Deteritorialisasi Memangsa Potensi Wisata fileSENI BUDAYA YOGYAKARTA. Komik oleh Vitus Yogi. SENI...

44
EDISI 3 / 2017 Deteritorialisasi Memangsa Potensi Wisata SENI BUDAYA YOGYAKARTA

Transcript of Deteritorialisasi Memangsa Potensi Wisata fileSENI BUDAYA YOGYAKARTA. Komik oleh Vitus Yogi. SENI...

Page 1: Deteritorialisasi Memangsa Potensi Wisata fileSENI BUDAYA YOGYAKARTA. Komik oleh Vitus Yogi. SENI BUDAYA YOGYAKARTA ... 12 17 23 27 32 36 Penanggung jawab Umum Drs. Umar Priyono, M.Pd.

EDISI 3 / 2017

Deteritorialisasi Memangsa Potensi Wisata

SENI BUDAYA YOGYAKARTA

Page 2: Deteritorialisasi Memangsa Potensi Wisata fileSENI BUDAYA YOGYAKARTA. Komik oleh Vitus Yogi. SENI BUDAYA YOGYAKARTA ... 12 17 23 27 32 36 Penanggung jawab Umum Drs. Umar Priyono, M.Pd.

Komik oleh Vitus Yogi

Page 3: Deteritorialisasi Memangsa Potensi Wisata fileSENI BUDAYA YOGYAKARTA. Komik oleh Vitus Yogi. SENI BUDAYA YOGYAKARTA ... 12 17 23 27 32 36 Penanggung jawab Umum Drs. Umar Priyono, M.Pd.

SENI BUDAYA YOGYAKARTA

Matajendela, majalah seni budaya terbit selama tiga bulan sekali.Redaksi menerima tulisan dari penulis, kritikus dan pemerhati seni budaya.

Diproduksi di YogyakartaKertas kover: Aster, Isi: Matte PaperHuruf: Cambria, Alte Haas Grotesk, Aller & Aller Light.

Bukit Panguk Kediwung, Bantul, Yogyakarta.Foto: Kuss Indarto

EDISI 3 / 2017

Diterbitkan oleh Taman Budaya YogyakartaJl. Sriwedani No. 1 Yogyakarta 55123Telp: (0274) 523512, 561914 Fax: (0274) 580771Email: [email protected]: www.thewindowofyogyakarta.com

EDITORIAL

Ia yang Lenyap di Mata Kamera

JENDELA

Deteritorialisasi Memangsa Potensi Wisata

Bicara tentang Kekinian Berwisata

Melihat Ulang Gagasan Ekowisata

Pariwisata Jogja (Mestinya) untuk Semua

Mereka Bergerak dan Pergi

LINTAS

Europalia 2017, Nusantara di Jantung Eropa

SKETSA

Perempuan Rowobono

2

6

12

17

23

27

32

36

Penanggung jawab UmumDrs. Umar Priyono, M.Pd.

Penanggung jawab TeknisDrs. Diah Tutuko Suryandaru

Pemimpin RedaksiKuss Indarto Desainer

Maria UtheViki Bela

FotografiSuprayitno Rudi S.

Lukito

SekretariatDra. V. Retnaningsih

Drs. Sutopo HernantoEndrawati Kusumo L., S.Sn.

BejoWahyudi

Redaktur/EditorSuwarno Wisetrotomo

Stanislaus YangniSatmoko Budi Santoso

Page 4: Deteritorialisasi Memangsa Potensi Wisata fileSENI BUDAYA YOGYAKARTA. Komik oleh Vitus Yogi. SENI BUDAYA YOGYAKARTA ... 12 17 23 27 32 36 Penanggung jawab Umum Drs. Umar Priyono, M.Pd.

4

Ia yang Lenyap di Mata Kamera

Menyoal (Wisata) Alam Kini

Tak berapa lama berselang setelah erupsi Merapi 2010, Jogja memadat. Tentu saja

perlahan-lahan pada awalnya, kemudian mengalami percepatan pendatang dan pembangunan di sana sini. Setidaknya, itu yang terekam dalam ingatan saya. Sebelumnya ada kekhawatiran dari sebagian orang; mereka seperti meramalkan bahwa akan terjadi pengurangan pendatang karena takut pada Merapi, atau gempa bumi besar 2006 silam. Entah kenapa waktu itu saya merasa bahwa yang akan terjadi adalah sebaliknya. Dugaan itu mungkin berawal dari sini: adanya aktivitas berfoto yang bisa diamati di area erupsi Merapi, bahkan ketika masih sangat panas dan baru beberapa hari berlalu setelah kejadian 2010 itu; foto yang seakan mau menunjukkan bahwa “Saya sedang di lokasi bencana alam.” Waktu itu belum ada tongkat narsis, dan belum marak smartphone yang menawarkan kamera depan.

Kendati mungkin waktu itu belum ada tradisi upload foto, dan instagram belum marak, namun

ada satu kecenderungan, yaitu bahwa alam yang sedang dalam keadaan “hancur lebur” pun bisa jadi tempat wisata sebab mungkin dalam kengerian termuat juga rasa takjub, dramatik, euforia; sublim. Ia, ketidakterbatasan beserta berbagai “rasa”nya yang tak bisa ditangkap itu, berusaha ditangkap manusia sebisanya lewat kamera. Hamparan serupa padang pasir hasil erupsi merapi yang mengubur beberapa desa pun tak lama kemudian jadi spot foto (walau belum banyak). Tak berapa lama, muncul jip-jip wisata dan motor trail yang bisa disewa berikut pemandunya untuk mengelilingi lokasi erupsi, Kinahrejo dan desa sekitarnya, serta Sungai Gendol yang merupakan salah satu lokasi terparah ketika erupsi terjadi. Alam seakan mulai bisa “dimasuki.” Jalan-jalan sekitar sana tak lagi diperbaiki seperti sebelumnya, sebab kini sengaja diperuntukkan untuk wisata petualangan. Maka, pariwisata Jogja seperti bangkit - berbeda dari sebelumnya yang lebih banyak wisata sejarah dan budaya (keraton, candi, Malioboro, museum, kota lama), kini lebih

banyak lokasi alam yang dijadikan tempat wisata dan lebih menjadi incaran wisatawan. Kemeriahan wisata alam itu tak bisa dilepaskan dari pesatnya perkembangan teknologi, selain media sosial, juga berbagai aplikasi perjalanan. Maka, kini bukan “ketidakterbatasan” alam itu yang berusaha ditangkap via kamera, namun manusianya, turis yang sedang berada di sana, di “kemegahan” alam itu yang ditangkap. Mereka tampil berupa wajah-wajah dan pose-pose yang seringkali tak ada kaitannya dengan alam yang sedang diinjak.

Dulu, wilayah-wilayah tak terjamah semacam itu mungkin hanya “milik” penduduk setempat, atau para pecinta alam yang “blusukan” – namun kini “dikuasai” anak muda gaul yang ingin tampil di media sosial sebagai sosok yang mungkin terlihat “heroik” ketika berpose di alam terbuka. Mungkin bukan

Kali Gendol, lokasi yang terkena awan panas Merapi 2010. Sumber: Dokumentasi penulis

EDITORIAL

Page 5: Deteritorialisasi Memangsa Potensi Wisata fileSENI BUDAYA YOGYAKARTA. Komik oleh Vitus Yogi. SENI BUDAYA YOGYAKARTA ... 12 17 23 27 32 36 Penanggung jawab Umum Drs. Umar Priyono, M.Pd.

5

Edisi 3/2017 | matajendela

mahasiswa KKN, antara lain Curug Cibiru di pedukuhan Ngentak, Kulonprogo, satu dusun sebelum yang terakhir paling ujung Barat wilayah Yogyakarta. Lainnya, Curug Sidoarjo,alias air terjun perawan, Curug Siluwok, Watu Blancong, Watu Tekek yang letaknya masih di daerah sana. Tempat lainnya, yaitu arah Barat kota Yogyakarta, seputaran Godean, Seyegan, Kulonprogo pun bermunculan, antara lain Hutan Mangrove Kulonprogo, Bukit Ijo, Bukit Isis, Ayunan Langit Watujaran, Curug Setawing, Taman Sungai Tuk Mudal, dan lain-lain. Berbagai titik lokasi yang bisa dipandang indah (dalam arti indah untuk jadi latar belakang foto diri), entah itu curug, bendungan, tebing, jembatan gantung, deretan pepohonan pinus, perkebunan teh, perkebunan bunga, pucuk-pucuk dataran tinggi, air terjun kecil

karena mereka merasakan keindahan alamnya, melainkan hanya melihat bahwa alam itu indah, bisa difoto bersama dirinya, dan dipublikasikan. Karena itu, bermunculan lah berbagai “tempat wisata dadakan” yang dikelola penduduk setempat - yang menjamur dua tiga tahun terakhir, sebut saja di antaranya yang ada di sepanjang jalan Imogiri-Dlingo, Bukit Bego (Bukit Kedung Buweng) seperti bongkahan bukit yang berasal dari longsoran atau bekas galian, selanjutnya di sepanjang jalan sana ada Watu Goyang, Watu Lawang, Tebing Watu Mabur, Bukit Mojo, Bukit Panguk, Tebing Menawa, Telaga Biru, Bukit Lintang Sewu dan masih banyak nama lagi, kemudian di daerah perbukitan Samigaluh ada beberapa obyek wisata yang dikelola masyarakat setempat pula, di antaranya masih dibantu oleh

Page 6: Deteritorialisasi Memangsa Potensi Wisata fileSENI BUDAYA YOGYAKARTA. Komik oleh Vitus Yogi. SENI BUDAYA YOGYAKARTA ... 12 17 23 27 32 36 Penanggung jawab Umum Drs. Umar Priyono, M.Pd.

6bisa jadi tidak berjangka panjang, entah karena tidak dikelola dengan baik, atau terjadi kerusakan yang akhirnya mengakhiri tempat itu. Maka, kalau mau dilihat lebih jauh daripada sekadar pengembangan wisata kota Jogja, kita bisa bertanya lebih lanjut, bersyukur atau tidakkah kita di saat kaum muda melirik alam kini, yang diharapkan akan ikut serta “mencintai dan “menjaga” alam dari kegemaran “barunya” pergi ke alam bebas, justru menjadi sumber kerusakan alam baru. Karena itu, di sini ada beberapa tulisan yang mencoba mengkritisi fenomena wisata baru tersebut.

In Nugroho membahas persoalan ironisnya identitas manusia modern

yang airnya hanya ada ketika hujan, gumuk pasir, bahkan sebuah batu besar pun bisa jadi “tempat wisata” ketika dikelola, dan diberi “kisah” sebagai bumbu. Semua seakan bisa menjadi “tempat wisata baru” seketika, asalkan dianggap “layak” jadi spot foto. Di sisi lain, mungkin tak hanya pasif di dalam foto, mereka juga menulis kisah perjalananannya di berbagai blog dan website. Maka bermunculan juga blog-blog atau tulisan yang berisi cerita tempat wisata itu - yang sebenarnya membuka peluang, selain promosi di antara sesamanya, juga mengembangkan apa yang diistilahkan sebagai ‘travel writing.’ Namun, pertanyaan lain muncul, mungkinkah travel writing di tengah “wisata” yang kini tampaknya hanya soal apa yang dilihat, bukan apa yang dirasa, terlebih pengalaman berada di sana sesungguhnya?

Edisi kali ini Mata Jendela mengangkat fenomena “wisata alam dadakan” yang marak di Jogja tersebut. Keberadaan tempat tersebut tak hanya bisa menaikkan pendapatan setempat dan membuka lahan pekerjaan baru (penjaga parkir, warung, toilet umum, dan sebagainya), dan melahirkan masyarakat “sadar wisata,” kemunculan traveler baru yang rata-rata dimulai dari usia belasan tahun itu juga sayangnya seringkali tidak diimbangi dengan kesadaran berhadapan dengan alam. Akibatnya, wisata alam

dan pengalaman menjadi turis: mereka kehilangan keterikatan dengan apa yang dikunjunginya - ia meminjam istilah Deleuze dan Guattari, sebagai bentuk deteritorialisasi. Kemudian, Nurdiansyah Dalidjo menyoal bagaimana dilematisnya manusia millenial berwisata, sementara Setiawan Priatmoko lebih melihat aspek bisnis pariwisata yang berpotensi bisa memperbesar jurang kaya dan miskin di Jogja, dan mencoba mencari alternatif pada pengembangan RTH (Ruang Terbuka Hijau). Gagasan ekowisata yang seakan menjadi “landasan” pariwisata Jogja dikritisi Arham Rahman dalam tulisannya. Ia mempertanyakan juga nalar ekowisata yang mungkin tak ada

Papan pengarah menuju lokasi Air Terjun Curuk.Sumber: Dokumentasi Venti

Page 7: Deteritorialisasi Memangsa Potensi Wisata fileSENI BUDAYA YOGYAKARTA. Komik oleh Vitus Yogi. SENI BUDAYA YOGYAKARTA ... 12 17 23 27 32 36 Penanggung jawab Umum Drs. Umar Priyono, M.Pd.

7

Edisi 3/2017 | matajendela

perjalanan untuk bisa lebih peka dan kreatif atas pengalamannya sendiri.

Akhir kata, pariwisata bukan hal baru untuk dibahas, terlebih di Yogyakarta. Namun, berbicara soal wisata di Jogja kini - alih-alih bicara soal frekuensi tempat dan pengunjung, pengembangan fasilitas, dan sebagainya, agaknya lebih vital melihat bagaimana “ruang-ruang” itu semua, termasuk kota Jogja, dikelola dengan kesadaran ekologi dan kesinambungan ekosistem - ini menjadi persoalan besar di Jogja tanpa disadari. Dan sebenarnya,

bedanya dengan berbagai praktik wisata massal. Selanjutnya, ada tulisan Arief Ash Shiddiq yang lebih refleksif mengajak kita melihat keniscayaan sebuah pergerakan, perpindahan, perjalanan; sebuah peristiwa pergi, dulu dan sekarang. Arief menelaah berbagai tulisan perjalanan “wisata” dalam berbagai blog anak muda saat ini, dan mendapati sebuah tantangan bagi anak muda para travel writer kini, yaitu mengenai bagaimana sebuah perjalanan mesti dituliskan. Sebuah perjalanan (wisata) tentu tak hanya persoalan bagus dilihat, tapi lebih dari itu. Maka, sebenarnya ada peluang besar bagi para penulis

lewat “wisata baru” tersebut, kita diajak melihat lebih jauh, selain perkara keindahan alam sebagai obyek wisata, ataupun aspek ekonominya, juga berbagai problematika kehidupan kota dan gaya hidup masyarakat Jogja yang sedang bergeser dan tarik menarik: yang di antara “rural-urban.”

Stanislaus Yangni, redaksi Mata Jendela.

Papan pengarah menuju lokasi Wisata Alam Curug Siluwok.Sumber: Dokumentasi Venti

Curug Cibiru, Dusun Ngentak, Pagerharjo, Samigaluh, Kulonprogo. Sumber: Dokumentasi penulis

Page 8: Deteritorialisasi Memangsa Potensi Wisata fileSENI BUDAYA YOGYAKARTA. Komik oleh Vitus Yogi. SENI BUDAYA YOGYAKARTA ... 12 17 23 27 32 36 Penanggung jawab Umum Drs. Umar Priyono, M.Pd.

8 bisa berlangsung di mana saja. Di situ, apa-apa saja yang awalnya menjadi kegembiraan masyarakat luas dan tampak nilai ekonominya berubah menjadi situasi yang berkebalikan. Alih-alih halnya lestari, yang tadinya promising untuk pengembangan ekonomi dan kesejahteraan, serta bermanfaat bagi kehidupan bersama justru menjadi layu sebelum berkembang. Kondisi alam yang menyediakan sesuatu yang dipandang bernilaibagi masyarakat,baik secara ekonomi maupun sosial, berada dalam suatu horizon

K ala itu, kebun milik Sukadi di Desa Salam, Kecamatan Patuk, Gunungkidul,

Yogyakarta, yang penuh dengan bunga Amaryllis secara viral menjadi terkenal di dunia maya setelah ada yang mengunggah fotonya di media sosial. Sontak, banyak orang dari berbagai penjuru datang di kebun itu, dan berfoto-ria, termasuk selfie, dalam berbagai pose, hingga kebun yang sebelumnya indah dengan bungaberubah menjadi rusak oleh karena terinjak-injak.

Fenomena munculnya lokasi pariwisata di suatu bentangan alam tertentu, lengkap dengan perilaku para turisnya, seperti yang terjadi dalam peristiwa di kebun bunga Amaryllis tersebut

perilaku manusia dan dampak-dampak dari perilaku itu yang tidak selalu sinkron dengan atau berjarak dari apa yang dibutuhkan dalam berelasi dengan kondisi alam tersebut.

Tulisan ini menggunakan fenomena tersebut sebagai titik tolak untuk secara ringkas meninjau perilaku masyarakat modern, berkenaan dengan hal-hal kepariwisataan, khususnya pariwisata alam dan sejenisnya yang berada dalam sirkumstansi dipergunakannya media sosial dan internet sebagai

DeteritorialisasiMemangsa Potensi Wisata

In Nugroho Budisantoso

“Kebun Bunga Amaryllis Kembali Mekar, Tolong Jangan Dirusak ...”, demikian judul sebuah berita yang dimuat Kompas.com pada 17 Juli 2017. Para pembaca berita itu diajak untuk

mengingat peristiwa yang sempat membuat heboh netizen pada tahun 2015.

Salah satu foto yang memperlihatkan seorang pengunjung kebun bunga Amaryllis milik Sukadi, dengan pose tiduran di atas hamparan bunga, yang sempat beredar di media sosial. Sumber: www.tempo.co dan facebook.com

JENDELA

Page 9: Deteritorialisasi Memangsa Potensi Wisata fileSENI BUDAYA YOGYAKARTA. Komik oleh Vitus Yogi. SENI BUDAYA YOGYAKARTA ... 12 17 23 27 32 36 Penanggung jawab Umum Drs. Umar Priyono, M.Pd.

9

Edisi 3/2017 | matajendela

pesawat jet mampu menghantar orang dalam waktu sekejab dan siapapun mendadak menjadi begitu mobilealias bisa ke mana saja dengan cepat, termasuk bisa berwisata ke tempat manapun yang disuka. Sementara itu, dua orang yang dibatasi oleh lautan yang sebelumnya tak terseberangi dapat berkomunikasi muka dengan muka lewat aplikasi video call melalui gadget masing-masing.Secara ajaib, tempat yang satu dan tempat yang lainnya di permukaan bumi tak lagi terisolasi. Hal-hal yang terjadi di suatu tempat atau bahkan nilai-nilai yang dihidupi oleh suatu komunitas masyarakat di tempat itu dapat dengan mudah tertransfer atau diketahui oleh komunitas lain yang berbeda sejarah dan budayanya. Dalam kondisi seperti itu, perjumpaan antarbudaya yang tumbuh di berbagai lokalitas menjadi tak

sarana komunikasi dewasa ini. Dua hal pokok dibahas dalam tulisan ini, yaitu: (1) mental landscapedi balik perilaku masyarakat di era globalisasiyang sambung dengan berlangsungnya deteritorialisasi pada hubungan antara wisatawan dan objek wisata, serta(2) perihal identitas “modern” dalam wacana kepariwisataan.

Mental Landscape dan DeteritorialisasiSejak temuan-temuan baru dari teknologi transportasi dan komunikasi diaplikasikan dalam kehidupan manusia di atas bumi, imajinasi mengenai ruang dan waktu berubah. Bumi terasa menjadi lebih kecil daripada sebelumnya. Hubungan antarmanusia yang sebelumnya cenderung tidak intens dan terhalang oleh jarak nyaris tidak ditemukan lagi setelah

terelakkan, dan yang dominan bisa menenggelamkan atau menelan yang lain. Secara fisik, jarak dan batas masih exist dan masing-masing komunitas masyarakat berada di suatu lokasi tertentu di muka bumi. Akan tetapi, secara mental, mereka terhubung satu dengan yang lainnya, dan terlahir apa yang disebut sebagai budaya bersama yang dihidupi oleh masyarakat secara global.

Di situ, budaya “berjenis” global ini berkembang dan tidak ditentukan olehkeberakaran orang pada lokasi geografis. Malahan berbagai lokalitas di atmosfer berkembangnya budaya global ini cenderung mudah dimasuki oleh apa-apa saja yang berasal dari tempat lain. Situasi ini dijelaskan olehGilles Deleuze dan Félix Guattari di dalam buku Anti-Oedipus:

Page 10: Deteritorialisasi Memangsa Potensi Wisata fileSENI BUDAYA YOGYAKARTA. Komik oleh Vitus Yogi. SENI BUDAYA YOGYAKARTA ... 12 17 23 27 32 36 Penanggung jawab Umum Drs. Umar Priyono, M.Pd.

10

mengenai berlangsungnya deteritorialisasi itu. Para turis itu, bahkan turis lokal, tidak mempunyai keterikatan natural yang kuat dengan objek yang mereka kunjungi selain keterikatan emosional pada trend untuk mengkonsumsi objek yang mereka butuhkan dan memasang foto-foto yang mereka anggap keren di aneka platform media sosial. Bahkan bila seseorang belum atau tidak sempat mengekspose dirinya lewat foto-foto itu, timbul rasa-perasaan bahwa mereka ketinggalan zaman, dan pembentukan identitas dirisebagai seseorang yang terus updatedmenjadi terganggu.Deteritorialisasi sesungguhnya menghadirkan jarak antara bunga Amaryllis dan para pengunjung

Capitalism and Schizophrenia (1983) sebagai deteritorialisasi, yaitu berlangsungnya gejala perilaku manusia yang memiliki keterlibatan mental dan emosi yang kuat pada suatu kecenderungan umum yang terjadi secara mondial tetapi pada waktu yang sama tercabut dari hal-hal yang sesungguhnya secara fisik dan material sangat dekat atau bahkan melekat pada diri yang bersangkutan.

Apa yang terjadi di kebun bunga Amaryllis milik Sukadi di Gunungkidul, dan juga berlangsungnya mobilitas para pengunjung dalam paket-paket wisata, kiranya dapat dicerna dan dibaca melalui penjelasan

yang berfoto-ria, mirip-mirip dengan kecenderungan hilangnya tanggung jawab sosial terhadap persoalan-persoalan lokal dari siapapun yang tinggal di kost-kostan secara temporer di area lingkungan tertentu, atau juga kencenderungan mereka yang atas nama usaha untuk memeluk kemajuan mengubah hutan alamiah menjadi hutan produksi dengan pengabaian pada masyarakat lokal dan adat kultural yang sambung dengan hutan alamiah. Tradisi kemasyarakatan lokal yang tumbuh dan menjadi pilar terjadinya kohesi sosial lalu kurang atau bahkan tidak dikenal oleh para pengunjung temporer atau para konsumer itu.

“Dalam gelombang hasrat seluas dunia untuk “menjadi modern” seturut cara-cara analogis yang

“deterritorialising”, munculnya suatu lokasi bentangan alam yang berdaya tarik pariwisata berada pada situasi

tegangan, yaitu di satu sisi: terakomodasinya kepentingan komunitas-komunitas setempat dengan kearifan budaya

lokal masing-masing dan di sisi lain: diterapkannya pilihan dari pemangku kebijakan terkait pengembangan

pariwisata berbasis lokalitas demi menopang pertumbuhan ekonomi.”

Page 11: Deteritorialisasi Memangsa Potensi Wisata fileSENI BUDAYA YOGYAKARTA. Komik oleh Vitus Yogi. SENI BUDAYA YOGYAKARTA ... 12 17 23 27 32 36 Penanggung jawab Umum Drs. Umar Priyono, M.Pd.

11

Edisi 3/2017 | matajendela

melekatnya identitas seseorang tersebut pada peradaban modern, atau being modern. Di sinilah kunjungan turisme yang mempengaruhi identitas seseorang sebagai “orang modern” mengubah pola konsumsi atas suatu pemandangan alam atau suatu locus wisata tertentu, yaitu: dari fungsi kegunaan instrumental menjadi fungsi kegunaan

Identitas ModernMelalui bukuThe Tourist: A New Theory of Leisure Class (1999), Dean MacCannel menunjukkan bahwa, dalam konteks-konteks baru, seorang turis bukan hanya hadir sebagai semata sightseer, melainkan juga dalam berbagai aktivitas berkunjung sebagai turis hendak ditunjukkan sesuatu yang khas sebagai bagian dari

sosial. Sebab, berwisata dapat menunjukkan status atau tingkat ke-modern-an seseorang.

Usaha-usaha masyarakat untuk “menjadi modern” tersebut menyimpan paradox pada dirinya sendiri. Dalam kacamata Claude Lévi-Strauss, lewat buku The Savage Mind (1966), modus “menjadi modern” terkait dengan

“The Mask Grows to Us” karya Clarence John Laughlin (1947).Sumber: https://medium.com/about-south/southern-surrealism-conceptualization-to-modernity-7db813c8624c

Page 12: Deteritorialisasi Memangsa Potensi Wisata fileSENI BUDAYA YOGYAKARTA. Komik oleh Vitus Yogi. SENI BUDAYA YOGYAKARTA ... 12 17 23 27 32 36 Penanggung jawab Umum Drs. Umar Priyono, M.Pd.

12 savage mind deepens its knowledge with the help of imagines mundi. It builds mental structures which facilitate an understanding of the world in as much as they resemble it. In this sense savage thought can be defined as analogical thought.”

Dalam gelombang hasrat seluas dunia untuk “menjadi modern” seturut cara-cara analogis yang “deterritorialising,” munculnya suatu lokasi bentangan alam yang berdaya tarik pariwisata berada pada situasi tegangan, yaitu di satu sisi: terakomodasinya kepentingan komunitas-komunitas setempat dengan kearifan budaya lokal masing-masing dan di sisi lain: diterapkannya pilihan dari pemangku kebijakanterkait pengembangan pariwisata

motivasi dasar untuk menciptakan tingkat keberadaban tertentu, yang sesungguhnya justru melahirkan alienasi, kekerasan, dan ketidakotentikan dalam masyarakat.Identitas modern yang hendak dibentuk tersebut ibarat topeng yang menutup kenyataan atau realitas apa adanya. Maka, modernisasi ala “the savage mind” mendorong cara-cara analogis dalam meninjau segala sesuatu, yaitu lebih mencari kesamaan ketimbang perbedaan, sehingga keunikan cenderung diingkari keberadaaannya, atau tertutup sedemikian rupa, dan proyek homogenisasi demi adanya sistem-sistem yang membentuk klasifikasi dan semacamnya memperoleh ruang pengembangan yang luas. Ditegaskan oleh Lévi-Strauss, “The

berbasis lokalitas demi menopang pertumbuhan ekonomi. Belum lagi di dalam tegangan itu masih ada variabel kelestarian alam yang perlu dijamin. Di sini, berkembangnya analogical modes dalam kebijakan bidang kepariwisataan bukan hanya memperlihatkan kecenderungan terjadinya deteritorialisasi kebijakan publik, tetapi juga mengancam prinsip-prinsip sustainable development, sehingga orientasi pembangunan bidang kepariwisataan demi terwujudnya keseimbangan pertumbuhan ekonomi, sosial, dan ekologis susah terwujud (bdk. Blewitt, 2015). Dengan lain kata,pada situasi pengembangan kepariwisataan tersebut,alienasi, kekerasan, dan ketidakotentikan terpelihara dan

“Sesungguhnya, setiap lokasi berbasis alam, di manapun itu, asal berkarakter khas, menyimpan

potensi yang menjanjikan untuk berkembangnya apa yang sering diistilahkan sebagai industri pariwisata. Namun demikian, tidak setiap ruleofthegame yang

diciptakan untuk menopang bertumbuhnya industri pariwisata berbasis alam itu ramah terhadap alam itu

sendiri maupun masyarakat lokalnya.”

Page 13: Deteritorialisasi Memangsa Potensi Wisata fileSENI BUDAYA YOGYAKARTA. Komik oleh Vitus Yogi. SENI BUDAYA YOGYAKARTA ... 12 17 23 27 32 36 Penanggung jawab Umum Drs. Umar Priyono, M.Pd.

13

Edisi 3/2017 | matajendela

Risetdari Kathleen Adams (2008) terhadap keberadaan handycraft dan souvenir memperlihatkan bagaimana perkembangan turisme di suatu kawasan kultural dan alam tertentu di Indonesia justru menjadi arena terjadinya deteritorialisasi. Aneka handicraft dan souvenir di kawasan kultural dan alam Toraja, misalnya, diketahui diproduksi di Makasar atau di Jawa, yang tidak langsung terhubung dengan zona kultural dan alam Toraja.Pengembangan destinasi pariwisata alam dan kultural seperti itulalu menutup kenyataan natural dan kultural yang berakar di lokasi, dan deteritorialisasi pun berhasil memangsa potensi wisata yang sebenarnya.

In Nugroho Budisantoso,Pengajar di Program Studi Ekonomi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Daftar Referensi

Adams, Kathleen, 2008, “Indonesian Souvenirs as Micro-Monuments to Globalization and Modernity: Hybridization, Deterritorialization and Commodification”, dalam Michael Hitchcock, Victor T. King & Michael Parnwell (eds.), Tourism in

berada di balik layar dari hadirnya lokasi-lokasi pariwisata yang dikembangkan. Henning Borchers (2008) dalam studinya mengenai pariwisata di Pulau Komodo, Nusa Tenggara Timur, misalnya, menunjukkan bahwa proyek konservasi alam yang dihubungkan dengan proyek pariwisata lebih menitikberatkan pada keuntungan finansial sebagai industri pariwisata daripada pemberdayaan masyarakat lokal. Dikisahkannya bahwa walaupun pengembangan kepariwisataan Pulau Komodo sudah berkembang lumayan lama tetapi warga setempat tampak secara signifikan tidak terhubung dengan pengembangan kepariwisataan itu dari sudut peningkatan kesejahteraan. Selain itu, Borchers melihat bahwa pendanaan dari pemerintah untuk lebih menjamin kelestarian area lingkungan Pulau Komodo dan sekitarnya pun relatif masih rendah.

Sesungguhnya, setiap lokasi berbasis alam, di manapun itu, asal berkarakter khas, menyimpan potensi yang menjanjikan untuk berkembangnya apa yang sering diistilahkan sebagai industri pariwisata. Namun demikian, tidak setiap rule of the game yang diciptakan untuk menopang bertumbuhnya industri pariwisata berbasis alam itu ramah terhadap alam itu sendiri maupun masyarakat lokalnya.

Southeast Asia: Challenges and New Directions, Copenhagen: Nordic Institute of Asian Studies, hlm. 69-82

Blewitt, John, 2015, Understanding Sustainable Development, London and New York: Routledge

Borchers, Henning, 2008, “Dragon Tourism Revisited: The Sustainability of Tourism Development in Komodo National Park”, dalam Michael Hitchcock, Victor T. King & Michael Parnwell (eds.), Tourism in Southeast Asia: Challenges and New Directions, Copenhagen: Nordic Institute of Asian Studies, hlm. 270-285

Deleuze,Gilles& Félix Guattari, 1983, Anti-Oedipus: Capitalism and Schizophrenia, Minneapolis: University of Minnesota Press

Kompas.com, 2017, “Kebun Bunga Amaryllis Kembali Mekar, Tolong Jangan Dirusak...”, dapat diakses pada: http://travel.kompas.com/read/2017/07/17/190300227/kebun-bunga-amaryllis-kembali-mekar-tolong-jangan-dirusak-

Lévi-Strauss, Claude, 1966, The Savage Mind, London:Wedenfeld and Nicolson

MacCannel, Dean, 1999, The Tourist: A New Theory of Leisure Class, Berkeley etc.: University of California Press

Page 14: Deteritorialisasi Memangsa Potensi Wisata fileSENI BUDAYA YOGYAKARTA. Komik oleh Vitus Yogi. SENI BUDAYA YOGYAKARTA ... 12 17 23 27 32 36 Penanggung jawab Umum Drs. Umar Priyono, M.Pd.

14

Bicara tentang Kekinian Berwisata

Nurdiyansah Dalidjo

Page 15: Deteritorialisasi Memangsa Potensi Wisata fileSENI BUDAYA YOGYAKARTA. Komik oleh Vitus Yogi. SENI BUDAYA YOGYAKARTA ... 12 17 23 27 32 36 Penanggung jawab Umum Drs. Umar Priyono, M.Pd.

15

Edisi 3/2017 | matajendela

Foto menjadi aktivitas paling populer di lokasi wisata.Sumber: Dokumentasi Penulis

Generation Next, (Pew Research Center, 2010) teknologi merupakan topik yang berada pada posisi paling atas untuk menggambarkan generasi yang berumur 15-34 tahun ini. Dan tak mengherankan jika mereka yang kini lebih banyak mewarnai potret wisatawan kita, mengingat populasi Milenial di Indonesia yang mencapai lebih dari 34% dari total penduduk. Media sosial telah menjadi bagian dari keseharian mereka, termasuk ketika melakukan perjalanan wisata. Kita pun melihat mereka dari sisi jumlah sebagai kelompok yang dominan. Begitu pula untuk menyinggung representasi mereka yang bisa jadi berada di garis depan.

Pada Mei 2017 lalu, Agoda International Indonesia (Agoda) - sebuah platform reservasi akomodasi online - merilis hasil studi kampanyenya tentang karakter Milenial dalam berwisata yang diulas oleh kanal berita Viva.co.id. (17/05/2017). Hasil itu menegaskan karakter wisatawan muda yang berjiwa independen, petualang, dan nekat. Mereka tidak sungkan untuk mengunjungi tempat-tempat baru yang tanpa kematangan infrastruktur dan sebagian besar justru berada di tengah-tengah masyarakat sebagai pemilik dan pengelola destinasi. Dan memotret, - pastinya - termasuk “selfie” maupun “wefie” menjadi salah satu kegiatan yang terkesan wajib untuk dilakukan

Adalah sebuah kewajaran umum untuk melihat kecenderungan kita sebagai

wisatawan dalam pencarian hal yang baru. Kita terkadang tak hanya menginginkan bisa berkunjung ke destinasi dengan daya tarik wisata yang unik, tetapi juga mengeksplorasi pengalaman diri yang berbeda. Wisatawan muda menyebutnya dengan “kekinian!”

Kekinian berwisata tak melulu bicara tentang sebuah destinasi yang baru terbangun dan mapan, melainkan bisa jadi karena coraknya yang terasa melekat pada karakter wisatawan yang kini semakin tampak dominan sekaligus potensial: mereka yang relatif muda dan pengguna aktif media sosial. Ada jalinan yang semakin dinamis ketika kita menyinggung tentang wajah pariwisata saat ini dan mengaitkannya dengan perkembangan teknologi dan “Milenial” (generasi yang lahir tahun 1980 sampai 2000-an), khususnya jejaring sosial berbasis Internet dan smartphone.

Milenial yang BerwisataMenurut sebuah laporan riset berjudul Milenials: A Portrait of

dengan latar pemandangan destinasi pariwisata yang dianggap instagram-able dengan tampilan artistik.

Menurut survey yang dilakukan Agoda terhadap seribu traveller Milenial, terdapat kebiasaan unik yang mereka lakukan dalam berwisata. Yaitu, 72% melakukan selfie, 64% mengunggah foto pada Instagram, 90% mencari kuliner populer, 86% mengarahkan orang lain untuk memotret diri mereka tanpa melihat ke kamera, 52% berani dengan sengaja tersesat dan berjalan-jalan secara spontan, dan 67% mengunjungi pasar tradisional/lokal. (Rappler.com)Berwisata telah menjadi bagian dari gaya hidup anak muda. Secara ekonomi, mereka adalah pasar yang besar. Visa Global Travel Intention Survey (2015) menunjukkan bahwa perjalanan wisata keluar negeri dari Indonesia meningkat 33%. Singapore Tourism Board yang menaruh perhatian khusus pada Milenial di Tanah Air juga melakukan riset yang mengatakan bahwa 31% wisatawan muda senang melakukan wisata secara mendadak dan sebagian besar dari mereka mengandalkan jejaring sosial offline dan online untuk menentukan destinasi yang hendak dituju. Words of mouth saat ini bukan hanya mengacu pada obrolan dari mulut ke mulut di warung kopi, melainkan dari apa yang dibagikan melalui media

Page 16: Deteritorialisasi Memangsa Potensi Wisata fileSENI BUDAYA YOGYAKARTA. Komik oleh Vitus Yogi. SENI BUDAYA YOGYAKARTA ... 12 17 23 27 32 36 Penanggung jawab Umum Drs. Umar Priyono, M.Pd.

16

Dilema Etika BerwisataKita tak dapat lagi menyangkal bahwa perkembangan teknologi informasi, termasuk media sosial, telah memberikan banyak perubahan terhadap bagaimana industri pariwisata saat ini bekerja di antara kelompok anak muda. Itu tak hanya menyoal peluang bagi pengembangan destinasi dan pengelolaan bisnis pariwisata itu sendiri, melainkan juga tantangan pada efek-efek perilaku wisatawan dalam berwisata.

Di satu sisi, apa yang dilakukan oleh wisatawan Milenial, mungkin dapat memberikan kontribusi amat besar terhadap dukungan pemasaran pada tempat dengan potensi pariwisata atau destinasi baru yang membutuhkan banyak promosi. Tetapi di sisi lain, kita dihadapkan pada pertanyaan bagaimana dengan

sosial (words of social media), baik itu Facebook, Twitter, Instagram, dan lain-lain melalui gadget yang dipastikan hampir selalu melekat di tangan anak muda. Pada artikel berjudul “Social Media and Tourism Industry Statistics,” Stikky Media (stikkymedia.com) mengatakan bahwa meng-upload foto melalui smartphone selama traveling adalah hal nomor satu yang dilakukan wisatawan saat ini.

Bagi generasi muda, berwisata secara kekinian adalah dengan mengunjungi destinasi yang unik, baru, otentik, dan berbeda. Sementara itu, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah mendorong mereka untuk bisa menyusun sendiri rencana dan akomodasi pariwisata secara cepat, mudah, dan relatif murah. Bisa dikatakan juga bahwa berwisata secara kekinian adalah penegasan pada karakter diri wisatawan yang petualang dan dilakukan secara independen dan spontan sekaligus menjadikan ajang media sosial untuk saling berbagi aktivitas berwisata sebagai pengalaman yang personal.

Situs Candi di Malang yang Dicoret.Sumber: Dokumentasi Penulis

Page 17: Deteritorialisasi Memangsa Potensi Wisata fileSENI BUDAYA YOGYAKARTA. Komik oleh Vitus Yogi. SENI BUDAYA YOGYAKARTA ... 12 17 23 27 32 36 Penanggung jawab Umum Drs. Umar Priyono, M.Pd.

17

Edisi 3/2017 | matajendela

Dilema yang kita hadapi kemudian adalah dengan mempertimbangkan sejauh mana dampak dari keterpaparan yang berlebihan (over-exposed) oleh wisatawan dan kontrol pada ambang batas/daya dukung (tourism carrying capacity) terhadap akibat dari apa yang terlanjur tersebarluaskan. Apakah daya tarik wisata yang telah dikunjungi itu sudah benar-benar mampu merespon arus kedatangan wisatawan?

Ketika sebuah destinasi yang baru, unik, dan otentik (alternatif) tersebut tiba-tiba dalam waktu yang relatif singkat justru menjadi destinasi pariwisata yang massal (mass tourism) dengan corak yang kapitalistik, eksploitatif, mengutamakan profil sepihak, dan mendesak perubahan massif terhadap destinasi, termasuk fragmentasi sosial dan komodifikasi sebagai efek langsungnya. Apakah masyarakat lokal dan lingkungan sekitar

kesiapan destinasi maupun penerapan etika berwisata dengan karakter unik wisatawan muda tersebut.

Pada diri wisatawan muda yang berwisata dengan mobile communication berlayanan Internet, kesadaran itu terkait pada tanggung jawab terhadap dampak dan risiko dari apa yang ia share/posting saat berwisata maupun setelahnya, seperti izin (consent) untuk bisa memotret masyarakat adat atau situs tertentu pada tempat yang ia kunjungi, pemahaman pada efek yang bisa ditimbulkan dengan menaruh komentar pada media sosial yang menyerang secara personal seorang atau kelompok staf pengelola destinasi yang memberikan layanan buruk, atau penyebarluasan informasi detil tentang area konservasi hewan yang rentan pada kedatangan manusia.

sudah memiliki kemampuan untuk beradaptasi?

Maka, berbicara tentang pariwisata kaitannya dengan teknologi, bukan lagi berbicara tentang bagaimana kita hendak menghadirkan dan memadukan perangkat teknologi baru ke dalam proses dan jalinan rantai pariwisata, tetapi melihat aspek penting pada manusia di dalamnya (terutama masyarakat lokal) untuk dapat berdaya menghadapi perubahan. Begitu pun dengan perilaku wisatawan muda. Bagaimana kita dapat menyebarluaskan perihal etika berwisata pada mereka dan menjadikan kelompok Milenial sebagai agen perubahan untuk mendorong pendekatan alternative tourism dapat masuk ke dalam arus utama industri pariwisata di Indonesia.

Hadirnya wisatawan Milenial telah memberikan peluang pada perluasan pasar yang potensial,

“Dilema yang kita hadapi kemudian adalah dengan mempertimbangkan sejauh mana dampak dari

keterpaparan yang berlebihan (over-exposed) oleh wisatawan dan kontrol pada ambang batas/daya

dukung (tourism carrying capacity) terhadap akibat dari apa yang terlanjur tersebarluaskan.“

Page 18: Deteritorialisasi Memangsa Potensi Wisata fileSENI BUDAYA YOGYAKARTA. Komik oleh Vitus Yogi. SENI BUDAYA YOGYAKARTA ... 12 17 23 27 32 36 Penanggung jawab Umum Drs. Umar Priyono, M.Pd.

18

yang eksklusif. Masyarakat perlu mendapatkan dukungan untuk bisa berdaya dan beradaptasi pada perangkat dan konten teknologi itu sendiri. Kita perlu mengembangkan pendekatan yang inklusif bagi masyarakat yang berada di dalam dan sekitar destinasi pada akses teknologi yang adil dan setara. Begitu juga dengan mempertimbangkan aspek edukasi sebab konversi dari analog ke digital, bukanlah proses yang selalu mudah dijalani.

Peran strategis lainnya juga perlu ditekankan pada sektor privat. Teknologi dan sasaran terhadap segmentasi pasar Milenial tidak hanya memberikan warna baru terhadap marketing tools dan services, terutama media sosial, tetapi juga berdampak signifikan pada manajemen dan operasional bisnis pariwisata. Kita perlu menekankan pada seperti apa corak persaingan bisnis pariwisata yang sehat untuk menghadapi kemungkinan krisis atau konflik terhadap penyalahgunaan teknologi dan pengkondisian kaum muda sebagai kelompok wisatawan yang apatis (apathetic tourists) atau enggan peduli pada etika dalam berwisata. Karena kita juga tak bisa menutup mata bahwa Milenial memiliki kecenderungan sebagai swinger - yang galau dan gemar ikut-ikutan apa yang sedang menjadi tren dan dibicarakan saat ini: “kekinian.”

begitu pun dengan media sosial telah memberikan peluang pada penguatan strategi pemasaran yang sepintas tampak ideal. Namun, kita juga perlu menjawab tantangan pada sejauh mana peluang-peluang itu berdampak pada upaya pembangunan pariwisata yang berkelanjutan pada aspek pelestarian alam dan budaya maupun kesejahteraan masyarakat yang berkehidupan di dalam dan sekitar destinasi pariwisata.

Beragam peluang dan tantangan tersebut perlu segera direspon berbagai pihak. Kita perlu mengkondisikan situasi yang mendukung bagi wisatawan untuk bisa memahami dan mampu menerapkan prinsip-prinsip etika berwisata dengan pendekatan maupun cara yang populer kepada kelompok Milenial. Maka, berbicara tentang strategi pemasaran digital berbasis Internet dan smartphone saja tidak akan pernah cukup. Kita perlu mengintegrasikan kampanye berkonten tourism ethics pada kanal-kanal teknologi digital yang hendak kita bangun dalam upaya mempromosikan sebuah destinasi sekaligus mendorong partisipasi anak muda untuk terlibat.

Begitu pun dengan kelompok masyarakat (masyarakat lokal maupun masyarakat adat), baik itu sebagai pemilik, pengelola, atau penyedia berbagai jasa usaha pariwisata. Penerapan teknologi tak lagi dapat dilihat sebagai hal

Teknologi dan Generasi Milenial telah memberikan pengaruh dan perubahan terhadap wajah pariwisata saat ini. Ada banyak peluang dan tantangan sekaligus beragam dilema yang kita hadapi. Dengan pemanfaatan yang tepat dan bijak, situasi ini mungkin bisa memberikan alternatif, atau semacam solusi baru untuk menjawab tantangan pembangunan pariwisata yang berkelanjutan. Kita dapat mendorong anak muda menjadi bagian dari yang sepatutnya ikut merespon itu dengan menguatkan kemampuan mereka untuk merenungkan sejenak dan dapat memilah mana yang pantas dan tidak pantas: merekonstruksi ulang kekinian dalam berwisata menjadi kekinian berwisata secara etis. Selain itu, untuk mendorong terciptanya situasi, atau iklim pariwisata yang baik secara menyeluruh dan berjangka panjang, peran pemerintah juga penting dalam hal merumuskan aturan main berupa regulasi dan pengawasan.

Nurdiyansah Dalidjo, penulis buku Porn(O) Tour, semacam kampanye #TourismEthics dalam bentuk travel writing yang ditulis secara populer. Tahun lalu menerbitkan buku independen (self publishing) Kota Tua JKT yang dapat diunduh bebas melalui www.jejakwisata.com.

Page 19: Deteritorialisasi Memangsa Potensi Wisata fileSENI BUDAYA YOGYAKARTA. Komik oleh Vitus Yogi. SENI BUDAYA YOGYAKARTA ... 12 17 23 27 32 36 Penanggung jawab Umum Drs. Umar Priyono, M.Pd.

19

Edisi 3/2017 | matajendela

Dua tahun yang lalu, sebuah kebun bunga Amaryllis (berambang procot) di Dusun Ngasemayu-Gungkidul menjadi topik yang ramai dibicarakan. Semuanya bermula setelah foto-fotonya diunggah

dan beredar luas di media sosial. Hamparan Amaryllis mengundang minat banyak orang, terutama yang berhasrat untuk mencari lokasi potensial guna melakukan swafoto. Sekelebat kemudian, orang-orang dari berbagai tempat datang berduyun-duyun.

Mereka berlomba-lomba mengabadikan momen itu, berfoto di tengah-tengah hamparan bunga yang hanya mekar pada musim penghujan.

Wisata yang baru dibuka beberapa hari, di jembatan arah Parangtritis, Kali Opak. Sumber: Dokumentasi Penulis

Melihat UlangGagasan Ekowisata

Arham Rahman

Page 20: Deteritorialisasi Memangsa Potensi Wisata fileSENI BUDAYA YOGYAKARTA. Komik oleh Vitus Yogi. SENI BUDAYA YOGYAKARTA ... 12 17 23 27 32 36 Penanggung jawab Umum Drs. Umar Priyono, M.Pd.

20

memadai. Namun demikian, kita juga perlu hati-hati, sebab di dalamnya terkandung potensi bahaya yang lain. Hal-hal inilah yang perlu kita periksa lebih lanjut.

Watak Pembangunan Pariwisata JogjaJogja mempunyai potensi pariwisata yang besar, sampai-sampai emperan toko pada malam hari, angkringan-angkringan kecil, warung-warung burjo, hingga tenda-tenda pecel lele juga punya daya tarik tersendiri. Singkatnya, aktivitas kehidupan dan keseharian masyarakat Jogja saja sudah mampu menyedot perhatian wisatawan.

Dalam rilisan terakhirnya, Dinas Pariwisata Joga mencatat, pada 2015 saja ada 132 objek wisata di Jogja yang terdiri dari wisata

Tidak berapa lama, pesona kebun itu memudar lantaran hancur terinjak-injak oleh pengunjung. Pemilik kebun sudah pasti merugi. Terlebih lagi kebunnya tidak secara sengaja diperuntukkan sebagai tempat wisata. Apa mau dikata, dia tak kuasa membendung rasa penasaran orang untuk bisa berfoto di areal perkebunannya.

Efek-efek yang mungkin muncul dari model wisata massal seperti disebut di atas sebenarnya telah berupaya diantisipasi, khususnya untuk wisata alam, budaya dan rural. Karena itu, gagasan tentang ekowisata sebagai salah satu wujud dari wisata berkelanjutan (sustainable tourism) mulai didorong. Gagasan ini dipandang senafas dengan kepentingan pariwisata Jogja, sebab potensi fisik dan kebudayaannya terbilang

alam, buatan, budaya dan kampung wisata. Masih di dalam data yang sama, di sepanjang tahun itu, jumlah kunjungan wisatawan mencapai angka 13.943.391 orang dengan estimasi 548.121 wisatawan asing dan 13.395.270 wisatawan dari berbagai daerah di Indonesia. Jumlah ini diprakirakan meningkat di tahun 2016 dan 2017, terutama setelah booming film AADC (Ada Apa dengan Cinta) 2 yang “mempromosikan” objek-objek wisata alternatif di Jogja. Film itu bahkan mendorong agen-agen wisata untuk menyertakan paket tur AADC di dalam daftarnya.

Jumlah wisatawan yang terus melonjak di tiap tahunnya memang tampak menggiurkan secara ekonomi, tetapi sekaligus berbahaya bagi lingkungan dan kehidupan sosial setempat. Apalagi

Taman Gumuk Pasir Parangkusumo, Parangtritis.Sumber: Dokumentasi Penulis

Page 21: Deteritorialisasi Memangsa Potensi Wisata fileSENI BUDAYA YOGYAKARTA. Komik oleh Vitus Yogi. SENI BUDAYA YOGYAKARTA ... 12 17 23 27 32 36 Penanggung jawab Umum Drs. Umar Priyono, M.Pd.

21

Edisi 3/2017 | matajendela

komponen penting di dalam gagasan ini. Orang bisa bepergian untuk memperoleh kesenangan, tapi mesti sadar budaya dan tidak merusak lingkungan yang dikunjungi. Komponen atau prinsip dasar itulah yang membuat gagasan wisata berkelanjutan disebut alternatif.

Bentuk realisasinya bisa bermacam-macam. Misalnya mengurangi penggunaan emisi selama berwisata dengan menggunakan alat transportasi umum atau bersepeda selama berada di tempat wisata, penggunaan benda daur ulang untuk kebutuhan arsitektural atau peralatan untuk kebutuhan fungsional, kontrol jumlah wisatawan, pendidikan lingkungan

obyek-obyek wisata alternatif yang terus bermunculan tanpa ada jaminan sistem pengelolaan yang memadai, justru bisa berimbas pada kerusakan lingkungan. Hilir mudik bus besar dan kendaraan pribadi di jalur-jalur utama maupun jalanan sempit serta kawasan perkampungan, mau tidak mau mempengaruhi kehidupan masyarakat setempat. Di titik inilah ekowisata dipandang relevan.

Disebut sebelumnya, ekowisata merupakan salah satu wujud dari wisata berkelanjutan. Ekowisata mula-mula dikembangkan pada tahun 1980an, ditujukan untuk merespons industri wisata massal yang acap kali abai pada kesehatan lingkungan. Peoples, Planet, Profit, dan Pleasure adalah komponen-

kepada wisatawan dan warga setempat, respek pada kebudayaan setempat sehingga meminimalisir dekadensi sosial akibat perjumpaan antar-kebudayaan yang berbeda.

Lalu, bagaimana realisasinya di Jogja dengan segala potensi wisatanya? Ekowisata menjadi salah satu komoditas utama yang ditawarkan dari sektor industri pariwisata Jogja. Itu diterjemahkan melalui pembenahan sektor wisata alam dan desa wisata, sebagaimana tampak pada rilisan Dinas Pariwisata DIY mengenai “Penyusunan Analisis Daya Saing Produk Wisata Ecotourism” pada 2015 lalu. Draft itu merupakan pemetaan potensi beberapa destinasi-destinasi penting seperti

“… ekowisata tidak lebih baik dari praktik wisata massal. Ia bahkan berpotensi untuk mendorong

ledakan pengunjung di lokasi-lokasi tertentu. Alam liar dan kampung-kampung wisata

seolah-olah sudah menjadi objek fetis. Bentuk paling banalnya adalah mendatangi

objek wisata alam dan perkampungan sekadar untuk melakukan swafoto.”

Page 22: Deteritorialisasi Memangsa Potensi Wisata fileSENI BUDAYA YOGYAKARTA. Komik oleh Vitus Yogi. SENI BUDAYA YOGYAKARTA ... 12 17 23 27 32 36 Penanggung jawab Umum Drs. Umar Priyono, M.Pd.

22

sebatas sebagai kunjungan wisata ke situs-situs alam dan wilayah rural. Disebut bernalar ekonomi karena ia terjebak pada logika indeksikal; peningkatan daya saing agar bisa memaksimalkan jumlah wisatawan, dan dengan begitu, mendatangkan keuntungan. Sehingga, alih-alih mengembangkan konsep

ekowisata, pariwisata di Jogja justru lebih tampak berwatak industri wisata massal.

Kontradiksi di Dalam Nalar EkowisataSampai di sini, kita perlu bertanya lebih lanjut. Sekiranya prinsip ekowisata direalisasikan secara benar, apakah persoalan

Suroloyo, Kalibiru, Nglanggeran, Siwa Plateau, Mangunan, Pindul, Sri Gethuk, serta Pantai Selatan wilayah Timur dan Barat. Meski bisa dikatakan baru sebatas pemetaan, bentuk nalar yang digunakan sudah bisa kita raba.

Poin-poin kunci di dalam gagasan ekowisata memang

dieksplorasi sebagai visi yang akan mendasari pariwisata Jogja, terutama sekali yang berkaitan dengan kepentingan warga setempat seperti ekonomi dan lingkungannya. Hanya saja, draft kajian tersebut terkesan simplistik dan terlalu bertumpu pada nalar ekonomi. Disebut simplistik karena menerjemahkan ekowisata

yang ditimbulkan dari praktik wisata massal serta-merta bisa diminimalisasi? Rupanya tidak. Ekowisata juga mengandung berbagai persoalan yang akan didedahkan pada paparan berikut.Pertama, ekowisata sudah sesat sejak dari dalam pikiran. Ia ditopang oleh nalar orientalis, sebab secara samar tetap

mengandaikan hubungan kuasa yang timpang, antara observer dengan observed, antara turis dengan warga setempat.

Ambisi ekowisata serupa dengan imajinasi kolonial pada masa lalu; hasrat untuk menjangkau tempat-tempat yang belum terjamah, bepergian ke suatu

“Bentuk kesenangan yang dicari dari aktivitas berwisata tersebut tampak bergeser. Seseorang merasa senang tidak lagi melulu karena kualitas

dari sebuah objek wisata atau keindahan alam yang terbentang di hadapannya, tetapi juga saat orang

lain takjub pada apa yang ia representasikan melalui media sosial.”

Page 23: Deteritorialisasi Memangsa Potensi Wisata fileSENI BUDAYA YOGYAKARTA. Komik oleh Vitus Yogi. SENI BUDAYA YOGYAKARTA ... 12 17 23 27 32 36 Penanggung jawab Umum Drs. Umar Priyono, M.Pd.

Wisata air di sungai Opak, sandboarding di Gumuk Pasir Parangkusumo, atau sejumlah wisata air terjun yang tersebar di wilayah Kulon Progo, misalnya. Saat destinasi itu semakin populer dan dianggap punya potensi ekonomi yang besar, bukan tidak mungkin pengelolaannya akan berpindah ke tangan korporat. Akan ada akumulasi kapital atau ekstraksi keuntungan, yang sekadar menguntungkan pemodal/investor. Kalau itu terjadi, visi ekowisata yang hendak mendorong kesejahteraan dan kemandirian ekonomi masyarakat lokal, akan gugur dengan sendirinya. Tentu saja itu juga baru akan terjadi jika pemerintah memilih untuk melayani kepentingan korporasi ketimbang warga lokal.

Keempat, ekowisata sangat beresiko untuk melakukan eksotisasi terhadap kebudayaan lokal. Di dalam nalar ekowisata, praktik kebudayaan lokal perlu dilestarikan sehingga autentitasnya tetap terjaga. Nalar seperti ini hanya akan menempatkan praktik kebudayaan lokal sebagai tontonan turis belaka. Di samping itu, tidak ada kebudayaan yang benar-benar asli. Budaya, apapun bentuknya, selalu tumbuh sebagai resiko logis dari perjumpaan antar-manusia maupun percampuran antar-budaya yang berlangsung dari waktu ke waktu. Oleh karena itu ia hibrid.

Dengan paparan di atas, kita bisa mengatakan bahwa ekowisata tidak lebih baik dari praktik wisata massal. Ia bahkan berpotensi untuk mendorong ledakan pengunjung di lokasi-lokasi tertentu. Alam liar dan kampung-kampung wisata seolah-olah sudah menjadi objek fetis. Bentuk paling banalnya adalah mendatangi objek wisata alam dan perkampungan sekadar untuk melakukan swafoto.Swafoto saat

tempat (khususnya Asia dan Afrika) yang lingkungan dan kebudayaannya asing, serta mendorong mereka untuk merawat lingkungan dan kebudayaannya agar tetap murni. Sekiranya gagasan ini tidak bias, mestinya sedari awal para penggagasnya sudah menyadari bahwa persoalan lingkungan itu pusatnya di area urban, bukan di daerah rural.

Kedua, ekowisata memang berupaya membangun kesadaran lingkungan, baik untuk warga di sekitar lokasi yang dikunjungi, maupun kepada para pelaku wisata lainnya. Dalam memilih lokasi, pelaku-pelaku wisata jenis ini juga cenderung mendatangi objek wisata alam yang masih kurang atau sama sekali belum dijamah, bukan objek wisata arus utama.Namun, saat destinasi itu mulai populer, jumlah pengunjung akan semakin meningkat. Akibatnya, lingkungan yang awalnya jelita bisa menjelma menjadi buruk rupa. Ledakan pengunjung di sebuah destinasi wisata selalu berefek pada rusaknya lingkungan setempat. Jadi, ekowisata punya potensi besar mendorong lahirnya industri wisata massal di sebuah lokasi terpencil sekalipun, sebagaimana yang terjadi pada kebun bunga Amaryllis di Ngasemayu.

Ketiga, masih terkait dengan poin kedua di atas, destinasi wisata yang terlanjur populer berpotensi untuk menarik investor-investor raksasa. Belum lagi pembangunan infrastruktur modern untuk menopang keberlangsungan industri wisata seperti hotel, homestay, pusat perbelanjaan modern, restoran dlsb.

Objek-objek wisata yang masih dikelola secara organik oleh pemuda kampung di Jogja saat ini memang menggerakkan ekonomi setempat.

Page 24: Deteritorialisasi Memangsa Potensi Wisata fileSENI BUDAYA YOGYAKARTA. Komik oleh Vitus Yogi. SENI BUDAYA YOGYAKARTA ... 12 17 23 27 32 36 Penanggung jawab Umum Drs. Umar Priyono, M.Pd.

Amaryllis di Ngasemayu, sebagaimana diceritakan pada bagian awal tulisan ini. Sehingga, seolah-olah bukan masalah bagi para pengunjung bila kebun itu hancur, sejauh mereka bisa mendapatkan foto dengan kualitas dan pose yang diinginkan.

Arham Rahman,peneliti seni rupa.

mengunjungi sebuah tempat sudah seperti ritual wajib. Orang selalu merasa perlu menandai keberadaannya di sana untuk kemudian diunggah dan dipamerkan di media sosial - yang mana merupakan panggung bagi penggunanya untuk menampilkan personifikasi dirinya yang ideal di hadapan pengguna-pengguna lain. Ini punya implikasi yang cukup besar pada pemahaman tentang aktivitas wisata dan petualangan di alam.

Bentuk kesenangan yang dicari dari aktivitas berwisata tersebut tampak bergeser. Seseorang merasa senang tidak lagi melulu karena kualitas dari sebuah objek wisata atau keindahan alam yang terbentang di hadapannya, tetapi juga saat orang lain takjub pada apa yang ia representasikan melalui media sosial.

Barangkali, nalar seperti itulah yang menyebabkan kerusakan di kebun bunga

Taman Gumuk Pasir Parangkusumo, Parangtritis.Sumber: Dokumentasi Penulis

Page 25: Deteritorialisasi Memangsa Potensi Wisata fileSENI BUDAYA YOGYAKARTA. Komik oleh Vitus Yogi. SENI BUDAYA YOGYAKARTA ... 12 17 23 27 32 36 Penanggung jawab Umum Drs. Umar Priyono, M.Pd.

25

Edisi 3/2017 | matajendela

Pariwisata Jogja(Mestinya) untuk Semua

Setiawan Priatmoko

Menurut Indeks Pariwisata Indonesia (IPI) 2016 dari Kementerian Pariwisata,

baru Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul yang masuk 10 besar terfavorit daerah dengan indeks pariwisata tertinggi (IPI) di Indonesia. Pulau Bali dengan Kota Denpasar masih sebagai daerah tujuan/ destinasi wisata nomor wahid. Meskipun tidak masuk tiga besar terfavorit, namun geliat aktivitas pariwisata di Jogja sungguh menggairahkan. Pada 2015 di data statistik tercatat lebih dari 4.056.916 orang wisatawan yang menggunakan fasilitas hotel mengunjungi Jogja. Sekitar 218.262 dari angka di

atas adalah wisatawan asing (BPS Prov. DIY, 2016). Angka di atas belum termasuk wisatawan menginap di tempat kerabatnya, belum termasuk juga wisatawan pelajar dari provinsi lain yang datang ber-bis-bis pada pagi hari dan meninggalkan Jogja setelah Maghrib. Secara historis, sasaran kunjungan wisatawan di Jogja adalah Candi Prambanan, Kraton, Malioboro, Pantai Parangtritis, dan ke Candi Borobudur di Jawa Tengah. Tidak banyak waktu yang dibutuhkan untuk kunjungan singkat ke tempat-tempat tersebut. Biasanya cukup pagi sampai sore, menjelang malam sudah meninggalkan Jogja. Saat itu

informasi mengenai detail daya tarik berbagai tempat wisata belum banyak. Kisah-kisah yang menjadi “bumbu” destinasi wisata hanya dimiliki oleh pemandu-pemandu wisata profesional yang seringnya hanya bisa disewa oleh wisatawan kelas atas. Media sosial belum muncul.

Lain dulu lain sekarang. Booming media sosial berawal dari status BBM (Blackberry Mesenger), kemudian Facebook, Twitter, Instagram, Youtube, dan kini didukung ponsel pintar dan kameranya yang seolah tanpa batasan dalam berbagi informasi membawa efek dahsyat atas

“Apabila tidak dirancang strategi pemberdayaan yang baik maka warga kelas menengah ke bawah akan

semakin tersisih dan hanya jadi penonton gemerlapnya pariwisata Jogja. Salah satu solusinya agar mereka

dapat berwisata juga adalah memanfaatkan dan mengoptimalkan RTH (Ruang Terbuka Hijau).”

Page 26: Deteritorialisasi Memangsa Potensi Wisata fileSENI BUDAYA YOGYAKARTA. Komik oleh Vitus Yogi. SENI BUDAYA YOGYAKARTA ... 12 17 23 27 32 36 Penanggung jawab Umum Drs. Umar Priyono, M.Pd.

26

dunia kepariwisataan di Jogja. Belakangan wisatawan belum merasa cukup jika hanya mengunjungi, misalnya Istana Sultan Jogja. Mereka googling mencari tahu sejarah dan bahkan kisah-kisah mistik yang dulu hanya diketahui oleh kalangan guide profesional. Maka kini tak cukup hanya bermodal waktu setengah hari jika berwisata di Jogja. Tak cukup hanya datang, melihat, dan pulang. Bahkan eksistensi diri perlu dikuatkan dengan mengunggah foto-foto di tempat-tempat wisata yang dianggap memiliki kisah-kisah yang dianggap “epik” oleh warga dunia internet/warganet/netizen. Pada akhirnya media promosi wisata memang menjadi semakin memiliki daya jangkau yang luas dengan bantuan mobile application

(Nanang Ruswianto, Rafika Akhsani, Brigita Dewi Y, M Rizeky Yudha S, 2016).

Televisi nasional juga memberi pengaruh kuat atas kunjungan wisatawan ke Yogyakarta. Acara-acara bernuansa keindahan destinasi wisata dan keragaman kuliner tentang Jogja cukup menggoda calon-calon wisatawan untuk mempersiapkan rencana perjalanan mereka ke Jogja. Bahkan, beberapa film layar lebar dan FTV yang mengambil lokasi shooting di Jogja sering menjadi acuan tujuan muda-mudi untuk mengunjungi sekaligus upload hasil selfie.

Terkait dengan membanjirnya informasi mengenai Jogja dari berbagai sisi dan dikuatkan

oleh visualisasi foto-foto yang menggoda melalui media sosial, maka semakin menjadi pendorong berbondong-bondongnya orang ke Jogja. Menurut penelitian, media sosial memang faktor terkuat datangnya wisatawan ke sebuah destinasi wisata bahkan dibandingkan fasilitas dan atraksi yang disuguhkan (Priatmoko, 2017). Fenomena yang cukup menggembirakan adalah munculnya model pariwisata berbasis masyarakat/community-based tourism berupa desa-desa wisata. Dengan munculnya banyak desa wisata yang sebagian besar mengeksplorasi gaya hidup pedesaan dan keunikan alamnya, maka wisatawan seperti mendapatkan oase baru destinasi wisata. Goa Pindul di Gunung Kidul atau Kalibiru di Kulon Progo adalah

Wisatawan bersiap memasuki Goa Pindul.Sumber: Dokumentasi Penulis

Page 27: Deteritorialisasi Memangsa Potensi Wisata fileSENI BUDAYA YOGYAKARTA. Komik oleh Vitus Yogi. SENI BUDAYA YOGYAKARTA ... 12 17 23 27 32 36 Penanggung jawab Umum Drs. Umar Priyono, M.Pd.

27

Edisi 3/2017 | matajendela

salah satu bentuk kreativitas warga mengolah aset alam yang dianggap “wow”. Manfaat secara ekonomi tidak usah ditanya lagi. Beberapa tahun lalu rumah-rumah warga di sekitar destinasi-destinasi yang kini dianggap top masih belum memenuhi standar sanitasi minimal namun kini hampir sebagian besar sudah berdiri bersih dan mentereng. Secara sosial budaya muncul kebanggaan dan semangat melestarikan budaya nenek moyang dan lingkungan mereka. Sentuhan kreativitas dan pembinaan lanjutan tetap diperlukan untuk menahan wisatawan lebih lama di tempat wisata sekaligus memberikan efek kunjungan berkelanjutan. Tentu usaha ini harus sinergis dengan kebijakan pemerintah daerah agar selaras dengan kebijakan publik. Anak muda dan pelajar adalah pelanggan utama produk pariwisata di Jogja. Karakteristik destinasi wisata yang tanpa terasa memilki muatan pendidikan dan eksotisme alam adalah favorit anak muda, pelajar, dan tentu saja para guru yang sering menjadi penentu tempat-tempat yang harus dikunjungi oleh siswanya dalam berwisata. Dalam hal ini konsistensi Pemerintah Jogja untuk menjaga marwah sebagai kota

wisata sekaligus kota pendidikan harus diapresiasi. Pembatasan atau pengaturan secara ketat tempat hiburan yang tidak selaras dengan “roh Jogja” harus terus dilakukan jika Jogja tidak ingin kehilangan pelanggan utamanya : wisatawan sekaligus pelajar dari luar daerah. Ini bukan semata-mata soal moralitas tetapi menyangkut bisnis yang cakupannya jauh lebih besar antara lain pasar wisatawan, rumah kos, bisnis pendidikan, warung makan, tenaga kerja, dan rentetannya.

Efek lanjutan dari membanjirnya wisatawan ke kota ini sudah bisa dilihat: membanjirnya investasi di bidang yang terkait. Bisnis kuliner dan akomodasi hotel nampaknya yang paling kentara pertumbuhannya. Restoran atau kafe-kafe baru dengan aneka menu tumbuh secara sporadis dalam empat tahun belakangan begitu pula dengan hotel-hotel dengan berbagai latar belakang manajemen bak cendawan di musim hujan. Pelaku lokal atau merk-merk resto dan hotel internasional berlomba-lomba memenangkan hati para wisatawan. Aktivitas bisnis tersebut bukan berarti tidak berdampak terhadap kondisi lingkungan, sosial, ekonomi, dan budaya di Jogja. Munculnya berbagai isu, mulai dari menurunnya permukaan air sumur warga, suhu udara yang makin panas, hingga tersisihnya

pelaku bisnis skala kecil akibat persaingan yang kadang tidak seimbang, adalah imbas dari aktivitas bisnis tersebut, entah karena kalah modal atau bisa juga kalah taktik. Beberapa pemilik bisnis kuliner lokal sempat mengalami penurunan omset yang signifikan atau bahkan gulung tikar dengan munculnya pemodal besar yang menjual menu yang sama namun dengan harga yang lebih murah sebagai strategi promosinya. Sisi positifnya, saat ini pengusaha kuliner lokal tidak bisa lagi asal-asalan dalam melayani konsumen hanya karena mereka dulunya pernah jadi yang paling laris. Pilihan tempat kulineran makin banyak maka beradu untuk menjadi yang paling memuaskan pelanggan menjadi penting.

Namun ternyata roda zaman tidak berhenti. Kemunculan berbagai

Makanan tradisional yg dijual melalui sebuah aplikasi online.Sumber: Dokumentasi Penulis

Page 28: Deteritorialisasi Memangsa Potensi Wisata fileSENI BUDAYA YOGYAKARTA. Komik oleh Vitus Yogi. SENI BUDAYA YOGYAKARTA ... 12 17 23 27 32 36 Penanggung jawab Umum Drs. Umar Priyono, M.Pd.

28

aplikasi online penunjang bisnis dalam setahun belakangan membawa greget baru dalam bisnis pariwisata di Jogja. Aplikasi transportasi online semacam Go-jek, Grab, dan Uber serta aplikasi hotel/penginapan semacam AirBnB dan Airyrooms membawa peta persaingan baru yang tak terduga sebelumnya. Tidak diperlukan lagi modal besar untuk misalnya membuat restoran di pinggir jalan utama agar mudah ditemukan pemburu kuliner. Driver transportasi online akan membelikan untuk wisatawan walaupun warungnya nyempil masuk gang. Begitu pun dengan tempat penginapan. Semua orang yang punya kamar kosong bisa menjual kepada wisatawan melalui aplikasi penginapan online. Tak perlu membuat hotel nan megah dan mewah. Belum ada penelitian resmi berapa rupiah perputaran uang setiap hari yang lewat melalui aplikasi online, tetapi nampaknya sudah hampir menyentuh angka milyar bila dilihat dari harga menu yang terpampang di aplikasi, jumlah restoran atau hotel, dan jumlah pengunduh aplikasi tersebut. Semua fakta ini lalu lalang di antara warga Yogjakarta tapi sulit dilihat.

Namun, di antara hingar bingar dan kemeriahan bisnis senang-senang ala wisata tersebut, ada hal yang patut diwaspadai. Menurut BPS, angka ketimpangan sosial atau Indeks Gini Jogja adalah tertinggi

se Indonesia (Harian Kompas, 24/2/2017). Artinya jurang antara si kaya dan si miskin yang paling lebar ada di Yogyakarta. Ditambah dengan dahsyatnya investasi bisnis akibat maraknya dunia pariwisata, Jogja harus bersiap-siap mendapati harga-harga kebutuhan barang dan jasa merangkak naik seperti kota-kota metropolitan padahal UMR-nya paling rendah se-Indonesia. Apabila tidak dirancang strategi pemberdayaan yang baik maka warga kelas menengah ke bawah akan semakin tersisih dan hanya jadi penonton gemerlapnya pariwisata Jogja. Salah satu solusinya agar mereka dapat berwisata juga adalah memanfaatkan dan mengoptimalkan RTH (Ruang Terbuka Hijau). Beberapa peraturan perundangan mengartikan Ruang Terbuka Hijau Publik adalah ruang terbuka hijau dalam bentuk bidang tanah terbuka milik Pemerintah dan bisa dimanfaatkan untuk kemaslahatan warga. RTH ini juga akan berfungsi sebagai sarana interaksi sosial, setidaknya, mengurangi stress.

Kota-kota seperti Malang dan Bandung sudah memulainya dengan cukup baik dengan taman-taman kotanya. Penting sekali untuk mulai mengelola dan mendesain ulang RTH secara profesional sebagai salah satu alternatif utama warga Jogja untuk refreshing dengan nyaman dan terjangkau. Bertanya

kepada ahlinya menjadi penting. Cukup lah hanya biaya parkir yang dikeluarkan oleh warga apabila mereka ingin piknik ke taman-taman RTH. Apabila semua kalangan dan kelas sosial bisa difasilitasi untuk sama-sama bisa menjangkau dan menikmati pariwisata Jogja, maka kenyamanan lahir batin niscaya bukan lagi impian kosong seluruh warga dan wisatawan di Yogyakarta. Itulah yang bisa dikatakan “Pariwisata yang berkeadilan.”

Setiawan Priatmoko, Dosen STIE Pariwisata “API” Yogyakarta & Peneliti pariwisata di Inspect.id

Referensi

BPS Prov DIY, (2016). PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTADALAM ANGKA

Harian Kompas, 24 Februari 2017

Nanang Ruswianto, Rafika Akhsani, Brigita Dewi Y, M Rizeky Yudha S, M. L. K. (2016). Jogja Mobile Application Berbasis Augmented Reality Untuk Info Layanan Wisata Budaya, 181–185.

Priatmoko, S. (2017). Pengaruh Atraksi, Mediasosial, Dan Infrastruktur Terhadap Keputusan Berkunjung Wisatawan Ke Desa Wisata Pentingsari Yogyakarta. Jurnal Khasanah Ilmu, 8(1), 72–82.

Page 29: Deteritorialisasi Memangsa Potensi Wisata fileSENI BUDAYA YOGYAKARTA. Komik oleh Vitus Yogi. SENI BUDAYA YOGYAKARTA ... 12 17 23 27 32 36 Penanggung jawab Umum Drs. Umar Priyono, M.Pd.

29

Edisi 3/2017 | matajendela

“Jika perjalanan adalah usaha untuk mencari kebahagiaan, bagaimana kalau mulai

dari membekali diri dengan pertanyaan-pertanyaan. Jika perjalanan menyediakan kesempatan untuk mengubah diri kita jadi lebih baik,

bagaimana kalau mulai dari menyiapkan diri menerima guncangan.”

Mereka Bergerak dan Pergi

Arief Ash Shiddiq

Saat SMA saya pernah punya seorang teman dekat yang saat itu sedang punya

masalah di rumahnya. Ia bilang bahwa satu-satunya hal yang dia inginkan saat ini adalah untuk pergi. Pada saat itu, terutama karena motivasi pribadi - saya tidak mau ditinggal pergi - saya mendebatnya dan bilang bahwa pergi bukanlah jawaban. Masalah ada di mana-mana dan akan selalu harus kita hadapi. Kalau memang begitu, kenapa tidak menghadapinya di sini saja? Kenapa harus pergi?

Di Jakarta, minggu ini ada sebuah tempat yang sedang dipenuhi oleh massa. Kata “dipenuhi,” itu menjadi sebentuk penghalusan atau pengecilan untuk menggambarkan fenomena yang terjadi. Beberapa pilihan kata lain yang digunakan media massa pada 29 Juli 2017 untuk menggambarkan apa yang terjadi antara lain: “ledakan pengunjung,” “membludak,” “penuh,” “saling dorong,” “antrean mengular.” Yang terjadi adalah datangnya ribuan orang dari berbagai tempat ke KAI Travel Fair di JCC Jakarta, sebuah acara yang menjanjikan 642 ribu tiket kereta

eksekutif dengan diskon harga dari 20% hingga 72%. Begitu penuhnya dan ramainya orang yang datang, hingga panitia tidak mampu menangani, dan terjadi protes dan kekecewaan dari para pengunjung. Menteri BUMN, Rini Soemarno menyatakan kekagetannya, “Ini ada 600 ribu lebih, 640 ribu tiket tepatnya, kita juga tidak sangka antusiasmenya sangat besar,” ujarnya sesaat setelah membuka KAI Travel Fair bersama Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi di JCC Senayan, Jakarta, Sabtu 28 Juli 2017. (www.viva.co.id diunduh 29 Juli 2017).

Page 30: Deteritorialisasi Memangsa Potensi Wisata fileSENI BUDAYA YOGYAKARTA. Komik oleh Vitus Yogi. SENI BUDAYA YOGYAKARTA ... 12 17 23 27 32 36 Penanggung jawab Umum Drs. Umar Priyono, M.Pd.

30

Kejadian tersebut menggambarkan keinginan banyak orang untuk bergerak, untuk pergi. Saat melihat itu, saya kembali teringat percakapan teman saya dan saya. Kenapa harus pergi? Setahu saya, jawaban sederhananya ada dua, manusia bergerak untuk kabur, atau untuk mengejar. Saat ini, saya mulai meragukan argumen saya untuk tinggal.

Melancong dan membagi pengalaman itu di dunia maya ternyata sudah jamak dilakukan. Saat menulis tulisan ini, dengan mudah tiap gambar dan kata yang hadir di blog-blog ini. Foto kaki-kaki bersepatu menghadap lautan awan di puncak gunung dari blog andikahazelnutlatte.wordpress.com saja, rasanya sudah cukup untuk menggerakkan niat untuk pergi ke sana. Ada janji bahwa betapa pun tidak bahagianya hidup, satu gambar ini menunjukkan bahwa di luar sana bahagia tersedia.

Keberadaan berbagai informasi mengenai tempat di luar sana, melalui tulisan-tulisan perjalanan para pelancong di dunia maya ini, menegaskan betapa tidak bahagianya hidup saya. Saya perlu pergi dari tempat saya berada. Di mana pun itu. Ke mana pun itu. Perjalanan itu bisa saja dekat, seperti di artikel-artikel tempat temuan di situs (contoh) atau jauh. Tapi, yang penting adalah bahwa yang saya punya tidak cukup. Tanpa perjalanan itu, hidup bukanlah hidup.

Perjalanan mengambil posisi penting dalam macam kegiatan yang dilakukan manusia. Metafor hidup adalah sebuah perjalanan tergambar di sana. Melakukan perjalanan juga memiliki posisi penting di kehidupan beragama. Berziarah, napak tilas, hijrah, adalah ritual-ritual yang menjanjikan pengalaman keberagamaan yang kuat. Jika hidup seharusnya dipenuhi oleh

usaha mencari kebahagiaan, tampaknya melakukan perjalanan jadi sebuah keharusan. Kita harus lari dari rutinitas harian kerja dan usaha untuk bertahan hidup dan memulai sebuah perjalanan yang menjanjikan hidup yang sebenarnya. Maka, saya mulai mencoba mengamati lebih jauh perihal “perjalanan” itu melalui membaca tulisan-tulisan travel (travel writings) di beberapa blog maupun website internet yang marak beberapa tahun terakhir.

Sumber: http://resnufebri.blogspot.co.id

Sumber: http://wiranurmansyah.com/roponggi-hills

https://4delima.wordpress.com/2013/10/19/jalan-jalan-ke-jembatan-gantung-selopamioro/

Page 31: Deteritorialisasi Memangsa Potensi Wisata fileSENI BUDAYA YOGYAKARTA. Komik oleh Vitus Yogi. SENI BUDAYA YOGYAKARTA ... 12 17 23 27 32 36 Penanggung jawab Umum Drs. Umar Priyono, M.Pd.

31

Edisi 3/2017 | matajendela

Yang saya dapati, tulisan-tulisan travel yang terbaca cenderung ringan dan humoris. Sebagai contoh, lihat tulisan Ariev Rahman di backpackstory.me. Di blognya, yang bertajuk Backpack Story, a serious travel blog, bisa dijumpai berbagai macam tulisan, dari soal lokasi perjalanan (dalam atau luar negeri), persiapan dan tips traveling yang “serius” dalam bercanda dan dalam menyampaikan informasi menarik lainnya. Contoh lain ada di blog wiranurmansyah.com. Di salah satu artikelnya, Minggu Sore di Roponggi, tergambar sebuah pengalaman jalan-jalan yang menghasilkan berbagai temuan yang bikin senyum, dan menggembirakan, melihat pameran dari seniman favorit, kencan dengan akamsi, ngemil hangat di sore yang dingin, semua ditulis dengan candaan di sana-sini. Tidak semuanya begitu, tentu saja. Blog andikahazelnutlatter.

wordpress.com, misalnya, cenderung lebih serius dan menuturkan renungan. Meski demikian, ia tidak lalu jadi gelap dan berat. Renungan biasanya dirangkum dalam kutipan, atau kalimat kecil yang dipilih, untuk menggambarkan kesan dan pelajaran yang didapat lewat perjalanan-perjalanan ini.

Melalui gaya tulisan-tulisan itu, perjalanan menjadi terkesan mudah, ringan, dan menyenangkan. Halangan utama, yang biasanya didapuk ke isu biaya, dipecahkan dengan berbagai cara yang tampak bisa dijalani, seperti menabung, mencari sponsor dan diskon, atau menumpang di rumah teman. Beberapa cara lain adalah dengan menemukan tempat yang sebetulnya dekat sehingga faktor biaya ini bisa nyaris dihilangkan, seperti usaha resnufebri.blogspot.co.uk yang mengulik Purworejo, atau mengembangkan

Page 32: Deteritorialisasi Memangsa Potensi Wisata fileSENI BUDAYA YOGYAKARTA. Komik oleh Vitus Yogi. SENI BUDAYA YOGYAKARTA ... 12 17 23 27 32 36 Penanggung jawab Umum Drs. Umar Priyono, M.Pd.

32

pendekatan transportasi berbeda seperti di goweswisata.blogspot.co.uk. Yang penting bisa pergi. Semangat ini tampak mengemuka. Semua orang bisa pergi dan layak untuk bisa. Travel kini sudah harus jadi gaya hidup orang banyak, dan bukan lagi kemewahan. Pilihan destinasi? Alam.

Alam menjadi pilihan yang

pragmatis saat biaya harus ditekan. Alam tidak mengutip biaya dalam menyajikan produk-produk andalan mereka, kesejukan, keindahan, puisi. Maka, tidak heran jika muncul kecenderungan untuk mencari kantong-kantong alam yang terlewatkan, yang masih asri dan masih tidak mengutip biaya parkir. Namun di sisi lain, memilih alam juga punya arti penting lain. Alam menjanjikan sebuah kebahagiaan karena lewat awan, rumput, bunga, desau angin, percik air, dan kambing yang melihat kita dengan enggan, ia menawarkan obat untuk kekacauan hidup di

kota. Sebuah obat yang sangat berharga.

Begitu berharganya obat itu sehingga, jujur saja, saya jadi curiga. Saya tidak percaya pada sesuatu yang diperoleh dengan harga yang tidak selayaknya. Curang rasanya. Saat membaca berbagai tulisan tentang perjalanan dan indahnya destinasi ini, saya

tetap diingatkan bahwa antisipasi sering mengkhianati realita. Pada kenyataannya, kita akan berjalan ke sebuat tempat, dan bukan diteleportasi ke sebuah foto atau deskripsi seorang penulis. Ada banyak hal yang tidak tampil di sana, termasuk di dalamnya adalah bahwa kita akan berjalan ke sana dengan tubuh kita, jiwa kita, persoalan-persoalan di kepala kita yang menolak untuk ditinggal di rumah atau tinggal di dalam tas saja. Betapa pun indahnya alam, ia tidak akan jadi indah jika kita tidak menghadirinya dengan sikap yang sama dengan para petualang

ini. Bahan pokok tidak bisa berupa materi, seberapa pun indahnya, tapi berupa hal yang internal.

Sepulang dari sebuah perjalanan, yang kerap melelahkan, apa yang biasanya dibutuhkan? Liburan lagi. Seperti sebuah siklus. Adiksi? Nyatanya, seberapa pun kuatnya kuasa alam dalam menginspirasi, ia bisa dengan sangat mudah

terhapus oleh satu kalimat tentang gagalnya usaha penegakan keadilan di koran atau media sosial. Jadi kenapa pergi? Jawabannya kini harusnya bukan lagi faktor biaya, atau terlebih lagi, faktor kekerenan citra di media sosial. Perjalanan harus berhenti dilihat sebagai sebuah obat murah penghilang gejala kecemasan orang kota. Saat kita pergi ke suatu tempat, orang sering lupa bahwa bagi tempat itu kita adalah pendatang. Kita memang hilang dari tempat asal kita, tapi kita kini hadir di tempat lain. Bersikap sebagai turis yang hanya mengkonsumsi dan pergi,

“Yang perlu digarisbawahi dan dihadirkan lebih sering di tulisan-tulisan travel kini

bukanlah betapa mudah dan menyenangkan sebuah perjalanan. Tapi, bahwa ia

menghadirkan kesempatan untuk belajar yang tidak hadir di tempat lain.”

Page 33: Deteritorialisasi Memangsa Potensi Wisata fileSENI BUDAYA YOGYAKARTA. Komik oleh Vitus Yogi. SENI BUDAYA YOGYAKARTA ... 12 17 23 27 32 36 Penanggung jawab Umum Drs. Umar Priyono, M.Pd.

33

Edisi 3/2017 | matajendela

melupakan bahwa saat kita melihat-lihat, kita juga dilihat-lihat. Kedatangan kita mengubah tempat tujuan kita. Kehadiran kita menghadirkan nilai yang sebelumnya mungkin tidak ada.

Perjalanan perlu dipandang lebih serius. Ia tidak lagi harus murah, meriah, muntah. Sehingga meski KIA travel fair akan dilaksanakan setiap tahun, kebutuhan untuk “paramex” jiwa tidak membuat orang harus berdesak-desakan dan menginjak anak dan orang tua demi diskon.

Bukan berarti perjalanan tidak perlu. Tapi, ia perlu jadi penting, dan karenanya perlu lebih disiapkan. Sebagai bagian dari persiapan itu, salah satunya adalah persiapan internal. Mungkin kita harus siap bahwa mengambil bagian dari perjalanan adalah bersiap untuk sesuatu yang berat, dan karenanya, mungkin kita perlu berlatih di rumah sebelumnya. Jika perjalanan adalah usaha untuk mencari kebahagiaan, bagaimana kalau mulai dari membekali diri dengan pertanyaan-pertanyaan. Jika perjalanan menyediakan kesempatan untuk mengubah diri kita jadi lebih baik, bagaimana kalau mulai dari menyiapkan diri menerima guncangan.

Yang perlu digarisbawahi dan dihadirkan lebih sering di tulisan-tulisan travel kini bukanlah betapa mudah dan menyenangkan sebuah perjalanan. Tapi, bahwa ia menghadirkan kesempatan untuk belajar yang tidak hadir di tempat lain. Tulisan-

tulisan di beberapa blog dan website yang saya baca antara lain bisa menunjukkan pentingnya sebuah perjalanan. Pemandangan alam, misalnya, mampu mewujudkan beberapa hal yang kita kangeni dari hidup. Beringin tua yang bijak, cemara tinggi yang kokoh, danau yang tenang bisa membuat kita percaya lagi bahwa nilai-nilai itu memang ada dan bukan mimpi kita semata. Dan, dengan demikian, perjalanan tidak lagi terbatas ke tempat-tempat yang nyaman dan menyenangkan. Padang pasir yang luas bisa mengajarkan kerendahatian. Perkampungan yang kumuh, kegagalan modernitas. Kampung yang lama ditinggalkan, akar. Saya menunggu tulisan-tulisan perjalanan seperti itu. Saya menunggu tulisan bahwa untuk mendapati pelajaran-pelajaran itu, seorang pelancong perlu bersiap.

Ia perlu siap menerima, tidak hadir dengan asumsi tentang apa yang bagus dan yang tidak, tidak mudah terbiasa dan menjadi tidak peka. Mulai dari sana, ia bisa mulai bertanya. Hal-hal tidak lagi bisa diterima begitu saja. Ia mulai memperhatikan, dan karenanya membuka kesempatan bagi hal-hal itu untuk mengubah kita. Ia mulai berubah, bergerak, dan pergi.

Arief Ash Shiddiq, bekerja sebagai story editor di Wahana Penulis.

“Dengan demikian, perjalanan tidak lagi terbatas ke tempat-tempat yang nyaman dan menyenangkan. Padang pasir yang luas bisa mengajarkan kerendahatian. Perkampungan yang kumuh, kegagalan modernitas. Kampung yang lama ditinggalkan,

akar. Saya menunggu tulisan-tulisan perjalanan seperti itu. Saya menunggu tulisan bahwa untuk mendapati

pelajaran-pelajaran itu, seorang pelancong perlu bersiap.”

Page 34: Deteritorialisasi Memangsa Potensi Wisata fileSENI BUDAYA YOGYAKARTA. Komik oleh Vitus Yogi. SENI BUDAYA YOGYAKARTA ... 12 17 23 27 32 36 Penanggung jawab Umum Drs. Umar Priyono, M.Pd.

34

Europalia Indonesia 2017,Nusantara di Jantung Eropa

Elisabeth Ida

2017 ini menjadi salah satu tahun yang tak terlupakan bagi Indonesia, dan dunia seni rupa kita pada khususnya karena menjadi negara tamu dalam Europalia. Yogyakarta yang dikenal sebagai pusatnya seniman, tentu saja ikut mengirim beberapa

seniman ke sana, antara lain Jompet Kuswidananto, Mella Jaarsma, Agung Kurniawan, Timoteus Anggawan Kusno, Maryanto, Setu Legi, Arahmaiani, dan Iwan Wijono.

Namun, tidak hanya seniman dan karyanya yang “dikirim” ke sana, juga berbagai benda warisan budaya Nusantara yang sarat sejarah pun ikut serta. Selain itu, tak hanya Indonesia

yang “diboyong” ke sana karena menjadi negara tamu, beberapa seniman dari Belgia pun direncanakan akan menjalani residensi di Indonesia.

Sebagai gambarannya, Elisabeth Ida dalam tulisannya di bawah ini akan memaparkan persiapan menjelang

pelaksanaan Europalia 2017.

Awal Oktober tahun ini hingga akhir Januari tahun depan, Indonesia akan

menjadi pusat perhatian di Eropa. Sebagai negara tamu Europalia 2017, Indonesia mendapatkan kehormatan menjadi mitra edisi ke-26 perhelatan akbar ini.

Europalia merupakan bienal seni yang dalam setiap edisinya memiliki fokus pada satu negara. Berpusat di Brussel, Belgia, pesta seni budaya ini merangkai ratusan kegiatan di puluhan lokasi, baik di Belgia maupun negara-

negara Eropa lain. Semenjak edisi perdana di 1969 hingga edisi ke-25 pada 2015, Europalia telah mengundang 35 negara tamu dan menyelenggarakan 9.573 kegiatan seni budaya termasuk 565 pameran, yang dihadiri oleh 18.120.683 pemirsa. Hal ini sesuai dengan pernyataan dalam website resmi Europalia bahwa festival dua tahunan ini merupakan “The largest, the grandest, the most prestigious cultural event in Europe.”

Awalnya, festival ini memusatkan

perhatian hanya pada negara-negara Eropa. Namun dalam perkembangannya, Europalia menjadi bienal skala besar yang juga menjadi ajang bagi budaya-budaya lain di seluruh dunia. Pada 1989, Jepang menjadi negara non-Eropa pertama yang diundang sebagai tamu kehormatan. Setelah itu hadir juga Mexico, Cina, India, Brasilia dan Turki. Melengkapi deretan negara-negara emerging economies tersebut, Indonesia menjadi negara ASEAN pertama yang akan mengusung kekayaan sejarah, seni dan budayanya.

L INTAS

Page 35: Deteritorialisasi Memangsa Potensi Wisata fileSENI BUDAYA YOGYAKARTA. Komik oleh Vitus Yogi. SENI BUDAYA YOGYAKARTA ... 12 17 23 27 32 36 Penanggung jawab Umum Drs. Umar Priyono, M.Pd.

35

Edisi 3/2017 | matajendela

Centre for Fine Art, Brussel, Belgia.Sumber: Dokumentasi Ida

Lokasi pusat organisasi Europalia yakni kota Brussel, merupakan “rumah” dari berbagai kantor utama. Banyak institusi Eropa dan multinational serta NATO bermarkas di sana. Sebagai jantung Eropa, Brussel memiliki konsentrasi tertinggi diplomat, negosiator, jurnalis dan pengambil keputusan di dunia setelah Washington DC. Kesempatan emas menjadi tamu Europalia merupakan bentuk diplomasi budaya yang sangat berharga. Di samping tujuan sosio-kutural dan turisme, Europalia Indonesia juga

memiliki tujuan untuk memperkuat perdagangan. Festival kaliber tinggi ini diharapkan menjadi jembatan dalam membangun pemahaman dan kerja sama antara negara-negara, masyarakat dan perseorangan sesuai misi Europalia “Seni menghubungkan orang.” Selain itu, negara tamu bisa mengharapkan perkembangan di bidang wisata dan memajukan hubungan kerja sama dengan negara-negara maupun sektor privat dari Uni Eropa. Sebanyak 50% pengunjung Europalia dilaporkan memunculkan minatnya mengunjungi negara tamu yang ditampilkan. Edisi-edisi terakhir Europalia berhasil menarik pengunjung rata-rata 800.000 hinga satu juta orang, di

samping jutaan pengunjung maya di website, Facebook dan Twitter, serta pemirsa program televisi dan pendengar radio yang ditayangkan selama festival berlangsung.

Dalam acara sosialisasi Europalia bagi warga Indonesia di Kedutaan Besar RI di Brussel tengah Juli lalu, Duta Besar Yuri O. Thamrin mengemukakan bahwa hubungan dengan Uni Eropa merupakan salah satu fokus kerja pemerintah Indonesia saat ini. Indonesia merupakan salah satu mitra kunci Uni Eropa di regio Asia Tenggara, demikian juga sebaliknya. Uni Eropa adalah mitra bisnis terbesar keempat dan investor asing ketiga bagi Indonesia. Satu juta wisatawan Eropa mengunjungi

Page 36: Deteritorialisasi Memangsa Potensi Wisata fileSENI BUDAYA YOGYAKARTA. Komik oleh Vitus Yogi. SENI BUDAYA YOGYAKARTA ... 12 17 23 27 32 36 Penanggung jawab Umum Drs. Umar Priyono, M.Pd.

36

Indonesia setiap tahunnya. Negara Belgia sendiri mengirimkan misi ekonomi terbesar ke Indonesia tahun lalu yang merupakan pertanda menguatnya hubungan antara kedua negara. Tahun 2016 pertama kalinya dalam sejarah Presiden RI mengunjungi institusi Uni Eropa, yakni dalam rangka melansir negosiasi Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA). Oktober 2017 ini Presiden Joko Widodo akan kembali ke Brussel untuk membuka Europalia Indonesia bersama Raja Philip dan Ratu Mathilda dari Kerajaan Belgia. Selain itu acara ini akan dihadiri pula oleh pemimpin tertinggi Uni Eropa yakni Presiden Komisi Eropa, Presiden Dewan Eropa dan Presiden Parlemen Eropa.

Nota Kesepahaman Penyelenggaraan Festival Europalia Indonesia 2017 ditandatangani pada 2015 oleh Mendikbud RI Anies Baswedan dan Chairman Europalia International Count Jacobs De Hagen di Jakarta. Nampaknya, dengan pagu anggaran dari pihak pemerintah RI sebesar 300 milyar rupiah, Europalia Indonesia ini menargetkan 1-1,5 juta

pengunjung (dalam hal ini belum ada konfirmasi target pengunjung, tapi perihal pagu anggaran telah disebutkan di Rapat Sidang Komisi X 2016). Dubes RI menyebutkan Europalia ini secara logistik merupakan operasi yang sangat besar dengan 223 events dan membawa sekitar 600 seniman ke Eropa. Beliau menghimbau masyarakat Indonesia di Belgia untuk menjadi agen informasi dengan menyebarkan kabar adanya festival besar ini, serta membantu tim Europalia Indonesia yang akan datang ke Eropa.

Tim Europalia yang berpusat di Brussel bekerja sama dengan tim Indonesia yang meliputi pihak pemerintah, yakni Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai co-organisator festival. Mitra penting artistik adalah adalah Museum Nasional Indonesia, Galeri Nasional, para kurator dan seniman. Sementara di Belgia, mitra artistik utamanya termasuk BOZAR dan Ancienne Belgique di Brussel, MuHKA, MAS dan deSingel di Antwerpen, S.M.A.K. di Gent, MAC’s di Grand Hornu. Proses persiapan selama 3 tahun lebih melibatkan kunjungan

baik dari Indonesia ke lokasi-lokasi di Eropa maupun dari Belgia ke Indonesia, yang mencapai 15 kunjungan terutama ke Jakarta dan Yogyakarta. Selain dua kota itu, tim Europalia Belgia juga mengunjungi Bandung, Padang, Palembang, Ambon, dan Bali. Beberapa seniman Eropa mengikuti residensi di Papua, Makassar, Lombok dan lainnya.

Indonesia menyiapkan empat disiplin artisitik untuk menggebrak publik di Eropa, yaitu Heritage (warisan budaya Indonesia), Contemporary (pertunjukan seni kontemporer para seniman Indonesia), Creation (kreasi baru karya para seniman Indonesia yang mengikuti program ini) dan Exchange (kolaborasi seni seniman Indonesia dan Eropa). Tema-tema besar yang akan diusung dalam pameran mencakup, di antaranya Ancestors and Rituals, Power and Other Things dan Archipelago. Dalam tajuk “Leluhur dan Ritual,” warisan budaya tanah air akan ditampilkan dan ditinjau dari sudut pandang kekinian, kekayaan arkeologi dan etnografi nusantara akan ditampilkan bersama dengan tema-tema aktual tentang tradisi

Page 37: Deteritorialisasi Memangsa Potensi Wisata fileSENI BUDAYA YOGYAKARTA. Komik oleh Vitus Yogi. SENI BUDAYA YOGYAKARTA ... 12 17 23 27 32 36 Penanggung jawab Umum Drs. Umar Priyono, M.Pd.

37

Edisi 3/2017 | matajendela

dan ritual yang hidup dalam masyarakat Indonesia saat ini. Salah satunya adalah patung keramat Ana Deo yang diyakini memiliki kekuatan gaib dan bisa melindungi penduduk desa-desa di Flores dari roh jahat. Ratusan artefak yang akan dibawa ke Eropa berasal dari berbagai wilayah di Indonesia mulai dari Aceh hingga Papua. Proses pemilihan berdasarkan kesepakatan antara pihak Indonesia dan Eropa, dengan menekankan pada arti keberagaman dalam kebudayaan.

Selain itu, “Kuasa dan Hal-hal Lainnya” menampilkan seni di Indonesia sejak 1835 hingga saat ini. Pameran utama yang akan diadakan di lokasi Bozar (Istana seni rupa di Brussel) ini akan secara kronologis mengangkat seniman-seniman abad ke-19 dan 20 yang membentuk sejarah seni

rupa di Indonesia, termasuk Raden Saleh dan Jan Toorop. Lukisan menakjubkan karya Nicolaas Pieneman tentang penangkapan Diponegoro akan dihadirkan, juga karya masa kini berwujud foto dan instalasi tentang Papua Barat oleh Roy Villevoye (Belanda). Kreasi baru akan hadir antara lain dari tangan Agung Kurniawan dari Yogyakarta dan Ana Torfs dari Brussel.

Tema “Arkipel” akan menunjukkan bahwa kelautan kita adalah penghubung dan bukan pemisah ribuan pulau di Indonesia. Kekayaan maritim nusantara merupakan kekuatan tersendiri serta membentuk identitas negara melalui berbagai mitos, agama, seni dan teknologi yang bercampur dengan tradisi lokal. Salah satu artefak yang akan dipamerkan adalah Manjusri dari abad ke-9

hingga ke-10 di pulau Jawa, yang dipinjamkan oleh Museum Nasional Indonesia. Patung ini menunjukkan seorang Bodhisattva yang sedang bermeditasi, sebagai simbol pencerahan dan kebijaksanaan.

Di samping kegiatan pameran, dalam waktu hampir empat bulan publik juga akan dimanjakan dengan seni pertunjukan, musik, sastra, konferensi dan pemutaran film. Informasi program lebih lengkap akan diluncurkan bulan Agustus di website resmi Europalia dan melalui laman Facebook.

Elisabeth Ida, seniman asal Yogyakarta, berdomisili di Brussel. Dalam rangka Europalia 2017, karyanya juga akan ditampilkan di Pusat Budaya Stroombeek.

Beberapa brosur Europalia.Sumber: Dokumentasi Ida

Page 38: Deteritorialisasi Memangsa Potensi Wisata fileSENI BUDAYA YOGYAKARTA. Komik oleh Vitus Yogi. SENI BUDAYA YOGYAKARTA ... 12 17 23 27 32 36 Penanggung jawab Umum Drs. Umar Priyono, M.Pd.

38

Perempuan Rowobono

Atta Verin

Menjadi egois itu kutukan, ujar kakak perempuanku Denok. Sepanjang kau

berpikir bahwa kau hanya akan mengurusi raga kasarmu sepanjang hayatmu, sampai ke liang kubur, maka kau sudah terkena kutukan itu. Tidak ada kebalikan bagi kata sifat itu selain menjadi manusia. Dengan kata lain, Teh Denok meyakini betul bahwa orang yang egois itu bukan manusia. Dan sebagai adik perempuan satu-satunya, aku harus mengikhlaskan selusin tahun waktuku dalam pengaruhnya, termasuk menelan bulat-bulat definisi egois itu.

Mbah Tuwut yang menjadi lelaki penjagaku selalu tidak menyukai Teh Denok yang menurutnya menunjukkan ciri-ciri perempuan yag lahir dari hubungan perkosaan. Karena aku sering melihat Rama memukuli Ibu, lalu menciumnya, lalu memukul lagi; maka aku tak pernah mempertanyakan pendapat Mbah Tuwut itu. Bisa jadi lelaki Jawa tua itu benar. Siapa yang bisa menjamin aku pun mungkin lahir dari hasil perkosaan Rama

terhadap Ibu. Mungkin sepanjang waktu di dalam bilik khusus beraroma bunga dan kemenyan namun berinterior mengerikan itu, yang dilakukan Rama adalah memperkosa Ibu; sepanjang pernikahan mereka.

Jika Mbah Tuwut benar, maka anak-anak yang lahir dari hasil perkosaan itu akan menjadi seperti teh Denok; sangat teliti membersihkan segalanya--seolah merasa bahwa raganya magnit bagi segala kotoran. Tetapi itu membuatnya memperhatikan semuanya, memikirkan segala hal; membuatnya menjadi manusia yang paling tidak egois. Maka aku belajar tak egois. Aku menahan amarah dan kesalku pada Rama demi kesejahteraan Ibu di dalam bilik perkosaan mereka itu. Tapi ujian terbesar untuk kemampuanku menjadi tidak egois adalah di penghujung usia 18-ku: Rama kalah perang, seorang panglima Jawa menungguku di pintu gerbang; akulah tumbal kekalahan Rama yang akan dibawa pergi panglima itu. Aku ingin

menangis dan berontak, tetapi bayangan siksa fisik yang akan menimpa Teh Denok dan Ibu kalau aku membangkang perintah Rama lebih mengerikan dari segala ketidak pastian. Aku membunuh urat egoisku dengan segenap tenaga yang kukumpulkan selama 18 tahun; aku membayar sperma Rama di dalam ragaku dengan berkemas tanpa setetespun air mata; membawa sejumlah benda dan satu tuntutan: aku harus boleh membawa pergi Mbah Tuwut. Kenyataan bahwa lelaki tua kesayanganku ini akan pulang ke tanah airnya di Kediri sana tidak menerbitkan sedikitpun kegembiraan di wajahnya. Dia menangis sambil menyentuh bahuku kiriku perlahan, seolah ingin memindahkan semua sisa umurnya padaku. Aku akan menjadi istri seorang lelaki Jawa yang usianya lebih dari dua kali usiaku, karena aku adalah tumbal peperangan itu.

“Dyah harus kuat. Berdoalah hidup barumu di tanah Jawa akan gemilang dan membahagiakan,

SKETSA

Page 39: Deteritorialisasi Memangsa Potensi Wisata fileSENI BUDAYA YOGYAKARTA. Komik oleh Vitus Yogi. SENI BUDAYA YOGYAKARTA ... 12 17 23 27 32 36 Penanggung jawab Umum Drs. Umar Priyono, M.Pd.

39

Edisi 3/2017 | matajendela

anakku.” Hanya itu yang diucapkan Rama ketika panglima tinggi besar itu mengikat pinggangku dengan selendang sutra panjang berwarna keemasan. Dia memegang ujung selendang itu sambil duduk bersila menatap Rama dengan sorot mata sombong. Aku merasa menjadi anjing. Rama sudah tahu pasti aku tidak akan bahagia dan bahwa aku akan mengalami siksaan. Karena itu dia mengatakan “Dyah harus kuat...” Aku yakin dengan segenap entitasku bahwa aku adalah anak hasil perkosaan.

Lalu hidup berlalu lebih cepat dari arak-arakan awan di atas tanah Jawa di bulan Oktober, Panglima tinggi besar itu membawaku melintasi hutan dan membelah sungai, bukan sebaliknya. Ternyata tidak benar gunjingan para pengawal yang mengatakan si panglima ini lebih suka menyusuri sungai daripada merambah belantara. Aku merasa dia menyukaiku, tetapi dalam level yang mulia dan khidmat. Beberapa kali pengawal yang tak tahan melihat pergelangan kakiku, siku tangan dan jemariku akan berusaha menempelkan hidung atau tangan mereka ke ujung kain atau kasutku. Mereka mencuri-curi pandang dan sesekali menggagahiku lewat pandangan mata mereka ketika mereka mengira aku tak melihatnya. Tapi panglima yang satu ini menundukkan kepalanya, berusaha tidak menyentuhku, menyentak

ujung selendang yang mengekang pinggangku dengan lembut setiap kali ingin berbicara padaku. Dia tak menyusuri sungai karena mendengar Mbah Tuwut berbisik kepadaku: “Jangan khawatir, aku tak akan membiarkan ada ular air mendekatimu!”

Ular air adalah ketakutan terbesarku. Ketika aku pertama kali mentruasi dan tanpa sengaja mengotori tempat duduk kesayangan Rama, Rama melemparku ke dalam kolam khusus miliknya yang berisi ribuan ular air. Teh Denok yang menyelamatkanku dengan puluhan bekas gigitan ular di tubuh kami. Ibu merendam kami dalam kolam ramuan khusus 5 jam sehari selama 5 bulan setelah peristiwa itu.

Bulan purnama ada di atas Rowobono ketika kami beristirahat, dan sang panglima kedatangan seorang pembawa pesan kiriman lelaki Jawa tua yang menjarahku dari keluargaku. Si pembawa pesan berkata bahwa lelaki tua serakah itu baru saja mematahkan kaki salah satu istrinya karena perempuan itu tidak memuaskan keinginannya, dan bahwa ia datang untuk mengabarkan pada bedebah itu apakah sepasang kakiku mulus tak berborok sedikitpun. Dia harus memastikannya langsung dengan melihatnya, dan lebih akurat lagi jika bisa menyentuhnya

langsung, sebelum melaporkannya kepada si bedebah. Mbah Tuwut mencengkeram tangan kiriku kuat menyampaikan kekhawatirannya. Aku membalas cengkeramannya sambil menikmati wajah sang panglima yang berusaha keras tidak menatap langsung ke mataku; matanya memerah mengandung amarah dan keputusasaan. Aku mengerti betul apa yang diinginkan si pembawa pesan, karena itu aku sudah siap membuka kain yang menutup kedua kakiku dari pangkal paha, untuk dilihat si pembawa pesan dan dilaporkan. Si Panglima tiba-tiba menyentakkan selendang kekangku mencegah aku melakukannya.

“Katakan saja kedua kakinya mulus!” seru sang panglima. Si pembawa pesan yang sudah membayangkan kedua matanya melahap pemandangan sepasang kaki telanjangku terbelalak tak percaya. Dia mengangkat kedua alisnya menyunggingkan ketersinggungan. Mbah Tuwut seperti melihat peluang pada kejadian itu. Tubuh tua yang masih perkasa itu menegang tegak, lalu sambil memicingkan mata berusaha membentuk mimik wajah murung dia berkata, “Tapi panglima, Putri Dyah pernah terjatuh dari kereta dan kakinya....” dia menggagap-gagapkan suaranya. Aku teringat saat terjatuh dari kereta yang diceritakannya itu, dan terluka di paha dan lutut kanan. Tangan kananku otomatis

Page 40: Deteritorialisasi Memangsa Potensi Wisata fileSENI BUDAYA YOGYAKARTA. Komik oleh Vitus Yogi. SENI BUDAYA YOGYAKARTA ... 12 17 23 27 32 36 Penanggung jawab Umum Drs. Umar Priyono, M.Pd.

40

memegang paha yang pernah luka itu. Tetapi kecelakaan itu terjadi waktu aku masih kecil, sepuluh tahun yang lalu, dan lukanya sama sekali tak berbekas.

Panglima memperhatikan betul bergeraknya tanganku memegangi paha kanan, dan dia membulatkan pendapatnya. Tangan kanannya menggenggam selendang kekangku, tangan kirinya memegangi gada. Dalam sekejap gada berduri itu mendarat di kepala si pembawa pesan. Lelaki yang ingin melihatku telanjang itu terduduk di atas tanah. Tanpa kepala.

Dia memandangiku, matanya tak lagi malu-malu. Tegas sepasang bulatan cahaya tajam di tengah hutan itu memproklamirkan rasa cintanya padaku.

“Dia akan mengumpankanmu pada buaya dan macan peliharaannya kalau si tolol itu melaporkan bekas luka di pahamu. Dan dia akan mengirimkan kepalamu pada orang tuamu sebagai ungkapan kekecewaannya!”

Aku tak memerlukan kata-kata pengakuan dari mulutnya. Dari caranya melemparkan

selendang kekang, membawa seluruh persediaan makan dan membawaku masuk ke dalam Hutan Geger yang semerbak Kesturi, aku tahu dia lebih mencintaiku daripada nyawanya sendiri. Mbah Tuwut bukan tak mengetahui fakta ini, tetapi entah mengapa lelaki penjagaku ini justru tampak lebih ketakutan dari sebelumnya. Mungkin hilangnya kepala si pembawa pesan telah mengguratkan kengerian tak terperi di dalam hati dan pikirannya.

Ketika sang panglima menyeret kami semua masuk ke tengah hutan, Mbah Tuwut ikut berlari terseok. Itu langkah ragu-ragunya. Aku pernah menyaksikan Mbah Tuwut dengan luka menganga lebar dan mengucurkan darah segar di betis kanannya karena digigit buaya, tetap berlari kencang menggendongku pulang. “Saya kok merasa kita akan segera mati...” ujarnya datar sambil berjalan mendahuluiku untuk memastikan aku tidak berjalan ke arah jurang atau moncong buaya.

Aku tidak keberatan dengan kata-katanya. Sepertinya aku memang sudah merasa mati sejak Rama membiarkan aku diseret pergi

si Panglima. Dan kini, melihat sang panglima memutuskan mengkhianati juragannya demi aku tanpa pikir panjang, aku merasa memang sudah mati, dan masuk ke surga. Sorot mata merah di wajah panglima, dan kelabu di mata Mbah Tuwut tak menyurutkan emosi bahagiaku. Kemenangan apa yang sedang disuguhkan Sang Hyang Widhi padaku.

“Kau tak pernah melihat Garuda Wisesa!” meski berbisik, namun suara Mbah Tuwut terdengar amat menakutkan. Aku tak peduli dengan Garuda Wisesa. Aku hanya ingin segera mengetahui kemana aku akan dibawa oleh si panglima; apakah ia akan membuatkanku gubuk tempat berteduh dan tumpukan tebal dedaunan wangi untuk peraduan?“Mbah, katakan padanya bahwa Mbah tadi berdusta! Sepasang kakiku mulus tak bernoda, tapi aku hanya ikhlas jika dia yang memperistriku, bukan Raja Setan itu!”

“Raja yang satu itu tidak pernah memberi maaf. Kita akan dimakan Garuda Wisesa!” lanjutnya terbata-bata. Mbah Tuwut tidak menjawabku. Matanya kini hampir semerah mata panglima. Apakah Mbah Tuwut mendengar perkataanku?

Page 41: Deteritorialisasi Memangsa Potensi Wisata fileSENI BUDAYA YOGYAKARTA. Komik oleh Vitus Yogi. SENI BUDAYA YOGYAKARTA ... 12 17 23 27 32 36 Penanggung jawab Umum Drs. Umar Priyono, M.Pd.

41

Edisi 3/2017 | matajendela

“Dan ia memiliki seorang ahli nujum yang hatinya terbuat dari timah beku dan tulang belulang macan Balung Ireng.” Entah apa yang ada di dalam pikiran Mbah Tuwut sehingga semua khayalannya itu menghambur mengganggu konsentrasiku pada gerakan rongga dada si panglima yang menggembung dan turun seirama dengan lirikan matanya ke arahku. Mungkin Mbah Tuwut otaknya sudah kekurangan oksigen karena perjalanan masuk hutan yang gelap dan dingin ini. “Tukang nujumnya bisa melihat apapun yang kita lakukan, Raden. Ia juga bisa mengirimkan pasukan lintah bersayap yang akan masuk ke dalam tubuh kita dan memangsa kita dari dalam.” Mbah Tuwut seperti tak rela aku tersenyum bahagia dalam malapetaka ini.

Panglima sampai ke sebidang lapang perdu Melati Hutan di samping telaga yang seram. Lelaki yang menculikku itu berpaling menatapku, bukan seperti seorang kekasih. Aku kecewa. “Putri harus masuk ke air, lepaskan semua selendang yang akan mudah mengambang di air itu. Menyelamlah. Gunakan ilalang untuk bernapas!” suaranya terdengar lelah dan putus asa.

Aku melepaskan satu persatu kain sutra dan selendang yang melilit tubuhku, berharap saat itu langit terang, angin sejuk meniup lembut, dan nyanyian pohon mengiringi sirobok pandangan kami. Aku berharap hanya berdua saja dengannya di pinggir telaga, dengan aku melucuti diriku sendiri. Tapi bukan itu yang terjadi. Kain sutra terakhir luruh ke atas perdu Melati ketika Mbah Tuwut mengacungkan tinjunya ke udara sambil menjerit nyaring. Langit berkelebatan seperti ada seorang penari berbusana kain hitam panjang yang berayun ke sana kemari mengikuti tariannya di udara. Lalu suara memekakkan telinga. Seperti suara bayi yang marah karena dilemparkan Rama ke dalam sumur pengorbanan. Sejurus kemudian tubuh peyot Mbah Tuwut terangkat ke udara seperti ditarik burung. Ya burung. Burung raksasa sewarna tembaga yang sangat besar hingga hanya paruh dan matanya saja yang terlihat jelas di kepalanya.

“Garuda Wisesa!” teriak panglima. Aku terhenyak dari ilusi romantisku dengan panglima ketika satu paruh besar lagi yang entah dari mana melahap bahu kekar itu. Tangan kanannya

memiting erat bagian atas paruh burung besar itu. Burung itu menjerit kesakitan, memekik kuat seperti sedang disembelih. Panglima menoleh ke arahku, menjerit dengan pekikan yang tak kalah kuat. “Jangan pernah menjual jiwamu! Jangan tawar menawaaaarr!!” pekiknya.

Dia melemparkan sesuatu ke arahku, seperti debu. Masuk ke mataku, menembus ke dalam, terasa keji, aku menangis. Tiba-tiba langit terang sewarna emas, burung-burung garuda raksasa itu berkelabatan di atas kepalaku. Mereka terlihat jelas. Tak terhitung jumlahnya. Sebelah kakiku sudah masuk ke dalam telaga yang kini kutahu berwarna kuning gelap, dengan gelembung-gelembung di beberapa tempat di permukaan airnya. Aku tak bisa berpikir lagi. Kucabut ilalang yang paling panjang yang terlihat ujung mataku. Menyelam masuk ke dalam air kuning gelap itu dengan ilalang di mulutku; menjadi selang udara bagiku. Panglima benar, burung-burung Garuda Wisesa itu tidak berani mendekati air kuning ini. Airnya telaga yang kini bergolak seakan mendidih.

Aku ingin memejamkan mataku. Tetapi bubuk yang dilemparkan panglima justru membuat

Page 42: Deteritorialisasi Memangsa Potensi Wisata fileSENI BUDAYA YOGYAKARTA. Komik oleh Vitus Yogi. SENI BUDAYA YOGYAKARTA ... 12 17 23 27 32 36 Penanggung jawab Umum Drs. Umar Priyono, M.Pd.

42

pengelihatanku di dalam air kuning pekat itu jernih dan sangat tajam. Aku bisa melihat ganggang dan bebatuan telaga. Kemana ikan-ikan? Aku melihat ikan emas itu. Berenang mendekat ke arahku. Ia berenang di atas wajahku, kami jadi sangat dekat, wajahnya menghadap ke bawah menatap nanar wajahku. Mata ikan itu serupa mata Rama, coklat nyalang. Lalu wajah ikan itu...

“Kau akan hidup menjadi permaisuri seorang Raja Besar. Tetapi kau menghamba padaku. Atau kau kuberi waktu dua fajar untuk hidup, namun jasadmu pecah berkeping-keping!” Ikan itu berbicara. Suaranya seperti suara Ibu. Aku benar-benar kehilangan akal sehat. Aku tak bisa menjawab tentu saja, ilalang itu di mulutku. Napasku.

Ikan itu mendekati kedua mataku. Aku mengerdip. Dia menunggu. Aku mengerdip lagi. Entah mengapa. “Satu kali lagi, Putri Dyah!” bisiknya lirih. Dan aku mengerdipkan mataku lagi.

Seluruh tubuhku melepuh dan luruh seperti boneka porselen yang remuk. Ajian Karadurga Surya itu telah menghancurkan semua Garuda Wisesa yang

menyerang kami, kecuali yang kutunggangi saat ini. Aku tak bisa memerintahnya untuk mendarat atau terbang ke arah yg kumau. Tidak hanya bahuku, mulutku juga sudah hancur. Aku tanpa suara.

Di bawah sana aku melihat Dyah, perempuan dengan bentuk dan rupa yang paling sempurna dari wujud seorang perempuan cantik. Tak kutemukan tandingannya. Ia berjalan keluar telaga itu setengah telanjang. Dengan tangan kanan mulusnya teracung. Seolah ada yang sedang menarik tangannya, membimbingnya keluar dari telaga Rowobono. Aku langsung tahu bahwa ia telah memilih dan menawar, ia telah melanggar seruanku. Ia telah terkena tipu daya tukang sihir perempuan yang bisa menyaru jadi siapa saja atau makhluk apa saja itu. Ia telah memilih melebur dengan udara, tanah, dan tanaman. Kulit mulus sempurnanya telah ia ikhlaskan luruh ke dalam tanah, sekeping demi sekeping, meresep ke batangan pokok pohon, terbawa udara ke dalam sarang-sarang hewan dan serangga di tanah ini. Sesekali terdengar suaranya sedang berdendang dan bercanda dengan seseorang yang ia panggil “Teh Denok.”

Aku tidak berhasil menyelamatkan mahluk mulus itu. Ia mulus lahir dan batinnya. Sangat tidak sepadan dengan sukma iblis Raja keparat yang telah

membunuh adik perempuanku hanya karena ada bekas borok di selangkangannya. Tadinya aku berharap, perempuan cantik Dyah ini akan membalaskan dendamku pada si keparat dengan skenario pembunuhan yang sempurna. Tetapi si keparat itu terlalu sakti untuk diakali. Budaknya yang tukang sihir itu pasti telah mengetahui semua yang kuperbuat. Tak mengapa. Aku akan menghabiskan sisa kesaktianku di atas Garuda Wisesa buta ini, sambil menyaksikan Dyah cantikku meluruh, sedikit semi sedikit, menyatu dengan tanah Rowobono. Kelak ia akan bangkit dari tanah ini, dari Hutan Rowobono ini, dalam bentuk segala entitas hidup yang murni dan perkasa karena kekuatan cinta; untuk membalaskan dendamku pada semua keturunan bajingan itu!

Page 43: Deteritorialisasi Memangsa Potensi Wisata fileSENI BUDAYA YOGYAKARTA. Komik oleh Vitus Yogi. SENI BUDAYA YOGYAKARTA ... 12 17 23 27 32 36 Penanggung jawab Umum Drs. Umar Priyono, M.Pd.

Komik oleh Vitus Yogi

Page 44: Deteritorialisasi Memangsa Potensi Wisata fileSENI BUDAYA YOGYAKARTA. Komik oleh Vitus Yogi. SENI BUDAYA YOGYAKARTA ... 12 17 23 27 32 36 Penanggung jawab Umum Drs. Umar Priyono, M.Pd.

44

Foto oleh Kuss IndartoTebing Breksi, Sleman, Yogyakarta.