DETERMINAN INVESTASI SWASTA DAN ASOSIASINYA...

download DETERMINAN INVESTASI SWASTA DAN ASOSIASINYA …repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/4260/Proposal... · Jenis dan Sumber Data 69 4.3 ... pendapat di kalangan ahli ekonomi

If you can't read please download the document

Transcript of DETERMINAN INVESTASI SWASTA DAN ASOSIASINYA...

  • DETERMINAN INVESTASI SWASTA DANASOSIASINYA

    PROGRAM DOKTOR ILMU EKONOMIPASCASARJANA FAKULTAS EKONOMI &

    DETERMINAN INVESTASI SWASTA DANASOSIASINYA DENGAN PENGELUARAN

    PEMERINTAH

    (STUDI DI INDONESIA)

    PROPOSAL DISERTASI

    Oleh:

    RETNO FITRIANTI

    117020106111007

    PROGRAM DOKTOR ILMU EKONOMIPASCASARJANA FAKULTAS EKONOMI & BISNIS

    UNIVERSITAS BRAWIJAYAMALANG

    2013

    DETERMINAN INVESTASI SWASTA DANPENGELUARAN

    BISNIS

  • ii

    Proposal Penelitian

    Judul : Determinan Investasi Swasta dan Asosiasinya

    dengan Pengeluaran Pemerintah (Studi di

    Indonesia)

    Nama Mahasiswa : Retno Fitrianti

    Nim : 117020106111007

    Program Studi : Program Doktor Ilmu Ekonomi

    Komisi Promotor:

    Promotor : Prof. Munawar Ismail, S.E., DEA, Ph.D.

    Ko-Promotor : Dr. Ghozali Maskie, S.E., M.S.

    Ko-Promotor : Devanto Shasta Pratomo, S.E., M.Si,

    M.A.,Ph.D.

    Komisi Penguji:

    Penguji 1 : Prof. Candra Fajri A, S.E., M.Sc., Ph.D.

    Penguji 2 : Dr. Moh. Khusaini, S.E., M.S., M.A.

    Penguji 3 : Setyo Tri Wahyudi, S.E., M.Ec., Ph.D.

  • iii

    DAFTAR ISI

    Halaman

    HALAMAN JUDUL i

    DAFTAR ISI ii

    DAFTAR GAMBAR iii

    BAB I PENDAHULUAN 1

    1.1. Latar Belakang 1

    1.1.1. Fenomena Investasi Di Indonesia 7

    1.1.2. Keragaman Hasil Dampak Pengeluaran Pemerintah TerhadapInvestasi Swasta

    11

    1.1.3. Keragaman Variabel Determinan Investasi Swasta 14

    1.2. Permasalahan Penelitian 17

    1.3. Tujuan Penelitian 19

    1.4. Manfaat Penelitian 20

    BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN 22

    2.1. Tinjauan Teoritik 22

    2.1.1. Defenisi Investasi 22

    2.1.1.1. Pengertian dan Konsep Investasi 22

    2.1.1.2. Apakah Investasi Penting 24

    2.1.2. Teori Teori Investasi 25

    2.1.2.1. Teori Keynes 25

    2.1.2.2. Teori Akselerator 26

    2.1.2.3. Teori Jorgenson 27

    2.1.2.4. Teori Q-Tobin 29

    2.1.3. Teori Pengeluaran Pemerintah 31

    2.1.3.1. Tinjauan Pengeluaran Pemerintah 31

  • iv

    2.1.3.2. Teori Makro Pengeluaran Pemerintah 33

    2.1.4. Dampak Pengeluaran Pemerintah Terhadap Investasi Swasta 34

    2.1.4.1. Efek Crowding Out 34

    2.1.4.2. Teori Keynes Crowding In 36

    2.1.4.3. Teori Richardian Equivalence Hypothesis (REH) 39

    2.1.5. Determinan Investasi Swasta 41

    2.2. Tinjauan Empirik 42

    2.2.1. Studi Empirik Dampak Pengeluaran Pemerintah terhadap

    Investasi Swasta42

    2.2.2. Studi Empirik Determinan Investasi Swasta 51

    BAB III KERANGKA KONSEPTUAL PEMIKIRAN 59

    3.1. Kerangka Pikir 59

    3.2. Hipotesis Penelitian 65

    3.3. Definisi Konsep Operasional 66

    BAB IV METODE PENELITIAN 68

    4.1. Pendekatan Penelitian 68

    4.2. Jenis dan Sumber Data 69

    4.3. Analisis Data 70

    DAFTAR PUSTAKA 80

  • v

    DAFTAR GAMBAR

    Halaman

    Gambar 1.1 Investasi Swasta dan Pengeluaran Pemerintah Indonesia Periode

    2002-2011 (Milyar Rupiah)

    5

    Gambar 1.2 Grafik Perkembangan Investasi Di Indonesia 9

    Gambar 1.3 Perkembangan Investasi di ASIA Periode 1990-2010 Persentasi

    PDB10

    Gambar 1.4 Peringkat Kemudahan Melakukan Bisnis di ASIA

    Periode 2011-201210

    Gambar 2.1 Imbalance Through SOC-DPA dan DPA-SOC 38

    Gambar 3.1 Kerangka Pikir 55

  • BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1. Latar belakang

    Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator untuk menilai

    keberhasilan pembangunan ekonomi suatu negara atau wilayah. Konsumsi,

    investasi dan ekspor neto merupakan faktor penggerak dalam pertumbuhan dari

    sisi permintaan. Secara teoritis, bahwa pertumbuhan ekonomi yang ditopang

    oleh konsumsi tidak akan menjadi pertumbuhan yang berkelanjutan.

    Pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan merupakan pertumbuhan ekonomi

    yang ditopang oleh investasi. Pertumbuhan yang ditopang oleh investasi

    dianggap dapat meningkatkan produktivitas yang pada gilirannya dapat

    membantu penyerapan tenaga kerja (Kuncoro, 2004). Dengan meningkatnya

    pertumbuhan ekonomi diharapkan mampu memberikan kontribusi yang besar

    dalam menunjang pembangunan ekonomi.

    Investasi merupakan salah satu pilar utama yang fundamental dalam

    pembangunan ekonomi. Investasi swasta memainkan peranan penting dalam

    proses pertumbuhan dalam mengembangkan perekonomian (Jongwanich dan

    Kohpaibon, 2008). Melalui Investasi swasta, arus modal yang digunakan untuk

    perbaikan usaha dan membangun usaha yang baru dapat meningkatkan

    kesempatan kerja, mendukung proses produksi, transfer teknologi, akses pasar

    internasional melalui produk-produk ekspor, serta pengendalian mutu. Kegiatan

    produksi itulah yang akan memberi manfaat bagi perekonomian secara

    keseluruhan bagi negara. Begitu pentingnya investasi bagi suatu negara maka

  • 2

    berdasar hal tersebut sehingga setiap negara berusaha untuk menjaga

    persediaan investasinya jangan sampai mengalami kekurangan.

    Dalam rangka mendorong laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan

    berkesinambungan dibutuhkan investasi, dana untuk membiayai investasi

    tersebut paling baik berasal dari tabungan domestik (Nurcholis, 2006). Namun,

    berhubung keterbatasan sumberdaya finansial, maka pemerintah terlebih dahulu

    melakukan investasi publik terutama dalam bentuk penyediaan Social Overhead

    Capital (SOC) berupa jalan, jembatan, pelabuhan, kelistrikan, telekomunikasi,

    pengairan, pendidikan dan sebagainya untuk mendorong investasi swasta dalam

    bentuk Direct Produktive Activities (DPA) atau kegiatan produktif yang langsung

    menghasilkan barang-barang yang dibutuhkan masyarakat. Kebijakan seperti ini

    oleh Hirschman disebut Imbalance Through SOC-DPA (Yotopoulus dan Nugent,

    1985 ; Jhingan, 1990).

    Perlu juga dipahami bahwa investasi swasta merupakan komponen

    penting atas permintaan agregat kedua terbesar setelah konsumsi, namun relatif

    sulit diperhitungkan karena bersifat volatile atau lebih tidak stabil dibandingkan

    konsumsi swasta (Samuelson, 2002). Selain itu, investasi swasta juga

    meningkatkan modal, kapasitas produksi perekonomian. Salah satu alasan

    negara-negara dengan pertumbuhan tinggi adalah karena mereka mencurahkan

    bagian substansial output mereka ke dalam Investasi (Dornbusch, 2008).

    Pemerintah telah menempuh berbagai cara untuk meningkatkan peran

    investasi dalam pertumbuhan ekonomi. Salah satunya melalui intervensi

    pemerintah. Intervensi pemerintah diperlukan untuk mengatasi kompleksitas dari

    intensititas permasalahan yang muncul dalam masyarakat. Untuk mengatasi itu,

    pemerintah mempunyai dua perangkat kebijakan perekonomian makro yakni

    kebijakan fiskal dan kebijakan moneter. Intervensi pemerintah dalam bidang

    ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dapat dilakukan secara

  • 3

    langsung maupun secara tidak langsung, tergantung pada konteks dan

    kebutuhannya. Salah satu bentuk intervensi pemerintah secara langsung adalah

    dengan intervensi anggaran (budget interventions) melalui kebijakan fiskal (fiscal

    policy) yang ditempuh melalui berbagai paraturan maupun regulasi pemerintah.

    Kebijakan Fiskal ekspansif dinilai dapat peningkatan permintaan agregat

    yang menurut Keynes sangat dibutuhkan untuk meningkatkan investasi.

    Kebijakan fiskal ekspansif ditandai dengan peningkatan pengeluaran pemerintah

    sebagai salah satu instrumen kebijakan fiskal. Namun, sebagai konsekuensinya

    maka peningkatan pengeluaran pemerintah tersebut seringkali diiringi dengan

    peningkatan defisit anggaran pemerintah.

    Salah satu topik yang menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan ahli

    ekonomi baik secara teoritis maupun empiris adalah hubungan antara

    pengeluaran pemerintah dengan kinerja perekonomian khususnya kegiatan

    ekonomi sektor swasta. Secara teoritis ada dua pandangan yang berbeda

    mengenai dampak pengeluaran pemerintah terhadap investasi swasta.

    Ekonomom Klasik berpendapat bahwa peningkatan pengeluaran

    pemerintah menyebabkan meningkatnya suku bunga dan mendorong investasi

    swasta menurun (Crowding out). Crowding Out terjadi ketika kebijakan fiskal

    ekspansioner menyebabkan suku bunga meningkat, sehingga mengurangi

    pengeluaran swasta, terutama investasi (Dornbusch, Fischer, dan Startz, 2008 :

    259).

    Dengan demikian Klasik berpendapat bahwa aktivitas sektor publik

    (pemerintah) bersaing dengan sektor swasta terhadap sumberdaya yang langka

    dan mendorong harga tinggi. Hal ini terjadi terutama pada kasus dimana aktivitas

    sektor publik dibiayai melalui pinjaman yang mengarah pada peningkatan suku

    bunga pasar dan peningkatan biaya modal terhadap sektor swasta. Hasilnya

    adalah crowding-out investasi swasta melalui investasi sektor publik. Secara

  • 4

    umum percaya bahwa investasi sektor swasta mampu mempercepat kegiatan

    ekonomi karena swasta fokus terhadap efisiensi dan maksimisasi profit, selain itu

    peningkatan pengeluaran pemerintah atas biaya atau biaya sektor swasta

    berdampak negatif pada investasi swasta (Hussain, Mohammad, Akram, dan Lal,

    2009).

    Disisi lain ekonom Keynesian berpendapat bahwa peningkatan

    pengeluaran pemerintah menyebabkan infrastruktur, kesehatan, pendidikan lebih

    baik sebagai hasil merangsang investasi swasta, karena pengeluaran ini dapat

    mengurangi biaya produksi perusahaan dan konsekuensinya (crowding-in)

    terhadap investasi swasta. Jadi menurut keynesian, investasi swasta menjadi

    saluran penting bagi efektivitas kebijakan fiskal dalam peningkatan

    pembangunan ekonomi (Ahmad&Miller, 1999 ; Ahmad&Qayyum, 2008 ;

    Mohammad&Husain, 2009).

    Berikut data perkembangan investasi swasta dan pengeluaran

    pemerintah di Indonesia selama duapuluh dua tahun terakhir. Data tersebut

    menunjukkan bahwa selama duapuluh dua tahun terakhir perkembangan

    investasi swasta di Indonesia cenderung masih mengalami peningkatan. Ini

    mencerminkan bahwa pertumbuhan investasi di Indonesia perlahan-lahan telah

    menunjukkan ke arah yang lebih baik.

    Secara empiris peran aktif pemerintah dalam perekonomian di Indonesia

    masih cukup besar. Hal ini ditandai dengan pengeluaran pemerintah yang

    cenderung mengalami peningkatan secara berkesinambungan pada periode

    tersebut. Namun trend peningkatan pengeluaran pemerintah tersebut ternyata

    tidak sejalan dengan investasi swasta di Indonesia.

    Pada grafik tersebut nampak bahwa pada awal tahun 1990 pengeluaran

    pemerintah mengalami peningkatan, namun investasi swasta justru mengalami

    penurunan. Hal ini mengindikasikan adanya hubungan Crowding Out terhadap

  • 5

    investasi swasta. Selanjutnya pada tahun 1993 1997, pengeluaran pemerintah

    terus mengalami peningkatan dan diikuti oleh peningkatan Investasi Swasta

    secara perlahan. Ini menunjukkan mulai membentuk pola hubungan Crowding In

    terhadap investasi swasta. Pada tahun 1998 pengeluaran pemerintah terus

    meningkat akan tetapi terjadi penurunan yang tajam pada Investasi swasta yakni

    sebesar 42,72 persen dari tahun sebelumnya. Hal ini disebabkan bahwa ketika

    itu pasca krisis ekonomi yang dibarengi dengan runtuhnya pemerintahan rezim

    orde baru yang membawa perubahan besar pada Indonesia. Namun pada tahun

    1999 pengeluaran pemerintah menurun sebesar 74,18 persen dari tahun

    sebelumnya, akan tetapi pada tahun 2000 pengeluaran pemerintah kembali

    meningkat ekstrim pasca krisis sebesar 396,77 persen dalam rangka perbaikan

    dan pemulihan ekonomi di Indonesia, ini terjadi hingga tahun 2011. Sebaliknya

    investasi swasta mengalami penurunan pada tahun 1998 lalu meningkat pada

    tahun 1999 dan cenderung konstan hingga tahun 2003. Tahun 2004 pengeluaran

    pemerintah meningkat dan diikuti oleh peningkatan investasi swasta yang

    menunjukkan hubungan Crowding In hingga tahun 2011. Hal ini dapat dilihat

    pada grafik berikut:

    Gambar 1.1Investasi Swasta dan Pengeluaran Pemerintah Indonesia

    Periode 1990-2011 (Milyar Rupiah)

    - 200,000 400,000 600,000 800,000 1,000,000 1,200,000 1,400,000

    1990

    1992

    1994

    1996

    1998

    2000

    2002

    2004

    2006

    2008

    2010

    I

    G

  • 6

    Sumber: BPS, World Bank, SEKI Bank Indonesia, 2012

    Dari gambar 1.1 tersebut di atas bahwa sebenarnya hubungan antara

    pengeluaran pemerintah dan investasi swasta di Indonesia masih ambigu.

    Selama periode tersebut ternyata pengeluaran pemerintah yang terus meningkat

    ternyata belum diikuti oleh meningkatnya investasi swasta sehingga hubungan

    antara pengeluaran pemerintah dan investasi swasta apakah sejalan atau

    bertentangan. Karena secara teoritis kedua hal tersebut masih dalam perdebatan

    hingga saat ini. Secara khusus dalam rentang waktu tertentu pola hubungan

    tersebut di Indonesia belum jelas, oleh karena itu melakukan penelitian ini.

    Selanjutnya dalam rangka mendorong pembangunan di negara-negara

    berkembang, salah satu tujuan kebijakan fiskal adalah meningkatkan investasi

    swasta dan pemerintah dalam perekonomian. Hal ini sejalan dengan pendapat

    Narayan (2004) bahwa pengeluaran pemerintah sebagai investasi publik penting

    sebagai motor penggerak bagi investasi swasta yang pada gilirannya mendorong

    pertumbuhan ekonomi.

    Namun terkadang upaya pemerintah dalam rangka mendorong investasi

    melalui kebijakan fiskal dapat meningkatkan investasi swasta, akan tetapi disisi

    lain kebijakan fiskal itu justru tidak bersifat kondusif. Sebagai contoh, misalnya

    menaikkan pajak, hal itu akan mendorong penerimaan pemerintah meningkat

    namun disisi lain ternyata sangat tidak mendorong investasi swasta dengan

    pajak yang tinggi karena menambah biaya produksi.

    Demikian pula secara deskriptif bahwa kebijakan fiskal ekspansif yang

    dilakukan melalui instrumen peningkatan pengeluaran pemerintah belum dapat

    menjamin adanya peningkatan investasi secara signifikan. Hal ini dapat saja

    terjadi bilamana peningkatan pengeluaran pemerintah yang masih didominasi

    atas pengeluaran yang bersifat konsumtif. Sehingga, Asumsi Keynes bahwa

    pengeluaran pemerintah yang dapat berpengaruh secara positif terhadap

  • 7

    investasi swasta mungkin saja tidak terbukti. Begitu pula dengan defisit anggaran

    terhadap investasi.

    Meskipun pengeluaran pemerintah dapat mempengaruhi investasi

    swasta, namun secara teoritis dan empiris masih terdapat variabel lain yang

    dapat mempengaruhi investasi swasta itu sendiri. Pengeluaran investasi

    umumnya berfluktuasi karena tergantung pada sejumlah faktor dan responsif

    terhadap PDB dan siklus bisnis (Dornbusch, 2008). Selain itu mengingat bahwa

    di negara berkembang perilaku investasi swasta perlu mengakomodasi sejumlah

    variabel selain yang selama ini dikenal secara teoritis yakni variabel pengeluaran

    pemerintah, nilai tukar, beban hutang luar negeri dan faktor non ekonomi

    mencakup stabilitas dalam negeri, kepercayaan investor dan kepastian hukum

    (Greene, 1991). Berdasarkan hal tersebut maka penting untuk mengekplorasi

    determinan investasi swasta guna merumuskan kebijakan stabilitas dalam usaha

    meminimalkan pengaruh buruk fluktuasi investasi dalam perekonomian.

    1.1.1. Fenomena Investasi di Indonesia

    Indonesia menjadi primadona investasi di kawasan Asia Tenggara. Di

    mata para investor, Indonesia dengan segala kekurangannya yang ada masih

    tetap dinilai paling menarik untuk investasi dibandingkan dengan sembilan

    negara anggota ASEAN lainnya. Hasil survei daya saing ASEAN yang dilakukan

    Lee Kuan Yew School of Public Policy dan National University of Singapore

    selama 2011-2012 menyebutkan bahwa Indonesia paling diminati investor

    dibanding beberapa negara ASEAN lainnya. (Kompas, November 2012).

    Nilai investasi menurut Badan Koordinasi Penanaman Modal mulai

    triwulan I-2012 sampai triwulan III-2012 berturut-turut Rp 71,2 triliun, Rp 76,9

    triliun, dan Rp 81,8 triliun. Secara akumulatif, realisasi investasi mencapai Rp

  • 8

    229,9 triliun atau 81,09 persen dari target. Survei daya saing ASEAN atas

    sponsor ABAC dilakukan September 2011-Maret 2012. Sebanyak 405 responden

    dari beragam pelaku usaha di 10 negara ASEAN terlibat. Profil usahanya meliputi

    sektor jasa (45 persen), manufaktur (35 persen), dan lain-lain (18 persen) seperti

    pertanian serta pertambangan.

    Skala usahanya mulai usaha kecil (40 persen), usaha menengah (24

    persen), sampai usaha besar (36 persen). Dari kelompok usaha skala besar, 16

    persen di antaranya perusahaan multinasional level Asia dan 14 persen

    multinasional level global. Dari skala daya tarik investasi 0-10, Indonesia

    mendapatkan nilai 6,89 atau tertinggi dibandingkan dengan sembilan negara

    ASEAN lainnya. Setelah Indonesia, menyusul Vietnam, Singapura, Thailand, dan

    Malaysia. ( Doing Business Report, World Bank, 2011)

    Namun ada sejumlah faktor yang sangat berpengaruh pada baik

    buruknya iklim berinvestasi di Indonesia. Faktor-faktor tersebut tidak hanya

    menyangkut stabilitas politik dan sosial, tetapi juga stabilitas ekonomi, kondisi

    infrastruktur dasar (listrik, telekomunikasi dan prasarana jalan dan pelabuhan),

    berfungsinya sektor pembiayaan dan pasar tenaga kerja (termasuk isu-isu

    perburuhan), regulasi dan perpajakan, birokrasi (dalam waktu dan biaya yang

    diciptakan), masalah good governance termasuk korupsi, konsistensi dan

    kepastian dalam kebijakan pemerintah yang langsung maupun tidak langsung

    mempengaruhi keuntungan neto atas biaya resiko jangka panjang dari kegiatan

    investasi, dan hak milik mulai dari tanah sampai kontrak.

    Seperti telah diketahui bersama bahwa peningkatan investasi menjadi

    pendorong utama bagi pertumbuhan Indonesia yang kuat saat ini, yang

    selanjutnya menjadi penting untuk mempertahankan pertumbuhan yang akan

  • 9

    datang. Berikut data perkembangan investasi Indonesia beberapa tahun terakhir.

    Nampak bahwa terjadi fluktuasi terutama pada saat krisis.

    Gambar 1.2. Grafik Perkembangan Investasi di Indonesia

    Sumber: CEIC Data Company Ltd dan IMF staff calculation, 2012

    Indonesia telah mengalami peningkatan investasi yang cukup besar

    dalam beberapa tahun terakhir. Data diatas menunjukkan bahwa investasi

    menurun pada akhir tahun 1990 an dan mulai membaik belum lama ini. Investasi

    agregat mencapai 30 persen dari PDB sebelum krisis tahun 2008. Namun

    demikian, investasi publik yang rendah mencerminkan peningkatan yang tajam

    pada investasi swasta (Zhou, 2012).

    Selanjutnya fenomena investasi di Indonesia dibandingkan dengan

    beberapa negara ASIA lainnya sangat rendah. Penurunan yang tajam nampak

    pada akhir tahun 1990 an terutama setelah krisis pada tahun 1998 yang

    membuat Indonesia mengalami penurunan investasi dan pertumbuhan ekonomi.

    Hal ini dapat dilihat pada gambar berikut:

  • 10

    Gambar 1.3. Perkembangan Investasi di ASIA (1990-2010) persentasi PDB

    Sumber: IMF, WEO database dan staff calculations, 2011

    Kontras dengan daya tarik Investasi Indonesia, yang menjadi salah satu

    penghambat investasi di Indonesia dibandingkan dengan negara lain adalah

    daya saing bisnis di Indonesia yang menurut data Doing Business, Indonesia

    berada pada peringkat 30 pada tahun 2011 dan peringkat 31 pada tahun 2012

    dibandingkan dengan negara lain di ASIA.

    Gambar 1.4. Peringkat Kemudahan Melakukan Bisnis di ASIAperiode 2011-2012

    Sumber : Doing Business, World Bank, 2012

  • 11

    Data di atas menunjukkan bahwa kemudahan melakukan bisnis di

    Indonesia relatif buruk dan ketidakfleksibelan kerja yang tinggi justru menjadi

    penghambat investasi. Reformasi iklim usaha dapat membantu peningkatan

    investasi Asing Langsung dan domestik serta meningkatkan pertumbuhan PDB

    potensial. Survei menunjukkan bahwa proses yang lebih efisien bagi penciptaan

    bisnis, fleksibilitas tenaga kerja dan kerangka hukum serta peraturan yang lebih

    baik bagi pengusaha dan kebangkrutan akanmengurangi persepsi atas resiko

    dalam berinvestasi.

    Hal tersebut penting untuk dikaji kembali dalam rangka meningkatkan

    daya saing Indonesia terutama Investasi. Sehingga menjadi daya tarik positif

    bagi investor untuk berinvestasi di Indonesia. Menjadi suatu dilema ketika daya

    tarik sumber daya alam yang melimpah dan potensi pasar yang besar untuk

    berinvestasi di Indonesia sementara di sisi lain berbagai polemik non ekonomi

    justru menjadi penghambat Investasi swasta di Indonesia.

    1.1.2. Keragaman mengenai dampak pengeluaran pemerintah terhadap

    Investasi Swasta

    Dampak pengeluaran pemerintah terhadap investasi swasta telah

    menimbulkan isu penting dalam perdebatan kebijakan fiskal, meskipun sejumlah

    studi telah dilakukan dan memberi kontribusi terhadap isu tersebut namun tetap

    masih menimbulkan kontroversi (Wang, 2005). Studi empiris yang telah

    dilakukan pada beberapa negara mengenai hubungan pengeluaran pemerintah

    terhadap investasi swasta memberikan hasil yang tidak konsisten dan berbeda.

    Apakah pengeluaran pemerintah sebagai pelengkap atau bahkan substitusi

    terhadap investasi swasta (Erden dan Holcombe, 2005 ; Hatano, 2010).

  • 12

    Bukti empiris yang ditemukan oleh sejumlah peneliti pada satu negara

    sample Pradhan, Ratha dan Sarma (1990); Gannely (2000); Voss (2002);

    Narayan (2004); Kustepeli (2005); Basar dan Temurlenk (2007); Ang (2009)

    bahwa pengeluaran pemerintah berupa investasi pemerintah memberikan efek

    Crowding Out terhadap investasi swasta. Hasil penelitian yang dilakukan oleh

    Gannely (2000) lebih lanjut menemukan adanya efek Crowding Out secara

    langsung investasi pemerintah terhadap investasi swasta yang memberikan efek

    positif terhadap output dalam jangka pendek pada perekonomian tertutup.

    Penelitian dengan menggunakan data panel secara khusus yang

    dilakukan di negara-negara berkembang dan negara-negara maju. Giannaros,

    Kolluri dan Panik (1999); Ahmad dan Miller (2000); Atukeren (2005); Furceri dan

    Sausa (2011) menemukan pengeluaran pemerintah memberikan efek crowding

    out terhadap investasi swasta terutama di negara-negara berkembang. Dampak

    Pengeluaran pemerintah yang diklasifikasikan atas pengeluaran pembangunan

    dan pengeluaran non pembangunan terhadap investasi swasta Ahmad dan

    Qayyum (2008); Andreoni dan Payre (2011) menemukan bahwa pengeluaran

    non pembangunan menimbulkan efek Crowding Out terhadap investasi swasta

    dalam jangka panjang.

    Kontras dengan hipotesis Klasik (crowding out), dampak pengeluaran

    pemerintah terhadap investasi swasta bersifat crowding in yang mendukung

    hipotesis Keynes. Sejumlah studi empiris yang menemukan efek crowding in atas

    pengeluaran pemerintah terhadap investasi swasta. Bahmani dan Oskooee

    (1999); Hyder (2001); Ang (2009); Hasan, Othman dan Zaini (2011) menemukan

    bahwa investasi publik memberikan efek crowding in terhadap investasi swasta

    secara signifikan dalam jangka panjang.

    Hipotesis Keynes ditemukan pula pada sample sejumlah negara-negara

    berkembang yang disajikan dalam analisis panel. Erden dan Helcome (2005);

  • 13

    Afonso dan Alegre (2008), Afonso dan Aubyn (2008); Cavallo dan Daude (2011)

    menemukan bukti empiris bahwa investasi publik memberi efek crowding out

    terhadap investasi swasta. Secara khusus di Jepang, Alani (2006) dengan

    menggunakan analisis dekriptif menemukan adanya hubungan positif antara

    investasi publik terhadap investasi swasta. Sementara Hatano (2010)

    menemukan bukti empiris di Jepang bahwa hubungan antara investasi swasta

    dan publik dalam keseimbangan jangka panjang memberikan efek crowding in

    dengan mempertimbangkan stok ekuilibrium jangka panjang.

    Dampak lebih lanjut atas pengeluaran pemerintah terhadap investasi

    swasta secara spesifik diukur melalui kategori atau komponen pengeluaran

    secara parsial memberi efek yang berbeda. Mengikuti saran Aschuer (1989)

    pada Wang (2005) bahwa penelitian tersebut tidak hanya terbatas dilakukan

    secara agregat atas pengeluaran pemerintah, namun terpenting menguji

    dampaknya terhadap jenis pengeluaran pemerintah terhadap investasi swasta.

    Ahmad dan Miller (2000); Mohammad dan Husain (2009); Laopadis

    (2001); Wang (2005). Pengeluaran pemerintah atas pendidikan, kesehatan,

    transportasi, infrastruktur memberikan efek crowding in terhadap investasi

    swasta dalam jangka panjang. Pengeluaran militer, pembiayaan hutang,

    pelayanan umum dan perumahan crowding out terhadap investasi swasta dalam

    jangka panjang. Penelitian tersebut memberikan bukti yang mendukung hipotesis

    bahwa pengeluaran pemerintah mendorong investasi swasta bilamana

    difokuskan untuk pengeluaran produktif.

    Raju dan Mukhrjee (2010) memiliki temuan yang berbeda dari penelitian

    sebelumnya, hasil penelitiannya mengenai dampak pengeluaran pemerintah dan

    investasi swasta tidak mendukung adanya efek crowding out maupun efek

    crowding in dalam hipotesisnya, melainkan mendukung hipotesis Richardian

    Equivalence pada hutang publik.

  • 14

    Secara khusus penelitian yang dilakukan di Indonesia dengan

    menggunakan model AIDS yakni Kuncoro (2000) dan Hidayat (2005) bahwa

    ekspansi pengeluaran pemerintah menyebabkan terjadinya crowding out

    terhadap investasi swasta dan crowding in terhadap konsumsi swasta.

    Paradigma Richardian Equivalen tidak terbukti di Indonesia. Di Indonesia

    Kebijakan fiskal ekspansif mampu menggairahkan sektor swasta dalam jangka

    pendek.

    Bukti empiris yang telah diuraikan di atas memberikan implikasi atas

    pengeluaran pemerintah terhadap investasi swasta masih menunjukkan hasil

    yang kontroversial secara teoritis maupun empiris. Hasilnya memberikan efek

    Crowding out (substitusi), Crowding in (Komplementer) dan mendukung hipotesis

    Richardian Equivalence (Netral). Baik diteliti pada satu negara maupun sejumlah

    negara yang disajikan dalam suatu panel, yang diamati atas pengeluaran

    pemerintah secara agregat maupun yang diteliti pada komponen pengeluaran

    pemerintah (Erden dan Helcome, 2005). Hasil tersebut telah menjadi kontroversi

    yang kuat dalam teori ekonomi dan kebijakan, baik implikasinya di Indonesia

    maupun di negara lain.

    Secara khusus di Indonesia, berdasarkan studi empiris dan data

    perkembangan pengeluaran pemerintah dan investasi swasta yang telah

    diuraikan di atas menunjukkan bahwa hubungan tersebut masih ambigu. Hal ini

    terutama ketika meneliti efeknya lebih jauh terhadap klasifikasi pengeluaran

    pemerintah. Studi mengenai topik tersebut disinyalir belum banyak diteliti dan

    secara umum masih bersifat global, maka menarik untuk diteliti lebih lanjut.

    1.1.3. Keragaman Variabel Determinan Investasi Swasta

    Investasi merupakan isu utama dalam teori ekonomi makro karena

    memainkan peranan penting dalam pertumbuhan ekonomi suatu negara. Hal ini

  • 15

    menjadi penting terutama dalam rangka meningkatkan kapasitas produksi

    ekonomi dan kemajuan teknologi melalui penggunaan teknik baru.

    Bagi pemerintah tujuan utama investasi yang dilakukan terutama

    menggerakkan kegiatan dalam perekonomian, sementara bagi pelaku ekonomi

    swasta adalah untuk memaksimalkan profit. Sebagai upaya untuk

    memaksimalkan profit tersebut, investasi swasta dipengaruhi oleh sejumlah

    faktor penentu investasi.

    Secara teoritis faktor penentu investasi yakni; penerimaan, biaya

    termasuk tingkat bunga dan ekspektasi mengenai kondisi perekonomian dimasa

    yang akan datang (Samuelson dan Nordhauss, 2002: 469). Selain faktor penentu

    investasi tersebut, terdapat sejumlah faktor lain turut mempengaruhi investasi

    swasta antara lain seperti ketidakstabilan ekonomi makro itu sendiri dapat

    menjadi hambatan utama dalam investasi swasta, investasi pemerintah sebagai

    komplementer atas investasi swasta terutama dalam penyediaan SOC,

    pertumbuhan kredit bagi sektor swasta dan keamanan (Assante, 2000).

    Sejumlah peneliti sepakat bahwa variabel non pemerintah seperti tingkat

    bunga, Produk Domestik Bruto (PDB), kredit sektor swasta dan stabilitas politik

    dianggap sebagai determinan investasi yang sangat penting (Samuelson dan

    Northaus, 2002, Dornbush,et all, 2008; Ang, 2009; Mondaria, Wu dan Zhang,

    2010; Misati dan Nyomogo, 2011; Morrissey dan Udomkerdmongkol, 2012)

    Secara teoritis suku bunga berhubungan negatif terhadap investasi

    swasta. Suku bunga yang tinggi akan meningkatkan real cost of capital yang

    pada gilirannya akan menghambat investasi swasta (Nurdeen, 2009). Namun hal

    yang berbeda diungkapkan secara teoritik oleh McKinnon (1973) dan Shaw

    (1973) dalam Khan dan Khan (2007) menyatakan bahwa kemungkinan ada

    hubungan positif antara investasi dengan tingkat suku bunga rill, karena

    peningkatan suku bunga rill akan meningkatkan tabungan sebagai hasilnya

  • 16

    volume kredit dalam negeri akan meningkatdan menghasilkan ekuilibrium

    investasi yang lebih tinggi. Hipotesis tersebut dikenal dengan McKinnon dan

    Shaw hipotesis yang berdasar pada asumsi bahwa kuantitas sumberdaya

    keuangan merupakan kendala utama investasi jika dibandingkan dengan

    kuantitas sumberdaya pembiayaan. Hal ini sejalan dengan temuan Ang (2009)

    bahwa suku bunga berhubungan positif terhadap investasi swasta.

    Variabel ketidakpastian makroekonomi yang mewakili variabel inflasi

    berhubungan negatif terhadap investasi swasta (Ahmad dan Qayyum, 2008; Ang,

    2009; Acosta dan Loza, 2005) dalam jangka pendek dan jangka panjang.

    Ouattara, (2004) menemukan bukti bahwa Investasi Swasta secara positif

    dipengaruhi oleh PDB rill dan bantuan asing, sementara kredit ke sektor swasta

    dan perdagangan berdampak negatif.

    Variabel yang berbeda sebagai determinant Investasi Swasta di Argentina

    diungkapkan oleh Acosta dan Loza (2005) mengungkapkan bahwa variabel

    ekonomi makro yang berpotensi dapat mempengaruhi keputusan investasi pada

    suatu negara. Keputusan investasi jangka pendek ditentukan oleh gejolak

    revenues (nilai tukar, liberalisasi perdagangan) dan permintaan agregat.

    Bukti empiris yang ditemukan Nurdeen (2009) pada kasus Nigeria atas

    determinan investasi swasta, bahwa pertumbuhan pendapatan rill, nilai tukar,

    keterbukaan ekonomi dan tabungan yang lebih tinggi memiliki efek positif

    terhadap investasi swasta. Di sisi lain, kredit yang tinggi justru menghambat

    investasi.

    Berbeda dengan Nurdin (2009), yang menemukan variabel kredit

    menghambat investasi, Jongwanic dan Kohipaibon (2008) menemukan kredit

    justru mempengaruhi investasi swasta dalam jangka pendek. Sementara dalam

    jangka panjang dipengaruhi oleh peluang bisnis (business opportunity) dan biaya

    investasi. Variabel yang berbeda untuk menentukan investasi swasta oleh Khan

  • 17

    dan Khan (2007), bahwa faktor tradisional dan faktor non tradisional

    mempengaruhi investasi swasta secara positif dalam jangka pendek dan jangka

    panjang.

    Stasavage (2002) mengemukakan bahwa determinan investasi

    dipengaruhi oleh faktor kelembagaan melalui variabel chek and balances yang

    dapat memberi manfaat terhadap investasi. Variabel ini masih kurang di

    aplikasikan pada penelitian lain sehingga menarik untuk mengembangkan lebih

    lanjut variabel political institution sebagai salah satu variabel non ekonomi yang

    dianggap dapat mempengaruhi investasi.

    Keragaman variabel dalam mempengaruhi investasi swasta telah

    diungkapkan diatas terutama variabel makroekonomi. Namun sejumlah peneliti

    telah mengembangkan variabel non ekonomi yang secara empiris telah

    menunjukkan pengaruh terhadap investasi swasta di berbagai negara seperti

    korupsi, kualitas pemerintahan maupun kelembagaan. Penelitian ini mencoba

    mengeksplorasi variabel political institution yang secara spesifik belum dilakukan

    di Indonesia.

    1.2. Permasalahan Penelitian

    Penelitian ini difokuskan pada determinan investasi swasta. Seperti

    diketahui bahwa selain investasi publik, investasi swasta juga sangat diperlukan

    untuk kemajuan ekonomi, sebab secara umum percaya bahwa investasi swasta

    mampu mempercepat kegiatan ekonomi karena mereka fokus terhadap efisiensi

    dan maksimisasi profit.

    Secara teoritis bahwa pengeluaran investasi swasta yang secara umum

    berfluktuatif karena ditentukan oleh sejumlah faktor dan siklus bisnis (Dornbush,

    Fichser dan Richard, 2008: 339), maka berdasarkan hal tersebut masih sangat

    penting untuk mengeksplorasi determinan investasi swasta. Selain itu mengingat

  • 18

    bahwa determinan investasi swasta secara teoritis dan empiris berbeda di setiap

    negara, baik di negara maju maupun di negara berkembang.

    Fokus kedua penelitian ini adalah meneliti dampak pengeluaran

    pemerintah terhadap investasi swasta di Indonesia. Mengingat bahwa ada

    kecenderungan pengeluaran pemerintah yang meningkat juga dibarengi dengan

    peningkatan investasi swasta di Indonesia. Berkenaan dengan hal tersebut,

    menimbulkan pertanyaan penting yang mendasar yakni; apakah pengeluaran

    pemerintah dan Investasi swasta bersifat crowding out, crowding in atau bahkan

    netral satu sama lain?

    Kebijakan fiskal ekspansif yang selalu diterapkan pemerintah pada

    awalnya bertujuan untuk turut mendorong peningkatan investasi di Indonesia.

    Akan tetapi, pengeluaran pemerintah yang selalu meningkat tersebut tidak diikuti

    dengan semakin intensifnya investasi swasta di Indonesia.

    Dampak pengeluaran pemerintah terhadap investasi swasta memberikan

    efek yang berbeda, satu sisi mendukung hipotesis Klasik, disisi lain mendukung

    hipotesis Keynes, atau bahkan tidak mendukung keduanya. Hasil ini memberikan

    efek yang tidak konsisten apakah sebagai pelengkap atau substitusi terutama di

    negara berkembang (Erden dan Halcombe, 2005: Helcombe, 2006).

    Berdasarkan perbedaan pandangan tersebut secara teoritis dan empiris maka

    sangat menarik untuk diteliti lebih lanjut hubungan pengeluaran pemerintah

    dengan investasi swasta di Indonesia.

    Alasan utama diangkatnya tema ini sebagai objek penelitian karena

    Pertama, Pentingnya investasi dalam suatu negara karena menyangkut prospek

    pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan serta perbaikan produktivitas kerja,

    sehingga tanpa adanya investasi berarti tidak adanya ekspansi usaha dan

    mengarah pada stabilitas perekonomian di Indonesia. Oleh Karena itu perlu dikaji

  • 19

    lebih lanjut mengenai determinan Investasi swasta di Indonesia dalam jangka

    pendek dan panjang, yang dipengaruhi oleh variabel ekonomi. Kedua, belum

    ditemukan efek yang jelas antara pengeluaran pemerintah dan investasi swasta

    di Indonesia apakah crowding in atau crowding out. Ketiga,, penelitian mengenai

    dampak pengeluaran pemerintah yang dikalifikasikan berdasarkan fungsi

    pengeluarannya terhadap investasi swata di Indonesia masih relatif terbatas dan

    disinyalir belum banyak yang mengeksplorasi masalah tersebut. Menurut

    Aschouver (1989) dalam Wang (2005) bahwa penelitian empiris tidak hanya

    memeriksa efek belanja pemerintah secara agregat namun terpenting meneliti

    efek dari berbagai jenis pengeluaran pemerintah terhadap investasi swasta

    secara parsial. Secara umum penelitian serupa di Indonesia melihat secara

    global atas pengeluaran pemerintah, sementara dalam penelitian ini mengkaji

    secara spesifik pengeluaran pemerintah menurut fungsi pengeluarannya

    sehingga diharapan nantinya dapat diperoleh hasil yang lebih spesifik atas efek

    yang ditimbulkan terhadap investasi swasta, tentu saja ini menarik untuk dikaji

    lebih lanjut. Keempat, penelitian ini menggunakan variabel political institution

    (Stasavage, 2002) yang disinyalir masih belum banyak mengeksplor variabel

    tersebut.

    Penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya karena

    penelitian sebelumnya secara umum meneliti determinan investasi swasta pada

    suatu negara atau wilayah saja tanpa melihat lebih jauh efek yang ditimbulkan

    oleh pengeluaran pemerintah terhadap investasi swasta. Demikian pula melihat

    secara terpisah dampak pengeluaran pemerintah secara parsial menimbulkan

    efek crowding out atau crowding in terhadap investasi swasta. Sementara pada

    penelitian ini mencoba melihat determinan investasi swasta yang meliputi PDB,

    suku bunga, pengeluaran pemerintah, inflasi dan tenaga kerja. Selain itu

    penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efek yang ditimbulkan oleh

  • 20

    pengeluaran pemerintah secara parsial berdasarkan fungsi pengeluarannya

    terhadap investasi swasta di Indonesia.

    Berdasarkan pertimbangan dan pemikiran seperti yang diungkapkan di

    atas, maka permasalahan penelitian dapat disusun sebagai berikut:

    1.2.1. Apakah PDB, Suku Bunga, Pengeluaran Pemerintah, Inflasi, Upah dan

    Political Institution berpengaruh terhadap investasi swasta di Indonesia

    dalam jangka panjang maupun jangka pendek?

    1.2.2. Apakah pengeluaran pemerintah bersifat crowding out atau crowding in

    terhadap Investasi Swasta di Indonesia?

    1.3. Tujuan Penelitian

    Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, tujuan

    penelitian disusun sebagai berikut:

    1.3.1. Untuk mengetahui apakah PDB, Suku Bunga, Pengeluaran Pemerintah,

    Inflasi, upah dan political institution berpengaruh terhadap keseimbangan

    investasi swasta di indonesia dalam jangka panjang dan jangka pendek.

    1.3.2. Untuk mengetahui apakah pengeluaran pemerintah bersifat Crowding Out

    atau Crowding In terhadap investasi swasta di Indonesia.

    1.3.3. Untuk mengetahui dampak lebih lanjut investasi terhadap kesempatan

    kerja di Indonesia

    1.4. Manfaat Penelitian

    Hasil studi empiris yang dilakukan oleh penelitian ini diharapkan dapat

    memberikan manfaat pada:

    1.4.1. Manfaat Teoritis

    a. Secara teoritis penelitian ini mengembangkan variabel determinan

    investasi swasta. Dari segi variabel bebas peneliti mencoba

  • 21

    mengembangkan variabel pengeluaran pemerintah yang secara agregat

    telah dilakukan oleh sejumlah penelitian sebelumnya Ahmad dan Qayyum

    (2008), Ang (2009), Akkina dan Celebi (2002), Ouarta (2004), Furceri dan

    Sousa (2011). Peneliti mengembangkan variabel pengeluaran pemerintah

    secara parsial mengikuti model Laopadis (2001) dan Wang (2005),

    dengan meneliti secara parsial untuk membuktikan hipotesis Crowding

    Out atau Crowding In terhadap investasi swastan dengan menggunakan

    komponen pengeluaran pemerintah berdasarkan fungsi.

    b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah Ilmu Ekonomi

    secara khusus dalam pengembangan teori Investasi dan memperkaya

    studi empiris determinan investasi swasta berdasarkan studi empiris di

    Indonesia.

    c. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi terutama bagi

    peneliti lain yang ingin mendalami dan melanjutkan studi mengenai

    determinan investasi swasta.

    1.4.2. Manfaat Praktis

    a. Memberikan masukan kepada pemerintah dan mendorong pemerintah

    dalam menggunakan anggaran belanja secara efektif yang sesuai

    dengan skala prioritas dari rencana program pembangunan nasional

    yang mendorong pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan investasi

    swasta di Indonesia. Selain itu informasi hasil penelitian ini diharapkan

    dapat membantu para penentu kebijakan untuk melakukan upaya

    maksimal dalam meningkatkan daya tarik dan peluang investasi di

    Indonesia.

  • 22

    b. Dengan mengetahui bahwa hubungan pengeluaran pemerintah dengan

    investasi swasta, jika ternyata ditemukan bahwa investasi swasta

    merupakan komplementer dengan pengeluaran pemerintah (crowding

    in) maka hal ini akan berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi

    maupun kesempatan kerja.

  • 23

    BAB II

    TINJAUAN KEPUSTAKAAN

    2.1. Tinjauan Teoritik

    2.1.1. Defenisi Investasi

    2.1.1.1. Pengertian dan Konsep Investasi

    Investasi merupakan konsep aliran (flow concept) sebab besarannya

    dihitung selama satu interval periode waktu tertentu. Investasi termasuk di

    dalamnya berupa investasi barang modal (capital goods) dan bangunan

    (construction) adalah pengeluaran untuk pembelian pabrik, mesin, peralatan

    produksi dan bangunan atau gedung baru. Seperti diketahui bahwa daya tahan

    barang modal dan bangunan umumnya lebih dari satu tahun, maka seringkali

    investasi disebut sebagai investasi dalam bentuk harga tetap (fixed investment).

    Di Indonesia, istilah fixed investment setara dengan pembentukan modal

    tetap domestik bruto (PMTDB) merupakan komponen yang menentukan

    pengeluaran agregat. Tabungan dari sektor rumah tangga melalui lembaga

    keuangan akan mengalir ke sektor perusahaan/ swasta. Kegiatan ekonomi

    ditentukan oleh besarnya pengelauran agregat yang terdiri dari empat jenis

    pengeluaran yakni, pengeluaran konsumsi rumah tangga, investasi oleh

    perusahaan, pengeluran pemerintah dan net ekspor.

    Dalam ekonomi makro, investasi mempunyai arti yang lebih sempit

    secara tekhnis berarti; investasi adalah arus pengeluaran yang menambah stok

    modal fisik (Dornbusch, Fisher dan startz, 2008). Investasi merupakan arus

    (flows), sedangkan capital merupakan stock. Capital stock meliputi fixed assets

    yang bukan hanya sehubungan dengan kapasitas produktif, misalnya pabrik-

    pabrik, mesin-mesin, peralatan, persediaan, tetapi juga mencakup konsumsi

  • 24

    untuk masa yang akan datang, misalnya residential fixed assets. Batasan penting

    tentang karakteristik fixed assets, yakni pencerminan konsumsi yang ditunda:

    seseorang melakukan investasi pada fixed assets karena mengharapkan barang-

    barang dan jasa-jasa di masa yang akan datang.

    Hampir semua ahli ekonomi menekankan arti pentingnya pembentukan

    modal sebagai penentu utama pertumbuhan ekonomi. Pembentukan modal itu

    sendiri sebagaimana bahwa masyarakat tidak menggunakan seluruh aktivitas

    produktifnya saat ini untuk kebutuhan dan keinginan berkonsumsi melainkan

    menggunakan sebagian bagi pembentukan barang modal .Secara umum

    investasi dapat dibagi dalam tiga jenis pengeluaran investasi (Dornbusch, Fisher

    dan startz, 2008: 348; Mankiew, 2007:476)

    1) Business fixed investment, yakni investasi dalam barang-barang modal fisik

    (fixed capital) seperti pabrik, mesin-mesin dan peralatan produksi lainnya

    yang mendukung proses produksi.

    2) Residential investment, yakni investasi dalam perumahan terdiri dari

    bangunan keluarga tunggal dan kediaman banyak keluarga. Teori investasi

    perumahan dimulai dengan memperhatikan permintaan untuk stok rumah

    yang ada. Permintaan stok rumah tergantung pada pengembalian rill netto

    yang diperoleh dari memiliki rumah

    3) Investasi Inventory yang terdiri atas bahan baku, barang dalam proses

    produksi dan barang jadi yang disimpan perusahaan sebagai antisipasi

    penjualan produk.

    Ketiga jenis komponen investasi tersebut termasuk investasi bruto yang

    meliputi investasi untuk menambah kemampuan produksi dalam

    perekonomian dan mengganti barang modal yang telah disedresiasikan. Jika

  • 25

    investasi bruto tersebut dikurangi dengan depresiasi maka akan

    menghasilkan investasi neto.

    2.1.1.2. Apakah Investasi Penting

    Belanja investasi memainkan peranan penting tidak hanya pada

    pertumbuhan jangka panjang namun juga pada siklus bisnis jangka jangka

    pendek karena investasi merupakan unsur GDP yang paling sering berubah

    (Mankiw, 2007: 476). Aggregate fixed investment merupakan komponen penting

    aggregate demand dan sangat menentukan dalam pendapatan nasional dan

    GDP.

    Selain itu, investasi memiliki pengaruh yang penting terhadap

    kesempatan kerja dalam perekonomian. Investasi yang dilakukan pada suatu

    waktu tertentu akan mempengaruhi kegiatan ekonomi di masa yang datang

    karena pembentukan sumberdaya capital yang akan digunakan untuk

    menghasilkan barang-barang dan jasa-jasa yang merupakan pembentukan

    potensi produktif. Dengan demikian investasi menjadi determinan utama

    pertumbuhan ekonomi. Apabila investasi dan pertumbuhan kapasitas produktif

    meningkat, maka pertumbuhan ekonomi dan produktivitas akan meningkat pula

    yang pada gilirannya akan meningkat produktivitas tenaga kerja, upah dan

    tingkat hidup masyarakat. Sebagai salah satu komponen aggregate demand

    yang mudah berubah, pengaruh investasi juga besar terhadap siklus dunia usaha

    (business cycle) yang secara keseluruhan mempengaruhi perekonomian secara

    makro.

    Pemerintah dan lembaga-lembaga pemerintah dalam berbagai aras perlu

    memahami tentang prinsip-prinsip investasi tersebut. Pengeluaran untuk

  • 26

    infrastruktur publik dalam bentuk gedung-gedung, mesin-mesin dan peralatan

    untuk rumah sakit, sekolah-sekolah, jalan kereta api, jalan raya, kelistrikan,

    fasilitas komunikasi, fasilitas kebersihan, bendungan dan lain-lain merupakan

    fixed investment yang pengaruhnya cukup besar dalam perekonomian.

    2.1.2. Teori Investasi

    2.1.2.1. Teori Keynes

    Teori Keynes mengenai investasi bertumpu pada "marginal efficiency of

    capital". Marginal efficiency of capital (MEC) merupakan determinan kunci

    sekaligus ukuran tentang tingkat keuntungan yang diharapkan (expected

    profitability) dari suatu investasi. Secara singkat MEC adalah suatu tingkat

    diskonto yang menyamakan the present value penerimaan investasi di masa

    yang akan datang dengan current supply price (current replacement cost)

    investasi tersebut. Dengan demikian MEC mirip dengan teori Fisher tentang

    internal rate of return. Di samping itu, Keynes sependapat dengan Fisher tentang

    peranan suku bunga dalam mempengaruhi investasi. Selanjutnya menurut

    Keynes bahwa investasi akan berlangsung hingga MEC sama dengan tingkat

    bunga yang ada. Perbedaannya dengan Fisher, walaupun sulit dikuantifikasi,

    Keynes mengakomodasikan ekspektasi dan ketidak-pastian (Nopirin, 2000;

    Dornbusch, Fisher dan startz, 2008 ; Mankiew, 2007) .

    Menurut Keynes bahwa MEC tidak hanya dipengaruhi oleh penilaian

    obyektif, tetapi juga oleh pengaruh-pengaruh subyektif sepertl perilaku

    konvensional dan psikologi massa (crowd psychology). Hal ini disebabkan oleh

    ketidakpastian yang membatasi kemampuan para investor untuk menghitung

    MEC secara obyektif. Dengan keterbatasan kalkulasi rasional dan animal spirits

    berupa kekuatan optimisme spontan, jumlah investasi dapat lebih besar sesuai

  • 27

    yang diinginkan masyarakat dibandingkan jika para investor mendasari

    keputusan mereka pada kalkulasi rasional.

    Selanjutnya Keynes menekankan pentingnya investasi swasta, tetapi

    sejumlah kendala yang dihadapi oleh pengambil keputusan di sektor swasta

    memerlukan intervensi pemerintah. Keynes juga menganjurkan kebijakan

    pengeluaran pemerintah sebagai alat untuk mendorong tingkat investasi.

    Investasi pemerintah dapat dilaksanakan untuk meningkatkan capital stock ke

    tingkat yang dikehendaki sehingga meningkatkan efek multiplier. Setiap bentuk

    investasi pemerintah akan berpengaruh secara positif dan menghambat

    terjadinya kontraksi dalam kegiatan perekonomian. Oleh karena itu investasi

    pemerintah seyogyanya diarahkan kepada tujuan-tujuan produktif yang

    mendukung kegiatan sektor swasta (Natural Resource Character, 2010).

    2.1.2.2. Teori Akselerator

    Model Akselaerator dapat menjelaskan investasi inventori dengan

    membandingkan investasi inventori dengan perubahan output. Hubungan antara

    tingkat pertumbuhan output dan tingkat investasi neto. (Branson, 1989). Model

    akselerator menyatakan bahwa pengeluaran investasi proporsional dengan

    perubahan output dan tidak berpengaruh atas biaya modal (Dornbusch, Fisher

    dan startz, 2008 : 359).

    Teori akselerator (accelerator theory) dalam bentuknya yang sederhana

    menggambarkan investasi sebagai proses penyesuaian capital stock. Desired

    capital stock ditentukan oleh expected demand terhadap produksi suatu

    perusahaan sehingga investasi netto yang merupakan perubahan capital stock,

    merupakan fungsi pertumbuhan output (Branson, 1989). Dalam bentuknya yang

    sederhana tersebut, spesifikasi model akselerator berfokus pada pertumbuhan

  • 28

    output pada suatu periode tertentu yang merupakan determinan keputusan

    investasi dengan mengabaikan peranan lags dalam keputusan investasi dan

    pembentukan ekpektasi .

    Ada dua langkah yang berbeda dalam pengembangan model flexible

    accelerator. Langkah pertama melibatkan penentuan tingkat capital stock yang

    diinginkan. Langkah kedua menunjukkan bagaimana pergerakan investasi aktual

    yang terkait dengan keseimbangan capital stock. (Bronson, 1989)

    Dalam model akselerator yang luwes (flexible accelerator models),

    kelemahan tersebut ditutupi dengan memasukkan struktur lags yang

    menggambarkan investasi sebagai fungsi distributed lag pertumbuhan output

    dalam beberapa periode. Fungsi distributed lags tersebut merangkum (tanpa

    memisahkan) berbagai sumber lags, misalnya lags yang mencerminkan

    keterlambatan dalam pengambilan keputusan, perencanaan, pemesanan,

    penyerahan dan pemasangan proyek-proyek investasi baru, dan pembentukan

    ekspektasi.

    Teori akselerator secara umum dapat dihubungankan dengan pendekatan

    Keynesian karena penekanan yang diberikan pada variabel kuantitas ketimbang

    harga. Walaupun model akselerator ini mengandung banyak masalah teoritis,

    tetapi secara empiris hasilnya dipandang baik (Mankiew, 2003).

    2.1.2.3. Teori Jorgenson

    Teori Jorgenson merupakan dasar teori investasi neo-klasik modern.

    Jorgenson mengembangkan model investasi sebagai suatu proses penyesuaian

    capital stock. Menurut Jorgenson bahwa investor yang rasional dan profit-

    maximizer akan memperhitungkan present value imbalan keputusan investasinya

  • 29

    dan akan menyamakan marginal benefit dengan marginal cost dari investasi

    yang direncanakan. (Jorgenson, 1967)

    Marginal benefit investasi merupakan marginal productivity of capital yang

    diturunkan dari fungsi produksi Cobb-Douglas. Marginal cost dirangkum dalam

    "user cost of capital' yang merupakan biaya-biaya yang timbul dari penggunaan

    capital, termasuk biaya bunga, depresiasi, dan keuntungan atau kerugian yang

    timbul akibat perubahan harga barang-barang capital. Jorgenson berasumsi

    bahwa investasi yang dilakukan oleh perusahaan yang bersaing secara

    sempurna berlangsung seketika tanpa biaya penyesuaian perbedaan antara

    capital stock yang optimal di masa sekarang dengan di masa lalu. Pembentukan

    ekspektasi tentang masa depan juga tidak diperlukan karena para investor dapat

    melakukan respons secara cepat tanpa biaya terhadap perubahan-perubahan

    yang terjadi (Jorgenson, 1967).

    Model makro investasi Jorgenson dibangun dari fondasi mikro yang

    menggambarkan perilaku perusahaan profit-maximizing firm yang

    mengakomodasikan sejumlah asumsi tentang ekspektasi yang bersifat statis,

    penyesuaian capital stock yang bersifat seketika, dan tidak adanya biaya-biaya

    penyesuaian. Sejumlah asumsi restriktif melandasi teori ini, antara lain

    ekspektasi yang statis, penyesuaian capital stock yang instan, tidak terdapat

    biaya penyesuaian, dan keputusan investasi yang bersifat reversible.

    Teori investasi Jorgenson mendapat banyak keritikan terutama fondasi

    mikro yang digunakan untuk membangun model sehingga perilku agregat

    dipandang hanya merupakan pembesaran (scaled-up) perilaku perusahaan yang

    memaksimisasi laba dalam pasar bersaing. Hal ini terkait dengan pendekatan

    neo-klasik yang berasumsi bahwa perbedaan antara mikroekonomi dengan

  • 30

    makroekonomi hanya merupakan masalah agregasi. Ketergantungannya pada

    hipotesis tentang perusahaan yang dianggap mewakili, merupakan hal

    yang menyesatkan karena keseluruhan bukan merupakan penjumlahan

    bagian-bagiannya. Terdapat perbedaan antara makroekonomi dan mikroekonomi

    khususnya bila perilku makroekonomi dipengaruhi oleh saling-ketergantungan,

    perilaku kawanan (herd-behavior), dan feedback effects (Jorgenson, 1967;

    Baddeley, 2003).

    2.1.2.4. Teori Q Tobin

    Business fix investment ditentukan oleh produk marjinal modal dan

    jumlah penyusustan atau depresiasi. Hal ini memberi indikasi bahwa salah satu

    determinan investasi yang penting adalah tingkat bunga. Penurunan tingkat

    bunga rill akan mengurangi biaya modal, begitu pula sebaliknya. Perusahaan

    akan melakukan investasi sampai pada titik dimana biaya perolehan kapital

    (harga kapital ditambah biaya penyesuaian) sama dengan nilai dari kapital

    tersebut. (Romer, 2006 : 395).

    Secara teoritis, rasio q mencerminkan bagaimana tambahan satu rupiah

    kapital akan meningkatkan nilai sekarang dari keuntungan perusahan.

    Perusahaan akan meningkatkan persediaan kapitalnya apabila nilai q > 1 dan

    akan mengurangi investasi bila q < 1. Interpretasi ekonomi dari nilai q adalah

    setiap kenaikan satu unit persediaan kapital perusahaan akan meningkatkan nilai

    sekarang dari keuntungan perusahaan sebesar q. Dengan demikian q adalah

    nilai pasar dari suatu unit kapital.

    Rasio nilai pasar kapital terhadap biaya penyesuaian kapital dikenal

    sebagai Q Tobin (Tobin, 1969 dalam Romer, 2006). Dengan kata lain q-Tobin

    merupakan perbandingan nilai pasar perusahaan terhadap inventasi bersihnya.

  • 31

    Apabila terjadi peningkatan harga saham perusahaan maka nilai pasar

    perusahaan akan meningkat dan selanjutnya rasio q-Tobin akan meningkat yang

    memungkinkan perusahaan melakukan investasi tetap (Fix Investment).

    Keunggulan q-Tobin sebagai ukuran dari intensif untuk investasi adalah

    mengimplikasikan profitabilitas modal masa depan yang diharapkan serta

    profitabilitas sekarang. Teori Investasi q-Tobin menekankan bahwa keputusan

    investasi bergantung tidak hanya pada kebijakan ekonomi saat ini melainkan

    juga pada kebijakan yang diharapkan berlaku di masa depan (Mankiew, 2003).

    Implikasi Model q

    Perubahan pada output, suku bunga, dan kebijakan pajak memberikan

    implikasi pada model q. Peningkatan output yang permanen mendorong

    terjadinya kenaikan investasi temporer, sementara peningkatan temporer dari

    output meskipun meningkatkan investasi namun dengan respon yang lebih

    rendah dibandingkan dengan kenaikan output permanen (Romer, 2006).

    Penurunan permanen suku bunga jangka pendek menghasilkan booming

    investasi sesaat, sedangkan kenaikan suku bunga jangka pendek yang

    diharapkan dimasa datang akan mengurangi investasi.

    Pengaruh pemotongan pajak atas investasi akan meningkatkan investasi

    dan menurunkan keuntungan industri sehingga nilai q akan turun, dan tidak

    intensif bagi perusahaan untuk melakukan investasi dengan nilai q < 1.

    Ketidakpastian keuntungan dimasa datang tidak memiliki dampak langsung

    terhadap investasi, selama nilai kapital melebihi biaya perolehannya. Biaya

    penyesuaian yang tidak simetris menyebabkan perubahan investasi yang tidak

    sama saat terjadi peningkatan maupun penurunan investasi. Ketidakpastian

    resiko (discount factor) yang berkorelasi negatif dengan resiko agregat akan

  • 32

    meningkatkan investsi, sebaliknya ketidakpastian resiko yang berkorelasi positif

    dengan resiko agregat akan mengurangi nilai kapital sehingga menurunkan nilai

    investasi (Romer, 2006 : 413).

    2.1.3. Teori Pengeluaran Pemerintah

    Pengeluaran pemerintah merupakan instrumen yang digunakan dalam

    menentukan kontribusi peran sektor pemerintah dan sektor swasta. Selain itu,

    pengeluaran pemerintah dapat digunakan sebagai penentu pokok jumlah

    pengeluaran agregat serta penentu pertumbuhan Produk Nasional Bruto rill

    dalam jangka pendek.

    Pengeluaran pemerintah mencerminkan kebijakan pemerintah. Apabila

    pemerintah telah menetapkan suatu kebijakan untuk membeli barang dan jasa

    maka pengeluaran pemerintah mencerminkan biaya yang harus dikeluarkan oleh

    pemerintah untuk melaksanakan kebijakan tersebut (Mangkoesubroto,1996 :

    169). Teori mengenai pengeluaran pemerintah dapat digolongkan menjadi dua

    bagian yakni teori pengeluaran pemerintah secara makro dan teori pengeluaran

    pemerintah secara mikro.

    2.1.3.1. Tinjauan Pengeluaran Pemerintah

    Pengeluaran pemerintah dalam hal ini pengeluaran investasi pemerintah

    memiliki kedudukan yang strategis dalam meningkatkan laju pertumbuhan

    ekonomi nasional. Sering pula dikatakan bahwa pengeluaran investasi

    pemerintah dapat memainkan peran sebagai salah satu penggerak utama (prime

    mover) dalam perekonomian, sehingga ketika perekonomian sedang mengalami

    kelesuan akibat adanya resesi ekonomi yang memerosotkan kemampuan

    masyarakat dalam melakukan kegiatan perekonomian, pemerintah melalui

    instrumen kebijakan yang dimiliki dapat tampil menyelamatkan keadaan dengan

  • 33

    memperbesar pengeluaran pemerintah melalui anggaran belanja defisit, dan

    sebaliknya. Dalam setiap sistem perekonomian, baik kapitalis atau sistem

    perekonomian sosialis, pemerintah senantiasa mempunyai peranan yang

    penting.

    Peranan pemerintah sangat besar dalam sistem perekonomian sosialis

    dan sangat terbatas dalam sistem kapitalis. Adam Smith mengemukakan teori

    bahwa pemerintah hanya mempunyai tiga fungsi : 1. Fungsi pemerintah untuk

    memelihara keamanan dalam negeri dan pertahanan. 2. Fungsi pemerintah

    untuk menyelenggarakan peradilan. 3. Fungsi pemerintah untuk menyediakan

    barang-barang yang tidak disediakan oleh pihak swasta, seperti halnya dengan

    jalan, bendungan dan lain sebagainya. Dalam penelitian Gwartney, Lawson dan

    Holcombe (1998), menyebutkan bahwa pemerintah mempunyai fungsi sebagai

    core function. Fungsi ini dapat membuat peningkatan dalam efisiensi

    perekonomian dan seterusnya dapat meningkatkan pertumbuhan.

    Ada dua kategori dalam fungsi ini yang kebanyakan digunakan dalam

    berbagai penelitian, yaitu ; fungsi sebagai pelindung (protective function) dan

    fungsi sebagai penyedia barangbarang publik (provision of a limitedm set of

    collective goods). Protective function termasuk di dalamnya penegakan peraturan

    dan hukum dan hak-hak individu yang dapat melindumgi masyarakat dari

    kehilangan hak-haknya.

    Fungsi yang kedua yaitu provision of a limited set of collective goods,

    adalah menyediakan barang-barang atau jasa seperti pertahanan, jalan,

    pendidikan dan layanan masyarakat lainnya serta barang-barang yang tidak

    disediakan atau disediakan dalam jumlah yang sedikit sekali oleh sektor swasta.

    Dengan tersedianya barang-barang seperti disebutkan diatas dan perlindungan

    hak kepemilikan dapat meningkatkan pertumbuhan PDB (Burda dan Wyplosz,

    2001). Pengeluaran pemerintah secara garis besar terdiri dari pengeluaran rutin

  • 34

    dan pengeluaran pembangunan. Pengeluaran konsumsi pemerintah tercakup

    dalam pengeluaran rutin dan pengeluaran investasi pemerintah tercakup dalam

    pengeluaran pembangunan.

    2.1.3.2. Teori Makro Pengeluaran Pemerintah

    Model Pembangunan ini dikembangkan oleh Rostow dan Musgrave

    (Mangkoesoebroto,1996:170) yang menghubungkan perkembangan

    pengeluaran pemerintah dengan tahap-tahap pembangunan ekonomi yang

    dibedakan antara tahap awal, tahap menengah dan tahap lanjut. Pada tahap

    awal perkembangan ekonomi, persentase investasi pemerintah terhadap total

    investasi besar sebab pada tahap ini pemerintah harus menyediakan prasarana

    seperti pendidikan, kesehatan, transportasi dan sebagainya. Pada tahap

    menengah pembangunan ekonomi, investasi pemerintah tetap diperlukan untuk

    meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar dapat tinggal landas, namun pada

    tahap ini peran investasi swasta sudah semakin membesar. Peran pemerintah

    tetap besar pada tahap menengah karena perans swasta yang semakin besar

    banyak menimbulkan kegagalan pasar (market failure) dan juga menyebabkan

    pemerintah harus menyediakan barang dan jasa publik dalam jumlah yang lebih

    banyak dan kualitas yang lebih baik. Selain itu, pada tahap ini perkembangan

    ekonomi menyebabkan terjadinya hubungan antarsektor yang semakin rumit.

    Musrgave berpendapat bahwa dalam suatu proses pembangunan,

    investasi swasta dalam persentase terhadap GNP semakin besar dan

    persentase pemerintah terhadap GNP akan semakin kecil (Mangkoesoebroto

    1996:170). Sementara menurut Wagner bahwa dalam suatu perekonomian,

    bilamana pendapatan per kapita meningkat, secara relatif pengeluaran

    pemerintah pun akan ikut meningkat. Menurut Wagner, terdapat lima hal yang

  • 35

    menyebabkan pengeluaran pemerintah selalu meningkat, yakni: (i) tuntutan

    peningkatan perlindungan keamanan dan pertahanan, (ii) kenaikan tingkat

    pendapatan masyarakat, (iii) Urbanisassi yang mengiringi pertumbuhan ekonomi,

    (iv) perkembangan demokrasi, (v) ketidakefisienan birokrasi yang mengiringi

    perkembangan pemerintah.

    2.1.4. Dampak Pengeluaran Pemerintah Terhadap Investasi Swasta

    Pada bagian ini akan diulas mengenai teori dampak pengeluaran

    pemerintah terhadap investasi swasta dari sudut pandang yang berbeda.

    Mengingat bahwa pertumbuhan defisit fiskal dan hasil peningkatan hutang

    pemerintah telah menarik perhatian bagi pembuat kebijakan dan analisis pasar

    keuangan. Namun, dampak faktor-faktor pada variabel ekonomi masih

    kontroversial bagi kalangan ekonom terutama dalam hal efek anggaran defisit

    pemerintah terhadap perekonomian terutama investasi. Ada pandangan yang

    berbeda dan masih eksis pada dampak peningkatan pengeluaran pemerintah

    terhadap investasi swasta (Kustepeli, 2005).

    2.1.4.1. Efek Crowding Out

    Teori ini dipelopori oleh kaum Klasik muncul kembali tahun 1970-an

    dalam diskursus perdebatan tentang pengaruh pengaruh pengeluaran

    pemerintah yang dibiayai dengan anggaran defisit. Menurut teori ini bahwa

    campurtangan pemerintah dalam perekonomian menyebabkan menurunnya

    (crowds-out) kegiatan sektor swasta (Bailey, 2003). Dikenal dua jenis crowding-

    out, yakni a) real resource (direct) crowding-out, dan b) financial (indirect)

    crowding-out. Real crowding-out terjadi jika pengeluaran pemerintah

    menyebabkan pengalihan sumberdaya dari sektor swasta ke sektor pemerintah.

    Berhubung sektor swasta dipandang lebih efisien dibandingkan sektor

  • 36

    pemerintah, maka pengeluaran pemerintah untuk kegiatan produksi barang-

    barang dan jasa-jasa akan menurunkan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.

    Financial crowding-out terjadi jika pengeluaran pemerintah,

    perpajakan, dan pinjaman pemerintah menyebabkan turunnya gairah untuk

    bekerja (disincentive-to-work) atau untuk investasi (disincentive-to-invest).

    Disincentive-to-work terjadi jika sektor swasta memandang peningkatan

    beban pajak akibat peningkatan pengeluaran pemerintah lebih besar daripada

    manfaat yang diterima sehingga menurunkan dorongan untuk bekerja.

    Disincentive-to-invest terjadi apabila pengeluaran pemerintah dibiayai dengan

    pinjaman (obligasi) menyebabkan kenaikan tingkat bunga sehingga menurunkan

    minat sektor swasta untuk melakukan investasi (Alani, 2006).

    Crowding out terjadi ketika kebijakan fiskal ekspansioner menyebabkan

    suku bunga naik, akibatnya mengurangi pengeluaran sektor swasta terutama

    investasi (Dornbusch, Fischer dan Startz, 2008:259). Pada setiap kasus semakin

    besar tingkat crowding out, semakin tinggi kenaikan suku bunga ketika

    pengeluaran pemerintah meningkat.

    Dampak crowding out terjadi apabila pengeluaran pemerintah bertindak

    sebagai substitusi untuk pengeluaran swasta. Dampak ini bersumber dari

    menurunnya investasi dan apresiasi nilai mata uang, sebagai akibat dari naiknya

    tingkat bunga karena adanya stimulus fiskal. Besaran turunnya dampak

    pengganda tergantung pada hal-hal berikut (Abimanyu 2005):

    1. Sensitivitas investasi terhadap tingkat bunga, naiknya sensitivitas investasi

    terhadap tingkat bunga akan menurunkan koefisien pengganda. Namun

    demikian, apabila investasi merupakan fungsi positif dari pendapatan, maka

    angka pengganda tidak terlalu berpengaruh.

  • 37

    2. Hubungan antara permintaan uang dengan tingkat bunga dan pendapatan.

    Semakin besar pengaruh tingkat bunga terhadap permintaan uang, akan

    semakin menekan besarnya dampak pengganda, sebaliknya dengan

    kenaikan pendapatan.

    3. Tingkat keterbukaan ekonomi dan sistem nilai tukar yang digunakan.

    Keterbukaan ekonomi menimbulkan peluang substitusi permintaan, dari

    domestik menjadi impor, sehingga memperkecil dampak kebijakan fiskal

    yang diharapkan. Terkait dengan sistem nilai tukar, sistem nilai tukar

    fleksibel yang digunakan dapat meningkatkan crowding out, sehingga

    menurunkan efektivitas stimulus fiskal.

    4. Fleksibelitas harga berpengaruh secara negatif terhadap besarnya

    pengganda.

    5. Rational expectation, apabila kebijakan stimulus fiskal ditempuh secara

    permanen, maka hal tersebut akan menimbulkan harapan akan naiknya

    tingkat bunga dan menguatnya nilai tukar. Sehingga stimulus fiskal menjadi

    kurang efektif, karena mempunyai crowding out yang cukup besar.

    6. Pandangan Ricardian equivalen, kebijakan fiskal tidak memengaruhi

    pendapatan permanen dan pola konsumsi masyarakat. Hal ini disebabkan

    adanya pola pikir masyarakat yang berpendapat bahwa kenaikan

    pendapatan dari stimulus fiskal pasti akan diikuti dengan kenaikan pajak

    dimasa yang akan datang.

    2.1.4. 2. Teori Keynes Crowding In

    Teori ini dikemukakan oleh kelompok Keynesian dengan argumen bahwa

    peningkatan pengeluaran pemerintah mendorong (crowds-in) kegiatan

    perekonomian terutama investasi swasta karena pemerintah membantu

  • 38

    pengembangan sektor swasta melalui penyediaan infrastruktur fisik dan non-fisik.

    Peningkatan pengeluaran dengan anggaran defisit meningkatkan produksi dalam

    negeri. Para investor swasta lebih optimis tentang perekonomian di masa depan

    sehingga mereka meningkatkan investasinya (Alani, 2006).

    Teori yang lain yang dapat dikaitkan dengan hal tersebut adalah teori

    Hirschman tentang pembangunan yang tidak seimbang (unbalanced growth).

    Untuk mendorong pembangunan di negara-negara berkembang, salah satu

    tujuan kebijakan fiskal adalah adalah meningkatkan investasi swasta dan

    pemerintah dalam perekonomian. Berhubung keterbatasan sumberdaya

    finansial, maka pemerintah terlebih dahulu melakukan investasi terutama dalam

    penyediaan social overhead capital (SOC) berupa jalanan, jembatan, pelabuhan,

    kelistrikan, telekomunikasi, pengairan, pendidikan, dan lain-lain untuk mendorong

    investasi swasta dalam bentuk direct productive activities (DPA) atau kegiatan

    produktif yang langsung menghasilkan barang-barang yang dibutuhkan

    masyarakat. Kebijakan seperti ini oleh Hirschman disebut imbalance through

    SOC-DPA (Yotopoulus & Nugent, 1985, Jhingan, 1990).

    Sebaliknya, pemerintah dapat juga terlebih dahulu membiarkan investasi

    swasta berkembang sendiri dengan hanya memberikan insentif perpajakan dan

    subsidi. Pembangunan SOC oleh pemerintah dilakukan setelah munculnya

    berbagai tekanan termasuk politik dari sektor swasta. Kebijakan seperti ini

    disebut imbalance through DPA-SOC, Tetapi kebijakan yang terakhir sulit untuk

    dilaksanakan di negara-negara berkembang karena lemahnya kekuatan sektor

    swasta. Kebijakan imbalance through SOC-DPA dan DPA-SOC dapat dilihat

    pada Gambar 2.1.

  • Imbalance through SOC

    Gambar 2.1. menunjukkan bahwa investasi pemerintah dalam SOC pada

    sumbu datar, sedangkan investasi swasta melalui DPA pada sumbu tegak. Kurva

    a, b, dan c adalah isoquants

    yang menghasilkan output yang sama pada suatu waktu tertentu

    Asumsinya, yaitu

    dikembangkan bersamaan,

    kapasitas penuh. Jika pengeluaran pemerintah pada investasi SOC terlebih

    dahulu, maka perekonomian akan mengkuti garis

    Sebaliknya jika DPA terlebih dahulu, maka pe

    AB'BC'C.

    Hirschman mengemukakan juga peranan

    linkage' yang ditimbulkan, baik oleh investasi pemerintah maupun investasi

    swasta dalam mendorong kegiatan perekonomian. (

    Gambar 2.1.

    Imbalance through SOC-DPA dan DPA-SOC

    Gambar 2.1. menunjukkan bahwa investasi pemerintah dalam SOC pada

    edangkan investasi swasta melalui DPA pada sumbu tegak. Kurva

    isoquants yang menunjukkan berbagai jumlah SOC dan DPA

    yang menghasilkan output yang sama pada suatu waktu tertentu

    Asumsinya, yaitu pertama, investasi SOC dan DPA tidak dapat

    dikembangkan bersamaan, kedua, capital yang digunakan bekerja dengan

    kapasitas penuh. Jika pengeluaran pemerintah pada investasi SOC terlebih

    dahulu, maka perekonomian akan mengkuti garis-garis terputus M'BB"C.

    Sebaliknya jika DPA terlebih dahulu, maka perekonomian akan mengikuti garis

    Hirschman mengemukakan juga peranan 'forward linkage'

    yang ditimbulkan, baik oleh investasi pemerintah maupun investasi

    swasta dalam mendorong kegiatan perekonomian. (Yotopoulus & Nugent, 1985

    39

    Gambar 2.1. menunjukkan bahwa investasi pemerintah dalam SOC pada

    edangkan investasi swasta melalui DPA pada sumbu tegak. Kurva

    jumlah SOC dan DPA

    investasi SOC dan DPA tidak dapat

    capital yang digunakan bekerja dengan

    kapasitas penuh. Jika pengeluaran pemerintah pada investasi SOC terlebih

    garis terputus M'BB"C.

    rekonomian akan mengikuti garis

    'forward linkage' dan 'backward

    yang ditimbulkan, baik oleh investasi pemerintah maupun investasi

    Yotopoulus & Nugent, 1985)

  • 40

    2.1.4.3. Teori Ricardian Equivalence Hypothesis (REH)

    Pendekatan ini dikemukakan oleh Barro yang berpendapat bahwa

    kenaikan defisit anggaran, menyebabkan peningkatan pengeluaran pemerintah

    harus di bayar saat ini atau nanti melalui total penerimaan nilai sekarang yang

    ditentukan oleh total pengeluaran nilai sekarang (Kustipeli, 2005)

    Prinsip umumnya adalah bahwa hutang pemerintah ekuivalen dengan

    pajak masa depan dan jika konsumen cukup melihat ke depan, pajak masa

    depan akan ekuivalen dengan pajak saat ini. Jadi, mendanai pengeluaran

    pemerintah dengan utang adalah ekuivalen dengan mendanainya dengan pajak

    (Mankiew, 2007: 431). Dengan demikian pemotongan pajak saat ini harus

    diimbangi dengan peningkatan pajak masa depan, menyisahkan suku bunga

    sehingga investasi swasta tidak berubah.

    Implikasi atas pengeluaran pemerintah terhadap Investasi swasta dapat

    memberikan efek Crowding Out, Crowding In dan Ricardian Equivalence. Muncul

    pertanyaan mendasar bahwa apakah investasi pemerintah atau sektor publik dan

    swasta merupakan substitusi atau komplementer telah menjadi dasar untuk

    kontroversi yang kuat dalam teori ekonomi dan kebijakan. Pendukung pasar

    bebas berpendapat bahwa intervensi pemerintah dalam perekonomian harus

    diminimalkan. Menurut pandangan ini aktivitas sektor publik bersaing dengan

    sektor swasta untuk sumberdaya yang langka dan mendorong harga meningkat.

    Hal ini terjadi terutama jika investasi sektor publik yang dibiayai dari pinjaman,

    maka akan menyebabkan peningkatan suku bunga pasar sehingga dengan

    demikian dapat meningkatkan biaya modal bagi sektor swasta. Oleh karena itu ,

    beberapa proyek sektor swasta menjadi tidak menguntungkan atau tidak layak.

    Hasil akhirnya adalah crowding out investasi swasta dengan investasi sektor

  • 41

    publik, karena secara umum menerima bahwa investasi sektor swasta

    memberikan kontribusi lebih terhadap pertumbuhan ekonomi, peningkatan

    ukuran sektor publik dengan mengorbankan sektor swasta juga menghambat

    pertumbuhan ekonomi (Alani, 2006).

    Disisi lain, berpendapat bahwa investasi publik mungkin bermanfaat bagi

    pengembangan sektor swasta. Sektor pemerintah, misalnya mampu untuk

    berinvestasi pada proyek-proyek infrastruktur yang melibatkan sunk cost besar

    dan membutuhkan waktu yang lama untuk bisa memperoleh manfaat atau

    keuntungan. Sektor swasta dapat mengambil manfaat dari spillovers seperti

    proyek sektor publik selama dan setelah selesainya proyek. Suatu infrastruktur

    yang lebih baik dapat dikembangkan seperti jalan raya dan kereta api, dapat

    mengurangi biaya transportasi sehingga dapat memberikan fasilitas lingkungan

    usaha yang lebih baik. Selain itu, investasi publik pada pelayanan fasilitas

    pendidikan dan kesehatan membantu peningkatan dan kualitas modal manusia

    dalam suatu perekonomian. Selain itu, sebagai alat manajemen permintaan

    agregat, investasi pemerintah dapat digunakan sebagai ukuran kebijakan

    counter-cyclical ekonomi untuk memperlancar siklus bisnis dan merevitalisasi

    kegiatan sektor swasta setidaknya dalam jangka pendek.

    Argumentasi crowding out yang dijelaskan diatas di dasarkan pada

    asumsi bahwa perekonomian beroperasi pada titik batas kemungkinan produksi

    dan telah berkembang dengan baik dan efisiensi fungsi pasar keuangan. Kondisi

    ini tidak selalu terpenuhi terutama pada negara-negara berkembang.

    Dengan demikian, investasi sektor publik belum tentu bersaing dengan

    sektor swasta untuk sumber daya langka dan terbatas. Sejumlah investasi sektor

    swasta mungkin juga tidak akan dibiayai jika pasar keuangan yang terbatas.

  • 42

    Dalam situasi seperti itu, investasi sektor publik mungkin memainkan peran

    katalis dalam menyediakan infrastruktur ekonomi yang sangat dibutuhkan dan

    jika tidak maka sulit untuk melakukan investasi. Akibatnya, sektor swasta dan

    ekonomi pada umumnya dapat mengambil manfaat dari investasi sektor publik

    tersebut.

    2. 1. 5. Determinan Investasi Swasta

    Secara teoritis determinan investasi swasta ditentukan oleh sejumlah

    faktor yang di duga kuat pengaruhnya terhadap investasi. Sejumlah faktor yang

    diasumsikan secara teoritis dapat mempengaruhi investasi antara lain; suku

    bunga, penyusutan, kebijaksanaan perpajakan, ekpektasi penjualan dan

    penerimaan serta kebijakan ekonomi (Nopirin, 2000). Selain itu iklim investasi

    yang diduga mampu menggerakkan sektor rill dan meningkiatkan investasi

    (Kuncoro, 2009). Determinan investasi swasta yang meliputi variabel ekonomi

    dan variabel non ekonomi yang diakomodasi dalam penelitian ini adalah sebagai

    berikut:

    1. Suku Bunga. Berdasarkan teori investasi salah satu komponen biaya modal

    yang utama adalah suku bunga, sehingga semakin tinggi suku bunga maka

    investasi akan semakin berkurang hal ini sesuai dengan teori klasik dan

    Keynes. (Nurdeen, 2009). Suku bunga yang tinggi akan meningkatkan real

    cost of capital yang pada gilirannya akan menghambat investasi swasta.

    2. Produk Domestik Bruto (PDB). Prinsip Teori Akselerasi menyatakan bahwa

    besarnya investasi proporsional terhadap perubahan output (PDB). Teori

    neoklasik menunjukkan bahwa bahwa investasi swasta berhubungan positif

    terhadap pertumbuhan PDB rill (Ouattara, 2004)

    3. Inflasi. Salah satu faktor uncertainity secara teoritis mempengaruhi investasi

    adalah inflasi (Rodrik, 1991 ; Jongwanich & Kohpaibon, 2008). Keynes

  • 43

    mengakomodasikan variabel ketidak-pastian sebagai faktor determinan

    investasi. Demikian pula Teori portofolio menyatakan bahwa salah satu

    faktor penentu investasi adalah tingkat inflasi (Setyari, 2008). Semakin tinggi

    inflasi maka orang akan cenderung menukarkan kekayaan jenis uang (surat

    berharga) dengan kekayaan jenis barang fisik seperti rumah. Inflasi juga

    dapat menyebabkan kenaikan investasi (produksi), karena kenaikan harga

    akan mendahului upah sehingga revenue bagi pengusaha akan meningkat,

    dengan asumsi pada tingkat inflasi yang moderat.

    4. Upah. Tenaga kerja merupakan salah satu faktor produksi yang dapat

    mendukung proses produksi. Secara teoritis peningkatan tenaga kerja

    menyebabkan harga (upah) tenaga kerja menjadi murah sehingga biaya

    produksi relatif menjadi rendah (Almeida, 2007). Hal ini akan menyebabkan

    investor tertarik untuk melakukan investasi. Secara umum dinegara

    berkembang, faktor produksi tenaga kerja umumnya berlimpah (abudance)

    sehingga menarik bagi investor. Selain itu, tenaga kerja merupakan faktor

    endowment atas determinan investasi (Blonigen, 2011).

    2. 2. Tinjauan Empirik

    Pada bagian ini peneliti akan mereview beberapa hasil penelitian

    terdahulu yang berkaitan dengan dampak pengeluaran pemerintah terhadap

    investasi swasta. Demikian pula efek yang ditumbulkan atas pengeruh tersebut.

    Pada bagian kedua akan direview beberapa hasil penelitian secara empiris

    mengenai determinan investasi swasta. Pada bagian ini melihat sejumlah

    variabel yang mempengaruhi investasi swasta di negara lain.

  • 44

    2.2.1. Studi Empiris Dampak Pengeluaran Pemerintah terhadap Investasi

    Swasta

    Sejumlah penelitian mengenai pengeluaran pemerintah telah dilakukan di

    berbagai negara termasuk di Indonesia. Penelitian tersebut mengkaji kebijakan

    fiskal dalam konteks pengeluaran pemerintah maupun dalam konteks budget

    deficit. Namun pada pembahasan berikut lebih ditekankan pada konteks

    hubungan pengeluaran pemerintah terhadap investasi swasta. Secara umum,

    sejumlah literatur yang mengkaji hubungan tersebut memberikan hasil yang

    berbeda di setiap negara secara inconsistency, yakni Crowding Out, Crowding In

    bahkan mendukung Richardian Equivalence.

    Studi empiris atas kepekaan sektor swasta terhadap kebijakan fiskal

    ekspansif (Hidayat, 2005) menemukan bahwa kebijakan ekspansif yang di

    implementasikan di Indonesia sejak awal pelita I tahun 1969 hingga akhir Pelita

    VI tahun 1998 memberikan efek yang berbeda terhadap investasi swasta dan

    pengeluaran konsumsi masyarakat. Kebijakan fiskal merupakan substitusi

    terhadap investasi swasta dan komplemeter terhadap konsumsi swasta. Namun

    secara keseluruhan kebijakan fiskal ekspansif mampu mendorong pertumbuhan

    ekonomi, khususnya melalui jalur konsumsi. Hal yang serupa diungkapkan

    Kuncoro (2001) menemukan bahwa kebijakan ekspansioner pada pengeluaran

    pembangunan tidak menyebabkan crowding out di pasar barang domestik.

    Desakan pengeluaran pembangunan dari pemerintah hanya terjadi secara

    parsial pada komponen pengeluaran investasi swasta (paradigma klasik berlaku).

    Crowding out tidak terjadi atas pengeluran konsumsi masyarakat (paradigma

    Keynes berlaku). Secara totalitas, kebijakan ekspansi anggaran akan

    meningkatakan pengeluaran sektor swasta. Berbeda dengan temuan

    Hadiwibowo (2010) hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapatan dan

    pengeluaran pemerintah saat ini mempengaruhi investasi dan pertumbuhan

  • 45

    ekonomi negatif. Sebaliknya, pengeluaran pembangunan memiliki efek positif

    terhadap investasi dan pertumbuhan ekonomi.

    Penelitian yang dilakukan oleh Laopodis (2001) mengenai dampak

    pengeluaran publik (militer dan non-militer) gterhadap investasi swasta dengan

    menggunakan analisis kointegrasi dan koreksi kesalahan. Bukti empiris dari

    empat negara Eropa menunjukkan bahwa pengeluaran publik bagi ketiga negara

    (Yunani, Irlandia dan Portugis) telah memberikan positif terhadap investasi

    swasta, namun pengeluaran militer tidak mempengaruhi investasi swasta. Intinya

    bahwa di negara-negara dengan tingkat pembangunan yang rendah,

    pengeluaran publik non militer memiliki dampak positif yang kuat terhadap

    investasi swasta sementara pada negara dengan perekonomian yang lebih maju

    (Spanyol) belanja publik yang tinggi secara umum dapat menggantikan investasi

    swasta.

    Penelitian serupa dilakukan oleh Wang (2005) mengenai dampak

    pengeluaran pemerintah terhadap investasi swasta di Kanada. Dengan

    menggunakan metode analisa kointegrasi dan ECM menemukan bahwa

    pengeluaran pemerintah atas pendidikan dan kesehatan berdampak positif

    terhadap investasi swasta, sementara pengeluaran modal dan infrastruktur justru

    berpengaruh negatif terhadap investasi swasta.

    Erden dan Holcombe (2005), melakukan penelitian mengenai dampak

    investasi publik terhadap investasi swasta dalam mengembangkan ekonomi.

    Berangkat dari literatur mengenai dampak investasi publik di negara berkembang

    yang memberikan hasil yang tidak konsisten apakah sebagai pelengkap atau

    substitusi terhadap investasi swasta. Dengan menggunakan data panel dari

    sembilan belas negara berkembang dan dua belas negara industri dari tahun

    1980 hingga 1997, menemukan bahwa investasi publik melengkapi investasi

    swasta pada negara berkembang. Setiap kenaikan sepuluh persen investasi

  • 46

    publik akan diikuti dengan peningkatan dua persen investasi swasta. Hasil

    penelitian ini juga menemukan bahwa investasi swasta dibatasi oleh

    ketersediaan kredit bank di negara berkembang. Dengan menggunakan model

    empiris yang sama pada panel negara maju, menunjukkan temuan yang

    berbeda. Investasi publik di negara maju crowd-out (substitusi) terhadap

    investasi swasta di negara maju. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa

    dalam beberapa cara penting, investasi swasta di negara maju di dipengaruhi

    oleh faktor yang berbeda dari investasi swasta di negara berkembang. Model

    dalam penelitian yang dilakukan Erden menggunakan Panel dinamis yang

    menggunakan Fix effect dan 2SLS Non Linier Least Square dengan metode

    GARCH. Dalam penelitian tersebut ditemukan hasil yang berbeda dari setiap

    panel negara berkembang dan negara industri dengan penentu faktor investasi

    swasta yang berbeda bagi kedua kelompok negara tersebut.

    Penelitian yang dilakukan Kustepeli (2005) bertujuan untuk mengetahui

    efektifitas kebijakan fiskal pemerintah dalam konteks hipotesis crowding out di

    Turki. Membangun dua model dengan variabel dependen yang sama namun

    salah satu variabel independennya berbeda. Secara keseluruhan model tersebut

    adalah investasi sebagai fungsi dari GDP, suku bunga, dan kebijakan fiskal.

    Pada model pertama variabel fiskal yang dimasukkan adalah pengeluaran

    pemerintah dan model yang kedua adalah defisit fiskal. Model pertama

    mencerminkan pemikiran Keynes sementara model kedua merupakan aliran

    Neoklasik. Menggunakan uji kointegrasi Johansen dan Analisis VAR untuk

    memverifikasi antara pandangan Keynes dan Neoklasik di Turki. Hasilnya

    menunjukkan perbedaan dalam konteks crowding out maupun crowding in

    dalam investasi swasta. Peningkatan pengeluaran pemerintah memberikan efek

    crowding in terhadap investasi swasta, sedangkan defisit pemerintah ditemukan

    memberikan efek crowding out terhadap investasi swasta di Turki. Selain itu,

  • 47

    pada penelitian ini variabel antara, suku bunga berpengaruh negatif sementara

    pendapatan nasional berpengaruh positif terhadap investasi swasta.

    Alani (2006), meneliti efektivitas kebijakan fiskal dalam konteks hipotesis

    crowding out atau crowding in di Jepang selama periode 1998 2006. Dengan

    menggunakan analis deskriptif melihat hubungan antara hutang pemerintah dan

    pasar obligasi pemerintah dan investasi sektor swasta. Hasil penelitian

    menunjukkan bahwa adanya hubungan positif antara investasi sektor publik

    terhadap investasi swasta. Berangkat dari pemikiran bahwa defisist anggaran

    pemerintah itu menjadi bentuk penting kebijakan fiskal yang memberi efek pada

    variabel makroekonomi terutama ketika hal tersebut diabiayai oleh obligasi

    pemerintah sehingga jelas melalui rasio keterantungan obligasi yang besar.

    Anggaran defisit pemerintah yang dibiayai oleh obligasi, dampak crowding out

    dapat dihindari dengan sejumlah argumentasi: (i) suku bunga tidak sensitif

    terhadap anggaran, (ii) hubungan antara investasi sektor swasta dan investasi

    sektor publik yang saling melekapi, (iii) pengeluaran pemerintah yang produktif,

    (iv) tingkat pengembangan pasar keuangan dan tingkat integrasi dalam pasar

    keuangan internasional yang sangat tinggi, sehingga pemerintah dan

    perusahaan swasta dapat melakukan pinjaman keuangan dari pasar keuangan

    domestik dan internasional. Maka untuk alasan tersebut, pasar obligasi

    pemerintah crowding in investasi swasta dalam perekonomian Jepang selama

    periode pengamatan.

    Afonso dan Aubyn (2008), melakukan penelitian dampak makroekonomi

    dari investasi publik dan investasi swasta. Penelitian ini menggunakan data panel

    dari empet belas negara Uni Eropa ditambah Kanada, Jepang dan Amerika

    Serikat yang dianalisis dengan menggunakan metode VAR. Kemudian dari fungsi

    respon impuls dapat dinilai sejauh mana dampak crowding in atau crowding out

    dari kedua komponen investasi. Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar

  • 48

    adanya efek positif dari investasi publik dan investasi swasta pada output. Di sisi

    lain, efek crowding in investasi publik terhadap investasi swasta bervariasi antar

    negara, sementara efek crowding in investasi swasta terhadap investasi publik

    dapat digeneralisir.

    Cavallo dan Daude (2008) menganalisis dampak investasi publik

    terhadap invesatsi swasta pada negara berkembang. Penelitian ini menggunakan

    data panel sebanyak seratus enam belas negara-negara berkembang selama

    periode 1980 2006. Dengan menggunakan metode panel dinamis, penelitian ini

    menemukan adanya efek crowding out kuat dan kokoh yang nampaknya sebagai

    norma bukan pengecualian baik antar daerah maupun dari waktu ke waktu. Hal

    lain ditemukan bahwa efek ini dikurangi (atau bahkan hilang) pada negara-

    negara dengan institusi yang lebih baik dan lebih terbuka bagi perdagangan

    internasilan dan arus keuangan. Hasil tersebut konsisten terhadap hipotesis

    bahwa infrastruktur publik mungkin melengkapi investasi swasta dalam fungsi

    produksi agregat. Sebagimana investasi publik idealnya harus difokuskan pada

    peningkatan produktivitas dan daya saing. Ada distorsi terkait dengan proses

    investasi publik yang mungkin membuat crowding out atas investasi swasta