DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG...

164

Transcript of DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG...

Page 1: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO
Page 2: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO 46/PUU

LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT

Laporan

OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO 46/PUU

DI LUAR NIKAH DI PEN(Studi Pandangan Hakim Agama Jakarta dan Banten)

PUSAT PENELITIAN DAN PENERBITAN LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT

UIN SYARIF

Penelitian Berbasis Publikasi Nasional Terakreditasi

OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO 46/PUU

DI LUAR NIKAH DI PEN(Studi Pandangan Hakim Agama Jakarta dan Banten)

Dr. H. Fuad Thohari,M.AgNIP.

Afwan Faizin,MANIP. 197210262002121001

Mohamad NIP.

PUSAT PENELITIAN DAN PENERBITAN LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Penelitian Berbasis Publikasi Nasional Terakreditasi

OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO 46/PUU-VI/2010 TENTANG STATUS ANAK

DI LUAR NIKAH DI PEN(Studi Pandangan Hakim Agama Jakarta dan Banten)

Peneliti:Dr. H. Fuad Thohari,M.Ag

NIP. 197003232000031Afwan Faizin,MA

NIP. 197210262002121001Mohamad Mujibur

NIP.197604082007101001

PUSAT PENELITIAN DAN PENERBITAN LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT

HIDAYATULLAH JAKARTATAHUN 2014

Penelitian Berbasis Publikasi Nasional Terakreditasi

OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH VI/2010 TENTANG STATUS ANAK

DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA(Studi Pandangan Hakim Agama Jakarta dan Banten)

Peneliti: Dr. H. Fuad Thohari,M.Ag

197003232000031 Afwan Faizin,MA

NIP. 197210262002121001Mujibur Rohman, MA

197604082007101001

PUSAT PENELITIAN DAN PENERBITAN LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT

HIDAYATULLAH JAKARTATAHUN 2014

Penelitian Berbasis Publikasi Nasional Terakreditasi

OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH VI/2010 TENTANG STATUS ANAK

ADILAN AGAMA(Studi Pandangan Hakim Agama Jakarta dan Banten)

Dr. H. Fuad Thohari,M.Ag

NIP. 197210262002121001 ohman, MA

197604082007101001

PUSAT PENELITIAN DAN PENERBITAN LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT

HIDAYATULLAH JAKARTA

Penelitian Berbasis Publikasi Nasional Terakreditasi

OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH VI/2010 TENTANG STATUS ANAK

ADILAN AGAMA (Studi Pandangan Hakim Agama Jakarta dan Banten)

LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT

OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH VI/2010 TENTANG STATUS ANAK

LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT

Page 3: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

ABSTRACT

Pada tahun 2012 yang lalu, lembar sejarah Hukum

Perkawinan di Indonesia diwarnai oleh suasana ketegangan, atas

munculnya putusan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disingkat

MK) Republik Indonesia yang menyangkut hak waris anak luar

kawin. MK Republik Indonesia telah mengabulkan uji materi Pasal

43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan(selanjutnya disingkat UUP) yang diajukan oleh Machica

Mochtar yang telah melakukan pernikahan sirri. Berdasarkan Putusan

MK Nomor 46/PUU-VIII/2010, bahwa Pasal 43 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan(Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan“Anak

yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan

perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya,” bertentangan dengan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-

laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan

teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata

mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya. Menurut Mahkamah

Konstitusi Pasal 43 ayat (1) UUP tidak memiliki kekuatan hukum

mengikat. Berdasarkan putusan tersebut, maka kedudukan dan hak

anak luar kawin termasuk hak anak biologis dalam hukum

perkawinan sirri dan hukum kewarisan memiliki kedudukan dan hak

yang sama sebagaimana anak sah (hasil perkawinan yang sah).

Putusan MK bersifat final dan mengikat, akan tetapi setelah

keluarnya putusan MK no 46 tahun ternyata tidak semua hakim

mentaatinya. Hal ini terbukti dengan putusan No

Page 4: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

1241/Pdt.G/2012/PA JS Pengadilan Agama Jakarta Selatan, tanggal

24 April 2013 dikemukakan bahwa majelis PA Jaksel mengabulkan

gugatan penggugat untuk sebagian dan menyatakan anak yang

bernama Muhammad Iqbal Ramadhan, lahir pada tanggal 5 Februari

1996 adalah anak di luar perkawinan dari penggugat (Hj. Aisyah

Mochtar binti H. Mochtar) dan Drs. Moerdiono bin Sukadji

Soekomihardjo. Begitu pula putusan tingkat banding juga menolak

gugatan Machica untuk pengakuan status anak melalui putusan

nomor 75/Pdt.G/2013/PTA.JK

Dari uraian di atas, bisa diketahui bahwa putusan MKNO.

46/PUU-VIII/2010 Tentang Status Anak di Luar Nikah yang

menyatakan bahwa “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan

mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya

serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan

berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain

menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan

perdata dengan keluarga ayahnya”; memiliki resistensi yang sangat

tinggi. Hal ini terbukti dari putusan PA Jaksel dan PTA Jakarta di

atas. Bahkan bisa jadi pihak pengadilan Agama Jakarta Selatan dan

PTA Jakarta merasa tidak perlu memperhatikan putusan MK karena

secara hiraki bukan berada di bawah kewenangan MK, melainkan di

bawah Makamah Agung. Oleh sebab itu dalam memutuskan perkara

status anak luar nikah ini tidak perlu mempertimbangnkan putusan

MK. Atau bisa jadi karena masalah ini memang bersinggungan

bahkan menabrak norma hukum Islam tentang konsep pemeliharaan

nasab sebagaimana difatwakan oleh Majelis Ulama Indonesia melalui

fatwa no 11 Tahun 2012 Tentang Status Anak Zina dan Perlakuan

Terhadapnya.

Page 5: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

Dari hasil penelitian mengenai pandangan para Hakim di

lingkungan Pengadilan Agama Jakarta dan Banten terhadap hasil

putusan MK No 46 tahun 2010 mengenai status anak di luar

perkawinan, diketahui bahwa para hakim mempunyai pandangan

yang beragam dalam menanggapi putusan MK tersebut. Tetapi pada

prinsipnya para Hakim tetap mengakui bahwa putusan MK adalah

bersifat final and binding namun hakim memiliki keleluasaan

menafsirkan hukum, sehingga hasil putusan masing-masing hakim

bisa berbeda dalam menetapkan status anak d luar perkawinan. Pada

posisi ini, hakim mempunyai keleluasaan untuk melakukan deskresi

maupun penafsiran pada undang-undang bergantung pada kasus yang

diajukan.

Penelitian ini bersifat kualitatif yang menggali masalah dari

berbagai teori yang ada kemudian dikomparasikan dengan data

lapangan sehingga menghasilkan kesimpulan yang sesuai antara teori

dan praktek.

Page 6: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Dasar Pemikiran

Pada tahun 2012 yang lalu, lembar sejarah Hukum Perkawinan di

Indonesia diwarnai oleh suasana ketegangan, atas munculnya putusan Mahkamah

Konstitusi (selanjutnya disingkat MK) Republik Indonesia yang menyangkut hak

waris anak luar kawin. MK Republik Indonesia telah mengabulkan uji materi

Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan(selanjutnya disingkat UUP) yang diajukan oleh Machica Mochtar

yang telah melakukan pernikahan sirri.1 Berdasarkan Putusan MK Nomor

46/PUU-VIII/2010, bahwa Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974

Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang

menyatakan“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai

hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya,” bertentangan dengan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang

dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat

dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain

menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya. Menurut

Mahkamah Konstitusi Pasal 43 ayat (1) UUP tidak memiliki kekuatan hukum

mengikat. Berdasarkan putusan tersebut, maka kedudukan dan hak anak luar

kawin termasuk hak anak biologis dalam hukum perkawinan sirri dan hukum

kewarisan memiliki kedudukan dan hak yang sama sebagaimana anak sah (hasil

perkawinan yang sah).

Melalui putusan No 46/PUU-VIII/2010, Mahkamah Konstitusi (MK)

membuat sebuah terobosan hukum yang cukup fenomenal dalam bidang hukum

keluarga. Putusan ini melahirkan pro dan kontra di masyarakat karena dinilai

dapat membuka peluang untuk dipahami adanya hubungan perdata antara anak

yang dilahirkan dari hasil zina dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya.

Permohonan uji materi yang hasil putusannya sempat menimbulkan polemik ini

1Pernikahan sirri dalam arti perkawinan yang sah berdasarkan syarat dan rukun nikah sebagaimana syariat Islam, namun tidak dicatat dalam buku registrasi perkawinan.

Page 7: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

2

diajukan oleh Machicha Mochtar, mantan istri siri alm. Moerdiono seorang

pejabat papan atas era Orde Baru.

Pasal yang diajukan untuk diujimaterikan oleh pemohon pada mulanya

meliputi pasal 2 dan pasal 43 UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Tetapi

MK hanya mengabulkan sebagian dan menolak sebagian lainnya. Mahkamah

Konstitusi menyampaikan amar putusan dengan mengadili dan menyatakan

Pertama, Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian; Kedua, Pasal

43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di

luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan

keluarga ibunya”,2 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata

dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan

teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan

darah sebagai ayahnya; Ketiga, Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974

Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang

menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai

hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, tidak memiliki kekuatan

hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan

laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi

dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah

sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di

luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga

ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan

berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut

hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan

keluarga ayahnya”; Keempat, Menolak permohonan para Pemohon untuk selain

2 Soebekti dan Tjitrosoedibio, Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,

Jakarta: Pradnya Paramita, 1985, h. 10.

Page 8: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

3

dan selebihnya; Kelima, Memerintahkan untuk memuat putusan ini dalam Berita

Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

Dengan lahinrnya putusan MK No 46/PUU-VIII/2010 yang dibacakan

pada hari Jumat 17 Februari 2012 itu, bisa diketahui bahwa dengan diakuinya

anak luar nikah menjadi anak sah, sangat memungkinkan munculnya beragam

penafsiran. Harian Republika sehari setelah putusan itu dikeluarkan menulis

sebuah berita berjudul KUA khawatir putusan MK ini justru mendorong

masyarakat berzina. Detik com beberapa menit setelah putusan itu dibacakan oleh

ketua MK memuat berita bahwa Pro kontra masyarakat menyikapi putusan

Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengakui anak di luar nikah mulai

bermunculan.3

Sementara itu menurut ketua MUI Amidan, putusan MK itu sudah

merupakan bahasan turunan dari UU perkawinan. Untuk pasal yang telah

disahkan oleh MK, menurutnya sudah masuk dalam ranah fikih, ketika sudah

masuk dalam wilayah fikih, tentunya akan ada beragam pendapat. Sedangkan

Wakil Menteri Agama, Nasaruddin Umar, ia menyatakan siap menjalankan

putusan MK. Ia juga mengatakan bahwa kalau putusan MK memerintahkan anak

yang lahir di luar pernikahan memiliki hubungan perdata dengan ayah dan

keluarga ayahnya, maka putusan tersebut yang harus diterapkan.4

Pro kontra semacam ini pada dasarnya jauh-jauh hari telah diprediksi

bahkan disampaikan oleh salah seorang hakim MK Harjono, pada 1 Desember

2010, ketika uji materi UU ini sedang dalam proses ia pernah mengatakan bahwa

Seandainya Pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dinilai

bertentangan UUD 1945 dan dimohon untuk dicabut akan berimplikasi luas.

Karenanya, pemohon diminta mempertimbangkan kembali permohonannya. Oleh

sebab itu pasal ini oleh ijtihad hakim MK dirumuskan menjadi anak yang

dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan

3 http//www.detik.com/ Pasca Putusan MK, Wamenag: Anak di Luar Nikah Bisa Dapat

Akta Lahir, berita tanggal 17/02/2012 4 http//www.detik.com/ Pasca Putusan MK, Wamenag: Anak di Luar Nikah Bisa Dapat

Akta Lahir, berita tanggal 17/02/2012

Page 9: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

4

keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan

berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut

hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga

ayahnya".

Kata “mempunyai hubungan darah” dalam rumusan pasal perubahan ini

memang sangat sensitif, sebab hubungan darah dalam kajian hukum Islam adalah

nasab. Padahal nasab merupakan salah satu dari al-Kulliyyah al-Khams, al-

Dharuriyyat al-Khams atau panca jiwa syariah yang harus dijaga keutuhan dan

kemurniannya. Nasab tidak mungkin dibentuk melalui jalan perzinaan, sedang

rumusan pasal hasil ijtihad MK ini jelas-jelas mengakui keabsahan nasab anak di

luar nikah yang tetap memiliki hubungan nasab dengan bapak kandungnya.

Polemik seperti ini terus berkepanjangan sejak putusan MK ini dibacakan

Jumat tanggal 17 Februari 2012. Hal ini bahkan disinyalir akan terus menjadi

bahan diskusi serius di kalangan pemerhati, akademisi dan praktisi hukum perdata

Islam di Indonesia. Di berbagai media baik cetak maupun elektronik masalah

status anak luar nikah ini menjadi bahan polemik yang terus akan berkelanjutan

hingga dibuat Peratusan Pemerintah atau Petunjuk Teknis dari Instansi terkait,

seperti Mahkamh Agung dan Kemenag serta kementerian terkait lain seperti

Kemenhukham, Kemendagri dan kementerian Pemberdayaan Perempuan dan

Perlindungan Anak.5

Di sisi lain, pada saat pro kontra terus bergulir di masyarakat, pihak

pemohon uji materi ini tentu saja merasa sedikit lega dengan dikabulkannya

permohonan ini. Bahkan Machicha Mochtar melalui kuasa hukumnya, Rusdianto

dan rekan mulai menyusun strategi dan langkah-langkah hukum untuk

menindaklanjuti hasil putusan MK ini. Langkah pertama mereka pelajari secara

seksama putusan MK itu untuk dijadikan salah satu dasar permohonan status

hukum anak luar nikah. Langkah kedua pihak pemohon mengajukan surat

bernomor 30/KH.M&M/K/III/2012 tertanggal 06 Maret 2012 kepada Pengadilan

5 http//www.detik.com/ Pasca Putusan MK, Wamenag: Anak di Luar Nikah Bisa Dapat

Akta Lahir, berita tanggal 17/02/2012

Page 10: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

5

Agama (PA) Tiga Raksa, perihal Permohonan Penetapan hubungan hukum anak

luar kawin dengan ayah biologisnya.

Menanggapi permohonan perihal penetapan hubungan hukum anak luar

kawin dengan ayah biologisnya ini, pihak PA TigaRaksa menolak dan

menyatakan permohonan ini tidak bisa diproses. Alasan utamanya adalah karena

dalam masalah ini sudah ada unsur persengketaan, sehingga tidak cukup dengan

permohonan melainkan harus dalam bentuk gugatan yang harus dialamatkan pada

pengadilan agama di mana para tergugat berdomisili. Dalam hal ini Machicha

Mochtar sebagai penggugat dan keluarga alm. Mordiono sebagai tergugat.6

Gugatan ini terpaksa diajukan setelah sebelumnya pengajuan permohonan

penetapan hubungan hukum anak luar kawin dengan ayah biologisnya yang

ditujukan ke PA Tigaraksa ditolak karena dinilai sebagai permohonan yang

seharusnya diajukan di PA Jakarta Selatan, tempat para tergugat berada. Di

samping upaya istbat nikah atau penetapan anak beberapa tahun sebelumnya

juga tidak dikabulkan, dengan alasan karena ada halangan kawin, karena Drs.

Moediono masih berstatus sebagai suami istri pertama. Pasca putusan MK Nomor

46/PUU-VII/2010 tanggal 17 Februari 2012, majelis hakim PA Tigaraksa

berpendapat bahwa permohonan tersebut mengandung persengketaan antara

penggugat dengan calon ayah biologisnya atau keluarga ayah biologisnya.7

Dalam gugatan ini, para tergugat diposisikan sebagai pihak, karena dalam

lapangan hukum keluarga dan harta kekayaan, ahli waris merupakan subyek

hukum yang bertindak mewakili kepentingan hukum pewaris. Jadi para tergugat

adalah subyek hukum yang bertindak mewakili kepentingan hukum alm. Drs.

Moerdiono. Upaya ini ditempuh dalam rangka mempermudah proses pembuktian

sebagaimana bunyi pasal 43 ayat (1) UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan,

pasca putusan MK yang menyatakan bahwa Anak yang dilahirkan di luar

perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya

6 Wawancara dengan Dra. Muhayah MH, Hakim pada pengadilan Agama Tigaraksa

tanggal 11 Nopember 2014 7 Wawancara dengan Dra. Muhayah MH, Hakim pada pengadilan Agama Tigaraksa

tanggal 11 Nopember 2014

Page 11: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

6

serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu

pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai

hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.

Gugatan ini oleh pihak tergugat dinilai sebagai gugatan yang sama sekali

tidak tepat dan salah alamat. Sebab para tergugat yang terdiri dari istri alm. Drs.

Moerdiono dan anak-anaknya tidak mempunyai hubungan hukum dengan

penggugat, karena sengketa dalam perkara A quo, adalah sengketa berupa

tuntutan yang diajukan oleh penggugat terhadap seorang laki-laki bernama Drs.

Moerdiono yang dalam hal ini adalah Almarhum suami, ayah dan kakek dari para

tergugat. Dengan demikian, dalam perjuangan lanjutan Machicha Mochtar

setelah putusan MK yang sempat menghebohkan tatanan dunia hukum keluarga

Islam Indonesia itu memang sudah terjadi perseteruan antara penggugat dan

tergugat. Pihak penggugat bersikeras bahwa gugatan bisa ditujukan kepada para

ahli waris, yang meliputi istri dan anak-anak alm. Drs Moerdiono sedangkan

pihak tergugat merasa tidak ada urusan hukum dengan pihak penggugat.

Akhirnya dalam amar putusan nomor 1241/Pdt.G/2012/PA JS Pengadilan

Agama Jakarta Selatan, tanggal 24 April 2013 dikemukakan bahwa majelis PA

Jaksel mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian dan menyatakan anak

yang bernama Muhammad Iqbal Ramadhan, lahir pada tanggal 5 Februari 1996

adalah anak di luar perkawinan dari penggugat (Hj. Aisyah Mochtar binti H.

Mochtar) dan Drs. Moerdiono bin Sukadji Soekomihardjo.

Putusan PA Jakarta Selatan ini jelas mengecawakan pihak penggugat,

hingga tepat empat hari dari penetapan putusan ini terdapat sebuah acara debat di

sebuah stasiun TV swasta Nasional berjudul “Perjuangan Machicha Berujung

Duka”. Merasa tidak puas dengan putusan PA Jaksel ini, pihak penggugat

menyatakan pikir-pikir dan akhirnya mengupayakan banding untuk sebuah

perjuangan status anak luar kawin agar menjadi anak sah yang diakui Negara dan

pada akte kelahirannya bukan hanya disebutkan sebagai anak seorang ibu, tetapi

juga anak seorang bapak.

Tetapi apa yang terjadi, pada tingkat banding perkara status anak luar

nikah yang sudah diperjuangkan dengan sungguh-sungguh hingga pada uji

Page 12: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

7

materiil pasal 43 UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan di MK ini tetap

ditolak. Pengadilan Tinggi Agama Jakarta melalui putusan nomor

75/Pdt.G/2013/PTA.JK yang diucapkan pada hari Selasa, tanggal 1 Oktober 2013

mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagain dan menyatakan anak yang

bernama Muhammad Iqbal Ramadhan , lahir pada tanggal 5 Februari 1996 adalah

anak di luar perkawinan dari penggugat (Hj. Aisyah Mochtar binti H. Mochtar)

dan Drs. Moerdiono bin Sukadji Soekomihardjo.

Putusan ini lagi-lagi sangat mengecewakan pihak pembanding karena isi

putusannya sama persis dengan putusan PA Jaksel yang secara jelas menyatakan

bahwa anak yang lahir akibat nikah siri antara Machicha Mochtar dan alm.

Moerdiono tetap dinyatakan sebagai anak luar nikah dan tidak ada secercah

harapan pun hingga putusan ini dibacakan. Tentu saja pihak penggugat atau

pembanding sudah berupaya semaksimal mungkin dalam berjuang, hingga

dipastikan rasa pesimistis dalam upaya Kasasi terkait perkara ini akan dapat

membuahkan hasil seperti yang diharapkan.

Dari uraian di atas, bisa diketahui bahwa putusan MKNO. 46/PUU-

VIII/2010 Tentang Status Anak di Luar Nikah yang menyatakan bahwa “Anak

yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya

dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat

dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain

menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan

keluarga ayahnya”; memiliki resistensi yang sangat tinggi. Hal ini terbukti dari

putusan PA Jaksel dan PTA Jakarta di atas. Bahkan bisa jadi pihak pengadilan

Agama Jakarta Selatan dan PTA Jakarta merasa tidak perlu memperhatikan

putusan MK karena secara hiraki bukan berada di bawah kewenangan MK,

melainkan di bawah Makamah Agung. Oleh sebab itu dalam memutuskan

perkara status anak luar nikah ini tidak perlu mempertimbangnkan putusan MK.

Atau bisa jadi karena masalah ini memang bersinggungan bahkan menabrak

norma hukum Islam tentang konsep pemeliharaan nasab sebagaimana difatwakan

Page 13: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

8

oleh Majelis Ulama Indonesia melalui fatwa no 11 Tahun 2012 Tentang Status

Anak Zina dan Perlakuan Terhadapnya.8

B. Rumusan dan Pembatasan Permasalahan

Yang menjadi pokok permasalahan dalam studi ini adalah menyoal

Pandangan Hakim Pengadilan Agama terhadap putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 46/PUU-VIII/2010 terkait status hukum anak di luar nikah di tengah

pluralitas sistem hukum Nasional Indonesia. Apakah Para Hakim setuju atau tidak

sejutu terhadap putusan tersebut ? Permasalahan ini akan didekati lewat dua sudut

pendekatan, yakni sejarah sosial dan normatif hukum. Oleh karena itu fokus

kajian ini dapat diuraikan ke dalam beberapa pertanyaan penelitian (research

questions) berikut ini:

1. Bagaimana pandangan hakim-hakim agama di wilayah DKI Jakarta dan Banten

mengenai Putusan MK NO. 46/PUU-VIII/2010 Tentang Status Anak Di Luar

Nikah?

2. Dalil-dalil hukum apa yang dikemukakan oleh hakim-hakim agama terkait

penolakan terhadap implementasi Putusan MK NO. 46/PUU-VIII/2010

Tentang Status Anak Di Luar Nikah?

Permasalahan ini akan diteliti secara proporsional di Pengadilan Agama

dan Pengadilan Tinggi Agama di Propinsi DKI Jakarta dan Propinsi Banten

dengan melakukan wawancara dan kajian ilmiah dengan melibatkan para hakim

PA di kedua wilayah tersebut. Penelitian dilakukan dengan menelaah putusan-

putusan Pengadilan Agama selama periode 2008-2014 yang terkait dengan status

anak luar nikah. Dan fokus penelitian adalah pandangan Para Hakim Agama dan

8 Fatwa MUI No 11 tahun 2012 Tentang Status Anak Zina dan Perlakuan Terhadapnya, Di dalam fatwa ini yang dimaksud dengan :

1. Anak hasil zina adalah anak yang lahir sebagai akibat dari hubungan badan di luar pernikahan yang sah menurut ketentuan agama, dan merupakan jarimah (tindak pidana kejahatan).

2. Hadd adalah jenis hukuman atas tindak pidana yang bentuk dan kadarnya telah ditetapkan oleh nash

3. Ta’zir adalah jenis hukuman atas tindak pidana yang bentuk dan kadarnya diserahkan kepada ulil amri(pihak yang berwenang menetapkan hukuman).

4. Wasiat wajibah adalah kebijakan ulil amri (penguasa) yang mengharuskan laki-laki yang mengakibatkan lahirnya anak zina untuk berwasiat memberikan harta kepada anak hasil zina sepeninggalnya.

Page 14: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

9

argumennya mengenai status anak luar perkawinan pasca putusan MK No 46

tahun 2010.

C. Tujuan, Manfaat, dan Signifikansi Penelitian

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui Pandangan para hakim Agama di Propinsi DKI

Jakarta dan Banten mengenai Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010

Tentang Status Anak Di Luar Nikah

b. Untuk mengetahui secara parsial Dalil-dalil hukum yang dikemukakan

oleh hakim-hakim agama terkait penerimaan dan penolakan Putusan

MK NO. 46/PUU-VIII/2010 Tentang Status Anak Di Luar Nikah.

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penulisan ini sebagai berikut:

a. Bagi peneliti

Untuk memperdalam wawasan dan pengetahuan peneliti dalam hal

pertimbangan-pertimbangan Hakim Agama dalam menghadapi perkara

anak di luar perkawinan pasca keluarnya putusan MK no 46 tahun 2014

b. Bagi Pengadilan Agama

Sebagai sarana tukar informasi dalam menggali dan mengintrepretasi

hukum Islam oleh hakim pengadilan Agama di Indonesia serta membuat

persamaan persepsi dalam menangani perkara sejenis.

c. Bagi akademisi

Memberikan kontribusi bagi pemikiran hukum Islam di masa modern

dengan adanya berbagai pandangan yang berbeda di antara hakim-hakim

agama.

d. Bagi masyarakat

Memberikan sumbangan pemikiran dan menambah literatur mengenai

status hukum anak luar perkawinan dan kedudukannya dalam hukum

Islam dan serta hukum perdata Indonesia.

Page 15: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

10

Penelitian ini memiliki nilai signifikansi, antara lain: Pertama,

memberikan uraian ilmiah dan mendalam tentang status anak luar nikah baik

karena nikah siri maupun karena sebab lain di luar nikah dalam perspektif hukum

Islam dan hukum positif. Kedua, memberikan bahan kajian komprehensif tentang

konsep anak sah dalam Undang-undang dan sistem hukum lain, dalam hal ini

hukum Islam. Ketiga, memberikan pemahaman tentang duduk perkara terkait

terbitnya Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010.

D. Hasil Penelitian Terdahulu

Sejauh penelusuran penulis, belum ditemukan tulisan yang secara khusus

dan mendetail membahas tentang pandangan Hakim Pengadilan Agama terhadap

status anak luar kawin (studi putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010), Namun

terdapat tulisan yang berhubungan dengan kajian status anak luar kawin, seperti:

Skripsi Siti Nur Malikhah (Mahasiswa IAIN Walisongo Semarang) yang

berjudul Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 46/PUU-VIII/2010

tentang Kedudukan Anak di Luar Perkawinan. Dalam skripsi ini dijelaskan

mengenai kedudukan anak di luar perkawinan. Setiap anak yang dilahirkan pasti

mempunyai hak-hak konsitusi yang harus dilindungi. Mengenai hak konstitusi

anak di atur dalam Pasal 28 B ayat 1 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Namun

tidak semua anak mendapatkan hak tersebut, seperti halnya anak luar kawin yang

tidak bisa mendapatkan hak konstitusional sebagai anak. Kedudukan anak luar

kawin berbeda dengan anak sah, hal ini dipengaruhi oleh ada atau tidaknya

hubungan perkawinan antara ibu dan ayahnya. Anak luar kawin hanya

mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya. Ketentuan ini di

atur dalam Undang-Undang Perkawinan (UUP) No 1 Tahun 1974 Pasal 43 ayat 1.

Menurut Mahkamah Konstitusi (MK) ketentuan tersebut di anggap tidak

adil karena anak luar kawin tidak seharusnya menanggung dosa akibat perbuatan

orang tuanya. Oleh karena itu MK menetapkan bahwa anak luar kawin juga

memiliki hubungan perdata dengan ayah dan keluarga ayahnya, sehingga Pasal 43

ayat 1 UUP No 1 Tahun 1974 berbunyi "anak yang lahir di luar perkawinan hanya

mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan

Page 16: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

11

laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan

dan tekhnologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan

darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya." Mengenai hak

waris anak luar kawin, dalam hukum Islam anak luar kawin tidak bisa menjadi

ahli waris maka hukum Islam memberikan alternatif lain seperti diberikan 1/3

harta pewaris untuk anak luar kawin.

Tinjauan Yuridis Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUUVIII/

2010 Terhadap Anak Luar Kawin Dihubungkan dengan Kompilasi Hukum Islam

dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Tesis yang

disusun oleh Dwi Zalyunia (Mahasiswa Universitas Indonesia). Dalam tesis ini

menerangkan bahwa secara normatif anak luar kawin hanya mempunyai

hubungan perdata dengan ibu, dan keluarga ibunya, akan tetapi Putusan

Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 46/PUU/VIII/2010 mengubah status

kedudukan anak luar kawin sehingga anak luar kawin mempunyai hubungan

perdata dengan ayahnya dan keluarga ayahnya. Penelitian dalam tesis ini

menekankan pada efektifitas putusan MK terhadap KHI dan UU No 1 Tahun 1974

tentang perkawinan. selain itu dalam tesis ini juga membahas mengenai akibat

dari putusan MK tersebut, dalam hal ini yaitu mengenai pewarisan anak luar

kawin dengan ayah biologisnya. Kesimpulan dari penelitian ini menyatakan

bahwa:

1. Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 tentang Anak Luar Kawin

bertentangan dengan KHI dan UU No 1 Tahun 1974 sehingga apabila dalam

hal waris bertentangan dengan ajaran agama maka putusan tersebut tidak

wajib untuk diikuti.

2. Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 tentang Anak Luar Kawin

mengaburkan ketentuan mengenai anak luar kawin maupun anak zina,

padahal ketentuan yang terdapat dalam UU No 1 Tahun 1974 dan KHI telah

sesuai dengan agama yang berlaku di Indonesia. Penyesuaian itu sejalan

dengan Pasal 29 UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa.

Page 17: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

12

Syamsul Anwar dan Isak Munawar dalam Makalah mereka yang berjudul

Nasab Anak di Luar Perkawinan Paska Putusan Mahkamah Konstitusi (MK)

Nomor 46/PUU-VIII/2010 Tanggal 27 Pebruari 2012 Menurut Teori Fikih dan

Perundang-undangan menjelaskan poin, diantaranya yaitu:

1. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan pemohon yang

mengandung cacat hukum. kecacatan tersebut karena pemohon mendalilkan

mengenai kasus anak yang lahir dari poligami di bawah tangan, yang menurut

hukum masih dimungkinkan mendapatkan jaminan hukum. Sedangkan yang

dimohonkan adalah me-review ketentuan Pasal 2 ayat (2) juga ketentuan Pasal

43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang status hukum anak

yang lahir di luar perkawinan.

2. Menurut hukum status anak akibat poligami bawah tangan dengan luar kawin

berbeda. Namun dalam putusan MK menganalogikan anak yang lahir akibat

poligami bawah tangan dengan anak luar kawin.

3. Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang senada dengan

Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam (KHI), jika dilihat dari substansinya tidak

bertentangan dengan Pasal 28 B ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar

1945.

4. Putusan MK mengandung banyak polemik dalam masyarakat muslim yang

berkepanjangan, karena putusan MK bertentangan terutama dengan Pasal 28 B

ayat (1) UUD 45 dan bertentangan dengan Syari’at Islam.

5. Putusan MK berupaya melegalkan suatu akibat dari perbuatan yang melanggar

hukum sehingga melahirkan ketentuan normatif yang tidak mendorong untuk

terciptanya suasana masyarakat yang tertib dan ta’at hukum.

6. Pasal 43 ayat (1) yang telah di review oleh putusan MK hanya berlaku dalam

hubungan hukum keperdataan antara anak dengan ayah biologisnya, selain

hubungan keperdataan perwalian dalam perkawinan dan selain hubungan

keperdataan dalam kewarisan.

Diskusi Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi R.I. Nomor

46/PUUVIII/2010 Tanggal 27 Februari 2012 Tentang Pengubahan Pasal 43

UUP Tentang Hubungan Perdata Anak Dengan Ayah Biologisnya Oleh A. Mukti

Page 18: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

13

Arto. Dalam tulisan hasil diskusi hukum hakim PTA dan PA dijelaskan bahwa

putusan MK Nomor 46/PUU-VII/2010 merupakan penyempurnaan hubungan

perdata anak dengan orang tuanya tanpa mempersoalkan perkawinan orang

tuanya. Perubahan Pasal 43 ayat (1) UUP bertujuan untuk memberi perlindungan

hukum bagi anak yang dilahirkan dan mewajibkan ayah yang mempunyai

hubungan darah untuk bertanggung jawab. Perubahan Pasal 43 ayat (1) UUP

memunculkan hukum baru, seperti hubungan hubungan nasab, mahram, hak dan

kewajiban, wali nikah serta hubungan pewarisan. Perubahan tersebut tidak

bertentangan dengan syari’at Islam karena pada dasarnya anak dilahirkan dalam

keadaan fitrah.

Adapun kaitannya dengan penelitian yang penulis bahas adalah sama

membahas tentang polemik putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010, akan tetapi

berbeda dengan penelitian ini, letak perbedaannya adalah karena penulis mengkaji

pandangan para hakim agama di lingkungan Pengadilan Agama pasca keluarnya

putusan Mahkamah Konstitusi mengenai status anak di luar nikah. Hal ini

menegaskan bahwa belum pernah dijumpai penelitian terdahulu yang sama

dengan penelitian ini.

E. Metode Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini akan menggunakan pendekatan deskriptif analisis dalam

kerangka yuridis sosiologis. Pemilihan pendekatan ini dengan menimbang empat

hal. Pertama, gejala atau fenomena yang diteliti lebih merupakan gejala sosial

politik yang bersifat dinamis, yakni dinamika politik hukum keluarga Islam di

Indonesia. Kedua, Subject Matter (materi) dalam penelitian ini adalah

menyangkut suatu dinamika sosial, proses politik, hasil-hasil, dan

keberlangsungan. Ketiga, merupakan pertimbangan subyektif peneliti, yakni

bahwa dinamika pilitik hukum keluarga di Indonesia bukanlah diskursus

sederhana, karenanya baru bisa dipahami dengan baik apabila data dan

informasinya dipaparkan secara lengkap dengan mengembangkan kategori-

kategori yang relevan, termasuk dengan analisa interpretatifnya. Keempat, dari

Page 19: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

14

pelbagai teori yang digunakan dapat dinyatakan termasuk dalam gugusan teori

dalam Metode Pengambilan Data dan Sumbernya

Terdapat dua pertimbangan dalam memilih metode pengumpulan data dan

informasi, yakni hubungan antara paradigma pluralis. Penelitian ini pada akhirnya

menunjukkan wataknya yang kualitatif.9

2. Jenis Data dan Sumber Data

Dalam penelitian ini menggunakan dua jenis sumber data, yaitu:

a. Data Primer

Merupakan data yang diperoleh langsung dari hasil wawancara pihak

pihak Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama di wilayah

Jakarta dan Banten. Data primer yang lain adalah putusan MK tentang

status anak luar kawin, putusam PA Jaksel, Putusan PA Tigraksa dan

putusan PTA Jakarta.

b. Data Sekunder

Adalah data yang diperoleh dari literatur-literatur kepustakaan seperti

buku-buku, internet serta sumber lainnya yang berkaitan dengan materi

penelitian ini.

3. Pengolahan Data dan sumbernya

Terdapat dua pertimbangan dalam memilih metode pengumpulan data dan

informasi, yaitu hubungan antara pertanyaan penelitian (research questions) serta

pengumpulan data dan trianggulasi metode yang berbeda (menggunakan sumber-

sumber informasi dan metode yang beragam).10

Dengan demikian, untuk memperoleh informasi yang memadai dari

pertanyaan-pertanyan penelitian ini maka dimungkinkan mengkombinasikan

empat teknik, yakni: wawancara atau interview mendalam, dokumentasi, diskusi

terfokus, dan studi literatur yang relevan.

Pertama, wawancara mendalam (indepth interview). Wawancara

9 Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gajah Mada University

Press, 1991, Cet. Ke-5, h. 24. 10 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka

Cipta, 1996, h. 236.

Page 20: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

15

mendalam akan dilakukan dengan informan kunci (key informants). Informan

kunci antara lain: para pelaku sejarah, pakar hukum Islam Indonesia, politisi,

pakar hukum tatanegara, ulama, dan sebagainya.

Kedua, studi dokumentasi. Studi dokumentasi dimaksudkan guna

memotret dinamika politik hukum keluarga Islam selama kurun waktu pra

kemerdekaan hingga orde reformasi. Sumber-sumber dokumen dimaksud antara

lain: perundang-undangan, keputusan-keputusan yurisprudensi, berupa putusan

PA dan PTA, surat kabar harian, majalah, dan sebagainya.

Ketiga, diskusi kecil terfokus (focussed small discussion). Cara ini

dilakukan sebanyak 1 (satu) hingga 2 (dua) kali untuk membahas suatu diskursus

yang bersifat khusus atau spesifik yang memerlukan kajian lebih mendalam dan

pemecahan.

Keempat, Studi literatur terkait. Langkah ini dilakukan dengan cara mem-

pelajari tulisan-tulisan seputar sejarah sosial, politik, dan hukum keluarga Islam di

Indonesia, berupa buku, artikel, makalah, dan sebagainya.

4. Analisis Data

Strategi analisis data dilakukan dengan 3 cara, yakni: Pertama,

menguraikan pandangan hakim agama pandangan dan argumentasi hukum hakim

agama di Jakarta dan Banten; Kedua; mengelompokkan panadangan-pandangan

tersebut dalam kategori-kategori; dan Ketiga; membandingkan pandangan hakim

agama tersebut dengan pandangan para pakar lain dan konsep-konsep dalam

disiplin hukum dan fikih..11

5. Penulisan Laporan

Laporan penelitian ditulis secara naratif-analitis.12 Peneliti tidak hanya

akan menyajikan paparan tentang data atau informasi yang bersumber dari

informan dan data dokumen (realist tale), terlebih tidak hanya berdasarkan kesan

11 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1990, h. 103

12 Mukti Fajar Yulianto Ahmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000, Cet. Ke- 1, h. 183.

Page 21: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

16

peneliti yang dicoba ditafsirkan secara dramatis (impressionist tale), melainkan

lebih mengembangkan analisis berdasarkan penafsiran-penafsiran norma hukum

Islam dan rasionalitas.

F. Sistematika Penulisan

Dalam menggambarkan suatu pembahasan secara umum, penelitian ini

dibagi dalam 5 (lima) bab yang setiap bab mempunyai kaitan antara yang satu

dengan yang lain. Adapun gambaran sistematikanya adalah sebagai berikut:

Bab satu Pendahuluan berisi tentang dasar Pemikiran, Rumusan dan

Pembatasan Masalah, Tujuan dan Signifikansi Penelitian, Kajian Pustaka, Metode

Penelitian, dan Sistematika Penulisan, yang semuanya sebagai bab pembuka

sebagai gambaran pembahasan secara umum

Bab kedua membahas status hukum anak luar perkawinan dalam hukum

Islam dan hukum perdata. Dalam bab ini menerangkan konsep teoritis penelitian,

meliputi Pengertian nasab dalam hukum Islam, Normatif Hukum tentang Status

Anak dan Urgensi pemeliharaan Nasab, Dualisme Pemaknaan dalam hukum

perdata dan hukum Islam di Indonesia. Bagian ini penting dibahas sebagai

landasan teori bagi pembahasa sesudahnya.

Bab ketiga beris tentang berbagai alasan konteks judicial reviev, dan dasar

pertimbangan Majelis MK dalam memutus uji materiil UUP No 1 1974 Bab ini

berisi berbagai alasan Konteks Pengajuan Judicial Review, dan Dasar

Pertimbangan Majelis Hakim MK dalam memutus perkara. Pada bab ini akan

diulas kedudukan MK dalam tata negara Indonesia dan keberlakuan putusannya.

Bab keempat berisi tentang pandangan dan Argumen yang yang menerima

putusan MK.

Sedangkan Bab kelima berisi pandangan dan Argumen Hakim Agama

yang menolak hasil putusan MK tersebut.

Page 22: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

17

BAB II

STATUS HUKUM ANAK LUAR NIKAH DAN KONSEP NASAB

DALAM HUKUM ISLAM

A. PENGERTIAN NASAB

Islam sebagai agama samawi terakhir, konsep ajarannya tidak saja

mengatur hubungan manusia sebagai makhluk dengan Allah sebagai al-khaliq

tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan sesama atau makhluk lain. Islam

sudah memiliki konsep nasab yang sudah baku dan dinyatakan secara eksplisit

dalam nash, baik al-Qur’an maupun al-Hadis. Untuk mempertegas bahwa konsep

nasab ini memiliki substansi dan makna khusus, selain term nasab dalam Islam

dikenal istilah tabanny (adopsi1), di mana masing-masing secara substansial

memiliki makna yang berbeda..

Nasab (Arab: al-nasab2) berarti keturunan atau kerabat (terutama dari

pihak bapak); pertalian keluarga3. Sebagian ahli bahasa mengatakan, "Nasab

khusus pada ayah, artinya seseorang dinasabkan kepada ayahnya saja dan tidak

dinasabkan kepada ibu kecuali dalam keadaan luar biasa4. Ibn Mandzur al-Ifriqy

mengatakan, term nasab berbentuk mufrad (tunggal), jama’nya al-ansab. Secara

literal berarti kekerabatan. Term Nasab ini dapat dinisbatkan kepada bapak atau

dinisbatkan kepada negaranya, atau bisa juga dinisbatkan kepada teknologi5.

1Tabanny biasanya diterjemahkan dengan adopsi yang berarti mengangkat anak orang

lain dan diperlakukan layaknya anak kandung. Dalam prakteknya, anak angkat dianggap memiliki hubungan nasab, mendapat warisan, dsb. Kondisi semacam ini sempat berjalan di zaman jahiliah dan bahkan dilakukan Rasulullah saw, ketika mengangkat Zaid bin Haritsah (budak yang dihadiahkan Khadijah kepada Nabi Muhammad saw). Tidak lama kemudian, praktek adopsi semacam ini dihentikan Islam. Allah SWT telah menegaskan keharaman adopsi dalam surat al-Ahzab/33:5.

2Ensiklopedi Hukum Islam, Nasab, Editor Abdul Azis Dahlan, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), cet.ke-1, jilid ke-4, hal. 1304-1305.

3http://artikata.com/arti-341961-nasab.html 4http://ms.wikipedia.org/wiki/Nasab 5Redaksi dalam kitab Lisan al-‘Arab, sbb.:

ة وقیل النسب نسب القرابات وھو واحد األنساب ابن سیده النسبة والنسبة والنسب القرابة وقیل ھو في اآلباء خاص ناعة وقد اضطر النسبة مصدر االنتساب والنسبة االسم التھذیب النسب یكون بالآلباء ویكون إلى البالد ویكون في الص

یا عمرو یا ابن األكرمین نسبا ... قد نحب المجد علیك نحبا الشاعر فأسكن السین أنشد ابن األعرابيLihat, Ibn Mandhur al-Ifriky, Lisan al-‘Arab, (Beirut: Dar al-Shadar, 1414), jilid ke-1,

hal.755. Pernyataan Ibn Mandzur ini dikutip Muhammad Taufiqi, hanya saja penggalan pada kata al-shina’ah diterjemahkan dengan pabrik. Lihat Muhammad Taufiqi, Konsep Nasab, Istilhaq, dan Hak Perdata Anak Luar NIkah, (Ahkam: Jurnal Ilmu Syari’ah, Vol XII, No. 2 Juli 2012), hal. 222.

Page 23: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

18

Nasab adalah pertalian kekeluargaan berdasarkan hubungan darah sebagai

salah satu akibat dari perkawinan yang sah6. Kerabat dinamakan nasab karena ada

hubungan dan keterkaitan. Berasal dari ungkapan, "nisbatuhu ilaa abihi nasaban"

(nasabnya kepada ayahnya), Nasab merupakan salah satu fondasi yang kokoh

dalam membina suatu kehidupan rumah tangga yang bisa mengikat antar pribadi

berdasarkan kesatuan darah. Menurut al-Sarkhasy dalam kitabnya al-Mabsut,

akibat adanya hubungan nasab, seorang anak berhak mendapatkan: warisan,

nafkah, pemeliharaan (hadlanah), dan pendidikan (tarbiyah)7. Tanpa hubungan

nasab, tidak akan melahirkan hubungan kekeluargaan yang indah dan langgeng;

bahkan hubungan antara ayah dan anak akan luntur dan tidak berbekas sama

sekali. Dengan demikian, nasab merupakan hak anak yang diperoleh secara

langsung dari ayah kandungnya setelah terjadi pernikahan sah. Meskipun secara

agama (Islam), masih ada cara lain untuk menetapkan nasab seseorang, yaitu

dengan cara iqrar (pengakuan) dan bayyinah (pembuktian)8.

Ulama Fiqih (fuqaha’) umumnya memaknai term nasab sebagai bentuk

kekerabatan keluarga, terutama hubungan anak dengan ayahnya. Kekerabatan

yang berimplikasi kepada nasab tersebut akibat percampuran air mani suami isteri

melalui perkawinan yang sah sesuai syari’ah. Jika percampuran air mani itu

melalui perzinaan, maka tidak akan menyebabkan hubungan nasab antara anak

dengan lelaki yang menggauli ibunya9.

Term nasab dalam al-Qur’an terulang 3 kali, yaitu dua kali dalan bentuk

tunggal (mufrad), dinyatakan Al-Qur’an dalam surat al-Furqan/25:54 dan surat

al-Shaffat/37:158 serta dinyatakan dalam surat al-Mukminun/23:101 dalam

bentuk jama’ (plural).

6http://kamusfiqih.wordpress.com/2011/11/10/pengertian-nasab/ 7Redaksi dalam al-Mabsut sbb.:

یراث ، والنفقة والحضانة والتربیة ، وھو یحتمل االشتراك فیقضى بھ بینھماوالحكم المطلوب من النسب الم )33/ ص 20(ج -المبسوط (

Lihat Al-Sarkhasy, al-Mabsut, (Beirut:Dar al-Fikr, tth.), jus ke-20, hal.33. 8‘Abdul Wahhab al-Khallaf, Ahkam al-Ahwal al-Syahshiyyah fi al-Syari’ah al-Islamiyah,

(Mesir:Dar al-Kutub al-Mishriyah, 1938), hal. 186. 9Al-Qurtuby, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, (Mesir: Dar al-Kutub al-Mishriyah, 1964), juz

ke-xiii, hal. 59. Redaksi yang digunakan al-Qurtuby, sbb.: قولھ تعالى: (فجعلھ نسبا وصھرا) النسب والصھر معنیان یعمان كل قربى تكون بین آدمیین.

قال ابن العربي: النسب عبارة عن خلط الماء بین الذكر واالنثى على وجھ الشرع، فإن كان بمعصیة كان خلقا مطلقا )59/ ص 13(ج -تفسیر القرطبي ( ولم یكن نسبا محققا،

Page 24: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

19

Pertama, term nasab diketemukan dalam al-Qur;an berbentuk tunggal

(mufrod) di surat al-Furqan/25:54, yaitu:

)54وھو الذي خلق من الماء بشرا فجعلھ نسبا وصھرا وكان ربك قدیرا (

Artinya:

Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air lalu dia jadikan

manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah dan adalah Tuhanmu

Maha Kuasa.

Menurut Ibnu Abbas, “Allah menciptakan sperma, lalu meletakkannya di

sulbi Adam. Setelah itu, dipindahkan ke sulbi Syaits, lalu ke sulbi Anusy, sulbi

Qainan, dan terus berpindah dari sulbi orang-orang mulia ke rahim wanita-wanita

suci sampai Allah menjadikan(nya) berada di sulbi Abdul Muthalib. Lalu Allah

SWT membaginya menjadi dua, sebagian diletakkan di sulbi Abdullah dan yang

lain di sulbi Abu Thalib. dari mereka, lahirlah Nabi Muhammad saw dan sayidina

Ali. Yang dimaksud redaksi mushaharah dalam ayat ini adalah Fathimah binti

Muhammad dan Nabi Muhammad adalah bagian dari Ali, Hasan, dan Husen ra10.

Abu al Hasan Ali bin Muhammad al-Bashri al-Baghdadi yang popular

dengan nama al-Mawardi dalam kitabnya al-Nukat wa al-‘Uyun menulis, nasab

adalah pertalian setiap orang tua dengan anaknya. Semua yang disandarkan

kepada sesuatu yang dikenal berarti ada kesesuaian dengannya11.

Dengan demikian, dalam al-Qur’an hanya ayat ke-54 surat al-Furqan

inilah yang menjadi dasar kajian tentang nasab, yang kemudian dari ayat ini

dipahami bahwa nasab adalah hubungan anak dengan bapak biologisnya melalui

institusi perkawinan.

Kedua, term nasab diketemukan dalam al-Qur’an berbentuk tunggal

(mufrad) di surat al-Shaffat/37:158, yaitu:

10 Http://bundokanduang.wordpress.com/2011/11/22/kaum-matrilineal/, diakses hari

Jum’at 29 Agustus 2014 jam 07.00. 11Redaksi Abu al Hasan Ali bin Muhammad al-Bashri al-Baghdadi al-Mawardi adalah,

فجعلھ نسبا وصھرا } فالنسب من تناسب كل والد وولد ، وكل شيء أضفتھ إلى شيء عرفتھ بھ فھو مناسبھ

Lihat, Abu al Hasan Ali bin Muhammad al-Bashri al-Baghdadi al-Mawardi, al-Nukat wa al-‘Uyun, (Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyah, tth.,), juz ke-3, hal. 205.

Page 25: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

20

) 158وجعلوا بینھ وبین الجنة نسبا ولقد علمت الجنة إنھم لمحضرون (

Artinya:

Dan mereka adakan (hubungan ) nasab antara Allah dan jin. Dan

sesungguhnya jin mengetahui bahwa mereka benar-benar akan diseret ke

Neraka”.

Penjelasan lebih jauh mengenai penafisiran ayat ini dapat dikemukakan

beberapa pendapat sebagai berikut: Imam Mujahid berpendapat, “Orang-orang

musyrikin mengatakan, “Malaikat itu anak-anak perempuan yang bernasab kepada

Allah12. Abu Bakar ra pernah bertanya,"Siapakah ibu malaikat itu?". Orang-orang

musyrikin pun menjawab,"Ibu mereka ialah putri pembesar Jin". Ibnu Ishak

menyatakan bahwa orang-orang musyrikin Arab menyembah malaikat, karena

mereka meyakini malaikat anak-anak perempuan Allah.

Di akhir ayat ini Allah SWT menegaskan bahwa malaikat yang mereka

anggap sebagai anak perempuan dan ada hubungan nasab dengan Allah, serta

mereka persekutukan dengan Dia, mengetahui dan menyaksikan bahwa orang-

orang kafir Quraisy yang beriktikad seperti itu akan disiksa dengan siksaan api

Neraka di hari Pembalasan. Allah SWT berfirman:

ویوم یحشرھم جمیعا ثم یقول للمالئكة أھؤالء إیاكم كانوا یعبدون

Artinya:

Dan (ingatlah) hari (yang di waktu itu) Allah mengumpulkan mereka

semuanya, kemudian Allah berfirman kepada malaikat: Apakah mereka ini

dahulu menyembah kamu? (Q.S. Al-Saba’/34:40)

Ketiga, dalam surat al-Mukminun ayat 101 yang diungkapkan dalam

bentuk jama’ (plural).

ور فال أنساب بینھم یومئذ وال یتساءلون ( فإذا نفخ في )101الص

12Pendapat semacam ini juga dinyatakan Ibn Jarir al-Thabari dalam tafsirnya. Beliau

mengatakan sbb.: واختلف أھل التأویل في معنى النسب الذي أخبر یقول تعالى ذكره: وجعل ھؤالء المشركون بین هللا وبین الجنة نسبا.

21(ج -تفسیر الطبري ( تعالى، فقال بعضھم: ھو أنھم قالوا أعداء هللا: إن هللا وإبلیس أخوان. هللا عنھم أنھم جعلوه )120/ ص

Lihat Ibn Jarir al-Thabari, Tafsir al-Thabari, (Beirut: Dar al-Fikr, 2000), jus ke-21, hal.

120.

Page 26: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

21

Artinya:

“Ketika sangkakala ditiup (Kiamat) maka tidak ada lagi pertalian nasab

di antara mereka pada hari itu, dan tidak ada pula mereka saling

bertanya.”

Maksud penggalan أنساب بینھم فال pada ayat ini, apabila sangkakala ditiup

untuk ke dua kalinya dan arwah dikembalikan kepada tubuhnya masing-masing

pada Hari berbangkit nanti, pada waktu itu tidaklah bermanfaat lagi pertalian

nasab. Tidak dapat lagi seseorang membanggakan nasabnya bahwa dia keturunan

bangsawan yang tinggi sebagaimana halnya dulu pada waktu berada di dunia.

Tidak ada perbedaan antara satu orang dengan yang lain, semua terpengaruh

dengan suasana mencekam yang dialaminya. Mereka bingung diliputi perasaan

takut karena kedahsyatan hari itu, sehingga rasa cinta dan sayang menjadi sirna.

Masing-masing memikirkan dirinya sendiri, tidak peduli, dan tidak mau tahu

kondisi orang lain, sebagaimana dilukiskan di dalam firman Allah SWT. Sebagai

berikut:

ت الصاخة یوم یفر المرء من أخیھ وأمھ وأبیھ وصاحبتھ وبنیھ لكل امرئ منھم یومئذ شأن یغنیھ فإذا جاء

Artinya:

Dan apabila datang suara yang memekakkan (tiupan sangkakala yang

kedua), pada hari ketika manusia lari dari saudaranya, dari ibu dan

bapaknya, istri dan anak-anaknya. Setiap orang dari mereka pada hari itu

mempunyai urusan yang cukup menyibukkannya. (Q.S. ‘Abasa/80:33-37).

Mereka tidak tegur sapa dan saling bertanya. Tidak seorangpun di antara

mereka yang menanyakan si fulan anak siapa, nasabnya kepada siapa13?

Keturunan dari mana? Mereka semua kebingungan seperti orang yang mabuk.

13Ibn Jarir al-Thabari menggambarkan situasi di Akhirat kelak, di mana siapapun tidak

lagi peduli dengan nasab yang pernah dibanggakan di dunia, dengan menyatakan: (72/ ص 19(ج -تفسیر الطبري

قال أبو جعفر: فمعنى ذلك على ھذا التأویل: فإذا نفخ في الصور، فصعق من في السماوات ومن في األرض إال من فال أنساب بینھم یومئذ یتواصلون بھا، وال یتساءلون، وال یتزاورون، فیتساءلون عن أحوالھم وأنسابھم.شاء هللا،

Page 27: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

22

Berbeda dengan nash al-Qur’an, kata nasab dalam hadis diungkapkan

dengan sinonimnya hasab, misalnya hadis terkait tentang pertimbangan dalam

memilih isteri, salah satunya karena melihat sisi hasab (nasab) nya14. Pengertian

nasab dinyatakan tidak eksplisit dalam hadis Nabi saw, tetapi diisyaratkan dengan

ungkapan lain, misalnya hadis sebagai berikut15:

علیھ وسلم قال عن أبي ھریرة / 11(ج -سنن النسائي الولد للفراش وللعاھر الحجر أن النبي صلى هللا

(201ص

Artinya:

Diriwayatkan dari Abu Hurairah, “Nasab anak kepada pemilik alas tidur,

dan pelaku zina dilempar batu (rajam).

Maksud hadis ini adalah anak dikaitkan dengan tempat tidur, sedangkan

pelaku zina (muhshan) akan dilempari batu. Dengan demikian, nasab anak

disandarkan kepada bapaknya setelah nyata-nyata lahir dari perempuan yang

dinikahi secara sah tanpa perlu pengakuan atau bukti atau cara-cara lain dalam

menentukan nasab. Hal ini juga berlaku bagi pernikahan yang fasid (nikah yang

rusak karena tidak terpenuhi syarat dan rukun nikah), sementara yang menjadi

pelaku zina, sanksinya dirajam atau dilempari batu.

Nasab merupakan nikmat yang paling besar yang diturunkan Allah SWT

kepada hamba-Nya, sesuai dengan firman-Nya:

)1654وھو الذي خلق من الماء بشرا فجعلھ نسبا وصھرا وكان ربك قدیرا (

Lihat, Ibn Jarir al-Thabari, Tafsir al-Thabari, (Beirut: Dar al-Fikr, 2000), juz ke-19, hal.

72. 14Redaksi hadis tentang nasab yang diungkapkan dengan hasab misalnya :

)33/ ص 16(ج -صحیح البخاري عنھ علیھ وسلم قال تنكح المرأة ألربع لمالھا ولحسبھا وجمالھا عن أبي ھریرة رضي هللا ولدینھا عن النبي صلى هللا

ین تربت یداك فاظفر بذات الدLihat, Abû Abdillah Muhammad bin Isma’il al-Bukhârî, al-Bukhâri bi Hasyiah al-Sindy,

(Beirut: Dâr al-Fikr, 1995), juz ke-16, hal.33. Imam Musllim menggunakan redaksi hasab sinonim dengan nasab, sama seperti yang

diketemukan dalam kitab shahih al-Bukhari. Lihat: Muslim bin Hajjaj Abu Al-Husain Al Qusyairi, Shahih Muslim, (Beirut: Dar Ihya’ Turas al-Arabi, tth). juz ke-7, hal. 388. No. Hadis 2661.

15Al-Nasâ’î, Ahmad bin Syu'aib Abû Abdirrahman, Sunan al-Nasa’i, (Halb: Dâr al-Wa'yi, 1396), editor: Mahmud Ibrahim Zaid, juz ke-11, hal.201.

16QS. Al-Furqan/25:54.

Page 28: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

23

Artinya: “Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia

jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah dan adalah

Rabbmu Maha Kuasa.”(QS. Al-Furqan/25:54).

Dalam kaitan ini17, seorang ayah dilarang mengingkari keturunannya dan

haram bagi seorang wanita menisbahkan seorang anak kepada seseorang yang

bukan ayah kandungnya. Rasulullah SAW bersabda18:

علیھ وسلم یقول حین نزلت آیة المتالعنین أیما ام عن أبي ھریرة صلى هللا رأة أدخلت أنھ سمع رسول هللا

في شيء ول جنتھ وأیما رجل جحد ولده وھو ینظر إلیھ على قوم من لیس منھم فلیست من هللا ن یدخلھا هللا

منھ 182/ ص 6(ج - سنن أبي داود احتجب هللا

Artinya:

“Wanita mana saja yang melahirkan anak melalui perzinaan, Allah

mengabaikannya dan sekali-kali tidak akan dimasukkan Allah ke dalam

surga. Dan lelaki mana saja yang mengingkari nasab anaknya, sedangkan

dia mengetahuinya, maka Allah akan menghalanginya masuk Surga”.

Sebaliknya, anak juga diharamkan menasabkan dirinya kepada lelaki

lain selain ayahnya, sebagaimana ditegaskan Rasulullah SAW dalam sabdanya19:

(221/ ص 13(ج - صحیح البخاري من ادعى إلى غیر أبیھ وھو یعلم فالجنة علیھ حرام

Artinya:

Siapa saja yang menasabkan dirinya kepada lelaki lain selain ayahnya

sedangkan ia tahu itu bukan ayahnya, diharamkan baginya Surga”.

17Wahbah al-Zuhaili menulis dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu sbb.:

صلى هللا علیھ وسلم : ومنع الشرع اآلباء من إنكار نسب األوالد، وحرم على النساء نسبة ولد إلى غیر أبیھ الحقیقي، فقال فلیست من هللا في شيء، ولن یدخلھا هللا جنتھ، وأیما رجل جحد ولده وھو ینظر أیما امرأة أدخلت على قوم من لیس منھم«

ومنع الشرع أیضا األبناء من انتسابھم إلى ».إلیھ، احتجب هللا تعالى منھ، وفضحھ على رؤوس األولین واآلخرین یوم القیامةمن ادعى إلى «وقال أیضا: » من ادعى إلي غیر أبیھ وھو یعلم، فالجنة علیھ حرام «، فقال صلى هللا علیھ وسلم : غیر آبائھم

»غیر أبیھ، أو انتمى إلى غیر موالیھ، فعلیھ لعنة هللا المتتابعة إلى یوم القیامةLihat, Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al Islamy wa Adillatuhu, (Damsyik: Dar al-Fikr, 2009),

juz ke-7, hal. 637-638. 18Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, (Beirut: Dar al-Fikr, 2001), jus ke-6, hal, 182. 19Al-Bukhârî, Abû Abdillah Muhammad bin Isma’il, al-Bukhâri bi Hasyiah al-Sindy,

(Beirut: Dâr al-Fikr, 1995), juz ke-13, hal.221.

Page 29: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

24

Salah satu bukti bahwa nasab adalah hal yang sangat penting, Islam

melarang tabanny (adopsi) dalam arti mengaitkan nasab anak dengan bapak

angkatnya dan memutus hubungan nasab dengan bapak kandungnya.

Argumen pelarangan adopsi semacam itu bisa dilihat dalam sejarah Islam,

Nabi Muhammad SAW sebelum kenabian pernah mengangkat seorang anak yang

bernama Zaid bin Haritsah dan dideklarasikan di depan publik sebagai anaknya

dengan sebutan Zaid bin Muhammad. Namun Allah menegur dan menetapkan

bahwa status anak angkat tidak ada dalam Islam. Untuk lebih menegaskan

hukumnya, Allah memerintahkan Rasulullah SAW menikahi janda yang menjadi

mantan istri Zaid yang bernama Zainab binti Jahsy.?…

ا قضى زید من جناكھا لكي ال یكون على المؤمنین حرج في أزواج أدعیائھم إذا ضوا منھن فلم ھا وطرا زو

مفعوال وطرا وكان أمر هللا

Artinya:

“Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya , Kami

kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi

orang mu’min untuk isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-

anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya .

Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.? (QS. Al-Ahzab/33:37)

Dengan menikahi Zainab yang menjadi mantan istri anak angkatnya, ada

ketegasan bahwa anak angkat tidak ada hubungan nasab dan tidak memiliki

konsekuensi hukum apapun, misalnya: nafkah, hak waris, pengasuhan, perwalian

(bagi anak perempuan), tidak menyebabkan hubungan mahram, serta tidak boleh

bernasab dan menisbahkan nama kepada ayah angkatnya.

Islam mengharamkan untuk menyebut nama ayah angkat di belakang

nama anak angkatnya. Allah SWT menegaskan di dalam Al-Quran keharaman

hal ini, sbb.:

ین وموالیك ادع فإن لم تعلموا آباءھم فإخوانكم في الد م ولیس لیكم جناح فیما وھم آلبائھم ھو أقسط عند هللا

غفورا رحیما دت قلوبكم وكان هللا أخطأتم بھ ولكن ما تعم

Artinya:

“Panggilah mereka dengan nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih

adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka,

Page 30: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

25

maka saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada

dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi apa yang

disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha

Penyayang.” (QS. Al-Ahzab/33:5)

Nasab dalam hukum Islam merupakan sesuatu yang sangat urgen. Nasab

merupakan salah satu dari lima tujuan penetapan hukum Islam (maqashid al-

syari’ah), yaitu menjaga: (1) agama (hifdzu al-din), (2) jiwa (hifdzu al-nafs), (3)

akal (hifdz al-‘aql), (4) nasab (hifdz al-nasal)), dan (5) menjaga harta (hifdzu al-

mal)20. Nasab adalah legalitas hubungan kekeluargaan yang berdasarkan pertalian

darah, sebagai salah satu akibat dari pernikahan yang sah, atau nikah fasid (nikah

yang batal/rusak), atau senggama syubhat (samar-samar). Nasab merupakan

sebuah pengakuan yang dilegalkan hukum Islam bagi hubungan seorang anak

dengan garis keturunan ayahnya sehingga anak menjadi anggota keluarga dan

berhak mendapatkan warisan, nafkah, pendidikan, perwalian, dan sebagainya21.

A.1. SEBAB TERJADINYA NASAB DALAM ISLAM

Menurut ketentuan hukum Islam, nasab bisa terjadi, baik nasab terhadap

ayah maupun nasab terhadap ibu. Adapun nasab anak terhadap ayahnya bisa

terjadi karena tiga hal: (1) nasab melalui perkawinan sah, (2) nasab melalui

perkawinan fasid, dan (3) nasab anak dari senggama syubhat22. Penjelasan

masing-masing sebagai berikut:

20Al-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, (Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyah,

t.t), jus ke-2, hal. 12-23. 21Muhammad Ali al-Shabuni Pembagian Waris Menurut Islam terj. AM. Basalamah

(Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hal 39. 22Wahbah al-Zuhaili dalam kitabnya al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, mengataan sbb.:

الوطء بشبھة. الزواج الفاسد: - الزواج الصحیح - وأما أسباب ثبوت النسب من األب فھيSeseorang boleh menasabkan dirinya kepada seseorang atau ayahnya apabila sudah

terpenuhi syarat-syaratnya, sebagai berikut: 1. Seorang anak yang lahir dari seorang perempuan memang benar hasil perbuatannya

dengan suaminya. 2. Ketika perempuan hamil, waktunya tidak kurang dari waktu kehamilan pada umumnya. 3. Suami tidak mengingkari anak yang lahir dari istrinya.

Lihat, Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al Islamy wa Adillatuhu, (Damsyik: Dar al-Fikr, 2009), juz ke-7, hal. 644.

Page 31: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

26

(1) nasab melalui perkawinan sah. Ulama fikih sepakat, anak yang lahir dari

seorang wanita dalam suatu perkawinan yang sah dinasabkan kepada suami

wanita tersebut. Hal ini sejalan dengan redaksi hadis Nabi saw. sbb23.:

علیھ وسلم قال الولد للفراش عن أبي ھریرة صلى هللا )368/ ص 7(ج - (صحیح مسلم أن رسول هللا

Artinya:

“Anak itu bagi pemilik alas tidur (dalam nikah yang sah)”

Nasab melalui perkawinan sah, disyaratkan tiga hal sebagai berikut:

Pertama, suami memungkinkan dapat memberikan keturunan, yang

menurut kesepakatan ulama fikih Malikiyah dan Syafi’iyah adalah seorang

laki-laki dewasa (baligh) atau murahiq24. Menurut ulama Hanafiah anak

murahiq berumur 12 tahun, sementara menurut ulama Hanabilah, murahiq

berumur 10 tahun. Oleh sebab itu, nasab tidak bisa terjadi bagi lelaki yang

belum dewasa, tidak mampu melakukan senggama, atau lelaki yang tidak

mempunyai kelamin atau impotensi, kecuali bisa diobati25.

Kedua, menurut ulama Hanafiah, anak tersebut lahir enam bulan

setelah perkawinan26. Mayoritas ulama menambahkannya dengan syarat;

suami istri telah melakukan senggama. Dengan demikian, apabila anak

lahir setelah usia perkawinan 6 bulan pas atau lebih sedikit, nasab anak

secara otomatis dapat dihubungkan dengan bapaknya. Hanya saja

bapaknya bisa saja menolak nasab anak itu dengan dirinya pada saat

23Muslim bin Hajjaj Abu Al-Husain Al Qusyairi, Shahih Muslim, (Beirut: Dar Ihya’ Turas al-Arabi, tth). juz ke-7, hal. 368. No. Hadis 2646.

24Murahiq remaja mendekati dewasa, libido (syahwat) dan kelaminnya sudah berfungsi. Al-Jurjani mendefinisikan al-Murahiq sebagai berikut:

)67/ ص 1(ج - التعریفات صبي قارب البلوغ وتحركت آلتھ واشتھى. المراھق

Lihat, al-Jurjani, al-Ta’rifat, juz ke-1, hal.67. 25Abdul Karim Zaidan, Al-Mufasshal fi Ahkam al-Mar’ah (Beirut, Muassasah al-Risalah,

1413 H/ 1993 M), cet. ke-1, juz ke-9, hal. 321. Wahbah al-Zuhaili menulis dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz ke-7, hal. 645, sbb.: الشرط األول ـ أن یكون الزوج ممن یتصور منھ الحمل عادة، بأن یكون بالغا في رأي المالكیة والشافعیة، ومثلھ في رأي الحنفیة والحنابلة المراھق: وھو عند الحنفیة من بلغ اثنتي عشرة سنة، وعند الحنابلة: من بلغ عشر سنوات، فال یثبت

النسب من الصغیر غیر البالغ 26Hal ini didasarkan kepada surat al-Ahqaf/46:15 dan surat Luqman/31:14. Pada surat al-

Ahqaf/46:15 dinyatakan, masa hamil dan menyusui adalah 30 bulan. Sedangkan pada surat Luqman/31:14 dinyatakan bahwa masa menyusui yang sempurna adalah 2 tahun (24 bulan). Hal ini bermuara pada satu pemahaman bahwa masa hamil terpendek adalah 6 bulan.

Page 32: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

27

kelahiran anak tersebut atau pada saat orang lain (tetangga) mengucapkan

selamat atas kelahiran anak. Selain ada penolakan dari bapaknya,

penolakannya harus disertai sumpah li’an27. Menurut Wahbah al-Zuhaili,

perbedaan pendapat ini muncul karena ulama mazhab Hanafi menganggap

bahwa pengingkaran seorang suami hanya bisa terjadi melalui li’an.

Namun mayoritas ulama berpendapat bahwa pengingkaran terhadap anak

tersebut selain melalui li’an juga bisa dengan cara lain, misalnya ketika

suami tidak mungkin bertemu secara aktual dengan istrinya28.

Jika kelahiran anak kurang dari enam bulan, anak yang lahir

tersebut tidak bisa dinasabkan kepada suami wanita itu. Hal ini

menunjukkan bahwa kehamilan terjadi sebelum akad nikah, kecuali

apabila suami mengakuinya. Pengakuannya harus diartikan sebagai

pernyataan bahwa wanita tersebut hamil sebelum akad nikah. Bisa juga

kehamilannya terjadi dalam perkawinan yang akadnya fasid atau karena

terjadi senggama syubhat. Jika demikian, menurut Wahbah al-Zuhaili,

anak tersebut dapat dinasabkan kepada suami wanita demi kemaslahatan

anak29.

Ketiga, suami istri bertemu minimal satu kali setelah akad nikah.

Hal ini disepakati ulama fikih. Namun mereka berbeda pendapat dalam

mengartikan kemungkinan bertemu tersebut. Apakah pertemuan tersebut

bersifat aktual atau menurut perkiraan. Ulama mazhab Hanafi berpendapat,

27Li’an artinya menuduh isteri berbuat zina dengan disertai sumpah 4 kali bahwa isterinya

telah berbuat zina, kemudian ditutup dengan sumpah ke-5, yang menyatakan bahwa ia siap dilaknat Allah kalau berdusta atas tuduhannya. Apabila isteri membalas sumpah suaminya 4 kali dan berani menyatakan suaminya berdusta dilengkapi dengan sumpah ke-5, bahwa isteri siap menerima murka Allah kalau dia berdusta dengan sumpahnya, maka hakim harus memutuskan hubungan pernikahan mereka dengan thalaq ba’in dan mengukuhkan nasab anak tersebut kepada ibunya. Tata cara sumpah Li’an tersebut dinyatakan Al-Qur’an surat al-Nur (24) ayat ke-4-9. Lihat, ‘Abdul Wahhab al-Khallaf, Ahkam al-Ahwal al-Syahshiyyah fi al-Syari’ah al-Islamiyah, hal. 188.

28Wahbah al-Zuhaili menulis dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz ke-7, hal. 646, sbb.:

إمكان وفائدة الخالف: أن الولد ال ینتفي نسبھ في رأي الحنفیة إال باللعان، وینتفي بدون لعان في رأي الجمھور، لعدم التالقي بین الزوجین عادة.

29Wahbah al-Zuhaili menulis dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz ke-7, hal. 645, sbb.: الشرط الثاني ـ أن یلد الولد بعد ستة أشھر من وقت الزواج في رأي الحنفیة، ومن إمكان الوطء بعد الزواج في رأي

ألقل من الحد األدنى لمدة الحمل وھي ستة أشھر، ال یثبت نسبھ من الزوج اتفاقا، وكان دلیال على أن الحمل بھ الجمھور، فإن ولد حدث قبل الزواج، إال إذا ادعاه الزوج، ویحمل ادعاؤه على أن المرأة حملت بھ قبل العقد علیھا، إما بناء على عقد آخر، وإما بناء

اة لمصلحة الولد، وسترا لألعراض بقدر اإلمكان.على عقد فاسد أو وطء بشبھة، مراع

Page 33: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

28

pertemuan berdasarkan perkiraan menurut logika bisa terjadi. Oleh sebab

itu, apabila wanita tersebut hamil selama enam bulan sejak ia diperkirakan

bertemu dengan suaminya, anak yang lahir dari kandungannya dinasabkan

kepada suaminya. Misalnya, seorang wanita dari bumi bagianTimur

menikah dengan seorang laki-laki dari bumi di wilayah Barat dan mereka

tidak bertemu selama satu tahun, tetapi lahir anak setelah enam bulan sejak

akad nikah dilangsungkan. Anak tersebut dinasabkan kepada suami wanita

ini. Menurut Mazhab Hanafi, bisa saja terjadi pertemuan melalui

kekeramatan seorang Sufi sehingga seseorang bisa menempuh jarak yang

jauh dalam waktu singkat. Namun logika seperti ini ditolak jumhur ulama.

Menurut mereka, kehamilan bisa terjadi apabila pasangan suami istri

tersebut dapat bertemu secara aktual di mana dalam pertemuan tersebut

memungkinkan bagi suami isteri untuk melakukan senggama.

Apabila seorang anak dilahirkan setelah terjadi perceraian antara

suami istri, untuk menentukan apakah anak itu bernasab kepada suami

wanita tersebut atau nasabnya kepada ibunya, terdapat beberapa

kemungkinan, sebagai beriktu:

ulama fikih sepakat apabila seorang suami mentalak istrinya

setelah melakukan senggama dan kemudian lahir anak kurang dari enam

bulan setelah perceraian terjadi, anak itu dinasabkan kepada suami wanita

itu. Apabila kelahiran anak lebih dari enam bulan sejak terjadinya

perceraian, sedangkan suami tidak menggaulinya sebelum cerai, anak

tersebut tidak bisa dinasabkan kepada suaminya. Apabila suami

menceraikan setelah melakukan senggama, baik cerai tersebut melalui

talak raj’i maupun talak ba’in, atau karena kematian suami, terdapat dua

kemungkinan; (1) apabila anak itu lahir sebelum habisnya masa maksimal

kehamilan setelah perceraian atau kematian suami, anak tersebut bernasab

kepada suaminya. Masa maksimal kehamilan, menurut Mazhab Hanafi

dalam salah satu riwayatnya adalah 2 tahun30, menurut mazhab Syafi’i dan

30Berdasarkan hadis riwayat Aisyah, Nabi saw bersabda, sbb.:

)443/ ص 7(ج -السنن الكبرى للبیھقي عن عائشة رضى هللا عنھا قالت ما تزید المرأة في الحمل على سنتین

Lihat, Al-Baihaqî, Abû Bakr Ahmad bin al-Husein, Sunan al-Baihaqi al-Kubrâ, (Makah: Maktabah Dâr al-Baz, 1994), Editor: Muhammad Abdul Qâdir 'Atha. juz ke-7, hal. 443.

Page 34: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

29

Hanbali 4 tahun, dan menurut pendapat yang populer di kalangan mazhab

Maliki adalah 5 tahun31. (2) Apabila anak tersebut lahir melebihi waktu

maksimal kehamilan (yang dihitung sejak terjadinya perceraian atau

kematian suami), menurut jumhur ulama, si anak tidak bisa dinasabkan

kepada suami wanita tersebut.

Sedangkan ulama mazhab Hanafi mengemukakan rincian antara

thalaq raj’iy dan thalaq bain32, sebagai berikut:

(1) Jika perceraian termasuk talak raj’i dan wanita tersebut mengakui bahwa

‘iddahnya belum habis, maka anak itu boleh dinasabkan kepada suaminya,

baik anak tersebut lahir sebelum masa 2 tahun sejak terjadinya perceraiaan

maupun melebihi masa 2 tahun. Karena suami dalam thalaq raj’i masih

boleh melakukan senggama dengan istrinya. Bahkan senggama yang

terjadi dianggap sebagai pertanda rujuk. Apabila wanita tersebut mengakui

bahwa ‘iddahnya telah habis atau telah menempuh masa 60 hari (menurut

Imam Abu Hanifah) atau 39 hari (menurut ke dua sahabatnya, Imam Abu

Yusuf dan Imam Muhammad bin Hasan al-Syaibani), anak tidak boleh

dinasabkan kepada suami wanita33.

(2) Jika perceraian termasuk thalaq ba’in atau karena kematian suami dan

wanita (isteri) tidak mengakui bahwa ‘iddahnya telah habis, maka si anak

tidak bisa dinasabkan kepada suami wanita, kecuali apabila anak tersebut

lahir sebelum 2 tahun sejak terjadinya perceraian atau kematian suami,

karena masa kehamilan menurut mereka adalah 2 tahun. Akan tetapi

31Wahbah al-Zuhaili menulis dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz ke-7,

hal. 647, sbb.: الوفاة، ثبت نسبھ من الزوج، إذا ولدتھ قبل مضي أقصى مدة الحمل من یوم فإن أتت المرأة بولد بعد الطالق أو

الطالق أو الوفاة. وأقصى مدة الحمل ھي كما تقدم أربع سنین في رأي الشافعیة والحنابلة، وسنتان في رأي الحنفیة، وخمس سنوات في المشھور لدى المالكیة.

32Wahbah al-Zuhaili menulis dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz ke-7, hal. 647, sbb.:

ل الحنفیة بین الطالق الرجعي والطالق البائن، فقالوا: وفص33Wahbah al-Zuhaili menulis dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz ke-7,

hal. 648, sbb.: انقضاءھا، بأن كانت ستین یوما في رأي أبي حنیفة، وتسعة وثالثین فإن أقرت بانقضاء العدة، وكانت المدة تحتمل

یوما في رأي الصاحبین، فال یثبت نسب الولد من الزوج إال إذا كانت المدة بین اإلقرار والوالدة أقل من ستة أشھر لتبین كذبھا أو ا ادعاهخطئھا في إقرارھا. فإن كانت ستة أشھر فأكثر، فال یثبت نسبھ من الزوج إال إذ

Page 35: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

30

apabila anak lahir setelah 2 tahun sejak perceraian atau kematian suami,

anak tidak bernasab kepada suami wanita tersebut34.

(2). Nasab Melalui Perkawinan Fasid. Perkawinan fasid adalah pernikahan yang

dilangsungkan dalam keadaan kekurangan syarat, seperti tidak ada wali (bagi

mazhab Hanafi wali tidak menjadi syarat sahnya perkawinan) dan tidak ada

saksi atau saksi palsu. Menurut kesepakatan ulama fikih, penetapan nasab

anak yang lahir dalam pernikahan fasid sama dengan penetapan anak dalam

pernikahan sah35. Akan tetapi, ulama fikih menetapkan tiga syarat dalam

penetapan nasab anak dalam pernikahan fasid tersebut:

a) Suami mempunyai kemampuan menjadikan istrinya hamil. Artinya suami

seorang yang sudah dewasa (baligh) menurut Malikiah dan Syafi’iyah,

atau sekedar murahiq (umur antara 10-12 tahun) menurut ulama Hanafiah

dan Hanabilah, serta tidak mempunyai penyakit yang dapat menyebabkan

istrinya tidak bisa hamil.

b) Hubungan senggama bisa dilaksanakan secara sempurna.

c) Anak dilahirkan dalam waktu 6 bulan atau lebih setelah terjadinya akad

nikah fasid (menurut ulama Malikiah) dan sejak terjadinya senggama

(menurut mazhab Hanafi). Apabila anak lahir dalam waktu sebelum 6

bulan setelah akad nikah atau melakukan senggama, anak tidak bisa

dinasabkan kepada suami wanita tersebut36.

34Wahbah al-Zuhaili menulis dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz ke-7,

hal. 648, sbb.: ب ـ وإن كان الطالق بائنا أو كانت الفرقة بسبب وفاة الزوج، ولم تقر بانقضاء العدة، فال یثبت نسب الولد إال إذا أتت

أو الوفاة؛ ألن أقصى مدة الحمل عندھم سنتان. فإن أتت بھ في ھذه المدة، وكان ھناك بھ قبل مضي سنتین من تاریخ الطالق احتمال بأنھا حملت بھ بعد مضي ھذه المدة، لم یكن ھناك احتمال بأنھا حملت بھ قبل الطالق أو الوفاة

35Abu Zakariya Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Raudlat al-Thalibin wa ‘Umdat al-Muftin,

(Beirut: Dar al-Fikr, tth.), juz ke-3, hal. 243. (243/ ص 3(ج -روضة الطالبین وعمدة المفتین

وخرج على الخالف المذكور أن لحوق الولد في النكاح الفاسد ھل یتوقف على إقراره بالوطء كما في ملك الیمین أم یكفي فیھ مجرد العقد كالنكاح الصحیح

36Wahbah al-Zuhaili menulis dalam, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz vii, hal. 649, sbb.:

ویشترط لثبوت النسب بالزواج الفاسد ثالثة شروط: أن یكون الرجل ممن یتصور منھ الحمل: بأن یكون بالغا عند المالكیة والشافعیة، أو بالغا أو مراھقا عند الحنفیة والحنابلة. .1 تحقق الدخول بالمرأة أو الخلوة بھا في رأي المالكیة: فإن لم یحصل الدخول أو الخلوة بعد زواج فاسد، لم یثبت نسب الولد، .2 ، ومن تاریخ الدخول عند الحنفیة. أن تلد المرأة بعد ستة أشھر أو أكثر من تاریخ الدخول أو الخلوة عند المالكیة .3

Page 36: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

31

(3). Nasab Anak dari Senggama Syubhat. Hubungan senggama syubhat terjadi

bukan dalam perkawinan yang sah atau fasid dan bukan pula dari perbuatan

zina. Senggama syubhat bisa terjadi akibat kesalahpahaman atau kesalahan

informasi. Misalnya, seorang pria melakukan perkawinan dengan seorang

wanita yang sebelumnya tidak dikenalnya. Pada malam pengantin ia

menemukan seorang wanita dikamarnya lalu digaulinya. Ternyata wanita itu

bukan istri yang telah dinikahinya. Dalam kasus seperti ini, apabila wanita

tersebut melahirkan setelah hamil enam bulan atau lebih (masa maksimal

kehamilan) setelah senggama terjadi, anak yang lahir dinasabkan kepada

lelaki yang menyetubuhinya. Akan tetapi, apabila anak lahir melebihi masa

maksimal kehamilan seorang wanita, anak tidak bisa dinasabkan kepada

lelaki yang menyetubuhi wanita tersebut37.

Hukum Islam membedakan syubhat kepada dua bentuk yaitu:

a. Anak syubhat dalam akad, yaitu ketika seorang laki-laki melaksanakan

akad nikah dengan wanita seperti akad nikah sah lainya, tetapi kemudian

akadnya fasid karena alasan tertentu.

b. Syubhat dalam tindakan (perbuatan), yaitu ketika seorang laki-laki

mencampuri seorang wanita tanpa terjadi akad antara mereka berdua,

baik akadnya sah maupun fasid. Misalnya: tidak sadar ketika

melakukanya, atau dia menyakini bahwa wanita tersebut halal untuk

dicampuri, tetapi kemudian wanita tersebut ternyata haram dicampuri.

Termasuk dalam kategori ini adalah hubungan seksual yang dilakukan

orang gila, pemabuk, dan orang mengigau, serta orang yang meyakini

bahwa yang dicampuri isterinya, tetapi wanita tersebut ternyata bukan

isterinya38.

A.2. CARA MENETAPKAN NASAB DALAM ISLAM

37Wahbah al-Zuhaili menulis dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz ke-7,

hal. 650-651, sbb.: : ھو االتصال الجنسي غیر الزنا، ولیس بناء على عقد زواج صحیح أو فاسد، مثل المرأة المزفوفة إلى الوطء بشبھة

وإن أتت بھ قبل مضي ستة أشھر ال یثبت النسب منھ، لتأكد أن الحمل حدث قبل ذلك، إال ..……بیت زوجھا دون رؤیة سابقة، أنھ إذا ادعاه ثبت نسبھ منھ، إذ قد یكون وطئھا قبل ذلك بشبھة أخرى

38Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2007), hal. 388-389.

Page 37: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

32

Menurut Wahbah al-Zuhaili39, nasab seorang anak dapat ditetapkan

melalui tiga cara, sebagai berikut:

Pertama, melalui nikah sahih atau fasid. Ulama fikih sepakat menyatakan

bahwa nikah yang sah dan nikah fasid merupakan salah satu cara menetapkan

nasab seseorang kepada ayahnya, sekalipun pernikahan dan kelahiran anak

tersebut tidak didaftarkan secara resmi pada instansi terkait40.

Kedua, melalui iqrar (pernyataan) atau iddi’a (gugatan). Misalnya seorang

ayah mengakui anak tertentu atau sebaliknya anak mengakui seseorang sebagai

bapaknya. Pengakuan anak terhadap seseorang sebagai bapaknya atau pengakuan

seorang bapak terhadap seseorang yang menjadi anaknya, dalam literatur Hukum

Islam dinamai iqrar atau iddi’a’ yang berarti pengakuan seorang laki-laki secara

suka rela terhadap seorang anak bahwa ia mempunyai hubungan darah dengan

anak tersebut, baik bersetatus di luar nikah atau anak tersebut tidak diketahui asal

usulnya41.

Menurut konsep hukum Islam sebagaimana dinyatakan Wahbah al-

Zuhaili42, pengakuan anak ada dua macam, yaitu:

(1) pengakuan anak untuk diri sendiri, dan

(2) pengakuan anak untuk orang lain.

Pada prinsipnya sama tujuanya. Hanya dalam pelaksanaanya sedikit

berbeda, yakni:

a. Mendaku nasab orang lain untuk diklaim nasabnya si pendaku (muqrir)

sendiri,

39Wahbah al-Zuhaili menulis dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz ke-7,

hal. 652,sbb.: البینة. - 3اإلقرار بالنسب - 2الزواج الصحیح أو الفاسد. 1 یثبت النسب بأحد طرق ثالثة وھي :

40Wahbah al-Zuhaili menulis dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz ke-7,

hal. 652, sbb.: الزواج الصحیح أو الفاسد سبب إلثبات النسب، وطریق لثبوتھ في الواقع، متى ثبت الزواج ولو كان فاسدا، أو كان زواجا عرفیا، أي منعقدا بطریق عقد خاص دون تسجیل في سجالت الزواج الرسمیة، یثبت بھ نسب كل ما تأتي بھ المرأة من

أوالد.

41Abdul Manan, Aneka Permasalahan Hukum Perdata Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 76.

42Wahbah al-Zuhaili menulis dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz ke-7, hal. 652, sbb.:

لطریق الثاني ـ اإلقرار بالنسب أوادعاء الولد : نفس المقر، وإقرار محمول على غیر المقر.اإلقرار بالنسب نوعان: إقرار على

: فھو أن األب بالولد أو االبن بالوالد، كأن یقول: ھذا ابني، أو ھذا أبي، أو ھذه أمياإلقرار بالنسب على نفس المقرأما

Page 38: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

33

b. Mendaku nasab orang lain untuk diklaim nasabnya kepada orang lain yang

tidak mendaku.

Ulama fikih membedakan antara pengakuan terhadap anak dan pengakuan

terhadap selain anak, misalnya: saudara, paman, atau kakek. Jika seorang lelaki

mengakui bahwa seorang anak kecil adalah anaknya, atau sebaliknya seorang

anak kecil yang telah dewasa (baligh) menurut mayoritas ulama atau mumayiz

(menurut ulama Hanafi) mengakui seorang lelaki adalah ayahnya, maka

pengakuan itu dapat dibenarkan dan anak itu dinasabkan kepada lelaki tersebut,

apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut.

(a) Anak itu tidak jelas nasabnya, tidak diketahui ayahnya43. Apabila ayahnya

diketahui, maka pengakuan ini batal, karena Rasulullah SAW mencela

seseorang yang mengakui dan menjadikan anak orang lain sebagai

nasabnya44. Ulama fikih sepakat menyatakan bahwa apabila anak tersebut

dinafikan ayahnya melalui li’an, tidak boleh seseorang mengakui nasabnya,

selain suami yang meli’an ibunya.

(b) Pengakuannya logis dan empirik45. Maksudnya, seseorang yang mengakui

ayah dari anak tersebut usianya berbeda jauh dari anak yang diakui sebagai

nasabnya. Demikian pula halnya, apabila seseorang mengakui nasab seorang

anak tetapi kemudian datang lelaki lain yang mengakui nasab anak tersebut

maka hakim perlu meneliti lebih jauh tentang siapa yang berhak terhadap

anak tersebut.

43Wahbah al-Zuhaili menulis dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz ke-7,

hal. 652-3,sbb.: أن یكون المقر بھ مجھول النسب: بأن ال یكون معروف النسب من أب آخر، فإن كان ثابت النسب من أب - 1

معروف غیر المقر، كان ھذا اإلقرار باطال؛ ألن الشرع قاض بثبوت النسب من ذلك األب، ومتى تأكد ثبوت النسب من شخص، هللا علیھ وسلم من انتسب إلى غیر أبیھ أو تولى غیر موالیھ. ال یقبل االنتقال منھ إلى غیره، فقد لعن النبي صلى

44 Rasulullah saw bersabda, (209/ ص 6(ج - مسند أحمد

من غی عن ابن عباس لعن هللا من ذبح لغیر هللا علیھ وسلم قال لعن هللا من أن النبي صلى هللا ر تخوم األرض ولعن هللا من سب والده بیل ولعن هللا من تولى غیر موالیھ كمھ األعمى عن الس .…… ولعن هللا

Lihat, Ibn Hanbal, Ahmad Abdullah al-Syaibani, Musnad al-Imâm Ahmad bin Hanbal, (Kairo: Muassasah Qurthubah, tth). juz ke-6, hal. 209.

45Wahbah al-Zuhaili menulis dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz ke-7, hal. 653, sbb.:

…أن یصدقھ الحس: بأن یكون المقر بھ محتمل الثبوت من نسب المقر، بأن یكون ممن یولد مثل المقر بھ لمثل المقر، .

Page 39: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

34

(c) Pengakuannya dibenarkan46. Apabila anak tersebut telah baligh dan berakal

(menurut jumhur ulama) atau telah mumayiz (menurut ulama mazhab Hanafi),

pembenaran anak terhadap pengakuan laki-laki tersebut bisa dikabulkan.

Akan tetapi, syarat ini tidak diterima ulama mazhab Maliki, karena menurut

mereka, nasab merupakan hak dari anak, bukan ayah.

(d) Lelaki yang mengakui nasab anak tersebut menyangkal bahwa anak tersebut

adalah anaknya dari hubungan perzinaan, karena hubungan perzinaan tidak

bisa menjadi dasar penetapan nasab anak47.

Apabila syarat-syarat di atas terpenuhi, pengakuan nasab terhadap

seseorang adalah sah dan anak tersebut berhak mendapatkan nafkah, pendidikan

selayaknya, dan harta warisan dari ayahnya. Ayah yang telah mengakui anak

tersebut sebagai anaknya tidak boleh mencabut pengakuannya, karena nasab tidak

bisa dibatalkan.

Ulama fikih kemudian berbeda pendapat, apakah anak yang diakui

disyaratkan harus hidup sehingga pengakuan nasab dianggap sah. Ulama Mazhab

Hanafi48 mensyaratkan anak yang diakui sebagai nasab orang yang mengakui

harus hidup. Apabila anak yang diakui telah wafat, pengakuannya tidak sah dan

anak itu tidak bisa dinasabkan kepada orang yang memberi pengakuan. Namun

ulama Mazhab Maliki tidak mensyaratkan bahwa anak yang diakui nasabnya

harus hidup. Menurut mereka, sekalipun anak yang diakui telah wafat dan

pengakuan yang diberikan memenuhi syarat-syarat yang dikemukakan di atas,

maka anak itu bisa dinasabkan kepada orang yang mengaku. Sedangkan ulama

Mazhab Syafii dan Hanbali menyatakan bahwa di samping memenuhi syarat-

46Wahbah al-Zuhaili menulis dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz ke-7, hal. 653, sbb.: أن یصدقھ المقر لھ في إقراره إن كان أھال للتصدیق، بأن یكون بالغا عاقال عند الجمھور، وممیزا عند الحنفیة؛ ألن

.……تتعداه إلى غیره إال ببینة، أو تصدیق من الغیراإلقرار حجة قاصرة على المقر، فال 47Wahbah al-Zuhaili menulis dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz ke-7,

hal. 654, sbb.: النسب ویبطل اإلقرار إن صرح المقر في إقراره بأن الولد ابنھ من الزنا؛ ألن الزنا ال یصلح سببا إلثبات النسب، إذ

نعمة فال تنال بالمحظور. 48Wahbah al-Zuhaili menulis dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz ke-7,

hal. 654, sbb.: وقد اشترط الحنفیة لصحة اإلقرار بالنسب أیضا حیاة الولد، فلو أقر شخص بأن فالنا ابنھ، وكان المقر لھ بالبنوة میتا،

ذا اإلقرار، وال یثبت بھ النسب؛ إذ ال حاجة بعد الوفاة إلثبات النسب؛ ألنھ ال یحتاج المیت إلى تكریم وال تشریف. لكن لم یصح ھاستثنى الحنفیة منھ ما إذا كان لالبن المتوفى أوالد، فإن اإلقرار بنسبھ بعد وفاتھ، یكون صحیحا، رعایة لمصلحة ھؤالء األوالد؛

ولم یشترط المالكیة حیاة الولد المقر بھ؛ ألن النسب حق سب أبیھم، وفي ثبوت نسبھ شرف لھم وتكریم.ألنھ یحتاجون إلى ثبوت نللولد على أبیھ، فال یتوقف إثباتھ على حیاة الولد، كما ال یتوقف على تصدیقھ، إال أن األب ال یرث االبن الذي استلحقھ إال إذا كان

یتھم األب بأن إقراره ألجل أخذ المال الكثیر.لھ ولد، أو كان المال قلیال، حتى ال

Page 40: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

35

syarat di atas diperlukan syarat lain, yaitu pengakuan juga datang dari seluruh ahli

waris orang yang mengaku dan orang yang mengaku telah wafat49.

Adapun pengakuan nasab selain anak (misalnya: saudara, kakek, paman,

dan kemenakan), menurut kesepakatan ulama fikih hukumnya sah apabila

memenuhi syarat-syarat yang disebutkan di atas ditambah satu syarat lagi, yaitu

ada alat bukti (al bayyinah) yang menguatkan pengakuan tersebut atau diakui dua

ahli waris dari pihak yang mengaku50.

Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Muhammad bin Hasan al-

Syaibani, alat bukti yang dibutuhkan tersebut adalah pengakuan dua orang lelaki,

atau satu orang lelaki dan dua orang wanita. Menurut ulama Mazhab Maliki,

pengakuan tersebut dikemukakan dua orang laki-laki saja. Sedangkan menurut

Mazhab Syafii, Mazhab Hanbali, dan Imam Abu Yusuf, pengakuan harus datang

dari seluruh ahli waris yang mengaku51.

Dalam hukum Islam, anak dibagi kepada dua bagian, yaitu anak yang

diketahui hubungan darah dengan bapaknya dan Anak yang tidak diketahui

hubungan darah dengan bapaknya.

Anak yang tidak diketahui hubungan darah dengan bapaknya dengan

sendirinya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya yang melahirkannya

dan bisa mempunyai hubungan keperdataan dengan bapaknya, jika bapaknya

mengakuinya.

49Wahbah al-Zuhaili menulis dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz ke-7,

hal. 654, sbb.: وقال الشافعیة والحنابلة: یثبت النسب باإلقرار على الغیر بالشروط السابقة، وبشرط كون المقر جمیع الورثة، وبشرط

ن الملحق بھ النسب میتا كو 50Wahbah al-Zuhaili menulis dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz ke-7,

hal. 655, sbb.: وأما اإلقرار بنسب محمول على الغیر :

ھذا ابن ابني.فھو اإلقرار بما یتفرع عن أصل النسب، كأن یقر إنسان فیقول: ھذا أخي، أوھذا عمي، أو ھذا جدي، أو ویصح بالشروط السابقة، ویزاد علیھا شرط آخر، وھو تصدیق الغیر، فإذا قال إنسان: ھذا أخي، یشترط لثبوت نسبھ

عندا لحنفیة أن یصدقھ أبوه فیھ، أو تقوم البینة على صحة اإلقرار، أو یصدقھ اثنان من الورثة إن كان الغیر میتا؛ 51Wahbah al-Zuhaili menulis dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz ke-7,

hal. 656, sbb.: إثبات النسب على الغیر كھذا أخي أو عمي قد یكون بالبینة، وھي عند أبي حنیفة ومحمد: إقرار رجلین أو رجل

وامرأتین، كالشھادة. یحمل النسب على غیره، فاعتبر فیھ العدد كالشھادة.ویرى مالك: أنھ ال یثبت النسب على الغیر إال بإقرار اثنین؛ ألنھ

وقال الشافعي وأحمد وأبو یوسف: إن أقر جمیع الورثة بنسب من یشاركھم في اإلرث، ثبت نسبھ، حتى ولو كان الوارث واحدا ذكرا أو أنثى؛

Page 41: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

36

Terjadi perbedaan yang prinsip tentang motivasi pengakuan anak menurut

hukum Islam. Motivasi pengakuan anak menurut hukum Islam adalah:

a. Demi kemaslahatan anak yang diakui;

b. Rasa tanggung jawab dan taklief ijtima’i;

c. Menyembunyikan aib karena anak tersebut terlahir di luar kawin orang

tuanya;

d. Antisipasi terhadap datangnya mudharat yang lebih besar di masa yang

akan datang apabila anak tersebut tidak diakuinya.

Selain iqrar (pengakuan), dikenal juga istilah istilhaq dan tabanny.

Pengertian istilhaq dengan tabanny secara substansial jauh berbeda, di mana

dalam tabanny anak yang diangkat (diadopsi) tidak ada hubungan darah (nasab)

sama sekali dengan ayah angkatnya. Sementara dalam istilhaq, nasab seorang

anak bisa didasarkan pada darah yang mengalir dalam diri anak melalui benih

yang ditanam dalam perkawinan yang tidak sah (nikah fasid).

Istilhaq secara bahasa merupakan masdar (gerund) dari kata istalhaqa

yang berarti mengaku dan menisbatkan nasabnya kepada dirinya52. Muhammad

Rawas al-Qal’aji mengartikan ungkapan istalhaqa al-walad dengan washala

nasabuhu (menyambungkan nasabnya dengan dirinya)53. Nampaknya terminologi

fiqih pengertiannya sama dengan makna secara bahasa. Dalam konteks ini, imam

al-Shawi dalam bukunya Hasyiah al-Shawi ‘ala Syarh al-Shaghir memaknai term

istilhaq dengan, “Pengakuan seorang laki-laki yang mukallaf (‘aqil-baligh) bahwa

ia merupakan bapak dari seseorang yang nasabnya tidak diketahui”54. Nampaknya

52Ungkapan dari ktab Lisan al-‘Arab, sbb.:

(327/ ص 10(ج - لسان العرب ابن لحق ) اللحق واللحوق واإللحاق اإلدراك لحق الشيء وألحقھ وكذلك لحق بھ وألحق لحاقا بالفتح أي أدركھ قال

القنوت إن عذابك بري شاھده ألبي دواد فألحقھ وھو ساط بھا كما تلحق القوس سھم الغرب واللحاق مصدر لحق یلحق لحاقا وفيیة بالكافرین ملحق بمعنى الحق ومنھم من یقول إن عذابك بالكافرین ملحق قال الجوھري والفتح أیضا صواب قال ابن األثیر الروا

معنى كتبعتھ وأتبعتھ بكسر الحاء أي من نزل بھ عذابك ألحقھ بالكفار وقیل ھو بمعنى الحق لغة في لحق یقال لحقتھ وألحقتھ ب ……ویروي بفتح الحاء على المفعول أي إن عذابك ملحق بالكفار ویصابون بھ

53Muhammad Rawwas al-Qal’aji, Mu’jam Lughat al-Fuqaha’, (Beirut: Dar al-Nafais, 1998), cet.ke-2, hal. 65.

54Abu al-‘Abbas Ahmad bin Muhammad al-Shawi, Hasyiah al-Shawi ‘ala Syarh al-Shaghir, (Mesir: Dar al-Ma’arif, 2001), jus ke-8, hal. 129. Redaksinya sbb.:

بي ( المجنون والمكره االستلحاق في العرف ( إقرار ذكر ) ال أنثى فال استلحاق ألم ( مكلف ) ولو سفیھا خرج كالص أنھ أب لمجھول نسبھ )

Page 42: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

37

al-Shawi meyakini bahwa istilhaq hanya boleh dilakukan seorang mukallaf yang

sudah menyadari konsekwensi atas semua perbuatannya.

Dari uraian di atas dipahami, istilhaq hanya boleh dilakukan seorang laki-

laki mukallaf, yang sehat jasmani dan rohani atau tidak gila (‘aqil). Sedangkan

perempuan, tidak bisa menuntut pengakuan nasab atas anak yang dikandungnya

kepada seorang pria. Ini berarti, seorang wanita yang hamil dan tidak diketahui

siapa bapak anaknya, tidak dapat melakukan istilhaq terhadap sseorang laki-laki

untuk anaknya. Al-Shawi nampaknya ingin menegaskan bahwa objek istilhaq

hanya berlaku bagi seorang anak yang nasabnya tidak diketahui. Dengan

demikian, anak zina bukanlah objek yang tidak memiliki nasab, karena nasabnya

sudah dipastikan kepada ibunya. Begitu juga seorang anak yang sudah jelas

nasabnya, tidak bisa melakukan istilhaq lagi55.

Menurut Ibn Taymiyah, sebagian ulama membolehkan seorang pezina

melakukan istilhaq terhadap anak yang terlahir dari wanita yang dizinahinya

dengan syarat, hanya lelaki itu yang menzinahinya. Nampaknya pendapat Ibn

Taymiyah ini –bisa jadi-- mengacu kepada ijtihad khalifah Umar bin Khattab

yang mengaitkan nasab anak hasil zina pada masa jahiliah dengan bapak

mereka56. Di sisi lain, Ibn Taymiyah menegaskan, seorang laki-laki tidak bisa

mengaitkan nasab seorang anak kepada dirinya bila anak itu bukan dari benih

yang dia tanam, sebagaimana dinyatakan dalam hadis Nabi saw, al-Walad li al-

Firas57.

Lebih jauh al-Shawi mengatakan, kajian istilhaq lebih banyak terkait

dengan budak (amat) yang biasa diperjual-belikan dalam keadaan hamil, sehingga

memerlukan pengakuan nasab bagi anak yang dilahirkan kemudian, setelah si

budak perempuan tadi (al-amat) pindah tangan akibat diperjualbelikan58.

55Abu al-‘Abbas Ahmad bin Muhammad al-Shawi, menulis sbb.:

(129/ ص 8(ج -حاشیة الصاوي على الشرح الصغیر ف الشارع للحوق النسب ھ لتشو بتھ أم نا المعلوم أنھ من زنى ، وال لمعلوم نسبھ ال لمقطوع نسبھ كو . ولو كذ ویحد . لد الز

نا أیضا نا ، فحد الز ولد .وإذا أقر أن مجھول النسب ابنھ لحق بھ ال . من ادعى أنھ أبوه حد القذف ، إال أن یقر بالزLihat, Abu al-‘Abbas Ahmad bin Muhammad al-Shawi, Hasyiah al-Shawi ‘ala Syarh al-

Shaghir, (Mesir: Dar al-Ma’arif, 2001), jus ke-8, hal. 129 56Ibn Taymiyah, Majmu’ Fatwa, (Madinah: Majma’ Malik Fahd, 1995), jus ke-32,

hal.139. 57Ibn Taymiyah, al-Fatwa al-Kubra, (Ttp: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1987), jus ke-3,

hal.178. 58Abu al-‘Abbas Ahmad bin Muhammad al-Shawi, Hasyiah al-Shawi ‘ala Syarh al-

Shaghir, (Mesir: Dar al-Ma’arif, 2001), jus ke-8, hal. 540.

Page 43: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

38

Pernyataan al-Shawi di atas erat kaitanya dengan apa yang pernah

dilakukan Rasulullah saw pada zaman jahiliah, sebagaimana dinyatakan dalam

hadis59, sbb.:

ه علیھ وسلم قال كل مستلحق استلحق بعد أبیھ عن عمرو بن شعیب عن أبیھ عن جد صلى هللا أن رسول هللا

عاه ورثتھ من بعده فقضى أن من كان من أمة یملكھا یوم أصابھا ف لحقھ قد لحق بمن است الذي یدعى لھ اد

یلحق إذا كان أبوه ولیس لھ فیما قسم قبلھ من المیراث شيء وما أدرك من میراث لم یقسم فلھ نصیبھ وال

ة عاھر بھا فإنھ ال یلحق وال یورث وإن كان الذي الذي یدعى لھ أنكره وإن كان من أمة ال یملكھا أو من حر

د بن راشد ة أو أمة قال محم ھ من كانوا حر عاه فھو ولد زنا ألھل أم یعني بذلك ما قسم في یدعى لھ ھو اد

سالم الجاھلیة قبل ا (235/ ص 8(ج - سنن ابن ماجھ (إل

Artinya:

Diriwayatkan dari Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, bahwa

Rasulullah saw bersabda, “Setiap orang yang dikaitkan kepada orang lain

setelah bapaknya, maka ahli warispun hendaklah mengakuinya

setelahnya. Rasulullah menetapkan bahwa wanita yg telah menjadi hamba

sahaya pada saat melakukan hubungan intim dengannya, maka nasabnya

dikaitkan dengan orang yang mengaitkan sebelumnya, dan ia tidak

mendapatkan harta warisan sama sekali dari yang telah dibagi

sebelumnya. Adapun harta warisan yang belum dibagikan, maka ia

mendapatkan bagiannya. Nasabnya tidak dapat dikaitkan kepada seorang

bapak, apabila ia mengingkarinya. Akan tetapi apabila dari budak wanita

yang tidak dimiliki, atau perempuan merdeka yang telah berzina, maka

nasabnya tidak dapat dikaitkan (kepadanya) dan ia tidak diwarisi. Apabila

nasab dikaitkan kepada seorang bapak dan ia mengakuinya, maka ia

adalah anak hasil zina, ia (nasabnya) dikaitkan kepada ibunya, baik ia

seorang wanita merdeka atau seorang budak. Muhammad bin Rasyid

berkata; 'Yang dimaksud di sini adalah apa yang telah dibagi pada masa

Jahiliyah sebelum Islam.

Lembaga pengakuan anak menurut Hukum Perdata sebagaimana termuat

dalam N-BW dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sama dengan lembaga

59Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, (Beirut: Dâr al-Fikr, tth.), editor: Muhammad Fuad Abdul Baqi, jus ke-8, hal. 235, no. Hadis 2736.

Page 44: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

39

“istilhaq” dalam hukum Islam yang mempunyai arti adalah pengakuan seorang

mukallaf bahwa ia adalah ayah dari seorang anak yang tidak diketahui nasabnya.

Menurut Abdullah Ali Husein, tidak setiap mukallaf dapat mengakui

seorang anaknya yang sah, melainkan harus berpegang kepada asas yaitu:

a. Adanya status yang baik dari anak tanpa ayah

b. Pengakuannya diharapkan melindungi bagi yang lemah

c. Adanya larangan mengingkari kembali pengakuan yang telah diberikan.

Dengan asas ini, hukum Islam telah memberikan patokan terhadap

masalah anak sah dalam kehidupan seseorang, sehingga tidak terjadi hal-hal yang

buruk dalam kehidupan seseorang60.

Ketiga, Melalui Alat Bukti (Al-Bayyinah)

Dengan cara (bayyinah), yakni dengan cara pembuktian bahwa

berdasarkan bukti-bukti yang sah seorang betul anak si fulan. Dalam hal yang

terakhir ini termasuk juga anak yang lahir dari wathi’ syubhat dan anak yang lahir

dari nikah fasid.

Di atas telah disinggung tentang pihak-pihak yang bisa dijadikan alat bukti

dalam penetapan nasab seseorang. Dalam hubungan ini, ulama fikih sepakat

menyatakan bahwa saksi itu benar-benar mengetahui keadaan dan sejarah anak

yang akan dinasabkan. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah SAW terhadap

orang yang ingin menjadi saksi. Rasulullah SAW ketika itu mengatakan: “Apakah

engkau melihat matahari?” Lelaki itu menjawab: “Benar, saya lihat.” Kemudian

Rasulullah SAW bersabda: “Apabila sejelas matahari, silahkan kemukakan

kesaksianmu. Tetapi apabila tidak (demikian), jangan menjadi saksi”61.

Secara syariat Islam, nasab didasarkan kepada perkawinan yang sah.

Ketidakjelasan nasab akan membawa pada masalah hukum yang lain, waris,

60Abdullah Ali Husein, Muqarranah Tasyri’iyah Min Al Qawanin Al-Wad’iyyah Wa Tasyri’il Islam Muqaranatan Bainil Fiqhil Qanuniyah Faransiy Wa Mazhabi Al-Imam Malik, (Kairo¨ Darul Ihya al-Kutub Arabiyah, 1997), hal..235.

61Wahbah al-Zuhaili menulis dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz ke-7, hal. 657, sbb.:

ة رجلین ونوع البینة التي یثبت بھا النسب كما سبق: ھي شھادة رجلین أو رجل وامرأتین عند أبي حنیفة ومحمد. وشھادفقط عند المالكیة، وجمیع الورثة عند الشافعیة والحنابلة وأبي یوسف.والشھادة تكون بمعاینة المشھود بھ أو سماعھ، فإذا رأى الشاھد أو سمعھ بنفسھ، جاز لھ أن یشھد، وإذا لم یره أو یسمعھ بنفسھ، ال یحل لھ أن یشھد، لقولھ صلى هللا علیھ وسلم لشاھد:

ل: نعم، فقال: على مثلھا فاشھد أو دعترى الشمس؟ قا«

Page 45: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

40

perwalian dan sebagainya. Jika ia tidak bisa dinasabkan secara syari, maka tidak

bisa mendapatkan hak waris, nafkah, pengasuhan, perwalian, dsb. Tes DNA

merupakan penemuan pada ilmu kedokteran (medis) terkini62. Sebab pada masa

Rasul dan sahabat belum dikenal teknologi semacam itu. Yang ada metode al-

qiyafah, yakni melakukan diagnose atau penglihatan setelah melihat bagian-

bagian pada bayi yang baru lahir. Teknologinya mirip dengan identifikasi sidik

jari63.

Empat, Melalui Metode Al-Qiyafah

Sebagian ulama menambahkan metode menetapkan nasab dengan cara

al-qiyafah. Pelakunya disebut al-Qaif, yaitu seorang ahli firasat, yang

mengetahui nasab atau keturunan dengan firasatnya. Ia melihat cirri-ciri khusus

yang ada pada si anak dan ayahnya atau saudaranya, lalu ia benarkan anak dengan

ayahnya atau saudara dengan saudaranya ada hubungan darah.

Al-Jurjani dalam kittabnya al-Ta’rifat mengatakan:

(54/ ص 1(ج -(التعریفات .ھو الذي یعرف النسب بفراستھ ونظره إلى أعضاء المولود القائف

Artinya:

Al-Qaif adalah seseorang yang mengetahui nasab dengan firasat dan

pengihtan yang tajam dengan mendeteksi anatomi anak yang dilahirkan.

Bahkan metode al-Qiyafah ini pernah digunakan Khalifah Umar bin

Khattab, Ibn Abbas, dan Anas bin Malik. Kemudian mayoritas ulama mazhab

(imam Malik, imam al-Syafi’I, imam Ahmad bin Hanbal, dll.), mengakui metode

al-qiyafah ini dalam menetapkan nasab seseorang64.

62Anonimus, Ulasan Mengenai Nasab dan Pembuktian Keturunan Melalui Tes DNA

Secara Biologis, http://2.,bp.blogspot.com/_sw4NMILXTh4/SPwfnpdrEAI/sijra-e-nasab.jpg. Sabtu, 3/31/ 2012. 9:08. WIB.

63Pada tahun 1884 di Inggris telah digunakan satu metode untuk mengenali seseorang lewat sidik jari. Cara ini kemudian diikuti mayoritas institusi kepolisian di seluruh dunia. Metode ini dianggap satu-satunya cara yang paling representatif dan validitasnya teruji karena kulit jari-jemari manusia memiliki garis yang berbeda-beda dan sudah permanen. Sungguh ini mu’jizat Allah yang dijelaskan dalam surat al Qiyamah, 75:3-4, sbb.:

نسان ألن نجمع عظامھ( ي بنانھ()بلى قادرین على أن 3أیحسب اإل )4نسوArtinya: Apakah manusia mengira, bahwa kami tidak akan mengumpulkan (kembali)

tulang belulangnya? Bukan demikian, sebenarnya Kami kuasa menyusun (kembali) jari jemarinya dengan sempurna.Lihat, Fuad Thohari, Tafsir Ilmi, Materi Pembekalan LDII, di Jakarta; Ali al-Shabuni, al-Tibyan fi Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, 1998), hal. 179.

64Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al Islamy wa Adillatuhu, jus ke-7, hal. 643-644.

Page 46: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

41

B. Normatif Hukum tentang Status Anak dan Urgensi pemeliharaan Nasab

Peraturan perundangan di Indonesia mengatur tentang kedudukan anak sah

dan penentukan status seorang anak. Hal ini dapat ditemui pada sejumlah

peraturan, seperti Undang-Undang Perkawinan, Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata yang merupakan warisan dari pemerintah kolonial Belanda, serta

Kompilasi Hukum Islam yang secara khusus mengatur hukum keluarga bagi umat

Islam Indonesia.

Dalam Undang-Undang Perkawinan, sebagai mana disebutkan di atas,

bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan

perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Bila diperhatikan, ketentuan Undang-

Undang ini sangat berkaitan dengan konteks perzinaan, karena Undang-Undang

Perkawinan menyatakan bahwa seorang suami dapat saja menyangkal sahnya

anak yang dilahirkan oleh isterinya tersebut bila sang suami ini dapat

membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan anak itu akibat daripada

perzinaan tersebut.

Pasal 44 Undang-Undang Perkawinan ini secara tegas menyebutkan:

Pertama, seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh

isterinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan anak

itu akibat daripada perzinaan tersebut. Kedua, Pengadilan memberikan keputusan

tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan.65

Di samping kedua Pasal di atas, Undang-Undang Perkawinan juga

mengatur tentang pembuktian asal-usul anak dalam perkawinan. Pasal 55

Undang-Undang ini menyebutkan, bahwa asal usul anak hanya dapat dibuktikan

dengan akte kelahiran yang autentik yang dikeluarkan oleh Pejabat yang

berwenang. Dalam Pasal ini, status pembuktian anak yang dimaksud lebih pada

aspek administratif legalnya, dibandingkan dengan status sah atau tidaknya

seorang anak.

Dalam ayat (2) Pasal 55 ini dilanjutkan, bahwa jika akta kelahiran tidak

ada, maka Pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang

anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang

65 Pasal 44 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Perkawinan.

Page 47: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

42

memenuhi syarat. Dengan ketentuan ini kemudian, instansi pencatat kelahiran

yang ada dalam daerah hukum Pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akta

kelahiran bagi anak yang bersangkutan.66

Bila mengacu kepada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, ketentuan

anak dan keturunan ini dijelaskan lebih lengkap dan rigit. Ketentuan ini

didapatkan pada Pasal 250 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang

menyatakan bahwa tiap-tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang

perkawinan memperoleh si suami sebagai bapaknya. Dengan kata lain, Pasal ini

menetapkan bahwa seorang anak berhak mendapatkan garis keturunan dari ayah

atau bapaknya selama ia dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan.

Namun ketentuan ini masih menyimpan pengecualian, yaitu keabsahan

seorang anak yang dilahirkan sebelum hari yang ke seratus delapan puluh dalam

perkawinan suami-isteri dapat diingkari oleh suami atau laki-laki yang dipandang

sebagai bapaknya. Kecuali bila ada sejumlah hal berikut: Pertama, jika si suami

sebelum perkawinan telah mengetahui bahwa sang isteri akan melahirkan. Kedua,

jika ia telah ikut hadir ketika akta kelahiran dibuat dan akta itu pun telah

ditandatanganinya atau memuat pernyataan darinya, bahwa ia tidak dapat

menandatangani. Ketiga, jika anak tersebut tidak hidup ketika dilahirkan.

Dalam hal demikian, pengingkaran suami tersebut dapat dilakukan apabila

ia dapat membuktikannya, bahwa ia sejak tiga ratus sampai seratus delapan puluh

hari sebelum kelahiran anak tersebut, baik perpisahan atau sebagai akibat dari

kebetulan, berada pada ketakmungkinan yang nyata untuk mengadakan hubungan

seksual dengan isterinya. Bila suami tak dapat membuktikan ketidakmampuannya,

maka anak tersebut tidak dapat diingkarinya (Pasal 252 KUHPer).

Demikian pula dengan anak hasil perzinaan, Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata menetapkan bahwa suami tidak dapat mengingkari keabsahan

anak tersebut, kecuali jika ia menyembunyikan kelahirannya, maka ia harus

membuktikanya sebagaimana disebutkan pada Pasal 252 di atas. Pasal 253

Undang-Undang ini menyebutkan:

“Suami tidak dapat mengingkari keabsahan anak atas dasar perzinaan,

66 Pasal 55 Undang-Undang Perkawinan.

Page 48: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

43

kecuali bila kelahiran anak telah dirahasiakan terhadapnya, dalam hal itu,

dia harus diperankan untuk menjadikan hal itu sebagai bukti yang

sempurna, bahwa dia bukan ayah anak itu”.

Ketentuan lain dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menjelaskan

bahwa anak yang dilahirkan tiga ratus hari setelah bubarnya perkawinan adalah

tidak sah. Bahkan, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata KUHPer menetapkan,

bila kedua orang tua seorang anak yang dilahirkan tiga ratus hari setelah putusnya

perkawinan kawin ini kembali satu sama lain, si anak tidak dapat memperoleh

kedudukan anak sah.67 Di luar dari ketentuan di atas, Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata menetapkan satu pembahasan khusus tentang pengesahan anak-

anak luar kawin, kecuali anak yang dilahirkan dari perzinaan atau hubungan

sedarah (incest).68 KUHPer memberikan peluang untuk pengesahan bagi anak-

anak yang termasuk dalam kategori kedua ini (yaitu menurut Pasal 272 KUHPer)

melalui proses hukum yang telah ditetapkan sesuai hukum perdata dan selain dari

anak hasil perzinaan atau hubungan sedarah (incest).

Untuk itu, Pasal 275 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menegaskan

bahwa dengan cara yang sama seperti yang diatur dalam pasal yang lalu, dapat

juga disahkan anak di luar kawin yang telah diakui menurut undang-undang.

Pertama, bila anak itu lahir dari orang tua, yang karena kematian salah seorang

dari mereka, perkawinan mereka tidak jadi dilaksanakan. Kedua, bila anak itu

dilahirkan oleh seorang ibu, yang termasuk golongan Indonesia atau yang

disamakan dengan golongan itu. Bila ibunya meninggal dunia atau bila ada

keberatan-keberatan penting terhadap perkawinan orang tua itu, menurut

pertimbangan Presiden.

Subekti menjelaskan lebih lanjut tentang pengakuan status anak tersebut.

Menurut dia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak mengakui adanya

hubungan darah anak yang lahir di luar perkawinan, kecuali adanya “pengakuan”

(erkenning) yang melahirkan sebuah ikatan kekeluargaan dengan implikasi-

implikasinya, seperti hak waris-mewarisi antara anak dan orang tua yang

mengakuinya. Namun demikian, suatu hubungan kekeluargaan antara anak dan

67 Pasal 255 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 68 Lihat ketentuan ini pada 272-279 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Page 49: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

44

keluarga ibu atau ayahnya juga belum dapat dikatakan ada, karena hal itu harus

dilakukan melalui “pengesahan” anak (wettiging) yang merupakan langkah lebih

lanjut lagi dari pengakuan.

Untuk pengesahan ini, dibutuhkan kedua orang yang hendak mengakui

anaknya tersebut telah memiliki ikatan perkawinan yang sah. Pengakuan yang

dilakukan pada hari pernikahan juga membawa pengesahan anak. Bila kedua

orang tua yang telah kawin belum melakukan pengakuan terhadap anaknya yang

lahir sebelum pernikahan, pengesahan anak itu hanya dapat dilakukan dengan

surat-surat pengesahan (brieven van wettiging) oleh Kepala Negara. Dalam hal

ini, Presiden harus meminta pertimbangan Mahkamah Agung. Hal ini ditegaskan

dalam Pasal 274 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Pengakuan anak ini tidak dapat dilakukan secara diam-diam, tetapi harus

dilakukan di muka Pengawas Pencatatan Sipil, dengan pencatatan dalam akte

kelahiran anak tersebut. Atau, dalam akte perkawinan orang tuanya (yang

berakibat pengesahan) atau dalam suatu akte tersendiri dari Pengawas Pencatatan

Sipil, bahkan diperbolehkan dalam akte notaris.69

Dari uraian tersebut di atas, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pada

dasarnya membedakan status anak luar kawin menjadi tiga pembagian, yaitu:

1. Anak di luar perkawinan yang belum diakui oleh kedua orang

tuanya;

2. Anak di luar perkawinan yang telah diakui oleh salah satu orang

tuanya;

3. Anak di luar perkawinan itu menjadi anak sah sebagai akibat dari

perkawinan sah kedua orang tuanya.70

Dalam kondisi anak tersebut telah sah, maka ia berhak mendapatkan

implikasi hukum, seperti kewarisan, dari orang tuanya tersebut. Namun penting

untuk dibedakan di sini adalah tentang status anak yang disebabkan oleh

perzinaan atau hubungan sedarah yang tidak termasuk dalam jangkauan hukum

perdata (BW).

Di samping itu ketentuan Undang-Undang Perkawinan dan Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata di atas, ketentuan lain yang juga mengatur tentang anak

69 Lihat, Subekti, Hukum Perdata, h. 50. 70 Emilda Kuspraningrum, Kedudukan dan Perlindungan Anak Luar Kawin, h. 26.

Page 50: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

45

luar kawin adalah Kompilasi Hukum Islam. Sebagaimana di atas, KHI

menetapkan bahwa sahnya status seorang anak tidak luput dari sah atau tidaknya

status perkawinan kedua orang tua anak tersebut. Dalam kondisi perkawinannya

tidak sah, maka status anak tersebut hanya dapat dikaitkan dengan ibu yang

melahirkannya saja dan tidak bisa dinasabkan kepada bapak biologisnya.

Kompilasi Hukum Islam juga memungkinkan adanya pengingkaran

sahnya status anak dari ayah. Hal ini dapat terjadi ketika suami dari perempuan

tersebut meyakini bahwa anak tersebut adalah bukan hasil persetubuhan yang

dilakukannya. Bila dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sebagaimana di

atas, seorang laki-laki yang mengingkari status anaknya harus mengajukan bukti-

bukti tentang ketidakmungkinannya untuk melakukan hubungan badan dengan ibu

dari anak tersebut, maka dalam Kompilasi Hukum Islam prosedur pengingkaran

lebih merujuk kepada norma hukum Islam (fikih), yaitu dengan proses li’an.71

Lebih lanjut kemudian Kompilasi Hukum Islam menyebutkan dalam Pasal

102, bahwa: (1) Suami yang akan mengingkari seorang anak yang lahir dari

istrinya, mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama dalam jangka waktu 180

hari sesudah hari lahirnya atau 360 hari sesudah putusnya perkawinan atau setelah

suami itu mengetahui bahwa istrinya melahirkan anak dan berada di tempat yang

memungkinkan dia mengajukan perkaranya kepada Pengadilan Agama. (2)

Pengingkaran yang diajukan sesudah lampau waktu itu tidak dapat diterima.72

Menurut Kompilasi Hukum Islam, asal-usul anak hanya dapat dibuktikan

dengan akta kelahiran atau alat bukti lainnya. Bila akta kelahiran atau alat bukti

lainnya tersebut tidak ada, maka proses pembuktian ini dilakukan melalui

Pengadilan Agama dan Pengadilan Agama dapat mengeluarkan penetapan tentang

asal-usul seorang anak setelah mengadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan

bukti-buki yang sah. Dari Putusan Pengadilan Agama ini pula kemudian instansi

Pencatat Kelahiran di daerah hukum Pengadilan Agama yang mengeluarkan

putusan dapat mengeluarkan akta kelahiran anak yang bersangkutan.

71 Pasal 101 Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 (Kompilasi Hukum Islam). 72 Pasal 102 Kompilasi Hukum Islam.

Page 51: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

46

C. Dualisme Pemaknaan Anak Luar Nikah

Dualisme status anak luar nikah tidak bisa dipisahkan dari aspek historis

pembangunan hukum di Indonesia. Pluralnya perspektif tentang kedudukan anak

tersebut hanya sebagai akibat dari keberadaan pluralitas hukum di Indonesia sejak

dahulu, yang dimulai pada masa penjajahan Hindia Belanda, bahkan sejak VOC

menginjakkan kaki di Nusantara. Dari konteks sejarah ini pula, di Indonesia tidak

hanya dikenal satu sistem hukum, tapi sebaliknya, sistem hukum menjadi sangat

plural dan masing-masing tidak jarang masih diterapkan (ditaati) oleh sementara

masyarakat Indonesia dewasa ini.

Sebelum VOC masuk ke Indonesia, masyarakat Nusantara dikenal telah

memiliki hukum tersendiri. Dari keteraturan ini pula para sarjana hukum mulai

berusaha untuk menemukan hukum-hukum adat yang berangkat dari kesadaran

bahwa masyarakat telah memiliki keteraturannya sendiri-sendiri. Bahkan, menurut

laporan van Vollenhoven, yang dikutip Susilaningtiyas, telah ada sanksi-sanksi

yang diaati oleh masyarakat yang hidup di dalamnya. Dalam fase tersebut,

setidaknya ada enam orang peminat hukum adat yang menjadi perintis penemu

hukum adat.73

Setelah cukup lama berlangsung dan hukum adat mulai dikenali, bahkan

van Vollenhoven sempat membagi sturktur masyarakat adat di Indonesia menjadi

sembilan belas rumpun adat, memasuki abad XIX kemudian Belanda berniat

mengubah politik hukum di Nusantara dengan agenda unifikasi hukum yang

seiring dengan kodifikasi hukum yang terjadi di kerajaan Belanda. Di kalangan

Belanda sendiri rencana ini memunculkan polemik yang cukup tajam karena

dikhawatirkan justru akan mengancam legitimasi Belanda di wilayah tersebut.

Dalam hal demikian, hukum adat menjadi salah satu aspek yang sangat penting

bagi kehidupan masyarakat Nusantara kala itu.

Kebijakan tersebut dilakukan oleh Belanda terutama saat VOC

meninggalkan Nusantara. Berharap semakin dapat memegang kekuasaan atas

wilayah seribu pulau ini, Belanda mengambil langkah oportunis dengan

menetapkan prinsip dualisme hukum sebagai dasar dalam menghadapi sistem

73 Susilaningtias, “Potret Hukum Adat pada Masa Kolonial”, dalam Forum Keadilan, No.

17, 20 Agustus 2006, h. 46.

Page 52: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

47

peradilan pribumi. Kebijakan dualisme ini terasa sangat kuat ketika Nusantara

dikuasai oleh Herman Williem Deandels dan Thomas Stanford Raffles, karena

keduanya menganggap bahwa dualisme diterapkan lebih jauh guna memperluas

pengaruh kolonial di atas yuridiksi hukum pribumi.74 Jadi, reformasi hukum di

Hindia Belanda saat itu hanya bagian dari proyek penguatan kaki-kaki kekuasaan

Belanda agar proses penjajahan tetap dapat berlangsung, tanpa adanya gangguan

dari kelompok-kelompok rakyat.

Proses kodifikasi inilah yang kemudian semakin membuat hukum di

Indonesia semakin terkotak-kotakkan dengan kepentingan Belanda, sementara di

satu sisi, relasi antara hukum adat dan hukum Islam yang telah sejak lama berjalan

pada satu arah mata angin justru dibuat merekah. Akibatnya, keretakan antara tiga

sistem hukum berbeda ini tidak dapat dielakkan dalam masyarakat. Sebagaimana

direfleksikan oleh Erman Rajagukguk dalam makalahnya pada Diskusi Panel

dalam rangka Dies Natalis IAIN Sunan Gunung Djati, Bandung:

Pada waktu itu penduduk Hindia Belanda dibagi atas tiga golongan: Eropa, Timur Asing, Bumi Putra. Golongan penduduk bukan Eropa dapat menundukkan diri pada hukum Eropa baik secara sukarelamaupun diam-diam. Kodifikasi hukum Eropa ini terdiri atas Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam perkembangannya berbagai materi dalam KUHPerdata dan KUHDagang setelah Indonesia merdeka memisahkan diri dalam bentuk lahirnya undang-undang tersendiri seperti Undang-Undang Pokok Agraria, Undang-Undang Tenaga Kerja, Undang-Undang Perseroan Terbatas, Undang-Undang Merk, Undang-undang Rahasia Dagang.75

Ketika Belanda menerapkan unifikasi hukum, pidana dan perdata, ini

dalam kesempatan yang sama hukum Islam berada pada posisi yang

berseberangan dengan hukum adat. Hal ini terjadi secara nyata di Aceh sejak masa

kesultanan. Kedatangan Belanda ke wilayah ujung pulau Sumatera ini semakin

membuat garis pembatas antara hukum adat dan hukum Islam di Aceh. Hal ini

dilakukan dengan cara memberikan apresiasi yang besar kepada institusi adat dan

74 Ratno Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekular, h. 198 75 Erman Rajagukguk, “Ilmu Hukum Indonesia: Pluralisme”, h. 5. Makalah disampaikan

pada Diskusi Panel dalam rangka Dies Natalis IAIN Sunan Gunung Djati, Bandung, ke-37, 2 April 2005.

Page 53: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

48

para pemimpinnya, dan pada saat yang sama memberikan peran kepada Syariah

dan para pemimpin agama, yang akhirnya merusak hubungan baik antara dua

institusi ini. Bahkan, konflik yang cukup kuat antara para Ulubalang (tokoh adat)

dan Ulama di Aceh merupakan akibat dari kebijakan pecah belah yang dilakukan

oleh Belanda.76

Aceh hanya bagian kecil dari contoh politik pecah belah itu. Pada saat

yang bersamaan, pandangan Hooker yang ditegaskan oleh Lukito justru berkata

sebaliknya, yaitu bahwa pada dasarnya hukum Islam dan hukum adat di Nusantara

pada dasarnya memang tak pernah saling menafikan. Bahkan tak jarang keduanya

saling melengkapi satu sama lain, keduanya dipandang berasal dari sumber yang

sama (Tuhan), juga Islam dipandang sebagai penyempurna hukum adat.77 Namun,

Pemerintah Hindia Belanda saat itu mengabaikan suatu kenyataan besar bahwa

hukum Islam dan hukum adat tidak pernah benar-benar terpisah. Sebaliknya,

Belanda justru menerapkan politik adu domba antara Islam dan adat, sebagaimana

dilancarkan oleh para sarjana orientalis yang sengaja didatangkan dari Belanda.

Demikian politik Islam Hindia Belanda sebagai bagian dari kebijakan

rakyat pribumi, untuk memahami dan lebih menguasai pribumi. Kedatangan

sarjana brilian Belanda ke Hindia Belanda, Snouck Hugronje, nama yang sangat

popular dalam politik Islam Indonesia, telah memperkuat strategi Belanda untuk

tetap bercokol. Dengan pemahamannya yang kuat tentang Islam, Snouck

Hugronje berhasil menemukan seni memahami dan menguasai penduduk yang

sebagian besar muslim. Dialah—Aqib Sumitro mengutip Harry J. Benda78—

arsitek keberhasilan politik Islam yang paling legendaris, yang telah melengkapi

pengetahuan Belanda tentang Islam, terutama di bidang sosial politik, di samping

berhasil meneliti mentalitas ketimuran dan Islam.

Penyeragaman hukum di Nusantara yang dilakukan oleh Belanda, menurut

catatan Ratno Lukito, dapat dikatakan belum berhasil, karena program ini harus

berhadap-hadapan dengan pluralisme hukum yang telah ada di Indonesia sejak

76 Arskal Salim, “Dynamic Legal Pluralism in Modern Indonesia: “The State and the

Sharia (Court) in the Changing Constellations of Aceh””, First International Conference of Aceh and Indian Ocean Studies, 24-27 February 2007. Diakses dari http://www.ari.nus.edu.sg/ docs%5CAceh-project%5Cfull-papers%5Caceh_fp_ arskalsalim.pdf

77 Ratno Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekular, h. 212. 78 Aqib Suminto, Politik Islam Pemerintah Hindia Belanda, h. 11.

Page 54: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

49

semula. Namun pada aspek lain, yaitu memperkenalkan suatu konsep hukum yang

dilihat sebagai produk dari negara berdaulat dan diterapkan dalam bentuk tertulis

untuk memastikan keefektifannya, Belanda dapat dikatakan berhasil. Hal ini juga

mencerminkan sebuah aksioma di kalangan masyarakat Nusantara, bahwa hukum

adat kebiasaan tidak akan meningkat menjadi hukum Negara kecuali bila ada

ketentuan eksplisit dari negara yang menyatakan pemberlakuannya.79 Dalam hal

demikian, proyek penyeragaman Belanda ternyata tidak juga mampu

menyelesaikan pluralisme hukum sampai Indonesia merdeka, bahkan pluralisme

ini tetap berlanjut sampai beberapa dekade kemudian setelah merdeka.

Setelah kemerdekaan warisan pluralisme hukum dari Belanda tetap

berlangsung, walaupun dengan sedikit modifikasi. Pada saat itu, sistem peradilan

desa disingkirkan secara besar-besaran di tahun 1950-an demi kesatuan dan

persatuan Indonesia. Hukum adat dipertahankan untuk diterapkan melalui

pengadilan Negeri, sementara beberapa wilayah dalam hukum Islam secara

terbatas dilaksanakan di bawah kewenangan pengadilan agama. Dengan cara ini,

Pemerintah Indonesia telah memberikan celah bagi menguatnya pluralisme

hukum dan membiarkan adanya keberagaman sistem hukum yang beroperasi di

bawah satu kedaulatan kebijakan hukum Negara. Namun pada masa berikutnya

dan Orde Baru, kebijakan sebaliknya justru dikeluarkan oleh Pemerintah, dengan

melakukan modernisasi hukum, yang dicirikan dengan sentralisasi dan positivisasi

hukum Nasional. Hal ini, lanjut Arskal, tercermin dari UU No. 5 Tahun 1960

Tentang Pokok-pokok Agraria dan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. 80

Kedua Undang-Undang—yang disahkan tidak lama setelah Indonesia

merdeka—ini menggambarkan suatu pemahaman yang sebetulnya juga warisan

dari politik hukum Hindia Belanda, yaitu sebuah pengakuan bahwa suatu

kebiasaan tak akan menjadi hukum Negara kecuali melalui positivisasi. Bila

Undang-Undang Pokok Agraria menggambarkan betapa hukum adat harus tunduk

dan mengikuti karakter hukum positif negara, maka dalam Undang-Undang

Perkawinan hukum Islam mendapati nasib yang sama pula dengan hukum Adat.

Padahal, pada saat yang sama, kedua sistem hukum—adat dan Islam—ini tidak

sepenuhnya dapat dihilangkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia.

79 Ratno Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekular, h. 217. 80 Arskal Salim, “Dynamic Legal Pluralism in Modern Indonesia”, h. 1.

Page 55: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

50

Hal ini pula yang kemudian menyebabkan tetap munculnya pluralitas hukum yang

ada di masyarakat.

Menjelaskan tentang pluralitas hukum di masyarakat dan pandangan dari

sejumlah ahli hukum historical jurisprudence dan sociological jurisprudence, W.

Friedmann mencatat bahwa kemunculan negara modern secara esensial telah

memaknai kemenangan sentralisasi mesin pembuatan hukum oleh Negara yang

melampaui otonomi hukum yang terdesentralisasi di dalam tubuh-tubuh Negara.81

Dari sini, tidak salah kiranya untuk menyetujui catatan Ratno Lukito tentang

keberhasilan Hindia Belanda yang mensentralisasi kedaulatan negara untuk

membentuk hukum, karena warisan jajahan Hindia Belanda yang masih sangat

kuat berlaku—bahkan hingga sekarang—adalah otoritas Negara yang memegang

kekuasaan mutlak regulasi hukum, walaupun beragam sumber dari sistem hukum

lain tidak pula menutup kemungkinan untuk diterapkan.

Sebagaimana di atas, memasuki era Orde Baru, hukum adat dan hukum

Islam semakin dikesampingkan dengan hukum positif, apalagi secara politik Orde

Baru berambisi dengan proyek pembangunan (developmentalisme). Adalah

sebuah keniscayaan kemudian hukum menjadi salah satu alat untuk mencapai

tujuan-tujuan yang bersifat ekonomis dan membentuk masyarakat yang lebih

disiplin dan teratur. Dari sini pula, dikenal sebuah istilah yang cukup popular di

kalangan sarjana hukum, yaitu hukum sebagai alat rekayasa sosial (social

engeneering) yang dibangun oleh salah seorang ahli hukum, Roscoue Pound.82

Dengan jelas Pound menguraikan kepuasannya atas keberhasilan hukum dalam

melakukan proyeknya tersebut:

“Menurut saya, memadailah bila hukum itu dianggap sebagai satu lembaga sosial untuk memuaskan kebutuhan, tuntutan, permintaan dan harapan-harapan masyarakat, yang merupakan manifestasi dari alam kehidupan mereka sendiri. Dengan cara memberikan efek kepadanya sebanyak kesanggupan kita dengan pengorbanan yang paling minimal, sejauh kebutuhan-kebutuhan serupa itu dipuaskan dengan satu penertiban kelakukan manusia melalui masyarakat yang diatur dengan sistem kenegaraan. Untuk tujuan-tujuan sekarang, saya merasa puas melihat dalam sejarah hukum, catatan tentang satu usaha yang terus menerus makin luas mengakui dan memuaskan kebutuhan atau tuntutan/keinginan

81 W. Friedmann, Legal Theory, (London: Stevens and Sons, 1949), h. 387. 82 Lihat, Roscou Pound, Pengantar Filsafat Hukum: Buku III. Penerjemah Moh. Radjab,

(Jakarta: Bharata, 1963), h. 141.

Page 56: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

51

manusia dengan perantara pengawasan sosial, satu usaha yang lebih efektif menjamin kepentingan masyarakat. Satu usaha yang lebih cepat menghilangkan pemborosan dan mencegah timbulnya perselisihan di dalam perjuangan manusia untuk merasakan nikmatnya kehidupan ini. Pendeknya, satu usaha yang terus menerus makin berguna untuk pembangunan masyarakat, dengan menerapkan hukum-hukum dan asas-asas sosiologis-nya yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan-tujuan sosial yang khsusus dan diakui (social engineering)”.83

Dari ungkapan Pound di atas, betapa proyek rekayasa sosial menjadi salah

satu alat ampuh untuk membentuk suatu masyarakat industri dan disiplin, dengan

mengedepankan pembangunan ekonomi. Pada aspek lain, hukum yang terintegrasi

dan terpusat seperti demikian telah menjadi prasyarat penting bagi Orde Baru saat

itu untuk melancarkan kebijakan pembangunan di Indonesia, walaupun pada saat

yang sama tidak jarang harus berhadap-hadapan dengan sistem hukum lain,

seperti hukum Adat dan hukum Islam.

Dalam kondisi yang berhadap-hadapan inilah, sebetulnya, sentralisasi

hukum dan rekayasa sosial oleh hukum terkadang mendapati kekurangannya.

Selain karena waktu yang panjang sebagai prasyarat berhasilnya rekayasa,

kuatnya sistem hukum lain yang masih memiliki legitimasi di tengah masyarakat

menjadi salah satu sebab sulitnya rekayasa ini mencapai tujuannya. Untuk kasus

Indonesia, hal demikian terjadi, terutama ketika nasional harus menerima

penyimpangan-penyimpangan hukum oleh masyarakat karena dorongan budaya

hukum adat dan/atau Islam yang masih cukup kuat. Padahal, sebagaimana para

ahli hukum, salah satu faktor efektifitas berlakunya hukum adalah budaya hukum

yang seiring dengan teks hukum yang ditetapkan.

Perspektif kontemporer yang memandang bahwa dalam suatu kehidupan

hukum meniscayakan adanya pluralitas sistem hukum adalah yang cukup mampu

menjelaskan fenomena tersebut, karena Leon Petrazycki,84 salah satu dari aliran

hukum pluralis menyatakan, bahwa hukum akan terdiri atas “pelbagai atau kurang

bentuk-bentuk” selain dari yang diakui oleh Negara. Hal demikian tidak dapat

disangkal ketika Negara menggunakan pespektif kaca mata kuda, mengekang

beragam sosio-legal, dan menggunakan hukum sebagai alat sentralisasi

83 Lihat, Roscou Pound, Pengantar Filsafat Hukum: Buku III, h. 66. 84 Roger Cotterrell, Law’s Community: Legal Teory in Sociological Perspective, h. 306.

Page 57: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

52

pemerintahan, telah menyebabkan penghentian beragam pandangan hukum yang

ada di masyarakat.

Adalah berasal Erlich yang membedakan antara hukum Negara dan hukum

yang hidup di tengah kehidupan sosial masyarakat dan menyatakan bahwa

terkadang ada cukup banyak norma-norma yang secara independen mampu

memutuskan perkara-perkara yang terjadi di masyarakat. Norma-norma ini diakui

dan dilaksanakan, bahkan tak jarang oleh lembaga peradilan-peradilan Negara.

Dalam hal demikian pula, penafsiran modern memasukkan pluralitas pandangan

yang mengakui beberapa cara yang aktual dan keanekaragaman potensial,

kompleksitas dan fragmentasi regulasi kontemporer. Namun di sisi yang lain,

pandangan ini juga tidak menyangkal adanya regulasi yang terstruktur dan

dikoordinasikan secara sentral oleh kekuasaan pemerintah.85

Sentralisasi hukum oleh Negara yang tak jarang mengenyampingkan

aspek-aspek kultural dan sosiologis di tengah masyarakat ini tidak menutup

kemungkinan adanya persaingan di antara sistem hukum. Basis legitimasi

“keadilan” yang berangkat dari “kegunaan” hukum tentu menjadi dasar

bagaimana hukum itu dapat terlaksana secara efektif. Dalam hal demikian,

menarik pula untuk mengungkap sisi lain praktik hukum akibat dari sentralisasi

tersebut, di antaranya adalah adanya penyelewengan tingkah laku dan perbuatan

dari masing-masing eksponen masyarakat dalam sebuah negara dari hukum yang

telah dibakukan. Kecenderungan ini menjadi sangat niscaya ketika hukum Negara

ternyata belum mampu memberikan sebuah jawaban yang “adil” dan “berguna”

bagi kehidupan masyarakat yang menjalankannya. Dengan kata lain, K. Merton

yang dikutip oleh Satjipto Rahardjo menyatakan, bahwa di luar tujuan yang

hendak dicapai oleh hukum, akan muncul implikasi-implikasi di luar dari tujuan

yang tidak pernah diramalkan sebelumnya ketika hukum itu dibuat berada pada

jalur yang berbeda dengan praktik keseharian atau adat kebiasaan masyarakat

setempat.86

Dengan uraian di atas, nampak jelas bagaimana kita memosisikan

dualisme hukum status anak di luar nikah yang terjadi di Indonesia. Suatu

keharusan yang patut diakui adalah bahwa kebijakan sentralisasi hukum yang

85 Roger Cotterrell, Law’s Community: Legal Teory in Sociological Perspective, h. 307. 86 Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum, h. 88

Page 58: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

53

diperankan oleh pemerintah, baik di masa kolonial Belanda, Orde Lama, dan Orde

Baru, telah berkontribusi membuat permasalahan ini semakin kompleks dan

ambigu. Akibatnya, di masa reformasi yang memberikan akses kebebasan yang

sebesar-besarnya kepada seluruh warga negara telah menjadi bom waktu bagi

permasalahan anak luar nikah. Berikut akan dijelaskan bagaimana regulasi negara

terhadap status anak ini dan bagaimana pula implikasinya dalam kehidupan

dewasa ini, sampai akhirnya Mahkamah Konstitusi memutuskan perkara ini.

Sebagaimana di atas, dualisme hukum ini tidak luput dari adanya

keanekaragaman hukum yang ada di masyarakat dan masing-masing sistem

tersebut masih meletakkan cengkaramannya dalam kehidupan sehari-hari

masyarakat Indonesia. Dalam konteks status anak yang tidak dapat dipisahkan

dari status perkawinan orang tua, dualisme pun terjadi akibat status perkawinan

orang tua yang menikah. Sebagaimana sebelumnya pula, jelasnya status

perkawinan orang tua akan memberikan status yang jelas pula kepada anak, dan

sebaliknya ketidaksahan status perkawinan orang tua akan berimplikasi kepada

anak. Dalam hal ini, sebagai implikasi, kekaburan status perkawinan orang tua

akan berimplikasi pada kekaburan status anak yang dilahirkan.

Tidak dapat dihindarkan, perdebatan tentang dualisme status perkawinan

telah menjadi sebab penting adanya dualisme status anak ini, yaitu antara sahnya

sebuah perkawinan melalui catatan sipil atau melalui hukum agama.

Ketidaktegasan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dalam

mengatur hal ini dapat ditelaah menjadi sebabnya.

Pasal 2 UU Perkawinan menyebutkan: (1) Perkawinan adalah sah, apabila

dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. (2)

Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

Pasal di atas cukup jelas menyebutkan, bahwa sahnya sebuah perkawinan

ditentukan oleh hukum agama masing-masing. Di samping menetapkan kekuasaan

agama di atas hukum Negara, Pasal ini menolak konsepsi perkawinan sebagai

kontrak sosial, sebagaimana dianut dalam sistem hukum perdata (Pasal 26

KUHPer). Dengan kata lain, Undang-Undang Perkawinan menganut sebuah

norma bahwa suatu perkawinan dipandang sah bilamana dilakukan menurut

Page 59: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

54

hukum masing-masing agama dan kepercayaan yang melangsungkan perkawinan.

Pernyataannya kemudian, apakah sebuah perkawinan dipandang sah bilamana ia

dilakukan sesuai agama dan kepercayaan saja, ataukah harus diiringi dengan

proses administrasi keperdataan sebagaimana diatur di dalam hukum perdata?

Ketidakjelasan atas jawaban inilah yang kemudian menjadikan sistem

perkawinan di Indonesia menjadi ‘kabur’, karena ayat (2) Pasal 2 Undang-Undang

Perkawinan ini juga mengisyaratkan adanya pencatatan perkawinan, tetapi dalam

banyak pandangan hal ini tidak dimaksudkan sebagai syarat sahnya suatu

perkawinan. Dalam hal itu pula, ada perdebatan akademis yuridis yang juga

muncul dengan dua klausul ayat ini, yaitu di antaranya yang menetapkan sahnya

perkawinan dengan pencatatan dan satu pandangan lain yang menganggap bahwa

hukum agama telah cukup mewakili suatu perkawinan yang sah. Ambiguitad

Undang-Undang Perkawinan semakin tampak ketika dalam Pasal selanjutnya,

yaitu Pasal 6 ayat (2), ditetapkan bahwa Perkawinan yang dilakukan di luar

pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak memiliki kekuatan hukum.

Khusus dalam konteks Islam, Kompilasi Hukum Islam secara tegas

meletakkan hukum agama sebagai ukuran sah atau tidaknya sebuah perkawinan,

sebagaimana telah ditetapkan dalam Undang-Undang Perkawinan Pasal 2 (1)

(Pasal 4 KHI). KHI memandang pencatatan perkawinan hanya sebagai jaminan

ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam dan tidak termasuk dalam ukuran

sah atau tidaknya sebuah perkawinan. Walaupun, KHI juga memperkenalkan

istilah tidak berkekuatan hukum tetap untuk perkawinan yang tidak dicatatkan.

Adanya dua istilah “sah” dan “tidak diakui secara hukum” menjadi titik

permasalahan munculnya dualisme pemahaman tentang status perkawinan ini.

Undang-Undang Perkawinan ataupun Kompilasi Hukum Islam tampaknya berada

pada titik kegamangan yang sama dalam menetapkan ukuran-ukuran yuridis,

mana yang menjadi pedoman paripurna dalam menentukan sah atau tidaknya

suatu perkawinan.

Untuk itu pula, Euis Nurlaelawati dalam Disertasinya yang diterbitkan

oleh Amsterdam University Press, menyebutkan bahwa hukum perkawinan di

Indonesia, secara khusus KHI, telah menerapkan validitas ganda dalam

perkawinan, sebagai bagian dari upaya mempertahankan pendapat ulama klasik,

Page 60: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

55

bahwa syarat satu-satunya yang bisa memutuskan perkawinan sah atau tidak

adalah ukuran agama. Dengan kata lain, catatan sipil atau keperdataan tidak bisa

dipandang sebagai faktor utama dalam menentukan sahnya sebuah perkawinan

atau tidak.87

Masih dalam catatan Euis, setidaknya dua pandangan yang dapat

disebutkan tentang validitas pencatatan perkawinan ini sebagai syarat sahnya

suatu perkawinan diketengahkan oleh Amir Syarifuddin, guru besar hukum Islam

IAIN Padang. Menurutnya, pencatatan perkawinan menjadi salah satu syarat

sahnya sebuah perkawinan. Ia menghapuskan validasi dari hukum Islam yang

mengacu kepada kitab-kitab fikih klasik, tetapi mengedepankan catatan sipil yang

lebih dapat dipertanggungjawabkan secara keperdataan. Pandangan berbeda

dikemukakan oleh Ali Yafie, salah seorang Ulama terkemuka, yang menurut dia,

sistem validasi dalam hukum Islam dan pencatatan tidak bisa disetarakan dan

dipersamakan, sehingga pencatatan tetap menjadi kebutuhan administrasi,

sementara hukum agama menjadi validasi sah atau tidaknya suatu perkawinan.88

Tuntutan untuk menetapkan bahwa pencatatan perkawinan sebagai salah

satu ukuran sah atau tidaknya perkawinan juga dilakukan oleh kelompok feminis

di Indonesia. Hal ini tidak dapat dipisahkan dari fakta yang cukup banyak terjadi

di lapangan, di mana masyarakat seringkali melakukan perkawinan yang tidak

dicatatkan (nikah sirri atau nikah bawah tangan) yang menyebabkan kerugian dan

penderitaan bagi perempuan atau anak-anak. Hal ini terjadi ketika terjadi

perpisahan, baik karena kematian, perceraian atau menghilangnya suami,

sementara sang isteri dan anak-anaknya harus menanggung penderitaan sebagai

janda yang tidak jelas statusnya. Di sisi yang lain, maraknya kasus-kasus

perkawinan poligami juga menjadi salah satu dorongan para feminis Muslim ini

untuk menetapkan pencatatan perkawinan sebagai salah satu syarat sah

perkawinan.

Di luar itu semua, nampak semakin jelas betapa dualisme hukum

perkawinan di Indonesia menjadi salah sebab utama dualisme hukum pengaturan

87 Euis Nurlaelawati, Modernization, Tradition and Identity: The Kompilasi Hukum Islam

and Legal Practice in the Indonesian Religious Courts, (Amsterdam: Amsterdam University Press, 2010), h. 102.

88 Euis Nurlaelawati, Modernization, Tradition and Identity, h. 118.

Page 61: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

56

status anak yang dilahirkan. Di satu sisi terdapat anggapan bahwa anak yang

dilahirkan akibat perkawinan yang tidak dicatatkan tidak diakui secara hukum,

karena tidak ada ikatan hukum di dalamnya, tetapi di sisi yang lain, perkawinan

menurut agama tersebut dapat dikatakan sah menurut hukum agama.

Dalam hal demikian, secara terminologis, ada sejumlah pembedaan

tentang status anak ini, yaitu anak yang lahir dalam atau sebagai akibat

perkawinan yang sah, anak yang lahir di luar perkawinan, dan anak yang lahir

tanpa perkawinan (anak hasil zina). Istilah pertama mengacu kepada pengertian

Pasal 2 ayat (1), yaitu anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah. Dengan

kata lain, anak yang masuk dalam kategori pertama ini adalah hasil perkawinan

yang sah menurut agama dan dicatatkan melalui catatan sipil resmi. Sementara

pengertian kedua, adalah anak yang dilahirkan dari hasil perkawinan yang

dipandang sah menurut agama, tetapi tidak dicatatkan atau tidak resmi secara

hukum, sehingga anak yang dilahirkan juga tidak memiliki kekuatan hukum.

Sementara status ketiga adalah bagi anak yang dilahirkan tanpa adanya

perkawinan sama sekali atau yang sering disebut sebagai anak zina.89

Klasifikasi tersebut, yang didefinisikan oleh Ketua Pengadilan Tinggi

Agama Semarang, dalam batas tertentu hanyalah sebuah penafsiran atas sebuah

undang-undang atau peraturan. Ia tidak memiliki kekuatan mengikat atau masih

membuka ruang perdebatan, apalagi Chatib Rasyid mengungkap klasifikasi ini

berdasarkan kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia.

Di luar itu, yang menarik dari pembagian ini adalah masih kuatnya

pengaruh pluralitas atau dualisme hukum yang ada di Indonesia saat ini, walaupun

dalam rentang waktu yang lebih dari satu abad, sejak masa Pemerintahan kolonial

Belanda, upaya unifikasi hukum telah dilakukan dan bahkan secara sistematis

melalui legalisasi hukum positif.90 Pengaruh hukum agama yang menjadi bagian

penting kehidupan hukum (living law) masyarakat Indonesia menjadi sangat sulit

dipisahkan dari kehidupan sekular yang lebih mengutamakan rasilonalitas hukum.

89 Chatib Rasyid, “Anak Lahir Diluar Nikah (Secara Hukum) Berbeda Dengan Anak

Hasil Zina Kajian Yuridis Terhadap Putusan MK NO. 46/PUU-VII/2012”, Makalah disampaikan dalam Seminar Status Anak di Luar Nikah dan Hak Keperdataan lainnya, pada tanggal 10 April 2012, di IAIN Walisongo Semarang, h. 6.

90 Lihat, misalnya, Ratno Lukito dalam Hukum Sakral dan Hukum Sekular. H. 35

Page 62: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

57

Untuk itu, dualisme hukum yang terjadi di Indonesia, termasuk pula dalam status

perkawinan dan status anak yang dilahirkan, sangat sulit dipisahkan dari

kehidupan hukum yang ada.

Implikasikasinya, dalam kehidupan yang lebih demokratis dan dibukanya

ruang bagi setiap warga negara untuk menyatakan pendapatnya, baik melalui jalur

formal—seperti adanya Mahkamah Konstitusi—ataupun melalui jalur informal,

telah membuka ruang perdebatan baru dalam diskursus hukum Indonesia. Dan,

apa yang terjadi di Mahkamah Konstitusi saat seorang warga negara yang merasa

dirugikan hak-haknya, yaitu Machica Mochtar, mengajukan permohonannya

kepada lembaga ini tentang status anak yang dilahirkannya melalui perkawinan

sirri atau di bawah tangan atau juga disebut dengan perkawinan menurut agama

yang tidak dicatatkan.

Dengan demikian, dapat disimpulkan, bahwa seperti halnya dalam

permasalahan hukum yang lain, dualisme hukum dalam status anak di Indonesia

merupakan implikasi dari perjalanan hukum yang ada di Nusantara sejak dahulu

kala, bahkan sejak Indonesia belum dilahirkan.

Page 63: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

58

BAB III

MAHKAMAH KONSTITUSI DAN PUTUSAN UJI MATERI UNDANG-

UNDANG PERKAWINAN TENTANG ANAK LUAR KAWIN

A. Kewenangan MK dalam Uji Materi

Pembentukan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang tersendiri

karena kebutuhan adanya suatu pengadilan yang secara khusus melakukan

pengujian terhadap produk undang-undang (dalam istilah Hans Kelsen, statute

and customary law) yang bertentangan dengan konstitusi (undang-undang dasar).

Ide ini, bermula dari Prof. Hans Kelsen, guru besar kenamaan dari Universitas

Wina (Vienna) yang mengusulkan dibentuknya suatu lembaga yang diberi nama

‘Verfassungsgerichtshoft’ atau Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court).

Gagasan Kelsen ini, kemudian diterima dengan bulat dan diadopsikan ke dalam

naskah Undang-undang Dasar Tahun 1920 yang disahkan dalam Konvensi

Konstitusi pada tanggal 1 Oktober 1920 sebagai Konstitusi Federal Austria.1

Menurut Hans Kelsen2 kemungkinan muncul persoalan konflik antara norma yang

lebih tinggi dengan yang lebih rendah, bukan saja berkaitan antara undang-undang

(statute) dan putusan pengadilan, tetapi juga berkaitan dengan hubungan antara

konstitusi dan undang-undang. Ini adalah problem inkonstitusionalitas dari

undang-undang. Suatu undang-undang (statute) hanya berlaku dan dapat

diberlakukan jika sesuai dengan konstitusi, dan tidak berlaku jika bertentangan

dengan konstitusi. Suatu undang-undang hanya sah jika dibuat berdasarkan

ketentuan-ketentuan konstitusi. Karena itu diperlukan suatu badan atau pengadilan

yang secara khusus untuk menyatakan inkonstitusionalitas dari suatu undang-

undang yang sedang berlaku. Lebih lanjut Hans Kelsen3 menyatakan:

“There may be a special organ established for this purpose, for instance,

a special court, as so-called “constitutional court” or the control of the

constituionality of statutes, the so called “judicial review” may be

1 Lihat Jimly Asshiddiqy, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Cetakan

Pertama, Jakarta: Konsatitusi Press, 2005, hlm. 33 2 Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Translated by Anders Wedberg, New York:

Russell & Russell, 1961, hlm. 155. 3 Hans Kelsen, General Theory of Law and State, hlm. 157.

Page 64: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

59

conferred upon the ordinary court, and especially upon the supreme

court.”

Menurut Kelsen4, suatu undang-undang yang telah dinyatakan tidak

berlaku oleh mahkamah konstitusi tidak dapat diterapkan oleh lembaga-lembaga

yang lain. Jika pengadilan biasa berwenang untuk menilai konstitusionalitas dari

suatu undang-undang hanya berhak menolak untuk menerapkannya atau

mengesampingkannya dalam kasus-kasus konkrit yang diputuskan, tetapi organ

yang lainnya tetap berkewajiban menerapkan undang-undang itu. Sepanjang suatu

undang-undang tidak dinyatakan tidak berlaku, adalah tetap “constitutional” dan

tidak “unconstitutional”, walaupun rasanya undang-undang itu bertentangan

dengan konstitusi. Dengan demikian, suatu undang-undang dapat dinyatakan tidak

berlaku oleh pembentuk undang-undang yaitu legislatif dan juga dapat dinyatakan

tidak berlaku oleh mahkamah konstitusi. Pemikiran Hans Kelsen ini tidak lepas

pelaksanaan teori hukum murni dan teori hiraki norma yang sangat terkenal yang

dikemukakannya dimana konstitusi ditempatkan sebagai norma hukum yang

superior dari undang-undang biasa.

Jadi pada awalnya mahkamah konstitusi merupakan suatu lembaga yang

dimaksudkan hanya untuk menguji konstitusionalitas (constitutional review) dari

suatu undang-undang terhadap konstitusi. Karena itu mahkamah konstitusi sering

disebut sebagai “the guardian of the constitution” (pengawal konstitusi).

Dengan kewenangannya yang dapat menyatakan inkonstitusionalitas dari

suatu undang-undang, posisi mahkamah konstitusi berada ada di atas lembaga

pembentuk undang-undang. Itulah sebabnya sejak awal Hans Kelsen telah

menyatakan sebagaimana telah ditulis di awal tulisan ini bahwa lembaga ini

dibentuk dengan kekuasaan yang berada di atas legislatif dan mestinya secara

politik tidak dikehendaki, khususnya jika memutuskan bahwa suatu undang-

undang adalah inkonstitusional. Karena itu bagi negara-negara yang menempatkan

superioritas parlemen yang cukup besar karena dianggap cerminan kedaultan

rakyat, tidak menempatkan mahkamah konstitusi dalam posisi di atas pembentuk

undang-undang, seperti Dewan Konstitusi Perancis yang hanya berwenang

4 Hans Kelsen, General Theory of Law and State, hlm. 157.

Page 65: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

60 menguji konstitusionalitas dari suatu rancangan undang-undang yang telah

dibahas oleh parlemen tetapi belum diberlakukan. Bahkan Kerajaan Inggeris dan

Kerajaan Belanda tidak membentuk Mahkamah Konstitusi, dengan prinsip bahwa

parlemenlah satu-satunya lembaga yang membentuk serta mengetahui sah

tidaknya suatu undang-undang.5

Dalam perkembangannya, konsep dasar pembentukan mahkamah

konstitusi di berbagai negara sangat terkait dengan perkembangan prinsip-prinsip

dan teori ketatanegaraan modern yang dianut oleh berbagai negara yang menganut

prinsip konstitusionalisme, prinsip negara hukum, prinsip check and balances,

prinsip demokrasi dan jaminan perlindungan hak asasi manusia prinsip peradilan

yang bebas dan tidak memihak serta pengalaman politik dari masing-masing

negara. Keberadaan mahkamah konstitusi dibutuhkan dalam menegakkan prinsip-

prinsip tersebut.

Konstitusionalisme merupakan paham yang berprinsip bahwa

pelaksanaan kekuasaan negara oleh organ-organ negara harus berdasarkan

ketentuan-ketentuan konstitusi. Pelanggaran terhadap konstitusi tidak dapat

ditolerir karena akan menimbulkan kekuasaan yang tiran dan semena-mena.

Karena itu prinsip konstitusonalisme juga terkait dengan prinsip pemisahan dan

pembatasan kekuasaan (check and balances), yaitu kekuasaan lembaga-lembaga

negara dibagi secara seimbang. Kekuasaan negara tidak boleh bertumpu pada satu

lembaga negara karena akan dapat menimbulkan penyelahgunaan kekuasaan

negara. Dalam mengawasi pelaksanaan kekuasaan lembaga-lembaga negara

tersebut, agar tetap sesuai dengan kehendak rakyat diperlukan prinsip demokrasi

dan penghormatan atas hak asasi mansuia. Artinya, karena kekuasaan negara

bersumber dari rakyat maka akan selalu dapat dikontrol oleh rakyat dan selalu

mengormati hak-hak dasar rakyat. Alat ukur bagi rakyat untuk mengawasi

penyelenggaraan kekuasaan negara oleh lembaga negara adalah hukum dan

5 Perdebatan ini juga, terjadi ketika Panitia Ad Hoc 1 Badan Pekerja MPR RI, memperdebatkan

untuk mengintrodusir mahkamah konstitusi dalam UUD 1945. Bahkan suatu ketika Patrialis Akbar, anggota PAH 1 dari Fraksi Reformasi (gabungan Partai Amnanat Nasional dan Partai Keadilan) mempertanyakan, bagaimana mungkin 9 orang hakim konstitusi membatalkan putusan 500 orang anggota DPR yang merupakan cerminan kedaulatan rakyat dan Presiden yang juga dipilih langsung oleh rakyat. Mereka memperoleh legitimasi kedaulatan dari mana? Demikian antara lain keberatan yang diajukan oleh Patrialis Akbar.yang pada akhirnya menerima keberadaan mahkamah konstitusi dalam perubahan UUD 1945.

Page 66: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

61 konstitusi. Disnilah prinsip negara hukum dan rule of law menjadi penting. Untuk

menilai secara obyektif dan independen apakah suatu tindakan negara (lembaga-

lembaga negara) melanggar konstitusi atau hukum, dibutuhkan suatu lembaga

yang mengadili dan memutuskannya yang dijamin oleh konstitusi. Di sinilah

konsep dasar dibutuhkannya mahkamah konstitusi yang berkembang sekarang ini.

Putusan pembentuk undang-undang yang berupa undang-undang (di

Indonesia adalah DPR dan Presiden), dapat saja bertentangan dengan ketentuan

konstitusi, karena lembaga DPR dan Presiden adalah lembaga politik, baik karena

kekeliruan dalam mengimplementasikan ketentuan konstitusi (undang-undang

dasar) maupun karena kesengajaan untuk membentuk undang-undang bagi

kepentingan melanggengkan kekuasaan politik, dapat diminta untuk ditinjau

kembali dan diuji oleh mahkamah konstitusi apakah sesuai atau bertentangan

dengan konstitusi. Jika bertentangan dengan konstitusi, undang-undang tersebut

dapat dinayatakan tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum oleh

mahkamah konstitusi. Demikian juga halnya yang berkembang dari prinsip

pembagian kekuasaan antar lembaga negara yang mungkin timbul sengketa

perebutan kewenangan antar lembaga negara, ditbutuhkan suatu mahkamah yang

independen untuk mengadili dan memutuskannya yang sengaja diberi

kewenangan oleh konstitusi untuk itu. Karena itu di negara-negara yang tradisi

kehidupan konstitusionalisme dan perlindungan hak asasi mansuianya masih baru,

keberadaan mahkamah konstitusi mejadi daya tarik yang sangat luar biasa. Seperti

dikemukakan oleh Jimliy Asshiddiqy, hampir semua negara-negara demokrasi

baru di Amerika Tengah dan Amerika Selatan dan terakhir eks negara-negara

komunis di Eropa Timur mengadopsi pembentukan mahkamah konstitusi.6

Walaupun demikian, di berbagai negara mahkamah konstitusi bukanlah

satu-satunya lembaga yang diberi kewenangan menyatakan inkonstituisionalitas

dari suatu undang-undang atau memutus masalah kostitusional lainnya. Di banyak

negara lainnya pengujian konstitusionalitas dari suatu undang-undang menjadi

kewenangan mahkamah agung seperti Amerika Serikat yang telah memulai sejak

tahun 1803 dalam kasus Marbury vs Madison. Bahkan di banyak negara lainnya

6 Lihat Jimly Asshiddiqy, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara,..hlm 41-

47

Page 67: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

62 tidak dikenal pengujian undang-undang baik oleh mahkmah konstitusi maupun

oleh mahkamah agung seperti antara lain yang dianut oleh Kerajaan Belanda dan

Kerajaan Inggris.

Setelah dibentuk pertama kali berdasarkan Konstitusi Wina tahun 1920

mahkamah konstitusi terus diadopsi oleh berbagai negara. Sekarang mahkamah

konstitusi telah ada di 78 negara termasuk Indonesia.7 Namun demikian

kewenangan mahkamah konstitusi juga meluas yang tidak saja hanya untuk

menguji konstitusionalitas undang-undang terhadap undang-undang dasar seperti

dikonsepsikan oleh Hans Kelsen – walaupun fungsi utama dari mahkamah

konstitusi yang selalu sama di setiap negara adalah menguji konstitusionalitas

undang-undang terhadap undang-undang dasar – tetapi juga memiliki

kewenangan-kewenangan lainnya yang berhubungan dengan lingkup hukum

ketatanegaraan, seperti memutus sengketa pemilu, sengketa kewenangan antar

lembaga negara, pembubaran partai politik, pemberhentian presiden, memutus

konstitusionalitas dari seluruh peraturan perundang-undangan, serta mengadili

constitutional complaint dari warga negara.8 Putusan mahkamah konstitusi dalam

menjalankan berbagai kewenangannya tersebut bersifat final. Atinya sekali

mahkamah konstitusi memutuskan suatu persoalan yang diajukan kepadanya

dalam lingkup kewenangannya dan tidak ada upaya hukum lain untuk

melawannya.

Sebagai contoh Mahakamh Konstitusi Austria yang dibentuk sejak tahun

1920, memiliki 9 kewenangan, yaitu :

pengujian konstitusionalitas undang-undang,

pengujian legalitas peraturan perundang-undangan di bawah undang-

undang,

7 Secara lengkap dapat dibaca pada Jimly Asshiddiqy dan Mustafa Fakhri, Mahkamah konstitusi, Kompilasi Ketentuan Konstitusi, Undang-Undang dan Peraturan di 78 Negara, Jakarta: Pusat Studi Hukum tata Negara Universitas Indonesia dan Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Indponesia, 2003

8 Constitutional complaint, tidak saja menyangkut hak warga negara untuk mengajukan komplain

terhadap suatu undang-undang yang merugikan hak-hak konstitusional mereka akan tetapi juga termasuk segala produk dan tindakan pemerintah yang melanggar hak-hak konstitusional warga negara.

Page 68: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

63

pengujian perjanjian internasional,

perselisihan pemilihan umum,

peradilan impeachment,

Kewenangan sebagai peradilan administrasi khusus yang terkait dengan

constitutional complaint individu warga negara,

Sengketa kewenangan dan pendapatan keuangan antar negara bagian dan

antara negara bagian dengan federal,

Sengketa kewenangan antar lembaga negara, dan

Kewenangan memberikan penafsiran undang-undang dasar.9

Berdasarkan UUD 1945 Pasal 24 c ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi

“Mahkamah Konstisusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir

yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-

Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang diberika

oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus

perselisihan tentang hasil pemilihan umum” dan Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2)

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi (MK), MK

memiliki kewenangan mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang

putusannya bersifat final untuk (i) pengujian konstitusionalitas undang-undang,

(ii) sengketa konstitusionalitas lembaga negara, (ii) pembubaran partai politik,

(iv) sengketa hasil pemilihan umum, dan (v) usul pemberhentian Presiden

dan/atau Wakil Presiden.

Mengadili tingkat pertama dan terakhir artinya Mahkamah Kosntitusi

merupakan satu-satunya pengadilan konstitusional. Tidak ada pengadilan

konstitusional lainnya selain Mahkamah Konstitusi, baik yang berkedudukan

sederajat, lebih tinggi, atau lebih rendah. Karena itu putusan Mahkamah

Konstitusi bersifat final dan mengikat. Dengan demikian terhadap putusan

Mahkamah Konstitusi tidak ada upaya hukum. Karena itu pula putusan

Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan

dalm sidang terbuka untuk umum, sehingga untuk itu tidak memerlukan tenggang

waktu tertentu, memberikan pihak-pihak berpikir-pikir, setelah pengucapan

9 Lihat Jimly Asshiddiqy, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara,…h.133-

143

Page 69: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

64 putusan, dalam rangka pengajuan upaya hukum terhadap putusan tersebut. [ vide

Pasal 57 UU MK).10

Berdasarkan uraian di atas putusan mahkamah Konstitusi berlaku secara

efektif sejak putusan tersebut selesai diucapkan dalam sidang terbuka untuk

umum. Selain itu, oleh karena aputusan Mahkamah Konstitusi mengenai soal

ketatanegaraan maka putusan tersebut bersifat erga omnus (mengikat semua),

sehingga berlaku mengikat secara hukum kepada publik sebagaimana Undang-

undang, tidak seperti putusan pengadilan pada umumnya yang hanya mengikat

kedua belah pihak. Secara umum semua pihak berkewajiban menghormati dan

melaksanakan putusan sebagaimana mestinya.

B. Keberlakuan Putusan MK

Mahkamah konstitusi pada dasarnya adalah sebuah mahkamah

ketatanegaraan yang sesungguhnya adalah sebuah mahkamah politik. Seperti

halnya peradilan tata usaha negara yang tidak ada upaya paksa dalam pelaksanaan

putusannya kecuali diserahkan pada kepatuhan terhadap hukum dari lembaga atau

pejabat negara yang dikenai putusan itu.

Dalam kasus pelaksanaan putusan MPR yang telah memutuskan untuk

memberhentikan Presiden Abdurrahman Wahid, orang berpikir bagaimana

mengeksekusi putusan itu, karena Presiden Abdurrahman Wahid pada saat itu

menyatakan tidak akan meninggalkan istana negara karena menganggap putusan

MPR adalah tidak sah. Undang-undang dasar maupun undang-undang tidak

menentukan bagaimana eksekusi pelaksanaan putusan lembaga MPR itu. Disnilah

ciri khas putusan sebuah peradilan dan lembaga politik yang berbeda dengan

peradilan pidana atau perdata yang dapat meminta bantuan alat negara untuk

mengekesekusi secara paksa pelaksanaan suatu putusan peradilan. Karena itu saya

sangat setuju dengan istilah “keadilan dan keadaban” yang dikemukan oleh Jimly

Asshiddiqy,11 dalam memahami sila kedua dari Pancasila. Keadilan hanya akan

dapat dipahami dengan baik dalam masyarakat yang beradab, dan sebaliknya

masyarakat yang beradab pasti akan memahami dan menaati hukum dengan

10 Ahmad Fadlil Sumadi, “Mahkamah Konstitusi dan Putusan Judicial Review UU Perkawinan”, Makalah, tidak diterbitkan, h. 5.

11 Lihat Jimly Asshiddiqy, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara,…h.145

Page 70: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

65 penuh kesadaran tanpa harus dipaksa. Kekuatan sebuah putusan mahkmah

konstitusi terkandung dalam putusanya yang menghormati prinsip negara hukum,

prinsip konstitusionalisme, keadilan serta kenegarawanan.12 Putusan demikian

memiliki kekuatan politik untuk memperoleh dukungan dari rakyat pemegang

kedaulatan.

Mahkamah Konstisusi adalah pengadilan konstitusi, pengadilan

ketatanegaran. Kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah mengadili pada tingkat

pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final, salah satu diantaranya

terhadap pengujian konstitusionalitas undang-undang. Sebagaimana dijelaskan di

atas, putusan Mahkamah Konstitusi berlaku secara efektif putusan tersebut

selesai diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Selain itu, khusus putusan

Mahkamah Konstitusi mengenai uji materi undang-undang berlaku ke depan

(prospective), tidak ke belakang (retroactive), sehingga sebelum putusan

Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan suatu permohonan pengujian

konstisusionalitas undang-undang , undang-undang tersebut masih tetap berlaku.

[vide Pasal 58 UU MK].13

Putusan Mahkamah Kosntitusi mengenai pengujian materi undang-

undang yang mengabulkan suatu permohonan, sebagaiman diuraikan di atas,

menyatakan bahwa materi muatan tertentu atau pembentukan undang-undang

bertentangan dengan UUD 1945 dan oleh karenanya menyatakan tidak

mempunyai kekuatan hukum mengikat (not legally binding). Dengan adanya

putusan yang menyatakan demikian berarti subjek hukum yang semula terikat

secara hukum oleh norma tersebut, baik berupa perintah, larangan, atau keijinan,

menjadi bebas, tidak terikat lagi secara hukum. Dengan demikian pula, dari

perspektif legislasi, mahkamah Konstitusi adalah sebgai negative legislator.14

Artinya Mahkamah Konstitusi adalah pembentuk undang-undang dalam

pengetian membatalkan undang-undang yang telah dibentuk oleh parlemen.

13 Ahmad Fadlil Sumadi, “Mahkamah Konstitusi dan Putusan Judicial Review UU Perkawinan”,

Makalah, tidak diterbitkan, h. 5. 14 Ahmad Fadlil Sumadi, “Mahkamah Konstitusi dan Putusan Judicial Review UU Perkawinan”,

Makalah, tidak diterbitkan, h. 5.

Page 71: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

66 C. Konteks Uji Materi Undang-Undang Perkawinan

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 ini merupakan

perkara yang diajukan oleh seorang perempuan yang bernama Aisyah Mochtar

binti H. Mochtar Ibrahim, yang juga dikenal dengan panggilan Machica. Aisyah

merupakan seorang perempuan yang lahir di Ujung Pandang, pada 20 Maret

1970. Saat mengajukan permohonan, ia bertempat tinggal di Jalan Camar VI Blok

BL 12A, RT/RW 002/008, Desa/Kelurahan Pondok Betung, Kecamatan Pondok

Aren, Kabupaten Tangerang, Banten. Permohon kedua adalah anak dari Asiyah,

yang bernama, Muhammad Iqbal Ramadhan, lahir di Jakarta, pada 5 Februari

1996, yang juga bertempat tinggal sama dengan Aisyah.

Permohonan ini diajukan oleh Machica akibat dari perceraiannya dengan

Moerdiono, mantan Menteri Sekretaris Negara masa Soeharto. Saat itu,

Moerdiono tidak pada status melajang, namun tengah memiliki isteri yang sah

atau terikat dengan perkawinan yang lain. Dengan asas perkawinan monogami

yang dianut oleh Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,

perkawinan Machica dan Moerdiono ini tidak dapat dicatatkan di catatan sipil di

Kantor Urusan Agama (KUA).

Di dalam Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 disebutkan bahwa pada

tanggal 20 Desember 1993, di Jakarta, telah berlangsung pernikahan antara Hj.

Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar Ibrahim dengan seorang laki-laki

bernama Drs. Moerdiono, dengan wali nikah almarhum H. Moctar Ibrahim,

disaksikan oleh dua orang saksi, masing-masing bernama almarhum KH. M.

Yusuf Usman dan Risman. Perkawinan ini dilangsungkan dengan mahar berupa

seperangkat alat salat, uang 2.000 Riyal (mata uang Arab), satu set perhiasan

emas dan berlian yang dibayar tunai. Ijab perkawinan diucapkan oleh wali

penganti perempuan dan qobul diucapkan oleh laki-laki bernama Drs.

Moerdiono.15

Lazimnya sebuah perkawinan poligami yang tidak melalui prosedur

resmi, perkawinan antara Machica dan Moerdiono inipun tidak dicatatkan secara

resmi. Perkawinan ini hanya mengikuti prosedur perkawinan menurut ajaran

agama, yaitu agama Islam. Namun, dari keduanya lahir seorang anak yang

15 Putusan PA Tigaraksa No 46 tahun 2008.

Page 72: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

67 bernama Muhammad Iqbal Ramadhan. Setelah anak ini lahir, Moerdiono

menceraikan Machica, juga tanpa prosedur resmi, dan mengingkari status anak

yang dilahirkan dari Machica sebagai anaknya yang sah. Sejak Iqbal berusia dua

tahun, Moerdiono bahkan tidak pernah memberikan nafkah kepada anaknya

tersebut, dan pula status Iqbal pun masih belum jelas, karena Machica tidak dapat

mendaftarkan anaknya di catatan sipil untuk mendapatkan akta kelahiran,

lantaran tidak ada nama ayah biologisnya.

Dalam hal demikianlah, perkawinan antara Machica dan Moerdiono

pada dasarnya berada pada posisi yang tidak begitu jelas secara hukum, walaupun

menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Perkawinan bahwa sah atau tidaknya

suatu perkawinan ditentukan oleh ajaran agama para pengantin masing-masing.

Ketidakjelasan status perkawinan ini semakin tampak tatkala ayat (2) Pasal 2 UU

Perkawinan menyebutkan, bahwa tiap-tiap perkawinan dicatatkan sesuai dengan

peraturan perundangan yang berlaku.16

Dengan klausul yang menetapkan bahwa perkawinan harus dicatatkan

ini, Machica dan Iqbal merasa dirugikan hak konstitusionalnya, terutama ketika

dikaitkan dengan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan, yang menyatakan bahwa

anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata

dengan ibunya dan keluarga ibunya17. Pasal 43 (1) ini seakan menghilangkan

status hukum yang sah bagi Iqbal, termasuk pula konsekuensi-konsekuensi

hukum lainnya, seperti hak warisan dan hubungan keluarga dengan ayah

biologisnya, Moerdiono.

Berlandaskan kepada latar belakang ini pula, Aisyah mengajukan

permohonan Judicial review kepada Mahkamah Konstitusi RI terhadap Pasal 2

ayat (2) dan 43 ayat (1) Undang-undang Perkawinan. Permohonan ini didasarkan

pada sejumlah alasan hukum, di antaranya adalah:

Pertama, Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang

berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan

yang sah.” Ketentuan UUD 1945 ini melahirkan norma konstitusi bahwa

Pemohon yang merupakan warga negara Indonesia memiliki hak yang setara

16 Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. 17 Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan.

Page 73: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

68 dengan warga negara Indonesia Iainnya dalam membentuk keluarga dan

melaksanakan perkawinan tanpa dibedakan dan wajib diperlakukan sama di

hadapan hukum.18

Kedua, Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “Setiap anak berhak

atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas

perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.” Menurut pemohon, Pasal ini telah

melahirkan norma konstitusi, bahwa anaknya juga memiliki hak atas status

hukum dan patut diperlakukan sama di hadapan hukum. Dengan kata lain, UUD

1945 telah mengedepankan norma sebagai bentuk keadilan terhadap siapapun

tanta diskriminatif.

Menurut pemohon pula, berdasarkan kepada Konstitusi, siapapun berhak

melaksanakan perkawinan sepanjang itu sesuai dengan agama dan

kepercayaannya masing-masing, sehingga perkawinan yang dilakukan oleh

Aisyah dan Moerdiono juga telah dilakukan sesuai dengan ajaran agama dan

keyakinan keduanya, yaitu agama Islam, sesuai dengan rukun dan syarat yang

telah diajarkan oleh agama ini. Untuk itu pula, perkawinan ini menjadi sah,

apalagi Pasal 1 ayat (1) UU Perkawinan jelas-jelas menyebutkan.

Lebih lanjut, pemohon mengemukakan, bahwa dalam Islam perkawinan

yang sah adalah berdasarkan ketentuan yang telah diatur berdasarkan Alquran

dan Sunah, sebagaimana pula perkawinan yang telah dilakukan oleh Pemohon.

Perkawinan Pemohon tersebut bukanlah karena perbuatan zina atau setidak-

tidaknya dianggap sebagai bentuk perzinaan. Begitu pula anaknya adalah anak

yang sah. Dalam pandangan Islam hal yang berbeda dan sudah barang tentu sama

dengan ketentuan dalam Undang-Undang Perkawinan adalah menyangkut

seorang wanita yang hamil dan tidak terikat dalam perkawinan maka nasib

anaknya adalah dengan ibu dan keluarga ibunya.19

Menurut Oktryan, kuasa hukum dari Aisyah Mochtar, dengan

berlakunya Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan menyebabkan

ketidakpastian hukum hubungan antara anak pemohon—yang bernama

Muhammad Iqbal Ramadhan (berusia 14 tahun)—dan bapaknya. Hal ini

18 Putusan MK, h. 4. 19 Putusan MK, h. 5.

Page 74: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

69 melanggar hak konstitusional anak untuk mengetahui asal-usulnya. Ketentuan itu

berdampak suami pemohon tak berkewajiban untuk memelihara, mengasuh, dan

membiayai anak pemohon.20

Kuasa hukum yang lain, Rusdiyanto Matulatuwa mengatakan pada

dasarnya tidak ada seorang anakpun yang dilahirkan dapat disalahkan dan

diperlakukan diskriminasi lantaran pernikahan kedua orang tuanya berbeda, tetapi

secara hukum agama sah. Kenyataan itu pun berakibat pemohon tidak bisa

menuntut hak atas kewajiban suami memberikan nafkah lahir dan batin. Di

samping itu, menurut pengakuan dari kuasa hukum Aisyah ini pula, bahwa

Aisyah telah mengajukan penetapan (itsbât) perkawinannya dan pengesahan anak

hasil perkawinannya dengan Moerdiono ke Pengadilan Agama Tangerang.

Pengadilan Agama Tangerang telah menetapkan perkawinan keduanya adalah

sah. Namun, karena terganjal dengan asas monogami yang dianut dalam UU

Perkawinan, Hakim Pengadilan Agama Tangerang tidak berani untuk

menetapkan status anak keduanya.21

Dengan argumentasi yang disebutkan di atas, pemohon mengajukan

keberatannya kepada Mahkamah Konstitusi atas sejumlah pasal yang ada di

dalam Undang-Undang Perkawinan ini. Menurut Pemohon, sebagaimana dimuat

dalam Putusan Majelis Hakim, bahwa pemohon merupakan pihak yang secara

langsung mengalami dan merasakan hak konstitusionalnya dirugikan dengan

diundangkannya Undang-Undang Perkawinan terutama berkaitan dengan Pasal 2

ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1). Pasal ini ternyata justru menimbulkan

ketidakpastian hukum yang mengakibatkan kerugian bagi Pemohon berkaitan

dengan status perkawinan dan status hukum anaknya yang dihasilkan dari hasil

perkawinan.

Secara lebih rinci, Majelis Hakim menilai, ada sejumlah alasan Pemohon

mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi terkait dengan

permasalahan ini, di antaranya adalah: Pertama, bahwa Pemohon merupakan

pihak yang secara langsung mengalami dan merasakan hak konstitusionalnya

dirugikan dengan diundangkannya Undang-Undang Perkawinan terutama

20 “Artis Dangdut Uji UU Perkawinan ke MK”, Hukum Online, Senin, 26 Juli 2010. 21 “Artis Dangdut Uji UU Perkawinan ke MK”, Hukum Online, Senin, 26 Juli 2010. Lihat pula,

Putusan Pengadilan Negeri Tigaraksa, Tangerang, No: 46/Pdt.G.

Page 75: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

70 berkaitan dengan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1). Pasal ini ternyata justru

menimbulkan ketidakpastian hukum yang mengakibatkan kerugian bagi Pemohon

berkaitan dengan status perkawinan dan status hukum anaknya yang dihasilkan

dari hasil perkawinan.

Kedua, bahwa hak konstitusional Pemohon yang telah dilanggar dan

merugikan tersebut adalah hak sebagaimana dijamin dalam Pasal 28B ayat (1)

dan Pasal 28B ayat (2) UUD 1945. Berdasarkan ketentuan Pasal 28B ayat (1) dan

(2) UUD 1945 tersebut, maka Pemohon dan anaknya memiliki hak konstitusional

untuk mendapatkan pengesahan atas pernikahan dan status hukum anaknya. Hak

konstitusional yang dimiliki oleh Pemohon telah dicederai oleh norma hukum

dalam Undang-Undang Perkawinan. Bagi Pemohon, sebagaimana disebutkan di

dalam Putusan Mahkamah, norma hukum ini jelas tidak adil dan merugikan

karena perkawinan Pemohon adalah sah dan sesuai dengan rukun nikah dalam

Islam. Merujuk ke norma konstitusional yang termaktub dalam Pasal 28B ayat (1)

UUD 1945 maka perkawinan Pemohon yang dilangsungkan sesuai dengan rukun

nikah adalah sah tetapi terhalang oleh Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan. Norma

hukum yang mengharuskan sebuah perkawinan dicatat menurut peraturan

perundang-undangan yang berlaku telah mengakibatkan perkawinan yang sah dan

sesuai dengan rukun nikah agama Islam (norma agama) menjadi tidak sah

menurut norma hukum.

Kemudian hal ini berdampak ke status anak yang dilahirkan Pemohon

ikut tidak menjadi sah menurut norma hukum dalam Undang-Undang

Perkawinan. Jadi, jelas telah terjadi pelanggaran oleh norma hukum dalam UU

Perkawinan terhadap perkawinan Pemohon (norma agama). Dalam hal ini,

Pemohon mengutip pendapat seorang ahli hukum, yaitu Van Kan, yang

menyatakan bahwa kalau pelaksanaan norma-norma hukum tersebut tidak

mungkin dilakukan, maka tata hukum akan memaksakan hal lain, yang sedapat

mungkin mendekati apa yang dituju norma-norma hukum yang bersangkutan atau

menghapus akibat-akibat dari pelanggaran norma-norma hukum itu.

Ketiga, alasan yang juga dikemukakan oleh pemohon adalah bahwa

konsekuensi dari ketentuan Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat

(1) UUD NRI 1945 tersebut adalah setiap orang memiliki kedudukan dan hak

Page 76: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

71 yang sama termasuk haknya untuk mendapatkan pengesahan atas pemikahan dan

status hukum anaknya. Norma konstitusi yang timbul dari Pasal 28B ayat (1) dan

ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) adalah adanya persamaan dan kesetaraan di

hadapan hukum. Tidak ada diskriminasi dalam penerapan norma hukum terhadap

setiap orang dikarenakan cara pernikahan yang ditempuhnya berbeda dan anak

yang dilahirkan dari pemikahan tersebut adalah sah di hadapan hukum serta tidak

diperlakukan berbeda.

Namun demikian, dalam praktiknya justru norma agama telah diabaikan

oleh kepentingan pemaksa yaitu norma hukum. Bagi pemohon, perkawinan

Pemohon yang sudah sah berdasarkan rukun nikah dan norma agama Islam

menjadi tidak sah menurut norma hukum karena tidak tercatat menurut Pasal 2

ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Akibatnya, pemberlakuan

norma hukum ini berdampak terhadap status hukum anak yang dilahirkan dari

perkawinan Pemohon. Dengan istilah lain, anak yang dilahirkan dari Pemohon

tersebut dianggap sebagai anak di luar nikah berdasarkan ketentuan norma hukum

dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan.

Di sisi lain, menurut alasan Pemohon, perlakuan diskriminatif ini sudah

barang tentu menimbulkan permasalahan karena status seorang anak di muka

hukum menjadi tidak jelas dan sah. Padahal, dalam UUD NRI 1945 dinyatakan

anak terlantar saja, yang status orang-tuanya tidak jelas, dipelihara oleh negara.

Sementara bagi Pemohon, hal yang berbeda diperlakukan terhadap anak

Pemohon yang dihasilkan dari perkawinan yang sah, sesuai dengan rukun nikah

dan norma agama justru dianggap tidak sah oleh UU Perkawinan. Menurut

pandangan Pemohon, Konstitusi Republik Indonesia tidak menghendaki sesuatu

yang sudah sesuai dengan norma agama justru dianggap melanggar hukum

berdasarkan norma hukum, sehingga hal ini merupakan pelanggaran oleh norma

hukum terhadap norma agama.

Keempat, menurut pemohon pula, bahwa dalam kedudukannya

sebagaimana diterangkan di atas, telah terbukti bahwa Pemohon memiliki

hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian konstitusional dengan

berlakunya Undang-Undang Perkawinan, khususnya Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43

ayat (1), yaitu yang berkaitan dengan pencatatan perkawinan dan hubungan

Page 77: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

72 hukum anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak dicatatkan. Dalam hal

ini, Pemohon memandang, telah terjadi pelanggaran atas hak konstitusional

Pemohon sebagai warga negara Republik Indonesia, karena Pasal 2 ayat (2) dan

Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan tersebut bertentangan dengan

Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945.

Hal ini mengakibatkan pemikahan Pemohon yang telah dilakukan secara

sah sesuai dengan agama yang dianut Pemohon tidak mendapatkan kepastian

hukum sehingga menyebabkan pula anak hasil pemikahan Pemohon juga tidak

mendapatkan kepastian hukum pula. Padahal, hak konstitusional dari anak telah

diatur dan diakui dalam Pasal 28B ayat (2) UUD NRI 1945.

Menurut pengakuan dari Pemohon, secara nyata sejak lahirnya anak

Pemohon telah mendapatkan perlakuan diskriminatif, yaitu dihilangkannya asal-

usul dari anak Pemohon dengan hanya mencantumkan nama Pemohon dalam

Akta Kelahirannya dan negara telah menghilangkan hak anak untuk

kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang karena dengan hanya mempunyai

hubungan keperdataan dengan ibunya. Hal ini menyebabkan suami dari

Pemohon—yang notabene ayah biologis dan kandung dari anak tersebut—tidak

mempunyai kewajiban hukum untuk memelihara, mengasuh, dan membiayai

anak Pemohon.

Pemohon berargumen bahwa tidak ada seorang anakpun yang dilahirkan

di muka bumi ini dipersalahkan dan diperlakukan diskriminatif karena cara

pemikahan yang ditempuh kedua orang tuanya berbeda tetapi sah menurut

ketentuan norma agama. Dan, anak tersebut adalah anak yang sah secara hukum

dan wajib diperlakukan sama di hadapan hukum.

Terkait dengan Undang-Undang Perkawinan, pemohon memberikan

pandangannya, bahwa diundangkannya UU No. 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan secara khusus yang berkaitan pencatatan perkawinan dan anak yang

lahir dari sebuah perkawinan yang tidak dicatatkan dianggap sebagai anak di luar

perkawinan telah menyebabkan anak hanya mempunyai hubungan perdata

dengan ibunya. Bagi Pemohon, hal ini telah memberikan ketidakpastian secara

hukum dan mengganggu serta mengusik perasaan keadilan yang tumbuh dan

hidup di masyarakat. Pemohon dirugikan dengan hal ini, karena kelahiran anak

Page 78: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

73 Pemohon ke dunia ini bukanlah suatu kehadiran yang tanpa sebab, tetapi sebagai

hasil hubungan kasih sayang antara kedua orang tuanya (Pemohon dan

suaminya). Hanya saja, ketentuan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan

inilah yang menyebabkan suatu ketidakpastian hukum hubungan antara anak

dengan bapaknya. Hal tersebut telah melanggar hak konstitusional anak untuk

mengetahui asal-usulnya.

Di samping itu, menurut pandangan pemohon, hilangnya garis keturunan

dari ayah kandung sang anak juga menyebabkan beban psikis terhadap anak,

karena tidak adanya pengakuan dari bapaknya atas kehadirannya di dunia. Tentu

saja hal tersebut akan menyebabkan kecemasan, ketakutan dan ketidaknyamanan

anak dalam pergaulannya di masyarakat bagi anak secara khusus dan keluarga

secara umum.

Kelima, alasan lain yang dikemukakan oleh Pemohon adalah bahwa

Pemohon secara objektif mengalami kerugian materi atau finansial, yaitu

Pemohon harus menanggung biaya untuk kehidupan Pemohon serta untuk

membiayai dalam rangka pengasuhan dan pemeliharaan anak. Hal ini

dikarenakan adanya ketentuan dalam Undang-Undang Perkawinan yang

menyebabkan tidak adanya kepastian hukum atas pernikahan Pemohon dan anak

yang dihasilkan dari pemikahan tersebut. Akibatnya, Pemohon tidak bisa

menuntut hak atas kewajiban suami memberikan nafkah lahir dan batin serta

biaya untuk mengasuh dan memelihara anak.

Dengan kata lain, Pemohon berpandangan bahwa Undang-Undang

Perkawinan tidak mencerminkan rasa keadilan di masyarakat dan secara obyektif-

empiris telah memasung hak konstitusional Pemohon sebagai warga negara

Republik Indonesia untuk memperoleh kepastian hukum dan terbebas dari rasa

cemas, ketakutan, dan diskriminasi terkait pernikahan dan status hukum anaknya.

Dalam hal ini, pemohon menyadur pandangan Van Apeldoorn dalam bukunya

Incleiding tot de Rechtswetenschap in Nederland yang menyatakan bahwa tujuan

hukum adalah untuk mengatur pergaulan hidup secara damai. Hukum

menghendaki kedamaian.

Kedamaian di antara manusia, dalam hal ini, dipertahankan oleh hukum

dengan melindungi kepentingan-kepentingan manusia yang tertentu yaitu

Page 79: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

74 kehormatan, kemerdekaan, jiwa, harta benda dan lain sebagainya terhadap yang

merugikannya. Kepentingan individu dan kepentingan golongan-golongan

manusia selalu bertentangan satu sama lain. Pertentangan kepentingan-

kepentingan ini selalu akan menyebabkan pertikaian dan kekacauan satu sama

lain kalau tidak diatur oleh hukum untuk menciptakan kedamaian dengan

mengadakan keseimbangan antara kepentingan yang dilindungi, di mana setiap

orang harus memperoleh sedapat mungkin yang menjadi haknya.

Terakhir, berdasarkan semua hal dan alasan yang telah diuraikan

tersebut, menurut pandangan pemohon, Mahkamah Konstitusi berwenang untuk

mengadili dan memutuskan Perkara Permohonan Uji Materiil Pasal 2 ayat (2) dan

Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan terhadap Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta

Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

B. Pertimbangan dan Pendapat Majelis Hakim

Ada sejumlah pertimbangan hukum yang dikemukakan oleh Majelis

Hakim Mahkamah Konstitusi terkait dengan Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang

diajukan oleh Aisyah Mochtar dan Muhammad Iqbal Ramadhan.

Pertama, Majelis Hakim menimbang bahwa maksud dan tujuan

permohonan a quo adalah untuk menguji Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 3019) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945.

Sebelum mempertimbangkan pokok permohonan, Mahkamah Konstitusi

terlebih dahulu mempertimbangkan: a) Kewenangan Mahkamah untuk mengadili

permohonan a quo; dan b) Kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon

untuk mengajukan permohonan a quo.

Sebagaimana diketahui, bahwa Mahkamah Konstitusi Republik

Indonesia adalah lembaga (tinggi) negara yang baru yang sederajat dan sama

tinggi kedudukannya dengan Mahkamah Agung (MA). Menurut ketentuan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasca Perubahan

Keempat (Tahun 2002), dalam struktur kelembagaan Republik Indonesia terdapat

Page 80: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

75 (setidaknya) 9 (sembilan) buah organ negara yang secara langsung menerima

kewenangan langsung dari Undang-Undang Dasar (UUD).22

Dalam perubahan UUD inilah, Mahkamah Konstitusi diberikan

kewenangan, yaitu sebagaimana termaktub di dalam Pasal 24C ayat (1) UUD

1945, yang berbunyi:

(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan

terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang

terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga

negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar,

memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang

hasil pemilihan umum.

(2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan

Perwaklian Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau

Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.

(3) Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim

konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing

tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan

Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden.

(4) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh hakim

konstitusi.

(5) Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak

tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan,

serta tidak merangkap sebagai pejabat negara.

(6) Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta

ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-

undang.23

Di samping itu, kewenangan Mahkamah Konstitusi juga diatur di dalam

Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang

22 Jimly Asshiddiqie, “Kedudukan Mahkamah Konstitusi Dalam Struktur Ketatanegaraan

Indonesia”, Makalah dipresentasikan dalam Kuliah Umum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Kamis, 2 September, 2004. Diakses dari www.jimlyasshiddiqie.com

23 Pasal 24C Undang-undang Dasar Republik Indonesia.

Page 81: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

76 Mahkamah Konstitusi sebagaimana pula telah diubah dengan Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun

2003 tentang Mahkamah Konstitusi,24 serta Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-

Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.25 Di sejumlah

Undang-undang ini, salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah Konstitusi

adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat

final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar.

Dalam hal ini, Mahkamah Konstitusi memandang, permohonan para

Pemohon dalam Nomor 46/PUU-VIII/2010 adalah untuk menguji

konstitusionalitas norma Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU 1/1974

terhadap UUD NRI 1945, yang menjadi salah satu kewenangan Mahkamah

Konstitusi, sehingga oleh karenanya Mahkamah berwenang untuk mengadili

permohonan a quo.

Kemudian, mahkamah juga mempertimbangkan legal standing yang

dimiliki oleh para pemohoh, sebagaimana yang telah diatur di dalam Pasal 51

ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi beserta Penjelasannya, yaitu

pengajuan permohonan Pengujian Undang-Undang terhadap UUD NRI 1945

adalah oleh mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan

konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD NRI 1945 dirugikan oleh berlakunya

suatu Undang-Undang. Cakupan ini meliputi: (a) perorangan warga negara

Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama); (b)

kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan

perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang

diatur dalam Undang-Undang; (c) badan hukum publik atau privat; atau (d)

lembaga negara.

Dari ketentuan ini, Majelis Hakim menetapkan bahwa dalam

mengajukan judicial review Undang-Undang terhadap UUD 1945 para Pemohon

harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu beberapa hal, yaitu: (a)

kedudukannya sebagai para Pemohon sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1)

24 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226

25 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076

Page 82: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

77 UU MK; (b) kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan

oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya undang-undang yang

dimohonkan pengujian.

Terkait dengan legal standing pemohon ini pula, Mahkamah Konstitusi

mempertimbangkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005

bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-

V/2007 bertanggal 20 September 2007, serta putusan-putusan selanjutnya

berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional

sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi

harus memenuhi lima syarat.

Pertama, adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang

diberikan oleh UUD 1945. Kedua, hak dan/atau kewenangan konstitusional

tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang

dimohonkan pengujian. Ketiga, kerugian konstitusional tersebut harus bersifat

spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut

penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. Keempat, adanya hubungan

sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan berlakunya undang-

undang yang dimohonkan pengujian. Kelima, adanya kemungkinan bahwa

dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional seperti yang

didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.

Dari ketentuan-ketentuan inilah kemudian Mahkamah Konstitusi

menetapkan terlebih dahulu tentang jangkauan kewenangan yang dimilikinya

untuk mengadili dan memutus permohonan ini dan memperhatikan apakah para

pemohon memiliki legal standing yang sesuai dengan peraturan perundangan

yang berlaku. Dari pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, perkara a

quo merupakan wilayah hukum Mahkamah dan para pemohon telah memiliki

legal standing yang sesuai dengan peraturan, sehingga Mahkamah dapat

melanjutkan proses peradilan dan penyelesaian perkara ini.

Terhadap perkara yang diajukan oleh Aisyah Mochtar ini, Mahkamah

Konstitusi memandang bahwa pokok permohonan para Pemohon adalah

pengujian konstitusionalitas Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 yang menyatakan, “Tiap-

tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”,

Page 83: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

78 dan Pasal 43 ayat (1) UU 1/1974 yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar

perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga

ibunya”, khususnya mengenai hak untuk mendapatkan status hukum anak.

Mahkamah juga melihat, pokok permasalahan hukum mengenai

pencatatan perkawinan menurut peraturan perundang-undangan adalah mengenai

makna hukum (legal meaning) pencatatan perkawinan. Mengenai permasalahan

tersebut, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi menyadur Penjelasan Umum

angka 4 huruf b UU 1/1974 tentang asas-asas atau prinsip-prinsip perkawinan,

yang menyatakan:

“... Bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut

hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Dan di

samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan

adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting

dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang

dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akte yang juga dimuat

dalam daftar pencatatan”.

Dari Penjelasan Undang-undang Perkawinan ini, Mahkamah

berpendapat bahwa nyatalah: Pertama, pencatatan perkawinan bukanlah

merupakan faktor yang menentukan sahnya perkawinan. Kedua, pencatatan

merupakan kewajiban administratif yang diwajibkan berdasarkan peraturan

perundang-undangan. Adapun faktor yang menentukan sahnya perkawinan

adalah syarat-syarat yang ditentukan oleh agama dari masing-masing pasangan

calon mempelai. Diwajibkannya pencatatan perkawinan oleh negara melalui

peraturan perundangundangan merupakan kewajiban administratif.26

Sebagaimana di atas, Mahkamah Konstitusi menetapkan bahwa

pencatatan perkawinan faktor yang menentukan sah atau tidaknya sebuah

perkawinan, walaupun pencatatan ini hanyalah sebatas kewajiban administrasi.

Mahkamah Konstitusi memaknai pentingnya kewajiban administratif berupa

pencatatan perkawinan tersebut dapat dilihat dari dua perspektif.

26 Putusan MK, h. 33.

Page 84: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

79

Pertama, dari perspektif negara, pencatatan dimaksud diwajibkan dalam

rangka fungsi negara memberikan jaminan perlindungan, pemajuan, penegakan,

dan pemenuhan hak asasi manusia yang bersangkutan yang merupakan tanggung

jawab negara dan harus dilakukan dengan prinsip negara hukum yang demokratis

yang diatur serta dituangkan dalam peraturan perundang-undangan [sebagaimana

di dalam Pasal 28I ayat (4) dan ayat (5) UUD NRI 1945]. Menurut Mahkamah

Konstitusi, sekiranya pencatatan dimaksud dianggap sebagai pembatasan,

pencatatan demikian tidak bertentangan dengan ketentuan konstitusional karena

pembatasan ditetapkan dengan Undang-Undang dan dilakukan dengan maksud

semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan

kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan

pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam

suatu masyarakat demokratis.

Kedua, pencatatan secara administratif yang dilakukan oleh negara

dimaksudkan agar perkawinan, sebagai perbuatan hukum penting dalam

kehidupan yang dilakukan oleh yang bersangkutan, yang berimplikasi terjadinya

akibat hukum yang sangat luas, di kemudian hari dapat dibuktikan dengan bukti

yang sempurna dengan suatu akta otentik, sehingga perlindungan dan pelayanan

oleh negara terkait dengan hak-hak yang timbul dari suatu perkawinan yang

bersangkutan dapat terselenggara secara efektif dan efisien. Artinya, dengan

dimilikinya bukti otentik perkawinan, hak-hak yang timbul sebagai akibat

perkawinan dapat terlindungi dan terlayani dengan baik, karena tidak diperlukan

proses pembuktian yang memakan waktu, uang, tenaga, dan pikiran yang lebih

banyak, seperti pembuktian mengenai asal-usul anak dalam Pasal 55 UU 1/1974

yang mengatur bahwa bila asal-usul anak tidak dapat dibuktikan dengan akta

otentik maka mengenai hal itu akan ditetapkan dengan putusan pengadilan yang

berwenang. Pembuktian yang demikian pasti tidak lebih efektif dan efisien bila

dibandingkan dengan adanya akta otentik sebagai buktinya.

Kemudian, permasalahan kedua yang juga menjadi perhatian Mahkamah

adalah terkait dengan pokok permasalahan hukum mengenai anak yang dilahirkan

di luar perkawinan, yang menurut Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, adalah

mengenai makna hukum (legal meaning) frasa “yang dilahirkan di luar

Page 85: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

80 perkawinan”. Untuk memperoleh jawaban dalam perspektif yang lebih luas perlu

dijawab pula permasalahan terkait, yaitu permasalahan tentang sahnya anak. Dari

pemaknaan ini Mahkamah memberikan argumentasi dan pandangan hukumnya.

Menurut Mahkamah, secara alamiah tidaklah mungkin seorang

perempuan hamil tanpa terjadinya pertemuan antara ovum dan spermatozoa, baik

melalui hubungan seksual (coitus) maupun melalui cara yang lain berdasarkan

perkembangan teknologi yang menyebabkan terjadinya pembuahan. Oleh karena

itu, tidak tepat dan tidak adil bilamana hukum menetapkan bahwa anak yang lahir

dari suatu kehamilan karena hubungan seksual di luar perkawinan hanya

memiliki hubungan dengan perempuan tersebut sebagai ibunya. Bagi Majelis

Hakim Mahkamah Konstitusi adalah tidak tepat dan tidak adil pula jika hukum

membebaskan laki-laki yang melakukan hubungan seksual yang menyebabkan

terjadinya kehamilan dan kelahiran anak tersebut dari tanggung jawabnya sebagai

seorang bapak dan bersamaan dengan itu hukum meniadakan hak-hak anak

terhadap lelaki tersebut sebagai bapaknya. Lebih-lebih manakala berdasarkan

perkembangan teknologi yang ada memungkinkan dapat dibuktikan bahwa

seorang anak itu merupakan anak dari laki-laki tertentu.

Dari sini, Mahkamah Konstitusi memandang bahwa akibat hukum dari

peristiwa hukum kelahiran karena kehamilan yang didahului dengan hubungan

seksual antara seorang perempuan dengan seorang laki-laki adalah hubungan

hukum yang di dalamnya terdapat hak dan kewajiban secara bertimbal-balik,

yang subjek hukumnya meliputi anak, ibu, dan bapak.

Berdasarkan uraian di atas, menurut MK hubungan anak dengan seorang

laki-laki sebagai bapak tidak semata-mata karena adanya ikatan perkawinan, akan

tetapi dapat juga didasarkan pada pembuktian adanya hubungan darah antara

anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak. Dengan demikian, terlepas dari soal

prosedur/administrasi perkawinannya, anak yang dilahirkan harus mendapatkan

perlindungan hukum. Jika tidak demikian, maka yang dirugikan adalah anak yang

dilahirkan di luar perkawinan, padahal anak tersebut tidak berdosa karena

kelahirannya di luar kehendaknya. Anak yang dilahirkan tanpa memiliki

kejelasan status ayah seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan

stigma di tengah-tengah masyarakat. Hukum harus memberi perlindungan dan

Page 86: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

81 kepastian hukum yang adil terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-

hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun

keabsahan perkawinannya masih dipersengketakan.27

Dalam hal demikianlah, Mahkamah Konstitusi memberikan pemaknaan

baru terhadap Pasal 43 ayat (1) UU 1/1974 yang menyatakan, “Anak yang

dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan

ibunya dan keluarga ibunya” dengan pengertian (harus dibaca), bahwa “anak

yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya

dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat

dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain

menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan

keluarga ayahnya”.

Untuk itu, berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, Majelis Hakim

Mahkamah Konstitusi memandang bahwa dalil para Pemohon sepanjang

menyangkut Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 Tentang Perkawinan tidak beralasan

menurut hukum. Sementara Pasal 43 ayat (1) UU 1/1974 yang menyatakan,

“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata

dengan ibunya dan keluarga ibunya” adalah bertentangan dengan UUD 1945

secara bersyarat (conditionally unconstitutional) yakni inkonstitusional, dengan

catatan sepanjang ayat tersebut dimaknai menghilangkan hubungan perdata

dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan

teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah

sebagai ayahnya.

Dari uraian di atas, Mahkamah Konstitusi menyimpulkan permasalahan

ini, dengan menyatakan: (1) Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan

a quo; (2) Para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk

mengajukan permohonan a quo; (3) Pokok permohonan beralasan menurut

hukum untuk sebagian.

27 Putusan Mahkamah Konstitusi, h. 35, poin 3.13.

Page 87: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

82 D. Amar Putusan MK

Dari Permohonan yang disampaikan oleh Aisyah binti Mochtar ini,

berikut pula rangkaian alasan dan argumentasi hukum yang diajukan, baik dari

segi materi judicial review ataupun dari sisi legal standing yang dimiliki oleh

Pemohon, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi akhirnya memutuskan pengajuan

judicial review ini. Putusan telah mengadili perkara tersebut dengan menyatakan,

bahwa Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan para Pemohon untuk

sebagian dan menolak sebagian yang lain.

Putusan ini menyatakan, bahwa Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

3019) yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya

mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, bertentangan

dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang

dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti

lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya.

Selanjutnya, Mahkamah juga menyatakan bahwa Pasal 43 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar

perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga

ibunya”, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai

menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan

berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut

hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya. Dari putusan ini,

klausul Pasal 43 ayat (1) tersebut harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar

perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya

serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu

pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai

hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.

Di luar dari keputusan di atas, Mahkamah menolak permohonan para

Page 88: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

83 pemohon untuk selain dari selebihnya, serta Majelis Hakim Mahkamah

Konstitusi memerintahkan agar putusan ini dimuat dalam Berita Negara Republik

Indonesia sebagaimana mestinya.

Page 89: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

85

BAB IV PANDANGAN DAN ARGUMENTASI PENERIMAAN HAKIM AGAMA

TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

A. Pandangan Hakim Agama

Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 yang diucapkan tanggal 17 Februari

2012, ternyata disikapi dan ditafsirkan Hakim PA dan PTA di wilayah Provinsi

DKI Jakarta dan Provinsi Banten dengan pandangan yang beragam. Pandangan

para Hakim PA dan PTA tersebut, bisa dikelompokkan menjadi tiga kategori,

sebagai berikut:

Pertama, Hakim PA dan PTA yang menerima putusan MK No. 46/PUU-

VIII/2010 tersebut dalam struktur kekuasaan lembaga Peradilan, di mana

putusannya bersifat final dan binding;

Kedua, Hakim PA dan PTA yang menerima putusan MK No.46/PUU-

VIII/2010 tersebut dengan catatan. Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 tersebut

ditafsirkan dan dipahami dalam kontek nikah sirri yang syarat dan rukunnya telah

memenuhi ketentuan agama (syar’i) sesuai ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1), UU

Perkawinan tahun 1974 dan bukan dipahami untuk hubungan tanpa ikatan

perkawinan;

Ketiga, Hakim PA dan PTA yang menolak putusan MK No. 46/PUU-

VIII/2010 tersebut karena putusan tersebut dinilai akan membuka peluang

legalisasi zina. Para Hakim PA dan PTA tersebut kemudian memilih untuk

menggunakan hak diskresi Hakim atau prinsip contralegem dalam

implementasinya.

Di antara hakim yang menerima secara mutlak putusan MK No. 46/PUU-

VIII/2010 tersebut adalah Edi Riadi, Hakim PTA Jakarta sekaligus Wakil PTA

Jakarta. Dia memberikan ketegasan penafsiran bahwa cakupan putusan tersebut

termasuk untuk anak zina dan bukan sebatas anak hasil kawin siri yang sah

menurut hukum agama. Putusan MK menurut beliau, mencakup seluruh anak luar

kawin, baik anak hasil perkawinan yang tak tercatat maupun anak hasil zina. Ini

karena anak zina juga harus dipenuhi hak asasinya sebagaimana anak yang lain,

tidak boleh dikucilkan, atau mendapatkan sanksi sosial dari masyarakat akibat

perbuatan orangtuanya. Dia terlahir bukan karena keinginannya sendiri tetapi

Page 90: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

86

akibat pelanggaran norma yang dilakukan ke dua orang tuanya. Dengan demikian,

argumentasi di balik putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 tidak lain merupakan

bagian dari upaya untuk melindungi hak asasi anak sebagaimana dirumuskan

dalam deklarasi HAM. Bahkan sikap semacam ini kalau mau dikaji lebih

mendalam, sejalan dengan tujuan hukum Islam (maqâshid al-Syarî’ah), yakni

menjaga nyawa (hifdz al-nafs) yang dalam hal ini adalah hak hidup anak tanpa

untuk hidup dan tumbuh tanpa tekanan dan diskriminasi dari pihak manapun.1

Lebih detil Hakim PTA Jakarta ini mengatakan:

“Pendapat saya terhadap putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010, putusan MK tersebut sudah tepat dari sisi HAM. Konsekuensinya, pasal-pasal dalam UU No.1 tahun 1974, harus diganti atau dirubah menyesuaikan putusan MK tersebut. Apalagi, sebagaimana kita lihat dalam kitab Fikih, ternyata Imam Hanafi (baca: mazhab) berpendapat anak diluar perkawinan mempunyai hubungan perdata, walaupun dia anak zina. Apalagi anak yang terlahir dari kawin siri yang dilakukan secara sah menurut ketentuan agama (ada wali perempuan, dua orang saksi, dan ada mempelai pria). Meskipun akibat perkawinan siri yang tidak dicatatkan dalam administrasi negara semacam ini, menjadikan ada halangan-halangan lain karena tidak mematuhi ketentuan yang ada dalam UU No. 1 Perkawinan tahun 1974. Salah satunya adalah adanya isteri yang lain pada waktu dia melakukan poligami secara siri. Jadi menurut pendapat saya, putusan MK sudah sangat tepat, baik dari sisi maqashid al-syari‘ah maupun dalam perspektif HAM”2.

Di samping itu menurut Riadi dalam khazanah Fikih terdapat pendapat

mazhab Hanafi yang membolehkan penasaban anak zina kepada ayah biologisnya,

terutama ketika diyakini si ayah itu merupakan satu-satunya orang yang menzinai

ibu si anak. Adanya pandangan dalam mazhab Hanafi semacam ini kalau

ditelusuri lebih jauh merupakan konsekwensi dalam memahami makna asal term

nikah. Ulama mazhab Hanafi mengatakan asal makna nikah secara bahasa

dipahami dalam arti “persetubuhan”. Sebaliknya, berbeda dengan pandangan

dalam mazhab Syafi’i, di mana makna asli nikah adalah ‘aqad, dan secara majazi

(metafora), term nikah dipahami untuk makna bersetubuh. Dengan merujuk

1 Wawancara dengan Edi Riadi, hakim PTA sekaligus Wakil Ketua PTA Jakarta pada

tanggal 17 September 2014 pukul 13.00. 2Wawancara dengan Edi Riadi, hakim PTA sekaligus Wakil Ketua PTA Jakarta. pada

tanggal 17 September 2014 pukul 13.00.

Page 91: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

87

pandangan fikih mazhab Hanafi, Hakim PTA Jakarta ini lebih jauh menyatakan,

“Anak zina pun dapat dinasabkan kepada ayah biologisnya”. Untuk mempertegas

pandangannya, Hakim PTA Jakarta ini menyebut kitab Radd al-Mukhtâr (salah

satu kitab Fikih dalam mazhab Hanafi yang ditulis Ibn ‘Âbidîn). Hakim PTA

Jakarta kemudian menyatakan,”Dalam kitab Radd al-Mukhtâr dinyatakan, anak

hasil zina ada hubungan nasab dengan bapak biologisnya, termasuk tanggung

jawab keperdataan”3.

Sementara bila ditelusuri dalam Kitab “Radd al-Muhtar ‘ala al-Durr al-

Mukhtar” (Hasyiyah Ibn ‘Abidin), pendapat Imam Ibn ‘Abidin dalam kitabnya

sebagai berikut :

ویرث ولد الزنا واللعان بجھة األم فقط لما قد مناه فى العصبات أنھ ال أب لھماAnak hasil zina atau li’an hanya mendapatkan hak waris dari pihak ibu saja, sebagaimana telah kami jelaskan di bab yang menjelaskan tentang ashabah, karena anak hasil zina tidaklah memiliki bapak. Jadi rujukan yang dipakai oleh Edi Riadi sebenarnya kurang tepat bila

merujuk kepada Radd al-Mukhtar, namun menurut peneliti pendapatnya lebih

mendekati pendapat Ibn Taimiyyah dalam al-Fatwa-nya. Hal tersebut dapat

dibaca dalam pertimbangan fatwa yang dikeluarkan MUI. Dalam fatwa tersebut

MUI menyatakan bahwa pendapat Jumhur Madzhab Fikih Hanafiyyah,

Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah yang menyatakan bahwa prinsip

penetapan nasab adalah karena adanya hubungan pernikahan yang sah. Selain

karena pernikahan yang sah, tidak ada akibat hukum hubungan nasab, dan dengan

demikian anak zina dinasabkan kepada ibunya, tidak dinasabkan pada lelaki yang

menzinai, sebagaimana termaktub dalam beberapa kutipan berikut4:

a. Ibn Hajar al-‘Asqalani:

معنیان:” الولد للفراش“نقل عن الشافعي أنھ قال: لقولھ

ھو لھ مالم ینفھ، فإذا نفاه بما شرع لھ كاللعان انتفى عنھ، والثاني: إذا تنازع رب الفراش أحدھما

، أي: للزاني الخیبة والحرمان، ”وللعاھر الحجر“وقولھ: “ثم قال: ” والعاھر فالولد لرب الفراش

عیھ، وجرت والعھر بفتحتین: الزنا، وقیل: یختص باللیل، ومعنى الخیبة ھنا: حرمان الولد الذي ید

3Wawacara dengan Edi Riadi, hakim PTA sekaligus Wakil Ketua PTA Jakarta. tanggal 17 September 2014, pukul 13.00.

4Fatwa MUI Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Kedudukan Anak Hasil Zina dan Perlakuan

Terhadapnya.

Page 92: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

88

عادة العرب أن تقول لمن خاب: لھ الحجر وبفیھ الحجر والتراب، ونحو ذلك، وقیل: المراد بالحجر ھنا

أنھ یرجم. قال النووي: وھو ضعیف، ألن الرجم مختص بالمحصن، وألنھ ال یلزم من رجمھ نفي الولد،

”ث، لتعم الخیبة كل زانوالخبر إنما سیق لنفي الولد، وقال السبكي: واألول أشبھ بمساق الحدی

Diriwayatkan dari Imam Syafi’i dua pengertian tentang makna dari hadis “Anak itu menjadi hak pemillik kasur/suami“ . Pertama: Anak menjadi hak pemilik kasur/suami selama ia tidak menafikan/mengingkarinya. Apabila pemilik kasur/suami menafikan anak tersebut (tidak mengakuinya) dengan prosedur yang diakui keabsahannya dalam syariah, seperti melakukan li’an, maka anak tersebut dinyatakan bukan sebagai anaknya. Kedua: Apabila bersengketa (terkait kepemilikan anak) antara pemilik kasur/suami dengan laki-laki yang menzinai isteri/budak wanitanya, maka anak tersebut menjadi hak pemilik kasur/suami.

Adapun maksud dari “bagi pezina adalah batu” bahwa laki-laki pezina itu

keterhalangan dan keputusasaan. Maksud dari kata al-‘ahar dengan menggunakan

dua fathah (pada huruf ‘ain dan ha’) adalah zina. Ada yang berpendapat bahwa

kata tersebut digunakan untuk perzinaan yang dilakukan pada malam hari. Oleh

karenanya, makna dari keputus-asaan disini adalah bahwa laki-laki pezina tersebut

tidak mendapatkan hak nasab atas anak yang dilahirkan dari

perzinaannya. Pemilihan kata keputusasaan di sini sesuai dengan tradisi bangsa

Arab yang menyatakan, “baginya ada batu” atau “di mulutnya ada batu” buat

orang yang telah berputusasa dari harapan. Ada yang berpendapat bahwa

pengertian dari batu di sini adalah hukuman rajam. Imam Nawawi menyatakan

bahwa pendapat tersebut adalah lemah, karena hukuman rajam hanya

diperuntukkan buat pezina yang muhsan (sudah menikah). Di sisi yang lain, hadis

ini tidak dimaksudkan untuk menjelaskan hukum rajam, tapi dimaksudkan untuk

sekedar menafikan hak anak atas pezina tersebut. Oleh karena itu Imam Subki

menyatakan bahwa pendapat yang pertama itu lebih sesuai dengan redaksi hadis

tersebut, karena dapat menyatakan secara umum bahwa keputus-asaan (dari

mendapatkan hak anak) mencakup seluruh kelompok pezina (muhsan atau bukan

muhsan).

b. Pendapat Imam al-Sayyid al-Bakry dalam kitab “I’anah al-Thalibin” juz 2

halaman 128 sebagai berikut:

ولد الزنا ال ینسب ألب وإنما ینسب ألمھ

Page 93: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

89

Anak zina itu tidak dinasabkan kepada ayah, ia hanya dinasabkan kepada ibunya.

c. Pendapat Imam Ibn Hazm dalam Kitab al-Muhalla juz 10 halaman 323 sebagai

berikut :

والولد یلحق بالمرأة إذا زنت و حملت بھ وال یلحق بالرجل

Anak itu dinasabkan kepada ibunya jika ibunya berzina dan kemudian mengandungnya, dan tidak dinasabkan kepada lelaki.

2. Pendapat Imam Ibnu Nujaim dalam kitab “al-Bahr al-Raiq Syarh Kanz ad-

Daqaiq”:

نا واللعان من جھة األم فقط ؛ ألن نسبھ من جھة األب منقطع فال یرث بھ ومن جھة األم ویرث ولد الز

ھ وأخ ھ وأختھ من األم بالفرض ال غیر وكذا ترثھ أم ھ فرضا ال غیر ثابت فیرث بھ أم تھ من أم

Anak hasil zina atau li’an hanya mendapatkan hak waris dari pihak ibu saja, karena nasabnya dari pihak bapak telah terputus, maka ia tidak mendapatkan hak waris dari pihak bapak, sementara kejelasan nasabnya hanya melalui pihak ibu, maka ia memiliki hak waris dari pihak ibu, saudara perempuan seibu dengan fardh saja (bagian tertentu), demikian pula dengan ibu dan saudara perempuannya yang seibu, ia mendapatkan bagian fardh (tertentu), tidak dengan jalan lain.

3. Pendapat Imam Ibn ‘Abidin dalam Kitab “Radd al-Muhtar ‘ala al-Durr al-

Mukhtar” (Hasyiyah Ibn ‘Abidin) sebagai berikut :

ویرث ولد الزنا واللعان بجھة األم فقط لما قد مناه فى العصبات أنھ ال أب لھما

Anak hasil zina atau li’an hanya mendapatkan hak waris dari pihak ibu saja, sebagaimana telah kami jelaskan di bab yang menjelaskan tentang ashabah, karena anak hasil zina tidaklah memiliki bapak.

4. Pendapat Ibnu Taymiyah dalam kitab “al-Fatawa al-Kubra” :

نا إذا لم یكن فراشا ؟ على قولین .كما ثبت عن الن واختلف العلماء في استلحاق ولد الز بي { صلى هللا

األسود ، وكان قد أحبلھا عتبة بن أبي علیھ وسلم أنھ ألحق ابن ولیدة زمعة بن األسود بن زمعة بن

زمعة ھذا وقاص ، فاختصم فیھ سعد وعبد بن زمعة ، فقال سعد : ابن أخي .عھد إلي أن ابن ولیدة

علیھ وسلم : ھو ابني . فقال عبد : أخي وابن ولیدة أبي ؛ ولد على فراش أبي . فقال النبي صلى هللا

ا رأى من شبھھ البین لك یا عبد بن زمعة الولد للفراش ، وللعاھر الحجر ؛ احتجبي منھ یا سودة } لم

جعلھ أخاھا في المیراث دون الحرمة بعتبة ، ف

Para ulama berbeda pendapat terkait istilhaq (penisbatan) anak hasil zina apabila si wanita tidak memiki pemilik kasur/suami atau sayyid (bagi budak wanita). Diriwayatkan dalam hadis bahwa Rasulullah SAW menisbatkan anak budak wanita Zam’ah ibn Aswad kepadanya (Zam’ah),

Page 94: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

90

padahal yang menghamili budak wanita tersebut adalah Uthbah ibn Abi Waqqash. Sementara itu, Sa’ad menyatakan : anak dari budak wanita tersebut adalah anak saudaraku (Uthbah), dan aku (kata Sa’ad) ditugaskan untuk merawatnya seperti anakku sendiri”. Abd ibn Zam’ah membantah dengan berkata : “anak itu adalah saudaraku dan anak dari budak wanita ayahku, ia dilahirkan di atas ranjang ayahku”. Rasulullah SAW bersabda: “anak itu menjadi milikmu wahai Abd ibn Zam’ah, anak itu menjadi hak pemilik kasur dan bagi pezina adalah batu”, kemudian Rasulullah bersabda : “Berhijablah engkau wahai Saudah (Saudah binti Zam’ah–Isteri Rasulullah SAW)”, karena beliau melihat kemiripan anak tersebut dengan Utbah, maka beliau menjadikan anak tersebut saudara Saudah binti Zam’ah dalam hal hak waris, dan tidak menjadikannya sebagai mahram.

5. Pendapat Wahbah al-Zuhaili dengan judul “Ahkam al-Aulad al-Natijin ‘an al-

Zina” yang disampaikan pada Daurah ke-20 Majma’ Fiqh Islami di Makkah

pada 25 – 29 Desember 2010 yang pada intinya menerangkan bahwa, jika ada

seseorang laki-laki berzina dengan perempuan yang memiliki suami dan

kemudian melahirkan anak, terdapat ijma ulama, sebagaimana disampaikan

oleh Imam Ibn Abdil Barr dalam “al-Tamhid” (8/183) yang menegaskan

bahwa anak tersebut tidak dinasabkan kepada lelaki yang menzinainya,

melainkan kepada suami dari ibunya tersebut, dengan ketentuan ia tidak

menafikan anak tersebut melalui li’an. Sementara, jika ia berzina dengan

perempuan yang tidak sedang terikat pernikahan dan melahirkan seorang

anak, maka menurut jumhur ulama mazhab delapan, anak tersebut hanya

dinasabkan ke ibunya sekalipun ada pengakuan dari laki-laki yang

menzinainya. Hal ini karena penasaban anak kepada lelaki yang pezina akan

mendorong terbukanya pintu zina, padahal kita diperintahkan untuk menutup

pintu yang mengantarkan pada keharaman (sadd al-dzari’ah) dalam rangka

menjaga kesucian nasab dari perilaku munkarat.

Selanjutnya, Edi Riadi menegaskan, “Substansi putusan MK sudah adil

dan tepat, meskipun untuk kasus perkasus mungkin tidak bisa disamaratakan.

Dalam kasus perkawinan kedua dan seterusnya ada halangan hukum menurut

ketentuan UU Perkawinan No.1 tahun 1974, dimana izin isteri pertama dan

seterusnya, merupakan persyaratan yang harus dipenuhi laki-laki (suami) yang

Page 95: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

91

akan melakukan poligami. Faktanya, hal ini tidak dilakukan saudara (almarhum)

Moerdiono.”5

Pandangan agak berbeda dikemukan hakim PA Jaktim. Meski ia

sependapat dan menerima putusan MK tersebut, dimana dalam kasus anak luar

kawin, ayah biologis harus ikut bertanggung jawab terhadap hasil hubungannya

dengan seorang perempuan sesuai prinsip keadilan, namun ia menafsirkan

putusan tersebut hanya mencakup kewajiban untuk memberikan nafkah kepada

anak di luar kawin. Kewajiban ini, baik terhadap anak hasil perzinaan. Hubungan

keperdataan tersebut menurut tafsirannya tidak mencakup hubungan nasab,

perwalian, dan kewarisan bila anak tersebut hasil perzinaan. Sedangkan apabila

anak tersebut hasil perkawinan siri, maka perkawinan tersebut dipandang sah

sesuai ketentuan pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan tahun 1974 bahwa perkawinan

adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan

kepercayaannya. Selanjutnya sesuai ketentuan ayat (2) bahwa perkawinan wajib

dicatat, perkawinanannya dapat diajukan isbat ke Pengadilan Agama dan

selanjutnya mendapat keabsahan menurut hukum. Selanjutnya, pengakuan atau

hubungan keperdataan berupa nasab, nafkah, perwalian, dan hak waris memiliki

kekuatan hukum6.

Hakim PA Jakarta Selatan juga dapat menerima dan sependapat dengan

putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 terkait pengakuan anak zina yang dinasabkan

kepada bapak biologisnya. Pandangan hakim PA Jakarta Selatan ini dengan

merujuk pendapat Mazhab Hanafi dan Ibn Taimiyyah, termasuk penisbatan anak

biologis kepada laki-laki yang menzinahi ibunya, asal yang menzinahi cuma satu

orang dan ada pengakuan dari laki-laki tersebut. Hal ini karena watak fikih itu

sendiri yang selalu berkembang. Hakim PA Jakarta Selatan selanjutnya

menyatakan:

“Kalau menurut saya, hukum itu dinamis dan berkembang. Bisa saja terjadi pengakuan anak dan nasabnya dihubungkan dengan bapak biologis. Misalnya dia punya anak sebelum pernikahan dan dia mengaku dengan jujur pernah melakukan ‘kumpul kebo’. Setelah ditelusuri keteranganya dan dites DNA-nya, memang benar dia anaknya, ya bisa kita sahkan dan nasabnya itu

5 Wawacara dengan Edi Riadi, hakim PTA sekaligus Wakil Ketua PTA Jakarta. tanggal 17

September 2014, pukul 13.00. 6Wawancara dengan hakim PA Jakarta Timur, tanggal 15 Oktober 2014, pukul 10.00.

Page 96: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

92

bisa ditetapkan. Dalam pandagan saya, “Dia adalah anak biologis”. Kita menyebutnya, “bukan anak sah”7.

Meskipun mengakui hubungan keperdataan dengan anak biologis akibat

zina diakui secara fiqh, namun pandangan hakim PA Jakarta Selatan nampaknya

“ambigu” karena hanya dengan menyatakannya sebagai anak biologis, sehingga

tidak menimbulkan efek hubungan keperdataan sebagaimana diinginkan

pandangan hakim yang menerima putusan MK secara mutlak. Nampaknya hakim

PA Jakarta Selatan “ragu” karena mungkin sadar mudarat yang timbul akibat

keputusan tersebut. Karena dengan mengakui hubungan secara mutlak, berarti

anak hasil perzinaan, anak lian, anak hasil hubungan yang dilarang, akan memiliki

status sama dengan anak sah. Sehingga hukum akan permisif terhadap perzinaan,

perselingkuhan, dan sejenisnya. dengan. Pandangan ini tentu menyisakan

pertanyaan apakah status tersebut memiliki kedudukan hukum bagi anak biologis

luar kawin.

Sementara itu menurut Ahmad Fadlil Sumadi (hakim MK), putusan MK

tersebut harus dimaknai sebagai pembuka jalan hukum bagi kemungkinan

ditemukan subjek hukum (seorang pria) yang harus bertanggungjawab terhadap

anak dimaksud sebagai bapaknya melalui mekanisme peradilan (jucial

mechanism) dengan pembuktian berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi

mutakhir dan/atau hukum, dalam rangka meniadakan ketidakpastian dan

ketidakadilan hukum di dalam masyarakat. Putusan ini tidak terkait dengan sah

atau tidak sahnya perkawinan, melainkan dimaksudkan untuk memberikan

jaminan perlindungan hukum kepada anak. Tidak pula dapat dimaknai melegalkan

perzinaan, karena anatar memeberikan perlindungan terhadap anak dan persolan

perzinaan meruapakn dua maslah hukum yang berbeda. Yang satu wilayah hukum

perdata, sedangkan yang lain (zina) wilayah hukum pidana.8

Putusan tersebut menurut Ahmad Fadlil Sumadi (hakim MK), harus

dimanai sebagai pembuka jalan hukum bagi kemungkinan ditemukan subjek

hukum (seorang pria) yang harus bertanggungjawab terhadap anak dimaksud

sebagai bapaknya melalui mekanisme peradilan (jucial mechanism) dengan

7 Wawancara dengan hakim PA Jakarta Selatan, tanggal 23 September 2014, pukul 10.00. 8 Ahmad Fadlil Sumadi, “Mahkamah Konstitusi dan Putusan Judicial Review UU

Perkawinan”, Makalah, tidak diterbitkan, h. 14.

Page 97: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

93

pembuktian berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir dan/atau

hukum, dalam rangka meniadakan ketidakpastian dan ketidakadilan hukum di

dalam masyarakat. Putusan ini tidak terkait dengan sah atau tidak sahnya

perkawinan, melainkan dimaksudkan untuk memberikan jaminan perlindungan

hukum kepada anak. Tidak pula dapat dimaknai melegalkan perzinaan, karena

anatar memeberikan perlindungan terhadap anak dan persolan perzinaan

meruapakn dua maslah hukum yang berbeda. Yang satu wilayah hukum perdata,

sedangkan yang lain (zina) wilayah hukum pidana.9

Putusan tersebut menurut Ahmad Fadlil Sumadi (hakim MK), harus

dimanai sebagai pembuka jalan hukum bagi kemungkinan ditemukan subjek

hukum (seorang pria) yang harus bertanggungjawab terhadap anak dimaksud

sebagai bapaknya melalui mekanisme peradilan (jucial mechanism) dengan

pembuktian berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir dan/atau

hukum, dalam rangka meniadakan ketidakpastian dan ketidakadilan hukum di

dalam masyarakat. Putusan ini tidak terkait dengan sah atau tidak sahnya

perkawinan, melainkan dimaksudkan untuk memberikan jaminan perlindungan

hukum kepada anak. Tidak pula dapat dimaknai melegalkan perzinaan, karena

anatar memeberikan perlindungan terhadap anak dan persolan perzinaan

meruapakn dua maslah hukum yang berbeda. Yang satu wilayah hukum perdata,

sedangkan yang lain (zina) wilayah hukum pidana.10

Di sisi yang lain, terdapat pula pandangan yang melihat pentingnya

perombakan (review) terhadap norma hukum yang masih dianut di dalam UU

Perkawinan. Hal ini di antaranya dikemukakan oleh Mukti Arto, salah seorang

pakar peradilan Agama di Indonesia dan hukum keluarga, yang menyatakan

bahwa tujuan mendasar dari Putusan MK ini terhadap Pasal 43 ayat 1 Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut sebagaimana yang dikutip A. Mukti Arto.

Pertama, memberikan legalitas hukum hubungan darah antara anak

dengan ayah biologisnya yang semula hanya merupakan sebuah realitas menjadi

hubungan hukum, sehingga memiliki akibat hukum.

9 Ahmad Fadlil Sumadi, “Mahkamah Konstitusi dan Putusan Judicial Review UU

Perkawinan”, Makalah, tidak diterbitkan, h. 14. 10 Ahmad Fadlil Sumadi, “Mahkamah Konstitusi dan Putusan Judicial Review UU

Perkawinan”, Makalah, tidak diterbitkan, h. 14.

Page 98: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

94

Kedua, memberikan perlindungan hukum atas hak-hak dasar anak baik

terhadap ayahnya dan keluarga ayahnya maupun lingkungannya.

Ketiga, memberikan perlakuan yang adil terhadap setiap anak yang

dilahirkan, meskipun perkawinan orang tuanya tidak (belum) ada kepastian

hukum.

Keempat, menegaskan adanya hubungan perdata setiap anak dengan ayah

biologisnya dan keluarga ayahnya menurut hukum sebagaimana hubungan perdata

dengan ibunya dan keluarga ibunya.

Kelima, menegaskan adanya kewajiban ayah menurut hukum (legal

custady) memelihara setiap anak yang dilahirkan dari darahnya. Keenam,

melindungi hak waris anak dari ayahnya karena adanya hubungan darah, hak dan

tanggung jawab satu sama lain. Ketujuh, menjamin masa depan anak sebagaimana

anak-anak pada umumnya. Kedelapan, menjamin hak-hak anak untuk mendapat

pengasuhan, pemeliharaan, pendidikan dan biaya penghidupan, perlindungan dan

lain sebagainya dari ayahnya sebagaimana mestinya.

Kesembilan, memberi ketegasan hukum bahwa setiap laki-laki harus

bertanggung jawab atas tindakannya dan akibat yang timbul karena perbuatannya

itu, dalam hal menyebabkan lahirnya anak, mereka tidak dapat melepaskan diri

dari tanggung jawab tersebut.11

Dari pendapat tersebut, Mukti Arto tampaknya menyetujui adanya

perubahan terhadap norma hukum yang ada di dalam UU Perkawinan, terutama

dalam aspek perlindungan dan perlindungan kepentingan anak. Dalam pada itu,

karena permasalahan status anak bermula dari kedudukan perkawinan, Mukti Arto

memberikan pandangan dalam perspektif hukum Islam, dengan mengacu kepada

pendapat Imam Abu Hanifah dalam permasalahan perkawinan yang lebih

mengutamakan pendefinisian perkawinan sebagai hubungan badan di antara

suami dan isteri, yang akhirnya menimbulkan akibat hukum adanya hubungan

darah di antara orang tua dan anaknya.

11 A. Mukti Arto, “Diskusi Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 46/PUU-

IIIV/2010 Tanggal 27 Pebruari 2012 Tentang Perubahan Pasal 43 UUP”, (Bahan Diskusi Hukum hakim PTA Ambon dan PA Ambon Bersama Pejabat Kepanitreaan pada tangal 16 Maret 2012 di Auditorium PTA Ambon). Pandangan ini dikutip dari Syamsul Anwar dan Isak Munawar, ”Nasab Anak di Luar Perkawinan Paska Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-IIIV/2010 Tanggal 20 Februari 2010 Menurut Teori Fikih dan Perundang-undangan”, h. 26.

Page 99: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

95

Sebagaimana dikemukakan oleh Syamsul Anwar dan Isak Munawar,

Mukti Arto menyatakan bahwa adanya hubungan nasab antara ayah dan ibu

dengan anaknya adalah karena semata-mata adanya hubungan darah sebagai

akibat dari hubungan badan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan,

walaupun tanpa ikatan perkawinan yang sah, dengan alasan sesuai pandangan

ulama Hanafiyyah bahwa dengan hubungan badan semata, telah menimbulkan

hubungan mahram.12 Menurut dia pula, Putusan Mahakamah Konstitusi tersebut

memiliki kekuatan mengikat terhadap seluruh masyarakat Indonesia sejak

diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada tanggal 27 Pebruari Tahun

2012 sesuai Pasal 47 UU Mahkamah Konstitusi dan dengan terbitnya putusan MK

ini, maka ketentuan Pasal 43 ayat (1) dan Pasal 100 KHI tidak memiliki kekuatan

hukum mengikat.13

Dengan mengikuti pandangan tersebut, Putusan MK ini kemudian

memiliki konsekuensi hukum yang lain dalam penerapannya, yaitu dalam

permasalahan nafkah anak, hak perwalian, dan hak kewarisan.

Dalam hal nafkah anak, oleh karena status anak tersebut menurut hukum

yang dimuat pada putusan Mahkamah Konstitusi ini mempunyai hubungan nasab

dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan ayah dan keluarga ayahnya,

maka yang wajib memberikan nafkah terhadap anak tersebut adalah ayahnya dan

keluarga ayahnya. Dalam hal ini, kewajiban muncul baik sebagai ayah yang

memiliki ikatan perkawinan yang sah dengan ibunya maupun ayah alami

(genetik/biologis), yaitu berupa kewajiban hukum memberikan nafkah kepada

anak, karena anak dalam hal ini tidak berbeda dengan anak sah. Terhadap anaknya

tersebut ayah wajib memberikan nafkah dan penghidupan yang layak seperti

nafkah, kesehatan, pendidikan dan lain sebagainya kepada anak-anaknya, sesuai

dengan penghasilannya, sebagaimana diatur di dalam peraturan perundangan dan

Kompilasi Hukum Islam.14

12 Syamsul Anwar dan Isak Munawar, Nasab Anak di Luar Perkawinan Paska Putusan

Mahkamah Konstitusi, h. 28. 13 Syamsul Anwar dan Isak Munawar, Nasab Anak di Luar Perkawinan Paska Putusan

Mahkamah Konstitusi, h. 28. 14 Syamsul Anwar dan Isak Munawar, “Nasab Anak di Luar Perkawinan Paska Putusan

Mahkamah Konstitusi”, h. 30.

Page 100: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

96

Dalam hal demikianlah, Menurut Syamsul Anwar dan Isak Munawar,

keduanya adalah Hakim di Pengadilan Tinggi Agama, bahwa bila orentasi putusan

Mahkamah Konstitusi tersebut bertujuan seperti itu, menurut keduanya dapat

diterima, akan tetapi langkah terbaik bukanlah mengubah atau menghapuskan

pasal tersebut, melainkan cukup menambahkan satu ayat yang membebankan

tanggung jawab nafkah terhadap ayah yang menyebabkan anak lahir di luar

perkawinan. Dengan penambahan ayat ini, menurut keduanya pula, Mahkamah

Konstitusi akan terlihat lebih bijak dan tidak akan mengundang polemik

kontroversi yang berkepanjangan dalam masyarakat.15

Namun dalam permasalahan perwalian, Putusan Mahkamah Konstitusi ini

tetap menggunakan kerangka Undang-Undang Perkawinan yang lama, karena

Pasal 42 Undang-Undang Perkawinan tidak di-review/diubah oleh Mahkamah

Konstitusi. Ketentuan-ketentuan hukum sebagaimana tersebut tetap berlaku dan

mengikat semua pihak. Oleh karena itu Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang

Perkawinan yang telah di-review menjadi anak di luar perkawinan memiliki

hubungan perdata dengan ibunya dan ayahnya serta dengan keluarga ibu dan

ayahnya, maka hubungan perdata dimaksud kecuali dalam hal wali nikah, yang

berhak menjadi wali nikah bagi anak perempuan yang lahir di luar perkawinan

adalah wali hakim. Demikian pula dalam permasalahan warisan, menurut Syamsul

Anwar dan Isak Munawar, permasalahan ini dikecualikan dalam Putusan tersebut.

Berbeda dengan pendapat Syamsul Anwar dan Isak Munawar di atas, Akil

Mochtar, Juru Bicara Mahkamah Konstitusi menyatakan, Putusan ini tidak hanya

mengakui status hukum anak yang dilahirkan, namun juga terkait dengan

implikasi hukum yang lain, yaitu kewarisan. Menurut dia, walaupun konteks

permasalahan waris tidak disertakan dalam permohonan judicial review oleh

Aisyah Mochtar, namun bila sang anak telah memiliki pengakuan hukum secara

legal dan sah oleh bapaknya, maka kewarisan merupakan konsekuensi yang tidak

dapat dipisahkan.16

15 Syamsul Anwar dan Isak Munawar, “Nasab Anak di Luar Perkawinan Paska Putusan

Mahkamah Konstitusi”, h. 31. 16 “MK Sahkan Status Anak di Luar Nikah Resmi”, Harian Rakyat Merdeka, Minggu, 19

Februari 2012.

Page 101: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

97

Pandangan lain yang mengemuka adalah pendapat yang menyatakan

bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi telah memberikan hak yang sejatinya harus

diterima oleh para anak-anak yang selama ini terdiskriminasikan. Putusan ini

menjadi terobosan hukum terhadap peraturan perundangan di Indonesia yang

selama kurang melindungi hak setiap anak di luar perkawinan yang sah.

Sebagaimana dikemukakan oleh salah seorang Komisioner Komisi

Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Apong Herlina, bahwa selama ini akta

kelahiran dapat dikeluarkan oleh pegawai pencatat ketika orang tua anak

menunjukkan surat/bukti pencatatan nikah keduanya. Bila tidak, biasanya pegawai

pencatat tidak akan berani menuliskan nama ayah dari anak tersebut, karena

dipandang tidak sah, kecuali ayahnya tersebut mengakuinya. Secara sosial, hak ini

menimbulkan dampak negatif kepada anak, di antaranya adalah stigmatisasi di

antara masyarakat, bahkan sampai ia dewasa, yang akhirnya menimbulkan

dampak psikologis.17

Dari sini pula, KPAI sangat menyambut baik putusan ini. Sekretaris KPAI

menyatakan, putusan ini memberikan jawaban pada permasalahan akta kelahiran

anak yang lahir di luar nikah, walaupun untuk melakukannya diperlukan

pembuktian melalui tes DNA atau bukti-bukti lainnya. Dengan kata lain, menurut

dia, nama bapak biologis sang anak dapat dicantumkan meski tidak melalui

pernikahan. Selain itu, Putusan ini juga dapat mengatasi permasalahan “anak

haram” yang selama ini sering disematkan kepada anak-anak yang dilahirkan

tanpa dihubungkan dengan nama ayah kandungnya.18

Pendapat lain yang juga mendukung Putusan Mahkamah Konstitusi ini

adalah dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusi RI, Amir Syamsuddin dan dari

Komisi Nasional (Komnas) Perempuan. Menurut dia, Putusan Mahkamah

Konstitusi ini merupakan putusan yang sangat bijaksana. Putusan Mahkamah

Konstitusi ini sangat baik untuk diterapkan agar status anak-anak menjadi jelas

17 “KPAI: 50 Juta Anak Indonesia tidak Memiliki Akta Kelahiran”, Jumat, 24 Februari

2012, diakses dari www.voanews.com. 18 “KPAI: Putusan MK Atasi Masalah Anak di Luar Nikah”, Koran Tempo, 18 Februari

2012.

Page 102: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

98

dan perlindungan hukumnya terjamin. Dalam hal ini, menurut dia, tidak ada lagi

orang tua dengan mudahnya mengingkari kewajiban kepada anaknya.19

Menurut Komnas HAM dalam Siaran Persnya khusus menyambut Putusan

MK ini, Komnas Perempuan menyambut baik putusan tersebut. Komnas

Perempuan berpendapat bahwa Putusan ini meneguhkan pelaksanaan jaminan hak

konstitusional bagi anak, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28B ayat (2)

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan juga UU No.

23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Sebelumnya, Pasal 43 ayat (1) hanya

mengakui hubungan keperdataan anak di luar perkawinan dengan ibunya saja.

Padahal, anak lahir pasti mempunyai ibu dan bapak. Artinya, seharusnya anak

tidak saja memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya, melainkan juga

memiliki hubungan keperdataan dengan bapak/keluarga bapak. Keberadaan

hubungan keperdataan ini mendorong pemenuhan hak-hak anak oleh orang tuanya

yang sesungguhnya memikul tanggung jawab untuk itu, terlepas dari sah tidaknya

perkawinan mereka menurut hukum negara.20

Di samping itu, Komnas Perempuan juga memandang bahwa putusan ini

menegaskan urgensi negara mewajibkan pencatatan perkawinan sebagai bentuk

perlindungan negara kepada pihak-pihak dalam perkawinan. Tidak hanya itu,

keputusan ini mempunyai arti penting bagi pemenuhan hak konstitusional

masyarakat penghayat kepercayaan yang selama ini sulit mendapatkan akta

kelahiran karena perkawinan para penghayat tidak diakui secara hukum dalam

catatan sipil. Sampai saat ini, meski telah ada Undang-Undang No. 23 Tahun

2006 tentang Administrasi Kependudukan, masyarakat penghayat kepercayaan

masih menghadapi hambatan mencatatkan perkawinanannya yang

diselenggarakan menurut kepercayaannya itu. Demikian bagi kelompok minoritas

lain yang terhambat karena identitas kewarganegaraan mereka dan sulit

mendapatkan status perkawinan yang sah.21

19 “Menkum HAM: Putusan MK Soal Status Anak di Luar Nikah Bijaksana”, Detiknews,

Selasa, 21 Februari 2012. Diakses dari www.detiknews.com. 20 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan

Undang-undang Perkawinan, Jakarta: Kencana, Jakarta. 2007 21 “Pernyataan Sikap Komnas Perempuan Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi tentang

Pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan”, 25 February 2012. Diakses dari www.komnasperempuan.or.id .

Page 103: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

99

Pandangan serupa, misalnya disampaikan oleh Irsyad Dhahri S. Suhaeb,

Dosen Hukum Universitas Negeri Makassar, yang dimuat pada Koran Republika

(25 Februari 2012). Menurut Irsyad, harus diakui bahwa putusan Mahkamah

Konstitusi di atas adalah terobosan baru. Putusan ini akan menimbulkan dampak

yang tidak sederhana pada masa mendatang, sebab putusan ini akan memengaruhi

ketentuan-ketentuan hukum lain yang terdapat pada sistem hukum nasional,

seperti Undang-Undang Perkawinan, warisan, perwalian, atau hubungan perdata

lainnya dalam hukum keluarga. 22

Secara kemanusiaan dan perspektif hak asasi manusia, Putusan ini menjadi

acuan yang signifikan bagi terciptanya konsep yang bertujuan keadilan restoratif.

Keadilan ini berupaya mengembalikan situasi dan kondisi korban yang telah

dirusak oleh adanya serangan atau aturan hukum yang dianggap dan telah

merugikan seseorang serta mengganggu perlindungan hak asasi manusianya.

Dengan adanya pengakuan hak anak yag berhubungan dengan ayah biologisnya,

maka salah satu hak asasi anak telah dipulihkan sesuai konsep keadilan restoratif.

Ini berarti pula, menurut Irsyad, bahwa seorang anak yang lahir sebagai akibat

interaksi seorang wanita dan seorang lelaki, untuk mendapatkan pengakuan secara

lengkap dari ibu dan ayahnya meski interaksi mereka tersebut tidak melalui

pernikahan yang sah.23

Sementara sebagian hakim yang menerima putusan MK tersebut namun

membatasi penafsiran putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 sebatas terhadap anak

luar kawin hasil perkawinan siri, di antaranya pandangan semacam ini

dinyatakan Hakim PA Jakarta Barat dan PA Tigaraksa Tangerang. Mereka

menyatakan bahwa anak luar nikah harus dibatasi pengertiannya pada anak hasil

perkawinan siri. Sehingga untuk menyatakan adanya hubungan keperdataan

dengan ayahnya sesuai amar putusan MKNo. 46/PUU-VIII/2010, terlebih dahulu

harus dilakukan itsbat nikah. Setelah terjadi itsbat nikah, baru memiliki kekuatan

hukum. Para Hakim tersebut lebih jauh berpendapat jika mau mendapatkan itsbat

nikah atau pengakuan legalitas perkawinan dari pemerintah, setidaknya ada dua

hal yang harus dipenuhi. Pertama, pasangan tersebut pada waktu menikah siri,

22 Irsyad Dahri, Koran Republika tanggal 17 Maret 2014 23 Irsyad Dhahri S Suhaeb, “Dampak Putusan MK”, Opini Koran Republika, 25 Februari

2012.

Page 104: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

100

pernikahannya harus sah dan memenuhi ketentuan agama (ada wali, ada dua

orang saksi, dan ada mempelai pria). Kedua, mempelai tidak terikat dengan

pernikahan yang lain. Ketika dua hal ini sudah terpenuhi, biasanya pengajuan

isbat nikah di Pengadilan Agama, akan dikabulkan.24

Pandangan tersebut sejalan pendapat Mahfud MD, Ketua MK, yang

memutuskan permohonan judicial review Pasal 43 UU Perkawinan. Mahfud MD

menyatakan bahwa yang dimaksud majelis dengan frasa “anak di luar

perkawinan” bukan anak hasil zina, melainkan anak hasil nikah sirri. Hubungan

perdata yang diberikan kepada anak di luar perkawinan tidak tentangan dengan

nasab, waris, dan wali nikah. Hak yang dapat dituntut anak di luar perkawinan

yang tidak diatur fikih, antara lain, berupa hak menuntut pembiayaan pendidikan

atau hak menuntut ganti rugi karena perbuatan melawan hukum yang merugikan

orang lain seperti yang diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata atau hak untuk

menuntut karena ingkar janji. Intinya adalah hak-hak perdata selain hak nasab,

hak waris, wali nikah, atau hak perdata apa pun yang tidak terkait dengan prinsip-

prinsip munakahat sesuai fikih. 25

Penafsiran ini wajar bila karena memang mayoritas Fikih menolak

penetapan hubungan keperdataan semata-mata karena hubungan seksual semata.

Belum lagi bila dikaitkan dengan anak lian, anak sumbang26, anak hasil hasil

perkosaan. Tentu ini akan menimbulkan problem status hubungan keperdataan

yang dimaksud putusan MK adalah hubungan keperdataan secara mutlak seperti

nasab, perwalian, dan kewarisan. Dalam kasus anak sumbang hasil hubungan

incest akan menimbulkan problem yang rumit dalam hal nasab dan perwaliannya.

Bila seorang ayah menghamili anak kandungnya maka kedudukan hukumnya

menjadi membingungkan, lebih-lebih bila dikaitkan dengan aturan-aturan Fikih.

B. Argumentasi Hukum

Argumentasi yang dikemukakan Hakim PTA Jakarta dimana ia menerima

secara mutlak putusan MK tentang status anak luar kawin adalah subtansi HAM.

Logika yang diambil adalah seorang bayi lahir adalah akibat perbuatan ibu dan

24 Wawancara dengan Sonhaji, hakim PA Jakarta Barat , tanggal 15 Oktober 2014, pukul 15.00 dan Wawancara dengan hakim PA Tigaraksa, tanggal 11 Nopember 2014, pukul 11.00..

25 Buah Simalakama Putusan MK dalam Harian Surat Kabar Jawa Pos, Rabu, 28 Maret 2012

26 Anak hasil hubungan di mana hasil ada halangan untuk perkawinan seperti incest, dll.

Page 105: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

101

bapaknya. Walaupun perbuatan kedua orang tua ini salah,itu diluar kehendaknya.

Oleh karenanya hak-hak yang melekat padanya sebagai manusia harus dilindungi,

termasuk masalah keperdataan, pendidikan, untuk tumbuh normal, perlakuan yang

wajar tanpa diskriminasi status, dan sebagainya. Jadi, menurut Hakim PTA

Jakarta, terkait perundang-undangan lain yang tidak sesuai dengan putusan MK

No. 46/PUU-VIII/2010, misalnya UU Perkawinan tahun 1974, UU Perlindungan

Anak, dan undang-undang lain yang terkait dengan hak dan perdata anak, harus

dirubah. Sebab peraturan perundang-undangan itu bertentangan dengan hak-hak

asasi manusia atau bertentangan dengan hak-hak dharuri (primer) anak. Dalam

Islam, undang-undang apapun atau keputusan apapun yang dibuat manusia, ketika

putusan atau undang-undang itu bertentangan dengan hak dlaruri dan

kemaslahatan anak, harus dihapuskan. Padahal salah satu prinsip mashlahat yang

menjadi inti dari maqashidal-syari’ah adalah hifdzal-nafs.Hifdz al-nafs adalah

sesuatu yang sangat dharuri bagi si anak, kemudian akal dikembangkan dengan

cara dididik, dan hak hidupnya dipenuhi dengan memberikan kebutuhan ekonomi

(hak perdata) yang memadai.27

Argumentasi lain yang dikemukakan Edy Riadi adalah fatwa Yusuf

Qardlawi yang menyatakan, “Pencatatan dalam perkawinan adalah untuk

kelengkapan administratif sajadan tidak boleh mengalahkan atau menghilangkan

hukum substantif”. Pernyataan Yusuf Qaradlawi ini sesuai dengan teori hukum

konvensional (umum), bahwa di sana ada hak subjektif dan hak objektif. Hak

subjektif adalah hak tertinggi, misalnyahak anak lahirdan hak hidupuntuk

diberlakukan secara wajar, hak mendapatkan pendidikan, dan sebagainya. Kawin

itu hak subjektif sementara pencatatannya adalah hak objektif. Kadang-kadang

perlakuan kita tidak proporsional. Kita hanya memberikan jaminan perlindungan

karena perkawinannya dicatat. Sementara seseorang yang kawin sirri

dipersepsikan tidak perlu dilindungi, karena dianggap bertentangan dengan

ketentuan undang-undang Perkawinan No.1 tahun 1974. Lebih lanjut Edy Riadi

mengatakan, “Jika merujuk pada pandangan hukum semacam ini, mestinya harus

dipahami bahwa kawin sirri dilakukan untuk melindungi hak-haknya yang

tertinggi, yaitu kawin. Sedangkan pencatatan adalah hak untuk melindungi hak

27 Wawancara dengan Edi Riadi, hakim PTA sekaligus Wakil Ketua PTA Jakarta. tanggal 17 September 2014

Page 106: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

102

subjektif. Oleh karena itu, kalau hak subjektif sudah terlindungi dan seseorang

menginginkan surat kawin untuk perlindungannya, keinginannya harus

diakomodir”28.

Oleh karena itu, Edy Riadi berbeda mainstream dengan umumnya hakim

lain, dimana dalam membaca dan memahami Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan

tahun 1974 berangkai dengan ayat (1). Lebih detail, Edi Riadi menjelaskan:

“……Ayat (1) itu adalah hak subjektif, sedang ayat (2) adalah hak objektif. Jadi sangat berbeda antara hukum objektif dan hukum subjektif. Di luar negari, misalnya Amerika, seseorang yang kawin tanpa dicatatpun tidak masalah dan tidak dipersoalkan. Kita di Indonesia, terkadang menggebu-gebu dan bahkan terlalu semangat untuk memidanakan pelaku perkawinan yang tidak tercatat. Padahal, pencatatan inikan hak perdata manusia, kenapa harus dipenjarakan? Kecuali orang itu jelas-jelas melakukan pelanggaran. Dalam konteks ini, dia telah melakukan pelanggaran administratif Negara. Ini jelas perlakuan yang salah dan berlebihan. Termasuk, terkait putusan kasus Pengadilan Agama Jakarta Selatan, yaitu Pasal 2 ayat (2). Pasal 2 ayat (2) ini berangkai dengan ayat (1).Keduanya sangat berkaitan, sehingga tidak bisa dipisahkan”29.

Dalam pandangan Edy Riadi, anak harus dilindungi karena tidak ada

konsep anak haram dalam fikih (Islam). Umat Islam harus melihat keadaan sosial

masyarakat dan isu tradisi yang berkembang saat ini sebelum melakukan ijtihad

atau memutuskan sebuah hukum.Bahkan seandainya beliau (Edy Riadi) menjadi

majelis yang mengadili perkara sejenis gugatan Machiha, Edy Riadiakan

mengabulkan putusan tersebut30.

Sedangkan argumentasi yang disampaikan Hakim PA Jakarta Timur

hampir sama dengan pandangan PTA Jakarta, Edi Riadi. Ia berpandangan

ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-undang Perkawinan No.1 tahun 1974

adalah suatu yang terpisah. Hakim PA Jakarta Timur lebih jauh mengatakan,

sebagai berikut:

”Ya pada awalnya ayat (1) dan (2) itu kan digabungkan. Tetapi karena adanya keberatan dari ulama dan pemuka agama, akhirnya dipisahkan jadi

28Wawancara dengan Edi Riadi, hakim PTA sekaligus Wakil Ketua PTA Jakarta. tanggal

17 September 2014 29Wawancara dengan Edi Riadi, hakim PTA sekaligus Wakil Ketua PTA Jakarta. tanggal

17 September 2014 30Wawancara dengan Edi Riadi, hakim PTA sekaligus Wakil Ketua PTA Jakarta. tanggal

17 September 2014

Page 107: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

103

dua pasal pada proses perkawinan yang sesuai dengan agama tadi itu. Pencatatan tidak mempengaruhi keabsahan suatu perkawinan. Pencatatan perkawinan sifatnya hanya administratif dan pendataan saja…” 31.

Di dunia akademik memang ada perdebatan tentang ketentuan pasal 2 ayat

2 UU Perkawinan tahun 1974. Apakah pencatatan perkawinan berkonsekwensi

terhadap keabasahan perkawinan? Dalam konteks ini ada dua pandangan.

Pertama, sebagian berpendapat,“Keabsahan perkawinan itu sudah dijelaskan

dalam ayat 1, maka kewajiban pencatatan tidak mengikat terhadap sahnya

perkawinan”. Namun menurut pendapat lain bahwa karena perkawinan itu

meruapakan suatu perbuatan hukum, maka pencatatan adalah persyaratan

tambahan yang mengikat terhadap keabsahan suatu perkawinan dimana hukum

akan menganggap bahwa perkawinan itu ada jika telah dicatat di kantor

pencatatan perkawinan, baik Kantor Catatan Sipil (KCS) atau Kantor Urusan

Agama (KUA)32. Kedua,anak yang dilahirkan dari perkawinan sirri adalah anak di

luar perkawinan yang secara hukum tidak diakui. Pandangan ini nampaknya yang

lebih banyak diterapkan, meskipun menurut konsepsi agama bertentangan dengan

ketentuan Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan tahun 1974 yang

menyatakan,“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-

masing agamanya dan kepercayaannya itu”33.

Majelis Hakim Konstitusi dalam putusannya menafsirkan pasal 2 ayat (2)

sebagai suatu kewajiban administratif yang tidak mengikat terhadap

keabsahan perkawinan, dimana setiap warga negara yang melakukan tindakan

hukum yang dianggap akan menimbulkan akibat hukum, bagi para pihak wajib

mencatatkan dalam daftar yang telah disediakan negara untuk itu. Perkawinan

merupakan suatu tindakan hukum yang bersifat privat, namun memiliki dampak

yang luas bagi kehidupan manusia. Karena perkawinanakan melahirkan

konseksensi hukum yang lain, misalnya: hak dan kewajiban bagi pasangan suami

isteri, hak dan kewajiban terkait harta, hubungan hukum keluarga, kedudukan

anak, hukum perwalian, dan banyak lagi yang akan timbul dari sebuah

perkawinan. Negera sebagai lembaga hukum publik memiliki kewenangan untuk

31 Wawancara dengan Edi Riadi hakim PTA Jakarta. tanggal 17 September 2014 32D.Y. Witanto, Hukum Keluarga: Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca Keluarnya

Putusan MK tentang Uji Materi UU Perkawinan, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2012), h. 224. 33D.Y. Witanto, Hukum Keluarga: Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin…, h. 225.

Page 108: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

104

mengatur tata kehidupan para warganya, termasuk menentukan pencatatan

perkawinan demi tujuan untukmenciptakan ketertiban dan keteraturan dalam

kehidupan berbangsa dan bernegara.

Majelis Hakim Konstitusi selanjutnya memberikan pendapat tentang

fungsi dan kewajiban pencatatan perkawinan sebagai berikut:

….Makna pentingnya kewajiban administratif berupa pencatatan

perkawinan tersebut, menurut Mahkamah Konstitusi dapat dilihat dari dua

perpsektif sebagai berikut:

Pertama, pencatatan (perkawinan) memberikan jaminan perlindungan,

pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia yang bersangkutan yang

merupakan tanggungjawab Negara, dan harus dilakukan sesuai dengan prinsip

negara hukum yang demokratis yang diatur serta dituangkan dalam peraturan

perundang-undangan [vide pasal 28 I ayat (4) dan ayat (5) UUD 1945]. Sekiranya

pencatatan dimaksudkan sebagai pembatasan, pencatatan demikian menurut

Mahkamah Konstitusi tidak bertentangan dengan ketentuan konstitusional karena

pembatasan ditetapkan undang-undang semata-mata dengan tujuan menjamin

pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk

memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai

agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis

[vide Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945].

Kedua, pencatatan secara administratif yang dilakukan negara

dimaksudkan agar perkawinan sebgai perbuatan hukum penting yang dilakukan

oleh yang bersangkutan, yang berimplikasi terjadinya akibat hukum yang sangat

luas,di kemudian hari dapat dibuktikan dengan bukti yang sempurnadan dengan

suatu akta otentik,sehingga perlindungan dan pelayanan negara terkait dengan

hak-hak yang timbul dari suatu perkawinan yang bersangkutan dapat

terselenggara secara efektif dan efisien. Artinya,dengan dimilikinya bukti otentik

perkawinan, hak-hak yang timbul sebagai akibat perkawinan dapat terlindungi dan

terlayani dengan baik,karena tidak diperlukan proses pembuktian yang memakan

waktu, uang, tenaga, dan pikiran yang lebih banyak,seperti pembuktian mengenai

asal usul anak dalam pasal 55 UU 1/1974 yang mengatur bahwa apabila asal usul

anak tidak dapat dibuktikan dengan akta otentik maka mengenai hal itu akan di

Page 109: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

105

tetapkan dengan putusan pengadilan yang berwenang.Pembuktian yang demikan

pasti tidak lebih efektif dan efisien apabila dibandingkan dengan adanya akta

otentik sebagai buktinya.

Terdapat beberapa fungsi dan kewajiban pendaftaran perkawinan

sebagaimana diatur dalam pasal 2 yat (2) UU Perkawinan antara lain:

Pertama, pendaftaran merupakan fungsi negara dalam melakukan

perlindungan bagi warganya agar terjadi kepastian hukum bagi pihak yang terlibat

di kemudian hari apabila perkawinan tersebut dipersoalkan pihak ketiga. Kedua,

kewajiban pencatatan juga akan bermanfaat jika di kemudian hari timbul

persoalan tentang hak waris,harta bersama atau hak-hak lainnya sebagai akibat

dari hubungan hukum yang dibuat dengan pihak lain.

Ketiga, pencatatan perkawinan dibuat dalam bentuk akta otentik yang

memiliki kekuatan pembuktian sempurna,sehingga peristiwa yang dianggap

penting dalam sejarah kehidupan manusia dapat terdokumentasi secara baik dan

tertib 34 .Di sisi lain, kewajiban pencatatan perkawinan terkesan sebagai upaya

intervensi negara terhadap kepentingan privat, karena dalam beberapa hal proses

perkawinan lebih mengandung dimensi keagamaan dibanding dimensi legal,

walaupun pendirian seperti ini tidak sepenuhnya benar35.

Pendapat Hakim Konstitusi Maria Farida Indarti yang menyatakan,

berbeda sudut pandang (dissenting opinion) menyangkut fungsi pencatatan

perkawinan sebenarnya tidak menunjukkan perbedaan dengan delapan hakim

lainnya menyangkut hak dan kepentingan anak yang lahir dari perkawinan yang

tidak dicatat. Beliau berpendapat tentang esensi kewajiban pencatatan dalam Pasal

2 ayat (2) UU Perkawinan tahun 1974 dengan uraian sebagai berikut:

“Pencatatan perkawinan diperlukan sebagai perlindungan negara kepada

pihak-pihak dalam perkawinan, dan juga untuk menghindari kecenderungan dari

inkonsistensi penerapan ajaran agama dan kepercayaan secara sempurna (utuh)

pada perkawinan yang dilangsungkan menurut agama dan kepercayaan tersebut.

Dengan kata lain, pencatatan perkawinan diperlukan untuk menghindari

penerapan hukum keagamaan dan kepercayaannya secara sepotong-sepotong

untuk melegitimasi perkawinan, sementara kehidupan rumah tangga pasca

34D.Y. Witanto, Hukum Keluarga: Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin…, h. 226-227. 35D.Y. Witanto, Hukum Keluarga: Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin…, h. 226-227.

Page 110: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

106

perkawinan tidak sesuai dengan tujuan perkawinan dimaksud. Adanya

penelantaran isteri dan anak, kekerasan dalam rumah tangga, fenomena kawin

kontrak, isteri simpanan, wanita idaman lain, dan problem lain menunjukan

inkonsistensi penerapan tujuan perkawinan secara utuh.

Esensi pencatatan, selain demi tertib administrasi adalah untuk melindungi

wanita dan anak-anak. Syarat pencatatan perkawinan dimaksud dapat diletakkan

setidaknya dalam dua konteks utama, yaitu (i) mencegah dan (ii) melindungi,

wanita dan anak-anak dari perkawinan yang dilaksanakan secara tidak

bertanggungjawab. Pencatatan sebagai upaya perlindungan terhadap wanita dan

anak-anak dari penyalahgunaan perkawinan, dapat dilakukan dengan menetapkan

syarat agar rencana perkawinan yang potensial menimbulkan kerugian dapat

dihindari dan ditolak.Undang-undang merumuskan tentang ketentuan keabsahan

perkawinan dengan kewajiban pencatatan secara terpisah.

Sejalan dengan itu, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pencatatan

perkawinan bukanlah merupakan faktor yang menentukan sahnya perkawinan,

sehingga keabsahan perkawinan tetap menjadi domain hukum agama dan

kepercayaan dari para calon mempelai, sedangkan negara tidak turut campur

dalam persoalan sah dan tidaknya perkawinan.

Konsep keabsahan perkawinan sebagaimana diatur dalam pasal 2 ayat (1)

UU Perkawinan sesungguhnya merupakan suatu implementasi dari perlindungan

negara terhadap pluralisme agama yang dianut masyarakat Indonesia sehingga

negara tidak dapat memaksakan suatu ketentuan tentang sahnya perkawinan

berdasarkan ukuran dari agama tertentu.Karena hal itu bertentangan dengan pasal

29 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap

penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut

agamanya dan kepercayaannya itu”.

Menyangkut kewajiban pencatatan sebagimana diatur dalam Pasal 2 ayat

(2) UU Perkawinan tahun 1974, Hakim Konstitusi Maria Farida Indarti memiliki

pendapat berdasarkan sudut pandang yang agak berbeda sebagaimana

dikemukakan dalam uraian concurring opinionnya sebagai berikut:

“Keberadaan Pasal 2 ayat (2) UU No 1/1974 menimbulkan ambiguitas

bagi pemaknaan Pasal 2 ayat (1) UU 1/1974 karena pencatatan yang dimaksud

Page 111: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

107

oleh Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang a quo tidak ditegaskan apakah sekedar

pencatatan secara administratif yang tidak berpengaruh sah atau tidaknya

perkawinan yang telah dilangsungkan menurut agama atau kepercayaannya

masing-masing, ataukah pencatatan tersebut berpengaruh terhadap sah atau

tidaknya perkawinan yang dilakukan?”.

Keberadaan norma agama dan norma hukum dalam satu peraturan

perundang-undangan yang sama, memiliki potensi untuk saling melemahkan

bahkan bertentangan. Dalam perkara ini, potensi saling meniadakan terjadi antara

Pasal 2 ayat (1) dengan Pasal 2 ayat (2) UU No. 1/1974 . Pada Pasal 2 ayat (1)

yang pada pokoknya menjamin bahwa perkawinan adalah sah jika dilakukan

menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, ternyata

menghalangi dan sebaliknya juga dihalangi oleh keberlakuan pasal 2 ayat (2) yang

pada pokoknya mengatur bahwa perkawinan akan sah dan memiliki kekuatan

hukum jika telah dicatat oleh instansi berwenang atau pegawai pencatat nikah.

Jika Pasal 2 ayat (2) UU No. 1/1974 dimaknai sebagai pencatatan administratif

yang tidak berpengaruh terhadap sah atau tidak sahnya suatu pernikahan, hal

tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945 karena tidak terjadi penambahan

terhadap syarat perkawinan. Sejalan dengan itu, kata “perkawinan” dalam Pasal

43 ayat (1) undang-undang a quo juga akan dimaknai sebagai perkawinan yang

sah secara Islam atau perkawinan menurut rukun nikah yang lima.

Hakim Konstitusi Maria Farida Indarti berpendapat bahwa antara norma

hukum dan norma agama yang terkandung dalam Pasal 2 ayat (1) dengan

ketentuan Pasal 2 ayat (2) memiliki kecenderungan untuk saling melemahkan

antara satu dengan yang lain. Hal ini disebabkan karena undang-undang sendiri

tidak memberikan penjelasan yang cukup menyangkut hubungan kedua aturan

tersebut. Persoalan tentang apakah keabsahan perkawinan dalam Pasal 2 ayat (1)

tersebut juga mengandung pengertian sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat

(2) ataukah keduanya tidak saling terpaut menyangkut keabsahan suatu

perkawinan? Selanjutnya menurut beliau bahwa kepentingan negara dalam

memberikan syarat-syarat tertentu dalam perkawinan ditujukan sebagai upaya

memberikan kepastian pada norma agama yang menjadi acuan dalam keabsahan

perkawinan sebagaimana disebutkan dalam pembahasan di muka. Dengan

Page 112: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

108

demikian, ketika hukum negara menerobos ruang lingkup pelaksanaan

perkawinan, sesungguhnya bertujuan untuk menjamin penerapan norma-norma

agama secara konsisten oleh para pihak yang melangsungkan perkawinan,

sehingga tidak sekedar ditujukan untuk memudahkan perkawinan yang

sebenarnya dilarang agama yang berlaku. Landasan argumentasi yang digunakan

Maria Farida Indarti adalah fungsi sinkronisasi antara norma agama dengan norma

hukum dalam proses perkawinan.

Namun karena putusan MK tidak membatalkan ketentuan pencatatan

perkawinan sesuai pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan, maka putusan MK ini menjadi

sangat abstrak. Argumentasi hanya akan bisa digunakan dalam konteks

perkawinan siri sebagaimana dipahami sebagian hakim agama di atas serta

klarifikasi yang disampaikan Mahfud MD, sehingga Putusan Mahkamah

Konstitusi (MK) Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012, ~ In

abstracto, yaitu bersifat abstrak, yang Inkonkrito adalah putusan Pengadilan.

Di samping itu, argumentasi pokok lain pandangan yang bertumpu kepada

hak asasi anak, dapat didalami dari dalam pertimbangan Majleis Hakim MK

“….hukum harus memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap

status seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk

terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih

dipersengkatakan.” Pendapat Mahkamah Konstistusi dalam pertimbangan di atas

cukup memberikan makna yang signifikan bagi masa depan anak-anak yang

dilahirkan di luar perkawinan. Karena pokok pikiran dan uraian pertimbangan

tersebut menyiratkan maksud bahwa antara status dan kedudukan anak dipisahkan

dari segala tindakan dan perbuatan orangtuanya. Artinya negara tetap harus

melindungi hak asasi yang melekat pada anak, meskipun keabsahan perkawinan

kedua orang tuanya diperselisihkan.

Substansi putusan MK semata-mata melihat persoalan tersebut dalam

konteks perlindungan terhadap anak sesuai ketentuan Pasal 28 B ayat (2) dan

Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 serta UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia. Pasal 28 B ayat (2) berbunyi, ”Setiap anak berhak atas kelangsungan

hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan

dan diskriminasi.” Sedangkan pasal 28 D ayat (1) berbunyi, “Setiap orang berhak

Page 113: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

109

atas pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta

perlakuan yang sama di hadapan hukum.”

Sedangkan menurut ketentuan Pasal 1 angka (3) UU Nomor 39 tentang

Hak Asasi Manusia bahwa yang dimaksud “diskriminasi” adalah:

Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tidak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya. Selanjutnya dalam bagian kesepuluh Undang-undang tersebut dijelaskan

tentang hak-hak anak baik sebagai manusia atau warganegara sebagai berikut:

Pasal 52 (1) Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat,

dan negara. (2) Hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak itu

diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan.

Pasal 53 (1) Setiap anak sejak dalam kandungan, berhak untuk hidup, mempertahankan

hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya. (2) Setiap anak sejak kelahirannya, berhak atas suatu nama dan status

kewarganegaraan. Pasal 54 Setiap anak yang cacat fisik dan atau mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya negara, untuk menjamin kehidupannya sesuai dengan martabat kemanusiaan, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pasal 55 Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya di bawah bimbingan orang tua dan atau wali. Pasal 56

(1) Setiap anak berhak untuk mengetahui siapa orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.

(2) Dalam hal orang tua anak tidak mampu membesarkan dan memelihara anaknya dengan baik dan sesuai dengan Undang-undang ini, maka anak

Page 114: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

110

tersebut boleh diasuh atau diangkat sebagai anak oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 57

(1) Setiap anak berhak untuk dibesarkan, dipelihara, dirawat, dididik, diarahkan, dan dibimbing kehidupannya oleh orang tua atau walinya sampai dewasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Setiap anak berhak untuk mendapatkan orang tua angkat atau wali berdasarkan putusan pengadilan apabila kedua orang tua telah meninggal dunia atau karena suatu sebab yang sah tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai orang tua.

(3) Orang tua angkat atau wali sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus menjalankan kewajiban sebagai orang tua yang sesungguhnya.

Pasal 58

(1) Setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual selama dalam pengasuhan orang tua atau walinya, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak tersebut.

(2) Dalam hal orang tua, wali, atau pengasuh anak melakukan segala bentuk penganiayaan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual termasuk pemerkosaan, dan atau pembunuhan terhadap anak yang seharusnya dilindungi, maka harus dikenakan pemberatan hukuman.

Pasal 59

(1) Setiap anak berhak untuk tidak dipisahkan dari orang tuanya secara bertentangan dengan kehendak anak sendiri, kecuali jika ada alasan dan aturan hukum yang sah yang menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak.

(2) Dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), hak anak untuk tetap bertemu langsung dan berhubungan pribadi secara tetap dengan orang tuanya tetap dijamin Undang-undang.

Pasal 60

(1) Setiap anak berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya.

(2) Setiap anak berhak mencari, menerima, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya demi pengembangan dirinya sepanjang sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.

Pasal 61

Setiap anak berhak untuk beristirahat, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan dirinya.

Page 115: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

111

Pasal 62

Setiap anak berhak untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial secara layak, sesuai dengan kebutuhan fisik dan mental spiritualnya. Pasal 63 Setiap anak berhak untuk tidak dilibatkan di dalam peristiwa peperangan, sengketa bersenjata, kerusuhan sosial, dan peristiwa lain yang mengandung unsur kekerasan. Pasal 64 Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi ekonomi dan setiap pekerjaan yang membahayakan dirinya, sehingga dapat mengganggu pendidikan, kesehatan fisik, moral, kehidupan sosial, dan mental spiritualnya.

Pasal 65 Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak, serta dari berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya. Pasal 66

(1) Setiap anak berhak untuk tidak dijadikan sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.

(2) Hukuman mati atau hukuman seumur hidup tidak dapat dijatuhkan untuk pelaku tindak pidana yang masih anak.

(3) Setiap anak berhak untuk tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum.

(4) Penangkapan, penahanan, atau pidana penjara anak hanya boleh dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir.

(5) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan dengan memperhatikan kebutuhan pengembangan pribadi sesuai dengan usianya dan harus dipisahkan dari orang dewasa, kecuali demi kepentingannya.

(6) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku.

(7) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk membela diri dan memperoleh keadilan di depan Pengadilan Anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang yang tertutup untuk umum.

Seluruh Pasal-Pasal yang terkait dengan hak-hak anak dalam UUD dan

UU di atas sama sekali tidak menyebutkan bahwa ketentuan tentang hak-hak anak

sama sekali tidak membedakan antara anak sah atau anak yang dilahirkan di luar

kawin tidak termasuk anak yang dilindungi aturan-aturan di atas. Sehingga apa

Page 116: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

112

yang diputuskan MK terkait dengan Pasal 43 UU Perkawinan tahun 1974

mempertimbangakan ketentuan UUD dan undang-undang terkait.

Pokok persolan Pasal 43 ayat (1) adalah sifat diskriminatif dimana hukum

meniadakan hak-hak keperdataan anak terhadap ayah biologisnya. Hubungan anak

dengan ayah biologisnya tidak semata-mata karena adanya ikatan perkawinan,

tetapi dapat juga didasarkan bukti-bukti hubungan darah dengan ayahnya, baik

dengan ilmu pengetahuan atau bukti-bukti lain. Sifat diskriminatif inilah yang

kemudian dalam pertimbangan MK, ketentuan Pasal 43 ayat (1) bertentangan

dengan Konstitusi Pasal 28 B ayat (2) dan Pasal 28 D ayat (1), serta Pasal 28 C,

Pasal 52 ayat (1) dan Pasal 57 ayat (1).

Berkenaan dengan persoalan di atas, Mahkamah Konstitusi berpendapat

dan memberikan pertimbangan sebagai berikut:

“…..Oleh karena itu, tidak tepat dan tidak adil manakala hukum menetapkan bahwa anak yang lahir dari suatu kehamilan karena hubungan seksual di luar perkawinan hanya memiliki hubungan dengan perempuan tersebut sebagai ibunya.Adalah tidak tepat dan tidak adil pula jika hukum membebaskan laki-laki yang melakukan hubungan seksual yang menyebabkan terjadinya kehamilan dan kelahiran anak tersebut dari tanggung jawabnya sebagai seorang bapak dan bersamaan dengan itu hukum meniadakan hak-hak anak terhadap lelaki tersebut sebagai bapaknya.Lebih-lebih manakalaberdasarkan perkembangan teknologi yang ada memungkinkan dapat dibuktikanbahwa seorang anak itu merupakan anak dari laki-laki tertentu”.

Akibat hukum dari peristiwa hukum kelahiran karena kehamilan, yang

didahului dengan hubungan seksual antara seorang perempuan dengan seorang

laki-laki, adalah hubungan hukum yang di dalamnya terdapat hak (dan kewajiban

secara bertimbal balik, yang subjek hukumnya meliputi anak, ibu, dan bapak.

Berdasarkan uraian di atas, hubungan anak dengan seorang laki-laki

sebagai bapak tidak semata-mata karena adanya ikatan perkawinan, akan tetapi

dapat juga didasarkan pada pembuktian adanya hubungan darah antara anak

dengan laki-laki tersebut sebagai bapak. Dengan demikian, terlepas dari soal

prosedur atau administrasi perkawinannya, anak yang dilahirkan harus

mendapatkan perlindungan hukum.Jika tidak demikian, maka yang dirugikan

adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan, padahal anak tersebut tidak

berdosa karena kelahirannya di luar kehendaknya.Anak yang dilahirkan tanpa

Page 117: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

113

memiliki kejelasan status ayah seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak adil

dan stigmaburuk di tengah-tengah masyarakat. Hukum harus memberi

perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status seorang anak yang

dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang

dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih dipersengketakan.”

Argumentasi nampak semata-semata melihat kepentingan anak yang

mengalami diskriminasi. Namun pada sisi lain sangat sulit dalam hukum Islam

menerima hubungan seksual atau hubungan darah semata sebagai landasan

penetapan hubungan nasab sebagaimana reaksi Fatwa MUI yang menyatakan

bahwa anak hasil zina memiliki hubungan keperdataan dengan ayah biologisnya.

Lebih-lebih dalam hukum perdata mekanisme itu harus ditempuh melalui

pengakuan dari ayah biologisnya.

Jadi wajar meski dalam wawancara dengan hakim agama PA Jakarta

Selatan menerima putusan MK, namun dalam putusannya Majelis Hakim PA

Jakarta Selatan yang memeriksa dan mengadili perkara Machiha Mochtar tentang

pengakuan hubungan hukum anak luar kawin (Muhammad Iqbal Ramadhan)

dengan ayah biologisnya (alm. Moerdiono) pasca putusan MK Nomor 46/PUU-

VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012 dalam putusan Nomor 1241/Pdt.JS pada 17

April 2013 menyatakan dalam amar putusannya bahwa Muhammad Iqbal

Ramadhan adalah anak luar kawin Moerdiono dan Machiha Mochtar.

Pertimbangan Majelis Hakim adalah bahwa Putusan MK Nomor 46/PUU-

VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012 tidak berlaku surut (retroaktif). Menurut

Majelis Hakim, pemberlakuan asas retoraktif akan mengakibatkan kekecauan

hukum dan ketidakpastian hukum bahkan melanggar hak asasi karena perbuatan

yang dahulunya tidak bisa digugat. Hal ini juga akan berdapak luas karena

putusan MK bersifat Erga Omnes, berlaku bagi siapa saja, dan tidak hanya bagi

pihak yang mengajukan permohonan36.

Dalam putusan Majelis Hakim PA Jakarta Selatan, hal pokok yang

menjadi alasan penolakan atas gugatan Machiha Mochtar adalah pemberlakuan

hukum yang tidak berlaku surut (retroaktif), sehingga seluruh gugatan Machiha

tentang hubungan keperdataan anaknya Muhammad Iqbal Ramadhan dengan

36Lihat Putusan PA Jakarta Selatan Nomor 1241/Pdt.JS, h. 51-53.

Page 118: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

114

almarhum Moediono tidak beralasan hukum karena peristiwa perkawinan mereka

dilaksanakan pada 20 Desember 1993. Hakim tidak mempersoalkan keabsahan

perkawinan tersebut secara hukum syara’, namun karena tidak dicatat sesuai

ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan terdapat halangan hukum karena tidak adanya izin

poligami sesuai ketentuan Pasal 3 dan ayat 4 UU Perkawinan tahun 1974. Majelis

hakim juga berpendapat bahwa ketentuan Pasal 2 ayat (1) tidak dapat dipisahkan

dengan Pasal 2 ayat (2), yaitu kewajiban administratif untuk melindungi hak yang

bersangkutan dan akibat-akibat hukumnya, misalnya: hak-hak isteri, hak-hak

anak, dan lain-lain, sehingga dengan dicatatkan suatu perkawinan mempunyai

kekuatan hukum dan dapat dilindungi negara.37Oleh karena itu, Majelis kemudian

menetapkan bahwa Muhammad Iqbal Ramadhan sebagai anak luar kawin

Machiha-Moediono.

Dalam wawancara dengan salah seorang Majelis Hakim PA Jaksel,

peneliti mendapatkan penjelasan bahwa gugatan Machiha ditolak karena akan

menimbulkan dampak negative (mudlarat) yang sangat luas. Pelanggaran hukum

yang dilakukan dalam kasus Machiha sangat banyak, dari perselingkuhan, izin

poligami, pencatatan nikah, dan lainnya, sehingga hakim mempertimbangkan

kemasalahatan publik yang lebih luas dengan menolak gugatannya. Majelis

Hakim PA Jaksel lebih jauh menegaskan:

“Kasus Machica berbeda dengan kasus orang kampung yang bodoh, tidak punya modal, dan sebagainya.Sebenarnya saya banyak mengesahkan kasus dari orang-orang kampung seperti itu.Nah, kalau kasus Machica ini berbeda.Perbedaannya, misalnya, pak Moerdiono tidak memiliki izin dari isteri yang pertama.Selain itu, beliau (almarhum) merupakanpublic figure. Bagaimana pandangan masyarakat luas jika kita mengesahkan pengajuan tersebut? Apa yang beliau lakukan dan kemudian mendapatkan legalitas dari pengadilan, akan menjadi contoh dan panutan masyarakat luas, dan di sinilah problemnya. Hukum bekerja itu harus jeli melihat kasus-perkasus dan jangan disamaratakan. Karena hukum dibuat, salah satu tujuannya adalah untuk melindungi rakyat yang tidak mampu, bahkan rakyat yang lemah, tidak tahu akan ketetapan dan ketentuan hukum-hukum yang ada, ketidakmengertian yang memang apa adanya. Saya pernah mengesahkan pernikahan Bondan Prakoso (penyanyi). Saya sahkan pertimbangannya karena dia bujangan dengan isteri yang juga masih perawan.Namun belum tercatat itu saja. Saya itsbatkan, karena saya lihat kasus ini tidak memiliki implikasi sosial dan mudlarat (dampak negative) yang luas.Ya… kalau bahasa kita, mashlahatnya yang kita lihat.Bahkan kalau tidak kita sahkan,

37Lihat Putusan PA Jakarta Selatan Nomor 1241/Pdt.JS, h. 46.

Page 119: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

115

ini malah berbahaya bagi hak anak yang nantinya lahir dari dia. Berbeda dengan kasus Machica.Machica mudharatnya lebih besar dari pada maslahatnya. Apalagi dia kan public figure, semua masyarakat akan tahu kabar dan kasus tentang dia. Bagaimana reaksi masyarakat nanti kalau hal ini kita sahkan? Dikhawatirkan, nanti banyak masyarakat yang kaya melakukan hal-hal yang seperti ini.Padahal mereka mengerti hukum”38.

Di samping itu, Hakim PA Jakarta Selatan menegaskan bahwa sesuai asas

independensi hakim, hakim dapat melakukan ijtihad dalam menerapkan Undang-

Undang dilihat dari sisi keadilan dan kemashlahatan secara menyeluruh, yang

disebut “kontralegem”. Hakim PA Jakarta Selatan menambahkan:

“Hak hakim untuk memandang, apakah UU dianggap sebagai satu ketentuan yang sangat suci atau sebaliknya.Ketika UU itu tidak memiliki kontribusi, hakim boleh keluar dari UU itu dan membuat kebijakan yang lain dan baru, memformulasi bahasanya, dengan mengkonstruksi hukum tersebut. Tindakan ini yang disebut “contralegem”. Dia tetap menggunakan patokan UU itu, namun ketika UU tersebut tidak memberikan keadilan, hakim boleh merumuskan hukum baru dengan sandaranya adalah UU. Artinya, yurispudensi mengalahkan UU. Dengan demikian, yurisprundensinya naik. Keyakinan masyarakat yang berdasarkan pada common rising, ideal keadilan yang sesungguhnya itu naik melewati UU. Di situlah hakim memutuskan, karena putusan hakim itu kan UU”39.

Machiha sendiri juga pernah mengajukan kasus tersebut ke PA Tigaraksa,

namun gugatan istbat nikahnya ditolak sesuai penetapan Nomor 46/Pdt.P/2008

PA.Tgrs tanggal 18 Juni 2008 karena terdapat halangan hukum yakni tidak

adanya izin isteri pertama40. Dengan demikian, itsbat nikah yang diajukan dalam

amar putusan Majelis Hakim PA Tigaraksa ditolak seluruhnya.

Sedangkan Majelis Hakim PTA Jakarta dalam Putusan Banding dalam

kasus gugatan Machiha di atas juga menolak banding Machiha. Majelis Hakim

Banding PTA Jakarta sepenuhnya menyetujui pertimbangan Majelis Hakim

Tingkat Pertama PA Jakarta Selatan, namun majelis Hakim Banding

menambahkan pertimbangan bahwa ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) adalah

bagian yang tidak terpisahkan, sehingga setiap warga negara wajib mematuhi

keharusan pencatatan sesuai perundang-undangan yang berlaku di Indonesia,

apalagi almarhum Moerdiono seorang pajabat negara yang harus menegakkan

38Wawancara dengan hakim PA Jaksel, tanggal 23 September 2014 39Wawancara dengan hakim PA Jaksel, tanggal 23 September 2013 40Lebih lanjut lihat Penetapan Nomor 46/Pdt.P/2008 PA.Tgrs.

Page 120: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

116

aturan yang berlaku. Di samping itu, Moerdiono juga melanggar ketentuan Pasal 3

tentang keharusan izin poligami yang ditetapkan pengadilan.

Ketentuan Pasal 3 ini adalah ketentuan hukum yang ditetapkan Pemerintah

sesuai kaidah fikih dalam kitab Asybah wa al-Nadhair, yang berbunyi:

تصرف اإلمام على الرعیة منوط بالمصلحة

“Kebijakan pemerintah atas rakyatnya sesuai dengan kemashlahatan”41.

Sementara itu Hakim PA Tigaraksa misalnya menyebut “hak diskresi”

hakim dalam memutuskan perkara tidak secara an sich dalam menerapkan

undang-undang, sehingga bisa saja hakim membuat putusan yang berbeda dengan

putusan MK, meskipundapat menerima bahwa putusan MK bersifat final dan

binding. Dengan demikian,anak di luar kawin,baru akan mendapat hubungan

keperdataan dengan ayah biologisnya setelah perkawinan kedua orangtunya

diitsbatkan Pengadilan. Pola pikir semacam ini karena ketentuan pasal 2 ayat (1)

dan (2) dipahami keduanya tidak terpisahkan. Hakim PA tersebut mengatakan:

“Menurut saya, secara yuridis, sifat dari putusan MK adalah final and binding, tetapi kalau hakim memutus perkara yang hasilnya berbeda, menurut saya sah-sah saja. Karena hakim mempunyai diskresi, punya landasan dan punya alasan yang membuat dia bisa membuat putusan yang sama atau berbeda dengan putusan MK. Berdasarkan Pasal 43 UU perkawinan tahun 1974 dinyatakan, anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan dengan ibunya dan keluarga ibunya. Sedangkan putusan MK No 46 tahun 2010 menyatakan, anak yang dilahirkan di luar perkawinan sepanjang dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan, mempunyai hubungan dengan ayah biologisnya. Menurut saya, secara sosiologis kenyataan di masyarakat banyak bentuk-bentuk pernikahan yang tidak mempunyai surat nikah atau tidak mempunyai buku itsbat nikah atau hanya dilakukan secara agama. Secara aturan kenegaraan berarti dia tidak mengikuti administrasi kenegaraan sehingga anak yang dilahirkan juga bukan anak yang sah menurut hukum positif atau hukum negara. Menurut saya, untuk kasus seperti ini apabila ia mengajukan ke PA dan sudah dibuktikan telah memenuhi syarat dan rukun nikahnya, maka berdasarkan asas personalitasnya PA berdasarkan pasal 7 KHI, bisa mengitsbatkan pernikahan tersebut, sehingga status anaknya juga menjadi anak sah menurut hukum negara. Dan bagi yang tidak melakukan itsbat nikah, menurut saya tetap dianggap sebagai anak luar kawin dan hubungan keperdataannya hanya kepada ibunya42.

41Lihat Putusan PTA Jakarta Nomor: 75/Pdt.G/2013/PTA.JK., h. 4-6. 42Wawancara dengan hakim PA Tigaraksa, tanggal 11 November 2014

Page 121: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

117

Di pihak lain yang menyetujui putusan MK, Eka Sihombing bahwa

kekhawatiran pihak yang kontra dengan putusan MK tidak beralasan karena

putusan tersebut justru memberikan pesan moral kepada laki-laki untuk tidak

sembarangan melakukan hubungan seksual di luar perkawinan karena ada

implikasi hukum yang harus dipertanggungjawabkan. Mahkamah Konstitusi

bermaksud agar perlindungan anak luar kawin mendapatkan jaminan karena pada

prinsipnya anak tersebut tidak berdosa dan kelahiran tersebut di luar kehendaknya.

Selain itu, anak yang terlahir dalam kondisi tidak memilki status ayah, seringkali

mendapatkan stigma buruk dan perlakuan yang tidak adil di tengah

masyarakat.Hukum harus memberikan perlindungan dan kepastian yang adil

terhadapnya43.

Di samping itu, Nurul Irfan, sebagai saksi ahli di MK berpendapat, “Jika

dilihat dari kaca mata Islam, maka putusan tersebut merupakan bentuk ijtihad

MK, meski tidak menganut mazhab fikih manapun, namun jika dipaksakan maka

putusan tersebut mendekati pandangan mazhab Hanafi, dimana selama ayahnya

mengakui maka hak-hak anak dapat diberikan. Pemberian hak tersebut dalam

konteks fikih dapat berupa sedekah, hibah, dan lain-lain, meskipun tidak disebut

waris atau sejenisnya44.

Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) sendiri yang masih

berlaku hingga sekarang, menentukan bahwa anak yang dilahirkan dari

seorang wanita tanpa adanya perkawinan ibunya dianggap tidak mempunyai

ayah maupun ibu.

Berdasarkan Pasal 221 ayat (1) KUHPerdata, yang berbunyi sebagai

berikut: seorang anak tidak sah mempunyai status sebagai anak wajar dari pada

ibunya. Ia memperoleh status sebagai anak wajar dengan adanya pengakuan oleh

ayahnya. Pasal 221 ayat (2) KUHPerdata, yang berbunyi : yang dimaksud dengan

ayah seorang anak wajar, ia yang mengakui anak tersebut, dan Pasal 222 KUH

Perdata yang berbunyi : seorang anak tidak sah, mempunyai hubungan

hukum kekeluargaan dengan ibunya sejak saat kelahiran anaknya, dan

dengan ayahnya pada saat dilakukannya pengakuan.

43D.Y. Witanto, Hukum Keluarga: Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin…, h.260. 44D.Y. Witanto, Hukum Keluarga: Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin…, h. 260 dan

274.

Page 122: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

118

Dalam KUH Perdata sendiri, anak luar kawin hanya akan memilki

hubungan perdata dengan ayah biologisnya jika si ayah mengakuinya. Pasal 280

KUH Perdata menyebutkan bahwa dengan pengakuan terhadap anak luar kawin,

terciptalah hubungan keperdataan antara si anak dengan bapak dan ibu

biologisnya. Pengakuan anak luar kawin tersebut dapat dilakukan dengan suatu

akta otentik apabila belum dilakukan dalam suatu akta kelahiran.

Pengakuan tersebut juga dapat dilakukan dengan akta yang dibuat oleh

Pegawai Catatan Sipil dan didaftarkan dalam daftar kelahiran menurut hari

penandatanganan pengakuan.Pengakuan itu harus dicantumkan di margin akta

kelahiran jika akta kelahiran itu ada.Namun apabila pengakuan itu dilakukan

dengan akta otentik lain, tiap-tiap orang berkepentingan atau berhak meminta agar

hal itu dicantumkan di margin akta kelahirannya.

Prinsip pengakuan anak luar kawin yang dianut KUH Perdata ini bersifat

mutlak karena seorang anak yang lahir di luar perkawinan berdasarkan prinsip

hukum Barat tidak memiliki hubungan perdata dengan ayah dan ibunya.Hal ini

berbeda dengan prinsip Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974 dan

Kompilasi Hukum Islam bahwa anak luar kawin otomatis memiliki hubungan

perdata dengan ibunya.

Adapun prosedur pencatatan pengakuan anak luar kawin berdasarkan Pasal

49 UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administasi Kependudukan antara lain

sebagai berikut:

1. Pengakuan anak wajib dilaporkan orangtua kepada instansi pelaksana paling

lambat 30 (hari) sejak tanggal Surat Pengakuan Anak oleh ayah dan

disetujui ibu dari anak yang bersangkutan.

2. Kewajiban melaporkan sebagaiman dimaksud ayat (1) dikecualikan bagi

orang tua yang agamanya tidak membenarkan pengakuan anak di luar

hubungan perkawinan yang sah.

3. Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pejabat

Pencatatan Sipil mencatat Register Akta Pengakuan Anak dan menerbitkan

Kutipan Akta Pengakuan Anak.

Namun demikian, bagi umat Islam yang tidak menundukkan diri kepada

KUH Perdata tentu menjadi problem ketika mekanisme hukum pasca Putusan MK

Page 123: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

119

tidak tersedia. Di sinilah kendati menerima putusan MK, hakim-hakim agama

akan melakukan penafsiran baik terkait cakupan pengertain “anak luar kawin”

apakah anak hasil zina, anak hasil incest (anak sumbang) termasuk atau tidak; atau

terkait “hak keperdataan” yang dimaksud oleh putusan MK. Apakah hak

pemeliharaan saja, atau mencakup hak perwalian, waris, dll.

Berdasarkan putusan tersebut terdapat implikasi yang meliputi penjaminan

hak-hak anak di luar nikah baik dari segi hukum positif Indonesia maupun hukum

Islam, dan hukum progresif.

Putusan Mahkmah Konstitusi ini berdampak pada administrasi

kependudukan anak di luar nikah tersebut. Di Indonesia, administrasi

kependudukan diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang

administrasi kependudukan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006

Nomor 124 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia). Dengan

adanya putusan Mahkamah Konstitusi ini maka ayah anak di luar nikah selama si

anak dapat membuktikan dengan ilmu pengetahuan atau secara biologis maka

akan masuk ke dalam administrasi kependudukan yang berarti ayah si anak di luar

nikah akan tercatat didalam akta kelahiran dan identitas dari anak diluar nikah

tersebut. Adanya pencatatan sipil ini dapat menjamin kepastian hukum bagi si

anak sehingga keadilan bagi si anak untuk mendapatkan hak-hak sebagai anak

dapat diakui.45

45 Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/Puu-Vii/2010 Mengenai

Pengakuan Secara Hukum Hubungan Perdata Terhadap Anak Diluar Perkawinan Berdasarkan Perspektif Hukum Progresif http://www.tempo.co/read/news/2007/05/02/05599229/Surabaya-Hapus-8220Anak-Haram8221-di-Akta-Kelahiran, diakses pada tanggal 8 Februari 2013

Page 124: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

121

BAB V

PANDANGAN DAN ARGUMEN PENOLAKAN HAKIM

AGAMA TERHADAP PUTUSAN MK NO 46/PUU-VI/2010

A. Pandangan Hakim Agama Terhadap Putusan MK

Dalam Amar putusan NO 46/PUU-VI/2010 Mahkamah Konstitusi

Republik Indonesia memutuskan membatalkan Pasal 43 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di

luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan

keluarga ibunya”,1 dengan alasan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dimaknai menghilangkan

hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu

pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata

mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya. Berdasarkan putusan MK ini

maka pasal 43 UU No 1 tahun 1974 hendaknya berbunyi; “Anak yang

dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya

dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat

dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti

lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata

dengan keluarga ayahnya”;

Putusan Mahkamah Konstitusi ini menimbulkan berbagai pandangan

yang beragam dari para Hakim Agama dalam memutuskan status anak di luar

perkawinan. Karena dengan keluarnya putusan ini akan memunculkan

penafsiran yang beragam mengenai definisi luar perkawinan dalam norma

hukum di Indonesia. Demikian pula akan menimbulkan perdebatan mengenai

status nasab, perwalian, nafkah, waris maupun hak-hak keperdataan lainnya.

1 Soebekti dan Tjitrosoedibio, Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,

Jakarta: Pradnya Paramita, 1985, h. 10.

Page 125: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

122

Berdasarkan penelusuran penelitian lapangan temuan peneliti antara

lain, Hakim PA Jakarta Timur2, PA Jakarta Barat,3 PA Tigaraksa4, Hakim PA

Cilegon dan Hakim PA Jakarta Utara5 secara tegas menolak putusan MK

tersebut. Hakim PA Jakarta Utara menyatakan ketidaksetujuannya pada

putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010. Dengan alasan bahwa putusan MK yang

berbunyi “luar perkawinan” bisa berarti perkawinan sah menurut agama yang

tidak dicatatkan (nikah sirri) atau hubungan antara laki-laki dan perempuan

tanpa perkawinan. Hal ini akan menimbulkan kekacauan hukum dan

menghilangkan sakralitas perkawinan serta penghormatan terhadap hak-hak

perempuan dan anak. Sehingga putusan tersebut tidak harus dituruti oleh hakim

Pengadilan Agama. Bagi Hakim PA Jakarta Utara, putusan MK tersebut

bersifat kasuistik dan individual bagi Machica sehingga tidak bisa diterapkan

pada kasus yang lain.6 Lebih lanjut Hakim Jakarta Utara menyatakan :

“Saya tidak setuju. Karena begini… kita sudah jelas memahami,

seperti apa perkawinan yang dianggap sah menurut agama dan mana

perkawinan yang tidak dianggap legal menurut ketentuan agama? Kalau

pernikahannya sudah sah secara agama dan hanya sekedar tidak tercatat di

KUA, masih ada kemungkinan untuk melakukan itsbat nikah di KUA. Tetapi

kalau kasus ini, sebagaimana saya baca pada laporan tersebut, hanya tertera

hubungan biologis dan tidak ada keterangan telah terjadi akad nikah, dan

sebagainya. Nah, persoalan ini harus jelas terlebih dahulu. Kalau yang

dimaksud anak diluar nikah dalam artian tidak menikah, kemudian dipaksakan

menjadi adanya hubungan biologis untuk mendapatkan status hubungan nasab,

menurut saya (sebagai orang Islam), tidak sependapat. Nah…apa jadinya kalau

kasus semacam ini kemudian diberlakukan secara umum? Pasti nanti akan

sulit menanganinya. Bahkan bisa-bisa akan memicu permasalahan. Misalnya

nanti semua anak yang lahir diluar nikah dinilai sah dan berhak

menyantumkan nasab ke bapak biologis. Kasus semacam ini tentu akan

merepotkan. Dengan demikian, saya tidak setuju dengan hal tersebut. Selain

2 Wawancara dengan hakim PA Jakarta Timur, tanggal 15 Oktober 2014, pukul 10.00. 3Wawancara dengan hakim PA Jakarta Barat , tanggal 15 Oktober 2014, pukul 15.00. 4 Wawancara dengan hakim PA Tigaraksa, tanggal 11 Nopember 2014, pukul 11.00. 5 Wawancara dengan hakim PA Jakarta Utara, tanggal 20 Oktober 201, pukul 09.00 6 Wawancara dengan hakim PA Jakarta Utara, tanggal 20 Oktober 201, pukul 09.00

Page 126: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

123

itu, Saya juga tidak sependapat dengan pernyataan bahwa hubungan nasab bisa

didasarkan dengan tes DNA. Saya tidak sependapat dengan itu karena tes DNA

seperti itu bisa saja dimanipulasi atau di pesan jauh-jauh hari sebelumnya.

Misalnya anak lahir diluar nikah atas hubungan si A dan B. Kemudian mereka

minta pengakuan atau status untuk anak tersebut. Kemudian mereka melakukan

Tes DNA. Mereka melakukan tes DNA pada rumah sakit tertentu. Kemudian

sang dokter melakukan manipulasi dengan tes DNA tersebut dengan

mengambil darah orang lain yang cocok dengan darah bayi tersebut yang

hasilnya sesuai. Nah menurut saya, kemungkinan manipulasi semacam itu bisa

saja terjadi”.7

Menurut peneliti, penolakan Hakim PA Jakarta Utara di atas lebih

disebabkan persoalan pandangan subjektif norma agama yang dianut hakim

yakni pandangan mayoritas fikih, dimana pengakuan status legal hubungan

keperdataan terhadap anak biologis dengan ayahnya akan berimpilkasi

terhadap pengakuan terhadap perzinaan dan perselingkuhan, yang selama ini

dinilai sakral umat beragama. Di samping itu, akan mengakibatkan problem

teknik karena akan banyak sekali gugatan atau permohonan pengakuan semata-

mata, apalagi ada peluang besar bagi pemalsuan hasil tes DNA.

Ahli DNA Forensik dari Universitas Indonesia Djaja Surya Atmadja

menjelaskan bahwa tes DNA bisa dilakukan ke ayah biologis si anak bila

masih hidup, atau bisa juga ke anaknya yang lain (anak sah) bila ayah itu telah

meninggal dunia. “Bila ayah biologisnya sudah meninggal, anak luar kawin

bisa mentes DNA anak ayahnya yang sah (saudara kandungnya) untuk

membuktikan bahwa dia benar anak biologis laki-laki tersebut,” ujarnya.

Namun, Djaja mengatakan untuk melakukan tes DNA ada prosedur

yang perlu dilakukan terlebih dahulu. Misalnya, dalam tahap pra pemeriksaan.

Ia mengatakan dokter harus menjelaskan beberapa aspek hukum, yakni aspek

hukum perdata barat, Islam, dan adat. “Dokter harus menjelaskan ini terlebih

dahulu,” ujar dokter yang bergelar sarjana hukum ini. “Prinsip hukum perdata

7Wawancara dengan hakim PA Jakarta Utara, pada tanggal tanggal 20 Oktober 201, pukul

09.00

Page 127: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

124

itu kan pencarian asal usul dilarang. Makanya, seseorang tak bisa dipaksa

untuk melakukan tes DNA,” tegasnya.

Hakim PA Tigaraksa juga menyatakan ketidak setujuannya terhadap

putusan MK no 46 tahun 2010 tersebut. Walaupun putusan MK bersifat final

and binding akan tetapi hakim memiliki “hak diskresi” dalam memutuskan

perkara tidak secara an sich dalam menerapkan undang-undang, sehingga bisa

saja hakim membuat putusan yang berbeda dengan putusan MK, meskipun

dapat menerima bahwa putusan MK bersifat final dan binding. Dengan

demikian, anak di luar kawin, baru akan mendapat hubungan keperdataan

dengan ayah biologisnya setelah perkawinan kedua orangtunya diitsbatkan

Pengadilan. Pola pikir semacam ini karena ketentuan pasal 2 ayat (1) dan (2)

dipahami keduanya tidak terpisahkan. Hakim PA tersebut mengatakan:

“Menurut saya tidak setuju dengan putusan MK tersebut akan tetapi secara yuridis, sifat dari putusan MK adalah final and binding, tetapi kalau hakim memutus perkara yang hasilnya berbeda, menurut saya sah-sah saja. Karena hakim mempunyai diskresi, punya landasan dan punya alasan yang membuat dia bisa membuat putusan yang sama atau berbeda dengan putusan MK. Berdasarkan Pasal 43 UU perkawinan tahun 1974 dinyatakan, anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan dengan ibunya dan keluarga ibunya. Sedangkan putusan MK No 46 tahun 2010 menyatakan, anak yang dilahirkan di luar perkawinan sepanjang dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan, mempunyai hubungan dengan ayah biologisnya. Menurut saya, secara sosiologis kenyataan di masyarakat banyak bentuk-bentuk pernikahan yang tidak mempunyai surat nikah atau tidak mempunyai buku itsbat nikah atau hanya dilakukan secara agama. Secara aturan kenegaraan berarti dia tidak mengikuti administrasi kenegaraan sehingga anak yang dilahirkan juga bukan anak yang sah menurut hukum positif atau hukum negara. Menurut saya, untuk kasus seperti ini apabila ia mengajukan ke PA dan sudah dibuktikan telah memenuhi syarat dan rukun nikahnya, maka berdasarkan asas personalitasnya PA berdasarkan pasal 7 KHI, bisa mengitsbatkan pernikahan tersebut, sehingga status anaknya juga menjadi anak sah menurut hukum negara. Dan bagi yang tidak melakukan itsbat nikah, menurut saya tetap dianggap sebagai anak luar kawin dan hubungan keperdataannya hanya kepada ibunya8.

Sedikit berbeda dengan Hakim PA Jakarta Utara dan PA Tigaraksa, Hakim

PA Tangerang menyatakan ketidaksetujuan pada putusan MK No. 46/PUU-

8Wawancara dengan hakim PA Tigaraksa.

Page 128: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

125

VIII/2010 apabila berimplikasi terhadap legalisasi hubungan di luar perkawinan.

Hakim PA Tangerang secara tegas menyatakan ketidak setujuannnya terhadap

putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 apabila makna dari putusan tersebut adalah

melegalkan satus anak dari hasil hubungan tidak sah antara laki-laki dan

perempuan tanpa ikatan perkawinan. Secara tegas, Hakim PA Tangerang

menyatakan,

”… Saya tidak setuju, karena putusan tersebut akan berdampak sangat luas sekali. Bahkan secara normatif agama, apabila putusan tersebut diikuti akan melegalkan hubungan-hubungan di luar nikah”9. Hakim PA Tangerang lebih jauh menyatakan, Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU

Perkawinan tahun 1974 adalah satu kesatuan bukan dua pasal yang terpisah.

Bahkan yang dimaksud “luar nikah” di dalam putusan MK, bukanlah dipahami

anak dari nikah sirri yang memenuhi persyaratan dan ketentuan agama, tetapi

adalah hasil hubungan luar nikah yang tidak sah. Menurut Hakim PA Tangerang,

“Nikah sirri adalah nikah yang sah sepanjang memenuhi syarat dan rukun nikah dan kemudian ditetapkan oleh pengadilan sebagai nikah yang sah (Pasal 7 KHI) melalui itsbat. Bagi saya,pelaku pernikahan sirri yang tidak mengajukan itsbat, ia dianggap tidak mematuhi hukum negara. Bahkan orang ini jelas-jelas tidak mentaati firman Allah dalam ayat, Athi’ullah wa athi’u al-rasul wa ulil amri minkum”10. Bahkan Hakim PA Tangerang ini menegaskan, bahwa yang dimaksudkan

putusan MK bukan nikah sirri. ”Yang dimaksud oleh putusan MK tersebut adalah

hubungan antara laki-laki dan perempuan tanpa ikatan perkawinan. Tentang

kasus Moerdiono ini ada beberapa pengecualian karena dia adalah pejabat

negara yang sudah beristeri maka proses menikah lagi harus memenuhi syarat-

syarat yang ditentukan negara. Untuk kasus Moerdiono sendiri banyak Pasal

yang dilanggar sehingga kita menolak permohonannya”11.

Sejalan dengan pandangan Para Hakim di atas, Hakim PA Jakarta Barat

juga menyatakan ketidak setujuannya terhadap putusan MK No 46 tahun 2010.

Hakim PA Jakarta Barat menyatakan bahwa putusan MK tersebut bertentangan

dengan konsepsi hukum Islam dalam perkawinan sehingga putusan tersebut tidak

perlu dijadikan acuan bagi hakim dalam memutuskan perkara. Dalam pandangan

9Wawancara dengan hakim PA Tangerang, pada tanggal 27 Oktober 2014, pukul 09.00. 10 Wawancara dengan hakim PA Tangerang, pada tanggal 27 Oktober 2014. 11 Wawancara dengan hakim PA Tangerang, pada tanggal 27 Oktober 2014.

Page 129: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

126

Hakim Jakarta Barat, apabila putusan MK ini diterima, maka akan merusak sendi-

sendi hukum pernikahan dan menghilangkan sakralitas perkawinan dalam Islam

serta akan merusak tatanan sosial dalam masyarakat.12 Dan para Hakim Agama

juga berpandangan tidak akan memutuskan hukum yang bertentangan dengan

hukum Islam yang sudah menjadi kesepakatan mayoritas jumhur ulama.

Pandangan lain yang juga mengemuka di ranah publik terkait Putusan

Mahkamah Konstitusi ini adalah tuduhan bahwa Putusan ini justru merusak

sendi-sendi Syariat Islam, terutama dalam pengaturan nasab (keturunan) dan

legalisasi perzinaan. Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan bahwa Putusan

ini telah melampaui batas. Dalam sebuah jumpa pers di kantor MUI, Jakarta, KH.

Ma’ruf Amin, Ketua Komisi Fatwa MUI Pusat, dan sejumlah Anggota MUI

lainnya menanggapi Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dan sekaligus

mengeluarkan fatwa MUI No. 11 Tahun 2012 tentang Anak Hasil Zina dan

Perlakuan Terhadapnya, yang nota bene menentang Putusan MK ini.

Dalam pernyataannya, K.H. Ma’ruf Amin mengatakan, bahwa MUI

memiliki tanggung jawab untuk mepertahankan agama Islam dan melindungi

umat Islam Indonesia. MUI memandang penting untuk menanggapi Putusan

tersebut, sekaligus pula memberikan panduan tegas dan jelas kepada umat Islam

dengan mengembalikan tatanan kehidupan umat Islam seperti sedia kala.13 Dalam

kesempatan yang sama, Ma’ruf Amin mengatakan bahwa Putusan ini telah

melampaui batas dan berdampak yang luas, termasuk pula mengesahkan nasab,

waris, wali dan nafkah antara anak hasil zina dengan laki-laki yang menyebabkan

kelahirannya.14

Pandangan serupa juga dinyatakan oleh Muslimat Nahdlatul Ulama

(NU), yang lebih menyoroti permasalahan nasab dalam Putusan ini. Menurut

Chofifah Indar Parawansa, Ketua Umum Muslimat NU, bahwa benar Putusan

Mahkamah Konstitusi tersebut memberikan perlindungan kepada anak yang

dilahirkan, namun dari perspektif hukum Islam justru hal ini akan menimbulkan

12 Wawancara dengan hakim PA Jakarta Barat , tanggal 15 Oktober 2014, pukul 15.00. 13 “MUI Kecam Putusan MK Tentang Status Anak Zina, Acak-acak Syariat Islam”, Voa

Islam, Rabu, 14 Maret 2012, diakses dari www.voa-islam.com 14 “MUI Nilai Keputusan MK Soal Status Anak di Luar Nikah Overdosis”, Detik News,

(Jakarta), 13 Maret 2012.

Page 130: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

127

kekeliruan, terutama dalam status keturunannya. Menurut dia, hukum Islam

sangat memperhatikan masalah nasab, sehingga Jumhur Ulama sepakat, bahwa

anak yang lahir kurang dari enam bulan akad nikah, tidak bisa dinasabkan dengan

ayah biologisnya. Konsekuensinya, ia tidak bisa memiliki hak waris dan

perwalian.15

Menurut Chatib Basri Ketua Pengadilan Tinggi Agama Semarang Pasal

43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, " Anak yang dilahirkan di

luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga

ibunya", tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai

menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan

berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut

hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat

tersebut harus dibaca, "Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai

hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki

sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan

teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah

termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya ". 16

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal

17 Februari 2012, itu:

~ In abstracto, yaitu bersifat abstrak,

Yang Inkonkrito adalah putusan Pengadilan. Berdasarkan hal tersebut,

menurut Chatib Basri putusan MK tidak perlu dipertentangkan atau dinyatakan

sesuai dengan syari’ah karena secara hakiki tidak ada yang sesuai dan tidak ada

yang bertentangan dengan syari’ah. Sehubungan dengan itu, Ketua MK Mahfud

M.D., mengklarifikasi putusan tersebut dengan menyatakan:

Bahwa yang dimaksud majelis dengan frasa “anak di luar perkawinan”

bukan anak hasil zina, melainkan anak hasil nikah sirri. Hubungan

15 “Muslimat NU: Putusan MK Soal Anak Luar Nikah Bisa Menjerumuskan”, Republika, 26 Februari 2012.

16 Materi ini telah disampaikan pada Seminar Status Anak Di Luar Nikah dan Hak Keperdataan lainnya, pada tanggal 10 April 2012, di IAIN Walisongo Semarang. Oleh Chatib Basri , Hakim pada PTA Semarang

Page 131: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

perdata yang diberikan kepada anak di luar perkawinan tidak tentangan

dengan nasab, waris, dan wali nikah. Hak yang dapat dituntut anak di

luar perkawinan yang tidak diatur fikih, a

pembiayaan pendidikan atau hak menuntut ganti rugi karena perbuatan

melawan hukum yang merugikan orang lain seperti yang diatur dalam

Pasal 1365 KUH Perdata atau hak untuk menuntut karena ingkar janji.

Intinya adalah hak

atau hak perdata apa pun yang tidak

Terkait dengan prinsip

Mahfud M.D itu sudah benar, karena putusan MK Nomor 46/PUU

tanggal 17 Februari 2012, memberi

telah menikah dengan Moerdiono sesuai Undang

Pasal 2 ayat 1, jadi oleh karena putusan MK tersebut mengabulkan permohonan

Machica yang sudah menikah dengan Moerdiono sangat naïf bila ditera

untuk kasus

mengatakan bahwa

Perintah pada sesuatu maka perintah juga atas sarananya dan bagi

sarananya hukumnya sama dengan hal yang dituju.

Kasus ini adalah pernikahan yang tidak

kasus lain sepanjang kasus posisinya sama dengan kasus itu, jika kasus Machica

diterapkan pada kasus perzinahan maka penerapannya menjadi salah. Jika, kasus

Machica diterapkan pada kasus perzinahan maka penerapannya menj

B. Argumen Penolakan Hakim Agama Terhadap Putusan MK

berimplikasi kepada hakim

menerapkan hukum pasca putusan MK tentang kedudukan anak luar kawin,

khususnya terkait

17 Buah Simalakama Putusan MK dalam Harian Surat Kabar Jawa

2012 18 Buah Simalakama Putusan MK dalam Harian Surat Kabar Jawa Pos, Rabu, 28 Maret

2012. 19 Abdul Khamid Hakim, 1983, Kitab Al

perdata yang diberikan kepada anak di luar perkawinan tidak tentangan

dengan nasab, waris, dan wali nikah. Hak yang dapat dituntut anak di

luar perkawinan yang tidak diatur fikih, a

pembiayaan pendidikan atau hak menuntut ganti rugi karena perbuatan

melawan hukum yang merugikan orang lain seperti yang diatur dalam

Pasal 1365 KUH Perdata atau hak untuk menuntut karena ingkar janji.

Intinya adalah hak

atau hak perdata apa pun yang tidak

Terkait dengan prinsip

Mahfud M.D itu sudah benar, karena putusan MK Nomor 46/PUU

tanggal 17 Februari 2012, memberi

telah menikah dengan Moerdiono sesuai Undang

Pasal 2 ayat 1, jadi oleh karena putusan MK tersebut mengabulkan permohonan

Machica yang sudah menikah dengan Moerdiono sangat naïf bila ditera

untuk kasus18 perzinahan, hal ini sesuai dengan Kaidah Ushul Fiqh yang

mengatakan bahwa 19

Perintah pada sesuatu maka perintah juga atas sarananya dan bagi

sarananya hukumnya sama dengan hal yang dituju.

Kasus ini adalah pernikahan yang tidak

kasus lain sepanjang kasus posisinya sama dengan kasus itu, jika kasus Machica

diterapkan pada kasus perzinahan maka penerapannya menjadi salah. Jika, kasus

Machica diterapkan pada kasus perzinahan maka penerapannya menj

Argumen Penolakan Hakim Agama Terhadap Putusan MK

Cara pandang Hakim PA dan PTA di atas pada gilirannya

berimplikasi kepada hakim

menerapkan hukum pasca putusan MK tentang kedudukan anak luar kawin,

khususnya terkait judicial review

Buah Simalakama Putusan MK dalam Harian Surat Kabar Jawa

Buah Simalakama Putusan MK dalam Harian Surat Kabar Jawa Pos, Rabu, 28 Maret

Abdul Khamid Hakim, 1983, Kitab Al

perdata yang diberikan kepada anak di luar perkawinan tidak tentangan

dengan nasab, waris, dan wali nikah. Hak yang dapat dituntut anak di

luar perkawinan yang tidak diatur fikih, a

pembiayaan pendidikan atau hak menuntut ganti rugi karena perbuatan

melawan hukum yang merugikan orang lain seperti yang diatur dalam

Pasal 1365 KUH Perdata atau hak untuk menuntut karena ingkar janji.

Intinya adalah hak-hak

atau hak perdata apa pun yang tidak

Terkait dengan prinsip

Mahfud M.D itu sudah benar, karena putusan MK Nomor 46/PUU

tanggal 17 Februari 2012, memberi

telah menikah dengan Moerdiono sesuai Undang

Pasal 2 ayat 1, jadi oleh karena putusan MK tersebut mengabulkan permohonan

Machica yang sudah menikah dengan Moerdiono sangat naïf bila ditera

perzinahan, hal ini sesuai dengan Kaidah Ushul Fiqh yang 19

Perintah pada sesuatu maka perintah juga atas sarananya dan bagi

sarananya hukumnya sama dengan hal yang dituju.

Kasus ini adalah pernikahan yang tidak

kasus lain sepanjang kasus posisinya sama dengan kasus itu, jika kasus Machica

diterapkan pada kasus perzinahan maka penerapannya menjadi salah. Jika, kasus

Machica diterapkan pada kasus perzinahan maka penerapannya menj

Argumen Penolakan Hakim Agama Terhadap Putusan MK

Cara pandang Hakim PA dan PTA di atas pada gilirannya

berimplikasi kepada hakim-hakim PA dan PTA ketika menerapkan atau

menerapkan hukum pasca putusan MK tentang kedudukan anak luar kawin,

judicial review

Buah Simalakama Putusan MK dalam Harian Surat Kabar Jawa

Buah Simalakama Putusan MK dalam Harian Surat Kabar Jawa Pos, Rabu, 28 Maret

Abdul Khamid Hakim, 1983, Kitab Al

perdata yang diberikan kepada anak di luar perkawinan tidak tentangan

dengan nasab, waris, dan wali nikah. Hak yang dapat dituntut anak di

luar perkawinan yang tidak diatur fikih, a

pembiayaan pendidikan atau hak menuntut ganti rugi karena perbuatan

melawan hukum yang merugikan orang lain seperti yang diatur dalam

Pasal 1365 KUH Perdata atau hak untuk menuntut karena ingkar janji.

perdata selain hak nasab, hak waris, wali nikah,

atau hak perdata apa pun yang tidak

Terkait dengan prinsip-prinsip munakahat sesuai fikih. Klarifikasi

Mahfud M.D itu sudah benar, karena putusan MK Nomor 46/PUU

tanggal 17 Februari 2012, memberikan putusan atas permohonan Machica yang

telah menikah dengan Moerdiono sesuai Undang

Pasal 2 ayat 1, jadi oleh karena putusan MK tersebut mengabulkan permohonan

Machica yang sudah menikah dengan Moerdiono sangat naïf bila ditera

perzinahan, hal ini sesuai dengan Kaidah Ushul Fiqh yang

Perintah pada sesuatu maka perintah juga atas sarananya dan bagi

sarananya hukumnya sama dengan hal yang dituju.

Kasus ini adalah pernikahan yang tidak

kasus lain sepanjang kasus posisinya sama dengan kasus itu, jika kasus Machica

diterapkan pada kasus perzinahan maka penerapannya menjadi salah. Jika, kasus

Machica diterapkan pada kasus perzinahan maka penerapannya menj

Argumen Penolakan Hakim Agama Terhadap Putusan MK

Cara pandang Hakim PA dan PTA di atas pada gilirannya

hakim PA dan PTA ketika menerapkan atau

menerapkan hukum pasca putusan MK tentang kedudukan anak luar kawin,

judicial review pasal 43 UU Perkawinan tahun 1974.

Buah Simalakama Putusan MK dalam Harian Surat Kabar Jawa

Buah Simalakama Putusan MK dalam Harian Surat Kabar Jawa Pos, Rabu, 28 Maret

Abdul Khamid Hakim, 1983, Kitab Al-Bayan, h, 21.

perdata yang diberikan kepada anak di luar perkawinan tidak tentangan

dengan nasab, waris, dan wali nikah. Hak yang dapat dituntut anak di

luar perkawinan yang tidak diatur fikih, antara lain, berupa hak menuntut

pembiayaan pendidikan atau hak menuntut ganti rugi karena perbuatan

melawan hukum yang merugikan orang lain seperti yang diatur dalam

Pasal 1365 KUH Perdata atau hak untuk menuntut karena ingkar janji.

perdata selain hak nasab, hak waris, wali nikah,

atau hak perdata apa pun yang tidak17

prinsip munakahat sesuai fikih. Klarifikasi

Mahfud M.D itu sudah benar, karena putusan MK Nomor 46/PUU

kan putusan atas permohonan Machica yang

telah menikah dengan Moerdiono sesuai Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974,

Pasal 2 ayat 1, jadi oleh karena putusan MK tersebut mengabulkan permohonan

Machica yang sudah menikah dengan Moerdiono sangat naïf bila ditera

perzinahan, hal ini sesuai dengan Kaidah Ushul Fiqh yang

Perintah pada sesuatu maka perintah juga atas sarananya dan bagi

sarananya hukumnya sama dengan hal yang dituju.

Kasus ini adalah pernikahan yang tidak tercatat dan dapat diterapkan dalam

kasus lain sepanjang kasus posisinya sama dengan kasus itu, jika kasus Machica

diterapkan pada kasus perzinahan maka penerapannya menjadi salah. Jika, kasus

Machica diterapkan pada kasus perzinahan maka penerapannya menj

Argumen Penolakan Hakim Agama Terhadap Putusan MK

Cara pandang Hakim PA dan PTA di atas pada gilirannya

hakim PA dan PTA ketika menerapkan atau

menerapkan hukum pasca putusan MK tentang kedudukan anak luar kawin,

pasal 43 UU Perkawinan tahun 1974.

Buah Simalakama Putusan MK dalam Harian Surat Kabar Jawa

Buah Simalakama Putusan MK dalam Harian Surat Kabar Jawa Pos, Rabu, 28 Maret

Bayan, h, 21.

perdata yang diberikan kepada anak di luar perkawinan tidak tentangan

dengan nasab, waris, dan wali nikah. Hak yang dapat dituntut anak di

ntara lain, berupa hak menuntut

pembiayaan pendidikan atau hak menuntut ganti rugi karena perbuatan

melawan hukum yang merugikan orang lain seperti yang diatur dalam

Pasal 1365 KUH Perdata atau hak untuk menuntut karena ingkar janji.

perdata selain hak nasab, hak waris, wali nikah,

prinsip munakahat sesuai fikih. Klarifikasi

Mahfud M.D itu sudah benar, karena putusan MK Nomor 46/PUU

kan putusan atas permohonan Machica yang

undang Nomor 1 Tahun 1974,

Pasal 2 ayat 1, jadi oleh karena putusan MK tersebut mengabulkan permohonan

Machica yang sudah menikah dengan Moerdiono sangat naïf bila ditera

perzinahan, hal ini sesuai dengan Kaidah Ushul Fiqh yang

Perintah pada sesuatu maka perintah juga atas sarananya dan bagi

sarananya hukumnya sama dengan hal yang dituju.

tercatat dan dapat diterapkan dalam

kasus lain sepanjang kasus posisinya sama dengan kasus itu, jika kasus Machica

diterapkan pada kasus perzinahan maka penerapannya menjadi salah. Jika, kasus

Machica diterapkan pada kasus perzinahan maka penerapannya menj

Argumen Penolakan Hakim Agama Terhadap Putusan MK

Cara pandang Hakim PA dan PTA di atas pada gilirannya

hakim PA dan PTA ketika menerapkan atau

menerapkan hukum pasca putusan MK tentang kedudukan anak luar kawin,

pasal 43 UU Perkawinan tahun 1974.

Buah Simalakama Putusan MK dalam Harian Surat Kabar Jawa Pos, Rabu, 28 Maret

Buah Simalakama Putusan MK dalam Harian Surat Kabar Jawa Pos, Rabu, 28 Maret

perdata yang diberikan kepada anak di luar perkawinan tidak tentangan

dengan nasab, waris, dan wali nikah. Hak yang dapat dituntut anak di

ntara lain, berupa hak menuntut

pembiayaan pendidikan atau hak menuntut ganti rugi karena perbuatan

melawan hukum yang merugikan orang lain seperti yang diatur dalam

Pasal 1365 KUH Perdata atau hak untuk menuntut karena ingkar janji.

perdata selain hak nasab, hak waris, wali nikah,

prinsip munakahat sesuai fikih. Klarifikasi

Mahfud M.D itu sudah benar, karena putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010

kan putusan atas permohonan Machica yang

undang Nomor 1 Tahun 1974,

Pasal 2 ayat 1, jadi oleh karena putusan MK tersebut mengabulkan permohonan

Machica yang sudah menikah dengan Moerdiono sangat naïf bila ditera

perzinahan, hal ini sesuai dengan Kaidah Ushul Fiqh yang

Perintah pada sesuatu maka perintah juga atas sarananya dan bagi

tercatat dan dapat diterapkan dalam

kasus lain sepanjang kasus posisinya sama dengan kasus itu, jika kasus Machica

diterapkan pada kasus perzinahan maka penerapannya menjadi salah. Jika, kasus

Machica diterapkan pada kasus perzinahan maka penerapannya menjadi salah.

Argumen Penolakan Hakim Agama Terhadap Putusan MK

Cara pandang Hakim PA dan PTA di atas pada gilirannya

hakim PA dan PTA ketika menerapkan atau

menerapkan hukum pasca putusan MK tentang kedudukan anak luar kawin,

pasal 43 UU Perkawinan tahun 1974.

Pos, Rabu, 28 Maret

Buah Simalakama Putusan MK dalam Harian Surat Kabar Jawa Pos, Rabu, 28 Maret

128

perdata yang diberikan kepada anak di luar perkawinan tidak tentangan

dengan nasab, waris, dan wali nikah. Hak yang dapat dituntut anak di

ntara lain, berupa hak menuntut

pembiayaan pendidikan atau hak menuntut ganti rugi karena perbuatan

melawan hukum yang merugikan orang lain seperti yang diatur dalam

Pasal 1365 KUH Perdata atau hak untuk menuntut karena ingkar janji.

perdata selain hak nasab, hak waris, wali nikah,

prinsip munakahat sesuai fikih. Klarifikasi

VIII/2010

kan putusan atas permohonan Machica yang

undang Nomor 1 Tahun 1974,

Pasal 2 ayat 1, jadi oleh karena putusan MK tersebut mengabulkan permohonan

Machica yang sudah menikah dengan Moerdiono sangat naïf bila diterapkan

perzinahan, hal ini sesuai dengan Kaidah Ushul Fiqh yang

tercatat dan dapat diterapkan dalam

kasus lain sepanjang kasus posisinya sama dengan kasus itu, jika kasus Machica

diterapkan pada kasus perzinahan maka penerapannya menjadi salah. Jika, kasus

adi salah.

Cara pandang Hakim PA dan PTA di atas pada gilirannya

hakim PA dan PTA ketika menerapkan atau bila

menerapkan hukum pasca putusan MK tentang kedudukan anak luar kawin,

Pos, Rabu, 28 Maret

Buah Simalakama Putusan MK dalam Harian Surat Kabar Jawa Pos, Rabu, 28 Maret

Page 132: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

129

Pada umumnya hakim sepakat bahwa putusan MK bersifat final dan

mengikat (final and binding) bagi seluruh lembaga peradilan secara umum.

Namun dalam implementasinya, hakim menafsirkan sesuai dengan ijtihadnya

masing-masing sesuai dengan independensi hakim20.

Berdasarkan berbagai pandangan hakim pada Pengadilan Agama di Jakarta

dan Banten yang tidak setuju terhadap putusan MK no 46 tahun 2010, maka

argumen penolakannya dapat disederhanakan dalam beberapa pandangan sebagai

berikut :

Pertama, putusan MK yang membatalkan pasal 43 bertentangan dengan

Pasal 2 ayat 2 UU perkawinan No 1 tahun 1974 tentang pencatatan perkawinan

yang tidak dibatalkan oleh MK. Bagi para hakim Agama pasal tentang sahnya

suatu perkawinan juga berhubungan dengan status anak yang dihasilkan dari

perkawinan.

Kedua, putusan MK tersebut bagi para hakim Agama telah melanggar

norma-norma hukum Islam dalam hal hubungan nasab.

Ketiga, dalam pandangan Hakim maupun para praktisi dan pemerhati

hukum Islam putusan MK tersebut merupakan putusan yang ”ultra petita”

sehingga hasilnya adalah produk yang cacat hukum.

Dalam menyikapi putusan MK tentang status anak di luar perkawinan,

para hakim Pengadilan Agama tetap berpegang pada hukum formil dan materii;

dalam UU Perkawinan maupun Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.

Sebagaimana dikutip oleh Hakim PA Jakarta Timur21 yang mendasarkan pada

bunyi pasal 99 dan 100 KHI tentang status anak. Pasal tersebut berbunyi : Anak

yang sah adalah a. anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang

sah; b. hasil perbuatan suami isteri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh

isteri tersebut. Sedangkan Pasal 100 KHI menyebutkan “Anak yang lahir di luar

perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga

ibunya”.

Aturan hukum dalam KHI ini juga selaras dengan UU No 1 tahun 1974

tentang perkawinan pasal 42 yang berbunyi ; Anak yang sah adalah anak yang

dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Dan pasal 43 yang

20Wawancara dengan hakim PA Jaktim, Jakbar, Jakut, Tigaraksa dan Tangerang. 21 Wawancara dengan hakim PA Jakarta Timur, tanggal 15 Oktober 2014, pukul 10.00.

Page 133: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

130

berbunyi; Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan

perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.

Berdasarkan bunyi pasal 99-100 KHI dan pasal 43 UUP No 1 tahun 1974,

maka Hakim Jakarta Timur berpandangan bahwa anak sah adalah anak hasil dari

perkawinan yang sah secara hukum, sehingga anak hasil dari perkawinan yang

tidak tercatat adalah anak yang tidak sah menurut hukum. Dan bagi anak tersebut

nasabnya hanya kepada ibunya dan keluarga ibunya.22

Pasal 186 KHI juga menyebutkan “Anak yang lahir di luar perkawinan

hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari

pihak ibunya”.Pasal-pasal ini dijadikan pertimbangan hukum di Pengadilan

Agama dalam memutus perkara permohonan pengesahan anak.

BW (Burgerlijk Wetboek) bahkan secara khusus mengatur status anak luar

nikah dalam satu bab dan 8 pasal. Isinya pun sejalan dengan Pasal 43 Ayat (1) UU

Perkawinan. Belakangan diketahui pasal-pasal tersebut saling menguatkan. Aturan

pasal ini berlaku di Pengadilan Negeri.

Undang-undang tidak bisa dikritisi hanya dari satu pendekatan/segi saja.

Jika itu yang dilakukan MK, maka akan sangat berantakan. Di satu sisi putusan

MK dalam kasus di atas dapat mengembalikan hak-hak dan perlindungan anak di

luar nikah. Tetapi tidak menutup kemungkinan akan muncul permasalahan baru di

belakang akibat dari putusan MK ini. Tentu kita semua tidak ingin ini terjadi.

Sangat disayangkan keterangan juru bicara MK yang mengatakan mereka tidak

masuk ke ranah agama dalam memutus perkara ini. Majelis MK hanya

mendahulukan kepentingan anak semata (RiauPos.com 20/02) .

Kita semua tentu patut khawatir terhadap penyalahgunaan (wrong of

function). Putusan MK ini bisa saja disalahfahamkan sebagai legalisasi kawin siri

dan perzinahan. Dengan diakuinya hak perdata anak di luar nikah terhadap ayah

biologisnya, maka jarak antara perbuatan taat hukum dengan pelanggarannya

semakin tipis dan sulit dibedakan. Benar dan salah di mata hukum semakin kabur.

Untuk itu perlu dilakukan beberapa hal. Pertama, putusan tersebut harus

segera ditindaklanjuti dengan memperjelas peruntukannya. Misalnya apakah

putusan itu berlaku untuk anak-anak korban kawin siri atau perzinahan, kumpul

22 Wawancara dengan hakim PA Jakarta Timur, tanggal 15 Oktober 2014, pukul 10.00.

Page 134: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

131

kebo, perselingkuhan dan sebagainya. Selain itu, putusan ini harus ditujukan

untuk perlindungan anak di luar nikah, bukan legalisasi kawin siri dan perzinahan.

Kedua, penggunaan teknologi seperti deoxyribonucleic acid (DNA) harus

dijamin validitasnya. Pihak-pihak yang berwenang juga harus memiliki

kompetensi dan integritas moral yang tinggi.

Ketiga, sudah seharusnya suatu putusan mengandung nilai pendidikan dan

efek jera. Dengan putusan ini diharapkan masyarakat dapat menyatukan persepsi

untuk menolak praktek kawin siri dan perzinahan. Melakukan kawin siri berarti

tidak patuh terhadap Undang-undang dan perzinahan adalah haram dan dosa

besar. Statemen ini sudah mutafaq alaih.

Keempat, perlu adanya sinergi yang saling menguatkan antar lembaga di

negara ini. Lembaga seperti MUI harus juga memperhatikan atmosfir sosial dan

hak asasi manusia. Sedangakan Komisi Perlindungan Anak tidak boleh hanya

semata-mata memprioritaskan kepentingan anak dan meneriakkan hak asasi anak

tanpa kesan mempertimbangan hukum dan agama.

Sebenarnya melindungi anak di luar nikah tidak harus berupa pengakuan

hubungan perdata terhadap ayahnya. Opsi ini justru bisa membahayakan

keselamatan anak jika tidak diterima oleh keluarga ayahnya. Jika sudah demikian,

bahaya selanjutnya adalah dendam berkepanjangan dari kedua belah pihak. Ada

baiknya menyatukan mereka dalam sebuah wadah yang berfungsi untuk menata

kehidupan mereka. Mereka adalah korban dan layak untuk diberi perlindungan

dan dijamin masa depannya oleh Negara. Dengan demikian, satu sisi mereka tetap

mendapat perlindungan yang lebih aman, di sisi lain hukum di Negara kita tidak

dengan mudah diciderai oleh pelaku kawin siri dan perzinahan. Karena

bagaimanapun hukum harus ditegakkan (Fiat justitia ruat caelum, pereat mundus).

Hakim Konstitusi Akil Mochtar menegaskan bahwa putusan MK dibuat

semata untuk memberikan perlindungan keperdataan anak luar kawin atas ayah

biologisnya. “Walaupun keabsahan perkawinannya masih dipersoalkan,” kata

Akil dalam diskusi yang diselenggarakan hukumonline di Jakarta, Kamis (29/3).

Oleh karena itu, lanjut Akil, putusan MK sejatinya tak bertentangan

dengan hukum Islam. Namun ia mewanti-wanti penerapan putusan MK harus

dilakukan secara cermat oleh lembaga peradilan, baik peradilan umum maupun

Page 135: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

132

peradilan agama, dalam menilai ada tidaknya hubungan darah dan hubungan

hukum antara ayah dan anak luar kawin.

UU Perkawinan dan juga putusan MK, masih menurut Akil, hanya

merupakan aturan hukum yang bersifat umum (lex generalis) dalam mengatur

status dan kedudukan anak. Sementara itu ,ada aturan lain yang sifatnya lebih

khusus (lex specialis) seperti KUHPerdata dan UU Peradilan Agama yang

dilengkapi dengan Kompilasi Hukum Islam.

“Putusan MK dan UU Perkawinan hanya bersifat umum. Lebih khusus

diserahkan kepada aturan yang sifatnya lebih khusus,” ujar Akil. Ia mencontohkan

bagi yang tunduk pada hukum Islam maka tetap harus tunduk pada aturan Islam.

Yaitu anak luar kawin (hasil zina) tidak memiliki nasab dengan ayah biologisnya

dan tidak menjadi ahli waris.

“Akan tetapi, lelaki yang menjadi bapaknya dapat dikenakan hukuman

(ta’zir) untuk memberikan kebutuhan hidup si anak dan memberikan hartanya bila

dia meninggal melalui wasiat wajibah,” lanjut Akil.

Hal serupa juga dialami bagi anak luar kawin dan bapaknya yang tunduk

pada KUHPerdata. Notaris Irma Devita Purnamasari pada kesempatan yang sama

menyatakan bahwa anak luar kawin hasil perzinaan maupun anak

hasil incest seharusnya juga tidak menjadi ahli waris. Hal ini diatur dalam Pasal

283 jo. Pasal 273 KUHPerdata.

Pengajar Hukum Perdata Universitas Padjadjaran Sherly Imam Slamet

kepada hukumonline mengaku bingung dengan putusan MK ini. Menurut dia, di

satu sisi MK mengaku mengedepankan perlindungan hukum dan hak keperdataan

kepada anak luar kawin. MK tak membedakan anak luar kawin baik yang

merupakan hasil zina (versi hukum perdata), zina (versi hukum islam), hasil

kawin siri maupun hasilincest.

Tapi di sisi lain, lanjut Sherly, MK malah menyatakan untuk masalah

penetapan silsilah keturunan dan termasuk masalah waris, diserahkan kepada

aturan yang lebih spesialis seperti KHI dan KUHPerdata. Padahal merujuk pada

aturan hukum Islam dan KUHPerdata seperti yang diuraikan Akil dan Irma di

atas, diketahui bahwa status dan kedudukan anak luar kawin ternyata masih dalam

posisi yang tidak beruntung.

Page 136: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

133

Di dunia akademik memang ada perdebatan tentang ketentuan pasal 2 ayat

2 UU Perkawinan tahun 1974.Apakah pencatatan perkawinan berkonsekwensi

terhadap keabasahan perkawinan? Dalam konteks ini ada dua pandangan.

Pertama, sebagian berpendapat,“Keabsahan perkawinan itu sudah

dijelaskan dalam ayat 1, maka kewajiban pencatatan tidak mengikat terhadap

sahnya perkawinan”. Namun menurut pendapat lain bahwa karena perkawinan itu

meruapakan suatu perbuatan hukum, maka pencatatan adalah persyaratan

tambahan yang mengikat terhadap keabsahan suatu perkawinan dimana hukum

akan menganggap bahwa perkawinan itu ada jika telah dicatat di kantor

pencatatan perkawinan, baik Kantor Catatan Sipil (KCS) atau Kantor Urusan

Agama (KUA)23.

Kedua, anak yang dilahirkan dari perkawinan sirri adalah anak di luar

perkawinan yang secara hukum tidak diakui. Pandangan ini nampaknya yang

lebih banyak diterapkan, meskipun menurut konsepsi agama bertentangan dengan

ketentuan Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan tahun 1974 yang

menyatakan,“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-

masing agamanya dan kepercayaannya itu”24.

Terdapat beberapa fungsi dan kewajiban pendaftaran perkawinan

sebagaimana diatur dalam pasal 2 yat (2) UU Perkawinan antara lain:

Pertama, pendaftaran merupakan fungsi negara dalam melakukan

perlindungan bagi warganya agar terjadi kepastian hukum bagi pihak yang terlibat

di kemudian hari apabila perkawinan tersebut dipersoalkan pihak ketiga.

Kedua,kewajiban pencatatan juga akan bermanfaat jika di kemudian hari

timbul persoalan tentang hak waris,harta bersama atau hak-hak lainnya sebagai

akibat dari hubungan hukum yang dibuat dengan pihak lain.

Ketiga, pencatatan perkawinan dibuat dalam bentuk akta otentik yang

memiliki kekuatan pembuktian sempurna,sehingga peristiwa yang dianggap

23D.Y. Witanto, Hukum Keluarga: Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca

Keluarnya Putusan MK tentang Uji Materi UU Perkawinan, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2012), h. 224.

24.Y. Witanto, Hukum Keluarga: Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca Keluarnya Putusan MK tentang Uji Materi UU Perkawinan,, h. 225.

Page 137: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

134

penting dalam sejarah kehidupan manusia dapat terdokumentasi secara baik dan

tertib25.

Dalam konteks pencatatan perkawinan, banyak istilah yang digunakan

untuk menunjuk sebuah perkawinan yang tidak tercatat, ada yang menyebut kawin

di bawah tangan, kawin syar'i, kawin modin, dan kerap pula disebut kawin kiyai.26

Perkawinan tidak tercatat ialah perkawinan yang secara material telah memenuhi

ketentuan syari'at sesuai dengan maksud pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 tetapi tidak memenuhi ketentuan ayat 2 pasal tersebut jo pasal 10 ayat

3 PP Nomor 9 Tahun 1975.27

Pada umumnya yang dimaksud perkawinan tidak tercatat adalah

perkawinan yang tidak dicatat oleh PPN. Perkawinan yang tidak berada di bawah

pengawasan PPN, dianggap sah secara agama tetapi tidak mempunyai kekuatan

hukum karena tidak memiliki bukti-bukti perkawinan yang sah menurut peraturan

perundang-undangan yang berlaku.28

Perkawinan tidak tercatat termasuk salah satu perbuatan hukum yang

tidak dikehendaki oleh undang-undang; karena terdapat kecenderungan kuat dari

segi sejarah hukum perkawinan, bahwa perkawinan tidak tercatat termasuk

perkawinan ilegal. Meskipun demikian, dalam Pasal 5 ayat (1) KHI terdapat

informasi implisit bahwa pencatatan perkawinan bukan sebagai syarat sah

perkawinan; tetapi sebagai alat untuk menciptakan ketertiban perkawinan. Oleh

karena itu, dalam Pasal 7 ayat (3) KHI diatur mengenai itsbat nikah bagi

perkawinan tidak tercatat.

Dengan kata lain, perkawinan tidak tercatat adalah sah; tetapi kurang

sempurna. Ketidaksempurnaan itu dapat dilihat dari ketentuan Pasal 7 ayat (3)

KHI. Dalam penjelasan umum Pasal 7 KHI bahwa pasal ini diberlakukan setelah

berlakunya undang-undang peradilan agama. Aqad pada perkawinan tidak tercatat

biasanya dilakukan di kalangan terbatas, di muka Pak Kiai atau tokoh agama,

tanpa kehadiran petugas KUA, dan tentu saja tidak memiliki surat nikah yang

25 D.Y. Witanto, Hukum Keluarga: Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca

Keluarnya Putusan MK tentang Uji Materi UU Perkawinan,, h. 226-227. 26 Mukhlisin Muzarie, Kontroversi Perkawinan Wanita Hamil, Yogyakarta:Pustaka

Dinamika, 2002, h. 110. 27 Mukhlisin Muzarie, Kontroversi Perkawinan Wanita Hamil, h. 110. 28 Jaih Mubarok, Modernisasi Hukum Perkawinan di Indonesia,, h. 87.

Page 138: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

135

resmi. Dalam Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974

ditegaskan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-

undangan yang berlaku. Perkawinan tidak tercatat secara agama adalah sah

manakala memenuhi syarat dan rukun perkawinan. Meskipun demikian, karena

pernikahan tersebut tidak tercatat maka dalam hukum positif dianggap tidak sah

karena tidak diakui negara (dasarnya Pasal 1 ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974).29

Suatu perkawinan yang tidak tercatat akan menghilangkan hak istri untuk

menuntut secara hukum. Dengan kata lain, wanita tidak mendapat perlindungan

hukum. Perkawinan yang demikian bertentangan dengan aspek kesetaraan jender.

Karena itu menurut M. Quraish Shihab, perkawinan yang tidak tercatat

merupakan salah satu bentuk pelecehan terhadap perempuan karena dapat

menghilangkan hak-hak kaum perempuan.30 Pernikahan apa pun selain yang

tercatat secara resmi di negara hukumnya tidak sah.31

Permasalahannya jika perkawinan harus tercatat maka kaum pria merasa

keberatan terutama pria yang sudah memiliki istri, karena untuk poligami

prosedurnya dianggap terlalu memberatkan. Sebaliknya bagi kaum wanita

perkawinan tidak tercatat bukan saja merugikan yaitu tidak memiliki hak

menuntut harta gono gini, juga akan kehilangan hak-haknya untuk menuntut

kewajiban suami. Kondisi ini dianggap dilematis, di satu pihak keharusan

pencatatan perkawinan memberatkan kaum pria, di lain pihak perkawinan tidak

tercatat merugikan kaum wanita dan anak

UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan memang tidak menjelaskan

secara rinci tentang status anak luar kawin. Hanya dijelaskan bahwa anak luar

kawin adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak sah dan ia hanya

mempunyai hubungan perdata dengan ibu yang melahirkannya dan keluarga

ibunya. Kedudukan luar kawin ini akan diatur secara tersendiri dalam peraturan

pemerintah. Tetapi menurut Abdul Manan, sampai tahun 2006 -dan barangkali

juga sampai sekarang- Peraturan Pemerintah dimaksud belum diterbitkan. Jadi

wajar jika kemudian timbul permasalahan yang dimunculkan Machica.

29 Moh Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-undang Nomor. 1 Tahun 1974

dari Segi Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2002, h. 224. 30 M. Quraish Shihab, Perempuan, Jakarta: Lentera Hati, 2006, h. 216. 31 Dadang Hawari, Marriage Counseling (Konsultasi Perkawinan), Jakarta: FKUI, 2006,

h. 83.

Page 139: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

136

Demikian pula hanya dengan UU No. 2 ayat (2) tentang pencatatan nikah,

jikalau para pemohon menyadari bahwa saat ini umat manusia hidup di era hukum

tertulis di mana kodifikasi hukum sebagai cirinya -meminjam istilah Amin

Summa- dan mengetahui yang terjadi di hampir semua negara Islam di dunia,

niscaya ayat tersebut tidak perlu dipermasalahkan.

Menurut Amin Summa, salah satu asas dalam Undang-Undang

Perkawinan yang tak kalah penting –terutama di era hukum tertulis dengan

kodifikasi hukum sebagai ciri utamanya- ialah asas legalitas. Asas ini pada intinya

mengajarkan bahwa setiap perkawinan wajib dicatat oleh pejabat yang

berwenang. Semua Undang-Undang perkawinan Islam di dunia Islam

mengamanatkan arti penting dari pencatatan setiap perkawinan. Selain berfungsi

sebagai tertib administrasi dan perlindungan hukum bagi warga Negara masing-

masing, asas legalitas juga mempermudah para pihak terkait dalam melakukan

kontrol terhadap pelaksanaan UU perkawinan di sebuah Negara. Menurut Summa,

asas legalitas seyogyanya tidak difahami dalam konteks administrasi semata, akan

tetapi idealnya juga memiliki nilai hukum normatif yang bersifat mengikat dalam

pengertian pencatatan perkawinan akan turut menentukan sah tidaknya sebuah

akad nikah yang dilakukan oleh sepasang laki-laki dan perempuan, sehingga

praktik kawin di bawah tangan (kawin sirri) dapat ditekan. Dari sisi syar’i pelegal-

formalan asas legalitas juga ditopang oleh QS Al-Baqarah: 283. Walaupun tidak

secara khusus ayat tersebut berbicara tentang transaksi nikah, tetapi transaksi

nikah juga termasuk di dalamnya. Namun demikian, harus diakui, kebanyakan

negara-negara Islam menetapkan bahwa pencatatan perkawinan hanya masalah

administrasi dan tidak terkait dengan keabsahan perkawinan. Di antara negara

yang secara tegas menyatakan bahwa pencatatan perkawinan berpengaruh

terhadap keabsahan perkawinan, tidak hanya sekedar masalah administrasi, adalah

Negara Yaman Selatan dan Malaysia. Sedangkan UU Perkawinan di Indonesia

menyebutkan tentang pencatatan nikah ini secara ambigu, artinya dapat diartikan

hanya sekedar kewajiban administrasi atau menjadi keabsahan nikah (sah tidaknya

nikah).32

32 Amin, Summa, Hukum keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta, PT. RajaGrafindo

Persada, 2005), h. 90

Page 140: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

137

Argumen yang kedua penolakan hakim terhadap putusan MK ini adalah

bertentangan dengan norma hukum Islam yang dianut oleh mayoritas ulama.

Dalam hukum Islam sudah sangat jelas aturan mengenai nasab dan hubungan

hukum yang tercipta dari nasab.

Bahkan Hakim PA Tangerang, Haryadi, menyatakan bahwa putusan MK

tersebut bisa diartikan melegalkan hubungan antara laki-laki dan perempuan tanpa

ikatan perkawinan, karena bahasa “di luar perkawinan” bisa bermakna nikah sirri

atau hubungan tanpa pernikahan. Begitu pula Hakim PA Jakarta Utara, Fait

Hasibuan berpendapat yang sama. Dan apabila putusan ini dituruti akan merusak

sendi-sendi keragamaan umat Islam dalam hal nasab.

Menurut ketentuan hukum Islam, nasab bisa terjadi, baik nasab terhadap

ayah maupun nasab terhadap ibu. Adapun nasab anak terhadap ayahnya bisa

terjadi karena tiga hal: (1) nasab melalui perkawinan sah, (2) nasab melalui

perkawinan fasid, dan (3) nasab anak dari senggama syubhat33. Penjelasan

masing-masing sebagai berikut:

(1) nasab melalui perkawinan sah. Ulama fikih sepakat, anak yang lahir dari

seorang wanita dalam suatu perkawinan yang sah dinasabkan kepada suami

wanita tersebut. Hal ini sejalan dengan redaksi hadis Nabi saw. sbb34.:

علیھ وسلم قال الولد للفراش (صحیح مسلم عن أبي ھریرة صلى هللا )368/ ص 7(ج -أن رسول هللا

Artinya:

“Anak itu bagi pemilik alas tidur (dalam nikah yang sah)”

Nasab melalui perkawinan sah, disyaratkan tiga hal sebagai berikut:

33Wahbah al-Zuhaili dalam kitabnya al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, mengataan sbb.:

الوطء بشبھة. الزواج الفاسد: - الزواج الصحیح - وأما أسباب ثبوت النسب من األب فھيSeseorang boleh menasabkan dirinya kepada seseorang atau ayahnya apabila sudah

terpenuhi syarat-syaratnya, sebagai berikut: 1. Seorang anak yang lahir dari seorang perempuan memang benar hasil

perbuatannya dengan suaminya. 2. Ketika perempuan hamil, waktunya tidak kurang dari waktu kehamilan

pada umumnya. 3. Suami tidak mengingkari anak yang lahir dari istrinya.

Lihat, Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al Islamy wa Adillatuhu, (Damsyik: Dar al-Fikr, 2009), juz ke-7, hal. 644.

34Muslim bin Hajjaj Abu Al-Husain Al Qusyairi, Shahih Muslim, (Beirut: Dar Ihya’ Turas al-Arabi, tth). juz ke-7, hal. 368. No. Hadis 2646.

Page 141: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

138

Pertama, suami memungkinkan dapat memberikan keturunan, yang

menurut kesepakatan ulama fikih Malikiyah dan Syafi’iyah adalah seorang

laki-laki dewasa (baligh) atau murahiq35. Menurut ulama Hanafiah anak

murahiq berumur 12 tahun, sementara menurut ulama Hanabilah, murahiq

berumur 10 tahun. Oleh sebab itu, nasab tidak bisa terjadi bagi lelaki yang

belum dewasa, tidak mampu melakukan senggama, atau lelaki yang tidak

mempunyai kelamin atau impotensi, kecuali bisa diobati36.

Kedua, menurut ulama Hanafiah, anak tersebut lahir enam bulan

setelah perkawinan37. Mayoritas ulama menambahkannya dengan syarat;

suami istri telah melakukan senggama. Dengan demikian, apabila anak

lahir setelah usia perkawinan 6 bulan pas atau lebih sedikit, nasab anak

secara otomatis dapat dihubungkan dengan bapaknya. Hanya saja

bapaknya bisa saja menolak nasab anak itu dengan dirinya pada saat

kelahiran anak tersebut atau pada saat orang lain (tetangga) mengucapkan

selamat atas kelahiran anak. Selain ada penolakan dari bapaknya,

penolakannya harus disertai sumpah li’an38. Menurut Wahbah al-Zuhaili,

perbedaan pendapat ini muncul karena ulama mazhab Hanafi menganggap

bahwa pengingkaran seorang suami hanya bisa terjadi melalui li’an.

35Murahiq remaja mendekati dewasa, libido (syahwat) dan kelaminnya sudah berfungsi. Al-Jurjani mendefinisikan al-Murahiq sebagai berikut:

)67/ ص 1(ج - التعریفات صبي قارب البلوغ وتحركت آلتھ واشتھى. المراھق

Lihat, al-Jurjani, al-Ta’rifat, juz ke-1, hal.67. 36Abdul Karim Zaidan, Al-Mufasshal fi Ahkam al-Mar’ah (Beirut, Muassasah al-Risalah,

1413 H/ 1993 M), cet. ke-1, juz ke-9, hal. 321. Wahbah al-Zuhaili menulis dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz ke-7, hal. 645, sbb.: الشرط األول ـ أن یكون الزوج ممن یتصور منھ الحمل عادة، بأن یكون بالغا في رأي المالكیة والشافعیة، ومثلھ في رأي الحنفیة والحنابلة المراھق: وھو عند الحنفیة من بلغ اثنتي عشرة سنة، وعند الحنابلة: من بلغ عشر سنوات، فال یثبت

النسب من الصغیر غیر البالغ 37Hal ini didasarkan kepada surat al-Ahqaf/46:15 dan surat Luqman/31:14. Pada surat al-

Ahqaf/46:15 dinyatakan, masa hamil dan menyusui adalah 30 bulan. Sedangkan pada surat Luqman/31:14 dinyatakan bahwa masa menyusui yang sempurna adalah 2 tahun (24 bulan). Hal ini bermuara pada satu pemahaman bahwa masa hamil terpendek adalah 6 bulan.

38Li’an artinya menuduh isteri berbuat zina dengan disertai sumpah 4 kali bahwa isterinya telah berbuat zina, kemudian ditutup dengan sumpah ke-5, yang menyatakan bahwa ia siap dilaknat Allah kalau berdusta atas tuduhannya. Apabila isteri membalas sumpah suaminya 4 kali dan berani menyatakan suaminya berdusta dilengkapi dengan sumpah ke-5, bahwa isteri siap menerima murka Allah kalau dia berdusta dengan sumpahnya, maka hakim harus memutuskan hubungan pernikahan mereka dengan thalaq ba’in dan mengukuhkan nasab anak tersebut kepada ibunya. Tata cara sumpah Li’an tersebut dinyatakan Al-Qur’an surat al-Nur (24) ayat ke-4-9. Lihat, ‘Abdul Wahhab al-Khallaf, Ahkam al-Ahwal al-Syahshiyyah fi al-Syari’ah al-Islamiyah, hal. 188.

Page 142: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

139

Namun mayoritas ulama berpendapat bahwa pengingkaran terhadap anak

tersebut selain melalui li’an juga bisa dengan cara lain, misalnya ketika

suami tidak mungkin bertemu secara aktual dengan istrinya39.

Jika kelahiran anak kurang dari enam bulan, anak yang lahir

tersebut tidak bisa dinasabkan kepada suami wanita itu. Hal ini

menunjukkan bahwa kehamilan terjadi sebelum akad nikah, kecuali

apabila suami mengakuinya. Pengakuannya harus diartikan sebagai

pernyataan bahwa wanita tersebut hamil sebelum akad nikah. Bisa juga

kehamilannya terjadi dalam perkawinan yang akadnya fasid atau karena

terjadi senggama syubhat. Jika demikian, menurut Wahbah al-Zuhaili,

anak tersebut dapat dinasabkan kepada suami wanita demi kemaslahatan

anak40.

Ketiga, suami istri bertemu minimal satu kali setelah akad nikah.

Hal ini disepakati ulama fikih. Namun mereka berbeda pendapat dalam

mengartikan kemungkinan bertemu tersebut. Apakah pertemuan tersebut

bersifat aktual atau menurut perkiraan. Ulama mazhab Hanafi berpendapat,

pertemuan berdasarkan perkiraan menurut logika bisa terjadi. Oleh sebab

itu, apabila wanita tersebut hamil selama enam bulan sejak ia diperkirakan

bertemu dengan suaminya, anak yang lahir dari kandungannya dinasabkan

kepada suaminya. Misalnya, seorang wanita dari bumi bagianTimur

menikah dengan seorang laki-laki dari bumi di wilayah Barat dan mereka

tidak bertemu selama satu tahun, tetapi lahir anak setelah enam bulan sejak

akad nikah dilangsungkan. Anak tersebut dinasabkan kepada suami wanita

ini. Menurut Mazhab Hanafi, bisa saja terjadi pertemuan melalui

kekeramatan seorang Sufi sehingga seseorang bisa menempuh jarak yang

jauh dalam waktu singkat. Namun logika seperti ini ditolak jumhur ulama.

39Wahbah al-Zuhaili menulis dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz ke-7,

hal. 646, sbb.: إمكان وفائدة الخالف: أن الولد ال ینتفي نسبھ في رأي الحنفیة إال باللعان، وینتفي بدون لعان في رأي الجمھور، لعدم

التالقي بین الزوجین عادة.40Wahbah al-Zuhaili menulis dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz ke-7,

hal. 645, sbb.: الشرط الثاني ـ أن یلد الولد بعد ستة أشھر من وقت الزواج في رأي الحنفیة، ومن إمكان الوطء بعد الزواج في رأي

ألقل من الحد األدنى لمدة الحمل وھي ستة أشھر، ال یثبت نسبھ من الزوج اتفاقا، وكان دلیال على أن الحمل بھ الجمھور، فإن ولد حدث قبل الزواج، إال إذا ادعاه الزوج، ویحمل ادعاؤه على أن المرأة حملت بھ قبل العقد علیھا، إما بناء على عقد آخر، وإما بناء

اة لمصلحة الولد، وسترا لألعراض بقدر اإلمكان.على عقد فاسد أو وطء بشبھة، مراع

Page 143: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

140

Menurut mereka, kehamilan bisa terjadi apabila pasangan suami istri

tersebut dapat bertemu secara aktual di mana dalam pertemuan tersebut

memungkinkan bagi suami isteri untuk melakukan senggama.

Apabila seorang anak dilahirkan setelah terjadi perceraian antara

suami istri, untuk menentukan apakah anak itu bernasab kepada suami

wanita tersebut atau nasabnya kepada ibunya, terdapat beberapa

kemungkinan, sebagai berikutu:

(2). Nasab Melalui Perkawinan Fasid. Perkawinan fasid adalah pernikahan yang

dilangsungkan dalam keadaan kekurangan syarat, seperti tidak ada wali (bagi

mazhab Hanafi wali tidak menjadi syarat sahnya perkawinan) dan tidak ada

saksi atau saksi palsu. Menurut kesepakatan ulama fikih, penetapan nasab

anak yang lahir dalam pernikahan fasid sama dengan penetapan anak dalam

pernikahan sah41. Akan tetapi, ulama fikih menetapkan tiga syarat dalam

penetapan nasab anak dalam pernikahan fasid tersebut:

a) Suami mempunyai kemampuan menjadikan istrinya hamil. Artinya suami

seorang yang sudah dewasa (baligh) menurut Malikiah dan Syafi’iyah,

atau sekedar murahiq (umur antara 10-12 tahun) menurut ulama Hanafiah

dan Hanabilah, serta tidak mempunyai penyakit yang dapat menyebabkan

istrinya tidak bisa hamil.

b) Hubungan senggama bisa dilaksanakan secara sempurna.

c) Anak dilahirkan dalam waktu 6 bulan atau lebih setelah terjadinya akad

nikah fasid (menurut ulama Malikiah) dan sejak terjadinya senggama

(menurut mazhab Hanafi). Apabila anak lahir dalam waktu sebelum 6

bulan setelah akad nikah atau melakukan senggama, anak tidak bisa

dinasabkan kepada suami wanita tersebut42.

41Abu Zakariya Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Raudlat al-Thalibin wa ‘Umdat al-Muftin,

(Beirut: Dar al-Fikr, tth.), juz ke-3, hal. 243. (243/ ص 3(ج -روضة الطالبین وعمدة المفتین

الولد في النكاح الفاسد ھل یتوقف على إقراره بالوطء كما في ملك الیمین أم وخرج على الخالف المذكور أن لحوق یكفي فیھ مجرد العقد كالنكاح الصحیح

42Wahbah al-Zuhaili menulis dalam, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz vii, hal. 649, sbb.:

ویشترط لثبوت النسب بالزواج الفاسد ثالثة شروط:رجل ممن یتصور منھ الحمل: بأن یكون بالغا عند المالكیة والشافعیة، أو بالغا أو مراھقا عند أن یكون ال .1

الحنفیة والحنابلة.

Page 144: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

141

(3). Nasab Anak dari Senggama Syubhat. Hubungan senggama syubhat terjadi

bukan dalam perkawinan yang sah atau fasid dan bukan pula dari perbuatan

zina. Senggama syubhat bisa terjadi akibat kesalahpahaman atau kesalahan

informasi. Misalnya, seorang pria melakukan perkawinan dengan seorang

wanita yang sebelumnya tidak dikenalnya. Pada malam pengantin ia

menemukan seorang wanita dikamarnya lalu digaulinya. Ternyata wanita itu

bukan istri yang telah dinikahinya. Dalam kasus seperti ini, apabila wanita

tersebut melahirkan setelah hamil enam bulan atau lebih (masa maksimal

kehamilan) setelah senggama terjadi, anak yang lahir dinasabkan kepada

lelaki yang menyetubuhinya. Akan tetapi, apabila anak lahir melebihi masa

maksimal kehamilan seorang wanita, anak tidak bisa dinasabkan kepada

lelaki yang menyetubuhi wanita tersebut43.

Hukum Islam membedakan syubhat kepada dua bentuk yaitu:

a. Anak syubhat dalam akad, yaitu ketika seorang laki-laki melaksanakan

akad nikah dengan wanita seperti akad nikah sah lainya, tetapi kemudian

akadnya fasid karena alasan tertentu.

b. Syubhat dalam tindakan (perbuatan), yaitu ketika seorang laki-laki

mencampuri seorang wanita tanpa terjadi akad antara mereka berdua,

baik akadnya sah maupun fasid. Misalnya: tidak sadar ketika

melakukanya, atau dia menyakini bahwa wanita tersebut halal untuk

dicampuri, tetapi kemudian wanita tersebut ternyata haram dicampuri.

Termasuk dalam kategori ini adalah hubungan seksual yang dilakukan

orang gila, pemabuk, dan orang mengigau, serta orang yang meyakini

تحقق الدخول بالمرأة أو الخلوة بھا في رأي المالكیة: فإن لم یحصل الدخول أو الخلوة بعد زواج فاسد، لم .2

یثبت نسب الولد، ، ومن تاریخ الدخول عند أن تلد المرأة بعد ستة أشھر أو أكثر من تاریخ الدخول أو الخلوة عند المالكیة .3

الحنفیة. 43Wahbah al-Zuhaili menulis dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz ke-7,

hal. 650-651, sbb.: : ھو االتصال الجنسي غیر الزنا، ولیس بناء على عقد زواج صحیح أو فاسد، مثل المرأة المزفوفة إلى الوطء بشبھة

وإن أتت بھ قبل مضي ستة أشھر ال یثبت النسب منھ، لتأكد أن الحمل حدث قبل ذلك، إال ..……بیت زوجھا دون رؤیة سابقة، أنھ إذا ادعاه ثبت نسبھ منھ، إذ قد یكون وطئھا قبل ذلك بشبھة أخرى

Page 145: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

142

bahwa yang dicampuri isterinya, tetapi wanita tersebut ternyata bukan

isterinya44.

Sayyid Sabiq mengatakan bahwa anak hasil zina tidak dapat saling

mewarisi -memperoleh dan memberikan warisan- dengan ayah biologisnya. Anak

zina dalam fikih disamakan dengan anak (li’an). Anak li’an adalah anak yang

suami syar’i dari ibu anak tadi menafikan bahwa itu anak darah dagingnya, karena

tuduhan selingkuh terhadap ibunya anak tadi. Menurut ijma’ ulama, anak zina dan

anak li’an tidak dapat saling mewarisi dengan ayah biologis atau ayah syar’i dari

anak tersebut.45 Hal ini didasarkan pada riwayat dari Ibnu Umar bahwa pernah ada

seorang lelaki yang mengatakan li’an pada isterinya pada masa Nabi s.a.w. dan ia

tidak mengakui anak yang dilahirkan isterinya waktu itu sebagai anak darah

dagingnya. Lalu Rasulullah s.a.w. memisahkan antara ayah dan anak tersebut dan

menisbatkan nasab anak tersebut hanya pada ibunya. Berikut haditsnya:46

“Rasulullah s.a.w. menjadikan warisan anak li’an itu untuk ibunya dan ahli

waris ibunya.” (HR. Bukhari dan Abu Dawud)

Menurut Abdurrahman Al-Jaziri, kedudukan anak zina adalah orang lain

bagi ayahnya yang pelaku zina, artinya:47

1. Anak tersebut tidak dapat saling mewarisi harta -memperoleh warisan-

dengan ayahnya;

2. Anak tersebut tidak dinasabkan kepada ayahnya;

3. Tidak wajib bagi seorang ayah untuk menafkahi anak hasil zinanya;

4. Tidak diperbolehkan besanan (musaharah) di antara keduanya dan juga

masing-masing tidak diperbolehkan menikahi anak/cucu keturunannya di

kemudian hari. Demikian pula tidak diperkenankan menikah dengan

ayah/ibu atau kakek/nenek masing-masing (jalur keturunan ke atas).

44Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2007), hal. 388-

389.

45 Sabiq, Sayyid, Fiqhu al-Sunnah, (Beirut, Dar al-Fikr, 1992), vol. 2 h. 95 46 Amin, Summa, Hukum keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta, PT. RajaGrafindo

Persada, 2005), h. 88 47 Al-Jaziry, Abdurrahman, Kitabu al-Fiqhi ‘ala al-Madzahib al-arba’ah, (Kairo, Daru

al-hadits, 1994), vol. 5, h. 78

Page 146: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

143

Khusus bagi anak perempuan hasil zina, ada tambahan sebagai berikut:

1. Ayah tidak diperbolehkan berkhalwat (berduaan dalam majelis tertutup)

dengannya (karena bukan mahramnya);

2. Ayah tidak memiliki wilayah perwalian nikah anak perempuan tadi;

3. Ayah tidak boleh menikahi anak perempuan tadi.

Sedangkan Wahbah Zuhaili mengatakan bahwa masing-masing anak zina

dan anak li’an tidak dapat saling mewarisi dengan ayahnya dan kerabat ayahnya.

Pendapat tersebut adalah ijma’ ulama. Anak tersebut hanya dapat memperoleh

warisan dari sisi ibu saja, karena nasab pada ayahnya terputus (munqat}i’). Hal itu

dikarenakan syariah Islam tidak mengakui zina sebagai jalur syar’i untuk

digunakan sebagai itsbat nasab. Demikian pula anak li’an nasabnya belum dapat

dibuktikan (itsbat) dari jalur ayahnya.48

Jadi, menurut Imam empat-Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali- masing-

masing anak tersebut –anak zina dan li’an- hanya dapat memperoleh warisan dari

ibunya dan kerabat ibunya. Kerabat ibu yang dimaksud adalah saudara-saudara

sekandung ibunya, karena hubungan anak tersebut dengan ibunya adalah

meyakinkan (mu’akkadah) tidak ada keraguan di dalamnya. Berbeda dengan

hubungannya dengan ayah.

Adapun Syi’ah Imamiyyah berpendapat bahwa antara anak zina dan

ibunya serta kerabat ibunya, tidak dapat saling mewarisi. Sebagaimana hal itu juga

berlaku pada ayahnya yang berzina dan kerabat ayahnya, karena harta warisan itu

adalah nikmat yang Allah berikan pada ahli waris, karenanya faktor penyebab

memperoleh warisan tersebut tidak boleh karena tindak kriminal, yakni zina.

Akan tetapi jika anak li’an, menurut Syi’ah Imamiyyah masih dapat memperoleh

warisan dari ibunya, karena meurut mereka boleh jadi pengakuan salah satu dari

ayah atau ibunya adalah bohong, sehingga tindak kriminal –dalam hal ini

pengakuan bohong- menjadi penyebab peniadaan hubungan nasab.49

48 Wahbah, Zuhaili, Al-Fiqhu al-Islamy wa adillatuhu (Beirut: Dar al-Fikr al-

Mu’asir,1997), vol. 10, h. 225 49 Wahbah, Zuhaili, Al-Fiqhu al-Islamy wa adillatuhu (Beirut: Dar al-Fikr al-

Mu’asir,1997), vol. 10, h. 225

Page 147: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

144

Menurut Zuhaili, pendapat pertama –pendapat empat Imam- tentang anak

zina adalah lebih ringan untuk si anak, karena tindak kriminal itu adalah perilaku

sang ibu, sehingga anak tidak semestinya tersiksa karena tindakan tersebut.

Berbeda dengan sang ayah, karena pembuktian nasab darinya belum meyakinkan.

Oleh karenanya UU Mesir (Pasal 47), dan UU Suria (Pasal 303) menyebutkan

sebagai berikut:50

“Anak zina dan anak li’an dapat memperoleh warisan dari ibunya dan kerabat ibunya. Demikian pula sebaliknya mereka dapat memperoleh warisan dari anak tersebut.” Dalil yang diambil dalam hal ini adalah hadis berikut:

“Siapapun lelaki yang berzina dengan gadis merdeka atau gadis budak maka anaknya adalah aank zina, tidak dapat memperoleh warisan dan tidak dapat memberikan warisan.” (HR. Tirmidzi dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya). Dari Nabi s.a.w. bahwasanya: “Beliau s.a.w. menjadikan warisan anak li’an untuk ibunya dan kerabat ibunya.” (HR. Abu Dawud, dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya). Demikian pula dalam hadits tentang dua orang suami-isteri yang saling

melakukan li’an riwayat Sahl bin Sa’d bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda:

“Dan wanita itu (kemudian) hamil, lalu nasab anaknya dinisbatkan kepadanya, sehingga sunnah kemudian berlaku bahwa anak (li’a>n) dapat memperoleh warisan dari ibunya dan ibunya juga dapat memperoleh warisan darinya.” Bahkan dalam mazhab Maliki disebutkan bahwa orang yang merubah

kelaminnya, orang yang ucapannya seperti wanita (kemenyek) dan anak zina itu

makruh dijadikan sebagai imam tetap (ratib), baik shalat fardhu maupun shalat

sunnah seperti shalat ‘id.51

Wahbah al-Zuhaili dengan judul “Ahkam al-Aulad al-Natijin ‘an al-Zina”

yang disampaikan pada Daurah ke-20 Majma’ Fiqh Islami di Makkah pada 25 –

50 Wahbah, Zuhaili, Al-Fiqhu al-Islamy wa adillatuhu (Beirut: Dar al-Fikr al-

Mu’asir,1997), vol. 10, h. 227 51 Abdurrahman, Al-Jaziry, Kitabu al-Fiqhi ‘ala al-Madzahib al-arba’ah, (Kairo, Daru

al-hadits, 1994), vol. 5, h. 80

Page 148: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

145

29 Desember 2010 yang pada intinya menerangkan bahwa, jika ada seseorang

laki-laki berzina dengan perempuan yang memiliki suami dan kemudian

melahirkan anak, terdapat ijma ulama, sebagaimana disampaikan oleh Imam Ibn

Abdil Barr dalam “al-Tamhid” (8/183) yang menegaskan bahwa anak tersebut

tidak dinasabkan kepada lelaki yang menzinainya, melainkan kepada suami dari

ibunya tersebut, dengan ketentuan ia tidak menafikan anak tersebut melalui li’an.

Sementara, jika ia berzina dengan perempuan yang tidak sedang terikat

pernikahan dan melahirkan seorang anak, maka menurut jumhur ulama madzhab

delapan, anak tersebut hanya dinasabkan ke ibunya sekalipun ada pengakuan dari

laki-laki yang menzinainya. Hal ini karena penasaban anak kepada lelaki yang

pezina akan mendorong terbukanya pintu zina, padahal kita diperintahkan untuk

menutup pintu yang mengantarkan pada keharaman (sadd al-dzari’ah) dalam

rangka menjaga kesucian nasab dari perlikau munkarat.

Dari semua pendapat di atas dapat disimpulkan semua ulama bersepakat

(ijma’) bahwa anak zina tidak memiliki hubungan perdata dengan ayahnya dan

keluarga ayahnya. Akan tetapi hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya

dan keluarga ibunya. Bahkan sebagian ulama -Syi’ah Imamiyyah- berpendapat

bahwa anak zina tersebut tidak memiliki hubungan perdata baik dengan ibunya,

ayahnya, maupun kerabat ibu dan ayahnya.

Memang tidak dipungkiri bahwa sebagian kalangan ada yang

menyayangkan adanya polemik yang berkepanjangan tentang masalah ini.

Menurut kalangan tersebut, semestinya umat Islam terbiasa untuk menentukan

suatu tindakan hukum melalui beberapa persepsi atau pandangan, dari sudut mana

kita melihat dan akhirnya menghasilkan keputusan yang berbeda-beda. Dan perlu

difahami bahwa dengan adanya pandangan dan sudut pandang yang berbeda itu

menjadikan nuansa berfikir kita tidak sempit. Karenanya uji materiil yang

disetujui MK itu harus dilihat dari sudut pandang penguatan hak asasi manusia

utamanya hak anak. Sementara syariah Islam tentang nikah memiliki entitas

tersendiri yang berbeda dengan HAM. Hukum Islam memiliki logika berpikir

yang berbeda dengan logika berpikir masyarakat modern, walaupun dalam

beberapa hal bisa bertemu.

Page 149: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

146

Betapapun polemik tersebut dapat disiasati dengan melalui sudut pandang

yang berbeda sebagaimana disebutkan di atas, kenyataannya polemik antara MK

dan MUI ini tetap menarik untuk dicermati dan sampai sekarang masih belum ada

upaya-upaya signifikan untuk mempertemukan kedua polemik tersebut.

Menurut Mahsun fuad, tipologi tema-tema pemikiran hukum Islam di

Indonesia mengarah kuat pada empat pola, yaitu: (1) Kontekstualisasi-mazhabi

responsi-simpatis partisipatoris pada tema pemikiran fikih Indonesia, yang

diprakarsai oleh Hasbo ash-Shiddieqy; (2) Rekonstruksi-interpretatif responsi-

simpatis partisipatoris pada tema pemikiran fikih mazhab nasional dan

reaktualisasi ajaran Islam, yang dipelopori oleh Hazairin dan Munawir Sjadzali;

(3) Rekonstruksi-interpretatif responsi-kritis emansipatoris pada tema pemikiran

agama keadilan, yang dirintis oleh Masdar F. Mas’udi; (4) Kontekstualisasi-

mazhabi responsi-kritis emansipatoris pada tema pemikiran fikih sosial, yang

direpresentasikan oleh Sahal Mahfudh dan Ali Yafie.

Berdasarkan tipologi Fuad di atas, tampaknya polemik judicial review

terhadap UU No. 2 ayat (2) dan UU. No. 43 ayat (1), antara MK dan MUI

berangkat dari sudut pandang yang berbeda. MK merepresentasikan kelompok

kedua, yakni rekonstruksi-interpretatif responsi-simpatis partisipatoris.

Sedangkan MUI merupakan representasi dari kelompok pertama, yakni

kontekstualisasi-mazhabi responsi-simpatis partisipatoris. MUI dalam hal ini

masih berpegang pada pendapat-pendapat mazhab dalam fikih. Sedangkan MK

telah bertentangan dengan prinsip ijma’ yang dalam ilmu ushul fikih, mayoritas

ulama -jika tidak semua- mengatakan bahwa ijma’ adalah konsensus yang

mengikat dan tidak dapat dirubah oleh generasi setelahnya, karena pemahaman

rekonstruksi–interpretatif yang tidak begitu mengikat terhadap satu hukum. Itulah

yang menyebabkan MUI bersikeras untuk tetap mempertahankan UU No 43 ayat

(1), karena ketika ada tambahan (dari MK) “…serta dengan laki-laki sebagai

ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi

dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk

hubungan perdata dengan keluarga ayahnya,” maka berarti MK mengakui

adanya hubungan perdata antara anak hasil zina atau anak hasil nikah sirri dengan

ayahnya dan keluarga ayahnya. Padahal dalam ijma’ disebutkan bahwa para

Page 150: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

147

ulama bersepakat bahwa anak zina hanya memiliki hubungan perdata dengan

ibunya dan keluarga ibunya.52

Seminggu setelah keluarnya putusan MK no 46 tahun 2010, MUI

mengeluarkan fatwa tentang “kedudukan Anak Hasil Zina dan Perlakuan

terhadapnya”. Dalam pertimbangan fatwa ini dinyatakan sebagai berikut :

a. bahwa dalam Islam, anak terlahir dalam kondisi suci dan tidak membawa dosa turunan, sekalipun ia terlahir sebagai hasil zina;

b. bahwa dalam realitas di masyarakat, anak hasil zina seringkali terlantar karena laki-laki yang menyebabkan kelahirannya tidak bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, serta seringkali anak dianggap sebagai anak haram dan terdiskriminasi karena dalam akte kelahiran hanya dinisbatkan kepada ibu;

c. bahwa terhadap masalah tersebut, Mahkamah Konsitusi dengan pertimbangan memberikan perlindungan kepada anak dan memberikan hukuman atas laki-laki yang menyebabkan kelahirannya untuk bertanggung jawab, menetapkan putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang pada intinya mengatur kedudukan anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya;

d. bahwa terhadap putusan tersebut, muncul pertanyaan dari masyarakat mengenai kedudukan anak hasil zina, terutama terkait dengan hubungan nasab, waris, dan wali nikah dari anak hasil zina dengan laki-laki yang menyebabkan kelahirannya menurut hukum Islam;

e. bahwa oleh karena itu dipandang perlu menetapkan fatwa tentang kedudukan anak hasil zina dan perlakuan terhadapnya guna dijadikan pedoman.

Berdasarkan pertimbangan ini MUI kemudian memutuskan

MENETAPKAN: FATWA TENTANG ANAK HASIL ZINA DAN

PERLAKUAN TERHADAPNYA

Pertama: Ketentuan Umum

Di dalam fatwa ini yang dimaksud dengan :

1. Anak hasil zina adalah anak yang lahir sebagai akibat dari hubungan badan di luar pernikahan yang sah menurut ketentuan agama, dan merupakan jarimah (tindak pidana kejahatan).

2. Hadd adalah jenis hukuman atas tindak pidana yang bentuk dan kadarnya telah ditetapkan oleh nash

52 Fuad, Mahsun, Hukum Islam Indonesia dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris, (Yogyakarta, LKiS, 2005), cet. I, h. 10

Page 151: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

148

3. Ta’zir adalah jenis hukuman atas tindak pidana yang bentuk dan kadarnya diserahkan kepada ulil amri(pihak yang berwenang menetapkan hukuman).

4. Wasiat wajibah adalah kebijakan ulil amri (penguasa) yang mengharuskan laki-laki yang mengakibatkan lahirnya anak zina untuk berwasiat memberikan harta kepada anak hasil zina sepeninggalnya.

Kedua: Ketentuan Hukum

1. Anak hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab, wali nikah, waris, dan nafaqah dengan lelaki yang menyebabkan kelahirannya.

2. Anak hasil zina hanya mempunyai hubungan nasab, waris, dan nafaqah dengan ibunya dan keluarga ibunya.

3. Anak hasil zina tidak menanggung dosa perzinaan yang dilakukan oleh orang yang mengakibatkan kelahirannya

4. Pezina dikenakan hukuman hadd oleh pihak yang berwenang, untuk kepentingan menjaga keturunan yang sah (hifzh al-nasl).

5. Pemerintah berwenang menjatuhkan hukuman ta’zir lelaki pezina yang mengakibatkan lahirnya anak dengan mewajibkannya untuk: a. mencukupi kebutuhan hidup anak tersebut; b. memberikan harta setelah ia meninggal melalui wasiat wajibah.

6. Hukuman sebagaimana dimaksud nomor 5 bertujuan melindungi anak, bukan untuk mensahkan hubungan nasab antara anak tersebut dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya.

Ketiga: Rekomendasi

1. DPR-RI dan Pemerintah diminta untuk segera menyusun peraturan perundang-undangan yang mengatur:

a. hukuman berat terhadap pelaku perzinaan yang dapat berfungsi sebagai zawajir dan mawani’ (membuat pelaku menjadi jera dan orang yang belum melakukan menjadi takut untuk melakukannya);

b. memasukkan zina sebagai delik umum, bukan delik aduan karena zina merupakan kejahatan yang menodai martabat luhur manusia.

2. Pemerintah wajib mencegah terjadinya perzinaan disertai dengan penegakan hukum yang keras dan tegas.

3. Pemerintah wajib melindungi anak hasil zina dan mencegah terjadinya penelantaran, terutama dengan memberikan hukuman kepada laki-laki yang menyebabkan kelahirannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

4. Pemerintah diminta untuk memberikan kemudahan layanan akte kelahiran kepada anak hasil zina, tetapi tidak menasabkannya kepada lelaki yang menngakibatkan kelahirannya.

5. Pemerintah wajib mengedukasi masyarakat untuk tidak mendiskriminasi anak hasil zina dengan memperlakukannya sebagaimana anak yang lain. Penetapan nasab anak hasil zina kepada ibu dimaksudkan untuk melindungi nasab anak dan ketentuan keagamaan lain yang terkait, bukan sebagai bentuk diskriminasi.

Page 152: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

149

Berdasarkan keputusan fatwa ini MUI tetap berpegang teguh pada

konsepsi nasab dalam Islam, namun MUI juga mengakomodir adanya nilai

kemaslahatan dengan mengajukan upaya hukuman ta’zir kepada laki-laki pezina

serta membebankan nafkah dan biaya pemeliharaan menjadi tanggung jawab laki-

laki yang menghamili perempuan di luar nikah. Hal ini merupakan upaya

terobosan hukum baru yang ingin diajukan MUI tanpa merusak esensi hukum

Islam dalam hal hubungan nasab.

Argumen ketiga bagi hakim agama yang menolak putusan MK adalah

pandangan yang menganggap bahwa putusan MK no 46 tahun 2010 ini adalah

ultra petita atau putusan melebihi dari apa yang dimintakan pemohon. Karena

dalam pengajuan judicial review yang diajukan oleh Machica dan kuasa

hukumnya adalah pembatalan pasal 43 dan pasal 2 ayat 2 UUP no 1 tahun 1974

mengenai status anak di luar perkawinan dan pencatatan perkawinan. Tetapi MK

malah membuat putusan yang melebihi apa yang dimohonkan yaitu menetapkan

adanya hubungan keperdataan anak di luar perkawinan kepada ayah biologisnya

selama bisa dibuktikan melalui ilmu pengetahuan dan alat bukti lainnya.

Pandangan bahwa Hakim MK telah melakukan Ultra petita diungkapkan

oleh Hakim PA Jakarta Utara, Fait Hasibuan53 dan Atho Muhzhar. Atho Muhzhar,

menyatakan tugas MK adalah menguji UU atau peraturan lainnya untuk dilakukan

judicial review apakah bertentangan dengan UUD 1945 atau tidak. Ketika tidak

sesuai maka pasal-pasal yang diuji materikan akan dibatalkan keberlakuannya dan

menunggu peraturan perundang-undangan yang baru untuk menggantikannya.

Akan tetapi dalam kasus ini MK membatalkan pasal 43 tentang hubungan

keperdataan anak di luar perkawinan dengan ayah biologisnya serta membuat

hukum baru dengan menyatakan putusan bahwa anak di luar perkawinan juga

mempunyai hubungan keberdataan dengan ayah biologisnya selama dapat

dibuktikan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain.54

Ultra petita pada dasarnya Larangan terhadap putusan ultra petita di

Indonesia terdapat dalam lingkup acara perdata. Larangan ultra petita diatur

dalam Pasal 178 ayat (2) dan (3) Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) serta

dalam Pasal 189 ayat (2) dan (3) RBg yang melarang seorang hakim memutus

53 Wawancara dengan Hakim Jakarta Utara< Fait Hasibuan, tanggal 20 Oktober 2014 54 Diskusi dengan Atho Muhzhar di PPS UIN Jakarta tgl 25 Nopember 2014

Page 153: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

150

melebihi apa yang dituntut (petitum). Putusan yang sifatnya ultra petita dianggap

sebagai tindakan yang melampaui kewenangan lantaran hakim memutus tidak

sesuai dengan apa yang dimohon (petitum). Terhadap putusan yang dianggap

melampaui batas kewenangan, Mahkamah Agung berhak dalam tingkat kasasi

berhak membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan dari semua

lingkungan peradilan karena tidak berwenang atau melampaui batas wewenang.55

Hukum acara perdata berlaku asas hakim bersifat pasif atau hakim bersifat

menunggu. Dalam persidangan hakim tidak diperbolehkan untuk berinisiatif

melakukan perubahan atau pengurangan, sekalipun beralasan demi rasa keadilan.

Putusan tersebut tetap tidak dapat dibenarkan dalam koridor hukum acara perdata.

Putusan hakim pada dasarnya ditentukan oleh para pihak yang berperkara. Hakim

hanya menimbang hal-hal yang diajukan para pihak dan tuntutan hukum yang

didasarkan kepadanya (iudex non ultra petita atau ultra petita non

cognoscitur). Hakim hanya menentukan, adakah hal-hal yang diajukan dan

dibuktikan para pemohon atau penggugat.

Hakim yang melakukan ultra petita dianggap telah melampaui wewenang

atau ultra vires.56 Putusan tersebut harus dinyatakan cacat meskipun putusan

tersebut dilandasi oleh itikad baik maupun telah sesuai kepentingan umum.

Menurut Yahya Harahap jika hakim melanggar prinsip ultra petita maka sama

dengan pelanggaran terhadap prinsip rule of law.57

UU MK menyebutkan bahwa sumber hukum acara MK berasal dari

seluruh hukum acara yang berlaku di Indonesia. Sesungguhnya larangan ultra

petita terdapat dalam hukum acara perdata sebagaimana diatur dalam HIR dan

RBG. Hukum acara perdata sendiri merupakan cara mempertahankan hukum

perdata materil. Hukum perdata masuk ke dalam ranah hukum privat yakni hukum

yang mengatur hubungan hak dan kewajiban antara antara orang yang satu dengan

55 Lihat dalam Pasal 30 ayat (1) Undang-undang No 5 Tahun 2004. 56 Dalam Oxford Dictionary of Law disebutkan ultra vires merupakan suatu tindakan oleh

otoritas publik, perusahaan, atau badan lain yang melampaui batas-batas kekuasaan diberikan di atasnya. Ultra vires merupakan tindakan yang tidak sah. Doktrin ultra viresberlaku untuk semua kekuatan, baik yang dibuat oleh undang-undang atau dokumen pribadi atau perjanjian (seperti akta kepercayaan atau kontrak agen). Ultra virestidak tindakan yang tidak sah. Doktrin ultra viresberlaku untuk semua kekuatan, baik yang dibuat oleh undang- undang atau dokumen pribadi atau perjanjian (seperti akta kepercayaan atau kontrak agen). Ultra virestidak hanya berisi ketentuan tidak berwenang melakukan sesuatu tetapi juga jika tidak memenuhi persyaratan prosedural yang mengatur pelaksanaan kekuasaan

57 Yahya Harahap, 2005 Hukum Acara Perdata. Jakarta; Sinar Grafika, hlm. 801.

Page 154: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

151

orang yang lain dengan menitikberatkan pada kepentingan individu. Sedangkan

jika kita menengok kembali letak keberadaan upaya pengujian (review)

merupakan upaya yang dilakukan pada ranah hukum publik yang mengikat orang

banyak

Dapat dimungkinkan hakim melakukan ultra petita, namun justru hal

tersebut menjadi sebuah ketetapan yang sejatinya merupakan penyimpangan

prosedural. Hal ini timbul apabila hakim bertindak dengan inisiatif dan alasan

serta keadaan hukum yang tepat. Bahkan jika kita cermat maka akan menemukan

fakta bahwa sejarah awal mula pengujian undang-undang oleh Marshall adalah

putusan ultra petita. Sebuah putusan dianggap ultra vires jika melebihi yurisdiksi,

bertentangan dengan persyaratan prosedural, atau mengabaikan peraturan keadilan

alam.

Berdasarkan doktrin ada tiga bentuk situasi ultra petita:58

Ultra petita : Hakim memutus sengketa lebih dari yang diminta oleh

penggugat. Hal ini bilamana dalam hal pengujian undang-undang para

pemohon mengajukan permohonan agar MK memutus membatalkan sebagian

atau pasal tertentu dalam sebuah undang-undang namun diputuskan untuk

membatalkan keseluruhan undang-undang tersebut contoh putusan ini adalah

putusan terhadap UU Ketenagalistrikan

Citra petita: Hakim memutus perkara berbeda dari yang apa yang diminta

oleh pemohon. Jika digambarkan maka hakim tidak mengabulkan gugatan

sama sekali perkara pengujian undang-undang karena apa yang diputus sama

sekali tidak dimintakan atau dikehendaki dalam batin pemohon.

Infra petita: Hakim memutus kurang atau lebih rendah dari apa yang

dimohonkan oleh para pihak. Menjadi kewenangan hakim untuk memutus

sebuah perkara. Namun hakim terkadang memutuskan permohonan lebih

rendah dari apa yang diminta. Jika dimisalkan dalam pengujian undang-

undang para pihak menghendaki pasal dalam jumlah tertentu direview dan

58 Ultra Petita” http:://es.wikipedia.org/wiki/Ultra_petita

Page 155: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

152

dinyatakan tidak konstitusional dan dianggap tidak ada. Namun Hakim hanya

memutus dengan angka di bawah permohonan para pihak.

Ultra petita menjadi kontroversial di masyarakat disebabkan dalam

ketentuan peraturan sendiri tidak ditentukan. Pendapat menentang karena belum

ditegaskan dalam UU, menurut Moh. Mahfud MD yang menyatakan: “Sebenarnya

kedua pihak yang berhadapan dalam kontroversi itu hanya mendasarkan

pandangan dan argumennya menurut logika pilihannya sendiri, bukan menurut

UU. UU tentang MK sama sekali tidak menyebutkan apakah putusan ultra petita

itu dibolehkan atau tidak.” Dan pada bagian lain menyebutkan: “Dalam hukum,

banyak segi yang tidak menyekat secara mutlaq berlakunya sesuatu hanya dalam

satu bidang hukum tertentu. Bisa saja, apa yang berlaku dalam satu bidang hukum

diberlakukan juga dalam bidang hukum lain asal diatur dalam UU.”59

Advokat Adnan Buyung Nasution tidak kalah memprotes, yaitu: “Arah

kedua tentang berbagai keputusan MK yang ultra petita dan extra kontroversial

menjadi pertanyaan siapa yang berhak melakukan koreksi terhadap putusan MK

yang begitu arogan dan ambisius, melanggar doktrin dan tradisi hukum bahwa

pengadilan di manapun dalam sistem negara hukum yang demokratis adalah tabu

memberikan keputusan yang melebihi apa yang diminta ataupun dituntut, kecuali

ada dasar-dasar hukum, moral, dan etika seperti dilakukan Prof. Asikin

Kusumahatmadja...”. 60

UUD 1945 sendiri beserta amandemen hanya mengatur ketentuan pokok

yakni kedudukan dan kewenangannya, sedangkan mengenai hukum acara serta

ketentuan lainnya tentang MK didelegasikan kepada UU. Hukum acara yang

diatur dalam UU No. 24/2003 hanya memuat ketentuan umum beracara dan

aturan khusus sesuai karakter masing-masing perkara. Ultra petita tidak

digariskan boleh tidaknya dalam UU, namun ketentuan Pasal 86 UU MK memberi

59 Moh Mahfud MD, “Mendudukkan soal Ultra Petita”, Kompas, 5 Pebruari 2007.

UUD 1945 terdiri dari atas Pembukaan dan pasal-pasal (Pasal II Aturan Tambahan Perubahan Keempat), Lihat, R. Subekti, Pembinaan Hukum Nasional, (Bandung: Alumni, 1981), hlm. 33-35., Ismail Suny, Pembagian Kekuasaan Negara Suatu Penyelidikan dalam Hukum Tatanegara Inggris, Amerika Serikat, Uni Soviet dan Indonesia, (Jakarta: Aksara Baru, 1985), hlm. 20.

60 Adnan Buyung Nasution, “Quo Vadis Hukum dan Peradilan di Indonesia”, Kompas, 22 Desember 2006.

Page 156: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

153

ruang bagi MK untuk mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi

kelancaran tugas dan wewenangnya.

Peraturan MK No. 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam

Perkara Pengujian Undang-Undang secara expressis verbis tidak menentukan soal

ultra ultra petita. Ketentuan larangan memutus melebihi apa yang dituntut

(petitum) hanya dapat ditemukan dalam Pasal 178 ayat (2) dan (3) Het Herziene

Indonesisch Reglement (HIR) serta padanannya dalam Pasal 189 ayat (2) dan (3)

RBg, yang merupakan hukum acara di pengadilan perdata di Indonesia.

Persolannya apakah HIR berlaku bagi MK sebagai hukum acaranya?

Sesuai uraian kedudukan MK di atas sebagai penafsir tunggal dalam

kekuasaan mengadili. Perbedaan MK dengan MA dalam pengujian konstitusional

(constitutional review) batu ujinya adalah UUD (Pasal 24C ayat (1) UUD 1945

Perubahan Ketiga dan Pasal 45 ayat (1) UU MK).[11] Sedangkan MA dalam

pengujian peraturan di bawah UU batu ujinya adalah UU (Pasal 24A ayat (1)

UUD 1945 Perubahan Ketiga). Perbedaan batu uji dalam mengadili sehingga MA

disebut the guardian of the law, serta pengujiannya terbatas legalitas peraturan

(judicial review of legality of regulation).

Dengan demikian pendapat yang menyatakan MK tunduk kepada HIR

justru merendahkan kedudukan MK yang di jamin konstitusi fungsinya menguji

konstitusionalitas UU berdasarkan hukum acaranya sendiri. Terlebih lagi HIR,

adalah produk kolonial sebagai hukum acara perdata di pengadilan yang berbeda.

Lagipula MA ditegaskan kewenangannya hanya menguji peraturan di bawah UU,

praktiknya dengan dasar urgensi dan kebutuhan yang mendesak dalam mengadili

“menyingkirkan” atau “mengesampingkan” terhadap ketentuan perundangan-

undangan dalam bentuk wet baik ketentuan BW maupun HIR.61

MK harus dipahami bukan sebagaimana peradilan khusus pada umumnya

di lingkungan peradilan umum yang tunduk pada ketentuan tersendiri. Akan tetapi

MK sejajar dengan MA sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka. Di

lingkungan peradilan umum dengan peradilan perdata dan peradilan pidana saja

61 UUD 1945 terdiri dari atas Pembukaan dan pasal-pasal (Pasal II Aturan Tambahan

Perubahan Keempat) Lihat, R. Subekti, Pembinaan Hukum Nasional, (Bandung: Alumni, 1981), hlm. 33-35. Ismail Suny, Pembagian Kekuasaan Negara Suatu Penyelidikan dalam Hukum Tatanegara Inggris, Amerika Serikat, Uni Soviet dan Indonesia, (Jakarta: Aksara Baru, 1985), hlm. 20.

Page 157: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

154

perbedaannya banyak yaitu mengenai pelaksanaan, penuntutan, alat-alat bukti,

penarikan kembali perkara, kedudukan para pihak, dasar keputusan hakim,

macam-macam hukuman dan lain sebagainya. Perbedaan asas-asas hukum dan

karakter mempengaruhi bagaimana cara-cara mempertahankan hukumnya. Begitu

juga MK menggunakan asas hukum acara lain dibenarkan sepanjang dibenarkan

hukum dan sesuai fungsi pengujian itu sendiri sebagaimana pembahasan di bawah

nanti membedakan sifat hukum, asas-asas dan karakter tersendiri.

Pasal 16 UU No. 4 Tahun 2004 menentukan semua pengadilan termasuk

MK di larang menolak perkara karena hukumnya tidak ada atau kurang jelas,

melainkan hakim wajib memeriksa dan mengadilinya. Seperti ketentuan

sebelumnya, bahkan Pasal 22 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor

Indonesia (AB) yang copy Pasal 13 AB Belanda, seorang hakim yang menolak

melakukan pengadilan dengan dalih tidak ada undang-undang, undang-undang tak

jelas atau tak lengkap, dapat dituntut karena keengganan mengadili. Pada

dasarnya asas ini timbul karena anggapan UU pasti lengkap dan jelas yang pasti

tidak terjadi.

Dengan demikian hakim di larang menolak perkara. Hakim diwajibkan

menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang

hidup dalam masyarakat (Pasal 28 UU No. 4 Tahun 2004). Mengadili menurut

hukum sesuai negara hukum, bukan hanya peraturan tertulis akan tetapi hukum

tidak tertulis. Artinya hakim tidak hanya “corong UU”, kalaupun sebagai mulut

UU karena kebebasannya menemukan hukum (rechtsvinding) yang dianggap adil.

Dalam tugas penerapan hukum, hakim harus menemukan hukum, jika tidak

menemukan dari hukum tertulis harus mencari dari hukum tidak tertulis dari nilai-

nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di masyarakat. Dalam rangka penemuan

hukum oleh hakim termasuk hakim konstitusi adalah subyek penemuan hukum

yang utama.

Page 158: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

155

BAB V PENUTUP

A. KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan dalam bab-bab sebelumnya peneliti menyimpulkan:

1. Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 yang diucapkan tanggal 17 Februari 2012, ternyata

disikapi dan ditafsirkan Hakim PA dan PTA di wilayah provinsi DKI Jakarta dan

provinsi Banten dengan pandangan yang beragam. Pandangan para Hakim PA dan PTA

tersebut, bisa dikelompokkan menjadi tiga kategori, sebagai berikut: Pertama, Hakim

PA dan PTA yang menerima putusan MKNo. 46/PUU-VIII/2010 tersebut dalam

struktur kekuasaan lembaga Peradilan, di mana putusannya bersifat final dan binding.

Kedua, Hakim PA dan PTA yang menerima putusan MK No. 46/PUU-

VIII/2010tersebut dengan catatan. Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 tersebut

ditafsirkandan dipahami dalam kontek nikah sirri yang syarat dan rukunnya telah

memenuhi ketentuan agama (syar’i) sesuai ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1), UU

Perkawinan tahun 1974 dan bukan dipahami untuk kawin “kumpul kebo”. Ketiga,

Hakim PA dan PTA yang menolak putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010tersebut karena

putusan tersebut dinilai akan membuka peluang legalisasi zina. Para Hakim PA dan

PTA tersebut kemudian memilih untuk menggunakan hak diskresi Hakim atau prinsip

contra legem dalam implementasinya.

Menurut hakim yang menerima putusan MK berpendapat bahwa cakupan putusan

tersebut termasuk untuk anak zina dan bukan sebatas anak hasil kawin sirri yang legal

secara hukum agama. Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 itu menurut beliau,

mencakup seluruh anak luar kawin termasuk anak zina. Anak zina perlu dipenuhi hak

asasinya, tidak boleh dikucilkan, atau mendapatkan sanksi social dari masyarakat. Dia

terlahir bukan karena keinginannya tetapi akibat pelanggaran norma yang dilakukan ke

dua orang tuanya. Dengan demikian, argumentasi di balik putusan MK No. 46/PUU-

VIII/2010 tidak lain merupakan bagian dari upaya untuk melindungi hak asasi anak

sebagaimana dirumuskan dalam deklarasi (HAM). Bahkan sikap semacam ini kalau

mau dikaji lebih mendalam, sejalan dengan tujuan hukum Islam (maqâshid al-Syarî’ah),

Page 159: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

156

yakni menjaga nyawa (hifdz al-nafs) yang dalam hal ini adalah hak hidup anak tanpa

ada tekanan dan diskriminasi dari pihak manapun. Apalagi dalam pandangan mazhab

fikih, terdapat pendapat mazhab Hanafi yang membolehkan penitsbatan anak zina

kepada ayah biologisnya, terutama ketika diyakini si ayah itu merupakan satu-satunya

orang yang menzinahi ibu si anak. Sedangkan kelompok hakim kedua menerima

putusan tersebut dengan tafsiran bahwa ataan cakupan putusan tersebut hanya terbatas

pada perkawinan siri saja, yakni perkawinan yang sah menurut agama sesusai ketentuan

pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan. Kelompok hakim ketiga menyatakan ketidaksetujuan

dan yang dimaksud dalam putusan MK tersebut adalah anak hasil perzinahan. Sehingga

putusan MK tersebut dipahami sebagai bentuk legalisasi zina.

2. Hakim menerima putusan MK berpendapat bahwa putusan MK yang menetapkan

hubungan keperdataan dengan ayah bilogisnya secara otomatis bersifat mengikat

sehingga dalam penerapannya bisa otomatis diterapkan karena ketentuan pasal 43 sudah

tidak berlaku. Sedangkan hakim yang menafsirkan bahwa maksud “anak luar kawin”

adalah anak hasil nikah siri bahwa putusan MK tersebut diterapkan dengan terlebih

dahulu disahkannya isbat nikah terlebih dahulu. Bila tidak mungkin dilakukan isbat

nikah karena ada halangan perkawinan maka putusan MK baru bisa diterapkan.

Sedangkan hakim yang menolak atau tidak setuju dengan putusan MK menyebut “hak

diskresi” hakim dalam memutuskan perkara tidak secara an sich dalam menerapkan

undang-undang, sehingga bisa saja hakim membuat putusan yang berbeda dengan

putusan MK, meskipun dapat menerima bahwa putusan MK bersifat final dan binding.

Prosedur sama dengan pendapat kedua anak di luar kawin baru akan mendapat

hubungan keperdataan dengan ayah biologisnya setelah perkawinan kedua orangtunya

diisbatkan Pengadilan. Pola pikir semacam ini karena ketentuan pasal 2 ayat (1) dan (2)

dipahami keduanya tidak terpisahkan.

B. SARAN/REKOMENDASI

1. Dengan dibacakannya Putusan MK Nomor 06/PUU-VIII/2010, maka seharusnya

pemerintah dan legislatif UU Perkawinan dan KHI harus disempurnakan agar terjadi

Page 160: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

157

kepastian hukum mengenai hubungan keperdataan anak luar kawin dengan ayah

biologisnya.

2. Perlu diadakan penelitian yang lebih luas terhadap pandangan hakim agama secara

lebih luas dan reaksi para pemuka agama terhadap putusan MK.

3. Perlu diinventarisasikan perkara yang sejenis dan perlu dikaji pula variasi putusan

hakim agama.

Page 161: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

109

DAFTAR PUSTAKA

Asqalani Ibn Hajar al-, Fath al-Bari, (Beirut: Dar al-Ma’rifah), juz X

Asshiddiqie, Jimly, “Kedudukan Mahkamah Konstitusi Dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia”, Makalah dipresentasikan dalam Kuliah Umum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Kamis, 2 September, 2004. Diakses dari www.jimlyasshiddiqie.com

Baihaqî, al-, Abû Bakr Ahmad bin al-Husein, Sunan al-Baihaqi al-Kubrâ, (Makah: Maktabah Dâr al-Baz, 1994), Editor: Muhammad Abdul Qâdir 'Atha. juz ke-7, hal. 443.

Bakr al-, Ianah al-Thalibin (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), Bukhârî, Abû Abdillah Muhammad bin Isma’il al-, al-Bukhâri bi Hasyiah

al-Sindy, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1995), juz ke-16. Chatib, Rasyid, “Anak Lahir Diluar Nikah (Secara Hukum) Berbeda

Dengan Anak Hasil Zina Kajian Yuridis Terhadap Putusan MK NO. 46/PUU-VII/2012”, Makalah disampaikan dalam Seminar Status Anak di Luar Nikah dan Hak Keperdataan lainnya, pada tanggal 10 April 2012, di IAIN Walisongo Semarang.

Dawud, Abu, Sunan Abi Dawud, (Beirut: Dar al-Fikr, 2001), jus ke-6 Emilda Kuspraningrum, Kedudukan dan Perlindungan Anak Luar Kawin, Ensiklopedi Hukum Islam, Nasab, Editor Abdul Azis Dahlan, (Jakarta:

Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), cet.ke-1, jilid ke-4. Erman Rajagukguk, “Ilmu Hukum Indonesia: Pluralisme”, h. 5. Makalah

disampaikan pada Diskusi Panel dalam rangka Dies Natalis IAIN Sunan Gunung Djati, Bandung, ke-37, 2 April 2005.

Euis Nurlaelawati, Modernization, Tradition and Identity: The Kompilasi Hukum Islam and Legal Practice in the Indonesian Religious Courts, (Amsterdam: Amsterdam University Press, 2010).

Fuad Thohari, Tafsir Ilmi, Materi Pembekalan LDII, di Jakarta;

Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Translated by Anders Wedberg, New York: Russell & Russell, 1961.

Himpunan Fatwa MUI, (Jakarta: Erlangga, 2011 Husein, Abdullah Ali, Muqarranah Tasyri’iyah Min Al Qawanin Al-

Wad’iyyah Wa Tasyri’il Islam Muqaranatan Bainil Fiqhil Qanuniyah Faransiy Wa Mazhabi Al-Imam Malik, (Kairo¨ Darul Ihya al-Kutub Arabiyah, 1997),

Page 162: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

110

Ibn Hanbal, Ahmad Abdullah al-Syaibani, Musnad al-Imâm Ahmad bin Hanbal, (Kairo: Muassasah Qurthubah, tth). juz ke-6.

Ibn Jarir al-Thabari, Tafsir al-Thabari, (Beirut: Dar al-Fikr, 2000), juz ke-21.

Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, (Beirut: Dâr al-Fikr, tth.), editor: Muhammad Fuad Abdul Baqi, jus ke-8,.

Ibn Taimiyah, al-Fatâwâ al-Kubra, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th), h. 273-274.

Ibn Taymiyah, al-Fatwa al-Kubra, (Ttp: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1987), jus ke-3.

Ibn Taymiyah, Majmu’ Fatwa, (Madinah: Majma’ Malik Fahd, 1995), jus ke-32.

Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 (Kompilasi Hukum Islam).

Jimly Asshiddiqy, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Cetakan Pertama, Jakarta: Konsatitusi Press, 2005

Jurjani al-, al-Ta’rifat, juz ke-1 Khallaf, Abdul Wahhab al-, Ahkam al-Ahwal al-Syahshiyyah fi al-Syari’ah

al-Islamiyah, (Mesir:Dar al-Kutub al-Mishriyah, 1938). Manan, Abdul, Aneka Permasalahan Hukum Perdata Islam, (Jakarta:

Kencana, 2008),.

Manzhȗr, Ibn al-, Lisân al-Arab, (Mesir: Dâr al-Ma‘ârif, t.th.), juz 13 Mawardi Abu al Hasan Ali bin Muhammad al-Bashri al-Baghdadi al-, al-

Nukat wa al-‘Uyun, (Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyah, tth.,), juz ke-3.

Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqh Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2007), hal. 388-389.

Nasâ’î, Ahmad bin Syu'aib Abû Abdirrahman al-, Sunan al-Nasa’i, (Halb: Dâr al-Wa'yi, 1396), editor: Mahmud Ibrahim Zaid, juz ke-11,

Nawawi, Abu Zakariya Yahya bin Syaraf al-, Raudlat al-Thalibin wa ‘Umdat al-Muftin, (Beirut: Dar al-Fikr, tth.), juz ke-3

Pound, Roscou, Pengantar Filsafat Hukum: Buku III. Penerjemah Moh. Radjab, (Jakarta: Bharata, 1963).

Qal’aji, Muhammad Rawwas, Mu’jam Lughat al-Fuqaha’, (Beirut: Dar al-Nafais, 1998), cet.ke-2,

Qurtuby al-, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, (Mesir: Dar al-Kutub al-Mishriyah, 1964), juz ke-xiii,.

Qusyairi, Muslim bin Hajjaj Abu Al-Husain al-, Shahih Muslim, (Beirut: Dar Ihya’ Turas al-Arabi, tth). juz ke-7.

Page 163: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

111

Qusyairi,Muslim bin Hajjaj Abu Al-Husain al-, Shahih Muslim, (Beirut: Dar Ihya’ Turas al-Arabi, tth). juz ke-7.

Ratno Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekular. Jakarta: Alvabet. Salim, Arskal, “Dynamic Legal Pluralism in Modern Indonesia: “The State

and the Sharia (Court) in the Changing Constellations of Aceh””, First International Conference of Aceh and Indian Ocean Studies, 24-27 February 2007. Diakses dari http://www.ari.nus.edu.sg/ docs%5CAceh-project%5Cfull-papers%5Caceh_fp_ arskalsalim.pdf

Sarkhasy, al-Mabsut, (Beirut:Dar al-Fikr, tth.), jus ke-20 Shabuni Ali al-, al-Tibyan fi Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, 1998). Shabuni, Muhammad Ali al- Pembagian Waris Menurut Islam terj. AM.

Basalamah (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), Shan’ani al-,Nail al-Authar, (Beirut: Dar al-Jail),. Shawi, Abu al-‘Abbas Ahmad bin Muhammad al-, Hasyiah al-Shawi ‘ala

Syarh al-Shaghir, (Mesir: Dar al-Ma’arif, 2001), jus ke-8. Sumadi, Ahmad Fadlil, “Mahkamah Konstitusi dan Putusan Judicial

Review UU Perkawinan”, Makalah, tidak diterbitkan,. Syamsul Anwar dan Isak Munawar, ”Nasab Anak di Luar Perkawinan

Paska Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-IIIV/2010 Tanggal 20 Februari 2010 Menurut Teori Fikih dan Perundang-undangan”.

Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Figh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, Jakarta: Kencana, 2007

Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, (Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyah, t.t), jus ke-2, hal. 12-23.

Taufiki, Muhammad, Konsep Nasab, Istilhaq, dan Hak Perdata Anak Luar NIkah, (Ahkam: Jurnal Ilmu Syari’ah, Vol XII, No. 2 Juli 2012).

Udin, Jurnalis dalam Laporan Penelitian “Khitan Perempuan dalam Perspektif Agama, Gender, dan Kesehatan.”2008.

Zaidan, Abdul Karim, Al-Mufasshal fi Ahkam al-Mar’ah (Beirut, Muassasah al-Risalah, 1413 H/ 1993 M), cet. ke-1

Zuhaili, Wahbah al- dalam kitabnya al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu (Damsyik: Dar al-Fikr, 2009), juz ke-7.

Page 164: DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44288/1/MOHAMAD... · OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO

112

Fatwa MUI Nomor: 11 Tahun 2012 Tentang Kedudukan Anak Hasil Zina dan Perlakuan Terhadapnya

Witanto, D.Y, Hukum Keluarga: Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca Keluarnya Putusan MK tentang Uji Materi UU Perkawinan, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2012

Wawancara dengan Edi Riadi, hakim PTA sekaligus Wakil Ketua PTA Jakarta pada tanggal 17 September 2014 pukul 13.00.

Wawancara dengan hakim PA Jakarta Timur, tanggal 15 Oktober 2014 pukul 10.00

Wawancara dengan hakim PA Jakarta Selatan, tanggal 23 September 2014, pukul 10.00.

Wawancara dengan hakim PA Jakarta Barat , tanggal 15 Oktober 2014, pukul 15.00.

Wawancara dengan hakim PA Jakarta Utara, tanggal 20 Oktober 201, pukul 09.00

Wawancara dengan hakim PA Tigaraksa, tanggal 11 Nopember 2014, pukul 11.00.

Wawancara dengan hakim PA Tangerang, pada tanggal 27 Oktober 2014, pukul 09.00.

Wawancara dengan hakim PA Cilegon tanggal 24 Nopember 2014, pukul 09.00.