DimensiEpistemologis-Metodologis endidikan Islam

10
Dimensi Epistemologis-Metodologis Pendidikan Islam Dr.M. Amin Abdullah Dosen Pasca Sarjana dan Fakultas Ushuluddin WN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Epistemologi adalah salah satu cabang pokok bahasan "dalam wilayah filsafat yang memperbincangkan seluk be/uk "pengetahuan". Sepenisudah banyak dikenal bahwa perbincangan epistemalogi tidak dapat meninggalkan persoalan-persoalan yang terkait dengan somber ilmu pengetahuan dan beberapa teon tentang kebenaran. Pertama, 'terkait dengan perbincangan apakah ilmu pengetahuan itu diperoleh lewat akal pikiran semata (Rasionalisme), ataukah lewat pengamatan semata (Em- pirisisme) ataukah juga dimungkinkan lewat cara lain, yakni lewat intuisi (Intui- sionism). Sedang yang kedua, terkait dengan pembahasan apakah "kebenaran" pengetahuan manusia itu dapat digambar- kan p<;)la korespondensi, koherensi ataukah praktis-pragmatis. 1 ) Lantaran langkanya literatur yang @ jurnal filsafat Mei'95 dapat dijadikan pembimbing· kearah per- bincangan epistemologi terhadap kerangka bangunan keilmuan pendidikan Islam, maka agak sulit sebenarnya memulai diskursus ini. Terlebih-Iebih lagi,jik:a yang ·dima.ksudkan dengan istilah keilmuan pendidikan Islam hanyalah terbatas pada sekumpulan "doktrin agama Islam" yang harus ditransmisikan begit. . saja kepada·generasipenerus lewat jalur pendidikan formal atau informal. pengertian ini, maka keilmuan J)el1ldl(J1lK811

Transcript of DimensiEpistemologis-Metodologis endidikan Islam

Page 1: DimensiEpistemologis-Metodologis endidikan Islam

Dimensi Epistemologis-MetodologisPendidikan Islam

• Dr.M. Amin AbdullahDosen Pasca Sarjana dan Fakultas Ushuluddin WN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Epistemologi adalah salah satu cabang pokok bahasan "dalamwilayah filsafat yang memperbincangkan seluk be/uk "pengetahuan".Sepenisudah banyak dikenal bahwa perbincangan epistemalogi tidakdapat meninggalkan persoalan-persoalan yang terkait dengan somberilmu pengetahuan dan beberapa teon tentang kebenaran.

Pertama, 'terkait dengan perbincanganapakah ilmu pengetahuan itu diperolehlewat akal pikiran semata (Rasionalisme),ataukah lewat pengamatan semata (Em­pirisisme) ataukah juga dimungkinkanlewat cara lain, yakni lewat intuisi (Intui­sionism). Sedang yang kedua, terkaitdengan pembahasan apakah "kebenaran"pengetahuan manusia itu dapat digambar­kan den~an p<;)la korespondensi, koherensiataukah praktis-pragmatis.1)

Lantaran langkanya literatur yang

@ jurnal filsafat Mei'95

dapat dijadikan pembimbing· kearah per­bincangan epistemologi terhadap kerangkabangunan keilmuan pendidikan Islam,maka agak sulit sebenarnya memulaidiskursus ini. Terlebih-Iebih lagi,jik:ayang ·dima.ksudkan dengan istilah keilmuanpendidikan Islam hanyalah terbataspada sekumpulan "doktrin agamaIslam" yang harus ditransmisikan begit.

. saja kepada· generasipenerus lewat jalurpendidikan formal atau informal.pengertian ini, maka keilmuan J)el1ldl(J1lK811

Page 2: DimensiEpistemologis-Metodologis endidikan Islam

Islam terkesan lebih banyak memfokuskanpada isi atau muatan materi yang harusditransfer kepada orang lain, dan bukannyapada proses dan metodologi. Bagaimanasesungguhnya pendi~an Islam itu dilak­sanakan dalam situasi jaman yang terusberkembang dan berubah, dan ke­mungkinan perlunya perubahan metodoJogitersebut, jika memang obyek sasaran

pendidikan Islam yang terus berubahtersebut memerlukan demikian.

Untuk menghindari kesalahpahaman,menurut hemat penulis, telaah epistemolo­gi lebih tepat difokuskan pada aspek keduadan bukannya pada aspek pertama. Aspekpertama telah banyak disentuh dalambidang studi Ulumul Qur'an, ulumul

Hadits, Tafsir, Hadits, Fiqih dan begituseterusnya, yang sudah barang tentu,

masing-masing mempunyai problem epis­temologinya send"iri-sendiri.· Dan oleh

karenanya, pendidikan Islam tidak bisatidak harus menggabungkan kedua dimensidiskursus tersebut. Jangan sampai terke­san witayah yang satu lebih mendominasi

yang lain, lebih-lebih jika telaah padamasing-masing wilayah mengacuhkantelaah epistemologis. Bukankah kurikulum,silabi dan metodo.Iogi ilmu pendidikanIslam adalab juga merupakan usaha yang

berkesinambungan dari para ilmuanpendidikan untuk mensistimatisasikanusaha-usaha pendidikan Islam secaralebih sistimatis-metodologis? Jika begitu.adanya, maka rancang bangun keilmuanilmu pendidikan Islam bisa juga dapatditelaah secara epistemologis dari berba­

gai seginya, seperti halnya eabang ilmu­ilmu pengetahuan yang lam.

Tidak hanya pada wilayah pel1didikan

Islam saja yang seringkali sulit ditelaah

@ jurna/li/safat Me;'95

seeara epistemologis. Hampir semuaeabangkeilmuan agama Islam agak sulitditelaahsecara akademik-epistemologis,lantaran keterkaitan ilmu-ilmu tersebutdengan apa yang disebut dengan kitab

suei. Lantaran posisi kitab suei yangbegitu sentral dalam kehidupan manusiaMuslim, maka sampai-sampai persoalanmendasar yang seringk.ali terlupakan

adalah apakah konstruksi ilmu-ilmu Fiqih,konstruksi jlmu-Hmu Kalam dan konstruk­si ilmu-ilmu.

Tafsir dan begitu seterusnya, masihidentik dengan kitab suei itu sendiri atautidak? Pembahasan seperti ini adalahtipikal pembahasan yang. benar-benarmasuk dalam wilayah inti eakupan telaah

epistemologi. Fenomena kejumbuhanantara dua dimensi --yang sebenarnya

dapat dibedakan tetapi tidal dapatdipisahkan-- inilah yang disebut-sebutoleh M. Arkoun dengan istilah "Taqdis al­ajkar al-diniy", sehingga ghairu qalibill Iial-taghyir dan ghairu qabilin Ii al-niqas. 2

)

Orang jadi begitu amat segan untuk

mengkaji dan menelaah uJang bagaima­na sesungguhnya tata kerja dan mekanisme"proses" pelaksanaan pendidikan danpengajaran Islam di lapangan, karena

terhalang oleh sikap mental yang lebihmendahulukan "isi" keyakinan umat Islam

yang tidak bisa diganggu gugat. D~ngan

mempertimbangkan kontek perubahansosia) yang begitucepat, juga lantaranfaktor historis yang melatar belakangisetiap konsepsi ilmu-ilmu keagamaan,termasuk eorak metodologi yang disusun

dan digunakannya, maka dalam wilayahyang kedua, yakni dalam wilayah bagai­mana "proses" pendidikan agama Islam itudilaksanakan dilapangan, perlu lebih

10

Page 3: DimensiEpistemologis-Metodologis endidikan Islam

banyak dilakukan penelitian dan telaahulang. lika tidak, dikhawatirkan justr~

misi utama yang hendak diemban olehpendidikan Islam, yakni.tuk ~transfer

nilai-nilai agama Islam kepada anak: didik:dan masyarakat pada umumnya justrumalah tidak atau kurang mencapai sasa­ran. Disini, barangkali ilmu pendidikanIslam tidak boleh hanya bersikukuh padametodologi ajar-mengajar agama denganpola konvensional-tradisional dan perludicari terobosan-terobosan baru sehinggaisi dan metodologi pendidikan agamaIslam akan terasa aktual-kontekstual danjuga bergerak sesuai dengan gerak peru-bahan dan tuntutan jaman.

Kesulitan koosepsi tentang Pengetahuanpada era abad tengah

Sebelum melanjutkan diskusiepiste­mologis tentang ilmu Pendidikan Islam,penulis merasa perlu mengutip pengama­tan Fazlur Rahman terhadap wilayahepistemologi proses ajar-mengajar (learn­ing) di lingkungan umat Islam era abadtengah dan juga era pra-modem. Hal inipenulis anggap perlu, selain untukmembuka wawasan juga sekaligus untukmemahami kesulitan yang ada sertamembuka keniungkinan merangcang danbereksperimen lebih lanjut bagaimanaprogram dan metodologi pendidikanagama Islam itu perlu dan harus dikem­bangkan lebih lajut dalam era industria­lisasi-globalisasi.

... Kelemahan terpokok yang dirasakanoleh proses ajar-mengajar (learning)dilingkungan masyarakat Muslim abadtengah, juga pada masa pra~modern,

adalah Iconsepsi· meteka tentangpe"geItJ­haa,,- (knowledge). Bertolak belakang

@, juma/ fi/safat -Mei'95

dellgan sikap dim CaTa berpikir keiInuumera modern. yallg memandang pengeta­huan sebagai seslUltu yang ptMla dosamyaharus dicari (searched) dan ditemukanatall di-bangun secora sistimatis (discov­ered) oleh alcalpikiran manlLSia sendiri,dengan mana mengandai1can peran aktifdari akaIpikiran manusia.untllk mempe­roleh ilmu pengetahuan, maka sikapkeilmuan ohad tengah mene1canktm kenya­taan bahwa pengetahuan adalah sesuatuyang -diperoleh - (acquiredllcasb). Sikapdan posisi akal pikiran lebih bersifatPOSitdan reseptifdari pada bersifat Icreatifdanpositif. Dalam dunia MusUm, Iconsepsidan memalitas cara berpildr yang berto­lak belakang ini menjadi lebih akut lagilan/aran adanya benluk ilmu pengeta­huan yang ditransmisilcan begitu saja(transmitted) ataujuga sering disebutpengetahuan -tradisional- yang didasar­lan pada penukilan dan pendengaran(naql dan sam') di satu pihaJc, dan Iconseppengetahuan yang bersifa' -rational- dilain pihak.3)

Kajian epistemologis dalam wilayah .keilmuan apapun --tak terkecuali dalamwilayah keilmuan Tarbiyah-- tidak bisa.menghindarkan diri dati mempersoalkankonstruksi cara berpikir dan mentalitaskeilmuan. Sedang cara°berpikir dan menta­litas keilmuan itu sendiri sangat dipenga­ruhi oleh gerak perubahan jaman yangmelingkarinya serta corak tanfangankehidupan yang dihadapi oleh setiapgenerasi manusia. Sekedar sebagai contoh,tan tangan yang 4ihadapi oleh manusiaberagama 'pada era agraris sangatlabberbeda dari cofak tantangan yang dihada­pi manusia era -industrial. -Conk tantangan

umal beragama di perkotaan berbeda daricorak tantangan di pedesaan._Corak tan­tangan kehidupan beragama lapisan elit

11

Page 4: DimensiEpistemologis-Metodologis endidikan Islam

berbeda dari corak tantangan yang diha­dapi oleb dhu f afa f, corak tantangankehidupan bersama pada wilayahsuperblok dan apartemen mewah lain daricorak tantangan yangdihadapi yang diha­dapi masyarakat dalam perumahan kumubdan begitu seterusnya. Mungkin akanmoocul pertanyaan yang cukup menggoda:daIam gerak dialektis antara cara berpikirdi satu pihak, dan tantangan jaman yangselalu berubah di lain pihak, dimana letakprinsip-prinsip dasar keyakinan beragama?Menurut hemat penulis, prinsip-prinsipdasar dan pokok-pokok ajaran agama,secara ontologis dan axiologis, akan tetapseperti itu adanya, tetapi secara epistemo­Iogis akan bergerak sesuai dengan bentuktantangan yang dihadapi.

Konstruksi epistem0 logis yang ber­gerak inilah yang membutuhkan corakpemikiran dan mentalitas yang kreatif­inovatif-positif --seperti yang' diisyaratkanoleh Rahman-- sehingga secara aktif-

.konstruktif akan selalu berupaya danberusaha membangun kerangka metodolo­gis baru, lantaran tidak puas dengananomali-anomali yang melekat padakerangka metodologis yang selama initelah berjalan secafa konvensional­tradisional. Hal ini di- perlukan dengansendirinya, lantaran tantangan jamanmemaksanya untuk berbuat demikian.Lagi-lagi model metodologi penanamannilai-nilai keagamaan dan ajaran-ajarana.gama pada umumnya sangat lab berbedaantara era.agraris dan industrial, lantarantantangan yang dihadapi oleh kedua eratersebut amat sangatlah berbeda.

Dengan lain ungkapan, bahwa telaahepistemologi selalu bergerak diseputarWitayah metodologi keilmuan, meskipun

€!Jjqrna/ fi/safat Mei'95

dalam prakteknya tidak. bisa meninggalkansarna sekali wilayah ontologis~axiologis.4)

Jadi, diskursus epistemologis yan,8mengandaikan perlunya shifting paradigmdalam metodologi, ,tidak perlu diperten­tangkan dengan witayah realitas ontologis­axiologis dari keyakinan beragama yangdianggap tidak perlu berubah. Lewatpenjabaran ini, barangkali, kita dapatmemahami per- nyataan Fazlur Rahmantentang kenyataan adanya poladan bentukmentalitas keilmuan Muslim era abadtengah yang bersifat pasif-reseptif. Sikapdan mentalitas yang bercorak pasif­reseptif, barangkali, memang masih di­butuhkan, setidaknya, pada sisi realitasontologis dan axiologis dari keyakinanberagama Islam, tetapi ke- nyataan demi­kian tidak seharusnya kemudian diperten­tangkan secara diametrikal dengan sikapmentalitas kreatif-positif yang dituntutkeberadaannya dalam wilayah epistemolo­gis~metodologis.

Tiga tahapan proses pendidikan agama:Kognitif, afektif dan psikomotorikS)

Dengan mempertimbangkan iuraian diatas, terlebih dahulu hendak di telaahdisini, tiga tahapan proses pendidikanagama yang aturannya dimilikidan dialamioleh anak didik bersama-sama dengan gurudan dosen. Pertarna adalab mentransferatau memberikan ilmu agama sebanyak­banyaknya·kepada anak didik. Dalamkegiatan ini, aspek kognisi anak didikmenjadi begitu sangat dominan. Kedua,selain memenuhi harapan pada tahapanpertama, proses internalisasinilai-nilaiagama diharapkan dapat juga terjadidalam tahapan kedua ini. Aspek.afeksidalam pendidikan agama, aturannya terkait

12

Page 5: DimensiEpistemologis-Metodologis endidikan Islam

erat dengan aspek kognisi yang pertamatadi. Sebenamya, dalam bidang pendidikanagama, aspek yang kedua ini perlu lebihdiutamakan dari pad~,yang pertama.Kalaupun sudah diutamakan dan mempero­leh porsi yaog memadai masih ada satutabapan lagi yang hendak dicapai oleh pen­didikan agama Islam, yakni aspek psiko­motorik. Aspek atau tabapan ketiga inilebih menekankan kemampuan anak didikuntuk dapat menumbuhkan motivasi dalamdiri sendiri sehingga dapat menggerakkan,menjalankan dan melitaati nilai-nilai dasaragama yang telah terintemalisasikan dalamdirinya sendiri lewat tahapankedua diatas.

Dari situ tampak bahwa pengetabuanagama yang diperoleh lewat jalur pendi­dikanjauh berbeda darijenis pengetahuanlainnya yang juga diperoleh lewat jalurpendidikan. Pengetahuan agama tidakboleh hanya terhenti dan terbatas padawitayah kognisi, seperti yang lazim terjadipada bidang-bidang studi tertentu. Keber­hasilan pendidikan agama harus tercerminpada tindakan individu dan tindakan sosialyang konkrit dalam kehidupan individu,keluarga dan masyarakat. Terjadinyaproses "transformasi" dalam kehidupanseseorang adalab tujuan utama pendidikanagama. Kemampuan mengendalikan diri,sekedar sebagai salah satu contoh, adalahmerupakan salah satu hasil konkrit yanghendak dicapai oleh pendidikan agama,setelah melalui proses tabapan·kognitif danafektif. Dengan lain ungkapan, pendidikanagama tidak· boleh hanya terkait dan ter­henti pada aspek kognisi (yanghanyabertujuan mengisi otak anak didik denganilmu agama sebanyak-banyaknya), .tetapilebih dari itu, ia sekaligus harus terkait

@ jurnal filsafat Mei'95

dengan nilai-nilai fundamental dalamkehidupan .sehari~hari dan pandanganbidup (weltanschauung) keagamaan yangterkait dengan perilaku dan persoalan­persoalan praktis dalam bidup keseharian.

Sejauh mana kemampuan pengenda­lian diri dapat tertanam dalam jiwa anakdidik: lewat model pendidikan agama yang

.agaknya lebih menitik beratkan aspekkognisi, perlu diteliti lebih lanjut. Dalamera industrialisasi dimana semua kebutuhanfisik-material tersedia di pasaran, danjikaitu semua dipenuhi tanpa pengendalian dirimaka cepat atau lambat hal itu akanmengarah kepada bentuk kehidupan yangdestruktif, tidak hanya kepada dirinyasendiri tetapi juga untuk keluarga danmasyarakat sekitar. Era materialisme,konsumerisme dan hedonisme jauh lebihbanyak terkait dengan nilai-nilai(value),tetapi kurang begitu terkait dengan per­soalan-persoalan akidah-ketuhanan yangbegitu abstrak-transendental ·maupunpersoalan syari' ah atau ibadah sehari-hariyang seringkali terlalu formal. Bukan· ber­arti banya bahwa kedua wilayah terakhirini tidak pen- ting, .tetapi bagaimanacaranya memberikan muatan nilai yanglebih bermalena dalam kehidupan praksissehari-hari adalah merupakan agendaresearch bersama. Banyaknya pengetahuanagama yang diserap oleh anak didik belumtentu dapat menjamin anak didik terhindardari tarikan-tarikan dan godaan-godaanhedonisme, materialisme dan konsumer­isme. Nila.-nilai bam· yang muncul dibawaserta oleh keberhasilan ilmu dan teknologiselama 200 tahoo terakhir, sudah baran,tentu, belum pernah terjadi sel~alllaD.·••• ·.sejarah abad tengah. Dalampemikiran Islam abad tengah, me:m8I.11g·.·· .••.

Page 6: DimensiEpistemologis-Metodologis endidikan Islam

pernah muneul konsepsi tasawuf ataumistisisme namun titik tekan perhatiankeilmuan ini lebih banyak pada kemam­puan mengendalikan diri untuk tujuan­tujuan ittihad, hulul dan wahdat~lwujud,--sehingga kem~li lagi terlalu ttabstraktt-­dan bukan untuk tujuan-tujuan kemanu­siaan yang bersifat etis-prakmatis. Konsep­si mistisisme seperti itu, agaknya, tidakbegitu cocok untuk diterapkan dalam eraketerbukaan informasi seperti saat seka­rang ini. Seorang agamawan yang baikbisa saja mengalami cultural shock dalammenghadapi era globalisasi informasi.Bahkan bisa sangat boleh jadi, dalam eraperubahan tata nilai yang begitu cepatseperti saat sekarang ini, seseorangagamawan yang baik dapat saja terjerumusdalam kehidupan yang ·sangat konsumtif­materialistis dan hedonistis, sehinggaselain akan bisa merusak diri dan keluar­ganya, juga kurang begitu peka lagi terha­dap pender~taan sosial orang lain. Jikademikian yang terjadi, maka pendidikanagama kurang begitu fungsional dalammembentuk perilaku dan kepribadianseseorang yang utuh.

Merancang kembali falsafah pendidikanIslam

Dari uraian sekilas di atas, ada perta­

nyaan men<:Jasar yang perlu dicari rumusandijawabnya; apakah pendidikan Islamhanya bertujuan untuk meraih ilmu penge­tahuan agama yang bersifat kognitif, tetapikurang begitu peduli terhadap wilayahafektif, jangankan sampai memasukiwilayah psikomotorik? Pangamatan sekilas--yang sudah barang tentu masih bersifattentatif dan perlu diteliti lebih Ianjut olehcommunity of researchers di lingkungan

@.jurna/ fi/safat Me;'95

para ahIi pendidikan Islam-- menunjukkabahwa proses pendidikan agama Islam lebbanyak terkonsentrasi pada persoalalpersoalan teoritis keagamaan yang bersifikognitif semata serta amalan-amalaibadah praktis. Pendidikan agama Islarterasa sangat kurang terkait atau kuranlbegitu concern terhadap persoalalbagaimana mengubah pengetahuan agam~

yang bersifat kognitif tersehut menjadittmalena tt dan ttnilai tt yang perIu diintema­Iisasikan dalam diri seseorang lewatberbagai cara media dan forum, untukkemudian "makna" dan ttnilai" yang telahterkunyah dan terhayati tersebut dapatmenjadi sumber motivasi bagi anak didikuDtuk bergerak-berbuat-berj>erilaku secarakonkrit-agamis dalam wilayah kehidupanpraktis sehari-han. .

Isu kenakalan remaja, perkelahianpelajar, tindak kekerasan, ·premanisme,white collar crime (kejahatan kerah putih),konsumsi minuman keras, konsumsi ohat­obatan terlarang, pergaulan muda-mudi,etika berlalulintas, perubahan pola kon­sumsi makanan, kriminalitas yang semakinhari semakin menjadi-jadi dan samakinrumit, dan sebagainya memang bukanlahtanggungjawab para pen-didik agamasecara langsung. Tetapi sejauh manasemua itu juga ada keterkaitannya denganpola metodologi pengajaran agama yangselarna ini berjalan secara konvensional­tradisional, dan belum pemah ada peneli­tian yang cukup representatif dalam wila­yah mi. Mungkin ada anggapan bahwa hal­hal tersebut di atas terlalu jauh untuk dapatdikait-kaitkan dengan persoalan keagamaanIslam "klasik", sehingga tidak perlu puladiperhatikan dalam the body of knowledgeilmu pendidikan Islam ttkontemporer tt .

14

Page 7: DimensiEpistemologis-Metodologis endidikan Islam

PadibaI untuk era kontemporer seperti saatsetarang mi, persoalan-persoalan sepertiitulah yang menjadi sumber insekuritas danillstabilitas pribadi, ..¥Iuarga maupunmasyarakat, sehingga tidak bisa tidak pastiterkait dan mempunyai nilai-nilai spiritualk~agamaan Islam yang sangat prima.Bentuk-bentuk pertanyaan soal ujianagama Islam, baik dalam EBTANASmaupun ujian semesteran adalab merupa­kan contoh konkrit aspek mana dari pen­didikan Islam di tanah air yang mendapatprioritas lebih. luga bentuk-bentuk perta­

nyaan mis keagamaan yang disiarkan olehtelivisi-telivisi swasta ditanah air sangatlahdidominasi oleh dimensi kognitif. Jarangpertanyaan yang diajukan mempunyaibobot muatan "nilai-nilai" dan "makna­malena" spiritual keagamaan Islam, yangbersifat fungsional dalam kehidupan prak­tis sehari-hari.

Dengan target, tujuan dan cara yangditempuh seperti·saat sekarang ini, mung­kin anak· didik akan dapat memperolehnilai rapor yang tinggi disekolahan, tetapiia dan teman-teman kurang merasa terban­tu untuk dapat mengatasi persoalan-persoa­Ian budaya modernitas yang menggoda danmengganggunya dalam kehidupannyasehari-hari.

lika pengamatan ini dikawinkandengan kerangka tinjauan epistemologis,maka pendidikan agama Islam y·ang seka­rang ini berjalan, agalmya, lebih menitikberatkan pada pendekatan naturalistik­positivistik,6) ya jenis pendekatan keilmuanyang lebih menitik beratkan pada aspekkoherensi-kognitif -<dengan indikator, dapatterjawabnya berbagai pertanyaan pengeta­h~ agama yang bahannya sudah disusundan tersistimatisasikan. sebelumnya sede-

@ jurnal filsafat Me;'95

mikian rupa), tanpa begitu banyak: meny­entuh wilayah moralitas-praktis. Atausetingkat lebih tinggi --penulis sendiritidak tahu persis apakah tingkatan inibenar-benar lebih tinggi atau tidak daribentuk pengetahuan yang pertama- yakni,menitik beratkan pada aspek Icoresponden­si-tekstual yang lebih menekankan padakemampuan anak didik untuk menghapal

teks-teks keagamaan yang yang sudahada.?)

Titik tekan hanya terbatas pada ada­tidaknya persesuaian antara praktek-prak:­

tek ibadah mahdlah --yang seringkaliterbatas pada amalan-amalan praktis-­dengan teks-teks kitab suci atau haditsyang sudah ada atau bahkan dengan kitab­kitab Fikih klasik pada mazhab tertentu,namun kurang begitu mencermati apakahapa yang diperoleh anak didik lewat keduacara tersebut di atas dapat bersifatjung­sional-praktis dalam segala aspek kehi­dupan, sehingga benar-benar menjadi wayoflife yang dapat menjadi pembimbing dansumber motivasi yang kuat untuk dapatberbuat dan berperilaku sosial-agamisdalam kehidupan sehari-han atau tidak.

Tanpa mengurangi sedikitpunjeriltpayah para pendidik agama Islam·di seko­lah-sekolah, masjid-masjid, majlis-majlistaklim, rumah-rumah ibadah, dan dirumah-rumah, tetapi metodologi pendi­dikan agama yang tidak kunjung berubahantara era pre (sebelum) dan post (sesu­dah) era modernitas memang sedangdipe·rtanyakan oleh banyak kalangan.Asumsi dasar bahwa problematika, tan­tangan, tema-tema dan isu-isu modernitasmemang amatlah berbeda dari problemati­ka, tantangan, iso-isu dan persoalan yangdihadapi oleh umat Islam pada era pra

15

Page 8: DimensiEpistemologis-Metodologis endidikan Islam

modemitas, agaknya, memang cukup seba­

gai alasan untuk mempertanyakan, menin­jau ulang serta mendiskusikan kembalipersoalan-persoalan yang terkait denganmetodologi pendidi)(fUl Islam. Ungkapan

Rahman bahwa al-Qur'an bukanlah untukTuhan tetapi sepenuhnya untuk manusiamempnnyai reIevansinya disini. 8) Dengan .begi-tu, diskusi-diskusi tentang problemasosial-keagamaan yang dihadapi olehmanusia pada era modernitas sepertikriminalitas, white collar crime, kesen­jangan sosial, penggusuran tanab, keadi-

lan, hak asasi manusia, hak-hak wargane­gara, yang dapat membangkitkanpemikiran kritis perIulah juga disinggungdalam ruang lingkup pendidikan agama

Islam. Pengajaran agama yang bersandarkepada bentuk metodologi yang bersifatstatis-indokrinatif-doktriner, agaknya,tidaklah begitu menarik bagi anak didik

dan sekaligus tidak mengantarkan anakdidik sampai pada tahapan afeksi jangan­

kan sampai pada tahapan psikomotorik.Dalam pola metodologi pendidikan

dan .pengajaran agama yang bersifat"doktriner" dan "indoktrinatif" semata­

mata, besar kemungkinan anak didik sudahme-ngetahui jawabannya lewat berbagai

forum diluar kelas/bangku kuli.ah. Baikdalam forum khutbah Jum'at, pengajian,majlis taklim dan lain sebagainya. likapara guro dan dosen agama mengulanginya

lagi di kelas dan di bangku kuliah,makapelajaran dan kuliab agamaIslam amatlahtidak menarik. Jika telah kehilangan dayatarik, maka kekuatan pendidikan agama

tinggal bertumpu pada fonnalitas kekuatan

undang-uildang pendidikan nasional yangmencantumkan "agama" sebagai matapelajaran .~ajib atau matak~liahdasar

@ jurnal filsafat Mei'95

umum (MKDU) dengan silabi dan kuriku­

lum yang telah tersusun rapi dan SKmengajar ito sendiri.

Agar pendidikan agama tidak kehi­langan daya tarik maka perlu diangkat

topik-topik, isu-isu, tema-tema dan

problema-problema sosial-keagamaan dan

problema-sosial kemasyarakatan yangknnkrit dan relevan sehingga problema­problema tersebut dapat berbicara dengansendirinya, tanpa berpretensi untukmenggurui. Dalam sistem dan cara ini,anak didik dan para mahasiswa merasa di­

wong-ne (dipedulikan dan dihargai eksis­tensinya), dan terasa pula lebih demokra­tis. Dalam pengalaman di lapangan, guru­guru dan dosen -dosen yang bersi fatdemokratis jauh lebih dekat dengan maha­siswa dan anak didikpun merasa ter­bimbing dan memperoleh sesuatu yangberharga dan menyentuh dari guru dan

dosen tersebut.Dalam proses saling tukar menukar

argumen, anak didik sekaligus dibiasakanberpikir dan menginternalisasikan nilai­

nilai dimaksud. Yang jelas para guru dandosen agama tidak perIn menunjukkanotoritas dan keotoriterannya, lantaranmerasa bahwa "agama" sangat dibutuhkan

oleh anak didik dan mahasiswa untukmengisi rapor dan memenuhi SKS yangbersifat pokok, tanpa memikirkan apakahyan"g disampaikan itu relevan dengan

tuntutan dan tantangan jaman atau tidak.

Metodologi lebih penting dan lebihstrategis dari pada materi perkuliahan(aI-Tariqatu ahammu minal madah)

Prinsip-prinsip dasar keberagamaan

Islam yang tercakup dalam Iman-Islam dan

Ihsan, sebenarnya, sedari dahulu dan

16

Page 9: DimensiEpistemologis-Metodologis endidikan Islam

sampai kapanpun jua adalab akan tetapsama seperti itu adanya, sedang kondisi'sosial-kemasya- rakatan perkembanganekonomi, fluktuasi si~i politik, perkem­bangan ilmu dan tekn6f~gi tidak mengenaltitik henti.

Dalam witayah pertama, yakni prin­sip-prinsip dasar keberagamaan Islam,perlu didekati secara doktriner tetapidalam witayah yang kedua perlu didekatisecara scientific. Pendidikan danpengajaran agama yang diberikan secaradoktriner dan cUkup puas untuk terhentisampai·disitu, akan cepat membosankandan tidak menarik bagi anak didik dangenerasi muda pada umumnya yang telahmengenal berbagai cabang keilmuanempiris, baik dalam wilayah naturalsciences maupun wilayab behaviou-ralsciences. Namun pendekatan yang kedua,yang bersifat scientific, mungkin untuk .

sementara waletu cukup menarik bagi 80*didik, tetapi pada klimaksnyajuga tidakdapat membentuk sikap hidup dan pan-'dangan hidup yang jelas. Telaah scientiflk,supaya lebih bermakna dan berbobotharuslah pula dibarengi oleh pendekatandoktriner-religius dengan pengbay~tan

nilai-nilai tasawwuf.

Apakab pendidikan dan pengajaranagama dan ter- lebih-Iebih lagi motodolo­ginya telah teramu sedemikian rupa se­hingga menjadi perpaduan yang harmonisantara doktriner-scientifik, --sebinggaaspek kognitif, afektif, dan psikomotoriktersaji dalam satu kesatuan yang utuh lewatberbagai diskusi yang melibatkan partisip­asi anak didik secara aktif-responsif-­merupakan tugas dan pekerjaan rumahpara a~i pendidikan Islam pada era seka­rang ini. Manusia Muslim pada era seka-

@-jumal fi/safat Mei'95

rang berhak sepenuhnya untuk merekon­struksi pengalamannya sendiri untukmenyusun kembali model metodologipendidikan dan pengajaran agama yangdikehendaki oleh jamanoya. Pengamatansekilas menunjukkan bahwa para ahlipendidikan agama Islam belum begitu siap,karena keterlibatannya dalam rutinitasproses ajar-mengajar setiap hari. Presesajar-mengajar yang temyata terlalu banyaktersita oleh aspek kognitif tersebut di alas.Proses intemalisasi nilai-nilai agama lewatforum diskusi dan tanya jawab didalamkelas/bangku kuliah belum cUkup terper­hatikan oleh buku-buku teks keagamaanIslam. Salah satu indikatornya adalahbelum adanya bahan diskusi dalam setiapakhir topik bahasan buku-buku keislamanyang ada. Kalaupun ada, sifatnya masihsangatterbatas pada aspek kognisi danbukan pada dataran afeksi dan psikomoto­rik. Bukan pula pada proses problemsolving secara demokratis-egaliter.

Dengan memberi bobot muatan so­sial-keagamaan (dimensi bjstoris-empiris­scientific), seorang guru dan dosen agamadiharapkan berperan sebagai orang yangjuga tekun membaca situasi dan perkem-bangan masyarakat dan lingkungan seki­tamya. Bukan sekedar sebagai pembacaatau penyampai teks-teks keagamaan danbukan pula sekedar sebagai trasmiterbahan-bahan keagamaan klasik yangmemang telah berjasa pada jamannya,tetapi belum tentu dapat diterapkan begitusaja adanya pada era sekarang ini. Filsafatpendidikan Isiam masih perlu dicarikanrumusan dan "mqdus operandi"nya yanglebih tepat untuk situasijaman yang penubdengan perubahan tata nilai ini. Denganbegitu pula akan tergambar bahwa

17

Page 10: DimensiEpistemologis-Metodologis endidikan Islam

"metodologi" penyampaian materi pen­

didikan agama Islam jauh lebih pentingdari pada "materi"nya itu sendiri.

. Telaah epistemologis terhadap ran­

cang bangun metodologi pendidikan Islam

selalu diperlukan setiap saat, kalau saja

kita mempunyai asumsi dasar bahwakegiatan pendidikan pada umumnya danpendidikan agama Islam khususnya adalahserupa atau mirip-mirip dengan barangkomoditi yang perlu dipasarkan dengan

cara-cara yang canggih dan simpatik.

Untuk itu kaidah-kaidah "pemasaran"

yang menarik perlu dipelajari. Denganbegitu, diperlukan managemen dan men­

talitas penyelenggaraan pendidikan Islam

yang tidak bersandar pada pola pemikiranyang bersifat pasif-reseptif repeatatif,tetapi diperlukan pola berpikir dan mentali­tas yang kreatif-dinamis-inovatif.

Wallahu a'lamu bi al-sawab.

catatan kaki:

1JHaroid H. Titus dkk., Persoa/an­persos/an Fi/safat, terjemahan Prof. Dr.H.M. Rasjidi, (Jakarta: Bulan Bintang,1984)h. 199-208, 237-44.

2J M• Arkoun, Tarikhiyyatu a/-Fikri a/­Araby a/-Is/amy, terjemahan Hasim Saleh,(Beirut: Markaz al-inma' al-qaumy, 1986), h.

118; juga A/-Islam: al-Akh/aq wa a/-Siya-sah; terjemahan Hasim Saleh (Beirut:MArkaz: al-unma' al qaumy, 1990) h. 172­3. Bandingkan artikel penulis "Studi-StudiIslam Sudut Pandang Filsafat" Islamika, No.6, 1994, h. 67-76.

3'Fazlur Rahman, Islam, (Chicago: TheUniversity of Chicago Press, 1979), h. 191.

4)Bandingkan artikel penulis "AspekEpistemologis Filasafat Islam" dalam IrmaFatimah(Ed.}, Filsafat /slam: Kajian Ont%­gis, Epistemologis, Aksiologis, Historis,Prospektif, (Yogyakarta: lembaga Studi

@ jurna/ fi/safat Mei'95

Filsafat Islam, 1992), h. 28-48.SJLebih lanjut tentang konsep ketiga teori

tersebut dapat ditelaah Ora. I.L. Pasaribudan Drs. B. Simandjuntak, S.H., ProsesBe/ajar Mangajar; (Bandung: Tarsito, 1983),

h. 42-49; Juga Nurhida Amir DAS, "Ana/isTugas dan Jenjang Be/ajar fda/am rangkaPengembangan Sistem /nstruksional)" h. 10-13, dalam bahan penataran-LokakaryaTahap II Proyek Pengembangan PendidikanGuru (P3G), Departemen Pendidikan danKebudayaan Jakarta, 1981.

6Jperbedaan corak pendekatan keilmuan

natu.ra lis t i k -p 0 sit ivis t i k dan hum anist ik ­hermenitik dapat dibaca lebih lanjut dalamGerard Radnitzky, Contemparary school ofMetascience, (Swedia : Berlingska Bok­tryckeriet, 1970), h. xxxv-xl.

7)Fazlur Rahman menggunakan istilah

"memory-work" dan "Ie.arning by rote".Lebih lanjut Loc. Cit.

8)Fazlur Rahman, Tema Pokok-Pokok a/­Qur'an, terjemah Anas Mahyuddin, (Jakarta:Pustaka,1983)

8