perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id PERAN DEWAN .../Peran-Dewan... · Libya sebagai upaya...
Transcript of perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id PERAN DEWAN .../Peran-Dewan... · Libya sebagai upaya...
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
PERAN DEWAN KEAMANAN PBB DALAM PENYELESAIAN KONFLIK
LIBYA SEBAGAI PELAKSANAAN FUNGSI PEMELIHARAAN
PERDAMAIAN DAN KEAMANAN INTERNASIONAL
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk
Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum
pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh:
LISA KARISMAWATIE
NIM: E0008057
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
PERNYATAAN
Nama : Lisa Karismawatie
NIM : E0008057
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul:
PERAN DEWAN KEAMANAN PBB DALAM PENYELESAIAN KONFLIK
LIBYA SEBAGAI PELAKSANAAN FUNGSI PEMELIHARAAN PERDAMAIAN
DAN KEAMANAN INTERNASIONAL adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal
yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan
ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila kemudian hari terbukti pernyataan saya
tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan
penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi)
ini.
Surakarta, Agustus 2012
yang membuat pernyataan,
Lisa Karismawatie
NIM. E0008057
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
ABSTRAK
Lisa Karismawatie, E0008057. Peran Dewan Keamanan PBB dalam
Penyelesaian Konflik Libya sebagai Pelaksanaan Fungsi Pemeliharaan
Perdamaian dan Keamanan Internasional. Penulisan Hukum (Skripsi). Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret. 2012. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kewenangan Dewan
Keamanan PBB dalam penyelesaian konflik Libya dan menjelaskan tindakan-
tindakan yang telah dilakukan Dewan Keamanan PBB dalam penyelesaian konflik
Libya sebagai upaya pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional.
Penulisan hukum ini termasuk dalam penulisan hukum normatif yang bersifat
preskriptif. Jenis bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer yang digunakan adalah Piagam PBB,
Konvensi Den Haag IV tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat, Konvensi
Jenewa IV tentang Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil, dan Protokol Tambahan I
Konvensi Jenewa 1949 tentang Perlindungan terhadap Korban Konflik Bersenjata
Internasional tahun 1977. Bahan hukum sekunder yang digunakan adalah buku-buku,
junal-jurnal dan perdapat para sarjana yang berkaitan dengan kewenangan Dewan
Keamanan PBB dalam penyelesaian konflik. Teknik pengumpulan bahan hukum
yang digunakan adalah dengan mengkaji bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder. Teknik analisis yang digunakan dengan metode deduksi.
Hasil penelitian menyatakan bahwa keterlibatan Dewan Keamanan PBB
dalam penyelesaian konflik Libya merupakan hal yang legal. Hal ini dikarenakan
konflik Libya dikategorikan sebagai situasi yang mengganggu perdamaian dan
keamanan internasional. Tindakan pertama dalam penyelesaian konflik Libya, Dewan
Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi 1970, yang berisikan tentang pengajuan
penyelesaian konflik kepada Mahkamah Pidana Internasional sekaligus pemberian
sanksi ekonomi kepada Libya. Tindakan kedua dalam penyelesaian konflik Libya,
Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi 1973, sebagai sanksi ekonomi dan
juga keputusan untuk memberikan perlindungan terhadap penduduk sipil.
Kata Kunci: Konflik Libya, Dewan Keamanan PBB, Penyelesaian Sengketa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
ABSTRACT
Lisa Karismawatie, E0008057. The Role of UN Security Council on The Settlement
of Libya Conflict as Implementation of The Function as The Maintanance of
International Peace and Security. Legal Writing. Law Faculty of Sebelas Maret
University. 2012.
The aim of this research are to describe the authority of UN Security Council
on the settlement of Libya conflict and to explain enforcement measures of UN
Security Council on the settlement of Libya conflict as effort to maintain international
peace and security.
This research is a normative legal research which is prescriptive in nature.
The law materials are primary and secondary. The primary materials are United
Nation Charter, Convention (IV) Respecting the Laws and Customs of War on Land
and its annex : Regulation Concerning the Laws and Customs of War on Land,
Geneva Convention (IV) Relative to the Protection of Civilians Persons in Time of
War, and Protocol Additional to the Geneva Convention of 12 August 1949 and
Relating to the Protection of Victims of International Armed Conflicts. The secondary
materials are books, journals, and doctrine related with authority of UN Security
Council on the settlement of conflict. The technique of collecting data is reviewing
primary and secondary of law materials. The technique of analyzing data is deductive
method.
The result of research shows involvement of UN Security Council on the
settlement of Libya Conflict is legal, because Libya conflict is categorized as a threat
situation to the international peace and security. As the first enforcement measure,
UN Security Council adopted Resolution 1970 as economic sanction and referral
Libya conflict to International Criminal Court. As the second enforcement measure,
UN Security Council adopted Resolution 1973 as economic sanction and protection
to civilians.
Keywords: Libya Conflict, UN Security Council, Dispute Settlement
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
MOTTO
Allah tidak akan memaksakan sesuatu kepada seseorang, kecuali kekuatan yang ada
padanya.
(Q.S Al Baqarah :286)
Banyak kegagalan dalam hidup ini dikarenakan orang-orang tidak menyadari betapa
dekatnya mereka dengan keberhasilan saat mereka menyerah
(Thomas Alva Edison)
People are successful have learned to make themselves do things to be done when it
had be done, whether they like it or not
(Aldus Huxley)
Just keep dreaming, doing, fighting, and praying.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
PERSEMBAHAN
Dengan segala kerendahan dan kebanggaan hati, saya persembahkan skripsi
ini kepada:
Ayahku Hasil Abdul Rais dan Mamahku Kartini sebagai orang tua terhebat
Kakak-kakak dan keponakan-keponakanku tersayang yang tidak bisa disebutkan
satu-persatu
Para pembimbing skripsiku yang telah membimbing
Sahabat-sahabat serta Almamaterku
Pihak yang telah membantu penulisan penelitian ini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke-hadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga
penulisan hukum (skripsi) yang berjudul “PERAN DEWAN KEAMANAN PBB
DALAM PENYELESAIAN KONFLIK LIBYA SEBAGAI PELAKSANAAN
FUNGSI PEMELIHARAAN PERDAMAIAN DAN KEAMANAN
INTERNASIONAL” ini dapat terselesaikan dengan baik.
Penulis menyadari bahwa dalam setiap proses penyelesaian penulisan hukum
(skripsi) ini tidak akan terlaksana dengan lancar tanpa bantuan dan dukungan dari
berbagai pihak. Pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan terima kasih dengan
segala kerendahan hati, dan semoga kebaikan pihak-pihak yang telah membantu akan
dibalas oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Terima kasih saya haturkan kepada:
1. Ibu Prof. Dr. Hartiwingsih, S.H., M.H. selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret yang telah mengorbankan segenap tenaga dan pikiran
demi kemajuan Fakultas Hukum UNS;
2. Bapak Sutapa Mulya Widada, S.H., M.Hum. selaku Pembimbing Akademik
yang telah membimbing dan memotivasi penulis agar selalu bersemangat
memperbaiki prestasi akademik;
3. Ibu Sri Lestari Rahayu, S.H., M.Hum., selaku Ketua Bagian Hukum
Internasional Fakultas Hukum UNS dan Pembimbing I Penulisan Hukum
(skripsi) yang telah memberikan ilmu, tenaga, dan waktu untuk diskusi,
membimbing, dan memotivasi penulis dalam proses penyelesaian penulisan
hukum ini;
4. Ibu Sasmini, S.H., LL.M. Selaku Pembimbing II Penulisan Hukum (skripsi)
yang telah memberikan motivasi, waktu diskusi, dan bimbingan sehingga penulis
memperoleh banyak pengetahuan baru terkait penulisan ini;
5. Dosen-dosen Fakultas Hukum UNS atas segala ilmu, wawasan, dan pelajaran
yang telah diberikan kepada penulis;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
6. Ayah dan Mamah sebagai orang tua terhebat atas semua doa, motivasi, dan
limpahan kasih sayang yang telah diberikan selama ini.
7. Kakak–kakakku dan keponakan-keponakanku tersayang yang tidak bisa
disebutkan satu persatu, atas doa, motivasi, dan limpahan kasih sayang selama
ini. Especially for Disa Masnasiltie, Thank you so much for your help !
8. Sahabat-sahabat terbaikku Deyandri, Ilma, Fanny, Fatia, Fafa, Muti, Siska,
Puspa, Rizka, Uci, Meis atas semua doa, motivasi dan persahabatan yang terjalin
selama ini.
9. Teman-teman magang Kementrian Luar Negeri dan teman seperjuangan skripsi
Mba dina, Ali, Aci, Ira, Putri, Rani, Shelma, Tumar, just keep moving and
fighting guys !
10. Teman-teman seperjuangan Fakultas Hukum UNS 2008 especially for Agnane,
Very, Radit, Dedi, Dimas, Upi, Guntur thank you for everything.
11. Keluarga besar Kos Puspa Asri dan DP 2 Isna, Sharin, Haris, Lia, Lintang, Mba
Iyah, Ayu, Wulan, Lindut, Mayang atas semua motivasi dan kesediaannya untuk
mendengar semua keluh kesah skripsiku.
12. Dan seluruh pihak yang telah membantu penulis selama penulis menyelesaikan
pendidikan di Solo.
Penulis menyadari bahwa penulisan hukum ini terdapat banyak kekurangan,
untuk itu penulis dengan besar hati menerima kritik dan saran yang membangun,
sehingga dapat memperkaya penulisan hukum ini. Semoga karya tulis ini mampu
memberikan manfaat bagi penulis maupun para pembaca.
Surakarta, Agustus 2012
Penulis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i
HALAMAN PERSETUJUAN .............................................................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... iii
PERNYATAAN .................................................................................................... iv
ABSTRAK ............................................................................................................ v
ABSTRACT .......................................................................................................... vi
HALAMAN MOTTO ........................................................................................... vii
HALAMAN PERSEMBAHAN ........................................................................... viii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... ix
DAFTAR ISI ......................................................................................................... xi
DAFTAR BAGAN ............................................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1
B. Perumusan Masalah ........................................................................ 4
C. Tujuan Kegiatan .............................................................................. 5
D. Manfaat Kegiatan ............................................................................ 5
E. Metode Penelitian............................................................................ 6
F. Sistematika Penulisan Hukum ........................................................ 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori................................................................................ 11
1. Tinjauan Umum Tentang PBB ...................................................... 11
a. Sejarah PBB .............................................................................. 11
b. Tujuan dan Prinsip PBB ........................................................... 12
c. Organ Utama PBB .................................................................... 13
2. Tinjauan Umum Dewan Keamanan PBB ..................................... 17
3. Tinjauan Umum Tentang Penyelesaian Sengketa Internasional ... 23
a. Pengertian Sengketa Internasional ............................................ 23
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
b. Cara-cara Penyelesaian Sengketa Internasional ....................... 24
4. Konflik Bersenjata di Libya .......................................................... 29
a. Pengertian Konflik Bersenjata .................................................. 29
b. Pengaturan Konflik Bersenjata ................................................. 32
c. Konflik Libya 2011 .................................................................. 34
B. Kerangka Pemikiran ........................................................................ 37
BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Kewenangan Dewan Keamanan PBB dalam Penyelesaian Konflik
Libya .............................................................................................. 39
1. Status Konflik Bersenjata di Libya ................................................. 39
2. Kewenangan Dewan Keamanan PBB dalam Penyelesaian
Konflik Libya .……………………………………..…………. 48
B. Tindakan Nyata Dewan Keamanan PBB dalam Penyelesaian
Konflik Libya .................................................................................. 54
BAB V PENUTUP
A. Simpulan ......................................................................................... 64
B. Saran ................................................................................................ 65
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 66
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
DAFTAR BAGAN
Bagan 1 ………………………………………………………………………… 37
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Konflik Libya merupakan konflik yang muncul karena adanya
pertentangan antara keinginan rakyat dengan pemerintah untuk menurunkan
Moamar Qaddafi sebagai Presiden Libya. Keinginan rakyat untuk menurunkan
Moamar Qaddafi disebabkan oleh tindakan semena-mena Moamar Qaddafi
selama 42 tahun menjadi Presiden Libya, yaitu sejak tahun 1969-2011. Tindakan
semena-mena tersebut menimbulkan kebencian mendalam rakyat Libya terhadap
Moamar Qaddafi.
Konflik Libya telah menambah catatan panjang krisis yang melanda dua
negara di timur tengah sebelumnya yaitu Tunisia dan Mesir. Gerakan
pemberontakan di Tunisia dimulai pada Desember 2010. Pemberontakan ini
dimaksudkan untuk menurunkan Ben Ali yang telah menjabat sebagai Presiden
selama 24 tahun. Selama kepemimpinannya yang berlangsung sejak tahun 1987
berbagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) terjadi. Selain banyaknya
pelanggaran HAM, Tunisia menjadi negara yang dilanda krisis pangan dan
lapangan pekerjaan yang sulit (Abdul Syukur, 2011: 93). Tunisia menjadi negara
yang tidak memiliki kebebasan berserikat. Organisasi masyarakat Tunisia, media
cetak maupun elektronik tidak mempunyai kewenangan untuk menyampaikan
pendapat atau kritik kepada pemerintah (Maria Cristina Paciello, 2011: 1).
Berbagai permasalahan yang melanda Tunisia menjadi faktor utama terjadinya
pemberontakan di Tunisia, yang berujung mundurnya Ben Ali dari kursi
pemerintahan.
Sedangkan pemberontakan rakyat Mesir dimulai pada akhir Januari 2011.
Selama kepemimpinannya, Hosni Mubarak menumpuk kekayaan di tengah krisis
yang melanda Mesir. Berdasarkan catatan situs Daily Telegraph, kekayaan Hosni
Mubarak ditaksir mencapai 20 miliar poundsterling atau sekitar 287 miliar rupiah,
yang disimpan disejumlah bank di Swiss, Amerika Serikat dan Inggris (Abdul
Syukur, 2011: 98). Kemiskinan, pengangguran, korupsi yang merajalela,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
pemerintahan yang otokrasi dan masa kepemimpinan Hosni Mubarak yang terlalu
lama membuat rakyat Mesir melakukan pemberontakan untuk mendapatkan
perubahan. Selain faktor-faktor tersebut, pemberontakan rakyat Mesir juga dipicu
oleh gerakan pro demokrasi pada tahun 2005 yang dipimpin oleh Kefaya
(Sundhus Balata, 2011: 61). Setelah hampir 18 hari Mesir mengalami
pergejolakan, akhirnya Hosni Mubarak memilih untuk mundur dari jabatannya
sebagai Presiden.
Keberhasilan Tunisia dan Mesir untuk munurunkan Ben Ali dan Hosni
Mobarak dari jabatannya sebagai Presiden memotivasi rakyat Libya untuk bangkit
melawan rezim pemerintahan Moamar Qaddafi. Selain hal itu, keberadaan Tunisia
dan Mesir yang berbatasan langsung dengan Libya langsung mendorong Libya
untuk melakukan pemberontakan (Apriadi Tamburaka, 2011: 271). Hal ini dikenal
dengan teori domino, yaitu fenomena perubahan berantai berdasarkan prinsip geo-
politik dan geo-strategis (Apriadi Tamburaka, 2011: 271).
Moamar Qaddafi telah memimpin Libya selama 42 tahun, yaitu sejak
tahun 1969-2011. Selama kepemimpinannya, ia dan keluarga menguasai berbagai
sektor ekonomi strategis. Selain itu kebijakan totaliter yang ia keluarkan dinilai
melecehkan demokrasi dan kebebasan (Abdul Syukur, 2011: 106-107).
Kemiskinan dan tidak adanya kebebasan untuk mengeluarkan pendapat
menimbulkan rasa benci yang mendalam terhadap Moamar Qaddafi. Hal inilah
yang menjadi faktor utama timbulnya pemberontakan di Libya.
Konflik Libya dimulai pada pertengahan Februari 2011, tepatnya pada 15
Februari 2011 di Bhegazi, Libya. Konflik ini dimulai dengan demonstrasi oleh
sekitar 200 orang di depan markas polisi Bhegazhi yang bertambah hingga
mencapai 500 sampai 600 orang (Apriadi Tamburaka, 2011: 227). Pihak oposisi
berhadapan langsung dengan pihak pro Moamar Qaddafi yang memiliki kekuatan
persenjataan. Pada awal konflik kekuatan antara pihak oposisi dengan pihak pro
Moamar Qaddafi tidak seimbang. Pihak pro Moamar Qaddafi memiliki
persenjataan canggih untuk melawan pihak oposisi. Seperti yang dilaporkan oleh
beberapa media dan LSM bahwa pemerintah sebagai pihak pro Moamar Qaddafi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
menggunakan tank, senapan mesin, dan seorang penembak jitu untuk melawan
pihak oposisi (Mehrdad Payandeh, 2011: 18).
Pihak oposisi terus menuntut agar Moamar Qaddafi turun dari jabatannya
sebagai Pressiden Libya, tetapi Moamar Qaddafi terus melakukan berbagai upaya
untuk mempertahankan jabatannya. Moamar Qaddafi mulai mempekerjakan
tentara bayaran Afrika yang sebagian besar dari Chad untuk mendukung
pasukannya. Selain itu, pihak pro Moamar Qaddafi menembaki para demonstran
anti pemerintah (Apriadi Tamburaka, 2011: 229). Tindakan tersebut menimbulkan
korban baik dari pihak oposisi, pro Moamar Qaddafi, dan penduduk sipil.
Berdasarkan data Federasi Internasional untuk Hak Asasi Manusia, korban konflik
Libya pada Maret 2011 mencapai 3000 jiwa (Apriadi Tamburaka, 2011: 237).
Serangan radikal terhadap pihak oposisi membuat para pejabat
pemerintahan Libya memilih untuk mengundurkan diri dari kekerasan rezim
Moamar Qaddafi. Tindakan tersebut juga diikuti oleh para pasukan militer yang
menolak untuk menyerang penduduk sipil (Mehrdad Payandeh, 2011: 18). Para
pendukung Moamar Qaddafi memilih mundur dari peperangan melawan pihak
oposisi, dan lebih memilih mendukung pihak oposisi untuk melawan Moamar
Qaddafi.
Dunia internasional mendesak Dewan Keamanan PBB untuk melakukan
tindakan sebagai upaya perlindungan penduduk sipil. Perlunya tindakan dari
Dewan Keamanan PBB dalam konflik Libya, dikarenakan konflik Libya telah
mengganggu stabilitas perdamaian dan keamanan dunia. Tindakan nyata Dewan
Keamanan PBB sebagai upaya untuk menjaga perdamaian dan keamanan
internasional serta penyelesaian konflik adalah dengan mengeluarkan resolusi.
Terkait dengan konflik Libya, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi
1973 pada 17 Maret 2011. Resolusi 1973 merupakan keputusan yang ditetapkan
oleh Dewan Keamanan PBB mengenai larangan terbang di atas wilayah Libya
sebagai upaya perlindungan penduduk sipil. Larangan terbang di atas wilayah
Libya dikecualikan untuk penerbangan kemanusiaan atau evakuasi warga negara
asing. Selain penetapan larangan terbang di atas wilayah Libya, paragraph 4
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
Resolusi 1973 menetapkan kepada negara-negara anggota untuk mengambil
langkah-langkah yang diperlukan untuk melindungi penduduk sipil.
Resolusi 1973 yang dikeluarkan oleh Dewan Keamanan PBB
mengakibatkan adanya keterlibatan pihak asing masuk konflik Libya. Adanya
keterlibatan pihak asing dalam konflik Libya disebabkan oleh ketentuan dari
Resolusi 1973 yang menetapkan kepada negara-negara anggota PBB untuk
melakukan tindakan perlindungan penduduk sipil. Bentuk perlindungan penduduk
sipil yang dilakukan oleh negara-negara barat adalah dengan pemberian bantuan
persenjataan kepada pihak oposisi. Pada 19 Maret 2011 negara-negara barat mulai
memberikan bantuan persenjataan kepada pihak oposisi. Selain itu, negara-negara
barat mulai melucurkan rudal pada sistem pertahanan udara Libya dan unit-unit
militer Libya di luar Beghazi (Mehrdad Payandeh, 2011: 25).
Berdasarkan uraian di atas diperlukan sebuah kajian mendalam mengenai
peran Dewan Keamanan PBB dalam konflik Libya adalah sebagai organ utama
PBB yang mempunyai kekuatan lebih dibandingkan dengan organ utama lainnya,
Dewan Keamanan PBB mempunyai tugas dan fungsi untuk membuat
rekomendasi penyelesaian sengketa secara damai dan mengambil tindakan
terhadap kegiatan yang mengancam perdamaian dan keamanan dunia. Sehingga
keterlibatan Dewan Keamanan PBB dibutuhkan dalam penyelesaian konflik Libya
sebagai konsekuensi dari tanggung jawab utamanya untuk menjaga perdamaian
dan keamanan internasional.
Bertolak dari pemaparan, penulis telah menyusun dan mengkaji lebih
mendalam mengenai peran Dewan Keamanan PBB dalam konflik Libya melalui
penulisan hukum yang berjudul: “PERAN DEWAN KEAMANAN PBB
DALAM PENYELESAIAN KONFLIK LIBYA SEBAGAI PELAKSANAAN
FUNGSI PEMELIHARAAN PERDAMAIAN DAN KEAMANAN
INTERNASIONAL”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang, masalah yang diajukan dalam
penelitian ini adalah:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
1. Apakah kewenangan yang dimiliki Dewan Keamanan PBB dalam
penyelesaian konflik Libya?
2. Tindakan-tindakan apakah yang dilakukan Dewan Keamanan PBB dalam
penyelesaian konflik Libya sebagai upaya pemeliharaan perdamaian dan
keamanan internasional?
C. Tujuan Penelitian
Setiap penelitian pasti mempunyai tujuan tertentu. Hal ini dimaksudkan
untuk memberikan arah dalam melangkah sesuai dengan maksud penelitian.
Adapun tujuan yang ingin dicapai oleh penulis, yaitu :
1. Tujuan Objektif
a. Mendeskripsikan kewenangan Dewan Keamanan PBB dalam penyelesaian
sebuah konflik negara khususnya Libya.
b. Menjelaskan tindakan-tindakan yang telah dilakukan Dewan Keamanan
PBB dalam penyelesaian konflik Libya sebagai upaya pemeliharaan
perdamaian dan keamanan internasional.
2. Tujuan Subjektif
a. Menambah wawasan dan pengetahuan penulis di bidang Hukum
Internasional khususnya tentang peran Dewan Keamanan PBB dalam
penyelesaian konflik suatu negara.
b. Memenuhi persyaratan akademis guna memperoleh gelar S1 dalam bidang
ilmu hukum di Fakultas Universitas Sebelas Maret Surakarta.
D. Manfaat Penelitian
Setiap penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat bagi ilmu
pengetahuan di bidang ilmu pengetahuan itu sendiri ataupun ilmu pengetahuan
lainnya. Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini antara lain :
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pada ilmu
pengetahuan di bidang hukum secara umum dan hukum humaniter
internasional secara khusus.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
2. Hasil penelitian dan penulisan ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan
literatur dalam dunia kepustakaan mengenai peran Dewan Keamanan PBB
dalam penyelesaian konflik Libya serta dapat digunakan sebagai acuan
terhadap penelitian-penelitian sejenis untuk tahap berikutnya.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis adalah penelitian hukum
normatif. Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan
hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna
menjawab isu hukum yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2006:35). Sisi
normatif dari penelitian ini adalah menemukan norma/aturan dasar yang
mengatur mengenai kewenangan Dewan Keamanan PBB dalam menjalankan
fungsi pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional, serta peraturan
yang dikeluarkan oleh Dewan Keamanan PBB sebagai tindakan dalam
penyelesaian konflik Libya.
2. Sifat Penelitian
Penelitian hukum ini bersifat preskriptif. Penelitian hukum preskriptif
dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru dalam
menyelesaikan masalah yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2006: 35).
Sifat preskriptif dalam penelitian ini adalah untuk menghasilkan argumen
tentang peran Dewan Keamanan PBB dalam penyelesaian konflik suatu
negara khususnya konflik yang melanda Libya.
3. Pendekatan Penelitian
Penelitian hukum ini menggunakan pendekatan perundang-undangan
dan pendekatan konseptual. Pendekatan konseptual adalah pendekatan yang
beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-dotrin yang berkembang di
dalam ilmu hukum. Pemahaman akan pandangan-pandangan dan doktrin-
doktrin tersebut merupakan sandaran bagi peneliti untuk membangun suatu
argumentasi dalam memecahkan isu yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
2006: 95). Pendekatan konseptual digunakan untuk mengkaji kategorisasi
konflik Libya menurut Hukum Humaniter Internasional.
Pendekatan perundang-undangan merupakan pendekatan dengan
menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu
hukum yang sedang ditangani (Peter Mahmud Marzuki,2006:93). Pendekatan
perundang-undangan melalui Piagam PBB digunakan untuk mengkaji
kewenangan dan tindakan nyata Dewan Keamanan PBB sebagai upaya
penyelesaian konflik Libya.
4. Sumber Penelitian Hukum
Penelitian hukum ini menggunakan dua bahan hukum yaitu bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer adalah bahan
hukum yang mempunyai otoritas, yang terdiri dari perundang-undangan,
catatan-catatan resmi, atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan
putusan-putusan hakim. Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum
yang berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan
dokumen-dokumen resmi (Peter Mahmud Marzuki, 2006:141).
a. Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:
1) United Nation Charter (Piagam PBB)
2) Convention (IV) Respecting the Laws and Customs of War on Land
and its annex: Regulations Concerning the Laws and Customs of War
on Land (Konvensi Den Haag IV tentang Hukum dan Kebiasaan
Perang di Darat)
3) Geneva Convention (IV) Relative to the Protection of Civilian Persons
in Time of War (Konvensi Jenewa IV tentang Perlindungan terhadap
Penduduk Sipil)
4) Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, and
relating to the Protection of Victims of International Armed Conflicts
(Protocol I/1977) (Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1949,
tentang Perlindungan terhadap Korban Konflik Bersenjata
Internasional tahun 1977)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
b. Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah buku-
buku, jurnal-jurnal, pendapat para sarjana yang berkaitan dengan
kewenangan Dewan Keamanan PBB dalam penyelesaian konflik suatu
negara.
5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum penelitian ini adalah studi
kepustakaan. Pada penelitian ini penulis mengkaji dan mempelajari Piagam
PBB, Konvensi Den Haag IV tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat,
Konvensi Jenewa IV tentang Perlindungan terhadap Penduduk Sipil, dan
Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1949, tentang Perlindungan terhadap
Korban Konflik Bersenjata Internasional tahun 1977 sebagai bahan hukum
primer. Penulis juga mengkaji dan mempelajari bahan hukum sekunder yang
berupa buku-buku, jurnal-jurnal, serta pendapat para sarjana yang berkaitan
dengan kewenangan dan tindakan nyata Dewan Keamanan PBB dalam
penyelesaian konflik suatu negara.
6. Teknik Analisis Bahan Hukum
Teknik analisis bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini
adalah dengan menggunakan metode deduksi. Penggunaan metode deduksi
berpangkal dari pengajuan premis mayor yakni aturan-aturan hukum yang
kemudian diajukan premis minor yakni fakta-fakta hukum, yang kemudian
ditarik suatu kesimpulan (Peter Mahmud Marzuki, 2006:47).
Premis mayor dalam penelitian ini adalah Piagam PBB sebagai norma
atau aturan dasar yang mengatur mengenai kewenangan Dewan Keamanan
PBB dalam menjalankan fungsi untuk memelihara perdamaian dan keamanan
internasional. Premis minor dalam penelitian ini adalah kewenangan dan
tindakan nyata Dewan Keamanan PBB sebagai upaya penyelesaian konflik
Libya. Kemudian kedua premis tersebut ditarik kesimpulan mengenai peran
Dewan Keamanan PBB dalam penyelesaian konflik Libya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
F. Sistematika Penulisan Hukum
Penulisan hukum ini terdiri dari empat bab, yaitu pendahuluan, tinjauan
pustaka, pembahasan, dan penutup serta dilengkapi daftar pustaka. Ada pun
sistematika penulisan hukum sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini menjelaskan mengenai latar belakang penulisan hukum
terkait dengan munculnya konflik Libya yang telah mengganggu
perdamaian dan keamanan internasional dan perlunya dilakukan
sebuah penelitian terkait peran Dewan Keamanan PBB dalam
penyelesaian konflik tersebut. Bab ini juga menguraikan
mengenai rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
metode penelitian, dan sistematika penulisan hukum.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini menjelaskan bahan kepustakaan yang digunakan berupa
teori-teori pendukung penelitian dan pembahasan masalah
penelitian. Bab ini dibagi ke dalam dua sub bab, yaitu kerangka
teori dan kerangka pemikiran. Kajian teoritis dalam tinjauan
pustaka meliputi : (1) Tinjauan Umum tentang PBB, yang terdiri
dari sejarah PBB, tujuan dan prinsip PBB, dan organ-organ utama
PBB ; (2) Tinjauan Umum tentang Dewan Keamanan PBB; (3)
Tinjauan Umum tentang Penyelesaian Sengketa Internasional
yang terdiri dari pengertian sengketa internasional dan cara-cara
penyelesaian sengketa internasional ; dan (4) Konflik Bersenjata
di Libya, yang terdiri dari pengertian konflik bersenjata,
pengaturan konflik bersenjata, dan konflik Libya 2011.
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini menyajikan jawaban dari rumusan masalah berupa hasil
penelitian sekaligus pembahasan terkait kewenangan Dewan
Keamanan PBB dalam penyelesaian konflik Libya, dan tindakan
nyata Dewan Keamanan PBB dalam penyelesaian konflik Libya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
BAB IV : PENUTUP
Bab ini menjelaskan simpulan dari hasil penelitian dan
pembahasan yang diperoleh dari analisis yang bersumber pada
hukum internasional maupun konsep dalam hukum humaniter
internasional. Bab ini juga berisikan saran yang dapat diambil dari
simpulan yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum Tentang PBB
a. Sejarah PBB
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) merupakan organisasi
internasional yang dibentuk akibat ketidakmampuan organisasi
pendahulunya yakni Liga Bangsa-Bangsa (LBB) untuk menjaga dan
memelihara perdamaian dan keamanan dunia. Pecahnya Perang Dunia I
pada tahun 1914-1919 merupakan saat-saat yang penting bagi tumbuhnya
organisasi internasional. Pasca Perang Dunia I muncul gagasan untuk
mendirikan organisasi internasional yang dapat menyelesaikan persoalan-
persoalan masyarakat internasional yang timbul pada waktu Perang Dunia
I. Gagasan ini diajukan oleh pemikir-pemikir dari Inggris dan Amerika
Serikat. Akhirnya pada tanggal 10 Januari 1920 lahirlah konvenen LBB
sekaligus perjanjian perdamaian untuk mengakhiri Perang Dunia I (Sri
Setianingsih Suwardi, 2004: 237).
Berdirinya LBB sebagai organisasi internasional untuk memelihara
perdamaian dan keamanan dunia, tidak menjadikan keadaan dunia benar-
benar aman. Sebaliknya, di mata negara-negara anggota LBB tidak
memiliki wibawa. Pekerjaan LBB tidak berjalan lancar, yang pada
akhirnya pecahlah Perang Dunia II pada tahun 1939-1945 (Safril Djamain,
1993: 5-7). Beberapa peristiwa menunjukan ketidakefektifan LBB untuk
mencegah terjadinya Perang Dunia II, seperti invansi yang dilakukan
Jepang ke Manchuria pada 18 September 1931 yang kemudian berlanjut
kepada China pada 7 Juli 1937. Selain itu serangan Italia ke Ethiopia pada
2 Oktober 1935, juga memicu pecahnya Perang Dunia II
(http://www.ushmm.org/, diakses 14 Agustus 2012).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
Berakhirnya Perang Dunia II pada tahun 1945 tidak menjadikan
keadaan dunia menjadi lebih aman dan damai. Dunia mulai dihadapkan
dengan kehidupan manusia yang mengenaskan akibat pecahnya Perang
Dunia II. Keadaan ini membuat para pemikir untuk mendirikan organisasi
internasional yang lebih sempurna yang bersifat universal. Sebagai
perwujudannya lahirlah Piagam Atlantik yang berisi pokok-pokok
rumusan perdamaian, yang sekaligus mendasari Deklarasi Bangsa-Bangsa
sedunia. Deklarasi Bangsa-Bangsa sedunia memerlukan penyempurnaan,
yang akhirnya melahirkan Piagam PBB (Safril Djamain, 1993: 9-10).
Piagam PBB disusun menjelang berakhirnya Perang Dunia II.
Piagam PBB disusun oleh 50 wakil negara yang mengadakan pertemuan
dalam Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai organisasi
internasional di San Fransisco pada 25 April – 26 Juni 1945. Pada 26 Juni
1945, Piagam PBB dicetuskan dan ditandatangani oleh 50 negara yang
ikut dalam konferensi (PBB, 1995: 4). Pengesahan Piagam PBB secara
resmi terjadi pada tanggal 24 Oktober 2945, yang dinyatakan juga sebagai
hari lahirnya PBB (Safril Djamain, 1993: 9-10).
b. Tujuan dan Prinsip-prinsip PBB
Sebagai organisasi internasional sudah pasti PBB mempunyai
tujuan dan prinsip-prinsip yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut.
Tujuan dan prinsip-prinsip tersebut dimuat dalam Pasal 1 dan 2 Piagam
PBB (Sri Setianingsih Suwardi, 2004: 269-270):
Pasal 1 Piagam PBB memuat tujuan PBB, yaitu:
1) Memelihara perdamaian dan keamanan internasional;
2) Mengembangkan hubungan persahabatan antarbangsa berdasarkan
prinsip-prinsip persamaan derajat;
3) Mencapai kerja sama internasional dalam memecahkan persoalan
internasional di bidang ekonomi, sosial dan kebudayaan serta masalah
kemanusiaan, hak-hak asasi manusia; dan
4) Menjadi pusat bagi penyelenggaraan segala tindakan-tindakan bangsa-
bangsa dalam mencapai tujuan bersama.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
Pasal 2 Piagam PBB memuat prinsip-prinsip PBB, yaitu:
1) PBB berdasarkan asas persamaan kedaulatan semua anggotanya;
2) Kewajiban untuk memenuhi kewajiban-kewajiban sesuai dengan apa
yang tercantum dalam Piagam;
3) Setiap perselisihan harus diselesaikan secara damai agar perdamaian
dan keamanan tidak terancam;
4) Mempergunakan kekerasan terhadap intergritas wilayah atau
kemerdekaan politik suatu negara harus dihindarkan;
5) Kewajiban untuk membantu PBB terhadap tiap kegiatan yang diambil
sesuai dengan Piagam dan larangan membantu negara dimana negara
tersebut oleh PBB dikenakan tindakan-tindakan pencegahan dan
pemaksaan;
6) Kewajiban bagi negara bukan anggota PBB untuk bertindak sesuai
dengan Piagam apabila dianggap perlu untuk perdamaian dan kemanan
internasional; dan
7) PBB tidak akan ikut campur tangan dalam masalah persoalan dalam
negeri dari negara anggotanya.
c. Organ Utama PBB
1) Majelis Umum (General Assembly)
Majelis Umum merupakan organ utama PBB dimana semua
negara anggotanya menjadi wakilnya, dimana setiap negara anggota
dapat mengirimkan wakilnya di Majelis Umum tidak boleh melebihi
lima orang. Ketentuan ini dimuat dalam Pasal 9 ayat (1) dan (2)
Piagam PBB (Sri Setianingsih Suwardi, 2004:280). Tugas dan
kewenangan Majelis Umum diatur dalam Bab IV Pasal 10-17 Piagam
PBB.
Majelis Umum mempunyai tujuh komite utama yang bertugas
untuk membahas agenda-agenda internasional. Setiap negara anggota
PBB mempunyai hak untuk mengirimkan wakilnya untuk menempati
salah satu komite tersebut (David Cushman Coyle, 1969:175).
Ketujuh komite tersebut antara lain Komite Perlucutan Senjata dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
Masalah Keamanan Internasional Terkait, Komite Politik Khusus,
Komite Masalah Ekonomi dan Keuangan, Komite Masalah Sosial,
Kemanusiaan, dan Kebudayaan, Komite Masalah Dekolonisasi,
Komite Masalah Adminitratif dan Anggaran, serta Komite Masalah
Hukum (PBB, 1995: 12).
2) Dewan Keamanan PBB
Dewan Keamanan PBB merupakan organ utama PBB yang
beranggotakan 15 negara anggota, yang terdiri dari 5 negara tetap dan
10 negara tidak tetap. Lima negara tetap ini adalah Amerika Serikat,
Rusia, China, Inggris, dan Prancis. Kelima negara tersebut memilki
hak untuk membatalkan atau menolak suatu keputusan yang disebut
dengan hak veto (Safril Djamain, 1993: 20). Dewan Keamanan PBB
memiliki tugas dan kewenangan yang diatur dalam Bab VII Pasal 39-
51 Piagam PBB, yang secara rinci akan dibahas pada tinjauan umum
tentang Dewan Keamanan PBB.
3) Sekretariat
Sekretariat merupakan organ utama PBB yang dikepalai oleh
seorang Sekretariat Jenderal (Sekjen). Tugas dan wewenang
Sekretaris Jendral menurut Piagam PBB antara lain (Sri Setianingsih
Suwardi, 2004: 300-303) :
a) Sebagai kepala sekretariat PBB, Sekjen mempunyai tugas untuk
mempersiapkan tugas-tugas kesekretariatan yang penting dan
diperlukan untuk sidang-sidang Majelis Umum, Dewan
Keamanan PBB, Dewan Ekonomi dan Sosial, Dewan Perwalian,
dan Badan-Badan Khusus yang dibentuk oleh PBB. Selain itu,
sekretariat mempunyai tugas untuk membuat laporan tahunan
hasil kerja PBB ke Majelis Umum.
b) Sebagai kepala eksekutif, Sekjen PBB mewakili PBB dalam
hubungan dengan negara anggota. Selain itu, Sekjen juga
menerima tugas-tugas khusus dari Majelis Umum atau Dewan
Keamanan PBB PBB yang tertuang dalam resolusi-resolusi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
c) Sebagai koordinator dalam tugas-tugas PBB, Sekjen
melaksanakan tugas dan mengkoordinasikan kegiatan dan
kebijakan yang telah ditetapkan PBB.
d) Sekjen dapat meminta perhatian Dewan Keamanan PBB
mengenai suatu hal yang menurut pendapatnya dapat
membahayakan perdamaian dan keamanan internasional.
Sekjen dapat juga berperan sebagai mediator atau dengan
secara harfiah dapat diartikan peran jasa baik atas kapasitas Sekjen
PBB dalam penyelesaian konflik internasional. Keberhasilan tugas dan
fungsi Sekjen sangat banyak tergantung pada kepemimpinan,
intelekrualitas, dan berani mengambil keputusan yang sulit sekalipun
serta tidak dekat dengan realitas kekuasaan politik (Ade Maman
Suherman, 2003:117).
4) Dewan Ekonomi dan Sosial
Dewan Ekonomi dan Sosial merupakan organ utama PBB yang
dibentuk atas dasar masalah kehidupan ekonomi dan sosial dapat
mempengaruhi perdamaian dan keamanan dunia (Sri Setaningsih
Suwardi, 2004: 306). Dewan Ekonomi dan Sosial merupakan organ
utama yang bekerja untuk memajukan standar kehidupan, kesehatan,
penghormatan hak asasi manusia, dan kerja sama dalam hal pendidikan
dan kebudayaan (David Cushman Coyle, 1969:177).
Tugas dan kewenangan Dewan Ekonomi dan Sosial terdapat
dalam Bab X Pasal 62-66 Piagam PBB, yaitu (Safril Djamain,
1993:24) :
a) Menyelidiki dan melaporkan keadaan ekonomi, sosial budaya,
pendidikan, kesehatan, dan lainnya yang berhubungan dengan
masalah ekonomi sosial dan menyampaikannya dalam sidang
Majelis Umum, maupun dalam badan-badan PBB lainnya dan
anggota-anggota PBB;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
b) Menyelenggarakan dan melaksanakan keputusan-keputusan sidang
Majelis Umum, serta melaksanakan pekerjaan atas permintaan
anggota atau organisasi khusus dengan persetujuan Majelis Umum;
c) Meminta laporan organisasi khusus negara anggota;
d) Memberikan komentar dan pendapat tentang laporan organisasi-
organisasi khusus PBB dan membicarakannya di dalam Sidang
Majelis Umum;
e) Mengusulkan segala sesuatu yang perlu untuk memperkuat hak
asasi manusia serta kebebasan dasar bagi setiap orang;
f) Mengadakan konferensi-konferensi internasional tentang hal-hal
yang ditanganinya, dengan persetujuan organisasi khusus yang
harus disahkan dalam sidang Majelis Umum; dan
g) Memenuhi permintaan Dewan Keamanan PBB.
Dewan Ekonomi dan Sosial juga berperan aktif dalam
menjembatani masalah kesenjangan di bidang teknologi informasi
(Ade Maman Suherman, 2003:121).
5) Dewan Perwalian
Dewan ini mempunyai tugas untuk membawahi negara-negara
yang diberi nama non-self governing territory. Wilayah-wilayah
tersebut ada dalam naungan PBB dalam proses dekolonisasi (Ade
Maman Suherman, 2003: 118). Dewan Perwalian bertindak
berdasarkan wewenang dari Majelis Umum, atau dalam hal “wilayah
strategis” di bawah wewenang Dewan Keamanan PBB (PBB, 1995:
20). Fungsi dan kewenangan Dewan Perwalian diatur dalam Bab XIII
Pasal 87 dan 88 Piagam PBB.
6) Mahkamah Internasional
Mahkamah internasional merupakan institusi internasional
yang mempunyai tugas menyelesaikan sengketa melalui judicial
settlement. Semua anggota PBB adalah anggota Mahkamah
Internasional. Negara yang bukan anggota PBB dapat ikut serta atas
rekomendasi Dewan Keamanan PBB. Mahkamah Internasional terdiri
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
dari 15 orang hakim yang dipilih oleh Majelis Umum dan Dewan
Keamanan PBB untuk masa jabatan 9 tahun dan dapat dipilih kembali,
yang memberikan suara secara independen (PBB, 1995: 22).
Setiap anggota PBB harus tunduk pada keputusan Mahkamah
Internasional. Bila para pihak yang bersengketa tidak mau
melaksanakan keputusan, dengan bantuan Dewan Keamanan PBB
dapat diupayakan pemaksaan dalam pelaksanaannya (Safril Djamain,
1993: 30).
2. Tinjauan Umum Tentang Dewan Keamanan PBB
Dewan Keamanan PBB merupakan salah satu organ utama PBB yang
memiliki kekuatan lebih dibandingkan dengan organ utama lainnya. Dewan
Keamanan PBB terdiri dari lima anggota tetap dan 10 anggota tidak tetap.
Anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB dipilih oleh Majelis Umum untuk
masa jabatan dua tahun (Safril Djamain, 1993: 18). Lima anggota tetap ini
adalah Amerika Serikat, Prancis, China, Rusia, dan Inggris. Kelima anggota
tetap ini memiliki hak istimewa untuk membatalkan atau menolak suatu
keputusan (Safril Djamain, 1993: 20).
Dewan Keamanan PBB mempunyai beberapa tugas dan kewenangan
yang terdapat dalam Bab VI dan Bab VII Piagam PBB. Tugas dan
kewenangannya antara lain membuat rekomendasi untuk penyelesaian
sengketa secara damai yang tercantum dalam Bab VI Pasal 36 Piagam PBB,
mengambil tindakan terhadap kegiatan yang mengancam perdamaian,
mengganggu perdamaian, dan tindakan agresi yang tercantum dalam Bab VII
Pasal 41 dan Pasal 42 Piagam PBB, memerankan peranan yang sangat penting
dalam pengembangan operasi penjaga perdamaian (Ade Maman Suherman,
2003:107).
Suatu permasalahan yang menimpa negara-negara tertentu dapat
dibawa pada Dewan Keamanan PBB untuk menemukan cara penyelesaiannya.
Pilihan pertama dan sederhana yang akan disarankan Dewan Keamanan PBB
pada pihak-pihak yang bersengketa adalah agar mereka menyelesaikan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
permasalahan tersebut dengan salah satu cara penyelesaian secara damai
(Sumaryo Suryokusumo, 1987: 9). Jika terdapat gerakan kekuatan bersenjata
yang bersifat mengancam atau serangan militer yang cenderung memperburuk
situasi, Dewan Keamanan PBB dapat datang kepada pihak-pihak yang
bersengketa untuk memberikan langkah-langkah sementara dengan suatu
pertimbangan (James Barros, 1990: 12).
Dewan Keamanan PBB sebagai salah satu organ utama PBB
mempunyai kebebasan untuk menentukan langkah-langkah yang akan diambil
untuk menjaga perdamaian dan keamanan internasional. Dewan Keamanan
PBB dapat menyerukan kepada pihak-pihak tertentu untuk mengambil
langkah-langkah sementara dan dapat memerintahkan ke seluruh arah dalam
mengambil tindakan bersama (Sumaryo Suryokusumo, 1987: 16). Langkah-
langkah yang mungkin digunakan Dewan Keamanan PBB ini bergeser mulai
dari interupsi hubungan-hubungan ekonomi berdasarkan Pasal 41 Piagam
PBB hingga pada penggunaan kekuatan-kekuatan darat, laut, dan udara
berdasarkan Pasal 42 Piagam PBB (James Barros, 1990:13).
Dewan Keamanan PBB mempunyai peran yang dominan dalam upaya
menciptakan perdamaian dan keamanan dunia, terutama dalam hal
penyelesaian sengketa internasional yang melanda negara-negara dunia. Salah
satu upaya yang dilakukan oleh Dewan Keamanan PBB adalah dengan
mengirimkan pasukan penjaga perdamaian. Piagam PBB tidak secara jelas
memberikan kewenangan kepada Dewan Keamanan PBB untuk membentuk
pasukan penjaga perdamaian, tetapi Mahkamah Internasional menyatakan
bahwa pembentukan dan pengiriman pasukan penjaga perdamaian ke Kongo
(ONUC) tidak melanggar kewenangan yang telah diberikan kepada Dewan
Keamanan PBB. Piagam PBB tidak memberikan larangan kepada Dewan
Keamanan PBB untuk membentuk pasukan penjaga perdamaian yang
didasarkan pada Pasal 29 Piagam PBB yang menyatakan bahwa Dewan
Keamanan PBB dapat membentuk suatu organ pendukung jika memang
dianggap perlu (International Court of Justice, 1962: 177). Sejak tahun 1948,
PBB telah menugaskan 56 kali penugasan pasukan penjagaan perdamaian, dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
41 diantaranya ditetapkan oleh Dewan Keamanan PBB dalam waktu 12 tahun
terakhir (Ade Maman Suherman, 2003: 108). Dewan Keamanan PBB
mempunyai hak untuk mendesak pasukan penjagaan perdamaian untuk
mengambil tindakan pencegahan perang sipil di dalam suatu negara. Hal ini
terjadi dalam kasus Kongo pada tahun 1960. Dewan Keamanan PBB
memberikan perintah kepada para pasukan penjagaan perdamaian untuk
mengambil segala tindakan untuk pencegahan perang saudara di Kongo.
Seperti yang ditulis oleh Christian Pippan (2011: 162) :
A notable exception was the case of Congo (now DRC). In 1960,
after the killing of Patrice Lumumba and other Congolese leaders in
the course of a coup against the country’s first elected government,
the Council declared the situation a threat to international peace and
urged a UN peacekeeping force to take “all appropriate measures to
prevent the occurrence of civil war in the Congo … including the use
of force, if necessary.
Selain tugas dan kewenangan tersebut, Dewan Keamanan PBB
mempunyai beberapa fungsi sebagai kunci dalam menciptakan perdamaian
dan keamanan dunia, yang antara lain (PBB, 1995: 14-15):
a. Menjaga perdamaian dan keamanan internasional sesuai dengan prinsip
dan tujuan PBB;
b. Menyelidiki pertikaian apa saja, atau keadaan yang dianggap bisa
menyebabkan pertentangan internasional;
c. Memberikan rekomendasi mengenai metode-metode penyelesaian
pertikaian atau ketentuan-ketentuan penyelesaian;
d. Memformulasikan rencana pembentukan satu sistem untuk mengatur
persenjataan;
e. Menentukan adanya ancaman terhadap perdamaian atau tindakan agresi
dan merekomendasikan tindakan apa yang harus diambil;
f. Menyerukan kepada negara-negara anggota untuk melaksanakan sanksi-
sanksi ekonomi dan tindakan lain tanpa menggunakan kekerasan untuk
mencegah atau menghentikan agresi;
g. Mengambil tindakan militer terhadap agressor;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
h. Merekomendasikan diterimanya anggota baru dan jangka waktu dimana
negara bisa menjadi pihak dari Statuta Mahkamah Internasional;
i. Melaksanakan fungsi perwalian dari wilayah-wilayah strategis PBB; dan
j. Merekomendasikan kepada Majelis Umum pengangkatan Sekretaris
Jendral, dan bersama-sama dengan Majelis Umum, memilih para hakim
Mahkamah Internasional.
Pasal 34 menetapkan bahwa Dewan Keamanan PBB dapat menjalan
suatu penyelidikan untuk tujuan memutuskan apakah sebuah perselisihan atau
situasi tersebut cukup serius atau tidak (James Barros, 1990: 47). Dewan
Keamanan PBB akan menganjurkan kepada pihak-pihak yang terlibat dalam
suatu perselisihan untuk mencari permufakatan melalui cara damai. Di dalam
beberapa hal, Dewan Keamanan PBB sendiri akan melakukan penyelidikan
dan perundingan (PBB, 1995: 16).
Dalam menjalankan tugasnya untuk memelihara perdamaian dan
keamanan dunia, Dewan Keamanan PBB dibantu oleh beberapa panitia, yaitu
Panitia Staf Militer, Panitia Perlucutan Senjata, dan Pasukan PBB (Safril
Djamain, 1993: 20). Panitia Staf Militer (Military Staff Comitte) mempunyai
kewajiban untuk membantu Dewan Keamanan PBB dalam merumuskan
rencana-rencana pembentukan pengaturan persenjataan yang kemudian
diajukan kepada anggota-anggota organisasi (James Baros, 1990: 13).
Dewan Keamanan PBB mempunyai kewenangan untuk memberikan
rekomendasi kepada Majelis Umum dalam hal penerimaan negara menjadi
anggota PBB (James Baros, 1990: 42). Negara yang akan menjadi anggota
PBB haruslah memenuhi syarat-syarat tertentu, termasuk kemauan dan
kesanggupan menjalankan kewajiban-kewajiban keanggotaan. Oleh karena
itu, keanggotaan PBB tidaklah bersifat otomatis. Hal ini juga berlaku untuk
pengeluaran negara dari keanggotaan PBB. Suatu negara yang terus-menerus
melanggar prinsip-prinsip yang tercantum di dalam Piagam bisa dikeluarkan
dari PBB oleh Majelis Umum berdasarkan rekomendasi Dewan Keamanan
PBB (PBB, 1995: 16).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
Dewan Keamanan PBB dapat mengambil tindakan-tindakan tertentu
untuk menjaga perdamaian dan keamanan dunia. Dewan Keamanan PBB
dapat mengeluarkan perintah penghentian tembak-menembak bila sengketa
telah menjurus kepada peperangan dan mencegah kemungkinan meluas pada
daerah lain, melakukan tindakan pemaksaan, pengenaan sanksi ekonomi,
embargo atau lainnya, serta mengirim pasukan pemeliharaan perdamaian ke
daerah sengketa (Safril Djamain, 1993: 19).
Dewan Keamanan PBB mempunyai hak untuk menjatuhkan sanksi
terhadap negara-negara anggota PBB. Penjatuhan sanksi oleh Dewan
Keamanan PBB didasarkan pada tiga hal yang tercantum dalam Pasal 39 Bab
VII Piagam PBB. Pertama, jika negara itu mengadakan tindakan-tindakan
yang mengancam perdamaian dunia. Kedua, jika melanggar perdamaian.
Ketiga, jika negara itu melancarkan suatu agresi terhadap negara lain
(Sumaryo Suryokusumo, 1997: 21). Sanksi yang dijatuhkan Dewan Keamanan
PBB dapat berupa dua hal, yaitu sanksi ekonomi dan sanksi militer. Sanksi
ekonomi ini dimaksudkan agar negara yang bersangkutan tidak dapat
memperoleh kebutuhan-kebutuhannya, sehingga mau tidak mau harus
menuruti keputusan Dewan Keamanan PBB. Sanksi militer merupakan upaya
akhir jika sanksi ekonomi tidak membuat negara yang bersangkutan menuruti
keputusan Dewan Keamanan PBB (Sumaryo Suryokusumo, 1997: 21-22).
Secara langsung, Dewan Keamanan PBB belum pernah memerintahkan
penggunaan langkah-langkah militer untuk dijatuhkan terhadap suatu negara.
Perintah pengunaan tindakan militer hampir terjadi pada saat krisis Kongo
(James Baros, 1990: 53).
Dewan Keamanan PBB mempunyai peranan dalam penunjukan
Sekretaris Jendral PBB. Piagam PBB memberikan Sekretaris Jendral tanggung
jawab politik. Peranan Dewan Keamanan PBB dalam penunjukkan Sekretaris
Jendral ini dikaitkan dengan alasan adanya keterkaitan dengan pertimbangan-
pertimbangan perdamaian dan keamanan yang merupakan bagian dari tugas
Sekjen (James Barros, 1990: 43). Selain peranan dalam penunjukan Sekretaris
Jendral PBB, Dewan Keamanan PBB juga mempunyai peranan dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
pemilihan para hakim Mahkamah Internasional. Kewenangan dalam
pemilihan para hakim Mahkamah Internasional ini diamanatkan oleh Statuta
kepada Dewan Keamanan PBB yang dilakukan bersama-sama dengan Majelis
Umum (James Baros, 1990: 44).
Keputusan Dewan Keamanan PBB dibedakan menjadi dua hal, yaitu
keputusan untuk permasalahan prosedural dan permasalahan non-prosedural.
Pengambilan keputusan untuk masalah prosedural ditetapkan dengan suara
sembilan anggota. Untuk masalah non-prosedural pengambilan keputusan
ditetapkan dengan suara sembilan anggota termasuk suara anggota tetap
Dewan Keamanan PBB. Masalah non-prosedural adalah masalah yang
menyangkut penyelesaian sengketa dan tindakan untuk kekerasan (Sri
Setianingsih Suwardi, 2004: 293).
Keputusan Dewan Keamanan PBB yang menyangkut penyelesaian
sengketa secara damai, dapat menimbulkan dua kemungkinan.
Kemungkinannya adalah keputusan Dewan Keamanan PBB tersebut akan
dipatuhi oleh para pihak terkait atau sebaliknya. Seperti yang dituliskan oleh
Derek Bowet dalam The Impact of Security Council Decisions on Dispute
Settlement Procedures, “There are two possible situations: a Security Council
decisions is either irrebutable, or rebutable. The merits, or demerits, of these
alternatives need to be examines separately” (Derek Bowet, 1994: 90).
Berdasarkan tinjauan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
Dewan Keamanan PBB sebagai organ utama PBB mempunyai kewenangan
untuk mengambil segala tindakan dalam konteks menjaga perdamaian dan
keamanan dunia dan memberikan rekomendasi kepada Majelis Umum untuk
pengangkatan Sekretaris Jendral serta penganggakatan hakim Mahkamah
Internasional. Tindakan Dewan Keamanan PBB dalam menjaga perdamaian
dan keamanan dunia dapat berupa penyelidikan terhadap suatu pertikaian,
pemberian rekomendasi penyelesaian kepada pihak-pihak yang bertikai,
membentuk pasukan perdamaian untuk pertikaian tertentu yang dialami oleh
suatu negara, serta memberikan sanksi baik secara ekonomi atau militer
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
kepada pihak-pihak yang tidak tunduk kepada keputusan yang telah
dikeluarkan oleh Dewan Keamanan PBB.
3. Tinjauan Umum Tentang Penyelesaian Sengketa Internasional
a. Pengertian Sengketa Internasional
Sengketa merupakan hal yang tidak dapat dihindari oleh setiap
orang. J.G Starke memberikan pengertian sengketa internasional sebagai
sengketa yang bukan hanya mencakup sengketa antar negara, melainkan
juga kasus-kasus lain yang berada dalam lingkup internasional (J.G Starke,
2001: 645). Sengketa internasional juga dapat diartikan sebagai
perselisihan yang terjadi antara negara dengan negara, negara dengan
individu-individu, atau negara dengan badan atau lembaga internasional
(http://isfanl.blogspot.com/ diakses 4 Juli 2012).
Dalam studi hukum internasional publik dikenal dua macam
sengketa internasional, yaitu sengketa hukum dan sengketa politik.
Sengketa politik merupakan sengketa dimana suatu negara mendasarkan
tuntutannya atas pertimbangan non yuridik. Sedangkan sengketa hukum
merupakan sengketa dimana suatu negara mendasarkan sengketa atau
tuntutannya atas ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam suatu perjanjian
atau yang telah diakui oleh hukum internasional (Boer Mauna, 2011: 195).
Terdapat tiga doktrin yang berkembang mengenai gambaran mengenai
sengketa hukum dan politik, yaitu (Huala Adolf, 2004: 4-5) :
1) Friedmann memberikan konsepsi mengenai sengketa hukum, yang
antara lain:
a) Sengketa hukum adalah perselisihan antarnegara yang mampu
diselesaikan oleh pengadilan dengan menerapkan aturan-aturan
hukum yang ada atau sudah pasti.
b) Sengketa hukum bersifat mempengaruhi kepentingan negara seperti
integritas wilayah dan kehormatan atau kepentingan lainnya dari
suatu wilayah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
c) Sengketa hukum adalah sengketa dimana penerapan hukum
internasional yang ada, cukup menghasilkan suatu putusan yang
sesuai dengan keadilan antarnegara dengan perkembangan progresif
hubungan internasional.
d) Sengketa hukum adalah sengketa yang berkaitan dengan
persengketaan hak-hak hukum yang dilakukan melalui tuntutan yang
menghendaki suatu perubahan atas suatu hukum yang telah ada.
2) Waldock tidak memberikan konsepsi secara khusus mengenai sengketa
hukum dan sengketa politik. Ia hanya menyatakan bahwa penentuan
suatu sengketa sebagai sengketa hukum atau politik bergantung
sepenuhnya kepada para pihak yang terlibat dalam sengketa.
3) Oppenheim dan Kelsen tidak memberikan pembenaran ilmiah dan dasar
kriteria objektif yang mendasari pembedaan antara sengketa politik dan
hukum. Menurut mereka setiap sengketa memiliki aspek politis dan
hukumnya.
Berdasarkan pengertian mengenai sengketa internasional di atas,
maka dapat ditarik kesimpulan bahwa sengketa internasional merupakan
perselisihan yang terjadi antara subjek-subjek hukum dalam lingkup
internasional.
b. Cara- Cara Penyelesaian Sengketa Internasional
Secara umum terdapat dua metode penyelesaian sengketa
internasional, yaitu:
1) Penyelesaian sengketa secara damai, yaitu apabila para pihak telah
menyepakati untuk menemukan suatu solusi yang bersahabat (J.G
Starke, 2001: 646). Penyelesaian sengketa secara damai dapat
ditempuh dengan berbagai cara, seperti melalui jalur diplomatik,
arbitrase internasional, pengadilan internasional, dan organisasi
internasional. Berikut penjelasan mengenai cara-cara penyelesaian
sengketa secara damai :
a) Penyelesaian sengketa melalui jalur diplomatik, yang dapat
ditempuh dengan beberapa cara, yaitu (Huala Adolf, 2004: 26-38) :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
(1) Negoisasi adalah perundingan yang diadakan secara langsung
antara para pihak dengan tujuan untuk mencari penyelesaian
melalui dialog tanpa melibatkan pihak ketiga.
(2) Pencari fakta adalah cara penyelesaian sengketa secara damai
dengan cara para pihak yang bersengketa menunjuk suatu
badan independen untuk menyelidiki fakta-fakta yang
menjadi sebab sengketa.
(3) Jasa baik adalah cara penyelesaian sengketa melalui atau
dengan bantuan pihak ketiga. Dalam jasa baik, pihak ketiga
tidak ikut secara langsung dalam perundingan-perundingan,
tetapi hanya menyiapkan dan mengambil langkah-langkah
yang diperlukan agar negara-negara yang bersengketa
bertemu satu sama lain dan merundingkan sengketanya (Boer
Mauna, 2011: 198).
(4) Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui pihak
ketiga, yang disebut sebagai mediator. Mediator dapat berupa
negara, organisasi internasional atau pun individu. Dalam hal
mediasi, pihak ketiga mempunyai suatu peran yang lebih
aktif dan ikut serta dalam perundingan, namun usulan-usulan
yang diberikan oleh pihak ketiga tidak mengikat para pihak
yang bersengketa (J.G Starke, 2001: 672).
(5) Konsiliasi adalah penyelesaian sengketa oleh pihak ketiga
atau oleh suatu komisi yang dibentuk oleh para pihak. Komisi
tersebut disebut dengan komisi konsiliasi. Komisi konsiliasi
tidak hanya bertugas untuk mempelajari fakta-fakta akan
tetapi juga harus mempelajari sengketa dari semua segi agar
dapat merumuskan suatu penyelesaian (Boer Mauna, 2011:
212).
b) Penyelesaian melalui Arbitrase Internasional Publik
Mahkamah arbitrase tetap didirikan pada tahun 1990 yang
berkesesuaian dengan Konvensi Den Haag 1907. Pengertian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
arbitrase itu sendiri adalah penyerahan sengketa kepada orang-
orang tertentu yang disebut sebagai arbitrator, yang dipilih secara
bebas oleh para pihak, yang memutuskan sengketa tanpa terikat
pada pertimbangan-pertimbangan hukum (J.G Starke, 2011: 647).
Pengadilan arbitrase dapat berbentuk pengadilan dengan hakim
tunggal atau tribunal kolegial (D.J Harris, 1998: 987).
c) Penyelesaian melalaui Pengadilan Internasional
Pengadilan internasional dapat dibagi menjadi dua kategori,
yaitu pengadilan internasional permanen dan ad hoc. Contoh dari
pengadilan internasional permanen adalah Mahkamah
Internasional. Mahkamah internasional terdiri dari 15 orang hakim
yang dipilih berdasarkan suara mayoritas mutlak dalam suatu
pertemuan secara bersamaan tetapi terpisah di Dewan Keamanan
PBB dan Majelis Umum (Huala Adolf, 2004: 64). Berdasarkan
Pasal 36 ayat 1 Statuta, yurisdiksi pengadilan internasional
mencakup seluruh sengketa yang diserahkan oleh para pihak dan
semua persoalan yang ditetapkan dalam Piagam PBB yang
dituangkan dalam perjanjian-perjanjian atau konvensi-konvensi
internasional yang berlaku.
d) Penyelesaian melalui organiasi internasional
Penyelesaian sengketa melalui organisasi dapat dilakukan
dalam lingkup regional maupun internasional. Salah satu contoh
penyelesaian sengketa melalui organisasi regional adalah
penyelesaian melalui Association Southeast Asian Nation
(ASEAN).
Penyelesaian melalui organisasi global juga dapat
dilakukan melalui PBB atau organisasi internasional lainnya. PBB
mendorong agar sengketa dapat diselesaikan melalui cara-cara
damai. Bab VI Piagam PBB menguraikan lebih lanjut mengenai
penyelesaian sengketa secara damai. Dalam upaya untuk
menciptakan perdamaian dan keamanan internasional PBB
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
memiliki empat kelompok tindakan, yang antara lain (Huala Adolf,
2004: 95-97) :
(1) Preventive Diplomacy, yaitu suatu tindakan untuk mencegah
timbulnya suatu sengketa diantara para pihak, mencegah
meluasnya suatu sengketa, atau membatasi perluasan
sengketa.
(2) Peace Making, yaitu tindakan untuk membawa para pihak
yang bersengketa untuk saling sepakat, khususnya melalui
cara-cara damai seperti dalam Bab VI Piagam PBB.
(3) Peace Keeping, yaitu tindakan untuk mengerahkan kehadiran
PBB dalam pemeliharaan perdamaian dengan kesepakatan
para pihak yang berkepentingan.
(4) Peace Building, yaitu tindakan untuk mengidentifikasi dan
mendukung struktur-struktur yang ada guna memperkuat
perdamaian untuk mencegah suatu konflik yang telah
didamaikan berubah kembali menjadi konflik.
Selain empat kelompok tindakan PBB diatas, terdapat satu
istilah tindakan PBB yang diperkenalkan oleh seorang sarjana
Amerika Latin, Eduardo Jimenez De Arechaga. Istilah tersebut
dikenal dengan peace enforcement, yaitu wewenang Dewan
Keamanan PBB berdasarkan Piagam PBB untuk menentukan
adanya suatu tindakan yang merupakan ancaman terhadap
perdamaian atau adanya suatu tindakan agresi.
2) Penyelesaian sengketa secara paksa atau dengan kekerasan, yaitu
apabila solusi yang dipakai atau dikenakan adalah melalui kekerasan
(J.G Starke, 2001: 646). Penyelesaian sengketa secara paksa atau
dengan cara kekerasan dapat ditempuh dengan berbagai cara yang
antara lain (J.G Starke, 2001: 679-685) :
a) Perang dan tindakan bukan perang
Istilah perang disamakan dengan konflik bersenjata. Perang
merupakan pertikaian yang terjadi antara dua pihak atau lebih,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
dimana masing-masing pihak mengangkat senjata. Sedangkan
Tindakan Bersenjata Bukan Perang merupakan adanya
penggunaan kekerasan senjata akan tetapi belum sampai kepada
ketegori perang.
b) Retorsi adalah istilah teknis untuk pembalasan dendam oleh suatu
negara terhadap tindakan-tindakan tidak pantas atau tidak patut
dari negara lain, balas dendam tersebut dilakukan dalam bentuk
tindakan-tindakan sah yang tidak bersahabat di dalam konferensi
negara yang kehormatannya dihina. Restorsi dapat berwujud
pemutusan hubungan diplomatik, pencabutan hak-hak istimewa
diplomatik. penarikan konsesi pajak/tarif, penghentian bantuan
ekonomi.
c) Reprisal (tindakan pembalasan) adalah metode-metode yang
dipakai oleh negara-negara untuk mengupayakan diperolehnya
ganti rugi dari negara lain dengan melakukan tindakan-tindakan
yang bersifat pembalasan atau tindakan pembalasan yang
dilakukan oleh suatu negara yang melanggar hukum dalam suatu
sengketa. Repisal dilakukan dengan syarat bahwa sasaran reprisal
adalah negara yang telah melakukan pelanggaran hukum
internasional. Kemudian negara yang melakukan pelanggaran
diminta terlebih dulu untuk memenuhi ganti rugi atas
tindakannya dan telah diperingatkan.
d) Blokade damai adalah suatu tindakan yng dilakukan pada waktu
damai dan kadang digolongkan sebagai suatu pembalasan ada
beberapa manfaat nyata dalam penggunaan blokade secara
damai. Tindakan ini merupakan cara tindakan yang jauh dari
kekerasan dibanding dengan perang. Pada umumnya blokade
dilakukan di pelabuhan, blokade kota, bandar penerbangan, yang
bertujuan untuk memaksa negara yang pelabuhan, kota, atau
bandar udaranya diblokade untuk menaati permintaan ganti rugi
atas kerugian yang diderita negara yang memblokade.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
e) Intervensi merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh suatu
negara untuk mencampuri urusan dalam negeri negara lain.
Intervensi merupakan hal yang dilarang, hal tersebut secara jelas
dinyatakan dalam Pasal 2 ayat 7 Piagam PBB. Namun Pasal 2
ayat 7 Piagam PBB memberikan pengecualian terhadap
penerapan tindakan Dewan Keamanan PBB yang dicantumkan
dalam Bab VII Piagam PBB. Menurut Hyde yang dijelaskan oleh
Mahkamah Pidana Internasional, intervensi tidak dilarang jika
campur tangan yang dilakukan oleh negara lain tidak
bertentangan dengan kepentingan negara terkait (J.G. Starke,
2001: 136).
4. Konflik Bersenjata di Libya
a. Pengertian Konflik Bersenjata
Istilah konflik bersenjata merupakan istilah baru sebagai pengganti
istilah perang. Oppenheim Lauterpacht memberikan pengertian, War is
contention between two or more states thought their armed forces, for the
purpose of overpowering each other and imposing such conditions of
peace as the victor pleases (Fadilah Agus, 1997: 2). Pernyataan tersebut
memberikan memberikan pengertian bahwa perang adalah pertentangan
yang terjadi antara dua negara atau lebih, dimana masing-masing pihak
menggunakan kekuatan bersenjata dengan tujuan untuk menentukan
pemenang dari pertentangan tersebut.
Secara tradisional perang adalah penggunaan kekerasan yang
terorganisasi oleh unit-unit politik dalam sistem internasional. Perang akan
terjadi apabila negara-negara dalam situasi konflik dan saling bertentangan
merasa bahwa tujuan eksklusif mereka tidak bisa dicapai (Ambarwati,
Denny Ramdhani, dan Rina Rusman, 2010: 2). Geoffrey Best memberikan
pengertian, perang adalah penggunaan kekerasan yang tinggi yang dapat
menyebabkan pembataian dan penghancuran masyarakat, dan setiap orang
maupun negara selalu ingin menghindarinya (Geoffrey Best,1994: 253).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
Pernyataan tersebut memberikan pengertian bahwa perang adalah tindakan
dalam bentuk kekerasan yang mengakibatkan penghacuran terhadap
masyarakat secara keseluruhan, yang sebaiknya harus dihindari.
Berdasarkan pengertian konflik bersenjata di atas, maka dapat
ditarik kesimpulan konflik bersenjata adalah konflik dengan menggunakan
kekuatan bersenjata di dalam suatu wilayah dimana penggunaan kekuatan
bersenjata sangat tinggi. Konflik bersenjata dapat diklasifikasikan menjadi
dua, yaitu:
1) Konflik Bersenjata Internasional (International Armed Conflict)
Konflik bersenjata internasional dinyatakan dalam ketentuan
yang bersamaan dari Pasal 2 Konvensi-konvensi Jenewa 1949 sebagai
sengketa bersenjata yang melibatkan dua negara atau lebih, baik
sebagai perang yang diumumkan maupun apabila pernyataan perang
tersebut tidak diakui oleh salah satu dari mereka (Ambarwati, Denny
Ramdhani, dan Rina Rusman, 2010: 56-57).
Pasal 1 ayat 4 Protokol Tambahan I 1977 menetapkan situasi
yang disamakan dengan sengketa bersenjata internasional sebagai
berikut:
The situations reffered to in the preceding paragraph include
armed conflict in which peoplea are fighting against colonial
domination and alien occupation and against racist regime in
the exercise of their right of self determination, as enshrined
in the Charter of the United Nations and the Declaration on
Principles of International Law concerning Friendly
Realtions and Co-operation among States in accordance with
the Charter of the United Nations (Fadillah Agus, 1997: 4-5).
Ketentuan dari pasal tersebut menetapkan bahwa perlawanan
terhadap pendudukan asing dan dominasi kolonial merupakan situasi
yang disamakan dengan konflik bersenjata internasional. Selain dua
situasi diatas, internasionalisasi konflik internal (internationalized
armed conflict) juga disamakan dengan konflik bersenjata
internasional. Internasionalisasi konflik internal merupakan konflik
internal yang diberikan unsur internasional. Keadaan tersebut termasuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
dalam konflik internal antara dua pihak dimana masing-masing pihak
didukung oleh negara-negara yang berbeda dan konflik bersenjata
yang melibatkan intervensi asing untuk mendukung pemberontak
melawan pemerintah (James G. Stewart, 2003: 315). Situasi yang
demikian disebut juga dengan konflik bersenjata internasional semu.
2) Konflik Bersenjata Non-Internasional (Non-international Armed
Conflict).
Tidak ada definisi yang disepakati oleh negara-negara mengenai
konflik bersenjata non internasional dalam kententuan Konvensi
Jenewa 1949 maupun Protokol II/1977. Pada Protokol II/1977 hanya
memberikan kriteria konflik bersenjata non-internasional.
Sengketa bersenjata non-internasional yang dimaksud dalam
Protokol II/1977 adalah sengketa bersenjata yang terjadi di dalam
wilayah suatu negara antara pasukan bersenjata negara dengan pasukan
bersenjata pemberontak atau dengan kelompok bersenjata terorganisasi
yang berada di bawah komando yang bertanggungjawab,
melaksanakan kendali sedemikian rupa atas sebagian dari wilayahnya
sehingga memungkinkan kelompok tersebut melakukan operasi militer
serta menerapkan aturan Hukum Humaniter Internasional (Ambarwati,
Denny Ramdhani, dan Rina Rusman, 2010: 60).
Selain dua klasifikasi konflik bersenjata di atas, dikenal juga istilah
gangguan dan ketegangan dalam negeri (internal disturbances and
tension). Pengertian gangguan dan ketegangan dalam negeri tidak dimuat
dalam konvensi-konvensi hukum humaniter internasional, karena menurut
hukum humaniter internasional gangguan dan ketegangan dalam negeri
tidak termasuk dalam konflik bersenjata. Robert Kogod Goldman (1993:
54) dalam “International Humanitarian Law: American Watch’s
Experience In Monitoring Internal Armed Conflicts” memberikan contoh
gangguan dan ketegangan dalam negeri sebagai berikut :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
example of tension and disturbances are riots, such as
demonstrations without a concerted plan from the outset;
isolated sporadic acts of violence, as opposed to military
operations carried out by armed force or armed groups; and
other acts of a similar nature, including, in particular, large
scale arrests of persons for their activities or opinions.
Gambaran secara umum mengenai gangguan dan ketegangan
dalam negeri dimuat dalam Commentary Protocol II/1977 sebagai berikut
(Fadillah Agus, 1997:10-11) :
As regards internal tensions, these could be said to include in
particular situations of serious tension (political, religious,
racial, social, economic, etc), but also the sequels of armed
conflict or of internal disturbances. Such situation have one or
more of the following characteristics, if not all at the same time:
a) Large scala arrests;
b) A large number of political prisoners;
c) The probable existence of ill treatment or inhume condition
of detention;
d) The suspension of fundamental judicial guaranties, either as
part of the promulgation of a state of emergency or simply as
a matter of fact;
e) Allegation of disappeareances.
b. Pengaturan Konflik Bersenjata
1) Hukum Den Haag
Hukum Den Haag merupakan aturan tentang alat dan cara
berperang. Hukum Den Haag dihasilkan pada tahun 1907 sebagai
penyempurnaan konferensi perdamaian pertama pada tahun 1899
(Haryomataram, 2007: 45-46).
Pada garis besarnya Hukum Den Haag menetapkan bahwa para
pihak yang terlibat dalam peperangan tidak mempunyai kebebasan
mutlak dalam memenangkan peperangan. Karenanya dalam
menggunakan alat senjata yang menghancurkan pihak lawan ada
pembatasan-pembatasan tertentu (Masyhur Effendi, 1994: 30-31).
Dalam konferensi Den Haag 1907 dihasilkanlah 13 konvensi
dan satu deklarasi, yang antara lain (Haryomataram, 2007: 47-48) :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
a) Konvensi I tentang Penyelesaian Damai Persengketaan
Internasional;
b) Konvensi II tentang Pembatasan Kekerasan Senjata dalam
Menuntut Pembayaran Hutang yang Berasal dari Perjanjian
Perdata;
c) Konvensi III tentang Cara Memulai Peperangan;
d) Konvensi IV tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat,
dilengkapi dengan Peraturan Den Haag;
e) Konvensi V tentang Hak dan Kewajiban Negara dan Warga
Negara Netral dalam Perang di Darat;
f) Konvensi VI tentang Status Kapal Dagang Musuh pada Saat
Permulaan Peperangan;
g) Konvensi VII tentang Status Kapal Dagang menjadi Kapal Perang;
h) Konvensi VIII tentang Penempatan Ranjau Otomatis di dalam
Laut;
i) Konvensi IX tentang Pemboman oleh Angkatan Laut di Waktu
Perang;
j) Konvensi X tentang Adaptasi Asas-asas Konvensi Jenewa tentang
Perang di Laut;
k) Konvensi XI tentang Pembatasan Tertentu terhadap Penggunaan
Hak Penangkapan dalam Perang Angkatan Laut;
l) Konvensi XII tentang Mahkamah Barang-barang Sitaan; dan
m) Konvensi XIII tentang Hak dan Kewajiban Negara Netral dalam
Perang di Laut.
Dan satu deklarasi yang dihasilkan yaitu Declaration XIV Prohibiting
the Discharge of Projectiles and Explosives from Baloons.
2) Hukum Jenewa 1949
Hukum Jenewa 1949 merupakan aturan tentang perlindungan
korban perang, yang disebut juga dengan konvensi-konvensi Palang
Merah. Konvensi ini terdiri dari empat buku, yaitu (Haryomataram,
2007: 48):
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
a) Konvensi Jenewa 1949 mengenai Perbaikan Keadaan Anggota
Angkatan Perang yang Luka dan Sakit di Medan Pertempuran
Darat;
b) Konvensi Jenewa 1949 mengenai Perbaikan Keadaan Anggota
Angkatan Perang di Laut yang Luka, Sakit, dan Korban Karam;
c) Konvensi Jenewa 1949 mengenai Perlakuan Tawanan Perang; dan
d) Konvensi Jenewa 1949 mengenai Perlindungan Orang-orang Sipil
di Waktu Perang.
Pada prinsipnya Hukum Jenewa merupakan lanjutan serta menambah
atau melengkapi ketentuan-ketentuan Hukum Den Haag (Masyhur
Effendi, 1994: 34).
3) Protokol Tambahan 1977
Protokol Tambahan 1977 merupakan penambahan dan
penyempurnaan dari ketentuan Konvensi Jenewa 1949. Protokol
Tambahan 1977 terdiri dari dua buku, yaitu (Haryomataram, 2007: 49-
50) :
a) Protokol Tambahan I, yang mengatur konflik bersenjata yang
bersifat internasional; dan
b) Protokol Tambahan II, yang mengatur konflik bersenjata yang
bersifat non-internasional.
Penambahan tersebut dimaksudkan sebagai penyesuaian terhadap
perkembangan pengertian sengketa bersenjata, pentingnya
perlindungan yang lebih lengkap bagi mereka yang luka, sakit, dan
korban dalam suatu peperangan, serta antisipasi terhadap
perkembangan mengenai alat dan cara berperang (Arlina Permanasari,
1999: 33).
c. Koflik Libya 2011
Libya adalah sebuah negara yang terletak di bagian utara Afrika.
Secara geografis, Libya berbatasan dengan Laut Tengah di bagian utara,
Mesir di bagian timur, Sudan di bagian tenggara, Chad dan Niger di
bagian selatan, serta Aljazair dan Tunisia di bagian barat. Pada awal
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
terbentuk tahun 1951 Libya adalah sebuah kerajaan yang dipimpin oleh
Raja Idris I.
Pada tahun 1969, Moamar Qaddafi melakukan kudeta terhadap
pemimpin Libya, Raja Idris I. Semula kudeta berdarah yang dilakukan
Moamar Qaddafi adalah rencana para perwira senior yang berniat untuk
menggulingkan Raja Idris I. Namun, Moamar Qaddafi dan teman-
temannya berhasil untuk menangkap para perwira senior tersebut dan
mengambil alih rencana tersebut (Abdul Syukur, 2011: 109). Tindakan
kudeta ini membuat Moamar Qaddafi berhasil menjadi pemimpin Libya
yang menguasai istana Raja Idris I, kantor-kantor pemerintahan, stasiun
radio dan TV, serta surat kabar.
Moamar Qaddafi menerapkan sistem sosialisme-islam dalam
menjalankan pemerintahannya. Ia menjadikan Libya sebagai negara
antibarat radikal. Terbukti ia mendukung penuh perjuangan Palestina
melawan Israel (Apriadi Tamburaka, 2011: 219). Selain itu, ia mendukung
kelompok teroris, termasuk kelompok IRA di Irlandia Utara, The Black
Panther and The Nation of Islam, dan Carlos the Jackal di Amerika
Serikat (Abdul Sykur, 2011: 110). Hal ini menjadikan hubungan Libya
dengan negara barat seperti Amerika Serikat memburuk.
Libya yang terkenal dengan kekayaan minyak, tidak membuat
rakyat Libya hidup dengan kemakmuran dan kesejahteraan. Sebaliknya
rakyat Libya dilanda kemiskinan berkepanjangan. Sekitar 50% dari total
penduduk usia produktif sulit untuk mencari pekerjaan yang seperlima
lapangan pekerjaan dipegang ekspariat dari sejumlah negara, dan sekitar
88% dari total penduduk yang hidup di perkotaan hidup di bawah garis
kemiskinan (Apriadi Tamburaka, 2011: 221). Selain itu, selama 42 tahun
memimpin Libya, Moamar Qaddafi sibuk untuk memperkaya diri dengan
cara menguasai berbagai sektor ekonomi strategis. Kajian diplomatik yang
dimuat di Financial Times menjelaskan Moamar Qaddafi beserta
keluarganya menguasai sektor industri, mulai dari telekomunikasi,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
infrastruktur, hotel, media, dan ditribusi kebutuhan produk-produk rumah
tangga (Abdul Syukur, 2011: 106-107).
Tindakan Moamar Qaddafi untuk memperkaya diri sendiri adalah
satu diantara tiga alasan terjadinya konflik Libya. Moamar Qaddafi
melaksanakan kebijakan totaliter yang bertentangan dengan kebebasan dan
demokrasi. Ia memblokir media, memperketat layanan SMS dan internet,
dan melarang wartawan menyiarkan berita yang berkenaan dengan
pemerintahan (Abdul Syukur, 2011: 107). Pemerintah memegang kontrol
langsung terhadap kehidupan media baik milik pemerintah atau swasta.
Kemiskinan dan kekangan pemerintah yang terus-menerus menimbulkan
kebencian rakyat Libya terhadap Moamar Qaddafi.
Berbagai upaya pernah dilakukan untuk menggulingkan Moamar
Qaddafi dari jabatannya. Pada tahun 1993 beberapa tentara Libya
melakukan upaya pembunuhan terhadap Moamar Qaddafi. Selain itu,
terbentuk beberapa kelompok politik yang menentang Moamar Qaddafi
seperti Konferensi Nasional Oposisi Libya, Fron Nasional untuk
Keselamatan Libya, dan Komite Aksi Nasional Libya di Eropa (Apriadi
Tamburaka, 2011: 225). Upaya-upaya tersebut terus-menerus gagal.
Keberhasilan Tunisia dan Mesir untuk menggulingkan rezim pemerintahan
dalam negeri dengan melakukan pemberontakan memotivasi Libya untuk
melakukan hal yang sama dengan dua negara tersebut.
Pemberontakan pertama terjadi pada 15 Februari 2011 di Bheghazi,
Libya. Awal pemberontakan ditandai dengan demontrasi oleh pihak
oposisi. Pemberontakan ini dihadang oleh kekuatan militer pihak pro
Moamar Qaddafi. Tindakan tersebut terus berlangsung, yang
mengakibatkan banyak korban berjatuhan baik dari pihak oposisi, pro
Moamar Qaddafi, dan penduduk sipil.
Tindakan Moamar Qaddafi untuk melawan pemberontak secara
radikal, membuat ia ditinggal oleh beberapa pendukungnya. Selain
ditinggalkan oleh beberapa pendukungnya, tindakan Moamar Qaddafi
dikecam oleh dunia internasional. Ban Ki Moon, Sekretaris Jendral PBB,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
mengungkapkan kemarahannya terhadap tindakan Libya yang memerangi
pemberontak secara radikal. Organisasi internasional seperti United
Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), Liga Arab, Uni
Eropa juga mengecam tindakan Moamar Qaddafi (Mehrdad Payandeh,
2011: 19-22). Dunia internasional mengecam tindakan Moamar Qaddafi,
karena tindakan tersebut bisa dikategorikan sebagai kejahatan terhadap
kemanusiaan. Selain itu, tindakan Moamar Qaddafi telah menyalahi aturan
konflik bersenjata khususnya Konvensi Jenewa IV tentang perlindungan
dan larangan penyerangan terhadap penduduk sipil.
Kecaman dunia internasional terhadap tindakan Moamar Qaddafi
disampaikan kepada Dewan Keamanan PBB. Dunia internasional
mendesak Dewan Keamanan PBB untuk mengambil tindakan sebagai
penyelesaian konflik dan perlindungan penduduk sipil. Desakan dunia
internasional berhasil, yang akhirnya dikeluarkan Resolusi 1970 dan
Resolusi 1973 sebagai bentuk penyelesaian konflik Libya dan upaya
perlindungan bagi penduduk sipil.
B. Kerangka Pemikiran
2.
Bagan 1. Kerangka Pemikiran
Pelanggaran Ketentuan Konflik Bersenjata
Mengganggu Perdamaian dan Keamanan Dunia
Konflik Libya 2011
Peran Dewan Keamanan PBB
PBB
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
Keterangan :
Konflik Libya 2011 merupakan konflik yang berlangsung lebih lama dan
lebih rumit dibandingkan dengan negara-negara sebelumnya yang telah
melakukan pemberontakan seperti Tunisia dan Mesir. Konflik yang dimulai pada
pertengahan Februari 2011 terjadi akibat keinginan rakyat agar Moamar Qaddafi
turun dari jabatannya sebagai Presiden Libya 2011. Namun keinginan tersebut
ditolak oleh Moamar Qaddafi dan ia lebih memilih untuk memerangi rakyatnya
sendiri demi mempertahankan posisinya. Selama berlangsung konflik, banyak
korban yang berjatuhan. Korban yang berjatuhan tidak hanya dari pihak oposisi
atau pro Moamar Qaddafi, tetapi juga dari penduduk sipil.
Sebagai organ utama PBB, Dewan Keamanan PBB mempunyai tugas dan
fungsi untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional. Berdasarkan
tugas dan fungsi yang dimiliki Dewan Keamanan PBB, keterlibatan Dewan
Keamanan PBB dibutuhkan dalam penyelesaian konflik Libya sebagai
konsekuensi dari tanggung jawab untuk menjaga perdamaian dan keamanan
internasional.
Dewan Keamanan PBB mempunyai kewenangan untuk mengambil segala
tindakan sebagai upaya untuk memelihara perdamaian dan keamanan dunia.
Tindakan nyata yang dapat dilakukan oleh Dewan Keamanan PBB adalah dengan
mengeluarkan sebuah resolusi yang sifatnya mengikat bagi pihak-pihak terkait.
Jika pihak yang terkait dengan resolusi tidak bersedia untuk menjalankan
ketentuan yang ditetapkan di dalam resolusi, maka Dewan Keamanan PBB
mempunyai kewenangan untuk menjatuhkan sanksi, baik sanksi ekonomi atau
sanksi militer.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Kewenangan Dewan Keamanan PBB dalam Penyelesaian Konflik Libya
Konflik yang melanda Libya pada 2011 lalu melibatkan Dewan
Keamanan PBB dalam penyelesaian konflik. Sebelum membahas lebih lanjut
mengenai keterlibatan dan kewenangan Dewan Keamanan PBB dalam
penyelesaian konflik Libya, perlu diketahui terlebih dahulu mengenai
kategori konflik Libya, apakah masuk dalam kategori konflik bersenjata
internasional, konflik bersenjata non internasional atau hanya situasi
ketegangan yang terjadi di dalam negeri. Kategori ini ditujukan untuk
mengetahui legal atau tidaknya keterlibatan Dewan Keamanan PBB dalam
konflik Libya.
1. Status Konflik Bersenjata di Libya
Secara umum konfik bersenjata internasional merupakan konflik
bersenjata yang melibatkan dua negara atau lebih. Pasal 2 Konvensi
Jenewa 1949 tidak memberikan pengertian secara rinci mengenai konflik
bersenjata internasional namun dapat diketahui bahwa pihak yang terlibat
dalam konflik adalah negara. Dalam hal ini, konflik Libya tidak dapat
dikategorikan sebagai konflik bersenjata internasional, karena tidak semua
pihak yang terlibat dalam konflik berstatus sebagai negara. Konflik yang
melanda Libya hanya terjadi antara penduduk sipil dengan pemerintah
dalam upaya untuk menurunkan Moamar Qaddafi dari jabatannya sebagai
Presiden Libya.
Konflik bersenjata non internasional secara umum merupakan
konflik bersenjata yang melibatkan negara dengan satuan pihak bukan
negara. Tidak ada pengertian secara tegas dan rinci mengenai konflik
bersenjata non internasional. Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 hanya
memberikan pernyataan bahwa konflik bersenjata non internasional
merupakan sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional. Dalam
Pasal 3 Commentary Geneva Convention IV diusulkan beberapa kriteria
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
oleh para pihak dalam konferensi diplomatik mengenai pertikaian
bersenjata yang tidak bersifat internasional, yang antara lain (ICRC, 1958:
35-36) :
a. Bahwa pihak yang memberontak terhadap pemerintah de jure memiliki
suatu kekuatan militer yang terorganisir, pimpinan yang bertanggung
jawab atas perbuatannya, yang bertindak dalam suatu wilayah tertentu
dan mempunyai sarana untuk menghormat melaksanakan konvensi;
b. Bahwa pemerintah wajib meminta bantuan kepada para angkatan
militer yang sah (tentara) dengan tujuan untuk melawan para
pemberontak (belligerent);
c. Bahwa pemerintah de jure telah mengakui pemberontak sebagai
belligerent;
d. Bahwa pertikaian tersebut telah dimasukkan dalam agenda Dewan
Keamanan PBB atau Majelis Umum karena dianggap sebagai suatu
ancaman terhadap perdamaian internasional, melanggar perdamaian
dan tindakan agresi;
e. Bahwa penguasa sipil dari pemberontak menjalankan kekuasaan de
facto atas suatu wilayah tertentu; dan
f. Bahwa terikat pada ketentuan konvensi dan bersedia untuk mematuhi
kebiasaan hukum perang.
Protokol Tambahan II 1977 juga tidak memberikan pengertian
secara eksplisit. Pasal 1 Protokol Tambahan II 1977 hanya memberikan
penjelasan bahwa ketentuan dalam Protokol berlaku bagi semua konflik
bersenjata yang tidak termasuk di dalam ketentuan Pasal 1 Protokol
Tambahan I 1977 dan tidak diterapkan di dalam situasi ketegangan dalam
negeri. Pasal 1 Protokol Tambahan II 1977 memberikan kriteria-kriteria
tertentu yang menunjukan bahwa suatu konflik termasuk dalam konflik
bersenjata non internanasional. Kriteria-kriteria tersebut antara lain:
a. Pertikaian terjadi di dalam wilayah Peserta Agung;
b. Pertikaian terjadi antara pihak Peserta Agung dengan pihak
pemberontak;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
c. Pihak pemberontak dipimpin dibawah satu komando yang bertanggung
jawab;
d. Pihak pemberontak mengusai sebagian wilayah negara dan mampu
untuk melaksanakan operasi militer berkelanjutan; dan
e. Pihak pemberontak dapat melaksanakan ketentuan dalam Protokol
Tambahan II 1977.
Kriteria yang dicantumkan dalam Commentary Geneva Convention
dan Protokol Tambahan II 1977 menunjukan bahwa konflik bersenjata
non internasional merupakan konflik yang terjadi antara negara dengan
kelompok pemberontak, dimana kelompok pemberontak berstatus sebagai
belligerent. Untuk dapat dikatakan sebagai belligerent maka harus
memenuhi kriteria-kriteria yang tercantum dalam lampiran Konvensi IV
Den Haag. Pasal 1 Konvensi IV Den Haag menyatakan bahwa hukum, hak
dan kewajiban perang tidak hanya berlaku bagi tentara, tetapi juga berlaku
bagi milisi dan korps sukarela yang memenuhi syarat-syarat berikut :
a. Dipimpin oleh satu komando yang bertanggung jawab atas
bawahannya;
b. Mempunyai tanda pengenal yang melekat, yang dapat dilihat dari jauh;
c. Membawa senjata secara terbuka; dan
d. Melakukan operasinya sesuai dengan hukum kebiasaan perang.
Selain kriteria yang dicantumkan dalam Pasal 1 Konvensi IV Den
Haag, para pakar hukum juga merumuskan kriteria yang objektif yang
harus dipenuhi oleh belligerent. Pada umumnya ada empat unsur yang
harus dipenuhi, yaitu (I Wayan Parthiana, 1990: 87) :
a. Kaum pemberontak harus terorganisasikan secara teratur dan rapi di
bawah pimpinan yang jelas;
b. Kaum pemberontak harus menggunakan tanda pengenal yang jelas
yang menunjukkan identitasnya;
c. Kaum pemberontak harus sudah menguasai sebagian wilayah secara
efektif berada di bawah kekuasaannya; dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
d. Kaum pemberontak harus mendapat dukungan dari rakyat di wilayah
yang didudukinya.
Kriteria-kriteria mengenai belligerent yang dicantumkan di dalam
Pasal 1 Konvensi IV Den Haag maupun yang dirumuskan oleh para pakar
hukum perlu dipahami lebih lanjut, untuk menentukan status kelompok
perlawanan dalam konflik Libya :
a. Dipimpin oleh satu komando yang bertanggung jawab atas
bawahannya.
Seorang komandan mempunyai peran penting dalam sebuah
gerakan perlawanan terorganisir. Komandan dalam gerakan
perlawanan terorganisir mempunyai kompetensi yang sama dengan
komandan militer dalam angkatan bersenjata. Kompetensi ini
mencakup tiga hal, yaitu pencegahan pelarangan secara umum,
penyebarluasan hukum humaniter, serta pengambilan tindakan
terhadap bawahan/anak buah yang melakukan pelanggaran. Hal yang
menjadi dasar untuk pertanggungjawaban seorang komandan adalah
bahwa seorang komandan mampu untuk menegakkan hukum konflik
bersenjata atas dasar dua hal, yaitu :
1) Bahwa konflik bersenjata merupakan pilihan terakhir dan untuk
tujuan yang benar; dan
2) Penggunaan kekuatan bersenjata dalam peperangan atas dasar
prinsip proporisonalitas dan diskriminasi.
Dalam hal konflik Libya, pihak oposisi bersama-sama dengan
mantan anggota rezim Moamar Qaddafi membentuk Dewan Transisi
Nasional sebagai wakil organ yang sah Libya dan sebagai upaya
mencari pengakuan internasional bahwa pihak oposisi adalah
pemberontak. Di dalam struktur organisasi Dewan Transisi Nasional
dipimpin oleh ketua yang bertindak sebagai Presiden sementara Libya,
yaitu Mustafa Abdul Jalel. Dalam menjalankan kepemimpinannya
Mustafa Abdul Jalel dibantu oleh beberapa staf, seperti wakil ketua
sekaligus juru bicara Dewan Transisi Nasional yaitu Abdul Hafiz
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
Ghoga, Perdana Menteri yaitu Mahmoud Jibril, kepala staff militer
yaittu Abdul Fatah Younis, kepala komite politik yaitu Fatih Baja,
kepala komite eksekutif yaitu Ali Tarhouni, dan kepala komite hukum
yaitu Salwa Fawzi El-Dhagi.
Dilihat dari pertanggungjawaban seorang komandan,
pemberontakan Libya memenuhi salah satu unsur, yaitu bahwa
pemberontakan merupakan cara terakhir yang dapat digunakan oleh
penduduk sipil beserta pihak-pihak yang membenci Moamar Qaddafi
untuk menurunkan Moamar Qaddafi dari bangku kepresidenan. Karena
sebelum pemberontakan ini berlangsung telah ditempuh berbagai cara
untuk menurunkan Moamar Qaddafi dari kursi kepresidenan. Namun
untuk unsur kedua yaitu penggunaan prinsip proporsionalitas dan
diskriminasi dalam konflik bersenjata belum dapat terpenuhi oleh
pihak oposisi.
Meskipun pihak oposisi Libya memiliki pemimpin yang jelas
dan terstruktur, pihak oposisi belum dapat dikatakan sebagai
belligerent. Para pemimpin pihak oposisi belum mampu untuk
memenuhi unsur dasar pertanggungjawaban seorang komandan.
b. Mempunyai tanda pengenal yang melekat, yang dapat dilihat dari jauh.
Belligerent harus menggunakan lambang pembeda yang dapat
dikenali dari kejauhan. Hal ini dicantumkan di dalam Pasal 1 ayat 2
Konvensi Den Haag 1907. Tidak terdapat ketentuan yang pasti
mengenai bentuk lambang pembeda yang harus digunakan oleh
belligerent. Commentary Geneva Convention 1949 menyatakan
belligerent dapat menggunakan bentuk-bentuk lambang pembeda
seperti armedband, topi, jaket, dan bentuk lainnya yang menunjukan
pembedaan dan dapat terlihat dari kejauhan.
Dalam konflik Libya, pihak oposisi menggunakan bendera tiga
warna yaitu merah, hitam, hijau dengan lambang bulan sabit dan
bintang di bagian tengahnya. Bendera tiga warna tersebut merupakan
bendera yang digunakan pada rezim pemerintahan Raja Idris I.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
Bendera tersebut dikibarkan di wilayah-wilayah yang telah dikuasai
oleh pihak oposisi. Selain dikibarkan di wilayah yang dikuasai pihak
oposisi, bendera tersebut dipasang di kendaraan milik pihak oposisi.
Namun berdasarkan foto-foto yang ada di media cetak dan elektronik,
pihak oposisi tidak secara terus-menerus menggunakan bendera
tersebut. Selain itu, pihak oposisi juga tidak mengenakan pakaian
khusus yang dapat dikenali oleh pihak pro Moamar Qaddafi. Hal ini
yang membuat sulit untuk membedakan antara pihak oposisi dengan
penduduk sipil biasa.
c. Membawa senjata secara terbuka.
Sebuah situasi dapat dikatakan sebagai konflik bersenjata
adalah ketika para pihak yang terlibat dalam konflik sudah
menggunakan senjata secara terang-terangan. Penggunaan senjata
secara terang-terangan sangat penting, yaitu untuk mengenali pihak
yang terlibat dalam pertempuran sebagai kombatan.
Dalam konflik Libya, pihak oposisi secara terang-terangan
menggunakan senjata untuk melawan pihak pro Moamar Qaddafi.
Meskipun pada awal pertempuran kekuatan persenjataan antara pihak
oposisi dan pro Moamar Qaddafi tidak seimbang.
d. Melakukan operasinya sesuai dengan hukum kebiasaan perang.
Hukum Den Haag, Hukum Jenewa, beserta Protokol Tambahan
Konvensi Jenewa merupakan aturan yang harus ditaati oleh para pihak
yang terlibat dalam konflik bersenjata. Dalam konflik Libya, pihak
oposisi masih melakukan beberapa pelanggaran terhadap aturan
tersebut. Pihak oposisi sering mempersulit kinerja International
Committee Red Cross (ICRC) untuk memberikan pertolongan kepada
korban akibat konflik bersenjata. Direktur Jendral ICRC harus sampai
memohon kepada pihak oposisi untuk membiarkan tenaga kerja ICRC
untuk dapat menjalankan pekerjaannya dengan aman.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
e. Penguasaan sebagian wilayah oleh kaum belligerent.
Dalam konflik Libya, pihak oposisi berhasil untuk menguasai
sebagian wilayah Libya. Pada awal perlawanan, pihak oposisi berhasil
untuk menguasai Bheghazi, yang kemudian dilanjutkan dengan
menguasai Al Jazeera, Tobruk, Zawiyah, Berga, dan Sirte. Selain
berhasil menguasai kota-kota penting di Libya, pihak oposisi juga
berhasil untuk menguasai pelabuhan Ra’Lanuf, bandara, dan
pangkalan militer Libya (Apriadi Tamburaka, 2011: 233-237).
f. Terdapat dukungan dari penduduk di wilayah yang diduduki oleh
kelompok belligerent.
Gerakan perlawanan di Libya merupakan gerakan perlawanan
yang berasal dari warga negara Libya yang sudah tidak menginginkan
Moamar Qaddafi menduduki kursi kepresidenan. Namun tidak semua
warga negara Libya mendukung gerakan perlawanan ini, masih ada
beberapa warga negara yang mendukung Moamar Qaddafi untuk tetap
menjadi Presiden Libya.
Berdasarkan pemaparan di atas, pihak oposisi Libya belum dapat
dikatakan sebagai kelompok belligerent. Hal ini dikarenakan pihak oposisi
belum dapat memenuhi kriteria kelompok belligerent secara utuh baik
yang dicantumkan di dalam Pasal 1 Konvensi Den Haag 1907 atau
pendapat pakar hukum, yaitu mengenai pertanggungjawaban seorang
komando, penggunaan tanda pengenal yang dapat terlihat dari kejauhan,
ketaatan terhadap kebiasaan hukum perang, dan dukungan dari rakyat di
wilayah yang diduduki oleh seorang belligerent. Meskipun tidak terdapat
ketentuan yang menyebutkan bahwa seluruh kriteria harus terpenuhi
namun kriteria tersebut bersifat kumulatif, dimana antara kriteria yang satu
dengan yang lain saling berkaitan. Dengan demikian, status yang tepat
untuk diberikan kepada pihak oposisi Libya adalah insurgent.
Sejumlah negara seperti Prancis dan Amerika Serikat memberikan
pengakuan terhadap keberadaan Dewan Transisi Nasional sebagai organ
pemberontak dan wakil Libya yang sah, namun ini tidak memberikan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
status hukum pihak oposisi Libya sebagai belligerent. Pengakuan negara
barat terhadap pemberontak bertujuan agar pemerintah pusat dapat
memperlakukan pemberontak sesuai dengan tuntutan perikemanusiaan
(Sefriani, 2010: 178). Dengan tidak terpenuhinya kriteria belligerent oleh
pihak oposisi, maka konflik Libya tidak dapat dikategorikan sebagai
konflik bersenjata non interansional. Karena konflik bersenjata non
internasional hanya terjadi antara negara dengan satuan pihak bukan
negara yang berstatus sebagai belligerent.
Dalam hukum humaniter internasional, terdapat sebuah situasi
yang tidak dapat diketegorikan sebagai konflik bersenjata, situasi ini
dikenal dengan situasi ketegangan dalam negeri (internal disturbances and
tension). Situasi ketegangan dalam negeri dicontohkan dalam bentuk
kerusuhan, tindakan-tindakan sporadik yang bertentangan dengan operasi
militer yang dilakukan oleh angkatan bersenjata. Commentary Additional
Protocol II 1977 memberikan gambaran bahwa situasi ketegangan dalam
negeri dapat dikatakan sebagai ketegangan serius dalam hal politik,
agama, ras, sosial, atau ekonomi.
Dalam hal ini koflik Libya, memenuhi gambaran situasi
ketegangan dalam negeri. Bahwa konflik Libya yang terjadi antara pihak
oposisi dengan pihak pro Moamar Qaddafi hanyalah ketegangan dan
kekerasan dalam negeri seperti huru-hara, dan gerakan yang bersifat
terisolir dan sporadis. Walaupun pada akhirnya pihak oposisi Libya secara
terang-terangan mengangkat senjata, keadaan ini tidak dapat dikatakan
sebagai konflik bersenjata. Tindakan pihak oposisi untuk mengangkat
senjata secara terang-terangan hanyalah tindakan untuk melindungi diri
dari serangan sepihak yang dilakukan oleh pihak pro Moamar Qaddafi.
Dalam pemberontakan antara pihak oposisi dengan pihak pro
Moamar Khadafi, pihak oposisi mendapat bantuan persenjataan dari
Prancis, Inggris dan Amerika Serikat. Bantuan persenjataan yang
diberikan oleh Prancis, Inggris dan Amerika Serikat merupakan bentuk
pelaksanaan ketentuan Resolusi 1973 yang dikeluarkan Dewan Keamanan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
PBB. Selain Prancis, Inggris dan Amerika Serikat, organisasi North
Atlantic Treaty Organization (NATO) secara langsung membantu pihak
oposisi dengan melakukan serangan kepada pihak pro Moamar Qaddafi.
Adanya keterlibatan Prancis, Inggris, Amerika Serikat, dan NATO setelah
dikeluarkannya Resolusi 1973 memberikan unsur internasional ke dalam
konflik Libya. Pemberian unsur internasional ke dalam konflik disebut
juga dengan internasionalisasi konflik internal (Internasionalized Armed
Conflict). Terhadap hal tersebut, menurut Pasal 1 ayat 4 Protokol
Tambahan I 1977, keadaan yang demikian disamakan dengan konflik
bersenjata internasional. Dengan demikian, konflik Libya juga bisa disebut
sebagai konflik bersenjata internasional, yang dilihat dari keterlibatan
pihak luar yaitu Prancis, Amerika Setikat, dan NATO di dalam
pertempuran melawan pihak pro Moamar Khadafi.
Berdasarkan hal di atas, maka konflik Libya memiliki dua status
konflik yang berbeda. Perbedaan yang mendasar dari kedua status konflik
dapat dilihat dari para pihak yang terlibat dalam konflik serta hukum yang
berlaku. Konflik Libya bisa disebut sebagai situasi ketegangan dalam
negeri dilihat dari pihak yang terlibat yaitu pihak oposisi dan pemerintah,
serta hukum yang berlaku adalah hukum nasional Libya. Konflik Libya
bisa disebut sebagai konflik bersenjata internasional dilihat dari pihak
yang terlibat yaitu Prancis, Inggris, Amerika Serikat, dan NATO melawan
pemerintah Libya, serta hukum yang berlaku adalah hukun Den Haag dan
hukum Jenewa.
Terlepas dari status konflik Libya sebagai situasi ketegangan dalam
negeri atau konflik bersenjata internasional, dari hari ke hari keadaan
konflik Libya semakin memburuk. Korban konflik khususnya korban yang
berasal dari penduduk sipil semakin banyak. Konflik Libya mengarah
menjadi suatu kejahatan terhadap kemanusiaan, karena penyerangan yang
dilakukan oleh pihak pro Moamar Qaddafi kepada pihak oposisi yang juga
mengenai penduduk sipil dilakukan secara sistematik dan meluas.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
2. Kewenangan Dewan Keamanan PBB dalam Penyelesaian Konflik Libya
Dewan Keamanan PBB merupakan salah satu dari enam organ
utama PBB yang mempunyai fungsi sebagai pemegang kunci
pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional. Dewan Keamanan
PBB terdiri dari 15 negara anggota yang terbagi dalam 5 negara anggota
tetap dan 10 negara anggota tidak tetap. Secara khusus Dewan Keamanan
PBB diberikan kewenangan untuk terlibat dan menggunakan tindakan
pemaksaan ke dalam sebuah kasus sebagai upaya pemeliharaan
perdamaian dan keamanan internasional.
Keterlibatan dan tindakan pemaksaan Dewan Keamanan PBB
hanya diperbolehkan terhadap keadaan yang mengancam atau
membahayakan perdamaian, melanggar perdamaian serta tindakan agresi.
Kewenangan ini tercantum dalam Bab VII Piagam PBB. Istilah keadaan
yang mengancam perdamaian dan keamanan internasional memiliki
pengertian yang sangat fleksibel dan luas yang digambarkan melebihi
ancaman antara satu negara dengan negara lain serta situasi yang terjadi
dalam negeri seperti perang sipil yang berakibat internasional. Sedangkan
istilah pelanggaran perdamaian dan tindakan agresi hanya digambarkan
sebatas situasi penggunaan kekuatan bersenjata antar negara (J.G. Merrills,
2005: 264).
Pasal 39 Piagam PBB menyatakan Dewan Keamanan PBB dapat
menyatakan bahwa suatu keadaan telah mengancam perdamaian dan
keamanan internasional, dan Dewan Keamanan PBB harus membuat
rekomendasi atau keputusan mengenai tindakan apa yang harus diambil.
Pasal ini tidak memberikan ketentuan yang jelas mengenai batas suatu
keadaan yang dikatakan sebagai keadaan yang mengancam perdamaian
dan keamanan internasional. Penilaian terhadap suatu keadaan yang
mengancam perdamaian dan keamanan internasional merupakan
kewenangan Dewan Keamanan PBB. Oleh karena itu, Dewan Keamanan
PBB diberikan kewenangan untuk menyelidiki suatu kasus untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
menentukan apakah kasus tersebut dapat mengancam perdamaian dan
keamanan internasional yang tercantum dalam Pasal 34 Piagam PBB.
Pada Resolusi 1973 yang dikeluarkan pada 17 Maret 2011, pada
bagian pertimbangan resolusi Dewan Keamanan PBB menyatakan bahwa
konflik Libya merupakan konflik yang telah mengganggu perdamaian dan
keamanan interanasional. Pada bagian pertimbangan tersebut Dewan
Keamanan PBB juga menyatakan bahwa konflik Libya mungkin menjadi
kejahatan terhadap kemanusiaan dikarenakan penyerangan terhadap
penduduk sipil dilakukan secara sistematik dan meluas. Selain
penyerangan dilakukan secara sistermatik dan meluas, pihak pro Moamar
Qaddafi juga menyerang pihak oposisi secara membabi buta. Pasal 51
Protokol Tambahan I menyatakan yang dimaksud dengan serangan
membabi buta adalah :
a. Serangan yang tidak ditujukan kepada objek militer;
b. Serangan dengan menggunakan cara atau alat bertempur yang tidak
dapat ditujukan kepada objek militer tertentu; dan
c. Serangan dengan menggunakan cara atau alat bertempur yang efeknya
tidak dapat dibatasi seperti yang ditentukan dalam protokol.
Haryomataram memberikan contoh dari apa yang dimaksud
dengan serangan membabi buta. Menurut Haryomataran, serangan
membabi buta merupakan serangan yang dilakukan dengan pemboman,
dengan cara atau alat apapun, yang memperlakukan sebagai satu objek
militer, yang terletak di dalam suatu kota, dusun, atau wilayah, dimana
terdapat pula konsentrasi penduduk sipil dan objek sipil, dan serangan
yang dapat diharapkan akan menimbulkan korban jiwa penduduk sipil,
kerusakan objek sipil yang berlebihan (Haryomataram, 1984: 148).
Dengan demikian pengertian serangan membabi buta adalah serangan
yang dilakukan oleh pihak dalam konflik bersenjata tanpa menerapkan
prinsip pembedaan.
Prinsip pembedaan adalah salah satu prinsip dalam hukum
humaniter internasional yang membedakan antara pihak yang boleh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
diserang (kombatan) dengan penduduk sipil. (Ambarwati, Denny
Ramdhani, Rina Rusman, 2010: 43). Selain membedakan pihak yang
boleh diserang dan tidak, prinsip pembedaan juga membedakan antara
objek yang boleh diserang dan tidak boleh diserang di dalam konflik.
Untuk objek yang boleh diserang disebut dengan objek militer, sedangkan
untuk objek yang tidak boleh diserang disebut dengan objek sipil.
Pasal 52 ayat 1 Protokol Tambahan I 1977 memberikan pengertian
bahwa objek sipil adalah semua objek yang bukan didefinisikan sebagai
objek militer. Pada ayat 2 dijelaskan bahwa yang dikatakan sebagai objek
militer adalah semua objek yang karena sifatnya, lokasi, tujuan, dan
penggunaannya dapat memberikan kontribusi pada operasi militer, dan
apabila objek tersebut dihancurkan, dikuasai, atau dinetralisir baik
sebagian atau seluruhnya, maka dapat diperkirakan akan memberikan
keuntungan militer secara nyata. Bentuk objek sipil yang harus dilindungi
dicantumkan di dalam Pasal 25 dan 27 Konvensi Den Haag 1907. Pasal 25
menjelaskan bahwa serangan yang dilakukan terhadap pedesaan,
perkotaan, tempat tinggal atau bangunan untuk pertahanan merupakan hal
yang dilarang. Pasal 27 menjelaskan bahwa bangunan yang didedikasikan
untuk keagamaan, kesenian, ilmu pengetahuan, monumen bersejarah,
rumah sakit merupakan bangunan yang tidak boleh dijadikan sebagai
tujuan militer.
Pasal 3 ayat 1 Konvensi Jenewa IV menyatakan bahwa yang
dikatakan sebagai penduduk sipil adalah orang-orang yang tidak
mengambil bagian dalam konflik, termasuk anggota pasukan bersenjata
yang meletakkan senjata mereka dan mereka ditempatkan sebagai hors de
combat. Pasal 3 ayat 2 Konvensi Jenewa menyatakan bahwa ada beberapa
tindakan yang dilarang dilakukan terhadap orang-orang yang termasuk
dalam katagori Pasal 3 ayat 1. Tindakan tersebut antara lain :
a. Kekerasan terhadap jiwa orang, terutama pembunuhan, pengurungan,
perlakuan kejam, dan penganiayaan;
b. Penyanderaan;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
c. Perkosaan, pelakuan yang menghina dan merendahkan martabat; dan
d. Penghukuman dan pelaksanaan putusan tanpa putusan yang
diumumkan lebih dahulu oleh pengadilan yang dilakukan secara lazim
yang memberikan jaminan hukum yang diakui karena sangat
dibutuhkan oleh semua bangsa yang beradab.
Konflik bersenjata merupakan hal yang diperbolehkan, tetapi
didalam pelaksanaanya tetap harus menghormati dan menjunjung nilai-
nilai kemanusiaan. Penghormatan nilai-nilai kemanusian dapat dilakukan
dengan cara menerapkan prinsip pembedaan terhadap penduduk dan objek
sipil sesuai dengan ketentuan yang telah dijelaskan di atas serta
memperlakukan korban konflik secara manusiawi. Prinsip pembedaan
harus tetap diterapkan meskipun konflik tersebut berstatus sebagai situasi
ketegangan dalam negeri. Kenyataan yang ada dalam konflik Libya adalah
ketentuan prinsip pembedaan terhadap penduduk dan objek sipil tidak
diterapkan. Berikut beberapa contoh tindakan nyata tidak diterapkannya
prinsip pembedaan dalam konflik Libya (Apriadi Tamburaka, 2011: 238-
264) :
a. Seorang saksi mata menggambarkan hujan peluru di atas kota Libya
yang mengakibatkan perempuan dan anak-anak terbunuh serta
beberapa keluarga terjebak di dalam rumah mereka dengan rasa
ketakutan dan tidak aman.
b. Pemerintah (Moamar Qaddafi) mengerahkan penembak jitu di
sepanjang jalan luar kota untuk menembaki orang-orang yang
berpergian.
c. Direktur Jendral ICRC harus meminta kepada pihak pro Moamar
Qaddafi dan pihak oposisi agar memperbolehkan pertugas kesehatan
untuk melakukan pekerjaan dengan aman. Selain itu, tidak
tercukupinya bahan makanan dan obat-obatan yang diperlukan bagi
para korban konflik.
d. Pihak pro Moamar Qaddafi menyerang kota Zhawiyah dengan
menggunakan roket dan hampir menghancurkan isi kota. Fasilitas-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
fasilitas umum seperti mesjid, rumah sakit, saluran listrik dan
generator hancur akibat serangan dari pihak pro Moamar Qaddafi.
e. Pihak pro Moamar Qaddafi melakukan penculikan terhadap aktivis-
aktivis Libya.
Contoh diatas membuktikan bahwa prinsip pembedaan tidak
diterapkan di dalam konflik Libya. Padahal prinsip pembedaan merupakan
prinsip yang penting untuk diterapkan, karena prinsip pembedaan
bertujuan untuk melindungi penduduk sipil dari konflik bersenjata. Tidak
diterapkannya prinsip pembedaan dalam konflik bersenjata mengakibatkan
penduduk sipil ikut menjadi korban konflik. Untuk menghindari
meningkatnya jumlah korban konflik Libya, Dewan Keamanan PBB
memutuskan untuk terlibat dalam penyelesaian konflik Libya. Keputusan
ini sebagai upaya untuk melindungi penduduk sipil serta menjaga
perdamaian dan keamanan internasional.
Keterlibatan negara atau organisasi internasional sebagai pihak luar
dalam suatu permasalahan negara lain masih sering menimbulkan
perdebatan. Perdebatan tersebut menyangkut permasalahan kedaulatan
yang dimiliki oleh suatu negara. Kedaulatan merupakan kebebasan negara
untuk mengelola urusan dalam atau luar negeri tanpa campur tangan dari
pihak lain. Piagam PBB secara jelas mencantumkan prinsip kedaulatan
negara dalam tujuan dan prisip PBB yang terdapat dalam Pasal 1 dan 2
Piagam PBB. Pasal 1 ayat 2 Piagam PBB menyatakan bahwa PBB
bertujuan untuk mengembangkan hubungan persahabatan antar bangsa
berdasarkan penghormatan terhadap prinsip persamaan hak dan penentuan
nasib sendiri. Hal ini menunjukan bahwa PBB menghormati dan
menjunjung kedaulatan yang dimiliki oleh negara-negara anggota PBB.
Pasal 2 ayat 7 menetapkan bahwa tidak ada dalam ketentuan Piagam PBB
yang memberikan kewenangan PBB untuk ikut campur dalam
permasalahan dalam negeri anggota-anggota PBB, tetapi ketentuan ini
tidak mengurangi penerapan penegakan langkah-langkah berdasarkan Bab
VII Piagam PBB. Penerapan penegakan langkah-langkah berdasarkan Bab
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
VII Piagam PBB adalah penerapan penegakan oleh Dewan Keamanan
PBB terhadap situasi yang mengganggu perdamaian, melanggar
perdamaian, dan tindakan agresi.
Menurut Hyde suatu negara atau organisasi internasional dilarang
untuk ikut campur tangan dalam suatu permasalahan negara yang disertai
dengan bentuk tindakan untuk mengganggu kemerdekaan politik negara
yang bersangkutan (J.G. Starke, 2001: 136). Sedangkan menurut
keputusan Mahkamah Internasional dalam kasus Nikaragua dengan
Amerika Serikat, Mahkamah Internasional menyatakan bahwa campur
tangan dari negara luar atau organisasi internasional dilarang apabila
campur tangan tersebut berkaitan dengan masalah-masalah dimana setiap
negara diperbolehkan untuk mengambil keputusan secara bebas dalam hal
politik, ekonomi, atau politik luar negerinya sendiri, dan campur tangan
tersebut meliputi gangguan terhadap kemerdekaan negara lain dengan
cara-cara paksa (International Court of Justice, 1986: 108). Hal ini
menunjukkan bahwa sebuah campur tangan negara lain atau organisasi
internasional ke dalam suatu negara diperbolehkan apabila campur tangan
tersebut bukan tindakan campur tangan untuk keputusan negara dan
tindakan mengganggu kemerdekaan negara.
Dengan demikian, sebagai suatu negara yang berdaulat Libya
mempunyai kewenangan untuk menolak keterlibatan Dewan Keamanan
PBB dalam penyelesaian konflik Libya. Hal ini didasarkan pada prinsip
dan tujuan PBB yang tercantum dalam Pasal 1 ayat 2 dan Pasal 2 ayat 7
Piagam PBB. Namun karena keterlibatan Dewan Keamanan PBB bukan
menyangkut permasalahan politik, ekonomi, ataupun politik luar negeri
Libya, melainkan menyangkut tindakan pelanggaran HAM yang dilakukan
oleh pemerintah Libya sebagai pihak pro Moamar Qaddafi terhadap
penduduk sipil, maka Dewan Keamanan PBB dapat menggunakan
kewenangannya untuk terlibat ke dalam penyelesaian konflik.
Berdasarkan pemaparan di atas, Dewan Keamanan PBB
mempunyai kewenangan yang sah untuk ikut terlibat dalam penyelesaian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
konflik Libya. Keterlibatan ini didasarkan pada penilaian Dewan
Keamanan PBB bahwa konflik Libya telah mengancam perdamaian dan
keamanan internasional. Keterlibatan Dewan Keamanan PBB bukan hanya
sebatas terlibat dalam penyelesaian konflik, tetapi keterlibatan Dewan
Keamanan PBB merupakan keterlibatan yang disebabkan oleh tanggung
jawab yang diemban Dewan Keamanan PBB untuk menjaga perdamaian
dan keamanan internasional.
B. Tindakan Nyata Dewan Keamanan PBB dalam Penyelesaian Konflik
Libya
Dewan Keamanan PBB merupakan salah satu organ utama PBB.
Dewan Keamanan PBB memiliki tugas dan kewenangan yang berhubungan
dengan upaya menciptakan dan menjaga perdamaian dan keamanan
internasional seperti membuat rekomendasi untuk penyelesaian sengketa
secara damai, mengambil tindakan terhadap kegiatan yang mengancam
perdamaian, mengganggu perdamaian, dan tindakan agresi, serta
memerankan peranan yang sangat penting dalam pengembangan operasi
penjaga perdamaian. Selain tugas dan kewenangan tersebut, Dewan
Keamanan PBB memiliki beberapa fungsi sebagai kunci dalam
menciptakan perdamaian dan keamanan internasional, seperti :
1. Menjaga perdamaian dan keamanan internasional sesuai dengan tujuan
dan prinsip PBB;
2. Menyelidiki konflik yang dianggap dapat menimbulkan pertentangan
internasional;
3. Memberikan rekomendasi penyelesaian konflik;
4. Memformulasikan rencana pembentukan satu sistem untuk
persenjataan;
5. Menentukan adanya ancaman terhadap perdamaian, tindakan agresi,
serta tindakan yang perlu diambil; dan
6. Menyerukan kepada negara-negara anggota untuk melaksanakan
keputusan Dewan Keamanan PBB.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
Dewan Keamanan PBB mempunyai peran dominan dalam upaya
menjaga perdamaian dan keamanan internasional, terutama dalam
penyelesaian konflik internasional yang melanda negara-negara di dunia,
baik negara anggota PBB maupun bukan negara anggota PBB. Peran
dominan Dewan Keamanan PBB dalam penyelesaian konflik suatu negara
merupakan tanggung jawab atas tugas dan kewenangan yang diberikan
kepada Dewan Keamanan PBB.
Keterlibatan Dewan Keamanan PBB dalam penyelesaian konflik
suatu negara baru diperbolehkan jika negara tersebut melakukan tindakan-
tindakan yang mengancam perdamaian dan keamanan internasional,
melanggar perdamaian serta tindakan agresi. Keterlibatan Dewan
Keamanan PBB dalam penyelesaian konflik suatu negara dapat diminta
oleh para pihak yang bersengketa, negara anggota PBB lainnya dan bukan
negara anggota PBB. Hal tersebut dicantumkan dalam Pasal 35 Piagam
PBB yang menyatakan bahwa baik negara anggota PBB dan bukan negara
anggota PBB dapat membawa suatu sengketa atau situasi yang dapat
menyebabkan gesekan internasional atau menimbulkan perselisihan yang
kemudian cenderung membahayakan perdamaian dan keamanan
internasional ke hadapan Dewan Keamanan PBB.
Dalam konflik Libya, permintaan perhatian Dewan Keamanan
PBB terhadap konflik tidak diajukan oleh para pihak yang bersengketa,
melainkan oleh organisasi Liga Arab, Uni Afrika, serta Sekretaris Jendral
Organization of The Islamic Conference (OIC). Ketiga organisasi tersebut
merasa prihatin atas situasi yang melanda Libya serta mengencam tindakan
radikal pihak pro Moamar Khadafi yang ditujukan kepada pihak oposisi
yang juga mengancam keselamatan penduduk sipil Libya. Ketiga organisasi
tersebut meminta Dewan Keamanan PBB untuk ikut terlibat dalam
penyelesaian konflik sebagai bentuk pemeliharaan perdamaian dan
keamanan internasional, karena konflik Libya dianggap akan menjadi
kejahatan terhadap kemanusiaan yang bersifat meluas dan sistematik
(Resolusi 1970, 2011: 1).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
Mekanisme penyelesaian konflik melalui Dewan Keamanan PBB
dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu melalui penyelesaian secara damai
dan melalui tindakan yang tercantum dalam Pasal 41 dan Pasal 42 Piagam
PBB. Dua mekanisme penyelesaian konflik tersebut perlu dilihat pada
kenyataan penyelesaian konflik di Libya.
1. Mekanisme Penyelesaian Konflik Libya secara Damai
Dalam penyelesaian konflik yang dihadapkan kepada Dewan
Keamanan PBB, terlebih dahulu Dewan Keamanan PBB akan
memberikan rekomendasi penyelesaian secara damai. Penyelesaian
secara damai yang dimaksud adalah cara-cara penyelesaian yang
tercantum dalam Pasal 33 ayat 1 Piagam PBB, yaitu negoisasi,
penyelidikan, mediasi, konsiliasi, arbitrase, pengadilan, menyerahkan
permasalahan kepada organisasi-organisasi regional, atau cara-cara
damai yang dipilih oleh para pihak. Penyelesaian konflik secara damai
melalui negoisasi, penyelidikan, mediasi dan konsiliasi disebut juga
sebagai penyelesaian konflik secara damai melalui jalur diplomatik.
Sedangkan penyelesaian secara damai melalui arbitase dan pengadilan,
disebut juga sebagai penyelesaian konflik secara hukum.
Dalam konflik Libya, Dewan Keamanan PBB memberikan
penyelesaian konflik secara damai yang tercantum dalam paragraph 4
Resolusi 1970, yaitu dengan merujuk penyelesaian konflik Libya kepada
Mahkamah Pidana Internasional. Pada penyelesaian konflik Libya
Dewan Keamanan PBB tidak memberikan penyelesaian konflik melalui
jalur diplomatik, melainkan memberikan penyelesaian konflik secara
hukum. Keputusan Dewan Keamanan PBB untuk merujuk konflik Libya
kepada Mahkamah Pidana Internasional merupakan hal yang dibenarkan
dan sesuai dengan Pasal 37 Piagam PBB. Bahwa jika Dewan Keamanan
PBB merasa konflik yang dihadapkan kepada dirinya akan mengganggu
perdamaian dan keamanan internasional, Dewan Keamanan PBB dapat
merujuk konflik tersebut kepada Mahkamah Internasional. Dikarenakan
konflik Libya cenderung menjadi kejahatan terhadap kemanusiaan yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
bersifat sistemik dan meluas, dan Mahkamah Pidana Internasional yang
mempunyai kewenangan untuk mengadili persoalan tersebut, maka
konflik Libya dirujuk kepada Mahkamah Pidana Internasional.
2. Mekanisme Penyelesaian Konflik Berdasarkan Pasal 41 dan Pasal 42
Piagam PBB
Jika penyelesaian konflik secara damai tidak dapat tercapai, dan
yang terjadi adalah sebaliknya yaitu memperparah konflik sehingga
mengancam perdamaian dan keamanan internasional, Dewan Keamanan
PBB dapat menggunakan kewenangannya untuk melakukan tindakan
yang dicantumkan dalam Pasal 41 dan 42 Piagam PBB. Pasal 41 Piagam
PBB menyatakan bahwa Dewan Keamanan dapat memutuskan untuk
tidak menggunakan kekuatan bersenjata di dalam keterlibatannya.
Tindakan yang dilakukan hanyalah berupa pemutusan hubungan
ekonomi, komunikasi dan juga bisa pemutusan hubungan diplomatik.
Tindakan tersebut dimaksukan agar negara yang bersangkutan kesulitan
untuk mendapatkan kebutuhan-kebutuhannya. Tindakan ini disebut juga
dengan pemberian sanksi ekonomi. Piagam 42 Piagam PBB menyatakan
bahwa Dewan Keamanan dapat memutuskan untuk menggunakan
kekuatan bersenjata di dalam keterlibatannya. Penggunaan kekuataan
bersenjata ini dapat dilakukan dengan cara blokade dan operasi militer
yang dilakukan oleh anggota-anggota PBB. Tindakan ini disebut juga
dengan pemberian sanksi militer.
Sebagai tindak lanjut dalam upaya penyelesaian konflik Libya,
Dewan Keamanan PBB mengeluarkan dua buah resolusi. Resolusi
merupakan instrumen hukum umum untuk organ PBB untuk membuat
rekomendasi atau pernyataan, mengingat fakta, pernyataan pendapat,
atau hal lain (Justin S. Gruenberg, 2009: 481). Resolusi pertama yang
dikeluarkan Dewan Keamanan PBB adalah Resolusi 1970. Setelah
resolusi tersebut dikeluarkan dan tidak memberikan perubahan terhadap
konflik Libya, Dewan Keamanan PBB kembali mengeluarkan resolusi
yaitu Resolusi 1973. Dikeluarkannya dua resolusi tersebut menunjukkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
Dewan Keamanan PBB telah menerapkan tindakan peace enforcement,
yaitu tindakan nyata berupa penerapan sanksi ekonomi atau militer
terhadap situasi yang mengancam perdamaian dan keamanan
internasional. Berikut penjelasan mengenai dua resolusi tersebut.
a. Resolusi 1970
Resolusi 1970 dikeluarkan pada tanggal 26 Februari 2011.
Latar belakang dikeluarkannya Resolusi 1970 adalah keprihatinan
dan kecaman Dewan Keamanan PBB terhadap kekerasan yang
ditujukan kepada penduduk sipil, serta untuk menanggapi kecaman
Liga Arab, Uni Afrika, dan Sekretaris Jendral OIC terhadap konflik
Libya.
Dipaparkan sebelumnya bahwa ketentuan Resolusi 1970
berisikan mengenai penyelesaian konflik Libya secara damai melalui
jalur pengadilan dengan merujuk konflik Libya kepada Mahkamah
Pidana Internasional. Disisi lain Resolusi 1970 juga merupakan
keputusan Dewan Keamanan PBB untuk menjatuhkan sanksi
ekonomi kepada Libya. Dikatakan sebagai penjatuhan sanksi
ekonomi, karena pada salah satu ketentuan resolusi dinyatakan
bahwa Dewan Keamanan PBB melarang adanya pasokan
persenjataan kepada Libya yang disebut juga sebagai embargo
senjata. Dengan adanya embargo senjata ke dalam wilayah Libya,
maka pemerintah Libya akan kesulitan memenuhi kebutuhan
persenjataan untuk melawan pihak oposisi. Ketentuan embargo
senjata ke dalam wilayah Libya dikecualikan terhadap persenjataan
yang digunakan untuk perlindungan kemanusiaan, pakaian pelindung
termasuk jaket anti peluru dan helm militer yang akan digunakan
oleh personil PBB, perwakilan media, serta pekerja lembaga bantuan
medis dan kemanusiaan, serta pasokan persenjataan yang terlebih
dahulu disetujui oleh Komite Dewan Keamanan PBB.
Selain berisikan ketentuan mengenai embargo senjata dan
rujukan penyelesaian konflik Libya melalui Mahkamah Pidana
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
Internasional, Resolusi 1970 juga mengatur beberapa ketentuan
pokok lainnya, yaitu :
1) Permintaan kepada pemerintah Libya untuk menghormati HAM
dengan cara memastikan keselamatan semua warga asing yang
berada di Libya dan memfasilitasi keberangkatan mereka untuk
meninggalkan Libya, serta menjamin keselamatan pekerja
lembaga bantuan kemanusiaan dan medis.
2) Larangan bagi negara-negara anggota PBB untuk menerima atau
mengizinkan pihak-pihak yang dimaksud dalam Lampiran I
Resolusi 1970 untuk masuk kedalam wilayah negara anggota
atau transit melalui wilayah negara anggota.
3) Pembekuan terhadap aset dan sumber daya ekonomi yang berada
di wilayah negara anggota PBB, yang dimiliki baik secara
langsung atau tidak langsung oleh anak-anak Moamar Qaddafi.
4) Membentuk Komite Dewan Keamanan yang terdiri dari seluruh
anggota Dewan Keamanan PBB untuk memantau pelaksanaan
upaya penyelesaian konflik Libya.
Pelaksanaan ketentuan Resolusi 1970 tidak berjalan dengan
semestinya. Keadaan Libya semakin memburuk dan korban dari
penduduk sipil semakin meningkat. Tidak terlaksananya ketentuan
Resolusi 1970 disebabkan Moamar Qaddafi tidak menghiraukan
Resolusi 1970 dan mengganggap Resolusi 1970 sebagai resolusi
yang cacat. Masyarakat internasional semakin mengecam tindakan
pihak pro Moamar Khadafi dan meminta kepada Dewan Keamanan
PBB untuk segera melakukan tindak lanjut terhadap keadaan
tersebut.
b. Resolusi 1973
Resolusi 1973 dikeluarkan pada 17 Maret 2011. Resolusi ini
merupakan tindak lanjut kedua dari Resolusi 1970 serta sebagai
upaya untuk melindungi penduduk sipil dari akibat konflik yang
semakin hari semakin memburuk. Resolusi 1973 memuat beberapa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
ketentuan pokok yang sama seperti ketentuan pokok Resolusi 1970,
yaitu ketentuan pokok mengenai embargo senjata, larangan transit
bagi pihak-pihak yang dimaksud dalam Lampiran I Resolusi 1970,
serta pembekuan aset dan sumber daya ekonomi yang dimiliki oleh
pihak-pihak yang dimaksud di dalam Lampiran II Resolusi 1970.
Selain ketentuan di atas, Resolusi 1973 memuat mengenai ketentuan
tambahan yang bertujuan untuk melindungi penduduk sipil, yang
antara lain :
1) Memberikan kewenangan kepada negara-negara anggota PBB
untuk bertindak secara nasional maupun secara regional dan
bekerja sama bersama-sama dengan Sekretaris Jendral untuk
mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk melindungi
penduduk sipil meskipun menyimpang dari paragraf 9 Resolusi
1970, yaitu larangan penjualan pasokan persenjataan ke dalam
wilayah Libya.
2) Adanya zona larangan terbang di atas wilayah Libya dengan
tujuan untuk melindungi penduduk sipil. Zona larangan terbang
ini dikecualikan bagi penerbangan yang bertujuan untuk
kemanusiaan seperti pemberian bantuan obat-obatan, makanan,
serta bantuan yang terkait dengan evakuasi warga negara asing
dari Libya.
Sebagai bentuk pelaksanaan Resolusi 1973 sejumlah negara
seperti Prancis, Inggris, dan Amerika Serikat, serta organisasi
pertahanan NATO ikut terlibat ke dalam konflik Libya. Keterlibatan
ketiga negara tersebut bersama-sama dengan NATO merupakan
keterlibatan untuk memberikan perlindungan terhadap penduduk
sipil. Bentuk keterlibatan Inggris, Prancis, dan Amerika Serikat
adalah dengan memberikan bantuan persenjataan kepada pihak
oposisi untuk melawan pemerintah sebagai pihak pro Moamar
Qaddafi. Sedangkan bentuk keterlibatan organisasi pertahanan
NATO adalah dengan berkontribusi langsung dalam pertempuran
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
melawan pihak pro Moamar Khadafi. Keterlibatan ketiga negara
tersebut bersama-sama dengan NATO bertujuan untuk memberikan
perlindungan kepada penduduk sipil.
Dewan Keamanan PBB tidak meminta secara khusus kepada salah
satu negara anggota PBB untuk ikut serta dalam melindungi penduduk
sipil. Pada paragraf 4 Resolusi 1973, Dewan Keamanan PBB menyatakan
memberikan kewenangan bagi semua negara anggota PBB untuk bertindak
secara nasional maupun regional dan bekerja sama dengan Sekretaris
Jendral untuk melindungi penduduk sipil. Berdasarkan ketentuan ini,
Inggris, Prancis, Amerika Serikat dan NATO memilih untuk ikut terlibat
dalam konflik Libya. Sejauh ini keikutsertaan ketiga negara tersebut
bersama-sama dengan NATO dalam konflik Libya merupakan tindakan
yang tidak bertentangan dengan ketentuan Piagam PBB. Pasal 2 ayat 7
Piagam PBB menyatakan bahwa negara anggota tidak diperbolehkan untuk
intervensi dalam permasalahan dalam negeri negara lain, namun apabila hal
tersebut dimaksudkan untuk penerapan langkah-langkah hukum oleh
Dewan Keamanan PBB berdasarkan kewenangan yang tercantum dalam
Bab VII Piagam PBB, maka intervensi tersebut diperbolehkan.
Ketiga negara tersebut bersama-sama dengan NATO hanya
melaksanakan keputusan dari Dewan Keamanan PBB. Keputusan yang
telah dikeluarkan oleh Dewan Keamanan PBB mempunyai kekuatan
mengikat bagi negara-negara anggota PBB, termasuk bagi negara-negara
yang secara nyata menolak ketika pengambilan keputusan berlangsung, dan
bagi negara-negara yang tidak termasuk dalam keanggotaan Dewan
Keamanan PBB (Marko Divac Oberg, 2006: 885). Kekuatan mengikat dari
keputusan Dewan Keamanan PBB secara tegas dicantumkan dalam Pasal
48 Piagam PBB. Pasal 48 ayat 1 Piagam PBB menyatakan semua negara
anggota PBB harus mengambil tindakan untuk melaksanakan keputusan
Dewan Keamanan PBB. Pasal 48 ayat 2 Piagam PBB menyatakan bahwa
keputusan tersebut harus dilaksanakan oleh negara anggota PBB baik
dilaksanakan secara langsung maupun bekerja sama dengan badan-badan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
internasional lainnya. Meskipun tidak bertentangan dengan ketentuan
Piagam PBB, keterlibatan negara-negara tersebut dan NATO bertolak
belakangan dengan tujuan Resolusi 1973 untuk memberikan perlindungan
terhadap penduduk sipil. Hal ini disebabkan keterlibatan ketiga negara
tersebut bersama-sama dengan NATO dalam konflik Libya menimbulkan
korban penduduk sipil yang lebih banyak (http://jaringnews.com/, diakses 4
Juli 2012).
Keterlibatan Dewan Keamanan PBB dalam konflik Libya bukan
lagi dinilai sebagai keterlibatan biasa. Keterlibatan ini dinilai sebagai
tanggung jawab untuk melindungi atau “Responsibility To Protect (R2P)”
terhadap penduduk sipil. R2P adalah sebuah konsep untuk intervensi yang
dilakukan oleh komunitas internasional terhadap suatu negara yang tidak
ingin dan tidak mampu untuk menghentikan dan mencegah terjadinya
pemusnahan masal, termasuk genosida, pembersihan etnis, dan kejahatan
terhadap kemanusiaan lainnya (Vijay Mehta, 2009: 2). R2P baru bisa
dilaksanakan ketika sebuah negara tidak mempunyai keinginan dan
kemampuan untuk menghentikan dan mencegah tindakan-tindakan
pelanggaran HAM seperti genosida, pembersihan etnis, dan kejahatan
terhadap kemanusiaan lainnya. Ketika negara tidak mempunyai keinginan
dan kemampuan untuk menghentikan dan mencegah tindakan-tindakan
pelanggaran HAM, maka masyarakat internasional melalui Dewan
Keamanan PBB mempunyai tanggung jawab langsung untuk menghentikan
dan mencegah tindakan-tindakan pelanggaran HAM. Konsep R2P telah
diterima oleh Dewan Keamanan PBB yang ditegaskan melalui Resolusi
1674 mengenai perlindungan terhadap penduduk sipil dalam konflik
bersenjata (Vijay Mehta, 2009: 8).
Dalam hal konflik Libya, secara nyata Moamar Qaddafi sebagai
pemimpin Libya tidak mempunyai keinginan dan kemampuan untuk
menghentikan pelanggaran ketentuan perang yang berakibat langsung pada
penduduk sipil. Tidak adanya kemampuan dan keinginan dari Moamar
Qaddafi untuk menghentikan pelanggaran HAM yang semakin luas,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
membuat masyarakat internasional yang diwakili oleh Dewan Keamanan
PBB berkewajiban untuk terlibat dalam konflik Libya. Keterlibatan ini
merupakan tanggung jawab untuk melindungi penduduk sipil sebagai
bentuk penghormatan HAM dan tanggung jawab untuk menjaga
perdamaian dan keamanan internasional.
Berdasarkan pemaparan di atas, dalam penyelesaian konflik Libya
Dewan Keamanan PBB telah memberikan keputusan penyelesaian secara
damai melalui jalur hukum dengan menyerahkan penyelesaian konflik
Libya kepada Mahkamah Pidana Internasional. Keputusan penyelesaian
secara damai tersebut berjalan seiring dengan penjatuhan sanksi ekonomi
kepada Libya melalui Resolusi 1970 dan 1973. Selain sebagai upaya
penyelesaian konflik Libya, kedua resolusi tersebut juga merupakan upaya
untuk menghentikan pelanggaran HAM terhadap penduduk sipil Libya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada bab III, maka kesimpulan
yang dapat diambil adalah sebagai berikut:
1. Kewenangan Dewan Keamanan PBB dalam Penyelesaian Konflik Libya
Keterlibatan Dewan Keamanan PBB dalam penyelesaian konflik Libya
merupakan hal yang dibenarkan dan sesuai dengan kewenangan yang dimiliki
Dewan Keamanan PBB. Hal ini dikarenakan konflik Libya dikategorikan sebagai
situasi yang mengganggu perdamaian dan keamanan internasional.
2. Tindakan Nyata Dewan Keamanan PBB dalam Penyelesaian Konflik Libya
a. Tindakan pertama dalam penyelesaian konflik Libya, Dewan Keamanan
mengeluarkan Resolusi 1970, yang berisikan tentang pengajuan penyelesaian
konflik kepada Mahkamah Pidana Internasional sekaligus pemberian sanksi
ekonomi berupa embargo senjata kepada Libya.
b. Tindakan kedua dalam penyelesaian konflik Libya, Dewan Keamanan PBB
mengeluarkan Resolusi 1973, yang berisikan tentang pemberian sanksi
ekonomi dan juga seruan kepada negara-negara anggota PBB untuk ikut
terlibat dalam melindungi penduduk sipil Libya.
B. Saran
Keterlibatan Prancis, Inggris, Amerika Serikat, dan NATO dalam konflik Libya
merupakan bentuk pelaksanaan Resolusi 1973 Dewan Keamanan PBB, tetapi
keterlibatan ketiga negara tersebut bersama-sama dengan NATO bertolak belakang
dengan tujuan resolusi untuk melindungi penduduk sipil. Berdasarkan hal ini,
seharusnya Dewan Keamanan PBB dapat membentuk ketentuan suatu keputusan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
dengan jelas dan tegas, sehingga tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda
dari tiap negara yang ingin melaksanakan keputusan Dewan Keamanan PBB.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Syukur. 2011. Para Koruptor Kelas Wahid Dunia. Yogyakarta: Flashbooks.
Ade Maman Suherman. 2003. Oganisasi Internasional & Integrasi Ekonomi
Regional Dalam Perspektif Hukum dan Globalisasi. Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Ambarwati, Denny Ramdhani, Rina Rusman. 2010. Hukum Humaniter Internasional
dalam Studi Hubungan Internasional. Jakarta: Rajawali Pers.
Apriadi Tamburaka. 2011. Revolusi Timur Tengah. Yogyakarta: Penerbit NARASI.
Arlina Permanasari, Aji Wibowo, Fadilah Agus, Achmad Rosman, Supardan
Mansyur, Michael G. Naingolan. 1999. Pengantar Hukum Humaniter.
Jakarta: ICRC.
Boer Mauna. 2011. Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam
Era Dinamika Global. Bandung: Alumni.
David Coyle Cushman. 1969. The United Nations and How It Works. Columbia
University Press.
Derek Bowet. 1994. The Impact of Security Council Decisions on Dispute Settlement
Procedures. EJIL.
D.J Harris. 1998. Cases And Materials On International Law. London: Sweet and
Maxwell Limited.
Fadilah Agus. 1997. Hukum Humaniter : Suatu Prespektif. Jakarta: Pusat Studi
Hukum Humaniter FH Univ Trisakti.
Geoffrey Best. 1994. War & Law Since 1945. New York: Oxford University Press
Inc.
Haryomataram. 1984. Hukum Humaniter. Jakarta: Rajawali Pers
____________. 2007. Pengantar Hukum Humaniter. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada.
Huala Adolf. 2004. Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional. Jakarta: Sinar
Grafika.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
ICRC. 1958. Commentary IV Geneva Convention Relative to the Protection of
Civilian Persons in Time of War. Geneva: ICRC.
I Wayan Parthiana, 1990. Pengantar Hukum Internasional. Bandung: Mandar Maju.
International Court of Justice. 1962. Certain Expanses of The United Nations (Article
17, Paragraph 2, of The Charter) Advisory Opinion of 20 July 1962.
International Court of Justice.
International Court of Justice. 1986. Case Concerning Military and Paramilitary
Activities in and Against Nicaragua (Nicaragua v. United States of America)
Judgment of 27 June 1986. International Court of Justice.
James Barros. 1990. PBB Dulu Kini Dan Esok. Jakarta: Bumi Aksara.
James G. Stewart. 2003. Towards a Single Definition of Armed Conflict in
International Humanitarian Law: a Critique of Internationalized Armed
Conflict. IRRC Vol. 85.
Jaring News. 2012. NATO Harus Bertanggung Jawab Untuk Ketidakstabilan Libya.
http://jaringnews.com/, diakses 4 Juli 2012 pukul 19.40.
J.G. Merrils. 2005. International Dispute Settlement. Cambridge University Press.
J.G Starke. 2001. Pengantar Hukum Internasional Jilid 1 Terjemahan Bambang
Iriana Edisi 10. Jakarta: Sinar Grafika.
________. 2001. Pengantar Hukum Internasional Jilid 2 Terjemahan Bambang Iriana
Edisi 10. Jakarta: Sinar Grafika.
Justin S. Gruenberg. 2009. An Analysis of United Nations Security Council
Resolutions are All Countries Treated Equally. Case Western Reserve Journal
of International Law
Marko Divac Oberg. 2006. Legal Effects of Resolution of The UN Security Council
and General Assembly in the Jurisprudence of the ICJ. The European Journal
of International Law Vol. 16 no.5 © EJIL
Maria Cristina Paciello. 2011. Tunisia: Changes and Challenges of Political
Transition. MEDPRO (Mediteranian Prospect).
Masyhur Effendi. 1994. Hukum Humaniter Internasional. Surabaya: Usaha Nasional.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
Merhdad Payandeh. 2011. The United Nations, Military Intervention, and Regime
Chage in Libya. Virginia Journal of International Law. Vol.52 (2011).
PBB. 1995. Pengetahuan Dasar Mengenai Perserikatan Bangsa-Bangsa. Jakarta:
Kantor Penerangan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNIC).
Peter Mahmud Marzuki. 2006. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.
Robert Kogod Goldman. International Humanitarian Law: American Watch’s
Experience In Monitoring Internal Armed Conflicts. AM. U. J. INT'L L. &
POL'Y. VOL.9:1
Safril Djamain. 1993. Mengenal Lebih Jauh PBB dan Negara-Negara di Dunia.
Klaten: PT. Intan Pariwara.
Sefriani. 2010. Hukum Internasional Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Press
Schoolpedia. 2012. Sengketa Internasional.
http://isfanl.blogspot.com/2012/02/sengketa-internasional.html diakses 20
Juni 2012 pukul 14.16 WIB.
Sri Setianging Suwardi. 2004. Pengantar Hukum Organisasi Internasional. Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press).
Sumaryo Suryokusumo. 1987. Organisasi Internasional. Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia (UI-Press).
___________________. 1997. Studi Kasus Hukum Organisasi Internasional.
Bandung: P.T. Alumni.
Sundhus Balata. 2011. The Egytian Uprising a Movement In The Making. Kanada: I
& I Vol. 4 No. 1.
United Nation Charter (Piagam PBB)
United Nation Holocaust Memorial Museum. 2012. World War II: Timeline.
http://www.ushmm.org/, diakses 14 Agustus 2012 pukul 19.20 WIB.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
Vijay Mehta. 2009. Diskusi The UN Doctrine on the Responsibility to Protect, Can it
be enforces to prevent wars, genocides, and crimes against humanity. Kendal:
South Lakeland & Lancaster United Nation Association.