DETEKSI DAN ESTIMASI KEMUNDURAN MUTU IKAN … · INFRAMERAH DEKAT 525 nm DAN 660 nm . REFFA...
Transcript of DETEKSI DAN ESTIMASI KEMUNDURAN MUTU IKAN … · INFRAMERAH DEKAT 525 nm DAN 660 nm . REFFA...
DETEKSI DAN ESTIMASI KEMUNDURAN MUTU
IKAN BARONANG TOTOL (Siganus guttatus)
MENGGUNAKAN PANJANG GELOMBANG
INFRAMERAH DEKAT 525 nm DAN 660 nm
REFFA PYTHALOKA
SKRIPSI
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :
DETEKSI DAN ESTIMASI KEMUNDURAN MUTU IKAN
BARONANG TOTOL (Siganus guttatus) MENGGUNAKAN PANJANG
GELOMBANG INFRAMERAH DEKAT 525 nm DAN 660 nm
adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi
yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan manapun tidak diterbitkan
dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar
Pustaka dibagian akhir skripsi.
Bogor, Januari 2013
Reffa Pythaloka
C54080086
RINGKASAN
REFFA PYTHALOKA. Deteksi dan Estimasi Kemunduran Mutu Ikan
Baronang Totol (Siganus guttatus) menggunakan Panjang Gelombang
Inframerah Dekat 525 nm dan 660 nm. Dibimbing oleh INDRA JAYA.
Kesegaran ikan merupakan keadaan dari saat ikan mati hingga memasuki
tahap penurunan mutu ikan.Tingkatan kesegaran ikan merupakan tolak ukur untuk
membedakan ikan yang bermutu baik dan buruk. Metode spektroskopi telah
digunakan dalam menentukan kesegaran ikan, terutama pada rentang gelombang
tampak dan inframerah dekat. Spektroskopi dapat menampilkan perubahan yang
terjadi dalam interaksi radiasi elektromagnetik dengan kondisi fisik dari sampel
ikan.
Salah satu instrumen yang mengaplikasikan metode ini adalah IFFI-1
(Infrared Fish Freshness Instrumen -1), yang telah dimodifikasi menjadi IFFI-2
(Infrared Fish Freshness Instrumen -2). Perbedaan IFFI-1 dan IFFI-2 terdapat
pada bagian kontrol dan sensor. IFFI-1 memiliki LCD pada bagian kontrolnya
sekaligus merupakan unit display, sedangkan pada IFFI- 2 unit display-nya
langsung pada komputer/laptop untuk proses selanjutnya. Perbedaan paling utama
adalah IFFI-1 menggunakan gelombang inframerah 780 nm, sedangkan IFFI 2
menggunakan gelombang cahaya tampak 525 nm dan 660 nm. Untuk uji coba
IFFI-2, ikan yang diamati adalah ikan baronang totol (Siganus guttatus) yang
merupakan ikan ekonomis penting yang banyak diminati dalam kondisi segar.
IFFI-2 mendeteksi kemunduran mutu ikan dengan memancarkan panjang
gelombang 525 nm dan 660 nm pada ikan target menggunakan transmitter. Hasil
pantulan diterima oleh receiver dan akan diolah di mikrokontroler, kemudian
hasilnya ditampilkan di interface. Intensitas rasio ditemukan dengan
menggunakan perbandingan dan pengurangan kedua panjang gelombang.
Hasil pendeteksian ikan dengan sisik, pada panjang gelombang 660 nm
berkisar -1.5 dB hingga -2 dB serta pada panjang gelombang 525 nm berkisar -2
dB hingga -2.9 dB. Sementara ikan tanpa sisik, pada panjang gelombang 660 nm
berkisar -1.7 dB hingga -2.2 dB serta pada panjang gelombang 525 nm berkisar -
1.8 dB hingga -2.9 dB. Kisaran-kisaran di atas menunjukkan bahwa panjang
gelombang 660 nm memiliki pantulan yang lebih kuat dibandingkan dengan
panjang gelombang 525 nm, baik untuk ikan dengan sisik maupun tanpa sisik.
Rasio kedua panjang gelombang juga diamati dengan IFFI-2. Rasio yang
dilakukan berupa pembagian kedua panjang gelombang serta pengurangan kedua
panjang gelombang pada ikan dengan sisik dan tanpa sisik. Rasio perbandingan
menampilkan hasil visualisasi yang lebih baik, sehingga memudahkan
pengamatan fase-fase ikan.
Hasil pengamatan organoleptik yang dilakukan menunjukan kondisi
kondisi ikan perjamnya. Pengamatan organoleptik dilakukan sebagai
perbandingan kondisi ikan antara pengamatan menggunakan instrumen dan
pengamatan dengan menggunakan panca indera. Berdasarkan pengamatan
organoleptik yang dilakukan, terlihat fase-fase kemunduran mutu ikan baronang
totol yang diamati. Hal ini juga menunjukkan bahwa IFFI-2 dapat mengukur
penurunan kualitas ikan serta pengembangan/modifikasi alat telah dilakukan
dengan baik.
© Hak cipta milik Reffa Pythaloka, tahun 2013
HakCiptaDilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu
masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian/seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
DETEKSI DAN ESTIMASI KEMUNDURAN MUTU
IKAN BARONANG TOTOL (Siganus guttatus)
MENGGUNAKAN PANJANG GELOMBANG
INFRAMERAH DEKAT 525 nm DAN 660 nm
REFFA PYTHALOKA
SKRIPSI
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ilmu Kelautan pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013
SKRIPSI
Judul Skripsi : DETEKSI DAN ESTIMASI KEMUNDURAN MUTU
IKAN BARONANG TOTOL (Siganus gutttatus)
MENGGUNAKAN PANJANG GELOMBANG
INFRAMERAH DEKAT 525 nm DAN 660 nm
Nama Mahasiswa : Reffa Pythaloka
Nomor Pokok : C54080086
Departemen : Ilmu dan Teknologi Kelautan
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Prof. Dr. Indra Jaya
NIP. 1961041 198601 1 002
Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan
Tanggal Ujian: 22 Januari 2012
Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M. Sc
NIP. 19640801 198903 1 001
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt, karena berkat
rahmat, hidayah, serta karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penelitian ini. Shalawat serta salam penulis sampaikan kepada Rasulullah saw,
keluarganya, kerabatnya, hingga umatnya.
Penelitian dengan judul “Deteksi dan Estimasi Kemunduran Mutu Ikan
Baronang Totol (Siganus guttatus) Menggunakan Panjang Gelombang
Inframerah Dekat 525 nm dan 660 nm” ini diajukan sebagai salah satu syarat
untuk mendapatkan gelar Sarjana Ilmu Kelautan pada Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Indra Jaya sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan
arahan, bimbingan, serta nasehat yang terbaik bagi penulis sehingga penulis
dapat menyelesaikan studi di Departemen ITK.
2. Ibu Dr. Ir. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si yang telah memberikan pengetahuan baru
serta masukan-masukan yang berharga bagi penulis.
3. Bapak Dr.Ir. Henry M. Manik, S.Pi, MT yang telah memberikan pengetahuan
selama kuliah di Departemen ITK serta memberikan masukan-masukan
mengenai hasil penelitian.
4. Ibu Ika Dasnika dan Bapak Sadri Usin sebagai orang tua terbaik bagi penulis,
serta keluarga besar penulis yang selalu memberikan doa restu dan dukungan
bagi penulis untuk kuliah di Departemen ITK, terutama Mama Nia dan Bunda
Liceu, dan Alm. Ayah H. Djunaedi.
i
5. Bapak/Ibu dosen dan staf penunjang Departemen ITK atas bantuannya selama
penulis menyelesaikan studi di IPB.
6. Bang Iqbal, Bang Erik, Bang Acta, Bang Rizqi, Bang Asep, Bang Holland,
Tonny, Dwi, dan teman-teman lain dari MIT yang telah membantu penulis
menyelesaikan penelitian.
7. Bapak Petrus yang telah memberikan ide serta pengetahuan-pengetahuan
kepada penulis untuk menyelesaikan penelitian.
8. Sri Hadianti dan Dafri Darata, sebagai sahabat yang selalu mendampingi
penulis selama kuliah di Departemen ITK.
9. Marsya, Nurlaela, Hikmah, Niki, Ade, Umi, Dea, Mahendra, Arif, dan keluarga
ITK 45 lain yang namanya tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, serta Ami
dan Stefany, terima kasih atas segala doa, dukungan, semangat, dan
kebersamaannya.
Penulis menyadari skripsi hasil penelitian ini memiliki kekurangan-
kekurangan yang perlu diperbaiki. Maka dari itu penulis memohon maaf apabila
terdapat kekurangan dan kesalahan, serta penulis harapkan kritik dan sarannya
sehingga kedepannya akan menjadi lebih baik lagi.
Bogor, Januari 2013
Reffa Pythaloka
ii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR .................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL .......................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... v
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. vi
1. PENDAHULUAN .................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................... 1
1.2 Tujuan ................................................................................................ 2
2. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 3
2.1 Deskripsi Ikan Baronang Totol (Siganus guttatus) . ........................... 3
2.2 Kesegaran dan Kemunduran Mutu Ikan ............................................. 4
2.3 Pendeteksian Kemunduran Mutu Ikan dengan VIS/NIR .................... 6
3. METODOLOGI PENELITIAN ............................................................. 9
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ............................................................... 9
3.2 Alat dan Bahan ..................................................................................... 9
3.3 Prosedur Modifikasi Alat ..................................................................... 11
3.4 Prosedur Kerja Alat .............................................................................. 13
3.5 Prosedur Pengambilan Data ................................................................. 14
3.6 Metode Analisis Data ........................................................................... 16
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................ 18
4.1 Modifikasi Alat .................................................................................... 18
4.2 Hasil Pantulan Gelombang pada Ikan Baronang Totol
(Siganus guttatus) ............................................................................... 26
4.3 Hasil Pengamatan Organoleptik pada Ikan Baronang Totol ............... 38
5. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 44
5.1. Kesimpulan ......................................................................................... 44
5.2. Saran ................................................................................................... 44
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 46
LAMPIRAN ................................................................................................... 49
RIWAYAT HIDUP ........................................................................................ 54
iii
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Komposisi kimia tubuh ikan ikan menurut Irianto et al. (2008) .................. 4
2. Alat yang digunakan .................................................................................... 10
3. Bahan yang digunakan ................................................................................. 10
4. Perbedaan IFFI-1 dan IFFI-2 ....................................................................... 25
5. Pengamatan kondisi organoleptik ikan ........................................................ 39
iv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Ikan baronang totol (Siganus guttatus) ........................................................ 3
2. Diagram alir modifikasi alat ........................................................................ 12
3. Prinsip kerja IFFI-2 ...................................................................................... 13
4. Diagram alir pengambilan data .................................................................... 15
5. IFFI-1 (a), dan IFFI-2 (b) ............................................................................. 18
6. Tampilan interface IFFI-2 pada monitor laptop .......................................... 20
7. Grafik Ikan 1 dengan sisik pada jam ke-1.................................................... 22
8. Grafik Ikan 2 dengan sisik pada jam ke-1.................................................... 23
9. Sensor pada IFFI-2, 525 nm (hijau) dan 660 (merah).................................. 24
10. Pemancaran sinar dari sensor pada kondisi terang (a) dan gelap (b) ......... 24
11. Ikan baronang totol (Siganus guttatus) yang diujikan ............................... 26
12. Pengujian ikan baronang totol dengan IFFI-2 ........................................... 27
13. Grafik rata-rata pantulan ikan yang disertai sisik ...................................... 28
14. Grafik rata-rata intensitas pantulan ikan yang disertai sisik ...................... 29
15. Grafik rata-rata pantulan ikan tanpa sisik .................................................. 32
16. Grafik rata-rata intensitas pantulan ikan tanpa sisik .................................. 33
17. Perbandingan (pembagian) intensitas panjang gelombang (dB)................ 34
18. Perbandingan (selisih) intensitas panjang gelombang (dB) ....................... 34
19. Tampilan pada interface ketika terdapat gangguan getaran dari luar
maupun dari sensor .................................................................................... 38
v
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1.Data pantulan ................................................................................................ 50
2. Rata-rata nilai digital ikan 1, 2, dan 3 .......................................................... 53
vi
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menurut Statistik Kelautan dan Perikanan Indonesia (2012), penyediaan
ikan untuk konsumsi pada tahun 2007-2011 mengalami peningkatan sebesar
5,06%, dari yang semula 26 kg/kapita/tahun menjadi 31,64 kg/kapita/tahun.
Konsumsi ikan dalam bentuk segar pada tahun 2009 sejumlah 43,1% kemudian
meningkat menjadi 57,05% pada tahun2011, menunjukan bahwa konsumsi ikan
dalam bentuk segar lebih banyak diminati dibandingkan konsumsi dalam bentuk
lain. Salah satu ikan yang diminati untuk dikonsumsi dalam bentuk segar adalah
baronang totol (Siganus guttatus) yang hidup di perairan mangrove hingga
terumbu karang dengan kedalaman mencapai 6 meter. Namun wilayah yang jauh
dari pesisir umumnya sulit memperoleh ikan baronang totol dalam bentuk segar,
untuk itu diperlukan pemeriksaan mutu ikan baronang totol segar untuk
mengetahui sejauh mana tingkat kesegaran ikan tersebut.
Beberapa metode yang sering digunakan untuk mengukur mutu kesegaran
ikan diantaranya organoleptik, TVB, TPC, pH. Metode pengukuran kesegaran
ikan lainnya yaitu menggunakan pengukuran tahanan listrik, metode akustik, serta
metode VIS/NIR (visible/near infrared). Metode VIS/NIR dilakukan dengan
memancarkan gelombang cahaya tampak atau inframerah dekat pada objek
berupa ikan. Pantulan dari fisik ikan kemudian dianalisis untuk dapat mengetahui
sejauh mana kesegaran/kemunduran mutu ikan. Kelebihan metode ini yaitu
bersifat objektif dan praktis. Salah satu instrumen pendeteksi
1
kesegaran/kemunduran mutu ikan adalah Infrared Fish Freshness Instrument -1
(IFFI-1).
Hasil penelitian Munandar (2012) menggunakan IFFI-1 menunjukkan
bahwa panjang gelombang yang baik untuk pengukuran kesegaran ikan yaitu pada
525 nm dan 690 nm, karena kekuatan pantulan yang signifikan berada pada
panjang gelombang tersebut. Namun setiap ikan memiliki karakteristik fisik yang
berbeda-beda, sehingga pola yang ditampilkan dari pantulan kedua panjang
gelombang tersebut akan berbeda pula. Berdasarkan hasil penelitian tersebut,
dilakukan penelitian lanjutan dengan judul “Deteksi dan Estimasi Kemunduran
Mutu Ikan Baronang Totol (Siganus guttatus) Menggunakan Panjang Gelombang
Inframerah Dekat 525 nm dan 660 nm” dengan mengembangkan instrumen
sebelumnya (IFFI-1) menjadi IFFI-2 agar diperoleh hasil penelitian yang lebih
baik.
1.2 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah mengamati dan membandingkan pola
pendeteksian dari panjang gelombang 525 nm dan 660 nm pada ikan baronang
totol (Siganus guttatus) menggunakan instrumen IFFI-2. Dengan demikian,
kemunduran mutu ikan baronang totol tersebut dapat diestimasi.
2
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi Ikan Baronang Totol (Siganus guttatus)
Ikan baronang totol (Gambar 1) termasuk filum Chordata, sub filum
Vertebrata, kelas Pisces, sub kelas Teleostei, ordo Perchomorphi, sub ordo
Percoidea, famili Siganidae, genus Siganus, spesies Siganus guttatus (Woodland,
1990). Ikan ini disebut juga spotted rabbit fish, rata-rata memiliki panjang 25,0
cm. Ikan ini memiliki jari-jari sirip dorsal keras sejumlah 13 buah, jari-jari sirip
dorsal lunak 10 buah, jari-jari sirip anal 7 buah, dan jari-jari sirip dubur lunak 9
buah. Ikan ini berwarna hitam kebiruan di bagian punggung, keperakan di bagian
bawah, memiliki titik kuning cerah dekat ujung sirip punggung, serta tubuh yang
berbintik-bintik. Ikan ini memiliki duri yang kokoh dan beracun. Habitat ikan
baronang totol berada di perairan pantai diantara mangrove dan terumbu karang
hingga 6 m. Ikan dewasa melakukan schooling 10 hingga 15 ekor. Ikan baronang
totol termasuk ikan nokturnal dan memakan alga bentik. (Woodland, 1990).
Gambar 1. Ikan baronang totol (Siganus guttatus)
Sumber: fishbase.org
3
2.2 Kesegaran dan Kemunduran Mutu Ikan
Kesegaran ikan merupakan keadaan dari saat ikan mati hingga memasuki
tahap penurunan mutu ikan. Tingkatan kesegaran ikan merupakan tolak ukur
untuk membedakan ikan yang bermutu baik dan buruk. Ikan dikatakan masih
segar apabila perubahan-perubahan biokimia, mikrobiologi dan fisika yang terjadi
belum menyebabkan perubahan sifat-sifat ikan pada waktu masih hidup. Proses
ini terutama dipengaruhi oleh waktu dan suhu, serta faktor lain seperti jenis ikan,
pra-panen dan penanganan stress (Olsen et al, 2008).
Komposisi kimia tubuh ikan berbeda-beda tergantung pada spesies, umur,
jenis kelamin, musim penangkapan, serta ketersediaan pakan di air, habitat dan
kondisi lingkungan. Tabel 1 merupakan kisaran rata-rata komposisi kimia tubuh
ikan segar menurut Depkes RI (1991).
Tabel 1. Komposisi kimia tubuh ikan segar
Senyawa Kimia Jumlah
Air (g) 76,0
Protein (g) 17,0
Karbohidrat (g) 0.0
Lemak (g) 4,5 Fosfor (mg) 200,0
Kalsium (mg) 20,0
Zat besi (mg) 1,0
Vitamin A (IU) 150,0 Vitamin B1 (mg) 0,05
Salah satu penyebab kemunduran mutu ikan segar adalah proses
perombakan oleh aktivitas enzim terutama enzim proteolitik yang terdapat secara
alami pada ikan. Proses kemunduran mutu dan kesegaran ikan meliputi fase pre
rigor, rigor mortis, post rigor, dan busuk. Fase tersebut akan terus berlangsung
jika tidak dihambat. Lamanya waktu perubahan yang berlangsung pada ikan
tergantung pada jenis ikan, ukuran, kondisi ikan waktu hidup, cara kematian, dan
4
suhu penyimpanan (Saskia et al., 2011). Beberapa metode yang digunakan untuk
mengukur mutu kesegaran ikan diantaranya organoleptik, Total Vibrio Count
(TVB), Total Plate Count (TPC), Potensial Hidrogen (pH), pengukuran tahanan
listrik, pengukuran dengan menggunakan metode akustik, dan lain-lain.
Uji organoleptik merupakan salah satu metode penentuan kesegaran ikan
dengan melihat langsung bagian pada tubuh ikan seperti pada bagian mata,
insang, daging dan isi perut ikan. Mata merupakan salah satu bagian tubuh ikan
yang dijadikan sebagai parameter tingkat kesegaran ikan. Pada ikan segar, bola
mata terlihat cembung dan cerah, sedangkan pada ikan busuk, bola mata terlihat
cekung dan lebih keruh. Konsistensi merupakan tingkat kelenturan dan
kekenyalan yang menunjukan kondisi perut dan sayatan daging ikan yang sering
dijadikan parameter kesegaran ikan. Insang merupakan salah satu tempat hidup
bakteri yang dapat menyebabkan kerusakan pada daging ikan. Parameter utama
untuk menentukan tingkat kesegaran ikan adalah daging dan isi perut. Daging
ikan yang segar sayatannya masih cemerlang sedangkan ikan busuk warna
dagingnya kusam (Munandar et al, 2009). Selain sebagai sumber bakteri, di dalam
isi perut ikan juga mengandung beberapa enzim yang dapat menguraikan protein.
Enzim yang terdapat pada organ pencernaan ini adalah tripsin, kemotripsin, dan
pepsin (Grigor 2002).
TVB merupakan salah satu metode penentuan kesegaran ikan yang
dilakukan secara kimia. Prinsip penetapan TVB adalah menguapkan senyawa-
senyawa basa volatile camin, metil amin, dimetil amin dan trimetil amin. Senyawa
tersebut diikat oleh asam borak dan kemudian dititrasi dengan larutan HCl. Indeks
kemunduran mutu ikan hasil perikanan dapat diketahui melalui kandungan TVB.
5
Kandungan (TVB) merupakan hasil akhir penguraian protein. Kadar TVB tersebut
dapat dipakai sebagai indikator kerusakan ikan, berbagai komponen seperti basa
volatile, terakumulasi pada daging sesaat setelah mati. Akumulasi ini terjadi
akibat reaksi biokimia post mortem dan aktivitas mikroba pada daging. Ikan
dinyatakan telah busuk ketika memiliki kadar TVB >30 mgN/100 gram,
sedangkan batas nilai TVB ikan air tawar yang masih dapat diterima ialah 18 – 25
mgN/100 g (Irianto dan Giyatmi, 2009).
Menurut Aidil (1998), tubuh ikan memiliki nilai tahanan listrik yang selalu
meningkat selama penyimpanan pada suhu ruang. Sifat kelistrikan ikan dapat
diukur melalui nilai konduktivitas listrik daging ikan. Menurut Jaya dan
Ramadhan (2006) pengukuran kesegaran ikan dapat dilakukan dengan
menggunakan sensor ultrasonik (sensor suara berfrekuensi tinggi) untuk
mengetahui kondisi atau karakteristik pantulan suara terhadap target ikan yang
diamati. Nilai echo yang dihasilkan dari pantulan berfluktuasi karena tekstur dan
kulit ikan yang masih sangat kenyal dan juga masih dapat mempertahankan
kandungan air dalam tubuhnya.
2.3 Pendeteksian Kemunduran Mutu Ikan dengan VIS/NIR
Cahaya tampak (visible light) merupakan radiasi gelombang
elektromagnetik yang dapat dideteksi oleh mata manusia. Panjang gelombang
cahaya tampak berada pada rentang 400 nm hingga 700 nm. Radiasi inframerah
dekat memiliki panjang gelombang 700 – 1.500 nm, inframerah jarak menengah
memiliki panjang gelombang 150 – 1000 nm, dan inframerah jarak jauh memiliki
panjang gelombang 100 – 1000 nm. Dalam pendeteksian dengan NIR, ikan
6
disinari dengan gelombang NIR, kemudian cahaya yang dipantulkan atau
ditransmisikan diukur. Hamburan ini bergantung pada panjang gelombang, proses
penyerapan, komposisi kimia serta sifat produk itu sendiri.
Sejumlah metode spektroskopi telah digunakan dalam menentukan
kesegaran ikan, terutama pada rentang gelombang tampak dan inframerah dekat.
Spektroskopi dapat menampilkan perubahan yang terjadi dalam interaksi radiasi
elektromagnetik dengan materi yang disebabkan oleh respon fisik dari sampel
ikan. Spektroskopi VIS/NIR telah banyak dilakukan misalnya untuk memprediksi
mutu dari ikan cod yang ditangkap oleh longline dan gillnet oleh Nilsen dan
Esaialsen (2005), serta menentukan kesegaran fillet ikan cod dan membandingkan
fillet ikan cod segar dan frozen-thawed oleh Sirversten et al. (2011). Olafsdottir et
al. (2004) membandingkan beberapa sensor yang mengukur kualitas fisik ikan,
salah satunya menggunakan spektroskopi VIS/NIR, serta menggunakan QIM
sebagai metode acuan sehingga dapat mengukur kualitas ikan.
Koppang et al. (2005) menemukan bahwa kualitas ikan tidak hanya dinilai
berdasarkan penampilan (warna dan cacat), bau dan komposisi gizi. Terdapat
cacat mutu lain misalnya bintik-bintik melanin yang dapat terdeteksi cukup baik
pada kisaran panjang gelombang 700 nm dan 800 nm. Selain itu terdapat pula
nematoda. Nematoda ini sulit untuk dideteksi, namun pencitraan spektroskopi
telah menunjukkan hasil yang cukup baik. Percobaan oleh Heia dan Sirvesten et
al. (2007) telah menunjukkan bahwa bercak darah dapat dideteksi sampai 10 mm
tergantung pada ukuran dan konsentrasi. Nematoda gelap dan bercak darah
memiliki beberapa kesamaan karena penyerapan spektral hemoglobin. Oleh
karena itu sebagian besar kesalahan pendeteksian nematoda adalah karena bercak
7
darah. Pengamatan mengenai spektroskopi VIS/NIR oleh Nilsen dan Esaissen
(2005) mengungkapkan bahwa pada panjang gelombang 400 nm hingga 450 nm
serta 525 hingga 630 nm mempresentasikan darah dalam otot ikan.
Penelitian mengenai pendeteksian kemunduran mutu ikan menggunakan
NIR sebelumnya telah dilakukan oleh Munandar pada tahun 2012 dengan
membuat IFFI-1, instrumen pengukuran kesegaran ikan secara real time dengan
penampilan data digital dengan tampilan yang lebih sederhana dan mudah untuk
dibawa. Alat yang dirancang merupakan sistem elektronik yang mengukur
perubahan kesegaran ikan menggunakan sensor infrared.
Hasil uji coba alat mencakup pengukuran panjang gelombang infrared,
intensitas pantulan infrared terhadap perubahan suhu lingkungan serta
pengukuran pantulan infrared pada ikan nila dan ikan lele dan pengukuran suhu
pada ikan nila dan ikan lele. Hasil pengukuran panjang gelombang diperoleh
panjang gelombang yang baik untuk pengukuran kesegaran ikan sekitar 525 nm
dan 690 nm (Munandar, 2012).
Berdasarkan hasil pengujian pantulan infrared dengan panjang gelombang
780 nm dan sensor suhu pada ikan lele, terjadi penurunan nilai pantulan infrared
selama masa pengukuran tetapi tidak terdapat penurunan yang signifikan. Ikan
nila lebih mudah mengalami kemunduran mutu yaitu masa 12 jam setelah
pematian ikan nila sudah mulai mengeluarkan cairan dari dalam tubuhnya
sedangkan pada ikan lele belum terjadi. Ikan lele baru mengeluarkan cairan
setelah melewati masa 24 jam setelah waktu ikan dimatikan (Munandar, 2012).
8
3. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus sampai dengan November
2012. Kegiatan penelitian terdiri dari modifikasi alat IFFI-1yang dilaksanakan di
Workshop Akustik dan Instrumentasi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan (FPIK), IPB, Bogor. Kegiatan berikutnya adalah pengambilan data ikan
dengan menggunakan IFFI-2 yang dilaksanakan pada tanggal 19 Oktober 2012 di
Pulau Panggang, Kepulauan Seribu, Jakarta.
3.2 Alat dan Bahan
Penelitian menggunakan IFFI-2 (Infrared Fish Freshness Instrument - 2)
yang merupakan hasil penelitian Munandar (2012) yang dimodifikasi sehingga
memiliki panjang gelombang 525 nm dan 660 nm dari yang sebelumnya 780 nm,
hal ini karena hasil penelitian Munandar (2012) menunjukkan bahwa panjang
gelombang yang baik untuk pengukuran kesegaran ikan sekitar 525 nm dan 690
nm. IFFI-2 memiliki interface untuk memvisualisasikan data.
Ikan yang digunakan adalah ikan baronang totol (Siganus guttatus) yang
merupakan ikan yang banyak dibutuhkan dalam keadaan segar yaitu ikan
konsumsi. Ikan baronang totol yang dipilih memiliki panjang total 15-20 cm.
Berikut adalah rincian alat dan bahan yang digunakan (Tabel 2 dan Tabel 3).
9
Tabel 2. Alat yang digunakan
No Alat Jumlah, unit
1 Laptop 1 unit
2 Power Supply 1 buah
3 USB to serial adapter 1 buah
4 Solder listrik 45 watt 1 buah
5 Multimeter Digital Sanwa CD 1 buah
6 Gerinda Listrik 1 buah
7 Bor Listik 1 buah
8 Amplas 1 buah
9 Obeng 1 buah
10 CodeVisionAVR 2.04.4a 1 buah
11 EAGLE 5.10 1 buah
12 Microsoft Excel 2010 1 buah
13 DELPHI 7 1 buah
14 Lem Alteco 1 buah
15 Nampan 1 buah
16 Jam 1 buah
17 Alat tulis 1 set
18 Penggaris 1 buah
Tabel 3. Bahan yang digunakan
No Nama Bahan Jumlah,
unit
1 Casing kotak (16x13x4 cm) 1 buah
2 Sensor 525 nm transmitter 2 buah
3 Sensor 660 nm transmitter 2 buah
4 Sensor 525 nm receiver 1 buah
5 Sensor 660 nm receiver 1 buah
6 Pipa PVC (d 3 cm) 1 buah
7 Kotak kardus (9x4x9 cm) 1 buah
8 Modul Mikrokontroller ATMega 8535 1 buah
9 Jack konektor 8 pin 1 buah
10 Kabel ( 8 in 1 ) 1.5 m 1 buah
11 Resistor 1 KΩ 4 buah
12 Ikan baronang totol 3ekor
13 Sakelar 1 buah
14 Karton hitam 1 lembar
10
3.3 Prosedur Modifikasi Alat
Modifikasi IFFI-1 terdiri dari tahap persiapan, perumusan, kemudian
perubahan elektronik, rancangan software dan rancangan penyesuaian casing.
Pengujian dilakukan untuk mengetahui kesesuaian hasil pengukuran dengan
program yang dibuat, mengetahui efektifitas perolehan hasil dengan casing yang
dibuat, serta mengetahui kinerja instrumen itu sendiri.
Kegiatan dimulai dengan persiapan dimana dilakukan pengumpulan
pustaka yang berhubungan. Kemudian dilakukan perumusan masalah apa yang
ingin diteliti, yaitu modifikasi seperti apa yang ingin dilakukan. Langkah
berikutnya adalah perancangan kegiatan penelitian, berupa model elektronik,
software, dan casing.
Perubahan elektronik berupa perubahan rangkaian alat dikarenakan
penggunaan sensor yang semula 780 nm menjadi 525 dan 660 nm, serta tidak
digunakannya lagi sensor suhu, penguat tegangan, ADC, dan LCD. Perubahan
software berupa interface dan program-program dalam mikrokontroler. Perubahan
casing dikarenakan tidak digunakannya lagi LCD. Hasil perancangan software
dan elektronik kemudian diujicoba, apabila telah berhasil mengeluarkan data yang
diinginkan maka dilakukan penyesuaian sekaligus dengan hasil casing yang
dibuat. Terakhir dilakukan ujicoba kembali untuk melihat konsistensi hasil yang
dikeluarkan. Berikut Gambar 2 merupakan diagram alir modifikasi IFFI-1.
11
Gambar 2. Diagram alir modifikasi alat
12
Tidak Uji coba
Elektronik (rangkaian alat)
IFFI-1 IFFI-2
Sensor 780 nm Sensor 525 nm
dan 660 nm
Sensor suhu Tanpa sensor suhu
Penguat
tegangan
Tanpa penguat
tegangan
LCD Tanpa LCD
ADC Tanpa ADC
Software (program)
IFFI-1 IFFI-2
Tanpa
interface
Dengan
interface
ADC Counter
Dengan sensor
suhu
Tanpa sensor
suhu
Casing
IFFI-1 IFFI-2
Dengan
LCD
Tanpa
LCD
Modifikasi
Ya
Tidak
Mulai
Perumusan modifikasi
Model memenuhi syarat
Perancangan modifikasi elektronik, software, dan casing
Tidak
Tidak Penyesuaian
Ya
Selesai
Ya
Uji coba
Ya
3.4 Prosedur Kerja Alat
IFFI-1 mendeteksi kemunduran mutu ikan menggunakan NIR secara real
time dengan penampilan data digital. Alat pengukuran kesegaran ikan ini
dirancang berdasarkan scanning system atau pemindaian (Munandar, 2012).
Prinsip kerja dari IFFI-2 digambarkan pada Gambar 3.
Gambar 3. Prinsip kerja IFFI-2
Power supply memberikan tegangan (220 volt) pada laptop untuk
menampilkan interface. Diberikan pula tegangan sebesar 5 volt pada
mikrokontroler sehingga mikrokontroler dapat memberikan perintah kepada
transmitter untuk mendeteksi ikan target. Hasil pantulan diterima oleh receiver,
kemudian masuk ke mikrokontroler untuk diolah. Hasil pantulan akan diterima
13
525 nm 660 nm
Transmitter
Receiver
Ikan baronang totol (target)
Laptop
Power supply 220 volt
Mikrokontroler
Power supply 5 volt
oleh receiver dan masuk kembali ke dalam mikrokontroler. Kemudian hasil
perolehan data divisualisasikan pada interface di laptop. Susunan pemasangan
sensor terlihat seperti pada Gambar 3 dengan peletakan sensor secara horizontal
serta pelatakan receiver berada di tengah-tengah transmitter.
Terdapat pengonversi sinyal analog menjadi digital dalam mikrokontroler
sehingga dapat ditampilkan di interface. Program dimasukkan pada
mikrokontroler untuk menerima output tegangan, mengubah sinyal analog
menjadi digital serta menampilkan hasil perolehan data di interface.
Transfer data dari instrumen ke interface dilakukan mulai dari data ke-1
hingga minimal data ke-500 disetiap jamnya. Hal ini bertujuan untuk memastikan
bahwa data yang diperoleh stabil, tidak terlihat adanya gangguan dari luar yang
menyebabkan data tidak sesuai.
3.5 Prosedur Pengambilan Data
Pengambilan data dilakukan pertama-tama dengan memperoleh ikan
baronang totol sebanyak 3 ekor dengan cara basah, yaitu ikan dibungkus dengan
plastik berisi air sehingga tetap hidup hingga ke tempat ikan tersebut akan
dideteksi dengan alat. Ikan kemudian dibiarkan mati dengan sendirinya, hal ini
dikarenakan berdasarkan hasil penelitian Munandar et al. (2009) diketahui bahwa
perlakuan mematikan ikan tanpa ditusuk dan tanpa penyiangan menyebabkan
perubahan fase kemunduran mutu ikan yang lebih cepat. Setelah melalui tahap
mematikan ikan, dilakukan pengamatan secara organoleptik agar dapat
mengetahui fase kemunduran mutu ikan, yaitu fase pre rigor, rigor mortis, dan
post rigor dari masing-masing ikan, sambil dilakukan pendeteksian dengan IFFI-2
14
dimulai dari ikan mati hingga mencapai fase busuk. Pada Gambar 4 ditunjukkan
diagram alir dari kegiatan.
Gambar 4. Diagram alir pengambilan data
Prosedur pendeteksian dengan gelombang VIS/NIR menggunakan IFFI-2
dilakukan dengan cara meletakkan ikan pada nampan yang dialasi karton
berwarna hitam, karena warna hitam bersifat menyerap cahaya, sehingga
mengurangi kemungkinan adanya pantulan bukan berasal dari ikan yang diterima
oleh receiver. Kemudian dilakukan pendeteksikan dengan mentransmisikan
cahaya dari instrumen pada bagian bagian ikan dengan sisik dan bagian ikan yang
sisiknya dihilangkan. Hal ini untuk mengetahui pantulan dari bagian yang
terpengaruh sisik dan tidak terpengaruh sisik.
15
Perolehan ikan
Mematikan Ikan
Pengamatan perjam
Analisis hasil
Organoleptik VIS/NIR
Perbandingan hasil
Kemunduran mutu ikan
baronang totol (Siganus
guttatus)
Pemancaran gelombang pada bagian-bagian tubuh ikan baronang totol
tersebut dilakukan setiap jam hingga mencapai fase busuk. Sampel yang diamati
sebanyak 3 ekor sebagai ulangan. Hasil pendeteksian ditampilkan pada interface,
kemudian dilakukan analisis dari nilai yang dihasilkan serta dibandingkan dengan
hasil pengujian dengan organoleptik sehingga dapat diestimasikan kemunduran
mutu ikan baronang totol dengan menggunakan gelombang VIS/NIR.
Pengamatan secara organoleptik dilakukan pada bagian mata, insang,
daging, dan kulit/lendir. Pengamatan dilakukan untuk mengetahui titik-titik
perubahan mutu pada ikan. Pengamatan dilakukan perjam hingga ikan baronang
totol mencapai fase busuk. Hasil pengamatan dicatat untuk kemudian
dibandingkan dengan hasil perolehan data menggunakan instrumen.
3.6 Metode Analisis Data
Estimasi kemunduran mutu ikan diperoleh dengan cara menganalisis pola
pemantulan gelombang dari tubuh ikan. Data yang diperoleh merupakan nilai
digital dari sinyal pantulan panjang gelombang 525 nm dan 660 nm. Intensitas
pantulan diamati dengan persamaan (1):
Intensitas dB = 10log(𝐷𝑁
𝐷𝑁𝑚𝑎𝑥) ………………………. (1)
dimana DN adalah nilai digital dari pantulan panjang gelombang dari 525 nm dan
660 nm, serta DNmax merupakan nilai digital paling tinggi yang terdeteksi dari
ikan.
Intensitas rasio perbandingan antara kedua gelombang tersebut dihitung
dengan menggunakan persamaan (2) dan (3):
Intensitas dB = 10log 𝐷𝑁525
𝐷𝑁660
𝐷𝑁525 ……….…………. (2)
16
Intensitas dB = 10log(𝐷𝑁525
𝐷𝑁660 )
𝐷𝑁660 ……….…………. (3)
Diamati pula intensitas rasio selisih antara kedua panjang gelombang tersebut
dengan menggunakan persamaan (4) dan (5):
Intensitas dB = 10log|𝐷𝑁525−𝐷𝑁660|
𝐷𝑁525 ……….…………. (4)
Intensitas dB = 10log|𝐷𝑁525−𝐷𝑁660|
𝐷𝑁660 ……….…………. (5)
dimana DN525 adalah nilai digital dari pantulan panjang gelombang 525 nm, dan
DN660 adalah nilai digital dari pantulan panjang gelombang 660 nm.
Hasil visualisasi grafik ditampilkan dalam moving average. Hal ini
bertujuan untuk menghaluskan grafik sehingga terlihat lebih jelas. Moving
average merata-ratakan sejumlah nilai dari data (titik) sejumlah dengan periode
yang ditentukan, kemudian menggunakan nilai hasil rata-rata tersebut sebagai
nilai yang digunakan. Dengan penggunaan periode senilai 2, maka nilai pada titik
pertama dan titik kedua akan dirata-ratakan, kemudian hasilnya akan digunakan
sebagai titik pertama. Selanjutnya titik kedua dan titik ketiga dirata-ratakan,
hasilnya akan digunakan sebagai titik kedua, dan seterusnya.
17
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Modifikasi Alat
IFFI-2 merupakan modifikasi dari instrumen pendeteksi kesegaran atau
kemunduran mutu ikan sebelumnya (IFFI-1). Kedua instrumen ini
mengaplikasikan metode spektroskopi VIS/NIR, yaitu melalui interaksi antara
radiasi elektromagnetik dan materi yang diberi pancaran sinar sehingga dapat
menampilkan perubahan yang terjadi yang disebabkan oleh respon fisik dari
sampel, dalam hal ini ikan (Sirvesten et al., 2010). Gambar 5 menunjukkan
perbedaan fisik dari IFFI 1 dan IFFI-2.
a b
Gambar 5. IFFI-1 (a), dan IFFI-2 (b)
Keterangan:
1. Unit kontrol
2. Unit sensor
3. LCD
4. Konektor
Secara umum, baik IFFI-1 dan IFFI-2 memiliki unit kontrol, unit sensor,
dan konektor. Menurut Munandar (2011), pada IFFI-1 pemisahan unit sensor dan
unit kontrol ini dilakukan untuk mempermudah pemasangan SD card dan
1
1
2 2 3
4
18
pergantian baterai apabila daya yang dibutuhkan telah habis, namun tanpa
mengganggu bagian-bagian lain seperti mikrokontroller dan LCD. Pada IFFI-2,
pemisahan unit sensor dari unit kontrol tetap dilakukan untuk mempermudah
pendeteksian ikan karena bersifat praktis.
Unit kontrol berisi mikrokontroler untuk memproses pengambilan data,
penyimpanan data, serta visualisasi data. Pada bagian mikrokontroler terdapat
program-program untuk perolehan, pemrosesan, serta visualisasi data. Setelah
memperoleh daya, mikrokontroler yang terhubung dengan unit sensor akan
mengambil data untuk kemudian diproses.
Unit sensor terdiri atas sensor 525 nm dan 660 nm (transmitter dan
receiver), serta pin konektor sebagai penghubung. Bagian unit sensor berwarna
hitam karena warna hitam bersifat menyerap cahaya, sehingga pemantulan akan
lebih terfokus berasal dari tubuh ikan. Konektor yang digunakan menggunakan
kabel pelangi yang memiliki 8 isi kabel yang berbeda warna dengan panjang 1.5
m dan menggunakan 8 pin konektor, menghubungkan unit sensor dengan unit
kontrol.Selain itu, terdapat pula USB to Serial Adapter untuk menghubungkan
mikrokontroller dengan laptop yang berisi interface.
Perbedaan IFFI-1 dan IFFI-2 terdapat pada bagian kontrol, dimana pada
IFFI-1 bagian kontrolnya sekaligus merupakan unit display, sedangkan pada IFFI-
2 unit display-nya terdapat pada laptop berupa interface, dengan visualisasi
seperti yang terlihat pada Gambar 6.
19
Gambar 6. Tampilan interface IFFI-2 pada monitor laptop
Interface IFFI-2 dibuat menggunakan software DELPHI 7. Kelebihan
menggunakan interface adalah data hasil pantulan dapat langsung divisualisasikan
dalam grafik secara realtime seperti yang terlihat pada Gambar 6. Hal ini juga
memudahkan pengamatan pada saat pendeteksian atau pengambilan data,
misalnya apabila terjadi gangguan dari luar instrumen (goncangan, dll.) yang
memungkinkan perubahan nilai digital pada data, hal tersebut akan langsung
terlihat pada interface, sehingga pendeteksian dapat diulang untuk memperoleh
data yang lebih akurat.
Tampilan interface dapat diatur sesuai dengan kebutuhan, misalnya grafik
apa yang ingin ditampilkan,tombol-tombol apa yang ingin digunakan, bahkan
desain layout dari interface itu sendiri dapat diatur dengan mudah. Interface yang
ditampilkan pada hasil penelitian berisi kolom untuk menampilkan nilai digital,
tiga buah area untuk menampilkan grafik nilai digital secara realtime dari
20
pantulan panjang gelombang 525 nm, panjang gelombang 660 nm, serta intensitas
rasio pantulan panjang gelombang 525 dan 660 nm. Kemudian terdapat tombol-
tombol seperti Setting (untuk mengatur COM yang digunakan), Start (untuk
memulai transferdata dari instrumen ke interface), Stop (untuk memberhentikan
transfer data), Save (untuk menyimpan grafik maupun file hasil parsing data ke
dalam format *.jpg maupun *.txt), Save All (untuk menyimpan seluruh grafik dan
data sekaligus), serta Clear (untuk membersihkan tampilan).
Gambar 7 merupakan contoh hasil visualisasi grafik pendeteksian ikan
pada interface. Grafik pertama merupakan nilai digital dari panjang gelombang
660 nm, grafik kedua merupakan nilai digital dari panjang gelombang 525 nm,
serta grafik ketiga merupakan intensitas pantulan (dB) dari perbandingan panjang
gelombang 660 nm dan 525 nm. Gambar 7 menampilkan ikan dengan sisik pada
jam ke-1, sedangkan Gambar 8 menampikan ikan dengan sisik pada jam ke-2.
21
Selain pada interface, IFFI-1 dan IFFI-2 memiliki perbedaan dalam
beberapa komponennya. Perbedaan paling utama adalah IFFI-1 menggunakan
gelombang inframerah 780 nm, sedangkan IFFI 2 menggunakan gelombang
cahaya tampak 525 nm dan 660 nm. Sensor 525 nm memiliki cahaya berwarna
hijau, sedangkan sensor 660 nm memiliki cahaya berwarna merah (Gambar 9).
Gambar 9. Sensor pada IFFI-2, 525 nm (hijau) dan 660 (merah)
Sensor memancarkan sinar tampak pada ikan dengan pemancaran seperti
yang terlihat pada Gambar 10. Pada kondisi terang maupun gelap (Gambar 10a
dan 10b), terlihat bahwa panjang gelombang hijau (525 nm) memiliki penetrasi
yang lebih jauh dibandingkan merah. Pendeteksian pada kondisi gelap dapat
meminimalisir cahaya lain terdeteksi oleh receiver terutama bersumber dari
cahaya matahari.
a b
Gambar 10. Pemancaran sinar dari sensor pada kondisi terang (a) dan gelap (b)
ii 24
Selain itu, IFFI-1 juga memasang sensor suhu di dekat sensor infrared-
nya, sedangkan IFFI-2 tidak. Pemasangan sensor suhu pada IFFI-1 dikarenakan
sensor infrared dipengaruhi perubahan suhu, sehingga dengan pemasangan sensor
suhu akan terlihat pengaruh suhu terhadap pantulan infrared, disamping adanya
pengaruh dari cahaya luar (Munandar 2011). Untuk sensor cahaya sendiri,
diketahui bahwa dari pembacaan data sheet sensor serta dari pengukuran suhu
lapangan ketika pengambilan data di Pulau Panggang pada tanggal 19 Oktober
2012 malam hari, suhu udara berada pada kisaran 23-27oC, dimana kisaran
tersebut masih berada pada kisaran sensor bekerja dengan baik. Sensor sendiri
bekerja paling optimal pada suhu 25oC. Berikut perbedaan IFFI-1 dan IFFI 2 pada
Tabel 4.
Tabel 4. Perbedaan IFFI-1 dan IFFI-2
No IFFI-1 IFFI-2
1 Menggunakan sensor infrared 780 nm Menggunakan sensor visible light 525
dan 660 nm
2 Tidak menggunakan metode intensitas
rasio
Menggunakan metode intensitas rasio
kedua panjang gelombang
3 Memakai sensor suhu Tidak memakai sensor suhu
4 LCD sebagai display Interface sebagai display
5 Penyimpanan data pada SD Card Penyimpanan data pada hardisk laptop
6 Menggunakan baterai sehingga Menggunakan power supply
7 Telah diujikan pada ikan nila dan lele Telah diujikan pada ikan baronang totol
Dari perbedaan di atas, terdapat kekurangan dan kelebihan baik dari IFFI-
1 maupun IFFI-2. IFFI-2 menggunakan 2 panjang gelombang, sehingga dapat
dianalisis pula perbandingan intensitas pantulan dari kedua panjang gelombang
tersebut terhadap ikan (intensitas rasio). IFFI-1 memakai sensor suhu sehingga
dapat menganalisis pengaruh suhu terhadap sensor infrared, sedangkan pada IFFI-
2 lebih fokus kepada analisis sensor terhadap ikan. Kelebihan menggunakan
display berupa LCD yaitu lebih praktis karena tidak memerlukan laptop,
25
sedangkan kelebihan interface yaitu dapat melihat secara langsung grafik realtime
dari pantulan. Penggunaan baterai lebih mudah dalam kondisi jauh dari jangkauan
listrik atau kondisi listrik yang sering padam, namun dengan power supply
memungkinkan dalam penggunaan tanpa jangka waktu selama pasokan listrik
tersedia.
4.2 Hasil Pantulan Gelombang pada Ikan Baronang Totol (Siganus guttatus)
Ikan baronang totol diuji menggunakan IFFI-2 dalam dua kondisi, yaitu
dengan sisik dan tanpa sisik. Ikan yang diujikan berjumlah tiga ekor sebagai
ulangan. Masing-masing berukuran 15.5 cm, 16 cm, dan 17 cm. Gambar 11
menunjukkan ikan baronang totol yang diujikan.
Gambar 11. Ikan baronang totol (Siganus guttatus) yang diujikan
Hasil pengukuran ikan baronang totol ditunjukkan pada Gambar 12,
pengukuran dilakukan dengan kondisi ruangan yang gelap. Pengukuran dimulai
dari jam ke-0 setelah ikan mati hingga jam ke-13. Perlakuan pematian ikan
baronang totol dilakukan dengan cara dibiarkan mati dengan sendirinya. Hal ini
mempercepat laju perubahan fase itu sendiri, sesuai dengan hasil penelitian
Munandar et al. (2009) diketahui bahwa perlakuan mematikan ikan tanpa ditusuk
26
dan tanpa penyiangan menyebabkan perubahan fase kemunduran mutu ikan yang
lebih cepat. Data hasil pantulan pengukuran ikan dengan IFFI-2 terdapat pada
Lampiran 1. Rata-rata nilai digital ikan terdapat pada Lampiran 2. Hasil perolehan
data yang telah diolah ditampilkan dalam grafik moving average, yang dilakukan
dengan merata-ratakan setiap 2 titik untuk memperoleh tampilan grafik yang lebih
baik.
Gambar 12. Pengujian ikan baronang totol dengan IFFI-2
Gambar 13 menunjukkan pantulan ketiga ikan dengan sisik yang telah
dirata-ratakan perjamnya, serta Gambar 14 menunjukkan intensitas (dB) dari
pantulan tersebut. Berdasarkan Gambar 13, terlihat bahwa nilai digital number
660 nm lebih tinggi daripada 525 nm. Kedua panjang gelombang tersebut
memiliki pola yang hampir sama, namun puncak tertinggi dan puncak terendah
dari nilai digital berada pada jam yang berbeda, dimana untuk ikan dengan sisik
puncak tertinggi panjang gelombang 660 nm berada di jam ke-3 dan puncak
terendah di jam ke-8, sedangkan pada panjang gelombang 525 nm puncak
tertingginya berada pada jam ke-4 dan puncak terendah pada jam ke-9. Perbedaan
nilai puncak nilai digital atau intensitas ini menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan pola pendeteksian antara kedua panjang gelombang. Menurut Nilsen
27
dan Esaiassen (2005), rentang panjang gelombang dari 400 nm sampai 450 nm
dan 525 nm sampai 630 nm merepresentasikan kemungkinan besar adanya darah
dalam otot ikan, yaitu Mioglobin (Mb) dan Hemoglobin (Hb). Maka dari itu
perbedaan pola panjang gelombang 660 nm dan 525 nm dapat disebabkan oleh
karakter panjang gelombang tersebut dalam mendeteksi Mioglobin (Mb) dan
Hemoglobin (Hb).
Gambar 13. Grafik rata-rata pantulan ikan yang disertai sisik
Gambar 14 menunjukkan bahwa intensitas tertinggi ikan dengan sisik
menggunakan panjang gelombang 660 nm berada pada jam ke-2 sebesar -1.5 dB
dan terendah pada jam ke-8 sebesar -2 dB. Intensitas tertinggi ikan dengan sisik
menggunakan panjang gelombang 525 nm berada pada jam ke-4 sebesar -2 dB
dan terendah pada jam ke-9 dengan intensitas -2.9 dB. Intensitas pantulan dari
panjang gelombang 660 nm lebih tinggi daripada 525 nm.
700
750
800
850
900
950
1000
1050
1100
1150
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Dig
ital
nu
mb
er
Jam ke-
2 per. Mov. Avg. (660)
2 per. Mov. Avg. (525)
po
st r
igo
r
rig
or
mo
rtis
660 nm 525 nm
pre
rig
or
28
Gambar 14. Grafik rata-rata intensitas pantulan ikan yang disertai sisik
Fase ikan secara umum terdiri dari pre rigor, rigor mortis, dan post rigor.
Gambar 13 menunjukkan bahwa pada jam ke-1 terjadi penurunan nilai digital.
Penurunan intensitas ini dikarenakan menurut Abustam dan Ali (2005), otot yang
menghasilkan energi mekanik dalam tubuh terdiri dari unsur-unsur kimia (C, H,
O) yang menghasilkan energi kimiawi. Setelah mati maka aktifitas kontraksi otot
menjadi lemah (Abustam dan Ali, 2005) dan menyebabkan intensitas pantulan
menurun pada fase pre rigor. Pada fase ini, tubuh ikan masih bersifat elastis.
Kemudian pada jam ke-2 hingga ke-4 intensitas pantulan cukup tinggi. Hal
ini berkaitan dengan glikogen cadangan yang terdapat pada tubuh ikan yang
menyebabkan kekakuan otot ikan. Kekakuan otot ini dikarenakan adanya
kontraksi-relaksasi antara aktin dan myosin yang membentuk aktomiosin
(Munandar et al., 2009). Menurut Abustam dan Ali (2005), waktu yang
-3.5
-3
-2.5
-2
-1.5
-1
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Inte
nsi
tas
(dB
)
Jam ke-
2 per. Mov. Avg. (Series1)
2 per. Mov. Avg. (Series2)
pre
rig
or
rig
or
mo
rtis
po
st r
igo
r
660 nm
525 nm
29
dibutuhkan untuk terbentuknya rigor mortis bergantung pada jumlah ATP yang
tersedia pada saat mati, serta jumlah ATP yang tersedia terkait dengan jumlah
glikogen yang tersedia pada saat menjelang ikan mati. Semakin berkurangnya
ATP, otot ikan tidak dapat mempertahankan elastisitasnya lagi sehingga menjadi
kaku. Ikan (Gambar 13) mengalami fase rigor mortis cukup cepat (pada jam ke-2
hingga jam ke-7) dikarenakan oleh perlakuan cara mematikan ikan dimana ikan
dibiarkan mati dengan sendirinya menyebabkan ikan mengalami stress. Sesuai
dengan Abustam dan Ali (2005) bahwa kondisi stress dan kurang istirahat
menjelang mati akan menghasilkan persediaan ATP yang kurang sehingga proses
rigor mortis akan berlangsung cepat. Demikian pula suhu yang tinggi akan
mempercepat habisnya ATP akibat perombakan oleh enzim ATPase sehingga
rigor mortis akan berlangsung cepat.
Menurut Nurjanah (2004), post rigor ditunjukkan dengan kondisi ikan
yang telah mengeluarkan cairan-cairan atau lendir dalam tubuhnya terutama pada
bagian perut ikan. Semakin lama daging terpapar tanpa perlakuan maka semakin
banyak kontaminan mikrobia di dalamnya. Pada fase ini daging akan kembali
lunak dikarenakan peranan enzim katepsin yang membantu pemecahan protein
aktomiosin menjadi protein sederhana, namun daging sudah tidak elastis. Pada
Gambar 13, terlihat bahwa penurunan nilai digital yang signifikan terus terjadi
hingga jam ke-8 hingga jam ke-9, kemudian terjadi lagi peningkatan nilai digital
hingga jam ke-11. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Munandar (2012) dimana
setelah memasuki post rigor hingga akhir pengukuran intensitas pantulan masih
mengalami penurunan, akan tetapi intensitas perubahannya tidak seperti yang
terjadi pada masa sebelum memasuki tahapan post rigor. Fluktuasi yang terdapat
30
pada fase post rigor kemungkinan disebabkan oleh tekstur daging yang melunak
(Jaya dan Ramadhan, 2006), adanya lendir pada tubuh ikan, atau adanya
gangguan dari luar maupun sensor itu sendiri. Meskipun mengalami penurunan,
grafik tetap mengalami fluktuasi meskipun kecil. Jam 11 hingga jam ke-13,
terlihat pada panjang gelombang 660 nm nilai intensitas relatif sama. Hal ini
menandakan sensor tidak sensitif lagi untuk mendeteksi fase setelah post rigor,
yaitu fase busuk.
Kondisi ikan tanpa sisik digambarkan pada Gambar 15 dan. Berdasarkan
Gambar 15, terlihat bahwa apabila dibandingkan dengan kondisi ikan dengan
sisik, peningkatan nilai digital yang menunjukkan fase rigor mortis tidak terlalu
signifikan, meskipun peningkatan nilai digital tetap ada. Begitu pula dengan
penurunannya, tidak terlalu signifikan dibandingkan dengan kondisi ikan dengan
sisik (Gambar 13). Namun pola yang dimiliki baik oleh pantulan ikan dengan
sisik dan tanpa sisik relatif serupa, perbedaan terdapat pada nilai digital maupun
intensitasnya. Dengan hal ini dapat diperkirakan bahwa untuk percobaan
pendeteksian baronang totol yang dilakukan berupa perlakuan dengan sisik dan
tanpa sisik, pengukuran ikan dengan sisik menghasilkan intensitas pantulan yang
lebih tinggi, karena sifat sisik relatif lebih keras dibandingkan kulit sehingga
intensitas pantulannya relatif lebih kuat.
Terlihat pada kondisi ikan dengan sisik, pada panjang gelombang 660 nm,
memiliki kisaran intensitas -1.5 dB hingga -2 dB serta pada panjang gelombang
525 nm memiliki kisaran-2 dB hingga -2.9 dB, sedangkan pada kondisi ikan tanpa
sisik, pada panjang gelombang 660 nm, memiliki kisaran panjang gelombang -1.7
31
dB hingga -2.2 dB serta pada panjang gelombang 525 nm memiliki kisaran -1.8
dB hingga -2.9 dB. Pantulan kondisi ikan tanpa sisik terlihat pada Gambar 15
Gambar 15. Grafik rata-rata pantulan ikan tanpa sisik
. Gambar 16 menampilkan intensitas pantulan tanpa sisik, terlihat bahwa
nilai digital ataupun intensitas tertinggi pada panjang gelombang 660 nm berada
pada jam ke-1 dan terendah pada jam ke-8, sedangkan pada panjang gelombang
525 nm intensitas tertingginya berada pada jam ke-4 dan terendahnya pada jam
ke-13.
Gambar 16, menunjukkan bahwa pada panjang gelombang 660 nm, grafik
pada fase post rigor (jam ke-9) hingga akhir pengukuran relatif tidak berfluktuasi.
Hal ini menandakan bahwa pada ikan tanpa sisik, instrumen tidak mendeteksi
perbedaan fase post rigor dan fase busuk. Kondisi ikan pada kedua fase tersebut
sama-sama sudah mengalami penurunan, namun ikan pada fase post rigor masih
700
750
800
850
900
950
1000
1050
1100
1150
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Dig
ital
nu
mb
er
Jam ke-
2 per. Mov. Avg. (660)
2 per. Mov. Avg. (525)pre
rig
or
rig
or
mo
rtis
po
st r
igo
r
660 nm
525 nm
32
dapat dikonsumsi. Berdasarkan Grafik ikan tanpa sisik yang telah ditampilkan,
terlihat bahwa pantulan panjang gelombang 660 nm menampilkan intensitas yang
lebih kuat, namun pola yang lebih representatif menunjukkan terjadinya
perubahan tingkat kesegaran ikan ditampilkan pada pantulan panjang gelombang
525 nm untuk ikan tanpa sisik.
Gambar 16. Grafik rata-rata intensitas pantulan ikan tanpa sisik
Hasil visualisasi pada grafik-grafik sebelumya kurang menampikan pola
yang lebih representatif dengan fase-fase kemunduran mutu ikan. Untuk lebih
mempermudah dalam hal pengamatan pola tersebut dengan menggunakan
instrumen IFFI-2, maka diamati pula rasio dari kedua panjang gelombang
tersebut. Rasio yang dilakukan berupa pembagian kedua panjang gelombang
(Gambar 17) serta pengurangan kedua panjang gelombang (Gambar 18) pada ikan
dengan sisik dan tanpa sisik.
-3.5
-3
-2.5
-2
-1.5
-1
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Inte
nsi
tas
(dB
)
Jam ke-
2 per. Mov. Avg. (660)
2 per. Mov. Avg. (525)
pre
rig
or
rig
or
mo
rtis
po
st r
igo
r
660 nm
525 nm
33
Gambar 17. Perbandingan (pembagian) intensitas panjang gelombang (dB)
Gambar 18. Perbandingan (selisih) intensitas panjang gelombang (dB)
-31
-30.5
-30
-29.5
-29
-28.5
-28
-27.5
-27
-26.5
-26
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Inte
nsi
tas
(dB
)
Jam ke-
Dengan sisik 10log(660/525)/660)
Dengan sisik 10log(660/525)/525
Tanpa sisik 10log(660/525)/660)
Tanpa sisik 10log(660/525)/525
-20
-18
-16
-14
-12
-10
-8
-6
-4
-2
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Inte
nsi
tas
(dB
)
Jam ke-
Dengan sisik 10log(660-525)/660)
Dengan sisik 10log(660-525)/525
Tanpa sisik 10log(660-525)/660)
Tanpa sisik 10log(660-525)/525
pre
rig
or
rig
or
mo
rtis
po
st r
igo
r
pre
rig
or
rig
or
mo
rtis
po
st r
igo
r
34
Kedua grafik di atas menampilkan empat buah garis berbeda warna yang
merupakan intensitas pantulan dari ketiga ikan yang dirata-ratakan. Garis biru tua
dan merah menunjukkan intensitas rasio pada ikan dengan sisik, sedangkan garis
hijau dan ungu menunjukkan intensitas rasio ketiga ikan tanpa sisik. Kedua grafik
di atas memiliki pola yang relatif sama, perbedaannya terdapat pada intensitas dari
kedua rasio tersebut. Intensitas rasio perbandingan menampilkan intensitas yang
lebih kuat dibandingkan rasio selisih (Gambar 17). Pada kedua grafik tersebut
juga terlihat bahwa intensitas rasio ikan tanpa sisik lebih lemah dibandingkan ikan
dengan sisik.
Berdasarkan Gambar 17, terlihat bahwa rasio pada jam ke-1 secara umum
mengalami peningkatan. Kemudian intensitas rasionya melemah serta pada jam
ke-4 berada pada kondisi intensitas rasio yang paling lemah. Setelah jam tersebut,
intensitas rasio semakin meningkat, dan pada jam ke-11 menunjukkan intensitas
rasio yang mengalami penurunan. Hal ini menjelaskan bahwa pada intensitas rasio
perbandingan panjang gelombang 660 nm dan 525 nm, ikan dengan sisik maupun
tanpa sisik memiliki perbedaan intensitas yang kecil pada jam ke-4 dalam
mendeteksi ikan, sehingga perbedaan intensitas kedua panjang gelombang yang
kecil tersebut menunjukkan fase rigor mortis dengan baik.
Jam ke-4 hingga ke-7 merupakan fase post rigor. Pada fase ini daging
akan kembali lunak dikarenakan peranan enzim katepsin yang membantu
pemecahan protein aktomiosin menjadi protein sederhana, sehingga kondisi
daging yang kembali menjadi lunak (Abustam dan Ali, 2005). Pada jam ke-10
serta jam ke-12 terlihat adanya nilai intensitas rasio yang relatif sama, hal ini
menunjukkan bahwa pada sensor tidak melihat fase busuk ikan dengan sensitif.
35
Hasil penelitian Nurhayati, et al. (2010) pada ikan bandeng menunjukkan
bahwa enzim katepsin menyebabkan pelunakan tekstur pada kemunduran mutu
ikan, peningkatan aktifitas enzim katepsin lebih cepat pada ikan yang disimpan di
suhu ruang, serta mengalami peningkatan dari fase pre rigor hingga post rigor
dan menurun pada fase busuk.
Gambar 18 menunjukkan rasio pengurangan kedua panjang gelombang,
terlihat bahwa pola yang ditampilkan relatif sama, perbedaannya terdapat pada
intensitas dari kedua rasio tersebut. Grafik ikan dengan sisik menampilkan pada
jam ke-4 rasio intensitasnya kecil dibandingkan jam-jam lainnya. Kisaran
intensitasnya berada pada -9 dB dan -10 dB, sedangkan untuk ikan tanpa sisik
intensitas terendahnya berada pada jam ke-3 dengan nilai intensitas -16 dB dan -
17 dB. Terlihat bahwa dengan intensitas rasio pengurangan, penurunan mutu pada
fase busuk lebih terlihat.
Apabila dibandingkan, intensitas rasio perbandingan kedua panjang
gelombang dan selisih (pengurangan) kedua panjang gelombang, dari hasil yang
diperoleh terlihat bahwa rasio perbandingan menampilkan hasil visualisasi yang
lebih baik, sehingga memudahkan pengamatan fase-fase ikan. Hal ini terlihat
dimana pola dari masing-masing fase terlihat dengan jelas dan relatif sama
perjamnya dimana terlihat bagian-bagian mana yang perubahannya terlihat jelas.
Selain itu, pada rasio pengurangan terjadi perbedaan pola pada jam ke-3 dan ke-4
sehingga rasio perbandingan menampilkan hasil yang lebih baik, meskipun fase
busuk lebih terlihat pada rasio pengurangan.
36
Selama penyimpanan, ikan mengalami perubahan biokimia, kimia, fisik,
dan proses mikrobiologi yang terutama disebabkan oleh waktu dan suhu, faktor
lain seperti penanganan dan stress juga mempengaruhi kemunduran mutu ikan
(Olsen et al., 2008). Nilai intensitas-intensitas pantulan yang ditampilkan pada
grafik-grafik sebelumnya dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya
konsistensi peletakan instrumen pada ikan, gangguan dari luar, dan kondisi ikan
itu sendiri seperti tekstur dan warna.
Ketidakakuratan yang disebabkan oleh peletakan instrumen dikarenakan
instrumen dipindahkan dari satu ikan ke ikan-ikan berikutnya, sehingga ketika
kembali ke posisi awal maka akan memungkinkan peletakan yang berubah dari
semula. Selain itu, semakin meningkatnya waktu kondisi tubuh ikan mengalami
penggembungan yang disebabkan oleh aktifitas enzimatis maupun mikroba
Abustam dan Ali (2005). Pada saat pengambilan data, penggembungan tersebut
akan mengakibatkan kemiringan-kemiringan pada peletakan instrumen sehingga
memungkinkan adanya cahaya yang keluar. Gangguan dari luar misalnya adanya
serangga seperti lalat yang menghinggapi instrumen ketika ikan mengalami fase
busuk, sehingga menimbulkan getaran-getaran yang menimbulkan pengaruh pada
nilai digital. Selain itu, kemungkinan juga disebabkan oleh sensor itu sendiri,
dimana terkadang sensor tidak menangkap pantulan cahaya sehingga
menghasilkan nilai digital nol (0). Gangguan-gangguan dapat terlihat secara
langsung pada interface seperti pada Gambar 19.
37
Gambar 19. Tampilan pada interface ketika terdapat gangguan getaran dari luar
maupun dari sensor
Kondisi ikan seperti tekstur dan warna mempengaruhi intensitas pantulan.
Hal ini karena tekstrur yang semakin kasar akan membaurkan pantulan. Semakin
tinggi kekenyalan daging maka pantulan akan semakin tinggi. Warna
mempengaruhi intensitas dikarenakan adanya darah dalam tubuh ikan serta
komponen-komponen darah seperti Mioglobin (Mb) dan Hemoglobin (Hb).
4.3 Hasil Pengamatan Organoleptik pada Ikan Baronang Totol
Selain pengambilan data pantulan cahaya yang menghasilkan nilai digital
dan intensitas pantulan (dB), dilakukan juga pengamatan organoleptik setiap ikan
perjamnya. Hal ini bertujuan untuk membandingkan kondisi ikan antara
pengamatan menggunakan instrumen dan pengamatan dengan menggunakan
panca indera.
Uji Organoleptik merupakan salah satu metode penentuan kesegaran ikan
dengan melihat langsung bagian pada tubuh ikan yang menujukan seperti pada
bagian mata, insang, daging dan isi perut ikan. Pengamatan organoleptik yang
38
telah dilakukan pada ikan baronang totol yaitu pada kekenyalan tubuh, mata,
insang, lendir, serta bau, yang ditampilkan pada Tabel 5.
Tabel 5. Pengamatan kondisi organoleptik ikan
Jam Ikan 1 Ikan 2 Ikan 3
0
Tubuh ikan elastis,
padat, mata segar,
insang merah, bau
segar, totol kuning
cerah
Tubuh ikan elastis,
padat, mata segar,
insang merah, bau
segar, totol kuning
cerah
Tubuh ikan elastis,
padat, mata segar,
insang merah, bau
segar, totol kuning
cerah
1
Tubuh ikan elastis,
padat, mata segar,
insang merah, bau
segar, totol kuning
cerah
Tubuh ikan elastis,
padat, mata segar,
insang merah, bau
segar, totol kuning
cerah
Tubuh ikan elastis,
padat, mata segar,
insang merah, bau
segar, totol kuning
cerah
2
Badan mulai kaku,
mata mulai keruh,
insang merah, bau
segar, totol kuning
meredup
Badan mulai kaku,
mata mulai keruh,
insang merah, bau
segar, totol kuning
meredup
Badan mulai kaku,
mata mulai keruh,
insang merah, bau
segar, totol kuning
meredup
3
Badan kaku, mata
sedikit keruh, insang
merah, bau segar,
totol kuning
meredup
Badan sedikit kaku,
mata sedikit keruh,
insang merah, bau
segar, totol kuning
meredup
Badan sedikit kaku,
mata sedikit keruh,
insang merah, bau
segar, totol kuning
meredup
4
Badan kaku, mata
keruh, insang merah,
bau segar, totol
kuning meredup
Badan kaku, mata
keruh, insang merah,
bau segar, totol
kuning meredup
Badan kaku, mata
keruh, insang merah,
bau segar, totol kuning
meredup
5
Badan kaku, tubuh
kembung, mata
keruh, insang merah,
bau segar, totol
kuning meredup
Badan kaku, mata
keruh, insang merah,
bau segar, totol
kuning meredup
Badan sedikit kaku,
mata keruh, insang
merah, bau segar, totol
kuning meredup
6
Badan sedikit kaku,
tubuh kembung,
mata keruh, insang
merah, bau mulai
busuk, totol kuning
redup
Badan sedikit kaku,
tubuh kembung,
mata keruh, insang
merah, bau segar,
totol kuning redup
Badan sedikit kaku,
tubuh kembung, mata
keruh, insang merah,
bau segar, totol kuning
redup
7
Badan sedikit kaku,
tubuh kembung,
mata keruh, insang
merah, bau mulai
busuk, totol kuning
redup
Badan sedikit kaku,
tubuh kembung,
mata keruh, insang
merah, bau mulai
busuk, totol kuning
redup
Badan sedikit kaku,
tubuh kembung, mata
keruh, insang merah,
bau mulai busuk, totol
kuning redup
39
Tabel 5. Pengamatan kondisi organoleptik ikan (lanjutan)
Jam Ikan 1 Ikan 2 Ikan 3
8
Badan mulai melentur,
tubuh kembung, mata
redup, insang merah,
bau mulai busuk, totol
kuning redup
Badan sedikit kaku,
tubuh kembung, mata
redup, insang merah,
bau mulai busuk, totol
kuning redup
Badan sedikit kaku,
tubuh kembung,
mata redup, insang
merah, bau mulai
busuk, totol kuning
redup
9
Badan mulai melentur,
tubuh kembung, mata
redup, insang mulai
pucat, bau mulai busuk,
totol kuning redup
Badan mulai melentur,
tubuh kembung, mata
redup, insang mulai
pucat, bau mulai
busuk, totol kuning
redup
Badan sedikit kaku,
tubuh kembung,
mata redup, insang
mulai pucat, bau
mulai busuk, totol
kuning redup
10
Badan melentur, tubuh
kembung, mata mulai
redup, insang mulai
pucat, bau mulai busuk,
totol kuning redup
Badan melentur, tubuh
kembung, mata redup,
insang mulai pucat,
bau mulai busuk, totol
kuning redup
Badan mulai
melentur, tubuh
kembung, mata
redup, insang merah,
bau mulai busuk,
totol kuning redup
11
Badan melentur, tubuh
kembung, berlendir,
mata redup, insang
pucat, bau busuk, totol
kuning menjadi putih
Badan melentur, tubuh
kembung, berlendir,
mata redup, insang
pucat, bau busuk, totol
kuning menjadi putih
Badan melentur,
tubuh kembung,
berlendir, mata
redup, insang pucat,
bau mulai busuk,
totol kuning menjadi
putih
12
Badan melentur,
kembung, berlendir,
mata memerah, insang
pucat, bau busuk, totol
kuning menjadi putih
Badan melentur,
kembung, berlendir,
mata memerah, insang
pucat, bau busuk, totol
kuning menjadi putih
Badan melentur,
kembung, berlendir,
mata memerah,
insang pucat, bau
busuk, totol kuning
menjadi putih
13
Badan melentur,
kembung, berlendir,
mata memerah, insang
pucat, bau busuk, totol
kuning menjadi putih
Badan melentur,
kembung, berlendir,
mata memerah, insang
pucat, bau busuk, totol
kuning menjadi putih
Badan melentur,
kembung, berlendir,
mata memerah,
insang pucat, bau
busuk, totol kuning
menjadi putih
Berdasarkan Tabel 5, kondisi mata ikan masih terlihat segar dan bening
hingga jam ke-2, kemudian mata terlihat keruh pada jam ke-4. Mata merupakan
salah satu bagian tubuh ikan yang dijadikan sebagai parameter tingkat kesegaran
ikan. Pada ikan segar, bola mata terlihat cembung dan cerah (Nurjanah et al.,
2004). Pada ikan busuk bola mata terlihat memerah hal ini terlihat pada jam ke-
40
12. Konsistensi merupakan tingkat kelenturan dan kekenyalan yang menunjukan
parameter kesegaran ikan. Terlihat bahwa tubuh ikan yang semula elastis, pada
jam ke-4 menjadi kaku untuk ikan 2 dan 3, sedangkan tubuh ikan 1 menjadi kaku
pada jam ke-3.
Daging melentur kembali pada jam ke-10 dan jam ke-11 hingga akhir
pengukuran. Insang merupakan salah satu parameter dimana ikan yang kondisinya
mulai menurun akan menyebabkan warnanya semakin pucat. Pada Tabel 5, insang
mulai memucat pada jam ke-9, dan pada jam ke-11 terlihat pucat. Aroma bau
mulai tercium dari ikan pada jam ke-6 dan ke-7, serta bau busuk menyengat pada
jam ke-11. Kondisi bau ini mendatangkan banyak lalat yang dapat mengganggu
aktifitas pendeteksian dengan instrumen. Pada kondisi ikan dengan sisik, terlihat
adanya salah satu ciri utama ikan baronang totol yaitu totol kuning berukuran
cukup besar di dekat ujung sirip dorsal. Warna totol kuning tersebut meredup
pada jam ke-2, terlihat benar-benar redup pada jam ke-6, dan memutih pada jam
ke-11. Hal ini dipengaruhi oleh reaksi-reaksi biokimia yang terjadi pada tubuh
ikan.
Ikan yang mengeluarkan banyak energi sebelum mati, pH- nya akan lebih
cepat turun dan mengaktifkan enzim katepsin yang mampu menguraikan
senyawa-senyawa yang bersifat volatil, sehingga fase kemunduran mutunya akan
berlangsung cepat (Munandar et al., 2009), sehingga terlihat bahwa terjadinya
fase-fase ikan tesebut juga relatif cepat apabila dibandingkan dengan perlakuan
pematian dan penyimpanan yang lain. Penanganan dan kondisi penyimpanan
dapat mempengaruhi degradasi mikrobiologi. Faktor-faktor ini juga dapat
mempengaruhi perekaman pantulan dan mempengaruhi hasil pengamatan.
41
Berdasarkan pengamatan organoleptik yang dilakukan, terlihat fase-fase
kemunduran mutu ikan baronang totol yang diamati. Menurut Nurjanah et al.
(2004), kondisi ikan yang mengalami pre rigor adalah mata cerah, bola mata
menonjol, kornea jernih, insang berwarna merah cemerlang tanpa lendir, sayatan
daging cemerlang berwarna asli, tidak ada pemerahan sepanjang tulang belakang,
perut utuh, ginjal merah terang, dinding daging perutnya utuh, dan bau isi perut
segar, konsistensi otot elastis bila ditekan dengan jari, sulit menyobek daging dari
tulang belakang. Hal ini sesuai dengan pengamatan pada jam ke-0 hingga jam ke-
1, sehingga pada jam-jam tersebut terjadi fase pre rigor.
Fase berikutnya adalah rigor mortis dimana ikan menjadi kaku. Hal ini
terlihat mulai jam ke-2 hingga ke-7, dan kondisi tubuh paling kaku serta pantulan
paling kuat berada pada jam ke-4. Jam ke-7 hingga ke-10 merupakan fase post
rigor yang menurut Nurjanah et al. (2004) ditandai dengan bola mata agak
cekung, pupil keabu-abuan, kornea agak keruh, insang menampakkan
diskolorisasi merah muda dan berlendir, sayatan daging mulai pudar, banyak
pemerahan pada tulang belakang, bau seperti susu asam, konsistensi agak lunak,
mudah menyobek daging dari tulang belakang. Pada fase ini ikan masih dapat
dikonsumsi meskipun mutunya sudah menurun. Terlihat pada Tabel 5 bahwa mata
redup, tubuh ikan kembali melentur, mucul lendir, insang yang memucat, serta
bau yang menusuk. Jam-jam berikutnya merupakan fase busuk ikan dimana
kondisi ikan sudah tidak dapat dikonsumsi.
Pengamatan secara organoleptik menampilkan jam terjadinya fase-fase
ikan yang sama dengan hasil pengamatan menggunakan instrumen yaitu pada jam
ke-0 hingga jam ke-1 terjadi fase pre rigor, pada jam ke-2 dan ke-7 terjadi fase
42
rigor mortis, jam ke-7 hingga ke-10 terjadi fase post rigor, kemudian selanjutnya
merupakan fase busuk ikan. Hal ini menunjukkan bahwa instrumen telah dapat
melihat penurunan kualitas ikan dengan cukup baik, sehingga
pengembangan/modifikasi instrumen IFFI-1 menjadi IFFI-2 telah dilakukan
dengan baik dan memberikan hasil yang lebih baik.
43
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Infrared Fish Freshness Instrumen-2 (IFFI-2) telah menunjukkan
keberhasilan penelitian sebelumnya (IFFI-1) bahwa panjang gelombang 525 nm
dan 660 nm dapat mendeteksi dan mengestimasi kemunduran mutu ikan dengan
hasil yang lebih baik. Hal ini ditunjukkan dengan hasil pengujian ikan baronang
totol (Siganus guttatus). Panjang gelombang 660 nm memiliki intensitas pantulan
yang lebih kuat dibandingkan intensitas pantulan 525 nm. Pola intensitas
pemantulan yang lebih representatif terjadi pada hasil perbandingan dari intensitas
pemantulan kedua panjang gelombang tersebut, dimana fase-fase ikan baronang
totol terlihat lebih jelas yaitu fase pre rigor (pada jam ke-0 hingga jam ke-1), fase
rigor mortis (pada jam ke-2 hingga jam ke-7), fase post rigor (pada jam ke-8
hingga sekitar jam ke-10). Penentuan fase-fase ini sesuai dengan pengamatan
organoleptik yang dilakukan, sehingga IFFI-2 dapat melihat pola kemunduran
mutu ikan baronang totol dengan baik.
5.2 Saran
Meskipun perbandingan kedua panjang gelombang menghasilkan pola
yang cukup baik, sebaiknya pada modifikasi IFFI-2 diberikan jarak antara sensor
panjang gelombang 525 nm dan 660 nm untuk menghindari pemancaran
gelombang yang tumpang tindih antara 525 nm dan 660 nm. Kemudian sebaiknya
pada perlakuan kondisi tubuh ikan, selain kondisi dengan sisik dan tanpa sisik,
diamati pula kondisi tanpa kulit (fillet), hal ini karena ikan baronang totol
memiliki kulit yang cukup tebal, sehingga karakteristik pantulannya dapat diamati
44
lebih dalam. Pengamatan organoleptik sebaiknya dilakukan oleh panelis yang
menguasai/ahli. Sampel yang diujikan harus lebih banyak dan dengan perlakuan
yang seragam serta menambahkan panjang gelombang pada instrumen, sehingga
kedepannya diharapkan IFFI-2 dapat mengamati perbedaan pola pantulan
berbagai ikan baik ikan air tawar maupun ikan air laut serta mengetahui indeks
kesegaran ikan.
45
DAFTAR PUSTAKA
Abustam E dan Ali HM. 2005. Dasar Teknologi Hasil Ternak. Makassar:
Program A2 Jurusan Produksi Ternak Fakultas Peternakan Unhas. 67 hal.
Aidil M. 1998. Mempelajari Sifat Daya Hantar Listrik Terhadap Tingkat
Kesegaran Ikan. [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.78 hal.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1991. Pedoman Analisis Zat Gizi.
Jakarta: Depkes RI. 137 hal.
Fishbase Fish Identification. 2012. [Diunduh 13 Oktober 2012]. Tersedia pada:
http://www.fishbase.org/.
Grigor JM, Theaker JB, Alasalvar C, O’hare WT, dan Ali Z. 2002. Analysis of
seafood aroma / odour by electronic nose technology and direct analysis.
Technology and Nutraceutical Applications. New York: Springer. Hal 105-
1121.
Heia K, dan Sivertsen AH. 2007. Detection of nematodes in cod (Gadus morhua)
fillets by imaging spectroscopy. Journal of Food Science. 72 (1). Hal 11-15.
Irianto E dan Giyatmi S. 2009. Teknologi Refrigerasi Hasil Perikanan Jilid 1.
Jakarta: Universitas Terbuka. 102 hal.
Jaya I dan Ramadhan DK. 2006. Aplikasi Metode Akustik untuk Uji Kesegaran
Ikan. Buletin Teknologi Hasil Perikanan 2006. 9(2). Hal 1-13. [Diunduh 11
Juni 2012]. Tersedia pada:http://repository.ipb.ac.id/.
Koppang EO dan Haugarvoll E. 2005. Vaccine-associated granulomatous
inflammation and melanin accumulation in Atlantic salmon, Salmo salar L.,
white muscle. Journal of Fish Diseases. 28 (1). Hal 13-22.
46
Munandar A, Nurjanah, dan Nurimala M. 2009. Kemunduran mutu ikan nila
(Oreochromis niloticus) pada penyimpanan suhu rendah dengan perlakuan
cara kematian dan penyiangan. Jurnal Teknologi Pengolahan Hasil
Perikanan Indonesia.12(2). Hal 88-101. [Diunduh 5 Januari 2012]. Tersedia
pada: repository.ipb.ac.id/.
Munandar E. 2012. Rancang Bangun Alat Pengukur Kesegaran Ikan
Menggunakan Sensor Infrared. [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
51 hal.
Nilsen H dan Esaiassen M. 2005. Predicting sensory score of cod (Gadusmorhua)
from visible spectroscopy. Lebensm.-Wiss. u.-Technol. 38 (2005). Hal 95–
99. [Diunduh 16 Maret 2012]. Tersedia pada: www.elsevier.com/.
Nurhayati T, Salamah E, Irfan M, dan Nugraha R. 2010. Aktifitas enzim katepsin
dan kolagenase pada kulit ikan bandeng (Chanos chanos, Forskal) selama
periode kemunduran mutu. AKUATIK-Jurnal Sumberdaya Perairan. Vol 4:
1 (2010). Hal 30-34.
Nurjanah, Setianingsih I, Sukarno, dan Muldani M. 2004. Kemunduran mutu ikan
nila merah (Oreochromis sp.) pada penyimpanan suhu ruang. Buletin
Teknologi Hasil Perikanan. Vol 8 (1).Hal 37-43.
Olafdottir G, Nesvadba P, Di Natale C, Careche M, Oehlenschläger J,
Tryggvadóttir SV, Schubring R, Kroeger M, Heia K, Esaiassen M, dll. 2004.
Multisensor for fish quality determination. Trends in Food Science &
Technology. 15 (2). Hal 86–93.
Olsen SH, Sørensen NK, Larsen R, Elvevoll EO, dan Nilsen H. 2008. Impact of
pre-slaughter stress on residual blood in fillet portions of farmed Atlantic
47
cod (Gadus morhua) - Measured chemically and by visible and near-infrared
spectroscopy. Aquaculture. 284 (1–4). Hal 90–97.
Pusat Data, Statistik, dan Informasi Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2011.
[Diunduh 13 Oktober 2012]. Tersedia pada: http://statistik.kkp.go.id/.
Saskia A, Puspita AAP, Hapsari NA, Fitra RN, Pricillia V, Febriyanto BD,
Aprianto D, Maulana RA, dan Nurhayati T. 2011. Kemunduran mutu ikan
dan analisis pengujiannya. Fisiologi, Formasi, dan Degradasi Metabolit
Hasil Perairan. [Abstrak]. Tersedia pada:
http://www.scribd.com/doc/109648741/jurnal-6.
Sivertsen AH, Kimiya. T, dan Heia K. 2010. Automatic freshness assessment of
cod (Gadus morhua) fillets by VIS/NIR spectroscopy. Journal of Food
Engineering 103. Hal 317-323. [Diunduh 16 Maret 2012]. Tersedia pada:
http://www.sciencedirect.com/.
Rustamadji. 2009. Persentase Kadar Air dan TMA. Jakarta: B-First.
Woodland DJ. 1990. Revision of the fish family Siganidae with descriptions of
two new species and comments on distribution and biology. Indo-Pac. Fish
(19). Hal 136.
48
Lampiran 1. Data pantulan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 111213700
750
800
850
900
950
1000
1050
1100
1150
1200
Jam ke-
Dig
ital num
ber
Ikan 1 dengan sisik
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13700
750
800
850
900
950
1000
1050
1100
1150
1200
Jam ke-
Dig
ital num
ber
Ikan 1 tanpa sisik
50
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13600
700
800
900
1000
1100
1200
1300
Jam ke-
Dig
ital num
ber
Ikan 2 dengan sisik
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 111213700
750
800
850
900
950
1000
1050
1100
1150
1200
Jam ke-
Dig
ital num
ber
Ikan 2 tanpa sisik
51
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13600
700
800
900
1000
1100
1200
1300
Jam ke-
Dig
ital num
ber
Ikan 3 dengan sisik
1 2 3 4 5 6 7 9 10 11 12 13600
650
700
750
800
850
900
950
1000
1050
1100
Jam ke-
Dig
ital num
ber
Ikan 3 tanpa sisik
52
Lampiran 2. Rata-rata nilai digital ikan 1, 2, dan 3
700
800
900
1000
1100
1200
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Dig
ital
nu
mb
er
Jam ke-
Pantulan ikan 1
2 per. Mov. Avg. (660 s)
2 per. Mov. Avg. (660 ts)
2 per. Mov. Avg. (525 s)
2 per. Mov. Avg. (525 ts)
700
800
900
1000
1100
1200
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Dig
ital
nu
mb
er
Jam ke-
Pantulan ikan 2
2 per. Mov. Avg. (660 s)
2 per. Mov. Avg. (660 ts)
2 per. Mov. Avg. (525 s)
2 per. Mov. Avg. (525 ts)
700
800
900
1000
1100
1200
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Dig
ital
nu
mb
er
Jam ke-
Pantulan ikan 3
2 per. Mov. Avg. (660 s)
2 per. Mov. Avg. (660 ts)
2 per. Mov. Avg. (525 s)
2 per. Mov. Avg. (525 ts)
53
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Garut, 2 Juli 1991, merupakan
putri tunggal dari Ayah Uun Sunara dan Ibu Ika Dasnika.
Tahun 2005-2008 Penulis menyelesaikan pendidikan di
Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 1 Tarogong Kidul
Garut (sekarang SMAN 1 Garut). Pada tahun 2008 Penulis
diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor dan tahun 2009 diterima
sebagai mahasiswa Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan.
Selama kuliah di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif mengikuti
organisasi Bina Desa BEM-KM IPB sebagai anggota divisi Pengembangan
Sumberdaya Anggota (2009-2010), dan HIMITEKA sebagai sekretaris divisi
Inderaja dan SIG (2010-2011). Penulis juga aktif menjadi asisten praktikum
Biologi Laut (2010) dan Ekologi Laut Tropis (2012). Penulis aktif menjadi panitia
dalam kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan di dalam kampus, salah satunya
adalah The 19th Tri University (2012), maupun di luar kampus seperti Selection 2
for Student Exchange Program of Yayasan Bina Antar Budaya (2012). Penulis
pernah mengikuti ASEAN Biofuel Symposium (2012), juga pernah mengikuti
Basic Level Japanese Course (2009) serta memiliki sertifikat One Star Scuba
Diving.
Penulis menyelesaikan studi di Institut Pertanian Bogor dengan membuat
skripsi yang berjudul “Deteksi dan Estimasi Kemunduran Mutu Ikan
Baronang Totol (Siganus guttatus) Menggunakan Panjang Gelombang
Inframerah Dekat 525 nm dan 660 nm”.
54