Digital Forensik Sebagai Alat Bukti Tindak Pidana

download Digital Forensik Sebagai Alat Bukti Tindak Pidana

of 19

description

PDF

Transcript of Digital Forensik Sebagai Alat Bukti Tindak Pidana

  • DIGITAL FORENSIK SEBAGAI ALAT BUKTI TINDAK PIDANA 1

    DIGITAL FORENSIK SEBAGAI ALAT BUKTI TINDAK PIDANA

    INDAH TRI PURWANTI

    e-mail : [email protected]

    Abstrak

    Komputer forensik yang juga dikenal dengan nama digital forensik, merupakan salah satu

    cabang ilmu forensik yang berkaitan dengan bukti legal yang ditemui pada komputer dan media

    penyimpanan digital. Atau dapat diartikan bahwa digital forensik adalah penggunaan teknik

    analisis dan investigasi untuk mengidentifikasi, mengumpulkan, memeriksa dan menyimpan

    bukti/informasi yang secara magnetis tersimpan/disandikan pada komputer atau media

    penyimpanan digital sebagai alat bukti dalam mengungkap kasus kejahatan yang dapat

    dipertanggungjawabkan secara hukum.

    Berlakunya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

    Elektronik ( UU ITE), terciptalah suatu bidang kajian baru dalam hukum menyangkut dunia

    maya (law in cyberspace). Kehadiran bidang baru ini membawa dampak perubahan bagi

    hukum di dalam hal kriminalisasi perbuatan-perbuatan yang ada di dunia siber. Maka di

    dalam hukum pidana di Indonesia, kedudukan alat bukti (informasi) elektronik sah sesuai

    dengan UU ITE.

    Jika dahulu, perbuatan-perbuatan merugikan di dunia siber sulit untuk dibuktikan,

    maka dengan keberadaan UU ITE ini dapat terbantu. Oleh karena dunia siber ada dimensi

    yang berbeda dengan dunia nyata maka pengaturan hukum dalam dunia siber tentu berbeda

    pula.

    Kata Kunci : Digital Forensik, Informasi Elektronik dan Kejahatan Siber.

    I. PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang

    Kemajuan teknologi dan industri yang merupakan hasil dari budaya manusia disamping

    membawa dampak positif, dalam arti dapat didayagunakan untuk kepentingan umat manusia juga

    membawa dampak negatif terhadap perkembangan dan peradaban manusia itu sendiri. Dampak

    negatif yang dimaksud adalah berkaitan dengan dunia kejahatan. J.E. Saheteapy menyatakan

    dalam tulisannya, bahwa kejahatan erat kaitannya dengan perkembangan masyarakat. Semakin

    maju kehidupan masyarakat, maka kejahatan juga ikut semakin maju. Kejahatan juga menjadi

    sebagian dari hasil budaya itu sendiri. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi tingkat budaya dan

  • DIGITAL FORENSIK SEBAGAI ALAT BUKTI TINDAK PIDANA 2

    semakin modern suatu bangsa, maka semakin modern pula kejahatan itu dalam bentuk, sifat dan

    cara pelaksanaannya.1

    Perubahan bentuk masyarakat menjadi suatu masyarakat informasi memicu perkembangan

    teknologi informasi yang menciptakan perangkat teknologi yang kian canggih dan informasi

    yang berkualitas. Kita telah berada dalam teknologi elektronik yang berbasiskan lingkungan

    digital, contohnya komputer pribadi, mesin fax, penggunaan kartu kredit, dan hal-hal lainnya.

    Secara garis besar, kejahatan yang berkaitan dengan teknologi informasi dapat dibagi menjadi dua

    bagian besar. Pertama, kejahatan yang bertujuan merusak atau menyerang sistem atau jaringan

    komputer. Dan kedua, kejahatan yang menggunakan komputer atau internet sebagai alat bantu

    dalam melancarkan kejahatan. Dalam catatan beberapa literatur dan situs-situs yang

    mengetengahkan cybercrime, terdapat berpuluh jenis kejahatan yang berkaitan dengan dunia

    cyber. Yang masuk dalam kategori kejahatan umum yang difasilitasi teknologi informasi antara

    lain penipuan kartu kredit, penipuan bursa efek, penipuan perbankan, pornografi anak,

    perdagangan narkoba, serta terorisme.

    Berdasarkan fungsi sistem komputer sebagai penyedia informasi, ancaman terhadap sistem

    komputer dikategorikan menjadi empat yaitu:

    a. Interruption, merupakan suatu ancaman terhadap avaibility, informasi atau data dalam

    komputer dirusak, dihapus, sehingga jika dibutuhkan sudah tidak ada lagi.

    b. Interception, merupakan ancaman terhadap kerahasiaan (secrecy), informasi yang ada didalam

    sistem disadap oleh orang yang tidak berhak.

    c. Modification, merupakan ancaman terhadap integritas. Orang yang tidak berhak berhasil

    menyadap lalu lintas informasi yang sedang dikirim lalu mengubahnya sesuai keinginannya.

    d. Fabrication, merupakan ancaman ancaman terhadap integritas. Orang yang tidak berhak

    berhasil meniru atau memalsukan suatu informasi sehingga orang yang menerima informasi

    menyangka informasi tersebut berasal dari orang yang dikehendaki oleh si penerima informasi

    tersebut.2

    1 Wahid, A. & Labib, M. 2005. Kejahatan Mayantara (Cyber Crime). Bandung: PT. Refika Aditama. (Hal 21)

    2 Simarmata, J. 2006. Pengamanan Sistem Komputer. Yogyakarta: Andi Offset.( hal 30-31)

  • DIGITAL FORENSIK SEBAGAI ALAT BUKTI TINDAK PIDANA 3

    Dengan meningkatnya kejahatan berbasis teknologi dalam berbagai modus sebagaimana

    disebutkan diatas, maka diperlukan suatu mekanisme ilmiah untuk menganalisa dan menelusuri

    bukti-bukti digital yang ada baik yang disimpan maupun yang ditransmisikan melalui komputer

    atau perangkat digital lainnya. Sesuai dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11

    Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik bahwa informasi elektronik dan/atau

    dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah (Undang-

    undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

    Bab III Informasi Dokumen dan Tanda Tangan Elektronik pasal 5 ayat 1), maka peran digital

    forensik sebagai metode pembuktian suatu kasus kejahatan secara digital menjadi sangat penting.

    Sebagaimana tertuang dalam Penjelasan atas Undangundang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun

    2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik: pembuktian merupakan faktor yang

    sangat penting, mengingat informasi elektronik bukan saja belum terakomodasi dalam sistem

    hukum acara Indonesia secara komprehensif, melainkan juga ternyata sangat rentan untuk

    diubah, disadap, dipalsukan, dan dikirim ke berbagai penjuru dunia dalam waktu hitungan detik.

    Dengan demikian, dampak yang diakibatkannya pun bisa demikian kompleks dan rumit.

    Berbagai kasus yang mencuat akhir-akhir ini sangat bergantung penelusurannya kepada

    bukti-bukti digital yang ada. Maka mulailah kita melihat bukti-bukti digital ini diungkap di

    persidangan dan bahkan diekspose oleh berbagai media dalam pemberitaan mulai dari foto digital,

    rekaman pembicaraan, rekaman video, sms, email, dan lain sebagainya seperti pada kasus

    pembobolan ATM, kasus Bank Century, kasus Artalyta Suryani, kasus pembunuhan Nasruddin

    Zulkarnain yang melibatkan mantan ketua KPK, kasus Prita Mulyasari, kasus video mesra yang

    melibatkan artis papan atas, dan yang paling menghebohkan adalah kasus mafia pajak Gayus

    Tambunan.

    Internet membuat kejahatan yang semula bersifat konvensional seperti pengancaman,

    pencurian dan penipuan kini dapat dilakukan dengan menggunakan media komputer secara online

    dengan risiko tertangkap yang sangat kecil oleh individu maupun kelompok dengan akibat

    kerugian yang lebih besar baik untuk masyarakat maupun negara disamping menimbulkan

    kejahatan-kejahatan baru yang sering disebut dengan istilah kejahatan mayantara.3 Maka dari itu

    digital forensik sangat diperlukan dalam pembuktian tindak kejahatan yang terjadi di dunia maya.

    3 Nawawi Arief, Barda. 2006. Tindak Pidana Mayantara, Perkembangan Kajian Cybercrime di Indonesia, Jakarta:

    RajaGrafindo Persada.

  • DIGITAL FORENSIK SEBAGAI ALAT BUKTI TINDAK PIDANA 4

    B. Rumusan Masalah

    Adapun rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:

    1. Bagaimanakah pengertian dan karakteristik digital forensik?

    2. Bagaimanakah tinjauan hukum mengenai digital forensik?

    II. PEMBAHASAN

    1. Digital Forensik

    Terdapat beberapa definisi yang bisa dijadikan acuan tentang apa sebenarnya Digital Forensik.

    Menurut Marcella4, digital forensik adalah aktivitas yang berhubungan dengan pemeliharaan,

    identifikasi, pengambilan/penyaringan, dan dokumentasi bukti digital dalam kejahatan computer.

    Istilah ini relatif baru dalam bidang computer dan teknologi, tapi telah muncul diluar term

    teknologi (berhubungan dengan investigasi bukti-bukti intelijen dalam penegakan hukum dan

    militer) sejak pertengahan tahun 1980-an.

    Sedangkan menurut Budhisantoso5, digital forensik adalah kombinasi disiplin ilmu hukum dan

    pengetahuan komputer dalam mengumpulkan dan menganalisa data dari sistem komputer,

    jaringan, komunikasi nirkabel, dan perangkat penyimpanan sehingga dapat dibawa sebagai

    barang bukti di dalam penegakan hukum.

    Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa digital forensik adalah penggunaan teknik

    analisis dan investigasi untuk mengidentifikasi, mengumpulkan, memeriksa dan menyimpan

    bukti/informasi yang secara magnetis tersimpan/disandikan pada komputer atau media

    penyimpanan digital sebagai alat bukti dalam mengungkap kasus kejahatan yang dapat

    dipertanggungjawabkan secara hukum. Karena luasnya lingkup yang menjadi objek penelitian

    dan pembahasan digital forensik maka ilmu digital forensik dibagi kedalam beberapa bagian yaitu:

    firewall forensics, network forensics, database forensics, dan mobile device forensics.

    Komponen pada digital forensik pada umumnya hampir sama dengan bidang yang lain.

    Komponen ini mencakup manusia (people), perangkat/peralatan (equipment) dan aturan (protocol)

    4 Marcella, A. J. & Greenfiled, R. S. 2002. Cyber Forensics a field manual for collecting, examining, and preserving

    evidence of computer crimes, Florida: CRC Press LLC.

    5 Budhisantoso, Nugroho, Personal Site, (http:// www.forensik-komputer.info)

  • DIGITAL FORENSIK SEBAGAI ALAT BUKTI TINDAK PIDANA 5

    yang dirangkai, dikelola dan diberdayakan sedemikian rupa dalam upaya mencapai tujuan akhir

    dengan segala kelayakan dan kualitas sebagaimana bisa dilihat pada gambar berikut:

    Gambar 1. Komponen Digital Forensik

    Manusia yang diperlukan dalam komputer forensik merupakan pelaku yang tentunya

    mempunyai kualifikasi tertentu untuk mencapai kualitas yang diinginkan. Belajar forensik tidak

    sama dengan menjadi ahli dalam bidang forensik. Dibutuhkan lebih dari sekedar pengetahuan

    umum tentang komputer, tetapi juga pengalaman disamping berbagai pelatihan pada materi-materi

    digital forensik yang telah ditempuh dan dibuktikan dengan sertifikat-sertifikat pendukung.

    Ada tiga kelompok sebagai pelaku digital forensik:

    1. Collection Specialist, yang bertugas mengumpulkan barang bukti berupa digital evidence.

    2. Examiner, tingkatan ini hanya memiliki kemampuan sebagai penguji terhadap media dan

    mengekstrak data.

    3. Investigator, tingkatan ini sudah masuk kedalam tingkatan ahli atau sebagai penyidik.

    Menurut Budhisantoso6, secara garis besar perangkat untuk kepentingan digital forensik

    dapat dibedakan kepada dua kategori yaitu hardware dan software. Ada banyak jenis perangkat

    hardware yang digunakan pada implementasi digital forensic dengan fungsi dan kemampuan yang

    beragam. Mulai dari yang sederhana dengan komponen single-purpose seperti write blocker

    (fungsinya hampir sama dengan writeprotect pada disket, pada optical media dan hardisk fungsi

    seperti ini tidak ada) yang memastikan bahwa data tidak akan berubah manakala diakses, sampai

    6 Budhisantoso, Nugroho, Personal Site, (http:// www.forensik-komputer.info).

    Aturan

    Perangkat

    Manusia

  • DIGITAL FORENSIK SEBAGAI ALAT BUKTI TINDAK PIDANA 6

    pada system komputer lengkap dengan kemampuan server seperti F.R.E.D (Forensic Recovery of

    Evidence Device). Sedangkan perangkat software dikelompokkan kedalam dua kelompok yaitu

    aplikasi berbasis command line dan aplikasi berbasis GUI (Graphical User Interface). Aturan

    merupakan komponen yang paling penting dalam pemodelan digital forensik, didalamnya

    mencakup prosedur dalam mendapatkan, menggali, menganalisa barang bukti dan akhirnya

    bagaimana menyajikan hasil penyelidikan dalam laporan.

    Ada berbagai tahapan pada proses implementasi digital forensik. Namun menurut Kemmish7

    secara garis besar dapat diklasifikasikan kepada empat tahapan, yaitu:

    1. Identifikasi bukti digital

    2. Penyimpanan bukti digital

    3. Analisa bukti digital

    4. Presentasi

    1. Identifikasi Bukti Digital

    Pada tahap ini segala bukti-bukti yang mendukung penyelidikan dikumpulkan.

    Penyelidikan dimulai dari identifikasi dimana bukti itu berada, dimana disimpan, dan bagaimana

    penyimpanannya untuk mempermudah penyelidikan. Media digital yang bisa dijadikan sebagai

    barang bukti mencakup sebuah sistem komputer, media penyimpanan (seperti flash disk, pen drive,

    hard disk, atau CD-ROM), PDA, handphone, smart card, sms, e-mail, cookies, source code,

    windows registry, web browser bookmark, chat log, dokumen, log file, atau bahkan sederetan

    paket yang berpindah dalam jaringan komputer. Tahapan ini merupakan tahapan yang sangat

    menentukan karena bukti-bukti yang didapatkan akan sangat mendukung penyelidikan untuk

    mengajukan seseorang ke pengadilan dan diproses sesuai hukum hingga akhirnya dijebloskan ke

    tahanan. Penelusuran bisa dilakukan untuk sekedar mencari "ada informasi apa disini?" sampai

    serinci pada "apa urutan peristiwa yang menyebabkan terjadinya situasi terkini?".

    Berdasarkan klasifikasinya file yang menjadi objek penelusuran terbagi kepada tiga

    kategori, yaitu: file arsip (archieved files), file aktif (active files) dan file sisa (residual data). File

    Arsip adalah file yang tergolong arsip karena kebutuhan file tersebut dalam fungsi pengarsipan.

    Mencakup penanganan dokumen untuk disimpan dalam format yang ditentukan, proses

    7 Kemmish, R. M. What is forensic computer. Australian institute of Criminology, Canberra.

  • DIGITAL FORENSIK SEBAGAI ALAT BUKTI TINDAK PIDANA 7

    mendapatkannya kembali dan pendistribusian untuk kebutuhan yang lainnya, misalnya beberapa

    dokumen yang didigitalisasi untuk disimpan dalam format TIFF untuk menjaga kualitas dokumen.

    File aktif adalah file yang memang digunakan untuk berbagai kepentingan yang berkaitan

    erat dengan kegiatan yang sedang dilakukan, misalnya file-file gambar, dokumen teks, dan lain-

    lain. Sedangkan file yang tergolong residual mencakup filefile yang diproduksi seiring proses

    komputer dan aktivitas pengguna, misalkan catatan penggunan dalam menggunakan internet,

    database log, berbagai temporary file, dan lain sebagainya.

    Forensik pada dasarnya adalah pekerjaan identifikasi sampai dengan muncul hipotesa yang

    teratur menurut urutan waktu. Sangat tidak mungkin forensik dimulai dengan munculnya hipotesa

    tanpa ada penelitian yang mendalam berdasarkan bukti-bukti yang ada. Dalam kaitan ini pada

    digital forensik dikenal istilah chain of custody dan rules of evidence. Chain of custody artinya

    pemeliharaan dengan meminimalisir kerusakan yang diakibatkan karena investigasi. Tujuan dari

    chain of custody adalah:

    Menjamin bahwa bukti itu benar-benar masih asli (authentic).

    Pada saat persidangan, bukti masih bisa dikatan seperti pada saat ditemukan karena biasanya

    jarak antara penyidikan dan persidangan relatif lama.

    Beberapa hal yang menjadi pertimbangan sesuai dengan aturan chain of custody ini adalah:

    Siapa yang mengumpulkan bukti?

    Bagaimana dan dimana?

    Siapa yang memiliki bukti tersebut?

    Bagaimana penyimpanan dan pemeliharaan bukti itu?

    Lalu sebagai alternatif penyelesaian ada beberapa cara yang bisa dilakukan, yaitu:

    1. Gunakan catatan yang lengkap mengenai keluar-masuk bukti dari penyimpanan.

    2. Simpan di tempat yang dianggap aman.

    3. Akses yang terbatas dalam tempat penyimpanan.

    4. Catat siapa saja yang dapat mengakses bukti tersebut.

    Sedangkan rules of evidence artinya pengaturan barang bukti dimana barang bukti harus

    memiliki keterkaitan dengan kasus yang diinvestigasi dan memiliki kriteria sebagai berikut:

    1. Layak dan dapat diterima (Admissible).

    Artinya barang bukti yang diajukan harus dapat diterima dan digunakan demi hukum, mulai

    dari kepentingan penyidikan sampai ke pengadilan.

  • DIGITAL FORENSIK SEBAGAI ALAT BUKTI TINDAK PIDANA 8

    2. Asli (Authentic).

    Barang bukti harus mempunyai hubungan keterkaitan yang jelas secara hukum dengan kasus

    yang diselidiki dan bukan rekayasa.

    3. Akurat (Accurate).

    Barang bukti harus akurat dan dapat dipercaya.

    4. Lengkap (Complete).

    Bukti dapat dikatakan lengkap jika didalamnya terdapat petunjuk-petunjuk yang lengkap dan

    terperinci dalam membantu proses investigasi.

    2. Penyimpanan Bukti Digital

    Tahapan ini mencakup penyimpanan dan penyiapan bukti-bukti yang ada, termasuk melindungi

    bukti-bukti dari kerusakan, perubahan dan penghilangan oleh pihak-pihak tertentu. Bukti harus

    benar-benar steril artinya belum mengalami proses apapun ketika diserahkan kepada ahli digital

    forensik untuk diteliti. Karena bukti digital bersifat sementara (volatile), mudah rusak, berubah

    dan hilang, maka pengetahuan yang mendalam dari seorang ahli digital forensik mutlak

    diperlukan. Kesalahan kecil pada penanganan bukti digital dapat membuat barang bukti digital

    tidak diakui di pengadilan. Bahkan menghidupkan dan mematikan komputer dengan tidak hati-

    hati bisa saja merusak/merubah barang bukti tersebut. Sebagaimana diungkapkan Peter Plummer

    When you boot up a computer, several hundred files get changed, the data of access, and so on.

    Can you say that computer is still exactly as it was when the bad guy had it last?. Sebuah

    pernyataan yang patut dipikirkan bahwa bagaimana kita bisa menjamin kondisi komputer tetap

    seperti keadaan terakhir ketika ditinggalkan oleh pelaku kriminal manakala komputer tersebut kita

    matikan atau hidupkan kembali. Karena ketika komputer kita hidupkan terjadi beberapa perubahan

    pada temporary file, waktu akses, dan seterusnya. Sekali file-file ini telah berubah ketika computer

    dihidupkan tidak ada lagi cara untuk mengembalikan (recover) file-file tersebut kepada keadaan

    semula. Komputer dalam kondisi hidup juga tidak bisa sembarangan dimatikan. Sebab ketika

    komputer dimatikan bisa saja ada program penghapus/perusak yang dapat menghapus dan

    menghilangkan bukti-bukti yang ada. Ada langkah-langkah tertentu yang harus dikuasai oleh

    seorang ahli digital forensik dalam mematikan/menghidupkan komputer tanpa ikut

    merusak/menghilangkan barang bukti yang ada didalamnya. Aturan utama pada tahap ini adalah

    penyelidikan tidak boleh dilakukan langsung pada bukti asli karena dikhawatirkan akan dapat

    merubah isi dan struktur yang ada didalamnya. Mengantisipasi hal ini maka dilakukan copy data

  • DIGITAL FORENSIK SEBAGAI ALAT BUKTI TINDAK PIDANA 9

    secara Bitstream Image dari bukti asli ke media penyimpanan lainnya. Bitstream image adalah

    metode penyimpanan digital dengan mengkopi setiap bit demi bit dari data orisinil, termasuk file

    yang tersembunyi (hidden files), file temporer (temporary file), file yang terdefrag (defragmented

    file), dan file yang belum teroverwrite. Dengan kata lain, setiap biner digit demi digit di-copy

    secara utuh dalam media baru. Teknik ini umumnya diistilahkan dengan cloning atau imaging.

    Data hasil cloning inilah yang selanjutnya menjadi objek penelitian dan penyelidikan.

    3. Analisa Bukti Digital

    Tahapan ini dilaksanakan dengan melakukan analisa secara mendalam terhadap bukti-bukti yang

    ada. Bukti yang telah didapatkan perlu di-explore kembali kedalam sejumlah skenario yang

    berhubungan dengan tindak pengusutan, seperti:

    Siapa yang telah melakukan

    Apa yang telah dilakukan

    Apa saja software yang digunakan

    Hasil proses apa yang dihasilkan

    Waktu melakukan.

    Penelusuran bisa dilakukan pada data-data sebagai berikut: alamat URL yang telah dikunjungi,

    pesan e-mail atau kumpulan alamat e-mail yang terdaftar, program word processing atau format

    ekstensi yang dipakai, dokumen spreedsheat yang dipakai, format gambar yang dipakai apabila

    ditemukan, file-file yang dihapus maupun diformat, password, registry windows, hidden files, log

    event viewers, dan log application. Termasuk juga pengecekan pada metadata. Kebanyakan file

    mempunyai metadata yang berisi informasi yang ditambahkan mengenai file tersebut seperti

    computer name, total edit time, jumlah editing session, dimana dicetak, berapa kali terjadi

    penyimpanan (saving), tanggal dan waktu modifikasi. Selanjutnya melakukan recovery dengan

    mengembalikan file dan folder yang terhapus, unformat drive, membuat ulang partisi,

    mengembalikan password, merekonstruksi ulang halaman web yang pernah dikunjungi,

    mengembalikan emailemail yang terhapus dan seterusnya. Tahapan analisis terbagi dua, yaitu:

    analisis media (media analysis) dan analisis aplikasi (application analysis) pada barang bukti yang

    ada.

    4. Presentasi

    Presentasi dilakukan dengan menyajikan dan menguraikan secara detail laporan penyelidikan

    dengan bukti-bukti yang sudah dianalisa secara mendalam dan dapat dipertanggung jawabkan

  • DIGITAL FORENSIK SEBAGAI ALAT BUKTI TINDAK PIDANA 10

    secara hukum di pengadilan. Laporan yang disajikan harus di cross-check langsung dengan saksi

    yang ada, baik saksi yang terlibat langsung maupun tidak langsung. Hasil laporan akan sangat

    menentukan dalam menetapkan seseorang bersalah atau tidak sehingga harus dipastikan bahwa

    laporan yang disajikan benar-benar akurat, teruji, dan terbukti. Beberapa hal penting yang perlu

    dicantumkan pada saat presentasi/panyajian laporan ini, antara lain:

    Tanggal dan waktu terjadinya pelanggaran

    Tanggal dan waktu pada saat investigasi

    Permasalahan yang terjadi

    Masa berlaku analisa laporan

    Penemuan bukti yang berharga (pada laporan akhir penemuan ini sangat

    ditekankan sebagai bukti penting proses penyidikan)

    Tehnik khusus yang digunakan, contoh: password cracker

    Bantuan pihak lain (pihak ketiga)

    2. Tinjauan Hukum Mengenai Digital Forensik Sebagai Alat Bukti

    Meskipun mengenai digital forensic (alat bukti informasi elektronik) tidak disebutkan dalam

    KUHAP, sejak tahun 2001 dalam hukum acara pidana telah mengenal mengenai bukti informasi

    elektronik dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan Undang-Undang No. 31

    Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi. Alat bukti informasi elektronis di introduksi dalam

    pasal 26A:

    Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2)

    Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana

    korupsi juga dapat diperoleh dari; a) Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim,

    diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu, dan; b)

    Dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar

    yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas,

    benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara,

    gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.

    Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 jo Undang-Undang No 25 tahun 2003 tentang Tindak

    Pidana Pencucian Uang dalam pasal 38 jo Pasal 1 butir 7 Undang-Undang No 15 Tahun 2002 jo

  • DIGITAL FORENSIK SEBAGAI ALAT BUKTI TINDAK PIDANA 11

    Pasal 1 butir 9 Undang-Undang No 25 tahun 2003yang mengatur tentang alat bukti berupa

    informasi elektronik sebagai berikut:

    Dokumen adalah data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang

    dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda

    fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada:

    a) Tulisan, suara, atau gambar; b) Peta, rancangan, foto, atau sejenisnya; c) Huruf, tanda, angka,

    simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca

    atau memahaminya.

    Kemudian dalam PERPU No 1 Tahun 2002 yang telah diundangkan dengan Undang-Undang

    No. 15 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Terorisme disebutkan dalam pasal 27;

    Pasal 27: Alat bukti pemeriksaan tindak pidana terorisme meliputi: a) Alat bukti sebagaimana

    dimaksud dalam Hukum Acara Pidana; b) Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan,

    dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu;

    c) Data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat

    dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik

    apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada; (1)

    Tulisan, suara, atau gambar; (2) Peta, rancangan, foto, atau sejenisnya; (3) Huruf, tanda, angka,

    simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca

    atau memahaminya.

    Selanjutnya data elektronik sebagai alat bukti dapat juga ditemukan dalam Undang-Undang

    Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang

    Kepabeanan dalam Pasal 1 point 20 disebutkan: Audit Kepabeanan adalah kegiatan pemeriksaan

    laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, surat yang

    berkaitan dengan kegiatan usaha termasuk data elektronik, surat yang berkaitan dengan kegiatan

    di bidang kepabeanan, dan/atau sediaan barang dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan

    perundang-undangan di bidang kepabeanan. Pada pasal 5A Undang-Undang Nomor 17 Tahun

    2006 disebutkan sebagai berikut:

    (1) Pemberitahuan pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dapat disampaikan dalam

    bentuk tulisan di atas formulir atau dalam bentuk data elektronik; (2) Penetapan kantor pabean tempat

    penyampaian pemberitahuan pabean dalam bentuk data elektronik dilakukan oleh Menteri; (3) Data

    elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan alat bukti yang sah menurut Undang-

  • DIGITAL FORENSIK SEBAGAI ALAT BUKTI TINDAK PIDANA 12

    Undang ini; (4) Ketentuan mengenai tata cara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih

    lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

    Dalam penjelasan pasal 5A ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 dijelaskan Data

    elektronik (softcopy) yaitu informasi atau rangkaian informasi yang disusun dan/atau dihimpun

    untuk kegunaan khusus yang diterima, direkam, dikirim, disimpan, diproses, diambil kembali, atau

    diproduksi secara elektronik dengan menggunakan komputer atau perangkat pengolah data

    elektronik, optikal, atau cara lain yang sejenis.

    Tahun 2008 menjadi momentum penting dalam perkembangan hukum di Indonesia dengan

    keluarnya undang-undang yang mengatur mengenai cyberspace yaitu Undang-undang No. 11

    tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Di dalam undang-undang

    tersebut dijelaskan mengenai definisi Informasi elektronik: adalah satu atau sekumpulan data

    elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto,

    electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau

    sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki

    arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya Pasal 1 (1).

    Selanjutnya dalam Pasal 5 UU No 11 Tahun 2008 disebutkan mengenai sahnya Informasi

    Elektronik sebagai alat bukti yang sah:

    Pasal 5; 1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan

    alat bukti hukum yang sah; 2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil

    cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai

    dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia; 3) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen

    Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang

    diatur dalam Undang- Undang ini, dan; 4) Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau

    Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk: (a) Surat yang

    menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan; b) Surat beserta dokumennya yang

    menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat

    pembuat akta.

    Mengenai persyaratan suatu informasi elektronik dapat digunakan sebagai alat bukti diatur

    dalam Pasal 6 UU Nomor 11 Tahun 2008:

  • DIGITAL FORENSIK SEBAGAI ALAT BUKTI TINDAK PIDANA 13

    Pasal 6: Dalam hal terdapat ketentuan lain selain yang diatur dalam Pasal 5 ayat (4) yang

    mensyaratkan bahwa suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli, Informasi Elektronik dan/atau

    dokumen elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses,

    ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu

    keadaan.

    Mengenai bentuk dari dokumen elektronik itu sendiri penjelasan Pasal 6 UU No 11 Tahun

    2008 menerangkan bahwa Selama ini bentuk tertulis identik dengan informasi dan/atau dokumen

    yang tertuang di atas kertas semata, padahal pada hakikatnya informasi dan/atau dokumen dapat

    dituangkan ke dalam media apa saja, termasuk media elektronik. Dalam lingkup sistem elektronik,

    informasi yang asli dengan salinannya tidak relevan lagi untuk dibedakan sebab sistem elektronik

    pada dasarnya beroperasi dengan cara penggandaan yang mengakibatkan informasi yang asli tidak

    dapat dibedakan lagi dari salinannya.

    Ketentuan selanjutnya yang mengatur tentang Informasi Elektronik sebagai alat bukti

    ditemukan dalam Pasal 44 UU No 11 tahun 2008:

    Pasal 44: Alat bukti penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan menurut ketentuan

    undang-undang ini adalah sebagai berikut: a) Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan

    Perundang-undangan, dan; b) Alat bukti lain berupa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen

    Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 4 serta Pasal 5 ayat (1), ayat

    (2), dan ayat (3).

    Ketentuan mengenai Informasi Elektronik berkaitan sebagai alat bukti juga dapat ditemukan

    dalam Undang-Undang No 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi dalam pasal 24;

    Pasal 24: Di samping alat bukti sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang Hukum Acara

    Pidana, termasuk juga alat bukti dalam perkara tindak pidana meliputi tetapi tidak terbatas pada: a)

    Barang yang memuat tulisan atau gambar dalam bentuk cetakan atau bukan cetakan, baik elektronik,

    optik, maupun bentuk penyimpanan data lainnya, dan; b) data yang tersimpan dalam jaringan internet

    dan saluran komunikasi lainnya.

    Digital Forensik (Alat Bukti Informasi Elektronik) dalam Perkara Tindak Pidana Umum

    Meskipun Undang-undang di Indonesia telah mengenal Informasi Elektronik sebagai salah

    satu alat bukti akan tetapi secara umum Hukum Acara Pidana Indonesia masih mengacu pada

    Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 sebagai landasan hukum. Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun

    1981 alat bukti hanya terbatas pada; Keterangan Saksi, Keterangan Ahli, Surat, Petunjuk dan

  • DIGITAL FORENSIK SEBAGAI ALAT BUKTI TINDAK PIDANA 14

    Keterangan Terdakwa. Informasi Elektronik dapat dijadikan sebagai alat bukti pada kasus-kasus

    yang bersifat khusus di mana undang-undang telah mengaturnya sebagai alat bukti yang sah seperti

    dalam kasus korupsi, Tindak Pidana Informasi dan Transaksi Elektronik, Pornografi dan Tindak

    Pidana Kepabeanan.

    Digital Forensik (Informasi Elektronik) dalam RUU Tentang Hukum Acara Pidana

    Indonesia

    Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa informasi elektronik tidak dapat dijadikan

    sebagai alat bukti dalam tindak pidana umum dikarenakan landasan hukum acara di Indonesia

    adalah undang-undang No. 8 Tahun 1981 dimana undang-undang tersebut tidak mengenal

    informasi elektronik sebagai salah satu alat bukti yang sah.

    Keterbatasan dalam UU No 8 Tahun 1981 dalam alat bukti ini yang menyebabkan perlu

    adanya pembaharuan dalam KUHAP. Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang

    Hukum Acara Pidana Draft Tahun 2008 sudah mengenal mengenai bukti elektronik sebagai alat

    bukti (Pasal 177 ayat (1).c)

    (1) Alat bukti yang sah mencakup: a) barang bukti; b) surat-surat; c) bukti elektronik; d) keterangan

    seorang ahli; e) keterangan seorang saksi; f) keterangan terdakwa; dan; g) pengamatan Hakim.

    Menurut penjelasan pasal 177 ayat (1) huruf c RUU KUHAP Yang dimaksud dengan bukti

    elektronik adalah informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik

    dengan alat optik atau yang serupa dengan itu, termasuk setiap rekaman data atau informasi yang

    dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu

    sarana baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas maupun yang terekam

    secara elektronik yang berupa tulisan, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau

    perforasi yang memiliki makna.

    Dengan adanya perkembangan kejahatan dengan menggunakan komputer, Penyidik dan

    Penuntut Umum serta Hakim dihadapkan pada eksistensi bukti-bukti elektronik seperti data

    komputer, dokumen elektronik, email, maupun catatan transaksi rekening,8 sehingga alat bukti

    tidak hanya terbatas pada keterangan saksi, surat, ahli, petunjuk dan keterangan terdakwa, akan

    tetapi mencakup informasi dan dokumen yang tersimpan secara elektronik.

    8 Yuliearti, Arie.2006. Bukti Elektronik Dalam Kejahatan Komputer: Kajian Atas Tindak Pidana Korupsi dan

    Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Tesis Pascasarjana Reguler, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, hlm. 10.)

  • DIGITAL FORENSIK SEBAGAI ALAT BUKTI TINDAK PIDANA 15

    Yahya Harahap mengungkapkan bahwa Hakim tidak terkait atas kebenaran persesuaian yang

    diwujudkan atas petunjuk sebagai alat bukti, karena alat bukti elektronik tidak bisa berdiri sendiri-

    sendiri untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Oleh karena itu, perlu didukung oleh alat bukti

    lain.9

    Edmon Makarim mengemukakan bukti elektronik sebagai suatu alat bukti yang sah dan yang

    berdiri sendiri, tentunya harus dapat diberikan jaminan bahwa suatu rekaman/salinan data (data

    recording) berjalan sesuai dengan prosedur yang berlaku (telah dikalibrasi dan diprogram)

    sedemikian rupa sehingga hasil print out sutau data diterima dalam pembuktian suatu kasus.10

    Pembuktian terhadap suatu alat bukti berupa data digital juga menyangkut aspek validasi yang

    dijadikan alat bukti, karena bukti elektronik mempunyai karakteristik khusus dibandingkan bukti

    non-elektronik, karakteristik khusus tersebut karena bentuknya yang disimpan dalam media

    elektronik, disamping itu bukti elektronik dapat dengan mudah direkayasa sehingga sering

    diragukan validitasnya.11

    Aspek lain terkait adalah masalah menghadirkan alat bukti tersebut, apakah dihadirkan cukup

    dengan perangkat lunaknya (software) ataukah harus dengan perangkat kerasnya (hardware).

    Amerika Serikat mengatur alat bukti elektronik dalam Criminal Procedure Code, barang bukti

    elektronik dimasukkan ke dalam real evidence yakni sama halnya dengan foto, video, rekaman,

    dan film dapat dihadirkan dengan perangkat lunak dan/atau perangkat kerasnya.12

    Beberapa negara seperti Cina, Australia, Jepang, dan Singapura telah memiliki peraturan

    hukum yang mengakui data elektronik menjadi alat bukti. Di Kanada misalnya disamping telah

    memiliki hukum pembuktian yang menerima data elektronik menjadi alat bukti. Praktek-praktek

    pengadilan melengkapinya dengan prosedur-prosedur bagaimana bukti elektronik tersebut bisa

    diterima di pengadilan

    9 Harahap, Yahya. 1985. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding,

    Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Jakarta: Sinar Grafika. (hlm. 312)

    10 Makarim, Edmon. 2005. Pengantar Hukum Telematika: Suatu Kompilasi Kajian,Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

    (hlm. 455)

    11 L. Volodino, Electronic Evidence and Computer Forensic, (Communication of AIS, Vol. 12, Oktober 2003), hlm. 7.)

    12 Alan M. Gahtan, Electronic Evidence, Ontario, Carswell, 1999 (hlm. 152)

  • DIGITAL FORENSIK SEBAGAI ALAT BUKTI TINDAK PIDANA 16

    Berbeda pengaturannya di Malaysia, bukti elektronik dimasukkan ke dalam kategori alat

    bukti primer yaitu alat bukti berupa dokumen yang orisinil yang dihadirkan di pengadilan, yakni

    seluruh dokumen yang dibuat secara tertulis, maupun terekam pada pita foto, baik berupa surat,

    buku, jurnal, film, video, dan lain sebagainya. Bagian-bagian dari dokumen tersebut sepanjang itu

    orisinal dianggap sebagai alat bukti primer. Selain alat bukti primer, dikenal juga alat bukti

    sekunder hal mana baru digunakan sebagai alat bukti, jika alat bukti primer tidak ada atau tidak

    mencukupi.

    Walaupun demikian, menurut Hakim Mohammed Chawki dari Komputer Crime Research

    Center mengklasifikasikan bukti elektronik menjadi 3 (tiga) kategori, sebagai berikut.

    1. Real Evidence atau Physical Evidence

    Bukti yang terfiri dari objek nyata atau berwujud yang dapat dilihat dan disentuh. Real

    evidence juga merupakan bukti lansgung berupa rekaman otomatis yang dihasilkan oleh komputer

    itu sendiri dengan menjalankan software dan receipt dari informasi yang diperoleh dari alat yang

    lain, misalnya computer log files.

    2. Testamentary Evidence

    Dikenal dengan istilah hearsay evidence, dimana keterangan dari saksi maupun ahli dapat

    diberikan selama persidangan, berdasarkan pengalaman dan pengamatan individu. Perkembangan

    ilmu dan teknologi sedikit banyak membawa dampak terhadap kualitas metode kejahatan,

    memaksa kita untuk mengimbanginya dengan kualitas dan metode pembuktian yang memerlukan

    pengetahuan dan keahlian (skill and knowledge).13 Kedudukan seorang ahli dalam memperjelas

    tindak pidana yang terjadi serta menerangkan atau memperjelas bukti elektronik sangat penting

    dalam memberikan keyakinan hakim dalam memutus perkara kejahatan.

    3. Circumstantial Evidence

    Bukti elektronik terperinci yang diperoleh beradasarkan ucapan atau pengamatan dari kejadian

    sebenarnya yang mendorong untuk mendukung suatu kesimpulan, tetapi bukan untuk

    13 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Jilid I dan II, Jakarta: Sinar Grafika. (hlm. 297)

  • DIGITAL FORENSIK SEBAGAI ALAT BUKTI TINDAK PIDANA 17

    membuktikannya. Circum evidence merupakan kombinasi dari real evidence dan hearsay

    evidence.

    Penggolongan alat bukti elektronik masih belum diterima sepenuhnya, padahal disatu sisi

    dalam kejahatan luar biasa (extraordinary crime), seperti tindak pidana korupsi, kejahatan HAM

    Berat, Terorisme mempunyai pembuktian yang sulit. Hal ini disebabkan karena kejahatan tersebut

    dilakukan secara rapi dan sistematis dengan menggunakan komputer sebagai sarana untuk

    melaksanakan tindak pidana tersebut, dan pemerintah menyadari tindak pidana tersebut

    merupakan suatu tindak pidana yang luar biasa (extraordinary crime), sehingga membutuhkan

    penanganan yang luar biasa juga (extraordinary measures).14 Bukti-bukti yang akan mengarahkan

    kepada suatu tindak pidana merupakan data-data elektronik yang berada dalam komputer atau

    yang merupakan print-out atau dalam bentuk lain berupa jejak dari suatu aktivitas penggunaan

    komputer.

    III. PENUTUP

    1. Kesimpulan

    Dengan adanya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang

    Informasi dan Transaksi Elektronik segala aktivitas digital yang menyangkut informasi dan

    transaksi elektronik mempunyai payung hukum dan dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah di

    pengadilan. Berkaitan dengan hal ini perlu suatu mekanisme pembuktian yang legal dan dapat

    dipertanggungjawabkan secara hukum dalam penelusuran bukti-bukti kejahatan khususnya

    kejahatan komputer (cybercrime). Dalam menelusuri bukti digital sampai pada proses

    pengungkapan di pengadilan, digital forensik menerapkan empat tahapan yaitu: Pengumpulan

    (Acquisition), Pemeliharaan (Preservation), Analisa (Analysis), dan Presentasi (Presentation).

    Seiring dengan perkembangan teknologi, dimasa depan objek penelitian dan cakupan digital

    forensik akan menjadi lebih luas lagi, dan keahlian dalam digital forensik tentu akan lebih

    dibutuhkan.

    2. Saran

    14 T. Nasrullah, Sepintas Tinjauan Yuridis Baik Aspek Hukum Materil Maupun Formil Terhadap Undang-undang No.

    15/2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. (hlm. 3)

  • DIGITAL FORENSIK SEBAGAI ALAT BUKTI TINDAK PIDANA 18

    Seiring berkembangnya teknologi, hukum selayaknya lebih memperhatikan lagi kedudukan

    alat bukti elektronik atau yang biasa disebut dengan digital forensik dalam hukum pidana

    Indonesia, guna terwujudnya dan terciptanya nilai keadilan dalam persidangan yang menyangkut

    alat bukti elektronik tersebut.

    DAFTAR PUSTAKA

    Peraturan Perundang-undangan:

    Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

    Elektronik.

    KUHAP kepanjangan dari Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang diatur dalam

    Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

    Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999

    tentang Tindak Pidana Korupsi.

    Undang-Undang No 25 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

    Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme.

    Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan.

    Undang-Undang No 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.

    Buku:

    Wahid, A. & Labib, M. 2005. Kejahatan Mayantara (Cyber Crime). Bandung: PT. Refika

    Aditama. (Hal 21)

    Simarmata, J. 2006. Pengamanan Sistem Komputer, Yogyakarta: Andi Offset. (hal 30-31)

    Nawawi Arief, Barda. 2006. Tindak Pidana Mayantara, Perkembangan Kajian Cybercrime di

    Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo Persada.

    Marcella, A. J. & Greenfiled, R. S. 2002. Cyber Forensics a field manual for collecting,

    examining, and preserving evidence of computer crimes, Florida: CRC Press LLC.

    Kemmish, R. M. What is forensic computer. Canberra: Australian institute of Criminology.

    Yuliearti, Arie.2006. Bukti Elektronik Dalam Kejahatan Komputer: Kajian Atas Tindak Pidana

    Korupsi dan Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Tesis Pascasarjana Reguler, Jakarta:

    Fakultas Hukum Universitas Indonesia. (hlm. 10)

    Harahap, Yahya. 1985. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang

    Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Jakarta: Sinar Grafika. (hlm. 312)

  • DIGITAL FORENSIK SEBAGAI ALAT BUKTI TINDAK PIDANA 19

    Makarim, Edmon. 2005. Pengantar Hukum Telematika: Suatu Kompilasi Kajian, Jakarta: PT Raja

    Grafindo Persada. (hlm. 455)

    L. Volodino. 2003. Electronic Evidence and Computer Forensic, Communication of AIS. (hlm. 7)

    Alan M. 1999. Gahtan, Electronic Evidence, Ontario: Carswell. (hlm. 152)

    M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Jilid I dan II, Jakarta:

    Sinar Grafika. (hlm. 297)

    T. Nasrullah, Sepintas Tinjauan Yuridis Baik Aspek Hukum Materil Maupun Formil Terhadap

    Undang-undang No. 15/2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. (hlm. 3)

    Situs:

    Budhisantoso, Nugroho, Personal Site, (http:// www.forensik-komputer.info)