Dimensi_Kepentingan_Dalam_Pengembangan_K.pdf

download Dimensi_Kepentingan_Dalam_Pengembangan_K.pdf

of 151

Transcript of Dimensi_Kepentingan_Dalam_Pengembangan_K.pdf

  • 8/17/2019 Dimensi_Kepentingan_Dalam_Pengembangan_K.pdf

    1/151

    Judul Tesis : Dimensi Kepentingan Dalam Pengembangan Kelembagaan

    Ketahanan Pangan Lokal : Studi Kasus Program Aksi

    Mandiri Pangan di Desa Jambakan, Kecamatan Bayat,

    Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah.

     Nama : Siti Masithoh

     NRP : A 152050071

    Program Studi : Sosiologi Pedesaan

    Disetujui :

    Komisi Pembimbing

    Dr. Ir. Titik Sumarti, MS Dr. Ir. Tri Pranadji, MS. APU

    Ketua Anggota

    Diketahui :

    Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

    Sosiologi Pedesaan

    Dr.Nurmala K.Pandjaitan, MS.DEA. Prof.Dr.Ir.Khairil Anwar Notodiputro, MS

    Tanggal Ujian : 20 Februari 2009 Tanggal Lulus :

  • 8/17/2019 Dimensi_Kepentingan_Dalam_Pengembangan_K.pdf

    2/151

    PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR

    DAN SUMBER INFORMASI

    Dengan ini Saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul "Dimensi

    Kepentingan dalam Pengembangan Kelembagaan Ketahanan Pangan Lokal

    (Studi Kasus Program Aksi Desa Mandiri Pangan desa Jambakan,

    Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah) adalah karya

    Saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan

    tinggi manapun.

    Sumber informasi yang dikutip dari karya yang diterbitkan oleh

     penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir karya ilmiah ini.

    Bogor, Maret 2009

    Siti Masithoh

    Ai52050071

  • 8/17/2019 Dimensi_Kepentingan_Dalam_Pengembangan_K.pdf

    3/151

     

    @Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2009

    Hak Cipta dilindungi Undang-undang

    1. 

    Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpamencantumkan atau menyebutkan sumber

    a. 

    Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,

     penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik

    atau tinjauan masalah

     b.  Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

    2.  Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh

    karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

  • 8/17/2019 Dimensi_Kepentingan_Dalam_Pengembangan_K.pdf

    4/151

    RINGKASAN

    SITI MASITHOH. Dimensi Kepentingan dalam Pengembangan Kelembagaan

    Ketahanan Pangan Lokal : Studi Kasus Program Aksi Desa Mandiri Pangan di

    Desa Jambakan, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah.

    Dibimbing oleh TITIK SUMARTI dan TRI PRANADJIMasalah ketahanan pangan dan kemiskinan merupakan masalah mendasar

     pembangunan masyarakat pedesaan. Desa Jambakan adalah salah satu desa rawan

     pangan di Kabupaten Klaten yang memperoleh bantuan Program Mapan pada

    tahun 2005 dengan jumlah KK miskin mencapai 74,7 persen. Sebagian besar

    mata pencaharian penduduk adalah petani berstatus sebagai buruh tani atau

     penggarap dengan rata-rata kepemilikan lahan sangat sempit (kurang dari 0,5 ha).

    Jenis tanah tandus dan tidak ada sistem irigasi sehingga pertaniannya tadah hujan

    ( padi setahun sekali dan selalu gagal panen). Oleh karena itu  pertanian tidak bisa

    diandalkan dan mulai beralih pada off farm. Terdapat beberapa kelembagaan

    ketahanan pangan lokal yang secara langsung maupun tidak langsung sudah

    menjadi  penjamin keberlangsungan masyarakat setempat, diantaranya arisan,

    lumbung pengajian, warung, dan kelompok usaha tenun.Dalam perkembangannya, walaupun telah seringkali mendapatkan bantuan

    dari pemerintah, namun persoalan kemiskinan di desa ini yang terkait juga dengan

    masalah ketahanan pangan, belum juga terselesaikan. Hal ini disebabkan dalam

     pengembangan kelembagaan ketahanan pangan lokal telah meminggirkan

    kepentingan rumah tangga petani miskin. Bagaimana keberpihakan terhadap

    kepentingan rumahtangga petani miskin dalam pengembangan kelembagaan

    ketahanan pangan lokal untuk mengatasi kemiskinan dan kerawanan pangan di

     pedesaan merupakan pertanyaan utama tesis ini. Penelitian dilakukan pada bulan

    Juni-Agustus 2008 dengan pendekatan kualitatif dan strategi studi kasus.

    Pengumpulan data dilakukan dengan multi metode, yaitu menggabungkan metode

    wawancara mendalam, FGD, studi riwayat hidup dan pengamatan berperanserta.

    Pengembangan kelembagaan ketahanan pangan lokal di desa Jambakan

    yang dilakukan pada tingkat komunitas menunjukkan bahwa kepentingan rumah

    tangga petani miskin dapat terakomodir dalam hal jaminan pangan (basis pada

     produksi dan konsumsi). Sedangkan dalam pelaksanaan program Mapan sebagai

    salah satu bentuk intervensi dari pemerintah dalam pengembangan kelembagaan

    ketahanan pangan lokaldi desa Jambakan terganggu dengan benturan kepentingan

    dari berbagai pihak yang ingin mendapatkan keuntungan sehingga menyebabkan

    terpinggirkannya kepentingan rumah tangga petani miskin. Pengelolaan program

    dikuasai oleh orang-orang tertentu pemilik faktor produksi dan akses. Kondisi

    demikian untuk program bergulir seperti mapan berdampak pada potensi macet.

    Hasil penelitian menunjukkan bahwa hal diatas terjadi juga dikarenakan

    kelembagaan baru yang dibentuk program kurang menngakar dengankelembagaan lokal yang sudah ada, misalnya dengan membentuk Lembaga

    Keuangan Desa, program tidak melihat pada ketersesuainnya dengan kebutuhan

    lokal, dan pada akhirnya program Mapan di desa Jambakan baru pada level

    meningkatkan pendapatan, walaupun hanya pada rentang waktu sesaat, dan belum

     pada peningkatan kesejahteraan.

  • 8/17/2019 Dimensi_Kepentingan_Dalam_Pengembangan_K.pdf

    5/151

    ABSTRACT

    SITI MASITHOH. The interest dimension in the development of local food

    security institution. Case study of the action program of food self-supporting

    village, in Jambakan Village, Bayat Sub-district, Klaten-District, Central Java-

    Province. Thesis supervised by TITIK SUMARTI and TRI PRANADJI.

    The issues of food security and poverty are basically the problems that

    exist in rural community development. The aim of this research are to find the

    small peasant households ways to build their local institution of food security, its

    interaction to intervention institution (especially programs directly related and

    support the village food-security program), how long the peasant interest had beeninclude on the food-security development and to identify the current food-

    security conditon of peasant’s household.

    The research was done in Jambakan Village-Bayat subdistrict-Central Java

     provinci, which represented the poor food security. The design and methods in

    this research was the approach of comunity study (through survey and qualitative

    approaches) and case study.

    The result research indicate that are : the implementation of food self

    reliant village program at Jambakan Village is not succes and the peasants interest

    on the food security development are not harmonized with the governance

    necessity. The succesfull keys are facilitasy process and the role of community

    organizator, and the appearance of community trust to local leader, whereas

    community are driven to develop their ability to manage the local institution.

    Key words; food security, peasant, interest, local insitution

  • 8/17/2019 Dimensi_Kepentingan_Dalam_Pengembangan_K.pdf

    6/151

    RIWAYAT HIDUP

    Penulis, Siti Masithoh dilahirkan di Desa Karangrejo, kabupaten Magetan,

    Jawa Timur pada tanggal 08 Oktober 1978 dari orang tua Ibu Samiati dan Bapak

    Saribun. Riwayat pendidikan dari TK sampai SMA ditempuh di Magetan. Pada

    tahun 1997 penulis diterima melalui jalur UMPTN melanjutkan pendidikan

    Sarjana (S1) pada Program Sosial Ekonomi Industri Peternakan, Fakultas

    Peternakan IPB. Selama masa kuliah memperoleh kesempatan menjadi asisten

    dosen di Fakultas Peternakan IPB pada matakuliah : Tataniaga, Sosiologi

    Pedesaan, Bank dan Perkreditan dan Kewirausahaan. Penulis menamatkan studi

    S1 pada tahun 2002 dengan menyusun skripsi yang berjudul " Analisis Preferensi

    dan Pola Konsumsi Daging Kerbau pada Rumah Tangga di Dati II KabupatenPandeglang, Banten".

    Pada tahun 2002-2003 bekerja sebagai asisten lapang di Lembaga

    Demografi Universitas Indonesia. Memiliki aktivitas sehari-hari sebagai pengajar

     privat matematika dan terdaftar sebagai asisten dosen di Direktorat Diploma IPB

    dari tahun 2005 hingga sekarang pada Program Keahlian Managemen Agribisnis.

    Hingga kemudian pada tahun 2005, penulis mendapatkan kesempatan untuk

    melanjutkan pendidikan S2 pada Program Stusi Sosiologi Pedesaan (SPD),

    Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

  • 8/17/2019 Dimensi_Kepentingan_Dalam_Pengembangan_K.pdf

    7/151

    PRAKATA

    Puji syukur Alhamdulillahirabbil'alamin penulis panjatkan kehadirat

    ALLAH SWT yang telah melimpahkan rahmatNYA sehingga penulis dapat

    menyelesaikan tesis yang berjudul "Dimensi Kepentingan dalam Pengembangan

    Kelembagaan Ketahanan Pangan Lokal untuk Rumah Tangga Petani Miskin

    Pedesaan. (Studi kasus Program Aksi Mandiri Pangan di desa Jambakan,

    Kecamatan Bayat, kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah)".

    Tesis ini dapat diselesaikan atas dukungan dan bantuan berbagai pihak.

    Pada kesempatan kali ini, Penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang

    sebesar-besarnya kepada :

    1. 

    Ibu Dr. Ir. Titik Sumarti, MS dan Bapak Dr. Ir. Tri Pranadji, MS, APUselaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah dengan sabar dan

     penuh kasih sayang membimbing dan memberi masukan yang sangat

     berarti sejak penyusunan proposal penelitian hingga tesis ini selesai

    2.  Bapak Ir. Fredian Tonny Nasdian, MS, selaku penguji luar komisi yang

    telah memberi banyak masukan selama ujian berlangsung demi perbaikan

    tesis ini.

    3.  Bapak Dr. Ir. Basita Ginting Sugihen atas dorongan semangat dan

    dukungannya untuk optimis bisa menempuh studi pascasarjana walaupun

    sambil bekerja meskipun belum juga mendapatkan kesempatan beasiswa

    4. 

    Masyarakat Desa Jambakan atas kesediannya menerima penulis di tebgah-

    tengah kehidupan mereka, mengamati dan mengikuti kegiatan mereka

    serta menjawab seluruh pertanyaan penulis selama penelitian berlangsung

    5. 

    Bapak-bapak dan Ibu-ibu dosen di Program Studi Sosiologi Pedesaan yang

    telah menyampaikan ilmu pengetahuan yang sangat berguna

    6.  Gama Tri Utami dan keluarga di Solo yang telah berkenan meminjamkan

    sepeda motor "gagak rimang" nya selama penelitian ini berlangsung

    7.  Ibu Ir. Anisa Wijayanti, MS, Ibu Ir. Anna Fajriah, MS, Ery Karyanto, SE,

    Risalina, SP, Tata Rahmanta, SE, Harjanto, SE, penanggungjawab dan

     pendamping program Mapan atas bantuan data dan informasinya yang

    sangat berguna

  • 8/17/2019 Dimensi_Kepentingan_Dalam_Pengembangan_K.pdf

    8/151

    8.  Beta Dwi Utami, MS dan Laela Nur Anisa, MS, atas persahabatan dan

    semua kebaikan dan bantuan yang diberikan selama ini

    9. 

    Teman-teman seperjuangan di SPD, Pak Awal, Bang Rinto, Mas Rais,

    Mas Husein, Mas Septri, Pak Witra juga Mba Ulfa, Kak Rosganda, Mba

    Hana, Mas Siwi, Qori, Mba Anggra, Mba Dharma

    10. Dona Puspita, Pui Rahayu, Nani Rahayu, Nely Yulianawati atas doa dan

    kebersamaannya selama ini yang indah

    11. Didit dan Mami di Ciganjur, atas persudaraan dan tawa canda selama ini,

    atas ijin ALLAH SWT yang telah mencukupkan rezkiNYA untuk yang

    mau bekerja keras....

    12. 

    Teman-teman di kos, Mumtazer tercinta, Mety, Himme, Nanda, Ida-daut,

    Dwi-bojong, Leni, Andri, Tutik, Mila, Endah, juga Ary, Bleke-nik, Nia13.

     

    Adik-adik tercinta Inggrit, Alia, Rasyid, Patriavi, Bima, Adam, Nadhira,

    Fatimah, Fathin, Inara, Edo, Ryninta, Rana, Fahry, Desy, Wildan, Gita,

    Dila, Nadia, Andre, Putri CK, Nuran, Vismaya, Hanny, NurNabillah

    14. Teman-teman di Klaten, Mba Cahaya, Iin, Indri, Nana, juga warung

    angkringan ompong di alun-alun

    15. Teman-temanku Wawan Widya, Santo, Bambang, Basit, Fajar, Hakim,

    Didik, Supri dan Mas Pur Tri Mulya

    16. 

    Sahabat-sahabat di Bimbel, Wahyu, Tutik, Elin, Iis, Mba Ahyuni, Engkus,

    mas Ifni, mas Har, Mas Mul, Mas Dadang

    17. 

    Keluarga penulis, Ibu Samiati dan Bapak Saribun untuk doa dan kasih

    sayang yang tiada henti, Mas Mahmud sekeluarga, Mas Khudori

    sekeluarga, Mas Hamid sekeluarga, dan adeku tersayang Imam sekeluarga

    dan Muslikatin, Semoga ALLAH SWT mengumpulkan kita semua di

    surgaNYA

    Dengan semangat untuk terus belajar, semoga karya ilmiah ini bermanfaat

    Bogor, Februari 2009

    Siti Masithoh

  • 8/17/2019 Dimensi_Kepentingan_Dalam_Pengembangan_K.pdf

    9/151

      i

    DAFTAR ISI

    Halaman

    DAFTAR ISI ..................................................................................................  

    DAFTAR TABEL ..........................................................................................  

    DAFTAR LAMPIRAN..................................................................................  

    PENDAHULUAN

    Latar Belakang ..........................................................................................

    Perumusan Masalah ...................................................................................

    Tujuan dan Kegunaan Penelitian ...............................................................

    PENDEKATAN TEORITIS

    Tinjauan Pustaka 

    Pembangunan Perekonomian Pedesaan …………………………………

    Program Aksi Mandiri Pangan (Mapan) ..................................................

    Komunitas Petani dan Kemiskinan ...........................................................

    Kelembagaan Lokal Masyarakat Pedesaan ……………………………...

    Dimensi Kepentingan ..............................................................................

    Kerangka Pemikiran ....................................................................................

    Hipotesa Pengarah Penelitian......................................................................

    METODE PENELITIAN

    Metode .......................................................................................................

    Lokasi dan Waktu Penelitian......................................................................

    Sumber dan Teknik Pengumpulan Data.....................................................

    Teknik Pengumpulan Data....................................................................

    Analisis Data .............................................................................................

    i

    iii

    iv

    1

    4

    7

    9

    16

    24

    32

    38

    41

    44

    45

    45

    45

    46

    48

  • 8/17/2019 Dimensi_Kepentingan_Dalam_Pengembangan_K.pdf

    10/151

      ii

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    Pemetaan Sosial Kemiskinan Pedesaan

    Lokasi dan Keadaan Alam ...........................................................................

    Penduduk, Mata Pencaharian dan Aktivitas Ekonomi Lokal .......................

    Pola Pemukiman dan Aktivitas Sosial Budaya.............................................

    Pengembangan Ketahanan Pangan Lokal Melalui Program Aksi Mandiri

    Pangan

    Potensi dan Isu Strategis Ketahanan Pangan Lokal.....................................

    Deskripsi Program Aksi Mandiri Pangan.....................................................

    Implementasi Program Aksi Mandiri Pangan .............................................

    Dinamika Kepentingan Pengelolaan Ketahanan Pangan Lokal...................

    Pengembangan Kelembagaan Ketahanan Pangan Lokal, Relasi Aktor dan

    Dimensi Kepentingan

    Karakteristik Kelembagaan Ketahanan Pangan Lokal dan Interaksinya

    dengan Kelembagaan Program Aksi Mandiri Pangan ................................

    Kelompok Kepentingan (Aktor) dalam Implementasi Kelembagaan

    Program Aksi Mandiri Pangan.....................................................................

    Relasi Aktor dan Dimensi Kepentingan dalam Implementasi

    Kelembagaan Program Aksi Mandiri Pangan...........................................

    Dimensi Kepentingan Rumah Tangga Miskin Dalam Pengelolaan

    Ketahanan Pangan Lokal  ...................................................................................

    Kesimpulan dan Saran  ........................................................................................

    DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................

    LAMPIRAN .........................................................................................................

    49

    50

    56

    61

    68

    75

    94

    105

    111

    116

    128

    133

    135

    138

  • 8/17/2019 Dimensi_Kepentingan_Dalam_Pengembangan_K.pdf

    11/151

      iii

     

    DAFTAR TABEL

    Halaman

    1.

    2.

    3.

    4.

    5.

    6.

    7.

    8.

    9.

    10.

    11.

    12.

    13.

    14

    Prosedur Pengumpulan data.......................................................................

    Jumlah dan Persentase Penduduk Menurut Kelompok Pendidikan di

    Desa Jambakan Tahun 2006......................................................................

    Jumlah dan Persentase Penduduk Menurut Kelompok Tenaga Kerja di

    Desa Jambakan Tahun 2006......................................................................

    Jumlah dan Persentase Penduduk Menurut Jenis Mata Pencaharian di

    Desa Jambakan Tahun 2006......................................................................

    Potensi Komunitas dalam Pengelolaan Ketahanan Pangan Lokal Desa

    Jambakan..................................................................................................

    Jumlah dan Persentase Keluarga Miskin di Kabupaten Klaten Tahun

    2006..........................................................................................................

    Tahun Persiapan Program Aksi Mandiri Pangan di Desa Jambakan

    tahun 2006..................................................................................………

    Kegiatan Program Aksi Mandiri Pangan pada Tahap Pertumbuhan di

    Desa Jambakan Tahun 2007......................................……………………

    Perkembangan Usaha Kelompok Afinitas Program Aksi Mandiri

    Pangan Desa Jambakan..............................................................................

    Karakteristik Mata Pencaharian Masyarakat Desa Jambakan ..................

    Kondisi dan Dinamika Kesejahteraan Ekonomi Masyarakat Desa

    Jambakan....................................................................................................

    Identifikasi Kelembagaan Berdasarkan Fungsi Yang Dijalankan di Desa

    Jambakan....................................................................................................

    Identifikasi Kelembagaan Ketahanan Pangan Lokal.................................

    Aktor yang Terlibat dalam Program Mapan dan Tingkat

    Keterlibatannya dalam Memberdayaan Kelompok Afinitas.....................

    47

      51

     

    52

     

    53

     

    68

     

    69

     

    71

     

    74

     

    93

    102

     

    103

     

    106

    111

     

    115

     

  • 8/17/2019 Dimensi_Kepentingan_Dalam_Pengembangan_K.pdf

    12/151

      iv

    DAFTAR GAMBAR

    Halaman

    1.

    2.

    3.

    Alur Pemikiran Penelitian..........................................................................

    Kepentingan Aktor Dalam Pengelolaan Ketahanan Pangan Lokal Di

    Desa Jambakan...........................................................................................

    Relasi Aktor dan Dimensi Kepentingan dalam Implementasi Program

    Aksi Mandiri Pangan.................................................................................

    43

     

    116

     

    117

     

    DAFTAR LAMPIRAN

    Halaman

    1.

    2.

    3.

    Contoh Surat Kesepakatan Kelompok Afinitas dalam Program Mapan..

    Model Pemberdayaan program Mandiri Pangan ......................................

    Karakteristik Data Responden...................................................................

    138

    141

    142

     

  • 8/17/2019 Dimensi_Kepentingan_Dalam_Pengembangan_K.pdf

    13/151

      1

    PENDAHULUAN

    Latar Belakang

    Pembangunan pedesaan sebagai bagian dari pembangunan nasional

    memfokuskan diri pada masalah kemiskinan di pedesaan. Jumlah penduduk

    miskin di Indonesia pada bulan Maret 2006 sebanyak 39,05 juta (17, 75 %).

    Sebagian besar penduduk miskin, sekitar 63,41 persen berada di pedesaan,

    umumnya bergantung pada sektor pertanian. Selama periode tahun 1993-2003

    terjadi kecenderungan peningkatan jumlah rumah tangga pertanian dan jumlah

     petani gurem di pedesaan Jawa dan luar Jawa. Sebagian besar petani gurem (75

    %), berada di pedesaan Jawa dan seluruhnya tergolong miskin. Kemiskinan petani

    gurem di pedesaan yang sepertinya tidak kunjung terselesaikan. Salah satu

     penyebabnya bahwa kebijakan pertanian pemerintah yang tidak tepat. Baik dalam

     pendekatan yang dilakukan maupun pemilihan bentuk program seringkali tidak

    mengakomodir secara langsung kepentingan rumah tangga miskin.

    Upaya pemerintah dalam mengatasi masalah kemiskinan melalui program

     pengentasan kemiskinan seperti KUT, IDT, Raskin dan BLT secara empiris

    terbukti tidak efektif dan banyak kasus menemui kegagalan. Kondisi ini terjadi

    terutama disebabkan oleh adanya penyimpangan yang dilakukan oleh penerima

     program dalam pelaksanaan program-program tersebut. Penyelewengan tersebut

    terjadi antara lain disebabkan karena kesengajaan para pelakunya dan kebijakan

    yang terlalu berorientasi pada proyek.

    Menjadi hal yang sulit dalam keadaan seperti ini lalu kepentingan rumah

    tangga miskin berharap dapat terakomodir. Hal inilah yang pada akhirnya

    menyebabkan implementasi program tidak partisipatif dan mengabaikan modal

    sosial atau energi sosial lokal (sumberdaya manusia, jaringan sosial,

    kelembagaan). Kondisi ini menyebabkan proses perencanaan dan implementasi

     program/proyek tersebut mengabaikan partisipasi keluarga miskin sebagai subyek

    utama. Sebagai konsekuensi dari hal tersebut, program-program pembangunan

    hanya dinikmati oleh golongan lapisan elit desa dan kerabat-kerabatnya yang

    secara sosial-ekonomi relatif mampu.

  • 8/17/2019 Dimensi_Kepentingan_Dalam_Pengembangan_K.pdf

    14/151

      2

    Kondisi ini selaras dengan apa yang dikemukakan Chambers (1987)

     bahwa jaringan kekerabatan dan koneksi kelompok lapisan elit pedesaan kerapkali

    menjadi “jaring penangkap” bagi bantuan-bantuan yang diperuntukan bagi

    keluarga-keluarga miskin. Pendekatan politik pembangunan di pedesaan masih

     bias elit desa, baik elit aparat pemerintahan desa maupun elit yang menguasai

    faktor-faktor produksi di pedesaan. Kebijakan dan implementasi pembangunan

     pertanian di pedesaan pada masa pemerintahan Orde Baru lebih banyak

    ditekankan pada upaya peningkatan produksi pangan (terutama beras) yang

    dilakukan secara terpusat, searah (top-down) dan seragam. Sebagaimana halnya

     program revolusi hijau yang didasarkan pada penyebaran “teknologi baru” berupa

     bibit unggul dan penambahan pemakaian pupuk dan bahan kimia, meskipun

     berhasil meningkatkan produksi pangan (beras) nasional, namun karena tanpadidukung dengan pembangunan kapasitas diri manusia dan kapasitas kelembagaan

    lokal yang kuat, pada akhirnya memberikan gambaran tidak mampu

    mempertahankan keberlanjutan swasembada beras.

    Meskipun pemerintah di masa lalu telah berupaya membangun

    kelembagaan di tingkat desa (seperti kelompok tani, pemerintahan desa dan

    KUD), namun karena dibentuk dan dijalankan secara terpusat, maka

    kelembagaan-kelembagaan tersebut cenderung berorientasi pada kepentingan

    supra-desa dan memarginalkan kepentingan masyarakat strata bawah. Kondisi

    seperti ini, digambarkan oleh Sayogyo (1982) sebagai proses modernisasi yang

    tidak diiringi dengan proses pembangunan (modernization without development ).

    Pendekatan pembangunan pertanian di masa lalu juga cenderung menekankan

     pada pembangunan “perangkat keras” dan input teknologi yang relatif tinggi.

    Fokus utama pembangunan sumberdaya manusia dan pengembangan

    kelembagaan lokal, adalah manusia atau masyarakat. Mengacu pada Hayami

    (1985), jika kondisi lingkungan sosial dimana inovasi teknologi akan diterapkan

    ditandai dengan adanya distribusi kekayaan dan kekuasaan yang timpang

    (masalah struktural), maka perbaikan kelembagaan menjadi penting dan sangat

    dibutuhkan. Agar pencapaian penyebaran menjadi lebih luas, sehingga inovasi

    teknologi bukan saja memberi sumbangan, pada pertumbuhan melainkan juga

     pemerataan hasilnya.

  • 8/17/2019 Dimensi_Kepentingan_Dalam_Pengembangan_K.pdf

    15/151

      3

    Kemiskinan merupakan isu dan masalah sangat strategis dalam

     pembangunan masyarakat pedesaan di Indonesia, dalam hal ini berkorelasi positif

    atau erat kaitannya dengan masalah pangan. Masalah ketahanan pangan yang

    dihadapi masyarakat pedesaan ini, tidak hanya terbatas pada sistem produksi

    (ketersediaan), melainkan juga pada sistem distribusi dan sistem konsumsi (Dewan

    Ketahanan Pangan, 2006). Hal pokok yang dihadapi pada sistem ketersedian

     pangan di Indonesia adalah laju peningkatan produksi (penyediaan) pangan

    nasional belum mampu mengejar laju peningkatan kebutuhan pangan penduduk.

    Kondisi ini ditunjukkan dengan adanya ketergantungan negara kita terhadap

    impor pangan pada beberapa komoditas pangan tertentu (seperti beras, gandum

    dan kedelai) yang masih relatif tinggi.

    Dalam sistem distribusi pangan, kita masih dihadapkan pada masalah

    terbatasnya sarana dan prasarana perhubungan yang dapat menjangkau seluruh

    wilayah terutama daerah terpencil. Sistem distribusi pangan untuk mengatasi

    kerawanan pangan disamping masih belum tertata dengan baik, juga belum

     bekerja secara efektif. Harga pangan yang sampai ke tingkat rumah tangga tidak

    menunjukan harga yang sebenarnya karena prasarana dan kelembagaan pasar

     belum mampu menjamin terciptanya sistem distribusi yang adil, merata dan

    terjangkau. Pada akhirnya hal ini berakibat pada semakin lemahnya kemampuan

    rumah tangga (terutama rumah tangga petani miskin) untuk dapat mengakses

     pangan secara cukup dan terjangkau. Daya beli serta penguasaan atau pemilikan

    lahan juga menjadi penyebab serius terjadinya kerawanan pangan di pedesaan.

    Pola konsumsi masyarakat Indonesia hingga saat ini masih belum mampu

    mendukung ketahanan pangan. Secara umum hal ini ditunjukkan dengan

    ketergantungan yang masih sangat tinggi terhadap beras. Kebijakan pemerintah

    masa lalu yang berusaha mempertahankan harga beras relatif rendah ikut

    mendorong terjadinya pergeseran pola konsumsi masyarakat pada beras. Program

    diversifikasi pangan selain tidak optimal juga menunjukan gejala salah arah, yaitu

    ditunjukkan adanya pergeseran pola konsumsi kearah diversifikasi pangan

     berbasis gandum.

  • 8/17/2019 Dimensi_Kepentingan_Dalam_Pengembangan_K.pdf

    16/151

      4

    Salah satu upaya pemerintah untuk mengatasi masalah kemiskinan rumah

    tangga petani di pedesaan adalah melalui program Aksi Mandiri Pangan dengan

    sasaran wilayah adalah desa rawan pangan dan rumah tangga miskin sebagai

     penerima manfaat program. Program ini sudah dimulai sejak tahun 2006, salah

    satunya di Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah. Program mapan

     berpontensi menjadi kelembagaan yang bisa mempertemukan kepentingan rumah

    tangga miskin dengan pihak supradesa.

    Oleh karena itu dalam permasalahan penelitian yang ingin diketahui

    adalah; bagaimana keberpihakan terhadap kepentingan rumahtangga petani

    miskin dalam pengembangan  kelembagaan ketahanan pangan lokal  untuk

    mengatasi kemiskinan dan kerawanan pangan di pedesaan ? 

    Perumusan Masalah

    Dari berbagai penelitian diperoleh gambaran bahwa upaya pemerintah

    untuk mengatasi masalah kerawanan pangan dan pengentasan kemiskinan hingga

    saat ini belum memberikan hasil yang memuaskan. Secara umum dapat dikatakan

     bahwa kepentingan rumah tangga petani masih terabaikan, baik dalam kegiatan

     perumusan konsep kebijakan maupun dalam implementasinya di lapangan.

    Pada masa pemerintahan orde baru, program-program pertanian cenderung

    dirancang secara terpusat, searah (top-down) dan seragam. Selain itu orientasi

     pembangunan pertanian didominasi dan bertumpu pada kegiatan fisik  dan bantuan

    modal melalui kredit. Dalam upaya meningkatkan kemandirian dan kesejahteraan

     petani termarginalkan. Kondisi ini menyebabkan tidak adanya titik temu atau

    harmonisasi antara kepentingan negara/pemerintah dengan kepentingan petani.

    Bahwasanya upaya penanggulangan kemiskinan rumah tangga petani

    gurem tidak dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan terpusat, searah(top-down) dan seragam untuk seluruh wilayah, melainkan harus

    terdesentralisasi, partisipatif, spesifik dan beragam sesuai dengan tipe sosial-

     budaya, ekonomi masyarakat dan ekologi setempat.

  • 8/17/2019 Dimensi_Kepentingan_Dalam_Pengembangan_K.pdf

    17/151

      5

    Selain itu, kebijakan-kebijakan pembangunan di bidang ketahanan pangan

    seyogyanya dapat mempertemukan dan mengharmoniskan antara aparat

    kepentingan pemerintah dengan kepentingan rumah tangga petani. Agar kedua

    kepentingan tersebut dapat bertemu dan harmonis, maka harus ada kelembagaan

    yang menyediakan ruang yang luas untuk mendialogkan dua kepentingan tersebut.

    Dalam pengertian, baik mulai dari tahap perencanaan, implementasi dan hingga

    tahap evaluasi, seluruh pihak yang terlibat, terutama kepentingan petani gurem di

    akomodir secara aktif dan intensif di dalamnya. Program aksi mandiri pangan

    (Mapan) sebagai salah satu program pengentasan kemiskinan rumah tangga petani

    dan kerawanan pangan, yang bertujuan untuk meningkatkan ketahanan pangan

    masyarakat melalui pendayagunaan sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal

     pedesaan, hadir dengan bentuk dan model baru.

    Program Mapan adalah suatu kegiatan strategis yang menjadi andalan

     pemerintah untuk mewujudkan ketahanan pangan di wilayah pedesaan, dimana

     perwujudan ketahanan pangan nasional dimulai dari pemenuhan pangan di

    wilayah terkecil (pedesaan) sebagai basis kegiatan pertanian dimana rumah tangga

    miskin sebagai penerima manfaat program. Secara aturan, langkah-langkah

     pelaksanaan program ini bisa dikatakan sudah bercirikan memberdayakan rumah

    tangga petani miskin di pedesaan.

    Berdasarkan konsepnya, melalui program aksi mandiri pangan diharapkan

    masyarakat desa mempunyai kemampuan untuk mewujudkan ketahanan pangan

    dan gizi sehingga dapat menjalani hidup sehat dan produkstif dari hari kehari,

    secara berkelanjutan. Upaya tersebut dilakukan melalui proses pemberdayaan

    masyarakat untuk mengenali potensi dan kemampuannya, mencari alternatife

     peluang dan pemecahan masalah serta melatih untuk mampu mengambil

    keputusan dalam memanfaatkan sumberdaya alam secara efisien dan

     berkelanjutan sehingga mencapai kemandirian. Lokasi penelitian ini adalah Desa

    rawan pangan di Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah, yaitu Desa Jambakan

    Kecamatan Bayat. Desa rawan Pangan adalah kondisi suatu daerah dimana

    masyarakat atau rumah tangga dengan tingkat ketersediaan dan keamanan

     pangannya tidak cukup untuk memenuhi standar kebutuhan fisiologis bagi

     pertumbuhan dan kesehatan sebagian besar masyarakatnya.

  • 8/17/2019 Dimensi_Kepentingan_Dalam_Pengembangan_K.pdf

    18/151

      6

    Keberadaan kelembagaan lokal di desa berfungsi sebagai panutan

     berperilaku dalam menjaga keutuhan masyarakat setempat baik dalam kehidupan

     beragama, berekonomi maupun juga berpolitik serta dalam berinteraksi dengan

     pihak luar desa. Bahwasanya, secara sosiologis suatu kondisi desa miskin terjadi

     bukan karena mentalitas penduduk yang malas bekerja sehingga menjadi miskin

    dan tidak mampu memenuhi kebutuhannya, tetapi terjadi karena masalah

    struktural yaitu kelembagaan yang dapat memfasilitasi proses kemandirian tidak

     pernah dibangun keberadaannya. Kelembagaan lokal yang terdapat di pedesaan

    telah memainkan peranannya dalam ikut menggiatkan aktivitas perekonomian

    dengan menggerakkan, memberdayakan dan memandirikan masyarakat sekitarnya

    dengan semua potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang dimiliki.

    Kaitannya dengan pola-pola hubungan yang berpusat pada aktivitas masyarakatdalam mengentaskan kemiskinan dan pemenuhan kebutuhan pangan,

    kelembagaan lokal mampu mengoptimalkan kekuatan-kekuatan sosiologis berupa

    modal-modal sosial, kekuatan tindakan-tindakan kolektif, kepemimpinan

    ekonomi, juga kemampuan membangun jaringan dengan pihak-pihak luar

    sehingga terjadi kolaborasi yang menguntungkan antara kekuatan-kekuatan lokal

    dengan institusi-institusi lainnya. Oleh karena itu perlu upaya untuk mengkaji,

    bagaimana program ketahanan pangan lokal untuk mengatasi kemiskinan

    dan kerawanan pangan?

    Hal menarik adalah ketika dalam suatu masyarakat sudah terbangun

    kelembagaan ketahanan pangan, kemudian terjadi interaksi dengan masuknya

    intervensi dari pemerintah dalam upaya pengembangan kelembagaan ketahanan

     pangan lokal, maka pertanyaan berikutnya adalah, bagaimana pengaruh

    kepentingan berbagai aktor dalam program pengembangan kelembagaan

    ketahanan pangan lokal ?

    Kepentingan rumah tangga miskin adalah hal utama yang harus

    diperhatikan dalam berbagai program pengembangan kelembagaan ketahanan

     pangan lokal. Sehingga sangat penting untuk mengkaji sejauh mana

    kepentingan rumah tangga petani miskin dijadikan dasar untuk

    mengevaluasi pencapaian program ketahanan pangan lokal ?

  • 8/17/2019 Dimensi_Kepentingan_Dalam_Pengembangan_K.pdf

    19/151

      7

    Pada akhirnya penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan konsep

     bagaimana melihat dimensi kepentingan dalam pengelolaan kelembagaan

    ketahanan pangan lokal serta interaksinya dengan program pemerintah (mapan)

     pada suatu komunitas yang mengembangkan partisipasi masyarakat pedesaan

    melalui kelembagaan lokal setempat. Dalam konteks pembangunan, membangun

    sebuah kemandirian masyarakat pedesaan harus didasarkan dan berbasis pada

    kelembagaan lokal yang terdapat dalam suatu wilayah tersebut. Belum

     berhasilnya program penanggulangan rawan pangan yang telah dilakukan selama

    ini karena tidak diiringi dengan perubahan kelembagaan yang ada.

    Tujuan Penelitian

    Berdasarkan perumusan masalah yang telah diuraikan diatas, maka tujuan

     pokok penelitian adalah menganalisis kelembagaan ketahanan pangan lokal dan

    interaksinya dengan program Mapan dalam upaya pengentasan kemiskinan dan

    sejauh mana program tersebut mampu menjadi ruang untuk mendialogkan

     berbagai kepentingan yang berbeda. Secara khusus, penelitian ini bertujuan : 

    1. 

    Mengkaji pelaksanaan program ketahanan pangan lokal untuk mengatasi

    kemiskinan dan kerawanan pangan

    2. 

    Menganalisis pengaruh berbagai kepentingan (ekonomi, sosial, politik)

    aktor dalam program pengembangan Kelembagaan ketahanan pangan

    lokal

    3.  Mengkaji sejauh mana kepentingan rumah tangga petani miskin dijadikan

    dasar untuk mengevaluasi pencapaian program ketahanan pangan lokal

  • 8/17/2019 Dimensi_Kepentingan_Dalam_Pengembangan_K.pdf

    20/151

      8

    Kegunaan Penelitian

    Kegunaan penelitian ini terutama bagi penulis adalah memperkaya

     pengalaman penelitian dan kegiatan keilmuan, disamping dapat mengetahui lebih

     banyak tentang konsep dimensi kepentingan dalam emberdayaan masyarakat di

    desa rawan pangan. Pengetahuan tentang dimensi kepentingan ini dapat dijadikan

    sebagai informasi tambahan bagi peneliti lain yang berminat mengkaji tema ini

    lebih dalam.

    Kegunaan hasil penelitian juga untuk masukan kepada pemerintah dalam

    melakukan evaluasi terhadap program mandiri pangan yang sekarang masih

     berjalan. Terdapat lebih dari 100 kabupaten rawan pangan di Indonesia yang

    didalamnya terdapat kelembagan lokal pengelolaan ketahanan pangan yang

     barangkali berkondisi sama secara politik maupu ekonomi dengan lokasi

     penelitian ini, namun masing-masing masyarakat mempunyai respon sendiri-

    sendiri. Salah satunya adalah daerah penelitian ini, yaitu desa Jambakan,

    Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah. Hal ini tentunya

    akan menjadi pengalaman dan pengetahuan tersendiri bagi peneliti baik secara

    kuantitas maupun secara kualitas, khususnya yang terkait dengan tema pokok

    yang diangkat dalam penelitian ini.

  • 8/17/2019 Dimensi_Kepentingan_Dalam_Pengembangan_K.pdf

    21/151

      9

    PENDEKATAN TEORITIS

    Tinjauan Pustaka

    Pembangunan Perekonomian Pedesaan

    Menurut Suhardjo (1998), dalam menentukan program pembangunan

    dikenal tiga bentuk pendekatan, yaitu : Program pembangunan ditentukan oleh

     pihak luar (pemerintah), oleh masyarakat sendiri dan ditentukan bersama oleh

    masyarakat sendiri dan pemerintah. Program pembangunan yang ditentukan oleh

     pihak luar (pemerintah) didasarkan atas perhitungan bahwa program tersebut

    diperlukan oleh masyarakat, tanpa melalui konsultasi atau pertemuan formal

    terlebih dahulu dengan masyarakat setempat, baik dengan seluruh anggotamasyarakat ataupun melalui pemimpin/wakil mereka.

    Kegiatan pembangunan semacam ini bercirikan instruktif dan

    dimaksudkan untuk kecepatan bertindak, efisien dari segi waktu dan energi,

    menyelesaikan masalah dengan segera, dan menghasilkan manfaat yang besar.

    Resiko dari cara ini adalah bahwa masyarakat tidak dipersiapkan dari awal untuk

     berpartisipasi terhadap program pembangunan tersebut, sehingga ada

    kemungkinan akan sulit diajak berpartisipasi dalam tahap pelaksanaannya, bahkan

     pada pemanfaatannya, padahal partisipasi masyarakat merupakan factor yang

    esensial dalam pembangunan.

    Program pembangunan yang ditetapkan oleh masyarakat sendiri

     bertitiktolak dari pandangan bahwa jika penentuan program diserahkan kepada

    masyarakat sendiri, maka mereka akan mempunyai motivasi yang kuat untuk

    melaksanakan program tersebut dengan baik. Hal ini disebabkan hal-hal yang

    dicapai dalam program tersebut adalah yang mereka rasakan sebagai kebutuhan

    dan pengalaman mereka. Program yang ditetapkan bersama merupakan gabungan

    antara kedua pendekatan, hal ini dimaksudkan untuk menutupi kelemahan pada

    kedua pendekatan sebelumnya. Dalam pelaksanaannya pihak luar mengadakan

    konsultasi dengan masyarakat mendiskusikan pendapat-pendapat tentang situasi

    lingkungan serta perikehidupan masyarakat setempat, kemudian memutuskan

     bersama program yang menjadi kesepakatan.

  • 8/17/2019 Dimensi_Kepentingan_Dalam_Pengembangan_K.pdf

    22/151

      10

    Pembangunan selalu membawa dimensi kepentingan politik, perebutan

    sumberdaya ekonomi, konflik sosial, dan membawa masalah dalam menentukan

     pilihan-pilihan penyelesaian. Menurut Arsyad (1999), pembangunan ekonomi

    daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya

    mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada dan membentuk suatu pola

    kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan

    suatu lapangan pekerjaan baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi

    (pertumbuhan ekonomi) dalam suatu wilayah tersebut.

    Pembangunan ekonomi daerah juga mencakup proses pembentukan

    institusi-institusi baru, identifikasi pasar-pasar baru, alih ilmu pengetahuan dan

     pengembangan perusahaan-perusahaan baru. Setiap upaya pembangunan

    ekonomi daerah, mempunyai tujuan utama utnuk meningkatkan jumlah dan jenis peluang kerja untuk masyarakat daerah, dimana pemerintah daerah dan

    masyarakatnya harus secara bersama-sama mengambil inisiatif pembangunan

    daerahnya.

    Pembangunan yang juga merupakan pemberdayaan masyarakat pedesaan

    adalah upaya menuju kemandirian masyarakat pedesaan, yang dapat berdiri

    dengan kaki sendiri dengan mengoptimalkan segala kemampuan yang dimiliki.

    Pembangunan pedesaan dipahami sebagai serangkaian aktivitas dan aksi dari

     beragam pelaku individu, organisasi, kelompok yang bahu-membahu melakukan

     pembaharuan demi kemajuan (progress) berbagai sektor di wilayah pedesaan

    (Dharmawan, 2002).

    Mengacu pada Unicef dalam Sumarti dan Syaukat (2002), terdapat tujuh

    komponen kapasitas di tingkat komunitas yang dapat dikembangkan untuk

    mendorong aktivitas-aktivitas ekonomi anggotanya melalui pembentukan

    kelompok-kelompok usaha ekonomi produktif, yaitu : Community Leader,

    Community Technology, Community Fund, Community Material, Community

    Knowledge, Community Decision Making, Community Organization.

    Penyelenggaraan pembangunan daerah tidak semata-mata menjadi

    tanggungjawab Pemerintah Daerah, tetapi juga berada pada pundak masyarakat

    secara keseluruhan.

  • 8/17/2019 Dimensi_Kepentingan_Dalam_Pengembangan_K.pdf

    23/151

      11

    Salah satu wujud rasa tanggungjawab yang dimaksud adalah sikap

    mendukung dari warga masyarakat daerah terhadap penyelenggaraan

     pembangunan daerah yang ditujukkan dengan keterlibatan (partisipasi) aktif

    warga masyarakat (Tony, 2003).

    Pendekatan pembangunan di negara-negara berkembang dan termasuk di

    Indonesia (terutama di masa Orde Baru) pada kenyataannya cenderung

    menggunakan pendekatan modernisasi dengan indikator keberhasilannya diukur

    dari tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Sebagaimana dikemukakan oleh

    Korten dan Syahrir (1988), walaupun tujuan dasarnya untuk mensejahterakan

    rakyat, namun karena strategi, metodologi dan implementasinya berpusat pada

     produksi, maka pada akhirnya kurang memberi manfaat bagi kesejahteraan rakyat.

    Hal ini terjadi karena tercapainya pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tidak secara

    otomatis menjamin tercapainya pemerataan hasil atau manfaatnya secara adil bagi

    seluruh lapisan masyarakat. Hal ini mulai disadari oleh para pengambil

    keputusan kebijaksanaan pembangunan di era reformasi dan otonomi daerah ini,

    dimana pendekatan pembangunan nasional mulai bergeser pada “ekonomi

    kerakyatan”.

    Proses modernisasi meliputi proses transformasi model struktur , kultur ,

     pengetahuan, modal dan juga teknologi dari luar (negara maju) ke dalam sebuah

    masyarakat di negara-negara Dunia Ketiga. Proses transformasi ini dapat berjalan

    dengan baik, jika individu-individu di dalam masyarakat juga mengalami

    transformasi kepribadian.

    Untuk kasus proses modernisasi di Indonesia, transformasi kepribadian ini

    tidak terjadi, karena upaya-upaya pembangunan (modernisasi) lebih ditekankan

     pada aspek-aspek fisik (perangkat keras) seperti fasilitas transportasi, fasilitas

    komunikasi, gedung sekolah, dll. Sebagaimana dikemukakan oleh Ogburn dalam 

    Strasser (1981), bahwa proses laju perubahan dalam kebudayaan material lebih

    cepat dibandingkan dengan perubahan-perubahan dalam kebudayaan non-material

    (kultural), seperti kelembagaan (adat, kepercayaan, filsafat, hukum dan

     pemerintahan).

  • 8/17/2019 Dimensi_Kepentingan_Dalam_Pengembangan_K.pdf

    24/151

      12

    Menurut Israel (1990), timbulnya kecenderungan penekanan

     pembangunan terhadap aspek-aspek fisik disebabkan oleh dua alasan pokok yaitu

    ; pertama, teori pembangunan dan praktek telah begitu lama berada di tangan para

    ahli ekonomi, mengikuti tradisi yang memfokuskan pada alokasi sumberdaya dan

    alokasi yang berdasarkan pada efisiensi, bukan pada cara-cara yang paling efektif  

    dalam menggunakan sumberdaya yang sudah dialokasikan. Strategi

     pembangunan penekanannya masih pada perencanaan dan penaksiran bukan pada

     pelaksaanaan, lebih kepada investasi  serta kebijakan  bukannya pada operasi.

    Selain itu kecondongan kuantitatif dalam ilmu ekonomi dan pembangunan

    ekonomi selama dekade belakangan ini lebih menguntungkan masalah analisa

    lokasi sumberdaya, seperti perencanaan dan prakiraan dibandingkan dengan

    masalah pelaksanaan, yang memang kurang dapat dikuantifikasi.

    Kedua, terabaikannya masalah-masalah kelembagaan karena hal ini

    merupakan bidang yang rumit. Bidang-bidang seperti ilmu manajemen dan

    administrasi pembangunan belum cukup berhasil dalam mengatasi masalah di

    negara-negara sedang berkembang. Tujuan utama ilmu manajemen telah terlanjur

    mengarah pada masalah-masalah sektor swasta di negara maju, dan telah

    menemui kesulitan dalam mengadaptasikannya ke dalam kegiatan publik atau

    campuran dari lingkungan yang lebih buruk dan lebih politis.

    Ketika teori dan praktek pembangunan adalah ahli ekonomi, maka secara

    otomatis perencanaan pembangunan cenderung menggunakan pendekatan

    ekonomi makro. Padahal, menurut Uphoff (1997), rekomendasi makro ekonomi

     biasanya tergabung (incorporated ) dalam paket “penyesuaian struktural”

    (structural adjustment ) hanya memberi dampak yang sangat kecil terhadap

    masyarakat miskin di pedesaan, dan sedikit (bahkan tidak sama sekali)

    membangun kemampuan organisasi lokal dan menengah untuk merencanakan,

    memonitor dan mengelola  berbagai perbaikan-perbaikan taraf hidup masyarakat

    dan mata pencahariannya. Berbagai studi kasus menunjukan bahwa ketika

    masyarakat lokal diberi kapasitas (kesempatan) yang sangat besar untuk

    mengelola (sumberdaya) yang ada disekitar mereka, ternyata mereka mampu

    untuk memasukan inovasi-inovasi baru yang dapat meningkatkan produktivitas

    dan mempertinggi kualitas hidupnya.

  • 8/17/2019 Dimensi_Kepentingan_Dalam_Pengembangan_K.pdf

    25/151

      13

    Ketika pihak luar memberikan banyak investasi terhadap kapasitas

    kelembagaan (organizational capability), maka hal itu akan memberikan

    keuntungan yang berlipat.  Pendekatan-pendekatan ekonomi makro, nyata-nyata

    kurang mampu menjangkau dan menyelesaikan masalah masyarakat miskin di

     pedesaan dan perkotaan. Ketika kebijakan pembangunan ekonomi tidak dapat

    menyelesaikan masalah kemiskinan di pedesaan, maka dapat dikatakan secara

    umum kebijakan pembangunan tersebut telah gagal.

    Aktivitas pembangunan yang diwujudkan dalam bentuk-bentuk

    modernisasi maka indikator keberhasilannya dilihat melalui ukuran-ukuran

    kuantitatif seperti tingkat pertumbuhan ekonomi, tingkat pendapatan negara

    (GDP) atau tingkat produktivitas. Model-model indikator keberhasilan

     pembangunan ekonomi seperti itu tidak dapat menggambarkan realitas (kondisi

    tingkat kesejahteraan masyarakat) yang sebenarnya.

    Tercapainya pertumbuhan ekonomi yang tinggi di suatu negara, tidak serta

    merta berarti pula telah tercapai upaya-upaya pemerataan bagi masyarakat dalam

    menikmati hasil-hasil pertumbuhan ekonomi secara adil. Jika sarana atau modal

     produksi tidak dimiliki secara “merata” dan adil oleh seluruh lapisan masyarakat,

    maka bisa jadi angka-angka tersebut bersifat semu karena manfaat atau

    keuntungan dari surplus produksi sebagian besar terkonsentrasi pada sekelompok

    kecil masyarakat.

    Sedangkan sebagian besar dari masyarakat hanya menikmati sedikit dari

    hasil-hasil pertumbuhan ekonomi, bahkan ada diantaranya yang tidak menikmati

    sama sekali. Kebijaksanaan pembangunan (modernisasi) pedesaan di negara-

    negara berkembang yang cenderung bertumpu pada pertumbuhan ekonomi

    terbukti belum berhasil mengurangi kemiskinan di negara berkembang (Kasryno

    dan Stepanek, 1985).

    Demikian pula halnya dengan pembangunan pertanian di pedesaan

    Indonesia, meskipun berhasil meningkatkan produktivitas pertanian, namun tidak

    dibarengi dengan peningkatan kapasitas diri petani (terutama petani gurem) untuk

    menolong dirinya sendiri.

  • 8/17/2019 Dimensi_Kepentingan_Dalam_Pengembangan_K.pdf

    26/151

      14

    Sebagaimana dikemukakan Sajogjo (1982), petani kecil masih dihadapkan

     pada resiko-resiko seperti lemahnya akses mereka pada kredit murah yang

    disediakan pemerintah dan mereka tidak mampu membebaskan dirinya dari

    ketergantungan dan lilitan hutang dari petani kaya dan tengkulak. Meskipun

    modernisasi pertanian di pedesaan telah memulai membimbing petani untuk

    mengorganisasikan dirinya agar dapat menolong dirinya sendiri, seperti melalui

     penyuluhan dan pembentukan koperasi petani (KUD), namun terbukti upaya

    tersebut belum memberi hasil yang memuaskan.

    Kondisi masyarakat miskin di pedesaan Indonesia tidak mengalami

     banyak perubahan dan bahkan kondisinya semakin memburuk sebagai dampak

    krisis ekonomi di tahun 1997. Kondisi perekonomian masyarakat pedesaan di

    negara berkembang, sebagaimana dikemukakan oleh Boeke (1953) masih

    dicirikan dengan adanya dualisme ekonomi.

    Masyarakat pedesaan di Indonesia (terutama Jawa) memang tidak

    sepenuhnya persis sebagaimana tesis yang dikemukakan oleh Geertz (1974)

    tentang involusi pertanian, karena pada dasarnya petani itu selain pekerja keras

     juga kreatif dalam mensiasati kerasnya kehidupan. Breman dan Gunardi (2004)

    menunjukkan bahwa keterbatasan sektor pertanian dipedesaan untuk menutupi

    kebutuhan hidup telah mendorong masyarakat desa untuk mencari mata

     pencaharian ganda.

    Bahkan pada perkembangan lebih lanjut, kecenderungan ini meluas dan

    melintasi batas-batas geografis desa, yaitu hingga ke perkotaan, dan bahkan

    hingga ke manca negara untuk bekerja sebagai tenaga kerja wanita (TKW). Satu

    hal yang menjadi ciri dasar, bahwa posisi petani sebagai strata bawah juga

    terbawa pada jenis-jenis pekerjaan di perkotaan dan di manca negara, dimana

    karakteristik pekerjaan mereka didominasi oleh pekerjaan-pekerjaan kelas bawah

    dan rentan terhadap pengusiran, eksploitasi, penindasan dan bahkan perkosaan.

    Kondisi ini membuktikan bahwa posisi petani kecil dan keluarganya masih

    termarginalkan baik dalam tataran lokal, nasional, maupun global. Kondisi

    keterpurukan mayoritas petani kecil di pedesaan ini membutuhkan perhatian

    serius dari semua kalangan terutama pemerintah.

  • 8/17/2019 Dimensi_Kepentingan_Dalam_Pengembangan_K.pdf

    27/151

      15

    Sebagaimana dikemukakan Tjondronegoro dalam kata pengantarnya untuk

     buku karya Breman dan Wiradi (2004), pasar tenaga kerja untuk petani kecil dan

    keluarga miskin di pedesaan tidak mempunyai kelenturan. Dengan tingkat

     pendidikan yang sangat rendah, sulit bagi mereka untuk melakukan mobilitas

    horisontal apalagi vertikal, pun untuk jenis-jenis pekerjaan di sektor informal.

    Posisi terdesak dari mayoritas petani ini sangat membahayakan bagi

    keamanan dan ketahanan nasional. Dalam tataran lokal dan daerah, kondisi ini

    akan mendorong maraknya tindak kejahatan. Namun jika kondisi ini terus

     berlangsung, hingga melampaui batas-batas kesabaran dan kesadaran, maka bukan

    tidak mungkin akan menimbulkan pembangkangan dan bahkan hingga

     pemberontakan, yang cakupannya tidak hanya meliputi geografis lokal

    kedaerahan, bahkan nasional.

    Tentunya kondisi tersebut tidaklah kita harapkan terjadi, oleh karena itu

     bagi pemerintahan sekarang, sebagaimana dikemukakan oleh Tjondronegoro

    tantangan yang terberat adalah masalah kemiskinan di pedesaan sebagai akibat

     pengangguran terbuka dan pengangguran terselubung. Sehingga dibutuhkan

    model pembangunan baru, yang mampu memecahkan masalah pengangguran dan

    kemiskinan struktural dalam kurun waktu yang sependek mungkin.

    Pemberdayaan masyarakat merupakan suatu proses aksi sosial yang berkesinambungan dimana masyarakat mengorganisir diri mereka dalam

    merencanakan yang akan dikerjakan, merumuskan masalah dan kebutuhan-

    kebutuhan baik yang sifatnya untuk kepentingan individu maupun yang sifatnya

    untuk kepentingan bersama, membuat rencana-rencana tersebut didasarkan atas

    kepercayaan yang tinggi terhadap sumber-sumber yang dimiliki masyarakat, dan

     bilamana perlu dapat melengkapi dengan bantuan teknis dan material dari

     pemerintah dan badan-badan non-pemerintah di luar masyarakat.

    Pemberdayaan masyarakat bertujuan untuk meningkatkan potensi

    masyarakat agar mampu meningkatkan kualitas hidup yang lebih baik bagi

    seluruh warga masyarakat melalui kegiatan-kegiatan swadaya. Memberdayakan

    masyarakat bertujuan mendidik masyarakat agar mampu mendidik diri mereka

    sendiri.

  • 8/17/2019 Dimensi_Kepentingan_Dalam_Pengembangan_K.pdf

    28/151

      16

    Karenanya pola pemberdayaan masyarakat apapun yang dipilih, maka pola

    tersebut harus bebas dari perlakuan-perlakuan diskriminasi,  prejudice, dan

    subjektif terhadap masyarakat. Pendapat ini sesuai dengan hakikat dari

     pemberdayaan masyarakat yakni terimalah perlakukan masyarakat sebagaimana

    mereka adanya tanpa membandingkan dengan masyarakat lain, dan mulailah

    kegiatan pembangunan masyarakat dimana masyarakat berada.

    Pemberdayaan masyarakat dengan segala kegiatannya dalam

     pembangunan sebaiknya menghindari metode kerja "doing for the community" ,

    tetapi mengadopsi metode kerja "doing with the community" . Metode kerja doing

     for , akan menjadikan masyarakat menjadi pasif, kurang kreatif dan tidak berdaya,

     bahkan mendidik masyarakat untuk bergantung pada bantuan pemerintah atau

    organisasi-organisasi sukarela pemberi bantuan. Sebaliknya, metode kerja doingwith, merangsang masyarakat menjadi aktif dan dinamis serta mampu

    mengidentifikasi mana kebutuhan yang sifatnya - real needs, felt needs dan 

    expected need . 

    Program Aksi Mandiri Pangan (Mapan)

    Terjadinya kasus rawan pangan dan gizi buruk di beberapa daerah,

    menunjukkan bahwa masalah ketahanan pangan bukan masalah yang sederhana

    dan dapat diatasi sesaat saja, melainkan merupakan masalah yang cukup

    kompleks karena tidak hanya memperhatikan situasi ketersediaan pangan atau

     produksi disisi makro saja melainkan juga harus memperhatikan program-

     program yang terkait dengan fasilitasi peningkatan akses terhadap pangan dan

    asupan gizi baik ditingkat rumah tangga maupun bagi anggota rumah tangga itu

    sendiri.

    Kerawanan pangan merupakan suatu kondisi ketidakmampuan untuk

    memperoleh pangan yang cukup dan sesuai untuk hidup sehat dan aktif.

    Kerawanan pangan ini terjadi apabila setiap individu hanya mampu memenuhi 80

     persen kebutuhan pangan dan gizi hariannya. Munculnya kasus rawan pangan

    dan gizi menunjukkan bahwa ketersediaan bahan pangan dan akses terhadap

     pangan serta konsumsi pangan yang bergizi dan seimbang masih menjadi masalah

     bagi masyarakat.

  • 8/17/2019 Dimensi_Kepentingan_Dalam_Pengembangan_K.pdf

    29/151

      17

    Berdasarkan sifatnya kerawanan pangan dibedakan menjadi dua yaitu

    kerawanan pangan sementara dan kerawanan pangan khronis. Kerawanan pangan

    sementara terjadi karena individu tidak mampu memperoleh pangan yang cukup

     pada suatu waktu karena sebab-sebab tertentu yang terjadi secara mendadak

    seperti bencana alam. Kerawanan pangan khronis terjadi karena individu tidak

    mampu memperoleh pangan yang cukup dalam jangka waktu yang lama.

    Kondisi kerawanan pangan yang lebih parah akan berdampak pada

    terjadinya kelaparan dimana individu tidak mampu memenuhi 70 persen dari

    kebutuhan pangan dan gizinya berturut-turut selama 2 bulan dan diikuti dengan

     penurunan berat badan karena masalah daya beli dan atau masalah ketersediaan

     pangan.

    Ketahanan pangan sebagai terjemahan dari  food security  telah dikenal

    luas di dalam forum pangan sedunia seperti FAO. Sebagai titik tolak alat evaluasi

    yang penting dalam kebijakan pangan, konsep ketahanan pangan mengalami

     banyak perubahan sesuai kondisi sosial, ekonomi dan politik.

    Pada tahun 1970-an, aspek ketersediaan pangan menjadi perhatian utama,

    Tahun 1980-an, beralih ke akses pangan pada tingkat rumah tangga dan individu

    dan Tahun 1990-an, konsep ketahanan pangan mulai memasukan aspek

    kelestarian lingkungan (Handewi dan Ariani, 2002).

    Badan Bimas Ketahanan Pangan (2004), merumuskan konsepsi ketahanan

     pangan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumahtangga yang tercermin

    dari : (1) tersedianya pangan secara cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya;

    (2) aman; (3) merata; (4) terjangkau.

    Dengan pengertian tersebut, mewujudkan ketahanan pangan dapat lebih

    dipahami sebagai berikut :

    a. 

    terpenuhinya pangan dengan kondisi ketersediaan yang cukup, diartikan

    ketersediaan luas, pangan yang mencakup pangan yang yang berasal dari

    tanaman, ternak, dan ikan untuk memenuhi kebutuhan atas karbohidrat,

     protein, lemak, vitamin dan mineral serta turunannya, yang bermanfaat

     bagi pertumbuhan kesehatan manusia

  • 8/17/2019 Dimensi_Kepentingan_Dalam_Pengembangan_K.pdf

    30/151

      18

     b.  terpenuhinya pangan dengan kondisi yang aman, diartikan bebas dari

    cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu,

    merugikan dan membahayakan kesehatan manusia, serta aman dari kaidah

    agama

    c. 

    terpenuhinya pangan dengan kondisi yang merata, diartikan pangan yang

    harus tersedia setiap saat dan merata di seluruh tanah air

    d. 

    terpenuhinya pangan dengan kondisi terjangkau, diartikan pangan mudah

    diperoleh rumah tangga dengan harga yang terjangkau

    Pembangunan subsistem ketersediaan mencakup pengaturan kestabilan

    dan kesinambungan penyediaan pangan baik yang berasal dari produksi dalam

    negeri, cadangan maupun impor dan ekspor. Pembangunan subsistem distribusimencakup aksesibilitas pangan antar wilayah dan antar waktu serta stabilitas

    harga pangan strategisl. Pembangunan subsistem konsumsi mencakup jumlah,

    mutu, gizi/nutrisi, keamanan, dan keragaman konsumsi pangan. Pendekatan yang

    ditempuh dalam membangun ketiga subsistemtersebut adalah koordinasi dan

     pemberdayaan masyarakat secara partisipatif   . Pendekatan ini berbasis pada

    system dan usaha agribisnis yang berdaya saing, berkelanjutan, berkerakyatan dan

    desentralistis.

    Keberhasilan pembangunan ketiga subsitem ketahanan pangan tersebut

     perlu didukung oleh faktor-faktor input berupa sarana,prasarana dan kelembagaan

    kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, pengolahan, juga didukung oleh faktor-

    faktor penunjang seperti kebijakan, peraturan, pembinaan dan pengawasan. Di

    samping itu perlu adanya jaringan informasi yang mencakup dimensi yang luas

    seperti produksi ketersediaan, konsumsi dan harga pangan serta status gizi antar

    waktu dan wilayah. Informasi ini berguna sebagai basis perencanaan, prakiraan

    dan evaluasi serta intervensi program.

    Ketahanan pangan diselenggarakan oleh banyak pelaku, seperti produsen,

     pengolah, pemasar dan konsumen, yang dibina oleh berbgai institusi sektoral,

    subsektoral, serta dipengaruhi oleh interaksi lintas wilayah. Keluaran yang

    diharapkan dari pangan, meningkatnya kualitas sumberdaya manusia, serta

    meningkatnya ketahanan ekonomi dan ketahanan nasional.

  • 8/17/2019 Dimensi_Kepentingan_Dalam_Pengembangan_K.pdf

    31/151

      19

    Selanjutnya menurut Handewi dan Ariani, (2002), dimensi ketahanan

     pangan sangat luas, mencakup dimensi waktu, dimensi sasaran, dimensi sosial

    ekonomi masyarakat, sehingga diperlukan banyak indikator untuk mengukurnya.

    Pada tingkat global, nasional, regional indikator ketahanan pangan yang dapat

    digunakan adalah tingkat ketersediaan pangan dengan memperhatikan variabel

    tingkat kerusakan tanaman/ternak/perikanan, rasio ketersediaan (stock ) dengan

    konsumsi, skor PPH, keadaan keamanan pangan, kelembagaan pangan, dana

     pemerintah dan harga pangan.

    Sementara itu, untuk tingkat rumah tangga dan individu, indikator yang

    dapat digunakan adalah pendapatan dan alokasi tenaga kerja, proporsi

     pengeluaran pangan terhadap tingkat pengeluaran total, perubahan kehidupan

    sosial, keadaan konsumsi pangan (jumlah, kualitas, kebiasaan makan), keadaankesehatan dan status gizi. Berdasarkan luasnya dimensi ketahanan pangan

    tersebut di atas, maka pilihan kebijakan dan program juga sangat kompleks,

    tergantung seberapa besar ancaman ketahanan pangan, misalnya kronis atau

    sementara.

    Ditinjau dari aspek pendekatan yang terkait dengan strategi untuk

    mencapai ketahanan pangan, secara umum digunakan dua pendekatan yaitu : (1)

     pendekatan ketersediaan pangan, dan (2) pendekatan kepemilikan (entitlement).1 

    Pendekatan atau paradigmma terbaru mengacu pada konsep ketahanan pangan

    yang berkelanjutan, yang mendasarkan pada empat aspek yaitu :  pertama, pangan

    merupakan kebutuhan dasar manusia ; kedua, ketahanan pangan harus

    diperlakukan sebagai sistem hirarki dari tingkat global, nasional, daerah hingga

    rumah tangga ; dan ketiga, perlunya peranan pemerintah yang bersih dan

     bertanggung jawab dalam mencapai ketahanan pangan yang berkelanjutan, dan

    keempat, ketahanan pangan mencakup aspek kuantitatif dan kualitatif.

    1  Konsep entitlement yang diperkenalkan Amartya Sen (1981). Konsep tersebut menggambarkanmanusia (individu maupun kelompok) merupakan penggerak berbagai aset dan kebijakan untukmemenuhi kebutuhan hidup dan mengatasi berbagai masalah dan ancaman. Manusia memilikiakses terhadap berbagai aset produktif yang dapat dikelola untuk memenuhi kebutuhan pangandan kebutuhan hidup lainnya.

  • 8/17/2019 Dimensi_Kepentingan_Dalam_Pengembangan_K.pdf

    32/151

      20

    Salah satu program pemerinthah untuk meningkatkan ketahanan pangan

    adalah Program Desa Mandiri Pangan (Proksi Mapan). Program ini dimulai pada

    tahun 2005 merupakan suatu kegiatan strategis yang menjadi andalan pemerintah

    untuk mewujudkan ketahanan pangan di wilayah pedesaan, dimana perwujudan

    ketahanan pangan nasional dimulai dari pemenuhan pangan di wilayah terkecil

    (pedesaan) sebagai basis kegiatan pertanian.

    Tujuan dari program adalah meningkatkan ketahanan pangan dan gizi

    (mengurangi kerawanan pangan dan gizi) masyarakat melalui pendayagunaan

    sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal di pedesaan. Sasaran program adalah

    desa rawan pangan yang pada tahun 2006 Pemerintah melalui departemen

     pertanian mengeluarkan daftar 100 kabupaten rawan pangan di Indonesia.

    Alasan pokok pentingnya melakukan pengembangan kegiatan berkenaandengan ketahanan pangan di pedesaan yaitu bahwa masih adanya masyarakat

    yang memiliki kemampuan rendah dalam mengakses pangan yang disebabkan

    oleh keterbatasan penguasaan sumberdaya alam, rendahnya tingkat pendidikan

    masyarakat, terbatasnya akses masyarakat terhadap informasi dan teknologi,

    terbatasnya akses masyarakat desa terhadap lembaga pemasaran serta belum

    optimalnya fungsi kelembagaan aparat dan kelompok tani sehingga kurang

    mempunyai peluang dalam berusaha di bidang pertanian maupun non-pertanian.

    Selain itu di pedesaan masih banyak adanya kemiskinan structural,

    sehingga meskipun telah berusaha tetapi pendapatan yang diperoleh belum dapat

    memenuhi kebutuhan keluarga. Serta yang tidak kalah penting adalah masih

    minimnya sarana dan prasarana seperti pengairan, jalan desa, sarana usaha tani,

    air bersih, listrik dan pasar yang dimiliki di pedesaan.

    Salah satu upaya pemerintah adalah melalui program aksi desa mandiri

     pangan. Melalui kegiatan pengembangan desa mandiri pangan sebagai salah satu

     program untuk peningkatan kesejahteraan petan, diharapkan masyarakat desa

    mempunyai kemampuan untuk mewujudkan ketahanan pangan dan gizi sehingga

    dapat menjalani hidup sehat dan produktif dari hari ke hari, secara berkelanjutan.

    Upaya tersebut dilakukan melalui proses pemberdayaan masyarakat untuk

    mengenali potensi dan kemampuannya, mencari alternatif peluang dan pemecahan

    masalah dengan menempatkan tenaga pendamping di setiap desa pelaksana.

  • 8/17/2019 Dimensi_Kepentingan_Dalam_Pengembangan_K.pdf

    33/151

      21

    Kegiatan ini merupakan kegiatan lintas pemerintah yang ditangani

     berjenjang antara pemerintah pusat dan daerah dalam penyelenggaraan : 1)

     pelatihan untuk petugas penyusun data awal desa (data base desa) dan pelatih

    untuk aparat, dilaksanakan oleh pusat, selanjutnya provinsi melakukan pelatihan

    untuk kabupaten, sedangkan kabupaten melakukan pengumpulan data desa, dan

    menyusun profil desa dalam data base desa; 2) apresiasi, advokasi dan sosialisasi

    dilaksanakan berjenjang; 3) pendampingan merupakan suatu kegiatan dilakukan

    oleh pendamping yang menguasai pemberdayaan masyarakat untuk bersama-sama

    masyarakat menumbuhkan kelompok mandiri, mengajarkan cara mengenali

     potensi, masalah dan peluang yang ada serta menyusun rencana kelompok untuk

    membangun dan mengembangkan usahanya; 4) pemberdayaan masyarakat

    dilakukan oleh kabupaten melalui pertemuan kelompok yang efektif dan efisienyang difasilitasi oleh pendamping sedapat mungkin tidak mengganggu aktifitas

    usaha yang selama ini dilakukan.

    Melalui program ini diharapkan masyarakat mempunyai kemampuan

    untuk mewujudkan ketahanan pangan dan gizi sehingga dapat menjalani hidup

    sehat dan produkstif dari hari kehari, secara berkelanjutan. Beberapa kondisi yang

    diperlukan untuk pengembangan program mapan diantaranya keterlibatan

    masyarakat secara efektif, terbangunnya skenario berbasis pemberdayaan

    masyarakat, adanya dukungan infrastruktur ekonomi yang tangguh dan memihak

    kepada kepentingan orang banyak, serta adanya fasilitator yang bervisi jauh

    kedepan dan terampil mengelola program tersebut. Pengembangan desa mandiri

    dilakukan pada wilayah desa rawan pangan yang merupakan titik-titik potensi

     penyebab rendahnya kualitas sumberdaya manusia melalui proses pemberdayaan

    masyarakat, penguatan kelembagaan, serta pengembangan sarana dan prasarana

     pedesaan yang memadai. Masyarakat diharapkan mampu mengembangkan sistem

    ketahanan pangan yang meliputi subsistem ketersediaan, distribusi dan konsumsi,

    menuju terwujudnya desa mandiri pangan yang masyarakatnya ; (1) mempunyai

    kemampuan untuk meningkatkan ketahanan pangan dan gizi dengan

    memanfaatkan potensi sumberdaya setempat; (2) mampu memperkecil resiko

    kemumgkinan terjadinya penurunan ketahanan pangan karena sebab ekonomi atau

    alam; dan (3) mampu memberikan manfaat bagi desa-desa lain disekitarnya.

  • 8/17/2019 Dimensi_Kepentingan_Dalam_Pengembangan_K.pdf

    34/151

      22

      Basis pembangunaan pedesaan bertujuan untuk mewujudkan ketahanan

     pangan dalam suatu wilayah yang mempunyai keterpaduan sarana dan prasarana

    dari aspek ketersediaan, distribusi dan konsumsi pangan untuk mencukupi dan

    mewujudkan ketahanan pangan rumah tangga. Melalui Program Aksi Desa

    Mandiri Pangan diharapkan desa mampu memproduksi dan memenuhi produk –

     produk pangan yang dibutuhkan masyarakat dengan dukungan unsur – unsur

     pendukungnya yang selanjutnya dapat mengurangi kerawanan pangan, upaya

    tersebut dilakukan melalui proses pemberdayaan masyarakat untuk mampu

    mengenali potensi dan kemampuannya, mencari alternatif pemecahan masalah

    serta memanfaatkan sumber daya alam secara efisien sehingga tercapai

    kemandirian.

    Salah satu upaya pemerintah untuk mewujudkan ketahanan panganmelalui Peraturan Pemerintah (PP) no. 68 tahun 2002 tentang ketahanan pangan,

    yang menyatakan bahwa penyediaan pangan diselenggarakan untuk memenuhi

    kebutuhan konsumsi pangan rumah tangga yang terus berkembang dari waktu ke

    waktu melalui : a) pengembangan system produksi pangan yang bertumpu pada

    sumberdaya keseimbangan dan budaya local ; b) pengembangan efisiensi system

    usaha pangan; c) pengembangan teknologi pangan; d) pengembangan sarana dan

     prasarana produk pangan ; dan e) mempertahankan dan mengembangkan lahan

     produktif. Operasionalisasi pelaksanaan PP tersebut pada hakekatnya adalah

     pemberdayaan masyarakat, yang berarti meningkatkan kemandirian dan kapasitas

    masyarakat untuk berperan aktif dalam memanfaatkan kelembagaan social

    ekonomi yang telah ada dan dapat dikembangkan di tingkat pedesaan dengan

    focus utamanya adalah rumah tangga pedesaan. Kabupaten Klaten dalam program

    ini juga berkesempatan untuk mengelola dan menerapkan program ini karena dari

    401 Desa/Kelurahan ada beberapa desa yang termasuk kriteria rawan pangan.

    Dengan adanya program Aksi Desa Mandiri Pangan tersebut, kriteria

    rawan pangan yang melekat didesa sasaran program akan hilang dan menjadi

    desa yang mampu mewujudkan ketahanan pangan di tingkat terendah yaitu di

    tingkat rumah tangga sehingga secara perlahan bisa mewujudkan ketahanan

    tingkat desa.

  • 8/17/2019 Dimensi_Kepentingan_Dalam_Pengembangan_K.pdf

    35/151

      23

    Upaya tersebut dilakukan melalui pemberdayaan masyarakat untuk

    mengenali potensi dan kemampuannya, mencari alternative peluang dan

     pemecahan masalah serta mampu mengambil keputusan untuk memanfaatkan

    sumber daya alam secara efisien dan berkelanjutan, dan akhirnya tercapai

    kemandirian masyarakat. Tujuan Program adalah untuk meningkatkan Ketahanan

    Pangan dan Gizi (mengurangi kerawanan pangan dan gizi) masyarakat melalui

     pendayagunaan sumber daya, kelembagaan dan budaya lokal di pedesaan.

    Sedangkan sasarannya adalah terwujudnya ketahanan pangan dan gizi tingkat desa

    yang ditandai dengan berkurangnya tingkat kerawanan pangan dan gizi.

    Dalam pelaksanaannya, program akan difasilitasi dengan masukan antara

    lain: instruktur, pendamping dalam bidang manajemen kelompok dan usaha serta

    teknis, bantuan permodalan, sarana dan prasarana, tenaga kerja serta teknologi.

    Berbagai masukan tersebut akan digunakan untuk mendukung kegiatan-kegiatan

    yang akan dilaksanakan seperti pemberdayaan masyarakat (pendampingan,

     pelatihan, fasilitasi dan penguatan kelembagaan), harmonisasi system ketahanan

     pangan dan pengembangan keamanan pangan serta antisipasi maupun

     penanggulangan kerawanan pangan. Melalui berbagai kegiatan tersebut,

    diharapkan masyarakat desa mempunyai kemampuan dalam mengelola aspek

    ketersediaan dan distribusi pangan dengan gizi seimbang dan aman, dan mampu

    mengatasi masalah pangan serta mampu membentuk aliansi untuk meningkatkan

     partisipasi masyarakat dalam melawan kelaparan dan kemiskinan, sehingga

    diharapkan dapat menurunkan kerawanan pangan dan gizi.

    Strategi yang digunakan dalam pelaksanaannya antara lain melalui : (a)

     penerapan prinsip pemberdayaan masyarakat, dengan meningkatkan kapasitas

    masyarakat untuk menolong dirinya sendiri; (b) penguatan kelembagaan pedesaan

    dalam membangun ketahanan pangan dan gizi, peningkatan pendapatan, akses

    dan konsumsi pangan beragam dan bergizi seimbang, sanitasi lingkungan serta

    antisipasi situasi darurat; (c). optimalisasi pemanfaatan sumber daya dengan

    dukungan multi sektor dan multi disiplin; (d) sinergitas antar stakeholder yang

    diwujudkan melalui peningkatan kemampuan Dewan Ketahanan Pangan

    Kabupaten/Kota dalam bekerjasama dengan stakeholder lain dan memfasilitasi

    Tim Pangan di tingkat desa.

  • 8/17/2019 Dimensi_Kepentingan_Dalam_Pengembangan_K.pdf

    36/151

      24

    Komunitas Petani dan Kemiskinan

    Teori mengenai ekonomi rumah tangga petani telah dikemukakan oleh

     beberapa ahli, diantaranya menurut Chayanov (1966), Vink (1984), Geertz

    (1983), Scott (1976), dan Popkin (1979). Melalui konsepsinya tentang peasant

    family farms, Chayanov mengatakan bahwa variabel penggunaan tenaga kerja

    keluarga (operated with hired workers) yang membedakannya dengan perusahaan

    (capitalistic enterprises). Pada usaha tani keluarga, semua tenaga kerjanya adalah

    anggota keluarga sehingga tidak diberi upah. Sedangkan pada perusahaan, tenaga

    kerjanya adalah orang lain yang diberi upah agar dapat mendatangkan

    keuntungannya. Variabel itulah yang oleh Chayanov dipandang dominan,

    disamping variable lainnya yaitu ada-tidaknya kepentingan untuk pembentukan

    modal (interest on capital), sewa lahan (rent for land ), dan keuntungan dalam

     peruasahaan ( profits of enterprises). Akhirnya Chayanov menyimpulkan bahwa

    terdapat dua karakteristik yang dimiliki usahatani keluarga, yaitu eksistensinya

    sebagai unit ekonomi yang sekaligus juga sebagai unit social. Sebagai unit

    ekonomi, usahatani keluarga akan mengalokasikan segala sumberdaya yang

    dimilikinya untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Pada tingkat yang paling

    ekstrim, alokasi sumber daya tersebut sampai sedemikian rupa sehingga merusak

    fisik dan mentalnya hanya sekedar upah yang tidak seberapa (self-exploitation).

    Di sisi lain, usahatani keluarga juga sebagai unit social karena tempat

    mensosialisasikan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat.

    Konsepsi keluarga oleh Chayanov dipergunakan secara meluas, karena

    disamakan dengan konsepsi rumahtangga. Menurut Chayanov, rumahtangga

    terdiri dari keluarga dan termasuk juga sejumlah orang yang secara tetap makan

    dari satu dapur. Berbeda dengan Chayanov, G.J. Vink (1984) justru melihat

    adanya kesamaan antara usahatani keluarga dengan suatu perusahaan. Menurut

    Vink, usahatani keluarga dapat dijelaskan sebagai ilmu perusahaan. Sebagai suatu

    ilmu, maka usahatani mempelajari bagaimana seorang petani mengelola usaha

     pertaniannya untuk mencukupi kesejahterannya. Kesejahteraan paling sederhana

     bagi seorang petani adalah terpenuhinya kebutuhan pangan yang cukup,

     perlindungan terhadap pengaruh iklim, dimilikinya beberapa sarana kenikmatan

    dan terjalinnya hubungan yang baik dengan lingkungannya.

  • 8/17/2019 Dimensi_Kepentingan_Dalam_Pengembangan_K.pdf

    37/151

      25

    Oleh karena itu menurut Vink, terdapat beberapa keterikatan dalam

    melakukan usahatani. Masing-masing adalah keterikatan dengan masyarakat,

    keadaan alam, hubungan kerja, permodalan dan kondisi lahan pertanian. Dengan

    kata lain menurut Vink, usahatani khususnya di Indonesia lebih merupakan

     perusahaan kolektif daripada perusahaan perseorangan. Kesimpulan sedemikian

    ini ditarik oleh Vnk dari hasil penelitiannya di beberapa pedesaan di Indonesia

     pada tahun 1940-an dan tampaknya saat ini masih relevan dengan keadaan petani

    di pedesaan Indonesia.

    Kesimpulan Vink, senada dengan temuan Clifford Geertz (1983) di daerah

     pedesaan Jawa. Melalui pendekatan ekologi budayanya Julian Steward, Geertz

    melihat bahwa sawah bagi masyarakat pedesaan Jawa sangat erat sangkut pautnya

    dengan cara organisasi kerja, bentuk struktur desa, dan proses pelapisanmasyarakat. Inti budaya Jawa lah yang meliputi pola-pola social, politik dan

    agama yang secara empiris mempengaruhi penyelenggaraan kehidupan dan

    kegiatan perekonomian masyarakat.

    Dalam usaha tani sawah misalnya, tidak hanya merupakan kegiatan yang

    akan menghasilkan keluaran ekonomik saja, akan tetapi akan berkaitan juga

    dengan kemampuan menyerap atau mempekerjakan tenaga kerja manusia.

    Sehingga menurut Geertz, meskipun sebenarnya sebidang usahatani sawah telah

    cukup dikerjakan olej sekelompok tenaga kerja, akan tetapi terpaksa menerima

    tambahan tenaga kerja. Akibatnya memang dapat meningkatkan hasil produksi

    secara keseluruhan per unit usahatani sawah, akan tetapi perolehan per tenaga

    kerja justru menurun. Fenomena demikian inilah yang diformulasikan oleh

    Geertz sebagai “Involusi Pertanian”. Konsepsi Involusi kemudian diperluas oleh

    Geertz, tidak hanya diberlakukan di sector pertanian sawah saja, akan tetapi juga

    dalam sector-sektor lainnya. Seperti misalnya, sector perdagangan atau industri

    rumah tangga.

    Dengan membandingkan antara usaha tani sawah di pedesaan Jawa dan

    usahatani ladang di luar Jawa, Geertz memandang variabel kepadatan

     penduduklah yang menjadi determinannya. Kepadatan penduduk yang kontras

    antara Jawa dengan luar Jawa akan menyebabkan pula perbedaan dalam pola

    usahataninya.

  • 8/17/2019 Dimensi_Kepentingan_Dalam_Pengembangan_K.pdf

    38/151

      26

    Involusi pertanian menjadi semacam penyakit menular yang

    menghinggapi masyarakat pedesaan di Jawa. Dibawah tekanan penduduk yang

    semakin meningkat di satu sisi, dan keterbatasan sumberdaya lahan disisi yang

    lain, masyarakat pedesaan di Jawa masih tetap mempertahankan homogenitas

    ekonominya, dengan cara membagi rejeki yang ada secara merata. Oleh karena

    rejeki semakin lama semakin menipis, maka pembagian kemiskinanpun tidak

    dapat dielakkan lagi. Proses itulah yang disebut kemiskinan berbagi (shared

     poverty).

    Lepas dari berbagai kritik yang dilontarkan pada hasil temuan Geertz

    kurang lebih 30 tahun (1963-1994) yang lalu, ternyata relevansinya masih cukup

    tinggi dengan fenomena yang berkembang di pedesaan Jawa saat ini. Sepanjang

     perjalanan waktu tersebut, masyarakat di pedesaan jawa juga semakin berubah.Kemiskinan memang masih menjadi penyakit yang belum dapat disembuhkan

    secara tuntas, akan tetapi perubahan orientasi produksinyapun juga terjadi.

    Di satu sisi sekelompok masyarakat masih bertahan dengan orientasi

     produksi secara subsistens dan di sisi yang lain, sekelompok masyarakat terlah

     berorientasi produksi secara komersial.. Adalah James C. Scoot (1976) dan

    Samuel L. Popkin (1979) yang berhasil menjelaskannya melalui penelitiaannya di

     pedesaan Asia Tenggara.

    Keduanya mencoba mengangkat kehidupan petani kecil (peasant), akan

    tetapi dari sudut pandang yang berbeda. Scoot menelusurinya melalui pendekatan

    ekonomi moral (the moral economy)  sedangkan Popkin melalui pendekatan

    ekonomi politik (the political economy).  Menurut scoot, inti dari perilaku

    ekonomi petani kecil adalah mendahulukan agar dapat selamat (safety-first

     principle).  Hal ini dikarenakan kehidupan petani kecil laksana orang yang

     berendam dalam kolam air sampai sebatas lehernya, sehingga ombak kecil apapun

    telah mampu menenggelamkannya.

    Para petani kecil itu pada umumnya akan lebih memilih berproduksi

    secara subsisten daripada berupaya meningkatkan kapasitas hasil produksi

     pertaniannya. Sebagaimana juga dikatakan oleh Chayanov, upaya kerja keras ini

    seringkali melebihi kemampuannya (self-exploitation),  meskipun hasil yang

    diperolehnya hanya secukup hidup saja.

  • 8/17/2019 Dimensi_Kepentingan_Dalam_Pengembangan_K.pdf

    39/151

      27

    Oleh karena itu menurut Scoot, masyarakat petani kecil akan cenderung

    mempertahankan mekanisme-mekanisme social di desanya yang selama ini

    dianggap dapat membantu terpenuhinya ambang batas subsistensinya. Seperti

    misalnya, bentuk-bentuk kelembagaan di pedesaan yang mengatur hubungan

    tolong-menolong, hubungan patron-klien, ataupun bentuk-bentuk “arisan social”

    lainnya. Bagi masyarakat petani kecil, konsepsi keadilan social adalah penjabaran

    dari aturan tolong-menolong tersebut, dan adanya hak untuk melakukan produksi

    secara subsisten (norm of reciprocity and right to subsistence). Desa lah yang

    dipandang sebagai sebuah komunitas yang dapat memberikan kerangka

    kelembagaan tersebut. Scoot melihat bahwa seandainya terjadi pemberontakan di

    kalangan petani, hal ini bukan dikarenakan oleh adanya perebutan kelebihan hasil

     produksi. Akan tetapi lebih merupakan adanya pengrusakan kelembagaan social petani yang dapat menjamin terpenuhinya ambang batas subsistensinya.

    Dinamit sosial yang selama ini telah melekatinya, yaitu kerentanan

    ekologis (ecological vulnerability), kerentanan system harga (price-system

    vulnerability), dan kerentanan monokultur usaha tani (monocrop vulnerability) 

    akan serta merta menjadi pemicu timbulnya pemberontakan petani. Akhirnya

    menurut Scoot, yang harus juga dipahami secara lebih mendalam adalah

     berkembangnya semacam filosophi bahwa : bukan apa yang diambil ? Akan tetapi

    lebih pada berapa banyak yang masih tersisa ?

    Analisis Scoot yang sedemikian itu mendapat kritik tajam dari Popkin.

    Menurut Popkin, tidaklah selalu tepat jika melihat kehidupan masyarakat petani

    kecil di pedesaan melalui gambaran yang romantis (romantic portraits). Dalam

    kenyataannya, kehidupan mereka tidaklah selalu dipandu oleh sifat-sifat

    tradisionalisme. Ada beberapa hal dalam kehidupan petani kecil yang justru

    menunjukkan indikator yang rasional. Dan tentu saja rasionalitas ini haruslah

    dilihat dalam konteks yang khas kehidupan petani kecil di pedesaan. Indicator-

    indikator rasionalitas petani kecil tersebut, tampak pada kemampuan

    intelegensianya untuk mengembangkan cara-cara pemecahan masalah secara

     praktis, terhadap kompleksnya permasalahan alokasi sumberdaya, kewenangan,

    dan penyelesaian perselisihan yang dihadapinya.

  • 8/17/2019 Dimensi_Kepentingan_Dalam_Pengembangan_K.pdf

    40/151

  • 8/17/2019 Dimensi_Kepentingan_Dalam_Pengembangan_K.pdf

    41/151

      29

    Untuk mendefinisikan secara tepat juga mengalami kesulitan. Berkaitan

    dengan itu Lansberger dan Alexandrov (1981), mengatakan bahwa berpanjang-

     panjang dalam hal olah membuat definisi petani, itu sama halnya dengan

    membuka diri untuk dituduh sebagai ilmuwan yang sok ilmiah dan steril.

    Penjelasan tentang konsep petani umumnya masih berbeda.

    Pertama, istilah petani menunjuk kepada penduduk pedesaan secara

    umum, tidak peduli apa pun kerjanya. Kedua, pandangan yang lebih terbatas

    dibanding konsep pertama, seperti dalam tulisan James C. Scott. Menurutnya

    definisi petani tidak mencakup seluruh penduduk pedesaan, tetapi hanya

    menunjuk kepada penduduk pedesaan yang bekerja sebagai petani saja. Artinya

     petani adalah orang yang bercocok tanam (melakukan budidaya) di lahan

     pertanian (Scott, 1976). Ketiga, pandangan yang mengikuti Wolf, menurutnya petani adalah segolongan orang yang memiliki sekaligus menggarap lahan

     pertanian guna menghasilkan produk yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan

    sendiri, bukan dijual (Wolf, 1985).

    Ketiga konsep di atas cenderung menimbulkan pertanyaan. Setidaknya

     jika petani mencakup seluruh penduduk pedesaan. Disadari bahwa belum tentu

    seluruh penduduk pedesaan itu adalah petani. Di antara penduduk pedesaan ada

     pedagang, pegawai, buruh dan sebagainya. Jika mengacu pada konsep petani saja,

    maka perlu diperhatikan petani yang mana, karena belum tentu petani itu pemilik

    sekaligus penggarap. Ada petani yang hanya sebagai pemilik, di pihak lain ada

     petani yang tidak memiliki lahan dan hanya sebagai penggarap.

    Berkaitan dengan hal tersebut Marzali (1999), memberikan konsep petani

    ( peasant ) agar dapat dioperasionalkan sesuai konteks Indonesia. Menurutnya,

     petani ditinjau dari proses perkembangan tingkat sosio-kultural masyarakat

    manusia, maka dapat dibagi dalam tiga ciri-ciri khusus. Pertama, secara umum

     petani berada di antara masyarakat primitif dan kota (moderen). Kedua, petani

    adalah masyarakat yang hidup menetap dalam komunitas pedesaan. Ketiga,

    dipandang dari sudut tipe produksi, termasuk di dalamnya teknologi dan mata

     pencaharian, maka petani berada pada tahap transisi antara petani primitif dan

     petani moderen (farmer).

  • 8/17/2019 Dimensi_Kepentingan_Dalam_Pengembangan_K.pdf

    42/151

      30

    Petani primitif dan petani ( peasant ) perbedaannya pada teknologi yang

    digunakan. Petani primitif menggunakan peralatan sederhana seperti tugal dan

    golok, sedangkan petani ( peasant ) menggunakan cangkul (pacul), garu dan bajak.

    Perbedaan pada tingkat ini belum dipandang sebagai hal penting. Perbedaan

     penting adalah bagaimana hubungan kedua tipe petani itu dengan kota. Seperti

    diungkapkan oleh Redfield (1985), bahwa terbentuknya petani peasant  itu karena

    munculnya kota atau kotalah yang membuat adanya petani  peasant . Tidak ada

     petani peasant  sebelum kota pertama muncul di muka bumi ini.

    Sebaliknya petani primitif adalah petani yang hidup dan hubungannya

    dengan kota relatif terisolasi (terbatas). Pada konteks Indonesia saat ini, kelompok

    masyarakat (komunitas) primitif ini mungkin dikenakan kepada masyarakat

     berburu dan meramu atau dikenal dengan masyarakat terasing. Perbedaan antara petani  peasant   dengan farmer terletak pada sifat usahatani yang dilakukan.

    Peasant  berusahatani dengan bantuan keluarga dan hasilnya juga untuk keluarga.

    Sedangkan petani farmer berusahatani dengan bantuan tenaga buruh tani dan

     bertujuan mencari keuntungan.

    Produksi tidak hanya untuk keluarga, justru sebagian besar dijual ke pasar

    guna mendapatkan keuntungan. Singkatnya, dikatakan oleh Wolf (1985) bahwa,

     petani  peasant   berusahatani keluarga, sedangkan petani farmer berusahatani

    seperti prinsip ekonomi perusahaan (komersil). Kesamaannya adalah sama-sama

    mempunyai hubungan dengan kota secara politis, ekonomis dan kultural.

    Berbagai konsep petani tersebut, mengisyarakatkan bahwa petani tidak lepas dari

    komunitas. Istilah komunitas pun mempunyai makna beragam, setiap segi-segi

     pengertiannya mempunyai arti yang sama penting.

    Redfield dalam Koentjaraningrat (1990) mengatakan bahwa, umumnya

    antropolog memandang komunitas dari sudut pandang ekologis. Dari sudut

     pandang ini komunitas didefinisikan sebagai satuan sosial yang utuh dan terikat

     pada sistem ekologi yang bulat. Keterikatan pada tempat ini kemudian dikenal

    dengan sebutan kesatuan hidup setempat, ya