DINAMIKA KEPENDUDUKAN DI IBUKOTA JAKARTA Deskripsi ...
Transcript of DINAMIKA KEPENDUDUKAN DI IBUKOTA JAKARTA Deskripsi ...
GENTA MULIA ISSN: 2301-6671
Volume VIII No. 2, Juli 2017
Page : 54 – 67
54
DINAMIKA KEPENDUDUKAN DI IBUKOTA JAKARTA
(Deskripsi Perkembangan Kuantitas, Kualitas dan Kesejahteraan Penduduk
di DKI Jakarta)
Rahmatulloh
Universitas Indraprasta PGRI Jakarta
Jl. Nangka No.58 Tanjung Barat, Jagakarsa Jakarta Selatan Email:[email protected]
abstrak: Kajian tentang Dinamika Kependudukan di Ibukota Jakarta ini adalah memaparkan Perkembangan
Kuantitas, Kualitas dan Kesejahteraan Penduduk di Wilayah DKI Jakarta dengan pendekatan Deskriptif dari
beragam sudut pandang demografi Ibukota, baik dari segi capaian Indeks Pembangunan Manusia dan
kesejahteraan pembangunan untuk kualitas hidup layak. Metode yang digunakan adalah studi kepustakaan
(library research) dan analisa dokumenter. Hasil yang dapat diuraikan bahwa perkembangan penduduk
penghuni Ibukota yang cukup tinggi dari rata-rata secara nasional. Meskipun demikian peningkatan kualitas
hidup penduduk Jakarta tingkat kesejahteraannya masih belum sesuai yang diharapkan.
Kata Kunci: Kependudukan, Komposisi, Kualitas, dan Kesejahteraan.
PENDAHULUAN
Kedudukan Jakarta sebagai ibu kota
Negara, menjadikan gengsi tersendiri yang
menarik minat banyak orang datang ke Jakarta
sehingga membuatnya seperti “gula” yang
menjanjikan. Selain itu Jakarta merupakan
pintu gerbang utama Indonesia bagi hubungan
internasional, yakni pusat kegiatan politik
ASEAN dan salah satu sentra politik Asia-
Pasifik tempat keberadaan Kedutaan Besar
negara sahabat serta kantor-kantor perwakilan
maupun organisasi internasional lainnya.
Sebagai kota pusat kegiatan ekonomi regional,
nasional, dan internasional, di mana hampir 80
% kegiatan ekonomi di Indonesia berpusat di
Jakarta, bahkan 65% uang nasional beredar di
wilayah Ibukota ini. Jakarta juga merupakan
pusat kegiatan sosial-budaya, serta pusat ilmu
pengetahuan dan teknologi. Daya tarik inilah
yang membuat Jakarta semakin mengalami
pertumbuhan dan perkembangan penduduk
yang pesat.
Meski menjadi ikon Ibukota Negara RI,
namun Jakarta sebagai wilayah Urban ternyata
kondisi penduduknya masih relatif rural dalam
ikatan yang kaya tradisi lokal (sebagaimana
masih dominan dalam ikatan budaya atau
enkulturasi yang ada pada tradisi masyarakat
pedesaan) yang kini menjadi “perkampungan
besar” (the big village) didiami oleh penduduk
yang beragam etnis, tradisi budaya, bahasa dan
seni, bahkan hingga keragaman dalam
beragama dan kepercayaan yang dianut
warganya. Meskipun Jakarta dikenal perkotaan
megapolis sebagai pusat Ibukota Negara,
namun penghuninya yang multikultur membuat
Jakarta semakin menggambarkan pesona
keindonesiaan. Namun dibalik itu, justru
GENTA MULIA ISSN: 2301-6671
Volume VIII No. 2, Juli 2017
Page : 54 – 67
55
Jakarta menunjukkan kesemrawutannya
karenanya laju pembangunan sering dihadapkan
pada masalah perkotaan pada umumnya, yakni
lingkungan hidup, pemukiman/perumahan,
sampah atau limbah kota, ketertiban, lalu lintas,
ketenagakerjaan, pendidikan, kesehatan,
fasilitas umum dan sosial sarana perkotaan.
Kepadatan penduduk yang populasinya
selalu bertambah terus bergeser hingga ke
pinggiran Jakarta seperti Bogor, Depok, Bekasi,
dan Tangerang yang kemudian dilirik para
pengembang ekonomi dan pengusaha property
dari Jakarta untuk mengembangkan usahanya
sehingga tumbuh menjadi kota-kota penyangga
yang maju dengan pesat. Hampir mayoritas
warga pendatang setiap harinya hilir mudik
memenuhi Ibukota kebanyakan berasal dari
kawasan kota penyangga satelit tersebut.
Mereka para pendatang inilah dikenal sebagai
commuter.
Seiring dengan pertambahan jumlah
penduduk Ibukota yang demikian pesatnya,
sudah terlampau banyak berbagai pemukiman
dibangun di Jakarta, baik secara mandiri oleh
perorangan atau warga, dan maupun swasta
atau pengembang, dan institusi milik
pemerintah atau negara. Membatasi para
pendatang ke Jakarta adalah kemustahilan
sepertihalnya kota-kota besar umumnya,
apalagi mengingat kedudukannya sebagai pusat
Ibukota negara yang sudah menjadi entitas dan
prestise bagi publik.
Kepadatan penduduk yang sudah parah
di Jakarta menimbulkan masalah bagi
lingkungan yang sudah tidak lagi memadai
daya dukungnya seperti permukiman, sampah,
kemacetan lalu lintas, dan ketiadaan lahan yang
cukup ruang publik. Permasalahan lebih lanjut
yang timbul akibat dari problem kependudukan
tersebut menjadi beban pekerjaan pemerintah
DKI yang tidak akan ada selesainya dalam
berbagai upaya meningkatkan layanan
pembangunan bagi warganya, dimulai dari
masalah perumahan, kesempatan kerja,
pendidikan, kesehatan, keamanan, pengelolaan
sampah, ruang terbuka hijau, ruang atau taman
bagi publik yang sehat dan nyaman, hingga
tempat pemakaman (kuburan) di lingkungan
komunitas warga tinggal.
Kencangnya arus penduduk urban
Ibukota menjadikan pemerintah dan
stakeholders di Jakarta memecahkan masalah
perkotaan melalui berbagai kebijakan strategis
dalam penataan kota yang diharapkan sebagai
barometer bagi layanan publik. Peningkatan
akses layanan dalam pembangunan pendidikan
dan kesehatan hingga pemenuhan ketersediaan
kebutuhan pokok dan lain sebagainya untuk
peningkatan kesejahteraan warga Ibukota
menjadi program prioritas pemerintah provinsi
DKI Jakarta. Mengingat Jakarta tidak memiliki
kekayaan alam yang tersedia untuk dieksplorasi
bagi pemenuhan kebutuhan penduduknya
sehingga peningkatan SDM bagian dari agenda
utama pembangunan selain penataan ruang
wilayah di Ibukota.
Kajian ini menggunakan konsep
dinamika kependudukan yang meliputi tingkat
pertumbuhan, persebaran, komposisi dan
kualitas penduduk. Dalam R.H. Parjoko
(1981;6) dinyatakan bahwa sebagai fenomena
GENTA MULIA ISSN: 2301-6671
Volume VIII No. 2, Juli 2017
Page : 54 – 67
56
yang sudah menjadi maslaah dalam
kependudukan antara lain;
a. tekanan-tekanan pada usaha peningkatan
ekonomi karena jumlah penduduk yang
besar dan laju pertambahan penduduk yang
cepat;
b. tekanan-tekanan pembangunan pendidikan
dan tenaga kerja karena komposisi
penduduk berusia muda dan pertambahan
yang cepat dari golongan penduduk usia
sekolah dan tenaga kerja;
c. masalah usaha keamanan dan pembangunan
daerah karena tidak terpenuhinya
kesempatan kerja dan kepadatan penduduk
yang tinggi serta tidak merata dan
sebagainya.
Diperjelas kembali dalam Dias
Pudyastuti & Ismail Arianto (2010;7) bahwa
untuk mengetahui jumlah penduduk saja tidak
dapat memberikan gambaran yang sebenarnya
tentang masalah penduduk. Juga kepadatan
penduduk, yang merupakan perbandingan
antara jumlah penduduk dan luas tanah bukan
berarti selalu identik (sama) dengan masalah
penduduk. Masalah kependudukan di Indonesia
dapat dibagi menjadi paling sedikit tiga
golongan besar yaitu:
1. tingkat pertumbuhan penduduk yang terlalu
cepat
2. penyebaran penduduk yang tidak merata
3. masalah kualitas penduduk
Dalam Sudjarwo (2004;40) yang
dimaksud indikator kesejahteraan rakyat adalah
indikator tingkat kesejahteraan penduduk
sebagai cerminan kualitas SDM (Sumber Daya
Manusia) suatu negara yang mencakup
indikator-indikator kepedudukan, perumahan
dan lingkungan, pola konsumsi, pendidikan,
kesehatan, gizi, ketenagakerjaan dan
pengeluaran.
Sedangkan untuk mengukur
kesejahteraan masyarakat, ada sebuah indeks
gabungan yang dikenal dengan Physical
Quality of Life Index (PQLI) dan Indeks
Kualitas Hidup (IKH) yang diperkenalkan oleh
Morris D. Morris. IKH tersebut terdiri dari 3
indikator, yaitu; tingkat harapan hidup, angka
kematian, dan tingkat melek huruf (Chabib
Soleh, 2014;64).
Sedangkan Indeks Pembangunan
Manusia (IPM) atau Human Development Index
(HDI) merupakan informasi tentang berbagai
hal yang berakitan dengan perkembangan dan
kondisi kependudukan suatu negara atau
negara-negara di dunia yang disusun oleh
UNDP (Sudjarwo, 2004;36).
Masih menurut Sudjarwo (2004;40),
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau
Human Development Index (HDI) ialah suatu
indikator yang digunakan untuk mengukur
kualitas SDM yang mencakup tiga aspek utama
yang terkait dengan kualitas SDM, yaitu:
1. Aspek pendidikan ditunjukkan dengan
tingkat melek huruf dan rata-rata lama
pendidikan;
2. Aspek kesehatan yang ditunjukkan dengan
angka harapan hidup, angka kematian bayi
waktu lahir, dan angka kematian ibu waktu
melahirkan;
3. Aspek ketenagakerjaan yang ditunjukkan
dengan tingkat pengeluaran untuk konsumsi
pertahun.
GENTA MULIA ISSN: 2301-6671
Volume VIII No. 2, Juli 2017
Page : 54 – 67
57
Sebagaimana dikemukakan oleh
penganjur IPM atau HDI, yakni Mahbub ul Haq
seorang Ekonom dan mantan Menkeu Pakistan
serta Direktur Perencanaan Bank Dunia (1970-
1982), Human Development adalah sebuah
lingkungan dimana orang atau penduduk dapat
mengembangkan potensi yang dimilikinya
secara penuh, menjadikan hidup mereka
produktif dan kreatif sesuai kebutuhan dan
keinginannya. Penduduk adalah kekayaan nyata
dari sebuah bangsa (Riwanto Tirtosudarmo
dalam Prijono Tjiptoherijanto dan Laila Nagib,
2008;19-20).
Laila Nagib mengungkap bahwa laporan
tahunan HDI menegaskan bahwa
pengembangan SDM merupakan dimensi
penting untuk mencapai kemajuan
pembangunan suatu negara sekaligus sebagai
salah satu tolak ukur kesejahteraan
penduduknya (Prijono Tjiptoherijanto dan Laila
Nagib, 2008;4). Pembangunan SDM pada
dasarnya adalah pembangunan manusia sebagai
subyek (human capital) dan sebagai obyek
(human resourch) dalam pembangunan yang
mencakup seluruh siklus hidup manusia.
Manusia sebagai penduduk terdiri dari laki-laki
dan perempuan, kelompok umur (anak, remaja,
pemuda, usia produktif, usia reproduktif, dan
usia lanjut), serta kelompok miskin dan rentan.
Sehingga dimensi pembangunan SDM meliputi
tiga aspek utama, yakni kualitas, kuantitas, dan
mobilitas penduduk (Prijono Tjiptoherijanto
dan Laila Nagib, 2008;219-220).
IPM/HDI yang dikeluarkan oleh UNDP
setiap tahunnya berupa Human Development
Report menyusun perbandingan kinerja
pembangunan kualitas SDM antar negara di
dunia, dengan menggunakan ukuran HDI/IPM.
Terdapat 4 faktor yang digunakan dalam
mengukur IPM/HDI tersebut, yakni:
1. Usia harapan hidup;
2. Tingkat melek huruf;
3. Tingkat partisipasi penduduk dalam
pendidikan;
4. Pendapatan perkapita.
Dengan IPM/HDI, maka setiap negara
dituntut untuk memberi prioritas penting
pembangunan SDM karena berkontribusi pada
produktivitas tenaga kerja serta berimplikasi
pada pertumbuhan ekonomi yang berujung
pada peningkatan kualitas hidup dan
kesejahteraan penduduk. Dengan demikian,
indikator kesejahteraan merupakan bagian dari
hasil kemajuan dalam pembangunan SDM yang
diukur melalui laporan IPM/HDI.
Kajian ini bertujuan untuk memaparkan
aspek demografi dari dinamika kependudukan
dan kualitas hidup atau kesejahteraan yang
terkait dengan tingkat indeks pembangunan
manusia di DKI Jakarta sejak 2009 hingga
2016. Mengingat 2017 belum dapat diketahui
atau masih berjalan.
METODE
1. Metode Pengumpulan dan Pengolahan
Data
Metode pengumpulan dan pengolahan data
yang digunakan dalam kajian ini antara lain:
a. Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan (library research)
sebagai literatur yang diharapkan dapat
menyajikan sumber data yang menjadi
GENTA MULIA ISSN: 2301-6671
Volume VIII No. 2, Juli 2017
Page : 54 – 67
58
referensi penting yang diperlukan berkenaan
dengan objek kajian dalam pembahasan ini.
Data pustaka terkait topik materi
pembahasan ini, mengingat fokusnya
menyangkut Dinamika Kependudukan di
wilayah Provinsi DKI Jakarta, maka
menjadi acuan utama.
b. Studi Dokumenter
Studi dokumen adalah berupaya menggali
informasi yang akurat sebagai sumber dan
penguat data dalam tataran implementasi,
berupa kejadian faktual yang
terdokumentasikan/tercatat, baik dalam arsip
atau dokumen penting berupa notulensi,
keputusan/rekomendasi organisasi, hingga
surat edaran tentang suatu kebijakan atau
himbauan resmi. Termasuk pula sebagai
dokumentasi adalah pembicaraan atau
informasi yang terbuka untuk publik atau
terpublis media sebagaimana mengenai data
statistika perkembangan penduduk.
2. Metode Analisis dan Pengujian Data
Sesuai dengan obyek kajian dari
permasalahan yang hendak dibahas dalam
penulisan ini, maka perlu diperhatikan
prinsip-prinsip ilmiah yang menjadi acuan
akademik berupa pendekatan analisis
dengan menggunakan metode deskriptif.
Untuk keabsahan data pengujiannya dengan
data yang diperoleh dilakukan klasifikasi
dan diversifikasi secara kualitatif.
PEMBAHASAN
1. Wilayah Administrasi, Pertumbuhan,
Persebaran dan Komposisi Penduduk di
DKI Jakarta
Jumlah wilayah administrasi di DKI pun
mengalami penambahan yang semula 43
kecamatan menjadi 44 kecamatan, dan dari 265
kelurahan menjadi 267 kelurahan. Lembaga
kemasyarakatan berbasis lingkungan warga
masyarakat atau penduduk berdasarkan tempat
tinggal dibentuk RT dan RW untuk
memudahkan koordinasi pelayanan pemerintah.
Struktur administrasi wilayah DKI Jakarta
dibagi menjadi Rukun Warga (RW) dan Rukun
Tetangga (RT). Pada tahun 2014, jumlah RW
diseluruh DKI Jakarta sebanyak 2.726 dan RT
sebanyak 30.535 dan pada tahun 2016 diseluruh
DKI Jakarta terdapat 2.728 Rw dan 30.337 RT
sebagaimana tabel 1 berikut:
Tabel 1. Luas Daerah dan Pembagian Daerah Administrasi Menurut Kabupaten/Kota
Administrasi
No Kota/Kabupaten
Administrasi
LuasArea Jumlah
(km2) Kecamatan Kelurahan RW RT
1. Jakarta Pusat 48 8 44 390 4.577
2 Jakarta Utara 147 6 31 448 5.181
3 Jakarta Barat 130 8 56 584 6.467
4 Jakarta Selatan 141 10 65 576 6.081
5 Jakarta Timur 188 10 65 705 7.904
6 Kep. Seribu 9 2 6 25 127
Jumlah 662 44 267 2.728 30.337
Sumber: Biro Tata Pemerintahan Setda Provinsi DKI Jakarta 2017.
Pertumbuhan penduduk yang cukup
tinggi sudah terjadi sejak era kolonial oleh
penguasa Batavia, pertengahan 1619 M, Jean
Pieterszoon Coen (Gubernur VOC Belanda)
GENTA MULIA ISSN: 2301-6671
Volume VIII No. 2, Juli 2017
Page : 54 – 67
59
yang menjadikannya sebagai pusat kekuasaan
dan perdagangan hasil bumi yang tersohor
dengan mendatangkan beberapa etnis
memenuhi daratan bekas Sunda Kelapa dan
Jayakarta.
Pada tahun 1870, jumlah penduduk
Batavia baru sekitar 65.000 jiwa, dan awal abad
ke-20 (1901) jumlah penduduk sebanyak
115.900 jiwa. Jumlah penduduk pun kian
bertambah dari tahun ke tahun, terutama setelah
Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945 dimana
jumlah penduduk Jakarta telah mencapai
600.000 jiwa. Setelah dinyatakan sebagai ibu
kota negara RI, penduduk Jakarta meningkat
pesat. Lima tahun berselang, tepatnya tahun
1950 jumlah penduduk Jakarta naik tiga kali
lipat, yaitu 1.733.600 jiwa.
Dari sensus ke sensus (10 tahunan)
Jakarta menunjukkan lonjakan penduduk. Pada
kurun waktu tahun 1961-1990 saja terlihat
ledakannya. Pada tahun 1961 jumlah penduduk
Jakarta tumbuh pesat dari 2,9 juta jiwa menjadi
4,6 juta jiwa pada tahun 1971. Laju
pertumbuhan penduduk pertahunnya sebesar
4,58%. Sepuluh tahun berikutnya, jumlah
penduduk bertambah lagi menjadi 6,5 juta jiwa,
dengan laju pertumbuhan 4,02% pertahun.
Tahun 1990, penduduk DKI Jakarta naik sekitar
1,7 juta jiwa, sehingga jumlah penduduk
menjadi 8,3 juta jiwa.
Baru selama periode 1980-1990 laju
pertumbuhan penduduk pertahunnya sebesar
2,41%. Pada periode ini mengalami penurunan
dibandingkan periode sepuluh tahun
sebelumnya. Begitupun juga pada kurun waktu
1990-2000 pertumbuhan penduduk DKI Jakarta
dapat dikendalikan, sehingga kenaikannya
hanya sekitar 0,14%. Namun, pada periode
2000-2010, laju pertumbuhan penduduk Jakarta
mengalami kenaikan menjadi 1,43%, dan
bahkan kemudian, dalam catatan selama tiga
tahun kemudian (periode 2010-2013), laju
pertumbuhan penduduk naik lagi menjadi
1,65%. Berdasarkan angka Statistik
Daerah dari Badan Pusat Statistik (BPS)
Provinsi DKI Jakarta tahun 2014 Laju
pertumbuhan penduduk DKI Jakarta tahun
2014 sekitar 1,06%, dan pada tahun 2015
lajunya sebesar 1,09%, sedangkan pada tahun
2016 sekitar 0,98% dengan kepadatan
penduduk sebesar 15.520 jiwa/km2.
Di bawah ini merupakan tabel 2
mengenai jumlah hasil sensus penduduk Jakarta
yang dapat diamati dari jumlah penduduk dan
prosentase pertumbuhannya yang cukup pesat.
Tabel 2.Perkembangan Jumlah Penduduk
Kota Jakarta
Tahun Jumlah
Penduduk ± %
1870 65.000 -
1875 99.100 + 52,5 %
1880 102.900 + 3,8 %
1890 105.100 + 2,1 %
1895 114.600 + 1,1 %
1901 115.900 + 19,6 %
1918 234.700 + 8,1 %
1925 290.400 + 14,1 %
1930 435.184 + 49,9 %
1940 533.000 + 22,5 %
1945 600.000 + 12,6 %
1950 1.733.600 + 188,9 %
1959 2.814.000 + 62,3 %
1961 2.906.533 + 3,3 %
1971 4.546.492 + 56,4 %
1980 6.503.499 + 43 %
1990 8.259.633 + 27 %
2005 8.540.306 + 1,9 %
GENTA MULIA ISSN: 2301-6671
Volume VIII No. 2, Juli 2017
Page : 54 – 67
60
2010 9.607.787 + 12,5 %
Adapun perkembangan penduduk
terakhir dari data statistik BPS DKI Jakarta
tahun 2015 dapat dilihat pada tabel 3 berikut
ini:
Tabel 3. Penduduk Provinsi DKI Jakarta 2011-2016
No Uraian Satuan 2011 2012 2013 2014 2015 2016
1 Jumlah Jiwa 9.752.100 9.862.100 9.969.900 10.075.300 10.177.924 10.277.626
2 Laki-laki Jiwa 4.927.800 4.976.100 5.023.400 5.069.900 5.115.357 5.159.683
3 Perempuan Jiwa 4.824.300 4.886.000 4.946.500 5.005.400 5.062.567 5.117.945
4 Pertumbuhan % 1,16 1,13 1,09 1.06 1.09 0.98
5 Densitas Jiwa/Km2 14.724 14.890 15.053 15.234 15.37 15.52
6 SexRatio % 102,1 101,8 101,6 101,7 101,04 100.82
Sumber: Statistik Daerah BPS Provinsi DKI Jakarta, 2017
Namun, angka dalam tabel 3 tersebut
hanya menggambarkan Jakarta dari segi angka
yang tercatat sebagai penduduk di malam hari,
karena sebenarnya pada siang hari, diperkirakan
kota Jakarta disesaki oleh sekitar lebih dari 12
juta jiwa (ditambah jumlah warga Bogor,
Depok, Tangerang, dan Bekasi yang bekerja
atau sibuk berlalu-lalang dengan urusan
pemenuhan kebutuhan di Jakarta). Sehingga
Kota Jakarta kian terbebani oleh setumpuk
masalah kependudukan.
Dalam Eko Siswono (2015;45)
dijelaskan bahwa komposisi penduduk
merupakan pengelompokan penduduk
berdasarkan ciri-ciri tertentu yang secara umum
dapat diklasifikasikan sebagai berikut; (a)
Biologis (umur dan jenis kelamin); (b) Sosial
(tingkat pendidikan, status perkawinan); (c)
Ekonomi (kegiatan penduduk yang aktif secara
ekonomi, lapangan usaha, status, dan jenis
pekerjaan, tingkat pendapatan); dan (d) Letak
geografis (tempat tinggal, daerah perkotaan,
perdesaan, provinsi, kabupaten).
Dalam bahasan ini komposisi penduduk
dibatasi pada kategori warga usia produktif
yang singkatnya dilihat secara biologis dan
ekonomis sebagaimana gambar 1 berikut ini:
Gambar 1
Piramida Komposisi Penduduk DKI Jakarta
berdasarkan kelompok usia Tahun 2016
Dari piramida penduduk di atas dapat
dilihat bahwa komposisi penduduk DKI
Jakarta, lebih banyak dihuni penduduk usia
produktif yaitu 15-64 tahun sebanyak 7.324.391
jiwa atau sebesar 71,27%. Persentase penduduk
GENTA MULIA ISSN: 2301-6671
Volume VIII No. 2, Juli 2017
Page : 54 – 67
61
yang belum memasuki usia produktif yakni usia
0-14 tahun sebanyak 2.553.935 jiwa atau
24,85%, sedangkan penduduk yang tidak
produktif lagi atau melewati masa usia lanjut
berjumlah 399.302 atau 3,89%. Dengan
demikian dapat dilihat bahwa rasio
ketergantungan penduduk DKI Jakarta atau
dependency ratio (DR) pada tahun 2016 sebesar
28,73%. Ini berarti dari 100 penduduk usia
produktif DKI Jakarta akan menanggung secara
ekonomi sebesar 28,73 penduduk usia tidak
produktif.
2. Kualitas Hidup Penduduk Jakarta dari
segi Capaian Indek Pembangunan
Manusia dan Indikator Kesejahteraan
Pembangunan.
a. Capaian Indeks Pembangunan Manusia
(IPM)/Human Development Index (HDI)
di DKI Jakarta Adapun peningkatan hasil kinerja
pembangunan DKI Jakarta juga digunakan
ukuran pencapaian beberapa indikator dalam
Indeks Pembangunan Manusia
(IPM)/Human Development Index (HDI).
IPM atau HDI yang merupakan indikator
penting dapat digunakan melihat upaya dan
kinerja pembangunan yang ditujukan untuk
meningkatkan kualitas penduduk. Indeks ini
dihitung secara komposit, dengan cara
mengukur Angka Harapan Hidup (AHH),
angka melek Huruf (AMH) Rata-Rata Lama
Sekolah, serta kemampuan daya beli yang
diperoleh dari rata-rata pengeluaran per
kapita Riil. Selama 2013 IPM DKI Jakarta
tercatat sebesar 78,59, dan pada 2014
tercatat sebesar 78,39 setelah adanya
rekomendasi perubahan dari UNDP. Pada
2015 menjadi 78,99. Pada level provinsi
IPM DKI Jakarta adalah yang tertinggi di
antara provinsi-provinsi lainnya. Lihat pada
tabel 4 berikut:
Tabel 4. Perbandingan Angka IPM Nasional dan DKI Jakarta 2009-2015
Uraian 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
DKI
Jakarta 77,36 77,60 77,97 78,33 78,59 78,39 78,99
Nasional 71,76 72,27 72,77 73,29 73,81 68,90 69,55
Sumber: BPS Provinsi DKI Jakarta
b. Distribusi Pendapatan dan Koefisien Gini
di DKI Jakarta Adapun tingkat Koefisien Gini di DKI
Jakarta selama periode 2010-2014 relatif stabil.
Ini menunjukkan perubahan distribusi
pendapatan DKI Jakarta relatif tidak berubah,
namun demikian ketimpangan pendapatan yang
terjadi di DKI Jakarta selama periode 2010-
2014 semakin besar meskipun masih dalam
kategori ketimpangan rendah. Pada tahun 2012
kategori ketimpangan sebesar 0,397, tahun
2013 0,364 dan tahun 2014 sebesar 0,436.
Periode 2014-2016 menunjukan
penurunan. Dibandingkan dengan Gini Ratio
September 2015 yang sebesar 0,421, Gini Ratio
September 2016 turun sebesar 0,024 poin.
GENTA MULIA ISSN: 2301-6671
Volume VIII No. 2, Juli 2017
Page : 54 – 67
62
Distribusi pengeluaran kelompok penduduk
40% terbawah adalah sebesar 16,49%. Dengan
demikian, pengeluaran penduduk masih berada
pada kategori tingkat ketimpangan sedang. Di
bawah ini merupakan tabel 5 mengenai angka
distribusi pendapatan dan Gini Rasio di DKI
sejak 2009 hingga 2016.
Tabel 5. Angka Distribusi Pendapatan dan Gini Ratio DKI Jakarta (persen)
Tahun
Tahun
Gini Ratio 40 %
Berpendapat
Rendah
40 %
Berpendapat
Sedang
20 %
Berpendapat
Tinggi
2009 18,29 35,63 45,08 34,00%
2010 18,25 34,08 47,66 38,10%
2011 16,96 35,37 47,67 38,50%
2012 15,67 33,94 50,39 39,70%
2013 17,59 31,51 50,90 36,40%
2014 14,66 35,55 49,79 43,60%
2015 16,57 33,48 49,95 42,11%
2016 16,49 37,29 46,22 39,70%
Sumber : BPS Provinsi DKI Jakarta 2017 (Data Per September Tiap Tahun)
c. Jumlah Keluarga Miskin di DKI Jakarta
Umumnya, besar kecilnya angka
penduduk miskin sangat dipengaruhi oleh
Garis Kemiskinan (GK), yaitu sejumlah
rupiah yang diperlukan untuk memenuhi
kebutuhan minimal makanan dan non
makanan, yang merupakan rata-rata
pengeluaran perbulan perkapita. Model
perhitungan penduduk miskin melalui
metode ini dilakukan dengan menghitung
komponen Garis Kemiskinan Makanan
(GKM) dan Garis Kemiskinan Non
Makanan (GKNM).
Data kemiskinan yang dikeluarkan
BPS DKI Jakarta pada bulan September
2015 jumlah penduduk miskin di DKI
Jakarta tercatat sebesar 368,67 ribu orang
(3,61 persen). Pada tahun 2016 jumlah
penduduk miskin naik menjadi 385.84 ribu
orang. Adapun Garis Kemiskinan di DKI
Jakarta sebesar Rp 510.359,- perkapita
perbulan pada 2016. Mengalami kenaikan
dari tahun lalu dimana Garis Kemiskinannya
sebesar 503.040,- perkapita perbulannya
pada 2015.
Berbeda dengan penjelasan dalam
Laporan Keterangan Pertanggungjawaban
(LKPJ) Gubernur DKI Jakarta Tahun 2016
(Edisi April 2017 dan dibacakan pada
Kamis 6 April 2017) dinyatakan bahwa
jumlah penduduk miskin di DKI pada 2016
turun menjadi 385.84 ribu orang dari tahun
2015 sebesar 398,92 ribu.
Dapat dilihat perkembangan
mengenai jumlah penduduk miskin dan
Garis Kemiskinan di DKI dari tahun ke
tahun (2010-2015) pada tabel 6 berikut:
GENTA MULIA ISSN: 2301-6671
Volume VIII No. 2, Juli 2017
Page : 54 – 67
63
Tabel 6. Angka Kemiskinan DKI Jakarta
Uraian 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Jumlah penduduk
miskin DKI Jakarta
(ribu orang)
323,20 312,20 355,20 366,77 371,70 412,79
368,67 385.84
Garis Kemiskinan
DKI Jakarta (Ribu
Rupiah)
316,94 331,17 355,48 392,57 434,32 459,56
503,04 510.35
Sumber : BPS Provinsi DKI Jakarta 2016
Peranan komoditi makanan terhadap
Garis Kemiskinan jauh lebih besar
dibandingkan peranan komoditi bukan
makan (perumahan, sandang, pendidikan
dan kesehatan). Sumbangan Garis
Kemiskinan Makanan terhadap Garis
Kemiskinan September 2014 sebesar 64,75
persen (Rp 297.543), dan pada September
2015 sebesar 65,14 persen (Rp. 327.678,00,-
), sedangkan sumbangan Garis Kemiskinan
Non Makanan terhadap Garis Kemiskinan
sebesar 35,25 persen (Rp 162,017) pada
2014, dan sebesar 34,84 % (Rp.
175,361,00,-) pada tahun 2015.
d. Tingkat Pengangguran Terbuka di DKI
Jakarta
Data BPS per Agustus 2015, selama
periode Agustus 2014–Agustus 2015 (yoy),
tingkat pengangguran terbuka (TPT)
mengalami penurunan dari 8,47 % menjadi
7,23 % atau terjadi penurunan sebesar 1,24
%. Demikian juga periode Agustus 2016,
TPT mengalami penurunan menjadi 6,12
persen atau sebesar 1,11 persen.
Adapun jumlah Angkatan Kerja pada
Agustus 2016 mencapai 5,18 juta orang,
meningkat sebanyak 86,63 ribu orang
dibandingkan dengan jumlah angkatan kerja
Agustus 2015 yaitu 5,09 juta orang. Dapat
dilihat pada tabel 7 berikut:
Tabel 7.Tingkat Pengangguran Terbuka di DKI Jakarta
Uraian 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Jumlah Angkatan
Kerja (juta orang ) 4,69 5,27 5,14 5,37 5,11 5,06 5,09 5,18
Tingkat
Pengangguran
Terbuka (%)
12,15 11.05 10,80 9,87 9,02 8,47 7,23 6,12
Sumber : BPS Provinsi DKI Jakarta 2016.
Tingkat pengangguran terbuka
menurut tingkat pendidikan selama periode
Agustus 2013-2014 telah mengalami
perubahan. Pada tingkat pendidikan SD,
SLTP, Diploma dan Universitas, tingkat
pengangguran cenderung mengalami
penurunan, sedangkan untuk tingkat
GENTA MULIA ISSN: 2301-6671
Volume VIII No. 2, Juli 2017
Page : 54 – 67
64
pendidikan SMA Umum dan SMA Kejuruan
mengalami kenaikan.
Pada tahun 2015, tingkat pendidikan
SD dan SLTP tetap terjadi penurunan,
sedangkan pada tingkat pendidikan Diploma
dan Universitas sama dengan tingkat
pendidikan SMA dan Kejuruan mengalami
kenaikan TPT.
Pada 2016 semuanya mengalami
penurunan TPT, hanya saja yang tertinggi
penurunannya pada tingkat pendidikan
tinngi (Diploma dan Universitas), sedangkan
tingkat SD, SLTP, dan SMA-Kejuruan
penurunannya rendah. Namun demikian,
angka TPT yang terbesar masih tetap pada
tingkat SMA-Kejuruan, meski terjadi
pengurangan sebesar 1,16 poin dari 9,19
persen (Agustus 2015) menjadi 8,03 persen
(Agusrus 2016). Sehingga angka TPT
tingkat pendidikan selainnya lebih rendah.
e. Angka Melek Huruf (AMH)
Dalam kurun waktu 2008 hingga
2013 AMH penduduk usia 10 tahun ke atas
di DKI Jakarta mengalami peningkatan.
Dalam kurun 2008 hingga 2013 AMH
mengalami peningkatan, yaitu dari 98.76 %
pada tahun 2008, 98.94 % pada tahun 2009,
99.13 % pada tahun 2010, 99.15 % pada
tahun 2011, 99.21 % pada tahun 2012, 99.21
% dan pada akhir 2013 tercatat sebesar
99.22%. Tahun 2014 hingga 2016 kini, BPS
masih menggunakan data tahun 2013.
Berikut tabel 8 mengenai jumlah AMH
sejak 2017 hingga tahun terakhir yang
dipublis.
Tabel 8. Angka Melek Huruf (AMH) di DKI Jakarta 2007-2013
Uraian 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Angka
Melek Huruf
(%)
98,83 98,76 98,94 99,13 99,15 99,21 99,22
Sumber : BPS Provinsi Dki Jakarta 2015
f. Angka Partisipasi Sekolah (APS), Angka
Partisipasi Kasar (APK), Angka
Partisipasi Murni (APM), dan Persentase
Angka Putus Sekolah Pencapaian APS di tahun 2013 bila
dibandingkan dengan tahun 2012 tercatat
naik, dengan laju kenaikan 0.38 % untuk
tingkat usia 7-12 tahun, 1.49 % untuk
tingkat usia 13-15 tahun dan 4.73 % untuk
tingkat usia 15-18 tahun. Sampai tahun 2014
APS dengan laju angka 0,11 % untuk
tingkat usia 7-12 tahun, 1.40 % untuk
tingkat usia 13-15 tahun dan 4.69 % untuk
tingkat usia 15-18 tahun
Sedangkan pada tahun 2016,
persentase Angka Partisipasi Kasar (APK)
untuk SD/ MI sebesar 104,55%, SMP/MTs
sebesar 108,81%, dan SMA/ MA/ SMK
sebesar 91,36%. Persentase Angka
GENTA MULIA ISSN: 2301-6671
Volume VIII No. 2, Juli 2017
Page : 54 – 67
65
Partisipasi Murni (APM) untuk SD/ MI
sebesar 95,36%, SMP/MTs sebesar 95,80%,
SMA/ MA/ SMK sebesar 67,91%. Adapun
Persentase Angka Putus Sekolah pada
tingkat SD mengalami penurunan sebesar
0,02%, tingkat SMP juga mengalami
penurunan sebesar 0,11%, serta hal yang
sama pada tingkat SMA/SMK yang
mengalami penurunan sebesar 0,36%.
Dari capaian tersebut dapat diungkap
bahwa tingkat capaianIndeks Pembangunan
Manusia/Human Development Indeks
(IPM/HDI) serta indikator pembangunan
dalam mengukur tingkat kemajuan kualitas
hidup dan kesejahteraan penduduk Jakarta
menunjukkan yang tertinggi, jika diangkat
rata-rata lama sekolah hingga melanjutkan
ke pendidikan sampai SMA secara nasional,
maka dari tingkat pencapaian pendidikan,
rata-rata warga Jakarta tertinggi dalam
lulusan tingkat SMA, namun justru dibalik
kenaikan tersebut justru lulusan pendidikan
SMA Umum dan Kejuruan tingkat
pengangguran tinggi.
Selain itu tingkat pendapatan
masyarakat Jakarta relatif tidak berubah ke
arah perbaikan kualitas, meskipun
ketimpangan pendapatan yang terjadi di
DKI Jakarta selama periode 2010-2014 dan
periode 2014-2016 masih dalam kategori
ketimpangan rendah. Ini menunjukkan
belum adanya peningkatan pendapatan yang
menjadi ukuran lemahnya daya beli
masyarakat sebagai parameter pertumbuhan
ekonomi.
Tidaklah mengherankan jika
kemudian, terkait dengan timpangnya angka
pendapatan dan berkurangnya daya beli
warga terhadap kebutuhan ekonomi
dibarengi dengan angka penduduk miskin di
DKI Jakarta yang mengalami kenaikan.
Sebab, sebagaimana tergambar di atas,
berdasarkan data kemiskinan yang
dikeluarkan BPS DKI Jakarta pada bulan
September 2014 jumlah penduduk miskin di
DKI Jakarta tercatat sebesar 412,79 ribu
orang (4,09 persen) yang kian meningkat
dari tahun atau bulan-bulan sebelumnya.
Meskipun kemudian pada tahun 2015
jumlah penduduk miskin turun menjadi
368,67 ribu orang, namun angka Garis
Kemiskinan DKI Jakarta tahun 2015 naik
mencapai 503,04 ribu orang dibanding
sebelumnya, tahun 2014 sebesar 459,56 ribu
orang. Pada tahun 2016 jumlah penduduk
miskin naik menjadi 385.84 ribu orang.
Pada 2016 Garis Kemiskinan di DKI Jakarta
sebesar Rp 510.359,- perkapita perbulan.
Mengalami kenaikan dari tahun lalu dimana
Garis Kemiskinannya sebesar 503.040,-
perkapita perbulannya pada 2015
PENUTUP
1. Kesimpulan
Berdasarkan informasi yang dihimpun
Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil
Provinsi DKI Jakarta terdapat sekitar 80.000
sampai 100.000 jiwa pertambahan penduduk
setiap tahunnya. Demikian pula menurut
angka proyeksi kependudukan menurut BPS
DKI Jakarta bahwa tahun 2015 penduduk
GENTA MULIA ISSN: 2301-6671
Volume VIII No. 2, Juli 2017
Page : 54 – 67
66
Jakarta meningkat pertambahannya sekitar
100.000 jiwa lebih sedikit dan pada 2016
hampir mencapai 100.000 jiwa yang berasal
dari pertambahan alamiah (kelahiran).
Dari capaian peningkatan layanan
aspek kesejahteraan secara umum,
khususnya melalui capaian Indeks
Pembangunan Manusia/Human
Development Indeks (IPM/HDI) serta
indikator kesejahteraan sesuai kinerja
capaian pemerintah Provinsi DKI Jakarta
selama tahun 2014 mengalami peningkatan
kualitas dibandingkan dengan capaian
umumnya di beberapa Provinsi lainnya.
Namun demikian dibalik capaian tersebut
sebenarnya penduduk Jakarta belum
menunjukkan perubahan kualitas hidup yang
layak atau angka belum berarti banyak bagi
peningkatan kesejahteraan. Sebagaimana
tingkat ukuran pertumbuhan ekonomi di
Jakarta sebagai pusat pemerintahan dan
ekonomi nasional dan internasional, maka
kondisi kualitas hidup penduduk masih jauh
dari keberhasilan. Artinya indikator yang
dicapai dalam pembangunan kesejahteraan
warga penduduk Ibukota belum beranjak
pada perbaikan kualitas yang sesungguhnya
sebagaimana yang diharapkan publik.
Memang telah terjadi inflasi di tingkat
nasional pada tahun 2014, namun
ketidakberhasilan tersebut juga dibarengi
dengan capaian daya serap yang rendah dari
program-program pembangunan yang dapat
terealisasi oleh pemerintah Provinsi diyakini
sebagai penyebab kualitas kesejahteraan
warga penduduk Jakarta tidak beranjak pada
perbaikan. Selain itu juga karena tingkat
pendapatan yang rendah akibat kebijakan
pengupahan yang murah sesuai tingkat Upah
Minimum Provinsi (UMP) di DKI Jakarta
yang juga rendah, yakni hanya Rp. 2,7 juta
pada 2014 dan Rp. 3,1 juta pada 2015 dan
Rp. 3.3 juta pada 2016 juga turut
berkontribusi dengan penurunan kualitas
daya beli masyarakat. Sehingga, demikian
tersebut berkorelasi dengan meningkatnya
angka kemiskinan di Ibukota. Idealnya UMP
di DKI Jakarta adalah sebesar Rp. 4,6 juta
sesuai pemenuhan ukuran Komponen Hidup
Layak (KHL) warga Ibukota tahun 2016.
Meskipun pemerintah Provinsi DKI
Jakarta telah berupaya mempersempit
ketimpangan pendapatan dengan usaha
meningkatkan pendapatan penduduk
khususnya penduduk miskin melalui
berbagai progam-program yang klasik
antara lain program seperti PPMK, UKM,
dan Koperasi serta upaya mengurangi beban
pengeluaran penduduk miskin dengan
pemberian kartu Jakarta Sehat dan Kartu
Jakarta Pintar, namun kurang banyak
memberikan dampak bagi perbaikan atau
perubahan angka perbaikan kemiskinan di
DKI Jakarta.
SARAN
1. Perlunya kajian lebih lanjut mengenai
problem kependudukan dari berbagai
aspek baik tingkat capaian pendidikan
dengan daya serap angka pekerjaan
dalam rangka mendorong kebijakan
pembangunan yang berorientasi
GENTA MULIA ISSN: 2301-6671
Volume VIII No. 2, Juli 2017
Page : 54 – 67
67
peningkatan kualitas hidup dan
kesejahteraan penduduk.
2. Perlunya dorongan kepada pemerintah
terhadap kebijakan kependudukan terkait
dengan tingginya urbanisasi yang
menempati Ibukota dengan pengetatan
izin tinggal pemilikan rumah tinggal,
Rusun atau apartemen bagi para
pendatang sebagai salah satu sumber
lonjakan kepadatan penduduk dan
masalah permukiman. Mengingat masih
banyaknya warga Jakarta belum
memiliki tempat permukiman yang layak
karena tergusur oleh warga pendatang
yang terus melaju dan memperoleh
pemilikan tempat tinggal dengan mudah.
3. Pentingnya perluasan lapangan kerja
yang menampung lulusan pendidikan
tingkat SLTA dan peningkatan Upah
Minimum yang layak sesuai dengan
produktivitas dan angka pertumbuhan
ekonomi Jakarta. Peningkatan UMP bagi
pekerja adalah dalam rangka mendorong
daya beli masyarakat sebagai ukuran
pemenuhan kebutuhan hidup layak. Upah
yang murah di DKI menjadi “bencana
kemiskinan” para pekerja dan termasuk
kebijakan adanya pekerja lepas/alih
daya/outsourching yang kurang
memberikan jaminan bagi masa depan
hidup pekerja/buruh Ibukota dalam
memperoleh proteksi sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Chabib Soleh. 2014. Dialektika Pembangunan
Dengan Pemberdayaan. Bandung:
Penerbit FOKUSMEDIA
Dias Pudyastuti & Ismail Arianto. 2010.
Pendidikan Kependudukan dan
Lingkungan Hidup. Jakarta: Penerbit
Laboratorium Sosial Politik Press
Program Studi PPKN FIS UNJ
Eko Siswono. 2015. Demografi. Jakarta:
Penerbit Ombak.
Prijono Tjiptoherijanto dan Laila Nagib (Ed.).
2008. Pengembangan Sumber Daya
Manusia: di antara Peluang &
Tantangan. Jakarta: LIPI Press.
R.H. Pardjoko. 1981. Kebijaksanaan
Kependudukan Nasional, Langkah-
Langkah Perumusannya. Jakarta: Biro
Koordinasi Pelaksanaan Program
BKKBN
Soekardjo Hardjosoewirjo. 2008. Menuju
Jakarta 2020. Jakarta: Penerbit
RMBOOKS
Sudjarwo S. 2004. Buku Pintar Kependudukan.
Jakarta: PT Grasindo
Undang-Undang RI Nomor 29 tahun 2007
tentang Pemerintahan Provinsi Daerah
Khusus Ibukota Jakarta Sebagai Ibukota
Negara Kesatuan Republik Indonesia
Peraturan Daerah Khusus Ibukota Jakarta
Nomor 12 Tahun 2014 tentang
Organisasi Perangkat Daerah
Laporan Keterangan Pertanggungjawaban
Gubernur Provinsi DKI Jakarta Tahun
2014. Pemprov DKI Jakarta 2015
Laporan Keterangan Pertanggungjawaban
Gubernur Provinsi DKI Jakarta Tahun
2015. Pemprov DKI Jakarta 2016
Laporan Keterangan Pertanggungjawaban
Gubernur Provinsi DKI Jakarta Tahun
2015. Pemprov DKI Jakarta 2017