DESKRIPSI KECERDASAN EMOSIONAL SISWI SMA PENGHUNI ASRAMA ... · SISWI SMA PENGHUNI ASRAMA PUTRI...
-
Upload
vuongduong -
Category
Documents
-
view
229 -
download
0
Transcript of DESKRIPSI KECERDASAN EMOSIONAL SISWI SMA PENGHUNI ASRAMA ... · SISWI SMA PENGHUNI ASRAMA PUTRI...
DESKRIPSI KECERDASAN EMOSIONAL SISWI SMA PENGHUNI ASRAMA PUTRI
SANTA MARIA MALANG TAHUN AJARAN 2003/2004 DAN IMPLIKASINYA TERHADAP USULAN TOPIK-TOPIK
BIMBINGAN KELOMPOK
S k r i p s i
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Bimbingan dan Konseling
Oleh:
Lucia Martini
NIM : 001114008
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA 2004
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ……………………………………………………….... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ……….................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ………………………………………………... iii
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN .…………………………….. iv
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ………………………… v
ABSTRAK …………………………………………………………………… vi
ABSTRACT ……………………………………………………………….. vii
KATA PENGANTAR ...……………………………………………………... viii
DAFTAR ISI …………………………………………………………………. xi
DAFTAR TABEL ……………………………………………………………. xv
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………………. xvi
BAB I: PENDAHULUAN …………………………………………………... 1
A. Latar Belakang Masalah ………………………………………… 1
B. Perumusan Masalah ……………………………………………... 7
C. Tujuan Penelitian ………………………………………………... 8
D. Manfaat Penelitian ………………………………………………. 8
E. Definisi Operasional …………………………………………….. 9
BAB II: KAJIAN PUSTAKA ………………………………………………… 11
A. Hakekat Kecerdasan Emosional ………………………………… 11
1. Pengertian Kecerdasan Emosional …………………………... 11
2. Aspek-aspek Kecerdasan Emosional ……………………….... 14
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional ..... 23
B. Penghuni Asrama Sebagai Remaja ……………………………… 27
1. Ciri-ciri Masa Remaja ……………………………………….. 27
2. Tugas Perkembangan Remaja ……………………………….. 34
C. Bimbingan Kelompok …………………………………………… 36
D. Pelayanan Bimbingan di Asrama ……………………………….. 39
1. Pengertian Asrama …………………………………………… 39
2. Pentingnya Pelayanan Bimbingan di Asrama Khususnya
Pengembangan Kecerdasan Emosional …………………..... 41
3. Hal-hal yang Perlu Diperhatikan dalam Pelayanan Bimbingan
di Asrama ……………………………………………………. 48
BAB III : METODOLOGI PENELITIAN …………………………………… 50
A. Jenis Penelitian ………………………………………………… 51
B. Subjek Penelitian ………………………………………………. 51
C. Instrumen Penelitian …………………………………………… 52
D. Prosedur Pengumpulan Data …………………………………... 61
1. Tahap Persiapan …………………………………………….. 61
2. tahap Pelaksanaan Pengumpulan data ………………………. 65
E. Teknik Analisis data …………………………………………… 67
BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ……………………. 69
A. Tingginya Masing-masing Aspek Kecerdasan Emosional Siswi
SMA Penghuni Asrama Putri Santa Maria Malang Tahun Ajaran
2003/2004 ……………………………………………………… 69
B. Pembahasan ……………………………………………………. 70
BAB V : USULAN TOPIK-TOPIK BIMBINGAN KELOMPOK DAN
CONTOH SATUAN PELAYANAN BIMBINGAN DI ASRAMA
PUTRI SANTA MARIA MALANG SEBAGAI IMPLIKASI
HASIL PENELITIAN ………………………………………………. 87
A. Usulan Topik-topik Bimbingan Kelompok untuk Penghuni
Asrama Putri Santa Maria Malang ……………………………… 87
B. Contoh Satuan Pelayanan Bimbingan …………………………... 93
BAB VI : RINGKASAN, KESIMPULAN, DAN SARAN ………………….. 98
A. Ringkasan ………………………………………………………. 98
B. Kesimpulan …...……………………………………………….. 100
C. Saran ......…...……………………………………………………. 100
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………... 102
LAMPIRAN ……………………………………………………………….. 106
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 : Distribusi Item Skala Kecerdasan Emosiona untuk Penelitian ……. 55
Tabel 2 : Rekapitulasi Hasil Analisis Uji Validitas Item ..………………….. 58
Tabel 3: Kisi-kisi Kecerdasan emosional Yang Diuji Cobakan …………….. 64
Tabel 4: Penggolongan Tingkat Kecerdasan Emosional Penghuni
Asrama Putri Santa Maria Malang Tahun Ajaran 2003/2004 …....... 68
Tabel 5: Penggolongan Tingkat kecerdasan Emosional Penghuni
Asrama Putri Santa Maria Malang Tahun Ajaran 2003/2004 ……... 69
Tabel 6: Tingginya Masing-masing Aspek Kecerdasan Emosional
Para Siswi SMA Penghuni Asrama Putri Santa Maria Malang
Tahun Ajaran 2003/2004 …………………………………………… 70
Tabel 7: Usulan Topik-topik Bimbingan Kelompok Bagi siswi SMA
Penghuni Asrama Putri Santa Maria Malang .…………………........ 88
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 : Kuesioner Kecerdasan Emosional Siswi SMA
Penghuni Asrama Putri Santa Maria Malang …………………
106
Lampiran 2 : Skor Uji Coba Kuesioner Kecerdasan Emosional ….……… 113
Lampiran 3 : Hasil Perhitungan Taraf Validitas …………………………….
121
Lampiran 4 : Skor Kecerdasan Emosional Siswi SMA
Penghuni Asrama Putri Santa Maria……………………….... 131
Lampiran 5 : Surat Permohonan Ijin Penelitian….…………………………. 141
ABSTRAK
DESKRIPSI KECERDASAN EMOSIONAL SISWI SMA PENGHUNI ASRAMA PUTRI SANTA MARIA MALANG
TAHUN AJARAN 2003-2004 DAN IMPLIKASINYA TERHADAP USULAN TOPIK-TOPIK BIMBINGAN KELOMPOK
Lucia Martini Universitas Sanata Dharma, 2004
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang tingginya kecerdasan emosional siswi SMA penghuni asrama putri Santa Maria Malang tahun ajaran 2003/2004 dan implikasinya terhadap usulan topik-topik bimbingan kelompok. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskripsi dengan survai. Subjek penelitian adalah siswi SMA penghuni asrama putri Santa Maria Malang tahun ajaran 2003/2004 yang berjumlah 50 orang. Mereka terdiri dari SMA kelas I: 29 orang, kelas II: 21 orang. Instrumen penelitian adalah kuesioner yang disusun oleh penulis sendiri dengan mengambil inspirasi dari buku Emotional Intelligence, yang dikarang oleh Goleman (2002). Kuesioner tersebut terdiri dari pertanyaan-pertanyaan yang mencakup ke lima aspek kecerdasan emosional. Kelima aspek tersebut yaitu: (1) mengenali emosi diri, (2) mengelola emosi, (3) memotivasi diri, (4) mengenali emosi orang lain, (5) membina hubungan. Jumlah seluruh item ada 90 butir. Teknik analisis data yang digunakan adalah perhitungan frekwensi dengan pendistribusiannya berdasarkan rumus Penilaian Acuan Patokan tipe I. Tingginya kecerdasan emosional siswi SMA penghuni asrama Santa Maria Malang digolongkan menjadi 5 yaitu sangat rendah, rendah, cukup, tinggi, dan sangat tinggi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada siswi SMA penghuni asrama putri Santa Maria Malang tahun ajaran 2003/2004: (1) yang memiliki kemampuan mengenali emosi yang: sangat rendah 6%, rendah 30%, cukup 64%, tinggi 0%, dan yang sangat tinggi 0%, (2) yang memiliki kemampuan mengelola emosi yang sangat rendah 0%, rendah 16%, cukup 60%, tinggi 24%, dan sangat tinggi 0%, (3) yang memiliki kemampuan memotivasi diri sendiri yang sangat rendah 4%, rendah 24%, cukup 58%, tinggi 14%, sangat tinggi 0%, (4) yang memiliki kemampuan mengenali emosi orang lain yang sangat rendah 0%, rendah 2%, cukup 44%, tinggi 26%, dan sangat tinggi 28%, (5) yang memiliki kemampuan membina hubungan yang sangat rendah 2%, rendah 2%, cukup 72%, tinggi 18%, dan sangat tinggi 6%. Berdasarkan hasil penelitian tersebut disusunlah topik-topik bimbingan kelompok bagi para siswi SMA penghuni asrama putri Santa Maria Malang.
ABSTRACT
THE DESCRIPTION OF THE EMOTIONAL INTELLIGENCE OF THE SENIOR HIGH SCHOOL STUDENTS, THE OCCUPANTS OF THE
GIRL DORMITORY OF SAINT MARY, MALANG, IN THE ACADEMIC YEAR OF 2003/2004 AND THE IMPLICATION
FOR A PROPOSAL OF CLASS GUIDANCE TOPICS
Lucia Martini 2004
The aim of this research was to describe the level of the emotional intelligence of the Senior High School students, the occupants of the Girl Dormitory Sanit Mary, in Malang, ini the academic year of 2003/2004, and the implication for a proposal of slass guidance topics. This research was a descriptive research applying a survey method. The number of the subjects of this research was 50 students, consisting of 29 firt grade students, and 21 second grade students. The instrument employed to collect the data was a questionnaire, constructed by the researcher herself, on the basis of the Emotional Intelligence book, written by Goleman (2002). The questionnaire consisted of questions that covered the five aspects of the emotional intelligence, namely: (1) knowing one’s emotions, (2) managing emotions, (3) motivating oneself, (4) recognizing emotions in others, (5) handling relationships. The data were analyzed by classifying the level of the emotional intelligence of the satudents on the basis of the Norm-Reference Test, type I. The results of this research indicate that the level of each of the emotional intelligence aspects of the occupants of the Girl Dormitory Saint Mary, in Malang, in the academic year of 2003/2004 is as follows (1) in knowing one’s emotion, among the students: (a) 6% have very low ability; (b) 30% have low ability; (c) 64% have high enough ability; (d) 0% has high ability; (e) 0% has very high ability; (2) in managing emotions, among the students: (a) 0% has very low ability; (b) 16 % have low ability; (c) 60% have high enough ability; (d) 24% have high ability; (e) 0% has very high ability; (3) in motivating oneself, among the students: (a) 4% have very low ability; (b) 24% have low ability; (c) 58% have high enough ability; (d) 14% have high ability; (e) 0% has very high ability: (4) in recognizing emotions in others, among the students: (a) 0% has very low ability; (b) 2% have low ability; (c) 44% have high enough ability; (d) 26% have high ability; (e) 28% have very high ability; (5) in handling relationships, among the students: (a) 2% have very low ability; (b) 2% have low ability; (c) 72% have high enough ability; (d) 18% have high ability; (e) 6% have very high ability.
Based on the results of the study, the researcher proposed class guidance topics to be delivered for the occupants of the Girl Dormitory Sanit Mary, in Malang.
BAB I
PENDAHULUAN
Pada bagian ini disajikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, dan definisi operasional.
A. Latar Belakang Masalah
Intelligence quotient adalah istilah populer yang dikenal oleh banyak orang.
Mereka beranggapan bahwa anak dengan kecerdasan intelektual mempunyai
peluang besar untuk sukses. Banyak orang tua mendewakan “NEM” yang tinggi
dan mengandaikan bahwa IQ yang tinggi menjadi penentu sukses dalam
kehidupan. Sekarang kita tidak hanya mengenal IQ (Intelligence Quotient) saja,
tetapi juga telah dikenal istilah EI (Emotional Intelligence). Dewasa ini EI banyak
dibahas dan pertama kali dilontarkan pada tahun 1990 oleh Peter Salovey dan
John Mayer (Shapiro, 2000: 5). EI dalam bahasa Indonesia adalah kecerdasan
emosional. Sekarang kecerdasan tidak lagi dipandang hanya mencakup kecepatan
berpikir, ketepatan menghitung, melainkan juga pengendalian emosi dan
kemampuan mengendalikan diri dalam hubungan dengan sesama. Mengingat
pentingnya kecerdasan emosional, peneliti berpandangan bahwa pengembangan
kecerdasan emosional sangat perlu bagi remaja baik lewat lembaga pendidikan di
sekolah maupun luar sekolah, misalnya asrama.
Dalam buku laporan pelaksanaan bidang karya para Suster Santa Perawan
Maria di Indonesia (1984-1988) disebutkan bahwa sejak awal berdirinya
konggregasi, disadari betapa pentingnya pendidikan dalam suatu asrama.
Pembinaan di asrama merupakan bagian dari medan karya konggregasi para
Suster Santa Perawan Maria yang utama, dan bidang ini ternyata sangat
dibutuhkan oleh masyarakat, karena masyarakat sadar bahwa pembinaan
merupakan kunci perkembangan mental manusia yang mendasari perkembangan
lainnya .
Pengelolaan asrama merupakan salah satu bentuk perwujudan kepedulian
Suster-suster Santa Perawan Maria terhadap generasi muda jaman ini. Hal ini
merupakan realisasi dari Konstitusi yaitu Konstitusi Kongregasi Suster Santa
Perawan Maria (1984, 75 al. 2) yang berbunyi “kita membaktikan diri kepada
kebahagiaan hidup manusia dengan berusaha melaksanakan karya belas kasih
rohani dan jasmani” sesuai dengan tradisi kita terutama berkarya di bidang
pembinaan.
Asrama Santa Maria di Malang adalah salah satu asrama putri yang
menampung siswi Sekolah Menengah Atas. Para remaja penghuni asrama ini
berumur sekitar 15-18 tahun. Mereka berada dalam masa remaja. Menurut
Hurlock (1994: 207) masa remaja adalah masa peralihan. Biasanya orang
mengatakan bahwa masa ini merupakan suatu proses, bukan produk yang sekali
jadi. Karena itu tugas orang tua atau pembimbing adalah membantu remaja
menjadi orang dewasa yang memiliki kepekaan emosional.
Sikap dan perilaku remaja diharapkan berkembang seimbang dengan tingkat
perubahan fisiknya. Sejak awal masa remaja, ketika perubahan fisik terjadi secara
pesat, perubahan perilaku dan sikap juga berlangsung dengan pesat. Sebaliknya,
apabila perubahan fisik menurun, perubahan perilaku dan sikap pun menurun.
Remaja berada pada masa peralihan. Karena itu individu yang bersangkutan
bukan lagi anak dan bukan orang dewasa. Kalau remaja berperilaku seperti anak-
anak, ia akan diajari untuk “bertindak sesuai dengan umurnya,” tetapi kalau
remaja berusaha berperilaku seperti orang dewasa, ia seringkali dituduh “terlalu
besar untuk celananya”.
Pada masa kanak-kanak, individu masih merasa aman karena semuanya ada
dalam perlindungan orangtua, namun ketika memasuki masa remaja, individu
mengalami kebingungan, kegelisahan. Remaja mulai meniru perilaku orang
dewasa, misalnya merokok.
Menurut Goleman (1997: 14) generasi sekarang lebih banyak mengalami
kesulitan emosional daripada generasi sebelumnya. Mereka lebih kesepian dan
pemurung, kurang menghargai sopan santun, lebih gugup dan mudah cemas, lebih
kompulsif dan agresif. Kecerdasan emosional sangat berpengaruh bagi
perkembangan individu. Menurut konsep Goleman, orang yang memiliki
kecerdasan emosional adalah orang yang matang dalam hal pengaturan kondisi
diri dan emosinya. Lewat penelitian-penelitian para ahli telah ditunjukkan bahwa
ketrampilan emosi dapat membuat siswa bersemangat tinggi dalam belajar,
disukai oleh teman-temannya di arena bermain, juga akan membantu ketika siswa
sudah memasuki dunia kerja. Peran kecerdasan intelektual atau IQ dalam
keberhasilan di dunia kerja hanya menempati posisi kedua setelah kecerdasan
emosional. Menurut penelitian para ahli, IQ hanya menyumbang 20% dari faktor
penentu keberhasilan seseorang, sedangkan sisanya 80% adalah faktor-faktor lain
termasuk kecerdasan emosional (Goleman, 1997). Dalam kenyataannya sekarang
ini, dapat dilihat bahwa orang yang ber-IQ tinggi tetapi emosinya tidak stabil dan
mudah marah, sering kali keliru dalam menentukan dan memecahkan persoalan
hidup karena tidak dapat berkonsentrasi (Suparno, 2004). Menurut Suparno emosi
yang tidak berkembang, tidak terkuasai, sering membuat orang berubah-ubah
dalam menghadapi persoalan dan bersikap terhadap orang lain sehingga banyak
menimbulkan konflik. Di lain pihak ada orang yang IQ-nya tidak tinggi, tetapi
karena ketekunan dan emosinya seimbang, dapat sukses dalam belajar maupun
dalam bekerja.
Kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional merupakan sumber daya
sinergis; tanpa yang satu, yang lain menjadi tidak sempurna dan tidak efektif.
Kecerdasan intelektual dapat membuat orang berhasil meraih nilai maksimal
tetapi tidak berhasil dalam kehidupan. Hanya kecerdasan emosional yang mampu
memahami pelbagai perasaan secara mendalam, ketika perasaan itu muncul.
Tanpa kemampuan untuk mengenali dan menghargai perasaan, serta bertindak
jujur sesuai dengan perasaan yang bersangkutan tersebut, orang tidak akan
berhubungan baik dengan orang lain, tidak dapat membuat keputusan dengan
mudah, dan sering akan terombang-ambing sehingga tidak pernah bersentuhan
dengan perasaannya sendiri.
Orang yang mempunyai kecerdasan emosional, diharapkan mampu
mengungkapkan emosinya secara konstruktif. Sebaliknya, orang yang kecerdasan
emosionalnya rendah akan kurang berhasil, karena cepat merasa gagal, mudah
menyerah jika menghadapi kesukaran.
Mengingat pentingnya kecerdasan emosional remaja khususnya penghuni
asrama, maka perlu ada bimbingan yang dimaksudkan juga untuk
mengembangkan kecerdasan emosional di asrama. Bimbingan dimaksudkan agar
binimbing mampu mengenal kekuatan dan kelemahan dirinya sendiri, serta
mampu menerimanya secara positif sebagai modal pengembangan diri lebih
lanjut. Bagi asrama sendiri, pengembangan kecerdasan emosional merupakan
sesuatu yang baru karena selama ini asrama belum mempunyai program
bimbingan, sehingga dibutuhkan keberanian dan kemauan untuk memulainya
mengingat remaja yang tinggal di asrama adalah generasi penerus bangsa.
Pembimbingan yang dilakukan sungguh-sungguh secara optimal dapat
memberikan sumbangan yang besar bagi kehidupan mereka di masa depan.
Pembimbingan di asrama harus mampu menyentuh aspek-aspek kecerdasan
emosional yang sering kurang diperhatikan dibandingkan aspek kognitif.
Lingkungan merupakan salah satu faktor yang turut mempengaruhi
perkembangan seseorang. Warga asrama biasanya datang dari berbagai latar
belakang yang berbeda, misalnya status sosial ekonomi, keluarga, budaya, dan
lain-lain. Setiap warga asrama dituntut mampu menyesuaikan diri dengan
lingkungan yang baru, yaitu asrama, di mana mereka tinggal dan hidup bersama.
Hidup bersama tentu tidak mudah; seringkali timbul berbagai permasalahan
dalam hidup bersama di asrama. Keberhasilan menyesuaikan diri dengan
kehidupan di asrama sangat ditentukan oleh kemampuan individu dalam
menjawab atau mengatasi situasi permasalahan yang ada. Warga asrama perlu
memiliki kecerdasan emosional yang tinggi untuk memperoleh keberhasilan
dalam kehidupan di asrama.
Salah satu tugas perkembangan remaja menurut Hurlock (1994) ialah
penyesuaian dengan lingkungan. Bagi remaja menyesuaikan diri dengan
lingkungan sering dirasa sulit; untuk dapat mencapai hubungan yang baru dengan
lingkungan, dibutuhkan kecerdasan emosional. Berdasarkan pengalaman penulis,
pengembangan bidang kecerdasan emosional di asrama mempunyai peluang yang
lebih besar daripada di sekolah, karena anak-anak tinggal di asrama sehingga
pihak pengelola asrama dapat menyusun program sesuai dengan waktu yang ada;
di sekolah waktu terbatas antara lain karena padatnya kurikulum. Apabila
pengembangan kecerdasan emosional di asrama dapat dilaksanakan dengan baik,
hal ini merupakan sumbangan yang besar bagi kehidupan remaja di masa yang
akan datang. Pihak pengelola asrama hendaknya memiliki topik bimbingan yang
relevan dengan kebutuhan penghuni asrama sehingga program itu dapat sungguh
efektif. Pembimbing dapat memberikan topik-topik pelayanan bimbingan yang
sesuai dengan kebutuhan siswa dengan memperhatikan tingkat perkembangan
remaja dan tingkat kecerdasan emosional remaja. Sering dijumpai topik
pembimbingan yang diberikan kurang sesuai dengan tingkat perkembangan
remaja dan tugas perkembangan remaja sehingga tujuan tidak tercapai.
Salah satu upaya yang perlu dilakukan adalah menyusun materi pelayanan
bimbingan yang sesuai dengan taraf perkembangan, kebutuhan dan permasalahan
yang dialami para remaja penghuni asrama khususnya dalam bidang kecerdasan
emosional. Dengan memberikan topik bimbingan yang relevan, para remaja yang
tinggal di asrama akan dibantu menjadi pribadi yang mampu mengatur hidupnya,
dapat bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, memiliki pandangan sendiri,
memiliki kemandirian, memiliki kemampuan memotivasi diri sendiri, dan
akhirnya mampu mengambil keputusan secara tepat.
Berdasarkan uraian di atas, penulis menjadi sangat tertarik dan terdorong
untuk melakukan penelitian mengenai tingkat kecerdasan emosional para
penghuni asrama putri Santa Maria di Malang tahun ajaran 2003/2004 dan topik-
topik bimbingan mana yang tepat untuk mengembangkan kecerdasan
emosionalnya.
B. Perumusan Masalah
Penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran tentang, tingkat
masing-masing aspek kecerdasan emosional para siswi SMA penghuni asrama
putri Santa Maria di Malang, dan melihat implikasinya terhadap usulan topik-
topik bimbingan kelompok dalam bidang kecerdasan emosional. Secara khusus,
pertanyaan yang ingin dijawab adalah :
1. Seberapa tinggikah masing-masing aspek kecerdasan emosional siswi SMA
penghuni asrama putri Santa Maria Malang tahun ajaran 2003/2004?
2. Manakah topik bimbingan yang sesuai bagi para siswi SMA penghuni asrama
putri Santa Maria Malang untuk mengembangkan kecerdasan emosionalnya?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan:
1. Mengetahui tingginya masing-masing aspek kecerdasan emosional siswi SMA
penghuni asrama putri Santa Maria Malang tahun ajaran 2003/2004.
2. Dapat menyusun suatu usulan topik bimbingan yang sesuai bagi para siswi
SMA penghuni asrama putri Santa Maria Malang, untuk mengembangkan
kecerdasan emosionalnya.
D. Manfaat Penelitian.
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak:
1. Para penghuni asrama putri Santa Maria Malang akan memperoleh informasi
tentang tingkat kecerdasan emosionalnya, dan diharapkan termotivasi untuk
meningkatkan kecerdasan emosionalnya.
2. Pendamping asrama putri Santa Maria di Malang dapat memperoleh informasi
yang dapat digunakan dalam mengembangkan kecerdasan emosional para
penghuni asrama .
3. Persatuan Suster Santa Perawan Maria dapat memperoleh masukan yang
berguna untuk pembinaan bidang pengembangan kecerdasan emosional di
asrama-asrama yang ada di lingkup Kongregasi Suster Santa Perawan Maria.
4. Peneliti sendiri memperoleh pengalaman dalam mengungkap tingkat
kecerdasan emosional dan dalam menyusun topik-topik bimbingan tentang
kecerdasan emosional.
E. Definisi Operasional
Berikut ini dijelaskan definisi operasional dari beberapa istilah yang digunakan
dalam penelitian ini:
1. Deskripsi adalah pemaparan atau penggambaran dengan kata-kata secara jelas
dan terinci (Depdikbud, 1990: 201).
2. Kecerdasan emosional
Kemampuan mengenali emosi kita sendiri, dan emosi orang lain, kemampuan
memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi serta kemampuan
membina hubungan dengan orang lain (Goleman, 2001: 512), seperti yang
dimaksudkan dalam butir-butir kuesioner yang digunakan.
3. Penghuni asrama
Penghuni asrama adalah remaja berumur 15-18 tahun yang tinggal di asrama
putri Santa Maria di Malang pada tahun ajaran 2003/2004.
4. Asrama
Asrama adalah tempat tinggal yang diperuntukkan bagi pelajar Sekolah
Menengah Atas, yang memenuhi syarat-syarat tertentu.
5. Bimbingan
Bimbingan menurut Rachman Natawidjaja (Winkel, 1997: 67) adalah proses
pemberian bantuan kepada individu yang dilakukan secara berkesinambungan,
supaya individu tersebut dapat memahami dirinya, sehingga ia sanggup
mengarahkan diri dan dapat bertindak wajar, sesuai dengan tuntutan dan
keadaan keluarga serta masyarakat.
6. Usulan topik-topik bimbingan
Usulan topik-topik bimbingan terbatas pada topik-topik yang tercakup dalam
kecerdasan emosional yang diusulkan untuk digunakan sebagai acuan
pelaksanaan bimbingan kelompok oleh pembimbing di asrama putri Santa
Maria di Malang.
7. Bimbingan kelompok
Bimbingan kelompok adalah bimbingan yang diberikan kepada lebih dari satu
orang pada waktu yang bersamaan (Winkel, 1997: 518).
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Bab ini berisi uraian mengenai beberapa hal yang berhubungan dengan topik
penelitian yaitu: (1) Hakekat kecerdasan emosional yang meliputi: pengertian
kecerdasan emosional, aspek-aspek kecerdasan emosional, faktor-faktor yang
mempengaruhi kecerdasan emosional; (2) Penghuni asrama sebagai remaja yang
meliputi: ciri-ciri masa remaja, tugas perkembangan remaja; (3) Pengertian
bimbingan kelompok; (4) Pelayanan bimbingan di asrama meliputi: pengertian
asrama, pentingnya pelayanan bimbingan di asrama khususnya pengembangan
kecerdasan emosional, hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pelayanan bimbingan di
asrama.
A. Hakekat Kecerdasan Emosional
1. Pengertian Kecerdasan Emosional
Emotional intelligence atau kecerdasan emosional pertama kali
dilontarkan pada tahun 1990 oleh Peter Salovey dan John Mayer (Shapiro,
2000: 5). Kecerdasan emosional atau emotional intelligence merujuk kepada
kemampuan mengenali perasaan kita sendiri, dan perasaan orang lain,
kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan
baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain; mampu
bertahan menghadapi frustrasi; mengendalikan dorongan hati dan tidak
melebih-lebihkan kesenangan; mengatur suasana hati dan menjaga agar beban
stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir; berempati dan berdoa
(Goleman, 2001: 512; Goleman, 2002: 45). Senada dengan yang dikatakan
oleh Goleman, Peter Salovey dan Jack Mayer (Stein dan Book, 2002: 30)
menjelaskan bahwa kecerdasan emosional merupakan kemampuan untuk
mengenali perasaan, meraih dan membangkitkan perasaan untuk membantu
pikiran, memahami perasaan dan maknanya, dan mengendalikan perasaan
secara mendalam sehingga membantu perkembangan emosi dan intelektual.
Sejalan dengan Goleman, Patton (1998: 72-73) memberikan definisi
kecerdasan emosional lebih sederhana. Kecerdasan emosional diartikan
sebagai kemampuan untuk menggunakan emosi secara efektif untuk mencapai
tujuan, membangun hubungan produktif dan meraih keberhasilan. Salovey
dan Mayer (Shapiro, 2001: 8) mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai
himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan
memantau perasaan dan emosi baik pada diri sendiri maupun pada orang lain,
memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi ini untuk membimbing
pikiran dan tindakan.
Cooper dan Sawaf (1998: 15 ) mendefinisikan kecerdasan emosional
sebagai kemampuan merasakan, memahami, dan secara efektif menerapkan
daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi, dan
pengaruh yang manusiawi. Menurutnya kecerdasan emosional dapat dipelajari
dan dapat dikembangkan serta disempurnakan kapan saja dan pada usia
berapa saja. Dengan kemampuan ini akan didapat pemahaman yang tepat
mengenai pengalaman emosinya serta bagaimana cara mengelola emosi
tersebut.
Sebelum kehadiran konsep kecerdasan emosional, banyak orang
berpegang pada kecerdasan intelektual (IQ) untuk menjelaskan keberhasilan
seseorang. Orang beranggapan bahwa bila IQ seseorang tinggi, maka ia akan
sukses dalam belajarnya dan akhirnya juga sukses dalam kehidupan yang
nyata. Anggapan seperti itu tidak selalu benar. Pada kenyataannya ada banyak
orang yang IQ-nya tinggi, tetapi gagal dalam hidupnya. Ternyata IQ yang
tinggi bukanlah segala-galanya, karena di samping kecerdasan intelektual
(IQ), ada kecerdasan lain yang turut mempengaruhi keberhasilan orang. Orang
yang sukses bukan orang yang cerdas secara IQ, tetapi orang yang secara
emosional cerdas sehingga dapat memperkembangkan kecerdasan-kecerdasan
yang lain (Suparno, 2004).
Shapiro (1997) menekankan konsep kecerdasan emosional sebagai
konsep yang sangat bermakna, meskipun mungkin tidak akan pernah dapat
diukur secara akurat seperti halnya pengukuran IQ. Cooper dan Sawaf (1998)
menganggap bahwa nilai IQ diyakini tidak banyak berubah seumur hidup,
sedangkan kecerdasan emosional dipandang sebagai kecerdasan yang dapat
dipelajari, dapat dikembangkan dan disempurnakan kapan saja dan pada usia
berapa saja. Pendapat ini sejalan dengan teori John Locke yaitu tabularasa,
yang menyebutkan bahwa manusia lahir seperti halnya kertas putih yang
belum bertuliskan apa-apa. Akan jadi apa kertas putih tersebut, sangat
tergantung pada proses yang dialami selanjutnya (Sarwono, 1984). Konsep ini
ditekankan pula dalam teori-teori psikologi perkembangan, bahwa proses
belajar akan sangat berpengaruh dalam diri orang dan akan jauh lebih
menentukan dalam proses pembentukan diri dibandingkan dengan faktor
genetika.
Kecerdasan emosional memiliki komponen yang sangat kompleks dan
terkait dengan kemampuan orang dalam menggunakan potensi emosionalnya
dalam kehidupan sehari-hari. Albin (1983) menyatakan bahwa semua manusia
tanpa terkecuali, dianugerahi kemampuan emosional yang unik, sehingga
semua dapat belajar untuk memahami dan menerimanya.
Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kecerdasan
emosional adalah kemampuan untuk menyadari dan mengenali emosi-
emosinya sendiri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi
orang lain dan membina hubungan.
2. Aspek-aspek Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosional berkembang bersamaan dengan sejarah
manusia itu sendiri (Stein dan Book, 2002). Salovey (Goleman, 2002: 57)
menjelaskan bahwa kecerdasan emosional merupakan kemampuan yang dapat
dipelajari. Kecerdasan emosional ini memiliki lima aspek penting yang
kemudian oleh Goleman disebut wilayah utama atau ciri-ciri kecerdasan
emosional. Kelima wilayah atau aspek kecerdasan emosional tersebut adalah:
(a) mengenali emosi diri; (b) mengelola emosi; (c) memotivasi diri sendiri; (d)
mengenali emosi orang lain; dan (e) membina hubungan. Berikut ini masing-
masing aspek diperjelas.
a. Mengenali emosi sendiri (Self-Awareness)
Kemampuan mengenali emosi merupakan kemampuan mengenali
emosi pada waktu emosi itu muncul, dan mampu memberi nama atau
menyebutkan nama emosi yang bersangkutan. Orang dikatakan berhasil
mengenali emosinya sendiri apabila ia memiliki kepekaan yang tinggi atas
emosinya. Mengenali emosi diri merupakan kesadaran orang akan
emosinya. Mengenali emosi merupakan dasar dari kecerdasan emosional.
Para ahli psikologi menggunakan istilah metamood untuk menyebut
kesadaran orang akan perasaannya. Mengenali emosi sewaktu emosi itu
terjadi merupakan inti dari kecerdasan emosional (Goleman, 2002).
Menurut konsep Goleman orang yang memiliki kesadaran diri akan lebih
peka dan cermat menghadapi suasana hati orang lain. Kesadaran emosi
sangat penting untuk memandu pengambilan keputusan, memiliki
kemampuan diri dan kepercayaan diri yang kuat (Goleman, 2001: 513).
Menurut Goleman (2000) aspek mengenali emosi sendiri terdiri dari :
1) Kesadaran emosi
Orang yang memiliki kesadaran emosi yang tinggi mampu :
a) mengetahui emosi mana yang sedang dirasakannya dan mengapa,
b) menyadari keterkaitan antara perasaan, pikiran, perbuatan, dan apa
yang dikatakannya,
c) mengetahui bagaimana perasaannya mempengaruhi cara kerjanya,
d) mempunyai kesadaran yang menjadi pedoman untuk mencapai nilai-
nilai dan tujuannya.
2) Penilaian diri
Orang yang memiliki penilaian diri secara teliti dan tinggi mampu:
a) menyadari kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahannya,
b) memiliki kemampuan untuk mengadakan refleksi diri,
c) terbuka terhadap umpan balik yang tulus, bersedia menerima
pandangan yang baru, mau terus belajar dan mengembangkan diri,
d) mampu menunjukkan rasa humor dan bersedia memandang dirinya
sendiri dengan perspektif yang luas.
3) Kepercayaan diri
Orang yang memiliki kepercayaan diri yang tinggi memiliki
kecenderungan:
a) berani tampil dengan keyakinan diri,
b) berani mengungkapkan pendapat dan bersedia berkorban demi
kebenaran,
c) bersikap tegas, mampu membuat keputusan yang baik kendati
dalam keadaan tidak pasti dan tertekan.
b. Mengelola emosi
Mengelola emosi berarti menangani perasaan agar perasaan dapat
terungkap dengan tepat. Kecakapan mengelola emosi merupakan
kecakapan yang sangat tergantung pada kesadaran diri, yang meliputi
kemampuan menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan,
atau ketersinggungan. Orang yang memiliki kecakapan ini mampu bangkit
kembali, sedangkan orang yang buruk pengelolaan emosinya akan terus
menerus bertarung melawan perasaan murung atau melarikan diri pada hal-
hal negatif yang merugikan diri sendiri.
Menurut Goleman (2002: 404) orang yang memiliki kemampuan
mengelola emosi memiliki ciri/tanda sebagai berikut:
1) toleransi yang lebih tinggi terhadap frustrasi dan pengelolaan amarah,
2) berkurangnya ejekan verbal, perkelahian, dan gangguan di ruang kelas,
3) lebih mampu mengungkapkan amarah dengan tepat, tanpa berkelahi,
4) berkurangnya larangan masuk sementara dan skors,
5) berkurangnya perilaku agresif atau merusak diri sendiri,
6) perasaan yang lebih positif tentang diri sendiri, sekolah, dan keluarga,
7) lebih baik dalam menangani ketegangan jiwa,
8) berkurangnya kesepian dan kecemasan dalam pergaulan.
Wijokongko (1997: 15) mengatakan bahwa ketidakmampuan
mengendalikan emosi bisa membuat orang melakukan banyak perbuatan
negatif. Pengendalian emosi merupakan kunci menuju kesejahteraan emosi.
Intinya, bukan menjauhi perasaan yang tidak menyenangkan dengan selalu
bahagia, namun tidak membiarkan perasaan menderita berlangsung secara
tidak terkendali sehingga menghapus semua suasana hati yang
menyenangkan.
Orang yang kemampuan mengelola emosinya rendah, menerima kritik
sebagai serangan pribadi, bukan sebagai keluhan yang harus diatasi, kurang
memiliki kendali diri, mudah mencemooh atau menghina, bersikap
menutup diri atau sikap bertahan yang pasif, mudah patah semangat
(Goleman (2002: 214-215).
Menurut Goleman (2001) aspek kemampuan mengelola emosi
meliputi:
1) Mengendalikan emosinya sendiri
Orang yang dapat mengendalikan emosinya sendiri secara tepat
mampu:
a) mengelola dengan baik emosi-emosi yang menekan,
b) tetap teguh, bersikap positif, dan tidak goyah sekalipun dalam
situasi yang paling berat,
c) berpikir dengan jernih dan tetap terfokus kendati dalam keadaan
tertekan.
2) Dapat dipercaya
Orang yang dapat dipercaya mampu:
a) bertindak seturut etika dan tidak pernah mempermalukan orang lain,
b) membangun kepercayaan dengan sikap apa adanya dan jujur,
c) mengakui kesalahan sendiri dan berani menegur perbuatan yang
tidak dapat diterimanya,
d) berpegang kepada prinsip secara teguh walaupun akibatnya adalah
menjadi tidak disukai.
c. Kemampuan memotivasi diri sendiri
Kemampuan memotivasi diri adalah kemampuan memberikan
semangat kepada diri sendiri untuk melakukan sesuatu yang baik dan
bermanfaat. Dalam hal ini terkandung harapan optimis yang tinggi,
sehingga dirinya memiliki kekuatan dan semangat untuk melakukan
aktivitas tertentu, misalnya belajar, bekerja, menolong orang lain.
Kemampuan memotivasi diri kita perlukan lebih-lebih pada waktu motivasi
kita negatif, yaitu waktu kita patah semangat, kehilangan pandangan ke
masa depan. Tujuannya agar motivasi kita positip dan kita menjadi
bersemangat serta bergairah lagi dalam hidup. Orang yang mampu
memotivasi dirinya akan lebih berhasil dalam kehidupannya dibandingkan
dengan orang yang menunggu orang lain untuk memperhatikan dirinya.
Salah satu ciri dari kemampuan untuk memotivasi diri adalah kepercayaan
diri (Self confidence). Individu yang memiliki motivasi tinggi akan
memiliki self confidence yang tinggi pula. Ciri utama self confidence adalah
sikap optimis dalam menghadapi berbagai tantangan. Orang yang memiliki
kecakapan ini tidak mudah jatuh dalam suatu kegagalan dan tidak mudah
puas terhadap apa yang dihasilkan, melainkan mempunyai kemauan untuk
terus berusaha untuk memperbaiki diri. Kemampuan memotivasi diri
sendiri menurut Goleman (2001) meliputi aspek:
1) Dorongan untuk berprestasi
Orang yang memiliki dorongan berprestasi memiliki kemampuan:
a) berorientasi pada tujuan dengan semangat juang yang tinggi untuk
meraihnya,
b) menetapkan tujuan yang manantang dan berani mengambil resiko,
c) mencari informasi sebanyak-banyaknya untuk mengurangi
ketidakpastian dan mencari cara yang lebih tepat,
d) terus belajar untuk meningkatkan prestasi.
2) Memiliki komitmen
Orang yang memiliki komitmen tinggi mampu:
a) berkorban demi tercapainya tujuan,
b) merasakan dorongan semangat dalam mencapai tujuan yang utama
dalam hidupnya,
c) mempertimbangkan nilai-nilai yang diterima dalam masyarakat
untuk mengambil keputusan,
d) mencari peluang untuk memenuhi kebutuhannya.
3) Memiliki inisiatif
Orang yang memiliki inisiatif mampu:
a) memanfaatkan peluang untuk memajukan dirinya,
b) mengejar sasaran lebih daripada yang dipersyaratkan atau
diharapkan,
c) berani melanggar batas-batas dan aturan yang tidak prinsip apabila
perlu, agar tugas dapat dilaksanakan,
d) berani mengajak orang lain bekerjasama untuk menghasilkan
sesuatu yang lebih baik.
4) Optimis
Orang yang memiliki sifat optimis mampu:
a) bersikap tekun dalam mengejar cita-citanya meskipun banyak
hambatan,
b) bekerja atau belajar dengan harapan untuk sukses dan tidak takut
gagal,
c) berani belajar dari kegagalan.
d. Mengenali emosi orang lain
Mengenali emosi orang lain sering disebut empati. Empati adalah
kemampuan menempatkan diri dalam posisi orang lain (Shapiro, 2001:
50). Individu yang empatik adalah individu yang memiliki kemampuan
mengenali emosi orang lain atau menyadari apa yang dirasakan oleh orang
lain, sehingga dapat berbuat sesuatu untuk meringankan penderitaan orang
yang bersangkutan. Orang yang mempunyai empati yang kuat cenderung
tidak begitu agresif dan rela terlibat dalam perbuatan yang lebih
proporsional, misalnya menolong orang lain dan bersedia untuk berbagi.
Remaja yang bersikap empatik lebih disukai oleh teman-teman dan lebih
berhasil baik di sekolah maupun di tempat kerja, dan ia mampu menyadari
perasaan orang lain termasuk perasaan yang terungkap secara nonverbal
misalnya suara, intonasi, atau nada suara. Individu yang empatik mampu
menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan
apa-apa yang dibutuhkan atau dikehendaki orang lain.
Menurut Goleman (2002: 404) orang yang memiliki kemampuan
mengenali emosi orang lain cenderung atau memiliki ciri-ciri sebagai
berikut:
1) Lebih mampu menerima sudut pandang orang lain.
2) Memiliki kepekaan terhadap perasaan orang lain.
3) Lebih baik dalam mendengarkan orang lain.
e. Membina hubungan/ketrampilan sosial
Membina hubungan merupakan ketrampilan berinteraksi dengan
orang lain, kemampuan untuk menjalin hubungan, dan menempatkan diri
dalam suatu kelompok. Kecakapan ini merupakan ketrampilan yang
menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan antar pribadi.
Kemampuan untuk mengungkapkan diri termasuk perasaan merupakan
dasar dalam kemampuan membina hubungan dengan orang lain.
Menurut Goleman (2002: 404-405) orang yang memiliki kemampuan
membina hubungan yang tinggi cenderung atau memiliki ciri-ciri sebagai
berikut:
1) lebih baik dalam menyelesaikan pertikaian dan merundingkan
persengketaan,
2) lebih baik dalam menyelesaikan persoalan yang timbul dalam
hubungan,
3) lebih tegas dan trampil dalam berkomunikasi,
4) lebih populer dan mudah bergaul; bersahabat dan terlibat dengan teman
sebaya,
5) lebih dibutuhkan oleh teman sebaya,
6) lebih menaruh perhatian dan bertenggang rasa,
7) lebih memikirkan kepentingan sosial dan selaras dalam kelompok,
8) lebih suka berbagi rasa, bekerjasama, dan suka menolong,
9) lebih demokratis dalam bergaul dengan orang lain.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional
Faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional ada dua,
yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
a. Faktor internal
Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri individu itu
sendiri. Faktor internal dipengaruhi oleh keadaan otak emosional orang.
Mula-mula pesan-pesan yang diterima melalui indra, seperti penglihatan,
pendengaran, penciuman, dan lain-lain dicatat oleh bagian struktur otak
yang disebut amygdala – bagian struktur otak yang paling banyak
berurusan dengan pengolahan dan penyimpanan data kenangan emosional.
Pesan-pesan itu kemudian masuk dan diolah oleh bagian struktur otak yang
disebut neocortex – bagian struktur otak yang berurusan dengan proses
kegiatan rasional. Karena itu ketika menghadapi sesuatu, terlebih dahulu
orang bereaksi secara emosional, sebelum disadari sepenuhnya oleh rasio.
Kecerdasan emosional tinggi akan membantu untuk menjaga hubungan
komunikasi terbuka antara amygdala dan neocortex. Ini akan membuat
orang mampu menguasai diri, memahami emosi orang lain secara empatik,
dan menyesuaikan diri dengan emosi orang lain atau lingkungan yang
dihadapi (Goleman. 2001: 23-25).
b. Faktor eksternal
Faktor eksternal adalah faktor yang datang dari luar individu dan
mempengaruhi individu untuk mengubah sikap. Gottman dan De Claire,
(2003) berpendapat bahwa faktor eksternal yang mempengaruhi kecerdasan
emosional adalah:
1) Keluarga
Keluarga merupakan sekolah kita yang pertama untuk
mempelajari emosi. Orang tua merupakan pelatih emosi anak pertama
kali. Orangtua sebagai pelatih emosi, tidak cukup hanya bersikap
hangat dan positip saja, karena sikap demikian belum berarti
mengajarkan kecerdasan emosional, mengingat biasanya orang tua
tidak mampu secara efektif mengatasi perasaan-perasaan negatif anak
mereka. Gottman dan De Claire (2003: 4-5) mengidentifikan 3 tipe
orang tua yang gagal mengajarkan kecerdasan emosional kepada anak-
anak mereka, yaitu:
a) Orangtua yang mengabaikan, yang tidak menghiraukan,
menganggap sepi, atau meremehkan emosi-emosi negatif anak
mereka.
b) Orangtua yang tidak menyetujui, yang bersifat kritis terhadap
ungkapan perasaan-perasaan negatif anak mereka, dan barang kali
memarahi atau menghukum mereka, karena mengungkapkan
emosinya.
c) Orangtua Laissez-Faire, menerima emosi anak mereka dan
berempati dengan mereka, tetapi tidak memberikan bimbingan
atau menentukan batas-batas pada tingkah laku anak mereka.
Orangtua sebagai pelatih emosi, seharusnya dapat menerima
kesedihan anaknya, menolong memberi nama emosi itu,
membiarkan mengalami perasaan-perasaannya, dan mendampingi
sewaktu menangis, tidak memarahi apabila anaknya sedih.
Menurut Prasetya (2003: 27) pola pengasuhan yang demokratis
diterapkan oleh orangtua yang menerima kehadiran anak dengan
sepenuh hati serta memiliki pandangan atau wawasan kehidupan
masa depan dengan jelas. Mereka tidak hanya memikirkan masa
kini, tetapi memahami bahwa masa depan harus dilandasi oleh
tindakan-tindakan masa kini. Menurut Prasetya orangtua yang
demokratis tidak ragu-ragu dalam mengendalikan anak, berani
menegur anak bila anak berperilaku buruk. Mereka mengarahkan
perilaku anak sesuai dengan kebutuhan anak agar memiliki sikap,
pengetahuan, dan ketrampilan-ketrampilan yang dibutuhkan anak
untuk mengarungi hidup dan kehidupan di masa mendatang.
2) Pengalaman
Pengalaman-pengalaman hidup juga mempengaruhi emosi kita
(Albin, 1986: 90). Pengalaman-pengalaman yang dimaksud adalah
pengalaman mengungkapkan emosi, misalnya anak perempuan boleh
mengungkapkan rasa takut, tetapi anak laki-laki diharapkan tidak
menyatakan perasaan itu, sebaliknya rasa marah dan perlawanan boleh
dinyatakan oleh anak laki-laki. Pengalaman dengan orang tua, teman-
teman, guru-guru mempengaruhi watak asli kita dan menjadikan kita
orang yang unik dalam mengalami emosi, dalam mengungkapkannya
dan dalam keterbukaan terhadap orang lain.
3) Lingkungan
Mangunhardjana (1986: 13) mengungkapkan bahwa
perkembangan emosi nampak pada gairah remaja yang meledak-ledak,
munculnya reaksi apatis, keras kepala dan perbuatan yang kurang sopan.
Dengan adanya keadaan emosi remaja yang belum stabil tersebut,
diharapkan adanya toleransi dari lingkungan terhadap remaja itu sendiri.
Lingkungan (khususnya lingkungan sosial) mempunyai pengaruh cukup
besar bagi perkembangan kepribadian orang (Rogers, dalam Hall dkk.,
1993: 138). Pencapaian kematangan emosi sangat dipengaruhi oleh
kondisi lingkungan di mana remaja berada, baik lingkungan sekolah,
maupun masyarakat. Lingkungan yang harmonis akan mendukung
remaja dalam pencapaian kematangan emosi, sebaliknya lingkungan
yang kurang mendukung akan membuat remaja mengalami kegelisahan,
kecemasan, sikap apatis, sehingga sulit untuk mencapai kematangan.
B. Penghuni Asrama Sebagai Remaja
1. Ciri-ciri Masa Remaja
Masa remaja merupakan salah satu masa dalam rentang kehidupan manusia
yang memberikan kesempatan kepada orang untuk mencoba gaya hidup baru.
Masa remaja adalah masa peralihan dari masa anak ke masa dewasa (Sarwono,
1988: 51). Masa remaja merupakan masa yang sangat penting karena individu
harus mempersiapkan diri menjadi individu yang dewasa, yang tidak lagi
sepenuhnya tergantung pada orang tua, dan berani bertanggung jawab sebagai
anggota keluarga (Gunarsa dan Gunarsa, 1990).
Menurut Monks dkk., (1982: 255) masa remaja secara global berlangsung
antara umur 12 sampai dengan 21 tahun, dengan pembagian masa remaja awal
(umur 12 sampai dengan 15 tahun); masa remaja pertengahan (15 sampai dengan
18 tahun); masa remaja akhir (18 sampai dengan 21 tahun). Hurlock (1997)
berpendapat bahwa masa remaja dibagi menjadi 2 bagian yaitu masa remaja
awal (dimulai pada usia 13 tahun sampai dengan 16 atau 17 tahun), dan masa
remaja akhir (dimulai pada usia 17 tahun sampai dengan 18 tahun). Blos
(Sarwono, 1988) berpendapat bahwa masa remaja dibagi menjadi 3 tahap, yaitu
tahap remaja awal (early adolescence), tahap remaja madya (middle
adolescence), dan tahap remaja akhir ( late adolescence). Blos tidak
menggolongkannya berdasarkan umur. Batasan usia yang dipakai untuk
menentukan mulai dan berakhirnya masa remaja sangat bervariasi. Biasanya
yang disebut remaja adalah mereka yang berusia 11 tahun sampai dengan 24
tahun dan belum menikah (Sarwono, 1988).
Sejalan dengan pembagian tahap-tahap masa remaja seperti yang
dikemukakan oleh Hurlock (1997), para siswi asrama putri Santa Maria di
Malang termasuk remaja awal yaitu berumur antara 13-16 tahun, dan remaja
akhir yaitu umur 17-18 tahun. Remaja asrama putri Santa Maria di Malang,
memiliki sejumlah ciri-ciri yang nampak dalam sikap dan perilakunya. Kata ciri
mempunyai arti tanda-tanda khas yang membedakan sesuatu dari yang lain
(Depdikbud, 1990: 169). Ciri-ciri remaja menurut Mangunhardjana (1986: 12)
adalah sebagai berikut :
a. Pertumbuhan fisik
Pertumbuhan fisik pada remaja merupakan gejala yang paling nampak,
artinya anak laki-laki makin menampilkan diri sebagai pria dan perempuan
semakin menampilkan diri sebagai wanita. Wanita merasa cemas dengan
perkembangan tubuhnya yang tidak ideal, entah karena terlalu besar, entah
karena terlalu kecil. Oleh karena itu pertumbuhan fisik remaja menjadi
masalah; remaja dapat gelisah karena pertumbuhan fisiknya tidak seperti
yang diharapkan, misalnya kaki terlalu panjang, tangan terlalu besar, rambut
sulit diatur dan lain-lain.
b. Perkembangan emosional
Menurut Hurlock (1994) masa remaja dianggap sebagai periode “badai
dan tekanan”, yaitu suatu masa di mana ketegangan emosi meninggi sebagai
akibat dari perubahan fisik dan kelenjar. Remaja dapat dikatakan sudah
mencapai kematangan emosi apabila sudah mampu menunggu saat dan
tempat yang tepat untuk mengungkapkan emosinya. Hal ini sejalan dengan
pendapat Hurlock (1994:213) yang menyatakan :
Anak laki-laki dan perempuan dikatakan sudah mencapai kematangan emosi bila pada akhir masa remaja tidak “meledakkan” emosinya di hadapan orang lain melainkan menunggu saat dan tempat yang lebih tepat untuk mengungkapkan emosinya dengan cara-cara yang lebih dapat diterima. Petunjuk kematangan emosi yang lain adalah individu menilai situasi secara kritis terlebih dulu sebelum bereaksi secara emosional, tidak lagi bereaksi tanpa berpikir seperti anak-anak atau orang yang tidak matang. Dengan demikian, remaja mengabaikan banyak rangsangan yang tadinya dapat menimbulkan ledakan emosi. Akhirnya, remaja yang emosinya matang memberikan reaksi emosional yang stabil, tidak berubah-ubah dari satu emosi atau suasana hati ke suasana hati yang lain, seperti dalam periode sebelumnya.
Perkembangan emosional nampak pada semangat mereka yang
meletup-letup, perubahan gejolak hati yang cepat, keras kepala. Remaja
diharapkan mampu menyadari emosinya sehingga mampu pula untuk
mengolah dan mengendalikannya. Pencapaian kematangan emosi sangat
dipengaruhi oleh kondisi lingkungan tempat ia tinggal, baik di lingkungan
keluarga, sekolah, dan masyarakat. Lingkungan yang cukup mendukung
dalam arti lingkungan yang harmonis, di mana ada rasa kekeluargaan, sikap
saling menghargai, sikap saling menghormati, sikap saling mendukung,
kebiasaan berpikir optimis, memungkinkan remaja yang bersangkutan
mencapai kematangan emosionalnya. Lingkungan yang kurang mendukung
menjadikan remaja yang bersangkutan merasa gelisah, cemas, apatis, sepi,
takut, bingung sehingga sulit untuk mencapai kematangan emosionalnya.
Dalam menghadapi ketidaknyamanan secara emosional, kebanyakan
remaja bereaksi negatif, sebagai upaya untuk melindungi kelemahan
dirinya. Reaksi negatif itu tampil dalam tingkah laku salah suai, seperti
perilaku agresif (melawan, keras kepala, bertengkar, berkelahi dan senang
mengganggu), melarikan diri dari kenyataan, misalnya melamun,
menyendiri.
Untuk mencapai kematangan emosi, remaja harus belajar memperoleh
gambaran tentang situasi-situasi yang dapat menimbulkan reaksi emosional.
Caranya ialah dengan membicarakan pelbagai masalah pribadi kepada
orang lain. Keterbukaan untuk membicarakan masalah-masalah pribadi
tersebut sangat dipengaruhi oleh rasa aman dalam hubungan dengan orang
lain, tingkat kecocokan dengan orang lain. Hurlock (1990) menyatakan
bahwa orang yang dipercaya remaja adalah sahabat, yaitu orang yang
kepadanya remaja mau mengutarakan pelbagai kesulitannya.
Hartyana (2002) telah melakukan penelitian kecerdasan emosi pada
Siswa Kelas II SMU Kolese De Britto di Yogyakarta. Jenis penelitiannya
adalah penelitian deskritif dengan menggunakan metode survei. Alat
pengumpul datanya adalah skala kecerdasan emosi yang disusun oleh
peneliti sendiri. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa 54 orang
mempunyai tingkat kecerdasan emosi tinggi, dan 52 orang mempunyai
tingkat kecerdasan emosi sedang, sedangkan siswa yang mempunyai
kecerdasan emosi rendah tidak ada.
c. Perkembangan intelektual
Remaja telah mampu berpikir secara abstrak, tidak lagi hanya berpikir
secara konkrit. Dengan dimilikinya kemampuan berpikir abstrak, remaja
dapat merasa tidak puas karena remaja sering mempersalahkan kejadian-
kejadian yang konkrit yang tidak sesuai dengan alam pikirannya sendiri.
Remaja yang seperti itu tidak salah, namun perlu dibantu dan diarahkan
oleh orang tua dan orang dewasa lainnya agar mampu berpikir bijaksana
dalam hidupnya. Perkembangan pikiran remaja sering menimbulkan
pertentangan dalam hal tata cara, aturan, adat istiadat yang berlaku dalam
keluarga dan dalam masyarakat setempat. Pertentangan seperti ini muncul
karena sikap kritis yang dimiliki remaja itu sendiri.
d. Perkembangan sosial
Perkembangan sosial remaja menyangkut perluasan jalinan hubungan
dengan orang lain. Pergaulan remaja tidak lagi terbatas dengan orang-orang
dalam lingkungan keluarga, tetapi meluas ke teman-teman sebaya, orang-
orang di lingkungan tempat tinggal dan masyarakat luas (Mangunhardjana,
1986). Kuatnya pengaruh kelompok sebaya disebabkan karena remaja lebih
banyak berada di luar rumah bersama dengan teman-teman sebayanya
sebagai kelompok. Karena itu dapat dimengerti apabila pengaruh teman-
teman sebaya pada sikap, pembicaraan, minat, panampilan, dan perilaku
lebih besar daripada pengaruh keluarga. Kelompok sebaya sulit ditiadakan
karena para remaja membutuhkan rasa aman dan terlindung yang
diperolehnya dalam lingkungan kelompoknya (Gunarsa dan Gunarsa, 1990:
80). Tidak mengherankan jika sebagian besar waktu luang remaja
dihabiskan bersama-sama teman-teman sebayanya.
e. Perkembangan seksual
Seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan fisik, remaja juga
mengalami perkembangan seksual. Perkembangan seksual diawali dengan
pemasakan organ-organ seksual. Tanda-tanda perkembangan seksual
meliputi dua hal yaitu tanda-tanda kelamin primer dan tanda-tanda kelamin
sekunder (Monks dkk., 1996: 262-263). Tanda-tanda kelamin primer
menunjuk pada organ badan yang langsung berhubungan dengan
persetubuhan dan proses reproduksi. Tanda-tanda kelamin sekunder adalah
tanda-tanda jasmaniah yang tidak langsung berhubungan dengan
persetubuhan dan proses reproduksi, namun merupakan tanda-tanda yang
khas pada wanita dan laki-laki Tanda-tanda kelamin primer pada
perempuan antara lain adalah rahim dan saluran telur, vagina, bibir
kemaluan, klitoris; dan tanda-tanda kelamin primer pada laki-laki antara
lain adalah penis, tes-tes dan skrotum, sedangkan tanda-tanda kelamin
sekunder pada perempuan antara lain adalah melebarnya pinggul dan
adanya penonjolan payudara; sedangkan tanda-tanda kelamin sekunder
pada laki-laki antara lain adalah tumbuhnya kumis, janggut, adanya
perubahan suara, tumbuhnya rambut pada kaki, bahkan kadang-kadang
pada lengan dan juga kadang-kadang pada dada. Perkembangan seksual
laki-laki ditandai dengan mimpi basah dan pada perempuan adalah
menstruasi. Dalam menghadapi menstruasi dan mimpi basah yang pertama,
remaja itu perlu mengadakan penyesuaian-penyesuaian tingkah laku yang
tidak selalu bisa dilakukannya dengan mulus, lebih-lebih bila tidak ada
dukungan dari orang tua (Sarwono, 1988: 52).
f. Perkembangan agama (Religius)
Perkembangan agama menyangkut hubungan dengan yang mutlak.
Minat agama pada remaja nampak dengan membahas masalah agama,
mengikuti pelajaran-pelajaran agama di sekolah, mengunjungi tempat
ibadat dan mengikuti berbagai upacara agama. Berkaitan dengan
perkembangan agama remaja, periode ini disebut sebagai periode keraguan
religius artinya remaja mulai meragukan isi religiusitas, seperti ajaran
mengenai sifat Tuhan dan kehidupan setelah mati. Bagi remaja sendiri
keraguan ini dapat membuat mereka kurang taat pada agama ataupun
mencari kepercayaan lain yang dapat lebih memenuhi kebutuhannya.
Wagner (Hurlock, 1994) mengatakan :
Banyak remaja menyelidiki agama sebagai suatu sumber dari rangsangan emosional dan intelektual….ingin mempelajari agama berdasarkan pengertian intelektual dan tidak ingin menerimanya secara begitu saja. Mereka meragukan agama bukan karena ingin menjadi agnostik atau atheis, melainkan karena mereka ingin menerima agama sebagai sesuatu yang bermakna-berdasarkan keinginan mereka untuk mendiri dan bebas menentukan keputusan-keputusan mereka sendiri.
2. Tugas Perkembangan Remaja
Setiap fase perkembangan manusia, memiliki tugas-tugas perkembangan
yang harus diselesaikan. Havighurst (Hurlock, 1994: 9) mendefinisikan tugas
perkembangan sebagai berikut:
tugas yang muncul pada saat atau sekitar suatu periode tertentu dari kehidupan individu, yang jika berhasil akan menimbulkan rasa bahagia dan membawa ke arah keberhasilan dalam melaksanakan tugas-tugas berikutnya; akan tetapi, kalau gagal, menimbulkan rasa tidak bahagia dan kesulitan dalam menghadapi tugas-tugas berikutnya.
Remaja menghadapi tugas perkembangan sesuai dengan tahap
perkembangannya. Berhasil tidaknya tugas perkembangan pada saat ini akan
mempengaruhi tugas perkembangan berikutnya. Tugas perkembangan muncul
dari kematangan individu, harapan dan tuntutan masyarakat serta apirasi dan
nilai-nilai dari individu itu sendiri. Lambat atau cepat remaja akan sadar bahwa
mereka diharapkan menguasai tugas-tugas tertentu pada berbagai periode
sepanjang hidup mereka. Kesadaran inilah yang akan mempengaruhi sikap dan
perilaku individu yang bersangkutan.
Hurlock (1994: 10) mengemukakan bahwa tugas-tugas perkembangan
remaja meliputi:
a. Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik
pria maupun wanita. Hal ini menunjuk pada kemampuan remaja dalam
menjalin relasi dengan teman-teman seusianya, baik pria maupun wanita.
Adanya kemampuan dalam menjalin relasi itu membuat remaja mampu
bekerjasama dengan yang lain.
b. Mencapai peran sosial sebagai pria, atau sebagai wanita. Ini berarti bahwa
remaja perlu belajar agar mampu memegang tanggung jawab sebagai pria dan
wanita sesuai dengan jenis kelaminnya, misalnya remaja wanita sudah mampu
menanak nasi, remaja pria sudah mampu membersihkan kamarnya sendiri.
c. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif,
artinya remaja diharapkan mampu mengenal dirinya, baik kelebihan maupun
kekurangan yang dimilikinya, sekaligus mampu menerima keberadaannya.
d. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab, artinya
remaja mampu mengemban tugas dalam keluarga dan sekaligus dalam
masyarakat.
e. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa
lainnya, artinya remaja diharapkan mampu bersikap mandiri dan bertanggung
jawab atas dirinya. Kemandirian remaja di sini dapat dilihat dari
ketidaktergantungannya pada orang tua atau orang dewasa lainnya, misalnya
dalam mengambil keputusan. Kemandirian emosional merupakan salah satu
tugas perkembangan remaja.
f. Mempersiapkan karier, artinya remaja sudah mulai mengenal kemampuan dan
keterbatasan dirinya sebagai pribadi dan mulai memikirkan serta
merencanakan karier yang sesuai bagi dirinya.
g. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga, artinya remaja belajar untuk
mengetahui seluk beluk berkeluarga, memikirkan, merencanakan masa depan,
dan mampu memutuskan pilihan hidupnya.
h. Memperoleh perangkat nilai dan sistim etis sebagai pegangan untuk
berperilaku dalam hidupnya, artinya remaja perlu belajar agar mampu
memilih mana yang penting dan mana yang tidak penting.
C. Bimbingan Kelompok
Bimbingan mengandung arti bantuan atau pelayanan, artinya bimbingan itu
terjadi karena adanya kesukarelaan dari pembimbing dan yang dibimbing.
Kesukarelaan dari pembimbing bisa diwujudkan dalam sifat dan perilaku yang
tidak memaksakan kehendaknya untuk membimbing individu, melainkan mampu
menciptakan suasana agar individu menyadari bahwa dirinya memerlukan
bimbingan. Kerelaan dari yang dibimbing bisa diwujudkan dengan adanya
keleluasaan dalam menentukan apakah dirinya perlu diberi bimbingan atau tidak,
keleluasaan dalam mengemukakan pikiran dan perasaan, keleluasaan dalam
menentukan pilihan dan lain-lain.
Shertzen dan Stone ( Winkel, 1997: 66) mengatakan bahwa bimbingan adalah
proses membantu orang-orang untuk memahami dirinya dan
dunianya/lingkungan. Senada dengan Shertzen dan Stone, Prayitno dkk., (1997:
23) mendefinisikan bimbingan di sekolah sebagai bantuan yang diberikan kepada
siswa dalam rangka upaya menemukan diri pribadi, mengenal lingkungan dan
merencanakan masa depan.
Rachman Natawidjaja (Winkel, 1997: 67) mengartikan bimbingan sebagai
proses pemberian bantuan kepada individu yang dilakukan secara
berkesinambungan, supaya individu tersebut dapat memahami dirinya, sehingga
ia sanggup mengarahkan diri dan dapat bertindak wajar, sesuai dengan tuntutan
dan keadaan keluarga serta masyarakat. Ini berarti bahwa bimbingan itu
dilaksanakan dalam rentang waktu yang relatif panjang, tidak hanya sepintas,
sewaktu-waktu, tetapi dilakukan secara sistematis, terencana, dan memiliki
program.
Winkel (1997: 518) mengemukakan bahwa kegiatan bimbingan dibedakan
menjadi dua yaitu bimbingan individual atau perseorangan dan bimbingan
kelompok/klasikal. Bimbingan individual adalah pelayanan bimbingan yang
diberikan pada satu orang saja. Bimbingan kelompok adalah pelayanan
bimbingan yang diberikan kepada lebih dari satu orang pada waktu yang
bersamaan. Pelayanan bimbingan diberikan kepada semua orang tanpa
memandang umur, jenis kelamin, suku, agama, status sosial ekonomi. Tujuan
pelayanan bimbingan kelompok adalah supaya orang yang dilayani menjadi
mampu mengatur kehidupannya sendiri dan tidak sekedar membebek pendapat
orang lain, mengambil sikap sendiri, dan berani menanggung sendiri efek serta
konsekwensi dari segala tindakannya (Winkel, 1997: 519). Bimbingan kelompok
merupakan sarana untuk menunjang perkembangan optimal masing-masing
individu. Maka bimbingan diberikan oleh orang yang kompeten dalam bidangnya
sehingga dapat membantu individu dalam membuat pilihan, memecahkan
masalah, dan dalam mengadakan penyesuaian.
Pemberian bimbingan kelompok mempunyai manfaat bagi individu yang
dibimbing ( Winkel, 1997: 520) yaitu:
1. Menjadi lebih sadar akan tantangan yang dihadapi,
2. Lebih rela menerima dirinya sendiri,
3. Lebih berani mengemukakan pandangannya sendiri bila berada dalam
kelompok yang berbeda,
4. Lebih bersedia menerima suatu pandangan atau pendapat yang dikemukakan
oleh teman,
5. Tertolong untuk mengatasi suatu masalah yang dirasa sulit untuk dibicarakan.
D. Pelayanan Bimbingan di Asrama
1. Pengertian Asrama
Asrama dapat diartikan sebagai bangunan tempat tinggal bagi kelompok
orang yang bersifat homogen (Depdikbud, 1990: 53). Ada pula orang yang
mengartikan asrama itu sebagai rumah pemondokan atau bisa disamakan tempat
kos. Sebuah asrama biasanya memiliki ciri khas yang berbeda dengan tempat
kos. Biasanya yang disebut asrama ialah sebuah rumah pemondokan yang
besar, dan menerima banyak anak/orang dan sering berhubungan dengan suatu
sekolah atau yayasan tertentu dan memiliki suatu tujuan tertentu pula (Slameto,
1990). Kelompok yang diterima dalam suatu asrama biasanya kelompok tertentu
yang memenuhi persyaratan tertentu pula, misalnya syarat yang berkaitan
dengan jenjang dan jenis pendidikan yang sedang ditempuh, jenis kelamin,
agama. Asrama biasanya memiliki ciri-ciri yang hampir sama, seperti tujuan
yang ingin dicapai dalam memasuki asrama yang bersangkutan adalah sama;
para remaja penghuni asrama berasal dari berbagai keluarga, suku, budaya;
penghuni tinggal di asrama dalam jangka waktu tertentu. Di samping persamaan-
persamaan seperti tersebut di atas, ada pula perbedaannya yaitu, tujuan yang
ingin dicapai tiap-tiap lembaga berbeda-beda sesuai dengan visi dan misinya
masing-masing.
Seorang pembimbing di asrama harus selalu menyadari bahwa meskipun
ada persamaan tujuan, taraf perkembangan, tingkat pendidikan dari penghuni
asrama yang dipimpinnya, tetapi dalam kehidupan bersama di asrama dapat
timbul berbagai masalah yang sangat kompleks. Pembimbing di asrama harus
memahami bahwa setiap penghuni asrama yang dibimbingnya memiliki
keunikan. Kompleksitas kehidupan di asrama dapat disebabkan oleh berbagai
sumber antara lain :
a. Latar belakang kehidupan yang berbeda: ada penghuni yang berasal dari
keluarga yang harmonis dan telah mendapat kasih sayang dan perhatian yang
cukup, ada penghuni yang berasal dari keluarga disharmonis sehingga
kurang mendapatkan kasih sayang dan perhatian, ada penghuni asrama yang
berasal dari keluarga dengan status ekonomi kaya, cukup, sedang, kurang,
dan lain-lain.
b. Kepribadian setiap orang yang berbeda: setiap pribadi mempunyai keunikan
baik sifat, sikap, bakat, minat, kemampuan, hoby, watak, dan perangai.
c. Pandangan hidup yang berbeda: asrama yang menerima penghuni dari
berbagai macam agama, suku, budaya akan berbeda pandangan hidup dan
permasalahan yang dihadapi, apabila dibandingkan dengan asrama yang
hanya menerima penghuni yang seagama, sesuku, sebudaya.
Hal-hal tersebut di atas dapat menjadi sumber kesulitan yang besar apabila
pembimbing asrama tidak memahaminya dan tidak dapat menjadi pemersatu
bagi semua orang yang berada di bawah tanggung jawabnya. Perbedaan-
perbedaan yang ada hendaknya jangan menjadi penghambat atau persoalan,
tetapi perbedaan itu hendaknya menjadi sesuatu yang dapat memperkaya setiap
pribadi yang tinggal di asrama dan dapat menjadi lahan yang sangat baik untuk
belajar hidup bersama di masyarakat apabila penghuni asrama mendapat
bimbingan yang tepat dan pembimbing asrama dapat menjadi tempat setiap
penghuni asrama untuk mendapatkan rasa aman, mendapat perhatian, kasih
sayang, dan mendapat bantuan apabila mereka mengalami permasalahan.
Dengan demikian asrama menjadi tempat untuk mengembangkan diri bukan
hanya sekedar tempat untuk hidup bersama.
2. Pentingnya Pelayanan Bimbingan di Asrama Khususnya Pengembangan
Kecerdasan Emosional
Pelayanan bimbingan di asrama sangat penting untuk membantu setiap
penghuni asrama menjadi pribadi yang dewasa dan mampu mengatur hidupnya
sendiri. Pelayanan bimbingan di asrama perlu dikembangkan mengingat bahwa
yang tinggal di asrama adalah kaum remaja yang masih membutuhkan
pendampingan dalam perkembangannya. Dalam kenyataannya, bimbingan di
sekolah masih mengalami banyak hambatan, antara lain tidak ada alokasi waktu
untuk memberikan bimbingan kelompok, rasio antara jumlah pembimbing
dengan jumlah orang yang dibimbing belum seimbang, waktu untuk
memberikan bimbingan pribadi atau wawancara pada jam-jam di sekolah sangat
terbatas.
Pelaksanaan bimbingan di asrama boleh jadi tumpang tindih dengan
pembimbingan yang diberikan di sekolah, tetapi kemungkinan ini dapat
dihindari dengan cara: pembimbing di asrama bekerjasama dengan pembimbing
di sekolah, sehingga apa yang sudah diberikan di sekolah tidak diberikan lagi di
asrama. Pembimbing di asrama dapat memperhatikan program pelayanan
bimbingan di sekolah, sebelum menyusun program, sehingga hal-hal yang
belum tersentuh di sekolah dapat diberikan di asrama. Bisa juga pelayanan
bimbingan di asrama lebih menekankan bidang bimbingan pribadi dan sosial,
karena bidang bimbingan belajar dan karier sudah diberikan di sekolah.
Pembimbingan di asrama dapat melengkapi hal-hal yang belum diberikan di
sekolah.
Kehidupan di asrama dapat dikatakan sebagai “sekolah hidup” bagi setiap
penghuni asrama, karena setiap penghuni asrama dapat belajar hidup bersama
dengan orang lain yang berbeda budaya, suku, agama, ras, kebiasaan, latar
belakang, sifat-sifat, watak dan sebagainya. Pengalaman-pengalaman tersebut
tidak dapat diperoleh lewat teori di sekolah. Semua pembimbingan yang
diberikan itu bertujuan untuk membantu setiap penghuni asrama agar dapat
berkembang menjadi pribadi dewasa yang mampu hidup bersama dengan orang
lain dan mampu menempatkan diri dengan segala keunikannya dalam sosialisasi
dengan sesama. Perbedaan-perbedaan yang ada hendaknya tidak menjadi
penghambat atau jurang pemisah satu dengan yang lainnya, tetapi hendaknya
perbedaan tersebut menjadi pemersatu, dan saling menerima masing-masing
perbedaan sehingga dapat menemukan keindahannya dalam hidup bersama,
dapat saling memperkaya.
Seorang pembimbing di asrama dapat memanfaatkan setiap kesempatan
yang ada untuk memberikan layanan bimbingan, misalnya untuk
mengembangkan kecerdasan emosional masing-masing individu diberikan
kesempatan untuk mengungkapkan kemampuan mereka di bidang seni yang
berguna untuk mengekspresikan emosinya.
Salah satu cara yang dapat mendukung terciptanya kerukunan,
keharmonisan dalam asrama adalah sikap empati. Empati adalah kemampuan
untuk menyadari, memahami, dan menghargai perasaan dan pikiran orang lain
(Stein dan Book, 2002). Orang yang empatik adalah orang yang mampu
membaca sudut pandang dan emosi orang lain. Orang yang demikian akan
peduli pada orang lain dan memperlihatkan minat dan perhatiannya pada orang
lain.
Konsep empati memang kedengarannya sederhana, tetapi tidak berarti
mudah dilaksanakan. Sikap empati diharapkan dapat tumbuh dalam diri masing-
masing anggota asrama. Untuk itu perlu ada latihan setiap hari lewat relasi dan
pengalaman sehari-hari. Di bawah ini diuraikan langkah-langkah memupuk
empati dalam rangka meningkatkan kecerdasan emosional (Gottman dan De
Claire, 2003) yaitu:
a. Menyadari emosi-emosi remaja
Pendamping remaja di asrama sebagai ganti orang tua mereka,
diharapkan mampu menyadari emosi-emosinya dan emosi remaja yang
dibimbingnya. Pendamping yang sadar terhadap emosinya sendiri dapat
menggunakan kepekaan itu untuk menyelaraskan diri dengan emosi remaja.
Menjadi orang yang peka dan sadar secara emosional tidak mudah, karena
sering kali remaja mengungkapkan emosinya secara tidak langsung dan
dengan cara-cara yang membingungkan orang dewasa, misalnya ada remaja
yang marah, kecewa, karena sesuatu hal yang tampak sepele, tetapi remaja
tersebut tidak bisa mengungkapkan perasaannya dan hanya diam atau
melamun.
b. Mengakui emosi sebagai peluang untuk kedekatan dan mengajar
Orangtua kadang mencoba mengabaikan emosi-emosi negatif remaja
dengan harapan agar emosi negatif itu lenyap. Emosi jarang bekerja demikian,
sebaliknya emosi negatif akan lenyap bila remaja dapat membicarakan emosi-
emosi mereka, memberi nama, dan merasa dimengerti. Bagi banyak orangtua,
mengenali emosi remaja mereka, dapat menjadi kesempatan untuk menjalin
ikatan.
c. Mendengarkan dengan empatik
Mendengarkan dengan empatik merupakan langkah paling penting
dalam proses pelatihan emosi. Mendengarkan jauh lebih penting daripada
mengumpulkan data, karena orang yang mendengarkan dengan empatik
menggunakan matanya untuk mengamati petunjuk fisik emosi-emosi remaja
yang bersangkutan. Orang menggunakan imajinasinya untuk melihat situasi
yang ada dari titik pandang remaja itu, dan merumuskan kembali dengan
menggunakan kata-katanya sendiri. Yang paling penting dalam mendengarkan
dengan empatik adalah menggunakan hati untuk menyadari apa yang sedang
dirasakan oleh individu yang bersangkutan.
d. Menyebutkan nama emosi
Menyebutkan nama emosi merupakan langkah yang mudah dan sangat
penting dalam pelatihan emosi. Remaja dibantu agar dapat memberi nama
emosi mereka sewaktu emosi itu mereka alami. Semakin tepat seorang remaja
mengungkapkan emosi mereka lewat kata-kata, maka akan semakin baik.
Pendamping asrama harus mengusahakan agar dapat membantu remaja
mengidentifikasikan dan mencamkan betul-betul apa yang sedang dirasakan,
misalnya bila mereka sedang marah, bingung, dikhianati, atau cemburu.
Apabila mereka sedih barangkali ia pun merasa sakit hati, ditinggalkan, iri,
dan murung.
e. Membantu menemukan solusi
Setelah meluangkan waktu untuk mendengarkan remaja, dan
membantunya memberi nama serta memahami emosinya, maka langkah
berikutnya adalah membantu menemukan pemecahan masalah. Prosesnya
adalah: menentukan batas-batas, menentukan sasaran, memikirkan alternatif
pemecahan yang mungkin, mengevaluasi pemecahan yang disarankan
berdasarkan nilai-nilai, menolong remaja memilih satu pemecahan.
Claude Steiner (Nggermanto, 2003) mengusulkan langkah-langkah
pengembangan kecerdasan emosional sebagai berikut:
a. Membuka hati
Membuka hati adalah langkah pertama karena hati adalah simbul pusat
emosi. Hati kitalah yang merasa damai saat kita berbahagia, merasakan
kasih sayang, cinta, atau kegembiraan. Sebaliknya hati kita merasa tidak
nyaman ketika sakit, sedih, marah, atau patah hati. Tahap-tahap untuk
membuka hati adalah: latihan memberikan umpan balik kepada orang lain,
meminta umpan balik, menerima atau menolak umpan balik, serta
memberikan umpan balik sendiri.
b. Menjelajahi dataran emosi
Langkah kedua adalah menjelajahi dataran emosi. Setelah orang
mampu membuka hati, maka orang tersebut akan mampu melihat
kenyataan dan menemukan peran emosi dalam kehidupannya. Orang dapat
menyadari dan mengenali keadaan emosinya sendiri dengan cara melatih
diri untuk menyadari apa yang dirasakan, seberapa kuat dan apa
alasannya. Orang yang bersangkutan dapat mengetahui emosi yang
dialami oleh orang lain dan bagaimana emosi orang lain dipengaruhi oleh
tindakannya. Orang akan mulai memahami bagaimana emosi berinteraksi
dan kadang-kadang menciptakan gelombang perasaan yang menghantam
kita dan orang lain. Dengan demikian, orang akan menjadi bijaksana
dalam menanggapi perasaan kita dan perasaan orang-orang di sekitar kita.
c. Mengambil tanggung jawab
Langkah ketiga adalah mengambil tanggung jawab. Orang mengambil
tanggung jawab, karena dirinya akan memperbaiki dan mengubah
kerusakan hubungan dengan orang lain. Orang dapat membuka hati dan
memahami emosi orang di sekitarnya, tetapi itu saja belum cukup. Ketika
suatu masalah terjadi dengan orang lain, akan sulit untuk melakukan
perbaikan tanpa tindakan lebih jauh. Orang harus mengerti permasalahan,
mengakui kesalahan dan keteledoran yang terjadi, mampu membuat
perbaikan, dan memutuskan bagaimana mengubah segala sesuatu.
Langkah-langkah untuk menjadi bertanggung jawab adalah: mengakui
kesalahannya sendiri, menerima atau menolak pengakuan dari orang lain,
bersedia meminta dan menerima atau menolak permintaan maaf.
3. Hal-hal yang Perlu Diperhatikan dalam Pelayanan Bimbingan di Asrama
Agar pembimbingan di asrama dapat berjalan dengan baik ada beberapa hal
yang perlu diperhatikan :
a. Tujuan yang akan dicapai
Tujuan yang akan dicapai dalam pelayanan bimbingan di asrama dapat
dibedakan menjadi: tujuan dari pendiri asrama, tujuan dari pembimbing
asrama, tujuan orang tua, tujuan anak-anak asrama. Setelah menyadari adanya
tujuan yang akan dicapai, maka masing-masing pihak berusaha untuk
mewujudkan tujuan tersebut.
b. Gaya kepemimpinan dari pemimpin di asrama
Gaya kepemimpinan dari pemimpin asrama ini akan sangat
mempengaruhi suasana kehidupan di asrama. Ada beberapa gaya
kepemimpinan yaitu gaya kepemimpinan otoriter, demokratis, dan
kekeluargaan (Slameto, 1990). Gaya kepemimpinan yang ideal diterapkan di
asrama adalah gaya kepemimpinan yang demokratis, di mana seorang
pemimpin dapat berlaku sebagai orang tua bagi para remaja penghuni asrama.
Apabila hal ini dapat diterapkan, maka hubungan antara pemimpin asrama dan
penghuni asrama akan terjalin dengan akrab dan tidak ada jurang pemisah
antara pemimpin dengan penghuni asrama. Dengan demikian penghuni
asrama tidak merasa takut untuk mengungkapkan perasaan yang dialami, dan
suasana kehidupan bersama di asrama didasari oleh semangat kekeluargaan.
c. Hubungan antar pribadi dalam kehidupan di asrama
Dalam kehidupan di asrama komunikasi antar penghuni asrama
menjadi penting, karena komunikasi antar penghuni asrama yang kurang baik
akan menyebabkan suasana tidak enak. Seorang pembimbing di asrama harus
memahami sampai di mana komunikasi yang terjadi antara sesama penghuni
asrama, antara pembimbing dengan yang dibimbing. Seorang pembimbing
harus mampu memahami taraf-taraf komunikasi yang bisa terjadi dalam
kehidupan bersama di asrama, sehingga komunikasi antara penghuni asrama,
antara pembimbing dengan yang dibimbing, dapat semakin mendalam.
Untuk dapat mengetahui dan memahami sudah sampai di mana taraf
komunikasi yang terjadi dalam kehidupan bersama, pembimbing asrama
dapat menggunakan pendapat John Powell (Supratiknya, 1995). Sebagai
acuan John Powell membedakan komunikasi dalam 5 taraf, yaitu:
1) Taraf kelima adalah basa-basi
Taraf ini merupakan taraf yang paling dangkal karena mereka
berkomunikasi hanya sekedar berkomunikasi, atau boleh dikatakan
komunikasi terjadi hanya sebagai basa-basi, misalnya: ketika kita duduk
lalu ada orang lain lewat, kita menyapa dengan mengatakan “silakan
mampir”, kemudian dijawab, “terimakasih, lain kali”. Masing-masing
hanya berbasa-basi dan tidak menggunakan kata dalam arti yang
sesungguhnya.
2) Taraf keempat, yaitu membicarakan orang lain
Masing-masing pribadi tidak saling mengemukakan pendapat, tetapi
hanya saling bertukar informasi tentang orang lain.
3) Taraf ketiga, yaitu menyatakan gagasan
Pada taraf ini masing-masing sudah saling membuka diri, saling
mengungkapkan diri, tetapi pengungkapan diri itu masih terbatas pada
taraf pikiran.
4) Taraf kedua, yaitu taraf hati atau perasaan
Pada taraf ini orang sudah berani mengungkapkan perasaan dalam
berkomunikasi, karena itu hubungan akan terasa lebih akrab, berkesan,
dan memberikan manfaat bagi perkembangan masing-masing pribadi.
Pada taraf ini masing-masing pribadi dituntut berani, bersikap jujur,
terbuka terhadap diri sendiri maupun terhadap lawan komunikasi.
Keberanian untuk saling mengungkapkan perasaan dan isi hati timbul
karena sudah ada sikap saling mempercayai.
5) Taraf pertama, yaitu hubungan puncak.
Taraf ini ditandai kejujuran, keterbukaan, dan saling percaya yang
mutlak antara kedua belah pihak. Komunikasi yang mendalam dapat
mempengaruhi suasana hidup bersama, karena masing-masing pribadi
merasa diterima, dihargai. Sebaliknya, komunikasi yang kurang lancar
akan menghambat relasi satu sama lain sehingga kehidupan di asrama tidak
menyenangkan.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Bagian ini berisi paparan tentang jenis penelitian, subjek penelitian, instrumen
penelitian, prosedur pengumpulan data, dan teknik analisis data.
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan menggunakan metode
survei. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang dirancang untuk memperoleh
informasi tentang status gejala pada saat penelitian dilakukan (Furchan, 1982:
415). Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang tingkat
kecerdasan emosional para penghuni asrama putri Santa Maria Malang tahun
ajaran 2003/2004. Dalam penelitian deskriptif, tidak ada perlakuan yang diberikan
atau dikendalikan seperti yang ditemui dalam penelitian eksperimen.
B. Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah remaja putri penghuni asrama putri Santa Maria
Malang yang berjumlah 50 orang, terdiri dari kelas I: 29 orang, dan kelas II: 21
orang. Siswi kelas III SMA tidak diikutsertakan dalam penelitian karena siswi
kelas III disibukkan dengan persiapan EBTA.
Peneliti memiliki alasan memilih asrama putri Santa Maria Malang sebagai
subjek penelitian yaitu : 1) Asrama putri Santa Maria Malang adalah salah satu
asrama yang dikelola oleh para suster Santa Perawan Maria yang menangani
siswi remaja, dimana remaja sering menghadapi berbagai permasalahan yang
penyelesaiannya membutuhkan kecerdasan emosional; 2) Hasil dari penelitian ini
dapat ditindaklanjuti oleh peneliti kelak sebagai acuan dalam memberikan
layanan bimbingan kelompok khususnya dalam peningkatan kecerdasan
emosional; 3) Peneliti sebagai anggota Kongregasi Suster Santa Perawan Maria
merasa terlibat untuk ikut meningkatkan mutu pembinaan di asrama; 4) Lebih
mudah mengurus izin untuk penelitian karena peneliti adalah salah satu anggota
Kongregasi Suster Santa Perawan Maria.
C. Instrumen Penelitian
Instrumen dalam penelitian ini berbentuk kuesioner yang mengungkap
kecerdasan emosional. Kuesioner ini dibuat sendiri oleh penulis, dengan
berdasarkan aspek-aspek kecerdasan emosional menurut Goleman (2002), yaitu :
1) Mengenali emosi diri; 2) Mengelola emosi; 3) Memotivasi diri sendiri; 4)
Mengenali emosi orang lain; 5) Membina hubungan. Kuesioner kecerdasan
emosional ini bersifat tertutup dan anonim. Dipilih bersifat anonim dengan
harapan agar para siswa lebih terbuka dalam memberikan informasi. Bentuk
kuesioner tertutup, maksudnya kuesioner tersebut berisi pernyataan-pernyataan
yang jawabannya sudah disediakan oleh peneliti (Furchan, 1982: 249). Berikut ini
dijelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan kuesioner :
1. Skala pengukuran kecerdasan emosional
Metode yang digunakan dalam skala kecerdasan emosional ini adalah
metode skoring yang dijumlahkan (Summated Rating), dengan skala Likert
yang terdiri atas empat kategori jawaban, yaitu : “Sangat Sering”, “Sering”,
“Kadang-kadang”, “Jarang”. Menurut Hadi (Hartyana 2002: 35) modifikasi
skala Likert menjadi empat kategori jawaban dimaksudkan untuk
menghilangkan kelemahan yang dikandung oleh skala lima tingkat, yaitu :
karena kategori netral mempunyai arti ganda, bisa diartikan belum dapat
memutuskan, bisa juga diartikan netral, atau ragu-ragu. Tersedianya jawaban
di tengah juga menimbulkan kecenderungan memilih jawaban yang netral
(central tendency effect), terutama bagi mereka yang ragu-ragu atas
kecenderungan jawabannya.
2. Indikator kecerdasan emosional
Indikator yang digunakan untuk menyusun kuesioner kecerdasan
emosional ini berdasarkan aspek-aspek kecerdasan emosional menurut
Goleman (2002) yaitu: 1) Mengenali emosi diri; 2) Mengelola emosi; 3)
Memotivasi diri sendiri; 4) Mengenali emosi orang lain; 5) Membina
hubungan.
3. Susunan kuesioner kecerdasan emosional
Secara keseluruhan item kecerdasan emosional terdiri dari 130 item
yang terbagi menjadi item fovorable (favorabel) dan item unfavorable
(unfavorabel). Item favorable apabila isinya mendukung, memihak atau
menunjukkan adanya atribut yang diukur. Sedangkan item unfavorable bila
isinya tidak mendukung atau tidak menggambarkan ciri atribut yang diukur
(Azwar, 2003).
4. Penskoran
Skor untuk masing-masing alternatif jawaban tergantung dari bentuk
pernyataan. Untuk pernyataan yang favorable skor untuk jawaban Sangat
Sering (SS): 4, Sering (S) : 3, Kadang-kadang (KK): 2, Jarang (J): 1,
sedangkan untuk pernyataan yang unvaforable skor untuk jawaban Sangat
Sering: 1, Sering: 2, Kadang-kadang: 3, Jarang : 4. Kisi-kisi kuesioner yang
mengungkap aspek kecerdasan emosional disajikan dalam tabel 1.
Tabel 1 Distribusi Item Skala Kecerdasan Emosional untuk Penelitian
Aspek Kecerdasan Emosional Favorable Unfavorable Jml
1, 2, 5
3, 4
5
13, 8, 11
6, 7, 9, 10, 12
8
1. Mengenali emosi diri. a. Kesadaran diri b. Kepercayaan diri. c. Penilaian diri yang realistik
14, 15, 18, 19, 20, 21, 22
16, 17
9
23, 24, 27
25, 26
5
2. Mengelola emosi a. Dapat dipercaya b. Mengendalikan emosi sendiri
28, 29, 30
31, 32
5
33, 34, 37, 38, 39
35, 36, 40, 41
9
42, 43, 44
45, 46
5
47, 48, 51
49, 50
5
3. Memotivasi diri sendiri a. Dorongan untuk berprestasi b. Memiliki komitmen c. Memiliki inisiatif d. Optimisme
52, 53, 55
54, 56, 57
6
58, 59, 62, 63
60, 61
6
64, 65, 68, 69
66, 67
6
4. Mengenali emosi orang lain a. Mampu menerima sudut
pandang orang lain. b. Mampu berempati dan peka
terhadap perasaan orang lain c. Mampu mendengarkan orang
lain. 70, 71, 73
72
4
74, 75, 76, 77
-
4
78, 80, 82
79, 81, 83, 84
7
5. Membina hubungan a. Mampu menyelesaikan
persoalan yang timbul dalam hubungan dengan orang lain.
b. Mampu bergaul dengan siapa saja dengan bertenggang rasa.
c. Mampu bekerjasama dengan suka menolong.
85, 86, 90
87, 88, 89
6
Jumlah 90
5. Validitas dan reliabilitas kuesioner kecerdasan emosional
a. Validitas
Validitas berhubungan dengan sejauh mana suatu alat mampu
mengukur yang seharusnya diukur (Masidjo, 1995). Sejalan dengan
pendapat tersebut Scarvia B. Anderson ( Arikunto, 1986: 65), menyatakan
bahwa sebuah tes dikatakan valid apabila tes tersebut mengukur apa yang
hendak diukur. Jadi, sebuah alat ukur dapat dikatakan valid jika alat ukur
itu dapat memberikan hasil ukur sesuai dengan maksud pengukuran
tersebut.
Validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas
konstruk. Dengan validitas konstruk dapat dilihat apakah alat ukur yang
dipergunakan sesuai dengan konsep teoritik yang ada. Peneliti membuat
item berdasarkan konsep teoritik yang ada pada kajian teori. Item yang
dibuat kemudian dianalisis untuk mengetahui dan menghasilkan instrumen
yang sesuai dengan konsep teoritiknya.
Metode yang digunakan dalam mencari dan menganalisis validitas
adalah teknik product moment yang dikemukakan oleh Pearson (Masidjo,
1995: 246) dengan rumus :
) )(()({ } )({ }∑ ∑∑∑
∑∑∑−−
−=
2222 YYNXXN
YXYXNrxy
Keterangan:
xyr = Koefisien validitas item
X = Skor-skor item
Y = Skor total peraspek
N = Jumlah Subjek
Cara penghitungan taraf validitas dilakukan dengan memberi skor
pada setiap item dan mentabulasi data uji coba. Selanjutnya proses
penghitungan dilakukan dengan komputer program SPSS for Windows
agar lebih efektif dan efisien.
Prosedur seleksi item berdasarkan data empiris, yaitu data hasil uji
coba item pada kelompok subjek yang karakteristiknya setara dengan
subjek yang hendak dikenai skala dengan melakukan analisis kuantitatif
terhadap parameter-parameter item. Batasan yang digunakan adalah taraf
signifikansi 0,05 (5 %). Jadi semua item yang mencapai koefisien korelasi
item total positif dan signifikan pada taraf signifikansi 5% dianggap
mempunyai daya beda yang memuaskan. Hasil rekapitulasi analisis uji
coba kuesioner dapat dilihat dalam tabel 2. Hasil perhitungan taraf
validitas dapat dilihat dalam lampiran 3.
≤
Tabel 2 Rekapitulasi Hasil Analisis Uji Validitas Item
No Aspek
Kecerdasan emosional
Indikator Jml item
Jml item yang valid
Jml item yang gugur
Kesadaran diri 10 8 2 Kepercayaan diri 11 10 1
1. Mengenali emosi diri
Penilaian diri yang realistik 13 9 4 Dapat dipercaya 9 8 1 2. Mengelola
emosi Mengendalikan emosi sendiri 7 5 2 Dorongan untuk berprestasi 11 11 - Memiliki komitmen 10 7 3 Memiliki inisiatif 6 5 1
3. Memotivasi diri sendiri
Optimisme 7 6 1 Mampu menerima sudut pandang orang lain.
8 7 1
Mampu berempati dan peka terhadap perasaan orang lain.
8 7 1
4.
Mengenali emosi orang lain
Mampu mendengarkan orang lain.
6 4 2
Mampu menyelesaikan persoalan yang timbul dalam hubungan dengan orang lain.
6
4 2
Mampu bergaul dengan siapa saja dengan bertenggang rasa
10
8 1
Mampu bekerjasama dengan suka menolong
8 6 1
5.
Membina hubungan.
Jumlah 130 107 23
b. Reliabilitas
Menurut Masidjo (1995: 209) reliabilitas suatu tes adalah taraf sampai
di mana suatu tes mampu menunjukkan konsistensi hasil pengukurannya.
Tes yang reliabel akan menunjukkan ketepatan dan ketelitian hasil dalam
suatu pengukuran. Furchan (1982: 295) mengatakan reliabilitas suatu alat
pengukur adalah derajad keajegan alat tersebut dalam mengukur apa saja
yang diukurnya. Reliabilitas sebenarnya mengacu kepada konsistensi atau
keterpercayaan hasil ukur, yang mengandung makna kecermatan
pengukuran ( Azwar, 2003: 83).
Untuk menentukan taraf reliabilitas digunakan metode belah dua
(split-half method) karena satu tes dipakai dalam satu pengukuran pada
sekelompok siswa (Masidjo, 1995). Metode belah dua yang dipakai
berdasarkan urutan nomor item yang bernomor gasal dan bernomor genap.
Derajad reliabilitas tersebut ditentukan dengan pedoman daftar indeks
korelasi reliabilitas dengan ancar-ancar sebagai berikut (Masidjo, 1995:
209):
Koefisien korelasi Kualifikasi
0,91-1,00
0,71-0,90
0,41-0,70
0,21-0,40
Negatif – 0,20
Sangat tinggi
Tinggi
Cukup
Rendah
Sangat rendah
Langkah-langkah penghitungan taraf reliabilitas alat ukur yaitu
membuat tabel analisis item-item, menjumlahkan skor-skor yang berasal
dari item-item yang bernomor gasal atau item-item yang akan dimasukkan
sebagai belahan pertama pada kolom belahan gasal atau pertama.
Demikian pula skor-skor yang berasal dari item-item yang bernomor
genap atau item-item yang akan dimasukkan sebagai belahan kedua pada
kolom belahan genap atau kedua. Selanjutnya skor-skor pada kolom
belahan gasal atau pertama dan belahan genap atau kedua, siap untuk
dihitung koefisien korelasinya. Proses penghitungan selanjutnya dengan
menggunakan komputer program SPSS for windows. Berdasarkan
penghitungan tersebut dapat diketahui koefisien korelasi yang diperoleh
dari perhitungan skor item-item gasal genap sebesar 0,7800. Selanjutnya
hasil koefisien korelasi tersebut dikoreksi dengan formula koreksi dari
Spearman-Brown dengan rumus:
gg
ggtt r
xrr
+=
12
Keterangan rumus :
r tt = indeks reliabilitas instrumen yang dicari
r gg = koefisien korelasi gasal-genap
Hasil perhitungan uji reliabilitas kuesioner adalah:
gg
ggtt r
xrr
+=
12
=ttr6394,016394,02
+x
6394.12788.1
= = 0.7800
Untuk menentukan tingkat keterandalan instrumen Masidjo (1995)
menegaskan bahwa koefisien reliabilitas dinyatakan dalam suatu bilangan
koefisien antara -1, 00 sampai dengan 1, 00. Berdasarkan kriteria ini hasil
perhitungan analisis reliabilitas menunjukkan bahwa kuesioner yang
digunakan dalam penelitian ini memenuhi kualitas keterandalan. Setelah
dikoreksi dengan rumus Spearman-Brown, diperoleh koefisien reliabilitas
sebesar 0,7800. Dengan demikian status tingkat reliabilitas kuesioner
kecerdasan emosional yang diujicobakan dalam penelitian ini termasuk
tinggi ( 0, 78 - 0, 90). Dapat disimpulkan bahwa alat penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini reliabel.
≥
D. Prosedur Pengumpulan Data.
1. Tahap persiapan
Pada tahap persiapan peneliti melakukan berbagai usaha yaitu:
a. Penyusunan kuesioner
Hal-hal yang dilakukan peneliti dalam menyusun instrumen adalah :
1) Menentukan variabel
2) Menentukan aspek-aspek kecerdasan emosional
3) Menentukan indikator-indikator dari kecerdasan emosional
4) Merumuskan indikator-indikator tersebut dalam butir-butir item
5) Mengkonsultasikan instrumen yang telah dibuat kepada ahli, beberapa
guru atau konselor sekolah, dan pembimbing.
6) Setelah mengkonsultasikan alat tersebut kepada para ahli dan
pembimbing, selanjutnya dilakukan uji coba.
b. Pelaksanaan uji coba kuesioner
Sebelum peneliti melaksanakan uji coba kuesioner, pada tanggal 5
Januari 2004, pukul 08.00-09.30 WIB peneliti menghubungi Sr. Adelberta,
CB, selaku pimpinan asrama Stella Duce, Jl. Supadi no. 5, Yogyakarta.
Peneliti mengungkapkan maksud dan tujuan, kemudian pimpinan asrama
menanggapi dengan senang hati. Setelah terjadi kesepakatan, maka pada
tanggal 7 Januari 2004, pukul 17.00-18.00 WIB uji coba kuesioner
dilaksanakan. Uji coba kuesioner ini melibatkan 56 penghuni asrama kelas I,
II, III SMA. Jumlah kuesioner yang dibagikan 56 eksemplar dan kembali
semua. Dari 56 eksemplar itu, ada 6 eksemplar yang tidak memenuhi syarat,
sehingga yang dianalisis 50 eksemplar.
Dari 130 item, ternyata ada 23 item yang tidak valid, dengan p < 0,05.
Ke 23 item tersebut terdiri dari aspek mengenali emosi diri (7 item),
mengelola emosi (3 item), memotivasi diri sendiri (5 item), mengenali emosi
orang lain (4 item), membina hubungan (4 item). Seratus tujuh (107) item
yang valid tersebut memiliki berkisar antara 0,238 (terendah) sampai
dengan 0, 736 (tertinggi). Item yang dipergunakan untuk penelitian ialah
item yang memiliki r xy 0, 31 -0, 73. Oleh karena itu dari 107 item tersebut
ada 90 item yang digunakan sebagai bentuk final dalam penelitian ini. Kisi-
kisi kuesioner yang diuji cobakan dapat dilihat dalam tabel 3.
xyr
Tabel 3 Kisi-kisi Kuesioner Kecerdasan Emosional Yang Diuji Cobakan
Aspek Kecerdasan Emosional Favorable
Un favorable Jml
+ Jml
- Jml
30, 31, 32, 33, 34, 35, 36.
37, 38, 39
7
3
10
16,17,18, 19
9,10,11,12 13,14, 15
4
7
11
1. Mengenali emosi diri. a. Kesadaran diri b. Kepercayaan diri. c. Penilaian diri yang realistik 40, 41, 42, 43, 44, 45,
46, 47, 48, 49, 50 51, 52 11 2 13
58, 59, 60, 61
53, 54, 55,56, 57
4
5
9
2. Mengelola emosi a. Dapat dipercaya b. Mengendalikan emosi sendiri
125, 127, 129, 130 126, 128, 124 4 3 7 62, 63, 64, 65, 66, 67
68, 69, 70, 71, 72
6
5
11
79, 80, 81, 82, 83, 84, 85
86, 87, 88 7 3 10
89, 90, 91 92, 93, 94 3 3 6
3. Memotivasi diri sendiri a. Dorongan untuk berprestasi b. Memiliki komitmen c. Memiliki inisiatif d. Optimisme
101, 102, 104, 105 106, 103, 107 4 3 7 116, 117, 118, 119
120, 121, 122, 123
4
4
8
108, 109, 110, 111
112, 113, 114, 115
4
4
8
4. Mengenali emosi orang lain
a. Mampu menerima sudut pandang orang lain.
b. Mampu berempati dan peka
terhadap perasaan orang lain
c. Mampu mendengarkan orang lain.
95, 96, 97
98, 99, 100
3
3
6
73, 74, 75, 76
77, 78,
4
2
6
20, 21, 22, 23
24, 25, 26, 27, 28, 29
4
6
10
5. Membina hubungan a. Mampu menyelesaikan
persoalan yang timbul dalam hubungan dengan orang lain.
b. Mampu bergaul dengan siapa saja .
c. Mampu bekerjasama dengan
suka menolong 1, 2, 5, 8
3, 4, 6, 7
4
4
8
Jumlah
73 57 73 57 130
2. Tahap pelaksanaan pengumpulan data
Setelah mendapat persetujuan dari dosen pembimbing I dan II untuk
melakukan penelitian, maka peneliti mengurus perijinan untuk melakukan
penelitian kepada Ketua Program Studi Bimbingan dan Konseling,
Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Surat ijinnya diberikan dengan
nomor 030.001/ Pen / JIP / III / 2004, tanggal 16 Maret 2004.
Sebelum pengumpulan data dilakukan, peneliti menghubungi
pimpinan asrama putri Santa Maria Malang untuk menentukan waktu yang
tepat. Setelah terjadi kesepakatan, maka penelitian dilaksanakan pada hari
Minggu, tanggal 25 April 2004. Penelitian ini dilaksanakan pada jam belajar,
yaitu pukul 17.00-17.45 WIB.
Dalam tahap pelaksanaan penelitian ini, peneliti datang sendiri ke
asrama putri Santa Maria Malang. Sebelum pengambilan data dimulai peneliti
memperkenalkan diri terlebih dahulu dan menjelaskan tujuan penelitian serta
menjelaskan petunjuk tentang cara pengisian kuesioner. Peneliti meminta
supaya subjek mengisi kuesioner dengan sungguh-sungguh dan jujur sesuai
keadaan dirinya masing-masing, serta menjawab seluruh item yang ada.
Jumlah subjek penelitian adalah 50 orang, terdiri dari kelas I: 29 orang, dan
kelas II: 21 orang.
Langkah-langkah pengumpulan data sebagai berikut :
a. Peneliti mempersiapkan diri 1 jam lebih awal dari waktu yang sudah
ditentukan.
b. Peneliti memberikan penjelasan mengenai maksud dan tujuan penelitian.
c. Peneliti membagikan kuesioner yang telah dipersiapkan.
d. Peneliti memberikan penjelasan mengenai cara mengisi kuesioner.
Responden diberi kesempatan untuk bertanya.
e. Peneliti memberikan kesempatan kepada responden untuk mengisi
kuesioner.
f. Peneliti memeriksa kembali kuesioner yang telah dikumpulkan.
Pada waktu peneliti bersama pimpinan asrama putri Santa Maria
Malang masuk ruang belajar, para penghuni asrama sudah siap di tempatnya
masing-masing. Sebelum masuk ruang belajar, pimpinan asrama putri Santa
Maria Malang sudah mengumumkan agar para penghuni asrama belajar di
ruangnya sendiri-sendiri untuk mengisi kuesioner. Proses pengumpulan data
ini berjalan dengan lancar. Para penghuni asrama mengisi kuesioner dengan
tenang dan rileks. Ada seorang yang bertanya mengenai maksud pernyataan
item no 14 : “ Saya menyadari, kapan saya cenderung menjadi defensif”. Dia
bertanya tentang arti defensif.
Penghuni asrama yang sudah selesai mengisi kuesioner,
mengumpulkan pekerjaannya dengan tenang, tanpa menunggu teman yang
lain. Setelah para penghuni asrama putri Santa Maria Malang selesai mengisi
kuesioner peneliti mengucapkan terimakasih.
E. Teknik Analisis Data.
Langkah-langkah analisis yang ditempuh yaitu:
1. Menentukan skor dari setiap alternatif jawaban. Alternatif jawaban favorable
yaitu: SS diberi skor 4, S diberi skor 3, KK diberi skor 2, J diberi skor 1,
sedangkan untuk alternatif jawaban unfavorable: SS diberi skor 1, S diberi
skor 2, KK diberi skor 3, J diberi skor 4.
2. Menghitung jumlah skor dari masing-masing subjek
3 Membuat tabulasi data
4 Menghitung frekuensi berdasarkan skor untuk setiap item
5 Menghitung persentase berdasarkan frekuensi yang telah diperoleh untuk
setiap item.
6 Menentukan penggolongan tingkat masing-masing aspek kecerdasan
emosional penghuni asrama putri Santa Maria Malang tahun ajaran 2003/2004
berdasarkan PAP tipe I. Penilaian Acuan Patokan adalah suatu penilaian yang
memperbandingkan skor riil dengan skor yang seharusnya dicapai oleh siswa
(Masidjo, 1995). Penggolongan pencapaian kecerdasan emosional penghuni
asrama putri Santa Maria Malang digolongkan menjadi lima, yaitu sangat
tinggi, tinggi, cukup, rendah, sangat rendah, dengan patokan seperti dalam
tabel 4.
Tabel 4 Penggolongan Tingkat Kecerdasan Emosional
Penghuni Asrama Putri Santa Maria Malang Tahun Ajaran 2003 / 2004
Kategori Patokan
Sangat tinggi 90 % - 100 %
Tinggi 80 % - 89 %
Cukup 65 % - 79 %
Rendah 55 % - 64 %
Sangat rendah < 55 %
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini memuat jawaban atas masalah penelitian yang pertama; jawaban
terhadap masalah kedua disajikan dalam Bab V.
A. Tingginya Masing-masing Aspek Kecerdasan Emosional Siswi SMA
Penghuni Asrama Putri Santa Maria Malang Tahun Ajaran 2003/2004
Tingginya kecerdasan emosional penghuni asrama putri Santa Maria Malang
tahun ajaran 2003/2004 dihitung dengan menggunakan perhitungan Penilaian
Acuan Patokan. Penilaian Acuan Patokan (PAP) tipe I digunakan dengan
memperbandingkan skor riil dengan skor yang seharusnya (Masidjo, 1995).
Patokan yang dipergunakan dalam penelitian ini dapat dilihat dalam tabel 5.
Tabel 5 Penggolongan Tingkat Kecerdasan Emosional Penghuni
Asrama Putri Santa Maria Malang Tahun Ajaran 2003/2004
Kategori Patokan
Sangat tinggi 90 % - 100 %
Tinggi 80 % - 89 %
Cukup 65 % - 79 %
Rendah 55 % - 64 %
Sangat rendah < 55 %
Berdasarkan patokan tersebut di atas tingginya masing-masing aspek
kecerdasan emosional para siswi SMA penghuni asrama putri Santa Maria
Malang tahun ajaran 2003/2004 adalah seperti yang disajikan dalam tabel 6.
Tabel 6 Tingginya Masing-masing Aspek Kecerdasan Emosional
Para Siswi SMA Penghuni Asrama Putri Santa Maria Malang Tahun Ajaran 2003/2004
Aspek Kecerdasan
Emosional
Sangat
Rendah
Rendah Cukup Tinggi Sangat
Tinggi
1. Mengenali emosi diri 6% 30% 64% 0% 0%
2. Mengelola emosi 0% 16% 60 % 24% 0%
3. Memotivasi diri sendiri 4% 24% 58% 14% 0%
4. Mengenali emosi orang lain 0% 2% 44% 26% 28%
5. Membina hubungan 2% 2% 72% 18% 6%
B. Pembahasan
Sebagai penelitian deskriptif, penelitian ini hanya ingin memaparkan
kondisi/keadaan apa adanya dalam situasi tertentu. Berikut akan dilakukan
pembahasan terhadap hasil penelitian. Pada dasarnya pembahasan berfokus pada
tiga hal yaitu: penyebab, akibat yang terjadi, dan usaha dari beberapa pihak dalam
rangka mengatasi masalah yang bersangkutan: pendamping di asrama, orangtua,
dan siswi. Untuk menghindari pengulangan yang tidak perlu, maka dalam
pembahasan masing-masing aspek kecerdasan emosional, kemampuan yang sangat
rendah, rendah, dan cukup dalam aspek kecerdasan emosional yang bersangkutan
disatukan. Kemampuan yang cukup dibahas menjadi satu dengan kemampuan yang
sangat rendah, dan rendah, karena kemampuan yang cukup dipandang masih belum
ideal dan dalam hal penyebab, akibat, dan usaha yang perlu, sama dengan yang
dikemukakan untuk kemampuan yang sangat rendah, dan rendah. Demikian juga
dengan kemampuan yang tinggi, dan yang sangat tinggi.
1. Aspek mengenali emosi diri
a. Kemampuan mengenali emosi yang masih kurang atau belum maksimal
(sangat rendah, rendah, dan cukup)
Siswi SMA penghuni asrama putri Santa Maria Malang yang
memiliki kemampuan mengenali emosi yang sangat rendah ada 6%, rendah
ada 30%, dan cukup ada 64%. Hasil ini kurang menggembirakan karena itu
masih perlu ditingkatkan. Kurangnya (sangat rendah, rendah, dan cukup)
kemampuan beberapa siswi untuk mengenali emosinya boleh jadi dipengaruhi
oleh beberapa faktor seperti: orangtua tidak pernah menyinggung emosi,
orangtua lebih menekankan aspek kognitif, orangtua boleh jadi overprotectif
karena terlampau menyayangi. Situasi seperti ini dapat menimbulkan sikap
adu kekuasaan sebab setiap pihak merasa memiliki “kekuasaan” atau kendali
tertentu atas pihak lain. Faktor berikutnya ada kemungkinan kondisi
lingkungan baik di rumah, di sekolah, maupun di asrama memberikan tekanan
pada aspek intelektual dan kurang mengindahkan emosi, tidak ada usaha sadar
untuk meningkatkan kemampuan menyadari dan mengungkapkan emosi,
adanya pengalaman traumatis karena mengungkapkan emosinya, dan lain
sebagainya.
Kemampuan mengenali emosi yang masih kurang (belum maksimal)
dapat mengakibatkan beberapa hal seperti: individu yang bersangkutan hanya
mengejar nilai akademik dan mengabaikan aspek afektif, kurang memiliki
kepekaan terhadap emosinya sendiri, tidak mampu mengungkapkan emosi
yang dialaminya. Johnson ( Sinurat, 1999) mengatakan bahwa akibat yang
timbul bila emosi tidak kita sadari, tidak kita terima, atau tidak kita
ungkapkan, kita sangkal atau tekan antara lain: (1) menciptakan aneka
masalah dalam hubungan antar pribadi, (2) menyulitkan kita dalam
memahami dan mengatasi aneka masalah yang terlanjur timbul dalam
hubungan antar pribadi, (3) meningkatkan kecenderungan kita melakukan
persepsi secara selektif, (4) menimbulkan distorsi atau penyimpangan dalam
penilaian kita, (5) mengungkapkan perasaan dengan cara yang sarat dengan
tuntutan-tuntutan tertentu.
Ada berbagai usaha yang dapat dilakukan oleh pendamping di asrama
Santa Maria Malang untuk membantu meningkatkan kemampuan penghuni
asrama mengenali emosinya, antara lain: menambah informasi mengenai
pentingnya kecerdasan emosional, mengadakan seminar tentang kecerdasan
emosional, mengadakan pelatihan tentang kecerdasan emosional, memberikan
bimbingan kelompok dengan topik misalnya mengenali emosi sendiri dan
akibat yang timbul bila emosi tidak diungkapkan, memberi kesempatan
kepada para siswi untuk mengungkapkan emosi yang dialami. Pengenalan
emosi dapat juga dijadikan tema kegiatan rekoleksi, atau kegiatan week end.
Usaha yang dapat dilakukan oleh orangtua untuk membantu anaknya
meningkatkan kemampuannya mengenali emosi antara lain: memberikan
kesempatan kepada anak untuk mengungkapkan emosinya sendiri, tidak
menuntut anak mencapai NEM yang tinggi dengan mengabaikan aspek afeksi,
menyadarkan anak bahwa aspek intelektual dan aspek afeksi harus berjalan
seimbang, menyediakan waktu khusus untuk saling berbagi misalnya waktu
makan malam atau sesudah makan malam, rekreasi bersama, memberi
kesempatan kepada anak untuk mengungkapkan emosinya sendiri, tidak
menolak pengungkapan emosi anak.
Usaha dari siswi sendiri antara lain: membiasakan diri untuk
mendengarkan emosinya sendiri, menyadari emosinya dan mengungkapkan
emosinya, meningkatkan kesadaran atas perasaannya sendiri.
b. Kemampuan mengenali emosi yang tinggi dan sangat tinggi
Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa tidak ada siswi SMA
penghuni asrama Santa Maria Malang tahun ajaran 2003/2004 yang memiliki
kemampuan mengenali emosi yang tinggi dan sangat tinggi. Berbagai faktor
yang menyebabkan tidak adanya siswi SMA penghuni asrama yang memiliki
kemampuan mengenali emosi yang tinggi dan sangat tinggi, antara lain: tidak
ada program khusus untuk meningkatkan kecerdasan emosional khususnya
kemampuan mengenali emosi, kurang informasi atau belum disadari bahwa
kecerdasan emosional adalah kecerdasan yang dapat dikembangkan.
Akibat yang dapat timbul apabila kemampuan mengenali emosi tidak
maksimal sama dengan yang dikemukakan untuk kemampuan yang masih
kurang. Pihak pendamping asrama, orangtua, dan siswi sendiri perlu berusaha
meningkatkan kemampuan mengenali emosinya agar menjadi tinggi dan
sedapat mungkin menjadi sangat tinggi.
Ada berbagai usaha yang dapat dilakukan oleh pendamping di asrama
untuk meningkatkan kemampuan penghuni asrama dalam mengenali emosi,
antara lain: mengadakan bimbingan kelompok mengenai pentingnya emosi
dalam hidup, peranan emosi, atau cara mengungkapkan emosi, emosi yang
saya rasakan saat ini.
Sedangkan usaha yang dapat dilakukan oleh orangtua untuk membantu
meningkatkan kemampuan mengenali emosi, antara lain: membiasakan diri
menanyakan kepada anak tentang perasaannya apabila anak telah selesai
mengerjakan suatu tugas.
Pihak siswi sendiri harus memiliki kerelaan untuk mengikuti
bimbingan kelompok, memberikan tanggapan terhadap pertanyaan mengenai
perasaan yang dialami, dan membaca buku-buku tentang kecerdasan
emosional.
2. Aspek mengelola emosi
a. Kemampuan mengelola emosi yang masih kurang atau belum maksimal
(sangat rendah, rendah, dan cukup)
Tidak ada siswi SMA penghuni asrama putri Santa Maria yang
memiliki kemampuan mengelola emosi sangat rendah; ada 16% penghuni
asrama yang kemampuan mengelola emosinya rendah, dan 60% yang
kemampuan mengelola emosinya cukup. Ada berbagai faktor yang
menyebabkan kemampuan mengelola emosi masih kurang (sangat rendah,
rendah, dan cukup) antara lain: siswi kurang memiliki kemampuan untuk
mengenali emosinya sendiri sehingga kurang mampu pula mengelola
emosinya dan kurang mampu mengungkapkannya secara tepat.
Berbagai akibat yang terjadi apabila kemampuan mengelola emosi
masih kurang (sangat rendah, rendah, cukup) misalnya: kurang mampu
menangani emosi yang muncul dan mengungkapkannya secara tepat, mudah
cemas, mudah tersinggung, menghindari emosi yang menyakitkan, tidak
mampu menerima kritik dan memandang bahwa kritik yang ditujukan kepada
dirinya itu sebagai suatu ancaman/serangan, tidak memiliki kendali diri,
mudah mencemooh atau menghina, bersikap menutup diri, dan mudah putus
asa (Goleman, 2002). Menurut Wijokongko (1997: 15) ketidakmampuan
mengendalikan emosi bisa membuat orang melakukan banyak perbuatan
negatif.
Ada berbagai usaha yang dapat dilakukan oleh pendamping di asrama
untuk meningkatkan kemampuan mengelola emosi, antara lain: mengajak
siswi untuk mengenali emosinya, mengajak siswi untuk melihat nilai yang
terkandung dalam emosi, menyadarkan kepada para siswi bahwa tidak semua
emosi menyakitkan. Pendamping di asrama perlu juga menunjukkan bahwa
sebenarnya emosi yang menyakitkan pun sangat diperlukan asalkan tahu apa
makna dan isinya, serta memberikan bimbingan kelompok dengan topik
pengendalian diri, perilaku asertif, perilaku proaktif. Sedangkan usaha yang
dapat dilakukan oleh orangtua, antara lain: membantu anak menemukan nilai
positif di balik berbagai emosi, atau belajar menarik manfaat dari emosi yang
dialami. Orangtua juga perlu melakukan berbagai hal seperti: menyadarkan
anak bahwa emosi bukanlah lawan melainkan kawan yang banyak membantu
dalam menghadapi berbagai macam persoalan hidup, memberikan bantuan
lewat komunikasi yang asertif, tidak mudah menyalahkan anak, mau
mendengarkan ungkapan emosi anak dan memberikan tanggapan yang positif
sehingga anak merasa diterima, didengarkan. Siswi sendiri harus berusaha
bersikap terbuka, bersedia menerima kritik, dan memandang kritik itu bukan
sebagai serangan tetapi sebagai suatu masukan yang harus diperhatikan.
b. Kemampuan mengelola emosi yang tinggi, dan sangat tinggi
Sebagian kecil (24%) siswi SMA penghuni asrama putri Santa Maria
Malang sudah memiliki kemampuan mengelola emosi yang tinggi, namun
tidak ada penghuni asrama yang memiliki kemampuan mengelola emosi yang
sangat tinggi. Oleh karena itu masih dibutuhkan bimbingan agar kemampuan
mengelola emosi dapat berkembang lebih optimal. Ada berbagai faktor yang
menyebabkan kemampuan mengelola emosi tinggi, antara lain: siswi
sebenarnya sudah memiliki kemampuan untuk mengenali emosinya tetapi
kemampuannya mengelola emosi belum dikembangkan secara maksimal
sehingga belum mencapai hasil yang maksimal pula.
Siswi yang sudah memiliki kemampuan mengelola emosi tinggi
kiranya memiliki konsep diri yang positip. Siswi yang memiliki konsep diri
positip memiliki tujuan yang realistis dan sesuai. Siswi yang berkonsep diri
positip mampu mengelola emosinya dan berani bertindak, mampu bersikap
positip, memiliki kemampuan membangun kepercayaan dengan sikap apa
adanya dan jujur, berani mengakui kesalahan sendiri dan berani menegur
perbuatan yang tidak dapat diterimanya.
Agar kemampuan mengelola emosi yang sudah tinggi dapat menjadi
semakin sangat tinggi, maka dibutuhkan usaha dari berbagai pihak yaitu dari
pendamping di asrama, orangtua, siswa yang bersangkutan. Salah satu usaha
yang dapat dilakukan oleh pendamping asrama misalnya memberikan
pelatihan tentang mengelola emosi, memberikan informasi bahwa
kemampuan mengelola emosi itu bukanlah bakat, bahwa kemampuan
mengelola emosi perlu untuk berhasil dalam hidup.
. Sedangkan usaha yang dapat dilakukan oleh orangtua untuk membantu
anaknya meningkatkan kemampuannya mengelola emosi, antara lain:
memberikan pendampingan yang terus menerus bagaimana mengungkapkan
emosi secara tepat. Siswi sendiri harus memiliki kemauan untuk berlatih,
menambah informasi lewat berbagai bacaan mengenai kecerdasan emosional.
3. Aspek memotivasi diri sendiri
a. Kemampuan memotivasi diri yang masih kurang atau belum maksimal
(sangat rendah, rendah, dan cukup)
Para siswi SMA penghuni asrama putri Santa Maria yang memiliki
kemampuan memotivasi diri sendiri sangat rendah sebanyak 4%, rendah 24%,
dan cukup 58%. Hal ini menunjukkan bahwa cukup banyak siswi asrama
masih mengalami kesulitan dalam memotivasi diri. Menurut Gea ( 2002 )
beberapa hambatan tumbuhnya motivasi yaitu: kurang percaya diri,
kecemasan berlebihan, opini negatif, dan merasa bukan bagian dari kelompok.
Berbagai akibat yang timbul apabila kemampuan memotivasi diri
masih kurang (sangat rendah, rendah, dan cukup) antara lain: tidak
mempunyai semangat, daya juangnya rendah, tidak memiliki kepercayaan
diri, kurang memiliki ketekunan.
Ada berbagai usaha yang dapat dilakukan oleh pendamping di asrama
untuk meningkatkan kemampuan memotivasi diri sendiri, antara lain:
mengadakan pelatihan untuk meningkatkan kemampuan memotivasi diri
sendiri yang mencakup dorongan untuk berprestasi, memiliki komitmen, sikap
optimis (Gea, 2002). Usaha yang lain misalnya menelusuri bakat dan minat,
menggali kembali cita-cita, menentukan sasaran, atau menginventaris
pengalaman-pengalaman positif. Usaha yang dapat dilakukan oleh orangtua
untuk membantu anaknya dalam memotivasi diri, antara lain: memberikan
dukungan lebih-lebih ketika anak mengalami kegagalan, memberikan
pujian/hadiah ketika anak mengalami kemajuan misalnya dalam belajar.
Sedangkan usaha dari siswi sendiri misalnya memperjelas hal yang perlu
diutamakan dalam hidupnya.
b. Kemampuan memotivasi diri yang tinggi, dan sangat tinggi
Beberapa siswi SMA yang tinggal di asrama sudah memiliki
kemampuan yang tinggi dalam memotivasi diri, namun belum ada yang
sangat tinggi kemampuannya memotivasi diri. Ada berbagai faktor yang
menyebabkan tingginya kemampuan memotivasi diri, antara lain: adanya
kesadaran yang tinggi terhadap kebutuhan yang perlu dipenuhi. Tingkah laku
manusia timbul karena ada kebutuhan, dan tingkah laku manusia tersebut
mengarah pada pencapaian tujuan yang dapat memuaskan kebutuhannya.
Faktor berikutnya yang turut mempengaruhi kemampuan memotivasi diri
ialah adanya cita-cita yang realistis dan ingin diraih.
Akibat yang timbul apabila kemampuan memotivasi diri tinggi, yaitu:
lebih bersemangat dalam hidup, lebih berhasil dalam hidupnya, memiliki
kepercayaan diri yang tinggi, berani mencoba sesuatu yang baru, memiliki
dorongan untuk berprestasi, lebih memiliki komitmen, dan lebih optimis (Gea,
2002).
Berbagai usaha yang dapat dilakukan oleh pendamping di asrama
untuk memaksimalkan kemampuan memotivasi diri, antara lain: mengajak
siswi untuk berefleksi secara tertulis, misalnya menuliskan apa yang menjadi
cita-cita Anda? Target-target apa yang Anda tetapkan sebagai langkah konkrit
mencapai cita-cita Anda? Menurut Handoko (1992) cara-cara yang dapat
ditempuh oleh pendamping untuk memperkembangkan dan memperkuat
motivasi diri antara lain: memperjelas tujuan yang dicapai, memadukan motif-
motif yang sudah dimiliki, merumuskan tujuan-tujuan sementara yang lebih
dekat sifatnya, memberitahukan hasil kerja yang telah dicapai, mengadakan
persaingan, merangsang pencapaian tujuan, memberi contoh yang positif.
Motivasi manusia tidak selalu timbul dengan sendirinya. Motivasi
dapat ditimbulkan, diperkembangkan dan diperkuat. Makin kuat motivasi
seseorang, makin kuat pula usahanya untuk mencapai tujuan. Demikian pula
makin orang mengetahui tujuan yang akan dia capai dengan jelas, apalagi
kalau tujuan itu ia anggap penting, makin kuat pula usaha untuk mencapainya,
makin kuat pula motivasi untuk mencapainya.
Usaha yang dapat dilakukan oleh orangtua untuk membantu anaknya
meningkatkan kemampuan motivasi diri, antara lain: memperjelas tujuan
yang akan dicapai, memperjelas pentingnya pencapain tujuan, dan
menjelaskan insentif-insentif yang akan diperoleh akibat tindakan yang
bersangkutan, mengajak anak untuk melihat ke masa depan, melihat berbagai
kemungkinan untuk berhasil di masa yang akan datang dan mampu
menggunakan kegagalan masa lampau sebagai pelajaran yang bermanfaat.
Orangtua pun perlu menyadarkan anak bahwa masa depan lebih berharga
daripada masa lampau. Dengan memiliki motivasi tinggi, dan sangat tinggi
siswi mempersiapkan masa depan sehingga menjadi masa depan yang sukses
dengan melakukan apa yang terbaik di masa sekarang. Usaha dari siswi
sendiri misalnya: merencanakan dengan teliti dan hati-hati masa depan, serta
fleksibel dalam beradaptasi dengan keadaan lingkungan yang selalu berubah.
4. Aspek mengenali emosi orang lain
a. Kemampuan mengenali emosi orang lain yang masih kurang atau belum
maksimal (sangat rendah, rendah, dan cukup)
Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa tidak ada siswi SMA yang
tinggal di asrama putri Santa Maria Malang, memiliki kemampuan yang
sangat rendah dalam mengenali emosi orang lain; yang memiliki kemampuan
mengenali emosi orang lain rendah ada 2%, dan ada 44% yang memiliki
kemampuan yang cukup dalam mengenali emosi orang lain. Masih kurangnya
(sangat rendah, rendah, cukup) kemampuan mengenali emosi orang lain
disebabkan oleh berbagai faktor antara lain : kurang memiliki sikap saling
mempercayai, kurang bersikap terbuka, kurang mempercayai perasaannya
sendiri, dan kurang meningkatkan kesadaran akan perasaan sendiri dan orang
lain.
Berbagai akibat yang timbul apabila kemampuan mengenali emosi
orang lain masih kurang (sangat rendah, rendah, dan cukup) misalnya tidak
peduli dengan perasaan orang lain, tidak mau tahu dengan keadaan orang lain,
menjadi tidak memiliki banyak teman, kurang dapat hidup bersama, ingin
menang sendiri, mudah tersinggung, sulit menyesuaikan diri.
Ada berbagai usaha yang dapat dilakukan oleh pendamping di asrama
untuk membantu meningkatkan kemampuan mengenali emosi orang lain,
antara lain: melatih siswi untuk berani mempercayai orang lain, melatih siswi
untuk bersikap terbuka, atau memberikan pelatihan atau bimbingan kelompok
dengan materi yang relevan seperti pemahaman orang lain, kerjasama, nilai-
nilai hidup, empati. Usaha yang dapat dilakukan oleh orangtua untuk
membantu anaknya dalam meningkatkan kemampuan mengenali emosi orang
lain antara lain: memberikan teladan dalam memberikan perhatian kepada
sesama anggota keluarga, memberikan bantuan kepada orang lain tanpa
diminta. Sedangkan usaha yang dapat dilakukan oleh siswi sendiri misalnya:
memberi perhatian kepada sesama teman, mau menolong orang lain yang
membutuhkan pertolongan, berusaha untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungan yang ada, mau belajar bergaul, termasuk belajar mengerti orang
lain.
b. Kemampuan mengenali emosi orang lain yang tinggi, dan sangat tinggi
Para siswi SMA penghuni asrama yang memiliki kemampuan yang
tinggi untuk mengenali emosi orang lain ada 26%, dan sangat tinggi sebanyak
28%. Apakah betul ada cukup banyak siswi yang kemampuan mengenali
emosi orang lain tinggi atau sangat tinggi? Bagi peneliti hasil ini
menimbulkan pertanyaan karena hasil penelitian menunjukkan bahwa
kemampuan siswi mengenali emosinya sendiri cenderung rendah. Bisakah
terjadi atau masuk akalkah bahwa kemampuan mengenali emosi orang lain
cenderung tinggi tetapi kemampuan mengenali emosi sendiri cenderung
rendah? Adanya sebagian siswi yang memiliki kemampuan yang tinggi dan
sangat tinggi dalam mengenali emosi orang lain boleh jadi berkaitan dengan
konsep diri siswi yang bersangkutan. Individu yang memiliki konsep diri
positip dapat menerima orang lain apa adanya, mampu memahami emosi
orang lain.
Adalah ideal jika para siswi SMA sebagai remaja memiliki
kemampuan yang tinggi atau sangat tinggi dalam mengenali emosi orang lain.
Dengan memiliki kemampuan mengenali emosi orang lain yang tinggi, dan
sangat tinggi, maka remaja dapat bereaksi secara tepat terhadap situasi yang
dihadapi, dapat lancar dalam menjalankan tugas-tugasnya, bersikap empatik,
lebih disukai oleh teman-teman dan orang dewasa lainnya baik di sekolah
maupun di asrama, mampu menerima sudut pandang orang lain, memiliki
kepekaan, dan mampu mendengarkan orang lain.
Pendamping di asrama perlu berupaya untuk mengembangkan
kemampuan siswi mengenali emosi orang lain, antara lain dengan
memberikan pendampingan baik secara pribadi maupun kelompok untuk
berlatih mengenali emosi orang lain. Cara-cara yang sederhana dan efektif
untuk mengajarkan empati kepada anak-anak antara lain adalah
mempraktekkan kebaikan secara acak (Shapiro, 2001), melibatkan anak dalam
kegiatan pelayanan masyarakat, mengikutsertakan anak dalam kegiatan-
kegiatan yang terorganisasi. Ini tidak hanya mengajari anak untuk lebih peduli
pada orang lain, tetapi juga mengajarkan keterampilan bersosialisasi. Usaha
dari orangtua untuk membantu anaknya mengenali emosi orang lain, antara
lain: memberi kesempatan kepada anak untuk bergaul dengan teman-teman
sebaya. Usaha dari siswi sendiri antara lain mau bergabung dengan orang lain,
dan belajar bersama.
5. Aspek membina hubungan
a. Kemampuan membina hubungan yang masih kurang atau belum maksimal
(sangat rendah, rendah, dan cukup)
Dalam banyak bidang pekerjaan, hubungan yang baik dengan banyak
orang sangat diperlukan dan diharapkan. Ada 2% penghuni asrama yang
memiliki kemampuan yang sangat rendah, dan rendah dalam membina
hubungan dengan orang lain, dan 72% penghuni asrama memiliki kemampuan
membina hubungan cukup. Ada berbagai faktor yang menyebabkan
kurangnya atau belum maksimalnya ( sangat rendah, rendah, dan cukup)
kemampuan siswi penghuni asrama dalam membina hubungan dengan orang
lain, antara lain: kecenderungan spontan untuk menghakimi, menilai,
membenarkan atau menolak pesan-pesan yang disampaikan oleh lawan
komunikasi.
Ada berbagai usaha yang dapat dilakukan oleh pendamping di asrama,
seperti: memberikan bimbingan kelompok dengan topik komunikasi,
kerjasama, memberi kesempatan kepada para siswi untuk mengikuti kegiatan-
kegiatan baik di sekolah maupun di masyarakat, mengadakan
lomba/pertandingan antar asrama. Usaha yang dapat dilakukan oleh orangtua
untuk membantu anaknya mengembangkan kemampuan membina hubungan
dengan orang lain, antara lain: memberikan dorongan kepada anaknya untuk
mengikuti organisasi yang ada di lingkungannya, memberikan kesempatan
kepada anak untuk bermain bersama teman-temannya. Sedangkan usaha dari
siswi sendiri misalnya sanggup mempercayai perasaannya sendiri dan
perasaan orang lain, bersikap terbuka.
b. Kemampuan membina hubungan yang tinggi,dan sangat tinggi
Delapan belas persen (18%) siswi SMA memiliki kemampuan
membina hubungan yang tinggi, dan 6% memiliki kemampuan membina
hubungan yang sangat tinggi. Berikut ini beberapa kemungkinan yang dapat
mempengaruhi tingginya, kemampuan memahami emosi orang lain, adalah
adanya sikap saling mempedulikan, memiliki keyakinan bahwa yang
dikerjakan atau diungkapkan tentang dirinya akan ditanggapi oleh orang lain
dengan cara-cara yang nonevaluatif dan penuh penerimaan. Untuk
membangun hubungan yang lebih erat dan memuaskan dengan orang lain,
orang lain harus merasa bahwa kita menerima mereka tanpa syarat dan tanpa
penilaian. Salah satu kunci dalam membina hubungan adalah saling memberi
dan menerima (Stein dan Book, 2002). Individu yang memiliki kecakapan
ini akan mampu menjalin hubungan, dan mampu menempatkan diri dalam
suatu kelompok.
Menurut Goleman (2002) individu yang memiliki kemampuan yang
tinggi atau sangat tinggi dalam membina hubungan dengan orang lain akan
lebih baik dalam menyelesaikan persoalan yang timbul dalam hubungan
dengan orang lain, lebih bertenggang rasa dan dibutuhkan oleh teman-
temannya, berani berbicara di depan umum, lebih suka berbagi rasa.
Ada berbagai usaha yang dapat dilakukan oleh pendamping di asrama
untuk membantu lebih meningkatkan kemampuan membina hubungan dengan
orang lain, misalnya memberikan bimbingan kelompok dengan topik-topik
yang relevan seperti cara-cara mengatasi konflik, mengembangkan
keterbukaan. Usaha dari orangtua untuk membantu anaknya antara lain:
menunjukkan kehangatan dan rasa suka atau senang, mendengarkan dengan
penuh pemahaman artinya memahami aneka pikiran, perasaan, dan reaksi
anak dari sudut pandang anak. Usaha dari siswi sendiri misalnya mau
menerima orang lain apa adanya, tidak mudah menilai orang lain, mau
berpikir positif tentang orang lain.
Baik pendamping, orangtua, maupun siswi itu sendiri harus tetap
berupaya mengembangkan kemampuan membina hubungan.
BAB V
USULAN TOPIK-TOPIK BIMBINGAN KELOMPOK
DAN CONTOH SATUAN PELAYANAN BIMBINGAN
DI ASRAMA PUTRI SANTA MARIA MALANG
SEBAGAI IMPLIKASI HASIL PENELITIAN
Dalam bab ini disajikan usulan topik-topik bimbingan kelompok dan contoh
Satuan Pelayanan Bimbingan untuk membantu meningkatkan kecerdasan emosional
siswi SMA penghuni asrama putri Santa Maria Malang sebagai implikasi hasil
penelitian. Topik-topik yang diusulkan mengacu pada tingkat kecerdasan emosional
penghuni asrama putri Santa Maria Malang tahun ajaran 2003/2004.
A. Usulan Topik-topik Bimbingan Kelompok untuk Penghuni Asrama Putri
Santa Maria Malang
Setelah mempelajari hasil penelitian, penulis menyusun usulan topik-topik
bimbingan kelompok yang sesuai untuk mengembangkan kecerdasan emosional
para siswi SMA penghuni asrama putri Santa Maria Malang. Usulan topik-topik
bimbingan kelompok disusun dengan tidak membuat urutan per kelas atau tingkat
tertentu, karena dalam prakteknya, di asrama tidak ada penggolongan tingkat atau
kelas.
Usulan topik-topik bimbingan kelompok yang disusun dengan mengacu pada
aspek kecerdasan emosional, dapat dilihat dalam tabel 7.
B. Contoh Satuan Pelayanan Bimbingan.
Berikut ini penulis menyajikan satu contoh Satuan Pelayanan Bimbingan,
yaitu persiapan tertulis yang dibuat sebelum pelayanan.
SATUAN PELAYANAN BIMBINGAN
A. Topik Bimbingan : Perasaan
B. Bidang Bimbingan : Pribadi – Sosial
C. Jenis Layanan : Bimbingan Kelompok
D. Fungsi Layanan : Pemahaman, Pengembangan, dan Pencegahan
E. Tujuan Umum : Agar peserta semakin mampu menyadari, mengakui, dan
mengolah perasaan-perasaan yang muncul dalam
dirinya. F. Tujuan Khusus : Setelah mengikuti kegiatan ini peserta dapat:
1. Spesifik :
a. Menyebutkan macam-macam perasaan yang pernah dialami.
b. Menjelaskan pentingnya mengungkapkan perasaan.
2. Global :
Menuliskan manfaat (perubahan yang terjadi dalam dirinya) yang diperoleh
dengan mengikuti kegiatan yang direncanakan.
G. Sasaran Pelayanan Bimbingan : Penghuni asrama putri Santa Maria Malang.
H. Materi Pelayanan Bimbingan :
1. Macam-macam perasaan yang pernah dialami.
2. Pentingnya mengungkapkan perasaan.
I. Metode kegiatan, dan langkah-langkah:
1. Metode kegiatan : Ceramah, Tanya jawab, Sharing (berbagi
pengalaman).
2. Langkah-langkah dan kegiatan:
No Intrakurikuler Kokurikuler
Pembimbing Peserta. 1. Memberi pengantar singkat
tentang maksud dan tujuan
kegiatan.
Mendengarkan.
2. Membagikan daftar perasaan, dan
meminta peserta untuk mengenali
perasaan yang pernah dialami.
Kemudian peserta diminta untuk
menjawab pertanyaan refleksi :
“Ada apa atau apa yang terjadi
sehingga Anda mengalami
perasaan yang bersangkutan?”
Mengerjakan
3. Meminta peserta untuk memilih
teman akrab berdua-dua dan saling
menceritakan perasaannya masing-
masing yang pernah dialami
termasuk kejadian yang terkait.
Memilih teman
4. Menjelaskan pentingnya
mengungkapkan perasaan dan
pentingnya perasaan.
Mendengarkan
5. Memberikan kesempatan kepada
peserta untuk bertanya dan
memberikan balikan,
Bertanya
6. Bersama peserta menyimpulkan
dan menutup kegiatan.
Ikut serta
Peserta diminta
untuk
merefleksikan
pengalaman yang
didapat dari
kegiatan ini dan
menuliskan
manfaatnya dalam
buku pribadi serta
mempraktekkannya
dalam kehidupan
sehari-hari.
J. Tempat : Aula
K. Waktu Penyelenggaraan : 90 menit
L. Penyelenggara Pelayanan : Pembimbing
M. Pihak-pihak yang Disertakan dalam Penyelenggaraan Pelayanan dan Peranannya
Masing-masing : -
N. Alat : Lembar kerja
O. Evaluasi :
1. Spesifik :
a. Sebutkanlah macam-macam perasaan yang pernah Anda alami!
b. Jelaskanlah pentingnya mengungkapkan perasaan!
2. Global :
Tuliskanlah manfaat ( perubahan yang terjadi dalam dirinya ) yang Anda
peroleh dengan mengikuti kegiatan yang direncanakan ini.
P. Rencana Tindak Lanjut : -
Q. Catatan Khusus : -
R. Sumber :
1. Powell, J. 1979. Rahasia Cinta Lestari. Jakarta: CLC.
2. Powell, J dan Brandy, L. 1991. Tampilkan Jati Dirimu. Yogyakarta: Kanisius.
3. Sinurat, R.H.Dj. 1999. Reader Mata Kuliah Komunikasi Antarpribadi.
Yogyakarta: Prodi Bimbingan dan Konseling FKIP Universitas Sanata
Dharma.
Yogyakarta,…………..
Perencana pelayanan
……………………….
Hand Out
Pentingnya mengungkapkan perasaan:
Salah satu segi paling membahagiakan dalam berkomunikasi dengan orang lain
adalah kesempatan untuk saling berbagi perasaan. Mengalami suatu perasaan dan
mengungkapkannya kepada orang lain bukan saja merupakan sumber kebahagiaan,
melainkan juga merupakan salah satu kebutuhan demi kesehatan psikologis. Dengan
mengalami saling berbagi perasaan, kita menciptakan dan mempertahankan
persahabatan yang intim dengan sesama.
DAFTAR PERASAAN
Yang manakah dari antara perasaan-perasaan yang berikut ini yang pernah
Anda alami? Berilah tanda cek (√ ) pada perasaan yang pernah Anda alami! Apa yang
terjadi sehingga timbul perasaan itu?
Akrab Apatis Patah hati Terpukul Antusias Antipati Tertipu Tak enak Bahagia Asing Tabah Tertekan Bebas Benci Terpesona Terpaksa Bergairah Bingung Tenang Tak sampai Bangga Bengong Terhibur Takmampu Bersukaria Bosan Sabar Tersinggung Cocok Berat Simpati Tergerak Cinta Berkabung Jengkel Tersiksa Diakui Berdosa Iri Tak krasan Damai Curiga Sebal Terganggu Enak Cemburu Terancam Pilu Geli Canggung Panik Terpojok Kagum Diabaikan Prihatin Tercekam Kerasan Dihina Lesu Tak sabar Lega Dendam Kecil hati Tak berdaya Mantap Sebatang kara Muak Tegang Nyaman Kehilangan Ngeri Terganggu Nikmat Kasihan Patah hati Tersisih Optimis Heran Segan Terpojok Pantas Hambar Lemah Tertarik Puas Hancur Ragu-ragu Terikat Penuh harapan Gagal Pasrah Tersipu-sipu Riang/gembira Kesal Rendah diri Tercenggang Santai Kesepian Merana Duka
BAB VI
RINGKASAN, KESIMPULAN, DAN SARAN-SARAN
Bab ini berisi ringkasan, kesimpulan, dan saran-saran. Bagian ringkasan
memuat rumusan masalah, metodologi penelitian, dan hasil penelitian. Bagian
kesimpulan memuat kesimpulan dari penelitian. Bagian saran-saran memuat saran-
saran untuk pihak asrama putri Santa Maria Malang dan bagi peneliti lain.
A. Ringkasan
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tingkat kecerdasan emosional
penghuni asrama putri santa Maria Malang tahun ajaran 2003/2004 dan
implikasinya terhadap usulan topik-topik bimbingan kelompok. Pertanyaan yang
dijawab dalam penelitian ini adalah: (1) Seberapa tinggikah masing-masing aspek
kecerdasan emosional siswi SMA penghuni asrama putri Santa Maria Malang
tahun ajaran 2003/2004? (2) Manakah topik bimbingan yang sesuai bagi para
siswi SMA penghuni asrama putri Santa Maria Malang, untuk mengembangkan
kecerdasan emosionalnya?
Penelitian ini termasuk penelitian deskripsi dengan metode survei. Subyek
penelitian adalah remaja putri penghuni asrama putri Santa Maria Malang yang
berjumlah 50 orang. Mereka terdiri dari siswi SMA kelas I: 29 orang, dan kelas
II: 21 orang. Usia mereka terentang antara 15-18 tahun. Pengumpulan data
dilakukan pada hari Minggu, tanggal 25 April 2004.
Instrumen penelitian adalah kuesioner yang disusun oleh penulis sendiri
dengan mengambil inspirasi dari pendapat Goleman (2002) tentang emotional
intelligence. Alat tersebut memuat 5 aspek kecerdasan emosional, yaitu: (1)
mengenali emosi diri, (2) mengelola emosi, (3) memotivasi diri sendiri, (4)
mengenali emosi orang lain, (5) membina hubungan.
Teknis analisis data yang ditempuh untuk menggolongkan tingkat kecerdasan
emosional penghuni asrama putri Santa Maria Malang, menggunakan rumus
Penilaian Acuan Patokan tipe 1 (PAP tipe 1).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa, penghuni asrama putri Santa Maria
Malang tahun ajaran 2003/2004: (1) yang memiliki kemampuan mengenali emosi
yang: sangat rendah 6%, rendah 30%, cukup 64%, tinggi 0%, dan yang sangat
tinggi 0%, (2) yang memiliki kemampuan mengelola emosi yang sangat rendah
0%, rendah 16%, cukup 60%, tinggi 24%, dan sangat tinggi 0%, (3) yang
memiliki kemampuan memotivasi diri sendiri yang sangat rendah 4%, rendah
24%, cukup 58%, tinggi 14%, sangat tinggi 0%, (4) yang memiliki kemampuan
mengenali emosi orang lain yang sangat rendah 0%, rendah 2%, cukup 44%,
tinggi 26%, dan sangat tinggi 28%, (5) yang memiliki kemampuan membina
hubungan yang sangat rendah 2%, rendah 2%, cukup 72%, tinggi 18%, sangat
tinggi 6%.
Topik-topik bimbingan untuk meningkatkan kecerdasan emosional di asrama
antara lain: peranan kecerdasan emosional; pembukaan diri, memberi nama
perasaan, pengungkapan perasaan; perasaan; akibat yang timbul bila perasaan
tidak diungkapkan; komunikasi, pemahaman dan penerimaan diri; pengembangan
konsep diri yang positif; persahabatan; aku dan keluargaku; motivasi berprestasi;
kerjasama; merencanakan masa depan.
B. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat ditarik berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan
adalah tingkat kecerdasan emosional siswi SMA penghuni asrama putri Santa
Maria Malang kelas I dan II tahun ajaran 2003/2004 belum setinggi yang
diharapkan, sehingga masih perlu ditingkatkan.
C. Saran-saran
Berikut ini dikemukakan saran-saran untuk berbagai pihak:
1. Badan Sosial Santa Perawan Maria dan Pemimpin asrama
a. Badan Sosial Santa Perawan Maria dan para pimpinan asrama hendaknya
memberikan perhatian pada pengembangan kecerdasan emosional para
penghuni asrama.
b. Mengingat banyaknya tanggung jawab yang dibebankan kepada pimpinan
asrama, kiranya perlu disediakan seorang tenaga profesional dalam bidang
bimbingan dan konseling. Tenaga profesional ini bertugas memberikan
bimbingan kepada para penghuni asrama.
c. Topik-topik bimbingan kelompok yang diusulkan dapat digunakan sebagai
acuan pelaksanaan bimbingan kelompok khususnya untuk meningkatkan
kecerdasan emosional.
2. Peneliti lain
Mengingat pentingnya kecerdasan emosional, diharapkan peneliti lain mau
mengembangkan penelitian yang lebih mendalam tentang masing-masing
aspek kecerdasan emosional.
DAFTAR PUSTAKA
Albin, R.S. 1983. Emosi: Bagaimana Mengenal, Menerima dan
Mengarahkannya. Yogyakarta: Kanisius.
Arikunto, Suharsimi. 2002. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi
Aksara.
Azwar, S. 2003. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Cooper, RK. dan A. Sawaf. 1998. Excecutive EQ: Kecerdasan Emosional dalam
Kepemimpinan Organisasi. Jakarta: Gramedia.
Cox, Gill, dan Sheila Dainow. 1986. Kembangkan Diri Anda Sepenuhnya.
Jakarta: Arcan.
Depdikbud. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Furchan, Arief. 1982. Pengantar Penelitian dalam Pendidikan. Surabaya: Usaha
Nasional.
Gea Atosakhi Antonius, Antonina Panca Yuni Wulandari, dan Yohanes Babari.
2002. Modul Character Building I. Relasi dengan Diri Sendiri.
Jakarta: Gramedia.
Goleman, Daniel. 2001. Working With Emotional Intelligence. Kecerdasan Emosi
untuk Mencapai Puncak Prestasi. (Terjemahan). Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
____________ 2002. Emotional Intelligence. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Gottman, J. dan De Claire, J. 2003. Kiat-kiat Membesarkan Anak yang Memiliki
Kecerdasan Emosional. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Gunarsa, S.Y. dan Gunarsa, D.S. 1990. Psikologi Remaja. Jakarta: BPK Gunung
Mulia.
Hall, Calvin S, dan Gardner Lindzey. 1993. Psikologi Kepribadian 2, Teori-Teori
Holistik (Organismik Fenomenologis). Editor: Supratiknya, A.
Yogyakarta: Kanisius.
Handoko, Martin. 1992. Motivasi Daya Penggerak Tingkah Laku. Yogyakarta:
Kanisius.
Hartyana. 2002. Studi Deksriptif Tentang Kecerdasan Emosi Pada Siswa Kelas II
SMU Kolese De Britto Di Yogyakarta. Yogyakarta: Fakultas
Psikologi Universitas Sanata Dharma.
Howard, E, Steven, J. 2002. Ledakan EQ; 15 Prinsip Dasar Kecerdasan
Emosional Meraih Sukses. Bandung: Kaifa.
Hurlock, E.B.1994. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang
Rentang Kehidupan (Terjemahan). Jakarta: Erlangga.
Konstitusi Suster-Suster Santa Perawan Maria. 1984. Hasil Keputusan Kapitel
Umum Kongregasi Suster-suster Santa Perawan Maria di Amersfoort
dan disyahkan di Roma tanggal 29 Maret 1988.
Laporan Pelaksanaan Bidang Karya, Persatuan Santa Perawan Maria di Indonesia,
Periode 1984-1988.
Mangunhardjana, A. M. 1986. Pendampingan Kaum Muda, Sebuah Pengantar.
Yogyakarta: Kanisius.
Mappiare, Andi. 1982. Psikologi Remaja. Surabaya: Usaha Nasional.
Masidjo, Ign. 1995. Penilaian Pencapaian Hasil Belajar Siswa di Sekolah.
Yogyakarta: Kanisius.
Moedjanto, G. 1992. (ED). Tantangan Kemanusiaan Universal. Yogyakarta:
Kanisius.
Monks F. J, A. M. P. Knoers, Siti Rahayu Haditono. 1994. Psikologi
Perkembangan, Pengantar dalam Berbagai Bagiannya: Gajah Mada
University Press.
Nggermanto, Agus. 2002. Quantum Quotient. Kecerdasan Quantum. Bandung:
Nuansa.
Patton, P. 1998. EQ ( Emotional Intelligence) di Tempat Kerja. Jakarta: Pustaka
Delapratasa.
Pedoman Penulisan Skripsi Universitas Sanata Dharma. 1998. Yogyakarta:
Universitas Sanata Dharma.
Prasetya, Tembong. 2003. Pola Pengasuhan Ideal. Jakarta: Elex Media
Komputindo.
Sarwono, Sarlito Wirawan. 1998. Psikologi Remaja. Jakarta: Raja Grafindo.
Segal, Jeanne. 2000. Melejitkan Kepekaan Emosional. Bandung: Kaifa.
Schultz, Duane. 1991. Psikologi Pertumbuhan, Model-Model Kepribadian Sehat.
Yogyakarta: Kanisius.
Shapiro, L.E. 2001. Mengajarkan Emotional Intelligence Pada Anak. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Sinurat, R. H. Dj. 1999. Reader Mata Kuliah Komunikasi Antar Pribadi.
Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.
_____________.2002. Konsep Diri dan Pengembangannya (Hand
out)..Yogyakarta: Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata
Dharma.
Slameto. 1990. Perspektif Bimbingan Konseling dan Penerapannya di Berbagai
Institusi. Semarang: Satya Wacana.
Stein, Steven. J. dan Howard E. Book, E. 2002. Ledakan EQ- 15 Prinsip dasar
Kecerdasan Emosional Meraih Sukses. Bandung: Kaifa.
Suparno, Paul. 2004. Teori Inteligensi Ganda dan Aplikasinya di Sekolah.
Yogyakarta: Kanisius.
Supratiknya, A. 1997. Komunikasi Antar Pribadi. Yogyakarta: Kanisius.
Wijokongko, M. 1997. Keajaiban dan Kekuatan emosi. Yogyakarta: Kanisius.
Winkel, W. S. 1997. Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan. Jakarta:
Gramedia Widiasarana.