DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG...
Transcript of DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA -VI/2010 TENTANG...
OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO 46/PUU
LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT
Laporan
OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO 46/PUU
DI LUAR NIKAH DI PEN(Studi Pandangan Hakim Agama Jakarta dan Banten)
PUSAT PENELITIAN DAN PENERBITAN LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT
UIN SYARIF
Penelitian Berbasis Publikasi Nasional Terakreditasi
OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO 46/PUU
DI LUAR NIKAH DI PEN(Studi Pandangan Hakim Agama Jakarta dan Banten)
Dr. H. Fuad Thohari,M.AgNIP.
Afwan Faizin,MANIP. 197210262002121001
Mohamad NIP.
PUSAT PENELITIAN DAN PENERBITAN LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Penelitian Berbasis Publikasi Nasional Terakreditasi
OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO 46/PUU-VI/2010 TENTANG STATUS ANAK
DI LUAR NIKAH DI PEN(Studi Pandangan Hakim Agama Jakarta dan Banten)
Peneliti:Dr. H. Fuad Thohari,M.Ag
NIP. 197003232000031Afwan Faizin,MA
NIP. 197210262002121001Mohamad Mujibur
NIP.197604082007101001
PUSAT PENELITIAN DAN PENERBITAN LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT
HIDAYATULLAH JAKARTATAHUN 2014
Penelitian Berbasis Publikasi Nasional Terakreditasi
OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH VI/2010 TENTANG STATUS ANAK
DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA(Studi Pandangan Hakim Agama Jakarta dan Banten)
Peneliti: Dr. H. Fuad Thohari,M.Ag
197003232000031 Afwan Faizin,MA
NIP. 197210262002121001Mujibur Rohman, MA
197604082007101001
PUSAT PENELITIAN DAN PENERBITAN LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT
HIDAYATULLAH JAKARTATAHUN 2014
Penelitian Berbasis Publikasi Nasional Terakreditasi
OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH VI/2010 TENTANG STATUS ANAK
ADILAN AGAMA(Studi Pandangan Hakim Agama Jakarta dan Banten)
Dr. H. Fuad Thohari,M.Ag
NIP. 197210262002121001 ohman, MA
197604082007101001
PUSAT PENELITIAN DAN PENERBITAN LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT
HIDAYATULLAH JAKARTA
Penelitian Berbasis Publikasi Nasional Terakreditasi
OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH VI/2010 TENTANG STATUS ANAK
ADILAN AGAMA (Studi Pandangan Hakim Agama Jakarta dan Banten)
LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT
OTORITAS IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH VI/2010 TENTANG STATUS ANAK
LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT
ABSTRACT
Pada tahun 2012 yang lalu, lembar sejarah Hukum
Perkawinan di Indonesia diwarnai oleh suasana ketegangan, atas
munculnya putusan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disingkat
MK) Republik Indonesia yang menyangkut hak waris anak luar
kawin. MK Republik Indonesia telah mengabulkan uji materi Pasal
43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan(selanjutnya disingkat UUP) yang diajukan oleh Machica
Mochtar yang telah melakukan pernikahan sirri. Berdasarkan Putusan
MK Nomor 46/PUU-VIII/2010, bahwa Pasal 43 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan(Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan“Anak
yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya,” bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-
laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan
teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata
mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya. Menurut Mahkamah
Konstitusi Pasal 43 ayat (1) UUP tidak memiliki kekuatan hukum
mengikat. Berdasarkan putusan tersebut, maka kedudukan dan hak
anak luar kawin termasuk hak anak biologis dalam hukum
perkawinan sirri dan hukum kewarisan memiliki kedudukan dan hak
yang sama sebagaimana anak sah (hasil perkawinan yang sah).
Putusan MK bersifat final dan mengikat, akan tetapi setelah
keluarnya putusan MK no 46 tahun ternyata tidak semua hakim
mentaatinya. Hal ini terbukti dengan putusan No
1241/Pdt.G/2012/PA JS Pengadilan Agama Jakarta Selatan, tanggal
24 April 2013 dikemukakan bahwa majelis PA Jaksel mengabulkan
gugatan penggugat untuk sebagian dan menyatakan anak yang
bernama Muhammad Iqbal Ramadhan, lahir pada tanggal 5 Februari
1996 adalah anak di luar perkawinan dari penggugat (Hj. Aisyah
Mochtar binti H. Mochtar) dan Drs. Moerdiono bin Sukadji
Soekomihardjo. Begitu pula putusan tingkat banding juga menolak
gugatan Machica untuk pengakuan status anak melalui putusan
nomor 75/Pdt.G/2013/PTA.JK
Dari uraian di atas, bisa diketahui bahwa putusan MKNO.
46/PUU-VIII/2010 Tentang Status Anak di Luar Nikah yang
menyatakan bahwa “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya
serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan
berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain
menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan
perdata dengan keluarga ayahnya”; memiliki resistensi yang sangat
tinggi. Hal ini terbukti dari putusan PA Jaksel dan PTA Jakarta di
atas. Bahkan bisa jadi pihak pengadilan Agama Jakarta Selatan dan
PTA Jakarta merasa tidak perlu memperhatikan putusan MK karena
secara hiraki bukan berada di bawah kewenangan MK, melainkan di
bawah Makamah Agung. Oleh sebab itu dalam memutuskan perkara
status anak luar nikah ini tidak perlu mempertimbangnkan putusan
MK. Atau bisa jadi karena masalah ini memang bersinggungan
bahkan menabrak norma hukum Islam tentang konsep pemeliharaan
nasab sebagaimana difatwakan oleh Majelis Ulama Indonesia melalui
fatwa no 11 Tahun 2012 Tentang Status Anak Zina dan Perlakuan
Terhadapnya.
Dari hasil penelitian mengenai pandangan para Hakim di
lingkungan Pengadilan Agama Jakarta dan Banten terhadap hasil
putusan MK No 46 tahun 2010 mengenai status anak di luar
perkawinan, diketahui bahwa para hakim mempunyai pandangan
yang beragam dalam menanggapi putusan MK tersebut. Tetapi pada
prinsipnya para Hakim tetap mengakui bahwa putusan MK adalah
bersifat final and binding namun hakim memiliki keleluasaan
menafsirkan hukum, sehingga hasil putusan masing-masing hakim
bisa berbeda dalam menetapkan status anak d luar perkawinan. Pada
posisi ini, hakim mempunyai keleluasaan untuk melakukan deskresi
maupun penafsiran pada undang-undang bergantung pada kasus yang
diajukan.
Penelitian ini bersifat kualitatif yang menggali masalah dari
berbagai teori yang ada kemudian dikomparasikan dengan data
lapangan sehingga menghasilkan kesimpulan yang sesuai antara teori
dan praktek.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Dasar Pemikiran
Pada tahun 2012 yang lalu, lembar sejarah Hukum Perkawinan di
Indonesia diwarnai oleh suasana ketegangan, atas munculnya putusan Mahkamah
Konstitusi (selanjutnya disingkat MK) Republik Indonesia yang menyangkut hak
waris anak luar kawin. MK Republik Indonesia telah mengabulkan uji materi
Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan(selanjutnya disingkat UUP) yang diajukan oleh Machica Mochtar
yang telah melakukan pernikahan sirri.1 Berdasarkan Putusan MK Nomor
46/PUU-VIII/2010, bahwa Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974
Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang
menyatakan“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya,” bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang
dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat
dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain
menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya. Menurut
Mahkamah Konstitusi Pasal 43 ayat (1) UUP tidak memiliki kekuatan hukum
mengikat. Berdasarkan putusan tersebut, maka kedudukan dan hak anak luar
kawin termasuk hak anak biologis dalam hukum perkawinan sirri dan hukum
kewarisan memiliki kedudukan dan hak yang sama sebagaimana anak sah (hasil
perkawinan yang sah).
Melalui putusan No 46/PUU-VIII/2010, Mahkamah Konstitusi (MK)
membuat sebuah terobosan hukum yang cukup fenomenal dalam bidang hukum
keluarga. Putusan ini melahirkan pro dan kontra di masyarakat karena dinilai
dapat membuka peluang untuk dipahami adanya hubungan perdata antara anak
yang dilahirkan dari hasil zina dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya.
Permohonan uji materi yang hasil putusannya sempat menimbulkan polemik ini
1Pernikahan sirri dalam arti perkawinan yang sah berdasarkan syarat dan rukun nikah sebagaimana syariat Islam, namun tidak dicatat dalam buku registrasi perkawinan.
2
diajukan oleh Machicha Mochtar, mantan istri siri alm. Moerdiono seorang
pejabat papan atas era Orde Baru.
Pasal yang diajukan untuk diujimaterikan oleh pemohon pada mulanya
meliputi pasal 2 dan pasal 43 UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Tetapi
MK hanya mengabulkan sebagian dan menolak sebagian lainnya. Mahkamah
Konstitusi menyampaikan amar putusan dengan mengadili dan menyatakan
Pertama, Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian; Kedua, Pasal
43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di
luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya”,2 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata
dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan
teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan
darah sebagai ayahnya; Ketiga, Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974
Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang
menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, tidak memiliki kekuatan
hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan
laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi
dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah
sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di
luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga
ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan
berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut
hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan
keluarga ayahnya”; Keempat, Menolak permohonan para Pemohon untuk selain
2 Soebekti dan Tjitrosoedibio, Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,
Jakarta: Pradnya Paramita, 1985, h. 10.
3
dan selebihnya; Kelima, Memerintahkan untuk memuat putusan ini dalam Berita
Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
Dengan lahinrnya putusan MK No 46/PUU-VIII/2010 yang dibacakan
pada hari Jumat 17 Februari 2012 itu, bisa diketahui bahwa dengan diakuinya
anak luar nikah menjadi anak sah, sangat memungkinkan munculnya beragam
penafsiran. Harian Republika sehari setelah putusan itu dikeluarkan menulis
sebuah berita berjudul KUA khawatir putusan MK ini justru mendorong
masyarakat berzina. Detik com beberapa menit setelah putusan itu dibacakan oleh
ketua MK memuat berita bahwa Pro kontra masyarakat menyikapi putusan
Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengakui anak di luar nikah mulai
bermunculan.3
Sementara itu menurut ketua MUI Amidan, putusan MK itu sudah
merupakan bahasan turunan dari UU perkawinan. Untuk pasal yang telah
disahkan oleh MK, menurutnya sudah masuk dalam ranah fikih, ketika sudah
masuk dalam wilayah fikih, tentunya akan ada beragam pendapat. Sedangkan
Wakil Menteri Agama, Nasaruddin Umar, ia menyatakan siap menjalankan
putusan MK. Ia juga mengatakan bahwa kalau putusan MK memerintahkan anak
yang lahir di luar pernikahan memiliki hubungan perdata dengan ayah dan
keluarga ayahnya, maka putusan tersebut yang harus diterapkan.4
Pro kontra semacam ini pada dasarnya jauh-jauh hari telah diprediksi
bahkan disampaikan oleh salah seorang hakim MK Harjono, pada 1 Desember
2010, ketika uji materi UU ini sedang dalam proses ia pernah mengatakan bahwa
Seandainya Pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dinilai
bertentangan UUD 1945 dan dimohon untuk dicabut akan berimplikasi luas.
Karenanya, pemohon diminta mempertimbangkan kembali permohonannya. Oleh
sebab itu pasal ini oleh ijtihad hakim MK dirumuskan menjadi anak yang
dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
3 http//www.detik.com/ Pasca Putusan MK, Wamenag: Anak di Luar Nikah Bisa Dapat
Akta Lahir, berita tanggal 17/02/2012 4 http//www.detik.com/ Pasca Putusan MK, Wamenag: Anak di Luar Nikah Bisa Dapat
Akta Lahir, berita tanggal 17/02/2012
4
keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan
berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut
hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga
ayahnya".
Kata “mempunyai hubungan darah” dalam rumusan pasal perubahan ini
memang sangat sensitif, sebab hubungan darah dalam kajian hukum Islam adalah
nasab. Padahal nasab merupakan salah satu dari al-Kulliyyah al-Khams, al-
Dharuriyyat al-Khams atau panca jiwa syariah yang harus dijaga keutuhan dan
kemurniannya. Nasab tidak mungkin dibentuk melalui jalan perzinaan, sedang
rumusan pasal hasil ijtihad MK ini jelas-jelas mengakui keabsahan nasab anak di
luar nikah yang tetap memiliki hubungan nasab dengan bapak kandungnya.
Polemik seperti ini terus berkepanjangan sejak putusan MK ini dibacakan
Jumat tanggal 17 Februari 2012. Hal ini bahkan disinyalir akan terus menjadi
bahan diskusi serius di kalangan pemerhati, akademisi dan praktisi hukum perdata
Islam di Indonesia. Di berbagai media baik cetak maupun elektronik masalah
status anak luar nikah ini menjadi bahan polemik yang terus akan berkelanjutan
hingga dibuat Peratusan Pemerintah atau Petunjuk Teknis dari Instansi terkait,
seperti Mahkamh Agung dan Kemenag serta kementerian terkait lain seperti
Kemenhukham, Kemendagri dan kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak.5
Di sisi lain, pada saat pro kontra terus bergulir di masyarakat, pihak
pemohon uji materi ini tentu saja merasa sedikit lega dengan dikabulkannya
permohonan ini. Bahkan Machicha Mochtar melalui kuasa hukumnya, Rusdianto
dan rekan mulai menyusun strategi dan langkah-langkah hukum untuk
menindaklanjuti hasil putusan MK ini. Langkah pertama mereka pelajari secara
seksama putusan MK itu untuk dijadikan salah satu dasar permohonan status
hukum anak luar nikah. Langkah kedua pihak pemohon mengajukan surat
bernomor 30/KH.M&M/K/III/2012 tertanggal 06 Maret 2012 kepada Pengadilan
5 http//www.detik.com/ Pasca Putusan MK, Wamenag: Anak di Luar Nikah Bisa Dapat
Akta Lahir, berita tanggal 17/02/2012
5
Agama (PA) Tiga Raksa, perihal Permohonan Penetapan hubungan hukum anak
luar kawin dengan ayah biologisnya.
Menanggapi permohonan perihal penetapan hubungan hukum anak luar
kawin dengan ayah biologisnya ini, pihak PA TigaRaksa menolak dan
menyatakan permohonan ini tidak bisa diproses. Alasan utamanya adalah karena
dalam masalah ini sudah ada unsur persengketaan, sehingga tidak cukup dengan
permohonan melainkan harus dalam bentuk gugatan yang harus dialamatkan pada
pengadilan agama di mana para tergugat berdomisili. Dalam hal ini Machicha
Mochtar sebagai penggugat dan keluarga alm. Mordiono sebagai tergugat.6
Gugatan ini terpaksa diajukan setelah sebelumnya pengajuan permohonan
penetapan hubungan hukum anak luar kawin dengan ayah biologisnya yang
ditujukan ke PA Tigaraksa ditolak karena dinilai sebagai permohonan yang
seharusnya diajukan di PA Jakarta Selatan, tempat para tergugat berada. Di
samping upaya istbat nikah atau penetapan anak beberapa tahun sebelumnya
juga tidak dikabulkan, dengan alasan karena ada halangan kawin, karena Drs.
Moediono masih berstatus sebagai suami istri pertama. Pasca putusan MK Nomor
46/PUU-VII/2010 tanggal 17 Februari 2012, majelis hakim PA Tigaraksa
berpendapat bahwa permohonan tersebut mengandung persengketaan antara
penggugat dengan calon ayah biologisnya atau keluarga ayah biologisnya.7
Dalam gugatan ini, para tergugat diposisikan sebagai pihak, karena dalam
lapangan hukum keluarga dan harta kekayaan, ahli waris merupakan subyek
hukum yang bertindak mewakili kepentingan hukum pewaris. Jadi para tergugat
adalah subyek hukum yang bertindak mewakili kepentingan hukum alm. Drs.
Moerdiono. Upaya ini ditempuh dalam rangka mempermudah proses pembuktian
sebagaimana bunyi pasal 43 ayat (1) UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan,
pasca putusan MK yang menyatakan bahwa Anak yang dilahirkan di luar
perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya
6 Wawancara dengan Dra. Muhayah MH, Hakim pada pengadilan Agama Tigaraksa
tanggal 11 Nopember 2014 7 Wawancara dengan Dra. Muhayah MH, Hakim pada pengadilan Agama Tigaraksa
tanggal 11 Nopember 2014
6
serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai
hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.
Gugatan ini oleh pihak tergugat dinilai sebagai gugatan yang sama sekali
tidak tepat dan salah alamat. Sebab para tergugat yang terdiri dari istri alm. Drs.
Moerdiono dan anak-anaknya tidak mempunyai hubungan hukum dengan
penggugat, karena sengketa dalam perkara A quo, adalah sengketa berupa
tuntutan yang diajukan oleh penggugat terhadap seorang laki-laki bernama Drs.
Moerdiono yang dalam hal ini adalah Almarhum suami, ayah dan kakek dari para
tergugat. Dengan demikian, dalam perjuangan lanjutan Machicha Mochtar
setelah putusan MK yang sempat menghebohkan tatanan dunia hukum keluarga
Islam Indonesia itu memang sudah terjadi perseteruan antara penggugat dan
tergugat. Pihak penggugat bersikeras bahwa gugatan bisa ditujukan kepada para
ahli waris, yang meliputi istri dan anak-anak alm. Drs Moerdiono sedangkan
pihak tergugat merasa tidak ada urusan hukum dengan pihak penggugat.
Akhirnya dalam amar putusan nomor 1241/Pdt.G/2012/PA JS Pengadilan
Agama Jakarta Selatan, tanggal 24 April 2013 dikemukakan bahwa majelis PA
Jaksel mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian dan menyatakan anak
yang bernama Muhammad Iqbal Ramadhan, lahir pada tanggal 5 Februari 1996
adalah anak di luar perkawinan dari penggugat (Hj. Aisyah Mochtar binti H.
Mochtar) dan Drs. Moerdiono bin Sukadji Soekomihardjo.
Putusan PA Jakarta Selatan ini jelas mengecawakan pihak penggugat,
hingga tepat empat hari dari penetapan putusan ini terdapat sebuah acara debat di
sebuah stasiun TV swasta Nasional berjudul “Perjuangan Machicha Berujung
Duka”. Merasa tidak puas dengan putusan PA Jaksel ini, pihak penggugat
menyatakan pikir-pikir dan akhirnya mengupayakan banding untuk sebuah
perjuangan status anak luar kawin agar menjadi anak sah yang diakui Negara dan
pada akte kelahirannya bukan hanya disebutkan sebagai anak seorang ibu, tetapi
juga anak seorang bapak.
Tetapi apa yang terjadi, pada tingkat banding perkara status anak luar
nikah yang sudah diperjuangkan dengan sungguh-sungguh hingga pada uji
7
materiil pasal 43 UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan di MK ini tetap
ditolak. Pengadilan Tinggi Agama Jakarta melalui putusan nomor
75/Pdt.G/2013/PTA.JK yang diucapkan pada hari Selasa, tanggal 1 Oktober 2013
mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagain dan menyatakan anak yang
bernama Muhammad Iqbal Ramadhan , lahir pada tanggal 5 Februari 1996 adalah
anak di luar perkawinan dari penggugat (Hj. Aisyah Mochtar binti H. Mochtar)
dan Drs. Moerdiono bin Sukadji Soekomihardjo.
Putusan ini lagi-lagi sangat mengecewakan pihak pembanding karena isi
putusannya sama persis dengan putusan PA Jaksel yang secara jelas menyatakan
bahwa anak yang lahir akibat nikah siri antara Machicha Mochtar dan alm.
Moerdiono tetap dinyatakan sebagai anak luar nikah dan tidak ada secercah
harapan pun hingga putusan ini dibacakan. Tentu saja pihak penggugat atau
pembanding sudah berupaya semaksimal mungkin dalam berjuang, hingga
dipastikan rasa pesimistis dalam upaya Kasasi terkait perkara ini akan dapat
membuahkan hasil seperti yang diharapkan.
Dari uraian di atas, bisa diketahui bahwa putusan MKNO. 46/PUU-
VIII/2010 Tentang Status Anak di Luar Nikah yang menyatakan bahwa “Anak
yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya
dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat
dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain
menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan
keluarga ayahnya”; memiliki resistensi yang sangat tinggi. Hal ini terbukti dari
putusan PA Jaksel dan PTA Jakarta di atas. Bahkan bisa jadi pihak pengadilan
Agama Jakarta Selatan dan PTA Jakarta merasa tidak perlu memperhatikan
putusan MK karena secara hiraki bukan berada di bawah kewenangan MK,
melainkan di bawah Makamah Agung. Oleh sebab itu dalam memutuskan
perkara status anak luar nikah ini tidak perlu mempertimbangnkan putusan MK.
Atau bisa jadi karena masalah ini memang bersinggungan bahkan menabrak
norma hukum Islam tentang konsep pemeliharaan nasab sebagaimana difatwakan
8
oleh Majelis Ulama Indonesia melalui fatwa no 11 Tahun 2012 Tentang Status
Anak Zina dan Perlakuan Terhadapnya.8
B. Rumusan dan Pembatasan Permasalahan
Yang menjadi pokok permasalahan dalam studi ini adalah menyoal
Pandangan Hakim Pengadilan Agama terhadap putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 46/PUU-VIII/2010 terkait status hukum anak di luar nikah di tengah
pluralitas sistem hukum Nasional Indonesia. Apakah Para Hakim setuju atau tidak
sejutu terhadap putusan tersebut ? Permasalahan ini akan didekati lewat dua sudut
pendekatan, yakni sejarah sosial dan normatif hukum. Oleh karena itu fokus
kajian ini dapat diuraikan ke dalam beberapa pertanyaan penelitian (research
questions) berikut ini:
1. Bagaimana pandangan hakim-hakim agama di wilayah DKI Jakarta dan Banten
mengenai Putusan MK NO. 46/PUU-VIII/2010 Tentang Status Anak Di Luar
Nikah?
2. Dalil-dalil hukum apa yang dikemukakan oleh hakim-hakim agama terkait
penolakan terhadap implementasi Putusan MK NO. 46/PUU-VIII/2010
Tentang Status Anak Di Luar Nikah?
Permasalahan ini akan diteliti secara proporsional di Pengadilan Agama
dan Pengadilan Tinggi Agama di Propinsi DKI Jakarta dan Propinsi Banten
dengan melakukan wawancara dan kajian ilmiah dengan melibatkan para hakim
PA di kedua wilayah tersebut. Penelitian dilakukan dengan menelaah putusan-
putusan Pengadilan Agama selama periode 2008-2014 yang terkait dengan status
anak luar nikah. Dan fokus penelitian adalah pandangan Para Hakim Agama dan
8 Fatwa MUI No 11 tahun 2012 Tentang Status Anak Zina dan Perlakuan Terhadapnya, Di dalam fatwa ini yang dimaksud dengan :
1. Anak hasil zina adalah anak yang lahir sebagai akibat dari hubungan badan di luar pernikahan yang sah menurut ketentuan agama, dan merupakan jarimah (tindak pidana kejahatan).
2. Hadd adalah jenis hukuman atas tindak pidana yang bentuk dan kadarnya telah ditetapkan oleh nash
3. Ta’zir adalah jenis hukuman atas tindak pidana yang bentuk dan kadarnya diserahkan kepada ulil amri(pihak yang berwenang menetapkan hukuman).
4. Wasiat wajibah adalah kebijakan ulil amri (penguasa) yang mengharuskan laki-laki yang mengakibatkan lahirnya anak zina untuk berwasiat memberikan harta kepada anak hasil zina sepeninggalnya.
9
argumennya mengenai status anak luar perkawinan pasca putusan MK No 46
tahun 2010.
C. Tujuan, Manfaat, dan Signifikansi Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui Pandangan para hakim Agama di Propinsi DKI
Jakarta dan Banten mengenai Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010
Tentang Status Anak Di Luar Nikah
b. Untuk mengetahui secara parsial Dalil-dalil hukum yang dikemukakan
oleh hakim-hakim agama terkait penerimaan dan penolakan Putusan
MK NO. 46/PUU-VIII/2010 Tentang Status Anak Di Luar Nikah.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penulisan ini sebagai berikut:
a. Bagi peneliti
Untuk memperdalam wawasan dan pengetahuan peneliti dalam hal
pertimbangan-pertimbangan Hakim Agama dalam menghadapi perkara
anak di luar perkawinan pasca keluarnya putusan MK no 46 tahun 2014
b. Bagi Pengadilan Agama
Sebagai sarana tukar informasi dalam menggali dan mengintrepretasi
hukum Islam oleh hakim pengadilan Agama di Indonesia serta membuat
persamaan persepsi dalam menangani perkara sejenis.
c. Bagi akademisi
Memberikan kontribusi bagi pemikiran hukum Islam di masa modern
dengan adanya berbagai pandangan yang berbeda di antara hakim-hakim
agama.
d. Bagi masyarakat
Memberikan sumbangan pemikiran dan menambah literatur mengenai
status hukum anak luar perkawinan dan kedudukannya dalam hukum
Islam dan serta hukum perdata Indonesia.
10
Penelitian ini memiliki nilai signifikansi, antara lain: Pertama,
memberikan uraian ilmiah dan mendalam tentang status anak luar nikah baik
karena nikah siri maupun karena sebab lain di luar nikah dalam perspektif hukum
Islam dan hukum positif. Kedua, memberikan bahan kajian komprehensif tentang
konsep anak sah dalam Undang-undang dan sistem hukum lain, dalam hal ini
hukum Islam. Ketiga, memberikan pemahaman tentang duduk perkara terkait
terbitnya Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010.
D. Hasil Penelitian Terdahulu
Sejauh penelusuran penulis, belum ditemukan tulisan yang secara khusus
dan mendetail membahas tentang pandangan Hakim Pengadilan Agama terhadap
status anak luar kawin (studi putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010), Namun
terdapat tulisan yang berhubungan dengan kajian status anak luar kawin, seperti:
Skripsi Siti Nur Malikhah (Mahasiswa IAIN Walisongo Semarang) yang
berjudul Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 46/PUU-VIII/2010
tentang Kedudukan Anak di Luar Perkawinan. Dalam skripsi ini dijelaskan
mengenai kedudukan anak di luar perkawinan. Setiap anak yang dilahirkan pasti
mempunyai hak-hak konsitusi yang harus dilindungi. Mengenai hak konstitusi
anak di atur dalam Pasal 28 B ayat 1 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Namun
tidak semua anak mendapatkan hak tersebut, seperti halnya anak luar kawin yang
tidak bisa mendapatkan hak konstitusional sebagai anak. Kedudukan anak luar
kawin berbeda dengan anak sah, hal ini dipengaruhi oleh ada atau tidaknya
hubungan perkawinan antara ibu dan ayahnya. Anak luar kawin hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya. Ketentuan ini di
atur dalam Undang-Undang Perkawinan (UUP) No 1 Tahun 1974 Pasal 43 ayat 1.
Menurut Mahkamah Konstitusi (MK) ketentuan tersebut di anggap tidak
adil karena anak luar kawin tidak seharusnya menanggung dosa akibat perbuatan
orang tuanya. Oleh karena itu MK menetapkan bahwa anak luar kawin juga
memiliki hubungan perdata dengan ayah dan keluarga ayahnya, sehingga Pasal 43
ayat 1 UUP No 1 Tahun 1974 berbunyi "anak yang lahir di luar perkawinan hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan
11
laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan
dan tekhnologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan
darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya." Mengenai hak
waris anak luar kawin, dalam hukum Islam anak luar kawin tidak bisa menjadi
ahli waris maka hukum Islam memberikan alternatif lain seperti diberikan 1/3
harta pewaris untuk anak luar kawin.
Tinjauan Yuridis Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUUVIII/
2010 Terhadap Anak Luar Kawin Dihubungkan dengan Kompilasi Hukum Islam
dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Tesis yang
disusun oleh Dwi Zalyunia (Mahasiswa Universitas Indonesia). Dalam tesis ini
menerangkan bahwa secara normatif anak luar kawin hanya mempunyai
hubungan perdata dengan ibu, dan keluarga ibunya, akan tetapi Putusan
Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 46/PUU/VIII/2010 mengubah status
kedudukan anak luar kawin sehingga anak luar kawin mempunyai hubungan
perdata dengan ayahnya dan keluarga ayahnya. Penelitian dalam tesis ini
menekankan pada efektifitas putusan MK terhadap KHI dan UU No 1 Tahun 1974
tentang perkawinan. selain itu dalam tesis ini juga membahas mengenai akibat
dari putusan MK tersebut, dalam hal ini yaitu mengenai pewarisan anak luar
kawin dengan ayah biologisnya. Kesimpulan dari penelitian ini menyatakan
bahwa:
1. Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 tentang Anak Luar Kawin
bertentangan dengan KHI dan UU No 1 Tahun 1974 sehingga apabila dalam
hal waris bertentangan dengan ajaran agama maka putusan tersebut tidak
wajib untuk diikuti.
2. Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 tentang Anak Luar Kawin
mengaburkan ketentuan mengenai anak luar kawin maupun anak zina,
padahal ketentuan yang terdapat dalam UU No 1 Tahun 1974 dan KHI telah
sesuai dengan agama yang berlaku di Indonesia. Penyesuaian itu sejalan
dengan Pasal 29 UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
12
Syamsul Anwar dan Isak Munawar dalam Makalah mereka yang berjudul
Nasab Anak di Luar Perkawinan Paska Putusan Mahkamah Konstitusi (MK)
Nomor 46/PUU-VIII/2010 Tanggal 27 Pebruari 2012 Menurut Teori Fikih dan
Perundang-undangan menjelaskan poin, diantaranya yaitu:
1. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan pemohon yang
mengandung cacat hukum. kecacatan tersebut karena pemohon mendalilkan
mengenai kasus anak yang lahir dari poligami di bawah tangan, yang menurut
hukum masih dimungkinkan mendapatkan jaminan hukum. Sedangkan yang
dimohonkan adalah me-review ketentuan Pasal 2 ayat (2) juga ketentuan Pasal
43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang status hukum anak
yang lahir di luar perkawinan.
2. Menurut hukum status anak akibat poligami bawah tangan dengan luar kawin
berbeda. Namun dalam putusan MK menganalogikan anak yang lahir akibat
poligami bawah tangan dengan anak luar kawin.
3. Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang senada dengan
Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam (KHI), jika dilihat dari substansinya tidak
bertentangan dengan Pasal 28 B ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar
1945.
4. Putusan MK mengandung banyak polemik dalam masyarakat muslim yang
berkepanjangan, karena putusan MK bertentangan terutama dengan Pasal 28 B
ayat (1) UUD 45 dan bertentangan dengan Syari’at Islam.
5. Putusan MK berupaya melegalkan suatu akibat dari perbuatan yang melanggar
hukum sehingga melahirkan ketentuan normatif yang tidak mendorong untuk
terciptanya suasana masyarakat yang tertib dan ta’at hukum.
6. Pasal 43 ayat (1) yang telah di review oleh putusan MK hanya berlaku dalam
hubungan hukum keperdataan antara anak dengan ayah biologisnya, selain
hubungan keperdataan perwalian dalam perkawinan dan selain hubungan
keperdataan dalam kewarisan.
Diskusi Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi R.I. Nomor
46/PUUVIII/2010 Tanggal 27 Februari 2012 Tentang Pengubahan Pasal 43
UUP Tentang Hubungan Perdata Anak Dengan Ayah Biologisnya Oleh A. Mukti
13
Arto. Dalam tulisan hasil diskusi hukum hakim PTA dan PA dijelaskan bahwa
putusan MK Nomor 46/PUU-VII/2010 merupakan penyempurnaan hubungan
perdata anak dengan orang tuanya tanpa mempersoalkan perkawinan orang
tuanya. Perubahan Pasal 43 ayat (1) UUP bertujuan untuk memberi perlindungan
hukum bagi anak yang dilahirkan dan mewajibkan ayah yang mempunyai
hubungan darah untuk bertanggung jawab. Perubahan Pasal 43 ayat (1) UUP
memunculkan hukum baru, seperti hubungan hubungan nasab, mahram, hak dan
kewajiban, wali nikah serta hubungan pewarisan. Perubahan tersebut tidak
bertentangan dengan syari’at Islam karena pada dasarnya anak dilahirkan dalam
keadaan fitrah.
Adapun kaitannya dengan penelitian yang penulis bahas adalah sama
membahas tentang polemik putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010, akan tetapi
berbeda dengan penelitian ini, letak perbedaannya adalah karena penulis mengkaji
pandangan para hakim agama di lingkungan Pengadilan Agama pasca keluarnya
putusan Mahkamah Konstitusi mengenai status anak di luar nikah. Hal ini
menegaskan bahwa belum pernah dijumpai penelitian terdahulu yang sama
dengan penelitian ini.
E. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini akan menggunakan pendekatan deskriptif analisis dalam
kerangka yuridis sosiologis. Pemilihan pendekatan ini dengan menimbang empat
hal. Pertama, gejala atau fenomena yang diteliti lebih merupakan gejala sosial
politik yang bersifat dinamis, yakni dinamika politik hukum keluarga Islam di
Indonesia. Kedua, Subject Matter (materi) dalam penelitian ini adalah
menyangkut suatu dinamika sosial, proses politik, hasil-hasil, dan
keberlangsungan. Ketiga, merupakan pertimbangan subyektif peneliti, yakni
bahwa dinamika pilitik hukum keluarga di Indonesia bukanlah diskursus
sederhana, karenanya baru bisa dipahami dengan baik apabila data dan
informasinya dipaparkan secara lengkap dengan mengembangkan kategori-
kategori yang relevan, termasuk dengan analisa interpretatifnya. Keempat, dari
14
pelbagai teori yang digunakan dapat dinyatakan termasuk dalam gugusan teori
dalam Metode Pengambilan Data dan Sumbernya
Terdapat dua pertimbangan dalam memilih metode pengumpulan data dan
informasi, yakni hubungan antara paradigma pluralis. Penelitian ini pada akhirnya
menunjukkan wataknya yang kualitatif.9
2. Jenis Data dan Sumber Data
Dalam penelitian ini menggunakan dua jenis sumber data, yaitu:
a. Data Primer
Merupakan data yang diperoleh langsung dari hasil wawancara pihak
pihak Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama di wilayah
Jakarta dan Banten. Data primer yang lain adalah putusan MK tentang
status anak luar kawin, putusam PA Jaksel, Putusan PA Tigraksa dan
putusan PTA Jakarta.
b. Data Sekunder
Adalah data yang diperoleh dari literatur-literatur kepustakaan seperti
buku-buku, internet serta sumber lainnya yang berkaitan dengan materi
penelitian ini.
3. Pengolahan Data dan sumbernya
Terdapat dua pertimbangan dalam memilih metode pengumpulan data dan
informasi, yaitu hubungan antara pertanyaan penelitian (research questions) serta
pengumpulan data dan trianggulasi metode yang berbeda (menggunakan sumber-
sumber informasi dan metode yang beragam).10
Dengan demikian, untuk memperoleh informasi yang memadai dari
pertanyaan-pertanyan penelitian ini maka dimungkinkan mengkombinasikan
empat teknik, yakni: wawancara atau interview mendalam, dokumentasi, diskusi
terfokus, dan studi literatur yang relevan.
Pertama, wawancara mendalam (indepth interview). Wawancara
9 Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gajah Mada University
Press, 1991, Cet. Ke-5, h. 24. 10 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka
Cipta, 1996, h. 236.
15
mendalam akan dilakukan dengan informan kunci (key informants). Informan
kunci antara lain: para pelaku sejarah, pakar hukum Islam Indonesia, politisi,
pakar hukum tatanegara, ulama, dan sebagainya.
Kedua, studi dokumentasi. Studi dokumentasi dimaksudkan guna
memotret dinamika politik hukum keluarga Islam selama kurun waktu pra
kemerdekaan hingga orde reformasi. Sumber-sumber dokumen dimaksud antara
lain: perundang-undangan, keputusan-keputusan yurisprudensi, berupa putusan
PA dan PTA, surat kabar harian, majalah, dan sebagainya.
Ketiga, diskusi kecil terfokus (focussed small discussion). Cara ini
dilakukan sebanyak 1 (satu) hingga 2 (dua) kali untuk membahas suatu diskursus
yang bersifat khusus atau spesifik yang memerlukan kajian lebih mendalam dan
pemecahan.
Keempat, Studi literatur terkait. Langkah ini dilakukan dengan cara mem-
pelajari tulisan-tulisan seputar sejarah sosial, politik, dan hukum keluarga Islam di
Indonesia, berupa buku, artikel, makalah, dan sebagainya.
4. Analisis Data
Strategi analisis data dilakukan dengan 3 cara, yakni: Pertama,
menguraikan pandangan hakim agama pandangan dan argumentasi hukum hakim
agama di Jakarta dan Banten; Kedua; mengelompokkan panadangan-pandangan
tersebut dalam kategori-kategori; dan Ketiga; membandingkan pandangan hakim
agama tersebut dengan pandangan para pakar lain dan konsep-konsep dalam
disiplin hukum dan fikih..11
5. Penulisan Laporan
Laporan penelitian ditulis secara naratif-analitis.12 Peneliti tidak hanya
akan menyajikan paparan tentang data atau informasi yang bersumber dari
informan dan data dokumen (realist tale), terlebih tidak hanya berdasarkan kesan
11 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1990, h. 103
12 Mukti Fajar Yulianto Ahmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000, Cet. Ke- 1, h. 183.
16
peneliti yang dicoba ditafsirkan secara dramatis (impressionist tale), melainkan
lebih mengembangkan analisis berdasarkan penafsiran-penafsiran norma hukum
Islam dan rasionalitas.
F. Sistematika Penulisan
Dalam menggambarkan suatu pembahasan secara umum, penelitian ini
dibagi dalam 5 (lima) bab yang setiap bab mempunyai kaitan antara yang satu
dengan yang lain. Adapun gambaran sistematikanya adalah sebagai berikut:
Bab satu Pendahuluan berisi tentang dasar Pemikiran, Rumusan dan
Pembatasan Masalah, Tujuan dan Signifikansi Penelitian, Kajian Pustaka, Metode
Penelitian, dan Sistematika Penulisan, yang semuanya sebagai bab pembuka
sebagai gambaran pembahasan secara umum
Bab kedua membahas status hukum anak luar perkawinan dalam hukum
Islam dan hukum perdata. Dalam bab ini menerangkan konsep teoritis penelitian,
meliputi Pengertian nasab dalam hukum Islam, Normatif Hukum tentang Status
Anak dan Urgensi pemeliharaan Nasab, Dualisme Pemaknaan dalam hukum
perdata dan hukum Islam di Indonesia. Bagian ini penting dibahas sebagai
landasan teori bagi pembahasa sesudahnya.
Bab ketiga beris tentang berbagai alasan konteks judicial reviev, dan dasar
pertimbangan Majelis MK dalam memutus uji materiil UUP No 1 1974 Bab ini
berisi berbagai alasan Konteks Pengajuan Judicial Review, dan Dasar
Pertimbangan Majelis Hakim MK dalam memutus perkara. Pada bab ini akan
diulas kedudukan MK dalam tata negara Indonesia dan keberlakuan putusannya.
Bab keempat berisi tentang pandangan dan Argumen yang yang menerima
putusan MK.
Sedangkan Bab kelima berisi pandangan dan Argumen Hakim Agama
yang menolak hasil putusan MK tersebut.
17
BAB II
STATUS HUKUM ANAK LUAR NIKAH DAN KONSEP NASAB
DALAM HUKUM ISLAM
A. PENGERTIAN NASAB
Islam sebagai agama samawi terakhir, konsep ajarannya tidak saja
mengatur hubungan manusia sebagai makhluk dengan Allah sebagai al-khaliq
tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan sesama atau makhluk lain. Islam
sudah memiliki konsep nasab yang sudah baku dan dinyatakan secara eksplisit
dalam nash, baik al-Qur’an maupun al-Hadis. Untuk mempertegas bahwa konsep
nasab ini memiliki substansi dan makna khusus, selain term nasab dalam Islam
dikenal istilah tabanny (adopsi1), di mana masing-masing secara substansial
memiliki makna yang berbeda..
Nasab (Arab: al-nasab2) berarti keturunan atau kerabat (terutama dari
pihak bapak); pertalian keluarga3. Sebagian ahli bahasa mengatakan, "Nasab
khusus pada ayah, artinya seseorang dinasabkan kepada ayahnya saja dan tidak
dinasabkan kepada ibu kecuali dalam keadaan luar biasa4. Ibn Mandzur al-Ifriqy
mengatakan, term nasab berbentuk mufrad (tunggal), jama’nya al-ansab. Secara
literal berarti kekerabatan. Term Nasab ini dapat dinisbatkan kepada bapak atau
dinisbatkan kepada negaranya, atau bisa juga dinisbatkan kepada teknologi5.
1Tabanny biasanya diterjemahkan dengan adopsi yang berarti mengangkat anak orang
lain dan diperlakukan layaknya anak kandung. Dalam prakteknya, anak angkat dianggap memiliki hubungan nasab, mendapat warisan, dsb. Kondisi semacam ini sempat berjalan di zaman jahiliah dan bahkan dilakukan Rasulullah saw, ketika mengangkat Zaid bin Haritsah (budak yang dihadiahkan Khadijah kepada Nabi Muhammad saw). Tidak lama kemudian, praktek adopsi semacam ini dihentikan Islam. Allah SWT telah menegaskan keharaman adopsi dalam surat al-Ahzab/33:5.
2Ensiklopedi Hukum Islam, Nasab, Editor Abdul Azis Dahlan, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), cet.ke-1, jilid ke-4, hal. 1304-1305.
3http://artikata.com/arti-341961-nasab.html 4http://ms.wikipedia.org/wiki/Nasab 5Redaksi dalam kitab Lisan al-‘Arab, sbb.:
ة وقیل النسب نسب القرابات وھو واحد األنساب ابن سیده النسبة والنسبة والنسب القرابة وقیل ھو في اآلباء خاص ناعة وقد اضطر النسبة مصدر االنتساب والنسبة االسم التھذیب النسب یكون بالآلباء ویكون إلى البالد ویكون في الص
یا عمرو یا ابن األكرمین نسبا ... قد نحب المجد علیك نحبا الشاعر فأسكن السین أنشد ابن األعرابيLihat, Ibn Mandhur al-Ifriky, Lisan al-‘Arab, (Beirut: Dar al-Shadar, 1414), jilid ke-1,
hal.755. Pernyataan Ibn Mandzur ini dikutip Muhammad Taufiqi, hanya saja penggalan pada kata al-shina’ah diterjemahkan dengan pabrik. Lihat Muhammad Taufiqi, Konsep Nasab, Istilhaq, dan Hak Perdata Anak Luar NIkah, (Ahkam: Jurnal Ilmu Syari’ah, Vol XII, No. 2 Juli 2012), hal. 222.
18
Nasab adalah pertalian kekeluargaan berdasarkan hubungan darah sebagai
salah satu akibat dari perkawinan yang sah6. Kerabat dinamakan nasab karena ada
hubungan dan keterkaitan. Berasal dari ungkapan, "nisbatuhu ilaa abihi nasaban"
(nasabnya kepada ayahnya), Nasab merupakan salah satu fondasi yang kokoh
dalam membina suatu kehidupan rumah tangga yang bisa mengikat antar pribadi
berdasarkan kesatuan darah. Menurut al-Sarkhasy dalam kitabnya al-Mabsut,
akibat adanya hubungan nasab, seorang anak berhak mendapatkan: warisan,
nafkah, pemeliharaan (hadlanah), dan pendidikan (tarbiyah)7. Tanpa hubungan
nasab, tidak akan melahirkan hubungan kekeluargaan yang indah dan langgeng;
bahkan hubungan antara ayah dan anak akan luntur dan tidak berbekas sama
sekali. Dengan demikian, nasab merupakan hak anak yang diperoleh secara
langsung dari ayah kandungnya setelah terjadi pernikahan sah. Meskipun secara
agama (Islam), masih ada cara lain untuk menetapkan nasab seseorang, yaitu
dengan cara iqrar (pengakuan) dan bayyinah (pembuktian)8.
Ulama Fiqih (fuqaha’) umumnya memaknai term nasab sebagai bentuk
kekerabatan keluarga, terutama hubungan anak dengan ayahnya. Kekerabatan
yang berimplikasi kepada nasab tersebut akibat percampuran air mani suami isteri
melalui perkawinan yang sah sesuai syari’ah. Jika percampuran air mani itu
melalui perzinaan, maka tidak akan menyebabkan hubungan nasab antara anak
dengan lelaki yang menggauli ibunya9.
Term nasab dalam al-Qur’an terulang 3 kali, yaitu dua kali dalan bentuk
tunggal (mufrad), dinyatakan Al-Qur’an dalam surat al-Furqan/25:54 dan surat
al-Shaffat/37:158 serta dinyatakan dalam surat al-Mukminun/23:101 dalam
bentuk jama’ (plural).
6http://kamusfiqih.wordpress.com/2011/11/10/pengertian-nasab/ 7Redaksi dalam al-Mabsut sbb.:
یراث ، والنفقة والحضانة والتربیة ، وھو یحتمل االشتراك فیقضى بھ بینھماوالحكم المطلوب من النسب الم )33/ ص 20(ج -المبسوط (
Lihat Al-Sarkhasy, al-Mabsut, (Beirut:Dar al-Fikr, tth.), jus ke-20, hal.33. 8‘Abdul Wahhab al-Khallaf, Ahkam al-Ahwal al-Syahshiyyah fi al-Syari’ah al-Islamiyah,
(Mesir:Dar al-Kutub al-Mishriyah, 1938), hal. 186. 9Al-Qurtuby, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, (Mesir: Dar al-Kutub al-Mishriyah, 1964), juz
ke-xiii, hal. 59. Redaksi yang digunakan al-Qurtuby, sbb.: قولھ تعالى: (فجعلھ نسبا وصھرا) النسب والصھر معنیان یعمان كل قربى تكون بین آدمیین.
قال ابن العربي: النسب عبارة عن خلط الماء بین الذكر واالنثى على وجھ الشرع، فإن كان بمعصیة كان خلقا مطلقا )59/ ص 13(ج -تفسیر القرطبي ( ولم یكن نسبا محققا،
19
Pertama, term nasab diketemukan dalam al-Qur;an berbentuk tunggal
(mufrod) di surat al-Furqan/25:54, yaitu:
)54وھو الذي خلق من الماء بشرا فجعلھ نسبا وصھرا وكان ربك قدیرا (
Artinya:
Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air lalu dia jadikan
manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah dan adalah Tuhanmu
Maha Kuasa.
Menurut Ibnu Abbas, “Allah menciptakan sperma, lalu meletakkannya di
sulbi Adam. Setelah itu, dipindahkan ke sulbi Syaits, lalu ke sulbi Anusy, sulbi
Qainan, dan terus berpindah dari sulbi orang-orang mulia ke rahim wanita-wanita
suci sampai Allah menjadikan(nya) berada di sulbi Abdul Muthalib. Lalu Allah
SWT membaginya menjadi dua, sebagian diletakkan di sulbi Abdullah dan yang
lain di sulbi Abu Thalib. dari mereka, lahirlah Nabi Muhammad saw dan sayidina
Ali. Yang dimaksud redaksi mushaharah dalam ayat ini adalah Fathimah binti
Muhammad dan Nabi Muhammad adalah bagian dari Ali, Hasan, dan Husen ra10.
Abu al Hasan Ali bin Muhammad al-Bashri al-Baghdadi yang popular
dengan nama al-Mawardi dalam kitabnya al-Nukat wa al-‘Uyun menulis, nasab
adalah pertalian setiap orang tua dengan anaknya. Semua yang disandarkan
kepada sesuatu yang dikenal berarti ada kesesuaian dengannya11.
Dengan demikian, dalam al-Qur’an hanya ayat ke-54 surat al-Furqan
inilah yang menjadi dasar kajian tentang nasab, yang kemudian dari ayat ini
dipahami bahwa nasab adalah hubungan anak dengan bapak biologisnya melalui
institusi perkawinan.
Kedua, term nasab diketemukan dalam al-Qur’an berbentuk tunggal
(mufrad) di surat al-Shaffat/37:158, yaitu:
10 Http://bundokanduang.wordpress.com/2011/11/22/kaum-matrilineal/, diakses hari
Jum’at 29 Agustus 2014 jam 07.00. 11Redaksi Abu al Hasan Ali bin Muhammad al-Bashri al-Baghdadi al-Mawardi adalah,
فجعلھ نسبا وصھرا } فالنسب من تناسب كل والد وولد ، وكل شيء أضفتھ إلى شيء عرفتھ بھ فھو مناسبھ
Lihat, Abu al Hasan Ali bin Muhammad al-Bashri al-Baghdadi al-Mawardi, al-Nukat wa al-‘Uyun, (Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyah, tth.,), juz ke-3, hal. 205.
20
) 158وجعلوا بینھ وبین الجنة نسبا ولقد علمت الجنة إنھم لمحضرون (
Artinya:
Dan mereka adakan (hubungan ) nasab antara Allah dan jin. Dan
sesungguhnya jin mengetahui bahwa mereka benar-benar akan diseret ke
Neraka”.
Penjelasan lebih jauh mengenai penafisiran ayat ini dapat dikemukakan
beberapa pendapat sebagai berikut: Imam Mujahid berpendapat, “Orang-orang
musyrikin mengatakan, “Malaikat itu anak-anak perempuan yang bernasab kepada
Allah12. Abu Bakar ra pernah bertanya,"Siapakah ibu malaikat itu?". Orang-orang
musyrikin pun menjawab,"Ibu mereka ialah putri pembesar Jin". Ibnu Ishak
menyatakan bahwa orang-orang musyrikin Arab menyembah malaikat, karena
mereka meyakini malaikat anak-anak perempuan Allah.
Di akhir ayat ini Allah SWT menegaskan bahwa malaikat yang mereka
anggap sebagai anak perempuan dan ada hubungan nasab dengan Allah, serta
mereka persekutukan dengan Dia, mengetahui dan menyaksikan bahwa orang-
orang kafir Quraisy yang beriktikad seperti itu akan disiksa dengan siksaan api
Neraka di hari Pembalasan. Allah SWT berfirman:
ویوم یحشرھم جمیعا ثم یقول للمالئكة أھؤالء إیاكم كانوا یعبدون
Artinya:
Dan (ingatlah) hari (yang di waktu itu) Allah mengumpulkan mereka
semuanya, kemudian Allah berfirman kepada malaikat: Apakah mereka ini
dahulu menyembah kamu? (Q.S. Al-Saba’/34:40)
Ketiga, dalam surat al-Mukminun ayat 101 yang diungkapkan dalam
bentuk jama’ (plural).
ور فال أنساب بینھم یومئذ وال یتساءلون ( فإذا نفخ في )101الص
12Pendapat semacam ini juga dinyatakan Ibn Jarir al-Thabari dalam tafsirnya. Beliau
mengatakan sbb.: واختلف أھل التأویل في معنى النسب الذي أخبر یقول تعالى ذكره: وجعل ھؤالء المشركون بین هللا وبین الجنة نسبا.
21(ج -تفسیر الطبري ( تعالى، فقال بعضھم: ھو أنھم قالوا أعداء هللا: إن هللا وإبلیس أخوان. هللا عنھم أنھم جعلوه )120/ ص
Lihat Ibn Jarir al-Thabari, Tafsir al-Thabari, (Beirut: Dar al-Fikr, 2000), jus ke-21, hal.
120.
21
Artinya:
“Ketika sangkakala ditiup (Kiamat) maka tidak ada lagi pertalian nasab
di antara mereka pada hari itu, dan tidak ada pula mereka saling
bertanya.”
Maksud penggalan أنساب بینھم فال pada ayat ini, apabila sangkakala ditiup
untuk ke dua kalinya dan arwah dikembalikan kepada tubuhnya masing-masing
pada Hari berbangkit nanti, pada waktu itu tidaklah bermanfaat lagi pertalian
nasab. Tidak dapat lagi seseorang membanggakan nasabnya bahwa dia keturunan
bangsawan yang tinggi sebagaimana halnya dulu pada waktu berada di dunia.
Tidak ada perbedaan antara satu orang dengan yang lain, semua terpengaruh
dengan suasana mencekam yang dialaminya. Mereka bingung diliputi perasaan
takut karena kedahsyatan hari itu, sehingga rasa cinta dan sayang menjadi sirna.
Masing-masing memikirkan dirinya sendiri, tidak peduli, dan tidak mau tahu
kondisi orang lain, sebagaimana dilukiskan di dalam firman Allah SWT. Sebagai
berikut:
ت الصاخة یوم یفر المرء من أخیھ وأمھ وأبیھ وصاحبتھ وبنیھ لكل امرئ منھم یومئذ شأن یغنیھ فإذا جاء
Artinya:
Dan apabila datang suara yang memekakkan (tiupan sangkakala yang
kedua), pada hari ketika manusia lari dari saudaranya, dari ibu dan
bapaknya, istri dan anak-anaknya. Setiap orang dari mereka pada hari itu
mempunyai urusan yang cukup menyibukkannya. (Q.S. ‘Abasa/80:33-37).
Mereka tidak tegur sapa dan saling bertanya. Tidak seorangpun di antara
mereka yang menanyakan si fulan anak siapa, nasabnya kepada siapa13?
Keturunan dari mana? Mereka semua kebingungan seperti orang yang mabuk.
13Ibn Jarir al-Thabari menggambarkan situasi di Akhirat kelak, di mana siapapun tidak
lagi peduli dengan nasab yang pernah dibanggakan di dunia, dengan menyatakan: (72/ ص 19(ج -تفسیر الطبري
قال أبو جعفر: فمعنى ذلك على ھذا التأویل: فإذا نفخ في الصور، فصعق من في السماوات ومن في األرض إال من فال أنساب بینھم یومئذ یتواصلون بھا، وال یتساءلون، وال یتزاورون، فیتساءلون عن أحوالھم وأنسابھم.شاء هللا،
22
Berbeda dengan nash al-Qur’an, kata nasab dalam hadis diungkapkan
dengan sinonimnya hasab, misalnya hadis terkait tentang pertimbangan dalam
memilih isteri, salah satunya karena melihat sisi hasab (nasab) nya14. Pengertian
nasab dinyatakan tidak eksplisit dalam hadis Nabi saw, tetapi diisyaratkan dengan
ungkapan lain, misalnya hadis sebagai berikut15:
علیھ وسلم قال عن أبي ھریرة / 11(ج -سنن النسائي الولد للفراش وللعاھر الحجر أن النبي صلى هللا
(201ص
Artinya:
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, “Nasab anak kepada pemilik alas tidur,
dan pelaku zina dilempar batu (rajam).
Maksud hadis ini adalah anak dikaitkan dengan tempat tidur, sedangkan
pelaku zina (muhshan) akan dilempari batu. Dengan demikian, nasab anak
disandarkan kepada bapaknya setelah nyata-nyata lahir dari perempuan yang
dinikahi secara sah tanpa perlu pengakuan atau bukti atau cara-cara lain dalam
menentukan nasab. Hal ini juga berlaku bagi pernikahan yang fasid (nikah yang
rusak karena tidak terpenuhi syarat dan rukun nikah), sementara yang menjadi
pelaku zina, sanksinya dirajam atau dilempari batu.
Nasab merupakan nikmat yang paling besar yang diturunkan Allah SWT
kepada hamba-Nya, sesuai dengan firman-Nya:
)1654وھو الذي خلق من الماء بشرا فجعلھ نسبا وصھرا وكان ربك قدیرا (
Lihat, Ibn Jarir al-Thabari, Tafsir al-Thabari, (Beirut: Dar al-Fikr, 2000), juz ke-19, hal.
72. 14Redaksi hadis tentang nasab yang diungkapkan dengan hasab misalnya :
)33/ ص 16(ج -صحیح البخاري عنھ علیھ وسلم قال تنكح المرأة ألربع لمالھا ولحسبھا وجمالھا عن أبي ھریرة رضي هللا ولدینھا عن النبي صلى هللا
ین تربت یداك فاظفر بذات الدLihat, Abû Abdillah Muhammad bin Isma’il al-Bukhârî, al-Bukhâri bi Hasyiah al-Sindy,
(Beirut: Dâr al-Fikr, 1995), juz ke-16, hal.33. Imam Musllim menggunakan redaksi hasab sinonim dengan nasab, sama seperti yang
diketemukan dalam kitab shahih al-Bukhari. Lihat: Muslim bin Hajjaj Abu Al-Husain Al Qusyairi, Shahih Muslim, (Beirut: Dar Ihya’ Turas al-Arabi, tth). juz ke-7, hal. 388. No. Hadis 2661.
15Al-Nasâ’î, Ahmad bin Syu'aib Abû Abdirrahman, Sunan al-Nasa’i, (Halb: Dâr al-Wa'yi, 1396), editor: Mahmud Ibrahim Zaid, juz ke-11, hal.201.
16QS. Al-Furqan/25:54.
23
Artinya: “Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia
jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah dan adalah
Rabbmu Maha Kuasa.”(QS. Al-Furqan/25:54).
Dalam kaitan ini17, seorang ayah dilarang mengingkari keturunannya dan
haram bagi seorang wanita menisbahkan seorang anak kepada seseorang yang
bukan ayah kandungnya. Rasulullah SAW bersabda18:
علیھ وسلم یقول حین نزلت آیة المتالعنین أیما ام عن أبي ھریرة صلى هللا رأة أدخلت أنھ سمع رسول هللا
في شيء ول جنتھ وأیما رجل جحد ولده وھو ینظر إلیھ على قوم من لیس منھم فلیست من هللا ن یدخلھا هللا
منھ 182/ ص 6(ج - سنن أبي داود احتجب هللا
Artinya:
“Wanita mana saja yang melahirkan anak melalui perzinaan, Allah
mengabaikannya dan sekali-kali tidak akan dimasukkan Allah ke dalam
surga. Dan lelaki mana saja yang mengingkari nasab anaknya, sedangkan
dia mengetahuinya, maka Allah akan menghalanginya masuk Surga”.
Sebaliknya, anak juga diharamkan menasabkan dirinya kepada lelaki
lain selain ayahnya, sebagaimana ditegaskan Rasulullah SAW dalam sabdanya19:
(221/ ص 13(ج - صحیح البخاري من ادعى إلى غیر أبیھ وھو یعلم فالجنة علیھ حرام
Artinya:
Siapa saja yang menasabkan dirinya kepada lelaki lain selain ayahnya
sedangkan ia tahu itu bukan ayahnya, diharamkan baginya Surga”.
17Wahbah al-Zuhaili menulis dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu sbb.:
صلى هللا علیھ وسلم : ومنع الشرع اآلباء من إنكار نسب األوالد، وحرم على النساء نسبة ولد إلى غیر أبیھ الحقیقي، فقال فلیست من هللا في شيء، ولن یدخلھا هللا جنتھ، وأیما رجل جحد ولده وھو ینظر أیما امرأة أدخلت على قوم من لیس منھم«
ومنع الشرع أیضا األبناء من انتسابھم إلى ».إلیھ، احتجب هللا تعالى منھ، وفضحھ على رؤوس األولین واآلخرین یوم القیامةمن ادعى إلى «وقال أیضا: » من ادعى إلي غیر أبیھ وھو یعلم، فالجنة علیھ حرام «، فقال صلى هللا علیھ وسلم : غیر آبائھم
»غیر أبیھ، أو انتمى إلى غیر موالیھ، فعلیھ لعنة هللا المتتابعة إلى یوم القیامةLihat, Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al Islamy wa Adillatuhu, (Damsyik: Dar al-Fikr, 2009),
juz ke-7, hal. 637-638. 18Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, (Beirut: Dar al-Fikr, 2001), jus ke-6, hal, 182. 19Al-Bukhârî, Abû Abdillah Muhammad bin Isma’il, al-Bukhâri bi Hasyiah al-Sindy,
(Beirut: Dâr al-Fikr, 1995), juz ke-13, hal.221.
24
Salah satu bukti bahwa nasab adalah hal yang sangat penting, Islam
melarang tabanny (adopsi) dalam arti mengaitkan nasab anak dengan bapak
angkatnya dan memutus hubungan nasab dengan bapak kandungnya.
Argumen pelarangan adopsi semacam itu bisa dilihat dalam sejarah Islam,
Nabi Muhammad SAW sebelum kenabian pernah mengangkat seorang anak yang
bernama Zaid bin Haritsah dan dideklarasikan di depan publik sebagai anaknya
dengan sebutan Zaid bin Muhammad. Namun Allah menegur dan menetapkan
bahwa status anak angkat tidak ada dalam Islam. Untuk lebih menegaskan
hukumnya, Allah memerintahkan Rasulullah SAW menikahi janda yang menjadi
mantan istri Zaid yang bernama Zainab binti Jahsy.?…
ا قضى زید من جناكھا لكي ال یكون على المؤمنین حرج في أزواج أدعیائھم إذا ضوا منھن فلم ھا وطرا زو
مفعوال وطرا وكان أمر هللا
Artinya:
“Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya , Kami
kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi
orang mu’min untuk isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-
anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya .
Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.? (QS. Al-Ahzab/33:37)
Dengan menikahi Zainab yang menjadi mantan istri anak angkatnya, ada
ketegasan bahwa anak angkat tidak ada hubungan nasab dan tidak memiliki
konsekuensi hukum apapun, misalnya: nafkah, hak waris, pengasuhan, perwalian
(bagi anak perempuan), tidak menyebabkan hubungan mahram, serta tidak boleh
bernasab dan menisbahkan nama kepada ayah angkatnya.
Islam mengharamkan untuk menyebut nama ayah angkat di belakang
nama anak angkatnya. Allah SWT menegaskan di dalam Al-Quran keharaman
hal ini, sbb.:
ین وموالیك ادع فإن لم تعلموا آباءھم فإخوانكم في الد م ولیس لیكم جناح فیما وھم آلبائھم ھو أقسط عند هللا
غفورا رحیما دت قلوبكم وكان هللا أخطأتم بھ ولكن ما تعم
Artinya:
“Panggilah mereka dengan nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih
adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka,
25
maka saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada
dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi apa yang
disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (QS. Al-Ahzab/33:5)
Nasab dalam hukum Islam merupakan sesuatu yang sangat urgen. Nasab
merupakan salah satu dari lima tujuan penetapan hukum Islam (maqashid al-
syari’ah), yaitu menjaga: (1) agama (hifdzu al-din), (2) jiwa (hifdzu al-nafs), (3)
akal (hifdz al-‘aql), (4) nasab (hifdz al-nasal)), dan (5) menjaga harta (hifdzu al-
mal)20. Nasab adalah legalitas hubungan kekeluargaan yang berdasarkan pertalian
darah, sebagai salah satu akibat dari pernikahan yang sah, atau nikah fasid (nikah
yang batal/rusak), atau senggama syubhat (samar-samar). Nasab merupakan
sebuah pengakuan yang dilegalkan hukum Islam bagi hubungan seorang anak
dengan garis keturunan ayahnya sehingga anak menjadi anggota keluarga dan
berhak mendapatkan warisan, nafkah, pendidikan, perwalian, dan sebagainya21.
A.1. SEBAB TERJADINYA NASAB DALAM ISLAM
Menurut ketentuan hukum Islam, nasab bisa terjadi, baik nasab terhadap
ayah maupun nasab terhadap ibu. Adapun nasab anak terhadap ayahnya bisa
terjadi karena tiga hal: (1) nasab melalui perkawinan sah, (2) nasab melalui
perkawinan fasid, dan (3) nasab anak dari senggama syubhat22. Penjelasan
masing-masing sebagai berikut:
20Al-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, (Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyah,
t.t), jus ke-2, hal. 12-23. 21Muhammad Ali al-Shabuni Pembagian Waris Menurut Islam terj. AM. Basalamah
(Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hal 39. 22Wahbah al-Zuhaili dalam kitabnya al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, mengataan sbb.:
الوطء بشبھة. الزواج الفاسد: - الزواج الصحیح - وأما أسباب ثبوت النسب من األب فھيSeseorang boleh menasabkan dirinya kepada seseorang atau ayahnya apabila sudah
terpenuhi syarat-syaratnya, sebagai berikut: 1. Seorang anak yang lahir dari seorang perempuan memang benar hasil perbuatannya
dengan suaminya. 2. Ketika perempuan hamil, waktunya tidak kurang dari waktu kehamilan pada umumnya. 3. Suami tidak mengingkari anak yang lahir dari istrinya.
Lihat, Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al Islamy wa Adillatuhu, (Damsyik: Dar al-Fikr, 2009), juz ke-7, hal. 644.
26
(1) nasab melalui perkawinan sah. Ulama fikih sepakat, anak yang lahir dari
seorang wanita dalam suatu perkawinan yang sah dinasabkan kepada suami
wanita tersebut. Hal ini sejalan dengan redaksi hadis Nabi saw. sbb23.:
علیھ وسلم قال الولد للفراش عن أبي ھریرة صلى هللا )368/ ص 7(ج - (صحیح مسلم أن رسول هللا
Artinya:
“Anak itu bagi pemilik alas tidur (dalam nikah yang sah)”
Nasab melalui perkawinan sah, disyaratkan tiga hal sebagai berikut:
Pertama, suami memungkinkan dapat memberikan keturunan, yang
menurut kesepakatan ulama fikih Malikiyah dan Syafi’iyah adalah seorang
laki-laki dewasa (baligh) atau murahiq24. Menurut ulama Hanafiah anak
murahiq berumur 12 tahun, sementara menurut ulama Hanabilah, murahiq
berumur 10 tahun. Oleh sebab itu, nasab tidak bisa terjadi bagi lelaki yang
belum dewasa, tidak mampu melakukan senggama, atau lelaki yang tidak
mempunyai kelamin atau impotensi, kecuali bisa diobati25.
Kedua, menurut ulama Hanafiah, anak tersebut lahir enam bulan
setelah perkawinan26. Mayoritas ulama menambahkannya dengan syarat;
suami istri telah melakukan senggama. Dengan demikian, apabila anak
lahir setelah usia perkawinan 6 bulan pas atau lebih sedikit, nasab anak
secara otomatis dapat dihubungkan dengan bapaknya. Hanya saja
bapaknya bisa saja menolak nasab anak itu dengan dirinya pada saat
23Muslim bin Hajjaj Abu Al-Husain Al Qusyairi, Shahih Muslim, (Beirut: Dar Ihya’ Turas al-Arabi, tth). juz ke-7, hal. 368. No. Hadis 2646.
24Murahiq remaja mendekati dewasa, libido (syahwat) dan kelaminnya sudah berfungsi. Al-Jurjani mendefinisikan al-Murahiq sebagai berikut:
)67/ ص 1(ج - التعریفات صبي قارب البلوغ وتحركت آلتھ واشتھى. المراھق
Lihat, al-Jurjani, al-Ta’rifat, juz ke-1, hal.67. 25Abdul Karim Zaidan, Al-Mufasshal fi Ahkam al-Mar’ah (Beirut, Muassasah al-Risalah,
1413 H/ 1993 M), cet. ke-1, juz ke-9, hal. 321. Wahbah al-Zuhaili menulis dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz ke-7, hal. 645, sbb.: الشرط األول ـ أن یكون الزوج ممن یتصور منھ الحمل عادة، بأن یكون بالغا في رأي المالكیة والشافعیة، ومثلھ في رأي الحنفیة والحنابلة المراھق: وھو عند الحنفیة من بلغ اثنتي عشرة سنة، وعند الحنابلة: من بلغ عشر سنوات، فال یثبت
النسب من الصغیر غیر البالغ 26Hal ini didasarkan kepada surat al-Ahqaf/46:15 dan surat Luqman/31:14. Pada surat al-
Ahqaf/46:15 dinyatakan, masa hamil dan menyusui adalah 30 bulan. Sedangkan pada surat Luqman/31:14 dinyatakan bahwa masa menyusui yang sempurna adalah 2 tahun (24 bulan). Hal ini bermuara pada satu pemahaman bahwa masa hamil terpendek adalah 6 bulan.
27
kelahiran anak tersebut atau pada saat orang lain (tetangga) mengucapkan
selamat atas kelahiran anak. Selain ada penolakan dari bapaknya,
penolakannya harus disertai sumpah li’an27. Menurut Wahbah al-Zuhaili,
perbedaan pendapat ini muncul karena ulama mazhab Hanafi menganggap
bahwa pengingkaran seorang suami hanya bisa terjadi melalui li’an.
Namun mayoritas ulama berpendapat bahwa pengingkaran terhadap anak
tersebut selain melalui li’an juga bisa dengan cara lain, misalnya ketika
suami tidak mungkin bertemu secara aktual dengan istrinya28.
Jika kelahiran anak kurang dari enam bulan, anak yang lahir
tersebut tidak bisa dinasabkan kepada suami wanita itu. Hal ini
menunjukkan bahwa kehamilan terjadi sebelum akad nikah, kecuali
apabila suami mengakuinya. Pengakuannya harus diartikan sebagai
pernyataan bahwa wanita tersebut hamil sebelum akad nikah. Bisa juga
kehamilannya terjadi dalam perkawinan yang akadnya fasid atau karena
terjadi senggama syubhat. Jika demikian, menurut Wahbah al-Zuhaili,
anak tersebut dapat dinasabkan kepada suami wanita demi kemaslahatan
anak29.
Ketiga, suami istri bertemu minimal satu kali setelah akad nikah.
Hal ini disepakati ulama fikih. Namun mereka berbeda pendapat dalam
mengartikan kemungkinan bertemu tersebut. Apakah pertemuan tersebut
bersifat aktual atau menurut perkiraan. Ulama mazhab Hanafi berpendapat,
27Li’an artinya menuduh isteri berbuat zina dengan disertai sumpah 4 kali bahwa isterinya
telah berbuat zina, kemudian ditutup dengan sumpah ke-5, yang menyatakan bahwa ia siap dilaknat Allah kalau berdusta atas tuduhannya. Apabila isteri membalas sumpah suaminya 4 kali dan berani menyatakan suaminya berdusta dilengkapi dengan sumpah ke-5, bahwa isteri siap menerima murka Allah kalau dia berdusta dengan sumpahnya, maka hakim harus memutuskan hubungan pernikahan mereka dengan thalaq ba’in dan mengukuhkan nasab anak tersebut kepada ibunya. Tata cara sumpah Li’an tersebut dinyatakan Al-Qur’an surat al-Nur (24) ayat ke-4-9. Lihat, ‘Abdul Wahhab al-Khallaf, Ahkam al-Ahwal al-Syahshiyyah fi al-Syari’ah al-Islamiyah, hal. 188.
28Wahbah al-Zuhaili menulis dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz ke-7, hal. 646, sbb.:
إمكان وفائدة الخالف: أن الولد ال ینتفي نسبھ في رأي الحنفیة إال باللعان، وینتفي بدون لعان في رأي الجمھور، لعدم التالقي بین الزوجین عادة.
29Wahbah al-Zuhaili menulis dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz ke-7, hal. 645, sbb.: الشرط الثاني ـ أن یلد الولد بعد ستة أشھر من وقت الزواج في رأي الحنفیة، ومن إمكان الوطء بعد الزواج في رأي
ألقل من الحد األدنى لمدة الحمل وھي ستة أشھر، ال یثبت نسبھ من الزوج اتفاقا، وكان دلیال على أن الحمل بھ الجمھور، فإن ولد حدث قبل الزواج، إال إذا ادعاه الزوج، ویحمل ادعاؤه على أن المرأة حملت بھ قبل العقد علیھا، إما بناء على عقد آخر، وإما بناء
اة لمصلحة الولد، وسترا لألعراض بقدر اإلمكان.على عقد فاسد أو وطء بشبھة، مراع
28
pertemuan berdasarkan perkiraan menurut logika bisa terjadi. Oleh sebab
itu, apabila wanita tersebut hamil selama enam bulan sejak ia diperkirakan
bertemu dengan suaminya, anak yang lahir dari kandungannya dinasabkan
kepada suaminya. Misalnya, seorang wanita dari bumi bagianTimur
menikah dengan seorang laki-laki dari bumi di wilayah Barat dan mereka
tidak bertemu selama satu tahun, tetapi lahir anak setelah enam bulan sejak
akad nikah dilangsungkan. Anak tersebut dinasabkan kepada suami wanita
ini. Menurut Mazhab Hanafi, bisa saja terjadi pertemuan melalui
kekeramatan seorang Sufi sehingga seseorang bisa menempuh jarak yang
jauh dalam waktu singkat. Namun logika seperti ini ditolak jumhur ulama.
Menurut mereka, kehamilan bisa terjadi apabila pasangan suami istri
tersebut dapat bertemu secara aktual di mana dalam pertemuan tersebut
memungkinkan bagi suami isteri untuk melakukan senggama.
Apabila seorang anak dilahirkan setelah terjadi perceraian antara
suami istri, untuk menentukan apakah anak itu bernasab kepada suami
wanita tersebut atau nasabnya kepada ibunya, terdapat beberapa
kemungkinan, sebagai beriktu:
ulama fikih sepakat apabila seorang suami mentalak istrinya
setelah melakukan senggama dan kemudian lahir anak kurang dari enam
bulan setelah perceraian terjadi, anak itu dinasabkan kepada suami wanita
itu. Apabila kelahiran anak lebih dari enam bulan sejak terjadinya
perceraian, sedangkan suami tidak menggaulinya sebelum cerai, anak
tersebut tidak bisa dinasabkan kepada suaminya. Apabila suami
menceraikan setelah melakukan senggama, baik cerai tersebut melalui
talak raj’i maupun talak ba’in, atau karena kematian suami, terdapat dua
kemungkinan; (1) apabila anak itu lahir sebelum habisnya masa maksimal
kehamilan setelah perceraian atau kematian suami, anak tersebut bernasab
kepada suaminya. Masa maksimal kehamilan, menurut Mazhab Hanafi
dalam salah satu riwayatnya adalah 2 tahun30, menurut mazhab Syafi’i dan
30Berdasarkan hadis riwayat Aisyah, Nabi saw bersabda, sbb.:
)443/ ص 7(ج -السنن الكبرى للبیھقي عن عائشة رضى هللا عنھا قالت ما تزید المرأة في الحمل على سنتین
Lihat, Al-Baihaqî, Abû Bakr Ahmad bin al-Husein, Sunan al-Baihaqi al-Kubrâ, (Makah: Maktabah Dâr al-Baz, 1994), Editor: Muhammad Abdul Qâdir 'Atha. juz ke-7, hal. 443.
29
Hanbali 4 tahun, dan menurut pendapat yang populer di kalangan mazhab
Maliki adalah 5 tahun31. (2) Apabila anak tersebut lahir melebihi waktu
maksimal kehamilan (yang dihitung sejak terjadinya perceraian atau
kematian suami), menurut jumhur ulama, si anak tidak bisa dinasabkan
kepada suami wanita tersebut.
Sedangkan ulama mazhab Hanafi mengemukakan rincian antara
thalaq raj’iy dan thalaq bain32, sebagai berikut:
(1) Jika perceraian termasuk talak raj’i dan wanita tersebut mengakui bahwa
‘iddahnya belum habis, maka anak itu boleh dinasabkan kepada suaminya,
baik anak tersebut lahir sebelum masa 2 tahun sejak terjadinya perceraiaan
maupun melebihi masa 2 tahun. Karena suami dalam thalaq raj’i masih
boleh melakukan senggama dengan istrinya. Bahkan senggama yang
terjadi dianggap sebagai pertanda rujuk. Apabila wanita tersebut mengakui
bahwa ‘iddahnya telah habis atau telah menempuh masa 60 hari (menurut
Imam Abu Hanifah) atau 39 hari (menurut ke dua sahabatnya, Imam Abu
Yusuf dan Imam Muhammad bin Hasan al-Syaibani), anak tidak boleh
dinasabkan kepada suami wanita33.
(2) Jika perceraian termasuk thalaq ba’in atau karena kematian suami dan
wanita (isteri) tidak mengakui bahwa ‘iddahnya telah habis, maka si anak
tidak bisa dinasabkan kepada suami wanita, kecuali apabila anak tersebut
lahir sebelum 2 tahun sejak terjadinya perceraian atau kematian suami,
karena masa kehamilan menurut mereka adalah 2 tahun. Akan tetapi
31Wahbah al-Zuhaili menulis dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz ke-7,
hal. 647, sbb.: الوفاة، ثبت نسبھ من الزوج، إذا ولدتھ قبل مضي أقصى مدة الحمل من یوم فإن أتت المرأة بولد بعد الطالق أو
الطالق أو الوفاة. وأقصى مدة الحمل ھي كما تقدم أربع سنین في رأي الشافعیة والحنابلة، وسنتان في رأي الحنفیة، وخمس سنوات في المشھور لدى المالكیة.
32Wahbah al-Zuhaili menulis dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz ke-7, hal. 647, sbb.:
ل الحنفیة بین الطالق الرجعي والطالق البائن، فقالوا: وفص33Wahbah al-Zuhaili menulis dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz ke-7,
hal. 648, sbb.: انقضاءھا، بأن كانت ستین یوما في رأي أبي حنیفة، وتسعة وثالثین فإن أقرت بانقضاء العدة، وكانت المدة تحتمل
یوما في رأي الصاحبین، فال یثبت نسب الولد من الزوج إال إذا كانت المدة بین اإلقرار والوالدة أقل من ستة أشھر لتبین كذبھا أو ا ادعاهخطئھا في إقرارھا. فإن كانت ستة أشھر فأكثر، فال یثبت نسبھ من الزوج إال إذ
30
apabila anak lahir setelah 2 tahun sejak perceraian atau kematian suami,
anak tidak bernasab kepada suami wanita tersebut34.
(2). Nasab Melalui Perkawinan Fasid. Perkawinan fasid adalah pernikahan yang
dilangsungkan dalam keadaan kekurangan syarat, seperti tidak ada wali (bagi
mazhab Hanafi wali tidak menjadi syarat sahnya perkawinan) dan tidak ada
saksi atau saksi palsu. Menurut kesepakatan ulama fikih, penetapan nasab
anak yang lahir dalam pernikahan fasid sama dengan penetapan anak dalam
pernikahan sah35. Akan tetapi, ulama fikih menetapkan tiga syarat dalam
penetapan nasab anak dalam pernikahan fasid tersebut:
a) Suami mempunyai kemampuan menjadikan istrinya hamil. Artinya suami
seorang yang sudah dewasa (baligh) menurut Malikiah dan Syafi’iyah,
atau sekedar murahiq (umur antara 10-12 tahun) menurut ulama Hanafiah
dan Hanabilah, serta tidak mempunyai penyakit yang dapat menyebabkan
istrinya tidak bisa hamil.
b) Hubungan senggama bisa dilaksanakan secara sempurna.
c) Anak dilahirkan dalam waktu 6 bulan atau lebih setelah terjadinya akad
nikah fasid (menurut ulama Malikiah) dan sejak terjadinya senggama
(menurut mazhab Hanafi). Apabila anak lahir dalam waktu sebelum 6
bulan setelah akad nikah atau melakukan senggama, anak tidak bisa
dinasabkan kepada suami wanita tersebut36.
34Wahbah al-Zuhaili menulis dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz ke-7,
hal. 648, sbb.: ب ـ وإن كان الطالق بائنا أو كانت الفرقة بسبب وفاة الزوج، ولم تقر بانقضاء العدة، فال یثبت نسب الولد إال إذا أتت
أو الوفاة؛ ألن أقصى مدة الحمل عندھم سنتان. فإن أتت بھ في ھذه المدة، وكان ھناك بھ قبل مضي سنتین من تاریخ الطالق احتمال بأنھا حملت بھ بعد مضي ھذه المدة، لم یكن ھناك احتمال بأنھا حملت بھ قبل الطالق أو الوفاة
35Abu Zakariya Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Raudlat al-Thalibin wa ‘Umdat al-Muftin,
(Beirut: Dar al-Fikr, tth.), juz ke-3, hal. 243. (243/ ص 3(ج -روضة الطالبین وعمدة المفتین
وخرج على الخالف المذكور أن لحوق الولد في النكاح الفاسد ھل یتوقف على إقراره بالوطء كما في ملك الیمین أم یكفي فیھ مجرد العقد كالنكاح الصحیح
36Wahbah al-Zuhaili menulis dalam, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz vii, hal. 649, sbb.:
ویشترط لثبوت النسب بالزواج الفاسد ثالثة شروط: أن یكون الرجل ممن یتصور منھ الحمل: بأن یكون بالغا عند المالكیة والشافعیة، أو بالغا أو مراھقا عند الحنفیة والحنابلة. .1 تحقق الدخول بالمرأة أو الخلوة بھا في رأي المالكیة: فإن لم یحصل الدخول أو الخلوة بعد زواج فاسد، لم یثبت نسب الولد، .2 ، ومن تاریخ الدخول عند الحنفیة. أن تلد المرأة بعد ستة أشھر أو أكثر من تاریخ الدخول أو الخلوة عند المالكیة .3
31
(3). Nasab Anak dari Senggama Syubhat. Hubungan senggama syubhat terjadi
bukan dalam perkawinan yang sah atau fasid dan bukan pula dari perbuatan
zina. Senggama syubhat bisa terjadi akibat kesalahpahaman atau kesalahan
informasi. Misalnya, seorang pria melakukan perkawinan dengan seorang
wanita yang sebelumnya tidak dikenalnya. Pada malam pengantin ia
menemukan seorang wanita dikamarnya lalu digaulinya. Ternyata wanita itu
bukan istri yang telah dinikahinya. Dalam kasus seperti ini, apabila wanita
tersebut melahirkan setelah hamil enam bulan atau lebih (masa maksimal
kehamilan) setelah senggama terjadi, anak yang lahir dinasabkan kepada
lelaki yang menyetubuhinya. Akan tetapi, apabila anak lahir melebihi masa
maksimal kehamilan seorang wanita, anak tidak bisa dinasabkan kepada
lelaki yang menyetubuhi wanita tersebut37.
Hukum Islam membedakan syubhat kepada dua bentuk yaitu:
a. Anak syubhat dalam akad, yaitu ketika seorang laki-laki melaksanakan
akad nikah dengan wanita seperti akad nikah sah lainya, tetapi kemudian
akadnya fasid karena alasan tertentu.
b. Syubhat dalam tindakan (perbuatan), yaitu ketika seorang laki-laki
mencampuri seorang wanita tanpa terjadi akad antara mereka berdua,
baik akadnya sah maupun fasid. Misalnya: tidak sadar ketika
melakukanya, atau dia menyakini bahwa wanita tersebut halal untuk
dicampuri, tetapi kemudian wanita tersebut ternyata haram dicampuri.
Termasuk dalam kategori ini adalah hubungan seksual yang dilakukan
orang gila, pemabuk, dan orang mengigau, serta orang yang meyakini
bahwa yang dicampuri isterinya, tetapi wanita tersebut ternyata bukan
isterinya38.
A.2. CARA MENETAPKAN NASAB DALAM ISLAM
37Wahbah al-Zuhaili menulis dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz ke-7,
hal. 650-651, sbb.: : ھو االتصال الجنسي غیر الزنا، ولیس بناء على عقد زواج صحیح أو فاسد، مثل المرأة المزفوفة إلى الوطء بشبھة
وإن أتت بھ قبل مضي ستة أشھر ال یثبت النسب منھ، لتأكد أن الحمل حدث قبل ذلك، إال ..……بیت زوجھا دون رؤیة سابقة، أنھ إذا ادعاه ثبت نسبھ منھ، إذ قد یكون وطئھا قبل ذلك بشبھة أخرى
38Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2007), hal. 388-389.
32
Menurut Wahbah al-Zuhaili39, nasab seorang anak dapat ditetapkan
melalui tiga cara, sebagai berikut:
Pertama, melalui nikah sahih atau fasid. Ulama fikih sepakat menyatakan
bahwa nikah yang sah dan nikah fasid merupakan salah satu cara menetapkan
nasab seseorang kepada ayahnya, sekalipun pernikahan dan kelahiran anak
tersebut tidak didaftarkan secara resmi pada instansi terkait40.
Kedua, melalui iqrar (pernyataan) atau iddi’a (gugatan). Misalnya seorang
ayah mengakui anak tertentu atau sebaliknya anak mengakui seseorang sebagai
bapaknya. Pengakuan anak terhadap seseorang sebagai bapaknya atau pengakuan
seorang bapak terhadap seseorang yang menjadi anaknya, dalam literatur Hukum
Islam dinamai iqrar atau iddi’a’ yang berarti pengakuan seorang laki-laki secara
suka rela terhadap seorang anak bahwa ia mempunyai hubungan darah dengan
anak tersebut, baik bersetatus di luar nikah atau anak tersebut tidak diketahui asal
usulnya41.
Menurut konsep hukum Islam sebagaimana dinyatakan Wahbah al-
Zuhaili42, pengakuan anak ada dua macam, yaitu:
(1) pengakuan anak untuk diri sendiri, dan
(2) pengakuan anak untuk orang lain.
Pada prinsipnya sama tujuanya. Hanya dalam pelaksanaanya sedikit
berbeda, yakni:
a. Mendaku nasab orang lain untuk diklaim nasabnya si pendaku (muqrir)
sendiri,
39Wahbah al-Zuhaili menulis dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz ke-7,
hal. 652,sbb.: البینة. - 3اإلقرار بالنسب - 2الزواج الصحیح أو الفاسد. 1 یثبت النسب بأحد طرق ثالثة وھي :
40Wahbah al-Zuhaili menulis dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz ke-7,
hal. 652, sbb.: الزواج الصحیح أو الفاسد سبب إلثبات النسب، وطریق لثبوتھ في الواقع، متى ثبت الزواج ولو كان فاسدا، أو كان زواجا عرفیا، أي منعقدا بطریق عقد خاص دون تسجیل في سجالت الزواج الرسمیة، یثبت بھ نسب كل ما تأتي بھ المرأة من
أوالد.
41Abdul Manan, Aneka Permasalahan Hukum Perdata Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 76.
42Wahbah al-Zuhaili menulis dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz ke-7, hal. 652, sbb.:
لطریق الثاني ـ اإلقرار بالنسب أوادعاء الولد : نفس المقر، وإقرار محمول على غیر المقر.اإلقرار بالنسب نوعان: إقرار على
: فھو أن األب بالولد أو االبن بالوالد، كأن یقول: ھذا ابني، أو ھذا أبي، أو ھذه أمياإلقرار بالنسب على نفس المقرأما
33
b. Mendaku nasab orang lain untuk diklaim nasabnya kepada orang lain yang
tidak mendaku.
Ulama fikih membedakan antara pengakuan terhadap anak dan pengakuan
terhadap selain anak, misalnya: saudara, paman, atau kakek. Jika seorang lelaki
mengakui bahwa seorang anak kecil adalah anaknya, atau sebaliknya seorang
anak kecil yang telah dewasa (baligh) menurut mayoritas ulama atau mumayiz
(menurut ulama Hanafi) mengakui seorang lelaki adalah ayahnya, maka
pengakuan itu dapat dibenarkan dan anak itu dinasabkan kepada lelaki tersebut,
apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut.
(a) Anak itu tidak jelas nasabnya, tidak diketahui ayahnya43. Apabila ayahnya
diketahui, maka pengakuan ini batal, karena Rasulullah SAW mencela
seseorang yang mengakui dan menjadikan anak orang lain sebagai
nasabnya44. Ulama fikih sepakat menyatakan bahwa apabila anak tersebut
dinafikan ayahnya melalui li’an, tidak boleh seseorang mengakui nasabnya,
selain suami yang meli’an ibunya.
(b) Pengakuannya logis dan empirik45. Maksudnya, seseorang yang mengakui
ayah dari anak tersebut usianya berbeda jauh dari anak yang diakui sebagai
nasabnya. Demikian pula halnya, apabila seseorang mengakui nasab seorang
anak tetapi kemudian datang lelaki lain yang mengakui nasab anak tersebut
maka hakim perlu meneliti lebih jauh tentang siapa yang berhak terhadap
anak tersebut.
43Wahbah al-Zuhaili menulis dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz ke-7,
hal. 652-3,sbb.: أن یكون المقر بھ مجھول النسب: بأن ال یكون معروف النسب من أب آخر، فإن كان ثابت النسب من أب - 1
معروف غیر المقر، كان ھذا اإلقرار باطال؛ ألن الشرع قاض بثبوت النسب من ذلك األب، ومتى تأكد ثبوت النسب من شخص، هللا علیھ وسلم من انتسب إلى غیر أبیھ أو تولى غیر موالیھ. ال یقبل االنتقال منھ إلى غیره، فقد لعن النبي صلى
44 Rasulullah saw bersabda, (209/ ص 6(ج - مسند أحمد
من غی عن ابن عباس لعن هللا من ذبح لغیر هللا علیھ وسلم قال لعن هللا من أن النبي صلى هللا ر تخوم األرض ولعن هللا من سب والده بیل ولعن هللا من تولى غیر موالیھ كمھ األعمى عن الس .…… ولعن هللا
Lihat, Ibn Hanbal, Ahmad Abdullah al-Syaibani, Musnad al-Imâm Ahmad bin Hanbal, (Kairo: Muassasah Qurthubah, tth). juz ke-6, hal. 209.
45Wahbah al-Zuhaili menulis dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz ke-7, hal. 653, sbb.:
…أن یصدقھ الحس: بأن یكون المقر بھ محتمل الثبوت من نسب المقر، بأن یكون ممن یولد مثل المقر بھ لمثل المقر، .
34
(c) Pengakuannya dibenarkan46. Apabila anak tersebut telah baligh dan berakal
(menurut jumhur ulama) atau telah mumayiz (menurut ulama mazhab Hanafi),
pembenaran anak terhadap pengakuan laki-laki tersebut bisa dikabulkan.
Akan tetapi, syarat ini tidak diterima ulama mazhab Maliki, karena menurut
mereka, nasab merupakan hak dari anak, bukan ayah.
(d) Lelaki yang mengakui nasab anak tersebut menyangkal bahwa anak tersebut
adalah anaknya dari hubungan perzinaan, karena hubungan perzinaan tidak
bisa menjadi dasar penetapan nasab anak47.
Apabila syarat-syarat di atas terpenuhi, pengakuan nasab terhadap
seseorang adalah sah dan anak tersebut berhak mendapatkan nafkah, pendidikan
selayaknya, dan harta warisan dari ayahnya. Ayah yang telah mengakui anak
tersebut sebagai anaknya tidak boleh mencabut pengakuannya, karena nasab tidak
bisa dibatalkan.
Ulama fikih kemudian berbeda pendapat, apakah anak yang diakui
disyaratkan harus hidup sehingga pengakuan nasab dianggap sah. Ulama Mazhab
Hanafi48 mensyaratkan anak yang diakui sebagai nasab orang yang mengakui
harus hidup. Apabila anak yang diakui telah wafat, pengakuannya tidak sah dan
anak itu tidak bisa dinasabkan kepada orang yang memberi pengakuan. Namun
ulama Mazhab Maliki tidak mensyaratkan bahwa anak yang diakui nasabnya
harus hidup. Menurut mereka, sekalipun anak yang diakui telah wafat dan
pengakuan yang diberikan memenuhi syarat-syarat yang dikemukakan di atas,
maka anak itu bisa dinasabkan kepada orang yang mengaku. Sedangkan ulama
Mazhab Syafii dan Hanbali menyatakan bahwa di samping memenuhi syarat-
46Wahbah al-Zuhaili menulis dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz ke-7, hal. 653, sbb.: أن یصدقھ المقر لھ في إقراره إن كان أھال للتصدیق، بأن یكون بالغا عاقال عند الجمھور، وممیزا عند الحنفیة؛ ألن
.……تتعداه إلى غیره إال ببینة، أو تصدیق من الغیراإلقرار حجة قاصرة على المقر، فال 47Wahbah al-Zuhaili menulis dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz ke-7,
hal. 654, sbb.: النسب ویبطل اإلقرار إن صرح المقر في إقراره بأن الولد ابنھ من الزنا؛ ألن الزنا ال یصلح سببا إلثبات النسب، إذ
نعمة فال تنال بالمحظور. 48Wahbah al-Zuhaili menulis dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz ke-7,
hal. 654, sbb.: وقد اشترط الحنفیة لصحة اإلقرار بالنسب أیضا حیاة الولد، فلو أقر شخص بأن فالنا ابنھ، وكان المقر لھ بالبنوة میتا،
ذا اإلقرار، وال یثبت بھ النسب؛ إذ ال حاجة بعد الوفاة إلثبات النسب؛ ألنھ ال یحتاج المیت إلى تكریم وال تشریف. لكن لم یصح ھاستثنى الحنفیة منھ ما إذا كان لالبن المتوفى أوالد، فإن اإلقرار بنسبھ بعد وفاتھ، یكون صحیحا، رعایة لمصلحة ھؤالء األوالد؛
ولم یشترط المالكیة حیاة الولد المقر بھ؛ ألن النسب حق سب أبیھم، وفي ثبوت نسبھ شرف لھم وتكریم.ألنھ یحتاجون إلى ثبوت نللولد على أبیھ، فال یتوقف إثباتھ على حیاة الولد، كما ال یتوقف على تصدیقھ، إال أن األب ال یرث االبن الذي استلحقھ إال إذا كان
یتھم األب بأن إقراره ألجل أخذ المال الكثیر.لھ ولد، أو كان المال قلیال، حتى ال
35
syarat di atas diperlukan syarat lain, yaitu pengakuan juga datang dari seluruh ahli
waris orang yang mengaku dan orang yang mengaku telah wafat49.
Adapun pengakuan nasab selain anak (misalnya: saudara, kakek, paman,
dan kemenakan), menurut kesepakatan ulama fikih hukumnya sah apabila
memenuhi syarat-syarat yang disebutkan di atas ditambah satu syarat lagi, yaitu
ada alat bukti (al bayyinah) yang menguatkan pengakuan tersebut atau diakui dua
ahli waris dari pihak yang mengaku50.
Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Muhammad bin Hasan al-
Syaibani, alat bukti yang dibutuhkan tersebut adalah pengakuan dua orang lelaki,
atau satu orang lelaki dan dua orang wanita. Menurut ulama Mazhab Maliki,
pengakuan tersebut dikemukakan dua orang laki-laki saja. Sedangkan menurut
Mazhab Syafii, Mazhab Hanbali, dan Imam Abu Yusuf, pengakuan harus datang
dari seluruh ahli waris yang mengaku51.
Dalam hukum Islam, anak dibagi kepada dua bagian, yaitu anak yang
diketahui hubungan darah dengan bapaknya dan Anak yang tidak diketahui
hubungan darah dengan bapaknya.
Anak yang tidak diketahui hubungan darah dengan bapaknya dengan
sendirinya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya yang melahirkannya
dan bisa mempunyai hubungan keperdataan dengan bapaknya, jika bapaknya
mengakuinya.
49Wahbah al-Zuhaili menulis dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz ke-7,
hal. 654, sbb.: وقال الشافعیة والحنابلة: یثبت النسب باإلقرار على الغیر بالشروط السابقة، وبشرط كون المقر جمیع الورثة، وبشرط
ن الملحق بھ النسب میتا كو 50Wahbah al-Zuhaili menulis dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz ke-7,
hal. 655, sbb.: وأما اإلقرار بنسب محمول على الغیر :
ھذا ابن ابني.فھو اإلقرار بما یتفرع عن أصل النسب، كأن یقر إنسان فیقول: ھذا أخي، أوھذا عمي، أو ھذا جدي، أو ویصح بالشروط السابقة، ویزاد علیھا شرط آخر، وھو تصدیق الغیر، فإذا قال إنسان: ھذا أخي، یشترط لثبوت نسبھ
عندا لحنفیة أن یصدقھ أبوه فیھ، أو تقوم البینة على صحة اإلقرار، أو یصدقھ اثنان من الورثة إن كان الغیر میتا؛ 51Wahbah al-Zuhaili menulis dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz ke-7,
hal. 656, sbb.: إثبات النسب على الغیر كھذا أخي أو عمي قد یكون بالبینة، وھي عند أبي حنیفة ومحمد: إقرار رجلین أو رجل
وامرأتین، كالشھادة. یحمل النسب على غیره، فاعتبر فیھ العدد كالشھادة.ویرى مالك: أنھ ال یثبت النسب على الغیر إال بإقرار اثنین؛ ألنھ
وقال الشافعي وأحمد وأبو یوسف: إن أقر جمیع الورثة بنسب من یشاركھم في اإلرث، ثبت نسبھ، حتى ولو كان الوارث واحدا ذكرا أو أنثى؛
36
Terjadi perbedaan yang prinsip tentang motivasi pengakuan anak menurut
hukum Islam. Motivasi pengakuan anak menurut hukum Islam adalah:
a. Demi kemaslahatan anak yang diakui;
b. Rasa tanggung jawab dan taklief ijtima’i;
c. Menyembunyikan aib karena anak tersebut terlahir di luar kawin orang
tuanya;
d. Antisipasi terhadap datangnya mudharat yang lebih besar di masa yang
akan datang apabila anak tersebut tidak diakuinya.
Selain iqrar (pengakuan), dikenal juga istilah istilhaq dan tabanny.
Pengertian istilhaq dengan tabanny secara substansial jauh berbeda, di mana
dalam tabanny anak yang diangkat (diadopsi) tidak ada hubungan darah (nasab)
sama sekali dengan ayah angkatnya. Sementara dalam istilhaq, nasab seorang
anak bisa didasarkan pada darah yang mengalir dalam diri anak melalui benih
yang ditanam dalam perkawinan yang tidak sah (nikah fasid).
Istilhaq secara bahasa merupakan masdar (gerund) dari kata istalhaqa
yang berarti mengaku dan menisbatkan nasabnya kepada dirinya52. Muhammad
Rawas al-Qal’aji mengartikan ungkapan istalhaqa al-walad dengan washala
nasabuhu (menyambungkan nasabnya dengan dirinya)53. Nampaknya terminologi
fiqih pengertiannya sama dengan makna secara bahasa. Dalam konteks ini, imam
al-Shawi dalam bukunya Hasyiah al-Shawi ‘ala Syarh al-Shaghir memaknai term
istilhaq dengan, “Pengakuan seorang laki-laki yang mukallaf (‘aqil-baligh) bahwa
ia merupakan bapak dari seseorang yang nasabnya tidak diketahui”54. Nampaknya
52Ungkapan dari ktab Lisan al-‘Arab, sbb.:
(327/ ص 10(ج - لسان العرب ابن لحق ) اللحق واللحوق واإللحاق اإلدراك لحق الشيء وألحقھ وكذلك لحق بھ وألحق لحاقا بالفتح أي أدركھ قال
القنوت إن عذابك بري شاھده ألبي دواد فألحقھ وھو ساط بھا كما تلحق القوس سھم الغرب واللحاق مصدر لحق یلحق لحاقا وفيیة بالكافرین ملحق بمعنى الحق ومنھم من یقول إن عذابك بالكافرین ملحق قال الجوھري والفتح أیضا صواب قال ابن األثیر الروا
معنى كتبعتھ وأتبعتھ بكسر الحاء أي من نزل بھ عذابك ألحقھ بالكفار وقیل ھو بمعنى الحق لغة في لحق یقال لحقتھ وألحقتھ ب ……ویروي بفتح الحاء على المفعول أي إن عذابك ملحق بالكفار ویصابون بھ
53Muhammad Rawwas al-Qal’aji, Mu’jam Lughat al-Fuqaha’, (Beirut: Dar al-Nafais, 1998), cet.ke-2, hal. 65.
54Abu al-‘Abbas Ahmad bin Muhammad al-Shawi, Hasyiah al-Shawi ‘ala Syarh al-Shaghir, (Mesir: Dar al-Ma’arif, 2001), jus ke-8, hal. 129. Redaksinya sbb.:
بي ( المجنون والمكره االستلحاق في العرف ( إقرار ذكر ) ال أنثى فال استلحاق ألم ( مكلف ) ولو سفیھا خرج كالص أنھ أب لمجھول نسبھ )
37
al-Shawi meyakini bahwa istilhaq hanya boleh dilakukan seorang mukallaf yang
sudah menyadari konsekwensi atas semua perbuatannya.
Dari uraian di atas dipahami, istilhaq hanya boleh dilakukan seorang laki-
laki mukallaf, yang sehat jasmani dan rohani atau tidak gila (‘aqil). Sedangkan
perempuan, tidak bisa menuntut pengakuan nasab atas anak yang dikandungnya
kepada seorang pria. Ini berarti, seorang wanita yang hamil dan tidak diketahui
siapa bapak anaknya, tidak dapat melakukan istilhaq terhadap sseorang laki-laki
untuk anaknya. Al-Shawi nampaknya ingin menegaskan bahwa objek istilhaq
hanya berlaku bagi seorang anak yang nasabnya tidak diketahui. Dengan
demikian, anak zina bukanlah objek yang tidak memiliki nasab, karena nasabnya
sudah dipastikan kepada ibunya. Begitu juga seorang anak yang sudah jelas
nasabnya, tidak bisa melakukan istilhaq lagi55.
Menurut Ibn Taymiyah, sebagian ulama membolehkan seorang pezina
melakukan istilhaq terhadap anak yang terlahir dari wanita yang dizinahinya
dengan syarat, hanya lelaki itu yang menzinahinya. Nampaknya pendapat Ibn
Taymiyah ini –bisa jadi-- mengacu kepada ijtihad khalifah Umar bin Khattab
yang mengaitkan nasab anak hasil zina pada masa jahiliah dengan bapak
mereka56. Di sisi lain, Ibn Taymiyah menegaskan, seorang laki-laki tidak bisa
mengaitkan nasab seorang anak kepada dirinya bila anak itu bukan dari benih
yang dia tanam, sebagaimana dinyatakan dalam hadis Nabi saw, al-Walad li al-
Firas57.
Lebih jauh al-Shawi mengatakan, kajian istilhaq lebih banyak terkait
dengan budak (amat) yang biasa diperjual-belikan dalam keadaan hamil, sehingga
memerlukan pengakuan nasab bagi anak yang dilahirkan kemudian, setelah si
budak perempuan tadi (al-amat) pindah tangan akibat diperjualbelikan58.
55Abu al-‘Abbas Ahmad bin Muhammad al-Shawi, menulis sbb.:
(129/ ص 8(ج -حاشیة الصاوي على الشرح الصغیر ف الشارع للحوق النسب ھ لتشو بتھ أم نا المعلوم أنھ من زنى ، وال لمعلوم نسبھ ال لمقطوع نسبھ كو . ولو كذ ویحد . لد الز
نا أیضا نا ، فحد الز ولد .وإذا أقر أن مجھول النسب ابنھ لحق بھ ال . من ادعى أنھ أبوه حد القذف ، إال أن یقر بالزLihat, Abu al-‘Abbas Ahmad bin Muhammad al-Shawi, Hasyiah al-Shawi ‘ala Syarh al-
Shaghir, (Mesir: Dar al-Ma’arif, 2001), jus ke-8, hal. 129 56Ibn Taymiyah, Majmu’ Fatwa, (Madinah: Majma’ Malik Fahd, 1995), jus ke-32,
hal.139. 57Ibn Taymiyah, al-Fatwa al-Kubra, (Ttp: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1987), jus ke-3,
hal.178. 58Abu al-‘Abbas Ahmad bin Muhammad al-Shawi, Hasyiah al-Shawi ‘ala Syarh al-
Shaghir, (Mesir: Dar al-Ma’arif, 2001), jus ke-8, hal. 540.
38
Pernyataan al-Shawi di atas erat kaitanya dengan apa yang pernah
dilakukan Rasulullah saw pada zaman jahiliah, sebagaimana dinyatakan dalam
hadis59, sbb.:
ه علیھ وسلم قال كل مستلحق استلحق بعد أبیھ عن عمرو بن شعیب عن أبیھ عن جد صلى هللا أن رسول هللا
عاه ورثتھ من بعده فقضى أن من كان من أمة یملكھا یوم أصابھا ف لحقھ قد لحق بمن است الذي یدعى لھ اد
یلحق إذا كان أبوه ولیس لھ فیما قسم قبلھ من المیراث شيء وما أدرك من میراث لم یقسم فلھ نصیبھ وال
ة عاھر بھا فإنھ ال یلحق وال یورث وإن كان الذي الذي یدعى لھ أنكره وإن كان من أمة ال یملكھا أو من حر
د بن راشد ة أو أمة قال محم ھ من كانوا حر عاه فھو ولد زنا ألھل أم یعني بذلك ما قسم في یدعى لھ ھو اد
سالم الجاھلیة قبل ا (235/ ص 8(ج - سنن ابن ماجھ (إل
Artinya:
Diriwayatkan dari Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, bahwa
Rasulullah saw bersabda, “Setiap orang yang dikaitkan kepada orang lain
setelah bapaknya, maka ahli warispun hendaklah mengakuinya
setelahnya. Rasulullah menetapkan bahwa wanita yg telah menjadi hamba
sahaya pada saat melakukan hubungan intim dengannya, maka nasabnya
dikaitkan dengan orang yang mengaitkan sebelumnya, dan ia tidak
mendapatkan harta warisan sama sekali dari yang telah dibagi
sebelumnya. Adapun harta warisan yang belum dibagikan, maka ia
mendapatkan bagiannya. Nasabnya tidak dapat dikaitkan kepada seorang
bapak, apabila ia mengingkarinya. Akan tetapi apabila dari budak wanita
yang tidak dimiliki, atau perempuan merdeka yang telah berzina, maka
nasabnya tidak dapat dikaitkan (kepadanya) dan ia tidak diwarisi. Apabila
nasab dikaitkan kepada seorang bapak dan ia mengakuinya, maka ia
adalah anak hasil zina, ia (nasabnya) dikaitkan kepada ibunya, baik ia
seorang wanita merdeka atau seorang budak. Muhammad bin Rasyid
berkata; 'Yang dimaksud di sini adalah apa yang telah dibagi pada masa
Jahiliyah sebelum Islam.
Lembaga pengakuan anak menurut Hukum Perdata sebagaimana termuat
dalam N-BW dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sama dengan lembaga
59Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, (Beirut: Dâr al-Fikr, tth.), editor: Muhammad Fuad Abdul Baqi, jus ke-8, hal. 235, no. Hadis 2736.
39
“istilhaq” dalam hukum Islam yang mempunyai arti adalah pengakuan seorang
mukallaf bahwa ia adalah ayah dari seorang anak yang tidak diketahui nasabnya.
Menurut Abdullah Ali Husein, tidak setiap mukallaf dapat mengakui
seorang anaknya yang sah, melainkan harus berpegang kepada asas yaitu:
a. Adanya status yang baik dari anak tanpa ayah
b. Pengakuannya diharapkan melindungi bagi yang lemah
c. Adanya larangan mengingkari kembali pengakuan yang telah diberikan.
Dengan asas ini, hukum Islam telah memberikan patokan terhadap
masalah anak sah dalam kehidupan seseorang, sehingga tidak terjadi hal-hal yang
buruk dalam kehidupan seseorang60.
Ketiga, Melalui Alat Bukti (Al-Bayyinah)
Dengan cara (bayyinah), yakni dengan cara pembuktian bahwa
berdasarkan bukti-bukti yang sah seorang betul anak si fulan. Dalam hal yang
terakhir ini termasuk juga anak yang lahir dari wathi’ syubhat dan anak yang lahir
dari nikah fasid.
Di atas telah disinggung tentang pihak-pihak yang bisa dijadikan alat bukti
dalam penetapan nasab seseorang. Dalam hubungan ini, ulama fikih sepakat
menyatakan bahwa saksi itu benar-benar mengetahui keadaan dan sejarah anak
yang akan dinasabkan. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah SAW terhadap
orang yang ingin menjadi saksi. Rasulullah SAW ketika itu mengatakan: “Apakah
engkau melihat matahari?” Lelaki itu menjawab: “Benar, saya lihat.” Kemudian
Rasulullah SAW bersabda: “Apabila sejelas matahari, silahkan kemukakan
kesaksianmu. Tetapi apabila tidak (demikian), jangan menjadi saksi”61.
Secara syariat Islam, nasab didasarkan kepada perkawinan yang sah.
Ketidakjelasan nasab akan membawa pada masalah hukum yang lain, waris,
60Abdullah Ali Husein, Muqarranah Tasyri’iyah Min Al Qawanin Al-Wad’iyyah Wa Tasyri’il Islam Muqaranatan Bainil Fiqhil Qanuniyah Faransiy Wa Mazhabi Al-Imam Malik, (Kairo¨ Darul Ihya al-Kutub Arabiyah, 1997), hal..235.
61Wahbah al-Zuhaili menulis dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz ke-7, hal. 657, sbb.:
ة رجلین ونوع البینة التي یثبت بھا النسب كما سبق: ھي شھادة رجلین أو رجل وامرأتین عند أبي حنیفة ومحمد. وشھادفقط عند المالكیة، وجمیع الورثة عند الشافعیة والحنابلة وأبي یوسف.والشھادة تكون بمعاینة المشھود بھ أو سماعھ، فإذا رأى الشاھد أو سمعھ بنفسھ، جاز لھ أن یشھد، وإذا لم یره أو یسمعھ بنفسھ، ال یحل لھ أن یشھد، لقولھ صلى هللا علیھ وسلم لشاھد:
ل: نعم، فقال: على مثلھا فاشھد أو دعترى الشمس؟ قا«
40
perwalian dan sebagainya. Jika ia tidak bisa dinasabkan secara syari, maka tidak
bisa mendapatkan hak waris, nafkah, pengasuhan, perwalian, dsb. Tes DNA
merupakan penemuan pada ilmu kedokteran (medis) terkini62. Sebab pada masa
Rasul dan sahabat belum dikenal teknologi semacam itu. Yang ada metode al-
qiyafah, yakni melakukan diagnose atau penglihatan setelah melihat bagian-
bagian pada bayi yang baru lahir. Teknologinya mirip dengan identifikasi sidik
jari63.
Empat, Melalui Metode Al-Qiyafah
Sebagian ulama menambahkan metode menetapkan nasab dengan cara
al-qiyafah. Pelakunya disebut al-Qaif, yaitu seorang ahli firasat, yang
mengetahui nasab atau keturunan dengan firasatnya. Ia melihat cirri-ciri khusus
yang ada pada si anak dan ayahnya atau saudaranya, lalu ia benarkan anak dengan
ayahnya atau saudara dengan saudaranya ada hubungan darah.
Al-Jurjani dalam kittabnya al-Ta’rifat mengatakan:
(54/ ص 1(ج -(التعریفات .ھو الذي یعرف النسب بفراستھ ونظره إلى أعضاء المولود القائف
Artinya:
Al-Qaif adalah seseorang yang mengetahui nasab dengan firasat dan
pengihtan yang tajam dengan mendeteksi anatomi anak yang dilahirkan.
Bahkan metode al-Qiyafah ini pernah digunakan Khalifah Umar bin
Khattab, Ibn Abbas, dan Anas bin Malik. Kemudian mayoritas ulama mazhab
(imam Malik, imam al-Syafi’I, imam Ahmad bin Hanbal, dll.), mengakui metode
al-qiyafah ini dalam menetapkan nasab seseorang64.
62Anonimus, Ulasan Mengenai Nasab dan Pembuktian Keturunan Melalui Tes DNA
Secara Biologis, http://2.,bp.blogspot.com/_sw4NMILXTh4/SPwfnpdrEAI/sijra-e-nasab.jpg. Sabtu, 3/31/ 2012. 9:08. WIB.
63Pada tahun 1884 di Inggris telah digunakan satu metode untuk mengenali seseorang lewat sidik jari. Cara ini kemudian diikuti mayoritas institusi kepolisian di seluruh dunia. Metode ini dianggap satu-satunya cara yang paling representatif dan validitasnya teruji karena kulit jari-jemari manusia memiliki garis yang berbeda-beda dan sudah permanen. Sungguh ini mu’jizat Allah yang dijelaskan dalam surat al Qiyamah, 75:3-4, sbb.:
نسان ألن نجمع عظامھ( ي بنانھ()بلى قادرین على أن 3أیحسب اإل )4نسوArtinya: Apakah manusia mengira, bahwa kami tidak akan mengumpulkan (kembali)
tulang belulangnya? Bukan demikian, sebenarnya Kami kuasa menyusun (kembali) jari jemarinya dengan sempurna.Lihat, Fuad Thohari, Tafsir Ilmi, Materi Pembekalan LDII, di Jakarta; Ali al-Shabuni, al-Tibyan fi Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, 1998), hal. 179.
64Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al Islamy wa Adillatuhu, jus ke-7, hal. 643-644.
41
B. Normatif Hukum tentang Status Anak dan Urgensi pemeliharaan Nasab
Peraturan perundangan di Indonesia mengatur tentang kedudukan anak sah
dan penentukan status seorang anak. Hal ini dapat ditemui pada sejumlah
peraturan, seperti Undang-Undang Perkawinan, Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata yang merupakan warisan dari pemerintah kolonial Belanda, serta
Kompilasi Hukum Islam yang secara khusus mengatur hukum keluarga bagi umat
Islam Indonesia.
Dalam Undang-Undang Perkawinan, sebagai mana disebutkan di atas,
bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Bila diperhatikan, ketentuan Undang-
Undang ini sangat berkaitan dengan konteks perzinaan, karena Undang-Undang
Perkawinan menyatakan bahwa seorang suami dapat saja menyangkal sahnya
anak yang dilahirkan oleh isterinya tersebut bila sang suami ini dapat
membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan anak itu akibat daripada
perzinaan tersebut.
Pasal 44 Undang-Undang Perkawinan ini secara tegas menyebutkan:
Pertama, seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh
isterinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan anak
itu akibat daripada perzinaan tersebut. Kedua, Pengadilan memberikan keputusan
tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan.65
Di samping kedua Pasal di atas, Undang-Undang Perkawinan juga
mengatur tentang pembuktian asal-usul anak dalam perkawinan. Pasal 55
Undang-Undang ini menyebutkan, bahwa asal usul anak hanya dapat dibuktikan
dengan akte kelahiran yang autentik yang dikeluarkan oleh Pejabat yang
berwenang. Dalam Pasal ini, status pembuktian anak yang dimaksud lebih pada
aspek administratif legalnya, dibandingkan dengan status sah atau tidaknya
seorang anak.
Dalam ayat (2) Pasal 55 ini dilanjutkan, bahwa jika akta kelahiran tidak
ada, maka Pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang
anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang
65 Pasal 44 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Perkawinan.
42
memenuhi syarat. Dengan ketentuan ini kemudian, instansi pencatat kelahiran
yang ada dalam daerah hukum Pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akta
kelahiran bagi anak yang bersangkutan.66
Bila mengacu kepada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, ketentuan
anak dan keturunan ini dijelaskan lebih lengkap dan rigit. Ketentuan ini
didapatkan pada Pasal 250 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang
menyatakan bahwa tiap-tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang
perkawinan memperoleh si suami sebagai bapaknya. Dengan kata lain, Pasal ini
menetapkan bahwa seorang anak berhak mendapatkan garis keturunan dari ayah
atau bapaknya selama ia dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan.
Namun ketentuan ini masih menyimpan pengecualian, yaitu keabsahan
seorang anak yang dilahirkan sebelum hari yang ke seratus delapan puluh dalam
perkawinan suami-isteri dapat diingkari oleh suami atau laki-laki yang dipandang
sebagai bapaknya. Kecuali bila ada sejumlah hal berikut: Pertama, jika si suami
sebelum perkawinan telah mengetahui bahwa sang isteri akan melahirkan. Kedua,
jika ia telah ikut hadir ketika akta kelahiran dibuat dan akta itu pun telah
ditandatanganinya atau memuat pernyataan darinya, bahwa ia tidak dapat
menandatangani. Ketiga, jika anak tersebut tidak hidup ketika dilahirkan.
Dalam hal demikian, pengingkaran suami tersebut dapat dilakukan apabila
ia dapat membuktikannya, bahwa ia sejak tiga ratus sampai seratus delapan puluh
hari sebelum kelahiran anak tersebut, baik perpisahan atau sebagai akibat dari
kebetulan, berada pada ketakmungkinan yang nyata untuk mengadakan hubungan
seksual dengan isterinya. Bila suami tak dapat membuktikan ketidakmampuannya,
maka anak tersebut tidak dapat diingkarinya (Pasal 252 KUHPer).
Demikian pula dengan anak hasil perzinaan, Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata menetapkan bahwa suami tidak dapat mengingkari keabsahan
anak tersebut, kecuali jika ia menyembunyikan kelahirannya, maka ia harus
membuktikanya sebagaimana disebutkan pada Pasal 252 di atas. Pasal 253
Undang-Undang ini menyebutkan:
“Suami tidak dapat mengingkari keabsahan anak atas dasar perzinaan,
66 Pasal 55 Undang-Undang Perkawinan.
43
kecuali bila kelahiran anak telah dirahasiakan terhadapnya, dalam hal itu,
dia harus diperankan untuk menjadikan hal itu sebagai bukti yang
sempurna, bahwa dia bukan ayah anak itu”.
Ketentuan lain dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menjelaskan
bahwa anak yang dilahirkan tiga ratus hari setelah bubarnya perkawinan adalah
tidak sah. Bahkan, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata KUHPer menetapkan,
bila kedua orang tua seorang anak yang dilahirkan tiga ratus hari setelah putusnya
perkawinan kawin ini kembali satu sama lain, si anak tidak dapat memperoleh
kedudukan anak sah.67 Di luar dari ketentuan di atas, Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata menetapkan satu pembahasan khusus tentang pengesahan anak-
anak luar kawin, kecuali anak yang dilahirkan dari perzinaan atau hubungan
sedarah (incest).68 KUHPer memberikan peluang untuk pengesahan bagi anak-
anak yang termasuk dalam kategori kedua ini (yaitu menurut Pasal 272 KUHPer)
melalui proses hukum yang telah ditetapkan sesuai hukum perdata dan selain dari
anak hasil perzinaan atau hubungan sedarah (incest).
Untuk itu, Pasal 275 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menegaskan
bahwa dengan cara yang sama seperti yang diatur dalam pasal yang lalu, dapat
juga disahkan anak di luar kawin yang telah diakui menurut undang-undang.
Pertama, bila anak itu lahir dari orang tua, yang karena kematian salah seorang
dari mereka, perkawinan mereka tidak jadi dilaksanakan. Kedua, bila anak itu
dilahirkan oleh seorang ibu, yang termasuk golongan Indonesia atau yang
disamakan dengan golongan itu. Bila ibunya meninggal dunia atau bila ada
keberatan-keberatan penting terhadap perkawinan orang tua itu, menurut
pertimbangan Presiden.
Subekti menjelaskan lebih lanjut tentang pengakuan status anak tersebut.
Menurut dia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak mengakui adanya
hubungan darah anak yang lahir di luar perkawinan, kecuali adanya “pengakuan”
(erkenning) yang melahirkan sebuah ikatan kekeluargaan dengan implikasi-
implikasinya, seperti hak waris-mewarisi antara anak dan orang tua yang
mengakuinya. Namun demikian, suatu hubungan kekeluargaan antara anak dan
67 Pasal 255 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 68 Lihat ketentuan ini pada 272-279 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
44
keluarga ibu atau ayahnya juga belum dapat dikatakan ada, karena hal itu harus
dilakukan melalui “pengesahan” anak (wettiging) yang merupakan langkah lebih
lanjut lagi dari pengakuan.
Untuk pengesahan ini, dibutuhkan kedua orang yang hendak mengakui
anaknya tersebut telah memiliki ikatan perkawinan yang sah. Pengakuan yang
dilakukan pada hari pernikahan juga membawa pengesahan anak. Bila kedua
orang tua yang telah kawin belum melakukan pengakuan terhadap anaknya yang
lahir sebelum pernikahan, pengesahan anak itu hanya dapat dilakukan dengan
surat-surat pengesahan (brieven van wettiging) oleh Kepala Negara. Dalam hal
ini, Presiden harus meminta pertimbangan Mahkamah Agung. Hal ini ditegaskan
dalam Pasal 274 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Pengakuan anak ini tidak dapat dilakukan secara diam-diam, tetapi harus
dilakukan di muka Pengawas Pencatatan Sipil, dengan pencatatan dalam akte
kelahiran anak tersebut. Atau, dalam akte perkawinan orang tuanya (yang
berakibat pengesahan) atau dalam suatu akte tersendiri dari Pengawas Pencatatan
Sipil, bahkan diperbolehkan dalam akte notaris.69
Dari uraian tersebut di atas, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pada
dasarnya membedakan status anak luar kawin menjadi tiga pembagian, yaitu:
1. Anak di luar perkawinan yang belum diakui oleh kedua orang
tuanya;
2. Anak di luar perkawinan yang telah diakui oleh salah satu orang
tuanya;
3. Anak di luar perkawinan itu menjadi anak sah sebagai akibat dari
perkawinan sah kedua orang tuanya.70
Dalam kondisi anak tersebut telah sah, maka ia berhak mendapatkan
implikasi hukum, seperti kewarisan, dari orang tuanya tersebut. Namun penting
untuk dibedakan di sini adalah tentang status anak yang disebabkan oleh
perzinaan atau hubungan sedarah yang tidak termasuk dalam jangkauan hukum
perdata (BW).
Di samping itu ketentuan Undang-Undang Perkawinan dan Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata di atas, ketentuan lain yang juga mengatur tentang anak
69 Lihat, Subekti, Hukum Perdata, h. 50. 70 Emilda Kuspraningrum, Kedudukan dan Perlindungan Anak Luar Kawin, h. 26.
45
luar kawin adalah Kompilasi Hukum Islam. Sebagaimana di atas, KHI
menetapkan bahwa sahnya status seorang anak tidak luput dari sah atau tidaknya
status perkawinan kedua orang tua anak tersebut. Dalam kondisi perkawinannya
tidak sah, maka status anak tersebut hanya dapat dikaitkan dengan ibu yang
melahirkannya saja dan tidak bisa dinasabkan kepada bapak biologisnya.
Kompilasi Hukum Islam juga memungkinkan adanya pengingkaran
sahnya status anak dari ayah. Hal ini dapat terjadi ketika suami dari perempuan
tersebut meyakini bahwa anak tersebut adalah bukan hasil persetubuhan yang
dilakukannya. Bila dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sebagaimana di
atas, seorang laki-laki yang mengingkari status anaknya harus mengajukan bukti-
bukti tentang ketidakmungkinannya untuk melakukan hubungan badan dengan ibu
dari anak tersebut, maka dalam Kompilasi Hukum Islam prosedur pengingkaran
lebih merujuk kepada norma hukum Islam (fikih), yaitu dengan proses li’an.71
Lebih lanjut kemudian Kompilasi Hukum Islam menyebutkan dalam Pasal
102, bahwa: (1) Suami yang akan mengingkari seorang anak yang lahir dari
istrinya, mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama dalam jangka waktu 180
hari sesudah hari lahirnya atau 360 hari sesudah putusnya perkawinan atau setelah
suami itu mengetahui bahwa istrinya melahirkan anak dan berada di tempat yang
memungkinkan dia mengajukan perkaranya kepada Pengadilan Agama. (2)
Pengingkaran yang diajukan sesudah lampau waktu itu tidak dapat diterima.72
Menurut Kompilasi Hukum Islam, asal-usul anak hanya dapat dibuktikan
dengan akta kelahiran atau alat bukti lainnya. Bila akta kelahiran atau alat bukti
lainnya tersebut tidak ada, maka proses pembuktian ini dilakukan melalui
Pengadilan Agama dan Pengadilan Agama dapat mengeluarkan penetapan tentang
asal-usul seorang anak setelah mengadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan
bukti-buki yang sah. Dari Putusan Pengadilan Agama ini pula kemudian instansi
Pencatat Kelahiran di daerah hukum Pengadilan Agama yang mengeluarkan
putusan dapat mengeluarkan akta kelahiran anak yang bersangkutan.
71 Pasal 101 Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 (Kompilasi Hukum Islam). 72 Pasal 102 Kompilasi Hukum Islam.
46
C. Dualisme Pemaknaan Anak Luar Nikah
Dualisme status anak luar nikah tidak bisa dipisahkan dari aspek historis
pembangunan hukum di Indonesia. Pluralnya perspektif tentang kedudukan anak
tersebut hanya sebagai akibat dari keberadaan pluralitas hukum di Indonesia sejak
dahulu, yang dimulai pada masa penjajahan Hindia Belanda, bahkan sejak VOC
menginjakkan kaki di Nusantara. Dari konteks sejarah ini pula, di Indonesia tidak
hanya dikenal satu sistem hukum, tapi sebaliknya, sistem hukum menjadi sangat
plural dan masing-masing tidak jarang masih diterapkan (ditaati) oleh sementara
masyarakat Indonesia dewasa ini.
Sebelum VOC masuk ke Indonesia, masyarakat Nusantara dikenal telah
memiliki hukum tersendiri. Dari keteraturan ini pula para sarjana hukum mulai
berusaha untuk menemukan hukum-hukum adat yang berangkat dari kesadaran
bahwa masyarakat telah memiliki keteraturannya sendiri-sendiri. Bahkan, menurut
laporan van Vollenhoven, yang dikutip Susilaningtiyas, telah ada sanksi-sanksi
yang diaati oleh masyarakat yang hidup di dalamnya. Dalam fase tersebut,
setidaknya ada enam orang peminat hukum adat yang menjadi perintis penemu
hukum adat.73
Setelah cukup lama berlangsung dan hukum adat mulai dikenali, bahkan
van Vollenhoven sempat membagi sturktur masyarakat adat di Indonesia menjadi
sembilan belas rumpun adat, memasuki abad XIX kemudian Belanda berniat
mengubah politik hukum di Nusantara dengan agenda unifikasi hukum yang
seiring dengan kodifikasi hukum yang terjadi di kerajaan Belanda. Di kalangan
Belanda sendiri rencana ini memunculkan polemik yang cukup tajam karena
dikhawatirkan justru akan mengancam legitimasi Belanda di wilayah tersebut.
Dalam hal demikian, hukum adat menjadi salah satu aspek yang sangat penting
bagi kehidupan masyarakat Nusantara kala itu.
Kebijakan tersebut dilakukan oleh Belanda terutama saat VOC
meninggalkan Nusantara. Berharap semakin dapat memegang kekuasaan atas
wilayah seribu pulau ini, Belanda mengambil langkah oportunis dengan
menetapkan prinsip dualisme hukum sebagai dasar dalam menghadapi sistem
73 Susilaningtias, “Potret Hukum Adat pada Masa Kolonial”, dalam Forum Keadilan, No.
17, 20 Agustus 2006, h. 46.
47
peradilan pribumi. Kebijakan dualisme ini terasa sangat kuat ketika Nusantara
dikuasai oleh Herman Williem Deandels dan Thomas Stanford Raffles, karena
keduanya menganggap bahwa dualisme diterapkan lebih jauh guna memperluas
pengaruh kolonial di atas yuridiksi hukum pribumi.74 Jadi, reformasi hukum di
Hindia Belanda saat itu hanya bagian dari proyek penguatan kaki-kaki kekuasaan
Belanda agar proses penjajahan tetap dapat berlangsung, tanpa adanya gangguan
dari kelompok-kelompok rakyat.
Proses kodifikasi inilah yang kemudian semakin membuat hukum di
Indonesia semakin terkotak-kotakkan dengan kepentingan Belanda, sementara di
satu sisi, relasi antara hukum adat dan hukum Islam yang telah sejak lama berjalan
pada satu arah mata angin justru dibuat merekah. Akibatnya, keretakan antara tiga
sistem hukum berbeda ini tidak dapat dielakkan dalam masyarakat. Sebagaimana
direfleksikan oleh Erman Rajagukguk dalam makalahnya pada Diskusi Panel
dalam rangka Dies Natalis IAIN Sunan Gunung Djati, Bandung:
Pada waktu itu penduduk Hindia Belanda dibagi atas tiga golongan: Eropa, Timur Asing, Bumi Putra. Golongan penduduk bukan Eropa dapat menundukkan diri pada hukum Eropa baik secara sukarelamaupun diam-diam. Kodifikasi hukum Eropa ini terdiri atas Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam perkembangannya berbagai materi dalam KUHPerdata dan KUHDagang setelah Indonesia merdeka memisahkan diri dalam bentuk lahirnya undang-undang tersendiri seperti Undang-Undang Pokok Agraria, Undang-Undang Tenaga Kerja, Undang-Undang Perseroan Terbatas, Undang-Undang Merk, Undang-undang Rahasia Dagang.75
Ketika Belanda menerapkan unifikasi hukum, pidana dan perdata, ini
dalam kesempatan yang sama hukum Islam berada pada posisi yang
berseberangan dengan hukum adat. Hal ini terjadi secara nyata di Aceh sejak masa
kesultanan. Kedatangan Belanda ke wilayah ujung pulau Sumatera ini semakin
membuat garis pembatas antara hukum adat dan hukum Islam di Aceh. Hal ini
dilakukan dengan cara memberikan apresiasi yang besar kepada institusi adat dan
74 Ratno Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekular, h. 198 75 Erman Rajagukguk, “Ilmu Hukum Indonesia: Pluralisme”, h. 5. Makalah disampaikan
pada Diskusi Panel dalam rangka Dies Natalis IAIN Sunan Gunung Djati, Bandung, ke-37, 2 April 2005.
48
para pemimpinnya, dan pada saat yang sama memberikan peran kepada Syariah
dan para pemimpin agama, yang akhirnya merusak hubungan baik antara dua
institusi ini. Bahkan, konflik yang cukup kuat antara para Ulubalang (tokoh adat)
dan Ulama di Aceh merupakan akibat dari kebijakan pecah belah yang dilakukan
oleh Belanda.76
Aceh hanya bagian kecil dari contoh politik pecah belah itu. Pada saat
yang bersamaan, pandangan Hooker yang ditegaskan oleh Lukito justru berkata
sebaliknya, yaitu bahwa pada dasarnya hukum Islam dan hukum adat di Nusantara
pada dasarnya memang tak pernah saling menafikan. Bahkan tak jarang keduanya
saling melengkapi satu sama lain, keduanya dipandang berasal dari sumber yang
sama (Tuhan), juga Islam dipandang sebagai penyempurna hukum adat.77 Namun,
Pemerintah Hindia Belanda saat itu mengabaikan suatu kenyataan besar bahwa
hukum Islam dan hukum adat tidak pernah benar-benar terpisah. Sebaliknya,
Belanda justru menerapkan politik adu domba antara Islam dan adat, sebagaimana
dilancarkan oleh para sarjana orientalis yang sengaja didatangkan dari Belanda.
Demikian politik Islam Hindia Belanda sebagai bagian dari kebijakan
rakyat pribumi, untuk memahami dan lebih menguasai pribumi. Kedatangan
sarjana brilian Belanda ke Hindia Belanda, Snouck Hugronje, nama yang sangat
popular dalam politik Islam Indonesia, telah memperkuat strategi Belanda untuk
tetap bercokol. Dengan pemahamannya yang kuat tentang Islam, Snouck
Hugronje berhasil menemukan seni memahami dan menguasai penduduk yang
sebagian besar muslim. Dialah—Aqib Sumitro mengutip Harry J. Benda78—
arsitek keberhasilan politik Islam yang paling legendaris, yang telah melengkapi
pengetahuan Belanda tentang Islam, terutama di bidang sosial politik, di samping
berhasil meneliti mentalitas ketimuran dan Islam.
Penyeragaman hukum di Nusantara yang dilakukan oleh Belanda, menurut
catatan Ratno Lukito, dapat dikatakan belum berhasil, karena program ini harus
berhadap-hadapan dengan pluralisme hukum yang telah ada di Indonesia sejak
76 Arskal Salim, “Dynamic Legal Pluralism in Modern Indonesia: “The State and the
Sharia (Court) in the Changing Constellations of Aceh””, First International Conference of Aceh and Indian Ocean Studies, 24-27 February 2007. Diakses dari http://www.ari.nus.edu.sg/ docs%5CAceh-project%5Cfull-papers%5Caceh_fp_ arskalsalim.pdf
77 Ratno Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekular, h. 212. 78 Aqib Suminto, Politik Islam Pemerintah Hindia Belanda, h. 11.
49
semula. Namun pada aspek lain, yaitu memperkenalkan suatu konsep hukum yang
dilihat sebagai produk dari negara berdaulat dan diterapkan dalam bentuk tertulis
untuk memastikan keefektifannya, Belanda dapat dikatakan berhasil. Hal ini juga
mencerminkan sebuah aksioma di kalangan masyarakat Nusantara, bahwa hukum
adat kebiasaan tidak akan meningkat menjadi hukum Negara kecuali bila ada
ketentuan eksplisit dari negara yang menyatakan pemberlakuannya.79 Dalam hal
demikian, proyek penyeragaman Belanda ternyata tidak juga mampu
menyelesaikan pluralisme hukum sampai Indonesia merdeka, bahkan pluralisme
ini tetap berlanjut sampai beberapa dekade kemudian setelah merdeka.
Setelah kemerdekaan warisan pluralisme hukum dari Belanda tetap
berlangsung, walaupun dengan sedikit modifikasi. Pada saat itu, sistem peradilan
desa disingkirkan secara besar-besaran di tahun 1950-an demi kesatuan dan
persatuan Indonesia. Hukum adat dipertahankan untuk diterapkan melalui
pengadilan Negeri, sementara beberapa wilayah dalam hukum Islam secara
terbatas dilaksanakan di bawah kewenangan pengadilan agama. Dengan cara ini,
Pemerintah Indonesia telah memberikan celah bagi menguatnya pluralisme
hukum dan membiarkan adanya keberagaman sistem hukum yang beroperasi di
bawah satu kedaulatan kebijakan hukum Negara. Namun pada masa berikutnya
dan Orde Baru, kebijakan sebaliknya justru dikeluarkan oleh Pemerintah, dengan
melakukan modernisasi hukum, yang dicirikan dengan sentralisasi dan positivisasi
hukum Nasional. Hal ini, lanjut Arskal, tercermin dari UU No. 5 Tahun 1960
Tentang Pokok-pokok Agraria dan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. 80
Kedua Undang-Undang—yang disahkan tidak lama setelah Indonesia
merdeka—ini menggambarkan suatu pemahaman yang sebetulnya juga warisan
dari politik hukum Hindia Belanda, yaitu sebuah pengakuan bahwa suatu
kebiasaan tak akan menjadi hukum Negara kecuali melalui positivisasi. Bila
Undang-Undang Pokok Agraria menggambarkan betapa hukum adat harus tunduk
dan mengikuti karakter hukum positif negara, maka dalam Undang-Undang
Perkawinan hukum Islam mendapati nasib yang sama pula dengan hukum Adat.
Padahal, pada saat yang sama, kedua sistem hukum—adat dan Islam—ini tidak
sepenuhnya dapat dihilangkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia.
79 Ratno Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekular, h. 217. 80 Arskal Salim, “Dynamic Legal Pluralism in Modern Indonesia”, h. 1.
50
Hal ini pula yang kemudian menyebabkan tetap munculnya pluralitas hukum yang
ada di masyarakat.
Menjelaskan tentang pluralitas hukum di masyarakat dan pandangan dari
sejumlah ahli hukum historical jurisprudence dan sociological jurisprudence, W.
Friedmann mencatat bahwa kemunculan negara modern secara esensial telah
memaknai kemenangan sentralisasi mesin pembuatan hukum oleh Negara yang
melampaui otonomi hukum yang terdesentralisasi di dalam tubuh-tubuh Negara.81
Dari sini, tidak salah kiranya untuk menyetujui catatan Ratno Lukito tentang
keberhasilan Hindia Belanda yang mensentralisasi kedaulatan negara untuk
membentuk hukum, karena warisan jajahan Hindia Belanda yang masih sangat
kuat berlaku—bahkan hingga sekarang—adalah otoritas Negara yang memegang
kekuasaan mutlak regulasi hukum, walaupun beragam sumber dari sistem hukum
lain tidak pula menutup kemungkinan untuk diterapkan.
Sebagaimana di atas, memasuki era Orde Baru, hukum adat dan hukum
Islam semakin dikesampingkan dengan hukum positif, apalagi secara politik Orde
Baru berambisi dengan proyek pembangunan (developmentalisme). Adalah
sebuah keniscayaan kemudian hukum menjadi salah satu alat untuk mencapai
tujuan-tujuan yang bersifat ekonomis dan membentuk masyarakat yang lebih
disiplin dan teratur. Dari sini pula, dikenal sebuah istilah yang cukup popular di
kalangan sarjana hukum, yaitu hukum sebagai alat rekayasa sosial (social
engeneering) yang dibangun oleh salah seorang ahli hukum, Roscoue Pound.82
Dengan jelas Pound menguraikan kepuasannya atas keberhasilan hukum dalam
melakukan proyeknya tersebut:
“Menurut saya, memadailah bila hukum itu dianggap sebagai satu lembaga sosial untuk memuaskan kebutuhan, tuntutan, permintaan dan harapan-harapan masyarakat, yang merupakan manifestasi dari alam kehidupan mereka sendiri. Dengan cara memberikan efek kepadanya sebanyak kesanggupan kita dengan pengorbanan yang paling minimal, sejauh kebutuhan-kebutuhan serupa itu dipuaskan dengan satu penertiban kelakukan manusia melalui masyarakat yang diatur dengan sistem kenegaraan. Untuk tujuan-tujuan sekarang, saya merasa puas melihat dalam sejarah hukum, catatan tentang satu usaha yang terus menerus makin luas mengakui dan memuaskan kebutuhan atau tuntutan/keinginan
81 W. Friedmann, Legal Theory, (London: Stevens and Sons, 1949), h. 387. 82 Lihat, Roscou Pound, Pengantar Filsafat Hukum: Buku III. Penerjemah Moh. Radjab,
(Jakarta: Bharata, 1963), h. 141.
51
manusia dengan perantara pengawasan sosial, satu usaha yang lebih efektif menjamin kepentingan masyarakat. Satu usaha yang lebih cepat menghilangkan pemborosan dan mencegah timbulnya perselisihan di dalam perjuangan manusia untuk merasakan nikmatnya kehidupan ini. Pendeknya, satu usaha yang terus menerus makin berguna untuk pembangunan masyarakat, dengan menerapkan hukum-hukum dan asas-asas sosiologis-nya yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan-tujuan sosial yang khsusus dan diakui (social engineering)”.83
Dari ungkapan Pound di atas, betapa proyek rekayasa sosial menjadi salah
satu alat ampuh untuk membentuk suatu masyarakat industri dan disiplin, dengan
mengedepankan pembangunan ekonomi. Pada aspek lain, hukum yang terintegrasi
dan terpusat seperti demikian telah menjadi prasyarat penting bagi Orde Baru saat
itu untuk melancarkan kebijakan pembangunan di Indonesia, walaupun pada saat
yang sama tidak jarang harus berhadap-hadapan dengan sistem hukum lain,
seperti hukum Adat dan hukum Islam.
Dalam kondisi yang berhadap-hadapan inilah, sebetulnya, sentralisasi
hukum dan rekayasa sosial oleh hukum terkadang mendapati kekurangannya.
Selain karena waktu yang panjang sebagai prasyarat berhasilnya rekayasa,
kuatnya sistem hukum lain yang masih memiliki legitimasi di tengah masyarakat
menjadi salah satu sebab sulitnya rekayasa ini mencapai tujuannya. Untuk kasus
Indonesia, hal demikian terjadi, terutama ketika nasional harus menerima
penyimpangan-penyimpangan hukum oleh masyarakat karena dorongan budaya
hukum adat dan/atau Islam yang masih cukup kuat. Padahal, sebagaimana para
ahli hukum, salah satu faktor efektifitas berlakunya hukum adalah budaya hukum
yang seiring dengan teks hukum yang ditetapkan.
Perspektif kontemporer yang memandang bahwa dalam suatu kehidupan
hukum meniscayakan adanya pluralitas sistem hukum adalah yang cukup mampu
menjelaskan fenomena tersebut, karena Leon Petrazycki,84 salah satu dari aliran
hukum pluralis menyatakan, bahwa hukum akan terdiri atas “pelbagai atau kurang
bentuk-bentuk” selain dari yang diakui oleh Negara. Hal demikian tidak dapat
disangkal ketika Negara menggunakan pespektif kaca mata kuda, mengekang
beragam sosio-legal, dan menggunakan hukum sebagai alat sentralisasi
83 Lihat, Roscou Pound, Pengantar Filsafat Hukum: Buku III, h. 66. 84 Roger Cotterrell, Law’s Community: Legal Teory in Sociological Perspective, h. 306.
52
pemerintahan, telah menyebabkan penghentian beragam pandangan hukum yang
ada di masyarakat.
Adalah berasal Erlich yang membedakan antara hukum Negara dan hukum
yang hidup di tengah kehidupan sosial masyarakat dan menyatakan bahwa
terkadang ada cukup banyak norma-norma yang secara independen mampu
memutuskan perkara-perkara yang terjadi di masyarakat. Norma-norma ini diakui
dan dilaksanakan, bahkan tak jarang oleh lembaga peradilan-peradilan Negara.
Dalam hal demikian pula, penafsiran modern memasukkan pluralitas pandangan
yang mengakui beberapa cara yang aktual dan keanekaragaman potensial,
kompleksitas dan fragmentasi regulasi kontemporer. Namun di sisi yang lain,
pandangan ini juga tidak menyangkal adanya regulasi yang terstruktur dan
dikoordinasikan secara sentral oleh kekuasaan pemerintah.85
Sentralisasi hukum oleh Negara yang tak jarang mengenyampingkan
aspek-aspek kultural dan sosiologis di tengah masyarakat ini tidak menutup
kemungkinan adanya persaingan di antara sistem hukum. Basis legitimasi
“keadilan” yang berangkat dari “kegunaan” hukum tentu menjadi dasar
bagaimana hukum itu dapat terlaksana secara efektif. Dalam hal demikian,
menarik pula untuk mengungkap sisi lain praktik hukum akibat dari sentralisasi
tersebut, di antaranya adalah adanya penyelewengan tingkah laku dan perbuatan
dari masing-masing eksponen masyarakat dalam sebuah negara dari hukum yang
telah dibakukan. Kecenderungan ini menjadi sangat niscaya ketika hukum Negara
ternyata belum mampu memberikan sebuah jawaban yang “adil” dan “berguna”
bagi kehidupan masyarakat yang menjalankannya. Dengan kata lain, K. Merton
yang dikutip oleh Satjipto Rahardjo menyatakan, bahwa di luar tujuan yang
hendak dicapai oleh hukum, akan muncul implikasi-implikasi di luar dari tujuan
yang tidak pernah diramalkan sebelumnya ketika hukum itu dibuat berada pada
jalur yang berbeda dengan praktik keseharian atau adat kebiasaan masyarakat
setempat.86
Dengan uraian di atas, nampak jelas bagaimana kita memosisikan
dualisme hukum status anak di luar nikah yang terjadi di Indonesia. Suatu
keharusan yang patut diakui adalah bahwa kebijakan sentralisasi hukum yang
85 Roger Cotterrell, Law’s Community: Legal Teory in Sociological Perspective, h. 307. 86 Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum, h. 88
53
diperankan oleh pemerintah, baik di masa kolonial Belanda, Orde Lama, dan Orde
Baru, telah berkontribusi membuat permasalahan ini semakin kompleks dan
ambigu. Akibatnya, di masa reformasi yang memberikan akses kebebasan yang
sebesar-besarnya kepada seluruh warga negara telah menjadi bom waktu bagi
permasalahan anak luar nikah. Berikut akan dijelaskan bagaimana regulasi negara
terhadap status anak ini dan bagaimana pula implikasinya dalam kehidupan
dewasa ini, sampai akhirnya Mahkamah Konstitusi memutuskan perkara ini.
Sebagaimana di atas, dualisme hukum ini tidak luput dari adanya
keanekaragaman hukum yang ada di masyarakat dan masing-masing sistem
tersebut masih meletakkan cengkaramannya dalam kehidupan sehari-hari
masyarakat Indonesia. Dalam konteks status anak yang tidak dapat dipisahkan
dari status perkawinan orang tua, dualisme pun terjadi akibat status perkawinan
orang tua yang menikah. Sebagaimana sebelumnya pula, jelasnya status
perkawinan orang tua akan memberikan status yang jelas pula kepada anak, dan
sebaliknya ketidaksahan status perkawinan orang tua akan berimplikasi kepada
anak. Dalam hal ini, sebagai implikasi, kekaburan status perkawinan orang tua
akan berimplikasi pada kekaburan status anak yang dilahirkan.
Tidak dapat dihindarkan, perdebatan tentang dualisme status perkawinan
telah menjadi sebab penting adanya dualisme status anak ini, yaitu antara sahnya
sebuah perkawinan melalui catatan sipil atau melalui hukum agama.
Ketidaktegasan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dalam
mengatur hal ini dapat ditelaah menjadi sebabnya.
Pasal 2 UU Perkawinan menyebutkan: (1) Perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. (2)
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pasal di atas cukup jelas menyebutkan, bahwa sahnya sebuah perkawinan
ditentukan oleh hukum agama masing-masing. Di samping menetapkan kekuasaan
agama di atas hukum Negara, Pasal ini menolak konsepsi perkawinan sebagai
kontrak sosial, sebagaimana dianut dalam sistem hukum perdata (Pasal 26
KUHPer). Dengan kata lain, Undang-Undang Perkawinan menganut sebuah
norma bahwa suatu perkawinan dipandang sah bilamana dilakukan menurut
54
hukum masing-masing agama dan kepercayaan yang melangsungkan perkawinan.
Pernyataannya kemudian, apakah sebuah perkawinan dipandang sah bilamana ia
dilakukan sesuai agama dan kepercayaan saja, ataukah harus diiringi dengan
proses administrasi keperdataan sebagaimana diatur di dalam hukum perdata?
Ketidakjelasan atas jawaban inilah yang kemudian menjadikan sistem
perkawinan di Indonesia menjadi ‘kabur’, karena ayat (2) Pasal 2 Undang-Undang
Perkawinan ini juga mengisyaratkan adanya pencatatan perkawinan, tetapi dalam
banyak pandangan hal ini tidak dimaksudkan sebagai syarat sahnya suatu
perkawinan. Dalam hal itu pula, ada perdebatan akademis yuridis yang juga
muncul dengan dua klausul ayat ini, yaitu di antaranya yang menetapkan sahnya
perkawinan dengan pencatatan dan satu pandangan lain yang menganggap bahwa
hukum agama telah cukup mewakili suatu perkawinan yang sah. Ambiguitad
Undang-Undang Perkawinan semakin tampak ketika dalam Pasal selanjutnya,
yaitu Pasal 6 ayat (2), ditetapkan bahwa Perkawinan yang dilakukan di luar
pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak memiliki kekuatan hukum.
Khusus dalam konteks Islam, Kompilasi Hukum Islam secara tegas
meletakkan hukum agama sebagai ukuran sah atau tidaknya sebuah perkawinan,
sebagaimana telah ditetapkan dalam Undang-Undang Perkawinan Pasal 2 (1)
(Pasal 4 KHI). KHI memandang pencatatan perkawinan hanya sebagai jaminan
ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam dan tidak termasuk dalam ukuran
sah atau tidaknya sebuah perkawinan. Walaupun, KHI juga memperkenalkan
istilah tidak berkekuatan hukum tetap untuk perkawinan yang tidak dicatatkan.
Adanya dua istilah “sah” dan “tidak diakui secara hukum” menjadi titik
permasalahan munculnya dualisme pemahaman tentang status perkawinan ini.
Undang-Undang Perkawinan ataupun Kompilasi Hukum Islam tampaknya berada
pada titik kegamangan yang sama dalam menetapkan ukuran-ukuran yuridis,
mana yang menjadi pedoman paripurna dalam menentukan sah atau tidaknya
suatu perkawinan.
Untuk itu pula, Euis Nurlaelawati dalam Disertasinya yang diterbitkan
oleh Amsterdam University Press, menyebutkan bahwa hukum perkawinan di
Indonesia, secara khusus KHI, telah menerapkan validitas ganda dalam
perkawinan, sebagai bagian dari upaya mempertahankan pendapat ulama klasik,
55
bahwa syarat satu-satunya yang bisa memutuskan perkawinan sah atau tidak
adalah ukuran agama. Dengan kata lain, catatan sipil atau keperdataan tidak bisa
dipandang sebagai faktor utama dalam menentukan sahnya sebuah perkawinan
atau tidak.87
Masih dalam catatan Euis, setidaknya dua pandangan yang dapat
disebutkan tentang validitas pencatatan perkawinan ini sebagai syarat sahnya
suatu perkawinan diketengahkan oleh Amir Syarifuddin, guru besar hukum Islam
IAIN Padang. Menurutnya, pencatatan perkawinan menjadi salah satu syarat
sahnya sebuah perkawinan. Ia menghapuskan validasi dari hukum Islam yang
mengacu kepada kitab-kitab fikih klasik, tetapi mengedepankan catatan sipil yang
lebih dapat dipertanggungjawabkan secara keperdataan. Pandangan berbeda
dikemukakan oleh Ali Yafie, salah seorang Ulama terkemuka, yang menurut dia,
sistem validasi dalam hukum Islam dan pencatatan tidak bisa disetarakan dan
dipersamakan, sehingga pencatatan tetap menjadi kebutuhan administrasi,
sementara hukum agama menjadi validasi sah atau tidaknya suatu perkawinan.88
Tuntutan untuk menetapkan bahwa pencatatan perkawinan sebagai salah
satu ukuran sah atau tidaknya perkawinan juga dilakukan oleh kelompok feminis
di Indonesia. Hal ini tidak dapat dipisahkan dari fakta yang cukup banyak terjadi
di lapangan, di mana masyarakat seringkali melakukan perkawinan yang tidak
dicatatkan (nikah sirri atau nikah bawah tangan) yang menyebabkan kerugian dan
penderitaan bagi perempuan atau anak-anak. Hal ini terjadi ketika terjadi
perpisahan, baik karena kematian, perceraian atau menghilangnya suami,
sementara sang isteri dan anak-anaknya harus menanggung penderitaan sebagai
janda yang tidak jelas statusnya. Di sisi yang lain, maraknya kasus-kasus
perkawinan poligami juga menjadi salah satu dorongan para feminis Muslim ini
untuk menetapkan pencatatan perkawinan sebagai salah satu syarat sah
perkawinan.
Di luar itu semua, nampak semakin jelas betapa dualisme hukum
perkawinan di Indonesia menjadi salah sebab utama dualisme hukum pengaturan
87 Euis Nurlaelawati, Modernization, Tradition and Identity: The Kompilasi Hukum Islam
and Legal Practice in the Indonesian Religious Courts, (Amsterdam: Amsterdam University Press, 2010), h. 102.
88 Euis Nurlaelawati, Modernization, Tradition and Identity, h. 118.
56
status anak yang dilahirkan. Di satu sisi terdapat anggapan bahwa anak yang
dilahirkan akibat perkawinan yang tidak dicatatkan tidak diakui secara hukum,
karena tidak ada ikatan hukum di dalamnya, tetapi di sisi yang lain, perkawinan
menurut agama tersebut dapat dikatakan sah menurut hukum agama.
Dalam hal demikian, secara terminologis, ada sejumlah pembedaan
tentang status anak ini, yaitu anak yang lahir dalam atau sebagai akibat
perkawinan yang sah, anak yang lahir di luar perkawinan, dan anak yang lahir
tanpa perkawinan (anak hasil zina). Istilah pertama mengacu kepada pengertian
Pasal 2 ayat (1), yaitu anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah. Dengan
kata lain, anak yang masuk dalam kategori pertama ini adalah hasil perkawinan
yang sah menurut agama dan dicatatkan melalui catatan sipil resmi. Sementara
pengertian kedua, adalah anak yang dilahirkan dari hasil perkawinan yang
dipandang sah menurut agama, tetapi tidak dicatatkan atau tidak resmi secara
hukum, sehingga anak yang dilahirkan juga tidak memiliki kekuatan hukum.
Sementara status ketiga adalah bagi anak yang dilahirkan tanpa adanya
perkawinan sama sekali atau yang sering disebut sebagai anak zina.89
Klasifikasi tersebut, yang didefinisikan oleh Ketua Pengadilan Tinggi
Agama Semarang, dalam batas tertentu hanyalah sebuah penafsiran atas sebuah
undang-undang atau peraturan. Ia tidak memiliki kekuatan mengikat atau masih
membuka ruang perdebatan, apalagi Chatib Rasyid mengungkap klasifikasi ini
berdasarkan kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia.
Di luar itu, yang menarik dari pembagian ini adalah masih kuatnya
pengaruh pluralitas atau dualisme hukum yang ada di Indonesia saat ini, walaupun
dalam rentang waktu yang lebih dari satu abad, sejak masa Pemerintahan kolonial
Belanda, upaya unifikasi hukum telah dilakukan dan bahkan secara sistematis
melalui legalisasi hukum positif.90 Pengaruh hukum agama yang menjadi bagian
penting kehidupan hukum (living law) masyarakat Indonesia menjadi sangat sulit
dipisahkan dari kehidupan sekular yang lebih mengutamakan rasilonalitas hukum.
89 Chatib Rasyid, “Anak Lahir Diluar Nikah (Secara Hukum) Berbeda Dengan Anak
Hasil Zina Kajian Yuridis Terhadap Putusan MK NO. 46/PUU-VII/2012”, Makalah disampaikan dalam Seminar Status Anak di Luar Nikah dan Hak Keperdataan lainnya, pada tanggal 10 April 2012, di IAIN Walisongo Semarang, h. 6.
90 Lihat, misalnya, Ratno Lukito dalam Hukum Sakral dan Hukum Sekular. H. 35
57
Untuk itu, dualisme hukum yang terjadi di Indonesia, termasuk pula dalam status
perkawinan dan status anak yang dilahirkan, sangat sulit dipisahkan dari
kehidupan hukum yang ada.
Implikasikasinya, dalam kehidupan yang lebih demokratis dan dibukanya
ruang bagi setiap warga negara untuk menyatakan pendapatnya, baik melalui jalur
formal—seperti adanya Mahkamah Konstitusi—ataupun melalui jalur informal,
telah membuka ruang perdebatan baru dalam diskursus hukum Indonesia. Dan,
apa yang terjadi di Mahkamah Konstitusi saat seorang warga negara yang merasa
dirugikan hak-haknya, yaitu Machica Mochtar, mengajukan permohonannya
kepada lembaga ini tentang status anak yang dilahirkannya melalui perkawinan
sirri atau di bawah tangan atau juga disebut dengan perkawinan menurut agama
yang tidak dicatatkan.
Dengan demikian, dapat disimpulkan, bahwa seperti halnya dalam
permasalahan hukum yang lain, dualisme hukum dalam status anak di Indonesia
merupakan implikasi dari perjalanan hukum yang ada di Nusantara sejak dahulu
kala, bahkan sejak Indonesia belum dilahirkan.
58
BAB III
MAHKAMAH KONSTITUSI DAN PUTUSAN UJI MATERI UNDANG-
UNDANG PERKAWINAN TENTANG ANAK LUAR KAWIN
A. Kewenangan MK dalam Uji Materi
Pembentukan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang tersendiri
karena kebutuhan adanya suatu pengadilan yang secara khusus melakukan
pengujian terhadap produk undang-undang (dalam istilah Hans Kelsen, statute
and customary law) yang bertentangan dengan konstitusi (undang-undang dasar).
Ide ini, bermula dari Prof. Hans Kelsen, guru besar kenamaan dari Universitas
Wina (Vienna) yang mengusulkan dibentuknya suatu lembaga yang diberi nama
‘Verfassungsgerichtshoft’ atau Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court).
Gagasan Kelsen ini, kemudian diterima dengan bulat dan diadopsikan ke dalam
naskah Undang-undang Dasar Tahun 1920 yang disahkan dalam Konvensi
Konstitusi pada tanggal 1 Oktober 1920 sebagai Konstitusi Federal Austria.1
Menurut Hans Kelsen2 kemungkinan muncul persoalan konflik antara norma yang
lebih tinggi dengan yang lebih rendah, bukan saja berkaitan antara undang-undang
(statute) dan putusan pengadilan, tetapi juga berkaitan dengan hubungan antara
konstitusi dan undang-undang. Ini adalah problem inkonstitusionalitas dari
undang-undang. Suatu undang-undang (statute) hanya berlaku dan dapat
diberlakukan jika sesuai dengan konstitusi, dan tidak berlaku jika bertentangan
dengan konstitusi. Suatu undang-undang hanya sah jika dibuat berdasarkan
ketentuan-ketentuan konstitusi. Karena itu diperlukan suatu badan atau pengadilan
yang secara khusus untuk menyatakan inkonstitusionalitas dari suatu undang-
undang yang sedang berlaku. Lebih lanjut Hans Kelsen3 menyatakan:
“There may be a special organ established for this purpose, for instance,
a special court, as so-called “constitutional court” or the control of the
constituionality of statutes, the so called “judicial review” may be
1 Lihat Jimly Asshiddiqy, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Cetakan
Pertama, Jakarta: Konsatitusi Press, 2005, hlm. 33 2 Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Translated by Anders Wedberg, New York:
Russell & Russell, 1961, hlm. 155. 3 Hans Kelsen, General Theory of Law and State, hlm. 157.
59
conferred upon the ordinary court, and especially upon the supreme
court.”
Menurut Kelsen4, suatu undang-undang yang telah dinyatakan tidak
berlaku oleh mahkamah konstitusi tidak dapat diterapkan oleh lembaga-lembaga
yang lain. Jika pengadilan biasa berwenang untuk menilai konstitusionalitas dari
suatu undang-undang hanya berhak menolak untuk menerapkannya atau
mengesampingkannya dalam kasus-kasus konkrit yang diputuskan, tetapi organ
yang lainnya tetap berkewajiban menerapkan undang-undang itu. Sepanjang suatu
undang-undang tidak dinyatakan tidak berlaku, adalah tetap “constitutional” dan
tidak “unconstitutional”, walaupun rasanya undang-undang itu bertentangan
dengan konstitusi. Dengan demikian, suatu undang-undang dapat dinyatakan tidak
berlaku oleh pembentuk undang-undang yaitu legislatif dan juga dapat dinyatakan
tidak berlaku oleh mahkamah konstitusi. Pemikiran Hans Kelsen ini tidak lepas
pelaksanaan teori hukum murni dan teori hiraki norma yang sangat terkenal yang
dikemukakannya dimana konstitusi ditempatkan sebagai norma hukum yang
superior dari undang-undang biasa.
Jadi pada awalnya mahkamah konstitusi merupakan suatu lembaga yang
dimaksudkan hanya untuk menguji konstitusionalitas (constitutional review) dari
suatu undang-undang terhadap konstitusi. Karena itu mahkamah konstitusi sering
disebut sebagai “the guardian of the constitution” (pengawal konstitusi).
Dengan kewenangannya yang dapat menyatakan inkonstitusionalitas dari
suatu undang-undang, posisi mahkamah konstitusi berada ada di atas lembaga
pembentuk undang-undang. Itulah sebabnya sejak awal Hans Kelsen telah
menyatakan sebagaimana telah ditulis di awal tulisan ini bahwa lembaga ini
dibentuk dengan kekuasaan yang berada di atas legislatif dan mestinya secara
politik tidak dikehendaki, khususnya jika memutuskan bahwa suatu undang-
undang adalah inkonstitusional. Karena itu bagi negara-negara yang menempatkan
superioritas parlemen yang cukup besar karena dianggap cerminan kedaultan
rakyat, tidak menempatkan mahkamah konstitusi dalam posisi di atas pembentuk
undang-undang, seperti Dewan Konstitusi Perancis yang hanya berwenang
4 Hans Kelsen, General Theory of Law and State, hlm. 157.
60 menguji konstitusionalitas dari suatu rancangan undang-undang yang telah
dibahas oleh parlemen tetapi belum diberlakukan. Bahkan Kerajaan Inggeris dan
Kerajaan Belanda tidak membentuk Mahkamah Konstitusi, dengan prinsip bahwa
parlemenlah satu-satunya lembaga yang membentuk serta mengetahui sah
tidaknya suatu undang-undang.5
Dalam perkembangannya, konsep dasar pembentukan mahkamah
konstitusi di berbagai negara sangat terkait dengan perkembangan prinsip-prinsip
dan teori ketatanegaraan modern yang dianut oleh berbagai negara yang menganut
prinsip konstitusionalisme, prinsip negara hukum, prinsip check and balances,
prinsip demokrasi dan jaminan perlindungan hak asasi manusia prinsip peradilan
yang bebas dan tidak memihak serta pengalaman politik dari masing-masing
negara. Keberadaan mahkamah konstitusi dibutuhkan dalam menegakkan prinsip-
prinsip tersebut.
Konstitusionalisme merupakan paham yang berprinsip bahwa
pelaksanaan kekuasaan negara oleh organ-organ negara harus berdasarkan
ketentuan-ketentuan konstitusi. Pelanggaran terhadap konstitusi tidak dapat
ditolerir karena akan menimbulkan kekuasaan yang tiran dan semena-mena.
Karena itu prinsip konstitusonalisme juga terkait dengan prinsip pemisahan dan
pembatasan kekuasaan (check and balances), yaitu kekuasaan lembaga-lembaga
negara dibagi secara seimbang. Kekuasaan negara tidak boleh bertumpu pada satu
lembaga negara karena akan dapat menimbulkan penyelahgunaan kekuasaan
negara. Dalam mengawasi pelaksanaan kekuasaan lembaga-lembaga negara
tersebut, agar tetap sesuai dengan kehendak rakyat diperlukan prinsip demokrasi
dan penghormatan atas hak asasi mansuia. Artinya, karena kekuasaan negara
bersumber dari rakyat maka akan selalu dapat dikontrol oleh rakyat dan selalu
mengormati hak-hak dasar rakyat. Alat ukur bagi rakyat untuk mengawasi
penyelenggaraan kekuasaan negara oleh lembaga negara adalah hukum dan
5 Perdebatan ini juga, terjadi ketika Panitia Ad Hoc 1 Badan Pekerja MPR RI, memperdebatkan
untuk mengintrodusir mahkamah konstitusi dalam UUD 1945. Bahkan suatu ketika Patrialis Akbar, anggota PAH 1 dari Fraksi Reformasi (gabungan Partai Amnanat Nasional dan Partai Keadilan) mempertanyakan, bagaimana mungkin 9 orang hakim konstitusi membatalkan putusan 500 orang anggota DPR yang merupakan cerminan kedaulatan rakyat dan Presiden yang juga dipilih langsung oleh rakyat. Mereka memperoleh legitimasi kedaulatan dari mana? Demikian antara lain keberatan yang diajukan oleh Patrialis Akbar.yang pada akhirnya menerima keberadaan mahkamah konstitusi dalam perubahan UUD 1945.
61 konstitusi. Disnilah prinsip negara hukum dan rule of law menjadi penting. Untuk
menilai secara obyektif dan independen apakah suatu tindakan negara (lembaga-
lembaga negara) melanggar konstitusi atau hukum, dibutuhkan suatu lembaga
yang mengadili dan memutuskannya yang dijamin oleh konstitusi. Di sinilah
konsep dasar dibutuhkannya mahkamah konstitusi yang berkembang sekarang ini.
Putusan pembentuk undang-undang yang berupa undang-undang (di
Indonesia adalah DPR dan Presiden), dapat saja bertentangan dengan ketentuan
konstitusi, karena lembaga DPR dan Presiden adalah lembaga politik, baik karena
kekeliruan dalam mengimplementasikan ketentuan konstitusi (undang-undang
dasar) maupun karena kesengajaan untuk membentuk undang-undang bagi
kepentingan melanggengkan kekuasaan politik, dapat diminta untuk ditinjau
kembali dan diuji oleh mahkamah konstitusi apakah sesuai atau bertentangan
dengan konstitusi. Jika bertentangan dengan konstitusi, undang-undang tersebut
dapat dinayatakan tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum oleh
mahkamah konstitusi. Demikian juga halnya yang berkembang dari prinsip
pembagian kekuasaan antar lembaga negara yang mungkin timbul sengketa
perebutan kewenangan antar lembaga negara, ditbutuhkan suatu mahkamah yang
independen untuk mengadili dan memutuskannya yang sengaja diberi
kewenangan oleh konstitusi untuk itu. Karena itu di negara-negara yang tradisi
kehidupan konstitusionalisme dan perlindungan hak asasi mansuianya masih baru,
keberadaan mahkamah konstitusi mejadi daya tarik yang sangat luar biasa. Seperti
dikemukakan oleh Jimliy Asshiddiqy, hampir semua negara-negara demokrasi
baru di Amerika Tengah dan Amerika Selatan dan terakhir eks negara-negara
komunis di Eropa Timur mengadopsi pembentukan mahkamah konstitusi.6
Walaupun demikian, di berbagai negara mahkamah konstitusi bukanlah
satu-satunya lembaga yang diberi kewenangan menyatakan inkonstituisionalitas
dari suatu undang-undang atau memutus masalah kostitusional lainnya. Di banyak
negara lainnya pengujian konstitusionalitas dari suatu undang-undang menjadi
kewenangan mahkamah agung seperti Amerika Serikat yang telah memulai sejak
tahun 1803 dalam kasus Marbury vs Madison. Bahkan di banyak negara lainnya
6 Lihat Jimly Asshiddiqy, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara,..hlm 41-
47
62 tidak dikenal pengujian undang-undang baik oleh mahkmah konstitusi maupun
oleh mahkamah agung seperti antara lain yang dianut oleh Kerajaan Belanda dan
Kerajaan Inggris.
Setelah dibentuk pertama kali berdasarkan Konstitusi Wina tahun 1920
mahkamah konstitusi terus diadopsi oleh berbagai negara. Sekarang mahkamah
konstitusi telah ada di 78 negara termasuk Indonesia.7 Namun demikian
kewenangan mahkamah konstitusi juga meluas yang tidak saja hanya untuk
menguji konstitusionalitas undang-undang terhadap undang-undang dasar seperti
dikonsepsikan oleh Hans Kelsen – walaupun fungsi utama dari mahkamah
konstitusi yang selalu sama di setiap negara adalah menguji konstitusionalitas
undang-undang terhadap undang-undang dasar – tetapi juga memiliki
kewenangan-kewenangan lainnya yang berhubungan dengan lingkup hukum
ketatanegaraan, seperti memutus sengketa pemilu, sengketa kewenangan antar
lembaga negara, pembubaran partai politik, pemberhentian presiden, memutus
konstitusionalitas dari seluruh peraturan perundang-undangan, serta mengadili
constitutional complaint dari warga negara.8 Putusan mahkamah konstitusi dalam
menjalankan berbagai kewenangannya tersebut bersifat final. Atinya sekali
mahkamah konstitusi memutuskan suatu persoalan yang diajukan kepadanya
dalam lingkup kewenangannya dan tidak ada upaya hukum lain untuk
melawannya.
Sebagai contoh Mahakamh Konstitusi Austria yang dibentuk sejak tahun
1920, memiliki 9 kewenangan, yaitu :
pengujian konstitusionalitas undang-undang,
pengujian legalitas peraturan perundang-undangan di bawah undang-
undang,
7 Secara lengkap dapat dibaca pada Jimly Asshiddiqy dan Mustafa Fakhri, Mahkamah konstitusi, Kompilasi Ketentuan Konstitusi, Undang-Undang dan Peraturan di 78 Negara, Jakarta: Pusat Studi Hukum tata Negara Universitas Indonesia dan Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Indponesia, 2003
8 Constitutional complaint, tidak saja menyangkut hak warga negara untuk mengajukan komplain
terhadap suatu undang-undang yang merugikan hak-hak konstitusional mereka akan tetapi juga termasuk segala produk dan tindakan pemerintah yang melanggar hak-hak konstitusional warga negara.
63
pengujian perjanjian internasional,
perselisihan pemilihan umum,
peradilan impeachment,
Kewenangan sebagai peradilan administrasi khusus yang terkait dengan
constitutional complaint individu warga negara,
Sengketa kewenangan dan pendapatan keuangan antar negara bagian dan
antara negara bagian dengan federal,
Sengketa kewenangan antar lembaga negara, dan
Kewenangan memberikan penafsiran undang-undang dasar.9
Berdasarkan UUD 1945 Pasal 24 c ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi
“Mahkamah Konstisusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-
Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang diberika
oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum” dan Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi (MK), MK
memiliki kewenangan mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk (i) pengujian konstitusionalitas undang-undang,
(ii) sengketa konstitusionalitas lembaga negara, (ii) pembubaran partai politik,
(iv) sengketa hasil pemilihan umum, dan (v) usul pemberhentian Presiden
dan/atau Wakil Presiden.
Mengadili tingkat pertama dan terakhir artinya Mahkamah Kosntitusi
merupakan satu-satunya pengadilan konstitusional. Tidak ada pengadilan
konstitusional lainnya selain Mahkamah Konstitusi, baik yang berkedudukan
sederajat, lebih tinggi, atau lebih rendah. Karena itu putusan Mahkamah
Konstitusi bersifat final dan mengikat. Dengan demikian terhadap putusan
Mahkamah Konstitusi tidak ada upaya hukum. Karena itu pula putusan
Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan
dalm sidang terbuka untuk umum, sehingga untuk itu tidak memerlukan tenggang
waktu tertentu, memberikan pihak-pihak berpikir-pikir, setelah pengucapan
9 Lihat Jimly Asshiddiqy, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara,…h.133-
143
64 putusan, dalam rangka pengajuan upaya hukum terhadap putusan tersebut. [ vide
Pasal 57 UU MK).10
Berdasarkan uraian di atas putusan mahkamah Konstitusi berlaku secara
efektif sejak putusan tersebut selesai diucapkan dalam sidang terbuka untuk
umum. Selain itu, oleh karena aputusan Mahkamah Konstitusi mengenai soal
ketatanegaraan maka putusan tersebut bersifat erga omnus (mengikat semua),
sehingga berlaku mengikat secara hukum kepada publik sebagaimana Undang-
undang, tidak seperti putusan pengadilan pada umumnya yang hanya mengikat
kedua belah pihak. Secara umum semua pihak berkewajiban menghormati dan
melaksanakan putusan sebagaimana mestinya.
B. Keberlakuan Putusan MK
Mahkamah konstitusi pada dasarnya adalah sebuah mahkamah
ketatanegaraan yang sesungguhnya adalah sebuah mahkamah politik. Seperti
halnya peradilan tata usaha negara yang tidak ada upaya paksa dalam pelaksanaan
putusannya kecuali diserahkan pada kepatuhan terhadap hukum dari lembaga atau
pejabat negara yang dikenai putusan itu.
Dalam kasus pelaksanaan putusan MPR yang telah memutuskan untuk
memberhentikan Presiden Abdurrahman Wahid, orang berpikir bagaimana
mengeksekusi putusan itu, karena Presiden Abdurrahman Wahid pada saat itu
menyatakan tidak akan meninggalkan istana negara karena menganggap putusan
MPR adalah tidak sah. Undang-undang dasar maupun undang-undang tidak
menentukan bagaimana eksekusi pelaksanaan putusan lembaga MPR itu. Disnilah
ciri khas putusan sebuah peradilan dan lembaga politik yang berbeda dengan
peradilan pidana atau perdata yang dapat meminta bantuan alat negara untuk
mengekesekusi secara paksa pelaksanaan suatu putusan peradilan. Karena itu saya
sangat setuju dengan istilah “keadilan dan keadaban” yang dikemukan oleh Jimly
Asshiddiqy,11 dalam memahami sila kedua dari Pancasila. Keadilan hanya akan
dapat dipahami dengan baik dalam masyarakat yang beradab, dan sebaliknya
masyarakat yang beradab pasti akan memahami dan menaati hukum dengan
10 Ahmad Fadlil Sumadi, “Mahkamah Konstitusi dan Putusan Judicial Review UU Perkawinan”, Makalah, tidak diterbitkan, h. 5.
11 Lihat Jimly Asshiddiqy, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara,…h.145
65 penuh kesadaran tanpa harus dipaksa. Kekuatan sebuah putusan mahkmah
konstitusi terkandung dalam putusanya yang menghormati prinsip negara hukum,
prinsip konstitusionalisme, keadilan serta kenegarawanan.12 Putusan demikian
memiliki kekuatan politik untuk memperoleh dukungan dari rakyat pemegang
kedaulatan.
Mahkamah Konstisusi adalah pengadilan konstitusi, pengadilan
ketatanegaran. Kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final, salah satu diantaranya
terhadap pengujian konstitusionalitas undang-undang. Sebagaimana dijelaskan di
atas, putusan Mahkamah Konstitusi berlaku secara efektif putusan tersebut
selesai diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Selain itu, khusus putusan
Mahkamah Konstitusi mengenai uji materi undang-undang berlaku ke depan
(prospective), tidak ke belakang (retroactive), sehingga sebelum putusan
Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan suatu permohonan pengujian
konstisusionalitas undang-undang , undang-undang tersebut masih tetap berlaku.
[vide Pasal 58 UU MK].13
Putusan Mahkamah Kosntitusi mengenai pengujian materi undang-
undang yang mengabulkan suatu permohonan, sebagaiman diuraikan di atas,
menyatakan bahwa materi muatan tertentu atau pembentukan undang-undang
bertentangan dengan UUD 1945 dan oleh karenanya menyatakan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat (not legally binding). Dengan adanya
putusan yang menyatakan demikian berarti subjek hukum yang semula terikat
secara hukum oleh norma tersebut, baik berupa perintah, larangan, atau keijinan,
menjadi bebas, tidak terikat lagi secara hukum. Dengan demikian pula, dari
perspektif legislasi, mahkamah Konstitusi adalah sebgai negative legislator.14
Artinya Mahkamah Konstitusi adalah pembentuk undang-undang dalam
pengetian membatalkan undang-undang yang telah dibentuk oleh parlemen.
13 Ahmad Fadlil Sumadi, “Mahkamah Konstitusi dan Putusan Judicial Review UU Perkawinan”,
Makalah, tidak diterbitkan, h. 5. 14 Ahmad Fadlil Sumadi, “Mahkamah Konstitusi dan Putusan Judicial Review UU Perkawinan”,
Makalah, tidak diterbitkan, h. 5.
66 C. Konteks Uji Materi Undang-Undang Perkawinan
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 ini merupakan
perkara yang diajukan oleh seorang perempuan yang bernama Aisyah Mochtar
binti H. Mochtar Ibrahim, yang juga dikenal dengan panggilan Machica. Aisyah
merupakan seorang perempuan yang lahir di Ujung Pandang, pada 20 Maret
1970. Saat mengajukan permohonan, ia bertempat tinggal di Jalan Camar VI Blok
BL 12A, RT/RW 002/008, Desa/Kelurahan Pondok Betung, Kecamatan Pondok
Aren, Kabupaten Tangerang, Banten. Permohon kedua adalah anak dari Asiyah,
yang bernama, Muhammad Iqbal Ramadhan, lahir di Jakarta, pada 5 Februari
1996, yang juga bertempat tinggal sama dengan Aisyah.
Permohonan ini diajukan oleh Machica akibat dari perceraiannya dengan
Moerdiono, mantan Menteri Sekretaris Negara masa Soeharto. Saat itu,
Moerdiono tidak pada status melajang, namun tengah memiliki isteri yang sah
atau terikat dengan perkawinan yang lain. Dengan asas perkawinan monogami
yang dianut oleh Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,
perkawinan Machica dan Moerdiono ini tidak dapat dicatatkan di catatan sipil di
Kantor Urusan Agama (KUA).
Di dalam Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 disebutkan bahwa pada
tanggal 20 Desember 1993, di Jakarta, telah berlangsung pernikahan antara Hj.
Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar Ibrahim dengan seorang laki-laki
bernama Drs. Moerdiono, dengan wali nikah almarhum H. Moctar Ibrahim,
disaksikan oleh dua orang saksi, masing-masing bernama almarhum KH. M.
Yusuf Usman dan Risman. Perkawinan ini dilangsungkan dengan mahar berupa
seperangkat alat salat, uang 2.000 Riyal (mata uang Arab), satu set perhiasan
emas dan berlian yang dibayar tunai. Ijab perkawinan diucapkan oleh wali
penganti perempuan dan qobul diucapkan oleh laki-laki bernama Drs.
Moerdiono.15
Lazimnya sebuah perkawinan poligami yang tidak melalui prosedur
resmi, perkawinan antara Machica dan Moerdiono inipun tidak dicatatkan secara
resmi. Perkawinan ini hanya mengikuti prosedur perkawinan menurut ajaran
agama, yaitu agama Islam. Namun, dari keduanya lahir seorang anak yang
15 Putusan PA Tigaraksa No 46 tahun 2008.
67 bernama Muhammad Iqbal Ramadhan. Setelah anak ini lahir, Moerdiono
menceraikan Machica, juga tanpa prosedur resmi, dan mengingkari status anak
yang dilahirkan dari Machica sebagai anaknya yang sah. Sejak Iqbal berusia dua
tahun, Moerdiono bahkan tidak pernah memberikan nafkah kepada anaknya
tersebut, dan pula status Iqbal pun masih belum jelas, karena Machica tidak dapat
mendaftarkan anaknya di catatan sipil untuk mendapatkan akta kelahiran,
lantaran tidak ada nama ayah biologisnya.
Dalam hal demikianlah, perkawinan antara Machica dan Moerdiono
pada dasarnya berada pada posisi yang tidak begitu jelas secara hukum, walaupun
menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Perkawinan bahwa sah atau tidaknya
suatu perkawinan ditentukan oleh ajaran agama para pengantin masing-masing.
Ketidakjelasan status perkawinan ini semakin tampak tatkala ayat (2) Pasal 2 UU
Perkawinan menyebutkan, bahwa tiap-tiap perkawinan dicatatkan sesuai dengan
peraturan perundangan yang berlaku.16
Dengan klausul yang menetapkan bahwa perkawinan harus dicatatkan
ini, Machica dan Iqbal merasa dirugikan hak konstitusionalnya, terutama ketika
dikaitkan dengan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan, yang menyatakan bahwa
anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya17. Pasal 43 (1) ini seakan menghilangkan
status hukum yang sah bagi Iqbal, termasuk pula konsekuensi-konsekuensi
hukum lainnya, seperti hak warisan dan hubungan keluarga dengan ayah
biologisnya, Moerdiono.
Berlandaskan kepada latar belakang ini pula, Aisyah mengajukan
permohonan Judicial review kepada Mahkamah Konstitusi RI terhadap Pasal 2
ayat (2) dan 43 ayat (1) Undang-undang Perkawinan. Permohonan ini didasarkan
pada sejumlah alasan hukum, di antaranya adalah:
Pertama, Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang
berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan
yang sah.” Ketentuan UUD 1945 ini melahirkan norma konstitusi bahwa
Pemohon yang merupakan warga negara Indonesia memiliki hak yang setara
16 Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. 17 Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan.
68 dengan warga negara Indonesia Iainnya dalam membentuk keluarga dan
melaksanakan perkawinan tanpa dibedakan dan wajib diperlakukan sama di
hadapan hukum.18
Kedua, Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “Setiap anak berhak
atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.” Menurut pemohon, Pasal ini telah
melahirkan norma konstitusi, bahwa anaknya juga memiliki hak atas status
hukum dan patut diperlakukan sama di hadapan hukum. Dengan kata lain, UUD
1945 telah mengedepankan norma sebagai bentuk keadilan terhadap siapapun
tanta diskriminatif.
Menurut pemohon pula, berdasarkan kepada Konstitusi, siapapun berhak
melaksanakan perkawinan sepanjang itu sesuai dengan agama dan
kepercayaannya masing-masing, sehingga perkawinan yang dilakukan oleh
Aisyah dan Moerdiono juga telah dilakukan sesuai dengan ajaran agama dan
keyakinan keduanya, yaitu agama Islam, sesuai dengan rukun dan syarat yang
telah diajarkan oleh agama ini. Untuk itu pula, perkawinan ini menjadi sah,
apalagi Pasal 1 ayat (1) UU Perkawinan jelas-jelas menyebutkan.
Lebih lanjut, pemohon mengemukakan, bahwa dalam Islam perkawinan
yang sah adalah berdasarkan ketentuan yang telah diatur berdasarkan Alquran
dan Sunah, sebagaimana pula perkawinan yang telah dilakukan oleh Pemohon.
Perkawinan Pemohon tersebut bukanlah karena perbuatan zina atau setidak-
tidaknya dianggap sebagai bentuk perzinaan. Begitu pula anaknya adalah anak
yang sah. Dalam pandangan Islam hal yang berbeda dan sudah barang tentu sama
dengan ketentuan dalam Undang-Undang Perkawinan adalah menyangkut
seorang wanita yang hamil dan tidak terikat dalam perkawinan maka nasib
anaknya adalah dengan ibu dan keluarga ibunya.19
Menurut Oktryan, kuasa hukum dari Aisyah Mochtar, dengan
berlakunya Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan menyebabkan
ketidakpastian hukum hubungan antara anak pemohon—yang bernama
Muhammad Iqbal Ramadhan (berusia 14 tahun)—dan bapaknya. Hal ini
18 Putusan MK, h. 4. 19 Putusan MK, h. 5.
69 melanggar hak konstitusional anak untuk mengetahui asal-usulnya. Ketentuan itu
berdampak suami pemohon tak berkewajiban untuk memelihara, mengasuh, dan
membiayai anak pemohon.20
Kuasa hukum yang lain, Rusdiyanto Matulatuwa mengatakan pada
dasarnya tidak ada seorang anakpun yang dilahirkan dapat disalahkan dan
diperlakukan diskriminasi lantaran pernikahan kedua orang tuanya berbeda, tetapi
secara hukum agama sah. Kenyataan itu pun berakibat pemohon tidak bisa
menuntut hak atas kewajiban suami memberikan nafkah lahir dan batin. Di
samping itu, menurut pengakuan dari kuasa hukum Aisyah ini pula, bahwa
Aisyah telah mengajukan penetapan (itsbât) perkawinannya dan pengesahan anak
hasil perkawinannya dengan Moerdiono ke Pengadilan Agama Tangerang.
Pengadilan Agama Tangerang telah menetapkan perkawinan keduanya adalah
sah. Namun, karena terganjal dengan asas monogami yang dianut dalam UU
Perkawinan, Hakim Pengadilan Agama Tangerang tidak berani untuk
menetapkan status anak keduanya.21
Dengan argumentasi yang disebutkan di atas, pemohon mengajukan
keberatannya kepada Mahkamah Konstitusi atas sejumlah pasal yang ada di
dalam Undang-Undang Perkawinan ini. Menurut Pemohon, sebagaimana dimuat
dalam Putusan Majelis Hakim, bahwa pemohon merupakan pihak yang secara
langsung mengalami dan merasakan hak konstitusionalnya dirugikan dengan
diundangkannya Undang-Undang Perkawinan terutama berkaitan dengan Pasal 2
ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1). Pasal ini ternyata justru menimbulkan
ketidakpastian hukum yang mengakibatkan kerugian bagi Pemohon berkaitan
dengan status perkawinan dan status hukum anaknya yang dihasilkan dari hasil
perkawinan.
Secara lebih rinci, Majelis Hakim menilai, ada sejumlah alasan Pemohon
mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi terkait dengan
permasalahan ini, di antaranya adalah: Pertama, bahwa Pemohon merupakan
pihak yang secara langsung mengalami dan merasakan hak konstitusionalnya
dirugikan dengan diundangkannya Undang-Undang Perkawinan terutama
20 “Artis Dangdut Uji UU Perkawinan ke MK”, Hukum Online, Senin, 26 Juli 2010. 21 “Artis Dangdut Uji UU Perkawinan ke MK”, Hukum Online, Senin, 26 Juli 2010. Lihat pula,
Putusan Pengadilan Negeri Tigaraksa, Tangerang, No: 46/Pdt.G.
70 berkaitan dengan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1). Pasal ini ternyata justru
menimbulkan ketidakpastian hukum yang mengakibatkan kerugian bagi Pemohon
berkaitan dengan status perkawinan dan status hukum anaknya yang dihasilkan
dari hasil perkawinan.
Kedua, bahwa hak konstitusional Pemohon yang telah dilanggar dan
merugikan tersebut adalah hak sebagaimana dijamin dalam Pasal 28B ayat (1)
dan Pasal 28B ayat (2) UUD 1945. Berdasarkan ketentuan Pasal 28B ayat (1) dan
(2) UUD 1945 tersebut, maka Pemohon dan anaknya memiliki hak konstitusional
untuk mendapatkan pengesahan atas pernikahan dan status hukum anaknya. Hak
konstitusional yang dimiliki oleh Pemohon telah dicederai oleh norma hukum
dalam Undang-Undang Perkawinan. Bagi Pemohon, sebagaimana disebutkan di
dalam Putusan Mahkamah, norma hukum ini jelas tidak adil dan merugikan
karena perkawinan Pemohon adalah sah dan sesuai dengan rukun nikah dalam
Islam. Merujuk ke norma konstitusional yang termaktub dalam Pasal 28B ayat (1)
UUD 1945 maka perkawinan Pemohon yang dilangsungkan sesuai dengan rukun
nikah adalah sah tetapi terhalang oleh Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan. Norma
hukum yang mengharuskan sebuah perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku telah mengakibatkan perkawinan yang sah dan
sesuai dengan rukun nikah agama Islam (norma agama) menjadi tidak sah
menurut norma hukum.
Kemudian hal ini berdampak ke status anak yang dilahirkan Pemohon
ikut tidak menjadi sah menurut norma hukum dalam Undang-Undang
Perkawinan. Jadi, jelas telah terjadi pelanggaran oleh norma hukum dalam UU
Perkawinan terhadap perkawinan Pemohon (norma agama). Dalam hal ini,
Pemohon mengutip pendapat seorang ahli hukum, yaitu Van Kan, yang
menyatakan bahwa kalau pelaksanaan norma-norma hukum tersebut tidak
mungkin dilakukan, maka tata hukum akan memaksakan hal lain, yang sedapat
mungkin mendekati apa yang dituju norma-norma hukum yang bersangkutan atau
menghapus akibat-akibat dari pelanggaran norma-norma hukum itu.
Ketiga, alasan yang juga dikemukakan oleh pemohon adalah bahwa
konsekuensi dari ketentuan Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat
(1) UUD NRI 1945 tersebut adalah setiap orang memiliki kedudukan dan hak
71 yang sama termasuk haknya untuk mendapatkan pengesahan atas pemikahan dan
status hukum anaknya. Norma konstitusi yang timbul dari Pasal 28B ayat (1) dan
ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) adalah adanya persamaan dan kesetaraan di
hadapan hukum. Tidak ada diskriminasi dalam penerapan norma hukum terhadap
setiap orang dikarenakan cara pernikahan yang ditempuhnya berbeda dan anak
yang dilahirkan dari pemikahan tersebut adalah sah di hadapan hukum serta tidak
diperlakukan berbeda.
Namun demikian, dalam praktiknya justru norma agama telah diabaikan
oleh kepentingan pemaksa yaitu norma hukum. Bagi pemohon, perkawinan
Pemohon yang sudah sah berdasarkan rukun nikah dan norma agama Islam
menjadi tidak sah menurut norma hukum karena tidak tercatat menurut Pasal 2
ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Akibatnya, pemberlakuan
norma hukum ini berdampak terhadap status hukum anak yang dilahirkan dari
perkawinan Pemohon. Dengan istilah lain, anak yang dilahirkan dari Pemohon
tersebut dianggap sebagai anak di luar nikah berdasarkan ketentuan norma hukum
dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan.
Di sisi lain, menurut alasan Pemohon, perlakuan diskriminatif ini sudah
barang tentu menimbulkan permasalahan karena status seorang anak di muka
hukum menjadi tidak jelas dan sah. Padahal, dalam UUD NRI 1945 dinyatakan
anak terlantar saja, yang status orang-tuanya tidak jelas, dipelihara oleh negara.
Sementara bagi Pemohon, hal yang berbeda diperlakukan terhadap anak
Pemohon yang dihasilkan dari perkawinan yang sah, sesuai dengan rukun nikah
dan norma agama justru dianggap tidak sah oleh UU Perkawinan. Menurut
pandangan Pemohon, Konstitusi Republik Indonesia tidak menghendaki sesuatu
yang sudah sesuai dengan norma agama justru dianggap melanggar hukum
berdasarkan norma hukum, sehingga hal ini merupakan pelanggaran oleh norma
hukum terhadap norma agama.
Keempat, menurut pemohon pula, bahwa dalam kedudukannya
sebagaimana diterangkan di atas, telah terbukti bahwa Pemohon memiliki
hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian konstitusional dengan
berlakunya Undang-Undang Perkawinan, khususnya Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43
ayat (1), yaitu yang berkaitan dengan pencatatan perkawinan dan hubungan
72 hukum anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak dicatatkan. Dalam hal
ini, Pemohon memandang, telah terjadi pelanggaran atas hak konstitusional
Pemohon sebagai warga negara Republik Indonesia, karena Pasal 2 ayat (2) dan
Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan tersebut bertentangan dengan
Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945.
Hal ini mengakibatkan pemikahan Pemohon yang telah dilakukan secara
sah sesuai dengan agama yang dianut Pemohon tidak mendapatkan kepastian
hukum sehingga menyebabkan pula anak hasil pemikahan Pemohon juga tidak
mendapatkan kepastian hukum pula. Padahal, hak konstitusional dari anak telah
diatur dan diakui dalam Pasal 28B ayat (2) UUD NRI 1945.
Menurut pengakuan dari Pemohon, secara nyata sejak lahirnya anak
Pemohon telah mendapatkan perlakuan diskriminatif, yaitu dihilangkannya asal-
usul dari anak Pemohon dengan hanya mencantumkan nama Pemohon dalam
Akta Kelahirannya dan negara telah menghilangkan hak anak untuk
kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang karena dengan hanya mempunyai
hubungan keperdataan dengan ibunya. Hal ini menyebabkan suami dari
Pemohon—yang notabene ayah biologis dan kandung dari anak tersebut—tidak
mempunyai kewajiban hukum untuk memelihara, mengasuh, dan membiayai
anak Pemohon.
Pemohon berargumen bahwa tidak ada seorang anakpun yang dilahirkan
di muka bumi ini dipersalahkan dan diperlakukan diskriminatif karena cara
pemikahan yang ditempuh kedua orang tuanya berbeda tetapi sah menurut
ketentuan norma agama. Dan, anak tersebut adalah anak yang sah secara hukum
dan wajib diperlakukan sama di hadapan hukum.
Terkait dengan Undang-Undang Perkawinan, pemohon memberikan
pandangannya, bahwa diundangkannya UU No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan secara khusus yang berkaitan pencatatan perkawinan dan anak yang
lahir dari sebuah perkawinan yang tidak dicatatkan dianggap sebagai anak di luar
perkawinan telah menyebabkan anak hanya mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya. Bagi Pemohon, hal ini telah memberikan ketidakpastian secara
hukum dan mengganggu serta mengusik perasaan keadilan yang tumbuh dan
hidup di masyarakat. Pemohon dirugikan dengan hal ini, karena kelahiran anak
73 Pemohon ke dunia ini bukanlah suatu kehadiran yang tanpa sebab, tetapi sebagai
hasil hubungan kasih sayang antara kedua orang tuanya (Pemohon dan
suaminya). Hanya saja, ketentuan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan
inilah yang menyebabkan suatu ketidakpastian hukum hubungan antara anak
dengan bapaknya. Hal tersebut telah melanggar hak konstitusional anak untuk
mengetahui asal-usulnya.
Di samping itu, menurut pandangan pemohon, hilangnya garis keturunan
dari ayah kandung sang anak juga menyebabkan beban psikis terhadap anak,
karena tidak adanya pengakuan dari bapaknya atas kehadirannya di dunia. Tentu
saja hal tersebut akan menyebabkan kecemasan, ketakutan dan ketidaknyamanan
anak dalam pergaulannya di masyarakat bagi anak secara khusus dan keluarga
secara umum.
Kelima, alasan lain yang dikemukakan oleh Pemohon adalah bahwa
Pemohon secara objektif mengalami kerugian materi atau finansial, yaitu
Pemohon harus menanggung biaya untuk kehidupan Pemohon serta untuk
membiayai dalam rangka pengasuhan dan pemeliharaan anak. Hal ini
dikarenakan adanya ketentuan dalam Undang-Undang Perkawinan yang
menyebabkan tidak adanya kepastian hukum atas pernikahan Pemohon dan anak
yang dihasilkan dari pemikahan tersebut. Akibatnya, Pemohon tidak bisa
menuntut hak atas kewajiban suami memberikan nafkah lahir dan batin serta
biaya untuk mengasuh dan memelihara anak.
Dengan kata lain, Pemohon berpandangan bahwa Undang-Undang
Perkawinan tidak mencerminkan rasa keadilan di masyarakat dan secara obyektif-
empiris telah memasung hak konstitusional Pemohon sebagai warga negara
Republik Indonesia untuk memperoleh kepastian hukum dan terbebas dari rasa
cemas, ketakutan, dan diskriminasi terkait pernikahan dan status hukum anaknya.
Dalam hal ini, pemohon menyadur pandangan Van Apeldoorn dalam bukunya
Incleiding tot de Rechtswetenschap in Nederland yang menyatakan bahwa tujuan
hukum adalah untuk mengatur pergaulan hidup secara damai. Hukum
menghendaki kedamaian.
Kedamaian di antara manusia, dalam hal ini, dipertahankan oleh hukum
dengan melindungi kepentingan-kepentingan manusia yang tertentu yaitu
74 kehormatan, kemerdekaan, jiwa, harta benda dan lain sebagainya terhadap yang
merugikannya. Kepentingan individu dan kepentingan golongan-golongan
manusia selalu bertentangan satu sama lain. Pertentangan kepentingan-
kepentingan ini selalu akan menyebabkan pertikaian dan kekacauan satu sama
lain kalau tidak diatur oleh hukum untuk menciptakan kedamaian dengan
mengadakan keseimbangan antara kepentingan yang dilindungi, di mana setiap
orang harus memperoleh sedapat mungkin yang menjadi haknya.
Terakhir, berdasarkan semua hal dan alasan yang telah diuraikan
tersebut, menurut pandangan pemohon, Mahkamah Konstitusi berwenang untuk
mengadili dan memutuskan Perkara Permohonan Uji Materiil Pasal 2 ayat (2) dan
Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan terhadap Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
B. Pertimbangan dan Pendapat Majelis Hakim
Ada sejumlah pertimbangan hukum yang dikemukakan oleh Majelis
Hakim Mahkamah Konstitusi terkait dengan Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang
diajukan oleh Aisyah Mochtar dan Muhammad Iqbal Ramadhan.
Pertama, Majelis Hakim menimbang bahwa maksud dan tujuan
permohonan a quo adalah untuk menguji Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3019) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Sebelum mempertimbangkan pokok permohonan, Mahkamah Konstitusi
terlebih dahulu mempertimbangkan: a) Kewenangan Mahkamah untuk mengadili
permohonan a quo; dan b) Kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon
untuk mengajukan permohonan a quo.
Sebagaimana diketahui, bahwa Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia adalah lembaga (tinggi) negara yang baru yang sederajat dan sama
tinggi kedudukannya dengan Mahkamah Agung (MA). Menurut ketentuan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasca Perubahan
Keempat (Tahun 2002), dalam struktur kelembagaan Republik Indonesia terdapat
75 (setidaknya) 9 (sembilan) buah organ negara yang secara langsung menerima
kewenangan langsung dari Undang-Undang Dasar (UUD).22
Dalam perubahan UUD inilah, Mahkamah Konstitusi diberikan
kewenangan, yaitu sebagaimana termaktub di dalam Pasal 24C ayat (1) UUD
1945, yang berbunyi:
(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar,
memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang
hasil pemilihan umum.
(2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan
Perwaklian Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau
Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
(3) Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim
konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing
tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan
Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden.
(4) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh hakim
konstitusi.
(5) Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak
tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan,
serta tidak merangkap sebagai pejabat negara.
(6) Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta
ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-
undang.23
Di samping itu, kewenangan Mahkamah Konstitusi juga diatur di dalam
Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
22 Jimly Asshiddiqie, “Kedudukan Mahkamah Konstitusi Dalam Struktur Ketatanegaraan
Indonesia”, Makalah dipresentasikan dalam Kuliah Umum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Kamis, 2 September, 2004. Diakses dari www.jimlyasshiddiqie.com
23 Pasal 24C Undang-undang Dasar Republik Indonesia.
76 Mahkamah Konstitusi sebagaimana pula telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi,24 serta Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.25 Di sejumlah
Undang-undang ini, salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah Konstitusi
adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat
final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar.
Dalam hal ini, Mahkamah Konstitusi memandang, permohonan para
Pemohon dalam Nomor 46/PUU-VIII/2010 adalah untuk menguji
konstitusionalitas norma Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU 1/1974
terhadap UUD NRI 1945, yang menjadi salah satu kewenangan Mahkamah
Konstitusi, sehingga oleh karenanya Mahkamah berwenang untuk mengadili
permohonan a quo.
Kemudian, mahkamah juga mempertimbangkan legal standing yang
dimiliki oleh para pemohoh, sebagaimana yang telah diatur di dalam Pasal 51
ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi beserta Penjelasannya, yaitu
pengajuan permohonan Pengujian Undang-Undang terhadap UUD NRI 1945
adalah oleh mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD NRI 1945 dirugikan oleh berlakunya
suatu Undang-Undang. Cakupan ini meliputi: (a) perorangan warga negara
Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama); (b)
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
diatur dalam Undang-Undang; (c) badan hukum publik atau privat; atau (d)
lembaga negara.
Dari ketentuan ini, Majelis Hakim menetapkan bahwa dalam
mengajukan judicial review Undang-Undang terhadap UUD 1945 para Pemohon
harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu beberapa hal, yaitu: (a)
kedudukannya sebagai para Pemohon sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1)
24 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226
25 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076
77 UU MK; (b) kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan
oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya undang-undang yang
dimohonkan pengujian.
Terkait dengan legal standing pemohon ini pula, Mahkamah Konstitusi
mempertimbangkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005
bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-
V/2007 bertanggal 20 September 2007, serta putusan-putusan selanjutnya
berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional
sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi
harus memenuhi lima syarat.
Pertama, adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang
diberikan oleh UUD 1945. Kedua, hak dan/atau kewenangan konstitusional
tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang
dimohonkan pengujian. Ketiga, kerugian konstitusional tersebut harus bersifat
spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut
penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. Keempat, adanya hubungan
sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan berlakunya undang-
undang yang dimohonkan pengujian. Kelima, adanya kemungkinan bahwa
dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional seperti yang
didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
Dari ketentuan-ketentuan inilah kemudian Mahkamah Konstitusi
menetapkan terlebih dahulu tentang jangkauan kewenangan yang dimilikinya
untuk mengadili dan memutus permohonan ini dan memperhatikan apakah para
pemohon memiliki legal standing yang sesuai dengan peraturan perundangan
yang berlaku. Dari pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, perkara a
quo merupakan wilayah hukum Mahkamah dan para pemohon telah memiliki
legal standing yang sesuai dengan peraturan, sehingga Mahkamah dapat
melanjutkan proses peradilan dan penyelesaian perkara ini.
Terhadap perkara yang diajukan oleh Aisyah Mochtar ini, Mahkamah
Konstitusi memandang bahwa pokok permohonan para Pemohon adalah
pengujian konstitusionalitas Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 yang menyatakan, “Tiap-
tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”,
78 dan Pasal 43 ayat (1) UU 1/1974 yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar
perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga
ibunya”, khususnya mengenai hak untuk mendapatkan status hukum anak.
Mahkamah juga melihat, pokok permasalahan hukum mengenai
pencatatan perkawinan menurut peraturan perundang-undangan adalah mengenai
makna hukum (legal meaning) pencatatan perkawinan. Mengenai permasalahan
tersebut, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi menyadur Penjelasan Umum
angka 4 huruf b UU 1/1974 tentang asas-asas atau prinsip-prinsip perkawinan,
yang menyatakan:
“... Bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Dan di
samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan
adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting
dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang
dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akte yang juga dimuat
dalam daftar pencatatan”.
Dari Penjelasan Undang-undang Perkawinan ini, Mahkamah
berpendapat bahwa nyatalah: Pertama, pencatatan perkawinan bukanlah
merupakan faktor yang menentukan sahnya perkawinan. Kedua, pencatatan
merupakan kewajiban administratif yang diwajibkan berdasarkan peraturan
perundang-undangan. Adapun faktor yang menentukan sahnya perkawinan
adalah syarat-syarat yang ditentukan oleh agama dari masing-masing pasangan
calon mempelai. Diwajibkannya pencatatan perkawinan oleh negara melalui
peraturan perundangundangan merupakan kewajiban administratif.26
Sebagaimana di atas, Mahkamah Konstitusi menetapkan bahwa
pencatatan perkawinan faktor yang menentukan sah atau tidaknya sebuah
perkawinan, walaupun pencatatan ini hanyalah sebatas kewajiban administrasi.
Mahkamah Konstitusi memaknai pentingnya kewajiban administratif berupa
pencatatan perkawinan tersebut dapat dilihat dari dua perspektif.
26 Putusan MK, h. 33.
79
Pertama, dari perspektif negara, pencatatan dimaksud diwajibkan dalam
rangka fungsi negara memberikan jaminan perlindungan, pemajuan, penegakan,
dan pemenuhan hak asasi manusia yang bersangkutan yang merupakan tanggung
jawab negara dan harus dilakukan dengan prinsip negara hukum yang demokratis
yang diatur serta dituangkan dalam peraturan perundang-undangan [sebagaimana
di dalam Pasal 28I ayat (4) dan ayat (5) UUD NRI 1945]. Menurut Mahkamah
Konstitusi, sekiranya pencatatan dimaksud dianggap sebagai pembatasan,
pencatatan demikian tidak bertentangan dengan ketentuan konstitusional karena
pembatasan ditetapkan dengan Undang-Undang dan dilakukan dengan maksud
semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam
suatu masyarakat demokratis.
Kedua, pencatatan secara administratif yang dilakukan oleh negara
dimaksudkan agar perkawinan, sebagai perbuatan hukum penting dalam
kehidupan yang dilakukan oleh yang bersangkutan, yang berimplikasi terjadinya
akibat hukum yang sangat luas, di kemudian hari dapat dibuktikan dengan bukti
yang sempurna dengan suatu akta otentik, sehingga perlindungan dan pelayanan
oleh negara terkait dengan hak-hak yang timbul dari suatu perkawinan yang
bersangkutan dapat terselenggara secara efektif dan efisien. Artinya, dengan
dimilikinya bukti otentik perkawinan, hak-hak yang timbul sebagai akibat
perkawinan dapat terlindungi dan terlayani dengan baik, karena tidak diperlukan
proses pembuktian yang memakan waktu, uang, tenaga, dan pikiran yang lebih
banyak, seperti pembuktian mengenai asal-usul anak dalam Pasal 55 UU 1/1974
yang mengatur bahwa bila asal-usul anak tidak dapat dibuktikan dengan akta
otentik maka mengenai hal itu akan ditetapkan dengan putusan pengadilan yang
berwenang. Pembuktian yang demikian pasti tidak lebih efektif dan efisien bila
dibandingkan dengan adanya akta otentik sebagai buktinya.
Kemudian, permasalahan kedua yang juga menjadi perhatian Mahkamah
adalah terkait dengan pokok permasalahan hukum mengenai anak yang dilahirkan
di luar perkawinan, yang menurut Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, adalah
mengenai makna hukum (legal meaning) frasa “yang dilahirkan di luar
80 perkawinan”. Untuk memperoleh jawaban dalam perspektif yang lebih luas perlu
dijawab pula permasalahan terkait, yaitu permasalahan tentang sahnya anak. Dari
pemaknaan ini Mahkamah memberikan argumentasi dan pandangan hukumnya.
Menurut Mahkamah, secara alamiah tidaklah mungkin seorang
perempuan hamil tanpa terjadinya pertemuan antara ovum dan spermatozoa, baik
melalui hubungan seksual (coitus) maupun melalui cara yang lain berdasarkan
perkembangan teknologi yang menyebabkan terjadinya pembuahan. Oleh karena
itu, tidak tepat dan tidak adil bilamana hukum menetapkan bahwa anak yang lahir
dari suatu kehamilan karena hubungan seksual di luar perkawinan hanya
memiliki hubungan dengan perempuan tersebut sebagai ibunya. Bagi Majelis
Hakim Mahkamah Konstitusi adalah tidak tepat dan tidak adil pula jika hukum
membebaskan laki-laki yang melakukan hubungan seksual yang menyebabkan
terjadinya kehamilan dan kelahiran anak tersebut dari tanggung jawabnya sebagai
seorang bapak dan bersamaan dengan itu hukum meniadakan hak-hak anak
terhadap lelaki tersebut sebagai bapaknya. Lebih-lebih manakala berdasarkan
perkembangan teknologi yang ada memungkinkan dapat dibuktikan bahwa
seorang anak itu merupakan anak dari laki-laki tertentu.
Dari sini, Mahkamah Konstitusi memandang bahwa akibat hukum dari
peristiwa hukum kelahiran karena kehamilan yang didahului dengan hubungan
seksual antara seorang perempuan dengan seorang laki-laki adalah hubungan
hukum yang di dalamnya terdapat hak dan kewajiban secara bertimbal-balik,
yang subjek hukumnya meliputi anak, ibu, dan bapak.
Berdasarkan uraian di atas, menurut MK hubungan anak dengan seorang
laki-laki sebagai bapak tidak semata-mata karena adanya ikatan perkawinan, akan
tetapi dapat juga didasarkan pada pembuktian adanya hubungan darah antara
anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak. Dengan demikian, terlepas dari soal
prosedur/administrasi perkawinannya, anak yang dilahirkan harus mendapatkan
perlindungan hukum. Jika tidak demikian, maka yang dirugikan adalah anak yang
dilahirkan di luar perkawinan, padahal anak tersebut tidak berdosa karena
kelahirannya di luar kehendaknya. Anak yang dilahirkan tanpa memiliki
kejelasan status ayah seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan
stigma di tengah-tengah masyarakat. Hukum harus memberi perlindungan dan
81 kepastian hukum yang adil terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-
hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun
keabsahan perkawinannya masih dipersengketakan.27
Dalam hal demikianlah, Mahkamah Konstitusi memberikan pemaknaan
baru terhadap Pasal 43 ayat (1) UU 1/1974 yang menyatakan, “Anak yang
dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya” dengan pengertian (harus dibaca), bahwa “anak
yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya
dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat
dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain
menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan
keluarga ayahnya”.
Untuk itu, berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, Majelis Hakim
Mahkamah Konstitusi memandang bahwa dalil para Pemohon sepanjang
menyangkut Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 Tentang Perkawinan tidak beralasan
menurut hukum. Sementara Pasal 43 ayat (1) UU 1/1974 yang menyatakan,
“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya” adalah bertentangan dengan UUD 1945
secara bersyarat (conditionally unconstitutional) yakni inkonstitusional, dengan
catatan sepanjang ayat tersebut dimaknai menghilangkan hubungan perdata
dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan
teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah
sebagai ayahnya.
Dari uraian di atas, Mahkamah Konstitusi menyimpulkan permasalahan
ini, dengan menyatakan: (1) Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan
a quo; (2) Para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk
mengajukan permohonan a quo; (3) Pokok permohonan beralasan menurut
hukum untuk sebagian.
27 Putusan Mahkamah Konstitusi, h. 35, poin 3.13.
82 D. Amar Putusan MK
Dari Permohonan yang disampaikan oleh Aisyah binti Mochtar ini,
berikut pula rangkaian alasan dan argumentasi hukum yang diajukan, baik dari
segi materi judicial review ataupun dari sisi legal standing yang dimiliki oleh
Pemohon, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi akhirnya memutuskan pengajuan
judicial review ini. Putusan telah mengadili perkara tersebut dengan menyatakan,
bahwa Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan para Pemohon untuk
sebagian dan menolak sebagian yang lain.
Putusan ini menyatakan, bahwa Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3019) yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang
dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti
lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya.
Selanjutnya, Mahkamah juga menyatakan bahwa Pasal 43 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar
perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga
ibunya”, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai
menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan
berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut
hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya. Dari putusan ini,
klausul Pasal 43 ayat (1) tersebut harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar
perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya
serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai
hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.
Di luar dari keputusan di atas, Mahkamah menolak permohonan para
83 pemohon untuk selain dari selebihnya, serta Majelis Hakim Mahkamah
Konstitusi memerintahkan agar putusan ini dimuat dalam Berita Negara Republik
Indonesia sebagaimana mestinya.
85
BAB IV PANDANGAN DAN ARGUMENTASI PENERIMAAN HAKIM AGAMA
TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
A. Pandangan Hakim Agama
Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 yang diucapkan tanggal 17 Februari
2012, ternyata disikapi dan ditafsirkan Hakim PA dan PTA di wilayah Provinsi
DKI Jakarta dan Provinsi Banten dengan pandangan yang beragam. Pandangan
para Hakim PA dan PTA tersebut, bisa dikelompokkan menjadi tiga kategori,
sebagai berikut:
Pertama, Hakim PA dan PTA yang menerima putusan MK No. 46/PUU-
VIII/2010 tersebut dalam struktur kekuasaan lembaga Peradilan, di mana
putusannya bersifat final dan binding;
Kedua, Hakim PA dan PTA yang menerima putusan MK No.46/PUU-
VIII/2010 tersebut dengan catatan. Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 tersebut
ditafsirkan dan dipahami dalam kontek nikah sirri yang syarat dan rukunnya telah
memenuhi ketentuan agama (syar’i) sesuai ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1), UU
Perkawinan tahun 1974 dan bukan dipahami untuk hubungan tanpa ikatan
perkawinan;
Ketiga, Hakim PA dan PTA yang menolak putusan MK No. 46/PUU-
VIII/2010 tersebut karena putusan tersebut dinilai akan membuka peluang
legalisasi zina. Para Hakim PA dan PTA tersebut kemudian memilih untuk
menggunakan hak diskresi Hakim atau prinsip contralegem dalam
implementasinya.
Di antara hakim yang menerima secara mutlak putusan MK No. 46/PUU-
VIII/2010 tersebut adalah Edi Riadi, Hakim PTA Jakarta sekaligus Wakil PTA
Jakarta. Dia memberikan ketegasan penafsiran bahwa cakupan putusan tersebut
termasuk untuk anak zina dan bukan sebatas anak hasil kawin siri yang sah
menurut hukum agama. Putusan MK menurut beliau, mencakup seluruh anak luar
kawin, baik anak hasil perkawinan yang tak tercatat maupun anak hasil zina. Ini
karena anak zina juga harus dipenuhi hak asasinya sebagaimana anak yang lain,
tidak boleh dikucilkan, atau mendapatkan sanksi sosial dari masyarakat akibat
perbuatan orangtuanya. Dia terlahir bukan karena keinginannya sendiri tetapi
86
akibat pelanggaran norma yang dilakukan ke dua orang tuanya. Dengan demikian,
argumentasi di balik putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 tidak lain merupakan
bagian dari upaya untuk melindungi hak asasi anak sebagaimana dirumuskan
dalam deklarasi HAM. Bahkan sikap semacam ini kalau mau dikaji lebih
mendalam, sejalan dengan tujuan hukum Islam (maqâshid al-Syarî’ah), yakni
menjaga nyawa (hifdz al-nafs) yang dalam hal ini adalah hak hidup anak tanpa
untuk hidup dan tumbuh tanpa tekanan dan diskriminasi dari pihak manapun.1
Lebih detil Hakim PTA Jakarta ini mengatakan:
“Pendapat saya terhadap putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010, putusan MK tersebut sudah tepat dari sisi HAM. Konsekuensinya, pasal-pasal dalam UU No.1 tahun 1974, harus diganti atau dirubah menyesuaikan putusan MK tersebut. Apalagi, sebagaimana kita lihat dalam kitab Fikih, ternyata Imam Hanafi (baca: mazhab) berpendapat anak diluar perkawinan mempunyai hubungan perdata, walaupun dia anak zina. Apalagi anak yang terlahir dari kawin siri yang dilakukan secara sah menurut ketentuan agama (ada wali perempuan, dua orang saksi, dan ada mempelai pria). Meskipun akibat perkawinan siri yang tidak dicatatkan dalam administrasi negara semacam ini, menjadikan ada halangan-halangan lain karena tidak mematuhi ketentuan yang ada dalam UU No. 1 Perkawinan tahun 1974. Salah satunya adalah adanya isteri yang lain pada waktu dia melakukan poligami secara siri. Jadi menurut pendapat saya, putusan MK sudah sangat tepat, baik dari sisi maqashid al-syari‘ah maupun dalam perspektif HAM”2.
Di samping itu menurut Riadi dalam khazanah Fikih terdapat pendapat
mazhab Hanafi yang membolehkan penasaban anak zina kepada ayah biologisnya,
terutama ketika diyakini si ayah itu merupakan satu-satunya orang yang menzinai
ibu si anak. Adanya pandangan dalam mazhab Hanafi semacam ini kalau
ditelusuri lebih jauh merupakan konsekwensi dalam memahami makna asal term
nikah. Ulama mazhab Hanafi mengatakan asal makna nikah secara bahasa
dipahami dalam arti “persetubuhan”. Sebaliknya, berbeda dengan pandangan
dalam mazhab Syafi’i, di mana makna asli nikah adalah ‘aqad, dan secara majazi
(metafora), term nikah dipahami untuk makna bersetubuh. Dengan merujuk
1 Wawancara dengan Edi Riadi, hakim PTA sekaligus Wakil Ketua PTA Jakarta pada
tanggal 17 September 2014 pukul 13.00. 2Wawancara dengan Edi Riadi, hakim PTA sekaligus Wakil Ketua PTA Jakarta. pada
tanggal 17 September 2014 pukul 13.00.
87
pandangan fikih mazhab Hanafi, Hakim PTA Jakarta ini lebih jauh menyatakan,
“Anak zina pun dapat dinasabkan kepada ayah biologisnya”. Untuk mempertegas
pandangannya, Hakim PTA Jakarta ini menyebut kitab Radd al-Mukhtâr (salah
satu kitab Fikih dalam mazhab Hanafi yang ditulis Ibn ‘Âbidîn). Hakim PTA
Jakarta kemudian menyatakan,”Dalam kitab Radd al-Mukhtâr dinyatakan, anak
hasil zina ada hubungan nasab dengan bapak biologisnya, termasuk tanggung
jawab keperdataan”3.
Sementara bila ditelusuri dalam Kitab “Radd al-Muhtar ‘ala al-Durr al-
Mukhtar” (Hasyiyah Ibn ‘Abidin), pendapat Imam Ibn ‘Abidin dalam kitabnya
sebagai berikut :
ویرث ولد الزنا واللعان بجھة األم فقط لما قد مناه فى العصبات أنھ ال أب لھماAnak hasil zina atau li’an hanya mendapatkan hak waris dari pihak ibu saja, sebagaimana telah kami jelaskan di bab yang menjelaskan tentang ashabah, karena anak hasil zina tidaklah memiliki bapak. Jadi rujukan yang dipakai oleh Edi Riadi sebenarnya kurang tepat bila
merujuk kepada Radd al-Mukhtar, namun menurut peneliti pendapatnya lebih
mendekati pendapat Ibn Taimiyyah dalam al-Fatwa-nya. Hal tersebut dapat
dibaca dalam pertimbangan fatwa yang dikeluarkan MUI. Dalam fatwa tersebut
MUI menyatakan bahwa pendapat Jumhur Madzhab Fikih Hanafiyyah,
Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah yang menyatakan bahwa prinsip
penetapan nasab adalah karena adanya hubungan pernikahan yang sah. Selain
karena pernikahan yang sah, tidak ada akibat hukum hubungan nasab, dan dengan
demikian anak zina dinasabkan kepada ibunya, tidak dinasabkan pada lelaki yang
menzinai, sebagaimana termaktub dalam beberapa kutipan berikut4:
a. Ibn Hajar al-‘Asqalani:
معنیان:” الولد للفراش“نقل عن الشافعي أنھ قال: لقولھ
ھو لھ مالم ینفھ، فإذا نفاه بما شرع لھ كاللعان انتفى عنھ، والثاني: إذا تنازع رب الفراش أحدھما
، أي: للزاني الخیبة والحرمان، ”وللعاھر الحجر“وقولھ: “ثم قال: ” والعاھر فالولد لرب الفراش
عیھ، وجرت والعھر بفتحتین: الزنا، وقیل: یختص باللیل، ومعنى الخیبة ھنا: حرمان الولد الذي ید
3Wawacara dengan Edi Riadi, hakim PTA sekaligus Wakil Ketua PTA Jakarta. tanggal 17 September 2014, pukul 13.00.
4Fatwa MUI Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Kedudukan Anak Hasil Zina dan Perlakuan
Terhadapnya.
88
عادة العرب أن تقول لمن خاب: لھ الحجر وبفیھ الحجر والتراب، ونحو ذلك، وقیل: المراد بالحجر ھنا
أنھ یرجم. قال النووي: وھو ضعیف، ألن الرجم مختص بالمحصن، وألنھ ال یلزم من رجمھ نفي الولد،
”ث، لتعم الخیبة كل زانوالخبر إنما سیق لنفي الولد، وقال السبكي: واألول أشبھ بمساق الحدی
Diriwayatkan dari Imam Syafi’i dua pengertian tentang makna dari hadis “Anak itu menjadi hak pemillik kasur/suami“ . Pertama: Anak menjadi hak pemilik kasur/suami selama ia tidak menafikan/mengingkarinya. Apabila pemilik kasur/suami menafikan anak tersebut (tidak mengakuinya) dengan prosedur yang diakui keabsahannya dalam syariah, seperti melakukan li’an, maka anak tersebut dinyatakan bukan sebagai anaknya. Kedua: Apabila bersengketa (terkait kepemilikan anak) antara pemilik kasur/suami dengan laki-laki yang menzinai isteri/budak wanitanya, maka anak tersebut menjadi hak pemilik kasur/suami.
Adapun maksud dari “bagi pezina adalah batu” bahwa laki-laki pezina itu
keterhalangan dan keputusasaan. Maksud dari kata al-‘ahar dengan menggunakan
dua fathah (pada huruf ‘ain dan ha’) adalah zina. Ada yang berpendapat bahwa
kata tersebut digunakan untuk perzinaan yang dilakukan pada malam hari. Oleh
karenanya, makna dari keputus-asaan disini adalah bahwa laki-laki pezina tersebut
tidak mendapatkan hak nasab atas anak yang dilahirkan dari
perzinaannya. Pemilihan kata keputusasaan di sini sesuai dengan tradisi bangsa
Arab yang menyatakan, “baginya ada batu” atau “di mulutnya ada batu” buat
orang yang telah berputusasa dari harapan. Ada yang berpendapat bahwa
pengertian dari batu di sini adalah hukuman rajam. Imam Nawawi menyatakan
bahwa pendapat tersebut adalah lemah, karena hukuman rajam hanya
diperuntukkan buat pezina yang muhsan (sudah menikah). Di sisi yang lain, hadis
ini tidak dimaksudkan untuk menjelaskan hukum rajam, tapi dimaksudkan untuk
sekedar menafikan hak anak atas pezina tersebut. Oleh karena itu Imam Subki
menyatakan bahwa pendapat yang pertama itu lebih sesuai dengan redaksi hadis
tersebut, karena dapat menyatakan secara umum bahwa keputus-asaan (dari
mendapatkan hak anak) mencakup seluruh kelompok pezina (muhsan atau bukan
muhsan).
b. Pendapat Imam al-Sayyid al-Bakry dalam kitab “I’anah al-Thalibin” juz 2
halaman 128 sebagai berikut:
ولد الزنا ال ینسب ألب وإنما ینسب ألمھ
89
Anak zina itu tidak dinasabkan kepada ayah, ia hanya dinasabkan kepada ibunya.
c. Pendapat Imam Ibn Hazm dalam Kitab al-Muhalla juz 10 halaman 323 sebagai
berikut :
والولد یلحق بالمرأة إذا زنت و حملت بھ وال یلحق بالرجل
Anak itu dinasabkan kepada ibunya jika ibunya berzina dan kemudian mengandungnya, dan tidak dinasabkan kepada lelaki.
2. Pendapat Imam Ibnu Nujaim dalam kitab “al-Bahr al-Raiq Syarh Kanz ad-
Daqaiq”:
نا واللعان من جھة األم فقط ؛ ألن نسبھ من جھة األب منقطع فال یرث بھ ومن جھة األم ویرث ولد الز
ھ وأخ ھ وأختھ من األم بالفرض ال غیر وكذا ترثھ أم ھ فرضا ال غیر ثابت فیرث بھ أم تھ من أم
Anak hasil zina atau li’an hanya mendapatkan hak waris dari pihak ibu saja, karena nasabnya dari pihak bapak telah terputus, maka ia tidak mendapatkan hak waris dari pihak bapak, sementara kejelasan nasabnya hanya melalui pihak ibu, maka ia memiliki hak waris dari pihak ibu, saudara perempuan seibu dengan fardh saja (bagian tertentu), demikian pula dengan ibu dan saudara perempuannya yang seibu, ia mendapatkan bagian fardh (tertentu), tidak dengan jalan lain.
3. Pendapat Imam Ibn ‘Abidin dalam Kitab “Radd al-Muhtar ‘ala al-Durr al-
Mukhtar” (Hasyiyah Ibn ‘Abidin) sebagai berikut :
ویرث ولد الزنا واللعان بجھة األم فقط لما قد مناه فى العصبات أنھ ال أب لھما
Anak hasil zina atau li’an hanya mendapatkan hak waris dari pihak ibu saja, sebagaimana telah kami jelaskan di bab yang menjelaskan tentang ashabah, karena anak hasil zina tidaklah memiliki bapak.
4. Pendapat Ibnu Taymiyah dalam kitab “al-Fatawa al-Kubra” :
نا إذا لم یكن فراشا ؟ على قولین .كما ثبت عن الن واختلف العلماء في استلحاق ولد الز بي { صلى هللا
األسود ، وكان قد أحبلھا عتبة بن أبي علیھ وسلم أنھ ألحق ابن ولیدة زمعة بن األسود بن زمعة بن
زمعة ھذا وقاص ، فاختصم فیھ سعد وعبد بن زمعة ، فقال سعد : ابن أخي .عھد إلي أن ابن ولیدة
علیھ وسلم : ھو ابني . فقال عبد : أخي وابن ولیدة أبي ؛ ولد على فراش أبي . فقال النبي صلى هللا
ا رأى من شبھھ البین لك یا عبد بن زمعة الولد للفراش ، وللعاھر الحجر ؛ احتجبي منھ یا سودة } لم
جعلھ أخاھا في المیراث دون الحرمة بعتبة ، ف
Para ulama berbeda pendapat terkait istilhaq (penisbatan) anak hasil zina apabila si wanita tidak memiki pemilik kasur/suami atau sayyid (bagi budak wanita). Diriwayatkan dalam hadis bahwa Rasulullah SAW menisbatkan anak budak wanita Zam’ah ibn Aswad kepadanya (Zam’ah),
90
padahal yang menghamili budak wanita tersebut adalah Uthbah ibn Abi Waqqash. Sementara itu, Sa’ad menyatakan : anak dari budak wanita tersebut adalah anak saudaraku (Uthbah), dan aku (kata Sa’ad) ditugaskan untuk merawatnya seperti anakku sendiri”. Abd ibn Zam’ah membantah dengan berkata : “anak itu adalah saudaraku dan anak dari budak wanita ayahku, ia dilahirkan di atas ranjang ayahku”. Rasulullah SAW bersabda: “anak itu menjadi milikmu wahai Abd ibn Zam’ah, anak itu menjadi hak pemilik kasur dan bagi pezina adalah batu”, kemudian Rasulullah bersabda : “Berhijablah engkau wahai Saudah (Saudah binti Zam’ah–Isteri Rasulullah SAW)”, karena beliau melihat kemiripan anak tersebut dengan Utbah, maka beliau menjadikan anak tersebut saudara Saudah binti Zam’ah dalam hal hak waris, dan tidak menjadikannya sebagai mahram.
5. Pendapat Wahbah al-Zuhaili dengan judul “Ahkam al-Aulad al-Natijin ‘an al-
Zina” yang disampaikan pada Daurah ke-20 Majma’ Fiqh Islami di Makkah
pada 25 – 29 Desember 2010 yang pada intinya menerangkan bahwa, jika ada
seseorang laki-laki berzina dengan perempuan yang memiliki suami dan
kemudian melahirkan anak, terdapat ijma ulama, sebagaimana disampaikan
oleh Imam Ibn Abdil Barr dalam “al-Tamhid” (8/183) yang menegaskan
bahwa anak tersebut tidak dinasabkan kepada lelaki yang menzinainya,
melainkan kepada suami dari ibunya tersebut, dengan ketentuan ia tidak
menafikan anak tersebut melalui li’an. Sementara, jika ia berzina dengan
perempuan yang tidak sedang terikat pernikahan dan melahirkan seorang
anak, maka menurut jumhur ulama mazhab delapan, anak tersebut hanya
dinasabkan ke ibunya sekalipun ada pengakuan dari laki-laki yang
menzinainya. Hal ini karena penasaban anak kepada lelaki yang pezina akan
mendorong terbukanya pintu zina, padahal kita diperintahkan untuk menutup
pintu yang mengantarkan pada keharaman (sadd al-dzari’ah) dalam rangka
menjaga kesucian nasab dari perilaku munkarat.
Selanjutnya, Edi Riadi menegaskan, “Substansi putusan MK sudah adil
dan tepat, meskipun untuk kasus perkasus mungkin tidak bisa disamaratakan.
Dalam kasus perkawinan kedua dan seterusnya ada halangan hukum menurut
ketentuan UU Perkawinan No.1 tahun 1974, dimana izin isteri pertama dan
seterusnya, merupakan persyaratan yang harus dipenuhi laki-laki (suami) yang
91
akan melakukan poligami. Faktanya, hal ini tidak dilakukan saudara (almarhum)
Moerdiono.”5
Pandangan agak berbeda dikemukan hakim PA Jaktim. Meski ia
sependapat dan menerima putusan MK tersebut, dimana dalam kasus anak luar
kawin, ayah biologis harus ikut bertanggung jawab terhadap hasil hubungannya
dengan seorang perempuan sesuai prinsip keadilan, namun ia menafsirkan
putusan tersebut hanya mencakup kewajiban untuk memberikan nafkah kepada
anak di luar kawin. Kewajiban ini, baik terhadap anak hasil perzinaan. Hubungan
keperdataan tersebut menurut tafsirannya tidak mencakup hubungan nasab,
perwalian, dan kewarisan bila anak tersebut hasil perzinaan. Sedangkan apabila
anak tersebut hasil perkawinan siri, maka perkawinan tersebut dipandang sah
sesuai ketentuan pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan tahun 1974 bahwa perkawinan
adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya. Selanjutnya sesuai ketentuan ayat (2) bahwa perkawinan wajib
dicatat, perkawinanannya dapat diajukan isbat ke Pengadilan Agama dan
selanjutnya mendapat keabsahan menurut hukum. Selanjutnya, pengakuan atau
hubungan keperdataan berupa nasab, nafkah, perwalian, dan hak waris memiliki
kekuatan hukum6.
Hakim PA Jakarta Selatan juga dapat menerima dan sependapat dengan
putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 terkait pengakuan anak zina yang dinasabkan
kepada bapak biologisnya. Pandangan hakim PA Jakarta Selatan ini dengan
merujuk pendapat Mazhab Hanafi dan Ibn Taimiyyah, termasuk penisbatan anak
biologis kepada laki-laki yang menzinahi ibunya, asal yang menzinahi cuma satu
orang dan ada pengakuan dari laki-laki tersebut. Hal ini karena watak fikih itu
sendiri yang selalu berkembang. Hakim PA Jakarta Selatan selanjutnya
menyatakan:
“Kalau menurut saya, hukum itu dinamis dan berkembang. Bisa saja terjadi pengakuan anak dan nasabnya dihubungkan dengan bapak biologis. Misalnya dia punya anak sebelum pernikahan dan dia mengaku dengan jujur pernah melakukan ‘kumpul kebo’. Setelah ditelusuri keteranganya dan dites DNA-nya, memang benar dia anaknya, ya bisa kita sahkan dan nasabnya itu
5 Wawacara dengan Edi Riadi, hakim PTA sekaligus Wakil Ketua PTA Jakarta. tanggal 17
September 2014, pukul 13.00. 6Wawancara dengan hakim PA Jakarta Timur, tanggal 15 Oktober 2014, pukul 10.00.
92
bisa ditetapkan. Dalam pandagan saya, “Dia adalah anak biologis”. Kita menyebutnya, “bukan anak sah”7.
Meskipun mengakui hubungan keperdataan dengan anak biologis akibat
zina diakui secara fiqh, namun pandangan hakim PA Jakarta Selatan nampaknya
“ambigu” karena hanya dengan menyatakannya sebagai anak biologis, sehingga
tidak menimbulkan efek hubungan keperdataan sebagaimana diinginkan
pandangan hakim yang menerima putusan MK secara mutlak. Nampaknya hakim
PA Jakarta Selatan “ragu” karena mungkin sadar mudarat yang timbul akibat
keputusan tersebut. Karena dengan mengakui hubungan secara mutlak, berarti
anak hasil perzinaan, anak lian, anak hasil hubungan yang dilarang, akan memiliki
status sama dengan anak sah. Sehingga hukum akan permisif terhadap perzinaan,
perselingkuhan, dan sejenisnya. dengan. Pandangan ini tentu menyisakan
pertanyaan apakah status tersebut memiliki kedudukan hukum bagi anak biologis
luar kawin.
Sementara itu menurut Ahmad Fadlil Sumadi (hakim MK), putusan MK
tersebut harus dimaknai sebagai pembuka jalan hukum bagi kemungkinan
ditemukan subjek hukum (seorang pria) yang harus bertanggungjawab terhadap
anak dimaksud sebagai bapaknya melalui mekanisme peradilan (jucial
mechanism) dengan pembuktian berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi
mutakhir dan/atau hukum, dalam rangka meniadakan ketidakpastian dan
ketidakadilan hukum di dalam masyarakat. Putusan ini tidak terkait dengan sah
atau tidak sahnya perkawinan, melainkan dimaksudkan untuk memberikan
jaminan perlindungan hukum kepada anak. Tidak pula dapat dimaknai melegalkan
perzinaan, karena anatar memeberikan perlindungan terhadap anak dan persolan
perzinaan meruapakn dua maslah hukum yang berbeda. Yang satu wilayah hukum
perdata, sedangkan yang lain (zina) wilayah hukum pidana.8
Putusan tersebut menurut Ahmad Fadlil Sumadi (hakim MK), harus
dimanai sebagai pembuka jalan hukum bagi kemungkinan ditemukan subjek
hukum (seorang pria) yang harus bertanggungjawab terhadap anak dimaksud
sebagai bapaknya melalui mekanisme peradilan (jucial mechanism) dengan
7 Wawancara dengan hakim PA Jakarta Selatan, tanggal 23 September 2014, pukul 10.00. 8 Ahmad Fadlil Sumadi, “Mahkamah Konstitusi dan Putusan Judicial Review UU
Perkawinan”, Makalah, tidak diterbitkan, h. 14.
93
pembuktian berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir dan/atau
hukum, dalam rangka meniadakan ketidakpastian dan ketidakadilan hukum di
dalam masyarakat. Putusan ini tidak terkait dengan sah atau tidak sahnya
perkawinan, melainkan dimaksudkan untuk memberikan jaminan perlindungan
hukum kepada anak. Tidak pula dapat dimaknai melegalkan perzinaan, karena
anatar memeberikan perlindungan terhadap anak dan persolan perzinaan
meruapakn dua maslah hukum yang berbeda. Yang satu wilayah hukum perdata,
sedangkan yang lain (zina) wilayah hukum pidana.9
Putusan tersebut menurut Ahmad Fadlil Sumadi (hakim MK), harus
dimanai sebagai pembuka jalan hukum bagi kemungkinan ditemukan subjek
hukum (seorang pria) yang harus bertanggungjawab terhadap anak dimaksud
sebagai bapaknya melalui mekanisme peradilan (jucial mechanism) dengan
pembuktian berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir dan/atau
hukum, dalam rangka meniadakan ketidakpastian dan ketidakadilan hukum di
dalam masyarakat. Putusan ini tidak terkait dengan sah atau tidak sahnya
perkawinan, melainkan dimaksudkan untuk memberikan jaminan perlindungan
hukum kepada anak. Tidak pula dapat dimaknai melegalkan perzinaan, karena
anatar memeberikan perlindungan terhadap anak dan persolan perzinaan
meruapakn dua maslah hukum yang berbeda. Yang satu wilayah hukum perdata,
sedangkan yang lain (zina) wilayah hukum pidana.10
Di sisi yang lain, terdapat pula pandangan yang melihat pentingnya
perombakan (review) terhadap norma hukum yang masih dianut di dalam UU
Perkawinan. Hal ini di antaranya dikemukakan oleh Mukti Arto, salah seorang
pakar peradilan Agama di Indonesia dan hukum keluarga, yang menyatakan
bahwa tujuan mendasar dari Putusan MK ini terhadap Pasal 43 ayat 1 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut sebagaimana yang dikutip A. Mukti Arto.
Pertama, memberikan legalitas hukum hubungan darah antara anak
dengan ayah biologisnya yang semula hanya merupakan sebuah realitas menjadi
hubungan hukum, sehingga memiliki akibat hukum.
9 Ahmad Fadlil Sumadi, “Mahkamah Konstitusi dan Putusan Judicial Review UU
Perkawinan”, Makalah, tidak diterbitkan, h. 14. 10 Ahmad Fadlil Sumadi, “Mahkamah Konstitusi dan Putusan Judicial Review UU
Perkawinan”, Makalah, tidak diterbitkan, h. 14.
94
Kedua, memberikan perlindungan hukum atas hak-hak dasar anak baik
terhadap ayahnya dan keluarga ayahnya maupun lingkungannya.
Ketiga, memberikan perlakuan yang adil terhadap setiap anak yang
dilahirkan, meskipun perkawinan orang tuanya tidak (belum) ada kepastian
hukum.
Keempat, menegaskan adanya hubungan perdata setiap anak dengan ayah
biologisnya dan keluarga ayahnya menurut hukum sebagaimana hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Kelima, menegaskan adanya kewajiban ayah menurut hukum (legal
custady) memelihara setiap anak yang dilahirkan dari darahnya. Keenam,
melindungi hak waris anak dari ayahnya karena adanya hubungan darah, hak dan
tanggung jawab satu sama lain. Ketujuh, menjamin masa depan anak sebagaimana
anak-anak pada umumnya. Kedelapan, menjamin hak-hak anak untuk mendapat
pengasuhan, pemeliharaan, pendidikan dan biaya penghidupan, perlindungan dan
lain sebagainya dari ayahnya sebagaimana mestinya.
Kesembilan, memberi ketegasan hukum bahwa setiap laki-laki harus
bertanggung jawab atas tindakannya dan akibat yang timbul karena perbuatannya
itu, dalam hal menyebabkan lahirnya anak, mereka tidak dapat melepaskan diri
dari tanggung jawab tersebut.11
Dari pendapat tersebut, Mukti Arto tampaknya menyetujui adanya
perubahan terhadap norma hukum yang ada di dalam UU Perkawinan, terutama
dalam aspek perlindungan dan perlindungan kepentingan anak. Dalam pada itu,
karena permasalahan status anak bermula dari kedudukan perkawinan, Mukti Arto
memberikan pandangan dalam perspektif hukum Islam, dengan mengacu kepada
pendapat Imam Abu Hanifah dalam permasalahan perkawinan yang lebih
mengutamakan pendefinisian perkawinan sebagai hubungan badan di antara
suami dan isteri, yang akhirnya menimbulkan akibat hukum adanya hubungan
darah di antara orang tua dan anaknya.
11 A. Mukti Arto, “Diskusi Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 46/PUU-
IIIV/2010 Tanggal 27 Pebruari 2012 Tentang Perubahan Pasal 43 UUP”, (Bahan Diskusi Hukum hakim PTA Ambon dan PA Ambon Bersama Pejabat Kepanitreaan pada tangal 16 Maret 2012 di Auditorium PTA Ambon). Pandangan ini dikutip dari Syamsul Anwar dan Isak Munawar, ”Nasab Anak di Luar Perkawinan Paska Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-IIIV/2010 Tanggal 20 Februari 2010 Menurut Teori Fikih dan Perundang-undangan”, h. 26.
95
Sebagaimana dikemukakan oleh Syamsul Anwar dan Isak Munawar,
Mukti Arto menyatakan bahwa adanya hubungan nasab antara ayah dan ibu
dengan anaknya adalah karena semata-mata adanya hubungan darah sebagai
akibat dari hubungan badan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan,
walaupun tanpa ikatan perkawinan yang sah, dengan alasan sesuai pandangan
ulama Hanafiyyah bahwa dengan hubungan badan semata, telah menimbulkan
hubungan mahram.12 Menurut dia pula, Putusan Mahakamah Konstitusi tersebut
memiliki kekuatan mengikat terhadap seluruh masyarakat Indonesia sejak
diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada tanggal 27 Pebruari Tahun
2012 sesuai Pasal 47 UU Mahkamah Konstitusi dan dengan terbitnya putusan MK
ini, maka ketentuan Pasal 43 ayat (1) dan Pasal 100 KHI tidak memiliki kekuatan
hukum mengikat.13
Dengan mengikuti pandangan tersebut, Putusan MK ini kemudian
memiliki konsekuensi hukum yang lain dalam penerapannya, yaitu dalam
permasalahan nafkah anak, hak perwalian, dan hak kewarisan.
Dalam hal nafkah anak, oleh karena status anak tersebut menurut hukum
yang dimuat pada putusan Mahkamah Konstitusi ini mempunyai hubungan nasab
dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan ayah dan keluarga ayahnya,
maka yang wajib memberikan nafkah terhadap anak tersebut adalah ayahnya dan
keluarga ayahnya. Dalam hal ini, kewajiban muncul baik sebagai ayah yang
memiliki ikatan perkawinan yang sah dengan ibunya maupun ayah alami
(genetik/biologis), yaitu berupa kewajiban hukum memberikan nafkah kepada
anak, karena anak dalam hal ini tidak berbeda dengan anak sah. Terhadap anaknya
tersebut ayah wajib memberikan nafkah dan penghidupan yang layak seperti
nafkah, kesehatan, pendidikan dan lain sebagainya kepada anak-anaknya, sesuai
dengan penghasilannya, sebagaimana diatur di dalam peraturan perundangan dan
Kompilasi Hukum Islam.14
12 Syamsul Anwar dan Isak Munawar, Nasab Anak di Luar Perkawinan Paska Putusan
Mahkamah Konstitusi, h. 28. 13 Syamsul Anwar dan Isak Munawar, Nasab Anak di Luar Perkawinan Paska Putusan
Mahkamah Konstitusi, h. 28. 14 Syamsul Anwar dan Isak Munawar, “Nasab Anak di Luar Perkawinan Paska Putusan
Mahkamah Konstitusi”, h. 30.
96
Dalam hal demikianlah, Menurut Syamsul Anwar dan Isak Munawar,
keduanya adalah Hakim di Pengadilan Tinggi Agama, bahwa bila orentasi putusan
Mahkamah Konstitusi tersebut bertujuan seperti itu, menurut keduanya dapat
diterima, akan tetapi langkah terbaik bukanlah mengubah atau menghapuskan
pasal tersebut, melainkan cukup menambahkan satu ayat yang membebankan
tanggung jawab nafkah terhadap ayah yang menyebabkan anak lahir di luar
perkawinan. Dengan penambahan ayat ini, menurut keduanya pula, Mahkamah
Konstitusi akan terlihat lebih bijak dan tidak akan mengundang polemik
kontroversi yang berkepanjangan dalam masyarakat.15
Namun dalam permasalahan perwalian, Putusan Mahkamah Konstitusi ini
tetap menggunakan kerangka Undang-Undang Perkawinan yang lama, karena
Pasal 42 Undang-Undang Perkawinan tidak di-review/diubah oleh Mahkamah
Konstitusi. Ketentuan-ketentuan hukum sebagaimana tersebut tetap berlaku dan
mengikat semua pihak. Oleh karena itu Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang
Perkawinan yang telah di-review menjadi anak di luar perkawinan memiliki
hubungan perdata dengan ibunya dan ayahnya serta dengan keluarga ibu dan
ayahnya, maka hubungan perdata dimaksud kecuali dalam hal wali nikah, yang
berhak menjadi wali nikah bagi anak perempuan yang lahir di luar perkawinan
adalah wali hakim. Demikian pula dalam permasalahan warisan, menurut Syamsul
Anwar dan Isak Munawar, permasalahan ini dikecualikan dalam Putusan tersebut.
Berbeda dengan pendapat Syamsul Anwar dan Isak Munawar di atas, Akil
Mochtar, Juru Bicara Mahkamah Konstitusi menyatakan, Putusan ini tidak hanya
mengakui status hukum anak yang dilahirkan, namun juga terkait dengan
implikasi hukum yang lain, yaitu kewarisan. Menurut dia, walaupun konteks
permasalahan waris tidak disertakan dalam permohonan judicial review oleh
Aisyah Mochtar, namun bila sang anak telah memiliki pengakuan hukum secara
legal dan sah oleh bapaknya, maka kewarisan merupakan konsekuensi yang tidak
dapat dipisahkan.16
15 Syamsul Anwar dan Isak Munawar, “Nasab Anak di Luar Perkawinan Paska Putusan
Mahkamah Konstitusi”, h. 31. 16 “MK Sahkan Status Anak di Luar Nikah Resmi”, Harian Rakyat Merdeka, Minggu, 19
Februari 2012.
97
Pandangan lain yang mengemuka adalah pendapat yang menyatakan
bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi telah memberikan hak yang sejatinya harus
diterima oleh para anak-anak yang selama ini terdiskriminasikan. Putusan ini
menjadi terobosan hukum terhadap peraturan perundangan di Indonesia yang
selama kurang melindungi hak setiap anak di luar perkawinan yang sah.
Sebagaimana dikemukakan oleh salah seorang Komisioner Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Apong Herlina, bahwa selama ini akta
kelahiran dapat dikeluarkan oleh pegawai pencatat ketika orang tua anak
menunjukkan surat/bukti pencatatan nikah keduanya. Bila tidak, biasanya pegawai
pencatat tidak akan berani menuliskan nama ayah dari anak tersebut, karena
dipandang tidak sah, kecuali ayahnya tersebut mengakuinya. Secara sosial, hak ini
menimbulkan dampak negatif kepada anak, di antaranya adalah stigmatisasi di
antara masyarakat, bahkan sampai ia dewasa, yang akhirnya menimbulkan
dampak psikologis.17
Dari sini pula, KPAI sangat menyambut baik putusan ini. Sekretaris KPAI
menyatakan, putusan ini memberikan jawaban pada permasalahan akta kelahiran
anak yang lahir di luar nikah, walaupun untuk melakukannya diperlukan
pembuktian melalui tes DNA atau bukti-bukti lainnya. Dengan kata lain, menurut
dia, nama bapak biologis sang anak dapat dicantumkan meski tidak melalui
pernikahan. Selain itu, Putusan ini juga dapat mengatasi permasalahan “anak
haram” yang selama ini sering disematkan kepada anak-anak yang dilahirkan
tanpa dihubungkan dengan nama ayah kandungnya.18
Pendapat lain yang juga mendukung Putusan Mahkamah Konstitusi ini
adalah dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusi RI, Amir Syamsuddin dan dari
Komisi Nasional (Komnas) Perempuan. Menurut dia, Putusan Mahkamah
Konstitusi ini merupakan putusan yang sangat bijaksana. Putusan Mahkamah
Konstitusi ini sangat baik untuk diterapkan agar status anak-anak menjadi jelas
17 “KPAI: 50 Juta Anak Indonesia tidak Memiliki Akta Kelahiran”, Jumat, 24 Februari
2012, diakses dari www.voanews.com. 18 “KPAI: Putusan MK Atasi Masalah Anak di Luar Nikah”, Koran Tempo, 18 Februari
2012.
98
dan perlindungan hukumnya terjamin. Dalam hal ini, menurut dia, tidak ada lagi
orang tua dengan mudahnya mengingkari kewajiban kepada anaknya.19
Menurut Komnas HAM dalam Siaran Persnya khusus menyambut Putusan
MK ini, Komnas Perempuan menyambut baik putusan tersebut. Komnas
Perempuan berpendapat bahwa Putusan ini meneguhkan pelaksanaan jaminan hak
konstitusional bagi anak, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28B ayat (2)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan juga UU No.
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Sebelumnya, Pasal 43 ayat (1) hanya
mengakui hubungan keperdataan anak di luar perkawinan dengan ibunya saja.
Padahal, anak lahir pasti mempunyai ibu dan bapak. Artinya, seharusnya anak
tidak saja memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya, melainkan juga
memiliki hubungan keperdataan dengan bapak/keluarga bapak. Keberadaan
hubungan keperdataan ini mendorong pemenuhan hak-hak anak oleh orang tuanya
yang sesungguhnya memikul tanggung jawab untuk itu, terlepas dari sah tidaknya
perkawinan mereka menurut hukum negara.20
Di samping itu, Komnas Perempuan juga memandang bahwa putusan ini
menegaskan urgensi negara mewajibkan pencatatan perkawinan sebagai bentuk
perlindungan negara kepada pihak-pihak dalam perkawinan. Tidak hanya itu,
keputusan ini mempunyai arti penting bagi pemenuhan hak konstitusional
masyarakat penghayat kepercayaan yang selama ini sulit mendapatkan akta
kelahiran karena perkawinan para penghayat tidak diakui secara hukum dalam
catatan sipil. Sampai saat ini, meski telah ada Undang-Undang No. 23 Tahun
2006 tentang Administrasi Kependudukan, masyarakat penghayat kepercayaan
masih menghadapi hambatan mencatatkan perkawinanannya yang
diselenggarakan menurut kepercayaannya itu. Demikian bagi kelompok minoritas
lain yang terhambat karena identitas kewarganegaraan mereka dan sulit
mendapatkan status perkawinan yang sah.21
19 “Menkum HAM: Putusan MK Soal Status Anak di Luar Nikah Bijaksana”, Detiknews,
Selasa, 21 Februari 2012. Diakses dari www.detiknews.com. 20 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-undang Perkawinan, Jakarta: Kencana, Jakarta. 2007 21 “Pernyataan Sikap Komnas Perempuan Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi tentang
Pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan”, 25 February 2012. Diakses dari www.komnasperempuan.or.id .
99
Pandangan serupa, misalnya disampaikan oleh Irsyad Dhahri S. Suhaeb,
Dosen Hukum Universitas Negeri Makassar, yang dimuat pada Koran Republika
(25 Februari 2012). Menurut Irsyad, harus diakui bahwa putusan Mahkamah
Konstitusi di atas adalah terobosan baru. Putusan ini akan menimbulkan dampak
yang tidak sederhana pada masa mendatang, sebab putusan ini akan memengaruhi
ketentuan-ketentuan hukum lain yang terdapat pada sistem hukum nasional,
seperti Undang-Undang Perkawinan, warisan, perwalian, atau hubungan perdata
lainnya dalam hukum keluarga. 22
Secara kemanusiaan dan perspektif hak asasi manusia, Putusan ini menjadi
acuan yang signifikan bagi terciptanya konsep yang bertujuan keadilan restoratif.
Keadilan ini berupaya mengembalikan situasi dan kondisi korban yang telah
dirusak oleh adanya serangan atau aturan hukum yang dianggap dan telah
merugikan seseorang serta mengganggu perlindungan hak asasi manusianya.
Dengan adanya pengakuan hak anak yag berhubungan dengan ayah biologisnya,
maka salah satu hak asasi anak telah dipulihkan sesuai konsep keadilan restoratif.
Ini berarti pula, menurut Irsyad, bahwa seorang anak yang lahir sebagai akibat
interaksi seorang wanita dan seorang lelaki, untuk mendapatkan pengakuan secara
lengkap dari ibu dan ayahnya meski interaksi mereka tersebut tidak melalui
pernikahan yang sah.23
Sementara sebagian hakim yang menerima putusan MK tersebut namun
membatasi penafsiran putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 sebatas terhadap anak
luar kawin hasil perkawinan siri, di antaranya pandangan semacam ini
dinyatakan Hakim PA Jakarta Barat dan PA Tigaraksa Tangerang. Mereka
menyatakan bahwa anak luar nikah harus dibatasi pengertiannya pada anak hasil
perkawinan siri. Sehingga untuk menyatakan adanya hubungan keperdataan
dengan ayahnya sesuai amar putusan MKNo. 46/PUU-VIII/2010, terlebih dahulu
harus dilakukan itsbat nikah. Setelah terjadi itsbat nikah, baru memiliki kekuatan
hukum. Para Hakim tersebut lebih jauh berpendapat jika mau mendapatkan itsbat
nikah atau pengakuan legalitas perkawinan dari pemerintah, setidaknya ada dua
hal yang harus dipenuhi. Pertama, pasangan tersebut pada waktu menikah siri,
22 Irsyad Dahri, Koran Republika tanggal 17 Maret 2014 23 Irsyad Dhahri S Suhaeb, “Dampak Putusan MK”, Opini Koran Republika, 25 Februari
2012.
100
pernikahannya harus sah dan memenuhi ketentuan agama (ada wali, ada dua
orang saksi, dan ada mempelai pria). Kedua, mempelai tidak terikat dengan
pernikahan yang lain. Ketika dua hal ini sudah terpenuhi, biasanya pengajuan
isbat nikah di Pengadilan Agama, akan dikabulkan.24
Pandangan tersebut sejalan pendapat Mahfud MD, Ketua MK, yang
memutuskan permohonan judicial review Pasal 43 UU Perkawinan. Mahfud MD
menyatakan bahwa yang dimaksud majelis dengan frasa “anak di luar
perkawinan” bukan anak hasil zina, melainkan anak hasil nikah sirri. Hubungan
perdata yang diberikan kepada anak di luar perkawinan tidak tentangan dengan
nasab, waris, dan wali nikah. Hak yang dapat dituntut anak di luar perkawinan
yang tidak diatur fikih, antara lain, berupa hak menuntut pembiayaan pendidikan
atau hak menuntut ganti rugi karena perbuatan melawan hukum yang merugikan
orang lain seperti yang diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata atau hak untuk
menuntut karena ingkar janji. Intinya adalah hak-hak perdata selain hak nasab,
hak waris, wali nikah, atau hak perdata apa pun yang tidak terkait dengan prinsip-
prinsip munakahat sesuai fikih. 25
Penafsiran ini wajar bila karena memang mayoritas Fikih menolak
penetapan hubungan keperdataan semata-mata karena hubungan seksual semata.
Belum lagi bila dikaitkan dengan anak lian, anak sumbang26, anak hasil hasil
perkosaan. Tentu ini akan menimbulkan problem status hubungan keperdataan
yang dimaksud putusan MK adalah hubungan keperdataan secara mutlak seperti
nasab, perwalian, dan kewarisan. Dalam kasus anak sumbang hasil hubungan
incest akan menimbulkan problem yang rumit dalam hal nasab dan perwaliannya.
Bila seorang ayah menghamili anak kandungnya maka kedudukan hukumnya
menjadi membingungkan, lebih-lebih bila dikaitkan dengan aturan-aturan Fikih.
B. Argumentasi Hukum
Argumentasi yang dikemukakan Hakim PTA Jakarta dimana ia menerima
secara mutlak putusan MK tentang status anak luar kawin adalah subtansi HAM.
Logika yang diambil adalah seorang bayi lahir adalah akibat perbuatan ibu dan
24 Wawancara dengan Sonhaji, hakim PA Jakarta Barat , tanggal 15 Oktober 2014, pukul 15.00 dan Wawancara dengan hakim PA Tigaraksa, tanggal 11 Nopember 2014, pukul 11.00..
25 Buah Simalakama Putusan MK dalam Harian Surat Kabar Jawa Pos, Rabu, 28 Maret 2012
26 Anak hasil hubungan di mana hasil ada halangan untuk perkawinan seperti incest, dll.
101
bapaknya. Walaupun perbuatan kedua orang tua ini salah,itu diluar kehendaknya.
Oleh karenanya hak-hak yang melekat padanya sebagai manusia harus dilindungi,
termasuk masalah keperdataan, pendidikan, untuk tumbuh normal, perlakuan yang
wajar tanpa diskriminasi status, dan sebagainya. Jadi, menurut Hakim PTA
Jakarta, terkait perundang-undangan lain yang tidak sesuai dengan putusan MK
No. 46/PUU-VIII/2010, misalnya UU Perkawinan tahun 1974, UU Perlindungan
Anak, dan undang-undang lain yang terkait dengan hak dan perdata anak, harus
dirubah. Sebab peraturan perundang-undangan itu bertentangan dengan hak-hak
asasi manusia atau bertentangan dengan hak-hak dharuri (primer) anak. Dalam
Islam, undang-undang apapun atau keputusan apapun yang dibuat manusia, ketika
putusan atau undang-undang itu bertentangan dengan hak dlaruri dan
kemaslahatan anak, harus dihapuskan. Padahal salah satu prinsip mashlahat yang
menjadi inti dari maqashidal-syari’ah adalah hifdzal-nafs.Hifdz al-nafs adalah
sesuatu yang sangat dharuri bagi si anak, kemudian akal dikembangkan dengan
cara dididik, dan hak hidupnya dipenuhi dengan memberikan kebutuhan ekonomi
(hak perdata) yang memadai.27
Argumentasi lain yang dikemukakan Edy Riadi adalah fatwa Yusuf
Qardlawi yang menyatakan, “Pencatatan dalam perkawinan adalah untuk
kelengkapan administratif sajadan tidak boleh mengalahkan atau menghilangkan
hukum substantif”. Pernyataan Yusuf Qaradlawi ini sesuai dengan teori hukum
konvensional (umum), bahwa di sana ada hak subjektif dan hak objektif. Hak
subjektif adalah hak tertinggi, misalnyahak anak lahirdan hak hidupuntuk
diberlakukan secara wajar, hak mendapatkan pendidikan, dan sebagainya. Kawin
itu hak subjektif sementara pencatatannya adalah hak objektif. Kadang-kadang
perlakuan kita tidak proporsional. Kita hanya memberikan jaminan perlindungan
karena perkawinannya dicatat. Sementara seseorang yang kawin sirri
dipersepsikan tidak perlu dilindungi, karena dianggap bertentangan dengan
ketentuan undang-undang Perkawinan No.1 tahun 1974. Lebih lanjut Edy Riadi
mengatakan, “Jika merujuk pada pandangan hukum semacam ini, mestinya harus
dipahami bahwa kawin sirri dilakukan untuk melindungi hak-haknya yang
tertinggi, yaitu kawin. Sedangkan pencatatan adalah hak untuk melindungi hak
27 Wawancara dengan Edi Riadi, hakim PTA sekaligus Wakil Ketua PTA Jakarta. tanggal 17 September 2014
102
subjektif. Oleh karena itu, kalau hak subjektif sudah terlindungi dan seseorang
menginginkan surat kawin untuk perlindungannya, keinginannya harus
diakomodir”28.
Oleh karena itu, Edy Riadi berbeda mainstream dengan umumnya hakim
lain, dimana dalam membaca dan memahami Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan
tahun 1974 berangkai dengan ayat (1). Lebih detail, Edi Riadi menjelaskan:
“……Ayat (1) itu adalah hak subjektif, sedang ayat (2) adalah hak objektif. Jadi sangat berbeda antara hukum objektif dan hukum subjektif. Di luar negari, misalnya Amerika, seseorang yang kawin tanpa dicatatpun tidak masalah dan tidak dipersoalkan. Kita di Indonesia, terkadang menggebu-gebu dan bahkan terlalu semangat untuk memidanakan pelaku perkawinan yang tidak tercatat. Padahal, pencatatan inikan hak perdata manusia, kenapa harus dipenjarakan? Kecuali orang itu jelas-jelas melakukan pelanggaran. Dalam konteks ini, dia telah melakukan pelanggaran administratif Negara. Ini jelas perlakuan yang salah dan berlebihan. Termasuk, terkait putusan kasus Pengadilan Agama Jakarta Selatan, yaitu Pasal 2 ayat (2). Pasal 2 ayat (2) ini berangkai dengan ayat (1).Keduanya sangat berkaitan, sehingga tidak bisa dipisahkan”29.
Dalam pandangan Edy Riadi, anak harus dilindungi karena tidak ada
konsep anak haram dalam fikih (Islam). Umat Islam harus melihat keadaan sosial
masyarakat dan isu tradisi yang berkembang saat ini sebelum melakukan ijtihad
atau memutuskan sebuah hukum.Bahkan seandainya beliau (Edy Riadi) menjadi
majelis yang mengadili perkara sejenis gugatan Machiha, Edy Riadiakan
mengabulkan putusan tersebut30.
Sedangkan argumentasi yang disampaikan Hakim PA Jakarta Timur
hampir sama dengan pandangan PTA Jakarta, Edi Riadi. Ia berpandangan
ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-undang Perkawinan No.1 tahun 1974
adalah suatu yang terpisah. Hakim PA Jakarta Timur lebih jauh mengatakan,
sebagai berikut:
”Ya pada awalnya ayat (1) dan (2) itu kan digabungkan. Tetapi karena adanya keberatan dari ulama dan pemuka agama, akhirnya dipisahkan jadi
28Wawancara dengan Edi Riadi, hakim PTA sekaligus Wakil Ketua PTA Jakarta. tanggal
17 September 2014 29Wawancara dengan Edi Riadi, hakim PTA sekaligus Wakil Ketua PTA Jakarta. tanggal
17 September 2014 30Wawancara dengan Edi Riadi, hakim PTA sekaligus Wakil Ketua PTA Jakarta. tanggal
17 September 2014
103
dua pasal pada proses perkawinan yang sesuai dengan agama tadi itu. Pencatatan tidak mempengaruhi keabsahan suatu perkawinan. Pencatatan perkawinan sifatnya hanya administratif dan pendataan saja…” 31.
Di dunia akademik memang ada perdebatan tentang ketentuan pasal 2 ayat
2 UU Perkawinan tahun 1974. Apakah pencatatan perkawinan berkonsekwensi
terhadap keabasahan perkawinan? Dalam konteks ini ada dua pandangan.
Pertama, sebagian berpendapat,“Keabsahan perkawinan itu sudah dijelaskan
dalam ayat 1, maka kewajiban pencatatan tidak mengikat terhadap sahnya
perkawinan”. Namun menurut pendapat lain bahwa karena perkawinan itu
meruapakan suatu perbuatan hukum, maka pencatatan adalah persyaratan
tambahan yang mengikat terhadap keabsahan suatu perkawinan dimana hukum
akan menganggap bahwa perkawinan itu ada jika telah dicatat di kantor
pencatatan perkawinan, baik Kantor Catatan Sipil (KCS) atau Kantor Urusan
Agama (KUA)32. Kedua,anak yang dilahirkan dari perkawinan sirri adalah anak di
luar perkawinan yang secara hukum tidak diakui. Pandangan ini nampaknya yang
lebih banyak diterapkan, meskipun menurut konsepsi agama bertentangan dengan
ketentuan Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan tahun 1974 yang
menyatakan,“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya itu”33.
Majelis Hakim Konstitusi dalam putusannya menafsirkan pasal 2 ayat (2)
sebagai suatu kewajiban administratif yang tidak mengikat terhadap
keabsahan perkawinan, dimana setiap warga negara yang melakukan tindakan
hukum yang dianggap akan menimbulkan akibat hukum, bagi para pihak wajib
mencatatkan dalam daftar yang telah disediakan negara untuk itu. Perkawinan
merupakan suatu tindakan hukum yang bersifat privat, namun memiliki dampak
yang luas bagi kehidupan manusia. Karena perkawinanakan melahirkan
konseksensi hukum yang lain, misalnya: hak dan kewajiban bagi pasangan suami
isteri, hak dan kewajiban terkait harta, hubungan hukum keluarga, kedudukan
anak, hukum perwalian, dan banyak lagi yang akan timbul dari sebuah
perkawinan. Negera sebagai lembaga hukum publik memiliki kewenangan untuk
31 Wawancara dengan Edi Riadi hakim PTA Jakarta. tanggal 17 September 2014 32D.Y. Witanto, Hukum Keluarga: Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca Keluarnya
Putusan MK tentang Uji Materi UU Perkawinan, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2012), h. 224. 33D.Y. Witanto, Hukum Keluarga: Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin…, h. 225.
104
mengatur tata kehidupan para warganya, termasuk menentukan pencatatan
perkawinan demi tujuan untukmenciptakan ketertiban dan keteraturan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Majelis Hakim Konstitusi selanjutnya memberikan pendapat tentang
fungsi dan kewajiban pencatatan perkawinan sebagai berikut:
….Makna pentingnya kewajiban administratif berupa pencatatan
perkawinan tersebut, menurut Mahkamah Konstitusi dapat dilihat dari dua
perpsektif sebagai berikut:
Pertama, pencatatan (perkawinan) memberikan jaminan perlindungan,
pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia yang bersangkutan yang
merupakan tanggungjawab Negara, dan harus dilakukan sesuai dengan prinsip
negara hukum yang demokratis yang diatur serta dituangkan dalam peraturan
perundang-undangan [vide pasal 28 I ayat (4) dan ayat (5) UUD 1945]. Sekiranya
pencatatan dimaksudkan sebagai pembatasan, pencatatan demikian menurut
Mahkamah Konstitusi tidak bertentangan dengan ketentuan konstitusional karena
pembatasan ditetapkan undang-undang semata-mata dengan tujuan menjamin
pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai
agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis
[vide Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945].
Kedua, pencatatan secara administratif yang dilakukan negara
dimaksudkan agar perkawinan sebgai perbuatan hukum penting yang dilakukan
oleh yang bersangkutan, yang berimplikasi terjadinya akibat hukum yang sangat
luas,di kemudian hari dapat dibuktikan dengan bukti yang sempurnadan dengan
suatu akta otentik,sehingga perlindungan dan pelayanan negara terkait dengan
hak-hak yang timbul dari suatu perkawinan yang bersangkutan dapat
terselenggara secara efektif dan efisien. Artinya,dengan dimilikinya bukti otentik
perkawinan, hak-hak yang timbul sebagai akibat perkawinan dapat terlindungi dan
terlayani dengan baik,karena tidak diperlukan proses pembuktian yang memakan
waktu, uang, tenaga, dan pikiran yang lebih banyak,seperti pembuktian mengenai
asal usul anak dalam pasal 55 UU 1/1974 yang mengatur bahwa apabila asal usul
anak tidak dapat dibuktikan dengan akta otentik maka mengenai hal itu akan di
105
tetapkan dengan putusan pengadilan yang berwenang.Pembuktian yang demikan
pasti tidak lebih efektif dan efisien apabila dibandingkan dengan adanya akta
otentik sebagai buktinya.
Terdapat beberapa fungsi dan kewajiban pendaftaran perkawinan
sebagaimana diatur dalam pasal 2 yat (2) UU Perkawinan antara lain:
Pertama, pendaftaran merupakan fungsi negara dalam melakukan
perlindungan bagi warganya agar terjadi kepastian hukum bagi pihak yang terlibat
di kemudian hari apabila perkawinan tersebut dipersoalkan pihak ketiga. Kedua,
kewajiban pencatatan juga akan bermanfaat jika di kemudian hari timbul
persoalan tentang hak waris,harta bersama atau hak-hak lainnya sebagai akibat
dari hubungan hukum yang dibuat dengan pihak lain.
Ketiga, pencatatan perkawinan dibuat dalam bentuk akta otentik yang
memiliki kekuatan pembuktian sempurna,sehingga peristiwa yang dianggap
penting dalam sejarah kehidupan manusia dapat terdokumentasi secara baik dan
tertib 34 .Di sisi lain, kewajiban pencatatan perkawinan terkesan sebagai upaya
intervensi negara terhadap kepentingan privat, karena dalam beberapa hal proses
perkawinan lebih mengandung dimensi keagamaan dibanding dimensi legal,
walaupun pendirian seperti ini tidak sepenuhnya benar35.
Pendapat Hakim Konstitusi Maria Farida Indarti yang menyatakan,
berbeda sudut pandang (dissenting opinion) menyangkut fungsi pencatatan
perkawinan sebenarnya tidak menunjukkan perbedaan dengan delapan hakim
lainnya menyangkut hak dan kepentingan anak yang lahir dari perkawinan yang
tidak dicatat. Beliau berpendapat tentang esensi kewajiban pencatatan dalam Pasal
2 ayat (2) UU Perkawinan tahun 1974 dengan uraian sebagai berikut:
“Pencatatan perkawinan diperlukan sebagai perlindungan negara kepada
pihak-pihak dalam perkawinan, dan juga untuk menghindari kecenderungan dari
inkonsistensi penerapan ajaran agama dan kepercayaan secara sempurna (utuh)
pada perkawinan yang dilangsungkan menurut agama dan kepercayaan tersebut.
Dengan kata lain, pencatatan perkawinan diperlukan untuk menghindari
penerapan hukum keagamaan dan kepercayaannya secara sepotong-sepotong
untuk melegitimasi perkawinan, sementara kehidupan rumah tangga pasca
34D.Y. Witanto, Hukum Keluarga: Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin…, h. 226-227. 35D.Y. Witanto, Hukum Keluarga: Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin…, h. 226-227.
106
perkawinan tidak sesuai dengan tujuan perkawinan dimaksud. Adanya
penelantaran isteri dan anak, kekerasan dalam rumah tangga, fenomena kawin
kontrak, isteri simpanan, wanita idaman lain, dan problem lain menunjukan
inkonsistensi penerapan tujuan perkawinan secara utuh.
Esensi pencatatan, selain demi tertib administrasi adalah untuk melindungi
wanita dan anak-anak. Syarat pencatatan perkawinan dimaksud dapat diletakkan
setidaknya dalam dua konteks utama, yaitu (i) mencegah dan (ii) melindungi,
wanita dan anak-anak dari perkawinan yang dilaksanakan secara tidak
bertanggungjawab. Pencatatan sebagai upaya perlindungan terhadap wanita dan
anak-anak dari penyalahgunaan perkawinan, dapat dilakukan dengan menetapkan
syarat agar rencana perkawinan yang potensial menimbulkan kerugian dapat
dihindari dan ditolak.Undang-undang merumuskan tentang ketentuan keabsahan
perkawinan dengan kewajiban pencatatan secara terpisah.
Sejalan dengan itu, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pencatatan
perkawinan bukanlah merupakan faktor yang menentukan sahnya perkawinan,
sehingga keabsahan perkawinan tetap menjadi domain hukum agama dan
kepercayaan dari para calon mempelai, sedangkan negara tidak turut campur
dalam persoalan sah dan tidaknya perkawinan.
Konsep keabsahan perkawinan sebagaimana diatur dalam pasal 2 ayat (1)
UU Perkawinan sesungguhnya merupakan suatu implementasi dari perlindungan
negara terhadap pluralisme agama yang dianut masyarakat Indonesia sehingga
negara tidak dapat memaksakan suatu ketentuan tentang sahnya perkawinan
berdasarkan ukuran dari agama tertentu.Karena hal itu bertentangan dengan pasal
29 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu”.
Menyangkut kewajiban pencatatan sebagimana diatur dalam Pasal 2 ayat
(2) UU Perkawinan tahun 1974, Hakim Konstitusi Maria Farida Indarti memiliki
pendapat berdasarkan sudut pandang yang agak berbeda sebagaimana
dikemukakan dalam uraian concurring opinionnya sebagai berikut:
“Keberadaan Pasal 2 ayat (2) UU No 1/1974 menimbulkan ambiguitas
bagi pemaknaan Pasal 2 ayat (1) UU 1/1974 karena pencatatan yang dimaksud
107
oleh Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang a quo tidak ditegaskan apakah sekedar
pencatatan secara administratif yang tidak berpengaruh sah atau tidaknya
perkawinan yang telah dilangsungkan menurut agama atau kepercayaannya
masing-masing, ataukah pencatatan tersebut berpengaruh terhadap sah atau
tidaknya perkawinan yang dilakukan?”.
Keberadaan norma agama dan norma hukum dalam satu peraturan
perundang-undangan yang sama, memiliki potensi untuk saling melemahkan
bahkan bertentangan. Dalam perkara ini, potensi saling meniadakan terjadi antara
Pasal 2 ayat (1) dengan Pasal 2 ayat (2) UU No. 1/1974 . Pada Pasal 2 ayat (1)
yang pada pokoknya menjamin bahwa perkawinan adalah sah jika dilakukan
menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, ternyata
menghalangi dan sebaliknya juga dihalangi oleh keberlakuan pasal 2 ayat (2) yang
pada pokoknya mengatur bahwa perkawinan akan sah dan memiliki kekuatan
hukum jika telah dicatat oleh instansi berwenang atau pegawai pencatat nikah.
Jika Pasal 2 ayat (2) UU No. 1/1974 dimaknai sebagai pencatatan administratif
yang tidak berpengaruh terhadap sah atau tidak sahnya suatu pernikahan, hal
tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945 karena tidak terjadi penambahan
terhadap syarat perkawinan. Sejalan dengan itu, kata “perkawinan” dalam Pasal
43 ayat (1) undang-undang a quo juga akan dimaknai sebagai perkawinan yang
sah secara Islam atau perkawinan menurut rukun nikah yang lima.
Hakim Konstitusi Maria Farida Indarti berpendapat bahwa antara norma
hukum dan norma agama yang terkandung dalam Pasal 2 ayat (1) dengan
ketentuan Pasal 2 ayat (2) memiliki kecenderungan untuk saling melemahkan
antara satu dengan yang lain. Hal ini disebabkan karena undang-undang sendiri
tidak memberikan penjelasan yang cukup menyangkut hubungan kedua aturan
tersebut. Persoalan tentang apakah keabsahan perkawinan dalam Pasal 2 ayat (1)
tersebut juga mengandung pengertian sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat
(2) ataukah keduanya tidak saling terpaut menyangkut keabsahan suatu
perkawinan? Selanjutnya menurut beliau bahwa kepentingan negara dalam
memberikan syarat-syarat tertentu dalam perkawinan ditujukan sebagai upaya
memberikan kepastian pada norma agama yang menjadi acuan dalam keabsahan
perkawinan sebagaimana disebutkan dalam pembahasan di muka. Dengan
108
demikian, ketika hukum negara menerobos ruang lingkup pelaksanaan
perkawinan, sesungguhnya bertujuan untuk menjamin penerapan norma-norma
agama secara konsisten oleh para pihak yang melangsungkan perkawinan,
sehingga tidak sekedar ditujukan untuk memudahkan perkawinan yang
sebenarnya dilarang agama yang berlaku. Landasan argumentasi yang digunakan
Maria Farida Indarti adalah fungsi sinkronisasi antara norma agama dengan norma
hukum dalam proses perkawinan.
Namun karena putusan MK tidak membatalkan ketentuan pencatatan
perkawinan sesuai pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan, maka putusan MK ini menjadi
sangat abstrak. Argumentasi hanya akan bisa digunakan dalam konteks
perkawinan siri sebagaimana dipahami sebagian hakim agama di atas serta
klarifikasi yang disampaikan Mahfud MD, sehingga Putusan Mahkamah
Konstitusi (MK) Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012, ~ In
abstracto, yaitu bersifat abstrak, yang Inkonkrito adalah putusan Pengadilan.
Di samping itu, argumentasi pokok lain pandangan yang bertumpu kepada
hak asasi anak, dapat didalami dari dalam pertimbangan Majleis Hakim MK
“….hukum harus memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap
status seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk
terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih
dipersengkatakan.” Pendapat Mahkamah Konstistusi dalam pertimbangan di atas
cukup memberikan makna yang signifikan bagi masa depan anak-anak yang
dilahirkan di luar perkawinan. Karena pokok pikiran dan uraian pertimbangan
tersebut menyiratkan maksud bahwa antara status dan kedudukan anak dipisahkan
dari segala tindakan dan perbuatan orangtuanya. Artinya negara tetap harus
melindungi hak asasi yang melekat pada anak, meskipun keabsahan perkawinan
kedua orang tuanya diperselisihkan.
Substansi putusan MK semata-mata melihat persoalan tersebut dalam
konteks perlindungan terhadap anak sesuai ketentuan Pasal 28 B ayat (2) dan
Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 serta UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia. Pasal 28 B ayat (2) berbunyi, ”Setiap anak berhak atas kelangsungan
hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan
dan diskriminasi.” Sedangkan pasal 28 D ayat (1) berbunyi, “Setiap orang berhak
109
atas pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum.”
Sedangkan menurut ketentuan Pasal 1 angka (3) UU Nomor 39 tentang
Hak Asasi Manusia bahwa yang dimaksud “diskriminasi” adalah:
Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tidak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya. Selanjutnya dalam bagian kesepuluh Undang-undang tersebut dijelaskan
tentang hak-hak anak baik sebagai manusia atau warganegara sebagai berikut:
Pasal 52 (1) Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat,
dan negara. (2) Hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak itu
diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan.
Pasal 53 (1) Setiap anak sejak dalam kandungan, berhak untuk hidup, mempertahankan
hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya. (2) Setiap anak sejak kelahirannya, berhak atas suatu nama dan status
kewarganegaraan. Pasal 54 Setiap anak yang cacat fisik dan atau mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya negara, untuk menjamin kehidupannya sesuai dengan martabat kemanusiaan, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pasal 55 Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya di bawah bimbingan orang tua dan atau wali. Pasal 56
(1) Setiap anak berhak untuk mengetahui siapa orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.
(2) Dalam hal orang tua anak tidak mampu membesarkan dan memelihara anaknya dengan baik dan sesuai dengan Undang-undang ini, maka anak
110
tersebut boleh diasuh atau diangkat sebagai anak oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 57
(1) Setiap anak berhak untuk dibesarkan, dipelihara, dirawat, dididik, diarahkan, dan dibimbing kehidupannya oleh orang tua atau walinya sampai dewasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Setiap anak berhak untuk mendapatkan orang tua angkat atau wali berdasarkan putusan pengadilan apabila kedua orang tua telah meninggal dunia atau karena suatu sebab yang sah tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai orang tua.
(3) Orang tua angkat atau wali sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus menjalankan kewajiban sebagai orang tua yang sesungguhnya.
Pasal 58
(1) Setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual selama dalam pengasuhan orang tua atau walinya, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak tersebut.
(2) Dalam hal orang tua, wali, atau pengasuh anak melakukan segala bentuk penganiayaan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual termasuk pemerkosaan, dan atau pembunuhan terhadap anak yang seharusnya dilindungi, maka harus dikenakan pemberatan hukuman.
Pasal 59
(1) Setiap anak berhak untuk tidak dipisahkan dari orang tuanya secara bertentangan dengan kehendak anak sendiri, kecuali jika ada alasan dan aturan hukum yang sah yang menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak.
(2) Dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), hak anak untuk tetap bertemu langsung dan berhubungan pribadi secara tetap dengan orang tuanya tetap dijamin Undang-undang.
Pasal 60
(1) Setiap anak berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya.
(2) Setiap anak berhak mencari, menerima, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya demi pengembangan dirinya sepanjang sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.
Pasal 61
Setiap anak berhak untuk beristirahat, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan dirinya.
111
Pasal 62
Setiap anak berhak untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial secara layak, sesuai dengan kebutuhan fisik dan mental spiritualnya. Pasal 63 Setiap anak berhak untuk tidak dilibatkan di dalam peristiwa peperangan, sengketa bersenjata, kerusuhan sosial, dan peristiwa lain yang mengandung unsur kekerasan. Pasal 64 Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi ekonomi dan setiap pekerjaan yang membahayakan dirinya, sehingga dapat mengganggu pendidikan, kesehatan fisik, moral, kehidupan sosial, dan mental spiritualnya.
Pasal 65 Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak, serta dari berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya. Pasal 66
(1) Setiap anak berhak untuk tidak dijadikan sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
(2) Hukuman mati atau hukuman seumur hidup tidak dapat dijatuhkan untuk pelaku tindak pidana yang masih anak.
(3) Setiap anak berhak untuk tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum.
(4) Penangkapan, penahanan, atau pidana penjara anak hanya boleh dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir.
(5) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan dengan memperhatikan kebutuhan pengembangan pribadi sesuai dengan usianya dan harus dipisahkan dari orang dewasa, kecuali demi kepentingannya.
(6) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku.
(7) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk membela diri dan memperoleh keadilan di depan Pengadilan Anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang yang tertutup untuk umum.
Seluruh Pasal-Pasal yang terkait dengan hak-hak anak dalam UUD dan
UU di atas sama sekali tidak menyebutkan bahwa ketentuan tentang hak-hak anak
sama sekali tidak membedakan antara anak sah atau anak yang dilahirkan di luar
kawin tidak termasuk anak yang dilindungi aturan-aturan di atas. Sehingga apa
112
yang diputuskan MK terkait dengan Pasal 43 UU Perkawinan tahun 1974
mempertimbangakan ketentuan UUD dan undang-undang terkait.
Pokok persolan Pasal 43 ayat (1) adalah sifat diskriminatif dimana hukum
meniadakan hak-hak keperdataan anak terhadap ayah biologisnya. Hubungan anak
dengan ayah biologisnya tidak semata-mata karena adanya ikatan perkawinan,
tetapi dapat juga didasarkan bukti-bukti hubungan darah dengan ayahnya, baik
dengan ilmu pengetahuan atau bukti-bukti lain. Sifat diskriminatif inilah yang
kemudian dalam pertimbangan MK, ketentuan Pasal 43 ayat (1) bertentangan
dengan Konstitusi Pasal 28 B ayat (2) dan Pasal 28 D ayat (1), serta Pasal 28 C,
Pasal 52 ayat (1) dan Pasal 57 ayat (1).
Berkenaan dengan persoalan di atas, Mahkamah Konstitusi berpendapat
dan memberikan pertimbangan sebagai berikut:
“…..Oleh karena itu, tidak tepat dan tidak adil manakala hukum menetapkan bahwa anak yang lahir dari suatu kehamilan karena hubungan seksual di luar perkawinan hanya memiliki hubungan dengan perempuan tersebut sebagai ibunya.Adalah tidak tepat dan tidak adil pula jika hukum membebaskan laki-laki yang melakukan hubungan seksual yang menyebabkan terjadinya kehamilan dan kelahiran anak tersebut dari tanggung jawabnya sebagai seorang bapak dan bersamaan dengan itu hukum meniadakan hak-hak anak terhadap lelaki tersebut sebagai bapaknya.Lebih-lebih manakalaberdasarkan perkembangan teknologi yang ada memungkinkan dapat dibuktikanbahwa seorang anak itu merupakan anak dari laki-laki tertentu”.
Akibat hukum dari peristiwa hukum kelahiran karena kehamilan, yang
didahului dengan hubungan seksual antara seorang perempuan dengan seorang
laki-laki, adalah hubungan hukum yang di dalamnya terdapat hak (dan kewajiban
secara bertimbal balik, yang subjek hukumnya meliputi anak, ibu, dan bapak.
Berdasarkan uraian di atas, hubungan anak dengan seorang laki-laki
sebagai bapak tidak semata-mata karena adanya ikatan perkawinan, akan tetapi
dapat juga didasarkan pada pembuktian adanya hubungan darah antara anak
dengan laki-laki tersebut sebagai bapak. Dengan demikian, terlepas dari soal
prosedur atau administrasi perkawinannya, anak yang dilahirkan harus
mendapatkan perlindungan hukum.Jika tidak demikian, maka yang dirugikan
adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan, padahal anak tersebut tidak
berdosa karena kelahirannya di luar kehendaknya.Anak yang dilahirkan tanpa
113
memiliki kejelasan status ayah seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak adil
dan stigmaburuk di tengah-tengah masyarakat. Hukum harus memberi
perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status seorang anak yang
dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang
dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih dipersengketakan.”
Argumentasi nampak semata-semata melihat kepentingan anak yang
mengalami diskriminasi. Namun pada sisi lain sangat sulit dalam hukum Islam
menerima hubungan seksual atau hubungan darah semata sebagai landasan
penetapan hubungan nasab sebagaimana reaksi Fatwa MUI yang menyatakan
bahwa anak hasil zina memiliki hubungan keperdataan dengan ayah biologisnya.
Lebih-lebih dalam hukum perdata mekanisme itu harus ditempuh melalui
pengakuan dari ayah biologisnya.
Jadi wajar meski dalam wawancara dengan hakim agama PA Jakarta
Selatan menerima putusan MK, namun dalam putusannya Majelis Hakim PA
Jakarta Selatan yang memeriksa dan mengadili perkara Machiha Mochtar tentang
pengakuan hubungan hukum anak luar kawin (Muhammad Iqbal Ramadhan)
dengan ayah biologisnya (alm. Moerdiono) pasca putusan MK Nomor 46/PUU-
VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012 dalam putusan Nomor 1241/Pdt.JS pada 17
April 2013 menyatakan dalam amar putusannya bahwa Muhammad Iqbal
Ramadhan adalah anak luar kawin Moerdiono dan Machiha Mochtar.
Pertimbangan Majelis Hakim adalah bahwa Putusan MK Nomor 46/PUU-
VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012 tidak berlaku surut (retroaktif). Menurut
Majelis Hakim, pemberlakuan asas retoraktif akan mengakibatkan kekecauan
hukum dan ketidakpastian hukum bahkan melanggar hak asasi karena perbuatan
yang dahulunya tidak bisa digugat. Hal ini juga akan berdapak luas karena
putusan MK bersifat Erga Omnes, berlaku bagi siapa saja, dan tidak hanya bagi
pihak yang mengajukan permohonan36.
Dalam putusan Majelis Hakim PA Jakarta Selatan, hal pokok yang
menjadi alasan penolakan atas gugatan Machiha Mochtar adalah pemberlakuan
hukum yang tidak berlaku surut (retroaktif), sehingga seluruh gugatan Machiha
tentang hubungan keperdataan anaknya Muhammad Iqbal Ramadhan dengan
36Lihat Putusan PA Jakarta Selatan Nomor 1241/Pdt.JS, h. 51-53.
114
almarhum Moediono tidak beralasan hukum karena peristiwa perkawinan mereka
dilaksanakan pada 20 Desember 1993. Hakim tidak mempersoalkan keabsahan
perkawinan tersebut secara hukum syara’, namun karena tidak dicatat sesuai
ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan terdapat halangan hukum karena tidak adanya izin
poligami sesuai ketentuan Pasal 3 dan ayat 4 UU Perkawinan tahun 1974. Majelis
hakim juga berpendapat bahwa ketentuan Pasal 2 ayat (1) tidak dapat dipisahkan
dengan Pasal 2 ayat (2), yaitu kewajiban administratif untuk melindungi hak yang
bersangkutan dan akibat-akibat hukumnya, misalnya: hak-hak isteri, hak-hak
anak, dan lain-lain, sehingga dengan dicatatkan suatu perkawinan mempunyai
kekuatan hukum dan dapat dilindungi negara.37Oleh karena itu, Majelis kemudian
menetapkan bahwa Muhammad Iqbal Ramadhan sebagai anak luar kawin
Machiha-Moediono.
Dalam wawancara dengan salah seorang Majelis Hakim PA Jaksel,
peneliti mendapatkan penjelasan bahwa gugatan Machiha ditolak karena akan
menimbulkan dampak negative (mudlarat) yang sangat luas. Pelanggaran hukum
yang dilakukan dalam kasus Machiha sangat banyak, dari perselingkuhan, izin
poligami, pencatatan nikah, dan lainnya, sehingga hakim mempertimbangkan
kemasalahatan publik yang lebih luas dengan menolak gugatannya. Majelis
Hakim PA Jaksel lebih jauh menegaskan:
“Kasus Machica berbeda dengan kasus orang kampung yang bodoh, tidak punya modal, dan sebagainya.Sebenarnya saya banyak mengesahkan kasus dari orang-orang kampung seperti itu.Nah, kalau kasus Machica ini berbeda.Perbedaannya, misalnya, pak Moerdiono tidak memiliki izin dari isteri yang pertama.Selain itu, beliau (almarhum) merupakanpublic figure. Bagaimana pandangan masyarakat luas jika kita mengesahkan pengajuan tersebut? Apa yang beliau lakukan dan kemudian mendapatkan legalitas dari pengadilan, akan menjadi contoh dan panutan masyarakat luas, dan di sinilah problemnya. Hukum bekerja itu harus jeli melihat kasus-perkasus dan jangan disamaratakan. Karena hukum dibuat, salah satu tujuannya adalah untuk melindungi rakyat yang tidak mampu, bahkan rakyat yang lemah, tidak tahu akan ketetapan dan ketentuan hukum-hukum yang ada, ketidakmengertian yang memang apa adanya. Saya pernah mengesahkan pernikahan Bondan Prakoso (penyanyi). Saya sahkan pertimbangannya karena dia bujangan dengan isteri yang juga masih perawan.Namun belum tercatat itu saja. Saya itsbatkan, karena saya lihat kasus ini tidak memiliki implikasi sosial dan mudlarat (dampak negative) yang luas.Ya… kalau bahasa kita, mashlahatnya yang kita lihat.Bahkan kalau tidak kita sahkan,
37Lihat Putusan PA Jakarta Selatan Nomor 1241/Pdt.JS, h. 46.
115
ini malah berbahaya bagi hak anak yang nantinya lahir dari dia. Berbeda dengan kasus Machica.Machica mudharatnya lebih besar dari pada maslahatnya. Apalagi dia kan public figure, semua masyarakat akan tahu kabar dan kasus tentang dia. Bagaimana reaksi masyarakat nanti kalau hal ini kita sahkan? Dikhawatirkan, nanti banyak masyarakat yang kaya melakukan hal-hal yang seperti ini.Padahal mereka mengerti hukum”38.
Di samping itu, Hakim PA Jakarta Selatan menegaskan bahwa sesuai asas
independensi hakim, hakim dapat melakukan ijtihad dalam menerapkan Undang-
Undang dilihat dari sisi keadilan dan kemashlahatan secara menyeluruh, yang
disebut “kontralegem”. Hakim PA Jakarta Selatan menambahkan:
“Hak hakim untuk memandang, apakah UU dianggap sebagai satu ketentuan yang sangat suci atau sebaliknya.Ketika UU itu tidak memiliki kontribusi, hakim boleh keluar dari UU itu dan membuat kebijakan yang lain dan baru, memformulasi bahasanya, dengan mengkonstruksi hukum tersebut. Tindakan ini yang disebut “contralegem”. Dia tetap menggunakan patokan UU itu, namun ketika UU tersebut tidak memberikan keadilan, hakim boleh merumuskan hukum baru dengan sandaranya adalah UU. Artinya, yurispudensi mengalahkan UU. Dengan demikian, yurisprundensinya naik. Keyakinan masyarakat yang berdasarkan pada common rising, ideal keadilan yang sesungguhnya itu naik melewati UU. Di situlah hakim memutuskan, karena putusan hakim itu kan UU”39.
Machiha sendiri juga pernah mengajukan kasus tersebut ke PA Tigaraksa,
namun gugatan istbat nikahnya ditolak sesuai penetapan Nomor 46/Pdt.P/2008
PA.Tgrs tanggal 18 Juni 2008 karena terdapat halangan hukum yakni tidak
adanya izin isteri pertama40. Dengan demikian, itsbat nikah yang diajukan dalam
amar putusan Majelis Hakim PA Tigaraksa ditolak seluruhnya.
Sedangkan Majelis Hakim PTA Jakarta dalam Putusan Banding dalam
kasus gugatan Machiha di atas juga menolak banding Machiha. Majelis Hakim
Banding PTA Jakarta sepenuhnya menyetujui pertimbangan Majelis Hakim
Tingkat Pertama PA Jakarta Selatan, namun majelis Hakim Banding
menambahkan pertimbangan bahwa ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) adalah
bagian yang tidak terpisahkan, sehingga setiap warga negara wajib mematuhi
keharusan pencatatan sesuai perundang-undangan yang berlaku di Indonesia,
apalagi almarhum Moerdiono seorang pajabat negara yang harus menegakkan
38Wawancara dengan hakim PA Jaksel, tanggal 23 September 2014 39Wawancara dengan hakim PA Jaksel, tanggal 23 September 2013 40Lebih lanjut lihat Penetapan Nomor 46/Pdt.P/2008 PA.Tgrs.
116
aturan yang berlaku. Di samping itu, Moerdiono juga melanggar ketentuan Pasal 3
tentang keharusan izin poligami yang ditetapkan pengadilan.
Ketentuan Pasal 3 ini adalah ketentuan hukum yang ditetapkan Pemerintah
sesuai kaidah fikih dalam kitab Asybah wa al-Nadhair, yang berbunyi:
تصرف اإلمام على الرعیة منوط بالمصلحة
“Kebijakan pemerintah atas rakyatnya sesuai dengan kemashlahatan”41.
Sementara itu Hakim PA Tigaraksa misalnya menyebut “hak diskresi”
hakim dalam memutuskan perkara tidak secara an sich dalam menerapkan
undang-undang, sehingga bisa saja hakim membuat putusan yang berbeda dengan
putusan MK, meskipundapat menerima bahwa putusan MK bersifat final dan
binding. Dengan demikian,anak di luar kawin,baru akan mendapat hubungan
keperdataan dengan ayah biologisnya setelah perkawinan kedua orangtunya
diitsbatkan Pengadilan. Pola pikir semacam ini karena ketentuan pasal 2 ayat (1)
dan (2) dipahami keduanya tidak terpisahkan. Hakim PA tersebut mengatakan:
“Menurut saya, secara yuridis, sifat dari putusan MK adalah final and binding, tetapi kalau hakim memutus perkara yang hasilnya berbeda, menurut saya sah-sah saja. Karena hakim mempunyai diskresi, punya landasan dan punya alasan yang membuat dia bisa membuat putusan yang sama atau berbeda dengan putusan MK. Berdasarkan Pasal 43 UU perkawinan tahun 1974 dinyatakan, anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan dengan ibunya dan keluarga ibunya. Sedangkan putusan MK No 46 tahun 2010 menyatakan, anak yang dilahirkan di luar perkawinan sepanjang dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan, mempunyai hubungan dengan ayah biologisnya. Menurut saya, secara sosiologis kenyataan di masyarakat banyak bentuk-bentuk pernikahan yang tidak mempunyai surat nikah atau tidak mempunyai buku itsbat nikah atau hanya dilakukan secara agama. Secara aturan kenegaraan berarti dia tidak mengikuti administrasi kenegaraan sehingga anak yang dilahirkan juga bukan anak yang sah menurut hukum positif atau hukum negara. Menurut saya, untuk kasus seperti ini apabila ia mengajukan ke PA dan sudah dibuktikan telah memenuhi syarat dan rukun nikahnya, maka berdasarkan asas personalitasnya PA berdasarkan pasal 7 KHI, bisa mengitsbatkan pernikahan tersebut, sehingga status anaknya juga menjadi anak sah menurut hukum negara. Dan bagi yang tidak melakukan itsbat nikah, menurut saya tetap dianggap sebagai anak luar kawin dan hubungan keperdataannya hanya kepada ibunya42.
41Lihat Putusan PTA Jakarta Nomor: 75/Pdt.G/2013/PTA.JK., h. 4-6. 42Wawancara dengan hakim PA Tigaraksa, tanggal 11 November 2014
117
Di pihak lain yang menyetujui putusan MK, Eka Sihombing bahwa
kekhawatiran pihak yang kontra dengan putusan MK tidak beralasan karena
putusan tersebut justru memberikan pesan moral kepada laki-laki untuk tidak
sembarangan melakukan hubungan seksual di luar perkawinan karena ada
implikasi hukum yang harus dipertanggungjawabkan. Mahkamah Konstitusi
bermaksud agar perlindungan anak luar kawin mendapatkan jaminan karena pada
prinsipnya anak tersebut tidak berdosa dan kelahiran tersebut di luar kehendaknya.
Selain itu, anak yang terlahir dalam kondisi tidak memilki status ayah, seringkali
mendapatkan stigma buruk dan perlakuan yang tidak adil di tengah
masyarakat.Hukum harus memberikan perlindungan dan kepastian yang adil
terhadapnya43.
Di samping itu, Nurul Irfan, sebagai saksi ahli di MK berpendapat, “Jika
dilihat dari kaca mata Islam, maka putusan tersebut merupakan bentuk ijtihad
MK, meski tidak menganut mazhab fikih manapun, namun jika dipaksakan maka
putusan tersebut mendekati pandangan mazhab Hanafi, dimana selama ayahnya
mengakui maka hak-hak anak dapat diberikan. Pemberian hak tersebut dalam
konteks fikih dapat berupa sedekah, hibah, dan lain-lain, meskipun tidak disebut
waris atau sejenisnya44.
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) sendiri yang masih
berlaku hingga sekarang, menentukan bahwa anak yang dilahirkan dari
seorang wanita tanpa adanya perkawinan ibunya dianggap tidak mempunyai
ayah maupun ibu.
Berdasarkan Pasal 221 ayat (1) KUHPerdata, yang berbunyi sebagai
berikut: seorang anak tidak sah mempunyai status sebagai anak wajar dari pada
ibunya. Ia memperoleh status sebagai anak wajar dengan adanya pengakuan oleh
ayahnya. Pasal 221 ayat (2) KUHPerdata, yang berbunyi : yang dimaksud dengan
ayah seorang anak wajar, ia yang mengakui anak tersebut, dan Pasal 222 KUH
Perdata yang berbunyi : seorang anak tidak sah, mempunyai hubungan
hukum kekeluargaan dengan ibunya sejak saat kelahiran anaknya, dan
dengan ayahnya pada saat dilakukannya pengakuan.
43D.Y. Witanto, Hukum Keluarga: Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin…, h.260. 44D.Y. Witanto, Hukum Keluarga: Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin…, h. 260 dan
274.
118
Dalam KUH Perdata sendiri, anak luar kawin hanya akan memilki
hubungan perdata dengan ayah biologisnya jika si ayah mengakuinya. Pasal 280
KUH Perdata menyebutkan bahwa dengan pengakuan terhadap anak luar kawin,
terciptalah hubungan keperdataan antara si anak dengan bapak dan ibu
biologisnya. Pengakuan anak luar kawin tersebut dapat dilakukan dengan suatu
akta otentik apabila belum dilakukan dalam suatu akta kelahiran.
Pengakuan tersebut juga dapat dilakukan dengan akta yang dibuat oleh
Pegawai Catatan Sipil dan didaftarkan dalam daftar kelahiran menurut hari
penandatanganan pengakuan.Pengakuan itu harus dicantumkan di margin akta
kelahiran jika akta kelahiran itu ada.Namun apabila pengakuan itu dilakukan
dengan akta otentik lain, tiap-tiap orang berkepentingan atau berhak meminta agar
hal itu dicantumkan di margin akta kelahirannya.
Prinsip pengakuan anak luar kawin yang dianut KUH Perdata ini bersifat
mutlak karena seorang anak yang lahir di luar perkawinan berdasarkan prinsip
hukum Barat tidak memiliki hubungan perdata dengan ayah dan ibunya.Hal ini
berbeda dengan prinsip Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974 dan
Kompilasi Hukum Islam bahwa anak luar kawin otomatis memiliki hubungan
perdata dengan ibunya.
Adapun prosedur pencatatan pengakuan anak luar kawin berdasarkan Pasal
49 UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administasi Kependudukan antara lain
sebagai berikut:
1. Pengakuan anak wajib dilaporkan orangtua kepada instansi pelaksana paling
lambat 30 (hari) sejak tanggal Surat Pengakuan Anak oleh ayah dan
disetujui ibu dari anak yang bersangkutan.
2. Kewajiban melaporkan sebagaiman dimaksud ayat (1) dikecualikan bagi
orang tua yang agamanya tidak membenarkan pengakuan anak di luar
hubungan perkawinan yang sah.
3. Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pejabat
Pencatatan Sipil mencatat Register Akta Pengakuan Anak dan menerbitkan
Kutipan Akta Pengakuan Anak.
Namun demikian, bagi umat Islam yang tidak menundukkan diri kepada
KUH Perdata tentu menjadi problem ketika mekanisme hukum pasca Putusan MK
119
tidak tersedia. Di sinilah kendati menerima putusan MK, hakim-hakim agama
akan melakukan penafsiran baik terkait cakupan pengertain “anak luar kawin”
apakah anak hasil zina, anak hasil incest (anak sumbang) termasuk atau tidak; atau
terkait “hak keperdataan” yang dimaksud oleh putusan MK. Apakah hak
pemeliharaan saja, atau mencakup hak perwalian, waris, dll.
Berdasarkan putusan tersebut terdapat implikasi yang meliputi penjaminan
hak-hak anak di luar nikah baik dari segi hukum positif Indonesia maupun hukum
Islam, dan hukum progresif.
Putusan Mahkmah Konstitusi ini berdampak pada administrasi
kependudukan anak di luar nikah tersebut. Di Indonesia, administrasi
kependudukan diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang
administrasi kependudukan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006
Nomor 124 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia). Dengan
adanya putusan Mahkamah Konstitusi ini maka ayah anak di luar nikah selama si
anak dapat membuktikan dengan ilmu pengetahuan atau secara biologis maka
akan masuk ke dalam administrasi kependudukan yang berarti ayah si anak di luar
nikah akan tercatat didalam akta kelahiran dan identitas dari anak diluar nikah
tersebut. Adanya pencatatan sipil ini dapat menjamin kepastian hukum bagi si
anak sehingga keadilan bagi si anak untuk mendapatkan hak-hak sebagai anak
dapat diakui.45
45 Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/Puu-Vii/2010 Mengenai
Pengakuan Secara Hukum Hubungan Perdata Terhadap Anak Diluar Perkawinan Berdasarkan Perspektif Hukum Progresif http://www.tempo.co/read/news/2007/05/02/05599229/Surabaya-Hapus-8220Anak-Haram8221-di-Akta-Kelahiran, diakses pada tanggal 8 Februari 2013
121
BAB V
PANDANGAN DAN ARGUMEN PENOLAKAN HAKIM
AGAMA TERHADAP PUTUSAN MK NO 46/PUU-VI/2010
A. Pandangan Hakim Agama Terhadap Putusan MK
Dalam Amar putusan NO 46/PUU-VI/2010 Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia memutuskan membatalkan Pasal 43 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di
luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya”,1 dengan alasan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dimaknai menghilangkan
hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata
mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya. Berdasarkan putusan MK ini
maka pasal 43 UU No 1 tahun 1974 hendaknya berbunyi; “Anak yang
dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya
dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat
dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti
lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata
dengan keluarga ayahnya”;
Putusan Mahkamah Konstitusi ini menimbulkan berbagai pandangan
yang beragam dari para Hakim Agama dalam memutuskan status anak di luar
perkawinan. Karena dengan keluarnya putusan ini akan memunculkan
penafsiran yang beragam mengenai definisi luar perkawinan dalam norma
hukum di Indonesia. Demikian pula akan menimbulkan perdebatan mengenai
status nasab, perwalian, nafkah, waris maupun hak-hak keperdataan lainnya.
1 Soebekti dan Tjitrosoedibio, Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,
Jakarta: Pradnya Paramita, 1985, h. 10.
122
Berdasarkan penelusuran penelitian lapangan temuan peneliti antara
lain, Hakim PA Jakarta Timur2, PA Jakarta Barat,3 PA Tigaraksa4, Hakim PA
Cilegon dan Hakim PA Jakarta Utara5 secara tegas menolak putusan MK
tersebut. Hakim PA Jakarta Utara menyatakan ketidaksetujuannya pada
putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010. Dengan alasan bahwa putusan MK yang
berbunyi “luar perkawinan” bisa berarti perkawinan sah menurut agama yang
tidak dicatatkan (nikah sirri) atau hubungan antara laki-laki dan perempuan
tanpa perkawinan. Hal ini akan menimbulkan kekacauan hukum dan
menghilangkan sakralitas perkawinan serta penghormatan terhadap hak-hak
perempuan dan anak. Sehingga putusan tersebut tidak harus dituruti oleh hakim
Pengadilan Agama. Bagi Hakim PA Jakarta Utara, putusan MK tersebut
bersifat kasuistik dan individual bagi Machica sehingga tidak bisa diterapkan
pada kasus yang lain.6 Lebih lanjut Hakim Jakarta Utara menyatakan :
“Saya tidak setuju. Karena begini… kita sudah jelas memahami,
seperti apa perkawinan yang dianggap sah menurut agama dan mana
perkawinan yang tidak dianggap legal menurut ketentuan agama? Kalau
pernikahannya sudah sah secara agama dan hanya sekedar tidak tercatat di
KUA, masih ada kemungkinan untuk melakukan itsbat nikah di KUA. Tetapi
kalau kasus ini, sebagaimana saya baca pada laporan tersebut, hanya tertera
hubungan biologis dan tidak ada keterangan telah terjadi akad nikah, dan
sebagainya. Nah, persoalan ini harus jelas terlebih dahulu. Kalau yang
dimaksud anak diluar nikah dalam artian tidak menikah, kemudian dipaksakan
menjadi adanya hubungan biologis untuk mendapatkan status hubungan nasab,
menurut saya (sebagai orang Islam), tidak sependapat. Nah…apa jadinya kalau
kasus semacam ini kemudian diberlakukan secara umum? Pasti nanti akan
sulit menanganinya. Bahkan bisa-bisa akan memicu permasalahan. Misalnya
nanti semua anak yang lahir diluar nikah dinilai sah dan berhak
menyantumkan nasab ke bapak biologis. Kasus semacam ini tentu akan
merepotkan. Dengan demikian, saya tidak setuju dengan hal tersebut. Selain
2 Wawancara dengan hakim PA Jakarta Timur, tanggal 15 Oktober 2014, pukul 10.00. 3Wawancara dengan hakim PA Jakarta Barat , tanggal 15 Oktober 2014, pukul 15.00. 4 Wawancara dengan hakim PA Tigaraksa, tanggal 11 Nopember 2014, pukul 11.00. 5 Wawancara dengan hakim PA Jakarta Utara, tanggal 20 Oktober 201, pukul 09.00 6 Wawancara dengan hakim PA Jakarta Utara, tanggal 20 Oktober 201, pukul 09.00
123
itu, Saya juga tidak sependapat dengan pernyataan bahwa hubungan nasab bisa
didasarkan dengan tes DNA. Saya tidak sependapat dengan itu karena tes DNA
seperti itu bisa saja dimanipulasi atau di pesan jauh-jauh hari sebelumnya.
Misalnya anak lahir diluar nikah atas hubungan si A dan B. Kemudian mereka
minta pengakuan atau status untuk anak tersebut. Kemudian mereka melakukan
Tes DNA. Mereka melakukan tes DNA pada rumah sakit tertentu. Kemudian
sang dokter melakukan manipulasi dengan tes DNA tersebut dengan
mengambil darah orang lain yang cocok dengan darah bayi tersebut yang
hasilnya sesuai. Nah menurut saya, kemungkinan manipulasi semacam itu bisa
saja terjadi”.7
Menurut peneliti, penolakan Hakim PA Jakarta Utara di atas lebih
disebabkan persoalan pandangan subjektif norma agama yang dianut hakim
yakni pandangan mayoritas fikih, dimana pengakuan status legal hubungan
keperdataan terhadap anak biologis dengan ayahnya akan berimpilkasi
terhadap pengakuan terhadap perzinaan dan perselingkuhan, yang selama ini
dinilai sakral umat beragama. Di samping itu, akan mengakibatkan problem
teknik karena akan banyak sekali gugatan atau permohonan pengakuan semata-
mata, apalagi ada peluang besar bagi pemalsuan hasil tes DNA.
Ahli DNA Forensik dari Universitas Indonesia Djaja Surya Atmadja
menjelaskan bahwa tes DNA bisa dilakukan ke ayah biologis si anak bila
masih hidup, atau bisa juga ke anaknya yang lain (anak sah) bila ayah itu telah
meninggal dunia. “Bila ayah biologisnya sudah meninggal, anak luar kawin
bisa mentes DNA anak ayahnya yang sah (saudara kandungnya) untuk
membuktikan bahwa dia benar anak biologis laki-laki tersebut,” ujarnya.
Namun, Djaja mengatakan untuk melakukan tes DNA ada prosedur
yang perlu dilakukan terlebih dahulu. Misalnya, dalam tahap pra pemeriksaan.
Ia mengatakan dokter harus menjelaskan beberapa aspek hukum, yakni aspek
hukum perdata barat, Islam, dan adat. “Dokter harus menjelaskan ini terlebih
dahulu,” ujar dokter yang bergelar sarjana hukum ini. “Prinsip hukum perdata
7Wawancara dengan hakim PA Jakarta Utara, pada tanggal tanggal 20 Oktober 201, pukul
09.00
124
itu kan pencarian asal usul dilarang. Makanya, seseorang tak bisa dipaksa
untuk melakukan tes DNA,” tegasnya.
Hakim PA Tigaraksa juga menyatakan ketidak setujuannya terhadap
putusan MK no 46 tahun 2010 tersebut. Walaupun putusan MK bersifat final
and binding akan tetapi hakim memiliki “hak diskresi” dalam memutuskan
perkara tidak secara an sich dalam menerapkan undang-undang, sehingga bisa
saja hakim membuat putusan yang berbeda dengan putusan MK, meskipun
dapat menerima bahwa putusan MK bersifat final dan binding. Dengan
demikian, anak di luar kawin, baru akan mendapat hubungan keperdataan
dengan ayah biologisnya setelah perkawinan kedua orangtunya diitsbatkan
Pengadilan. Pola pikir semacam ini karena ketentuan pasal 2 ayat (1) dan (2)
dipahami keduanya tidak terpisahkan. Hakim PA tersebut mengatakan:
“Menurut saya tidak setuju dengan putusan MK tersebut akan tetapi secara yuridis, sifat dari putusan MK adalah final and binding, tetapi kalau hakim memutus perkara yang hasilnya berbeda, menurut saya sah-sah saja. Karena hakim mempunyai diskresi, punya landasan dan punya alasan yang membuat dia bisa membuat putusan yang sama atau berbeda dengan putusan MK. Berdasarkan Pasal 43 UU perkawinan tahun 1974 dinyatakan, anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan dengan ibunya dan keluarga ibunya. Sedangkan putusan MK No 46 tahun 2010 menyatakan, anak yang dilahirkan di luar perkawinan sepanjang dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan, mempunyai hubungan dengan ayah biologisnya. Menurut saya, secara sosiologis kenyataan di masyarakat banyak bentuk-bentuk pernikahan yang tidak mempunyai surat nikah atau tidak mempunyai buku itsbat nikah atau hanya dilakukan secara agama. Secara aturan kenegaraan berarti dia tidak mengikuti administrasi kenegaraan sehingga anak yang dilahirkan juga bukan anak yang sah menurut hukum positif atau hukum negara. Menurut saya, untuk kasus seperti ini apabila ia mengajukan ke PA dan sudah dibuktikan telah memenuhi syarat dan rukun nikahnya, maka berdasarkan asas personalitasnya PA berdasarkan pasal 7 KHI, bisa mengitsbatkan pernikahan tersebut, sehingga status anaknya juga menjadi anak sah menurut hukum negara. Dan bagi yang tidak melakukan itsbat nikah, menurut saya tetap dianggap sebagai anak luar kawin dan hubungan keperdataannya hanya kepada ibunya8.
Sedikit berbeda dengan Hakim PA Jakarta Utara dan PA Tigaraksa, Hakim
PA Tangerang menyatakan ketidaksetujuan pada putusan MK No. 46/PUU-
8Wawancara dengan hakim PA Tigaraksa.
125
VIII/2010 apabila berimplikasi terhadap legalisasi hubungan di luar perkawinan.
Hakim PA Tangerang secara tegas menyatakan ketidak setujuannnya terhadap
putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 apabila makna dari putusan tersebut adalah
melegalkan satus anak dari hasil hubungan tidak sah antara laki-laki dan
perempuan tanpa ikatan perkawinan. Secara tegas, Hakim PA Tangerang
menyatakan,
”… Saya tidak setuju, karena putusan tersebut akan berdampak sangat luas sekali. Bahkan secara normatif agama, apabila putusan tersebut diikuti akan melegalkan hubungan-hubungan di luar nikah”9. Hakim PA Tangerang lebih jauh menyatakan, Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU
Perkawinan tahun 1974 adalah satu kesatuan bukan dua pasal yang terpisah.
Bahkan yang dimaksud “luar nikah” di dalam putusan MK, bukanlah dipahami
anak dari nikah sirri yang memenuhi persyaratan dan ketentuan agama, tetapi
adalah hasil hubungan luar nikah yang tidak sah. Menurut Hakim PA Tangerang,
“Nikah sirri adalah nikah yang sah sepanjang memenuhi syarat dan rukun nikah dan kemudian ditetapkan oleh pengadilan sebagai nikah yang sah (Pasal 7 KHI) melalui itsbat. Bagi saya,pelaku pernikahan sirri yang tidak mengajukan itsbat, ia dianggap tidak mematuhi hukum negara. Bahkan orang ini jelas-jelas tidak mentaati firman Allah dalam ayat, Athi’ullah wa athi’u al-rasul wa ulil amri minkum”10. Bahkan Hakim PA Tangerang ini menegaskan, bahwa yang dimaksudkan
putusan MK bukan nikah sirri. ”Yang dimaksud oleh putusan MK tersebut adalah
hubungan antara laki-laki dan perempuan tanpa ikatan perkawinan. Tentang
kasus Moerdiono ini ada beberapa pengecualian karena dia adalah pejabat
negara yang sudah beristeri maka proses menikah lagi harus memenuhi syarat-
syarat yang ditentukan negara. Untuk kasus Moerdiono sendiri banyak Pasal
yang dilanggar sehingga kita menolak permohonannya”11.
Sejalan dengan pandangan Para Hakim di atas, Hakim PA Jakarta Barat
juga menyatakan ketidak setujuannya terhadap putusan MK No 46 tahun 2010.
Hakim PA Jakarta Barat menyatakan bahwa putusan MK tersebut bertentangan
dengan konsepsi hukum Islam dalam perkawinan sehingga putusan tersebut tidak
perlu dijadikan acuan bagi hakim dalam memutuskan perkara. Dalam pandangan
9Wawancara dengan hakim PA Tangerang, pada tanggal 27 Oktober 2014, pukul 09.00. 10 Wawancara dengan hakim PA Tangerang, pada tanggal 27 Oktober 2014. 11 Wawancara dengan hakim PA Tangerang, pada tanggal 27 Oktober 2014.
126
Hakim Jakarta Barat, apabila putusan MK ini diterima, maka akan merusak sendi-
sendi hukum pernikahan dan menghilangkan sakralitas perkawinan dalam Islam
serta akan merusak tatanan sosial dalam masyarakat.12 Dan para Hakim Agama
juga berpandangan tidak akan memutuskan hukum yang bertentangan dengan
hukum Islam yang sudah menjadi kesepakatan mayoritas jumhur ulama.
Pandangan lain yang juga mengemuka di ranah publik terkait Putusan
Mahkamah Konstitusi ini adalah tuduhan bahwa Putusan ini justru merusak
sendi-sendi Syariat Islam, terutama dalam pengaturan nasab (keturunan) dan
legalisasi perzinaan. Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan bahwa Putusan
ini telah melampaui batas. Dalam sebuah jumpa pers di kantor MUI, Jakarta, KH.
Ma’ruf Amin, Ketua Komisi Fatwa MUI Pusat, dan sejumlah Anggota MUI
lainnya menanggapi Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dan sekaligus
mengeluarkan fatwa MUI No. 11 Tahun 2012 tentang Anak Hasil Zina dan
Perlakuan Terhadapnya, yang nota bene menentang Putusan MK ini.
Dalam pernyataannya, K.H. Ma’ruf Amin mengatakan, bahwa MUI
memiliki tanggung jawab untuk mepertahankan agama Islam dan melindungi
umat Islam Indonesia. MUI memandang penting untuk menanggapi Putusan
tersebut, sekaligus pula memberikan panduan tegas dan jelas kepada umat Islam
dengan mengembalikan tatanan kehidupan umat Islam seperti sedia kala.13 Dalam
kesempatan yang sama, Ma’ruf Amin mengatakan bahwa Putusan ini telah
melampaui batas dan berdampak yang luas, termasuk pula mengesahkan nasab,
waris, wali dan nafkah antara anak hasil zina dengan laki-laki yang menyebabkan
kelahirannya.14
Pandangan serupa juga dinyatakan oleh Muslimat Nahdlatul Ulama
(NU), yang lebih menyoroti permasalahan nasab dalam Putusan ini. Menurut
Chofifah Indar Parawansa, Ketua Umum Muslimat NU, bahwa benar Putusan
Mahkamah Konstitusi tersebut memberikan perlindungan kepada anak yang
dilahirkan, namun dari perspektif hukum Islam justru hal ini akan menimbulkan
12 Wawancara dengan hakim PA Jakarta Barat , tanggal 15 Oktober 2014, pukul 15.00. 13 “MUI Kecam Putusan MK Tentang Status Anak Zina, Acak-acak Syariat Islam”, Voa
Islam, Rabu, 14 Maret 2012, diakses dari www.voa-islam.com 14 “MUI Nilai Keputusan MK Soal Status Anak di Luar Nikah Overdosis”, Detik News,
(Jakarta), 13 Maret 2012.
127
kekeliruan, terutama dalam status keturunannya. Menurut dia, hukum Islam
sangat memperhatikan masalah nasab, sehingga Jumhur Ulama sepakat, bahwa
anak yang lahir kurang dari enam bulan akad nikah, tidak bisa dinasabkan dengan
ayah biologisnya. Konsekuensinya, ia tidak bisa memiliki hak waris dan
perwalian.15
Menurut Chatib Basri Ketua Pengadilan Tinggi Agama Semarang Pasal
43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, " Anak yang dilahirkan di
luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga
ibunya", tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai
menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan
berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut
hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat
tersebut harus dibaca, "Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki
sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan
teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah
termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya ". 16
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal
17 Februari 2012, itu:
~ In abstracto, yaitu bersifat abstrak,
Yang Inkonkrito adalah putusan Pengadilan. Berdasarkan hal tersebut,
menurut Chatib Basri putusan MK tidak perlu dipertentangkan atau dinyatakan
sesuai dengan syari’ah karena secara hakiki tidak ada yang sesuai dan tidak ada
yang bertentangan dengan syari’ah. Sehubungan dengan itu, Ketua MK Mahfud
M.D., mengklarifikasi putusan tersebut dengan menyatakan:
Bahwa yang dimaksud majelis dengan frasa “anak di luar perkawinan”
bukan anak hasil zina, melainkan anak hasil nikah sirri. Hubungan
15 “Muslimat NU: Putusan MK Soal Anak Luar Nikah Bisa Menjerumuskan”, Republika, 26 Februari 2012.
16 Materi ini telah disampaikan pada Seminar Status Anak Di Luar Nikah dan Hak Keperdataan lainnya, pada tanggal 10 April 2012, di IAIN Walisongo Semarang. Oleh Chatib Basri , Hakim pada PTA Semarang
perdata yang diberikan kepada anak di luar perkawinan tidak tentangan
dengan nasab, waris, dan wali nikah. Hak yang dapat dituntut anak di
luar perkawinan yang tidak diatur fikih, a
pembiayaan pendidikan atau hak menuntut ganti rugi karena perbuatan
melawan hukum yang merugikan orang lain seperti yang diatur dalam
Pasal 1365 KUH Perdata atau hak untuk menuntut karena ingkar janji.
Intinya adalah hak
atau hak perdata apa pun yang tidak
Terkait dengan prinsip
Mahfud M.D itu sudah benar, karena putusan MK Nomor 46/PUU
tanggal 17 Februari 2012, memberi
telah menikah dengan Moerdiono sesuai Undang
Pasal 2 ayat 1, jadi oleh karena putusan MK tersebut mengabulkan permohonan
Machica yang sudah menikah dengan Moerdiono sangat naïf bila ditera
untuk kasus
mengatakan bahwa
Perintah pada sesuatu maka perintah juga atas sarananya dan bagi
sarananya hukumnya sama dengan hal yang dituju.
Kasus ini adalah pernikahan yang tidak
kasus lain sepanjang kasus posisinya sama dengan kasus itu, jika kasus Machica
diterapkan pada kasus perzinahan maka penerapannya menjadi salah. Jika, kasus
Machica diterapkan pada kasus perzinahan maka penerapannya menj
B. Argumen Penolakan Hakim Agama Terhadap Putusan MK
berimplikasi kepada hakim
menerapkan hukum pasca putusan MK tentang kedudukan anak luar kawin,
khususnya terkait
17 Buah Simalakama Putusan MK dalam Harian Surat Kabar Jawa
2012 18 Buah Simalakama Putusan MK dalam Harian Surat Kabar Jawa Pos, Rabu, 28 Maret
2012. 19 Abdul Khamid Hakim, 1983, Kitab Al
perdata yang diberikan kepada anak di luar perkawinan tidak tentangan
dengan nasab, waris, dan wali nikah. Hak yang dapat dituntut anak di
luar perkawinan yang tidak diatur fikih, a
pembiayaan pendidikan atau hak menuntut ganti rugi karena perbuatan
melawan hukum yang merugikan orang lain seperti yang diatur dalam
Pasal 1365 KUH Perdata atau hak untuk menuntut karena ingkar janji.
Intinya adalah hak
atau hak perdata apa pun yang tidak
Terkait dengan prinsip
Mahfud M.D itu sudah benar, karena putusan MK Nomor 46/PUU
tanggal 17 Februari 2012, memberi
telah menikah dengan Moerdiono sesuai Undang
Pasal 2 ayat 1, jadi oleh karena putusan MK tersebut mengabulkan permohonan
Machica yang sudah menikah dengan Moerdiono sangat naïf bila ditera
untuk kasus18 perzinahan, hal ini sesuai dengan Kaidah Ushul Fiqh yang
mengatakan bahwa 19
Perintah pada sesuatu maka perintah juga atas sarananya dan bagi
sarananya hukumnya sama dengan hal yang dituju.
Kasus ini adalah pernikahan yang tidak
kasus lain sepanjang kasus posisinya sama dengan kasus itu, jika kasus Machica
diterapkan pada kasus perzinahan maka penerapannya menjadi salah. Jika, kasus
Machica diterapkan pada kasus perzinahan maka penerapannya menj
Argumen Penolakan Hakim Agama Terhadap Putusan MK
Cara pandang Hakim PA dan PTA di atas pada gilirannya
berimplikasi kepada hakim
menerapkan hukum pasca putusan MK tentang kedudukan anak luar kawin,
khususnya terkait judicial review
Buah Simalakama Putusan MK dalam Harian Surat Kabar Jawa
Buah Simalakama Putusan MK dalam Harian Surat Kabar Jawa Pos, Rabu, 28 Maret
Abdul Khamid Hakim, 1983, Kitab Al
perdata yang diberikan kepada anak di luar perkawinan tidak tentangan
dengan nasab, waris, dan wali nikah. Hak yang dapat dituntut anak di
luar perkawinan yang tidak diatur fikih, a
pembiayaan pendidikan atau hak menuntut ganti rugi karena perbuatan
melawan hukum yang merugikan orang lain seperti yang diatur dalam
Pasal 1365 KUH Perdata atau hak untuk menuntut karena ingkar janji.
Intinya adalah hak-hak
atau hak perdata apa pun yang tidak
Terkait dengan prinsip
Mahfud M.D itu sudah benar, karena putusan MK Nomor 46/PUU
tanggal 17 Februari 2012, memberi
telah menikah dengan Moerdiono sesuai Undang
Pasal 2 ayat 1, jadi oleh karena putusan MK tersebut mengabulkan permohonan
Machica yang sudah menikah dengan Moerdiono sangat naïf bila ditera
perzinahan, hal ini sesuai dengan Kaidah Ushul Fiqh yang 19
Perintah pada sesuatu maka perintah juga atas sarananya dan bagi
sarananya hukumnya sama dengan hal yang dituju.
Kasus ini adalah pernikahan yang tidak
kasus lain sepanjang kasus posisinya sama dengan kasus itu, jika kasus Machica
diterapkan pada kasus perzinahan maka penerapannya menjadi salah. Jika, kasus
Machica diterapkan pada kasus perzinahan maka penerapannya menj
Argumen Penolakan Hakim Agama Terhadap Putusan MK
Cara pandang Hakim PA dan PTA di atas pada gilirannya
berimplikasi kepada hakim-hakim PA dan PTA ketika menerapkan atau
menerapkan hukum pasca putusan MK tentang kedudukan anak luar kawin,
judicial review
Buah Simalakama Putusan MK dalam Harian Surat Kabar Jawa
Buah Simalakama Putusan MK dalam Harian Surat Kabar Jawa Pos, Rabu, 28 Maret
Abdul Khamid Hakim, 1983, Kitab Al
perdata yang diberikan kepada anak di luar perkawinan tidak tentangan
dengan nasab, waris, dan wali nikah. Hak yang dapat dituntut anak di
luar perkawinan yang tidak diatur fikih, a
pembiayaan pendidikan atau hak menuntut ganti rugi karena perbuatan
melawan hukum yang merugikan orang lain seperti yang diatur dalam
Pasal 1365 KUH Perdata atau hak untuk menuntut karena ingkar janji.
perdata selain hak nasab, hak waris, wali nikah,
atau hak perdata apa pun yang tidak
Terkait dengan prinsip-prinsip munakahat sesuai fikih. Klarifikasi
Mahfud M.D itu sudah benar, karena putusan MK Nomor 46/PUU
tanggal 17 Februari 2012, memberikan putusan atas permohonan Machica yang
telah menikah dengan Moerdiono sesuai Undang
Pasal 2 ayat 1, jadi oleh karena putusan MK tersebut mengabulkan permohonan
Machica yang sudah menikah dengan Moerdiono sangat naïf bila ditera
perzinahan, hal ini sesuai dengan Kaidah Ushul Fiqh yang
Perintah pada sesuatu maka perintah juga atas sarananya dan bagi
sarananya hukumnya sama dengan hal yang dituju.
Kasus ini adalah pernikahan yang tidak
kasus lain sepanjang kasus posisinya sama dengan kasus itu, jika kasus Machica
diterapkan pada kasus perzinahan maka penerapannya menjadi salah. Jika, kasus
Machica diterapkan pada kasus perzinahan maka penerapannya menj
Argumen Penolakan Hakim Agama Terhadap Putusan MK
Cara pandang Hakim PA dan PTA di atas pada gilirannya
hakim PA dan PTA ketika menerapkan atau
menerapkan hukum pasca putusan MK tentang kedudukan anak luar kawin,
judicial review pasal 43 UU Perkawinan tahun 1974.
Buah Simalakama Putusan MK dalam Harian Surat Kabar Jawa
Buah Simalakama Putusan MK dalam Harian Surat Kabar Jawa Pos, Rabu, 28 Maret
Abdul Khamid Hakim, 1983, Kitab Al-Bayan, h, 21.
perdata yang diberikan kepada anak di luar perkawinan tidak tentangan
dengan nasab, waris, dan wali nikah. Hak yang dapat dituntut anak di
luar perkawinan yang tidak diatur fikih, antara lain, berupa hak menuntut
pembiayaan pendidikan atau hak menuntut ganti rugi karena perbuatan
melawan hukum yang merugikan orang lain seperti yang diatur dalam
Pasal 1365 KUH Perdata atau hak untuk menuntut karena ingkar janji.
perdata selain hak nasab, hak waris, wali nikah,
atau hak perdata apa pun yang tidak17
prinsip munakahat sesuai fikih. Klarifikasi
Mahfud M.D itu sudah benar, karena putusan MK Nomor 46/PUU
kan putusan atas permohonan Machica yang
telah menikah dengan Moerdiono sesuai Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974,
Pasal 2 ayat 1, jadi oleh karena putusan MK tersebut mengabulkan permohonan
Machica yang sudah menikah dengan Moerdiono sangat naïf bila ditera
perzinahan, hal ini sesuai dengan Kaidah Ushul Fiqh yang
Perintah pada sesuatu maka perintah juga atas sarananya dan bagi
sarananya hukumnya sama dengan hal yang dituju.
Kasus ini adalah pernikahan yang tidak tercatat dan dapat diterapkan dalam
kasus lain sepanjang kasus posisinya sama dengan kasus itu, jika kasus Machica
diterapkan pada kasus perzinahan maka penerapannya menjadi salah. Jika, kasus
Machica diterapkan pada kasus perzinahan maka penerapannya menj
Argumen Penolakan Hakim Agama Terhadap Putusan MK
Cara pandang Hakim PA dan PTA di atas pada gilirannya
hakim PA dan PTA ketika menerapkan atau
menerapkan hukum pasca putusan MK tentang kedudukan anak luar kawin,
pasal 43 UU Perkawinan tahun 1974.
Buah Simalakama Putusan MK dalam Harian Surat Kabar Jawa
Buah Simalakama Putusan MK dalam Harian Surat Kabar Jawa Pos, Rabu, 28 Maret
Bayan, h, 21.
perdata yang diberikan kepada anak di luar perkawinan tidak tentangan
dengan nasab, waris, dan wali nikah. Hak yang dapat dituntut anak di
ntara lain, berupa hak menuntut
pembiayaan pendidikan atau hak menuntut ganti rugi karena perbuatan
melawan hukum yang merugikan orang lain seperti yang diatur dalam
Pasal 1365 KUH Perdata atau hak untuk menuntut karena ingkar janji.
perdata selain hak nasab, hak waris, wali nikah,
prinsip munakahat sesuai fikih. Klarifikasi
Mahfud M.D itu sudah benar, karena putusan MK Nomor 46/PUU
kan putusan atas permohonan Machica yang
undang Nomor 1 Tahun 1974,
Pasal 2 ayat 1, jadi oleh karena putusan MK tersebut mengabulkan permohonan
Machica yang sudah menikah dengan Moerdiono sangat naïf bila ditera
perzinahan, hal ini sesuai dengan Kaidah Ushul Fiqh yang
Perintah pada sesuatu maka perintah juga atas sarananya dan bagi
sarananya hukumnya sama dengan hal yang dituju.
tercatat dan dapat diterapkan dalam
kasus lain sepanjang kasus posisinya sama dengan kasus itu, jika kasus Machica
diterapkan pada kasus perzinahan maka penerapannya menjadi salah. Jika, kasus
Machica diterapkan pada kasus perzinahan maka penerapannya menj
Argumen Penolakan Hakim Agama Terhadap Putusan MK
Cara pandang Hakim PA dan PTA di atas pada gilirannya
hakim PA dan PTA ketika menerapkan atau
menerapkan hukum pasca putusan MK tentang kedudukan anak luar kawin,
pasal 43 UU Perkawinan tahun 1974.
Buah Simalakama Putusan MK dalam Harian Surat Kabar Jawa Pos, Rabu, 28 Maret
Buah Simalakama Putusan MK dalam Harian Surat Kabar Jawa Pos, Rabu, 28 Maret
perdata yang diberikan kepada anak di luar perkawinan tidak tentangan
dengan nasab, waris, dan wali nikah. Hak yang dapat dituntut anak di
ntara lain, berupa hak menuntut
pembiayaan pendidikan atau hak menuntut ganti rugi karena perbuatan
melawan hukum yang merugikan orang lain seperti yang diatur dalam
Pasal 1365 KUH Perdata atau hak untuk menuntut karena ingkar janji.
perdata selain hak nasab, hak waris, wali nikah,
prinsip munakahat sesuai fikih. Klarifikasi
Mahfud M.D itu sudah benar, karena putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010
kan putusan atas permohonan Machica yang
undang Nomor 1 Tahun 1974,
Pasal 2 ayat 1, jadi oleh karena putusan MK tersebut mengabulkan permohonan
Machica yang sudah menikah dengan Moerdiono sangat naïf bila ditera
perzinahan, hal ini sesuai dengan Kaidah Ushul Fiqh yang
Perintah pada sesuatu maka perintah juga atas sarananya dan bagi
tercatat dan dapat diterapkan dalam
kasus lain sepanjang kasus posisinya sama dengan kasus itu, jika kasus Machica
diterapkan pada kasus perzinahan maka penerapannya menjadi salah. Jika, kasus
Machica diterapkan pada kasus perzinahan maka penerapannya menjadi salah.
Argumen Penolakan Hakim Agama Terhadap Putusan MK
Cara pandang Hakim PA dan PTA di atas pada gilirannya
hakim PA dan PTA ketika menerapkan atau
menerapkan hukum pasca putusan MK tentang kedudukan anak luar kawin,
pasal 43 UU Perkawinan tahun 1974.
Pos, Rabu, 28 Maret
Buah Simalakama Putusan MK dalam Harian Surat Kabar Jawa Pos, Rabu, 28 Maret
128
perdata yang diberikan kepada anak di luar perkawinan tidak tentangan
dengan nasab, waris, dan wali nikah. Hak yang dapat dituntut anak di
ntara lain, berupa hak menuntut
pembiayaan pendidikan atau hak menuntut ganti rugi karena perbuatan
melawan hukum yang merugikan orang lain seperti yang diatur dalam
Pasal 1365 KUH Perdata atau hak untuk menuntut karena ingkar janji.
perdata selain hak nasab, hak waris, wali nikah,
prinsip munakahat sesuai fikih. Klarifikasi
VIII/2010
kan putusan atas permohonan Machica yang
undang Nomor 1 Tahun 1974,
Pasal 2 ayat 1, jadi oleh karena putusan MK tersebut mengabulkan permohonan
Machica yang sudah menikah dengan Moerdiono sangat naïf bila diterapkan
perzinahan, hal ini sesuai dengan Kaidah Ushul Fiqh yang
tercatat dan dapat diterapkan dalam
kasus lain sepanjang kasus posisinya sama dengan kasus itu, jika kasus Machica
diterapkan pada kasus perzinahan maka penerapannya menjadi salah. Jika, kasus
adi salah.
Cara pandang Hakim PA dan PTA di atas pada gilirannya
hakim PA dan PTA ketika menerapkan atau bila
menerapkan hukum pasca putusan MK tentang kedudukan anak luar kawin,
Pos, Rabu, 28 Maret
Buah Simalakama Putusan MK dalam Harian Surat Kabar Jawa Pos, Rabu, 28 Maret
129
Pada umumnya hakim sepakat bahwa putusan MK bersifat final dan
mengikat (final and binding) bagi seluruh lembaga peradilan secara umum.
Namun dalam implementasinya, hakim menafsirkan sesuai dengan ijtihadnya
masing-masing sesuai dengan independensi hakim20.
Berdasarkan berbagai pandangan hakim pada Pengadilan Agama di Jakarta
dan Banten yang tidak setuju terhadap putusan MK no 46 tahun 2010, maka
argumen penolakannya dapat disederhanakan dalam beberapa pandangan sebagai
berikut :
Pertama, putusan MK yang membatalkan pasal 43 bertentangan dengan
Pasal 2 ayat 2 UU perkawinan No 1 tahun 1974 tentang pencatatan perkawinan
yang tidak dibatalkan oleh MK. Bagi para hakim Agama pasal tentang sahnya
suatu perkawinan juga berhubungan dengan status anak yang dihasilkan dari
perkawinan.
Kedua, putusan MK tersebut bagi para hakim Agama telah melanggar
norma-norma hukum Islam dalam hal hubungan nasab.
Ketiga, dalam pandangan Hakim maupun para praktisi dan pemerhati
hukum Islam putusan MK tersebut merupakan putusan yang ”ultra petita”
sehingga hasilnya adalah produk yang cacat hukum.
Dalam menyikapi putusan MK tentang status anak di luar perkawinan,
para hakim Pengadilan Agama tetap berpegang pada hukum formil dan materii;
dalam UU Perkawinan maupun Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
Sebagaimana dikutip oleh Hakim PA Jakarta Timur21 yang mendasarkan pada
bunyi pasal 99 dan 100 KHI tentang status anak. Pasal tersebut berbunyi : Anak
yang sah adalah a. anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang
sah; b. hasil perbuatan suami isteri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh
isteri tersebut. Sedangkan Pasal 100 KHI menyebutkan “Anak yang lahir di luar
perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga
ibunya”.
Aturan hukum dalam KHI ini juga selaras dengan UU No 1 tahun 1974
tentang perkawinan pasal 42 yang berbunyi ; Anak yang sah adalah anak yang
dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Dan pasal 43 yang
20Wawancara dengan hakim PA Jaktim, Jakbar, Jakut, Tigaraksa dan Tangerang. 21 Wawancara dengan hakim PA Jakarta Timur, tanggal 15 Oktober 2014, pukul 10.00.
130
berbunyi; Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Berdasarkan bunyi pasal 99-100 KHI dan pasal 43 UUP No 1 tahun 1974,
maka Hakim Jakarta Timur berpandangan bahwa anak sah adalah anak hasil dari
perkawinan yang sah secara hukum, sehingga anak hasil dari perkawinan yang
tidak tercatat adalah anak yang tidak sah menurut hukum. Dan bagi anak tersebut
nasabnya hanya kepada ibunya dan keluarga ibunya.22
Pasal 186 KHI juga menyebutkan “Anak yang lahir di luar perkawinan
hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari
pihak ibunya”.Pasal-pasal ini dijadikan pertimbangan hukum di Pengadilan
Agama dalam memutus perkara permohonan pengesahan anak.
BW (Burgerlijk Wetboek) bahkan secara khusus mengatur status anak luar
nikah dalam satu bab dan 8 pasal. Isinya pun sejalan dengan Pasal 43 Ayat (1) UU
Perkawinan. Belakangan diketahui pasal-pasal tersebut saling menguatkan. Aturan
pasal ini berlaku di Pengadilan Negeri.
Undang-undang tidak bisa dikritisi hanya dari satu pendekatan/segi saja.
Jika itu yang dilakukan MK, maka akan sangat berantakan. Di satu sisi putusan
MK dalam kasus di atas dapat mengembalikan hak-hak dan perlindungan anak di
luar nikah. Tetapi tidak menutup kemungkinan akan muncul permasalahan baru di
belakang akibat dari putusan MK ini. Tentu kita semua tidak ingin ini terjadi.
Sangat disayangkan keterangan juru bicara MK yang mengatakan mereka tidak
masuk ke ranah agama dalam memutus perkara ini. Majelis MK hanya
mendahulukan kepentingan anak semata (RiauPos.com 20/02) .
Kita semua tentu patut khawatir terhadap penyalahgunaan (wrong of
function). Putusan MK ini bisa saja disalahfahamkan sebagai legalisasi kawin siri
dan perzinahan. Dengan diakuinya hak perdata anak di luar nikah terhadap ayah
biologisnya, maka jarak antara perbuatan taat hukum dengan pelanggarannya
semakin tipis dan sulit dibedakan. Benar dan salah di mata hukum semakin kabur.
Untuk itu perlu dilakukan beberapa hal. Pertama, putusan tersebut harus
segera ditindaklanjuti dengan memperjelas peruntukannya. Misalnya apakah
putusan itu berlaku untuk anak-anak korban kawin siri atau perzinahan, kumpul
22 Wawancara dengan hakim PA Jakarta Timur, tanggal 15 Oktober 2014, pukul 10.00.
131
kebo, perselingkuhan dan sebagainya. Selain itu, putusan ini harus ditujukan
untuk perlindungan anak di luar nikah, bukan legalisasi kawin siri dan perzinahan.
Kedua, penggunaan teknologi seperti deoxyribonucleic acid (DNA) harus
dijamin validitasnya. Pihak-pihak yang berwenang juga harus memiliki
kompetensi dan integritas moral yang tinggi.
Ketiga, sudah seharusnya suatu putusan mengandung nilai pendidikan dan
efek jera. Dengan putusan ini diharapkan masyarakat dapat menyatukan persepsi
untuk menolak praktek kawin siri dan perzinahan. Melakukan kawin siri berarti
tidak patuh terhadap Undang-undang dan perzinahan adalah haram dan dosa
besar. Statemen ini sudah mutafaq alaih.
Keempat, perlu adanya sinergi yang saling menguatkan antar lembaga di
negara ini. Lembaga seperti MUI harus juga memperhatikan atmosfir sosial dan
hak asasi manusia. Sedangakan Komisi Perlindungan Anak tidak boleh hanya
semata-mata memprioritaskan kepentingan anak dan meneriakkan hak asasi anak
tanpa kesan mempertimbangan hukum dan agama.
Sebenarnya melindungi anak di luar nikah tidak harus berupa pengakuan
hubungan perdata terhadap ayahnya. Opsi ini justru bisa membahayakan
keselamatan anak jika tidak diterima oleh keluarga ayahnya. Jika sudah demikian,
bahaya selanjutnya adalah dendam berkepanjangan dari kedua belah pihak. Ada
baiknya menyatukan mereka dalam sebuah wadah yang berfungsi untuk menata
kehidupan mereka. Mereka adalah korban dan layak untuk diberi perlindungan
dan dijamin masa depannya oleh Negara. Dengan demikian, satu sisi mereka tetap
mendapat perlindungan yang lebih aman, di sisi lain hukum di Negara kita tidak
dengan mudah diciderai oleh pelaku kawin siri dan perzinahan. Karena
bagaimanapun hukum harus ditegakkan (Fiat justitia ruat caelum, pereat mundus).
Hakim Konstitusi Akil Mochtar menegaskan bahwa putusan MK dibuat
semata untuk memberikan perlindungan keperdataan anak luar kawin atas ayah
biologisnya. “Walaupun keabsahan perkawinannya masih dipersoalkan,” kata
Akil dalam diskusi yang diselenggarakan hukumonline di Jakarta, Kamis (29/3).
Oleh karena itu, lanjut Akil, putusan MK sejatinya tak bertentangan
dengan hukum Islam. Namun ia mewanti-wanti penerapan putusan MK harus
dilakukan secara cermat oleh lembaga peradilan, baik peradilan umum maupun
132
peradilan agama, dalam menilai ada tidaknya hubungan darah dan hubungan
hukum antara ayah dan anak luar kawin.
UU Perkawinan dan juga putusan MK, masih menurut Akil, hanya
merupakan aturan hukum yang bersifat umum (lex generalis) dalam mengatur
status dan kedudukan anak. Sementara itu ,ada aturan lain yang sifatnya lebih
khusus (lex specialis) seperti KUHPerdata dan UU Peradilan Agama yang
dilengkapi dengan Kompilasi Hukum Islam.
“Putusan MK dan UU Perkawinan hanya bersifat umum. Lebih khusus
diserahkan kepada aturan yang sifatnya lebih khusus,” ujar Akil. Ia mencontohkan
bagi yang tunduk pada hukum Islam maka tetap harus tunduk pada aturan Islam.
Yaitu anak luar kawin (hasil zina) tidak memiliki nasab dengan ayah biologisnya
dan tidak menjadi ahli waris.
“Akan tetapi, lelaki yang menjadi bapaknya dapat dikenakan hukuman
(ta’zir) untuk memberikan kebutuhan hidup si anak dan memberikan hartanya bila
dia meninggal melalui wasiat wajibah,” lanjut Akil.
Hal serupa juga dialami bagi anak luar kawin dan bapaknya yang tunduk
pada KUHPerdata. Notaris Irma Devita Purnamasari pada kesempatan yang sama
menyatakan bahwa anak luar kawin hasil perzinaan maupun anak
hasil incest seharusnya juga tidak menjadi ahli waris. Hal ini diatur dalam Pasal
283 jo. Pasal 273 KUHPerdata.
Pengajar Hukum Perdata Universitas Padjadjaran Sherly Imam Slamet
kepada hukumonline mengaku bingung dengan putusan MK ini. Menurut dia, di
satu sisi MK mengaku mengedepankan perlindungan hukum dan hak keperdataan
kepada anak luar kawin. MK tak membedakan anak luar kawin baik yang
merupakan hasil zina (versi hukum perdata), zina (versi hukum islam), hasil
kawin siri maupun hasilincest.
Tapi di sisi lain, lanjut Sherly, MK malah menyatakan untuk masalah
penetapan silsilah keturunan dan termasuk masalah waris, diserahkan kepada
aturan yang lebih spesialis seperti KHI dan KUHPerdata. Padahal merujuk pada
aturan hukum Islam dan KUHPerdata seperti yang diuraikan Akil dan Irma di
atas, diketahui bahwa status dan kedudukan anak luar kawin ternyata masih dalam
posisi yang tidak beruntung.
133
Di dunia akademik memang ada perdebatan tentang ketentuan pasal 2 ayat
2 UU Perkawinan tahun 1974.Apakah pencatatan perkawinan berkonsekwensi
terhadap keabasahan perkawinan? Dalam konteks ini ada dua pandangan.
Pertama, sebagian berpendapat,“Keabsahan perkawinan itu sudah
dijelaskan dalam ayat 1, maka kewajiban pencatatan tidak mengikat terhadap
sahnya perkawinan”. Namun menurut pendapat lain bahwa karena perkawinan itu
meruapakan suatu perbuatan hukum, maka pencatatan adalah persyaratan
tambahan yang mengikat terhadap keabsahan suatu perkawinan dimana hukum
akan menganggap bahwa perkawinan itu ada jika telah dicatat di kantor
pencatatan perkawinan, baik Kantor Catatan Sipil (KCS) atau Kantor Urusan
Agama (KUA)23.
Kedua, anak yang dilahirkan dari perkawinan sirri adalah anak di luar
perkawinan yang secara hukum tidak diakui. Pandangan ini nampaknya yang
lebih banyak diterapkan, meskipun menurut konsepsi agama bertentangan dengan
ketentuan Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan tahun 1974 yang
menyatakan,“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya itu”24.
Terdapat beberapa fungsi dan kewajiban pendaftaran perkawinan
sebagaimana diatur dalam pasal 2 yat (2) UU Perkawinan antara lain:
Pertama, pendaftaran merupakan fungsi negara dalam melakukan
perlindungan bagi warganya agar terjadi kepastian hukum bagi pihak yang terlibat
di kemudian hari apabila perkawinan tersebut dipersoalkan pihak ketiga.
Kedua,kewajiban pencatatan juga akan bermanfaat jika di kemudian hari
timbul persoalan tentang hak waris,harta bersama atau hak-hak lainnya sebagai
akibat dari hubungan hukum yang dibuat dengan pihak lain.
Ketiga, pencatatan perkawinan dibuat dalam bentuk akta otentik yang
memiliki kekuatan pembuktian sempurna,sehingga peristiwa yang dianggap
23D.Y. Witanto, Hukum Keluarga: Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca
Keluarnya Putusan MK tentang Uji Materi UU Perkawinan, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2012), h. 224.
24.Y. Witanto, Hukum Keluarga: Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca Keluarnya Putusan MK tentang Uji Materi UU Perkawinan,, h. 225.
134
penting dalam sejarah kehidupan manusia dapat terdokumentasi secara baik dan
tertib25.
Dalam konteks pencatatan perkawinan, banyak istilah yang digunakan
untuk menunjuk sebuah perkawinan yang tidak tercatat, ada yang menyebut kawin
di bawah tangan, kawin syar'i, kawin modin, dan kerap pula disebut kawin kiyai.26
Perkawinan tidak tercatat ialah perkawinan yang secara material telah memenuhi
ketentuan syari'at sesuai dengan maksud pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tetapi tidak memenuhi ketentuan ayat 2 pasal tersebut jo pasal 10 ayat
3 PP Nomor 9 Tahun 1975.27
Pada umumnya yang dimaksud perkawinan tidak tercatat adalah
perkawinan yang tidak dicatat oleh PPN. Perkawinan yang tidak berada di bawah
pengawasan PPN, dianggap sah secara agama tetapi tidak mempunyai kekuatan
hukum karena tidak memiliki bukti-bukti perkawinan yang sah menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.28
Perkawinan tidak tercatat termasuk salah satu perbuatan hukum yang
tidak dikehendaki oleh undang-undang; karena terdapat kecenderungan kuat dari
segi sejarah hukum perkawinan, bahwa perkawinan tidak tercatat termasuk
perkawinan ilegal. Meskipun demikian, dalam Pasal 5 ayat (1) KHI terdapat
informasi implisit bahwa pencatatan perkawinan bukan sebagai syarat sah
perkawinan; tetapi sebagai alat untuk menciptakan ketertiban perkawinan. Oleh
karena itu, dalam Pasal 7 ayat (3) KHI diatur mengenai itsbat nikah bagi
perkawinan tidak tercatat.
Dengan kata lain, perkawinan tidak tercatat adalah sah; tetapi kurang
sempurna. Ketidaksempurnaan itu dapat dilihat dari ketentuan Pasal 7 ayat (3)
KHI. Dalam penjelasan umum Pasal 7 KHI bahwa pasal ini diberlakukan setelah
berlakunya undang-undang peradilan agama. Aqad pada perkawinan tidak tercatat
biasanya dilakukan di kalangan terbatas, di muka Pak Kiai atau tokoh agama,
tanpa kehadiran petugas KUA, dan tentu saja tidak memiliki surat nikah yang
25 D.Y. Witanto, Hukum Keluarga: Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca
Keluarnya Putusan MK tentang Uji Materi UU Perkawinan,, h. 226-227. 26 Mukhlisin Muzarie, Kontroversi Perkawinan Wanita Hamil, Yogyakarta:Pustaka
Dinamika, 2002, h. 110. 27 Mukhlisin Muzarie, Kontroversi Perkawinan Wanita Hamil, h. 110. 28 Jaih Mubarok, Modernisasi Hukum Perkawinan di Indonesia,, h. 87.
135
resmi. Dalam Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
ditegaskan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Perkawinan tidak tercatat secara agama adalah sah
manakala memenuhi syarat dan rukun perkawinan. Meskipun demikian, karena
pernikahan tersebut tidak tercatat maka dalam hukum positif dianggap tidak sah
karena tidak diakui negara (dasarnya Pasal 1 ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974).29
Suatu perkawinan yang tidak tercatat akan menghilangkan hak istri untuk
menuntut secara hukum. Dengan kata lain, wanita tidak mendapat perlindungan
hukum. Perkawinan yang demikian bertentangan dengan aspek kesetaraan jender.
Karena itu menurut M. Quraish Shihab, perkawinan yang tidak tercatat
merupakan salah satu bentuk pelecehan terhadap perempuan karena dapat
menghilangkan hak-hak kaum perempuan.30 Pernikahan apa pun selain yang
tercatat secara resmi di negara hukumnya tidak sah.31
Permasalahannya jika perkawinan harus tercatat maka kaum pria merasa
keberatan terutama pria yang sudah memiliki istri, karena untuk poligami
prosedurnya dianggap terlalu memberatkan. Sebaliknya bagi kaum wanita
perkawinan tidak tercatat bukan saja merugikan yaitu tidak memiliki hak
menuntut harta gono gini, juga akan kehilangan hak-haknya untuk menuntut
kewajiban suami. Kondisi ini dianggap dilematis, di satu pihak keharusan
pencatatan perkawinan memberatkan kaum pria, di lain pihak perkawinan tidak
tercatat merugikan kaum wanita dan anak
UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan memang tidak menjelaskan
secara rinci tentang status anak luar kawin. Hanya dijelaskan bahwa anak luar
kawin adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak sah dan ia hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibu yang melahirkannya dan keluarga
ibunya. Kedudukan luar kawin ini akan diatur secara tersendiri dalam peraturan
pemerintah. Tetapi menurut Abdul Manan, sampai tahun 2006 -dan barangkali
juga sampai sekarang- Peraturan Pemerintah dimaksud belum diterbitkan. Jadi
wajar jika kemudian timbul permasalahan yang dimunculkan Machica.
29 Moh Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-undang Nomor. 1 Tahun 1974
dari Segi Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2002, h. 224. 30 M. Quraish Shihab, Perempuan, Jakarta: Lentera Hati, 2006, h. 216. 31 Dadang Hawari, Marriage Counseling (Konsultasi Perkawinan), Jakarta: FKUI, 2006,
h. 83.
136
Demikian pula hanya dengan UU No. 2 ayat (2) tentang pencatatan nikah,
jikalau para pemohon menyadari bahwa saat ini umat manusia hidup di era hukum
tertulis di mana kodifikasi hukum sebagai cirinya -meminjam istilah Amin
Summa- dan mengetahui yang terjadi di hampir semua negara Islam di dunia,
niscaya ayat tersebut tidak perlu dipermasalahkan.
Menurut Amin Summa, salah satu asas dalam Undang-Undang
Perkawinan yang tak kalah penting –terutama di era hukum tertulis dengan
kodifikasi hukum sebagai ciri utamanya- ialah asas legalitas. Asas ini pada intinya
mengajarkan bahwa setiap perkawinan wajib dicatat oleh pejabat yang
berwenang. Semua Undang-Undang perkawinan Islam di dunia Islam
mengamanatkan arti penting dari pencatatan setiap perkawinan. Selain berfungsi
sebagai tertib administrasi dan perlindungan hukum bagi warga Negara masing-
masing, asas legalitas juga mempermudah para pihak terkait dalam melakukan
kontrol terhadap pelaksanaan UU perkawinan di sebuah Negara. Menurut Summa,
asas legalitas seyogyanya tidak difahami dalam konteks administrasi semata, akan
tetapi idealnya juga memiliki nilai hukum normatif yang bersifat mengikat dalam
pengertian pencatatan perkawinan akan turut menentukan sah tidaknya sebuah
akad nikah yang dilakukan oleh sepasang laki-laki dan perempuan, sehingga
praktik kawin di bawah tangan (kawin sirri) dapat ditekan. Dari sisi syar’i pelegal-
formalan asas legalitas juga ditopang oleh QS Al-Baqarah: 283. Walaupun tidak
secara khusus ayat tersebut berbicara tentang transaksi nikah, tetapi transaksi
nikah juga termasuk di dalamnya. Namun demikian, harus diakui, kebanyakan
negara-negara Islam menetapkan bahwa pencatatan perkawinan hanya masalah
administrasi dan tidak terkait dengan keabsahan perkawinan. Di antara negara
yang secara tegas menyatakan bahwa pencatatan perkawinan berpengaruh
terhadap keabsahan perkawinan, tidak hanya sekedar masalah administrasi, adalah
Negara Yaman Selatan dan Malaysia. Sedangkan UU Perkawinan di Indonesia
menyebutkan tentang pencatatan nikah ini secara ambigu, artinya dapat diartikan
hanya sekedar kewajiban administrasi atau menjadi keabsahan nikah (sah tidaknya
nikah).32
32 Amin, Summa, Hukum keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta, PT. RajaGrafindo
Persada, 2005), h. 90
137
Argumen yang kedua penolakan hakim terhadap putusan MK ini adalah
bertentangan dengan norma hukum Islam yang dianut oleh mayoritas ulama.
Dalam hukum Islam sudah sangat jelas aturan mengenai nasab dan hubungan
hukum yang tercipta dari nasab.
Bahkan Hakim PA Tangerang, Haryadi, menyatakan bahwa putusan MK
tersebut bisa diartikan melegalkan hubungan antara laki-laki dan perempuan tanpa
ikatan perkawinan, karena bahasa “di luar perkawinan” bisa bermakna nikah sirri
atau hubungan tanpa pernikahan. Begitu pula Hakim PA Jakarta Utara, Fait
Hasibuan berpendapat yang sama. Dan apabila putusan ini dituruti akan merusak
sendi-sendi keragamaan umat Islam dalam hal nasab.
Menurut ketentuan hukum Islam, nasab bisa terjadi, baik nasab terhadap
ayah maupun nasab terhadap ibu. Adapun nasab anak terhadap ayahnya bisa
terjadi karena tiga hal: (1) nasab melalui perkawinan sah, (2) nasab melalui
perkawinan fasid, dan (3) nasab anak dari senggama syubhat33. Penjelasan
masing-masing sebagai berikut:
(1) nasab melalui perkawinan sah. Ulama fikih sepakat, anak yang lahir dari
seorang wanita dalam suatu perkawinan yang sah dinasabkan kepada suami
wanita tersebut. Hal ini sejalan dengan redaksi hadis Nabi saw. sbb34.:
علیھ وسلم قال الولد للفراش (صحیح مسلم عن أبي ھریرة صلى هللا )368/ ص 7(ج -أن رسول هللا
Artinya:
“Anak itu bagi pemilik alas tidur (dalam nikah yang sah)”
Nasab melalui perkawinan sah, disyaratkan tiga hal sebagai berikut:
33Wahbah al-Zuhaili dalam kitabnya al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, mengataan sbb.:
الوطء بشبھة. الزواج الفاسد: - الزواج الصحیح - وأما أسباب ثبوت النسب من األب فھيSeseorang boleh menasabkan dirinya kepada seseorang atau ayahnya apabila sudah
terpenuhi syarat-syaratnya, sebagai berikut: 1. Seorang anak yang lahir dari seorang perempuan memang benar hasil
perbuatannya dengan suaminya. 2. Ketika perempuan hamil, waktunya tidak kurang dari waktu kehamilan
pada umumnya. 3. Suami tidak mengingkari anak yang lahir dari istrinya.
Lihat, Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al Islamy wa Adillatuhu, (Damsyik: Dar al-Fikr, 2009), juz ke-7, hal. 644.
34Muslim bin Hajjaj Abu Al-Husain Al Qusyairi, Shahih Muslim, (Beirut: Dar Ihya’ Turas al-Arabi, tth). juz ke-7, hal. 368. No. Hadis 2646.
138
Pertama, suami memungkinkan dapat memberikan keturunan, yang
menurut kesepakatan ulama fikih Malikiyah dan Syafi’iyah adalah seorang
laki-laki dewasa (baligh) atau murahiq35. Menurut ulama Hanafiah anak
murahiq berumur 12 tahun, sementara menurut ulama Hanabilah, murahiq
berumur 10 tahun. Oleh sebab itu, nasab tidak bisa terjadi bagi lelaki yang
belum dewasa, tidak mampu melakukan senggama, atau lelaki yang tidak
mempunyai kelamin atau impotensi, kecuali bisa diobati36.
Kedua, menurut ulama Hanafiah, anak tersebut lahir enam bulan
setelah perkawinan37. Mayoritas ulama menambahkannya dengan syarat;
suami istri telah melakukan senggama. Dengan demikian, apabila anak
lahir setelah usia perkawinan 6 bulan pas atau lebih sedikit, nasab anak
secara otomatis dapat dihubungkan dengan bapaknya. Hanya saja
bapaknya bisa saja menolak nasab anak itu dengan dirinya pada saat
kelahiran anak tersebut atau pada saat orang lain (tetangga) mengucapkan
selamat atas kelahiran anak. Selain ada penolakan dari bapaknya,
penolakannya harus disertai sumpah li’an38. Menurut Wahbah al-Zuhaili,
perbedaan pendapat ini muncul karena ulama mazhab Hanafi menganggap
bahwa pengingkaran seorang suami hanya bisa terjadi melalui li’an.
35Murahiq remaja mendekati dewasa, libido (syahwat) dan kelaminnya sudah berfungsi. Al-Jurjani mendefinisikan al-Murahiq sebagai berikut:
)67/ ص 1(ج - التعریفات صبي قارب البلوغ وتحركت آلتھ واشتھى. المراھق
Lihat, al-Jurjani, al-Ta’rifat, juz ke-1, hal.67. 36Abdul Karim Zaidan, Al-Mufasshal fi Ahkam al-Mar’ah (Beirut, Muassasah al-Risalah,
1413 H/ 1993 M), cet. ke-1, juz ke-9, hal. 321. Wahbah al-Zuhaili menulis dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz ke-7, hal. 645, sbb.: الشرط األول ـ أن یكون الزوج ممن یتصور منھ الحمل عادة، بأن یكون بالغا في رأي المالكیة والشافعیة، ومثلھ في رأي الحنفیة والحنابلة المراھق: وھو عند الحنفیة من بلغ اثنتي عشرة سنة، وعند الحنابلة: من بلغ عشر سنوات، فال یثبت
النسب من الصغیر غیر البالغ 37Hal ini didasarkan kepada surat al-Ahqaf/46:15 dan surat Luqman/31:14. Pada surat al-
Ahqaf/46:15 dinyatakan, masa hamil dan menyusui adalah 30 bulan. Sedangkan pada surat Luqman/31:14 dinyatakan bahwa masa menyusui yang sempurna adalah 2 tahun (24 bulan). Hal ini bermuara pada satu pemahaman bahwa masa hamil terpendek adalah 6 bulan.
38Li’an artinya menuduh isteri berbuat zina dengan disertai sumpah 4 kali bahwa isterinya telah berbuat zina, kemudian ditutup dengan sumpah ke-5, yang menyatakan bahwa ia siap dilaknat Allah kalau berdusta atas tuduhannya. Apabila isteri membalas sumpah suaminya 4 kali dan berani menyatakan suaminya berdusta dilengkapi dengan sumpah ke-5, bahwa isteri siap menerima murka Allah kalau dia berdusta dengan sumpahnya, maka hakim harus memutuskan hubungan pernikahan mereka dengan thalaq ba’in dan mengukuhkan nasab anak tersebut kepada ibunya. Tata cara sumpah Li’an tersebut dinyatakan Al-Qur’an surat al-Nur (24) ayat ke-4-9. Lihat, ‘Abdul Wahhab al-Khallaf, Ahkam al-Ahwal al-Syahshiyyah fi al-Syari’ah al-Islamiyah, hal. 188.
139
Namun mayoritas ulama berpendapat bahwa pengingkaran terhadap anak
tersebut selain melalui li’an juga bisa dengan cara lain, misalnya ketika
suami tidak mungkin bertemu secara aktual dengan istrinya39.
Jika kelahiran anak kurang dari enam bulan, anak yang lahir
tersebut tidak bisa dinasabkan kepada suami wanita itu. Hal ini
menunjukkan bahwa kehamilan terjadi sebelum akad nikah, kecuali
apabila suami mengakuinya. Pengakuannya harus diartikan sebagai
pernyataan bahwa wanita tersebut hamil sebelum akad nikah. Bisa juga
kehamilannya terjadi dalam perkawinan yang akadnya fasid atau karena
terjadi senggama syubhat. Jika demikian, menurut Wahbah al-Zuhaili,
anak tersebut dapat dinasabkan kepada suami wanita demi kemaslahatan
anak40.
Ketiga, suami istri bertemu minimal satu kali setelah akad nikah.
Hal ini disepakati ulama fikih. Namun mereka berbeda pendapat dalam
mengartikan kemungkinan bertemu tersebut. Apakah pertemuan tersebut
bersifat aktual atau menurut perkiraan. Ulama mazhab Hanafi berpendapat,
pertemuan berdasarkan perkiraan menurut logika bisa terjadi. Oleh sebab
itu, apabila wanita tersebut hamil selama enam bulan sejak ia diperkirakan
bertemu dengan suaminya, anak yang lahir dari kandungannya dinasabkan
kepada suaminya. Misalnya, seorang wanita dari bumi bagianTimur
menikah dengan seorang laki-laki dari bumi di wilayah Barat dan mereka
tidak bertemu selama satu tahun, tetapi lahir anak setelah enam bulan sejak
akad nikah dilangsungkan. Anak tersebut dinasabkan kepada suami wanita
ini. Menurut Mazhab Hanafi, bisa saja terjadi pertemuan melalui
kekeramatan seorang Sufi sehingga seseorang bisa menempuh jarak yang
jauh dalam waktu singkat. Namun logika seperti ini ditolak jumhur ulama.
39Wahbah al-Zuhaili menulis dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz ke-7,
hal. 646, sbb.: إمكان وفائدة الخالف: أن الولد ال ینتفي نسبھ في رأي الحنفیة إال باللعان، وینتفي بدون لعان في رأي الجمھور، لعدم
التالقي بین الزوجین عادة.40Wahbah al-Zuhaili menulis dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz ke-7,
hal. 645, sbb.: الشرط الثاني ـ أن یلد الولد بعد ستة أشھر من وقت الزواج في رأي الحنفیة، ومن إمكان الوطء بعد الزواج في رأي
ألقل من الحد األدنى لمدة الحمل وھي ستة أشھر، ال یثبت نسبھ من الزوج اتفاقا، وكان دلیال على أن الحمل بھ الجمھور، فإن ولد حدث قبل الزواج، إال إذا ادعاه الزوج، ویحمل ادعاؤه على أن المرأة حملت بھ قبل العقد علیھا، إما بناء على عقد آخر، وإما بناء
اة لمصلحة الولد، وسترا لألعراض بقدر اإلمكان.على عقد فاسد أو وطء بشبھة، مراع
140
Menurut mereka, kehamilan bisa terjadi apabila pasangan suami istri
tersebut dapat bertemu secara aktual di mana dalam pertemuan tersebut
memungkinkan bagi suami isteri untuk melakukan senggama.
Apabila seorang anak dilahirkan setelah terjadi perceraian antara
suami istri, untuk menentukan apakah anak itu bernasab kepada suami
wanita tersebut atau nasabnya kepada ibunya, terdapat beberapa
kemungkinan, sebagai berikutu:
(2). Nasab Melalui Perkawinan Fasid. Perkawinan fasid adalah pernikahan yang
dilangsungkan dalam keadaan kekurangan syarat, seperti tidak ada wali (bagi
mazhab Hanafi wali tidak menjadi syarat sahnya perkawinan) dan tidak ada
saksi atau saksi palsu. Menurut kesepakatan ulama fikih, penetapan nasab
anak yang lahir dalam pernikahan fasid sama dengan penetapan anak dalam
pernikahan sah41. Akan tetapi, ulama fikih menetapkan tiga syarat dalam
penetapan nasab anak dalam pernikahan fasid tersebut:
a) Suami mempunyai kemampuan menjadikan istrinya hamil. Artinya suami
seorang yang sudah dewasa (baligh) menurut Malikiah dan Syafi’iyah,
atau sekedar murahiq (umur antara 10-12 tahun) menurut ulama Hanafiah
dan Hanabilah, serta tidak mempunyai penyakit yang dapat menyebabkan
istrinya tidak bisa hamil.
b) Hubungan senggama bisa dilaksanakan secara sempurna.
c) Anak dilahirkan dalam waktu 6 bulan atau lebih setelah terjadinya akad
nikah fasid (menurut ulama Malikiah) dan sejak terjadinya senggama
(menurut mazhab Hanafi). Apabila anak lahir dalam waktu sebelum 6
bulan setelah akad nikah atau melakukan senggama, anak tidak bisa
dinasabkan kepada suami wanita tersebut42.
41Abu Zakariya Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Raudlat al-Thalibin wa ‘Umdat al-Muftin,
(Beirut: Dar al-Fikr, tth.), juz ke-3, hal. 243. (243/ ص 3(ج -روضة الطالبین وعمدة المفتین
الولد في النكاح الفاسد ھل یتوقف على إقراره بالوطء كما في ملك الیمین أم وخرج على الخالف المذكور أن لحوق یكفي فیھ مجرد العقد كالنكاح الصحیح
42Wahbah al-Zuhaili menulis dalam, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz vii, hal. 649, sbb.:
ویشترط لثبوت النسب بالزواج الفاسد ثالثة شروط:رجل ممن یتصور منھ الحمل: بأن یكون بالغا عند المالكیة والشافعیة، أو بالغا أو مراھقا عند أن یكون ال .1
الحنفیة والحنابلة.
141
(3). Nasab Anak dari Senggama Syubhat. Hubungan senggama syubhat terjadi
bukan dalam perkawinan yang sah atau fasid dan bukan pula dari perbuatan
zina. Senggama syubhat bisa terjadi akibat kesalahpahaman atau kesalahan
informasi. Misalnya, seorang pria melakukan perkawinan dengan seorang
wanita yang sebelumnya tidak dikenalnya. Pada malam pengantin ia
menemukan seorang wanita dikamarnya lalu digaulinya. Ternyata wanita itu
bukan istri yang telah dinikahinya. Dalam kasus seperti ini, apabila wanita
tersebut melahirkan setelah hamil enam bulan atau lebih (masa maksimal
kehamilan) setelah senggama terjadi, anak yang lahir dinasabkan kepada
lelaki yang menyetubuhinya. Akan tetapi, apabila anak lahir melebihi masa
maksimal kehamilan seorang wanita, anak tidak bisa dinasabkan kepada
lelaki yang menyetubuhi wanita tersebut43.
Hukum Islam membedakan syubhat kepada dua bentuk yaitu:
a. Anak syubhat dalam akad, yaitu ketika seorang laki-laki melaksanakan
akad nikah dengan wanita seperti akad nikah sah lainya, tetapi kemudian
akadnya fasid karena alasan tertentu.
b. Syubhat dalam tindakan (perbuatan), yaitu ketika seorang laki-laki
mencampuri seorang wanita tanpa terjadi akad antara mereka berdua,
baik akadnya sah maupun fasid. Misalnya: tidak sadar ketika
melakukanya, atau dia menyakini bahwa wanita tersebut halal untuk
dicampuri, tetapi kemudian wanita tersebut ternyata haram dicampuri.
Termasuk dalam kategori ini adalah hubungan seksual yang dilakukan
orang gila, pemabuk, dan orang mengigau, serta orang yang meyakini
تحقق الدخول بالمرأة أو الخلوة بھا في رأي المالكیة: فإن لم یحصل الدخول أو الخلوة بعد زواج فاسد، لم .2
یثبت نسب الولد، ، ومن تاریخ الدخول عند أن تلد المرأة بعد ستة أشھر أو أكثر من تاریخ الدخول أو الخلوة عند المالكیة .3
الحنفیة. 43Wahbah al-Zuhaili menulis dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz ke-7,
hal. 650-651, sbb.: : ھو االتصال الجنسي غیر الزنا، ولیس بناء على عقد زواج صحیح أو فاسد، مثل المرأة المزفوفة إلى الوطء بشبھة
وإن أتت بھ قبل مضي ستة أشھر ال یثبت النسب منھ، لتأكد أن الحمل حدث قبل ذلك، إال ..……بیت زوجھا دون رؤیة سابقة، أنھ إذا ادعاه ثبت نسبھ منھ، إذ قد یكون وطئھا قبل ذلك بشبھة أخرى
142
bahwa yang dicampuri isterinya, tetapi wanita tersebut ternyata bukan
isterinya44.
Sayyid Sabiq mengatakan bahwa anak hasil zina tidak dapat saling
mewarisi -memperoleh dan memberikan warisan- dengan ayah biologisnya. Anak
zina dalam fikih disamakan dengan anak (li’an). Anak li’an adalah anak yang
suami syar’i dari ibu anak tadi menafikan bahwa itu anak darah dagingnya, karena
tuduhan selingkuh terhadap ibunya anak tadi. Menurut ijma’ ulama, anak zina dan
anak li’an tidak dapat saling mewarisi dengan ayah biologis atau ayah syar’i dari
anak tersebut.45 Hal ini didasarkan pada riwayat dari Ibnu Umar bahwa pernah ada
seorang lelaki yang mengatakan li’an pada isterinya pada masa Nabi s.a.w. dan ia
tidak mengakui anak yang dilahirkan isterinya waktu itu sebagai anak darah
dagingnya. Lalu Rasulullah s.a.w. memisahkan antara ayah dan anak tersebut dan
menisbatkan nasab anak tersebut hanya pada ibunya. Berikut haditsnya:46
“Rasulullah s.a.w. menjadikan warisan anak li’an itu untuk ibunya dan ahli
waris ibunya.” (HR. Bukhari dan Abu Dawud)
Menurut Abdurrahman Al-Jaziri, kedudukan anak zina adalah orang lain
bagi ayahnya yang pelaku zina, artinya:47
1. Anak tersebut tidak dapat saling mewarisi harta -memperoleh warisan-
dengan ayahnya;
2. Anak tersebut tidak dinasabkan kepada ayahnya;
3. Tidak wajib bagi seorang ayah untuk menafkahi anak hasil zinanya;
4. Tidak diperbolehkan besanan (musaharah) di antara keduanya dan juga
masing-masing tidak diperbolehkan menikahi anak/cucu keturunannya di
kemudian hari. Demikian pula tidak diperkenankan menikah dengan
ayah/ibu atau kakek/nenek masing-masing (jalur keturunan ke atas).
44Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2007), hal. 388-
389.
45 Sabiq, Sayyid, Fiqhu al-Sunnah, (Beirut, Dar al-Fikr, 1992), vol. 2 h. 95 46 Amin, Summa, Hukum keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta, PT. RajaGrafindo
Persada, 2005), h. 88 47 Al-Jaziry, Abdurrahman, Kitabu al-Fiqhi ‘ala al-Madzahib al-arba’ah, (Kairo, Daru
al-hadits, 1994), vol. 5, h. 78
143
Khusus bagi anak perempuan hasil zina, ada tambahan sebagai berikut:
1. Ayah tidak diperbolehkan berkhalwat (berduaan dalam majelis tertutup)
dengannya (karena bukan mahramnya);
2. Ayah tidak memiliki wilayah perwalian nikah anak perempuan tadi;
3. Ayah tidak boleh menikahi anak perempuan tadi.
Sedangkan Wahbah Zuhaili mengatakan bahwa masing-masing anak zina
dan anak li’an tidak dapat saling mewarisi dengan ayahnya dan kerabat ayahnya.
Pendapat tersebut adalah ijma’ ulama. Anak tersebut hanya dapat memperoleh
warisan dari sisi ibu saja, karena nasab pada ayahnya terputus (munqat}i’). Hal itu
dikarenakan syariah Islam tidak mengakui zina sebagai jalur syar’i untuk
digunakan sebagai itsbat nasab. Demikian pula anak li’an nasabnya belum dapat
dibuktikan (itsbat) dari jalur ayahnya.48
Jadi, menurut Imam empat-Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali- masing-
masing anak tersebut –anak zina dan li’an- hanya dapat memperoleh warisan dari
ibunya dan kerabat ibunya. Kerabat ibu yang dimaksud adalah saudara-saudara
sekandung ibunya, karena hubungan anak tersebut dengan ibunya adalah
meyakinkan (mu’akkadah) tidak ada keraguan di dalamnya. Berbeda dengan
hubungannya dengan ayah.
Adapun Syi’ah Imamiyyah berpendapat bahwa antara anak zina dan
ibunya serta kerabat ibunya, tidak dapat saling mewarisi. Sebagaimana hal itu juga
berlaku pada ayahnya yang berzina dan kerabat ayahnya, karena harta warisan itu
adalah nikmat yang Allah berikan pada ahli waris, karenanya faktor penyebab
memperoleh warisan tersebut tidak boleh karena tindak kriminal, yakni zina.
Akan tetapi jika anak li’an, menurut Syi’ah Imamiyyah masih dapat memperoleh
warisan dari ibunya, karena meurut mereka boleh jadi pengakuan salah satu dari
ayah atau ibunya adalah bohong, sehingga tindak kriminal –dalam hal ini
pengakuan bohong- menjadi penyebab peniadaan hubungan nasab.49
48 Wahbah, Zuhaili, Al-Fiqhu al-Islamy wa adillatuhu (Beirut: Dar al-Fikr al-
Mu’asir,1997), vol. 10, h. 225 49 Wahbah, Zuhaili, Al-Fiqhu al-Islamy wa adillatuhu (Beirut: Dar al-Fikr al-
Mu’asir,1997), vol. 10, h. 225
144
Menurut Zuhaili, pendapat pertama –pendapat empat Imam- tentang anak
zina adalah lebih ringan untuk si anak, karena tindak kriminal itu adalah perilaku
sang ibu, sehingga anak tidak semestinya tersiksa karena tindakan tersebut.
Berbeda dengan sang ayah, karena pembuktian nasab darinya belum meyakinkan.
Oleh karenanya UU Mesir (Pasal 47), dan UU Suria (Pasal 303) menyebutkan
sebagai berikut:50
“Anak zina dan anak li’an dapat memperoleh warisan dari ibunya dan kerabat ibunya. Demikian pula sebaliknya mereka dapat memperoleh warisan dari anak tersebut.” Dalil yang diambil dalam hal ini adalah hadis berikut:
“Siapapun lelaki yang berzina dengan gadis merdeka atau gadis budak maka anaknya adalah aank zina, tidak dapat memperoleh warisan dan tidak dapat memberikan warisan.” (HR. Tirmidzi dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya). Dari Nabi s.a.w. bahwasanya: “Beliau s.a.w. menjadikan warisan anak li’an untuk ibunya dan kerabat ibunya.” (HR. Abu Dawud, dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya). Demikian pula dalam hadits tentang dua orang suami-isteri yang saling
melakukan li’an riwayat Sahl bin Sa’d bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda:
“Dan wanita itu (kemudian) hamil, lalu nasab anaknya dinisbatkan kepadanya, sehingga sunnah kemudian berlaku bahwa anak (li’a>n) dapat memperoleh warisan dari ibunya dan ibunya juga dapat memperoleh warisan darinya.” Bahkan dalam mazhab Maliki disebutkan bahwa orang yang merubah
kelaminnya, orang yang ucapannya seperti wanita (kemenyek) dan anak zina itu
makruh dijadikan sebagai imam tetap (ratib), baik shalat fardhu maupun shalat
sunnah seperti shalat ‘id.51
Wahbah al-Zuhaili dengan judul “Ahkam al-Aulad al-Natijin ‘an al-Zina”
yang disampaikan pada Daurah ke-20 Majma’ Fiqh Islami di Makkah pada 25 –
50 Wahbah, Zuhaili, Al-Fiqhu al-Islamy wa adillatuhu (Beirut: Dar al-Fikr al-
Mu’asir,1997), vol. 10, h. 227 51 Abdurrahman, Al-Jaziry, Kitabu al-Fiqhi ‘ala al-Madzahib al-arba’ah, (Kairo, Daru
al-hadits, 1994), vol. 5, h. 80
145
29 Desember 2010 yang pada intinya menerangkan bahwa, jika ada seseorang
laki-laki berzina dengan perempuan yang memiliki suami dan kemudian
melahirkan anak, terdapat ijma ulama, sebagaimana disampaikan oleh Imam Ibn
Abdil Barr dalam “al-Tamhid” (8/183) yang menegaskan bahwa anak tersebut
tidak dinasabkan kepada lelaki yang menzinainya, melainkan kepada suami dari
ibunya tersebut, dengan ketentuan ia tidak menafikan anak tersebut melalui li’an.
Sementara, jika ia berzina dengan perempuan yang tidak sedang terikat
pernikahan dan melahirkan seorang anak, maka menurut jumhur ulama madzhab
delapan, anak tersebut hanya dinasabkan ke ibunya sekalipun ada pengakuan dari
laki-laki yang menzinainya. Hal ini karena penasaban anak kepada lelaki yang
pezina akan mendorong terbukanya pintu zina, padahal kita diperintahkan untuk
menutup pintu yang mengantarkan pada keharaman (sadd al-dzari’ah) dalam
rangka menjaga kesucian nasab dari perlikau munkarat.
Dari semua pendapat di atas dapat disimpulkan semua ulama bersepakat
(ijma’) bahwa anak zina tidak memiliki hubungan perdata dengan ayahnya dan
keluarga ayahnya. Akan tetapi hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya
dan keluarga ibunya. Bahkan sebagian ulama -Syi’ah Imamiyyah- berpendapat
bahwa anak zina tersebut tidak memiliki hubungan perdata baik dengan ibunya,
ayahnya, maupun kerabat ibu dan ayahnya.
Memang tidak dipungkiri bahwa sebagian kalangan ada yang
menyayangkan adanya polemik yang berkepanjangan tentang masalah ini.
Menurut kalangan tersebut, semestinya umat Islam terbiasa untuk menentukan
suatu tindakan hukum melalui beberapa persepsi atau pandangan, dari sudut mana
kita melihat dan akhirnya menghasilkan keputusan yang berbeda-beda. Dan perlu
difahami bahwa dengan adanya pandangan dan sudut pandang yang berbeda itu
menjadikan nuansa berfikir kita tidak sempit. Karenanya uji materiil yang
disetujui MK itu harus dilihat dari sudut pandang penguatan hak asasi manusia
utamanya hak anak. Sementara syariah Islam tentang nikah memiliki entitas
tersendiri yang berbeda dengan HAM. Hukum Islam memiliki logika berpikir
yang berbeda dengan logika berpikir masyarakat modern, walaupun dalam
beberapa hal bisa bertemu.
146
Betapapun polemik tersebut dapat disiasati dengan melalui sudut pandang
yang berbeda sebagaimana disebutkan di atas, kenyataannya polemik antara MK
dan MUI ini tetap menarik untuk dicermati dan sampai sekarang masih belum ada
upaya-upaya signifikan untuk mempertemukan kedua polemik tersebut.
Menurut Mahsun fuad, tipologi tema-tema pemikiran hukum Islam di
Indonesia mengarah kuat pada empat pola, yaitu: (1) Kontekstualisasi-mazhabi
responsi-simpatis partisipatoris pada tema pemikiran fikih Indonesia, yang
diprakarsai oleh Hasbo ash-Shiddieqy; (2) Rekonstruksi-interpretatif responsi-
simpatis partisipatoris pada tema pemikiran fikih mazhab nasional dan
reaktualisasi ajaran Islam, yang dipelopori oleh Hazairin dan Munawir Sjadzali;
(3) Rekonstruksi-interpretatif responsi-kritis emansipatoris pada tema pemikiran
agama keadilan, yang dirintis oleh Masdar F. Mas’udi; (4) Kontekstualisasi-
mazhabi responsi-kritis emansipatoris pada tema pemikiran fikih sosial, yang
direpresentasikan oleh Sahal Mahfudh dan Ali Yafie.
Berdasarkan tipologi Fuad di atas, tampaknya polemik judicial review
terhadap UU No. 2 ayat (2) dan UU. No. 43 ayat (1), antara MK dan MUI
berangkat dari sudut pandang yang berbeda. MK merepresentasikan kelompok
kedua, yakni rekonstruksi-interpretatif responsi-simpatis partisipatoris.
Sedangkan MUI merupakan representasi dari kelompok pertama, yakni
kontekstualisasi-mazhabi responsi-simpatis partisipatoris. MUI dalam hal ini
masih berpegang pada pendapat-pendapat mazhab dalam fikih. Sedangkan MK
telah bertentangan dengan prinsip ijma’ yang dalam ilmu ushul fikih, mayoritas
ulama -jika tidak semua- mengatakan bahwa ijma’ adalah konsensus yang
mengikat dan tidak dapat dirubah oleh generasi setelahnya, karena pemahaman
rekonstruksi–interpretatif yang tidak begitu mengikat terhadap satu hukum. Itulah
yang menyebabkan MUI bersikeras untuk tetap mempertahankan UU No 43 ayat
(1), karena ketika ada tambahan (dari MK) “…serta dengan laki-laki sebagai
ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi
dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk
hubungan perdata dengan keluarga ayahnya,” maka berarti MK mengakui
adanya hubungan perdata antara anak hasil zina atau anak hasil nikah sirri dengan
ayahnya dan keluarga ayahnya. Padahal dalam ijma’ disebutkan bahwa para
147
ulama bersepakat bahwa anak zina hanya memiliki hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya.52
Seminggu setelah keluarnya putusan MK no 46 tahun 2010, MUI
mengeluarkan fatwa tentang “kedudukan Anak Hasil Zina dan Perlakuan
terhadapnya”. Dalam pertimbangan fatwa ini dinyatakan sebagai berikut :
a. bahwa dalam Islam, anak terlahir dalam kondisi suci dan tidak membawa dosa turunan, sekalipun ia terlahir sebagai hasil zina;
b. bahwa dalam realitas di masyarakat, anak hasil zina seringkali terlantar karena laki-laki yang menyebabkan kelahirannya tidak bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, serta seringkali anak dianggap sebagai anak haram dan terdiskriminasi karena dalam akte kelahiran hanya dinisbatkan kepada ibu;
c. bahwa terhadap masalah tersebut, Mahkamah Konsitusi dengan pertimbangan memberikan perlindungan kepada anak dan memberikan hukuman atas laki-laki yang menyebabkan kelahirannya untuk bertanggung jawab, menetapkan putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang pada intinya mengatur kedudukan anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya;
d. bahwa terhadap putusan tersebut, muncul pertanyaan dari masyarakat mengenai kedudukan anak hasil zina, terutama terkait dengan hubungan nasab, waris, dan wali nikah dari anak hasil zina dengan laki-laki yang menyebabkan kelahirannya menurut hukum Islam;
e. bahwa oleh karena itu dipandang perlu menetapkan fatwa tentang kedudukan anak hasil zina dan perlakuan terhadapnya guna dijadikan pedoman.
Berdasarkan pertimbangan ini MUI kemudian memutuskan
MENETAPKAN: FATWA TENTANG ANAK HASIL ZINA DAN
PERLAKUAN TERHADAPNYA
Pertama: Ketentuan Umum
Di dalam fatwa ini yang dimaksud dengan :
1. Anak hasil zina adalah anak yang lahir sebagai akibat dari hubungan badan di luar pernikahan yang sah menurut ketentuan agama, dan merupakan jarimah (tindak pidana kejahatan).
2. Hadd adalah jenis hukuman atas tindak pidana yang bentuk dan kadarnya telah ditetapkan oleh nash
52 Fuad, Mahsun, Hukum Islam Indonesia dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris, (Yogyakarta, LKiS, 2005), cet. I, h. 10
148
3. Ta’zir adalah jenis hukuman atas tindak pidana yang bentuk dan kadarnya diserahkan kepada ulil amri(pihak yang berwenang menetapkan hukuman).
4. Wasiat wajibah adalah kebijakan ulil amri (penguasa) yang mengharuskan laki-laki yang mengakibatkan lahirnya anak zina untuk berwasiat memberikan harta kepada anak hasil zina sepeninggalnya.
Kedua: Ketentuan Hukum
1. Anak hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab, wali nikah, waris, dan nafaqah dengan lelaki yang menyebabkan kelahirannya.
2. Anak hasil zina hanya mempunyai hubungan nasab, waris, dan nafaqah dengan ibunya dan keluarga ibunya.
3. Anak hasil zina tidak menanggung dosa perzinaan yang dilakukan oleh orang yang mengakibatkan kelahirannya
4. Pezina dikenakan hukuman hadd oleh pihak yang berwenang, untuk kepentingan menjaga keturunan yang sah (hifzh al-nasl).
5. Pemerintah berwenang menjatuhkan hukuman ta’zir lelaki pezina yang mengakibatkan lahirnya anak dengan mewajibkannya untuk: a. mencukupi kebutuhan hidup anak tersebut; b. memberikan harta setelah ia meninggal melalui wasiat wajibah.
6. Hukuman sebagaimana dimaksud nomor 5 bertujuan melindungi anak, bukan untuk mensahkan hubungan nasab antara anak tersebut dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya.
Ketiga: Rekomendasi
1. DPR-RI dan Pemerintah diminta untuk segera menyusun peraturan perundang-undangan yang mengatur:
a. hukuman berat terhadap pelaku perzinaan yang dapat berfungsi sebagai zawajir dan mawani’ (membuat pelaku menjadi jera dan orang yang belum melakukan menjadi takut untuk melakukannya);
b. memasukkan zina sebagai delik umum, bukan delik aduan karena zina merupakan kejahatan yang menodai martabat luhur manusia.
2. Pemerintah wajib mencegah terjadinya perzinaan disertai dengan penegakan hukum yang keras dan tegas.
3. Pemerintah wajib melindungi anak hasil zina dan mencegah terjadinya penelantaran, terutama dengan memberikan hukuman kepada laki-laki yang menyebabkan kelahirannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
4. Pemerintah diminta untuk memberikan kemudahan layanan akte kelahiran kepada anak hasil zina, tetapi tidak menasabkannya kepada lelaki yang menngakibatkan kelahirannya.
5. Pemerintah wajib mengedukasi masyarakat untuk tidak mendiskriminasi anak hasil zina dengan memperlakukannya sebagaimana anak yang lain. Penetapan nasab anak hasil zina kepada ibu dimaksudkan untuk melindungi nasab anak dan ketentuan keagamaan lain yang terkait, bukan sebagai bentuk diskriminasi.
149
Berdasarkan keputusan fatwa ini MUI tetap berpegang teguh pada
konsepsi nasab dalam Islam, namun MUI juga mengakomodir adanya nilai
kemaslahatan dengan mengajukan upaya hukuman ta’zir kepada laki-laki pezina
serta membebankan nafkah dan biaya pemeliharaan menjadi tanggung jawab laki-
laki yang menghamili perempuan di luar nikah. Hal ini merupakan upaya
terobosan hukum baru yang ingin diajukan MUI tanpa merusak esensi hukum
Islam dalam hal hubungan nasab.
Argumen ketiga bagi hakim agama yang menolak putusan MK adalah
pandangan yang menganggap bahwa putusan MK no 46 tahun 2010 ini adalah
ultra petita atau putusan melebihi dari apa yang dimintakan pemohon. Karena
dalam pengajuan judicial review yang diajukan oleh Machica dan kuasa
hukumnya adalah pembatalan pasal 43 dan pasal 2 ayat 2 UUP no 1 tahun 1974
mengenai status anak di luar perkawinan dan pencatatan perkawinan. Tetapi MK
malah membuat putusan yang melebihi apa yang dimohonkan yaitu menetapkan
adanya hubungan keperdataan anak di luar perkawinan kepada ayah biologisnya
selama bisa dibuktikan melalui ilmu pengetahuan dan alat bukti lainnya.
Pandangan bahwa Hakim MK telah melakukan Ultra petita diungkapkan
oleh Hakim PA Jakarta Utara, Fait Hasibuan53 dan Atho Muhzhar. Atho Muhzhar,
menyatakan tugas MK adalah menguji UU atau peraturan lainnya untuk dilakukan
judicial review apakah bertentangan dengan UUD 1945 atau tidak. Ketika tidak
sesuai maka pasal-pasal yang diuji materikan akan dibatalkan keberlakuannya dan
menunggu peraturan perundang-undangan yang baru untuk menggantikannya.
Akan tetapi dalam kasus ini MK membatalkan pasal 43 tentang hubungan
keperdataan anak di luar perkawinan dengan ayah biologisnya serta membuat
hukum baru dengan menyatakan putusan bahwa anak di luar perkawinan juga
mempunyai hubungan keberdataan dengan ayah biologisnya selama dapat
dibuktikan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain.54
Ultra petita pada dasarnya Larangan terhadap putusan ultra petita di
Indonesia terdapat dalam lingkup acara perdata. Larangan ultra petita diatur
dalam Pasal 178 ayat (2) dan (3) Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) serta
dalam Pasal 189 ayat (2) dan (3) RBg yang melarang seorang hakim memutus
53 Wawancara dengan Hakim Jakarta Utara< Fait Hasibuan, tanggal 20 Oktober 2014 54 Diskusi dengan Atho Muhzhar di PPS UIN Jakarta tgl 25 Nopember 2014
150
melebihi apa yang dituntut (petitum). Putusan yang sifatnya ultra petita dianggap
sebagai tindakan yang melampaui kewenangan lantaran hakim memutus tidak
sesuai dengan apa yang dimohon (petitum). Terhadap putusan yang dianggap
melampaui batas kewenangan, Mahkamah Agung berhak dalam tingkat kasasi
berhak membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan dari semua
lingkungan peradilan karena tidak berwenang atau melampaui batas wewenang.55
Hukum acara perdata berlaku asas hakim bersifat pasif atau hakim bersifat
menunggu. Dalam persidangan hakim tidak diperbolehkan untuk berinisiatif
melakukan perubahan atau pengurangan, sekalipun beralasan demi rasa keadilan.
Putusan tersebut tetap tidak dapat dibenarkan dalam koridor hukum acara perdata.
Putusan hakim pada dasarnya ditentukan oleh para pihak yang berperkara. Hakim
hanya menimbang hal-hal yang diajukan para pihak dan tuntutan hukum yang
didasarkan kepadanya (iudex non ultra petita atau ultra petita non
cognoscitur). Hakim hanya menentukan, adakah hal-hal yang diajukan dan
dibuktikan para pemohon atau penggugat.
Hakim yang melakukan ultra petita dianggap telah melampaui wewenang
atau ultra vires.56 Putusan tersebut harus dinyatakan cacat meskipun putusan
tersebut dilandasi oleh itikad baik maupun telah sesuai kepentingan umum.
Menurut Yahya Harahap jika hakim melanggar prinsip ultra petita maka sama
dengan pelanggaran terhadap prinsip rule of law.57
UU MK menyebutkan bahwa sumber hukum acara MK berasal dari
seluruh hukum acara yang berlaku di Indonesia. Sesungguhnya larangan ultra
petita terdapat dalam hukum acara perdata sebagaimana diatur dalam HIR dan
RBG. Hukum acara perdata sendiri merupakan cara mempertahankan hukum
perdata materil. Hukum perdata masuk ke dalam ranah hukum privat yakni hukum
yang mengatur hubungan hak dan kewajiban antara antara orang yang satu dengan
55 Lihat dalam Pasal 30 ayat (1) Undang-undang No 5 Tahun 2004. 56 Dalam Oxford Dictionary of Law disebutkan ultra vires merupakan suatu tindakan oleh
otoritas publik, perusahaan, atau badan lain yang melampaui batas-batas kekuasaan diberikan di atasnya. Ultra vires merupakan tindakan yang tidak sah. Doktrin ultra viresberlaku untuk semua kekuatan, baik yang dibuat oleh undang-undang atau dokumen pribadi atau perjanjian (seperti akta kepercayaan atau kontrak agen). Ultra virestidak tindakan yang tidak sah. Doktrin ultra viresberlaku untuk semua kekuatan, baik yang dibuat oleh undang- undang atau dokumen pribadi atau perjanjian (seperti akta kepercayaan atau kontrak agen). Ultra virestidak hanya berisi ketentuan tidak berwenang melakukan sesuatu tetapi juga jika tidak memenuhi persyaratan prosedural yang mengatur pelaksanaan kekuasaan
57 Yahya Harahap, 2005 Hukum Acara Perdata. Jakarta; Sinar Grafika, hlm. 801.
151
orang yang lain dengan menitikberatkan pada kepentingan individu. Sedangkan
jika kita menengok kembali letak keberadaan upaya pengujian (review)
merupakan upaya yang dilakukan pada ranah hukum publik yang mengikat orang
banyak
Dapat dimungkinkan hakim melakukan ultra petita, namun justru hal
tersebut menjadi sebuah ketetapan yang sejatinya merupakan penyimpangan
prosedural. Hal ini timbul apabila hakim bertindak dengan inisiatif dan alasan
serta keadaan hukum yang tepat. Bahkan jika kita cermat maka akan menemukan
fakta bahwa sejarah awal mula pengujian undang-undang oleh Marshall adalah
putusan ultra petita. Sebuah putusan dianggap ultra vires jika melebihi yurisdiksi,
bertentangan dengan persyaratan prosedural, atau mengabaikan peraturan keadilan
alam.
Berdasarkan doktrin ada tiga bentuk situasi ultra petita:58
Ultra petita : Hakim memutus sengketa lebih dari yang diminta oleh
penggugat. Hal ini bilamana dalam hal pengujian undang-undang para
pemohon mengajukan permohonan agar MK memutus membatalkan sebagian
atau pasal tertentu dalam sebuah undang-undang namun diputuskan untuk
membatalkan keseluruhan undang-undang tersebut contoh putusan ini adalah
putusan terhadap UU Ketenagalistrikan
Citra petita: Hakim memutus perkara berbeda dari yang apa yang diminta
oleh pemohon. Jika digambarkan maka hakim tidak mengabulkan gugatan
sama sekali perkara pengujian undang-undang karena apa yang diputus sama
sekali tidak dimintakan atau dikehendaki dalam batin pemohon.
Infra petita: Hakim memutus kurang atau lebih rendah dari apa yang
dimohonkan oleh para pihak. Menjadi kewenangan hakim untuk memutus
sebuah perkara. Namun hakim terkadang memutuskan permohonan lebih
rendah dari apa yang diminta. Jika dimisalkan dalam pengujian undang-
undang para pihak menghendaki pasal dalam jumlah tertentu direview dan
58 Ultra Petita” http:://es.wikipedia.org/wiki/Ultra_petita
152
dinyatakan tidak konstitusional dan dianggap tidak ada. Namun Hakim hanya
memutus dengan angka di bawah permohonan para pihak.
Ultra petita menjadi kontroversial di masyarakat disebabkan dalam
ketentuan peraturan sendiri tidak ditentukan. Pendapat menentang karena belum
ditegaskan dalam UU, menurut Moh. Mahfud MD yang menyatakan: “Sebenarnya
kedua pihak yang berhadapan dalam kontroversi itu hanya mendasarkan
pandangan dan argumennya menurut logika pilihannya sendiri, bukan menurut
UU. UU tentang MK sama sekali tidak menyebutkan apakah putusan ultra petita
itu dibolehkan atau tidak.” Dan pada bagian lain menyebutkan: “Dalam hukum,
banyak segi yang tidak menyekat secara mutlaq berlakunya sesuatu hanya dalam
satu bidang hukum tertentu. Bisa saja, apa yang berlaku dalam satu bidang hukum
diberlakukan juga dalam bidang hukum lain asal diatur dalam UU.”59
Advokat Adnan Buyung Nasution tidak kalah memprotes, yaitu: “Arah
kedua tentang berbagai keputusan MK yang ultra petita dan extra kontroversial
menjadi pertanyaan siapa yang berhak melakukan koreksi terhadap putusan MK
yang begitu arogan dan ambisius, melanggar doktrin dan tradisi hukum bahwa
pengadilan di manapun dalam sistem negara hukum yang demokratis adalah tabu
memberikan keputusan yang melebihi apa yang diminta ataupun dituntut, kecuali
ada dasar-dasar hukum, moral, dan etika seperti dilakukan Prof. Asikin
Kusumahatmadja...”. 60
UUD 1945 sendiri beserta amandemen hanya mengatur ketentuan pokok
yakni kedudukan dan kewenangannya, sedangkan mengenai hukum acara serta
ketentuan lainnya tentang MK didelegasikan kepada UU. Hukum acara yang
diatur dalam UU No. 24/2003 hanya memuat ketentuan umum beracara dan
aturan khusus sesuai karakter masing-masing perkara. Ultra petita tidak
digariskan boleh tidaknya dalam UU, namun ketentuan Pasal 86 UU MK memberi
59 Moh Mahfud MD, “Mendudukkan soal Ultra Petita”, Kompas, 5 Pebruari 2007.
UUD 1945 terdiri dari atas Pembukaan dan pasal-pasal (Pasal II Aturan Tambahan Perubahan Keempat), Lihat, R. Subekti, Pembinaan Hukum Nasional, (Bandung: Alumni, 1981), hlm. 33-35., Ismail Suny, Pembagian Kekuasaan Negara Suatu Penyelidikan dalam Hukum Tatanegara Inggris, Amerika Serikat, Uni Soviet dan Indonesia, (Jakarta: Aksara Baru, 1985), hlm. 20.
60 Adnan Buyung Nasution, “Quo Vadis Hukum dan Peradilan di Indonesia”, Kompas, 22 Desember 2006.
153
ruang bagi MK untuk mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi
kelancaran tugas dan wewenangnya.
Peraturan MK No. 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam
Perkara Pengujian Undang-Undang secara expressis verbis tidak menentukan soal
ultra ultra petita. Ketentuan larangan memutus melebihi apa yang dituntut
(petitum) hanya dapat ditemukan dalam Pasal 178 ayat (2) dan (3) Het Herziene
Indonesisch Reglement (HIR) serta padanannya dalam Pasal 189 ayat (2) dan (3)
RBg, yang merupakan hukum acara di pengadilan perdata di Indonesia.
Persolannya apakah HIR berlaku bagi MK sebagai hukum acaranya?
Sesuai uraian kedudukan MK di atas sebagai penafsir tunggal dalam
kekuasaan mengadili. Perbedaan MK dengan MA dalam pengujian konstitusional
(constitutional review) batu ujinya adalah UUD (Pasal 24C ayat (1) UUD 1945
Perubahan Ketiga dan Pasal 45 ayat (1) UU MK).[11] Sedangkan MA dalam
pengujian peraturan di bawah UU batu ujinya adalah UU (Pasal 24A ayat (1)
UUD 1945 Perubahan Ketiga). Perbedaan batu uji dalam mengadili sehingga MA
disebut the guardian of the law, serta pengujiannya terbatas legalitas peraturan
(judicial review of legality of regulation).
Dengan demikian pendapat yang menyatakan MK tunduk kepada HIR
justru merendahkan kedudukan MK yang di jamin konstitusi fungsinya menguji
konstitusionalitas UU berdasarkan hukum acaranya sendiri. Terlebih lagi HIR,
adalah produk kolonial sebagai hukum acara perdata di pengadilan yang berbeda.
Lagipula MA ditegaskan kewenangannya hanya menguji peraturan di bawah UU,
praktiknya dengan dasar urgensi dan kebutuhan yang mendesak dalam mengadili
“menyingkirkan” atau “mengesampingkan” terhadap ketentuan perundangan-
undangan dalam bentuk wet baik ketentuan BW maupun HIR.61
MK harus dipahami bukan sebagaimana peradilan khusus pada umumnya
di lingkungan peradilan umum yang tunduk pada ketentuan tersendiri. Akan tetapi
MK sejajar dengan MA sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka. Di
lingkungan peradilan umum dengan peradilan perdata dan peradilan pidana saja
61 UUD 1945 terdiri dari atas Pembukaan dan pasal-pasal (Pasal II Aturan Tambahan
Perubahan Keempat) Lihat, R. Subekti, Pembinaan Hukum Nasional, (Bandung: Alumni, 1981), hlm. 33-35. Ismail Suny, Pembagian Kekuasaan Negara Suatu Penyelidikan dalam Hukum Tatanegara Inggris, Amerika Serikat, Uni Soviet dan Indonesia, (Jakarta: Aksara Baru, 1985), hlm. 20.
154
perbedaannya banyak yaitu mengenai pelaksanaan, penuntutan, alat-alat bukti,
penarikan kembali perkara, kedudukan para pihak, dasar keputusan hakim,
macam-macam hukuman dan lain sebagainya. Perbedaan asas-asas hukum dan
karakter mempengaruhi bagaimana cara-cara mempertahankan hukumnya. Begitu
juga MK menggunakan asas hukum acara lain dibenarkan sepanjang dibenarkan
hukum dan sesuai fungsi pengujian itu sendiri sebagaimana pembahasan di bawah
nanti membedakan sifat hukum, asas-asas dan karakter tersendiri.
Pasal 16 UU No. 4 Tahun 2004 menentukan semua pengadilan termasuk
MK di larang menolak perkara karena hukumnya tidak ada atau kurang jelas,
melainkan hakim wajib memeriksa dan mengadilinya. Seperti ketentuan
sebelumnya, bahkan Pasal 22 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor
Indonesia (AB) yang copy Pasal 13 AB Belanda, seorang hakim yang menolak
melakukan pengadilan dengan dalih tidak ada undang-undang, undang-undang tak
jelas atau tak lengkap, dapat dituntut karena keengganan mengadili. Pada
dasarnya asas ini timbul karena anggapan UU pasti lengkap dan jelas yang pasti
tidak terjadi.
Dengan demikian hakim di larang menolak perkara. Hakim diwajibkan
menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang
hidup dalam masyarakat (Pasal 28 UU No. 4 Tahun 2004). Mengadili menurut
hukum sesuai negara hukum, bukan hanya peraturan tertulis akan tetapi hukum
tidak tertulis. Artinya hakim tidak hanya “corong UU”, kalaupun sebagai mulut
UU karena kebebasannya menemukan hukum (rechtsvinding) yang dianggap adil.
Dalam tugas penerapan hukum, hakim harus menemukan hukum, jika tidak
menemukan dari hukum tertulis harus mencari dari hukum tidak tertulis dari nilai-
nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di masyarakat. Dalam rangka penemuan
hukum oleh hakim termasuk hakim konstitusi adalah subyek penemuan hukum
yang utama.
155
BAB V PENUTUP
A. KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan dalam bab-bab sebelumnya peneliti menyimpulkan:
1. Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 yang diucapkan tanggal 17 Februari 2012, ternyata
disikapi dan ditafsirkan Hakim PA dan PTA di wilayah provinsi DKI Jakarta dan
provinsi Banten dengan pandangan yang beragam. Pandangan para Hakim PA dan PTA
tersebut, bisa dikelompokkan menjadi tiga kategori, sebagai berikut: Pertama, Hakim
PA dan PTA yang menerima putusan MKNo. 46/PUU-VIII/2010 tersebut dalam
struktur kekuasaan lembaga Peradilan, di mana putusannya bersifat final dan binding.
Kedua, Hakim PA dan PTA yang menerima putusan MK No. 46/PUU-
VIII/2010tersebut dengan catatan. Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 tersebut
ditafsirkandan dipahami dalam kontek nikah sirri yang syarat dan rukunnya telah
memenuhi ketentuan agama (syar’i) sesuai ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1), UU
Perkawinan tahun 1974 dan bukan dipahami untuk kawin “kumpul kebo”. Ketiga,
Hakim PA dan PTA yang menolak putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010tersebut karena
putusan tersebut dinilai akan membuka peluang legalisasi zina. Para Hakim PA dan
PTA tersebut kemudian memilih untuk menggunakan hak diskresi Hakim atau prinsip
contra legem dalam implementasinya.
Menurut hakim yang menerima putusan MK berpendapat bahwa cakupan putusan
tersebut termasuk untuk anak zina dan bukan sebatas anak hasil kawin sirri yang legal
secara hukum agama. Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 itu menurut beliau,
mencakup seluruh anak luar kawin termasuk anak zina. Anak zina perlu dipenuhi hak
asasinya, tidak boleh dikucilkan, atau mendapatkan sanksi social dari masyarakat. Dia
terlahir bukan karena keinginannya tetapi akibat pelanggaran norma yang dilakukan ke
dua orang tuanya. Dengan demikian, argumentasi di balik putusan MK No. 46/PUU-
VIII/2010 tidak lain merupakan bagian dari upaya untuk melindungi hak asasi anak
sebagaimana dirumuskan dalam deklarasi (HAM). Bahkan sikap semacam ini kalau
mau dikaji lebih mendalam, sejalan dengan tujuan hukum Islam (maqâshid al-Syarî’ah),
156
yakni menjaga nyawa (hifdz al-nafs) yang dalam hal ini adalah hak hidup anak tanpa
ada tekanan dan diskriminasi dari pihak manapun. Apalagi dalam pandangan mazhab
fikih, terdapat pendapat mazhab Hanafi yang membolehkan penitsbatan anak zina
kepada ayah biologisnya, terutama ketika diyakini si ayah itu merupakan satu-satunya
orang yang menzinahi ibu si anak. Sedangkan kelompok hakim kedua menerima
putusan tersebut dengan tafsiran bahwa ataan cakupan putusan tersebut hanya terbatas
pada perkawinan siri saja, yakni perkawinan yang sah menurut agama sesusai ketentuan
pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan. Kelompok hakim ketiga menyatakan ketidaksetujuan
dan yang dimaksud dalam putusan MK tersebut adalah anak hasil perzinahan. Sehingga
putusan MK tersebut dipahami sebagai bentuk legalisasi zina.
2. Hakim menerima putusan MK berpendapat bahwa putusan MK yang menetapkan
hubungan keperdataan dengan ayah bilogisnya secara otomatis bersifat mengikat
sehingga dalam penerapannya bisa otomatis diterapkan karena ketentuan pasal 43 sudah
tidak berlaku. Sedangkan hakim yang menafsirkan bahwa maksud “anak luar kawin”
adalah anak hasil nikah siri bahwa putusan MK tersebut diterapkan dengan terlebih
dahulu disahkannya isbat nikah terlebih dahulu. Bila tidak mungkin dilakukan isbat
nikah karena ada halangan perkawinan maka putusan MK baru bisa diterapkan.
Sedangkan hakim yang menolak atau tidak setuju dengan putusan MK menyebut “hak
diskresi” hakim dalam memutuskan perkara tidak secara an sich dalam menerapkan
undang-undang, sehingga bisa saja hakim membuat putusan yang berbeda dengan
putusan MK, meskipun dapat menerima bahwa putusan MK bersifat final dan binding.
Prosedur sama dengan pendapat kedua anak di luar kawin baru akan mendapat
hubungan keperdataan dengan ayah biologisnya setelah perkawinan kedua orangtunya
diisbatkan Pengadilan. Pola pikir semacam ini karena ketentuan pasal 2 ayat (1) dan (2)
dipahami keduanya tidak terpisahkan.
B. SARAN/REKOMENDASI
1. Dengan dibacakannya Putusan MK Nomor 06/PUU-VIII/2010, maka seharusnya
pemerintah dan legislatif UU Perkawinan dan KHI harus disempurnakan agar terjadi
157
kepastian hukum mengenai hubungan keperdataan anak luar kawin dengan ayah
biologisnya.
2. Perlu diadakan penelitian yang lebih luas terhadap pandangan hakim agama secara
lebih luas dan reaksi para pemuka agama terhadap putusan MK.
3. Perlu diinventarisasikan perkara yang sejenis dan perlu dikaji pula variasi putusan
hakim agama.
109
DAFTAR PUSTAKA
Asqalani Ibn Hajar al-, Fath al-Bari, (Beirut: Dar al-Ma’rifah), juz X
Asshiddiqie, Jimly, “Kedudukan Mahkamah Konstitusi Dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia”, Makalah dipresentasikan dalam Kuliah Umum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Kamis, 2 September, 2004. Diakses dari www.jimlyasshiddiqie.com
Baihaqî, al-, Abû Bakr Ahmad bin al-Husein, Sunan al-Baihaqi al-Kubrâ, (Makah: Maktabah Dâr al-Baz, 1994), Editor: Muhammad Abdul Qâdir 'Atha. juz ke-7, hal. 443.
Bakr al-, Ianah al-Thalibin (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), Bukhârî, Abû Abdillah Muhammad bin Isma’il al-, al-Bukhâri bi Hasyiah
al-Sindy, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1995), juz ke-16. Chatib, Rasyid, “Anak Lahir Diluar Nikah (Secara Hukum) Berbeda
Dengan Anak Hasil Zina Kajian Yuridis Terhadap Putusan MK NO. 46/PUU-VII/2012”, Makalah disampaikan dalam Seminar Status Anak di Luar Nikah dan Hak Keperdataan lainnya, pada tanggal 10 April 2012, di IAIN Walisongo Semarang.
Dawud, Abu, Sunan Abi Dawud, (Beirut: Dar al-Fikr, 2001), jus ke-6 Emilda Kuspraningrum, Kedudukan dan Perlindungan Anak Luar Kawin, Ensiklopedi Hukum Islam, Nasab, Editor Abdul Azis Dahlan, (Jakarta:
Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), cet.ke-1, jilid ke-4. Erman Rajagukguk, “Ilmu Hukum Indonesia: Pluralisme”, h. 5. Makalah
disampaikan pada Diskusi Panel dalam rangka Dies Natalis IAIN Sunan Gunung Djati, Bandung, ke-37, 2 April 2005.
Euis Nurlaelawati, Modernization, Tradition and Identity: The Kompilasi Hukum Islam and Legal Practice in the Indonesian Religious Courts, (Amsterdam: Amsterdam University Press, 2010).
Fuad Thohari, Tafsir Ilmi, Materi Pembekalan LDII, di Jakarta;
Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Translated by Anders Wedberg, New York: Russell & Russell, 1961.
Himpunan Fatwa MUI, (Jakarta: Erlangga, 2011 Husein, Abdullah Ali, Muqarranah Tasyri’iyah Min Al Qawanin Al-
Wad’iyyah Wa Tasyri’il Islam Muqaranatan Bainil Fiqhil Qanuniyah Faransiy Wa Mazhabi Al-Imam Malik, (Kairo¨ Darul Ihya al-Kutub Arabiyah, 1997),
110
Ibn Hanbal, Ahmad Abdullah al-Syaibani, Musnad al-Imâm Ahmad bin Hanbal, (Kairo: Muassasah Qurthubah, tth). juz ke-6.
Ibn Jarir al-Thabari, Tafsir al-Thabari, (Beirut: Dar al-Fikr, 2000), juz ke-21.
Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, (Beirut: Dâr al-Fikr, tth.), editor: Muhammad Fuad Abdul Baqi, jus ke-8,.
Ibn Taimiyah, al-Fatâwâ al-Kubra, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th), h. 273-274.
Ibn Taymiyah, al-Fatwa al-Kubra, (Ttp: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1987), jus ke-3.
Ibn Taymiyah, Majmu’ Fatwa, (Madinah: Majma’ Malik Fahd, 1995), jus ke-32.
Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 (Kompilasi Hukum Islam).
Jimly Asshiddiqy, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Cetakan Pertama, Jakarta: Konsatitusi Press, 2005
Jurjani al-, al-Ta’rifat, juz ke-1 Khallaf, Abdul Wahhab al-, Ahkam al-Ahwal al-Syahshiyyah fi al-Syari’ah
al-Islamiyah, (Mesir:Dar al-Kutub al-Mishriyah, 1938). Manan, Abdul, Aneka Permasalahan Hukum Perdata Islam, (Jakarta:
Kencana, 2008),.
Manzhȗr, Ibn al-, Lisân al-Arab, (Mesir: Dâr al-Ma‘ârif, t.th.), juz 13 Mawardi Abu al Hasan Ali bin Muhammad al-Bashri al-Baghdadi al-, al-
Nukat wa al-‘Uyun, (Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyah, tth.,), juz ke-3.
Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqh Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2007), hal. 388-389.
Nasâ’î, Ahmad bin Syu'aib Abû Abdirrahman al-, Sunan al-Nasa’i, (Halb: Dâr al-Wa'yi, 1396), editor: Mahmud Ibrahim Zaid, juz ke-11,
Nawawi, Abu Zakariya Yahya bin Syaraf al-, Raudlat al-Thalibin wa ‘Umdat al-Muftin, (Beirut: Dar al-Fikr, tth.), juz ke-3
Pound, Roscou, Pengantar Filsafat Hukum: Buku III. Penerjemah Moh. Radjab, (Jakarta: Bharata, 1963).
Qal’aji, Muhammad Rawwas, Mu’jam Lughat al-Fuqaha’, (Beirut: Dar al-Nafais, 1998), cet.ke-2,
Qurtuby al-, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, (Mesir: Dar al-Kutub al-Mishriyah, 1964), juz ke-xiii,.
Qusyairi, Muslim bin Hajjaj Abu Al-Husain al-, Shahih Muslim, (Beirut: Dar Ihya’ Turas al-Arabi, tth). juz ke-7.
111
Qusyairi,Muslim bin Hajjaj Abu Al-Husain al-, Shahih Muslim, (Beirut: Dar Ihya’ Turas al-Arabi, tth). juz ke-7.
Ratno Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekular. Jakarta: Alvabet. Salim, Arskal, “Dynamic Legal Pluralism in Modern Indonesia: “The State
and the Sharia (Court) in the Changing Constellations of Aceh””, First International Conference of Aceh and Indian Ocean Studies, 24-27 February 2007. Diakses dari http://www.ari.nus.edu.sg/ docs%5CAceh-project%5Cfull-papers%5Caceh_fp_ arskalsalim.pdf
Sarkhasy, al-Mabsut, (Beirut:Dar al-Fikr, tth.), jus ke-20 Shabuni Ali al-, al-Tibyan fi Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, 1998). Shabuni, Muhammad Ali al- Pembagian Waris Menurut Islam terj. AM.
Basalamah (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), Shan’ani al-,Nail al-Authar, (Beirut: Dar al-Jail),. Shawi, Abu al-‘Abbas Ahmad bin Muhammad al-, Hasyiah al-Shawi ‘ala
Syarh al-Shaghir, (Mesir: Dar al-Ma’arif, 2001), jus ke-8. Sumadi, Ahmad Fadlil, “Mahkamah Konstitusi dan Putusan Judicial
Review UU Perkawinan”, Makalah, tidak diterbitkan,. Syamsul Anwar dan Isak Munawar, ”Nasab Anak di Luar Perkawinan
Paska Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-IIIV/2010 Tanggal 20 Februari 2010 Menurut Teori Fikih dan Perundang-undangan”.
Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Figh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, Jakarta: Kencana, 2007
Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, (Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyah, t.t), jus ke-2, hal. 12-23.
Taufiki, Muhammad, Konsep Nasab, Istilhaq, dan Hak Perdata Anak Luar NIkah, (Ahkam: Jurnal Ilmu Syari’ah, Vol XII, No. 2 Juli 2012).
Udin, Jurnalis dalam Laporan Penelitian “Khitan Perempuan dalam Perspektif Agama, Gender, dan Kesehatan.”2008.
Zaidan, Abdul Karim, Al-Mufasshal fi Ahkam al-Mar’ah (Beirut, Muassasah al-Risalah, 1413 H/ 1993 M), cet. ke-1
Zuhaili, Wahbah al- dalam kitabnya al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu (Damsyik: Dar al-Fikr, 2009), juz ke-7.
112
Fatwa MUI Nomor: 11 Tahun 2012 Tentang Kedudukan Anak Hasil Zina dan Perlakuan Terhadapnya
Witanto, D.Y, Hukum Keluarga: Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca Keluarnya Putusan MK tentang Uji Materi UU Perkawinan, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2012
Wawancara dengan Edi Riadi, hakim PTA sekaligus Wakil Ketua PTA Jakarta pada tanggal 17 September 2014 pukul 13.00.
Wawancara dengan hakim PA Jakarta Timur, tanggal 15 Oktober 2014 pukul 10.00
Wawancara dengan hakim PA Jakarta Selatan, tanggal 23 September 2014, pukul 10.00.
Wawancara dengan hakim PA Jakarta Barat , tanggal 15 Oktober 2014, pukul 15.00.
Wawancara dengan hakim PA Jakarta Utara, tanggal 20 Oktober 201, pukul 09.00
Wawancara dengan hakim PA Tigaraksa, tanggal 11 Nopember 2014, pukul 11.00.
Wawancara dengan hakim PA Tangerang, pada tanggal 27 Oktober 2014, pukul 09.00.
Wawancara dengan hakim PA Cilegon tanggal 24 Nopember 2014, pukul 09.00.