Di Telabit, Cintaku Terbit

4
1 TOP 10 International Volunteer Day 2015 Blog Competition by Indonesia Volunteering Hub Di Telabit, Cintaku Terbit Oleh: Lintang Wisesa Atissalam Upacara 17 Agustus bersama anak-anak TKI di Malaysia. Sumber: Dok. pribadi (2014) Pertengahan Agustus, tahun lalu. Mentari pagi kian cerah, seakan turut memeriahkan hari perdana relawan VTIC Foundation mengajar di Malaysia. Didampingi cikgu Selfi, kami menyusuri jalan setapak menuju sekolah tempat mengabdi. Sepanjang perjalanan, saya, Jihan dan Rina mengamati beragam aktivitas TKI di sini. Mulai dari makcik yang tengah berkebun, sampai pakcik yang sibuk memikul tandan kelapa sawit. Tiba di sekolah, kami disambut Sang Kepala Sekolah yang juga merangkap sebagai juru kuncinya. Mas Udin Madong, begitulah nama yang tertera di akun facebook beliau. Selain mengajar, cikgu Udin juga bertugas sebagai pengusir nyamuk di Telabit. Dua kali sepekan ia keliling kompleks, membasmi nyamuk (fogging) di rumah-rumah warga. FYI, beliau sudah kepala empat, namun masih bahagia menyandang gelar bujangan. Wanna take him out? :P Prestasi Evan Melejit Sekolah non-formal CLC An-Nur Hijrah Telabit yang sederhana, namun penuh cerita. Di gubuk kayu inilah 32 pelajar menimba ilmu. Mulai tingkat tadika (TK), SD hingga SMP, berbaur satu atap tanpa sekat. Minimnya fasilitas ditambah kualitas pendidik yang seadanya membuatku prihatin, sekaligus ragu akan mutu pendidikan di sini. Namun selama dua pekan

description

Tulisan ini masuk dalam Top 10 International Volunteer Day Blog Competition 2015 yang digelar oleh Indonesia Volunteering Hub. Kisah "Di Telabit, Cintaku Terbit" merupakan pengalaman nyata Lintang Wisesa ketika menjadi mahasiswa sukarelawan VTIC Foundation, mengajar anak-anak buruh migran Indonesia di Sarawak, Malaysia pada tahun 2014.

Transcript of Di Telabit, Cintaku Terbit

Page 1: Di Telabit, Cintaku Terbit

1

“TOP 10 International Volunteer Day 2015 Blog Competition by Indonesia Volunteering Hub”

Di Telabit, Cintaku Terbit

Oleh: Lintang Wisesa Atissalam

Upacara 17 Agustus bersama anak-anak TKI di Malaysia.

Sumber: Dok. pribadi (2014)

Pertengahan Agustus, tahun lalu. Mentari pagi kian cerah, seakan turut memeriahkan

hari perdana relawan VTIC Foundation mengajar di Malaysia. Didampingi cikgu Selfi, kami

menyusuri jalan setapak menuju sekolah tempat mengabdi. Sepanjang perjalanan, saya, Jihan

dan Rina mengamati beragam aktivitas TKI di sini. Mulai dari makcik yang tengah berkebun,

sampai pakcik yang sibuk memikul tandan kelapa sawit.

Tiba di sekolah, kami disambut Sang Kepala Sekolah yang juga merangkap sebagai juru

kuncinya. Mas Udin Madong, begitulah nama yang tertera di akun facebook beliau. Selain

mengajar, cikgu Udin juga bertugas sebagai pengusir nyamuk di Telabit. Dua kali sepekan ia

keliling kompleks, membasmi nyamuk (fogging) di rumah-rumah warga. FYI, beliau sudah

kepala empat, namun masih bahagia menyandang gelar bujangan. Wanna take him out? :P

Prestasi Evan Melejit

Sekolah non-formal CLC An-Nur Hijrah Telabit yang sederhana, namun penuh cerita.

Di gubuk kayu inilah 32 pelajar menimba ilmu. Mulai tingkat tadika (TK), SD hingga SMP,

berbaur satu atap tanpa sekat. Minimnya fasilitas ditambah kualitas pendidik yang seadanya

membuatku prihatin, sekaligus ragu akan mutu pendidikan di sini. Namun selama dua pekan

Page 2: Di Telabit, Cintaku Terbit

2

mengajar, keraguanku sedikit demi sedikit tumbuh menjadi keyakinan. Keyakinan bahwa

mereka pun memiliki masa depan yang cerah. Salah satunya karena kehadiran Evan.

Evan adalah satu-satunya murid SMP di Telabit yang sangat bersemangat melanjutkan

sekolah. Walau berstatus sebagai selundupan (baca: imigran gelap), namun niatnya menjadi

seorang dokter tak dapat diragukan. Buktinya, dua tahun lalu ia menjadi lulusan Paket A terbaik

se-Sarawak, Malaysia. Sungguh prestasi yang sangat membanggakan. Kecerdasan dan

kedisiplinannya dalam belajar memang di atas rata-rata murid lainnya. Evan-lah yang menjadi

contoh dan panutan siswa lain di sekolah. Evan pula yang kerap mendapat misi penting dari

cikgu, entah memanggil murid-murid untuk berkumpul, atau sekadar mengantar pulang siswa

tadika. Walau begitu, Evan juga tak jarang menjadi biang kerok kegaduhan kelas. Maklumlah,

anak-anak.

Mail Dua Seringgit

Selain Evan, masih banyak murid Telabit yang tak kalah unik. Ada trio kelas 6 SD yang

cerdas-cerdas: Suleha, Nana dan Uni. Johari kelas 5 SD yang slengekan tak karuan tapi dapat

diandalkan, walau hanya kadang-kadang. Akmal (4 SD) si mungil genius yang hafal teks

Pembukaan UUD 1945. Ada pula Milda (4 SD), gadis comel nan penuh canda. Dan masih

banyak yang lainnya. Salah satu murid yang membuatku sesekali cekikikan adalah Mail Ismail

(4 SD), kami memanggilnya Mail Dua Seringgit. Lantaran perawakannya kembar identik

dengan tokoh Mail dalam Upin Ipin, yang tersohor akan tagline-nya, "Dua seringgit, dua

seringgit."

Satu hal tak terlupakan dari Mail adalah ekspresinya yang tiba-tiba berubah drastis saat

terkejut atau tertawa. Mail-lah yang pertama kali berinisiatif menulis surat perpisahan di hari-

hari terakhir kami mengajar. Dengan tulisan cakar ayamnya, Mail berpesan: “CEgU LiNtANg

jAgAN pULANg yA. Nati KitA mAiL Adi AjAK pEgi KA BiNtULU. mAiL.” (“Cikgu Lintang

jangan pulang, ya. Nanti kita, Mail dan Adi ajak pergi ke Bintulu. Mail.”)

Terima kasih banyak, Mail. Kapan-kapan kita ke Bintulu, OK? :’)

Reyhan Nakal Bingit?

Suatu siang selepas mengajar, kunikmati angin sepoi-sepoi di beranda rumah cikgu

Selfi. Tak lama berselang, Jihan menyusul sembari membawa satu paket cerita bergambar

bantuan dari KPK, seraya duduk di depan pintu dan membacanya dengan lantang. Entah Jihan

membacakan cerita untuk siapa. Untukkukah? Do you think I can’t read it by myself, Jihan?

Page 3: Di Telabit, Cintaku Terbit

3

Beberapa menit kemudian, sayup-sayup terdengar suara anak kecil berseliweran di

sekitar rumah. Kupanggil ia naik ke rumah panggung. “Sini, nak,” ujarku. Beberapa kali

kupanggil, ia hanya menyahut dengan bahasa batin. Jihan pun merayunya dengan menyodorkan

buku cerita bergambar. Walhasil, alon-alon waton kelakon, ia pun naik selangkah demi

selangkah ke atas rumah panggung. Sosoknya tak kami jumpai di sekolah, karena memang ia

putus sekolah. Kondisi ekonomi memaksa bocah 7 tahun itu membantu orang tua bekerja di

ladang. Kata cikgu Selfi, anak ini tergolong very naughty. Dan memang, ia sedikit liar, nakal,

brutal, membuat semua orang menjadi gempar. Emangnya kera sakti? Mungkin bukan nakal,

lebih tepatnya cari perhatian. Namanya Reyhan. Saat kuajak ke surau, Reyhan menurut. Padahal

selama ini ia jarang sembahyang di surau, bahkan tak pernah. Kala kuajak mengaji ba’da

maghrib, Reyhan pun ikut, walaupun sejauh ini ia baru Iqro' jilid 1. Itupun hanya huruf alif

sampai jim yang ia pahami.

***

Evan, Mail, dan Reyhan menjadi cermin bagaimana kondisi pendidikan anak-anak TKI

di Negeri Jiran. Mereka terhimpit hiruk-pikuk lingkungan industri, tercekik dengan doktrin:

sekolah tak penting, kerja yang paling penting. Mereka hanyalah tiga dari ribuan putra-putri

pahlawan devisa yang butuh cinta, perhatian, dan kesadaran akan pentingnya bersekolah. Kalau

bukan dari kita, siapa lagi? Kalau bukan dari sekarang, kapan lagi? Mari satukan hati dan aksi

untuk berbagi, demi generasi emas Ibu Pertiwi.

Dan atas nama Yang Maha Kuasa, kusedekahkan sebagianku.

Tangan kiri pun tak tahu, biarlah Tuhan yang tahu.

Walau hanya setetes cinta, kucoba peduli dan berbagi.

Hidupku ingin berarti, satu cinta berbagi bahagia.

(Edcoustic)

Page 4: Di Telabit, Cintaku Terbit

4

Tentang Lintang

Lintang Wisesa Atissalam, S.Si

Surakarta, 26 November 1991

+62 888 671 9327

[email protected]

Facebook : Lintang Wisesa

Twitter : @Lintang_Wisesa

Google+ : +LintangWisesa1

lintangbagus.blogspot.co.id/