Digital_116289 T 24385 Faktor Utama Tinjauan Literatur

28
  4 BAB II KAJIAN PUSTAKA Hal pertama yang dilakukan untuk dapat mencapai tujuan dari penelitian ini adalah melakukan kajian pustaka. Kajian pustaka dilakukan dengan membaca  jurnal, tesis, dan has il penelitian lain yang tela h ada. Bab kajia n pustaka ini a kan menjelaskan tentang pelabuhan, dermaga, kinerja waktu pelaksanaan, dan  produktivitas bagian dari kinerja proyek konstruksi. 2.1 PELABUHAN Yang dimaksud dengan pelabuhan (Asiyanto, 2006) adalah sebagian daerah di air (laut, danau, sungai) yang tertutup ( enclosed ) dan terlindung dari gelombang dan memberikan keamanan dan akomodasi yang nyaman bagi kapal-kapal dalam kegiatannya menurunkan dan memuat cargo/penumpang. Jadi pelabuhan adalah merupakan suatu daerah yang tertutup, dimana di dalamnya dilengkapi dengan bangunan-bangunan yang dapat menunjang tercapainya fungsi-fungsi dari pelabuhan tersebut. Bangunan pelabuhan adalah bangunan-bangunan yang ada di pelabuhan yang memililki fungsi yang mendukung pelayanan tersebut di atas. Bangunan tersebut adalah break water; dermaga (termasuk dolphin); gudang, perkantoran dan fasilitas lain. 2.1.1 Fungsi Pelabuhan Fungsi pelabuhan adalah memberikan pelayanan bagi kapal-kapal dalam kegiatannya menurunkan dan menaikkan muatannya (baik cargo maupun manusia) dan juga memberikan fasilitas lainnya yang diperlukan oleh kapal, misal air tawar, bahan bakar dan lain sebagainya. 2.1.2 Jenis Pelabuhan Sesuai dengan arti pelabuhan yang diuraikan di atas, maka ditinjau dari  proses terjadinya suatu pel abuhan, secara mendasar dapat dibedakan menjadi dua  jenis (Quinn), yaitu: Faktor utama..., James De Roode, FT UI, 2007.

Transcript of Digital_116289 T 24385 Faktor Utama Tinjauan Literatur

BAB II KAJIAN PUSTAKAHal pertama yang dilakukan untuk dapat mencapai tujuan dari penelitian ini adalah melakukan kajian pustaka. Kajian pustaka dilakukan dengan membaca jurnal, tesis, dan hasil penelitian lain yang telah ada. Bab kajian pustaka ini akan menjelaskan tentang pelabuhan, dermaga, kinerja waktu pelaksanaan, dan produktivitas bagian dari kinerja proyek konstruksi. 2.1 PELABUHAN Yang dimaksud dengan pelabuhan (Asiyanto, 2006) adalah sebagian daerah di air (laut, danau, sungai) yang tertutup (enclosed) dan terlindung dari gelombang dan memberikan keamanan dan akomodasi yang nyaman bagi kapal-kapal dalam kegiatannya menurunkan dan memuat cargo/penumpang. Jadi pelabuhan adalah merupakan suatu daerah yang tertutup, dimana di dalamnya dilengkapi dengan bangunan-bangunan yang dapat menunjang tercapainya fungsi-fungsi dari pelabuhan tersebut. Bangunan pelabuhan adalah bangunan-bangunan yang ada di pelabuhan yang memililki fungsi yang mendukung pelayanan tersebut di atas. Bangunan tersebut adalah break water; dermaga (termasuk dolphin); gudang, perkantoran dan fasilitas lain. 2.1.1 Fungsi Pelabuhan Fungsi pelabuhan adalah memberikan pelayanan bagi kapal-kapal dalam kegiatannya menurunkan dan menaikkan muatannya (baik cargo maupun manusia) dan juga memberikan fasilitas lainnya yang diperlukan oleh kapal, misal air tawar, bahan bakar dan lain sebagainya. 2.1.2 Jenis Pelabuhan Sesuai dengan arti pelabuhan yang diuraikan di atas, maka ditinjau dari proses terjadinya suatu pelabuhan, secara mendasar dapat dibedakan menjadi dua jenis (Quinn), yaitu:

4Faktor utama..., James De Roode, FT UI, 2007.

Pelabuhan Alam (Natural Harbor) Pelabuhan jenis ini terbentuk secara alamiah, dimana suatu daerah (tepi pantai) memiliki kondisi yang ideal sebagai pelabuhan, tanpa dilakukan perubahan-perubahan yang berarti. Kondisi alam seperti ini sangat jarang ditemukan. Secara teknis, bila ditemukan kondisi daerah seperti tersebut, maka ideal sekali ditetapkan sebagai lokasi pelabuhan, tetapi secara ekonomis, masih perlu dipikirkan lebih lanjut, apakah fasilitas yang harus dibangun untuk melengkapi pelabuhan alam tersebut seperti jalan, air, listrik dan lain-lain, masih visible, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Disamping itu, apakah kegiatan bongkar dan muat serta kegiatan menurunkan dan menaikkan penumpang, cukup memadai atau tidak. Visible secara ekonomis disini adalah berkaitan antara benefit dan cost. Dalam hal ini dapat dikatakan visible secara ekonomis apabila benefit lebih besar daripada cost. Biasanya pelabuhan alam (yang terjadi oleh proses alam) dapat diandalkan secara teknis, karena hal tersebut adalah merupakan keseimbangan alam, sehingga kemungkinannya kecil untuk menurunkan kualitas fungsinya dalam kurun waktu yang lama, kecuali bila keseimbangan yang ada diganggu oleh tindakan manusia. Dengan demikian, perencanaan bangunan pelabuhan diperlukan sekali percobaan laboratorium dengan skala yang besar, agar dapat mendekati kenyataan. Dengan melakukan percobaan laboratorium dengan skala besar tersebut, dapat diupayakan untuk menghindari dampak-dampak yang negatif. Karena perubahan-perubahan atas lingkungan sekitar bangunan dapat dideteksi. Kondisi alam yang terbentuk secara alamiah dan menguntungkan untuk dimanfaatkan sebagai pelabuhan, adalah sebagai berikut: Kedalaman air yang cukup, sehingga dapat melayani kapal yang merapat, tanpa diperlukan pekerjaan pengerukan dasar pelabuhan. Tidak terjadi pengendapan, sehingga umur pelayanannya dapat berlangsung lebih lama.

5Faktor utama..., James De Roode, FT UI, 2007.

-

Gelombang airnya tenang, sehingga tidak diperlukan bangunan break water. Daerahnya cukup luas, sehingga dapat melayani sejumlah kapal atau memberikan kelonggaran yang cukup untuk manuver kapal. Oleh karena itu, bila ada ditemukan kondisi yang ideal untuk pelabuhan

alam, hendaknya dimanfaatkan semaksimal mungkin. Pelabuhan Buatan (Artificial Harbor) Pelabuhan buatan adalah daerah tepi laut yang dipilih dan dibangun sebagai pelabuhan atas pertimbangan teknis dan ekonomis. Artinya, secara teknis pelabuhan tersebut dapat berfungsi secara baik dalam melayani kapal-kapal yang merapat untuk menaikkan dan menurunkan penumpang maupun barang. Sedang yang dimaksud ekonomis adalah investasi yang dikeluarkan untuk membangun pelabuhan tersebut akan memberikan manfaat ekonomi yang lebih besar. Pemilihan lokasi pelabuhan yang tidak tepat, akan menyebabkan suatu kerugian yang besar, sebaliknya pemilihan lokasi yang tepat, akan merangsang pertumbuhan kegiatan ekonomi daerah tersebut dan bahkan dapat memberi manfaat terhadap pertumbuhan ekonomi secara nasional. 2.1.3 Kondisi Pelabuhan Di Indonesia Berdasarkan data yang diperoleh dari Departemen Perhubungan, pengelolaan pelabuhan di Indonesia adalah sebagai berikut: a. Pelabuhan umum Pelabuhan umum adalah pelabuhan yang digunakan untuk kepentingan publik. Di Indonesia, pelabuhan umum berjumlah 977 buah. Pengelolaan pelabuhan umum dibagi dua, yaitu: Pemerintah, jumlah pelabuhan yang dikelola Pemerintah berjumlah 523 buah. PT. Pelabuhan Indonesia (Pelindo), jumlah pelabuhan yang dikelola oleh Pelindo berjumlah 111 buah.

6Faktor utama..., James De Roode, FT UI, 2007.

Pelabuhan umum berdasarkan jenisnya dibagi menjadi (Dep. Hub, 2006):Pengelola Pemerintah 170 123 321 Pelindo 2 18 75 16 -

Jenis Pelabuhan Pelabuhan Laut Internasional Hub Internasional Nasional Regional Lokal Pelabuhan Penyeberangan Pelabuhan Sungai & Danau Pelabuhan Daratan TOTAL

Jumlah

2 18 245 139 321 106 143 3 977

Pada jenis pelabuhan laut, ada jenis pelabuhan laut Internasional Hub dan ada jenis pelabuhan laut Internasional. Yang membedakan kedua jenis pelabuhan ini adalah fasilitas yang dimiliki oleh pelabuhan tersebut. Sebagai salah satu contoh adalah pelabuhan Internasional Hub dapat melayani kapal yang lebih besar dibandingkan dengan pelabuhan Internasional. b. Pelabuhan khusus Pelabuhan khusus adalah pelabuhan yang dikelola oleh sebuah perusahaan untuk kepentingan khusus. Contohnya adalah pelabuhan yang dikelola oleh Pertamina, Krakatau Steel, dan beberapa perusahaan pertambangan batubara dan kayu di Kalimantan. Di Indonesia, pelabuhan khusus berjumlah 1156 buah. Maka total keseluruhan pelabuhan di Indonesia adalah 2133 buah. Jumlah tersebut termasuk 591 buah pelabuhan perikanan yang dikelola oleh Dinas Perikanan Pemda. Pelabuhan-pelabuhan yang dikelola oleh negara, dibagi menjadi empat wilayah, yaitu:

7Faktor utama..., James De Roode, FT UI, 2007.

Wilayah I Wilayah ini meliputi wilayah Aceh, Sumatera Utara dan Riau, dengan pelabuhan besarnya yaitu Belawan. Wilayah II Wilayah ini meliputi wilayah Sumatera bagian Selatan, Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, Jawa Barat, dan Kalimantan Barat, dengan pelabuhan besarnya yaitu Palembang, Panjang, Banten dan Tanjung Priok. Wilayah III Wilayah ini meliputi wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Bali, dan Nusa Tenggara, dengan pelabuhan besarnya yaitu Tanjung Emas dan Tanjung Perak. Wilayah IV Wilayah ini meliputi wilayah Kalimantan Timur, Sulawesi, Maluku dan Irian Jaya, dengan pelabuhan besarnya yaitu Makasar. 2.2 DERMAGA SEBAGAI BAGIAN DARI PELABUHAN Dermaga adalah (Asiyanto, 2006) bangunan di tepi laut (sungai, danau) yang berfungi untuk melayani kapal, dalam kegiatan bongkar/muat barang dan atau menaikkan/menurunkan penumpang. Berikut akan dijelaskan struktur yang terdapat pada suatu dermaga agar dermaga tersebut dapat menjalankan fungsinya, yaitu: Pondasi sebagai struktur penahan dermaga. Akses jalan dari dan ke kapal, biasanya berbentuk perkerasan. Fender untuk menjaga/melindungi kapal dan dermaga terhadap kerusakan pada saat terjadi benturan sewaktu kapal merapat ke dermaga, serta untuk menyerap energi benturan dari kapal dan meneruskan sebagian energi benturan ke dermaga. Dolphin untuk dipergunakan sebagai tambatan kapal, bila bollard (corner mooring) yang ada di dermaga tidak mencukupi (kurang jauh). Untuk menghubungkan antara dolphin dengan dermaga

8Faktor utama..., James De Roode, FT UI, 2007.

2.2.1

Tipe Dermaga Dari bentuk bangunannya, dermaga dibagi menjadi dua, yaitu:

Wharf atau Quay Wharf atau Quay (Asiyanto, 2006) adalah bangunan dermaga yang menempel jadi satu dengan pantai dan umumnya menjadi satu dengan daratan, tanpa dihubungkan dengan suatu bangunan (jembatan). Jenis wharf ini biasanya dipilih bila dasar pantai agak curam atau kedalaman air yang dalam, tidak terlalu jauh dari garis pantai. Ada beberapa tipe wharf, tergantung dari kondisi lapangannya, termasuk kedalaman air yang diperlukan, diantaranya: Wharf tipe steel sheet pile cells Wharf tipe sheet pile wall dengan angker Wharf tipe caisson Pier atau Jetty Pier atau Jetty adalah bangunan dermaga yang menjorok ke tengah laut (sungai, danau) untuk mencapai kedalaman yang diperlukan, dan dihubungkan bangunan jembatan ke darat pantai ( disebut Approach Trestle). Pier atau Jetty dibangun dengan cara memancang tiang sebagai struktur pondasi yang menyangga bangunan Pier atau Trestle di atasnya. Tiang pancang dapat menggunakan Steel Pile atau Concrete Pile. Cara ini dipilih bila kedalaman air yang dikehendaki berada jauh dari garis pantai. Bentuk dari Pier dapat bermacam-macam sesuai kebutuhannya atau disesuaikan dengan faktor lingkungannya. Yang paling banyak adalah berbentuk huruf T (lihat gambar 2.1) dan berbentuk huruf L (lihat gambar 2.2).

Gambar 2.1. Pier bentuk T.

9Faktor utama..., James De Roode, FT UI, 2007.

Gambar 2.2. Pier bentuk L. 2.2.2 Metode Konstruksi Dermaga Tipe Pier Menurut Asiyanto (2006), peranan yang sangat penting dari pelaksanaan bangunan pier adalah pekerjaan tiang pancang. Baik tiang pancang dari baja maupun tiang pancang dari beton bertulang. 1. Pekerjaan Persiapan. Sebelum pekerjaan dimulai, harus dibuat perencanaan site plan yang meliputi: Letak pembuatan/fabrikasi dan penumpukkan tiang pancang. Letak penumpukkan material (pasir, besi, batu, dan lain-lain). Letak casting plant untuk beton pre cast (bila menggunakan beton pre cast). Letak titik-titik pengukuran untuk memberi pedoman posisi tiang pancang.

2. Pembuatan/Fabrikasi Tiang Pancang. Tiang Pancang Beton (Lihat Gambar 2.3) Untuk memudahkan transportasi ke laut, tiang pancang dicor sejajar dengan pantai. Atau bila tiang pancang dibuat ditempat lain, maka penempatannya juga dibuat sejajar dengan pantai.

Gambar 2.3. Letak Tiang Pancang.

10Faktor utama..., James De Roode, FT UI, 2007.

-

Formwork tiang pancang disiapkan berjejer rapat, dengan sistem pengecoran berselang satu. Lihat gambar 2.4.

Gambar 2.4. Tahap Pengecoran Tiang. Pengangkatan tiang pancang beton, harus dipertimbangkan titik angkatnya terhadap momen yang terjadi. Lihat gambar 2.5.

Gambar 2.5. Titik Angkat. Untuk tiang yang berbentuk segi empat, sebaiknya pada sudutnya dibuat bevel (ditumpulkan). Lihat gambar 2.6.

Gambar 2.6. Bevel Pada Tiang.

11Faktor utama..., James De Roode, FT UI, 2007.

-

Untuk keperluan pengukuran kalendering selama proses pemancangan, setiap tiang diberi strip dengan jarak 10 cm untuk beberapa meter yang diperkirakan tidak masuk dalam air sebelum dipancang. Tanda ini harus dapat dengan mudah diamati. Lihat gambar 2.7.

Gambar 2.7. Kalendering. Tiang Pancang Baja Arus kegiatan pengadaan tiang yang siap dipancang (sudah disambung, disand blast dan dicat), diatur mulai dari stok pipa baja, penyambungan pipa, sand blasting, pengecatan dan terakhir penampungan tiang yang siap dipancang. Lihat gambar 2.8.

Gambar 2.8. Proses Penyiapan Tiang Pancang. Anjang-anjang tempat penyambungan pipa (fabrikasi), kereta rel dan tempat pengecatan, harus sama tinggi untuk memudahkan pemindahan pipa. Sedang tingginya, ditetapkan yang cukup sesuai untuk kegiatan pengelasan, sand blast dan pengecatan. Lihat gambar 2.9.

12Faktor utama..., James De Roode, FT UI, 2007.

Gambar 2.9. Anjang Pipa. Bila panjang tiang pancang bervariasi, maka tiang yang akan dipancang lebih dahulu, harus diselesaikan lebih awal. 3. Pedoman Pemancangan Untuk memberikan pedoman selama proses pemancangan, ditetapkan titik-titik pengukuran di darat (titik A, B, C) yang cukup aman (tidak berubah karena terkena gangguan). Titik-titik tersebut harus selalu di cek setiap kali akan dipakai. Lihat gambar 2.10.

Gambar 2.10. Titik-Titik Pengukuran. Untuk menetapkan posisi tiang no.1, dipandu dari theodolite di titik A diarahkan ke titik B diputar ke kiri sebesar 90, dan dari theodolite di titik B diarahkan ke titik A dan diputar ke kanan sebesar .

13Faktor utama..., James De Roode, FT UI, 2007.

4. Pemancangan Awal Biasanya pemancangan awal, yaitu tiang-tiang yang dekat darat (pantai), sangat dipengaruhi oleh pasang surut, karena floating pile driver yang digunakan tidak dapat mendekat daratan. Oleh karena itu, pemancangan awal diupayakan sebagai berikut: o Dipancang pada saat pasang besar, sehingga kapal pancang (floating pile driver) dapat merapat ke daratan dan dapat memancang tiang yang lokasi paling dekat dengan daratan. o Bila harus dipancang pada saat musim surut, dapat ditempuh dua cara yaitu: Dipancang dengan alat pancang darat (dengan perancah atau tanpa perancah). Daerah tiang pancang di dekat daratan, digali saluran selebar dan sedalam yang diperlukan oleh kapal pancang. 5. Urutan Pemancangan Untuk menghindari kesulitan pemancangan suatu tiang yang terganggu oleh tiang yang telah dipancang lebih dulu, maka urutan pemancangan harus direncanakan lebih dahulu dan memberi nomor urutan pada setiap tiang sebelum pemancangan dimulai. Pemancangan harus sesuai dengan urutan yang telah ditetapkan dengan sistem coba-coba. Biasanya percobaan dilakukan dengan stimulasi dengan menggunakan gambar denah posisi tiang pancang dan potongan karton yang mewakili kapal pancang dengan skala yang sama. Potongan karton tersebut dicoba-coba sehingga dapat dipastikan proses pemancangan tidak akan terganggu oleh tiang yang telah dipancang sebelumnya. 6. Beton Precast Selama proses pemancangan, beton precast slab dapat dimulai dibuat (diproduksi), sehingga pada pemasangan beton precast, umur beton telah mencukupi. Penggunaan beton precast ini, akan menghemat banyak waktu dan

14Faktor utama..., James De Roode, FT UI, 2007.

biaya. Beton precast yang direncanakan, sebaiknya sesuai dengan kemampuan angkat dari alat yang akan digunakan (alat yang tersedia). Kombinasi beton precast dan beton cast in place dapat dipertimbangkan sebagai berikut: Balok cast in place dan slab di precast. Balok poer di cast in place dan balok dan slab masing-masing di precast. 7. Penahan Form Work Penahan form work untuk beton yang dicor ditempat (cast in place), menggunakan balok-balok kayu yang diletakkan pada klem baja yang dipasang pada tiang beton, sesuai dengan elevasi yang direncanakan. Untuk menambah kekuatan/kestabilan, balok-balok tersebut di press ke tiang beton dengan baut. Lihat gambar 2.11.

Gambar 2.11. Potongan Memanjang Trestle. Untuk meyakinkan kekuatan klem baja, struktur penahan form work tersebut dapat dilakukan loading test. Lihat gambar 2.12.

15Faktor utama..., James De Roode, FT UI, 2007.

Gambar 2.12. Struktur Penahan Form Work. 8. Pembongkaran Kepala Tiang Untuk menjamin hubungan tiang dengan balok, maka kepala tiang beton dibongkar dan besi tulang yang ada dibiarkan sebagai starter bar (stek). Lihat gambar 2.13.

Gambar 2.13. Pemotongan Kepala Tiang.

16Faktor utama..., James De Roode, FT UI, 2007.

9. Pengecoran Beton, Cast In Place Beton balok yang dicor ditempat, dilakukan dengan dua tahap, yaitu: Tahap I : Bagian beton yang tidak berhubungan dengan pre cast slab. Tahap II : Bagian beton yang berhubungan dengan pre cast slab (setelah beton precast terpasang). Lihat gambar 2.14.

Gambar 2.14. Beton Cast In Place. 10. Embeded Part Dan Sparing Sebelum pengecoran beton dimulai, embeded part (seperti baut, pipa, angker dan lain-lain) dan sparing, perlu diteliti apakah sudah dipasang pada posisinya yang benar dan sesuai jumlah kebutuhan. Selama proses pengecoran, embeded parts dan sparing perlu dijaga agar tidak berubah dari posisinya. Instalasi untuk air, listrik, minyak, yang tertanam di dalam beton, juga harus direncanakan sebaik-baiknya. 11. Pembongkaran Form Work (Lihat Gambar 2.15) Pembongkaran form work, dilakukan sebelum precast slab dipasang (pekerja berdiri di atas penahan form work). Pembongkaran penahan form work, dilakukan dari bawah dermaga, dengan menggunakan ponton kecil untuk tempat berdiri pekerja yang membongkar.

17Faktor utama..., James De Roode, FT UI, 2007.

Gambar 2.15. Pembongkaran Form Work 2.2.3 Dolphins Dolphin secara mendasar didisain untuk menahan gaya horisontal yang timbul dari impact dan atau gaya angin dan arus air dari kapal ketika sedang merapat di dermaga dan selama kapal ditambat. Fungsi dolphin adalah sebagai kelengkapan dari bangunan dermaga untuk dipergunakan sebagai tambatan kapal, bila bollard (corner mooring) yang ada di dermaga tidak mencukupi (kurang jauh). Dolphin biasanya difungsikan untuk kapal-kapal yang ukurannya relatif lebih panjang dibanding dengan panjang dermaga. Hubungan antara dolphin dengan dermaga biasanya menggunakan jembatan orang, yang disebut dengan cat walk, dengan menggunakan struktur rangka baja untuk dapat menjangkau bentang yang cukup panjang antara dolphin dengan ujung dermaga. Lihat gambar 2.16.

Gambar 2.16. Cat Walk.

18Faktor utama..., James De Roode, FT UI, 2007.

Gambar 2.17. Dermaga Dengan Dolphin. Ada dua macam dolphin, yaitu: tipe fleksibel dan tipe rigid. Dolphin tipe fleksibel, secara umum digunakan untuk menambatkan kapal-kapal kecil yang berbobot tidak lebih dari 5000 DWT (Dead Weight Tonnage). Dolphin tipe fleksibel ini menyerap energi yang datang melalui defleksi, oleh karena itu harus sesuai dengan kondisi tanah. Bila kondisi tanah sangat lunak, maka dolphin tipe ini tidak dapat bertahan pada posisi orisinilnya dalam menjalankan fungsinya. Untuk kapal cargo yang besar dan kapal tanker (9000 sampai 17000 DWT), dolphin menggunakan tipe rigid. Tipe rigid ini strukturnya berbentuk platform (kayu atau beton) yang disangga oleh beberapa tiang yang dilengkapi dengan batter pile (tiang miring). Untuk kondisi dasar tanah yang lunak, dolphin tipe rigid dapat didesain dengan steel sheet pile cells, yang diisi dengan material granular. Beberapa gambar yang menunjukkan tipe rigid dapat dilihat pada gambar 2.18 dan 2.19.

Gambar 2.18. Rigid Dolphin Dengan Tiang Dan Rangka Kayu

19Faktor utama..., James De Roode, FT UI, 2007.

Gambar 2.19. Rigid Dolphin Dengan Cellular Sheet Pile. 2.2.4 Ikatan Kapal Ketika kapal merapat ke dermaga untuk melayani turun/naik penumpang maupun cargo, maka dilakukan ikatan-ikatan antar kapal dan dermaga, agar kedudukan kapal tetap. Untuk kapal-kapal besar akan diikatkan ke dermaga dengan enam ikatan seperti terlihat pada gambar 2.20.

Gambar 2.20. Ikatan Kapal Ke Dermaga. Tempat ikatan kapal disebut Bollard, sedang bollard ukuran besar disebut Corner Mooring Post yang kadang-kadang terletak di luar dermaga (di dolphin) atau di ujung dermaga. Tiap bollard biasanya didisain untuk gaya tarik sebesar 35 ton dan corner mooring post untuk gaya tarik sebesar 50 sampai 100 ton. Pemasangan angker embeded part atau bollard dan mooring perlu diperhatikan sejak rencana pengecoran girder dan slab dermaga.

20Faktor utama..., James De Roode, FT UI, 2007.

2.3

KINERJA WAKTU PELAKSANAAN KONSTRUKSI Menurut Halphin, seorang manajer proyek mengontrol berbagai macam

kegiatan pada lokasi proyek, salah satu aspek penting yang diawasi adalah kinerja waktu. Kinerja waktu adalah proses dari memperbandingkan kerja di lapangan (actual work) dengan jadwal yang direncanakan (Clough). 2.3.1 Definisi Waktu Pelaksanaan Konstruksi Waktu pelaksanaan konstruksi (construction duration) dapat didefinisikan sebagai sesuatu/kombinasi dari hal berikut: 1. Waktu pelaksanaan proyek timbul dari jalur kritis (critical path) di mana jangka waktu untuk setiap aktivitas atau pekerjaan di dalam urutan kerja tidak bisa dikurangi (Barrie dan Paulson, 1992). 2. Jangka waktu (duration) berarti waktu yang diperlukan untuk melengkapi atau menyudahi suatu aktivitas atau tugas yang telah ditetapkan. Dan, waktu pelaksanaan proyek (construction duration) adalah waktu yang ditentukan oleh pemilik (owner) untuk memakai, menggunakan, atau menyewakan bangunan proyek tersebut (Callahan et al, 1992). 3. Waktu pelaksanaan proyek adalah suatu jangka waktu sebagai hasil suatu pengujian satu atau lebih metoda menyelesaikan pekerjaan atas dasar biaya minimum, hal tersebut pada umunya diperkirakan (pertama-tama/sebelumnya) untuk kondisi normal (Pilcher, 1992). 4. Waktu pelaksanaan proyek mengacu pada waktu yang telah ditentukan untuk melaksanakan dan melengkapi/menyudahi setiap aktivitas pekerjaan yang menggunakan semua sumber daya dan informasi proyek di dalam suatu estimasi atau perkiraan biaya (Kwaku, 1994). 5. Waktu konstruksi dapat digambarkan sebagai periode yang berlalu dari pembukaan lokasi bekerja kepada waktu penyelesaian bangunan kepada klien itu. Hal tersebut pada umumnya ditetapkan sebelum pembukaan konstruksi (Nkado, 1995).

21Faktor utama..., James De Roode, FT UI, 2007.

Waktu pelaksanaan konstruksi (construction duration) juga dapat didefinisikan sebagai batasan waktu yang diberi oleh pemilik untuk kontraktor untuk melengkapi, menyudahi proyek di bawah lingkungan kerja normal, praktek konstruksi normal, dan berdasar pada biaya-biaya yang minimum. Dimulai ketika kontraktor menerima instruksi untuk memulai kegiatan dan berakhir ketika pekerjaan konstruksi di lokasi sudah selesai. Termasuk juga keterlambatan (delays) yang disebabkan oleh keadaan yang tidak diantisipasi, seperti: perubahan pekerjaan, kerja tambahan, persediaan material, lokasi, cuaca, dan lingkungan kerja di lokasi. 2.3.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Waktu Pelaksanaan Konstruksi Berikut adalah beberapa faktor yang mempengaruhi waktu pelaksanaan proyek konstruksi dan estimasinya: 1. Ukuran proyek (size of project) Ukuran proyek dapat dilihat secara fungsional atau secara luas area, yaitu dalam satuan ft, atau m. Semakin besar ukuran bangunan, semakin kompleks konstruksinya, dan memerlukan jangka waktu penyelesaian yang lebih panjang (Sadashiv, 1979; Ireland, 1985; Ashworth, 1988; Pilcher, 1992; Nkado, 1992). 2. Fungsi (function) Fungsi bangunan memerlukan sistem rekayasa teknik, contohnya sistem perpipaan (plumbing), pemadam api, dan sistem penerangan (Asworth, 1998; Pilcher, 1992). Ini adalah suatu segi penting di dalam perancangan konstruksi (Asworth, 1988). Fungsi dari suatu bangunan menyiratkan target bisnis yang ingin dicapai dan fasilitas yang dimiliki bangunan tersebut dan hal ini dapat diperlakukan sebagai variabel kualitatif, contohnya: kantor, ritel, dan bangunan lain (Nkado, 1992). 3. Kompleksitas (complexity) Kompleksitas menggambarkan kerumitan pekerjaan (Pilcher, 1992). Kompleksitas bangunan berdampak pada format konstruksi, yaitu: frame bangunan, pondasi, dan sistem (Ireland, 1985; Asworth, 1988). Kompleksitas

22Faktor utama..., James De Roode, FT UI, 2007.

dapat terlihat pada peralatan konstruksi, urutan dan metode (Sadashiv, 1979; Callahan, et al. 1992; Chan dan Kumaraswamy, 1995). 4. Kualitas (quality) Kualitas dapat diklasifikasikan oleh variabel atau atribut, yaitu penampilan, kekuatan, stabilitas, penggunaan material, hasil akhir. Tampilan bangunan adalah salah satu aspek penilaian kualitas (Asworth, 1988). 5. Lokasi (location) Lokasi bangunan mempunyai efek penting pada waktu pelaksanaan proyek (Chan dan Kumaraswamy, 1995). Hal itu mencerminkan keterbatasan yang ada dan ketersediaan jasa dan sumber daya (Burgess dan White, 1979). Itu berdampak pada ketersediaan sumber daya, seperti material, dan peralatan (Sadashiv, 1979). Sebagai konsekuensi, hal itu juga mempengaruhi penggunaan dari peralatan utama (Sadashiv, 1979), dan produktivitas di lokasi (Callahan et al, 1992). Ada faktor lain yang juga mempengaruhi waktu pelaksanaan proyek konstruksi, yaitu sebagai berikut: a. Perencanaan konstruksi (Sadashiv, 1979; Ireland, 1985). b. Design-construction interface coordination (Ireland, 1985). c. Perselisihan unit waktu (Ireland, 1985). d. Variasi dan/atau jenis kontrak mengacu pada alokasi risiko, metoda pembayaran dan struktur manajemen (Burges dan White, 1979; Ireland, 1985; Chan dan Kumaraswamy, 1995). Sebagai pembanding, Walker (1994) menyimpulkan bahwa faktor kedekatan dengan klien lebih berdampak penting mempengaruhi kecepatan konstruksi/waktu pelaksanaan proyek, dibanding jenis kontrak. e. Callahan et al (1992) menunjukkan kualitas pengawas (supervisor), pemberian pelatihan dan motivasi kepada buruh, dapat juga menjadi faktor yang berpengaruh. f. Al Tabtabai (1997) mengembangkan model untuk para ahli, pertimbangan-pertimbangan di dalam memperkirakan durasi konstruksi. Faktor-faktor tersebut adalah manajemen; situasi arus kas; ketersediaan

23Faktor utama..., James De Roode, FT UI, 2007.

peralatan dan material; produktivitas buruh; pengaruh lingkungan dan cuaca; pekerjaan ulang, kerja tambahan, dan kesulitan pekerjaan; persentase pekerjaan yang telah selesai; dan tren di dalam jadwal. 2.3.3 Pengukuran Kinerja Waktu Pelaksanaan Konstruksi Tahapan pengukuran kinerja waktu pelaksanaan konstruksi adalah sebagai berikut:

Perencanaan

Pelaksanaan

Kinerja Waktu

Gambar 2.21. Tahapan Pengukuran Kinerja Waktu

WBS

Quantity

Produktivitas (Alat, Orang)

Durasi =

quantity produktivitas

Waktu Rencana

PERENCANAAN Waktu Aktual Metode Konstruksi & Pengendalian Mulai Pekerjaan Pengadaan Sumber Daya

PELAKSANAAN

KinerjaWaktu =

Wakturencana Waktuaktual

Gambar 2.22. Bagan Pengukuran Kinerja Waktu. Berdasarkan earned value method, pengukuran kinerja waktu pelaksanaan proyek konstruksi dilakukan dengan 2 cara, yaitu (Waryanto, 2006): 1. Penyimpangan jadwal (schedule variance), dan 2. Indeks kinerja jadwal (schedule performance indeks).

24Faktor utama..., James De Roode, FT UI, 2007.

Adapun tahapan yang dilakukan untuk mendapatkan nilai schedule

variance maupun schedule performance indeks tersebut adalah sebagai berikut(Waryanto, 2006):

-

Budgeted Cost of Work Schedule (BCWS), adalah rencana pembiayaanpekerjaan atau paket pekerjaan yang telah dijadwalkan untuk dilaksanakan dalam suatu periode pelaksanaan proyek.

-

Budgeted Cost of Work Performed (BCWP), adalah penyelesaian pekerjaanatau paket pekerjaan yang dihitung menurut standar volume dan standar harga satuan.

-

Penyimpangan jadwal (schedule variance) dihitung berdasarkan selisih antara BCWP dikurangi BCWS. Penyimpangan terhadap jadwal = =BCWP BCWS Penyimpangan terhadap jadwal BCWP BCWS Keterangan: o Penyimpangan jadwal negatif (-), artinya pelaksanaan lebih lambat dari jadwal (Behind schedule). o Penyimpangan jadwal nol (0), artinya pelaksanaan sesuai dengan jadwal (On schedule). o Penyimpangan jadwal positif (+), artinya pelaksanaan lebih cepat dari jadwal (A head schedule).

-

Indeks kinerja jadwal (Schedule Performance Indeks) dihitung berdasarkan perbandingan BCWP dan BCWS.

SPI

=

BCWP BCWS

Keterangan: o Indeks < 1, menunjukkan hal yang kurang memuaskan. o Indeks = 1, diambil sebagai patokan. o Indeks > 1, menunjukkan kinerja yang baik.

25Faktor utama..., James De Roode, FT UI, 2007.

2.3.4

Penurunan Kinerja Waktu Pelaksanaan Konstruksi Waktu penyelesaian pelaksanaan proyek konstruksi adalah merupakan

pertimbangan yang penting bagi pemilik proyek dan bagi pelaksanaan konstruksi/kontraktor (A. Bubshait dan Cuninghan, 1998). Sehingga dalam setiap perjanjian kerja antara kontraktor dan pemilik proyek, waktu penyelesaian konstruksi menjadi salah satu bahasan utama. Kontraktor diwajibkan dalam perjanjian kerja tersebut untuk menyelesaikan pelaksanaan konstruksi sesuai dengan waktu penyelesaian yang ditentukan beserta denda/sangsi keterlambatannya. Dalam pelaksanaan konstruksi, beberapa hal yang tidak diharapkan dan tidak diantisipasi dapat terjadi dan mempengaruhi waktu penyelesaian yang dibutuhkan/ditetapkan, dan jika kontraktor gagal menyelesaikan sesuai dengan waktu yang ditentukan dalam perjanjian kerja, maka keterlambatan dipastikan terjadi dalam proyek tersebut (Jing Sheng Shi et al., 2001). Suatu proyek terdiri dari kumpulan beberapa kegiatan pekerjaan yang saling berketerkaitan dan berketergantungan satu sama lainnya. Keterlambatan penyelesaian suatu kegiatan pekerjaan dapat terjadi oleh terlambat mulainya kegiatan tersebut atau durasi kegiatan yang melebihi rencana. Keterlambatan suatu kegiatan akan dapat menjadikan suatu keterlambatan kegiatan berikutnya, dan seterusnya, sehingga menjadi keterlambatan penyelesaian pelaksanaan konstruksi secara keseluruhan proyek. Menurut gambar berikut: Jing Sheng Shi et al. (2001), terjadinya suatu proses keterlambatan pelaksanaan proyek konstruksi dapat dijelaskan seperti dilihat pada

26Faktor utama..., James De Roode, FT UI, 2007.

Delayed design information

Delayed deliveries

Unavailable resources

Project is not delayed

Delayed start Delayed completion of preceding activities

Succeding activities are not delayed

An activitys completion is delayed

Succeding activities are delayed

Adverse weather conditions

Extended activity duration

Project is delayed

Management decisions

Changed site conditions

Changes in scope of work

Insufficient resources

Gambar 2. 23. Proses Terjadinya Keterlambatan Pelaksanaan Proyek Konstruksi. Terjadinya suatu keterlambatan pelaksanaan proyek konstruksi dapat disebabkan oleh kontraktor atau faktor-faktor lainnya yang mempengaruhi pelaksanaan konstruksi proyek. Keterlambatan juga dapat disebabkan oleh pihak pemilik proyek, perencana, kondisi alam, dan organisasi/pihak-pihak lainnya yang terlibat dalam proses pelaksanaan konstruksi (Callahan et al., 1992). Didasarkan pada tanggung jawab, maka keterlambatan dapat diklasifikasikan menjadi Excusable Delay, Nonexcusable Delay, Concurrent

Delay, sebagaimana terlihat pada gambar 2.24. (Popescu dan Charoenga, 1995).

DELAY

Excusable

Nonexcusable

Concurrent

Compensatory

Noncompensatory

Gambar 2. 24. Klasifikasi Keterlambatan (Delay).

27Faktor utama..., James De Roode, FT UI, 2007.

Pengertian dari masing-masing kategori keterlambatan adalah sebagai berikut:

Excusable Delay Excusable Delay adalah suatu keterlambatan yang bukan merupakantanggung jawab kontraktor dan dibedakan lagi menjadi dua tipe yaitu:

Compensatory Delay, yaitu diakibatkan oleh pihak owner atau pihakperencana dan keterlambatan ini memberikan hak kepada kontraktor untuk mendapatkan kompensasi tambahan biaya dan waktu atas keterlambatan tersebut. Faktor-faktor penyebab keterlambatan ini adalah sebagai berikut: o Penyebab dari pihak pemilik proyek Gagal menyediakan lahan. Keterlambatan memberikan Surat Perintah Kerja. Penyediaan dana yang tidak mencukupi. Kegagalan dalam menyediakan perlengkapan atau komponen material. Menghambat pekerjaan. Rencana dan spesifikasi yang tidak sempurna. Tidak dapat menyediakan gambar sesuai dengan jadwal. Keterlambatan dalam proses persetujuan gambar. Keterlambatan dalam Changes Order. Instruksi penghentian pekerjaan. o Penyebab dari pihak perencana

Non Compensatory Delay, yaitu keterlambatan yang tidak disebabkan olehpihak manapun yang terlibat, dan pihak kontraktor dapat mendapatkan hak untuk tambahan waktu dengan tanpa adanya biaya tambahan. Penyebab keterlambatan ini seperti Acts of God, kerusuhan, cuaca buruk dan pemogokan.

28Faktor utama..., James De Roode, FT UI, 2007.

Nonexcusable Delay Nonexcusable delay adalah keterlambatan yang tidak dapat ditoleransi dantidak dapat penggantian biaya atau perpanjangan waktu karena penyebabnya sepenuhnya merupakan kesalahan dan tanggung jawab kontraktor. Faktor-faktor yang menyebabkan keterlambatan ini antara lain adalah sebagai berikut: Lambatnya pengiriman material. Lambatnya mobilisasi. Kondisi akses jalan menuju lokasi proyek yang tidak memadai. Keahlian tenaga kerja yang tidak sesuai. Jumlah tenaga kerja yang tidak mencukupi. Pemogokan tenaga kerja yang disebabkan oleh perlakuan yang tidak adil. Gagal dalam mengkoordinasi para sub kontraktor. Tidak lengkapnya identifikasi pekerjaan. Rencana urutan kerja yang tidak tersusun dengan baik. Penentuan durasi waktu kerja yang tidak seksama. Terjadinya kecelakaan kerja.

Concurrent Delay Concurrent delay merupakan keterlambatan yang disebabkan olehfaktor-faktor dari nonexcusable delays dan dari faktor-faktor excusable delays yang terjadi secara bersamaan. Jika hal ini terjadi maka harus dilakukan pengkajian lebih dalam oleh pihak-pihak yang terlibat dalam proyek untuk melihat apa dan siapa yang menjadi penyebab keterlambatan sehingga dapat ditentukan tindakan penyelesaiannya. 2.3.5 Penyebab Penurunan Kinerja Waktu Pelaksanaan Konstruksi Menurut Oberlander (2000), secara umum dapat diklasifikasikan hal-hal yang menyebabkan kinerja waktu tidak sesuai dengan perencanaan yaitu sebagai berikut: Faktor Internal, antara lain: Kesalahan estimasi Masalah teknis Kesalahan desain

29Faktor utama..., James De Roode, FT UI, 2007.

-

Data tes yang bermasalah Masalah peralatan dan perlengkapan Masalah manajerial Perubahan permintaan Tingkat keahlian setiap personel Ketersediaan bahan baku Struktur organisasi

Faktor Eksternal, antara lain: Kondisi ekonomi/inflasi Keterlambatan pengiriman material Keterlambatan pengiriman peralatan dan perlengkapan Rendahnya tingkat produksi Pengaruh subkontraktor dan keterlambatannya Kecelakaan selama pelaksanaan proyek Kondisi alam (cuaca, banjir, angin, dan lain-lain). Menurut Jing Sheng Shi et al. (2001), salah satu faktor keterlambatan ditinjau dari akibat perpanjangan durasi kegiatan adalah keputusan manajemen. Keputusan manajemen yang dapat menyebabkan keterlambatan antara lain (Shen et al., 2001): Perubahan organisasi di antara rekan kerja.

Feasebility study yang tidak layak.Penganggaran belanja dan perencanaan yang tidak patut. Pemilihan lokasi proyek yang tidak tepat. Pemilihan tipe proyek yang tidak tepat. Pemilihan rekan kerja yang tidak mencukupi. Struktur organisasi proyek yang tidak mencukupi. Peningkatan overhead manajemen proyek. Hubungan yang buruk dengan rekan kerja. Masalah yang berhubungan dengan perbedaan kebudayaan. Keterlambatan proyek.

30Faktor utama..., James De Roode, FT UI, 2007.

Sedangkan menurut Elinwa dan Joshua (2001), penyebab keterlambatan ditinjau dari segi teknis pelaksanaan antara lain: 2.4 Kecelakaan di proyek. Perubahan disain. Kegagalan peralatan. Kesalahan gambar disain. Bahaya lingkungan. Fasilitas transportasi yang buruk. Peningkatan overhead di proyek. Perselisihan industri. Rendahnya kredibilitas perusahaan lokal. Kekurangan material. Kekurangan fasilitas. Kekurangan tenaga ahli. Kekurangan suplai air, gas, dan listrik. Rendahnya kredibilitas sub kontraktor. Ketidaktahuan terhadap kondisi fisik lahan. Gangguan cuaca. Force Majeure. Buruknya kualitas pengadaan. Kondisi tanah asli. PRODUKTIVITAS KONSTRUKSI Dalam suatu proyek konstruksi banyak hal di luar perencanaan yang dapat terjadi akibat dari sifat kegiatan konstruksi itu sendiri. Hal ini dapat disebabkan karena faktor internal dan eksternal. Dari faktor eksternal berkaitan misalnya dengan kondisi moneter, cuaca, dan faktor internal berkaitan misalnya dengan rendahnya produktivitas peralatan atau juga rendahnya produktivitas dari tenaga terampil ataupun tenaga ahlinya itu sendiri. Hal ini dapat memberikan pengaruh pada pelaksanaan konstruksi. Waktu penyelesaian pekerjaan yang terlambat akan berpengaruh terhadap jadwal yang telah direncanakan. BAGIAN DARI KINERJA PROYEK

31Faktor utama..., James De Roode, FT UI, 2007.