa bantuan dan kesadaran dari orang tua siswa dan masyarakat pada umumnya akan sulit terjadi peningkatan kualitas pendidikan, mengingat hubungan antara sekolah dan masyarakat sangat diperlukan dalam dunia pendidikan. Di sekolah-sekolah, semua jenjang pendidikan telah lama mengenal sebuah wadah atau organisasi kemitraan antara sekolah dengan masyarakat atau orang tua siswa yang dikenal dengan nama “Komite Sekolah” yang perlu dimaksimalkan. Komite Sekolah merupakan amanah dari UU Sistem Pendidikan Nasional 2003. Dalam pasal 56 ayat 3 mewajibkan setiap sekolah membentuk Komite Sekolah.Terbentuknya Komite Sekolah merupakan salah satu usaha, dan atau metode pendekatan untuk meningkatkan kualitas pendidikan sebab sasaran peningkatan pendidikan adalah subjek belajar. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah melalui sekolah-sekolah dalam meningkatkan kualitas pendidikan peserta didik (siswa) adalah adalah bekerja sama dengan orang tua siswa dan masyarakat pada umumnya.

Komite Sekolah adalah lembaga yang sangat penting dibentuk oleh sekolah bersama orang tua siswa untuk menjadi mitra dalam mengembangkan sekolah secara keseluruhan atau peserta didik pada khususnya. Komite Sekolah dianggap sebagai representasi dari komunitas sekolah sebab Komite Sekolah tidak hanya beranggotakan orang tua siswa tetapi juga ada perangkat sekolah di dalamnya, sehingga Komite Sekolah dapat menyuarakan apa yang diinginkan oleh para orang tua siswa dan pihak-pihak lain ke sekolah maupun sebaliknya. Semua orang tua siswa secara kodrati menginginkan anaknya memperoleh

pendidikan yang layak, tinggi, dapat berprestasi dan memperoleh pekerjaan sesuai dengan bidang keahliannya.

Berdasarkan pada pemahaman itu, tidak mungkin orang tua siswa tidak mau terlibat jika diwadahi. Penting bagi pihak pengurus Komite Sekolah untuk saling berinteraksi secara aktif dan berkontribusi sesuai dengan peran masing-masing. Sementara di pihak sekolah harus memiliki komitmen yang sama dengan pihak Komite Sekolah, sehingga pihak sekolah dan pengurus komite mengizinkan para anggotanya untuk mengetahui dan memahami kondisi Komite Sekolah. Dengan demikian, peran mereka dalam mendukung program sekolah bisa semakin meningkat dan maju, sebab mereka merasa bermanfaat sebagai bagian dari Komite Sekolah (Wawancara dengan Sudarso, 06 Agustus 2019). Komite Sekolah secara umum berperan sebagai:

1. Pemberi pertimbangan (advisory agency) dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan di tingkat satuan pendidikan.

2. Pendukung (supporting agency) baik yang berwujud finansial, pemikiran, maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan.

3. Pengontrol (controlling agency) dalam rangka tranparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan dan keluaran pendidikan di satuanpendidikan.

4. Mediator (mediator agency) antara peme-rintah (eksekutif) dengan masyarakat di satuan pendidikan (Tilaar, 2011: 272)

Jika melihat 4 peran Komite Sekolah tersebut, kemudian dikroscek pada sekolah-sekolah yang dijadikan studi kasus, maka 4 butir peran tersebut dianggap berjalan dengan baik. Salah satu produk hasil kerja sama antara sekolah dengan masyarakat yang ada di Sekolah Menengah Atas (SMA) di Kota Kendari adalah terbitnya buku saku. Isinya adalah aturan-aturan sekolah dengan sanksi-sanksinya. Aturan-aturan sekolah itu dianggap wajib karena aturan itu

41—57

Page 11: DINAMIKA PEMBELAJARAN KURIKULUM 2013 SEKOLAH …

51

WALASUJI Volume 11, No. 1, Juni 2020:

merupakan perintah yang wajib dilaksanakan. Kemudian, isinya harus mendapat persetujuan dari komite sekolah. Menurut beberapa informanbahwa tata tertib yang dibuat dalam bentuk buku saku adalah hasil pertemuan atau hasil musyawarah antara pihak sekolah dengan pihak Komite Sekolah. Pihak sekolah merumuskan hasil pertemuan itu, dan setelah dirumuskan, maka konsep itu disosialisasikan kembali kepada orang tua siswa atau pihak Komite Sekolah. Konsep itu diharapkan ditanggapi oleh masing-masing orang tua siswa tanpa kecuali. Kalau ada koreksian maka akan diperbaiki sesuai dengan suara terbanyak dan sesuai dengan tujuan pembelajaran, namun tetap mengedepankan aturan yang lebih tinggi. Artinya bahwa hasil kesepakatan itu tidak boleh bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi dari pemerintah.

Setelah koreksian diperbaiki, dikembali-kan lagi kepada orang tua siswa dan atau pihak Komite Sekolah. Jika mereka sudah menyetujui koreksian, maka mereka harus menandatangani konsep itu sebagai bagian kesepakatan atau mereka telah dinyatakan mendukung. Setelah semua orang tua siswa bertanda tangan, barulah buku saku itu dicetak dan dibagikan kepada semua siswa. Dalam proses pelaksanaannya, orang tua siswa atau pihak Komite Sekolah tetap dilibatkan. Tujuannya adalah untuk mengontrol proses implementasi aturan yang telah dibuat dan disepakati bersama. Peran Komite Sekolah sebagai mediator antara pemerintah (sekolah) dengan masyarakat, juga dianggap berjalan baik. Misalnya ada siswa yang bermasalah tetapi orang tuanya sulit datang di sekolah, maka biasanya pihak Komite Sekolah berfungsi menjalankan perannya sebagai mediator.

Buku saku ini selalu diperbaharui dan selalu disosialisasikan setiap tahun pada saat penerimaan siswa baru. Orang tua siswa baru wajib dilibatkan sebagai bagian dari komite. Salah satu pasal yang menarik dalam buku saku di salah satu sekolah yang dijadikan studi kasus adalah pemberian poin (nilai) kepada seluruh siswa baru. Jumlah poin yang diberikan oleh

pihak sekolah kepada siswa baru tersebut adalah 100 poin. Poin yang jumlahnya 100 itu sewaktu-waktu akan berubah, apakah berkurang atau bertambah. Berkurang jika mereka melakukan pelanggaran, dan sebaliknya akan memperoleh penambahan poin jika siswa bersangkutan memperoleh prestasi yang membawa nama baik dirinya, sekolah, orang tuanya atau masyarakat luas (Wawancara dengan Sarifuddin L., St. Wardha Sanusi, Sudarso dan Sartini, 6 Agustus 2019).

Pelaksanaan pendidikan yang mengede-pankan kerja sama atau kemitraan tentu tidak semudah apa yang kita bayangkan, tetapi pasti memiliki juga persoalan tersendiri. Salah satu persoalan yang dihadapi Komite Sekolah adalah sulitnya mempersamakan persepsi semua anggota komite. Ada yang terlalu bersemangat menyampaikan gagasan, tetapi ada juga sulit menyampaikan, dan bahkan susah dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan komite. Namun, hal seperti itu dapat dipahami oleh pihak sekolah, maupun pengurus komite karena latar belakang orang tua siswa juga berbeda-beda. Itulah pentingnya ada pengurus komite yang menjadi fasilitator atau mediator antara pihak orang tua siswa dengan pihak sekolah pada hal-hal tertentu (Wawancara dengan Lisnawati, 08 Agustus 2019). Namun, keberadaan Komite Sekolah selama ini dianggap sangat membantu pihak sekolah di dalam pelaksanaan pembelajaran di sekolah.

Sekolah, selain bekerja sama atau bermitra dengan orang tua siswa secara personal dan kelembagaan melalui Komite Sekolah, pihak sekolah juga sering menjalin kerja sama dengan pihak-pihak lain. Kerja sama dapat bermacam-macam, misalnya pihak kepolisian bekerja sama tentang bahaya narkoba, sehingga selain kerja sama antara pihak sekolah bersama dengan pihak orang tua siswa, kepada Komite Sekolah dan masyarakat pada umumnya. Pihak sekolah juga sangat intens melakukan kerja sama antarsekolah dalam berbagai hal. Salah satu wujud kerja sama antarsekolah adalah lahirnya lembaga musyawarah yang bersifat

Dinamika Pembelajaran Kurikulum 2013 Sekolah... Sahajuddin

Page 12: DINAMIKA PEMBELAJARAN KURIKULUM 2013 SEKOLAH …

52

WALASUJI Volume 11, No. 1, Juni 2020:

khusus kepada guru-guru bidang studi tertentu, yaitu Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP). Lembaga musyawarahini sejak berdirinya memiliki manfaat yang sangat besar terhadap pengembangan pembelajaran, baik kepada guru, siswa, sekolah maupun kepada dinas yang terkait. Musyawarah ini juga dapat menjadi penentu bagaimana meningkatkan sistem pembelajaran dan kualitas pendidikan.

Rata-rata guru yang dijadikan informan mengakui dan merasakan manfaat keberadaan MGMP, seperti pencerahan tentang Kurikulum 2013, langkah-langkah atau metode pembe-lajaran, dan proses belajar mengajar. Juga dengan adanya musyawarah guru-guru bidang studi, dianggap dapat membantu menyelesaikan masalah yang yang dialami secara personal. Salah satu forum musyawarah guru-guru yang didalami adalah musyawarah guru mata pelajaran Sejarah yang biasa disebut MGMP Sejarah di Kota Kendari.Peran MGMP ini dianggap dapat meminimalisasi persoalan K13. Persoalan-persoalan yang ada dalam kurikulum ini sering dimusyawarakan dan dicari solusinya. Misalnya, tentang sosialisasi K13,juga dilaksanakan oleh MGMP masing-masing bidang studi, seperti MGMP Sejarah. Alasan mereka melaksanakan sosialisasi bukan karena tidak mempercayai pemerintah, melainkan dianggap membantu pemerintah. Lagi pula, banyak guru yang tergabung dalam MGMP yang dijadikan narasumber atau informan adalah instruktur K13. Sebagai contoh adalah MGMP pelajaran Sejarah Provinsi Sulawesi Tenggara yang diketuai oleh Pak Sudarso. MGMP ada di tingkat provinsi, juga ada di tingkat kabupaten/kota, termasuk ada MGMP secara internal setiap sekolah (Wawancara dengan Sarifuddin L., St. Wardha Sanusi, Sudarso dan Sartini, 6 Agustus 2019).

MGMP Sejarah ini telah berulang-ulang kali melaksanakan sosialisasi Kurikulum 2013. Sosialisasi Kurikulum 2013 yang dilakukan MGMP Sejarah, misalnya mendiskusikan atau memusyawarakan tentang sistem penilaian K13. Sebagai contoh MGMP Sejarah Provinsi

Sulawesi Tenggara telah berhasil membuat produk perangkat pembelajaran Sejarah di jenjang sekolah menengah atas se-Sulawesi Tenggara. Produk MGMP Sejarah Sulawesi Tenggara ini banyak digunakan oleh guru-guru sejarah dengan menyesuaikan metode pengajaran masing-masing guru (Wawancara dengan Sudarso, 6 Agustus 2019).

MGMP sebagai lembaga musyawarah guru-guru bidang studi, kadang ada guru yang menganggap kegiatan MGMP menyita waktu. Musyawarah kadang dilaksanakan dalam satu hari penuh, bahkan lebih dari satu hari. Walaupun menurut beberapa guru, bahwa pelaksanaan MGMP tidak menyita waktu pelajaran sekolah karena biasanya dilaksanakan pada hari Sabtu dan Ahad. Jadi, waktu yang banyak disita adalah waktu untuk istirahat atau waktu untuk keluarga. Bukan hanya waktu yang disita melainkan juga tenaga dan pikiran, bahkan dana juga dikeluarkan oleh guru-guru demi terlaksananya kegiatan MGMP. Namun, terkait dengan pendanaan yang ditalangi guru-guru itu terjadi pada waktu MGMP belum mendapat pendanaan dari beberapa pihak.

Kalau masalah pendanaan kegiatan MGMP Sejarah beberapa tahun terakhir, biasanya mendapat dana dari Direktorat Kementerian Pendidikan. Untuk mendapatkan dana tersebut, terlebih dahulu mengajukan proposal dan tidak semuanya disetujui. Jika disetujui maka secara otomatis MGMP akan melaksanakan kegiatan sesuai dengan isi proposal. Nominal dana yang diperoleh dari pihak ketiga cukup bervariasi dan tidak banyak karena hanya berkisar dua puluh lima juta rupiah (Rp 25.000.000,-) sampai tiga puluh lima juta rupiah (Rp 35.000.000,-). Misalnya tahun 2018, MGMP Sejarah Sulawesi Tenggara mendapat dana sebesar Rp 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah) dari LPMP Provinsi Sulawesi Tenggara. Kemudian, dana itu yang dipakai untuk melakukan kegiatan berdasarkan agenda-agenda program kerja MGMP yang termuat dalam proposal yang disetujui (Wawancara dengan Sudarso, 6 Agustus 2019). Mengingat

41—57

Page 13: DINAMIKA PEMBELAJARAN KURIKULUM 2013 SEKOLAH …

53

WALASUJI Volume 11, No. 1, Juni 2020:

pentingnya kegiatan MGMP sebelum mendapat dana dari pihak-pihak tertentu, MGMP sejarah tetap berjalan dan melakukan kegiatan untuk kepentingan bersama. Dananya adalah dana urungan atau patungan sesama anggota MGMP Sejarah, cuma kegiatannya hanya dilakukan berdasarkan kepentingan khusus.

Dinamika Idealitas Pembelajaran

Sasaran utama pendidikan dan pembelajaran adalah para siswa-siswi sehingga apa yang mereka peroleh, itulah wujud dan cerminan output pendidikan. Output utama pendidikan di sekolah adalah kemampuan-kemampuan yang dicapai oleh siswa dalam proses pembelajaran. Kemampuan-kemampuan yang diperoleh para siswa ini disebut prestasi belajar (learning achievement), dan secara garis besar meliputi tiga ranah (bidang), yaitu ranah kognitif, ranah afektif dan ranah psikomotor (Tilaar, 2011:252). Setiap mata pelajaran harus mencakup ketiga bidang (ranah) kemampuan itu, namun tetap ada penekanan setiap bidang tersebut. Sebagai contoh, Pelajaran Matematika menekankan pada kemampuan kognitif, Pendidikan Agama menekankan pada kemampuan afektif; dan Pendidikan Jasmani (Olah Raga) menekankan pada kemampuan psikomotor.

Menurut H.A.R Tilaar bahwa ranah kognitif (cognitive domain) berkenaan dengan kemampuan-kemampuan intelektual, mencakup pengetahuan (knowledge), pemahaman atau pengertian (comprehension), penerapan (application), analisis (analysis), sintesis (synthesis) dan penilaian (evaluation). Dalam banyak kasus di sekolah pada masa lalu selalu membanggakan bidang kognitif atau jurusan yang terkait dengan kognitif atau eksakta. Bahkan, jurusan ini sering dianggap jurusan tempatnya siswa-siswi yang hebat. Namun pandangan tersebut sudah tidak cocok lagi atau perlu diperbaiki dan disempurnakan jika mengacu pada K13, sebab K13 saat ini menuntut adanya keseimbangan antara bidang kognitif dengan kemampuan afektif dan

psikomotor. Artinya bahwajurusan apa pun atau mata pelajaran apa pun yang diminati atau digeluti oleh siswa, maka wajib kiranya melengkapinya dengan 2 bidang atau ranah lainnya berdasarkan Kurikulum 2013.

Penguasaan bidang kognitif tanpa pengimbangan bidang afektif dan psikomotor maupun sebaliknya dianggap tidak sesuai dengan K13. Penyeimbangan ini bukan hanya penting pada masa menempuh pembelajaran melainkan juga pascamenempuh pendidikan. Sebagai ilustrasi, ada cerita salah seorang anak dalam satu keluarga yang dianggap cerdas bidang eksaktanya (kognitifnya). Setelah ia menyelesaikan pendidikan Strata Satunya, ia diterima masuk dalam perusahaan BUMN dan selalu mendapat posisi yang bagus. Setiap ia pulang ke kampungnya, ia suka berbagi kepada anak-anak kecil, tetapi setelah reformasi dan lensernya pemerintahan Orde Baru, ia terkena imbasnya karena posisi/jabatannya juga hilang. Ia menjadi stres, mengurung dirinya di kamar dan akhirnya sakit akut. Sebelumnya anak itu tidak pernah merasakan pahit getirnya kehidupan. Sejak masa sekolah, ia lolos masuk jurusan yang dianggap hebat, yaitu eksakta (kognitif) sehingga ilmu itulah yang ia kejar. Sementara ilmu afektif dan psikomotor tidak dikejar dan cenderung diabaikan.

Ilustrasi tersebut menunjukkan bahwa tiga ranah tersebut memang perlu ada penekanan khusus sebagai bentuk dan wujud keahlian, tetapi harus diimbangi dengan kecerdasan 2 ranah lainnya. Ranah afektif dan psikomotor untuk menyempurnakan ranah kognitif karena masing-masing ranah atau bidang tersebut memiliki keunggulan tersendiri. Ranah afektif (affective domain) menyangkut aspek-aspek kepribadian individu seperti perasaan, nilai-nilai, apresiasi, entusiasme, motivasi dan sikap. Ranah afektif meliputi lima kategori utama, yaitu menerima (receiving phenomena), menanggapi (responding to phenomena), menghargai (valueing), mengorganisasikan nilai-nilai (organizing values), mengkarakterisasi atau menginternalisasi nilai-nilai (Tilaar, 2011:252-

Dinamika Pembelajaran Kurikulum 2013 Sekolah... Sahajuddin

Page 14: DINAMIKA PEMBELAJARAN KURIKULUM 2013 SEKOLAH …

54

WALASUJI Volume 11, No. 1, Juni 2020:

253). Oleh sebab itu, ranah afektif ini sangat berguna untuk memfilter, memotivasi, menilai dan mengapresiasi ranah kognitif dan psikomotor sebagai wujud keunggulan dan pentingnya ranah afektif.

Menurut pengakuan beberapa guru yang dijadikan informan bahwa menilai afektif para siswa adalah gampang-gampang susah. Jika dibandingkan dengan ranah kognitif dan ranah psikomotor, maka secara umum kemampuan atau prestasi afektif para siswa paling gampang diajarkan tetapi tidak mudah diukur dan dinilai karena bersifat abstrak. Sebaliknya, dapat digampangkan jika hanya menilai berdasarkan hasil pandangan mata atau perasaan masing-masing guru, tetapi penilaian ini kurang eksak. Tidak mengherankan bila dalam praktiknya di sekolah-sekolah, termasuk dalam evaluasi hasil belajar siswa, ranah afektif cenderung dimodifikasi dan direduksi menjadi kemampuan-kemampuan kognitif. Pernyataan tersebut sama dengan apa yang dialami oleh guru-guru yang dijadikan narasumber atau informan.

Pelaksanaan K13 yang fokus pada penekanan sikap dan perilaku, menuntut juga guru-guru bidang studi selain Pendidikan Agama dan PPKn, juga harus ikut berkontribusi. Mereka ikut memberikan penilaian kepada siswa-siswa yang terkait dengan penilaian sikap dan perilaku. Penilaian itu adalah Kompetensi Inti (KI) 1 dan Kompetensi Inti (KI) 2, yaitu mata Pelajaran Agama dan mata Pelajaran PPKn. Kedua mata pelajaran itu disebut pembelajaran langsung karena memilikiKompenti Dasar (KD),atau ada pokok pembahasannya. Sementara bidang studi lain (mata pelajaran lain), selain mata pelajaran Pendidikan Agama dan PPKn seperti bidang bidang studi (mata pelajaran) Sejarah, Bahasa Indonesia, dan lain-lain, juga memberikan penilaian KI-1 dan KI-2. Tetapi bidang studi lain (di luar Pendidikan Agama dan PPKn) disebut pembelajaran tidak langsung karena tidak ada KD-nya, tidak ada topik atau pokok pembahasannya secara khususnya. Di sini kesulitan guru bidang studi selain Pendidikan Agama dan PPKn memberikan penilaian

KI-1 dan KI-2 walaupun tidak wajib sifatnya (Wawancara dengan Sarifuddin L., St. Wardha Sanusi, Sudarso, dan Sartini S., 6 Agustus 2019).

Sementara KI-3 sudah dijelaskan di atas yang terkait dengan ranah kognitif, lalu bagaimana dengan KI-4 yang terkait dengan ranah psikomotor. Ranah psikomotor (psychomotor domain) meliputi gerakan fisik (physical movement), koordinasi (coordination) dan penggunaan keterampilan motorik (motor skill).Di sekolah-sekolah dalam rangka mengembangkan kemampuan (keterampilan) ini dibutuhkan pelatihan-pelatihan (praktik), dan diukur berdasarkan kecepatan, ketepatan (precision), jarak (distance), prosedur atau teknik yang digunakan. Untuk mewujudkan itu semua tidak mungkin hanya mengandalkan keterlibatan pihak sekolah semata tetapi para siswa harus melibatkan diri di tempat lain jika memungkinkan. Menurut Tilaar bahwa ranah psikomotor juga berjenjang, mulai dari yang paling sederhana sampai yang paling rumit, yaitu: Persepsi (perception) yaitu kemampuan menggunakan tanda-tanda sensoris untuk menuntun aktivitas motorik; Kesiapan bertindak (set) yang meliputi kesiapan secara mental, fisik danemosional; Reaksi terkendali (guided response), dan seterusnya (Tilaar, 2011:253).

Ranah psikomotor sering dianggap pelengkap saja dalam sistem pembelajaran pada masa lalu karena hanya sebagai keterampilan, tetapi dalam Kurikulum 2013, persoalan ranah psikomotor sudah dianggap menjadi satu kesatuan yang terintegrasi dengan capaian prestasi para siswa. Walaupun pengaruh masa lalu yang menganggap psikomotor hanya sebagai pelengkap masih terasa, tetapi dalam K13 sudah ada mata pelajaran tersendiri yang disebut prakarya. Prakarya ini diharapkan dapat berkontribusi besar dalam pengembangan psikomotor para siswa. Ranah psikomotor di sekolah memiliki keterkaitan dengan KI-4, yaitu keterampilan prakarya yang mencakup bidang studi seni dan budaya, PJOK dan prakarya itu sendiri. Termasuk muatan lokal yang diperkuat oleh Permendikbud No. 69 Tahun 2013 tentang

41—57

Page 15: DINAMIKA PEMBELAJARAN KURIKULUM 2013 SEKOLAH …

55

WALASUJI Volume 11, No. 1, Juni 2020:

Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah.

Pentingnya muatan lokal, juga diperkuat oleh Permendikbud No. 79 Tahun 2014 tentang Muatan Lokal. Namun, berdasarkan penelitian di lapangan dapat dikatakan belum berjalan secara maksimal. Hal ini terjadi karena belum ada peraturan juknisnya atau paling tidak penegasan dari pihak Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Tenggara tentang pelaksanaan kurikulum muatan lokal (Wawancara dengan Sarifuddin L., 6 Agustus 2019). Sebenarnya mereka (para guru) sangat menyadari akan pentingnya muatan lokal atau paling tidak konten-konten lokal untuk mempertebal identitas diri sebagai bagian dari karakter. Sampai saat ini masih sebatas wacana dan belum mampu mengikat atau mewajibkan guru-guru untuk berkontribusi aktif di dalamnya.

Namun perlu mengapresiasi sebagian besar guru-guru bidang studi, asupan-asupan pengetahuan tentang muatan lokal atau konten-konten lokal berjalan atas inisiatif guru-guru. Misalnya guru-guru bidang studi Sejarah ketika membahas kompetensi dasar tertentu, misalnya membicarakan topik tentang masuknya agama Islam di Indonesia. Dalam buku pelajaran dan buku pegangan guru tidak ada yang membicarakan masuknya agama Islam di Sulawesi Tenggara. Tetapi atas inisiatif guru sendiri mencari sumber-sumber data itu. Tujuannya agar dapat membahas dan menghubungkan dengan masuknya agama Islam di Sulawesi Tenggara dan Kendari pada khususnya. Walaupun juga bidang studi Sejarah tidak diwajibkan untuk menginklukkan pada muatan/konten lokal berdasarkan Permendikbud No. 79 Tahun 2014 Tentang Muatan Lokal. Inisiatif para guru itu hanya terpanggil secara moral.

Pelaksanaan muatan lokal di Sulawesi Tenggara memiliki persoalan yang cukup rumit jika mau dilegalkan secara utuh karena 17 daerah kabupaten/kota sulit dipertemukan pendapatnya. Secara nasional, kurikulum muatan lokal diinklukkan dalam 3 mata

pelajaran, yaitu PJOK, Seni Budaya, dan Prakarya. Mestinya secara aturan, daerah sudah harus membuat kesepakatan bersama, yaitu menentukan muatan lokal mana yang disepakati untuk dimasukkan. Kemudian, dipelajari bersama dalam satu Provinsi Sulawesi Tenggara, lalu diinklukkan dalam 3 mata pelajaran tersebut di atas. Sampai saat ini di Sulawesi Tenggara, aturan yang terkait dengan muatan lokal belum terwujud. Sementara di Jawa sudah terwujud, bahkan ditambah lagi satu pelajaran inkluknya selain 3 mata pelajaran di atas dalam wajib B, yaitu mata pelajaran Muatan Lokal. Permasalahan yang ada di Sulawesi Tenggara adalah masing-masing daerah membawa semua arogansinya. Di antara mereka tidak ada yang mau mengalah, dan jika persoalan ini dibiarkan, maka pelaksanaan kurikulum bermuatan lokal tidak akan terlaksana di Sulawesi Tenggara. Solusinya hanya satu, pemerintah harus mengambil ketegasan, yaitu merumuskan dan membuat peraturan tentang langkah-langkah teknis pelaksanaan kurikulum muatan lokal, sebab kalau hasil kesepakatan bersama dari 17 kabupaten/kota ditunggu, maka kemungkinan sangat sulit untuk diwujudkan (Wawancara dengan Sarifuddin L., 6 Agustus 2019).

Pemerintah daerah, para guru, dan masyarakat pada umumnya di Sulawesi Tenggara menganggap bahwa muatan lokal sangat penting untuk pengembangan karakter dan jati diri daerah dan nasional. Walaupun juga mereka menyadari, ada persoalan lain yang menghalangi penerapan muatan lokal, yaitu tidak semua bidang studi boleh menginklukkan muatan lokal. Paling tidak kalau sudah ada ketegasan dari pemerintah, maka pihak sekolah mau tidak mau, pasti akan melaksanakannya. Kendala dan tantangan lain tentang muatan lokal karena terbatasnya muatan lokal yang tersedia dan diakui secara nasional. Muatan lokal yang diakui secara nasional baru bahasa daerah, dan itu pun baru Bahasa Daerah Jawa, Sunda, Bali dan Batak. Selebihnya bahasa daerah lainnya belum diakui secara nasional dan belum terdaftar dalam data dapodik tingkat nasional. Sementara

Dinamika Pembelajaran Kurikulum 2013 Sekolah... Sahajuddin

Page 16: DINAMIKA PEMBELAJARAN KURIKULUM 2013 SEKOLAH …

56

WALASUJI Volume 11, No. 1, Juni 2020:

pembelajaran harus berdasarkan data dapodik, jika tidak terdaftar di data dapodik maka sekolah akan rugi, lebih-lebih gurunya karena tidak dihitung jamnya (Wawancara dengan Sarifuddin L., 6 Agustus 2019).

Narasumber/ Informan yang diwawancarai:

1. Sarifuddin L. Sebagai guru bagian pengembangan kurikulum

2. ST. Wardha Sanusi, sebagai guru PKn3. Sudarso sebagai guru sejarah, sebagai

ketua MGMP sejarah Provinsi Sulawesi Tenggara, juga sebagai instruktur K13

4. Sartini, S. sebagai guru Pendidikan Agama Islam

5. Sukadi L. sebagai guru sejarah dan sebagai instruktur K13

6. Muh. Djafarsebagai guru PKn7. St. Suraidah AD. Datu, sebagai guru

agama8. Lisnawati sebagai kepala sekolah dan

instruktur K13

PENUTUP

Sistem pendidikan yang terjabarkan dalam kurikulum diharapkan dapat berproses dengan baik untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Sayangnya setiap kurikulum yang pernah diterapkan di Indonesia selalu diganti sebelum tujuannya terwujud secara maksimal dan berkeadilan. Hasilnya pun tidak merata dari Sabang sampai Merauke, sehingga menjadi salah satu bukti bahwa tujuan pendidikan nasional belum tercapai. Kemudian, muncul Kurikulum 2013 sebagai kurikulum terpadu yang mengintegrasikan beberapa konsep, tetapi dalam implementasi di sekolah-sekolah berdasarkan pandangan beberapa guru berbeda-beda. Konsepnya dinilai sangat bagus, namun perlu pembenahan dari beberapa sisi, terutama sistem penilaian dan jumlah beban jam wajib mengajar. Sistem penilaiannya rumit karena banyak unsur penilaiannya. Termasuk adanya penekanan dan penilaian pada 4 Kompetensi Inti (KI) mengenai sikap spiritual;

kompetensi inti sikap sosial; kompetensi inti pengetahuan; dan kompetensi inti keterampilan.Waktu banyak tersita ketimbang substansi mengajarnya, sehingga terkadang penilaiannya dan nilainya dimodifikasi. Sementara guru dalam melaksanakan tugasnya, juga memiliki beberapa peran yang wajib mereka tunaikan.

Pembelajaran Kurikulum 2013 merupakan pembelajaran aktif, dimaksudkan agar siswa aktif bertanya, mempertanyakan, dan mengemukakan gagasan. Pendidikan dan pembelajaran juga bukan hanya tanggung jawab sekolah melainkan juga lingkungan masyarakat.Hal ini menunjukkan betapa pentingnya menciptakan kemitraan yang berkelanjutan, sehingga harus memaksimalkan peran Komite Sekolah yang terkait dengan Pemberi pertimbangan (advisory agency); Pendukung (supporting agency); Pengontrol (controlling agency); dan Mediator (mediator agency). Demikian juga Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) harus dimaksimalkan karena terbukti memiliki peran dan kontribusi dalam proses pembelajaran dan peningkatan sistem pendidikan sebagaimana pengakuan beberapa guru.

Sasaran utama pendidikan dan pembelajaran adalah siswa. Jadi apa yang diperoleh siswa, maka itulah sebagai wujud dan cerminan output pendidikan. Kemampuan-kemampuan yang diperoleh para siswa menjadi prestasi belajar (learning achievement) yang meliputi tiga ranah (bidang), yaitu ranah kognitif, ranah afektif dan ranah psikomotor. Namun, prestasi itu tidak terwujud jika gurunya juga tidak memiliki kompetens, sehingga guru dituntut memenuhi kompetensinya terlebih dahulu. Kompetensi yang dimaksud adalah kemampuan individu guru yang dilandasi pengetahuan, keterampilan dan sikap guru dalam melaksanakan suatu pekerjaan. Bagaimana guru dapat melaksanakan perannya dengan sempurna jika kompetensi guru kurang terpenuhi. Lalu bagaimana kompetensi itu dapat tercapai jika pemerintah tidak hadir secara aktif memenuhinya. Kalau diserahkan pada masing-

41—57

Page 17: DINAMIKA PEMBELAJARAN KURIKULUM 2013 SEKOLAH …

57

WALASUJI Volume 11, No. 1, Juni 2020:

masing guru, kecil kemungkinan tercapai sebab waktu guru hanya habis dalam proses pemenuhan jam wajib mengajar dan proses penilaian siswa, sebab K13 yang mempersempit waktu belajar para guru untuk meningkatkan kompetensinya. Dinamika itu menjadi bagian dari problematika tersendiri yang ada di sekolah-sekolah, baik di kota maupun di daerah.

DAFTAR PUSTAKA

Gottschalk, Louis. 1985. Mengerti Sejarah (diterjemahkan oleh Nugroho Notosusan-to). Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Hamalik, Oemar. 2007. Manajemen Pengembangan Kurikulum. Bandung: PT Remaja Rosda Karya.

Huda. 2013.Model-model pengajaran dan pembelajaran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

https://www.4muda.com/inilah-11-jenis-kurikulum-pendidikan-indonesia-dari-1947-hingga-2015/).

Jujun, S. & Sumantri. 1980. Ilmu dalam perspektif. Jakarta: Yayasan Obor.

Kartodirdjo, Sartono. 1985. Pemikiran dan Perkembangan Historigrafi Indonesia: Suatu Alternatif. Jakarta: Gramedia.

Kurinasih, Imas dan Sani, Berlin. 2014. Implementasi Kurikulum 2013: Konsep dan Penerapan. Surabaya: Kata Pene.

Mulyasa, E. 2005.Manajemen Berbasis Sekolah, Konsep, Strategi dan Implementasi. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Nurdin, Syafruddin dan Usman, Basyiruddin. 2002. Guru Profesional dan Implementasi Kurikulum. Jakarta: Ciputat Press.

Permendikbud No. 69 Tahun 2013 Tentang Kerangka Dasar Dan Struktur Kurikulum Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah.

Permendikbud No. 79 Tahun 2014 Tentang Muatan Lokal. (Wawancara dengan Sudarso pada 6 Agustus 2019).

Sukmadinata, Nana Syaodih. 1997. Pengembangan Kurikulum, Teori dan Praktek. Bandung: PT Remaja Rosda Karya.

Syaiful dan Aswan. 2010. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta.

Tilaar, H.A.R. 2011. “Manajemen Proses Peningkatan Mutu Pendidikan di Pulau Terpencil: Kasus Peningkatan Mutu SD di Kabupaten Lembata, NTT”, dalam Nuning Ahmadi The Smeru Research Institu.(et.). 2011. Prosiding, Riset Kebijakan Pendidikan Anak Indonesia, Jakarta, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, UNICEP Indonesia, dan Lembaga Penelitian SMERU 2012.

Undang Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Undang Undang No. 05 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan.

Dinamika Pembelajaran Kurikulum 2013 Sekolah... Sahajuddin