DESTINY - galeribukujakarta.comgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/... · Namun tak...
Transcript of DESTINY - galeribukujakarta.comgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/... · Namun tak...
1
DESTINY
“Semua yang terjadi memiliki keterkaitan untuk menunjukkan satu kebenaran.”
Novel
By
TEGAR SETIADI
2
Sebuah Persembahan Terima Kasih
Alhamdulillahirrobbil alamin,
Kalimat ucapan terima kasih yang paling pertama selalu saya persembahkan kepada
Alloh SWT untuk segala inspirasi yang terus mengalir tanpa henti. TanpaMu aku bukan apa-
apa dan bukan siapa-siapa. Nabi Muhammad SAW, yang tak henti-henti menjadi panutan bagi
umatnya. Untuk ibu Siti Khomsiyah yang selalu mendukung dan menyempatkan do’a di setiap
detik kehidupan. Istriku, Afrida Rachma Primadia yang terus menemani dan memberikan
motivasi. Dua saudaraku, Tabah dan Titis.
Big thank’s untuk partner sekaligus mentor menulis, Delisa Novarina yang selalu
memberikan inspirasi yang begitu membantu.
Juga kepada semua orang-orang yang telah memberikan dorongan sampai saya
menyelesaikan novel ini.
Yang paling berharga, para pembaca sekalian yang telah menyempatkan waktu untuk
menikmati karya sederhana yang telah saya buat, semoga menyukainya.
Amiin.
Salam Sahabat
TEGAR SETIADI
3
4
MIMPI ITU LAGI
(Selamat jadi ibu, Sayang)
Hujan turun begitu deras ketika seorang ibu tiba di rumah sakit untuk melakukan persalinan,
melahirkan anak pertamanya.
Beberapa jam kemudian tangisan bayi-bayi mungil itu pun terdengar. Bukan satu,
melainkan dua. Ya, sepasang anak kembar. Kembar fraternal atau dizigotik, laki-laki dan
perempuan. Lalu mereka dibawa ke ruangan khusus di bawah tatapan wanita yang lekat
menatap dalam baring lemahnya.
“Selamat jadi ibu, Sayang.”
Suara itu terdengar jelas, lantang, lengkap dengan air mata kebahagiaan yang menetes
lembut membasahi lengan kanan istrinya. Lelaki tersebut akhirnya melihat bagaimana sang
istri mampu berjuang dengan luar biasa. Kini mereka siap menjaga apa yang sudah
dipercayakan. Menjadi orangtua, menjadi keluarga lengkap, dan menjadi guru bagi anak-anak
mereka kelak.
Namun tak berapa lama, dalam waktu sekejap kebahagiaan itu berganti dengan luka.
Hanya berjarak dari malam menuju pagi.
Anak perempuan mereka hilang. Pihak rumah sakit memastikan bahwa ini adalah
tindak penculikan. Seseorang datang sebelumnya. Memilih salah satu dari bayi-bayi
menggemaskan itu. Kemudian memutuskan untuk mengambil yang perempuan, tanpa
meninggalkan sehelai kain pun. Menyakitkan.
Senja kemerahan yang baru muncul bahkan terlihat tidak cantik seperti biasanya lagi.
Kadang ia elok mencolok dan menenangkan, kadang juga ia kusam masam dan membosankan.
Mungkin ini yang namanya hidup. Harus bisa menerima.
“Huft! Mimpi itu lagi,” ujar Nayna cukup jemu.
Gadis yang belum genap berusia 17 tahun itu menyeka peluh di keningnya. Ini yang
ketiga, setelah dua mimpi yang sama menggerayangi beberapa waktu lalu. Nayna tidak akan
bertanya apa maksud mimpi itu sebenarnya. Atau dia akan muak dengan jawaban yang dia
dapat dari buku-buku nonfiksi, ‘kamu ingin menikah muda’, ‘kamu akan punya adik’, dan
semacamnya.
“Ah! Tidak. Tidak. Aku tidak boleh memikirkannya terus-menerus.”
5
Tanpa buang-buang waktu lagi, Nayna segera bangkit. Dia melongok keluar dari dalam
kamar. Ada Fidelis dan Mbok Win. Mereka tampak asyik menyiapkan sarapan di ruang makan.
Perut Nayna berbunyi.
Kurang dari setengah jam, Nayna sudah rapi. Seragam putih abu-abu, dengan dasi,
sepatu hitam, rambut tergerai, dan…. Astaga! Nayna lupa dengan sesuatu yang penting.
Tasnya!!
Langkah kecil itu amat terganggu dengan sesuatu di belakangnya. Fidelis, bocah imut
yang super-hiperaktif dan tak jarang menyebalkan sedang menarik tas punggung Nayna penuh
kekuatan. Anak itu memang hebat. Dia bisa membuat Nayna kelimpungan karena ulahnya.
“Fidel, tas Kakak mau dibawa ke mana?”
“Jangan, jangan.”
Fidelis menginginkan tas Nayna, sementara Nayna tidak mau melihat Fidelis menangis
pagi ini. Akhirnya dia membebaskan saja.
“Tasnya berat. Nanti kamu capek.”
Bukannya diletakkan, dia malah membawa tas Nayna ke tempat yang lebih jauh.
Nayna duduk di kursi meja makan. Mbok Win memasak nasi goreng dengan telur
ceplok kesukaan Fidelis. Adik Nayna satu-satunya, yang keterbelakangan mental. Dia
mengidap autistic disorder dan juga pyromania.
Dokter yang memeriksa Fidelis pernah menjelaskan bahwa autistic disorder adalah
salah satu jenis autisme yang umumnya terjadi pada anak-anak yang menyebabkan
penderitanya kurang jelas dalam berbicara dan menarik diri dari lingkungan sosial. Sedangkan
pyromania adalah salah satu gangguan mental yang ditandai munculnya dorongan kuat untuk
sengaja menyulut api agar dapat meredakan ketegangan dan menimbulkan perasaan lega bagi
penderitanya.
Begitulah Fidelis, penderita autistic disorder yang membuatnya susah untuk
berkomunikasi dengan orang lain. Sikap dan perilakunya yang berbeda dari anak kecil
seusianya membuat Fidelis tidak memiliki teman kecuali kakaknya. Dan ketika gadis kecil itu
sedang merasa suasana hatinya tidak nyaman, Fidelis pasti meminta korek api kepada Mbok
Win, menyuruhnya untuk membakar sesuatu, lalu dia akan kembali ceria.
Memiliki adik kandung dengan dua kelainan sekaligus tentu bukan hal mudah bagi
seorang Nayna, dia harus menghadapi dan mendidiknya dengan penuh kesabaran. Meskipun
seringkali Nayna harus menahan emosi karena ulah adik satu-satunya itu.
Rumah ini ramai karena ada Fidelis. Rumah ini sepi karena hanya ada mereka sekarang.
Tapi yang pasti, rumah ini tidak senyaman dahulu. Sebelum pemiliknya memutuskan untuk
6
bercerai dan hidup masing-masing. Nayna dan Fidelis menetap di rumah ini dengan Mbok Win
yang selalu setia sejak delapan tahun silam, dan dengan ayah yang tidak pernah lagi
menganggap mereka seperti keluarga.
Ayah Nayna tidak seperti ayah yang lainnya. Pria itu berubah total setelah perusahaan
tekstilnya bangkrut. Suka pergi tanpa pamit, pulang dalam keadaan mabuk, sering marah-
marah tidak jelas, kadang kasar, keras, bahkan sampai hati membentak Fidelis. Itu yang
membuat Nayna tidak betah berada di rumah ini.
Tentang Ibu, jangan kerap menanyakannya. Perempuan itu kini sudah bahagia hidup
bersama keluarga baru yang harmonis dan berkecukupan di luar negeri. Memang, setiap bulan
dia tidak pernah lupa untuk mengirimi anak-anaknya uang. Membayar tagihan-tagihan rumah,
menggaji Mbok Win, memenuhi semua kebutuhan Nayna dan Fidelis. Tapi yang sesungguhnya
mereka butuhkan adalah keberadaan ibu di sisi mereka.
“Aaaaaa!”
Fidelis berteriak keras, Nayna dan Mbok Win sampai terkejut.
“Fidel, Mbok!”
Nayna langsung lari ke pusat suara, di pinggir kolam ikan. Sementara Mbok Win
mencuci tangannya terlebih dahulu, kemudian menyusul.
“Kenapa, Fidel?”
Bocah itu tampak ketakutan, dengan tas Nayna yang tetap digenggamnya, karena habis
diseret-seret.
Ada ikan yang terbujur kaku di tepi kolam. Rupanya ikan itu berhasil melompat dengan
lihai hingga membuat nyawanya sendiri menjadi taruhan. Dan sukses membuat Fidelis
berteriak histeris karena merasa gentar.
“Ada apa, Non?”
“Ternyata Cuma ikan mati, Mbok.”
Nayna langsung mengambil alih tasnya dari tangan Fidelis. Memakainya di punggung
sambil memasang tampang kesal dan memperlihatkannya terang-terangan kepada bocah itu.
“Kak Nayna sekolah dulu, kamu jangan nakal!”
“Aaaaa.”
“Jangan berteriak begitu, kamu mau kakak marah?”
“Aku berangkat dulu, Mbok.” Nayna beralih menatap Mbok Win yang sekarang tengah
berusaha menggendong Fidelis.
“Hati-hati di jalan, Non.”
7
Nayna mengangguk, kemudian pergi. Raut muka kesalnya berganti dengan penyesalan.
Sebenarnya tidak tega meninggalkan Fidelis walaupun hanya beberapa jam saja. Keadaan yang
membuat Nayna begitu menyayanginya, bahkan melebihi dirinya sendiri. Namun terkadang
Fidelis juga menyebalkan, susah dikasih tahu, tidak menurut, dan sering mencegah Nayna
pergi.
Lihat bocah itu sekarang, pura-pura menangis supaya Nayna menoleh ke arahnya. Dan
usahanya pun sia-sia. Nayna hapal betul bagaimana tingkahnya. Sungguh menggemaskan.
Sepuluh menit sebelum bel berbunyi di SMK Bina Nusantara.
“Hei, sebentar lagi dia pasti datang. Kalian tahu apa yang akan dia lakukan pertama
kali?” tanya Inez kepada dua temannya yang lain.
“Apa?”
“Memberikan PR-nya kepada kita.”
Sontak jawabannya membuat Yola dan Debby tertawa. Benar-benar lelucon.
“He-hei itu dia, bersikaplah tenang.”
Ketika penampakan Nayna sudah terlihat, Inez mengomando Yola dan Debby untuk
kembali ke posisi semula.
Tidak ada yang spesial. Setiap hari selalu sama. Bagaimanapun keadaannya, Nayna
tetap menjadi juara kelas. Lima semester berturut-turut dia menjadi primadona. Populer, cantik,
disukai semua orang, dekat dengan guru-guru, banyak teman. Nayna tidak puas atau sombong
karena itu. Hidup seberuntung apa pun baginya tetaplah kelam. Entah kehidupan indah itu
kehidupan yang seperti apa. Nayna hanya menjalani dan mengikuti.
Kelas XII-Pemasaran 1, (kalau kelas XII, bukannya biasanya ada keterangan
jurusannya? XII IPA, IPS, dll, jadi nggak langsung angka) kelas yang katanya berisi anak-anak
cerdas dan berprestasi. Tapi kenyataannya yang ada hanya persaingan. Beberapa anak
membuat kelompok, beberapa berbaur dengan semua, dan segelintir anak mungkin berpikiran
sama dengan Nayna: ada saatnya bersama, dan ada saatnya menyendiri.
“Pagi, Na,” sapa Debby, teman sebangkunya.
Nayna hanya tersenyum. Inez dan Yola menengok ke belakang.
“Na, Na, Na, kamu udah ngerjain PR Matematika, kan? Nomor tujuh aku nggak bisa
ngerjain?”
8
“Eumm....” Tanpa berat hati Nayna mengeluarkan buku PR-nya dan memberikannya
kepada Inez.
“Oh ya, kamu dicari Pak Kepsek barusan,” sambung Yola.
“Ada apa?”
Ketiganya serempak mengangkat bahu.
“Kurang tahu, mending tanya langsung aja sama beliau,”
“Baiklah, aku ke ruangannya sekarang.”
9
ANAK BARU
(Nama kamu bagus, tapi tidak sesuai dengan sikap dan kelakuan kamu)
Tok, tok, tok...
“Permisi, Pak.”
Nayna berbicara dengan masih berdiri di depan daun pintu, menunggu lelaki tua
berkumis itu mempersilakan masuk. Sekilas, mata Nayna beradu pandang dengan seorang
murid laki-laki yang tampak asing, mengenakan seragam yang jelas-jelas bukan seragam SMA
Bina Nusantara.
“Silakan masuk, Nayna. Saya sudah menunggumu.”
Nayna mengangguk dan melangkah masuk.
“Silakan duduk,” lanjutnya.
Dengan rikuh gadis itu menurut, duduk di salah satu kursi di sebelah murid asing yang
Nayna tahu, tidak berhenti memandangnya. Membuat dirinya merasa sedikit risih.
“Sebelumnya perkenalkan, ini Ravi, murid pindahan dari Surabaya. Dan dia akan
melanjutkan sekolahnya di sekolah kita.”
Nayna menoleh sejenak dan memberikan senyum, “Hai, salam kenal.” Lalu ia kembali
mengalihkan pandangannya ke Kepala Sekolah bahkan sebelum murid baru itu membalas
ucapannya.
“Lalu keperluan Bapak mencari saya apa?”
Bapak Kepala Sekolah tersenyum, “Begini, Bapak ingin minta bantuanmu untuk
mendampingi Ravi selama beberapa minggu, mengenalkan kepada teman-teman dan
lingkungan sekolah.”
Nayna membelalakkan mata, tampak tidak percaya dengan apa yang baru saja dia
dengar. Sekilas Nayna dapat melihat senyum pada bibir Ravi, senyum yang entah kenapa
membuatnya semakin tidak nyaman.
Jangan tanya kenapa Nayna yang dipilih oleh Kepala Sekolah untuk menjadi guide
dadakan bagi murid baru. Kecakapannya dalam bersosialisasi dan kecerdasan dalam bidang
akademik membuat Nayna menjadi kandidat satu-satunya di sekolah ini.
“Ta-tapi, Pak, kenapa harus saya? Bukankah lebih baik kalau bersama murid laki-laki?”
“Kamu lebih bisa diandalkan daripada murid laki-laki di sekolah ini yang bisanya
membuat ulah saja. Kamu tahu sendiri bagaimana kelakuan mereka? Saya tidak ingin Ravi
terpengaruh.”
10
Desahan napas dari hidung Nayna terdengar pelan, alasan apalagi yang harus dia
berikan untuk menolak. Membimbing murid baru, dan seorang laki-laki pula. Entah apa yang
akan dipikirkan oleh murid-murid lain.
“Tenang saja, nanti saya jelaskan kepada teman-temanmu yang lain.” Seakan mengerti
dengan kekhawatiran Nayna, Kepala Sekolah berbicara dan memberikan tatapan yang
menenangkan.
“Baiklah, Pak. Saya bersedia,” ucap Nayna pada akhirnya.
Tentu saja, siapa yang bisa menolak perintah dari seorang kepala sekolah. Nayna tahu
kapasitasnya.
“Bagus. Sekarang, ayo ke kelas kalian. Bapak yang akan mengenalkan Ravi di depan
kelas.”
“Eh, ka-kami satu kelas?” Lagi-lagi Nayna terperanjat.
“Bapak pikir itu akan lebih memudahkan kalian nantinya. Ayo, sebentar lagi bel masuk
berbunyi.” Pria berusia 42 tahun itu menggiring keduanya keluar, dan meminta izin sejenak
untuk masuk ke ruang guru.
Semenghilangnya Kepala Sekolah, Ravi mendekati Nayna dan menyentil kepalanya
dengan jari.
“Aduh, sakit tau.”
Nayna menatap tajam ke arah pelaku yang sedang tersenyum usil di depannya. Gadis
itu menghembuskan napas keras, lalu kembali membuang pandangannya ke depan.
“Kenapa kamu terlihat keberatan seperti itu, apa wajahku menakutkan?” Tiba-tiba
pemuda itu berbicara, mulutnya ia dekatkan ke telinga Nayna, membuatnya melonjak dan
mundur beberapa langkah.
“Hei! Kamu tidak bisa berbuat lebih sopan lagi?” ucap Nayna seraya melotot.
Ravi justru tertawa. Terlihat sekali wajah puas setelah berhasil membuat gadis di
hadapannya emosi. Membuat Nayna semakin dongkol dan harus mengatupkan rahangnya
untuk menahan jengkel.
“Membalas pertanyaan dengan pertanyaan, siapa yang tidak sopan sekarang?” tanya
Ravi sesaat setelah tawanya mereda.
“Isssh! Sekarang aku semakin yakin kalau aku salah menerima perintah dari Kepala
Sekolah.”
“Hah? Kita bahkan belum benar-benar saling kenal, tapi kamu bersikap seolah aku
sudah memiliki sejuta kesalahan. Aku salah apa? Atau memang sifatmu yang tidak bisa ramah
terhadap orang lain?”
11
Nayna mencibir, “Jangan sok tahu. Aku menilai seseorang dari kesan pertama yang
kulihat, dan kamu sama sekali tidak pantas untuk diberi sikap ramah,”
“Maksudmu?”
“Itu! Kenapa kerah seragammu bisa kamu biarkan berdiri seperti itu? Bajumu juga tidak
kamu masukkan dengan sempurna. Mau bergaya seperti jagoan? Sayang sekali, di sini sudah
banyak murid-murid yang sejenis itu. Kalau harus ditambah satu lagi oleh murid pindahan,
lebih baik aku yang pindah sekolah saja.”
Ravi terlihat meneliti seragamnya, lalu tawa kecil terdengar dari mulutnya.
“Hahaha, aku tidak sadar kalau seragamku seperti ini. Lagian ini cuma masalah kecil,
tapi terima kasih karena sudah memberitahu, walaupun dengan wajah menyeramkan. Emmm...
aku jadi ingat tokoh Annabelle.” Terdengar suara tawa yang semakin keras terdengar dari
mulut Ravi.
“Kamu!!” Ucapan Nayna harus terpotong ketika Kepala Sekolah keluar dari ruang guru
bersama Bu Ira, guru Bahasa Mandarin yang akan mengisi jam pertama pada kelas Nayna. (ini
part kurang kuat, ditambahin lagi. Kenapa Nayna bisa benci banget sama Ravi. Masak cuman
gara-gara ngomong deket2 doang? Misalnya Nayna diusilin apa kek gtu, roknya ditempelin
permen karet atau apa pun. Kalok hanya gitu doang masak langsung benci banget. Karena ke
bawah2 Nayna tetep gak suka/benci)
“Ada apa ini, sepertinya kalian sudah akrab? Ravi sampai tertawa seperti itu,” ujar
Bapak Kepala Sekolah begitu berdiri di dekat mereka dengan senyumnya.
“Iya, Pak. Nayna benar-benar anak yang lucu. Pasti kami akan cepat menjadi teman
yang akrab,” jawab Ravi sambil melirik penuh arti ke arah Nayna.
Gadis itu hanya bisa mendengus kesal, lalu membuang wajah.
“Apa saya bilang. Kamu memang bisa diandalkan, Nayna. Ya sudah, ayo segera masuk
ke dalam kelas.”
“Aaaarrrgggh!! Sudah satu kelas dan dia harus duduk tepat di belakangku. Kepala Sekolah
benar-benar sedang memberikan ujian hidup untukku.” Nayna mengacak-acak rambutnya
sendiri.
Jam istirahat pertama, Nayna, Inez, Yola, dan Debby duduk bersama di antara murid-
murid lain yang sedang menghabiskan waktu sambil mengisi perut mereka di kantin. Nayna
menunjukkan wajahnya yang terlihat jenuh, membuat ketiga temannya tersenyum.
12
“Apa yang salah dengan murid baru itu? Dia terlihat normal-normal saja.” Inez
mencoba bertanya dengan wajah yang serius.
Debby mengangguk, “Bahkan menurutku dia keren, kok. Matanya tajam dan alisnya
tebal. Cowok banget.”
“Oke, yang itu di atas normal.” Inez mencoba meralat sambil tertawa. Disusul oleh
Debby dan Yola.
“Issh! Kalian semua sama saja. Tidak bisa melihat cowok baru, dan menurutku Ravi
tidak ada keren-kerennya sama sekali. Nama dan kelakuannya tidak sinkron.”
“Aku heran, sebenarnya apa yang terjadi dengan kalian sampai-sampai kamu
membencinya? Ini pertama kali kalian bertemu, kan?”
“Memang, tetapi dia memberikan kesan pertama yang sama sekali tidak mengesankan,
aku tidak mengerti kenapa sekolah ini mau menerima murid seperti dia.”
“Ssssttt... dia datang.”
Yola melirik ke arah luar kantin, menunjuk sosok yang mencolok karena memakai
seragam yang berbeda dengan murid lainnya. Sontak keempatnya terdiam, pura-pura sibuk
dengan makanan mereka masing-masing.
“Hei, sepertinya ada arisan kecil di sini. Boleh mengganggu sebentar?” Tanpa memiliki
rasa kaku sebagai orang baru di lingkungan itu, Ravi menyita perhatian mereka semua.
“Nayna, bukankah Kepala Sekolah memberikan tugas untukmu? Kenapa kamu ke
kantin tanpa mengajakku?” lanjutnya, tanpa menunggu jawaban dari siapa pun.
Nayna memutar bola matanya, “Tugas itu bukan berarti aku menjadi budakmu yang
harus lapor kepadamu ke mana pun aku pergi.”
“Aku tidak berkata seperti itu, tapi kamu juga tidak bisa meninggalkanku di depan
koperasi sekolah seperti tadi.”
“Aku lapar, urusanmu begitu lama dan aku sudah tidak tahan. Lagi pula sekarang kamu
sudah ada di sini. Jadi aku tidak perlu repot-repot memanggilmu, kan?”
Ketiga siswi yang lain hanya terdiam dan melongo, tidak bisa berbuat apa-apa untuk
melerai pertengkaran kecil yang terjadi di depan mereka.
“Baiklah, kali ini aku maafkan.”
“Siapa yang sedang meminta maaf padamu?” Secepat kilat Nayna menyambar
omongan Ravi, membuat pemuda itu cukup terkejut.
“Terserah kamu, yang jelas sekarang aku ingin kamu menemaniku menemui Pak
Raymond, wali kelas kita. Aku tidak tahu yang mana orangnya.” Tanpa basa-basi Ravi menarik
tangan Nayna beranjak dari tempat itu.
13
“Hei, aku belum menghabiskan makananku!”
“Nanti aku ganti.”
“Aku belum bayar.”
“Bisa saat istirahat kedua. Sudahlah, jangan cerewet.”
“Kamu benar-benar anak baru yang tidak tahu diri, bahkan tidak ada kata ‘tolong’ yang
kamu ucapkan saat meminta bantuanku tadi!” Kini Nayna sudah berjalan dengan wajar, tanpa
perlu ditarik oleh Ravi.
Hanya sebuah senyuman yang diberikan Ravi untuk menanggapi keluhan Nayna. Gadis
di sebelahnya begitu galak dan cepat sekali marah, tetapi itu justru membuatnya semakin
tertarik dan penasaran.
“Kenapa kamu tersenyum? Nggak ada yang lucu di sini!”
Ravi mengangkat kedua bahunya.
“Dasar aneh.”
Nayna mempercepat langkahnya, dia benar-benar ingin tugas ini segera berakhir.
“Nama kamu bagus, tapi tidak sesuai dengan sikap dan kelakuan kamu.”
“Apa?”
Nayna menggeleng. Beruntung Ravi hanya mendengarnya lirih.
14
SOK JAGOAN
(Apa kamu mengkhawatirkanku?)
Pulang sekolah yang melelahkan, sungguh melelahkan. Nayna menginjakkan kedua kakinya
di teras rumah. Ia melirik rak sepatu di sudut kanan depan pintu, ada sepatu hitam yang sudah
tidak mengkilat bertengger asal di sana. Ternyata pria itu kembali juga. Nayna pikir dia sudah
lupa pada rumah, lupa kemana dia harus pulang. Atau lebih tepatnya, lupa kalau dia masih
memiliki keluarga.
Perlahan demi perlahan Nayna pun melangkah. Masuk ke rumah sendiri seperti masuk
ke rumah orang asing. Perlu mengendap-endap masuk ke dalam kamar.
“Huft, akhirnya.”
Lega. Ia berhasil lolos dari santapan makan siang sang diktaktor yang ia sebut Ayah.
Kedatangan Nayna tidak diketahui olehnya. Lantas, di mana Fidelis? Di mana si bocah
ngangenin itu? Apakah dia baik-baik saja sekarang? Berbagai pertanyaan langsung menyelinap
ke benak Nayna. Ia melempar tasnya sembarangan, kemudian pergi mencari ke setiap sudut
rumah.
Ada suara gelak tawa yang Nayna tahu persis siapa pemiliknya. Sepertinya dari arah
kamar Ayah. Pelan-pelan ia membuka lebar pintu yang tidak tertutup rapat itu. Dan jantung
yang berdebar kencang kembali normal ketika ia melihat sosok Fidelis tengah mengganggu
ayahnya yang tertidur pulas.
Mungkin pria itu kelelahan setelah berhari-hari bekerja, bermalam-malam tidak pulang,
bahkan hampir seminggu tidak memberi kabar. Tapi mengertikah seorang anak kecil seperti
Fidelis? Bahwa orang yang dipanggilnya Ayah itu, tidak hangat seperti dulu lagi. Ayah kini
sudah berbeda. Sudah bukan pria nomor satu yang paling Nayna kagumi.
“Fidel,” seru Nayna. “Kamu ngapain? Sini!”
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam,”
Ravi tiba di rumah tepat waktu. Tumben sekali. Rina sampai tidak percaya, putra satu-
satunya hari ini benar-benar mengherankan. Selain pulang sekolah langsung pulang,
penampilannya juga tidak berantakan. Kerah baju terlipat rapi, ujung bajunya dimasukkan ke
15
dalam celana, sepatunya masih bersih dan tidak kotor karena main bola, dan bagian belakang
celananya juga tidak kusam karena duduk sembarangan.
Sekolah baru membuat Ravi menjadi pribadi yang baru pula. Rina bersyukur, anaknya
mendapat lingkungan yang tepat.
“Apa kamu baik-baik saja?”
“Menurut Mama?”
Pemuda itu meletakkan tasnya di atas meja, lalu mengambil sebotol air mineral dingin
dari lemari es, dan meneguknya segera.
“Kamu terlihat lebih baik,”
“Ya, aku rasa aku akan betah berada di sekolah itu. Mama harus berterima kasih pada
Pak Azis. Beliau menempatkanku di kelas yang bagus, dengan seorang murid pembimbing
yang menyenangkan.”
Kemudian dia naik ke lantai atas kamarnya, tanpa menunggu respons dari Rina.
Mengganti pakaian untuk berolahraga, dan melepas penat sejenak. Seharian ini mungkin dia
akan memikirkan gadis itu.
Sore yang lumayan terik. Ravi bahkan tidak peduli dengan hal itu, ia tetap memantulkan
bola basketnya ke dalam ring. Hari ini, ia sangat bersemangat.
“Nama kamu bagus, tapi tidak sesuai dengan sikap dan kelakuan kamu.” Pernyataan
Nayna tentangnya begitu mengusik pikiran. Saat itu, Ravi pura-pura tidak mendengarnya
dengan jelas. Padahal sebenarnya ia cukup menangkap maksud dari perkataan Nayna tersebut.
Gadis pemberani, satu-satunya gadis yang bisa menentangnya jika bersalah, yang pandai
menyinggungnya saat berbicara. Dan yang paling penting saat ini adalah, Nayna Askana harus
tahu siapa Ravi Luvian sesungguhnya.
Seminggu ini akan benar-benar dia manfaat untuk dapat menaklukan gadis keras kepala
itu, dan menurutnya itu bukan hal yang susah. Tidak pernah menjadi hal yang sulit bagi seorang
Ravi untuk mencuri perhatian lawan jenis.
Brukkk!
Nayna dan seorang teman laki-laki dari kelas sebelah saling bertabrakan. Buku-buku
yang ia bawa bertaburan di mana-mana.
“Eh, sorry, Na,” kata Ham. “Nggak sengaja.”
“Iya nggak apa-apa.” Katanya singkat sambil memungut buku-buku itu satu per satu.
16
Ham ikut menolong, tetapi tangannya malah menjamah tangan Nayna seperti dibuat-
buat. Membuat Nayna risih, dan mulai kesal dengan tindakannya yang semakin berlebihan. Ia
pun mendorong tangan Ham hingga anak itu merasa tersinggung.
“Kenapa sih, Na? Dibantuin juga.”
“Aku bisa sendiri.”
“Nggak usah belagu.”
“Kenapa sih? Kamu yang nabrak, kamu yang marah.”
Dari jarak yang tidak jauh, tampak Ravi memerhatikan keduanya dengan saksama. Ravi
pun bergegas melerai mereka. Ia segera meraih tangan Ham, menegaskan kepadanya betapa ia
tidak suka dengan perbuatannya.
“Apa-apaan, nih?” Ham berusaha membebaskan tangannya dari genggaman erat Ravi.
Namun tangan itu justru semakin keras mencengkeram.
“Apa yang kamu lakukan, hah?!”
“Memangnya apa yang kulakukan?”
“Hei, kamu pikir aku tidak melihatnya?!”
Kedua mata Nayna seketika menyipit. Ia menyaksikan dengan jelas bagaimana Ravi
membalas perlakuan Ham terhadapnya. Suara anak baru itu, penampilannya, benar-benar
membuat perhatian murid-murid lain tertuju kepadanya.
“Jangan membentakku seperti itu, apa kamu tidak tahu siapa aku?!”
“Siapa? Aku tidak peduli!”
Tangan Ham yang satunya lagi siap untuk melayangkan tinju tepat ke muka Ravi, tetapi
sayang, bocah dari kelas sebelah itu harus merintih dan tersungkur karena justru Ravi lebih
dahulu memukulnya dengan sigap.
“Aku harap aku tidak akan melihatmu bertingkah seperti itu lagi kepada siapa pun.”
“Ayo, Na.”
Tanpa pikir panjang Ravi menarik tangan Nayna untuk ikut bersamanya. Gadis itu
berusaha memasang tampang yang biasa-biasa saja. Sedangkan semua mata yang memandang
mereka sekarang penuh dengan arti yang berbeda-beda.
Tiba di depan kelas, Nayna melepas genggaman tangan Ravi. Setelah melihat raut
mukanya yang masam, barulah Ravi tahu kalau dia pasti akan melempar segala persepsinya
yang menyalahkan, menyudutkan, dan mengatakan bahwa apa pun alasannya, Ravi tetaplah
tidak pantas bersikap seperti tadi. Usahanya untuk tampil menjadi penyelamat akan sia-sia.
Padahal itu memang spontan dia lakukan, bukan karena ingin tampak sebagai penyelamat atau
sejenisnya.
17
“Maksud kamu apa? Mau jadi sok jagoan? Iya?”
Ravi mengangkat satu alisnya. Lalu membuang muka ke arah yang lain.
“Kamu tahu, orang semacam Ham itu banyak banget di sini. Kamu mau pukul mereka
satu-satu? Kamu mau mereka ngeroyok kamu sampai kamu babak belur? Atau kamu mau
dikeluarin dari sekolah? Ketemu orang-orang yang kelakuannya sama, terus hal-hal serupa
bakal terulang lagi dan lagi? Kamu tahu nggak, kamu baru saja berhadapan dengan siapa? Ham
Bramasta, anak ketua yayasan yang terkenal dengan hobinya nge-DO anak-anak dari sekolah.”
Nayna terdiam untuk meghirup dan mengembuskan napas. Rasanya ia ingin memberi
seribu jam ceramah kepada anak baru di depannya, supaya dia mengerti, setidaknya paham
sedikit, kalau tindakannya tadi itu bisa memperkeruh suasana.
Nayna hanya tidak ingin Ham melakukan sesuatu untuk membuktikan kepada Ravi
kalau dia sudah berani berurusan dengan anak ketua yayasan.
Ravi melangkah hingga wajahnya dan wajah Nayna seakan tidak berjarak lagi. Kedua
mata mereka beradu. Nayna bingung harus berbuat apa, tetapi tatapan Ravi sangat menantang,
membuatnya harus menerima tatapan dingin tersebut.
“Kamu khawatir?”
Seketika itu tatapan Nayna berpaling, Ravi bisa merusak ketenteraman hatinya. Atau ia
takut kalau Ravi benar-benar dapat membaca isi pikirannya. Entahlah. Sekarang mereka malah
bertahan dengan sikap tak menentu.
18
AYAH ATAU SIAPA?
(Kami anakmu, jangan perlakukan kami seperti orang asing)
Pagi ini, Fidel tengah asyik menggambar di teras. Sebuah crayon berada dalam genggamannya,
sementara Mbok Win sedang sibuk mencuci pakaian. Bocah itu terlihat begitu menikmati
setiap coretan yang ia buat meskipun harus bermain sendirian (menikmati apa? Kok gantung
banget kalimatnya). Ia terus tersenyum sambil menggumamkan kalimat yang tidak jelas.
Di kamarnya, Bramantyo, ayah Nayna dan Fidel, baru saja selesai mandi. Ia sibuk
memilih pakaian yang tersusun rapi di dalam lemari. Tak berapa lama pilihannya jatuh pada
kaus polo berwarna cokelat serta celana jeans berwarna hitam.
Ia melangkah keluar setelah berdandan rapi.
“Mbok, bikinin saya kopi!” teriaknya sambil duduk di depan meja makan.
Kemudian ia meraih dua roti tawar dan mengoleskan selai cokelat, menumpuknya jadi
satu sebelum memakannya. Ayam goreng serta sayur bening buatan Mbok Win tidak
membuatnya berselera.
“Ini kopinya, Tuan.” Mbok Win meletakkan cangkir porselen putih di hadapannya.
“Mana Fidel?”
“Sepertinya sedang bermain di teras rumah, Tuan.”
Wanita itu kemudian memohon diri setelah merasa tuannya tidak mengajukan
pertanyaan lagi.
Bramantyo melanjutkan sarapan, menghabiskan kunyahan terakhir roti tawar di
mulutnya dan meminum kopi buatan Mbok Win. Pria itu menatap jam dinding, sepuluh lebih
lima belas menit, sudah saatnya untuk pergi.
Ia melangkah menuju teras, dan mendapati Fidelis sedang asyik mencoret-coret tembok
dengan krayon warna merah. Seketika wajah Bramantyo berang, matanya menatap tajam
kepada anak bungsunya tersebut.
“Fidel!” bentaknya, membuat bocah itu melonjak kaget.
“Apa-apaan kamu?! Kenapa kamu coret-coret tembok, bikin kotor saja!” Dengan kasar
Bramantyo mencubit lengan Fidelis, dan merebut krayon dari tangannya.
Fidel menangis, tetapi tak membuat ayahnya berubah lembut.
“Kalau sudah seperti ini siapa yang mau membersihkan?! Kamu selalu saja merepotkan
orang lain!” Ia lantas menarik Fidel masuk ke dalam rumah, tidak peduli dengan tangisan
anaknya yang semakin keras.
Mbok Win lari tergopoh-gopoh dengan wajahnya yang panik.
19
“Ada apa dengan Non Fidel, Tuan?”
“Anak ini coret-coret tembok depan. Lain kali jangan biarkan dia main sendirian. Bisa-
bisa berantakan semua rumah ini!” Bramantyo mendorong Fidelis ke dalam pelukan Mbok
Win. Wajahnya masih menunjukkan kemarahan.
“Saya tidak mau tahu, pokoknya nanti tembok itu sudah harus bersih saat saya pulang,”
lanjutnya.
Fidelis masih menangis di pelukan Mbok Win, ada bekas memar di tangannya. Dengan
prihatin Mbok Win mengusap lembut kepala Fidel, mencoba meredakan tangisan anak bungsu
majikannya. Bramantyo telah berlalu, keluar rumah dengan membanting pintu keras-keras.
“Api. Api.” Di tengah isaknya Fidel menggumam.
“Sebentar, Non, sebentar.” Mbok Win mencoba menahan air matanya. Ia terus berusaha
meredakan tangisan Fidelis.
“Korek. Korek,” lanjut Fidel sambil berusaha melepaskan diri dari pelukan Mbok Win.
Pelukan terlepas, Fidelis berlari menuju dapur. Mbok Win yang panik ikut berlari di
belakangnya. Dia tahu apa yang dicari dan apa yang akan dilakukan Fidelis.
“Apinya. Apinya.” Anak kecil itu terus menggumam sambil berlari.
“Iya, Non, iya. Mbok carikan koreknya, Non Fidel berhenti menangis, ya.”
Dengan sedikit tergesa-gesa Mbok Win mencari korek api di dalam laci, lalu
menyerahkan kepada Fidelis yang langsung tersenyum puas dan kembali berlari menuju
halaman belakang. Lagi-lagi Mbok Win harus berlari mengejarnya.
“Apinya.”
Mbok Win yang masih tersengal-sengal harus buru-buru mencari kertas untuk Fidelis
jika tidak ingin melihatnya kembali menangis. Seperti itu kondisi gadis kecil itu, saat suasana
hatinya tidak menyenangkan, Fidelis akan membakar sesuatu untuk menenangkan
perasaannya.
“Ini, Non.” Dengan napas yang belum kembali normal, Mbok Win menyerahkan
beberapa lembar kertas untuk dibakar Fidelis.
Fidelis tersenyum puas, dan mulai membakar satu per satu kertas di tangannya. Mbok
Win duduk di samping Fidelis, mengawasi agar tidak terjadi sesuatu yang berbahaya. Tatapan
matanya menyiratkan keprihatinan yang dalam. Sesekali tangan lembutnya mengusap rambut
Fidelis dengan penuh kasih sayang.
“Api. Apinya,” ucap Fidelis sembari tersenyum.
20
Nayna duduk di dalam angkot dengan wajah lesu. Seharian di sekolah benar-benar
membuatnya lelah, apalagi alasannya kalau bukan gara-gara Ravi, si murid baru yang selalu
membuatnya kerepotan.
Namun, Nayna juga merasa lega. Hari ini adalah hari terakhir dirinya menemani Ravi.
Itu artinya ia tidak perlu lagi khawatir akan direpotkan oleh pemuda itu, menemaninya ke sana
kemari dan mendapat komentar yang kurang enak dari teman-teman lain.
Selalu berdua bersama Ravi tentu saja membuatnya menjadi objek gosip di sekolah.
Nayna yang inilah, Nayna yang itulah, Nayna dan Ravi pacaran, dan gosip lainnya yang tentu
saja sama sekali tidak benar sampai membuatnya jengkel.
Ia mendesah, membuat sopir angkot di sebelahnya menoleh. Tidak memberikan
komentar, hanya senyum yang diberikan kepada gadis itu.
“Kiri, Bang.”
Sopir angkot segera menepi dan menerima bayaran dari Nayna.
“Cantik-cantik kok cemberut terus, Neng,” tiba-tiba sopir angkot berkata ketika Nayna
hendak turun.
Kalimat itu sedikit membuat Nayna terkejut, tetapi buru-buru ia menutupi dengan
memberikan senyuman. Membiarkan angkot itu kembali melaju dengan perlahan,
meninggalkannya yang kini berdiri di depan pagar rumah. Tampak sepi, bukan sebuah hal yang
baru, rumahnya kini memang selalu sepi.
Ia tahu ayahnya sedang tidak berada di rumah.
Nayna berjalan masuk sesaat setelah ia membuka pagar. Biasanya Fidelis akan berlari
menyambut, tetapi kali ini ia tidak melihat adik perempuannya itu. Mungkin sedang menonton
televisi atau bermain di halaman belakang.
“Assalamu’alaikum.” Nayna mendorong pintu dan melangkah masuk. Lagi-lagi harus
sepi yang menyambutnya.
“Wa’alaikumsalam.” Mbok Win berjalan dari dapur dengan serbet putih tersampir di
pundaknya.
“Fidel mana, Mbok?”
“Non Fidel sedang tidur. Kecapekan mungkin, seharian main di taman.”
Nayna mengangguk-anggukkan kepala, ia berjalan menuju kamar Fidelis. Ada rasa
kangen yang memuncak. Dengan perlahan gadis itu membuka pintu, ia tidak ingin
mengganggu tidur siang adiknya. Nayna tersenyum ketika melihat Fidelis sedang tertidur
pulas.
21
Ia berjalan mendekat, lalu mencium kening Fidelis dengan lembut. Duduk di tepi
ranjang, matanya tidak lepas memandang bocah itu. Sampai ia harus terbelalak ketika
mendapati ada memar kecil di pergelangan tangannya. Nayna langsung berlari keluar kamar.
“Mbok Win, tangan Fidelis kenapa? Apa yang terjadi dengannya?” Nayna bertanya
tanpa henti, membuat wanita tua di hadapannya sedikit gelagapan.
“Ta-tadi Non Fidel bermain di teras rumah, dia coret-coret tembok. Terus dimarahi
sama Tuan,” terang Mbok Win dengan merasa bersalah.
Wajah Nayna berubah sendu, ia kecewa dengan kenyataan yang baru saja didengar.
Ayahnya yang membuat tangan Fidelis memar, benar-benar bukan lagi ayah yang ia kenal.
Dulu ia tidak sekasar itu.
“Maafkan saya, Non. Saya tidak bisa mengawasi Non Fidel.”
Dengan perasaan yang masih kecewa Nayna berusaha tersenyum, “Tidak apa-apa.
Bukan salah Mbok Win. Banyak hal yang harus dikerjakan sama Mbok Win. Nayna tidak
menyalahkan Mbok Win.”
Wanita tua itu mengangguk pelan.
“Ya sudah, dilanjutkan lagi kerjaannya, Mbok. Nayna mau ganti baju dulu.”
Sekali lagi Mbok Win mengangguk, ia memohon diri menuju dapur. Di tempatnya,
Nayna masih berdiri dengan perasaan kecewa. Ia kecewa dengan perubahan sikap ayahnya, ia
kecewa dengan keadaan keluarganya, ia kecewa dengan dirinya sendiri.
Akhirnya gadis itu melangkah gontai menuju kamar. Sekuat tenaga ia menahan agar air
mata tidak mengalir dari kedua matanya yang kini berkaca-kaca. Ada amarah yang berusaha ia
tekan sekuat mungkin.
Detak jarum jam terdengar semakin jelas. Menandakan bahwa waktu memang sudah memasuki
tengah malam. Nayna tiduran di sofa ruang tamu, sengaja belum tidur sebelum ayahnya pulang.
Ada yang harus ia bicarakan dengan ayahnya.
“Hoaaam.”
Sebuah buku paket Bahasa Indonesia yang sudah dia baca sejak tadi membuat Nayna
menguap. Besok adalah try out pertama. Nayna merasa senang sekali. Pasalnya, ia tidak akan
satu kelas selama tiga hari berturut-turut dengan Ravi. Nayna di ruang dua, sedangkan Ravi di
ruang tiga.
Blakkk!
22
Seseorang membuka dan kemudian menutup pintu dengan keras. Kebiasaan buruk
seorang kepala keluarga yang tidak bisa menempatkan sesuatu hal pada waktu yang tepat. Dia
langsung menyelonong ke dapur, mengambil air mineral dari kulkas, menuangnya ke dalam
satu gelas yang ada di meja makan, tanpa menoleh sedikit pun pada Nayna yang jelas-jelas ada
di sana. Membuat gadis itu merasa tidak dianggap. Namun, perasaan itu sudah bosan ia
rasakan. Dan enyah sendiri tanpa pernah ia usir.
“Kita semua tahu kondisi Fidelis seperti apa,” kata Nayna. “Sesalah-salahnya dia, kita
tidak boleh menyakitinya.”
“Memang dia kenapa lagi?” Respons ayahnya yang sudah bisa Nayna tebak.
“Ayah yang membuat tangan kirinya lebam, kan?”
“Itu cuma lebam, bukan hal yang besar.”
“Lebam itu bukan hal kecil, Ayah. Apa pun yang terjadi akan memengaruhi
psikologisnya.”
Dengan santai Bramantyo meletakkannya di dekat gelas bekas minumnya, kemudian
berlalu tanpa berkata apa-apa lagi untuk menimpali ucapan Nayna. Membuatnya benar-benar
merasa sia-sia, dan menyesal setelah ia mencium bau alkohol di gelas itu. Bramantyo masih
memperlakukan Nayna dan Fidelis seperti orang asing, sejak keluarga ini kehilangan
segalanya.
23
DUA TANDA
(Sebuah novel dan sebuah pin untukmu)
Di ruang satu, Debby tampak santai. Dengan berhati-hati ia membalik papan ujiannya. Di sana
ada beberapa tulisan yang sengaja dibuat untuk contekan. Try out kali ini tidak berbeda dengan
ulangan biasa pada umumnya. Dan bagi seorang Debby, nilai tidak akan membuatnya sebegitu
frustrasi. Yang terpenting adalah berhasil menjawab semua soal dan pulang lebih cepat dari
yang lainnya.
Sementara di ruang dua, Inez selalu saja mengganggu Nayna. Gadis yang menjadi ketua
geng itu hanya menunggu jawaban dari teman tanpa mau berpikir sedikit pun untuk
mengerjakannya sendiri. Sedangkan di ruang lima, Yola benar-benar sangat kesulitan. Ia
terlihat seperti sedang berpikir keras demi menemukan jawaban dari dalam otaknya sendiri.
Memang kontras dengan Inez, tetapi mereka tidak memiliki perbedaan yang cukup jauh.
“Selesai.”
Ravi mengumpulkan lembar jawabannya ke meja guru. Lalu pamit kepada guru
pengawas dengan membawa tasnya. Ia menunggu Nayna di depan ruang dua. Sudah hampir
pukul 9 gadis itu belum juga keluar. Padahal pemuda itu menebak bahwa pelajaran Bahasa
Indonesia pasti sangat mudah untuk seorang Nayna yang notabene penyuka sastra.
Di perpustakaan, justru Nayna tengah berkutat dengan buku ensiklopedia pemerintahan
yang akhir-akhir ini amat menyita perhatiannya. Buku-buku semacam itu yang sedang ia incar.
Bel tanda ujian telah usai pun berbunyi. Inez keluar ruangan bersama teman-teman yang
lain. Ia melihat Ravi berdiri bersandar pada tembok.
“Eh, Ravi, nungguin Nayna, ya? Dia kan sudah keluar kelas dari setengah jam yang
lalu,” lanjutnya.
Sontak perkataan Inez membuat Ravi terkejut. Gadis yang ditunggunya ternyata sudah
lebih dahulu menyelesaikan ujian.
“Hei, sejak kapan kamu di sini?” tanya Ravi “Dari tadi aku menunggumu di depan kelas.”
Mendapati Nayna duduk manis di ruang baca perpustakaan benar-benar mengundang
emosinya. Gadis yang dimarahi malah cuek saja. Semakin membuat naik darah.
“Memang aku memintamu untuk menungguku?”
24
“Meskipun tugasmu sudah selesai, tapi itu belum maksimal. Salah satunya tempat ini,
kamu belum menunjukkannya padaku.”
“Aku bukan tour guide. Lagi pula, sekarang kamu sudah tahu tempat ini. Apa
masalahnya?”
“Aku bahkan belum mengerjakan tugas untuk me-review buku ke dalam bahasa
Inggris.”
Perdebatan mereka terdengar sampai ke meja penjaga. Membuat keduanya harus
menerima tatapan sinis dari orang-orang sekitar. Nayna menjadi tidak enak. Ia pun menutup
buku ensiklopedia pemerintahan itu, menarik Ravi keluar. Dan mereka berbicara di koridor
sekarang.
“Kamu yang punya tugas, kamu yang malas, kenapa melapor kepadaku, hah?”
Tak sengaja kedua mata Ravi menangkap judul buku yang Nayna pegang.
“Berapa halaman buku yang kamu baca itu sampai membuatmu seserius ini?” Buku
ensiklopedia yang memaparkan tentang pemerintahan negara-negara di dunia itu memang jenis
buku yang berat. Isinya mencakup kondisi perekonomian, kajian politik, serta masalah dan
tantangan yang dihadapi.
“Buku seperti itu tidak cocok untukmu.” Ravi berkata lagi.
Ia tidak tahu atau pura-pura tidak sadar kalau raut wajah Nayna sudah semakin
memerah menahan kesal. Sambil terus menatapnya, Ravi mengambil sesuatu dari dalam tas.
Sebuah novel romance dengan sampul yang lucu dan judul yang menarik sekali, ia berikan
kepada Nayna.
“Baca buku ini, kamu akan terlihat lebih manis.” Setelah merebut buku ensiklopedia
Nayna dan menukarnya dengan novel romance, Ravi berlalu pergi dan sempat menoleh sambil
mengatakan “Jangan terlalu jutek.”
Benar-benar menjengkelkan. Kali ini laki-laki itu berhasil membuat Nayna tersipu
malu. Dia bilang Nayna manis, dan menyuruhnya mengganti buku bacaan dari ensiklopedia ke
novel romance. Selain itu, menyuruh Nayna supaya tidak terlalu jutek.
Apa maksudnya? Nayna membatin.
Angkot sudah berhenti di depannya, tetapi Nayna ragu untuk menaikinya. Akhirnya, ia naik
bus yang berjalan lambat di belakang angkot tersebut. Dari pintu belakang Ravi juga naik bus
25
yang sama. Dari awal Ravi sengaja untuk mengikuti Nayna pulang. Namun, gadis itu tidak naik
angkot yang biasanya. Ravi jadi penasaran, sebenarnya ke mana ia akan pergi.
Bus itu berhenti di terminal. Semua penumpang yang tersisa turun, karena merupakan
pemberhentian terakhir. Nayna berjalan cepat ke pertokoan sebelah kanan, membuat Ravi juga
harus mempercepat langkahnya.
Ada banyak yang menjual buku bekas dan baru di sana. Harganya sangat terjangkau.
Biasanya kalau ke sini Nayna membeli buku-buku lama. Seperti buku kisah Soe Hok Gie, Sum
Kuning, Munir, dan lain-lain.
“Pak, buku pesanan saya sudah ada?”
“Oh, ada, sebentar.”
Sambil menunggu buku-buku pesanannya diambil, Nayna melirik sejenak ke kiri dan
kanan. Membuat Ravi berbalik agar keberadaannya tidak diketahui.
“Ini, 150 ribu rupiah.”
“Jumlahnya enam kan, Pak?”
“Iya, lengkap, tapi ada dua yang bekas.”
“Oh iya, nggak apa-apa, makasih ya, Pak.”
Setelah membayar dengan uang pas, Nayna pun pulang. Enam buku itu dimasukkannya
ke dalam tas. Beruntung tidak ada yang tebal, karena hanya buku cerita anak dan beberapa di
antaranya adalah komik.
Dengan menaiki bus yang sama seperti tadi, Nayna turun di persimpangan jalan.
Dengan sigap Ravi juga turun di situ. Ketika sampai di gang kompleks, tali tas Nayna putus.
“Yah.”
Melihat itu Ravi langsung menghampiri Nayna sambil melepas pin bergambar
Hoobastank dari tasnya. Pin itu dipasang ke tali tas Nayna supaya bisa digunakan lagi.
“Isi tasmu terlalu berat. Lihat! Sudah berapa kali kamu menjahitnya?”
“Bukan urusanmu.”
“Hei, harusnya kamu berterima kasih kepadaku?”
“Apa kamu mengikutiku? Sudah yang keberapa kali? Jangan harap aku akan berterima
kasih kepadamu setelah apa yang kamu lakukan hari ini terhadapku.”
Segera Nayna meninggalkan Ravi begitu saja. Membiarkan laki-laki itu terpaku dengan
segala pemikiran yang tidak bisa ditebaknya. Ia melihat Nayna menyampirkan tasnya sebelah.
Pin bergambar Hoobastank itu padahal sangat membantu. Namun, Nayna seperti tidak
membutuhkannya dan hal itu membuat Ravi kecewa.
26
CERITA IBU WARUNG
(Lalu, apa yang harus kulakukan sekarang?)
Kamis, jam pelajaran keempat, Pak Rozak mengajar pelajaran Bahasa Indonesia di kelas
Nayna. Try out yang berlangsung selama tiga hari telah selesai, pelajaran kembali berjalan
sesuai jadwal sebelumnya.
“Baiklah, untuk tugas minggu depan kalian harus membuat makalah tentang unsur-
unsur yang ada pada sebuah novel. Ada enam novel yang sudah Bapak siapkan. Dan tugas kali
ini dilakukan secara kelompok. Bapak yang akan membentuk kelompok kalian menjadi enam
kelompok dan masing-masing beranggotakan lima orang.”
Sontak suara gaduh terdengar memenuhi kelas. Berbagai komentar bernada protes
keluar dari beberapa mulut siswa yang merasa keberatan dengan tugas yang diberikan.
“Pak, masa tugas lagi? Kan minggu kemarin udah,” protes Alfian, murid paling bandel
di kelas itu.
“Tugas kali ini untuk menutupi kekurangan nilai kalian. Masih banyak yang nilainya
tidak tuntas dan butuh perbaikan,” jawab Pak Rozak.
“Kami pilih sendiri saja kelompoknya, Pak. Atau sesuai urutan absen.” Inez ikut
berkomentar.
“Tidak bisa, kali ini Bapak yang menentukan. Biar di setiap masing-masing kelompok
merata.”
Masih dengan keluhan mereka yang tampak tidak siap dengan tugas makalah ini, semua
siswa mendengarkan pembagian kelompok. Menunggu nama mereka dan teman yang akan
menjadi kelompok mereka nantinya disebutkan oleh Pak Rozak.
Ada yang berteriak girang ketika tahu dirinya satu kelompok dengan salah satu bintang
kelas, tetapi terdengar pula desahan kecewa dari beberapa siswa yang tidak puas karena
mendapat teman kelompok yang terkenal malas. Termasuk Nayna.
Gadis itu terlihat tidak begitu puas setelah ia mengetahui teman satu kelompoknya
adalah Inez dan kawan-kawannya. Tentu saja itu artinya dia akan lebih banyak bekerja seorang
diri. Meskipun ia juga merasa cukup lega karena tidak ada nama Ravi, tetapi Alfian yang tidak
jauh berbeda dengan Ravi. Berandalan yang sudah pasti lebih menjengkelkan juga.
Sementara di bangkunya, Ravi juga terlihat kecewa. Ia tidak satu kelompok dengan
gadis jutek yang duduk tepat di depannya. Pemuda itu mencolek punggung Nayna dengan
ujung pulpen, membuat Nayna sedikit terkejut dan langsung menoleh dengan wajah galaknya.
“Apa?”
27
“Bagaimana kalau aku masuk kelompokmu saja, biar si Alfian pindah ke
kelompokku?” Ravi bicara sedikit berbisik karena tidak ingin menarik perhatian guru laki-laki
yang masih berdiri di depan.
“Mana bisa. Ada-ada saja. Aku justru merasa beruntung tidak satu kelompok
denganmu.”
“Aku lebih pintar dari Alfian.”
“Dan juga lebih menyebalkan. Alfian memang tidak begitu pintar, tapi masih jauh lebih
baik darimu yang cerewet,”
Ravi mendengus, “Ya sudah, tapi kamu harus tetap bantu aku untuk me-review tugas
Bahasa Inggrisku.”
Nayna mengangkat satu alisnya, “Kenapa harus? Itu tugasmu dan sudah se-ha-rus-nya
kamu sendiri yang mengerjakan.” Ia sengaja mengeja kalimat yang diucapkan.
“Tapi....”
“Pokoknya aku tidak mau. Kamu sendiri kan yang bilang kamu lebih pintar dari Alfian?
Buktikan saja ucapanmu itu,” ucap Nayna dengan gaya menantang.
Ravi menggaruk kulit kepalanya yang tidak gatal. Berbicara dengan gadis ini memang
selalu mengundang perdebatan yang tidak jelas. Namun, hal itu justru membuat Ravi tertarik
untuk mencari tahu sejauh mana Nayna akan menghadapai seorang Ravi dengan gaya
angkuhnya.
“Na... na... na, kita semua senang bisa satu kelompok denganmu. Murid paling pintar di sekolah
ini.” Yola berkata dengan mata berbinar, sementara tiga orang lainnya juga menunjukkan
ekspresi serupa.
“Iya, pasti nanti nilai kelompok kita yang paling bagus, deh.” Debby tidak ketinggalan
memberikan komentar sambil merangkul pundak Nayna.
“Jadi, kapan kita akan mulai mengerjakan tugas ini?” lanjutnya.
“Secepatnya lebih baik,” jawab Nayna sekenanya.
“Baiklah, besok saja kita mulai mengerjakan tugas ini. Tapi, mau ngerjain di mana?”
Alfian bergantian menatap teman-teman satu kelompoknya.
Hening sejenak, mereka sama-sama mencari jawaban atas pertanyaan dari satu-satunya
cowok di kelompok itu.
28
“Eh, bagaimana kalau di rumah Nayna saja? Sekalian kamu jadi ketua kelompok, lagi
pula kamu kan paling pintar di antara kita.” Inez yang sejak tadi diam akhirnya memberi saran.
Sebuah saran yang sontak membuat Nayna terkejut.
“Iya, benar banget tuh. Gimana, pada setuju kan?” Alfian membuat Yola dan Debby
mengangguk bersamaan.
“Gimana, Nayna?” lanjutnya.
Nayna gugup, “Ja-jangan, jangan di rumahku.”
Semua menatap heran ke arahnya sekarang, membuat Nayna semakin gugup. Secepat
mungkin harus ada alasan yang ia katakan pada mereka. Alasan yang masuk akal dan bisa
diterima. Nayna memaksa otaknya berpikir cepat.
“Tempat lain saja, yang lebih nyaman kan banyak. Rumahku dekat sama jalan raya,
terlalu bising, banyak kendaraan yang lewat setiap detik, panas juga. Nanti kita jadi susah
konsentrasi.” Nayna menggigit bibir bagian bawahnya.
“Artinya selama ini kamu tidak pernah konsentrasi saat belajar? Tapi kenapa nilaimu
selalu yang paling tinggi?” Inez menatap Nayna tajam, satu alisnya naik.
“Emm... itu karena aku selalu memakai earphone dan mendengarkan musik saat
belajar. Jadi nggak terganggu dengan suara jalan. Masa iya kita kerja kelompok, tapi masing-
masing pakai earphone. Aneh banget.”
Inez terlihat masih ragu dengan alasan Nayna yang terkesan menutupi sesuatu.
“Terus mau di mana? Nggak mungkin kalau di rumahku, cukup jauh soalnya.”
“Gimana kalau di kafe atau warung kopi?” Nayna berusaha membuat dirinya antusias
saat mengucapkannya.
“Setuju, itu ide yang bagus. Aku tahu di mana kafe yang cocok. Ramai, tapi tempatnya
luas.” Ucapan Alfian semakin membuat Nayna dapat bernapas lega.
“Ya, ya. Terserah mau di mana pun yang penting tugas ini cepat selesai,” sambung Inez
akhirnya. Meskipun setelah itu ia kembali menatap Nayna dengan curiga.
Ravi keluar dari sebuah mobil hitam mewah ketika ia sampai di depan gang kompleks, tempat
dirinya melihat tali tas Nayna yang putus.
Ada sebuah misi yang akan ia lakukan, apalagi kalau bukan memaksa Nayna untuk
membantunya mengerjakan tugas Bahasa Inggris. Walaupun sebenarnya itu hanya sebuah
alasan supaya Nayna bisa bersikap lembut kepadanya.
29
Laki-laki dengan tinggi hampir 175 cm itu masih berdiri, tempat ini begitu asing
baginya. Ia sama sekali belum pernah masuk ke dalam, dan parahnya tidak tahu juga yang
mana rumah milik keluarga Nayna. Waktu itu, hanya sampai di sini ia membuntutinya.
Langkahnya mulai memasuki gang, tatapannya mencari-cari rumah Nayna. Namun,
ternyata tidak semudah itu. Sekarang ia menemukan sebuah persimpangan yang membuatnya
berpikir lama, arah mana yang akan ia ikuti. Beruntung ada sebuah warung yang tidak jauh dari
persimpangan tersebut.
“Permisi, Bu. Beli rokoknya satu bungkus.” Sebuah alasan untuk memulai percakapan.
“Ini, Mas.”
“Terima kasih. Maaf, Bu. Mau tanya, kalau rumahnya Nayna, yang mana ya, Bu?”
“Nayna siapa ya, Mas?”
“Nayna anak SMK Bina Nusantara, Bu. Waktu itu saya sempat lihat dia lewat sini.”
Ravi berusaha meyakinkan. Dan dirinya dapat tersenyum puas ketika melihat lawan bicaranya
mengangguk.
“Oh, anaknya Bramantyo. Dari sini tinggal lurus saja, Mas. Nanti ada rumah di sebelah
poskamling, catnya warna biru. Itu rumah Nayna.” Ibu penjual menggunakan tangannya untuk
menunjukkan arah kepada Ravi.
“Tapi hati-hati lho, Mas. Bapaknya galak. Adiknya Nayna autis, jadi Nayna lebih sering
di rumah, nggak boleh ke mana-mana juga sama si Bramantyo itu.”
Setelah mendengar pernyataan-pernyataan dari ibu warung tentang keluarga Nayna,
Ravi berjalan ke tempat tujuan sambil membuang rokoknya ke tempat sampah. Langkahnya
begitu kecil, lidahnya kelu, tubuhnya terasa melemas. Apa yang telah diceritakan ibu warung
membuatnya ragu.
“Haaa, apa yang harus kulakukan sekarang?”
Pemuda itu pun mengurungkan niatnya untuk mengunjungi rumah teman sekelasnya.
Ia takut kalau nanti hubungannya dengan Nayna semakin rumit, bahkan mungkin Nayna bisa
semakin membencinya. Ravi membalikkan badan, kembali menuju mobil hitam mewahnya.
30
FIDELIS DAN APINYA
(Siapa yang menuliskan puisi ini?)
“Apa cuma aku yang merasa aneh dengan sikap Nayna? Dia seperti tidak memperbolehkan
kita main ke rumahnya,” ujar Inez kepada Yola dan Debby.
Mereka berjalan menuju kantin. Istirahat kali ini Nayna tidak ikut bergabung karena
dibawa paksa Ravi untuk mengikuti kemauannya.
“Ah, bukankah dia sudah memberikan alasan? Untuk apa masih memikirkannya?” Yola
menanggapi.
“Iya, lagi pula aku dengar, Nayna memang tidak pernah mengajak siapa pun main ke
rumahnya. Mungkin karena dia bukan tipe orang yang suka buang-buang waktu. Sehari-hari
selalu dihabiskan untuk belajar, belajar, dan belajar.” Debby memberi tahu apa yang dia
ketahui tentang teman sebangkunya tersebut.
Lalu kedua mata Inez menangkap sosok Pilla. Siswi berkacamata itu tengah menyedot
minuman dingin yang baru saja dibelinya. Dia merupakan teman Nayna sejak SMP, bahkan
keduanya sangat dekat. Namun sejak kenaikan kelas XII, mereka seperti berjauhan, tidak
sedekat dulu lagi.
“He-hei, itu Pilla, kita tanya saja padanya.” Inez memberi usul.
Yola dan Debby mengangguk setuju. Mereka pun menghampiri Pilla. Ketika
pandangan Pilla melihat tiga orang yang sekarang menjadi teman dekat Nayna, Pilla memasang
raut wajah yang masam. Membuat Inez mengernyitkan dahi.
“Hai, Pilla,” sapa Yola sedikit tidak nyaman.
“Ada apa? Kalian mau tanya apa?”
Ternyata Pilla dapat membaca isi pikiran ketiga teman di hadapannya. Yola dan Debby
jadi saling melirik. Sementara Inez nyaris salah tingkah. Tapi dia berhasil mengendalikannya.
“Tidak ada.” Dengan sinis Inez menjawab.
“Ka-kami hanya ingin menyapamu.” Yola mencoba mencairkan suasana.
Seketika itu Pilla langsung meninggalkan mereka.
Debby tidak habis pikir, kenapa banyak perempuan cantik yang aneh di sekolah ini?
Bahkan di antaranya adalah teman-temannya sendiri.
“Ha, dia begitu dingin. Apa kita pernah membuat kesalahan?”
“Aku rasa dia ketularan Nayna, atau Nayna yang ketularan dia.”
“Atau lebih tepatnya mereka sama. Hei Deb, kamu harus berhati-hati. Kamu bisa saja
menjadi seperti mereka saat lulus nanti.”
31
“Jangan menyumpahiku, Nez. Aku yakin mereka punya situasi yang berbeda.”
Pilla yang tidak benar-benar pergi dari mereka, mendengar apa yang mereka
perbincangkan. Ia membalikkan badan, mendekati mereka dan menunjukkan minatnya untuk
menjadi lawan bicara. Membuat Inez, Yola, dan Debby tertegun serentak.
“Apa yang kalian ingin tahu tentang Nayna?”
Hari yang masih sama, selalu sunyi. Siang ini, kompleks tampak lengang. Padahal seseorang
mengikutinya, tapi Nayna tidak sadar. Saat ia tiba di depan pagar rumah, barulah menoleh ke
belakang. Dan mendapati Ravi sedang berdiri tak jauh darinya. Laki-laki itu harus siap
menerima raungan.
“Kenapa kamu mengikutiku? Aku butuh ketenangan.”
“Aku bahkan sudah di sini. Kamu tega mengusirku?”
“Aku bilang aku butuh ketenangan. Aku sedang ingin sendiri. Tolong-jangan-
mengusikku.” Nayna mengeja per kata kalimat terakhirnya.
Ketika ia ingin masuk, Ravi malah meraih tangannya, mencegah. Lalu terdengar teriak
ketakutan dari dalam. Nayna tahu betul pemilik suara nyaring itu. Lantas ia melepas
genggaman tangan Ravi, dan terburu-buru menuju ke sumber suara. Setelah sempat berpikir
apa yang telah terjadi, Ravi pun menyusulnya.
“Fidel?”
Bocah itu duduk bersimpuh di taman belakang. Air mata terlihat jelas masih bercucuran
dari kedua matanya. Dan tak jauh darinya, sebuah lolipop tergeletak di atas rumput. Sepertinya
Fidel tidak sengaja menjatuhkannya.
Tak berapa lama, Mbok Win datang dengan koran bekas dan korek api. Hal biasa yang
pertama kali dilakukan saat peristiwa semacam itu terjadi adalah, membakar apa pun di depan
Fidelis hingga bocah itu merasa tenang kembali.
Ravi menjadi tertegun, dan semakin tertegun saat melihat Nayna memeluk Fidelis
sebegitu sayangnya. Gadis yang mulai mencuri perhatiannya sejak pertemuan pertama itu
tampak berbeda sekali dari biasanya.
“Sudah ya, yang jatuh jangan ditangisi, kan masih ada lolipop yang disimpan sama
Mbok Win. Kamu boleh pilih mau rasa apa, oke?”
32
Nayna berkata ketika tangis Fidelis mulai mereda, hanya tinggal suara cegukan yang
membuatnya semakin terlihat lucu.
Sambil digendong, bocah itu pun tersenyum kecil, dan mengusap air matanya sendiri
saat menangkap sosok Ravi. Laki-laki pertama yang dibawa kakaknya ke rumah. Namun
seperti tidak kelihatan asing, justru Fidelis malah terus menatapnya. Tatapan ramah seperti
sudah saling melihat sebelumnya.
Setelah mengantar Fidelis ke dalam kamar, Nayna mengantar Ravi sampai depan pagar.
Ia tidak akan membiarkan anak itu berlama-lama di rumah ini. Sebuah rumah yang tidak lagi
nyaman untuk ditempati.
“Anggaplah kamu tidak pernah melihat apa-apa. Hari ini baik-baik saja. Kamu tidak
perlu memikirkan banyak hal. Semoga harimu lebih menyenangkan.”
Kalimat-kalimat Nayna sangat ambigu. Ravi sampai bingung bagaimana harus
menanggapinya. Pagar rumah itu langsung ditutup dan dikunci. Membuat Ravi tidak bisa
memanggil Nayna lagi. Mungkin sekarang waktunya untuk mengerti dan memahami. Fidelis
menjadi sebuah perenungan tentang Nayna.
“Na... pulang sekolah nanti bisa ikut kita ke kafe pink? Tapi bukan buat kerja kelompok. Alfian
mau traktir kita, dia kan habis jadian sama Yola,” ajak Inez ketika Nayna datang dengan
semangkok baksonya.
Sontak membuat Yola tersipu malu, “Apaan sih, Nez?”
“Nggak apa-apa kok, Yol. Alfian itu lumayan, lho. Menurutku dia tipe cowok yang
penyayang, sekali jalan sejuta melayang,” kata Debby melemparkan joke.
“Iya iya, kayaknya dia juga setia, siap terima apa adanya.”
“Satu lagi, satu lagi. Jangan-jangan dia itu tamtama, jatuh cinta pada pandangan
pertama. Hahahaha....”
“Apaan sih, Deb?” Inez memasang tampang datarnya.
“Yah, walaupun tidak sekeren murid baru itu,”
“Siapa?” Yola menaikan satu alisnya.
“Ravi,” jawab Inez sambal tertawa kecil.
Mendengar nama laki-laki itu disebut, Nayna jadi tidak napsu makan. Beruntung dua
adik kelasnya yang muncul tiba-tiba berhasil mencegah niatnya untuk melamun. Mengingat
kejadian kemarin siang bukanlah sesuatu yang menyenangkan.
33
“Kak Nayna, tulisan kakak yang ditempel di mading bagus lho, Kak,” ujar salah
satunya.
Yang satunya lagi bertanya, “Iya, apa itu kisah nyata?”
Tulisan? Kisah nyata? Nayna jadi kebingungan. Ia dibuat heran oleh dua orang yang
terlihat antusias menemuinya.
Tanpa berlama-lama, Nayna sudah ada di depan mading. Rasa penasarannya pun
berubah menjadi rasa kesal ketika ia membaca judul tulisan satu-satunya yang terbit di hari itu.
Fidelis dan Apinya.
Lalu apa yang akan ku lakukan?
Ketika melihat seorang gadis kecil yang autis harus memiliki kelainan tambahan
Lalu apa yang harus ku lakukan?
Ketika melihat gadis kecil autis begitu bahagia hanya karena melihat api
Fidelis, nama gadis kecil itu
Gadis kecil yang memiliki kelainan ganda, sangat memprihatinkan
Tertulis jelas di sudut kiri bawah, penulisnya adalah Nayna. Sebuah tulisan yang
mengungkapkan rasa iba seseorang terhadap bocah kecil bernama Fidelis itu sangat
meningkatkan hormon di dalam tubuhnya. Dengan kasar Nayna mencopot kertas tersebut, dan
membawanya ke ruang mading.
“Siapa yang menerbitkan tulisan ini?” Nayna menggertak meja.
Ia menghadap tepat ke ketua mading, Elsa, adik kelasnya.
Kedatangan Nayna yang tiba-tiba membuat Elsa dan beberapa anggota OSIS yang ada
di ruang mading saat ini menjadi ketakutan. Bagaimana tidak? Nayna mantan anggota OSIS
yang pernah menjabat sebagai ketua pelaksana. Untuk pertama kalinya dia menginjakkan kaki
lagi di ruang OSIS, tapi dengan suasana hati yang tidak damai.
34
TERCIPTA JARAK
(Bukan aku yang melakukan itu. Percayalah!)
Nayna duduk di bangkunya dengan wajah merah padam, jelas sekali ia sedang berada dalam
kondisi gusar dan marah. Kertas yang sudah tak berbentuk berada pada genggaman tangannya,
ia remas dengan sekuat tenaga. Sebagai pelampiasan emosi kepada seseorang yang sekarang
entah berada di mana.
Tulisan yang konyol. Nayna tahu siapa yang membuatnya. Sudah pasti Ravi, tidak
mungkin orang lain. Memang, kedatangannya ke ruang OSIS tadi tidak menghasilkan apa pun.
Anak-anak OSIS tidak tahu siapa yang memasang puisi itu. Tapi, laki-laki menyebalkan yang
kemarin datang ke rumah dan melihat semua yang dilakukan Mbok Win untuk menenangkan
adiknya. Dan Ravi juga pasti sudah tahu, bagaimana kondisi Fidelis, lalu membuat tulisan ini
untuk mempermalukannya.
Gadis itu harus mengencangkan rahangnya untuk menahan amarah. Dia masih
menunggu laki-laki itu datang, kesabarannya sudah habis sekarang. Apa yang dilakukan Ravi
sudah keterlaluan, dan dia akan memarahinya habis-habisan. Tidak ada yang bisa menahannya.
Yang ditunggu akhirnya menampakkan diri, dia berjalan dengan santai menuju bangku.
Melewati Nayna seolah tak pernah terjadi apa-apa, membuat amarah Nayna semakin besar.
Gadis itu berdiri, menghampiri Ravi dengan sangat tidak tenang. Sampai membuat mata bening
Ravi menatap Nayna dengan heran.
“Ada apa?”
“Kali ini kamu benar-benar sudah keterlaluan. Sebenarnya apa maumu terus-terusan
menggangguku, hah?!” Nayna berbicara dengan bergetar. Matanya berkaca-kaca, mungkin
sudah menangis sejak tadi jika ia tidak berusaha menahannya.
Saat ini, suasana kelas sedang kosong. Karena semuanya berada di Laboratoriun
Bahasa. Nayna tidak perlu khawatir ada yang akan mengetahui peperangannya dengan Ravi.
Sementara Ravi semakin heran, tidak mengerti dengan apa yang dibicarakan oleh gadis
di hadapannya. Dia baru datang dan tiba-tiba mendapat tuduhan yang sama sekali tidak
menyenangkan. Bahkan dirinya tidak pernah berniat untuk mengganggu Nayna.
“Apa maksudmu, Nayna? Aku benar-benar tidak mengerti kenapa tiba-tiba kamu
menghampiriku dengan emosi seperti ini?”
Nayna tersenyum sinis, “Sejak pertama melihatmu, aku sudah tahu kamu itu anak yang
menyebalkan. Tapi, aku benar-benar tidak menyangka sampai sejauh ini usahamu untuk
mempermalukanku.” Napas Nayna tersengal.
35
“Apa salahku sampai kamu tega melakukan itu kepadaku?” lanjutnya.
“Hei, aku benar-benar tidak mengerti. Sebenarnya apa yang membuatmu emosi?”
Nayna melemparkan kertas yang sejak tadi dia remas, tepat ke wajah Ravi, “Ini! Kamu
yang membuatnya, kan? Tentu saja, siapa lagi kalau bukan kamu. Keterlaluan!”
Ravi memungut kertas yang jatuh di lantai, dengan rasa penasaran ia membukanya.
Raut wajah cowok beralis tebal itu berubah seketika setelah ia membaca semua yang tertulis.
“Demi Tuhan, Nayna, aku sama sekali tidak tahu siapa yang menulis ini. Bukan aku.”
Ia menatap Nayna dengan nanar. (Mungkin puisinya bisa ditampilkan?)
“Apa tujuanmu menulis semua itu, hah?! Supaya semua orang mengasihani aku, iya?
Biar semua anak-anak menghina aku? Dan akhirnya mereka tahu siapa aku?” Mata Nayna
semakin berkaca-kaca, membuat Ravi salah tingkah.
“Kalau itu tujuanmu, kamu berhasil. Selamat!” Kali ini air mata Nayna menetes begitu
saja.
“Na, Nayna, aku...”
“Mulai sekarang, jangan lagi meminta bantuan apa pun dariku. Aku benar-benar tidak
ingin melihatmu!” Nayna mendorong Ravi sekuat tenaga hingga pemuda itu mundur beberapa
langkah.
“Nay.... Nayna!”
Sia-sia. Gadis itu berlari keluar kelas dengan air mata yang masih mengalir. Ravi
terdiam di tempatnya, tertunduk lesu, menatap kosong coretan-coretan berwarna biru pada
kertas yang tadi dilempar dengan kasar oleh Nayna. Batinnya juga bertanya-tanya siapa
pembuat puisi itu, puisi yang justru membuat Nayna salah paham dan semakin membencinya.
Ia menghela napas, lalu meremas kuat-kuat kertas di tangannya.
Hari yang berat untuk Ravi. Setelah pertengkarannya dengan Nayna kemarin, dia belum
bertegur sapa dengan gadis itu sampai istirahat kedua berlangsung. Padahal mereka satu kelas,
bahkan Nayna duduk persis di depannya. Namun, seakan ada tembok tak kasat mata yang
menjulang tinggi membatasi mereka.
Nayna tidak menggubrisnya ketika Ravi berusaha untuk menjelaskan. Ia bahkan
semakin bersikap dingin dan angkuh. Ravi mengerti, semua kalimat dalam puisi itu memang
menyakitkan bagi Nayna, tetapi dia juga harus menjelaskan bahwa bukan dirinya yang menulis
untuk mading sekolah.
36
Pemuda itu menyeruput kopi kalengnya, bersamaan dengan matanya yang menangkap
sosok Nayna berjalan dari arah perpustakaan. Sontak Ravi berlari menghampirinya.
“Na, Nayna,” setengah berteriak ia menghentikan langkah Nayna.
Nayna menoleh sejenak, menatap sinis ke arah Ravi lalu kembali melanjutkan
langkahnya. Tidak peduli dengan Ravi yang berusaha mensejajarkan langkah dengannya. Rasa
tidak suka Nayna kepada pemuda itu semakin besar.
“Na, kita harus bicara.”
“Apa kamu tidak mengerti? Aku tidak ingin berbicara apa pun denganmu, bahkan kalau
bisa aku tidak ingin melihat wajahmu. Menjauhlah dariku!” tutur Nayna tanpa menghentikan
langkahnya, menatap tajam kea rah Ravi.
“Bukan aku yang menulis puisi itu dan menempelnya di mading. Bukan aku, Nay!”
“Menjauh dariku atau kamu tidak akan pernah melihatku lagi di sekolah ini.”
Ravi tertegun. Nayna mengancamnya. Gadis itu benar-benar tidak mau mendengar
perkataannya.
Bukan aku yang melakukan itu, Nayna, batin Ravi dengan perih.
Dengan penuh perhatian Nayna mengawasi Fidelis yang asyik bermain di halaman depan.
Beberapa hari ini Bramantyo tidak pulang ke rumah, entah di mana dan apa yang dilakukan
pria itu. Nayna tidak tahu, bahkan tidak mau tahu lagi.
Mbok Win datang dari dapur dengan membawa sebuah piring berisi nasi dan beberapa
jenis lauk. Ia menghampiri dua kakak beradik itu. Nayna menyambutnya.
“Mbok, biar aku saja, ya.”
“Iya, Non. Silakan.” Mbok Win menyerahkan piring itu kepadanya.
Dengan hati-hati Nayna mulai menyuapkan nasi ke mulut Fidel. Bocah itu melahapnya,
meski harus tercecer ke mana-mana. Nayna tetap telaten membersihkan butir-butir nasi yang
menempel di sekitar mulut Fidel. Terlihat jelas rasa kasih sayang darinya.
“Mbok Win, apa Mbok percaya kalau kita sabar menghadapi sebuah masalah, Allah
akan mengangkat derajat kita?” tanya Nayna lirih, tiba-tiba.
Mbok Win sempat tertegun, tetapi segera sebuah senyum menghias di bibirnya, “Itu
benar, Non. Siapa pun yang sabar dalam menghadapi masalah yang terjadi di hidupnya pasti
akan mendapat kemuliaan di mata Allah.”
37
“Apa aku dan Fidelis bisa merasakan kebahagiaan seperti orang-orang lain, Mbok? Ah,
aku tidak usah, cukup Fidelis saja yang merasakannya. Bisakah, Mbok?”
“Pasti, Non, Pasti. Non Nayna harus yakin, semua ini adalah ujian dari Tuhan untuk
menguatkan Non Nayna dan Non Fidel. Kelak, pasti kalian akan bahagia. Non Nayna harus
yakin itu.”
Tiba-tiba pundak Nayna bergetar. “Nayna takut nggak kuat menghadapi ini sendirian,
Mbok.” Ada air mata yang mulai menetes di kedua pipinya.
Mbok Win terkejut, lalu buru-buru mengusap rambut Nayna. Nayna merebahkan
kepalanya di pundak Mbok Win, melepaskan lelah yang dirasakannya selama ini. Fidelis tetap
asyik bermain di hadapan mereka. Jelas tidak akan paham dengan situasi yang sedang terjadi.
“Nayna rindu keharmonisan rumah ini, Nayna pengin kita kayak dulu lagi.”
38
PILLA
(Suatu saat aku akan menjadi sangat penting bagimu)
Pagi ini Nayna bangun agak kesiangan. Pukul 6 pagi ia baru bersiap-siap untuk mandi.
Bramantyo nyelonong ke dalam kamarnya. Pria itu mengacak-acak semua lemari, laci,
hingga tempat tidur Nayna, mencari sesuatu. Ketika Nayna keluar dari kamar mandi, ia terkejut
mendapati ayahnya dengan beringas mengubah kamarnya menjadi berantakan dalam sekejap
saja.
“Apa yang Ayah lakukan?”
“Di mana dompetmu? Di mana kamu menyimpan uang pemberian ibumu? Di mana?
Cepat katakan!”
Lagi-lagi hal itu yang dipertanyakan. Nayna tidak tahu selama ini apa sebenarnya yang
Ayah lakukan dengan uang pemberian Ibu. Mengembalikannya atau mempergunakannya
untuk kepentingan pribadi. Setiap uang itu diminta dengan paksa, Nayna selalu
memberikannya. Tapi kenapa sekarang begini caranya?
Nayna tidak habis pikir. Kedua matanya pun akhirnya melirik ke arah tas yang biasa ia
pakai ke sekolah, yang tergantung di balik pintu. Lantas membuat pria itu dengan liar
mengubrak-abrik tasnya.
“Ambil semua, semua yang Ayah butuhkan. Karena hanya itu yang bisa membuat Ayah
bertahan hidup. Tidak peduli bagaimana kami di sini, tidak peduli bagaimana Ibu berjuang
memberikannya kepada kami. Ambil sesuka Ayah, sampai Ayah puas.”
Menunggu perkataan Nayna selesai, Bramantyo baru mendekatinya. Melayangkan
sebuah tamparan yang cukup keras ke pipi kiri anak gadisnya, hingga air mata bercucuran tanpa
henti. Dan tak membuat laki-laki itu merasa bersalah atau menyesal,
Lalu pria itu mengunci pintu kamarnya dari luar. Membuat Nayna harus meringkuk,
menangisi kejadian pagi ini.
Bukan sakit akibat tamparan yang membuat Nayna terus menangis ditempatnya
sekarang, ada yang lebih menyakitkan dari itu. Jauh lebih menyakitkan, yang dia rasakan dalam
hatinya.
“Hari ini Nayna tidak masuk,” kata Debby setelah membaca pesan singkat dari Nayna di
ponselnya.
39
Inez menoleh ke belakang, “Haaa, tidak masalah, lagi pula hari ini tidak ada PR.”
“Tapi kita belum mengerjakan tugas kelompok, lusa sudah harus dikumpulkan.
Bagaimana ini?” Yola ikut nimbrung.
“Ah, suruh saja Nayna yang mengerjakannya.”
“Iya, selama ada dia, kita tenang saja.”
Tak lama, bel pun berbunyi. Ravi masuk ke dalam kelas, dan duduk di bangkunya. Ia
heran karena bangku Nayna kosong. Lalu mendekati Debby untuk menanyakannya.
“Deb, Nayna ke mana?”
“Hari ini Nayna nggak masuk.”
“A-apa?” Ravi sedikit terkejut. “Memangnya kenapa?”
Ia berharap Nayna tidak benar-benar menepati omongannya waktu itu.
Debby mengangkat bahu. “Dia hanya bilang dia tidak masuk hari ini.”
Jawaban Debby semakin membuat Ravi bingung. Apa Nayna semisterius itu pada
teman-teman dekatnya sendiri? Atau Ravi yang belum terbiasa dengan sikap Nayna yang
tertutup?
Apakah Nayna baik-baik saja? Apakah Nayna benar-benar akan pergi dari sekolah ini?
Hah, Ravi menelungkupkan wajah dengan kedua tangan. Baru kali ini dia dibuat pusing oleh
seorang gadis.
Istirahat pertama, tinggal Ravi yang masih betah berada di dalam kelas. Ia memikirkan Nayna.
Nayna tidak masuk sehari saja, rasanya ia seperti kehilangan nafsu makannya.
Sementara Pilla berdiri di depan pintu kelas XII- Pemasaran 1. Gerak-geriknya sama
sekali tidak tenang. Membuat seseorang menghampiri, dan tanpa sengaja justru
mengejutkannya.
“Eh, Pilla.”
“Eh, hai...”
“Kamu cari Nayna, ya? Dia nggak masuk hari ini.”
“Ohh...”
“Ya udah, aku duluan ya, daaah.”
“Daaah.”
Huuu, Pilla mengembuskan napasnya, lega.
40
Setelah suasana dirasa aman dan tepat, akhirnya Pilla masuk ke dalam kelas, dan
mendekati Ravi yang tengah menggambar sesuatu di buku tulisnya.
Dengan sekuat hati, Pilla memberanikan diri menyapa laki-laki itu. Laki-laki yang dari
awal sudah ia sukai. Yang sejak pertama kemunculannya sudah mencuri perhatian Pilla dan
meluluhkan hatinya.
“Ravi,”
Yang dipanggil mendongak, “Iya?”
“Bisa bicara sebentar?”
“Hem,” jawab Ravi sambil melanjutkan gambarnya.
Pilla merasa tersinggung. Jelas-jelas ia sedang mengajak Ravi menjadi lawan bicara,
tetapi laki-laki itu malah dingin, seakan tidak tertarik dengan ajakannya. Membuat Pilla harus
sedikit bersabar.
“Ini tentang Nayna. Bicara di luar, jangan di sini. Bisa?”
Sontak mendengar nama Nayna disebut, Ravi langsung terlihat antusias. Ia berdiri,
meninggalkan gambarnya yang baru setengah jadi. Pilla sempat melihat apa yang Ravi
lakukan, ternyata dia menggambar gadis itu. Gadis yang menjadi teman sebangku Pilla selama
dua tahun berturut-turut, menjadi sahabatnya, kemudian sekarang tidak lagi.
Pilla mengikuti ke mana Ravi membawanya. Lalu langkah mereka terhenti di dekat
tangga lantai dua.
“Kenapa dengan Nayna?”
“Kenapa kamu begitu peduli terhadapnya?”
“Kenapa kamu malah menginvestigasiku sekarang?”
“Pertama-tama aku hanya ingin tahu. Sepertinya kamu sensitif sekali setiap mendengar
nama dia.”
“Apa kamu menyukainya?” lanjut Pilla dengan cukup berat.
Membuat Ravi tertegun, dan salah tingkah. “Katakan apa yang mau kamu katakan
tentang Nayna.”
“Lho, aku sudah mengatakannya. Apa kamu menyukai dia? Aku benar-benar ingin
tahu.”
Tatapan Pilla begitu tajam. Ravi yang tidak bisa menjawab pertanyaan itu sampai harus
memalingkah wajah. “Aku tidak mengenalmu, siapa kamu sebenarnya?”
“Apa itu penting?”
“Haaa, tentu tidak. Tidak sama sekali.” Dengan kesal Ravi pun meninggalkan gadis itu.
Rasanya seperti sedang dipermainkan. Pilla semakin benci saat memikirkan Nayna.
41
“Suatu saat aku akan menjadi sangat penting bagimu!” pekik Pilla.
Ravi berusaha tidak mendengarkannya, tapi kalimat itu masuk begitu saja di telinganya.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”
Rina menyambut anak satu-satunya yang baru pulang sekolah. Namun, tampang Ravi
kusam, tidak berseri-seri. Penampilannya lusuh. seperti kehabisan tenaga, tidak bersemangat.
Dengan sigap Rina mengambil orange juice, menuangnya ke dalam gelas, dan
menyuguhkannya pada Ravi.
“Cemberut melulu akhir-akhir ini, kenapa?”
“Gara-gara Alien, Ma.”
“Nayna?”
Nama itu pula yang Rina sebut, benar-benar tepat. Ravi sampai tersedak.
“K-kok Mama tahu?”
“Oh, jadi benar, ya? Mama hanya menebak.”
“Maksud Ravi, bagaimana Mama tahu nama gadis itu?”
“Gadis itu yang mana? Mama tahunya yang ada di gambar di dinding kamar kamu itu.”
“I-iya itu dia, Ma.”
“Alien?”
Rina sedikit meledek. Ravi jadi malu.
Ia menyebut Nayna sebagai Alien, karena sikap gadis itu yang aneh, tidak bisa terbaca.
Berbeda. Kadang dia sangat lucu, kadang juga dia sangat menyeramkan. Dan hal itu terjadi
berubah-ubah. Membuat Ravi selalu berdebar-debar mengingatnya.
42
ALIENASI MENTAL
(Dia akan menjadi keberuntungan terbesar bagi orang yang tulus berada di
dekatnya)
“Mau ke mana, Mbok?” Nayna mengunyah sarapan buatan Mbok Win dengan cukup lahap
dengan seragam lengkap sekolahnya.
Yang ditanya tampak membawa sebuah keranjang anyam, melangkah mendekati
Nayna. “Ke pasar, Non. Persediaan di dapur sudah hampir habis.”
“Oh, ya sudah sekalian bareng aku, aku juga mau berangkat. Fidel ikut?”
Mbok Win mengangguk, “Iya dong, Non. Kalau tidak ikut nanti sama siapa di rumah?”
Jawaban Mbok Win membuat Nayna tersenyum. Memang tidak mungkin membiarkan
Fidelis seorang diri di rumah tanpa pengawasan. Bocah kecil itu pasti akan ketakutan dan
bertindak yang bisa membahayakan dirinya sendiri.
Bramantyo tidak ada, pergi setelah meminta paksa uang dari Nayna. Namun jika pria
tersebut berada di rumah sekalipun, Nayna tidak akan menitipkan Fidelis kepadanya meskipun
ia adalah ayah kandung mereka.
“Ya sudah, kita berangkat sekarang, Mbok. Biar bisa kebagian sayuran yang masih
segar, Nayna juga harus nunggu angkot,” titahnya seraya membersihkan mulut dengan tisu.
Mbok Win mengangguk, lalu menggandeng tangan Fidelis yang sejak tadi duduk di
lantai. Mereka bertiga berjalan menyusuri gang yang menjadi penghubung rumah dengan jalan
raya. Pasar tujuan Mbok Win berada di seberang jalan, tempat Nayna biasa menunggu angkot
saat berangkat sekolah.
Beberapa kali mereka berpapasan dengan tetangga, yang melihat mereka dengan
tatapan mengucilkan. Nayna tahu, gadis itu menyadarinya, tapi memutuskan untuk pura-pura
tidak peduli meskipun sebenarnya ada rasa sedih setiap kali ia mendapat tatapan seperti itu.
“Mbok, nanti di pasar jangan sampai genggaman Fidelis terlepas, ya. Tahu sendiri anak
ini kalau nggak diawasi kayak gimana,” ucap Nayna serius.
“Beres. Non Nayna nggak perlu khawatir. Mbok akan jaga Non Fidel.”
Nayna mengangguk tenang. Sepenuhnya ia percaya pada perempuan yang telah
mengurusnya sejak kecil. Mbok Win selalu bisa diandalkan.
Mempunyai seorang adik yang berbeda dengan anak-anak lain mau tidak mau membuat
Nayna bersikap waspada. Terlebih sejak perceraian yang menimpa kedua orangtuanya,
otomatis pengawasan terhadap Fidelis menjadi berkurang. Dan Nayna harus membagi waktu
43
antara mengerjakan tugas sekolah dengan mengawasi Fidelis. Ibu telah memasrahkan
sepenuhnya, dan ayahnya bahkan bersikap sama sekali tidak peduli dengan mereka.
Memang ada Mbok Win, tapi tetap saja ia tidak bisa menyerahkan sepenuhnya semua
kebutuhan Fidelis kepada perempuan itu. Nayna sadar, Mbok Win juga memiliki kesibukan
dan kewajiban yang lain.
Kalau ada yang bertanya kenapa mereka memutuskan untuk tidak ikut hidup bersama
ibu kandung dan ayah tirinya, bukan hal yang mudah bagi Nayna untuk menjawab pertanyaan
itu.
Nayna diinginkan, Fidelis tidak. Bahkan oleh ibu kandungnya sendiri, atau oleh ayah
tiri yang sudah mempengaruhi ibu kandung mereka, entahlah. Yang jelas, saat mereka akhirnya
menikah, ibu hanya berpesan kepada Nayna untuk menjaga Fidelis karena dia akan tinggal di
luar negeri bersama suami barunya.
Yang sudah hancur menjadi semakin porak poranda. Dan Nayna harus berjuang sekuat
tenaga untuk bangkit dari keterpurukan yang menimpa, sampai pada akhirnya dia bisa berdiri
menjadi Nayna yang sekarang. Gadis yang keras dan tegas.
Biarlah. Ayah dan Ibunya bisa mengurus hidup mereka sendiri, Fidelis tidak. Dan dia
memutuskan untuk tetap bersama adiknya walau apapun yang terjadi.
Fidelis berbeda bukan karena keinginan mereka, bukan karena keinginan siapapun.
Bahkan keinginan Fidelis sendiri. Dan Nayna selalu berusaha menerima kenyataan itu.
Meskipun sering mendapat cemooh dari orang-orang di sekitar mereka, tidak ada yang bisa
Nayna perbuat. Bisa apa dirinya seorang diri menghadapi banyaknya orang-orang yang
bersikap mengucilkan?
Langkah mereka telah membawa ketiganya sampai di ujung gang, dengan hati-hati
mereka menyeberangi jalan yang cukup ramai oleh kendaraan-kendaraan lalu lalang. Nayna
langsung menuju sebuah angkot yang sedang mangkal di pengkolan setelah sebelumnya pamit
kepada Mbok Win dan Fidelis.
“Ayo, Non kita masuk.” Dengan sangat erat Mbok Win menggenggam tangan Fidelis.
Mengajaknya tetap melangkah meskipun lagi-lagi tatapan mencibir ditunjukkan oleh orang-
orang yang berpapasan dengan mereka.
Nayna sampai di sekolahnya, tepat ketika Ravi juga selesai memarkirkan kendaraan miliknya.
Sejenak mata mereka saling beradu, dan Nayna langsung membuang pandangannya ke arah
44
lain. Membuat Ravi pilu, dan mengembuskan napas kecewa. Nayna tetap bersikap acuh karena
masih menuduh dirinya yang menulis puisi itu.
“Nayna.”
Sebuah suara mengambil alih pandangan keduanya. Inez, Yola, dan Debby berjalan
dari arah kantin. Tiga sekawan yang tidak pernah terpisah itu menghampiri Nayna. Ravi
memutuskan untuk menuju kelas. Dia merasa ini bukan saat yang tepat untuk berbicara dengan
gadis berambut hitam itu.
“Apa kamu sudah mengerjakan tugas Bahasa Indonesia? Lusa sudah harus
dikumpulkan.” Inez mengawali percakapan. Memaksakan sebuah senyuman manis untuk
Nayna.
Nayna tersenyum kecil.
“Aku sudah mengerjakan.”
Inez, Yola, dan Debby berteriak girang dalam hati. Satu kelompok dengan seorang
Nayna memang sebuah keberuntungan bagi mereka yang memiliki kepandaian pas-pasan dan
rasa malas yang lebih besar.
“Kamu mengerjakannya sendiri? Ah, kami jadi tidak enak.”
“Iya, lalu tugas kami apa?” Debby mendukung omongan Yola.
Sebuah kepura-puraan yang begitu jelas terlihat. Wajah mereka bahkan tidak
menunjukkan penyesalan, bahkan sebaliknya, mereka terlihat begitu lega sekarang. Namun,
Nayna tidak menyadarinya. Ia hanya merasa malas karena melihat Ravi di pagi hari yang
seharusnya menjadi awal yang baik untuk menjalani aktivitas.
“Tidak apa-apa, kok. Kalau tugas ini selesai dengan cepat akan membuatku lega juga,
dan tidak ada yang perlu kalian lakukan.”
“Tapi nilainya?” Inez tampak khawatir.
“Ini kan tugas kelompok, tentu aku mencantumkan nama kalian sebagai anggota.”
Mereka tersenyum bersamaan, merasa lega setelah mendengar jawaban dari Nayna.
Saat-saat seperti ini, ketiga teman dekatnya bahkan tidak bisa menghibur. Akhirnya Nayna
memutuskan untuk segera meninggalkan mereka, melangkah memasuki ruang kelas.
Mbok Win masih menggenggam erat jemari Fidel meskipun satu tangannya membawa
keranjang berisi belanjaan, tidak terlepas sama sekali sejak keduanya memasuki pasar. Dengan
45
penuh waspada Mbok Win menjaga Fidelis sepanjang ia memutari pasar untuk membeli
persediaan bulanan.
“Ayo, Non, kita pulang.” Dengan hati-hati Mbok Win menuntun Fidel melewati
keramaian pasar.
“Eh, itu kan anak bungsunya Bramantyo. Kasihan ya, dengan kondisinya yang seperti
itu malah nggak mendapat perhatian dari keluarganya.” Samar-samar Mbok Win mendengar
seorang wanita berbicara dengan penjual ikan.
“Iya, orangtuanya malah cerai dan ninggalin mereka. Benar-benar kejam.”
“Aku dengar, anak itu juga suka membakar barang-barang kalau penyakitnya lagi
kambuh. Sungguh merepotkan.”
Mbok Win hanya bisa menghela napas saat mendengarnya, ia sempat melihat keduanya
melirik sungkan ketika dirinya lewat di depan mereka. Sambil tetap berlalu, perempuan yang
telah lama mengabdi untuk keluarga Nayna itu tersenyum dan mengangguk.
“Sini, Non, Mbok gendong saja,” tutur lirih Mbok Win ketika mereka sampai di tepi
jalan raya. Suasana tetap ramai seperti saat mereka tiba tadi pagi.
Mbok Win jongkok di hadapan Fidelis, menuntun bocah itu untuk naik ke atas
punggungnya. Sekali hempasan, ia berdiri dengan sisa-sisa tenaga yang dia miliki di usianya
yang sudah tidak muda lagi. Lalu mulai melangkah pelan-pelan, menyeberangi jalan dengan
begitu hati-hati.
Di punggungnya, Fidelis selalu menggumamkan kalimat yang tidak jelas, sesuatu yang
sudah biasa baginya.
Di sebuah halaman rumah milik warga, beberapa anak kecil seusia Fidelis bermain
dengan gembira. Didampingi oleh orangtua mereka yang masing-masing sedang berbincang,
dan langsung berhenti ketika melihat Mbok Win dan Fidelis yang lewat di depan mereka.
“Permisi, Bu.” Mbok Win mengangguk sopan sembari memberikan senyum.
Ibu-ibu tadi serempak membalas, menatap dengan berbagai ekspresi mereka masing-
masing. Beberapa menatap prihatin, tetapi tetap ada yang melihat dengan tatapan mengucilkan.
Sesedih apa pun, Mbok Win tidak akan pernah meninggalkan Fidelis sendirian. Itu
adalah janji yang dia ucapkan kepada dirinya sendiri ketika menyaksikan perceraian kedua
orangtua mereka. Dia akan merawat dan menjaganya sampai kapan pun, meskipun harus
mendapat cemooh dari semua orang tentang Bramantyo atau keadaan buruk Fidelis.
Bukan salah bocah itu kalau terlahir dengan keterbelakangan mental. Juga bukan salah
orangtuanya yang telah membuat Fidelis hadir ke dunia ini dengan segala kemalangannya.
Bukan salah siapa-siapa. Tidak ada yang perlu disalahkan. Ini adalah takdir. Suatu saat orang-
46
orang akan melihat bahwa Fidelis adalah penyelamat. Dia akan menjadi keberuntungan
terbesar bagi orang yang tulus berada di dekatnya.
47
KONSPIRASI
(Apa kamu pikir kejadian tahun lalu akan terulang?)
“Hari ini, enam kelompok akan mendapatkan waktu 15 menit untuk mempresentasikan novel-
novel yang sudah dibagikan minggu lalu. Bapak akan mengocok kelompok mana yang terlebih
dahulu mempresentasikan novelnya. Kalian siap?”
Pak Rozak dengan antusias memimpin jalannya tugas presentasi sebuah novel. Ia
menulis enam genre dari enam novel ke dalam kertas kecil-kecil, yang kemudian dilipat, dan
diambil secara acak. Semua murid tentu berharap bahwa kelompoknya bukan menjadi yang
pertama maju, kecuali Nayna. Nayna yakin betul hasil tugas kelompok yang ia kerjakan sendiri
akan memuaskan.
“Fantasi.”
Yes! Fantasi adalah genre novel kelompok Nayna, Alfian, Inez, Yola, dan Debby.
Dengan percaya diri Nayna membuka tasnya, mencari makalah dan novel fantasi yang ingin
dipresentasikan. Namun, ia tak menemukan keduanya.
“Na, ayo?” Inez mengomando.
“Eh, sebentar.”
Nayna mulai panik, ia berdiri, dan mengeluarkan isi tasnya ke atas meja. Pak Rozak
melihat gerak-gerik Nayna yang kebingungan.
“Bagaimana, sudah dikerjakan atau belum?”
“Sudah, Pak. Tapi ini bukunya tiba-tiba tidak ada di dalam tas,” Nayna terlihat panik
sambil terus mengeluarkan semua barang dari dalam tasnya.
Pak Rozak mendengus, akhirnya ia memutuskan untuk memanggil kelompok
selanjutnya.
“Romance.”
Teman-teman satu kelas benar-benar heran dengan apa yang telah terjadi. Nayna
sampai gemetaran. Lalu ia mengecek pin Hoobastank yang merekat di tali tasnya tidak ada.
Langsung saja pandangannya tiba-tiba sinis ke arah Ravi. Membuat laki-laki itu mengerutkan
kening.
Menatap bingung ke arah Nayna.
48
Bel istirahat pertama pun berbunyi. Seluruh murid berhamburan keluar kelas tanpa diminta.
Nayna menarik Ravi ke lorong yang menghubungkan gedung satu dengan gedung dua. Ia
menginterogasi seseorang yang dianggapnya dalang dari kekacauan pagi ini.
“Kamu marah sama aku? Benci sama aku? Iya?”
“Hah?”
“Kamu takut kelompokmu kalah dari kelompokku, kan? Atau kamu sengaja mencuri
makalah dan novelku untuk membuatku terlihat bodoh di depan anak-anak? Dan sekarang aku
nggak tahu mau bilang apa ke Pak Rozak. Untuk kedua kalinya kamu berhasil bikin aku mati
rasa. Selamat, Ravi!”
Setelah mencurahkan kekesalannya, Nayna bergegas pergi, tetapi Ravi meraih
lengannya, mencegah.
“Kamu menuduhku?”
“Siapa lagi yang berani melakukannya selain kamu?”
“Hei, aku bahkan nggak tahu kalau kamu menjadi ketua kelompok.”
“Tapi kamu tahu pin itu kan? Pin itu tiba-tiba nggak ada, lalu tugas makalahku juga
nggak ada. Apa itu kebetulan?”
Sementara Nayna dan Ravi berdebat, Pilla masuk ke kelas XII- Pemasaran 1. Dengan
santai menghampiri Inez, Yola, dan Debby yang tengah asyik bersenda gurau.
Sebuah pin bergambar Hoobastank ada di genggaman Inez, perempuan itu menyambut
hangat kedatangan Pilla.
“Aku lihat Nayna dan Ravi sedang bertengkar di luar.”
“Ah, Nayna memang agak berlebihan akhir-akhir ini. Benar, kan?” Inez bertanya pada
kedua temannya.
“Iya. Dia benar-benar mengerjakan tugas kami sendirian, tapi sayang tugas itu harus
hilang, dan membuatnya kelimpungan,” sambung Yola, disusul tawa jahil Inez dan Debby.
Pilla tersenyum simpul, “Mana yang kuminta?”
Lantas Inez memberikan pin Hoobastank itu kepadanya.
“Sejujurnya, aku kasihan dengan Nayna. Kalau pin itu nggak ada, mau tidak mau dia
harus menguatkan tasnya dengan peniti.”
“Ah, biarkan saja. Gadis seperti dia juga tidak akan mati karena malu. Nayna tipe orang
yang sangat tegar. Percayalah!” Inez mengucapkan dengan muak.
Kali ini, Pilla semakin mudah menjalankan rencananya. Ketiga teman dekat Nayna
ternyata tidak sungguh-sungguh berteman dengannya. Justru mereka berada di pihak Pilla. Pilla
49
hanya perlu memberi mereka informasi tentang Nayna, lalu ketiganya bertingkah begitu
mengalir tanpa disuruh atau diperintah.
Ini permainan yang semakin menarik. Pilla jadi tidak sabar, mau tahu siapa yang
menang.
Pulang sekolah Nayna menyempatkan diri ke sekretariat. Ia bertemu dengan Pilla. Mereka
saling menatap, tetapi tak lama Nayna mengalihkan pandangannya ke lapangan. Dan dengan
sengaja Pilla memperlihatkan tas barunya. Tapi bukan itu yang membuat Nayna terbelalak.
Melainkan pin yang menempel di kantong tas.
“Dari mana kamu mendapatkannya?” tanya Nayna sinis.
“Oh, ini,” kata Pilla. “Ravi yang memberikannya padaku.”
“Dia yang memberikan atau kamu yang mengambilnya?”
“Apa? Mengambil? Ravi yang memberikan untukku.”
“Oke, kalau begitu biar aku tanya langsung pada orangnya.”
Nayna hanya mengancam, ingin tahu apa reaksi gadis di depannya. Dan benar saja.
Pilla langsung menarik tangan Nayna, menahan.
“Kenapa kamu harus menemuinya?” tegas Pilla.
“Apa maksudmu?”
“Aku tahu kalian sedang bertengkar.”
“Lalu? Jadi sekarang kamu menyukainya? Setiap laki-laki yang dekat denganku selalu
kamu sukai. Apa kamu tidak cukup cantik sampai harus mengejar laki-laki yang menyukai
orang lain, hah?”
Ucapan Nayna sudah kerterlaluan menurut Pilla. Sampai ia harus melayangkan
tamparan kecil ke pipi kiri gadis itu.
Keduanya saling berjauhan sejak naik kelas XII. Pilla menyukai Ham, tetapi Ham
menyukai Nayna. Padahal Nayna tidak menyukai anak ketua yayasan tersebut. Namun, Pilla
menganggap bahwa Nayna sangat munafik.
“Aku tidak akan mengulang perkataanku tahun lalu. Semoga kamu mendapatkan
teman-teman yang setia, yang tidak akan meninggalkanmu.”
Pilla ingat Inez, Yola, dan Debby ada di pihaknya. Kapan pun ia mau, ia bisa membuat
ketiga gadis itu menjauh dari sisi Nayna.
Nayna tidak gentar. Ia meraih lengan Pilla secara kasar.
50
“Apa kamu pikir kejadian tahun lalu akan terulang?”
Pilla menatap tajam kedua mata Nayna. Ia tahu Nayna sedang berusaha mengancamnya
balik.
“Kejadian yang mana?”
“Laki-laki yang kamu sukai, tapi justru memilih menyukaiku,” tegas Nayna.
Sontak jawaban itu membuat Pilla naik pitam.
“Apa menurutmu Ravi menyukaimu, hah?! Kamu terlalu percaya diri.”
“Oh, jadi benar kamu menyukai Ravi,” kata Nayna. “Apa kamu tidak berpikir, selama
ini kamu seperti mendapat kutukan? Laki-laki yang kamu sukai selalu menyukaiku. Itu bisa
saja berlaku pada Ravi. Dia bukan orang yang sulit diluluhkan bagiku. Sejak awal dia memang
lebih dekat denganku daripada dengan yang lain.”
Nayna merasa sangat puas. Kalimat terakhirnya pasti ampuh memanah tepat ke hati
Pilla. Membuat dada gadis itu mendadak sesak, bahkan sekarang wajahnya mulai memerah.
Dengan lega Nayna meninggalkannya dalam kegetiran. Pilla pantas was-was. Nayna
bukan orang yang patut diremehkan. Ia tahu betul bagaimana kemampuan mantan teman
sebangkunya tersebut. Nayna disenangi banyak orang. Banyak laki-laki yang menyukainya
karena sikapnya yang tidak dibuat-buat atau apa adanya.
51
VERSUS
(Aku tidak akan terpengaruh)
Pukul 9 malam, belum terlalu larut sebenarnya. Namun suasana rumah Nayna telah begitu sepi,
tidak terlihat aktivitas yang terjadi di dalamnya. Mbok Win telah menyelesaikan semua
pekerjaan dan masuk ke dalam kamar, Fidelis juga sudah memejamkan matanya sejak pukul 8
tadi. Hanya tinggal Nayna yang masih terjaga, mengerjakan tugas sekolah dengan konsentrasi.
Tiba-tiba sebuah gedoran keras terdengar dari arah pintu depan, disusul dengan teriakan
yang menyuruh untuk membuka pintu. Nayna sangat hapal suara itu. Suara yang masih
berteriak dengan sangat keras. Secepat mungkin ia harus segera membuka pintu jika tidak ingin
membuat ayahnya lebih murka lagi.
Dengan setengah hati, Nayna memutar anak kunci dan membuka pintu. Di hadapannya,
Bramantyo berdiri dengan bersandar pada tembok, matanya setengah tertutup, redup dan penuh
ancaman. Dari mulutnya tercium aroma yang langsung membuat Nayna mual. Bau alkohol
yang sangat pekat. Sudah pasti ayahnya berada pada kondisi mabuk berat.
“Minggir!” Dengan kasar Bramantyo mendorong tubuh Nayna hingga membuat gadis
itu mundur beberapa langkah.
Nayna mendengus, sedikit ngilu terasa di tulangnya akibat dorongan itu. Bramantyo
melangkah melewati anak gadisnya, berjalan sempoyongan dengan racauan yang entah apa
artinya. Berbicara sesuatu yang terdengar tidak jelas di telinga Nayna.
“Dasar, semuanya tidak ada yang berguna. Manusia-manusia seperti kalian hanya
membuatku emosi,” teriak Bramantyo tiba-tiba.
Nayna tersentak. Entah apa yang terjadi dengan ayahnya di luar sampai membuat ia
begitu murka. Gadis itu merasa sangat terpukul melihat kondisinya, membuat air matanya
menetes tanpa bisa dicegah.
“Brengsek!”
Bramantyo menggapai sebuah vas bunga di ruang tamu dan membantingnya dengan
sangat keras. Pecah, membuat serpihannya menyebar ke mana-mana. Mbok Win berlari cepat
dari kamar, terlihat begitu panik dan ketakutan. Nayna hanya terdiam melihat apa yang
dilakukan ayahnya. Dengan kondisi kalap seperti itu, bukan tidak mungkin Nayna juga akan
menjadi objek pelampiasan.
Mbok Win berjalan mendekati Nayna, merengkuh pundak gadis itu dan mengusap
dengan lembut. Keduanya hanya bisa diam berdiri ketika Bramantyo kembali melemparkan
barang-barang yang ada di sekitarnya. Wajah pria itu memerah, penuh amarah dan sangat
52
menyeramkan, membuat Nayna dan Mbok Win tidak berani untuk menghentikan
perbuatannya.
Berbagai cacian dan kata-kata kasar terus keluar dari mulut Bramantyo, seakan itu
semua bisa melampiaskan amarahnya. Fidelis berjalan keluar dari dalam kamar, membuat
Nayna terkejut dan langsung berlari ke arahnya. Ia menuntun kembali bocah kecil itu masuk
ke dalam kamar, memeluknya erat.
“Jangan keluar ya, Fidel.” Nayna meminta.
Tidak peduli adiknya akan mengerti atau tidak, Nayna terus memeluknya sambil
berbaring di atas ranjang. Ia berusaha membuat Fidelis kembali terlelap, menghindarkannya
dari amukan Bramantyo.
“A-ayah,” Fidelis mengucapkan dengan kurang jelas.
“Bukan, itu bukan Ayah. Itu orang lain yang mirip Ayah.”
Fidelis mendongak, dengan gerakan yang lambat ia mengusap pipi Nayna dengan
kedua tangan lembutnya, membuat dada gadis itu semakin sesak. Ia mengeratkan pelukannya.
“A-yah, A-Ayah.”
Satu jam berlalu, sudah tidak terdengar lagi suara gaduh dari ruang tengah. Bramantyo
mungkin merasa lelah dan memutuskan masuk ke dalam kamar, tidur tanpa mengganti
pakaiannya. Nayna masih berada di dalam kamar Fidelis. Dengan perlahan gadis itu beranjak,
melangkah keluar tanpa menimbulkan suara. Lalu dengan pelan-pelan ia menutup pintu kamar
adiknya.
Di ruang tengah, tampak Mbok Win sedang membereskan barang-barang yang
berserakan. Lebih parah dari yang Nayna duga, rumah itu terlihat sangat berantakan. Kursi
makan terbalik, pecahan kaca dan vas bunga di mana-mana. Nayna sampai harus hati-hati
ketika berjalan agar tidak terkena serpihan kaca.
“Mbok Win.” Nayna berjongkok di sisi Mbok Win yang sedang memunguti pecahan
vas bunga.
“Lho, belum tidur, Non?”
Nayna menggeleng, wajahnya terlihat begitu sendu, “Biar aku yang beresin, Mbok.
Mbok tidur duluan saja.”
“Jangan, Non. Sebelum pagi, ini sudah harus rapi dan bersih, kalau tidak, takut Tuan
marah lagi.”
Perkataan Mbok Win membuat Nayna mengerti.
“Mbok buang ke belakang dulu ya, Non. Sekalian ambil tempat sampah.”
53
Selepas kepergian Mbok Win, air mata langsung mengalir membasahi kedua pipinya.
Sekuat apa pun seorang Nayna, sesering apa pun dirinya berusaha untuk membuat hatinya
menjadi sekeras batu dan sedingin es, tetapi ia tetap tidak dapat menahan luka yang semakin
lebar ketika melihat perubahan sikap ayahnya.
Ravi melangkah di selasar sekolahan dengan earphone yang terpasang pada kedua telinga.
Suasana sekolah masih sepi, belum banyak murid yang datang. Memang masih terlalu pagi,
setengah jam sebelum bel masuk berbunyi. Namun, ada hal yang harus dilakukan Ravi
sehingga membuatnya tiba sepagi ini.
Saat ia berada di depan kelasnya sendiri. Langkah kaki Ravi berhenti saat matanya
menangkap sosok Pilla sedang berbicara serius dengan Inez dan kelompoknya. Ravi baru tahu
kalau mereka cukup akrab. Baru kali ini ia melihatnya. Entah apa yang sedang mereka
bicarakan, yang jelas wajah mereka semua serius. Dan, kenapa pagi sekali?
Ravi gagal menemukan jawabannya. Dia lebih memutuskan untuk melanjutkan langkah
menuju kelas.
“Ehem,”
Sangat jelas keterkejutan mereka ketika melihat kehadiran Ravi, membuat pemuda itu
merasa heran. Satu alis Ravi terangkat.
“He-hei, pagi, Ravi. Tumben datang jam segini?” Inez berusaha mengendalikan diri.
Ravi mengangkat bahu, mengusir rasa heran yang sempat mengganggu. “Iya, habis
antar nyokap ke bandara langsung berangkat. Kalian sendiri, jam segini sudah di kelas semua,
bahkan sampai ada murid kelas sebelah.”
Pilla merasa kata-kata Ravi barusan untuknya, membuat gadis itu semakin salah
tingkah.
“Emmm, aku habis pinjam catatan materi dari Bu Tina. Kelas kalian kan selalu jadi
yang pertama mendapat materi di pelajaran apa pun. Dan kebetulan aku sedang menunggumu.”
Sebisa mungkin Pilla harus memberi alasan.
“Menungguku?”
Pilla mengangguk. “Kita bicara di luar.”
Tanpa menunggu lama, Pilla langsung menarik tangan Ravi keluar kelas. Sekilas ia
memalingkan wajah ke arah Inez dan kelompoknya, memberi kode kepada mereka dengan
54
sebuah kedipan mata. Dan dengan senyum culas yang melengkung di bibirnya, ia membuat
Inez mengangguk paham.
Ravi tidak akan curiga kepada mereka.
Nayna berhenti di ujung tangga saat dirinya melihat Ravi dan Pilla berdiri di depan kelas.
Kehadirannya disadari oleh mereka, serempak sama-sama menoleh dengan ekspresi yang
berbeda. Ravi merasa canggung, entah kenapa ada rasa bersalah dalam dirinya.
Dan Pilla, gadis itu memberikan senyum kemenangan. Siapa yang sangka Nayna akan
melihatnya sedang berdua dengan Ravi di depan kelas. Momen yang sangat tepat, sebuah
pembuktian bahwa tidak semua laki-laki bisa tertarik kepadanya.
Nayna membaca raut wajah Pilla. Dia melihat ada sebuah tantangan dalam sorot
matanya. Ia benar-benar mengerti apa tujuan Pilla, sudah pasti hanya untuk membuatnya
cemburu.
Aku tidak akan terpengaruh, batin Nayna.
Gadis itu berjalan mendekat, lalu tanpa sungkan ia berdiri di antara keduanya. Menatap
tajam mata Ravi dengan jarak yang cukup dekat, hingga ia bisa mendengar helaan napas
pemuda itu.
“Ada anak kelas sebelah ternyata, semoga ini sebuah keberuntungan, ya.”
Sorot mata Nayna tak melembut, kemudian ia berlalu.
Ravi pun menjadi semakin bingung dengan apa yang terjadi di antara kedua gadis itu.
Namun setidaknya, Nayna sudah mau berbicara dengannya setelah selama beberapa hari dia
terlihat geram dan bersikap dingin.
“Apa maksudnya? Dasar cewek aneh.”
Pilla berucap gamblang di depan Ravi. Membuat laki-laki itu menaruh rasa penasaran
yang besar. Dari tatapan keduanya, mereka seperti ada masalah.
55
MUSUH DALAM SELIMUT
(Mereka mendekatimu karena kamu pintar. Bukan karena mereka benar-benar ingin
berteman denganmu)
Elsa menelungkupkan badan di atas kursi panjang di kantin sambil membaca sebuah buku
tentang Soe Hok Gie. Lalu, tanpa sengaja ia mendengar percakapan ketiga kakak kelasnya,
Inez, Yola, dan Debby. Mereka bertiga datang dari arah pintu masuk.
“Nez, ada lomba bikin puisi, lho, aku lihat di mading,” kata Yola. “Hadiahnya lumayan,
lima juta rupiah. Ikut sana.”
“Wah, lumayan banget itu. Iya, Nez, ikutan gih. Siapa tahu menang. Puisi Fidelis dan
Apinya yang kamu buat, kan, keren banget tuh, sampai bikin kontroversi antara Nayna dan
Ravi pula. Hahaha.” Debby nimbrung.
“Hei, pelankan suara kalian,” titah Inez, membuat kedua temannya menutup mulut
serentak.
Peristiwa Nayna yang muncul tiba-tiba ke ruang OSIS, dan langsung menghadap Elsa
ke ruang mading benar-benar tidak bisa dilupakan. Elsa yakin betul sekarang kalau Inez adalah
dalangnya.
“Puisi itu bukan buatanku, tapi buatan Pilla. Jadi, suruh aja dia yang ikutan lomba.”
lanjutnya.
“Hah? Buatan Pilla?”
“Aku baru tahu.”
“Aku kira itu buatanmu.”
“Bagaimana mungkin aku bisa membuatnya? Aku bahkan tidak menyukai sastra.”
Ketika suara mereka tak terdengar lagi, Elsa bangkit dari telungkupnya. Ia tampak
berpikir keras. Siapa Pilla? Nama itu terasa tidak asing di telinganya. Tanpa buang-buang
waktu, Elsa pun pergi ke kelas Nayna. Mencari gadis itu untuk memberi tahu yang sebenarnya.
Tragedi puisi Fidelis dan Apinya sudah menjadi sebuah masalah bagi anak OSIS,
terutama divisi mading. Elsa merasa sangat tidak enak hati terhadap Nayna. Puisi itu terbit
tanpa penyeleksian darinya. Seseorang mungkin menempelnya secara sengaja, dan terang
orang itu pastilah Inez, Yola dan Debby juga terlibat. Namun penulisnya adalah Pilla. Elsa
harus menjelaskan ini kepada Nayna. Agar citra OSIS angkatannya kembali membaik di mata
kakak kelasnya tersebut.
56
Elsa tiba di kelas Nayna. Kelas yang begitu sepi. Hanya ada Ravi di tempatnya. Laki-laki itu
melihat gelagat Elsa yang gelisah atau cemas atau tergesa-gesa dan semacamnya. Membuatnya
tak bisa diam-diam saja.
“Cari siapa?”
“Emm, maaf, Kak, saya cari Kak Nayna.”
Mendengar nama itu sontak membuat Ravi menjadi penasaran.
“Ada apa? Biar nanti saya sampaikan.”
“Tapi saya harus menyampaikannya sendiri, Kak.”
“Oh, coba ke perpustakaan. Mungkin dia ada di sana.”
Elsa mengangguk, “Terima kasih.”
Saat membalikkan badan, Elsa terlihat berpikir. Ravi, kakak kelasnya, anak baru yang
terkenal itu sering beberapa kali ia pergoki sedang bersama dengan Nayna. Dari raut wajahnya,
dia seperti bisa dipercaya. Tanpa ragu akhirnya Elsa menceritakan apa yang ingin
disampaikannya terhadap Nayna kepada Ravi.
Mereka berada di ruang OSIS sekarang. Beberapa anggota yang ada di tempat itu
tampak sibuk dengan urusannya masing-masing. Elsa dan Ravi jadi tidak perlu khawatir akan
terganggu atau direcoki.
“Puisi itu buatan Pilla. Aku sendiri tidak tahu Pilla siapa dan yang mana orangnya. Tapi
menurutku, Kak Inez yang menempel di mading, Kak Yola dan Kak Debby hanya
mengetahuinya. Aku berharap Kak Ravi menyampaikan ini ke Kak Nayna. Supaya Kak Nayna
tidak berpikir buruk tentang anak mading. Karena aku jadi nggak enak semenjak puisi itu
membuat Kak Nayna marah. Aku benar-benar minta maaf soal itu.”
Tampang Elsa begitu tulus dalam mengungkapkan. Ravi sampai dapat merasakan
kekhawatirannya terhadap Nayna. Ternyata Pilla adalah dalangnya. Inez, Yola, dan Debby juga
terlibat. Mereka bertiga adalah sahabat Nayna. Dan Pilla, hubungannya dengan Nayna masih
menjadi rahasia. Ravi semakin yakin kalau kelimanya memiliki cerita yang belum Ravi ketahui
hingga saat ini.
“Ada yang ingin kukatakan.”
Ravi menghampiri Nayna di serambi masjid. Gadis itu baru saja selesai shalat Ashar,
dan sekarang tengah mengikat tali sepatunya dengan rapi. Melihat Ravi seperti
57
mengingatkannya pada Pilla. Atau lebih tepatnya, ancaman Pilla yang benar-benar tidak
penting baginya.
“Tentang?”
Tentang puisi Fidelis dan Apinya, dalam hati Ravi menjawab.
Tidak tega rasanya kalau harus mengungkit puisi itu lagi. Puisi yang sudah cukup
membuat Nayna bersedih, dan salah paham padanya. Apalagi ketiga sahabatnya merupakan
pemain di lakon yang Pilla buat. Pasti akan sangat menyakitkan ketika mengetahui teman
terdekat sendiri adalah pengkhianat.
“Tentang apa? Cepat katakan. Inez, Yola, dan Debby sudah menungguku. Mereka akan
meninggalkanku pulang kalau kamu tidak segera mengatakannya.”
“Kenapa kamu peduli terhadap mereka?”
“Kenapa kamu bertanya begitu?” Nayna heran. “Mereka sahabatku, kami berteman
sejak kelas X.”
“Apa mereka juga menganggapmu sebagai sahabat?”
“Pertanyaan macam apa itu?”
“Mereka sudah pulang dari tadi.”
Degh! Seketika itu detak jantung Nayna seperti terhenti sejenak, kemudian berdetak
normal kembali. Mereka bilang saat di kelas, mereka akan pulang bersama Nayna hari ini.
Bukankah itu sebuah janji? Lalu sekarang Ravi bilang mereka sudah pulang dari tadi. Nayna
merasa kecewa.
“Apa kamu tidak sadar? Mereka hanya memanfaatkanmu. Mereka mendekatimu karena
kamu pintar, bukan karena mereka benar-benar ingin berteman denganmu. Jadi berhentilah
bersikap baik pada mereka. Aku sangat tidak suka melihatnya.”
“Kamu mengatakan hal itu, apa untungnya?”
“Untungnya apa maksudmu?”
“Kamu kira aku sudah melupakan puisi itu? Dan sekarang kamu berusaha untuk
mencuci pikiranku tentang Inez, Yola, dan Debby. Kamu baru dua bulan berada di sekolah ini.
Kamu tidak tahu apa-apa tentang mereka.”
“Jangan menilai seseorang hanya dalam waktu singkat,” lanjut Nayna sambil berlalu
meninggalkannya.
Gadis itu menjadi yang paling sulit ditebak bagi Ravi. Ia bingung bagaimana harus
memberi tahunya. Inez, Yola, Debby, bahkan Pilla, bukan orang-orang yang tepat untuk berada
di dekat Nayna. Melihat Nayna bahagia adalah prioritasnya sekarang.
Apa aku sudah jatuh cinta kepadanya?
58
Pukul 4 sore, aktivitas di sekolah sudah selesai. Hanya ada anak-anak OSIS yang masih
mengadakan rapat untuk beberapa kegiatan yang akan dilaksanakan mendatang. Nayna
mengambil tasnya di kelas. Dan benar saja. Inez, Yola dan Debby tidak ada di sini. Nayna jadi
berpikir, apa ucapan Ravi benar atau mereka hanya pulang lebih dulu tanpa maksud tertentu?
Demi memastikannya, Nayna menghubungi Inez lewat ponsel. Ia mencari kontak anak
itu, dan menekan panggilan.
“Hallo, Nez, kamu di mana?”
Sementara di seberang sana, Inez, Yola, dan Debby sedang ada di dalam sebuah taksi.
Inez mengangkat telepon dari Nayna, dan me-loudspeaker-nya.
“Lagi di jalan pulang, nih. Maaf banget ya tadi kita duluan.”
“Oh, iya nggak apa-apa, kok.”
“Ya sudah ya, Na.”
“Oke, hati-hati di jalan.”
Inez mematikan panggilan itu, kemudian tertawa jahat bersama kedua temannya.
Nayna jadi kepikiran. Perkataan Ravi bisa saja benar. Inez menyebut ‘kita’ seakan ia
sedang bertiga dengan Yola dan Debby. Mereka pasti pulang bersama. Lagi-lagi Nayna
ditinggalkan. Sekarang, ia merasa sedikit sedih.
59
DOODLE ART
((Aku ingin adikmu tahu kalau ada seseorang yang akan menjaga dan melindungi
kakaknya)
Nayna masih memikirkan ucapan Ravi kemarin. Inez dan teman-temannya hanya
memanfaatkan kepintarannya, bukan karena mereka tulus ingin berteman dengannya. Hal itu
membuat sikap Nayna kepada mereka bertiga menjadi sedikit berubah.(kalimatnya nggak pas,
dibetulkan) Sampai istirahat kedua ini, ia hanya berbicara seperlunya dengan Debby, dan
mendiamkan yang lainnya.
“Sejak tadi pagi kamu banyak melamun, apa yang kamu pikirkan?” Tiba-tiba Ravi
datang dan duduk di samping Nayna.
“Nggak ada urusannya denganmu.”
“Aku hanya bertanya dan aku hanya mencoba peduli terhadapmu.”
“Terima kasih, tapi itu tidak perlu. Aku bisa menyelesaikan semua masalahku sendiri.”
“Aku tahu kalau kamu gadis yang angkuh, tapi aku tidak menyangka kamu sekeras ini.
Aku tahu sebenarnya kamu sedang memikirkan ucapanku kemarin, kan?” Ravi tetap menatap
Nayna meskipun gadis itu tidak menolehnya sedikit pun.
“Seharusnya kamu bisa lebih peka. Sikap mereka sudah sangat jelas hanya untuk
memanfaatkanmu. Entah kenapa aku sangat yakin dengan hal itu. Sepertinya aku juga merasa
ada yang mengancam atau mengganggumu,” lanjutnya.
Nayna tersenyum kecut, “Bicaramu terlalu ngelantur.”
Nayna bangkit dari duduknya dan siap-siap untuk melangkah.
“Tunggu!” Ravi meraih tangan Nayna.
“Aku ingin bertanya tentang Pilla, siapa dia sebenarnya?”
Nayna melepas paksa genggaman tangan Ravi, “Kenapa? Kamu suka padanya?”
“Suka? Kenapa kamu menuduhku seperti itu?”
“Bukankah akhir-akhir ini kalian sering bertemu? Aku lihat kalian cukup dekat.”
Ravi merasa Nayna agak berbeda. Gadis itu sedang menunjukkan kecemburuannya
sekarang. Sontak ia menjadi salah tingkah. Di satu sisi keadaan ini menguntungkannya, di sisi
lain keadaan ini cukup membingungkannya.
“Apa kalian ada masalah?”
Nayna tersenyum tawar, “Kenapa tidak bertanya langsung padanya? Kenapa bertanya
padaku?”
60
“Karena, aku tidak mudah percaya pada orang lain.”
Gadis itu menghela napas sebelum menanggapi jawaban Ravi. Ada beban yang ia
rasakan, sebuah masa lalu yang sebenarnya sudah tidak ingin ia ingat lagi. Tentang dirinya dan
Pilla. Tapi pernyataan lelaki di hadapannya seakan membekukan kenangan buruk itu. Ravi
berada di pihaknya. Harus diakui, itu membuat dirinya merasa senang.
“Jika aku menceritakannya, apa kamu akan memercayaiku?”
“Dulu, Pilla adalah sahabatku. Sejak SMP, dua tahun berturut-turut kami duduk sebangku.
Bahkan ke mana-mana selalu berdua. Beberapa teman sering bilang kami mirip, dan mengira
bahwa kami bersaudara.” Nayna mulai bercerita.
“Tapi sebuah masalah tiba-tiba datang saat awal kami kelas XII di sini, membuat kami
harus berpisah.” Wajah Nayna berubah masam.
“Masalah? Apa?”
“Kamu tidak perlu tahu, belum saatnya. Yang jelas jangan terkejut jika suatu saat kamu
melihat kami saling menatap dengan penuh kebencian. Masalah kami memang cukup serius.”
Ravi terdiam di tempatnya. Sementara Nayna hampir bangkit. Ia merasa tidak yakin
untuk menceritakan semuanya kepada laki-laki itu. Ravi belum tentu orang yang tepat untuk
mengetahui permasalahan antara dirinya dengan Pilla.
“Terima kasih, karena kamu sudah mengingatkanku tentang sesuatu yang telah lama
kulupakan. Aku jadi berpikir untuk tidak melupakannya sekarang.”
Ucapan Nayna membuat Ravi terenyuh. Di kedua matanya, ada cairan bening pada
sudut mata indah itu. Ravi melihatnya, ia yakin betul. Nayna menangis, dan itu karena dirinya.
Sebelum jam pelajaran terakhir berbunyi, Ravi sibuk membuat doodle art di buku gambar.
Satu halaman untuk namanya, satu halaman lagi untuk nama seseorang. Matematika bukan
mata pelajaran yang mudah baginya sedangkan menggambar adalah kesukaannya.
Sesekali ia melirik ke arah Nayna. Gadis itu sangat pintar. Bahkan saat ia sudah selesai
mengerjakan tugas yang diberikan, ia akan mempelajari bab selanjutnya.
“Na... na... nanti pulang sekolah kita mau ke mall. Kamu ikut, kan?” Inez menoleh ke
belakang dan bertanya.
“Iya, yuk, nggak lama-lama, kok,” sambung Yola.
61
“Sebentar lagi kan ujian nasional, anggaplah ini sebagai perayaan penyambutan.
Supaya kita nggak stres gitu.” Debby menimpali.
Nayna masih menunggu perkataan yang lainnya, siapa tahu masih ada yang mau
menambahkan sebelum ia menjawabnya.
“Aku tidak bisa, kalian saja.”
“Yah... kenapa? Kamu kan nggak pernah pergi sama kita.”
“Iya, padahal sudah mau kelulusan, lho.”
“Bukannya kalian selalu pergi bertiga kalau ke mana-mana? Tanpa ada aku, kalian tidak
akan merasa ada yang kurang, kan? Malah kalau aku ikut, kalian pasti akan merasa ada yang
berbeda.”
Jawaban Nayna begitu menyindir. Inez, Yola, dan Debby jadi tidak enak hati, membuat
suasana menjadi kurang nyaman.
“Kita duluan ya, Na.” Debby mengambil keputusan.
Ketika mereka pamit, Nayna hanya berusaha memasang senyum setulus mungkin.
Meski itu cukup berat, setidaknya ia dapat membuat ketiga temannya tersudutkan.
“Apa kamu mulai memikirkan perkataanku beberapa waktu lalu?” tanya Ravi. “Aku
lihat sepertinya tadi kamu menyinggung mereka.”
Laki-laki itu duduk di kursi Debby, yang pemiliknya telah dengan lincah meninggalkan
kelas bersama dua temannya yang lain.
“Aku juga tidak mudah percaya pada orang lain,” kata Nayna. “Tapi kurasa, aku perlu
seseorang untuk bisa kupercaya.”
Ravi tahu siapa orang yang Nayna maksud. Ia hanya butuh kejelasan bahwa sekarang
ia tidak sedang bermimpi. Gadis yang awalnya angkuh dan dingin, kini telah berangsur menjadi
hangat. Ah, bukan, bukan. Nayna memang gadis yang supel. Ia cuma terlalu galak untuk anak-
anak seberandal Ravi atau orang-orang yang tidak tepat seperti Pilla, Inez, Yola dan Debby.
Setajam apa pun jarum, ia bisa tumpul juga. Sekeras apa pun batu, ia bisa hancur juga.
Nayna keluar kelas terlebih dahulu, Ravi menyusulnya kemudian dan Pilla melihat itu. Ada
semburat peperangan dari wajahnya. Jelas sekali ia marah. Nayna benar-benar mau bersaing
dengannya. Bahkan, Ham lebih mudah didapatkan hanya dengan sekali gertakan. Bukan tidak
mungkin kalau anak baru itu juga akan luluh terhadapnya. Meski Ravi adalah orang yang paling
sulit dari siapa pun, Pilla tidak akan menyerah. Nayna harus tahu siapa dia yang sebenarnya.
62
“Aku buat ini buat kamu.”
Ravi memberikan doodle art bertuliskan namanya kepada Nayna.
“Aku pegang yang nama kamu, kamu pegang yang nama aku. Kalau bisa disimpan ya,
sampai kita dewasa. Atau kamu pajang di kamar. Supaya kamu ingat terus kalau kamu punya
seseorang yang ada di sampingmu,” lanjutnya.
Ini momen yang dirasa tepat. Pulang bersama dengan suasana yang tenang, tanpa ada
perdebatan.
“Allah selalu ada buat aku. Sementara, orang-orang tidak pernah benar-benar berada di
sampingku. Tapi karena kamu sudah berusaha menjadi temanku, aku akan mengabulkan satu
permintaanmu.”
Berhenti di tengah perjalanan, di sebuah gang di dekat sekolah. Sekarang mereka
berhadapan, menatap satu sama lain dengan perasaan tak karuan.
Nayna tidak sanggup berlama-lama menatap mata elang itu. Ravi juga tidak mampu
menerima tatapan Nayna yang sudah berubah. Saat ini, mereka saling mengalihkan pandangan.
Karena tak kunjung mendapat permohonan dari laki-laki itu, akhirnya Nayna melanjutkan
langkah.
Meninggalkan Ravi beberapa langkah di belakangnya.
“Aku ingin bertemu dengan Fidelis,” kata Ravi. “Sehari bersamanya. Aku ingin adikmu
tahu kalau ada seseorang yang akan menjaga dan melindungi kakaknya.”
Tiba-tiba seseorang memukul punggung Ravi dengan sebuah balok kayu. Setelah sang
korban jatuh tak sadarkan diri, pelaku itu kabur begitu saja. Namun, suara balok yang terlempar
itu membuat Nayna menoleh kaget.
Ia berteriak minta tolong, dan memanggil siapa pun yang ada di sekitarnya.
Di selasar sebuah rumah sakit, Nayna duduk di kursi ruang tunggu. Sementara, di kamar tempat
Ravi dirawat, ada orangtuanya yang menunggu di dalam. Gadis itu benar-benar sedih. Namun,
tetap tidak bisa mengeluarkan air mata. Entah mengapa, ia sendiri tidak tahu. Yang pasti,
perasaannya sungguh tidak menentu.
“Nayna,” panggil Rina ketika keluar dari kamar. “Lebih baik kamu pulang. Jika Ravi
sudah sadar, Tante akan menghubungimu.”
63
Dengan lemas Nayna mendekatinya. “Iya, Tante. Kalau ada apa-apa, tolong hubungi
saya, Tante. Saya sangat merasa bersalah. Ravi sedang bersama saya ketika seseorang yang
tidak dikenal menyerangnya dari belakang.”
“Ini bukan yang pertama kali, Nayna. Kamu tidak perlu khawatir. Dia memang anak
nakal. Dia pasti sering merepotkanmu akhir-akhir ini. Tante minta maaf, ya.”
“Jangan minta maaf sama saya, Tante,” kata Nayna.
Mungkin saya adalah alasan seseorang menyerang Ravi secara tiba-tiba. Lanjutnya
dalam hati.
“Kamu pulang dulu sekarang. Besok boleh jenguk Ravi ke sini, atau langsung ke rumah
kalau dia sudah boleh pulang.”
“Iya, Tante. Saya permisi dulu.” Nayna pamit.
Ada sesuatu yang bergetar ketika Nayna menyalami tangannya dengan begitu santun.
Rina tidak bisa menerka itu apa, tapi ia yakin bahwa yang di sebut alien oleh anaknya itu adalah
orang yang telah membuat Ravi jatuh cinta.
64
KAK NAYNA JANGAN MENANGIS
(Aku tidak suka melihatmu mengeluarkan air mata)
Entah siapa yang telah membuat Ravi seperti ini, terbaring lemah dengan luka lebam pada
pundaknya. Membuatnya harus tetap di atas ranjang, tidak boleh beranjak sampai kondisinya
benar-benar membaik.
Dan yang paling berat baginya adalah dia tidak bisa berangkat sekolah. Bukan karena
terlalu rajin dan takut ketinggalan pelajaran, melainkan karena dia tidak bisa bertemu dengan
seseorang yang selama ini sudah merebut konsentrasinya. Nayna, gadis itu yang saat ini sangat
Ravi rindukan.
Pemuda itu menerawang langit-langit kamar, membayangkan sosok Nayna yang dulu
selalu muncul di hadapannya dengan wajah angkuh. Tidak pernah ramah, tetapi itulah yang
menjadikan seorang Nayna menarik baginya. Gadis pemberani, pemberontak, dan tidak takut
mengatakan apa yang dia rasakan.
Gadis yang membuatnya selalu rajin bangun pagi dan berangkat ke sekolah.
Pintu diketuk dari luar, menyadarkan Ravi dari lamunannya tentang Nayna. Rina
berjalan, membawa sebuah nampan berisi sarapan untuknya.
“Bagaimana kondisimu hari ini, Sayang?” ucapnya sambil meletakkan nampan di atas
meja.
Ravi memaksakan sebuah senyuman, “Sudah mendingan kok, Ma. Nggak ngilu seperti
kemarin. Cuma kalau buat gerak kadang masih sakit.”
“Alhamdulillah kalau gitu. Ini sarapan dulu, obatnya jangan lupa, semoga nanti cepat
sembuh, biar bisa beraktivitas lagi, dan ketemu sama alien itu.” Rina sedikit mengolok.
“Apaan sih, Mama.”
“Kenapa? Lagi pula Mama sudah tahu alien itu siapa. Tidak perlu malu-malu seperti
itu.”
“Bukannya gitu, Ma. alien itu panggilan khusus aku buat dia. Selain aku tidak boleh
ada seorang pun yang memanggilnya dengan sebutan itu.”
“Oh, ya? Sekali pun orang itu adalah Mama?”
“Iya, karena dia juga tidak tahu kalau aku menyebutnya alien.”
“Jadi ini rahasia?”
“Iya, dan Mama harus menjaga rahasia ini.”
Ravi membuat perjanjian sekarang. Rina sampai sedikit tergelak, dan menyetujui pada
akhirnya.
65
Alien. Panggilan lain dari Ravi untuk Nayna. Gadis itu sendiri bahkan tidak tahu soal
sebutan barunya dari sang berandal tersebut. Entah bagaimana Ravi menemukan panggilan
aneh itu, dan disematkannya kepada Nayna. Ravi hanya menganggap bahwa dengan begitu dia
bisa merasa Nayna lebih spesial dari teman-teman lainnya.
SMK Bina Nusantara masih sibuk dengan kegiatan belajar mengajar. Di lapangan, terlihat
anak-anak kelas X- Akutansi 1 sedang melakukan senam aerobik dipimpin oleh Pak Gunawan.
Di ruang musik, terdengar suara gitar dan alat musik lainnya. Dan di kelas lain, guru-guru
sedang memberikan materi, termasuk di kelas Nayna.
Gadis itu sedang merasa ada yang kurang saat ini. Bangku di belakangnya, yang
biasanya menjadi tempat duduk Ravi, sudah beberapa hari ini dibiarkan kosong. Membuat
Nayna, entah kenapa, merasa kehilangan sosok yang kerap kali mengganggunya meskipun
sudah sangat sering dia marahi.
Nayna cukup gelisah hingga tidak bisa konsentrasi untuk mendengarkan penjelasan Bu
Santi. Pikirannya tersita, mengkhawatirkan Ravi yang saat terakhir dia lihat dalam kondisi
memprihatinkan.
“Si Nayna kenapa?” Yola berbisik pada Inez setelah ia sempat menoleh sedikit ke arah
Nayna.
“Palingan juga galau gara-gara Ravi nggak masuk,” Inez menjawab dengan pelan.
“Jadi dia beneran suka sama cowok itu?”
“Menurutmu? Dari awal dia sudah kemakan omongan sendiri, tuh. Nggak heran deh
kalau sekarang dia lebih dekat sama Ravi daripada sama kita.”
Tiba-tiba sebuah spidol melayang ke tempat mereka. Sontak, Inez dan Yola terkejut,
tertegun, dan merasa tidak enak hati pada Bu Santi yang melemparnya. Terlebih ketika mereka
tahu, semua mata anak-anak memandang ke arah mereka. Tak terkecuali Nayna, yang sedari
tadi juga sebenarnya tidak memperhatikan.
Sore hari yang menegangkang.
66
sirene pemadam kebakaran berbunyi dengan sangat nyaring, memekakkan telinga
semua orang yang berada di dekatnya. Sopirnya melajukan kendaraan itu dengan sangat
perlahan, terpaksa harus tetap berjalan walaupun gang yang ia lewati begitu sempit.
Sementara di sebuah rumah yang berada persis di persimpangan, kobaran api menyala
dengan begitu besar. Melahap sedikit demi sedikit bangunan yang kini mulai habis dilalap si
jago merah.
Orang-orang mecoba memadamkan api dengan peralatan seadanya, sambil menunggu
pemadam kebakaran yang masih berusaha masuk ke dalam gang. Namun tidak berpengaruh,
kobaran api tetap membesar meskipun mereka sudah menyiramkan banyak air dari ember yang
mereka bawa.
Semua dilanda kepanikan. Teriakan histeris terdengar dari setiap mulut yang melihat
bagaimana api meluluhlantakkan rumah itu. Bagaimana seorang wanita tua tertunduk lemah
dengan air mata yang tidak berhenti mengalir, mencemaskan seorang bocah yang masih
terjebak di dalamnya.
“Non Fidel! Non Fidel!” teriaknya dengan segenap tenaga yang tersisa.
Perempuan-perempuan lain mencoba menahannya untuk tidak menerobos kobaran api,
mencoba menenangkan dengan penuh kesabaran.
Nayna yang baru saja pulang dari sekolah berlari panik. Wajahnya sangat pucat, dan
lututnya lemas tak dapat menopang tubuh. Gadis itu menatap tidak percaya ketika api semakin
membesar menghanguskan rumahnya. Air mata deras mengalir membasahi pipinya. Dengan
tenaga yang tersisa, gadis itu menerobos kerumunan orang-orang untuk mencari sosok Fidelis
dan Mbok Win.
Pemadam kebakaran yang berhasil masuk ke dalam gang mulai menyiramkan air
melalui selang yang tersambung ke tangki.
Ia menemukannya, tetapi hanya Mbok Win, tidak tampak Fidelis di samping
perempuan tua itu. Membuat Nayna semakin kalut, pikiran-pikiran buruk menguasai otaknya.
“Mbok, apa yang terjadi, Mbok? Fidel di mana? Fidelis mana?” tanya Nayna dengan
suara bergetar.
“Non Nayna, Non Fidel masih di dalam, Non. Tolong Non, maafin Simbok, tolong Non
Fidel! Ya Allah.”
Jawaban Mbok Win bagai petir yang menyambar keras, membuat Nayna tidak bisa
berpikir panjang lagi. Ia berlari menuju kobaran api, mencoba untuk mencari keberadaan
adiknya yang terjebak di dalam rumah. Namun niatnya terhenti ketika seorang pemadam
67
menahan langkahnya. Nayna meronta, berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan diri dari
dekapan pemadam itu. Tidak berdaya, akhirnya Nayna tersungkur di atas tanah.
“Fideeel!!!”
Tiba-tiba sebuah tangan mungil membelai rambutnya, membuat Nayna mengangkat
wajah. Ia mendapati sosok yang terlihat sedang tersenyum di gendongan seorang pemadam
kebakaran. Sosok yang langsung membuatnya berdiri dan memeluknya dengan penuh emosi.
Fidelis berhasil dikeluarkan, meskipun dengan penampilan yang sudah sangat berantakan.
Fidelis mengusap air mata di pipi Nayna, “K-kak Nayna, ja-jangan menangis,” ucapnya
dengan terbata.
Air mata justru semakin deras membasahi pipi Nayna ketika Fidelis melakukan itu. Ia
merasa amat terharu, tidak pernah dirinya merasakan perasaan selega ini, seperti saat ini. Ia
seakan sudah tidak peduli walaupun rumahnya habis dilalap api, yang terpenting adalah
adiknya berhasil diselamatkan.
Berkali-kali Nayna menciumi Fidelis. Berkali-kali gadis itu membelai dan memeluk
adiknya dengan penuh rasa kasih sayang.
Satu jam berlalu sejak api berhasil dipadamkan, meninggalkan puing-puing dan
reruntuhan rumah yang hampir menjadi abu. Nayna, Fidelis dan Mbok Win hanya bisa menatap
kosong tanpa mampu berkata apa-apa.
Ponsel Nayna berdering, menampakkan sebuah nomor yang tidak dikenal. Dengan
penasaran, gadis itu menjawab panggilan itu.
“Halo, Assalamu’alaikum.”
Suara itu, suara Mama Ravi, Nayna ingat betul. Entah perempuan itu dapat nomornya
dari siapa. Kemudian percakapan dimulai dengan kalimat awal yang memberitahukan bahwa
Ravi sudah mulai membaik dan dia sudah bisa ditemui. Lalu entah bagaimana selanjutnya,
Nayna sudah menceritakan kejadian yang sedang menimpanya sekarang.
Dan sebuah kalimat mengejutkan ia terima. Sopir keluarga Ravi akan datang
menjemput mereka, dan Rina menyuruh mereka untuk tinggal sementara di rumahnya. Lalu
telepon ditutup bahkan sebelum Nayna memberikan tanggapan apa pun. Membuatnya
mendesah.
Satu rumah dengan Ravi, entah apa yang akan terjadi nanti.
68
Rina menepati janjinya. Kini Nayna, Fidelis, dan Mbok Win sudah berada di rumah besar
dengan dua tingkat. Memiliki halaman yang bahkan dua kali lipat dari halaman rumah mereka,
berisi tanaman-tanaman yang juga lebih berkelas dari yang ada di taman kecil rumahnya.
Benar-benar mewah.
Perempuan berusia kepala empat itu keluar, menyambut mereka dengan perasaan
prihatin. Ada kesedihan yang aneh ketika ia memeluk Nayna, mengusap rambutnya, dan
mencium kedua pipinya. Sebuah kedekatan yang terasa sudah begitu lama terjalin. Perasaan
yang masih Rina rasakan walaupun kini ia beralih kepada Fidelis.
“Ayo, masuk. Kita bicara di dalam.”
Dengan sungkan, Nayna dan Mbok Win mengangguk, lalu membuntut di belakang
Rina yang masih menggendong Fidelis.
Mereka berempat duduk di ruang televisi. Fidelis tampak nyaman berada di pangkuan
Rina. Ibu beranak satu itu mudah membuat siapa pun betah tinggal di dekatnya.
“Apa yang sebenarnya terjadi?”
“Sebelumnya saya minta maaf, Bu. Saya jadi tidak enak hati untuk ada di sini. Ini semua
salah saya. Saya yang telah menyebabkan rumah kebakaran.” Mbok Win mengutarakan dengan
penyesalan yang dalam.
“Mbok, ini bukan salah siapa-siapa. Bukan masalah salah atau benar. Ini musibah,
Mbok. Kita sedang diuji. Jangan salahkan diri Mbok terus-menerus. Nayna nggak suka.”
Gadis itu memegang tangan Mbok Win erat-erat. Mencoba menguatkan, meyakinkan.
“Tapi Non, semuanya habis, buku-buku Non Nayna, mainan Non Fidelis, barang-
barang Tuan, tidak ada yang tersisa.”
“Jangan pikirkan itu, Mbok. Nayna sudah ikhlas, kita harus ikhlas.”
Nayna dan Mbok Win saling berpelukan, mereka terjebak dalam kesedihan berdua.
Fidelis hanya menatap kosong ke arah mereka. Rina refleks melepaskan bocah kecil itu.
Membuatnya berjalan menghampiri kedua orang terdekatnya.
Sementara Ravi berdiri di anak tangga. Ia hanya menatap Nayna. Saat ini, gadis itu
sedang dalam kesulitan. Mengharuskan dirinya untuk membuktikan perkataannya beberapa
waktu lalu.
Menjaga dan melindungi Nayna.
Dan melihat Fidelis untuk kedua kalinya, seperti ada energi yang tiba-tiba menjalar ke
seluruh tubuhnya. Ravi seakan menjadi sangat bertenaga sekarang.
69
Aku tidak suka melihatmu mengeluarkan air mata, Nayna....
70
UNTUK NAYNA
(Ini inisiatif kami. Kami mengumpulkan ini semua untukmu)
Inez, Yola, dan Debby masuk ke kelas bersama-sama. Mereka melihat kursi Nayna terlebih
dulu, ternyata gadis itu belum datang. Kemudian baru berkomentar tentang apa yang terjadi di
kelas hari ini.
Sebuah aksi untuk membantu Nayna. Beberapa teman ada yang mengumpulkan
pakaian dan alat tulis, semuanya dikemas ke dalam kotak kardus berukuran besar. Beberapa
lagi menyiapkan buku-buku pelajaran yang sekiranya akan Nayna butuhkan. Dan yang lainnya
menyumbangkan sejumlah uang.
“Hei, barang-barang sebanyak ini, siapa yang mau mengantarnya?” Inez berteriak pada
teman-teman yang sedang merapikan pakaian.
Yola nimbrung, “Lagi pula, di mana tempat tinggal Nayna sekarang, ada yang tahu?”
“Pagi-pagi begini kelas kita sudah ramai seperti pasar,”
Saat teman-teman sibuk mengerjakan sesuatu yang sifatnya amal, mereka bertiga
merusak suasana. Padahal mereka teman terdekat Nayna. Bukannya ikut empati, atau simpati
sedikit saja, mereka malah mengundang keributan. Bahkan seorang Alfian merasa kalau Inez,
Yola, dan Debby tidak berkeprimanusiaan.
“Kemungkinan Nayna akan masuk hari ini, seharusnya kalian membantu kita, supaya
ini cepat selesai.”
“Iya, jangan banyak komentar,” sambung teman perempuan di sebelah Alfian.
“Kalian kan sahabatnya Nayna, apa yang kalian lakukan untuk menolongnya? Apa
tidak ada sama sekali?”
Lantas, dengan kesal Inez mengeluarkan sebuah amplop tebal berwarna putih dari saku
roknya. Ia menunjukkan itu kepada teman-teman satu kelas. Atau yang lebih tepat,
memamerkannya.
“Ini dari kita bertiga,” katanya. “Bahkan jumlahnya jelas sudah pasti lebih dari
sumbangan yang kalian kumpulkan.”
Amplop tersebut diletakkannya di atas meja guru.
Alfian dan semua teman yang melihat kesombongan Inez benar-benar heran. Tidak
menyangka bahwa sifat buruk mereka baru kelihatan kali ini. Apalagi murid yang tertimpa
musibah adalah Nayna, teman sebangku Debby, dan Inez juga Yola merupakan sahabatnya.
71
“Aku mau ke ruang guru, kamu duluan saja ke kelas.” Nayna meminta pada Ravi.
Mereka baru tiba di halaman sekolah. Untuk pertama kalinya berangkat bersama, Ravi
berharap bisa lebih dekat lagi dengan gadis itu. Bukan memanfaatkan suasana. Namun, ia
memang harus berada di sampingnya sekarang. Tidak bisa meninggalkannya dalam waktu
dekat.
“Cuma ke Pak Rozak sebentar kok,” tambahnya.
Akhirnya Ravi mengangguk, dan melanjutkan langkah menuju kelas. Sementara Nayna
berbalik, putar arah ke gedung dua.
Ketika sampai di ruang guru, ia disambut hangat oleh beberapa guru yang ada di
tempatnya masing-masing. Ia tahu apa sebabnya. Namun, tidak mau terlalu memperlihatkan.
Selama tatapan orang-orang yang memandangnya bukan tatapan yang iba atau mengasihani, ia
akan baik-baik saja.
“Assalamu’alaikum, Pak.” Nayna mengucap salam kepada Pak Rozak.
Di tempatnya, guru Bahasa Indonesia tersebut sedang mengoreksi makalah-makalah
yang terkumpul dari tugas minggu lalu.
“Wassalamu’alaikum,” balasnya. “Nayna, silakan duduk.”
Sebelum duduk Nayna mencium tangan Pak Rozak terlebih dahulu.
“Saya sudah mendengar soal musibah yang menimpa kamu. Saya turut prihatin.”
“Terima kasih, Pak.”
“Saya dan para guru telah membicarakannya dengan kepala sekolah. Kami akan sangat
terbuka jika kamu membutuhkan bantuan. Apa pun itu, kamu boleh mengatakannya. Mungkin
nanti Pak Raymond, wali kelasmu yang akan menyampaikan sesuatu.
Nayna menganggukkan kepalanya.
“Sebenarnya saya ke sini ingin menanyakan tentang tugas makalah novel kelompok
saya, Pak. Kami belum mengumpulkannya.”
“Lho, ini.” Pak Rozak menunjukkan makalah bersampul warna biru.
“Alfian yang menyerahkannya tadi pagi-pagi sekali,” lanjutnya.
Nayna tertegun, merasa sangat heran ketika Pak Rozak menunjukkan makalah yang
selama ini dia cari-cari sudah berada di tangan guru berkacamata tersebut.
72
Suasana kelas sedikit bising dengan aktifitas masing-masing, jam pertama baru akan mulai
beberapa menit lagi. Nayna masuk ke kelas dan suasana seketika berganti. Alfian dan kawan-
kawan mengerubunginya.
“Na, apa kamu baik-baik saja?”
“Kami sangat khawatir.”
“Iya, aku coba menghubungimu, tapi nomormu tidak aktif.”
“Bagaimana keadaanmu sekarang?”
Teman-teman sekelas Nayna begitu perhatian. Membuatnya tersanjung, terharu, tetapi
air mata harus dibendungnya agar tidak berkucuran.
Ravi duduk bersandar di meja guru. Laki-laki itu cukup tersentuh saat mengetahui apa
yang teman-temannya lakukan untuk Nayna. Ternyata sekolah ini memiliki murid-murid
bersolidaritas tinggi. Ia bangga telah dikeluarkan dari sekolah yang sebelumnya, hingga ia bisa
berada di sekolah yang seperti ini. Dengan satu siswi yang mampu mengubahnya, dan beberapa
karakter teman yang mampu dijadikannya pelajaran.
“Aku baik-baik saja,” jawab Nayna, “Hari ini rasanya seperti ada yang berbeda, padahal
aku hanya tidak masuk beberapa hari saja.”
Ia melihat banyak barang dan kardus di sudut kelas.
“Iya, kami mengumpulkan ini semua untukmu.”
“Apa ini idemu, Alfian?”
“Ah, tidak, ini inisiatif kami semua.”
Nayna tersenyum, matanya terlihat berkaca-kaca.
“Terima kasih semuanya,”
Bel berbunyi, membuat mereka harus kembali ke tempatnya masing-masing. Jam
pelajaran pertama akan segera di mulai.
“Semangat, Na!”
“Kalau ada PR, kamu boleh mengerjakannya di rumahku.” Alfian berbisik.
“Huh, bilang aja mau nyontek!” Sambung satu teman perempuan tiba-tiba.
Sebuah keributan kecil sempat terjadi membuat Nayna senyum-senyum sendiri.
Ketika akan duduk di tempatnya, Nayna menoleh ke arah Ravi, kedua mata mereka
saling menatap sekilas. Tatapan yang sulit diartikan. Keduanya sama-sama belum mengerti
perasaan satu sama lain.
73
“Na, aku mau ke sekre dulu, kamu tunggu di sini, ya,” kata Ravi, dan Nayna mengangguk.
Nayna terus menatap punggung Ravi yang berjalan menjauh, entah apa yang dia
rasakan saat ini. Tiba-tiba saja mereka sudah begitu dekat dan seakan semua yang pernah
terjadi diantara mereka hanya sekedar mimpi.
“Aku dengar rumahmu kebakaran, aku turut prihatin.” Nayna tersentak ketika tiba-tiba
seseorang berbicara dari belakangnya.
Terlebih ketika dia tahu siapa yang baru saja mengatakan itu. Siapa yang mau percaya
dengan ucapan gadis seperti Pilla, jika tahu betapa menyebalkannya orang tersebut. Nayna
sudah tidak punya rasa untuk menghadapinya..
“Jadi sekarang kamu tinggal di mana?” lanjutnya.
“Apa itu penting untuk kamu ketahui?”
“Sebenarnya tidak, tapi aku sangat berharap kamu tidak tinggal di kolong jembatan atau
pinggir jalan atau tempat-tempat yang tidak layak lainnya.”
“Oh, tentu saja tidak. Aku tinggal di tempat yang sangat nyaman, bersama orang yang
sangat ingin kamu miliki.”
Sontak, pikiran Pilla langsung menuju ke satu nama. Sosok yang saat ini menjadi
rebutan mereka berdua. Ravi Luvian. Pilla sungguh menyukai laki-laki itu.
“Apa kamu sedang berusaha membuatku tertawa?”
“Tidak, aku mengatakan yang sebenarnya.”
“Apa menurutmu aku akan percaya?”
“Aku tidak peduli apa pun reaksimu. Aku harus pulang sekarang, seseorang telah
menungguku.”
Nayna meninggalkan Pilla. Ia berjalan menghampiri sesosok laki-laki yang baru keluar
dari ruang sekre. Lalu mereka berjalan berdampingan menuju parkiran, dan pulang bersama.
Melihat itu membuat kepala Pilla seakan mengepul panas. Sekarang, Nayna serius menjadi
saingan terberatnya.
74
PERSAHABATAN BUKAN SEBUAH PERMAINAN
(Orang yang mampu menyakiti kita adalah orang yang berarti bagi kita)
“Yuk, berangkat sekarang.” Ravi mengajak Nayna yang masih duduk di meja makan.
“Ma, kita berangkat sekolah dulu. Assalamu’alaikum,” lanjutnya. Setengah berteriak
karena Rina sedang berada di dapur bersama Mbok Win.
Beberapa menit kemudian dua remaja itu sudah berada di dalam mobil hitam mewah
milik keluarga Ravi, yang berjalan dengan kecepatan standar karena kondisi jalanan cukup
padat. Butuh 15 menit untuk sampai di sekolah.
Sudah jauh meninggalkan rumah, keduanya masih sama-sama terdiam. Keadaan yang
tidak disukai oleh Ravi.
“Kamu betah tinggal di rumahku?” Ravi membuka percakapan, mencoba mengusir
kecanggungan yang tetap saja terasa meskipun mereka sudah cukup dekat.
“Sebenarnya aku merasa tidak enak sama keluargamu, kami bukan siapa-siapa, tetapi
keluargamu begitu baik. Bagaimanapun juga aku mengucapkan banyak terima kasih.”
Nayna berbicara tanpa melihat Ravi, pandangannya ia tujukan keluar jendela.
Mengamati setiap aktivitas orang-orang yang mereka lewati.
“Kami senang bisa membantu orang lain. Apalagi untukmu dan Fidelis. Meskipun
hanya sebatas seperti ini saja.”
“Ini sudah lebih dari cukup. Bahkan, aku tidak tahu apakah aku bisa membalasnya atau
tidak.” Kini ia mengalihkan pandangannya untuk menatap Ravi, membuat pemuda itu
tersenyum.
“Kami tidak butuh balasan apa pun. Kalian bisa tinggal di rumah kami selama kalian
mau. Aku yakin Mama juga berpikir seperti itu.”
“Terima kasih sekali lagi. Tetapi kami tahu diri, tidak seharusnya kami terlalu lama
merepotkan kalian,”
Ravi mengangguk, “Ehm... sebenarnya ada yang ingin kutanyakan padamu, tapi aku
takut akan membuatmu marah atau tersinggung.”
Nayna menunjukkan wajah penasaran, “Apa? Tanyakan saja, jangan takut aku akan
marah. Bukankah selama ini kamu tetap menggangguku meskipun sering aku marahi?”
Sebuah sindiran yang justru membuat Ravi tertawa, “Aku bukan mengganggumu, aku
hanya ingin menarik perhatianmu.”
Ravi sukses mendapat pelototan mata dari Nayna. Membuat ia kembali tertawa.
75
“Baiklah. Eum... maaf jika ini membuatmu tidak nyaman. Aku ingin bertanya tentang
keluargamu. Di mana orangtuamu sekarang? Aku tidak melihat mereka datang ke rumahku
bersama kalian.” Pemuda itu bertanya dengan cukup hati-hati.
Nayna terlihat kaget dengan pertanyaan itu, bahkan sampai membuatnya mengalihkan
wajah dari kedua mata Ravi. Kembali menatap jalanan, dengan perasaan luka yang selalu hadir
setiap kali ia teringat dengan kondisi keluarganya.
“Maaf, Na. Kamu tidak perlu menjawabnya kalau memang tidak mau, aku benar-benar
menyesal telah bertanya. Aku hanya...”
“Sejak beberapa tahun lalu, kedua orangtuaku sudah bercerai.” Nayna memotong
ucapannya. Membuat pemuda itu sedikit terkejut.
“Mereka berdua memilih untuk berpisah setelah terus-terusan bertengkar setiap hari.
Ah, itu memang jalan terbaik daripada membuat keributan yang tidak akan pernah berakhir,”
lanjutnya.
“Na...”
Nayna tidak menggubris panggilan Ravi, “Ibuku akhirnya menikah lagi dengan seorang
laki-laki, lalu ikut tinggal bersama suami barunya di luar negeri. Sejak itu kami sudah tidak
pernah bertemu lagi. Dan ayahku, dia tinggal satu rumah dengan kami, tetapi tidak pernah
berada di rumah. Ada, tapi sangat jarang. Dia lebih sering berada di luar dan hanya pulang jika
uangnya telah habis. Dan ketika ada di rumah, yang dia lakukan hanya marah-marah tanpa
alasan yang jelas,”
Nayna mengambil jeda untuk menghela napas dengan begitu dalam, seakan
mengeluarkan semua beban yang selama ini ada di dalam hatinya.
“Uang yang diberikan oleh Ibu untuk membiayai kami, dia pakai untuk bersenang-
senang. Dan ketika kondisinya sudah mabuk berat, dia akan pulang untuk mengamuk,
membanting apa pun di dalam rumah, dan berteriak-teriak dengan kalimat kasar.”
“Kalau kondisinya seperti itu, kenapa kamu tidak tinggal bersama ibu dan ayah tirimu
saja?”
Nayna menggeleng kepala dengan tegas, “Itu tidak akan pernah ku lakukan. Apapun
yang terjadi, aku tidak akan pernah tinggal bersama mereka.”
“Eum, aku boleh tahu kenapa?”
Senyum kecut tercipta pada bibir tipis Nayna, “Kamu seperti seorang detektif yang
sedang mengorek informasi dari tersangka kejahatan. Tapi tak masalah, akan ku ceritakan
kepadamu karena keluargamu sudah begitu baik pada kami,”
76
“Ibuku menikah dengan orang yang cukup terpandang dan memiliki jabatan tinggi di
perusahaan. Dia memiliki kehormatan dan harga diri yang tinggi. Dari sini mungkin kamu
sudah bisa menebak yang selanjutnya terjadi,”
“Tentang Fidelis?”
Ravi dapat melihat Nayna mengangguk dari bayangan di kaca mobil, “Benar, laki-laki
itu bisa menerima ibuku dan juga aku, tapi tidak bisa menerima Fidelis dengan kondisi seperti
itu. Itu membuatku sangat kecewa.”
Lagi-lagi, air mata tidak mampu dia tahan untuk tidak mengalir di pipinya.
“Karena itulah, aku memutuskan untuk tidak akan pernah tinggal bersamanya dan
memilih menemani Fidelis. Meskipun beberapa bulan yang lalu ibu sudah sering mengajak
kami tinggal bersamanya. Tetapi aku sudah terlanjur sakit hati dan kecewa kepada dia dan
suami barunya,”
Lampu lalu lintas berubah merah, Ravi menginjak rem untuk menghentikan laju
mobilnya. Ia mengambil kesempatan itu untuk menenangkan Nayna. Gadis itu pasrah,
membiarkan telapak tangan kekar Ravi mengusap bahunya.
Ia mengeluarkan semua air mata yang mengalir deras. Meluapkan semua beban yang
belum pernah ia bagikan dengan siapa pun. Dan kini, ada seseorang yang tanpa diduga menjadi
orang yang bersedia mendengarkan cerita hidupnya.
“Sudah cukup, Na. Aku tidak suka melihatmu menangis. Maaf aku menanyakan sesuatu
yang tidak perlu.” Ia membelai rambut hitam Nayna.
Dan memang, pelan-pelan hal itu membuat Nayna merasa tenang. Entah kenapa, ada
perasaan senang ketika Ravi memberinya perhatian. Nayna sendiri tidak tahu apa sebutan
tepatnya. Perasaan seperti itu belum pernah ia rasakan sebelumnya dari siapa pun.
Nayna berdiri di depan mading sekolah, membaca sebuah artikel tentang beasiswa untuk
melanjutkan kuliah di sebuah universitas. Sejak lama ia bermimpi untuk kuliah setelah lulus
nanti, tetapi dengan kondisi yang sekarang, mau tidak mau harus membuatnya berpikir dua
kali.
Saat itulah sosok Elsa berjalan mendekat dari arah ruang OSIS, terlihat melangkah
dengan buru-buru lalu berdiri persis di sebelah Nayna, membuat gadis itu menoleh kaget, dan
mendapati adik kelasnya sedang tersenyum.
“Elsa, ya ampun. Aku kira siapa.”
77
“Iya, Kak. Lagi baca apa?”
“Itu, informasi beasiswa penuh yang diadakan sebuah perguruan tinggi.”
“Coba saja, Kak. Kak Nayna kan pintar, pasti bakal lolos seleksi, deh.”
Nayna tersenyum, “Banyak yang lebih pintar dariku, El. Mereka juga pasti
menginginkan beasiswa ini.”
“Kakak selalu masuk tiga besar, bersaing tentunya bukan sebuah hal yang asing lagi
bagi kakak.”
Kali ini, Elsa membuat kakak kelasnya tertawa, “Emm... mungkin aku memang akan
mencobanya nanti. Eh, ada apa kamu ke sini? Pake lari-lari segala. Mau tempel artikel baru,
ya?”
Elsa menggeleng, “Akhir-akhir ini rasanya sulit menemui Kakak. Makanya pas aku
lihat ada Kakak di sini, aku langsung samperin. Sebenarnya ada yang ingin kutanyakan, tentang
puisi yang buat Kakak kesal dan bikin Kakak marah sampai mendatangiku di ruang OSIS.”
Nayna kaget, sebenarnya ia sudah mulai bisa melupakan puisi itu sedikit demi sedikit,
meskipun tetap ada amarah dalam hatinya. Namun mau bagaimana lagi, sekarang ia justru
tinggal satu rumah dengan seseorang yang ia tuduh sebagai penulis puisi tersebut. Bahkan,
sudah bisa bersikap baik padanya.
“Mungkin Kak Ravi sudah menyampaikan pesanku waktu itu. Tapi aku merasa aku
tetap harus meminta maaf langsung pada Kakak, karena telah teledor dalam mengawasi
publikasi mading sekolah kita.”
“Ravi? Dia tidak menyampaikan pesan apa pun darimu.” Nayna jadi bingung.
“Benarkah? Apa dia tidak mengatakan sesuatu?”
“Tidak. Memangnya apa yang seharusnya Ravi katakan kepadaku?”
“Ini tentang siapa yang menempelkan puisi itu. Belum lama, aku mendengar
percakapan Kak Inez, Kak Yola, dan Kak Debby di kantin pas jam istirahat. Ternyata Kak Inez
yang menempelnya di mading.”
“A-apa?!” Nayna terkejut. “Jadi, bukan Ravi pelakunya?”
Lagi, Elsa menggelengkan kepala. “Kakak mengira kalau Kak Ravi pelakunya?
Bagaimana mungkin? Aku lihat dia justru juga berusaha mencari tahu siapa pelaku
sebenarnya.”
“Dan yang menulis puisi itu adalah Pilla. Aku sendiri belum pernah mendengar
namanya. Apa dia murid di kelas Kakak?”
Sebuah kenyataan yang benar-benar tidak Nayna duga sebelumnya, membuat gadis itu
harus menguasai dirinya dari rasa keterkejutan yang luar biasa. Kenyataan baru tentang teman-
78
teman terdekatnya yang ternyata selalu menusuknya dari belakang. Dan mereka bekerja sama
dengan Pilla. Inez, Yola dan Debby ada di pihak mantan sahabatnya. Ini sungguh sulit diterima.
“Pilla? Di-dia murid kelas XII- Pemasaran 2. Dia pernah menjadi teman sebangku ku
waktu SMP dulu,.”
“Oh, ya? Apa itu berarti hubungan kalian cukup dekat? Lalu kenapa dia melakukan itu
kepada Kakak?”
“Kalau kejadiannnya dulu, mungkin aku akan sangat terpukul. Tapi kejadiannya
sekarang. Dan itu cukup masuk akal. Hubunganku dengan Pilla memang sudah retak sejak
kenaikan kelas tahun lalu. Seharusnya aku sudah bisa menduganya.”
“Bagaimana dengan Kak Inez, Kak Yola, dan Kak Debby? Bukankah mereka sahabat-
sahabat Kakak? Sepertinya, Kakak harus berhati-hati dengan mereka. Terkadang, sahabat
adalah musuh terdekat kita. Dan orang-orang yang bisa menyakiti hati kita adalah orang-orang
yang berarti bagi kita.”
Lagi-lagi Nayna harus menelan ludahnya meski berat, demi meredakan
tenggorokannya yang kering. Seorang Pilla, yang seharusnya menjadi sahabatnya sendiri
sampai melakukan hal yang keterlaluan seperti itu. Sekarang semuanya jelas, tidak ada yang
mengetahui Fidelis dengan kondisinya selain Pilla. Tidak mungkin ada orang lain selain gadis
itu.
“Ya, kamu benar. Terima kasih sudah memberitahu semuanya,” Hanya itu yang mampu
keluar dari bibir Nayna.
Elsa mengangguk, ia merasa lega Nayna sudah mengetahui kebenarannya.
Gadis itu sangat marah dan kecewa. Orang-orang yang dia pikir adalah sahabatnya
ternyata bekerjasama untuk melukainya.
“Seberapa lama pun kita berteman dengan seseorang, belum tentu kita mengetahuinya
begitu banyak. Dan seberapa dekat pun kita dengan seseorang, belum tentu kita mengenalnya
dengan baik,” lanjutnya.
Elsa mengerti kalimat-kalimat Nayna. Ia menatap kondisi fisik kakak kelasnya tersebut,
dan merasa kalau Nayna semakin kurus sejak terakhir mereka bertemu. Tentang kondisi
mental, jangan ditanya. Nayna pernah menjadi anggota OSIS terfavorit. Dapat dipastikan
bahwa dia sudah kebal dengan apa pun yang akan terjadi. Pelatihan, pendidikan, dan pelantikan
sudah sering dia jalani sewaktu ikut dalam beberapa organisasi dan ekstrakurikuler yang ada
di sekolah. Permasalahannya ini bukanlah sebuah cobaan, melainkan tantangan. Dia harus
membuktikan kepada semua orang, bahwa persahabatan bukan sebuah permainan.
79
80
MENJADI TEMAN
(Semakin dekat tanpa ada sekat)
“Ravi.” Panggilan Pilla membuat langkah Ravi terhenti.
“Ada apa?”
“Ada yang ingin kutanyakan padamu.”
“Aku mau ke toilet, kalau cuma satu pertanyaan silakan.”
Untuk kesekian kali Ravi berhasil membuat Pilla tersinggung. Selalu bersikap angkuh
di hadapannya, tidak pernah mau berusaha untuk memberikan senyuman meskipun baru saja
gadis itu datang dengan bibir yang melengkung ke atas, seharusnya pemuda itu membalas
tersenyum seperti yang diharapkannya.
“Buruan, deh.” Ravi terlihat tidak sabar, Pilla hanya diam di depannya.
“I-iya, aku mau tanya tentang Nayna, apa benar sekarang dia tinggal bersamamu?”
“Kalau iya kenapa?” Ravi menaikkan satu alisnya.
“Apa tidak salah? Dia bahkan bukan siapa-siapamu. Apakah dia yang memohon untuk
tinggal di rumahmu? Ah, dia memang tidak punya malu sama sekali.”
“apa masalahmu? Kenapa kamu berkata seperti itu? Bukankah kamu pernah menjadi
sahabatnya? Sebenarnya siapa yang tidak tahu malu sekarang?”
Pilla sangat terkejut mendengar serentetan pertanyaan yang menyudutkannya. Ia jadi
mati gaya. Membuat Ravi membalikkan badan dan hendak mealnjutkan langkahnya.
Meninggalkan Pilla yang menahan sebal.
“Dari mana kamu tahu aku pernah bersahabat dengannya? Apa dia yang bercerita
kepadamu? Aku tidak heran kalau sekarang kamu membelanya. Dia pasti sudah
memutarbalikkan fakta, dan kamu baru mengetahui setengah kejadiannya.”
Ravi menghentikan langkah dan membalikan badan, menatap tajam ke arah Pilla.
“Aku hanya berharap, semoga kamu mendapatkan seorang teman yang benar-benar
berada di pihakmu. Ketika kamu dikhianatinya, kamu akan tahu apa arti persahabatan yang
kamu punya,” tutur Ravi sebelum kembali melanjutkan langkahnya.
Pukul 9 malam, suasana rumah Ravi menjadi lebih ramai dan menyenangkan. Kehadiran
Fidelis mampu menciptakan keceriaan baru dalam keluarga Romy dan Rina. Mereka sedang
81
menonton televisi bersama. Sementara Ravi dan Nayna tengah mengerjakan soal-soal untuk
persiapan ujian nasional minggu depan.
Mbok Win datang dengan dua cangkir teh hangat dan sepiring pisang goreng yang
ditaburi saus cokelat dan keju parut.
“Ini camilannya, Non, Den, supaya belajarnya tidak bosan.”
“Terima kasih, Mbok,” kata Ravi.
“Fidelis belum tidur, Mbok?” tanya Nayna.
“Belum, Non, sebentar lagi akan saya nina bobokan.”
“Oh iya, Mbok, obat-obatnya ada di atas meja kamar ya, tadi baru aku tebus ke apotek.”
“Iya, Non.” Mbok Win berlalu, kembali menuju dapur.
Ravi terlihat pusing dengan satu soal matematika yang sulit dipecahkannya. Sedangkan
Nayna tampak begitu tenang dan lancar menjawab semua teka-teki di pelajaran yang paling
menguras otak tersebut.
“Apa ada sesuatu yang kamu sembunyikan dariku?”
Pertanyaan Nayna yang tiba-tiba membuat Ravi mendadak sakit kepala.
“Aku tahu kenapa akhir-akhir ini kamu begitu mengkhawatirkanku di sekolah. Inez,
Yola dan Debby mungkin benar telah berpura-pura menjadi sahabatku. Mungkin juga mereka
melakukan itu karena perintah dari Pilla. Apa pun alasannya, aku tidak peduli lagi saat ini. Aku
sudah mengetahuinya, aku rasa itu cukup.”
Nayna bisa mengerti kenapa Ravi tidak menyampaikan pesan dari Elsa. Laki-laki itu
pasti tidak mau melihatnya terpukul. Dikhianati sahabat sendiri, rasanya pasti menyakitkan.
“Mereka harus diberi pelajaran. Pelajaran di sekolah tidak cukup membuat mereka
menjadi orang yang punya pikiran. Bagaimana bisa selama ini mereka bersikap baik di
depanmu, tetapi di belakang mereka bersikap jahat terhadapmu? Andai semua orang tahu,
mereka benar-benar menyedihkan.”
“Jangan terlalu memikirkan itu, sudah tidak begitu penting.”
“Tidak bisa. Kamu harus membalas mereka, mereka pasti akan malu karena kelakuan
mereka. Itu akan menghibur dan aku sangat ingin menertawakannya,” ujar Ravi yang
disambung tawa renyahnya.
Nayna senang melihat Ravi membelanya. Tapi tentang Inez, Yola, dan Debby
sebenarnya sudah tidak perlu lagi untuk dipermasalahkan. Mereka akan sadar pada saatnya,
akan mendapat balasan pada waktunya. Sesungguhnya manusia tidak boleh menghina manusia
yang lain, yang melanggar akan mengalami sebuah kerugian nantinya.
“Pin Hoobastank itu, ada pada Pilla. Dia bilang dia mendapatkannya darimu.”
82
“A-apa?” Ravi syok.
“Itu tidak benar. Aku bahkan tidak pernah tenang setiap kali bertemu dengannya.
Bagaimana bisa aku memberinya sesuatu? Itu mustahil sekali.”
“Berarti dia sudah berbohong. Aku sudah menduganya,”
“Bukankah pin itu hilang bersamaan dengan tugas makalah novel fantasimu?”
Ravi mengingatkan Nayna pada petunjuk-petunjuk berikutnya. Ia semakin yakin kalau
Inez, Yola, dan Debby yang telah mengambil makalah Nayna. Membuat gadis itu kehilangan
muka di depan Pak Rozak, lalu harus menyusun ulang tugasnya, tetapi beruntung Alfian dapat
menyelesaikannya lebih cepat dan mengumpulkannya diam-diam kepada guru tersebut.
Nayna tidak tahu harus berbuat apa sekarang. Ia hanya ingin fokus pada persiapan Ujian
Nasional yang tinggal seminggu lagi. Tidak ada waktu untuk memikirkan hal-hal yang cuma
membuatnya sedih dan merasa bodoh.
Mereka melakukan evaluasi satu sama lain. Setelah itu kembali ke kamar masing-
masing. Ravi berharap Nayna dapat tidur dengan nyenyak ketika ia tahu kebenarannya. Gadis
itu benar-benar kuat dan tegar. Meski kadang sering galak dan suka marah tiba-tiba. Ah, intinya
Ravi semakin mengaguminya.
83
APAKAH DIA PUTRIKU?
(Mungkinkah dia kembali? Mungkinkah kita telah menemukannya?)
Adzan Subuh baru berkumandang. Nayna langsung mengambil wudhu dan bersiap
melaksanakan shalat. Hari ini adalah hari pertama Ujian Nasional. Ia begitu antusias, tetapi
juga cukup harap-harap cemas.
Aroma tumisan buncis, tempe, dan tahu yang dicampur dengan saus tiram sangat
menyengat. Sangat tajam masuk ke rongga hidungnya. Membuat Nayna tidak sabar ingin
menyantapnya. Sambil memasang dasi di kerah baju seragam, ia berjalan menuju dapur.
“Selamat pagi, Nayna,” sapa Rina dengan senyuman ketika ia menangkap sosok gadis
itu melangkah mendekat.
Mbok Win turut tersenyum. Pagi-pagi begini dia sudah menerima dua senyuman yang
paling manis dari orang-orang yang disayanginya.
“Pagi, Tante. Pagi, Mbok.”
“Apa ada yang kurang yang kamu butuhkan hari ini?”
“Emm... sepertinya tidak. Ravi telah banyak membantuku, Tante.”
“Baguslah, setelah masakan siap, kalian langsung sarapan. Pasti perlu tiba lebih awal
ke sekolah karena hari ini hari yang menegangkan bagi anak kelas XII.”
Nayna mengangguk membenarkan. Ia melihat rambut Rina terkucir dengan sebuah pita
berwarna merah maroon. Ia berpikir kalau rambutnya juga bisa mendapat perlakuan khusus
seperti itu. Hanya saja, ia tidak pandai melakukannya. Mengucir rambut tidak pernah ia
lakukan sebelumnya. Selama ini, rambutnya selalu dibiarkan tergerai.
Ternyata Rina menyadarinya. Perempuan itu lekas memandang Nayna dari atas sampai
bawah. Penampilan yang selalu terlihat biasa saja. Namun, tampak begitu menarik bila
diperhatikan. Ia pun meninggalkan kesibukan di dapur, digantikan oleh Mbok Win yang selalu
bisa diandalkan.
“Bolehkah saya melakukan sesuatu terhadapmu?” Pinta Rina yang lantas membuat
Nayna mengerjapkan kedua matanya.
Ia mengajak gadis itu untuk duduk di depan meja rias. Kedua tangannya dengan lincah
mengambil beberapa alat kecantikan. Dimulai dengan menyisir rambut Nayna, mengucirkan
dengan satu ikatan yang diberi pita berwarna merah muda. Lalu memberi sedikit polesan bedak
dan lipstik berwarna bening. Dalam waktu yang singkat, sebuah perubahan telah terjadi.
“Sekarang kamu menjadi lebih spesial.”
Nayna merasa puas dengan hasilnya.
84
Rina tahu bagaimana tipe Nayna. Gadis yang cuek, tidak suka berlebihan dan selalu
berusaha terlihat ceria di depan semua orang.
Namun, ada sesuatu yang tiba-tiba mengusiknya. Di leher belakang Nayna terdapat
sebuah tanda, seperti tanda lahir atau mungkin bekas luka. Rina menyentuhnya dengan
penasaran. Ia seketika teringat pada masa 16 tahun silam. Saat ia melahirkan sepasang bayi
kembar fraternal, laki-laki dan perempuan. Keduanya sama-sama memiliki tanda hitam di leher
belakangnya.
“Mama, Nayna, ayo kita sarapan. Aku tidak ingin terlambat dan merusak suasana
pikiranku di hari pertama ujian kali ini.”
Sontak, teriakan Ravi langsung membuat Nayna bangkit, dan Rina bangun dari
lamunannya soal tanda di leher belakang Nayna itu.
Ketika mereka tiba di ruang makan, betapa terbelalaknya kedua mata Ravi saat melihat
Nayna tampil dengan sedikit lebih segar dan rapi. Sang mantan berandal itu sampai tak bisa
berkata apa-apa lagi.
Nayna menjadi malu.
“Kenapa harus ada 100 murid kelas XII di sekolah ini? Kenapa tidak hanya kita berdua saja?
Pasti kita akan satu ruangan dan aku tidak akan merasa putus asa dalam menjawab semua soal.”
Ravi berkata setelah ia dan Nayna sampai di depan ruang dua.
Beberapa murid yang ada di luar ruangan kelihatan sibuk dengan urusan mereka
masing-masing. Ada juga yang masih berada di masjid, habis melaksanakan shalat Dhuha.
Sementara Ravi dan Nayna baru saja tiba.
“Apa-apaan kamu ini? Aku malah bersyukur tidak satu ruangan denganmu.”
“Jangan terus berpura-pura. Jujurlah sekarang kalau kamu juga berharap hal yang
sama.”
“Tidak, aku benar-benar tidak tahu apa yang ada di dalam pikiranmu.”
“Ravi, Nayna.” Alfian mendadak muncul. “Apa kalian selalu berdebat di setiap waktu?
Bahkan di saat seperti ini kalian masih sempat memperdebatkan sesuatu.”
Secara serentak mereka melirik ke arah anak laki-laki itu.
“Ah, tidak. Kami hanya saling menyemangati satu sama lain.”
“Terkadang Nayna memang suka menggodaku, dia selalu bisa merebut perhatianku,”
lanjutnya sambil berbisik merangkul Alfian.
85
Nayna mendengar kalimat konyol tersebut, ia hanya bisa memberi tampang yang
menyangkal.
“Aku kenal dia lebih dulu daripada kamu,” pernyataan Alfian lantas membuat Ravi
harus menahan tawa di depannya.
Setelah itu, mereka meninggalkan Nayna di tempatnya. Sebuah percakapan masih
berlanjut. Sementara seseorang berhasil mengejutkan gadis itu.
“Akhir-akhir ini pasti tidak mudah, ya? Tapi sepertinya kamu senang-senang saja.”
Ham. Laki-laki itu lagi. Anak ketua yayasan yang sama sekali tidak pantas mendapat
perlakuan khusus dari sekolah. Cowok paling menyebalkan di dunia. Orang yang menyebabkan
hubungan Pilla dengannya menjadi retak dan semakin rumit. Untuk melihat wajahnya saja
Nayna tidak sudi, apalagi harus menghadapinya. Benar-benar mimpi buruk.
“Apa kamu sedang berusaha membuatku kehilangan konsentrasi?”
“Aku ingin membuatmu menyesal telah menolakku demi anak baru itu.”
Degh!
“Oh, ya? Apa kamu tidak salah sasaran? Aku bahkan tidak ada hubungan apa-apa
dengannya.”
“Aku akan melakukan hal yang tidak pernah kamu sangka selama ini.”
Sekali lagi. Kalimat Ham semakin membuat Nayna deg-degan. Dia mungkin bisa
melakukan hal yang sangat ekstrem dan berbahaya bagi siapa pun. Namun, sekuat hati Nayna
berusaha santai menanggapinya. Meskipun sebenarnya ia begitu takut.
“Kamu sedang mencoba mengancamku, itu tidak akan berguna.”
Tidak ada pilihan selain menghindarinya. Nayna masuk ke dalam ruangannya. Ia duduk
di tempatnya. Hari pertama ujian nasional kali ini semoga berjalan dengan lancar. Dan hanya
ada satu penangkal untuk mengusir apapun yang berusaha untuk merusak suasana hati dan
pikirannya, yaitu doodle art dari Ravi.
Ia mengambil selembar kertas itu dari saku seragamnya.
“Mbok,” Rina mendatangi Mbok Win saat perempuan senja itu sedang menemani Fidelis tidur.
“Iya, Nyonya.”
“Bisa bicara sebentar?”
86
Beruntung Fidelis sudah tertidur pulas. Tidur siang kali ini, gadis kecil itu tidak begitu
rewel. Biasanya Mbok Win perlu membacakan dongeng atau bernyanyi sedikit untuk
membuatnya cepat mengantuk.
Sekarang, dua perempuan itu sudah berada di taman belakang dekat kolam renang. Rina
sengaja membawanya ke tempat yang lebih jauh, supaya kalau Ravi dan Nayna pulang,
keduanya tidak akan mendengar percakapan mereka.
“Ada yang ingin saya tanyakan.”
“Silakan, Nyonya.”
“Sudah berapa lama Mbok Win bekerja untuk keluarga Nayna?”
“Wah, sudah lama sekali. Sejak Non Nayna masih kecil.”
“Kalau begitu, Mbok Win pasti tahu tentang tanda hitam yang ada di leher belakang
Nayna. Apakah itu tanda lahir atau bekas luka?”
“Itu tanda lahir, Nyonya.”
Mbok Win memang tahu hal sekecil apa pun tentang keluarga Nayna. Kecuali soal
kelahiran Nayna. Karena ia hadir di keluarga itu ketika Nayna berusia satu tahun.
Rina tidak ingin gegabah. Ia harus berhati-hati dalam menyelidiki informasi tentang
Nayna yang sebenarnya. Tetapi satu hal yang baru saja ia tahu membuatnya menemukan setitik
harapan.
Apakah dia putriku?
Di kantor berita tempat Romy bekerja, Rina sudah lama menunggunya. Seakan tidak mau
menyimpan kegelisahan itu sendirian, ia segera ingin memberitahu suaminya soal kabar Nayna
yang punya tanda yang sama dengan Ravi dan putrinya yang hilang.
Awalnya, Romy biasa-biasa saja mendengarnya. Namun, semakin Rina menjelaskan
secara detail, ia semakin ikut penasaran.
“Mungkinkah dia kembali? Mungkinkah kita telah menemukannya, Mas?”
Romy jadi berpikir akan mengambil tindakan apa. Menurutnya, istrinya tidak mungkin
salah menebak. Dia selalu punya alasan saat mencurigai sesuatu.
“Kita harus menemui orangtuanya.”
“Tapi bagaimana? Bukankah mereka sudah bercerai? Dan menurut cerita Nayna,
keduanya tidak akur. Ibunya bahkan berada di luar negeri bersama suami barunya. Kalau kita
datang tiba-tiba untuk menginterogasi ayahnya soal Nayna, sepertinya terlalu berani dan
87
terkesan tidak pantas. Apalagi selama ini Ravi juga tidak tahu kalau dia punya saudara kembar.
Ini benar-benar situasi yang sangat membingungkan, Mas.”
“Kita bisa minta bantuan orang untuk menyelidikinya lebih dulu.”
Ide yang mendadak keluar dari kepala Romy.
Hanya itu yang bisa mereka lakukan untuk sementara. Setelah mengetahui informasi
utama atau hal-hal pusatnya, mereka baru bisa menyimpulkan dan melakukan tindakan
selanjutnya. Rina berharap dengan sungguh-sungguh. Ia yakin pasti bukan sebuah kebetulan.
Ini adalah jalan hidup dan takdir dari Tuhan. Siapa pun harus sadar, ketika ada pertemuan, tentu
ada perpisahan. Ketika ada kehilangan, tentu ada pengembalian atau pergantian.
88
HAM BRAMASTA
(Seseorang harus merasakan betapa sakitnya)
Dinding bercat putih yang sudah mulai terkelupas di beberapa bagian, lonceng besi berkarat
yang tetap tergantung persis di depan pos satpam meskipun sudah begitu lama tidak ditabuh
karena tergantikan fungsinya oleh bel listrik. Tiang bendera berdiri tegak dengan kibaran
bendera merah putih di atasnya, yang akan selalu mendapat penghormatan dari semua warga
sekolah setiap hari Senin.
Sudut kantin, tempat di mana selalu terdengar keriuhan canda tawa, suara gaduh yang
keluar dari mulut-mulut kelaparan, serta ruang kelas yang menyimpan begitu banyak kenangan,
suka duka, haru, marah. Saksi dari sebuah proses kedewasaan setiap penghuninya.
Bagi seorang Nayna, semua yang ia lihat terasa begitu berbeda hari ini. Ujian Nasional
yang telah berakhir tiga hari yang lalu membuat sudut-sudut sekolah terasa memiliki makna
yang lebih dalam.
Gadis itu berdiri seorang diri di depan aula, tidak ingin bergabung dengan teman-
temannya yang terlihat saling berbincang. Ia ingin menikmati kesendirian ini, tanpa seorang
pun yang mengganggunya.
“Ah, ternyata sudah tiga tahun terlewati begitu saja. Rasanya baru kemarin aku menjadi
murid kelas satu di sekolah ini,” ucapnya kepada diri sendiri.
Setelah tiga hari mendapatkan hari libur, menyegarkan otak yang telah dipekerjakan
dengan sangat maksimal, hari ini semua murid kelas XII kembali ke sekolah. Akan ada petuah
dari ketua yayasan.
Lima belas menit sebelum tatap muka dimulai, sudah banyak murid kelas XII yang
berkumpul di dalam aula sekolah. Semua menunjukkan kelegaan, seakan telah terbebas dari
sebuah persoalan yang sangat rumit dalam hidup mereka. Tawa yang terdengar adalah sebuah
bukti nyata, begitu lepas dan menyenangkan.Termasuk bagi seorang Pilla.
Namun senyum yang sempat melengkung pada bibir Pilla menghilang begitu saja
manakala gadis itu bersemuka dengan Ham, seseorang yang dahulu begitu ia sukai, tetapi
ternyata lebih memilih Nayna. Seseorang yang menyebabkan dirinya begitu membenci mantan
sahabatnya.
“Kenapa wajahmu seperti itu? Aku bukan hantu.”
Pilla tersenyum kecut. “Kehadiranmu merusak mood-ku, seharusnya aku tidak perlu
melihatmu. Benar-benar hari yang sial.”
89
“Ternyata kamu masih menyimpan dendam kepadaku, padahal itu sudah begitu lama
berlalu. Ah, karena itulah aku lebih memilih Nayna. Siapa pun pasti akan lebih menyukai gadis
itu dibanding kamu.”
Sebuah kalimat yang sontak membuat Pilla tersinggung, terlihat jelas wajah kesalnya
sekarang.
“Ham! Kamu tidak lebih baik daripada aku, seharusnya kamu sadar itu.”
“Apa maksudmu?”
“Dasar bodoh, kamu sendiri pun tidak pernah bisa mendapatkan seorang Nayna. Apa
kamu tahu kalau Nayna memiliki hubungan yang begitu dekat dengan Ravi? Bahkan mereka
tinggal satu rumah sekarang.”
Posisi berbalik, Pilla melengkungkan senyum kemenangan ketika ia melihat wajah
Ham yang berubah pasi. Raut penuh amarah dari seorang pemuda yang dilanda cemburu,
sampai rahangnya mengeras.
“Bagaimana? Seorang anak dari ketua yayasan dikalahkan oleh anak pindahan, ckck,
tidak ada yang lebih memalukan daripada itu.” Pilla semakin di atas angin.
“Aku tidak akan tinggal diam. Aku akan melakukan sesuatu untuk memberinya
pelajaran.” Tatapan matanya begitu tajam, seperti mata elang yang siap menerkam anak ayam.
“Tentu saja kamu tidak boleh tinggal diam. Buktikan pada Ravi, bahwa seorang Ham
Bramasta adalah orang yang tidak bisa diremehkan.”
Pilla tersenyum licik, satu alisnya terangkat. Wajahnya penuh rencana yang tidak
terduga, begitu menakutkan. Bahkan, ketika Ham berlalu dari hadapannya dengan penuh
emosi, senyum licik itu semakin mengembang.
Aku memang pintar. Tidak perlu turun tangan sendiri kalau ada seseorang yang
ternyata bisa kumanfaatkan.
“Apa yang sedang kamu lakukan?”
Ravi mengejutkan Nayna yang sedang duduk di tepi kolam yang terdapat pada halaman
belakang. Gadis itu menoleh sejenak, lalu kembali membuang pandangannya untuk menatap
kolam. Sebagian kakinya telah basah karena ia masukkan ke dalam air.
“Apa kamu tidak lihat?”
Ravi tersenyum, lalu ikut duduk di sebelah Nayna. Melakukan hal yang sama seperti
yang dilakukan oleh gadis itu.
90
“Apa yang akan kamu lakukan setelah ini?”
“Maksudmu?” Nayna menatap Ravi, bingung.
“Setelah lulus nanti, tentu kamu punya rencana, kan? Mau kuliah di mana, jurusan apa,
tentu kamu sudah memikirkannya dari sekarang.”
Nayna menggoyangkan kakinya. Menciptakan gelombang-gelombang kecil di sekitar
kaki mereka. Gadis itu menatap bayangannya sendiri di dalam air, tidak berbentuk sempurna
akibat gelombang tadi. Ia menghela napas dengan begitu pelan.
“Sepertinya aku tidak akan kuliah. Mungkin akan lebih baik jika setelah ini aku mencari
pekerjaan saja.”
Ravi terkejut dengan jawaban Nayna. Ia menatap teman sekolahnya itu dengan tidak
percaya. Ada rasa kesal yang tiba-tiba terasa di dalam hatinya.
“Apa maksudmu?”
“Tidak ada maksud apa-apa, memang sudah seharusnya seperti itu. Aku harus sadar
dengan kondisi ekonomi keluargaku sekarang. Ayahku tidak punya pekerjaan tetap, bahkan dia
entah berada di mana saat ini pun aku nggak tahu. Ibu, dia pun hanya seorang ibu rumah tangga
yang mengandalkan gaji suaminya. Mana bisa aku terus-terusan dibiayai oleh mereka,
sedangkan mereka sendiri juga memiliki anak yang membutuhkan biaya sekolah,” jawab
Nayna panjang.
“Kalau begitu aku akan minta Papa untuk membiayai kuliahmu. Dia pasti akan setuju.”
Nayna menatap tajam ke arah Ravi, lalu menggelengkan kepala kuat-kuat.
“Jangan kamu lakukan. Aku tidak mau lagi merepotkan keluargamu. Kalian sudah
sangat baik terhadap kami, sudah cukup. Jangan lagi membuat kami merasa berutang budi
kepadamu.”
“Tapi...”
“Aku mohon, kali ini hargai keputusanku. Bukan aku tidak menghormati kalian, tapi
kita harus sama-sama menyadari bahwa aku dan keluargaku tetap orang luar untuk keluargamu.
Aku harap kamu mengerti.”
Ravi membuang pandangannya jauh ke atas, menatap langit dengan awan-awan yang
berarak tertiup angin. Sore hari yang sudah berjalan separuh waktu, menawarkan senja dengan
warna jingganya yang memanjakan mata.
Pemuda itu menghela napas, lalu mengembuskannya dengan kasar.
“Ya sudahlah, terserah apa maumu. Kamu lebih tahu apa yang terbaik untuk dirimu
sendiri,” tuturnya dengan wajah muram.
91
Nayna menatap Ravi dalam-dalam, dengan perasaan yang tidak ia mengerti. Lalu
tercipta sebuah senyum yang melengkung dibibirnya. Gadis itu harus segera mengusir suasana
kaku di antara mereka.
Nayna mencelupkan tangannya ke air.
“Ravi,” panggilnya sambil mencipratkan air ke wajah Ravi. Membuat pemuda itu
gelagapan.
Nayna tertawa puas. Memancing Ravi yang balas mencipratkan air ke arahnya. Sedetik
kemudian keduanya saling balas dengan gelak tawa yang terdengar dari mereka. Suasana
muram yang sempat terasa, mencair seketika. Misi Nayna berhasil.
“Seperti ini lebih baik, kan?” ucap Nayna disela tawanya.
“Aku sudah berusaha akrab denganmu sejak dulu, kamu saja yang terlalu dingin
terhadapku,” balas Ravi.
Nayna tertawa. “Dulu kamu memang sangat menyebalkan, membuatku sempat tidak
menyukaimu.”
“Berarti sekarang kamu menyukaiku?”
Pertanyaan yang langsung membuat Nayna menunduk, menyembunyikan wajahnya
yang memerah. Ravi tertawa puas karena berhasil menggoda gadis berkulit putih itu.
“Sudahlah, tidak perlu malu seperti itu. Aku hanya bercanda.”
Sementara dari balik jendela, sepasang suami istri tampak mengawasi keduanya dengan
perasaan was-was. Romy dan Rina sudah sejak tadi berada di tempat itu dan mengamati apa
pun yang sedang dilakukan putranya dengan Nayna.
“Pa, sepertinya mereka semakin dekat saja. Ravi terlihat menyukai Nayna. Bagaimana
ini? Bagaimana jika ternyata Nayna terbukti anak kita dan itu artinya mereka berdua kakak
beradik?”
Romy menghela napas berat. “Papa juga memikirkan hal yang sama, Ma. Kalau Nayna
memang ternyata anak kita, tentu itu adalah kabar yang sangat membahagiakan. Tapi
bagaimana cara untuk memberitahukan kepada Ravi kalau ternyata dia mempunyai saudara
kembar, terlebih Ravi menyukai Nayna.”
“Mama takut Ravi tidak bisa menerima kenyataan.”
Tanpa mengalihkan pandangannya dari kedua remaja yang masih berbincang di tepi
kolam, Romy menggenggam jemari istrinya. Mencoba memberikan kekuatan untuknya.
“Kita akan segera mengetahui kebenarannya,” ucapnya mantap.
92
Ham membuktikan ucapannya waktu itu, ia sudah berada di sebuah gudang tua yang sudah
lama tidak terpakai. Sendiri menunggu kedatangan seseorang yang sedang menuju tempat
tersebut.
Sebuah SMS tantangan telah ia berikan kepada Ravi, dengan kalimat-kalimat yang
sengaja ditulis sekasar mungkin untuk memancing emosi lawannya. Dan terbukti, Ravi
menerima tantangannya untuk datang ke gudang seorang diri.
Deru mobil membuat Ham langsung berdiri dari duduknya. Seorang pemuda yang
sudah sejak tadi ia tunggu keluar dari balik kemudi dan berjalan tenang mendekatinya.
“Apa maumu?”
Ham tersenyum picik, “Memberimu pelajaran.”
“Kesalahan apa yang kulakukan sampai membuatmu ingin menghajarku?”
Ham duduk pada tepi meja, dengan kedua tangannya menyilang di depan dada,
“Kesalahanmu sangat fatal karena telah mendekati Nayna. Seharusnya kamu tahu diri dan
menjauhinya. Dasar bodoh!”
Ravi hanya bisa menggelengkan kepala. Sebuah masalah yang menurutnya begitu
sepele, dan sangat memalukan untuk dijadikan alasan berkelahi.
“Konyol,” ucapnya.
“Kamu tahu siapa aku, kan? Jangan macam-macam denganku jika tidak ingin
menerima akibatnya.” Emosi Ham mulai tinggi.
“Sekarang aku punya sebuah aturan untukmu. Siapa pun pasti tahu, ayahku adalah
ketua yayasan di sekolah kita. Apa pun yang kuinginkan tentu bisa kulakukan.”
Mendengar basa-basi dari laki-laki itu membuat Ravi tidak sabar. “Jangan bertele-tele,
katakan langsung pada intinya!”
Ham tertawa keras, menggema di setiap sudut gudang.
“Well, Nayna begitu menyayangi adiknya, Fidelis. Seorang anak autis, yang juga
mengidap pyromania. Dia aneh, suka membakar sesuatu, dan mengurusnya pasti akan sangat
merepotkan, kan?”
“Kebakaran rumah Nayna adalah ulahnya. Aku bisa menyuruh seseorang untuk
menyebarkan isu itu secara besar-besaran. Apa kamu yakin kalau Nayna akan baik-baik saja
setelah mendengarnya?”
Ravi mendengus kesal. Laki-laki di hadapannya benar-benar minta dimusnahkan.
“Kecuali kalau kamu membiarkanku menghajarmu habis-habisan sekarang.”
Ham terus berkata tanpa pernah memberi jeda untuk Ravi membalasnya.
“Aturan adalah perintah, dan kamu harus menurutinya.”
93
Tidak ada pilihan lain bagi Ravi. Ia lebih tidak sanggup kalau harus melihat Nayna
menderita karena cemoohan orang-orang tentang Fidelis. Gadis itu tidak boleh mengeluarkan
air mata lagi. Karena bagaimanapun, dia adalah perisai hidup bagi adik satu-satunya.
Tanpa berpikir panjang, Ham melayangkan tinju ke wajah Ravi, membuat pemuda itu
mundur satu langkah. Darah yang keluar dari sudut bibir langsung disapu dengan punggung
tangannya.
“Hanya segitu kemampuanmu, hah?!” Ravi justru menantang, dan malah membuat
Ham semakin bergairah mengumpulkan seluruh tenaganya.
Bogem mentah serta tendangan bertubi-tubi langsung mendarat pada tubuh Ravi, Ham
melakukannya dengan serampangan. Ravi terguling, darah segar juga mengalir dari hidungnya.
Wajah pemuda itu memar di mana-mana.
Sementara Ham berdiri di hadapannya, dengan napas yang tersengal-sengal setelah
memberikan banyak pukulan dan tendangan untuknya. Ia berhenti, merasa puas melihat kondisi
musuhnya yang tergeletak di lantai tanpa pernah mau melawannya.
“Aku kasih tahu satu rahasia. Aku adalah orang yang pernah memukulmu
menggunakan kayu,” tutur Ham disusul tawa yang begitu mengerikan.
“Aku pikir setelah itu kamu akan sadar dengan posisimu, ternyata kamu justru semakin
dekat dengan Nayna. Dasar bodoh,” Ham menarik kerah baju Ravi, yang masih lemah tak
berdaya.
“Seseorang harus merasakan akibatnya kalau membuatku marah,”
Di kamar, Nayna sedang menjahit tas selempang yang talinya hampir putus. Ia memasukkan
benang ke dalam lubang jarum, lalu mulai menyambung dengan cermat. Namun tak disengaja,
ibu jari kanannya tertusuk runcing jarum. Alhasil, setitik darah terlihat keluar dan
menimbulkan sedikit kekhawatiran. Tiba-tiba Nayna ingat pada Ravi.
Laki-laki itu belum juga pulang, padahal sudah selarut ini.
94
17 TAHUN YANG LALU
(Mungkin hanya seorang ibu yang bisa merasakannya. Melahirkan seorang anak,
memang sangat membahagiakan, kan?)
Ujian Nasional memang telah berlalu, sudah dilewati. Namun, bukan berarti semuanya selesai.
Tidak. Tidak ada yang usai. Setiap hari adalah ujian, setiap hari adalah perjuangan. Seseorang
tidak boleh lupa siapa dirinya yang sebenarnya. Begitulah yang terjadi dengan Nayna.
Sebelum mengenal Ravi, mungkin Nayna hanya anak perempuan yang biasa-biasa saja,
menikmati dunianya sendiri dan menjadi apa adanya. Beberapa peristiwa di masa lalu,
terkadang harus dikenang, terkadang juga harus dikubur dalam-dalam. Namun semenjak
mengenal Ravi, dunia Nayna menjadi semakin ramai. Satu per satu kenyataan mulai terungkap.
Tentang Inez, Yola, dan Debby, dan hubungan mereka dengan Pilla, ketulusan keluarga Ravi
terhadap Fidelis, dan sikap yang berubah rasa juga berwarna. Nayna baru menyadarinya
sekarang.
Banyak hal yang telah ia dan Ravi lalui bersama-sama.
Tetapi saat ini laki-laki itu tengah dirawat di sebuah rumah sakit, dengan kondisi yang
lebih memprihatinkan dari sebelumnya, ketika dia mendapat pukulan tiba-tiba.
Nayna menunggunya dalam diam, penuh kecemasan. Sampai sebuah ketukan terdengar
dari arah pintu. Nayna bangkit, membuka pintu dan mendapati kawan-kawan kelasnya datang
bergerombol.
“Na, gimana keadaan Ravi? Kami ingin menjenguknya.”
“Masih belum sadar. Kalian boleh masuk, silakan.”
“Kecuali Inez, Yola, Debby, dan Pilla,” lanjut Nayna kemudian.
Alfian mengerti, maka ia mengajak teman-teman yang tidak disebutkan namanya oleh
Nayna untuk masuk ke dalam. Sedangkan Nayna masih menahan keempat mantan sahabatnya.
“Siapa kamu sampai tidak memperbolehkanku menjenguk Ravi, hah?!” ketus Pilla.
“Setelah mencelakainya, lalu kamu mau menjenguknya?”
“Apa maksudmu?”
“Seharusnya aku yang tanya, apa maksudmu?”
“Na... ini rumah sakit, sebaiknya jangan bertengkar di sini.” Debby menengahi.
Nayna sudah jemu. Ia sungguh muak dengan drama Inez, Yola, dan Debby.
95
“Memangnya kenapa?” katanya. “Gaya peperangan kalian bukan cakar-cakaran,
jambak-jambakan atau teriak-teriak, kan?
“Gaya peperangan kalian adalah membicarakan teman di belakang, bersekongkol
dengan lawan, dan memanfaatkan sahabat sendiri. Benar, kan?”
Mendengar ucapan Nayna, mereka berempat menjadi tersinggung.
“Sudah sejauh ini kenapa masih bisa bersandiwara di depanku? Apa kalian tidak lelah
berpura-pura baik kepadaku, hah?!”
“Kata-katamu sangat kasar,” ujar Inez tidak menyangka.
“Ya, apakah kata-kataku itu setimpal dengan apa yang telah kalian lakukan
terhadapku?”
Belum sempat seorang pun menjawab, Alfian tiba-tiba membuka pintu dan hanya
menyembulkan kepala.
“Na, Ravi sudah siuman. Dia memanggilmu.”
Seketika itu emosi Nayna mereda. Ada kelegaan di hatinya setelah mengeluarkan unek-
uneknya kepada Inez, Yola, Debby, dan Pilla. Terlebih saat Alfian bilang kalau Ravi sudah
sadar. Nayna langsung meninggalkan mereka berempat di tempatnya. Tampak jelas bahwa
Pilla sangat merasa direndahkan.
Sedetik kemudian Pilla berlalu begitu saja. Disusul Yola, Debby, dan tentu saja Inez.
Keempatnya kompak menunjukkan wajah yang tidak bersahabat.
Ting-tong!
Bel berbunyi di setiap sudut rumah bergaya mediternia itu, seorang wanita dengan sabar
menunggu di depan pintu. Menunggu sampai seseorang membuka pintu dari dalam rumah,
meskipun kondisi hati dan pikirannya dipenuhi dengan kekhawatiran.
Sampai seseorang membuka pintu, yang langsung terkejut ketika melihat siapa tamu
yang juga menunjukkan ekspresi serupa.
“Masya Alloh, Nyonya,” Mbok Win setengah berteriak dan memeluk wanita di
hadapannya.
“Mbok Win, apa kabar?”
Mbok Win melepaskan pelukannya, sambil mengusap air mata yang sedikit keluar dari
mata dengan punggung tangan. Masih terlihat keterkejutan dan rasa suka cita dari tatapan
matanya.
96
“Alhamdulillah, Nyonya. Saya baik-baik saja, Non Nayna dan Non Fidel juga baik-
baik saja,” jawabnya dengan mata berbinar.
“Syukurlah,”
“Siapa, Mbok?” Rina keluar dari dalam, mendekati dua orang yang masih asyik
mengobrol itu.
“Ini, Nyonya, majikan saya. Ibunya Non Nayna dan Non Fidel,”
Rina Nampak terkejut mendengar jawaban yang terlontar dari mulut Mbok Win, lalu
mempersilahkan Viana masuk setelah dapat menguasai dirinya sendiri.
“Nyonya tahu dari mana kami tinggal disini?” Mbok Win masih tidak dapat menutupi
antusiasnya.
“Saya yang memberi tahu, Mbok Win. Beberapa hari yang lalu saya ke sekolahan dan
meminta biodata serta alamat orang tua Nayna. Memang awalnya cukup sulit mendapatkan
alamat Mbak Viana, tetapi akhirnya saya bisa menghubungi beliau berkat bantuan orang-orang
suami saya,”
“Syukurlah akhirnya Nyonya bisa ke sini.” Respon Mbok Win sambil mengangguk-
anggukan kepala.
“Bikinin minuman dulu, Mbok. Sekalian panggil Fidelis, pasti dia kangen sama
ibunya.” Titah Rina, yang langsung dituruti sama perempuan tua itu.
“Syukurlah, anak-anak saya bisa bertemu dengan keluarga ini. Terima kasih karena
selama ini telah merawat mereka berdua, termasuk Mbok Win. Entah seperti apa kalau tidak
ada keluarganya jeng Rina,”
“Tidak perlu sungkan. Kami senang ada Nayna, Fidelis, dan Mbok Win di rumah kami.
Nayna menjadi teman belajar yang baik bagi Ravi. Sementara Fidelis menambah keceriaan di
keluarga kami, dan Mbok Win selalu bisa diandalkan. Semenjak ada mereka, kami merasa isi
rumah kami menjadi lengkap.”
“Saya tidak tahu, harus bagaimana cara membalas kebaikan jeng Rina sekeluarga.”
Rina tertawa kecil, “Kami tidak mengharapkan balasan apapun, cukup Alloh saja yang
membalasnya. Yang terpenting sekarang, Mbak Viana sudah ada disini. Nayna dan Fidelis pasti
akan sangat bahagia,”
Viana menggangguk, “Iya, saya tidak sabar untuk bertemu mereka,”
Ada keragu-raguan yang tiba-tiba datang dalam diri Rina, membuatnya terlihat gelisah.
Namun dia harus bertanya, ada sebuah jawaban yang dia tunggu.
“Bolehkah saya bertanya satu hal?”
“Ya, tentu saja, Jeng,”
97
“Apakah Nayna dan Fidelis adalah saudara kandung?”
Degh!
Jantung Viana berdetak tak beraturan. Tidak pernah ada yang menanyakan soal itu
kepadanya sebelumnya.
“Apa Nayna mengatakan sesuatu?”
“Tidak. Saya hanya ingin tahu.”
Viana terdiam cukup lama, menunjukkan ekspresi yang tidak dapat diartikan oleh Rina.
Lalu dia menggenggam jemari Viana lembut.
“Emm... begini sebenarnya, hampir 17 tahun yang lalu, kami kehilangan seorang bayi
perempuan. Saudara kembar Ravi. Dia memiliki tanda hitam di leher belakangnya dan
beberapa hari yang lalu saya tidak sengaja melihat tanda lahir yang sama pada leher Nayna.
Jujur, semenjak itu saya terus kepikiran,”
Pembicaraan mereka semakin serius. Viana tampak berusaha tidak syok dan mencoba
untuk tenang, mendengarkan semua yang hendak dikatakan oleh wanita dengan bulatan mata
berwarna cokelat itu. Bulatan mata yang juga dimiliki oleh Nayna.
“Karena itulah saya berusaha sekuat tenaga untuk mencari tahu tentang masa lalu
Nayna, termasuk mencari tahu keberadaan orang tuanya,” lanjut Rina.
“Tujuh belas tahun yang lalu, ketika saya dinyatakan tidak bisa memiliki anak,
Bramantyo memutuskan untuk membeli seorang bayi dari salah satu perawat di sebuah rumah
sakit. Bayi perempuan yang kemudian saya beri nama Nayna.” Viana menelan ludah, tidak
berani menatap Rina, yang terlihat kaget di tempatnya.
“Ketika Nayna lulus sekolah dasar, tanpa di duga ternyata saya mengandung, lalu
lahirlah Fidelis. Namun ternyata Fidelis berkebutuhan khusus, hal itu membuat Bramantyo
stres, yang akhirnya tidak bisa menjalani hidup yang seimbang antara rumah dan pekerjaan.
Perusahaan tekstilnya bangkrut, kami sering bertengkar, lalu bercerai.”
“Saya menikah lagi, tetapi suami baru saya tidak mengijinkan saya membawa serta
Fidelis. Itu sebuah keputusan yang sulit. Nayna boleh ikut tetapi Fidelis tidak, sementara yang
sebenarnya anak kandung saya adalah Fidelis.” Suara isakan mulai terdengar dari arah Viana,
membuat Rina berpindah duduk di sebelahnya dan memegang kedua pundak wanita itu.
“Entah apa yang saya pikirkan waktu itu, tetapi pada akhirnya saya meninggalkan
Nayna dan Fidelis dengan ayah mereka. Beruntung ada Mbok Win, orang yang selalu setia,
yang senantiasa ada di sisi mereka berdua.”
98
“Mungkin sekarang adalah waktunya Nayna mengetahui semua kebenaran tentang
masa lalunya, Nayna harus mendapatkan kebahagiaan yang sesungguhnya. Dia anak
perempuan yang penyayang, kuat dan tidak bisa diremehkan.”
Viana menatap lekat kedua mata Rina. Lalu ia memeluk wanita itu, meskipun isak
tangisnya sama sekali belum mereda.
“Terima kasih telah mencari tahu tentang Nayna. Mungkin hanya seorang ibu kandung
yang bisa merasakannya. Bisa melahirkan seorang anak, rasanya memang sangat
membahagiakan, kan?”
Betapa gembiranya Rina setelah mendengar kalimat-kalimat dari Viana. tak henti-
hentinya ia terus bersyukur dalam hati. Air mata sudah sejak tadi membasahi pipinya.
Kenyataan pertama telah terbuktikan. Nayna adalah putri Romy dan Rina, saudara
kembar Ravi.
Lalu bagaimana dengan anak laki-laki mereka? Apakah dia bisa menerimanya?
99
PERASAAN SEORANG IBU
(Tuhan, aku ikhlas)
“Ibuuu.”
Viana bangkit ketika ia mendapati Nayna sedang berdiri di ambang pintu dengan
ekspresi wajah yang terkejut. Gadis itu berlari, lalu mendekap Viana dengan penuh kerinduan.
Disusul air mata yang mengalir dari mata beningnya. Viana pun merekatkan kedua tangannya
ke punggung Nayna, ia juga begitu merindukan anak gadisnya sampai tidak dapat tidur dengan
nyenyak.
“Nayna kangen sama Ibu, kangen banget,” ucap Nayna di sela tangisnya.
“Iya, sayang. Ibu juga kangen banget sama kamu, sama Fidelis.”
Nayna melepaskan pelukannya, “Dari mana Ibu tahu alamat rumah ini? Perasaan,
Nayna belum pernah memberi tahu ke Ibu.” Ia bertanya dengan wajah heran.
“Ibu akan ceritakan nanti, ya. Ada hal jauh lebih penting yang ingin ibu katakan
kepadamu,”
Rina juga berada di ruangan itu, duduk bersama Fidelis yang terlihat anteng di
tempatnya.
“Ravi sama siapa?”
“Ada Om Romy, katanya Nayna disuruh pulang dulu sama Tante Rina,” Nayna cukup
bingung.
“Iya, ada hal penting yang harus kamu,”
Benar-benar suasana yang cukup membuat ketiga wanita itu merasa tidak nyaman.
Masing-masing bingung hendak memulai percakapan, sama-sama terjebak dengan rasa
canggung.
Nayna menatap bergantian dua wanita berumur di hadapannya, menanti salah satu dari
mereka membuka mulut. Sampai-sampai ia harus berdehem untuk menarik perhatian. Dan
salah tingkah adalah ekspresi yang Nayna lihat dari keduanya.
“A-apa Ibu dan Tante Rina sudah saling mengenal?”
Viana dan Rina saling menatap, sampai Rina memberi kode kepada Viana untuk
menjawab pertanyaan Nayna.
“Kamu tinggal di rumahnya, bagaimana Ibu tidak mengenal keluarganya?”
“Ah, entah mengapa Nayna masih tidak mengerti. Tolong ceritakan detailnya, Bu.”
“Nayna,” katanya, “Kamu harus berjanji untuk tidak marah atau menyalahkan siapa
pun setelah mendengar ini.”
100
Lalu Nayna melihat sebuah ketegangan dari Viana maupun Rina. Ia menjadi semakin
penasaran dengan apa yang telah terjadi.
“A-ada apa sebenarnya?”
Kemudian Viana mulai menceritakan dari awal sampai akhir. Mulai dari bagaimana ia
dan Bramantyo mendapatkan seorang bayi perempuan, hingga ketika anak itu berusia 12 tahun,
Fidelis lahir. Sampai akhirnya sekarang ibu kandung dari anak yang kini mau berusia 18 tahun
itu muncul dan meminta apa yang telah menjadi haknya. Dengan sangat hati-hati ia terus
menuturkan kronologi yang terjadi saat Nayna dibeli dari seorang perawat.
Dan Rina hanya mendengarkan dalam diamnya, tetapi terus menatap wajah Nayna
dengan perasaan was-was.
Sementara, Nayna menyimak semua cerita yang disampaikan oleh Viana dengan
berbagai perasaan yang tidak menentu di dalam hatinya. Dengan air mata yang tak kuasa ia
tahan untuk tak mengalir di kedua pipinya.
“Selain memiliki ayah dan ibu, kamu sekarang juga memiliki papa dan mama. Kamu
senang, kan? Akhirnya kamu bisa terbebas dari pria yang beberapa tahun belakangan ini telah
membuat hidupmu tertekan. Dan kamu akan tinggal di sini bersama orangtua kandungmu
selamanya.”
Cerita diakhiri dengan sekian kalimat yang justru semakin membuat seluruh tubuh
Nayna melemas. Gadis itu terjatuh duduk di lantai. Rina dan Viana sama-sama membantunya.
Apa yang mereka khawatirkan adalah risikonya, dan mereka sudah harus siap menerima apa
pun reaksi Nayna.
Benar-benar sebuah kenyataan yang begitu mengejutkan bagi Nayna. Ia dihadapkan
pada situasi yang tidak pernah ia duga sebelumnya. Bagaimana sebuah takdir dengan sangat
cepat berubah, memaksanya yang tidak siap untuk tetap harus menerimanya. Nayna tidak tahu
apa nama perasaan yang ia rasakan saat ini. Ada penyesalan, kekecewaan, kelegaan, bahagia,
sedih, bingung, tidak percaya. Bahkan untuk mencubit lengannya saja ia tidak sanggup
melakukannya.
Perceraian orang tuanya, perubahan sikap Bramantyo, Fidelis dan Mbok Win,
kebakaran di rumah, pengkhianatan yang dilakukan oleh orang-orang terdekatnya, dan
kenyataan yang baru saja ia terima. Semua terjadi dengan berurutan, bertubi-tubi. Membuat
pertahanan seorang gadis yang selama ini berusaha tegar dan kuat runtuh begitu saja. Meskipun
sudah susah payah dibangunnya dengan kokoh.
Namun melihat Rina, seakan ada kekuatan baru yang Nayna rasakan. Mungkin akan
banyak yang berubah setelah ini. Namun, bukan berarti pula ada banyak hal yang harus
101
dilupakan di masa lalu. Nayna akan sangat menghargai semua yang pernah ia perbuat selama
ini. Untuk setiap peristiwa yang menimpanya, adalah sebuah catatan yang paling berharga.
Dan lagi, perasaannya kepada Ravi. Nayna sudah telanjur jatuh cinta dengan pemuda
itu. Sekarang ia harus membuangnya jauh-jauh, memupuskan perasaan yang bahkan belum
sempat berkembang. Mereka berdua bersaudara, bahkan terlahir sebagai saudara kembar.
Itulah kenyataannya sekarang.
“Nayna...” Rina menggenggam erat jemari putrinya. Menyusutkan air mata di pipi
Nayna, meskipun ia sendiri sedang menangis.
Rasa kecewa, luka yang begitu perih, dan beratnya beban yang dipikul, tidak serta-
merta membuat hati Nayna membatu. Ia merengkuh tubuh Rina, memeluknya dengan erat.
Sangat erat, seakan tidak ingin terlepas lagi.
“Mama.”
Keduanya menangis dalam haru, menumpahkan semua kesedihan yang sudah sejak
lama meminta untuk diluapkan. Dan Viana, menatap mereka berdua dengan sebuah senyum
teramat tulus di bibirnya.
Tuhan, aku ikhlas.
Sebuah tempat yang sangat asing bagi Nayna, yang sebenarnya tidak pernah ingin ia datangi.
Asap rokok tetap memenuhi ruangan meskipun tempat itu cukup luas, suara bising dari orang-
orang yang saling berteriak dengan kalimat-kalimat asal ucap. Sungguh, Nayna tidak pernah
ingin berada di tempat ini. Namun ia tetap harus memaksakan diri, memasuki sebuah tempat
biliar untuk mencari sosok pria yang ia ketahui keberadaannya di sini.
Beberapa kali Nayna selalu menyusulnya. Dulu, dulu sekali.
Dengan awas, ia mengedarkan pandangannya ke setiap sudut. Sampai kedua matanya
berhasil menemukan orang yang ia cari. Tidak perlu berpikir lama, ia langsung menghampiri
Bramantyo. Semakin cepat bertemu artinya semakin cepat pula ia keluar dari ruangan itu.
“Ayah.” Entah mengapa sapaan itu terasa begitu kaku sekarang.
Bramantyo terkejut mendapati Nayna berdiri di belakangnya sambil menuntun Fidelis.
Bocah itu tampak kasihan sekali dibiarkan masuk ke dalam tempat yang seharusnya menjadi
paling dihindarkan darinya. Namun Nayna tidak punya pilihan, ia memang nekat. Ia tidak bisa
sendirian menemui pria keras kepala tersebut.
“Ada yang ingin Nayna bicarakan.”
102
“Bicara apa? Kenapa kalian kemari? Menggangguku saja.”
“Ayah tidak pernah mencoba mencari kami?”
Bramantyo mendelik, lalu melemparkan stik biliar begitu saja di atas meja. Dengan
kasar ia membawa Nayna keluar. Jika Nayna tidak mengimbangi langkah kaki Bramantyo,
mungkin sudah sejak tadi gadis itu terjatuh. Beruntung Fidelis selalu erat memegang
tangannya.
“Kalian menghilang justru sebuah keuntungan bagiku, kenapa sekarang justru muncul
lagi? Membawa sial saja.”
Sebuah perkataan yang sama sekali tidak Nayna sangka. Namun Nayna mencoba sabar
dan tidak terpancing emosi.
“Nayna sudah tahu semuanya,” ungkap Nay akhirnya.
Lalu semua mengalir begitu saja dari mulut Nayna, menceritakan semua yang sudah
dia ketahui. Kenyataan yang tersembunyi selama bertahun-tahun lamanya.
Bramantyo terlihat syok, namun sekali lagi keangkuhan lebih dia utamakan.
“Semakin jelas bahwa kalian sudah tidak membutuhkanku lagi. Sejak beberapa tahun
terakhir ini aku hidup seperti benalu yang terus membelenggu hidup istri dan anak-anakku.
Untuk apa masih menungguku? Bukankah tanpaku kalian seharusnya merasa bahagia? Hah?!”
Sebagai orang yang pernah membuat istri dan anak-anaknya menderita, Bramantyo
sadar siapa dirinya sekarang. Ia mengerti bahwa suatu saat anak-anaknya akan tahu siapa
mereka sebenarnya. Jika saat itu tiba, ia hanya perlu melepaskan, sungguh-sungguh merelakan.
Jika seseorang yang pernah menjadi miliknya, bisa menjadi milik orang lain. Seseorang
yang pernah dipinjamnya juga harus dikembalikan pada akhirnya.
Nayna tak bisa mengeluarkan sepatah kata pun untuk membalas gertakan Bramantyo.
Pria itu secara tidak langsung sudah mempersiapkan diri bila sewaktu-waktu Nayna
mengetahui semua kenyataannya.
Sementara sejak tadi Fidelis diam saja tanpa berbuat apa pun. Bocah itu sibuk dengan
imajinasinya sendiri. Andai dia tahu, dia begitu malang, tetapi tetap selalu ada orang-orang
yang menyayanginya di sisinya. Nayna tidak akan pernah meninggalkannya.
Tidak pernah ada dendam dari anak kepada orang tuanya, meskipun bukan orang tua
kandung sekalipun. Tidak perlu ada hukuman yang harus di bebankan kepada Bramantyo.
Nayna tidak se tega itu. Biarlah hukuman dari Tuhan saja yang mungkin kelak akan
menyadarkan laki-laki yang sampai kapanpun akan dia anggap sebagai ayahnya.
103
Nayna dan Fidelis berjalan menjauhi Bramantyo yang terduduk lemah di tempatnya,
dengan air mata yang baru kali pertama Nayna lihat. Mungkin ini adalah hari terakhir mereka
akan bertemu.
104
LULUH
(Yang perlu kita ingat adalah kita punya kesempatan untuk berubah)
Pengumuman kelulusan Ujian Nasional tinggal menghitung menit. Siswa-siswi kelas XII
sudah berbaris rapi di aula saat ini. Seorang wakil kesiswaan berdiri di podium. Sebuah surat
beramplop putih telah dibagikan sesuai nama dan nomor ujian kepada seluruh peserta yang
beberapa waktu lalu sudah mengikuti ujian dan sekarang dengan hati berdebar bersiap-siap
untuk mengetahui hasilnya.
Nayna kelihatan tidak antusias, tidak juga begitu cemas. Gadis itu hanya termangu
memerhatikan amplop miliknya. Ravi yang sudah membaik kondisinya sejak beberapa minggu
yang lalu mencoba menerka apa yang sedang Nayna pikirkan. Namun buntu, laki-laki itu tidak
dapat membaca apa pun yang tertulis dari raut wajah sang alien.
Tentang Ham, remaja itu sudah dipindahkan oleh ayahnya. Entah kemana, tidak banyak
yang tahu. Tetapi beberapa orang berkata bahwa dia di pindah ke Surabaya, tempat neneknya
berada.
Entahlah, Ravi tidak mau ambil pusing dengan masalah itu.
“Sebelum membuka surat yang sudah kalian terima, ada baiknya kita berdoa terlebih
dahulu. Semoga hasilnya memuaskan, berdoa sesuai kepercayaan masing-masing, dimulai!”
Setelah dikomando, semua yang ada di aula pun menundukkan kepala. Sebagian besar
mengangkat kedua tangannya.
“Selesai.”
Tanpa diaba-aba lagi, para murid dengan lincah membuka amplopnya masing-masing.
Disusul dengan suara kegembiraan dari semuanya.
SMK Bina Nusantara 100% lulus Ujian Nasional tahun ini, sama seperti tahun-tahun
sebelumnya.
Pak kepala menghampiri Nayna yang baru saja saling mengucapkan selamat kepada
Alfian dan kawan-kawan. Tampak Inez, Yola, dan Debby meliriknya sinis.
“Selamat ya, Nayna.”
“Iya, terima kasih, Pak.” Nayna menyalaminya. “Ini berkat kerja keras semuanya.”
“Sebentar lagi namamu dipanggil, sebagai perwakilan untuk menyampaikan sepatah
kata. Silakan rangkai kalimatmu, saya sangat ingin mendengarnya.”
Nayna tidak terkejut lagi kalau tiba-tiba namanya dipanggil untuk maju ke atas podium.
Ia sudah terbiasa dengan tindakan semena-mena para guru yang selalu mengandalkannya
dalam memberikan pidato atau sambutan atau sekadar ucapan terima kasih.
105
Pak Azis kembali ke tempat semula.
Sementara di barisannya, Inez, Yola, dan Debby masih asyik menggerutu.
“Lihat, kan? Selalu Nayna yang mendapat ucapan selamat pertama dari Pak Raymond.
Dia benar-benar murid kesayangan di kelas kita.”
“Iya, rasanya aku iri.”
“Aku belum pernah selama bersekolah di sini mendapat perlakuan khusus yang tidak
pernah diberikan kepada murid lainnya. Bahkan ketika mau lulus begini, aku belum juga bisa
dekat dengan wali kelas mana pun.”
“Sudahlah, jangan meratapi nasib kalian begitu. Setidaknya kita lebih beruntung
daripada dia. Kita memiliki keluarga yang baik-baik saja, sedangkan dia?”
Lalu pembawa acara memanggil nama Nayna. Membuat Inez, Yola dan Debby sontak
mengalihkan perhatiannya.
Nayna maju ke atas podium, seketika itu suasana ingar-bingar aula berubah menjadi
suasana yang cukup tenang.
“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,” salamnya, dijawab serempak oleh
seluruh penghuni ruangan besar atau pendapa sekolah ini.
“Terima kasih kepada dewan guru, Kepala Sekolah, Ketua Yayasan, teman-teman, Pak
Satpam, Pak Penjaga Sekolah, Ibu Kantin dan semua pihak yang telah mendukung kami sampai
saat ini. Selamat buat kita semua, ini kerja keras kita bersama.”
Ucapan Nayna lantas mendapat tepukan tangan meriah dari semua yang ada. Kemudian
semangatnya sedikit menurun, raut mukanya menjadi sedikit sendu.
“Aku tahu perasaan kalian saat ini. Tapi aku tidak tahu mau menyebutnya bagaimana.
Tiga tahun kita bersama, beberapa saat lagi kita akan berpisah. Pasti rasanya agak aneh, kan?
Biasanya kita mendapat setumpuk tugas, mengerjakannya bersama, melakukan upacara setiap
hari Senin, merayakan peringatan hari besar nasional, memberi kejutan kepada yang berulang
tahun, melihat murid yang dihukum karena datang telat, menerima setiap wejangan dari Pak
Azis dan Pak Bramasta, mendengar suara keras Pak Satpam yang memekakkan, makan
masakan khas buatan Bu Sumi di kantin... dan lainnya. Namun dalam hitungan hari, kita akan
sangat merindukan semuanya nanti.”
Kalimat-kalimat Nayna membuat teman-temannya bernostalgia. Beberapa bahkan
mengeluarkan air mata. Tak terkecuali Inez, Yola, dan Debby. Mereka masih terlalu gengsi
untuk menunjukkan betapa sesungguhnya mereka sangat ingin kembali seperti semula. Seperti
ketika mereka masih polos, lugu, yang belum mengerti tentang persaingan dan perbedaan.
106
Inez ingat saat hari pertama menjadi murid di SMK Bina Nusantara ini. Nayna adalah
orang yang membantunya memperbaiki tali tas karungnya yang putus. Yola juga ingat saat rok
belakangnya tembus noda merah, Nayna satu-satunya orang yang tanpa sungkan memberi tahu
dan menutupi dengan tas selempangnya. Debby pun tiba-tiba teringat saat Nayna duduk
sebangku dengannya. Nayna selalu meminjamkan alat tulis kepadanya. Debby tidak pernah
khawatir kehabisan tinta pulpen karena Nayna selalu punya persediaan banyak. Debby juga
tidak perlu takut akan dihukum oleh guru bimbingan konseling jika kolong mejanya kotor.
Nayna selalu membersihkannya tanpa pernah diminta.
“Di sekolah ini, kita berteman dengan semuanya. Saling berbaur. Tapi tidak
memungkiri kalau ada beberapa yang membuat kelompok. Terkadang kita lupa bahwa setiap
orang memang memiliki sifat yang berbeda-beda, tapi semuanya pasti menginginkan perlakuan
yang sama. Yang perlu kita ingat adalah, kita punya kesempatan untuk berubah. Semoga kita
menjadi pribadi yang lebih baik lagi dari sebelumnya. Terima kasih.”
Pada akhirnya, yang keras akan menjadi lembut, yang membeku akan mencair, dan
yang sulit ditaklukkan akan mudah diluluhkan.
107
PYROMANIA FIDELIS
(Apa kamu sadar? Kalau kita bukan bersaudara, kita tidak mungkin berpelukan
sekarang)
“Kata-katamu tadi benar-benar membuatku ingin menangis.” Ravi berujar pada Nayna ketika
mereka memasuki pekarangan rumah.
“Benarkah?”
“Iya, aku bahkan sulit bernapas dan dadaku sedikit sesak.”
“Aku pikir kamu berlebihan,”
Kalimat itu disambut tawa kecil oleh Ravi, “Tidak, itu benar-benar aku rasakan,”
“Aku kira laki-laki sepertimu tidak akan mungkin bisa tersentuh oleh kalimat-kalimat
sok menyedihkan yang terkesan melankolis. Ternyata...”
“Ternyata apa?”
“Ah, tidak.”
Nayna memegang knop untuk membuka pintu, tetapi pintu terkunci.
“Sepertinya tidak ada orang di rumah. Tenang, aku punya kunci duplikatnya.”
Setelah pintu terbuka, Nayna masuk lebih dahulu. Lalu Ravi mengekor sambil
menelepon Rina.
“Assalamu’alaikum, Mama di mana?”
“Wassalamu’alaikum,” jawab Rina. “Mama sama Fidelis dan Mbok Win lagi di rumah
psikiater, teman Mama waktu kuliah itu, lho, yang pernah Mama ceritain. Memangnya kamu
belum baca pesan Mama di pintu kulkas, ya?”
Tepat sekali saat Nayna ingin mengambil air dingin, gadis itu langsung menunjukkan
sebuah memo yang tertempel di kulkas kepadanya.
“Oh, ya sudah, jangan lupa kabarin kita ya, Ma.”
“Iya, sayang. Eum, tolong kamu bilang ke Nayna, di kulkas ada kue tar cokelat dari
ibunya.”
Pas pula, Nayna tampak tergiur dengan penampilan dan aroma kue tar cokelat tersebut.
Ravi sampai tersenyum melihat tingkahnya.
“Oke, Ma. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”
Telepon terputus. Ravi mendekati Nayna yang mulai menuangkan air putih dingin ke
dalam dua gelas. Kue tar cokelat itu sudah ada di atas meja makan, siap untuk dicicipi.
108
Ravi merasa beberapa hari kemudian akan menjadi hari-hari yang tenang baginya dan
Nayna. Permasalahan di sekolah telah usai meski belum tentu sudah berakhir. Lima bulan
berlalu begitu cepat. Rasanya baru kemarin Nayna direkrut Pak Azis untuk menjadi tour guide
Ravi sebagai murid baru di SMK Bina Nusantara. Tapi yang Ravi belum ketahui sekarang
adalah sebuah kenyataan bahwa dia dan Nayna bersaudara. Mereka kembar fraternal. Nayna
mungkin sudah tidak syok, tetapi tak dapat dimungkiri kalau hal itu sedikit sulit untuk diterima.
“Kue itu dari ibumu, apa kamu merindukannya saat ini?”
Nayna menghentikan niatnya untuk memotong kue tersebut.
“Tentu saja.”
“Kalau kamu mau, kita bisa menemuinya.”
“Ah, tidak usah.”
“Kenapa? Kamu harus beri tahu beliau kalau kamu lulus.”
“A-aku sudah memberi tahunya.”
Terlihat jelas betapa gugupnya Nayna. Entah harus berapa lama ia menyembunyikan
kebenaran itu. Ia hanya perlu menunggu Romy dan Rina yang menyampaikannya langsung
kepada Ravi. Yang pasti, Nayna tidak ingin laki-laki itu terpukul. Ia tidak mungkin sanggup
menghadapinya sendirian.
“Pyromania merupakan salah satu gangguan jiwa yang langka. Tidak berbahaya selama apa
yang dilakukan penderitanya tidak membahayakan orang lain atau lingkungan sekitar. Melihat
Fidelis yang hiperaktif, saya rasa dia tidak berbeda dengan anak-anak lainnya. Saya yakin
Mbok Win sudah jauh lebih tahu bagaimana perilaku Fidelis. Hanya orang yang paling dekat
dengannya yang bisa mengerti dia.”
Dinda Sitta, teman Rina semasa sekolah, adalah seorang psikiater. Beruntung
komunikasi mereka masih terjalin baik meskipun sudah bertahun-tahun berlalu sejak mereka
sama-sama lulus. Fidelis sedang bermain dengan segala permainan yang tersedia di taman kecil
rumah Dinda. Bocah itu tampak menikmati semua permainan yang ada. Diawasi oleh Mey,
asisten psikiater. Fidelis tidak minder atau takut atau canggung. Justru dia malah cepat akrab
dengan Mey. Mey memang suka dengan anak-anak. Tidak heran kalau Fidelis mau bermain
bersamanya.
“Ya. Mbok Win tahu betul bagaimana menangani Fidelis selama ini. Setiap kali dia
mendapat perlakuan yang mengganggu suasana hatinya, Mbok Win dan Nayna sudah bersiap
109
menyulut api di depannya. Setelah itu, Fidelis akan berangsur tenang dan kembali normal.
Terakhir, peristiwa kebakaran yang menghanguskan rumah mereka. Mbok Win hanya pergi ke
apotek di depan kompleks. Tidak akan lama, makanya dia berani meninggalkan Fidelis di
rumah. Tapi ketika kembali, rumah itu sudah dipenuhi dengan api.”
“Setiap orang pasti membutuhkan kasih sayang. Apalagi anak-anak. Fidelis perlu
pengawasan. Dia melampiaskan ketegangannya pada api. Api dapat meredakan emosi dan
membuatnya tenang. Begitulah orang yang menjadi penderita Pyromania. Dengan selalu
berada di dekatnya, memperlakukannya dengan baik, penuh perhatian, dan senantiasa menjaga
keharmonisan keluarga, Fidelis tidak akan mengalami stres dan impuls yang aneh. Intinya
adalah, jangan beri dia celah untuk merasa tertekan.”
Rina memegang tangan Mbok Win, mereka akan bekerja sama, menjaga dan
melindungi Fidelis. Dinda paham betapa besar perjuangan yang harus dilakukan oleh orang-
orang yang merawat anak-anak berkebutuhan khusus. Namun itu semua akan terbayar, dengan
perkembangan baik anak-anak tersebut. Fidelis terlalu berharga untuk diabaikan. Bocah itu
memang luar biasa, tak bisa membuat orang-orang terdekatnya menjauh darinya.
Keluarga pasangan Romy dan Rina benar-benar lengkap semenjak Mbok Win, Nayna, dan
Fidelis hadir dalam hidup mereka dan tinggal di atap yang sama. Sekarang mereka berada di
ruang tengah. Ada Viana juga. Ravi dan Nayna duduk lesehan persis di depan televisi.
Mbok Win adalah yang paling repot daripada yang lainnya. Wanita berusia senja itu
menyiapkan banyak hal untuk pertemuan ini. Hidangan untuk makan malam, camilan, hingga
menyulap ruang makan bak restoran kelas dunia.
Sepertinya Fidelis mulai memiliki sifat jail. Bocah itu muncul dari belakang,
menempelkan kepala Ravi dan Nayna sampai berbenturan. Membuat Ravi gemas, dan lantas
menggelitikannya. Keseruan yang susah diungkapkan. Bahkan Rina tidak ada hati untuk
mengganggu mereka. Tapi ini adalah waktu yang tepat, mau tidak mau ia harus mengajak Ravi
berbicara sebantar.
“Ravi.”
Setelah menoleh dan membiarkan Fidelis berkeliaran bersama Mbok Win, Ravi
menghampiri mamanya. Bergabung dengan mereka bertiga. Sementara Nayna memilih
berjalan menjauh menuju kolam.
Suasana mendadak jadi serius. Ravi heran dan penasaran.
110
“Ada apa, Ma?”
“Ada yang ingin kami katakan padamu.”
Melirik Romy dan Viana, Ravi semakin bingung. Raut muka ketiga orangtua di
hadapannya sangat tegang. Lalu Romy mengambil alih semua, menceritakan apa yang
seharusnya Ravi ketahui dari dulu.
Dalam hitungan menit, sebuah kenyataan telah Ravi ketahui. Air mata sudah
terbendung di kedua matanya. Namun masih sanggup untuk tidak menangis. Mungkin Ravi
gengsi atau dia memang tidak ingin terlihat rapuh. Yang jelas, Ravi bahagia, bila akhirnya
Romy dan Rina telah menemukan anak perempuan mereka. Juga bahagia karena Nayna bisa
terbebas dari Bramantyo. Namun, Ravi sedih karena telanjur jatuh cinta pada gadis itu.
Bagaimana mengubah perasaan sayang terhadap lawan jenis menjadi perasaan sayang kakak
kepada adiknya dalam waktu yang cepat?
Fidelis tertidur pulas setelah Nayna menggendongnya dengan supersabar. Bocah perempuan
itu terbaring nyenyak di atas ranjang di kamar Nayna. Dia terus menatap adik bungsunya
dengan penuh kasih saying, meskipun kini dia tau Fidelis bukan adik kandungnya.
Sampai tiba-tiba Ravi masuk begitu saja ke dalam kamar, membuat Nayna terkejut.
Hutttsss, gadis itu memberi isyarat.
Tanpa berlama-lama, Ravi langsung menarik tangannya dan membawa gadis itu ke
balkon yang ada di kamarnya.
Malam ini, udara terasa dingin, angin terus meniup tak tentu arah. Bulan tak penuh dan
beberapa bintang yang menghiasi langit tampak tenang, seakan memandang dua muda mudi
ini.
Nayna tak sanggup menatap kedua mata bening Ravi yang terus berkaca-kaca, akan
sulit dimengerti bila ternyata reaksinya berbeda jauh dari apa yang dia harapkan.
Dan benar saja. Hal pertama yang dilakukan laki-laki itu adalah memeluknya. Nayna
berusaha untuk melepaskan karena merasa risi, tapi Ravi malah semakin mengeratkannya.
“Sebenarnya aku ingin marah. Bagaimana bisa ini terjadi pada kita? Tuhan sangat tidak
adil. Bahkan tak seorang pun dapat mengerti apa yang kita rasakan saat ini. Tetapi aku berpikir
lagi, Tuhan menyatukan kita dengan cara ini, supaya kita benar-benar bersama. Seseorang tidak
mungkin bisa selamanya memisahkan kita karena kita adalah sedarah. Pasti rasanya, sangat
sulit diterima, kan?”
111
Berada di dekapan Ravi, membuatnya dapat mendengar detak jantung laki-laki
tersebut. Setelah beberapa detik saling terdiam, Nayna pun melepaskan pelukan itu.
“Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan.”
Kalimat Nayna membuat Ravi meneteskan air mata. Akhirnya ia punya nyali menangis
di depan orang pertama yang membuatnya jatuh cinta. Mungkin itu karena sudah terlalu banyak
kesedihan yang ia tahan, dan kekecewaan yang ia simpan. Sekarang adalah waktu yang tepat
untuk mengungkapkan semua. Agar tidak ada lagi rahasia di antara mereka.
“Aku menyukaimu sejak pertama kita bertemu.”
Tanpa menunggu respons dari Nayna, Ravi melanjutkan ucapannya. “Dulu aku anak
berandalan. Aku tidak suka pada peraturan. Beberapa kali aku dikeluarkan dari sekolah, hingga
aku dapat meyakinkan orangtuaku bahwa aku akan bertahan di SMK Bina Nusantara sampai
lulus ujian.”
“Entahlah, bagaimana takdir mengarahkanku untuk sekolah di tempat itu dan bertemu
denganmu,”
“Aku berubah sejak bertemu denganmu. Aku merasa malu bila tampil berantakan di
depanmu. Aku merasa bodoh bila tidak lebih pintar darimu di bidang akademik. Aku merasa
cemburu setiap kali melihatmu dekat dengan teman laki-laki yang lain. Aku merasa selalu ingin
menjadi orang yang kamu cari ketika kamu butuhkan. Aku menyayangimu, aku tidak tahu
seberapa besarnya. Yang pasti, ini adalah yang pertama yang aku rasakan terhadap seseorang.”
Nayna mengusap air mata yang membasahi kedua pipinya, lalu memeluknya. Tidak ada
yang bisa ia lakukan selain itu. Kenyataan bahwa mereka adalah saudara kembar benar-benar
memusnahkan impian mereka untuk bisa saling memiliki.
“Kamu sudah berubah, tidak ada yang perlu berubah lagi setelah ini. Aku memang tidak
tahu sejak kapan aku menyukaimu. Yang jelas, aku selalu ingin berada di dekatmu. Aku bahkan
merasa sangat resah ketika Pilla berusaha keras merebut hatimu. Tapi entah mengapa, aku
begitu percaya diri. Aku yakin kalau kamu juga menyukaiku.”
Seketika itu senyum merekah dari bibir keduanya.
“Apa kamu sadar? Kalau kita bukan saudara, kita tidak mungkin berpelukan sekarang.”
Celotehan Nayna membuat Ravi merenggangkan pelukannya. Mereka sama-sama
tersipu malu. Rasanya aneh bila ingat pertemuan pertama mereka. Awalnya Nayna begitu kesal
melihat murid baru yang lagi-lagi susah diatur dan selalu merepotkannya. Tapi lama-kelamaan,
dengan mudah Ravi dapat meluluhkan hatinya. Nayna semakin merasa nyaman setiap kali ada
Ravi di dekatnya.
112
Mulai saat ini mereka akan terus bersama. Menjadi saudara kembar adalah hal terbaik
untuk hubungan mereka.
~END~
Catatan:
Sepanjang cerita, pyromania cuma disebut dua kali, dan itu tanpa penjelasan detail.
Judul novel seakan menjelaskan lebih banyak soal Fidelis dan pyromania yang diidapnya,
sementara cerita di dalamnya lebih banyak bahas masalah Nayna dan Ravi. Si Fidelis cuma
jadi penyambung aja.
Alur penceritaan terasa begitu cepat, banyak narasi-narasi yang bisa dieksplor lagi menjadi
dialog-deskripsi.
Saran:
Judul diganti....