DETOKSIFIKASI GADUNG.doc

30
MAKALAH EVALUASI GIZI DALAM PENGOLAHAN PENGARUH DETOKSIFIKASI DENGAN PEMANASAN DAN PENGASAMAN TERHADAP KARKTERISTIK TEPUNG UMBI GADUNG (Dioscorea hispida Dennst.) Disusun Oleh: Linda Cahyaningrum 201210220311017 Yuliana Safitri 201210220311018 Rachmi Diah Mulandari 20121022031101

Transcript of DETOKSIFIKASI GADUNG.doc

Page 1: DETOKSIFIKASI GADUNG.doc

MAKALAH

EVALUASI GIZI DALAM PENGOLAHAN

PENGARUH DETOKSIFIKASI DENGAN PEMANASAN DAN

PENGASAMAN TERHADAP KARKTERISTIK

TEPUNG UMBI GADUNG (Dioscorea hispida Dennst.)

Disusun Oleh:

Linda Cahyaningrum 201210220311017

Yuliana Safitri 201210220311018

Rachmi Diah Mulandari 20121022031101

ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN

FAKULTAS PERTANIAN DAN PETERNAKAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2015

Page 2: DETOKSIFIKASI GADUNG.doc

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dewasa ini, di Indonesia gandum telah menjadi sumber makanan pokok ke

dua setelah beras. Berdasarkan data APTINDO, konsumsi tepung gandum di

Indonesia mencapai 1,22 juta ton pada kuartal I/2012 meningkat sebesar

5,61%dibandingkan dengan kuartal I/2011 sebesar 1,15 juta ton. Tingginya

kebutuhan gandum Indonesia ini menyebabkan perlunya pemanfaatan sumber

pangan lokal yang lebih optimal untuk dapat mengurangi impor gandum. Sumber

pangan lokal yang berpotensi untuk diangkat menjadi pangan pensubstitusi tepung

terigu adalah umbi gadung yang dapat diolah menjadi tepung umbi gadung.

Tanaman gadung adalah tanaman umbi-umbian yang termasuk kedalam golongan

sumber pangan dan belum banyak dikenal oleh masyarakat luas. Masyarakat lebih

mengenal gadung setelah diolah dalam bentuk keripik, padahal gadung sebagai

salah satu komoditas mempunyai prospek cukup baik. Hal ini dikarenakan teknik

budidaya gadung tidak memerlukan pemeliharaan yang rumit dan dapat tumbuh di

mana saja.

Gadung (Dioscore hispida dennst) mengandung karbohidrat yang cukup

tinggi. Oleh karenanya, gadung sering dimanfaaatkan untuk diolah menjadi

tepung sebagai bahan dasar pembuatan kerupuk. Sebagai sumber karbohidrat,

produk olahan gadung sangat berpotensi untuk dikembangkan dan dikonsumsi.

Pemanfaatan umbi gadung terkendala akan kandungan senyawa toksik berupa

senyawa alkaloid (dioscorin) yang dapat menimbulkan keracunan pada manusia.

Jadi, upaya pengembangan dan produksi tepung gadung perlu mereduksi senyawa

toksik dalam umbi gadung. Melihat besarnya potensi kandungan karbohidrat pada

umbi gadung, maka perlu dikembangkan teknologi produksi tepung gadung

dengan mengurangi komponen senyawa toksik yang terkandung didalamnya

melalui teknik ekstraksi yang sesuai.

Salah satu upaya mereduksi senyawa dioscorin yang telah ada adalah

metode rumphius. Namun demikian, metode konvensional ini hanya mampu

mereduksi senyawa racun relatif rendah. Reduksi senyawa toksik untuk produksi

Page 3: DETOKSIFIKASI GADUNG.doc

tepung gadung juga telah dilakukan dengan menggunakan ekstraksi konvensional

(Handayani, dkk., 2006). Akan tetapi, produk tepung gadung yang dihasilkan

belum sepenuhnya terbebas dari senyawa dioscorin. Hal ini terjadi karena

dioscorin merupakan zat terlarut yang dikelilingi oleh matriks bahan yang tidak

terlarut, sehingga laju perpindahan massanya ke fasa pelarut relatif rendah. Selain

itu, ekstraksi dengan pemanasan konvensional bergantung pada fenomena

konveksi dan konduksi, akibatnya sebagian besar panas, hilang ke lingkungan.

Oleh karena itu, perlu dikembangkan cara pembuatan tepung gadung yang bebas

dari senyawa racun ikutan sehingga tanaman gadung yang terdapat dalam jumlah

banyak di Indonesia dapat dimanfaatkan secara maksimal dan tidak menimbulkan

dampak negatif.

1.2 Tujuan

1. Mengetahui cara detoksifikasi pada umbi gadung

2. Mengetahui kandungan dan manfaat umbi gandung

3. Mengetahui cara pembuatan tepung gadung

1.3 Manfaat

Manfaat dari pembuatan makalah ini yaitu pembaca dapat

mengakplikasikan cara untuk penghilangan racun dalam umbi gadung

sehingga dapat dilakukan pengolahan lanjutan yang lebih optimal.

Page 4: DETOKSIFIKASI GADUNG.doc

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Karakteristik Gadung

Klasifikasi tanaman gandum adalah sebagai berikut:

Kerajaan : Plantae

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Liliopsida

Ordo : Dioscoreales

Famili : Dioscoreaceae

Genus : Dioscorea

Spesies : D. hispida

Nama binomial : Dioscorea hispida Dennst.

Umbi gadung adalah golongan tanaman tropis, tersebar di berbagai negara

terutama di dataran India sampai ke Asia Tenggara. Beberapa sumber menyatakan

bahwa tanaman gadung berasal dari India dan China Selatan kemudian menyebar

ke Asia Tenggara dan Papua New Guinea. Akibat penyebaran itu, maka di

beberapa negara tanaman ini terdapat dalam jumlah signifikan dengan sebutan

yang berbedabeda. Di Indonesia, tanaman ini juga memiliki beberapa sebutan,

antara lain sikapa (Bali dan Sulawesi) dan undo (Ambon). Di Malaysia, gadung

dikenal dengan ubi arak atau gadong mabok. Di Filipina, gadung dikenal dengan

nami (Tagalok), gayos (umum) dan karot (Ilokana). Di Burma gadung disebut

kywe dan di Thailand dikenal dengan nama kloi (Pambayun, 2007).

Suhu yang diperlukan untuk tumbuh dan menghasilkan umbi yang baik

adalah diantara 20-30C. Diatas suhu 30C, gadung akan tumbuh merana apalagi

ditambah dengan keadaan udara yang kering. Walaupun umumnya gadung tahan

terhadap kekeringan tanaman ini membutuhkan kelembaban yang cukup selama

masa pertumbuhan dan ada kolerasi positif antara curah hujan, perumbuhan

merambat, dan hasil umbinya. Untuk mendapatkan panen yang optimum,

kelembaban yang cukup pada umur 14-20 minggu setelah tanam adalah sangat

penting. Daerah penghasil utama gadung biasanya memiliki musim kemarau

Page 5: DETOKSIFIKASI GADUNG.doc

selama 2-5 bulan dan bercurah hujan 1 150 mm/th atau lebih. Pada derah dengan

curah hujan rendah di bawah 1 000 mm/th akan menghasilkan panen umbi yang

sedikit dan tidak menghasilkan biji. Tahap kritis tanaman ini terjadi dari minggu

ke 14 sampai ke 20 dan masa pertumbuhan ketika cadangan makanan hampir

habis dan tajuk sedang mempercepat pertumbuhannya sebelum umbi terbentuk

(Koswara, 2009).

Gadung biasanya dibudidayakan pada dataran rendah dan sedang yaitu

kurang dari 900 m dpl serta hutan tropis. Sedangkan keadaan tanah yang

dikehendaki adalah tanah dengan drainase baik, remah, dalam, struktur liat

berpasir dan tidak tahan terhadap penggenangan (water logging). Pada tanah-

tanah yang berat atau mengandung liat banyak, umbi yang dihasilkan dapat

menjadi cacat atau rusak seperti gada (mengeras). Sementara pada tanah yang

gersang sistem perakaran tidak mampu mendapatkan cukup air atau zat-zat

makanan untuk tumbuh secara normal.

Gadung (Dioscorea hispida Dennst., suku gadung-gadungan atau

Dioscoreaceae) tergolong tanaman umbi-umbian yang cukup populer walaupun

kurang mendapat perhatian. Gadung menghasilkan umbi yang dapat dimakan,

namun mengandung racun yang dapat mengakibatkan pusing dan muntah apabila

kurang benar pengolahannya. Gadung tumbuh baik di Indonesia dan banyak

dimanfaatkan oleh penduduk untuk diolah menjadi berbagai jenis makanan seperti

keripik. Saat ini banyak dikembangkan teknologi untuk pemanfaatan gadung

menjadi tepung sebagai substitusi gandum.

Pada beberapa golongan umbiumbian seperti pada ubi kayu terdapat

senyawa glukosida sianogenik yaitu linamarin, senyawa ini akan dirombak oleh

enzim endogenus yaitu linamarase menjadi sianida bebas jika umbi mengalami

perusakan jaringan. Pada umbi gadung terdapat juga senyawa glukosida

sianogenik yang merupakan prekursor sianida dan beberapa golongan enzim

endogenus seperti β-glukosidase, liase, dan oxinitrilase. Enzim β- glukosidase

pada berbagai umbi-umbian mempunyai kisaran pH optimum pada pH 4 sampai 6

dan suhu antara 400C-500C. Apabila umbi gadung mengalami perusakan jaringan

karena proses pengirisan atau penghancuran maka akan terjadi kontak antara

substrat dengan enzim endogenus yang menyebabkan substrat mengalami

Page 6: DETOKSIFIKASI GADUNG.doc

perombakan menjadi senyawa sianida bebas yang mudah menguap dan larut

dalam air (Syafi’I, 2009).

2.2 Kandungan dan Pemanfaatan Umbi Gadung

Kandungan kimia yang terdapat pada umbi gadung tidak jauh berbeda

dengan beberapa jenis umbi yang lain seperti ganyong, ubi jalar dan gembili.

Menurut Sumunar (2015) umbi gadung merupakan salah satu sumber pangan

berkarbohidrat tinggi. Gadung dapat memenuhi kebutuhan energi tubuh.

Karbohidrat dalam gadung didominasi oleh pati. Selain memiliki kandungan

karbohidrat juga mengandung racun sianida yang dapat menyebabkan keracunan

dan mematikan. Sehingga perlu dilakukan beberapa proses untuk menghilangkan

kandungan residu HCN atau meminimalkannya sehingga umbi gadung menjadi

aman dan layak untuk dikonsumsi. Kandungan sianida 50 ppm bahan masih aman

untuk dikonsumsi.

Umbi gadung mengandung karbohidrat, lemak, serat kasar dan abu lebih

rendah dibandingkan dengan ketela pohon. Kandungan air dan protein umbi

gadung lebih tinggi dibandingkan ketela pohon. Umbi gadung mengandung

phosphor (P2O5) sebanyak 0,09%, Kalsium (CaO) 0,07% dan Besi (Fe2O3)

0,003%. Umbi gadung mengandung alkaloid dioscorin yang bersifat racun dan

dioscorin yang tidak beracun. Alkaloid juga dijumpai pada dioscorea lainnya. Di

samping itu umbi gadung juga mengandung sejumlah saponin yang sebagian

besar berupa dioscin yang bersifat racun. Umbi yang dibiarkan tua warnanya akan

bberubah menjadi hijau dan kadar racunnya akan bertambah. Efek keracunan

gadung mula-mula terasa tidak enak pada kerongkongan, pening, kemudian

muntah darah, terasa tercekik dan kepayahan (Muchtadi, 2010).

Page 7: DETOKSIFIKASI GADUNG.doc

Tabel 1. Komposisi Kimia Umbi gadung

Komponen Persen

Air 78,00

Karbohidrat 18,00

Lemak 0,16

Protein 1,81

Serat kasar 0,93

Kadar abu 0,69

Diosgenin 1,20-0,70 (db)

Dioscorin 0,044 (db)

Sumber: Muchtadi (2010)

Tabel 2. Karakteristik Umbi Gadung

Sumber: aSuismono (1998) dan bSibuea (2002)

Lembaga Biologi Nasional (1979) menyatakan, gadung dapat dikonsumsi

sebagai makanan kecil, seperti keripik, yang banyak diperjualbelikan di daerah

kuningan (Jawa Barat). Di beberapa daerah di Indonesia bagian timur, pada

musim paceklik umbi gadung dimanfaatkan untuk bahan pangan. Selain sebagai

makanan, umbi dapat digunakan untuk berburu yaitu sebagai umpan beracun bagi

binatang buruan atau diambil racunnya (alkaloid dioscorine) untuk membunuh

hewan tertentu seperti ikan atau dioleskan pada mata anak panah. Kegunaan

lainnya di bidang pertanian adalah sebagai insektisida. Getah gadung dapat

digunakan dalam proses pembuatan tali rami serta untuk memutihkan pakaian.

Bunga gadung yang kuning berbau harum yang berpotensi sebagai bahan baku

pembuatan parfum atau kosmetika. Masyarakat Bali biasa menggunakan bunga

gadung untuk mengharumkan pakaian, rambut, dan kepala (Koswara, 2009).

Page 8: DETOKSIFIKASI GADUNG.doc

2.3 Metode Detoksifikasi Racun Umbi Gadung

Adanya racun dalam umbi gadung sudah sejak lama diketahui. Karena

sifat tersebut umbi gadung banyak dipakai sebagai racun ikan, tikus dan

insektisida alami. Sedangkan jika diolah sebagai bahan makanan umbi gadung

dihilangkan dahulu racunnya. Dalam umbi gadung terkandung senyawa alkaloid

dioskorin yang bersifat racun dan diosgenin yang tidak beracun. Juga dalam umbi

gadung terkandung saponin berupa dioscin yang bersifat racun. Umbi yang tua

jika dibiarkan terus akan berwarna menjadi hijau dan kadar racunnya meningkat.

Disamping golongan alkaloid, dalam gadung juga terkandung senyawa sianida

yang beracun. Gejala-gajala keracunan yang timbul akibat mengkonsumsi gadung

malproses disebut keracunan gadung, antara lain adanya rasa tidak enak di

kerongkongan kemudian dilanjutkan dengan pusing/pening, lemas dan muntah-

muntah.

Menurt Koswara (2009), karena gadung mengandung senyawa beracun,

maka penghilangan racun mutlak diperlukan sebelum gandum diolah menjadi

berbagai bahan pangan. Berikut ini diuraikan beberapa cara penghilangan racun

gadung :

1. Gadung yang sudah tua dikupas kulitnya (kupas tebal), kemudian diiris kecil-

kecil, tebalnya sekira 3 mm. Kemudian diberi abu gosok sampai semua

gadung terbungkus abu gosok, remas-remas potongan gadung yang telah

dilapisi abu gosok dan didiamkan selama 1 malam. Setelah itu, dijemur hingga

kering (biasanya selama 2 hari). Kemudian direndam oleh air mengalir selama

2 – 3 hari atau dalam air tidak mengalir yang diganti tiap 6 jam dan dilakukan

selama 3 hari. Cucu bersih, lalu jemur hingga kering lakukan penjemuran 1

hari sampai kering.

2. Umbi gadung dikupas dengan pisau yang tajam ( jangan lupa pakai sarung

tangan) setelah itu dipotong dan diris kecil-kecil dengan panjang kira-kira 5

cm. Kemudian dimasukkan kedalam wadah dan dilmuri garam yang banyak

misalnya. 1 ember gadung dilumuri garam 2 kg. Didiamkan selama semalam

atau 12 jam. Setelah itu ditempatkan pada air yang mengalir dalam wadah

yang berongga agar airnya bias keluar. Sambil diinjak-injak sampai gadung

Page 9: DETOKSIFIKASI GADUNG.doc

berwarna putih dan kalau dipegang terasa lembek.Kemudian gadung dijemur

seharian pada sinar matahari sampai kering. Gadung siap untuk dikonsumsi.

3. Pemeraman dalam garam dengan cara meletakan garam, potongan gadung,

garam dan potongan gadung, begitu seterusnya hingga ember penuh.

Kemudian diperam selama 7 hari. Selanjutnya Cuci bersih, jemur hingga

kering.

4. Penduduk Bali menghilangkan racun gadung dengan cara sebagai berikut :

Ubi gadung diiris tipis, kemudian dicampur dengan abu gosok dan dibiarkan

selama 24 hari. Selanjutnya dicuci kemudian direndam dalam air laut selama

beberapa hari, cuci dan dilakukan sekali lagi, kemudian dijemur hingga

kering.

5. Penduduk Maluku menghilangkan racun Gadung sebagai berikut : Umbi

dipotong kecil-kecil, digosok dengan tangan atau kaki dalam air laut,

direndam 2-3 hari dalam air laut, kemudian direndam kembali

6. Pada pembuatan pati gadung : penghilangan racun gadung dilakukan dengan

perendaman irisan umbi gadung dalam larutan garam 3 % selama 24 jam

kemudian dilanjutkan dengan perendaman patinya dalam larutan garam 9%

selama 24 jam.

7. Perendaman umbi gadung yang telah dipotong kecil-kecil dalam latutan garam

15 % selama 5 – 7 hari dilanjutkan dengan pencucian dalam air mengalir.

Selanjutnya dijemur sampai kering.

2.4 Proses Pembuatan Tepung Umbi Gadung

Proses detoksifikasi menggunakan metode pemanasaan dan pengesaman

dilakukan sebelum gadung ditepung. Setelah gadung dibersihkan dan diparut,

amaka dilakukan pengaturan pH menggunakan asam sitrat 50% (b/v). Setelah itu

dilakukan pemanasan pada suhu 450C, dan dilakukan penetralan menggunakan

Natrium Bikarbonat hingga pH menjadi 7. Setalah itu baru dilakukan pengeringan

menggunakan oven pada suhu 600C dengan waktu 6 jam.

Page 10: DETOKSIFIKASI GADUNG.doc

Gambar 1. Diagram Alir Pembuatan Tepung Gadung yang disertai detoksifikasi

dengan pemanasan dan pengasaman

2.5 Analisa Kadar Racun Tepung Gadung

Kegiatan analisa terhadap kadar racun terhadap umbi gadug yang telah

diberi perlakuan detoksifikasi memiliki tujuan untuk mengetahui beberapa

pengaruh perlakuan terhadap tepung yang dihasilkan termasuk besar penurunan

yang dihasilkan. Hal ini penting untuk dilakukan untuk mengambil kesimpulan

apakan usaha yang dilakukan sudah mencapai tingkat keberhasilan yang

diinginkan yaitu mendapatkan kadar racun tepung gadung serendah-rendahnya.

Dan jika terdapat poin-poin yang kurang maka dapat dilakukan perbaikan.

Menurut Himpunan Mahasiswa Peduli Pangan Indonesia (2012), pada umumnya

gadung segar mengandung kadar sianida sekitar 469 ppm, namun dengan

pengolahan yang dilakukan pada gadung akan menurunkan kadar sianida dalam

bahan hingga batas yang aman untuk dikonsumsi. Kadar sianida dalam bahan

sebesar 50 ppm/seluruh bahan bahan sudah aman untuk dikonsumsi oleh manusia.

Page 11: DETOKSIFIKASI GADUNG.doc

1) Analisa Kualitatif

Analisa kualitatif kadar HCN tepung gadung adalah kegiatan untuk

mengetahui apakah dalam tepug gadung yang dimaksud mengandung

HCN atau tidak. Uji ini dilakukan hanya sebatas untuk mengetahui ada

tidaknya racun, tetapi tidak mengetahui berapa kadar yang terkandung.

Uji dilakukan dengan melarutkan 2 gram tepung gadung dalam 100

ml aquades dan disaring. Filtrat yang didapat dicukupkan menjadi 100 ml.

Pereaksi yang digunakan yaitu larutan bufer fospat 3 ml + asam pikrat 5

ml + NaOH 0,1 N 1 ml  dan di campurkan larutan gadung 100 ml.

Dipanaskan pada suhu mendidih selama 30 menit. Jika terjadi perubahan

warna dari kuning menjadi orenge positif mengandung HCN. Dan pada uji

yang dilakukan hasil menunjukkan perubahan warna yang artinya tepung

tersebut mengandung HCN (Himpunan Mahasiswa Peduli Pangan

Indonesia, 2012).

2) Analisa Kuantitatif

Berbeda dengan analisa kualitatif yang sebatas untuk mengetaui

ada tidaknya kadar racun dalam tepung gadung, analisa kuantitatif

bertujuan untuk mengetahu berapa kandungan kadar racun yang terdapat

dalam tepung gadung.

Menurut Himpunan Mahasiswa Peduli Pangan Indonesia (2012),

Uji Kuantitatif HCN tepung gadung dapat dilakukan dengan langkah-

langkah berikut:

a. Timbang 10-20gr sampel halus (20 mesh), tambah 100ml aquades

dalam labu Kjeldahl endam selama 2 jam

b. Tambah lagi 100ml aquades distilasi dengan uap (steam). Tampung

distilat dalam erlenmeyer berisi 20ml 0.02N AgNO3 dan 1ml HNO3

c. Setelah distilat mencapai 150ml àdisaring dengan krus Gooch endapan

yang mungkin ada dicuci dengan air

d. Kelebihan AgNO3 dalam distilat dititrasi dengan 0.02N K-tiosianat

dengan indikator larutan ferri

Page 12: DETOKSIFIKASI GADUNG.doc

2.6 Pengaruh Proses Pemanasan dan Pengasaman Terhadap Karakteristik

Tepung Gadung

Didalam umbi gadung terdapat senyawa racun yaitu glukosida sianogenik

yang senyawa ini bisa dihidrolisis oleh enzim β-glukosidase menjadi glikon serta

aglikon, reaksi selanjutnya aglikon dipecah melalui proses hidroksinitril oleh

enzim liase akan menjadi asam sianida bebas dan senyawa aldehid atau keton

(Syafi’i, 2009). Untuk memberikan kondisi yang tepat bagi enzim maupun

reaksi-reaksi hidrolisis senyawa racun lain maka perlu dilakukan pengaturan pH

dengan menambahkan larutan asam. Larutan asam yang ditambahkan sebaiknya

yang relatif aman dan tidak menimbulkan efek buruk bagi kesehatan. Asam sitrat

(C6H8O7) merupakan golongan asam yang aman bagi tubuh karena bias

dimetabolisme oleh tubuh sehingga banyak digunakan dalam pengendalian pH

pada makanan atau minuman ringan.

1. Kadar Air

Gambar 2. Pengaruh Pemanasan dalam Suasana Asam tehadap Kadar Air

Kadar air tepung gadung semakin menurun dengan semakin meningkatnya

lama pemanasan. Penurunan disebabkan selama pemanasan puree gadung

berlangsung terjadi pelunakan tekstur sehingga diduga ikatan antar molekul air

dengan berbagai komponen lainnya pada bahan menjadi lebih lemah atau lebih

mudah putus. Akibatnya pada saat pengeringan, air dapat dengan mudah

teruapkan. Winarno (2004) mengatakan bahwa semakin lama waktu pemanasan

maka molekul-molekul air yang terdapat pada jaringan, membran, ataupun kapiler

Page 13: DETOKSIFIKASI GADUNG.doc

pada tanaman akan mudah keluar karena dinding jaringan akan mengalami

perenggangan atau pengembangan sehingga kekuatan ikatan molekul air menurun.

2. Kadar Sianida

Kadar sianida terendah diperoleh pada perlakuan pH 5 dan lama

pemanasan 5 jam (19,948 ppm) dan tertinggi (82,350 ppm) pada pH 4 dan lama

pemanasan 1 jam. Penurunan kadar sianida diduga disebabkan kondisi pH 5

merupakan kondisi optimum enzim β-glukosidase untuk merombak senyawa

glikosida sianogenat menjadi senyawa asam sianida bebas melalui proses

hidrolisis. Asam sianida bebas yang telah terbentuk mudah dihilangkan melalui

proses pemerasan atau pengeringan karena dalam kondisi bebas asam sianida

mudah larut dan menguap. Asam sianida merupakan senyawa racun yang mudah

menguap, tidak berwarna dan sangat larut dalam air (Syafi,i, 2009).

Gambar 3. Pengaruh Pemanasan dalam Suasana Asam tehadap Kadar Sianida

3. Kadar Pati

Page 14: DETOKSIFIKASI GADUNG.doc

Gambar 4. Pengaruh Pemanasan dalam Suasana Asam tehadap Kadar Pati

Kadar pati tertinggi diperoleh pada perlakuan lama waktu pemanasan 1

jam dengan perlakuan pH 4, yaitu sebesar 70,46%. Kadar pati terendah diperoleh

dari perlakuan lama pemanasan 3 jam dan pH 5 sebesar 65,3%. Penurunan kadar

pati dengan semakin lama waktu pemanasan terjadi karena pada proses

pemanasan terjadi transfer energi panas. Akibatnya ikatan antar glukosa dalam

molekul pati akan merenggang dan dengan waktu yangsemakin lama terjadi

pemecahan pati menjadi gula-gula sederhana seperti maltosa dan glukosa (Syafi’i,

2009). Menurut Winarno (2004), pemanasan berpengaruh pada pemecahan pati

oleh beberapa enzim endogen seperti β-amilase, ά-amilase, atau fosforilase.

Semakin lama pemanasan maka semakin aktif pula enzim bekerja sehingga

semakin banyak pati yang terombak menjadi senyawa monosakarida.

4. Kadar Total Gula

Kadar total gula tertinggi (5,35 %) diperoleh pada perlakuan lama pemanasan 5

jam dengan pH bahan 5 dan terendah (4,66 %) pada perlakuan lama pemanasan 1

jam dan pH bahan 4. Kecenderungan kadar total gula tepung gadung semakin

meningkat dengan semakin meningkatnya pH bahan dan lama pemanasan.

Semakin lama pemanasan maka semakin banyak kandungan pati yang dirombak

oleh enzim α-amilase menjadi gula-gula sederhana (Syafi’i, 2009).

Page 15: DETOKSIFIKASI GADUNG.doc

Gambar 5. Pengaruh Pemanasan dalam Suasana Asam tehadap Kadar Total Gula

5. Kadar Serat

Kadar serat tertinggi diperoleh dari kombinasi perlakuan pH 5 dan lama

pemanasan 5 jam yaitu sebesar 1,85% dan terendah pada perlakuan pH 4 dan lama

pemanasan 1 jam sebesar 1,73%. Kadar serat meningkat dengan semakin lamanya

pemanasan dan meningkatnya pH bahan. Peningkatan yang terjadi diduga karena

serat merupakan zat yang dapat menyerap air serta dapat larut dalam senyawa

asam. Serat kasar mengandung sellulose, lignin dan zat-zat lain yang belum

diidentifikasi secara pasti dan sebagian besar kandungan serat akan larut pada

kondisi asam dibandingkan pada kondisi basa sehingga dalam proses akan mudah

kehilangan serat pada kondisi asam (Suharto, 1991).

Gambar 6. Pengaruh Pemanasan dalam Suasana Asam tehadap Kadar Serat

Page 16: DETOKSIFIKASI GADUNG.doc

6. Kadar Abu

Kadar abu tertinggi diperoleh dari kombinasi perlakuan pH 4 dan lama

pemanasan 1 jam yaitu sebesar 3,78% dan terendah pada perlakuan pH 5 dan lama

pemanasan 5 jam sebesar 3,66%. Penurunan kadar abu disebabkan pada perlakuan

pemanasan puree umbi gadung menyebabkan air terbebaskan semakin banyak.

Akibatnya mineralmineral larut bersama air. Menurut Suismono (1998),

penurunan kadar abu dalam bahan berbasis tepung disebabkan oleh beberapa

perlakuan selama pengolahan seperti pemerasan atau pengepresan yang

menyebabkan mineral akan keluar bersama air perasan.

Gambar 7. Pengaruh Pemanasan dalam Suasana Asam tehadap Kadar Abu

7. Daya Serap Uap Air (Higroskopisitas)

Daya serap uap air (higroskopisitas) tertinggi diperoleh dari kombinasi

perlakuan pH 5 dan lama pemanasan 5 jam yaitu sebesar 3,5% dan terendah pada

perlakuan pH 4 dan lama pemanasan 1 jam sebesar 259%. Higroskopisitas tepung

gadung semakin meningkat dengan semakin lamanya pemanasan. Peningkatan

higroskopisitas disebabkan pemanasan menyebabkan granula pati terisi oleh air

karena energi kinetik dari molekul hidrogen lebih besar sehingga terbentuk

rongga-rongga yang berisi air. Pada proses pengeringan air menguap,

mengakibatkan higroskopisitas meningkat. Menurut Winarno (2004), bila pati

terkena air dingin maka granula pati akan menyerap air dan mengalami

pembengkakan sebesar 30%, tetapi bila dipanaskan pada suhu 450-550C maka

pembengkakan sampai 60%. Pada saat dikeringkan terbentuk rongga-rongaa

Page 17: DETOKSIFIKASI GADUNG.doc

dalam granula pati yang ditinggalkan oleh molekul air. Rongga-rongga ini masih

mempunyai kemampuan untuk menyerap air dalam jumlah besar.

Gambar 8. Pengaruh Pemanasan dalam Suasana Asam Terhadap Higroskopisitas

8. Rendemen

Rendemen tertinggi diperoleh dari kombinasi perlakuan pH 4 dan lama

pemanasan 1 jam yaitu sebesar 9,9% dan terendah pada perlakuan pH 5 dan lama

pemanasan 5 jam sebesar 9,41%. Rendemen yang rendah yang dihasilkan pada

pembuatan tepung gadung disebabkan kadar air umbi sagar yang tinggi. Menurut

Suismono(1998), pada proses pembuatan tepung, perlakuan pemerasan atau

pengepresan untuk mengeluarkan air akan menurunkan rendemen yang berakibat

pada rendahnya berat tepung yang dihasilkan.

Gambar 9. Pengaruh Pemanasan dalam Suasana Asam Terhadap Rendemen

Page 18: DETOKSIFIKASI GADUNG.doc

9. Kecerahan Tepung Gadung

Nilai kecerahan (L*) tertinggi diperoleh dari kombinasi perlakuan pH 4,5 dan

lama pemanasan 3 jam yaitu sebesar 74,83 dan terendah pada perlakuan pH 4 dan

lama pemanasan 1 jam sebesar 74,1. Hasil analisa menunjukkan nilai kecerahan

tepung gadung akibat perlakuan pemanasan dan pH bahan tidak berbeda nyata,

demikian juga interaksi antara keduanya. Nilai L* menyatakan tingkat gelap

terang, dengan kisaran nilai 0–100. Nilai 0 menyatakan warna hitam atau sangat

gelap, sedangkan nilai 100 menyatakan warna putih. Hal ini disebabkan pada

perlakuan pemanasan digunakan suhu yang relatif rendah (±450C) sehingga tidak

terjadi perubahan warna tepung akibat proses pencoklatan.

Gambar 10. Pengaruh Pemanasan dalam Suasana Asam Terhadap Kecerahan

2.7 Penggunaan Tepung Gadung dalam Pembuatan Produk

Gadung yang telah diolah menjadi tepung dapat digunakan untuk bahan

baku pembuatan produk makanan. Tepug gadung dapat digunakan sebagai

pensubstitusi bahan tepung lain. Tepung gadung dapat digunakan sebagai bahan

pembuatan cookies, donat atau makanan lain yang memerlukan kadar protein

rendah. Untuk dapat dijadikan sebagai bahan tepung pengganti gandum, tepung

gadung dapat dijadikan bahan pembuatan makanan dengan dicampurkan tepung

gadung dengan perbandingan tertentu. Upaya lain untuk menjadikan tepung ini

dijadikan bahan pembuatan makanan secara luas tanpa harus banyak

menggunakan tepung gandum adalah dengan melakukan fortifikasi protein

misalnya dari protein ikan.

Page 19: DETOKSIFIKASI GADUNG.doc

Salah satu pemanfaatan tepung gadung dalam pembuatan makanan adalah

dengan mengolahnya menjadi wingko. Pembuatan makanan ini telah diteliti

Guatami (2011) yang melakukan inovasi dengan membuat wingko berbahan dasar

tepung. Berdasarkan penelitian yang diakukanny diperoleh hasil bahwa wingko

yang dibuat dari tepung gadung dengan penambahan kelapa parut untuk

mengkonsumsinya memiliki karakteristik yang hamper sama dengan wingko pada

umumnya yang terbuat dari tepung ketan.

Page 20: DETOKSIFIKASI GADUNG.doc

BAB IV

PENUTUP

Gadung merupakan salah satu komoditas tanaman pangan Indinesia ynag

memiliki potensi untuk dijadkan sumber makanan pokok masyarakat Indonesia.

Masalah konsumsi gadung yang terhalang oleh adanya kandungan racun pada

umbi ini dapat diupayakan untuk dihilangkan dengan proses detoksifikasi. Tujuan

dari detoksifikas adalah menghilangkan kadar racun yang terdapat di dalam

gadung salah satunya adalah dengan perlakuan pemanasan dalam keadaan asam.

Alasan diberinya perlakuan ini adalah utnuk menghilangkan racun sebanyak

mugkin sehingga dalam produk yang dihasilkan tidak memiliki kandungan racun

yang tinggi. Dengan pembuatan gadung menjadi tepung dengan penghilangkan

kadar racun diharapkan pemanfaatan gadung yang banyak di Indonesia dapat

maksimal dan dikonsumsi secara aman.

Page 21: DETOKSIFIKASI GADUNG.doc

DAFTAR PUSTAKA

Himpunan Mahasiswa Peduli Pangan Indonesia. 2012. Tak perlu Takut dengan

Sianida pada Gadung: Gadung Juga Bisa Jadi Makanan Nikmat.

Universitas Jambi

Koswara, Sutrisno. 2009. Teknologi Pengolahan Umbi-umbian. Bagian 3:

Pengolahan Umbi Gadung. Southeast Asian Food And Agricultural

Science and Technologyn (SEAFAST) Center. Bogor Agricultural

University

Muchtadi, Tien R, Sugiyono dan Fitriyono Ayustaningwarno. 2010. Ilmu

Pengetahuan Bahan Pangan. Bandung: Penerbit Alfabeta

Pambayun, Ringgit. 2008. Kiat Sukses Teknologi Pengolahan Umbi Gadung.

Yogyakarta: Ardana Media

Sibuea, P. 2002. Pemanfaatan Umbi Gadung. (Online) (http://Gizi.Net/Tak-ada

beras-makan-gadung.artikel) Tanggal akses 10 Mei 2015

Suharto. 1991. Teknologi pengawetan Pangan. Jakarta: PT. Rineka Cipta

Suismono. P.1998. Kajian teknologi pembuatan tepung gadung dan evaluasi sifat

fisikokimianya. PATPI. PAU Pangan dan Gizi UGM, Yogyakarta

Sumunar, Siwi Ratna dan Teti Estiasih. 2015. Umbi Gadung (Dioscorea hispida

Dennst.) Sebagai Bahan Pangan Mnegandung Senyawa Bioaktif:

Kajian Pustaka. Universitas Brawijaya Malang. Jurnal Pangan dan

Agroindustri Vol. 3 No. 1: 108-112

Winarno, F.G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka

Utama