Desentralisasi Pendidikan Melalui Undang

4
DESENTRALISASI PENDIDIKAN MELALUI UNDANG-UNDANG OTONOMI DAERAH A. PENDAHULUAN Pemberlakuan undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintah otonomi daerah mengisyaratkan kepada kita semua mengenai kemungkinan2 pengembangan suatu wilayah dalam suasana yang lebih kondusif dan dalam wawasan yang lebih demokratis. Termasuk pula didalamnya, berbagai kemungkinan pengelolaan dan pengembangan bidang pendidikan. Pemberlakuan undanang-undang tersebut menuntut adanya perubahan pengelolaan pendidikan dari yang bersifat sentralistik kepada yang lebih bersidat desentralistik. Tllar bahkan mempertegas bahwa destralisasi pendidikan merupakan suatu keharusan. Menerutnya, ada tiga hal yang berkaitan dengan urgensi desentralisasi pendidikan. Ketiga hal tersebut adalah (a) pembangunan masyarakat demokrasi, (b) pengembangan socila capital, dan (c) peningkatan daya saing bangsa((H.A.R Tilar. Membenahi pendidikan nasional. (jakarta: Renika Cipta, 2002) hlm. 20.)). Ketiga hal tersebut sudah lebih dari cukup untuk dijadikan alasan mengapa desentralisasi pendidikan harus dilakukan oleh bangsa indonesia. Ketika bendungan kekuasaan negara orde baru (NOB) yang sangat bersifat hegemonik otoritarianisme tersebut hancur, kita bisa membayangkan , kemana arah air tersebut “muncrat” atau mengalir? Sistem pemerintahan NOB yang sangat sentralistik tersebut, tiba- tiba, karena alasan tertentu, lalu berubah menjadi desentralistik. Pada kenyataannya , kita akan menemukan berbagai sikap yang ditunjukkan oleh pemerintah daerah, ada yang tidak terkendali, ada yang mengalir deras sehingga membuat jalur aliran tersendiri, ad ayang mengalir damai pada jalurnya, dan lain sebgainya. Pemerintah pusat, sebagai pihak eksekutif, yang di tegaskan DPR RI untuk menjalankan undang-undang otonomi di atas, berusaha agar tidak dapat daerah yang menyikapi kondisi ini, secara liar tak terkendali, atau mengalir dengan derasnya di luar jalur yang ada sehingga menghantam habis setiap rintangan. Kondisi yang dijelaskan terakhir , sering disebut dengan istilah reformasi yang “kebablasan”/ Kalau mau jujur dengan diri sendiri, sebenarnya, masih banyak daerah di indonesia ini yang tidak mau atau belom siap untuk menerima kewewenangan , termasuk menjalankan kewenangan bidang

description

sharing

Transcript of Desentralisasi Pendidikan Melalui Undang

Page 1: Desentralisasi Pendidikan Melalui Undang

DESENTRALISASI PENDIDIKAN MELALUI UNDANG-UNDANG OTONOMI DAERAH

A. PENDAHULUAN

Pemberlakuan undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintah otonomi daerah mengisyaratkan kepada kita semua mengenai kemungkinan2 pengembangan suatu wilayah dalam suasana yang lebih kondusif dan dalam wawasan yang lebih demokratis. Termasuk pula didalamnya, berbagai kemungkinan pengelolaan dan pengembangan bidang pendidikan. Pemberlakuan undanang-undang tersebut menuntut adanya perubahan pengelolaan pendidikan dari yang bersifat sentralistik kepada yang lebih bersidat desentralistik.

Tllar bahkan mempertegas bahwa destralisasi pendidikan merupakan suatu keharusan. Menerutnya, ada tiga hal yang berkaitan dengan urgensi desentralisasi pendidikan. Ketiga hal tersebut adalah (a) pembangunan masyarakat demokrasi, (b) pengembangan socila capital, dan (c) peningkatan daya saing bangsa((H.A.R Tilar. Membenahi pendidikan nasional. (jakarta: Renika Cipta, 2002) hlm. 20.)). Ketiga hal tersebut sudah lebih dari cukup untuk dijadikan alasan mengapa desentralisasi pendidikan harus dilakukan oleh bangsa indonesia.

Ketika bendungan kekuasaan negara orde baru (NOB) yang sangat bersifat hegemonik otoritarianisme tersebut hancur, kita bisa membayangkan , kemana arah air tersebut “muncrat” atau mengalir? Sistem pemerintahan NOB yang sangat sentralistik tersebut, tiba-tiba, karena alasan tertentu, lalu berubah menjadi desentralistik. Pada kenyataannya , kita akan menemukan berbagai sikap yang ditunjukkan oleh pemerintah daerah, ada yang tidak terkendali, ada yang mengalir deras sehingga membuat jalur aliran tersendiri, ad ayang mengalir damai pada jalurnya, dan lain sebgainya. Pemerintah pusat, sebagai pihak eksekutif, yang di tegaskan DPR RI untuk menjalankan undang-undang otonomi di atas, berusaha agar tidak dapat daerah yang menyikapi kondisi ini, secara liar tak terkendali, atau mengalir dengan derasnya di luar jalur yang ada sehingga menghantam habis setiap rintangan. Kondisi yang dijelaskan terakhir , sering disebut dengan istilah reformasi yang “kebablasan”/

Kalau mau jujur dengan diri sendiri, sebenarnya, masih banyak daerah di indonesia ini yang tidak mau atau belom siap untuk menerima kewewenangan , termasuk menjalankan kewenangan bidang pendidikan ini. Alsan yang sering terdengar yang digunakan oleh daerah tersebut, diantaranya, (a) suber daya manusia(SDM) mereka belum memadai (b) sarana dan prasarana mereka belum tersedia, (c) anggaran pendaptan hasil daerah (PAD) meraka sangat rendah, secara psikologis, mental meraka terhadap sebuah perubahan belum siap, (e) mereka juga gamang atau takut terhadap upaya pembaruan.

B. PERMASALAHAN

Dengan memerhatikan latar belakang di atas, dapat dirumuskan berbagai pertanyaan permasalahnan berikut ini .

1. Mengapa masih terdapat beberapa daerah (pemerintah provinsi/kota/kabupaten) yang belum siap menerima desentralisasi pendidikan ?

2. Bagaimana pemerintah provinsi/kota/kabupaten menyikapi konsep desentralisasi pendidikan ini?

Page 2: Desentralisasi Pendidikan Melalui Undang

3. Masih berapa besarkah keinginan pemerintah pusat mempertahankan wewenang di dunia pendidikan ini?

4. Apakah dampak yang ditimbulkan dari kebijaksanaan desentralisasi pendidikan ini?C. REALITAS DILAPANGAN

Setelah memperhatikan permasalahan yang telah di rumuskan di atas, berikut ini merupakan upaya untuk menjawab permasalahn tersebut.

1. Kesiapan daerahSecara empiris dan realitas lapangan, harus diakui bahwa masih terdapat daerah tertentu yang belum siap menerima dari kewenangan pemerintah pusat, khususnya dalam bidang pendidikan ini. Pada bagian latar belakang telah dijelaskan berbagai kemungkinan yang menyebabkan daerah tertentu belum siap menerima desentralisasi pendidikan ini.a. Sumber daya manusia (sdm) belum memadai. Maksud sdm yang kurang itu

berhubungan dengan kuantitas dan juga kualitas. Terdapat daerah tertentu yang kualitas sdm-nya belum dapat dengan baik memahami, menganalisi, serta mengaplikasikan konsep desentralisasi pendidikan ini. Demikian pula halnya yang berkaitan dengan kuantitas atau jumlah sdm yang ada. Daerah tentu melihat bahwa dari segi jumlah sdm mereka masih sangat terbatas. Kalaupun ada yang telah menyelesaikan program magisternya, jumlahnya tidak mencukupi atau tidak memadai.

b. Sarana dan prasarana belum tersedia secara cukup dan memadai, hal ini berhubungan erat dengan ketersediaan dana yang ada di setiap daerah. Selama ini, mungkin daerah-daerah tertentu asyik dan terlena dengan sistem dropping yang di terapkan oleh pemerintah pusat. Mereka sangat terkejut (future shock) ketika tiba-tiba memperoleh kewenangan untuk mengelola secara mandiri sebagian besar urusan pendidiakn di daerahnya. Untuk itu, mereka belom siap dengan segala bentuk sarana dan prasarana yang di perlukan. Jika dalam waktu singkat mereka dipersyaratkan untuk melengkapi segala sarana dan prasarana tersebut, mereka akan mengalami kesulitan besar. Kecuali, jika pemerintah masih bersedia membantu atau menyediakan segala bentuk sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk mengimplementasikan kebijakan desentralisasi pendidikan tersebut.

c. Anggaran pendapatan daerah (pad) mereka sangat rendah. Beberapa daerah yang selama ini kita kenal dengan daerah tertinggal, merasa keberatan untuk langsung menerima beban kewenangan kebijakan desentralisasa pendidikan ini. Pembiyaan penmbangunan yang mereka lakukan selama ini banyak di tunjang oleh pusat atau provinis. Pendapatan asli daerah (pad) mereka tergolong masih rendah. Oleh karena itu , jika kemungkinan, mereka masih berharap dapat di beri kesmpatan untuk menunda pengimplementasian kebijakan tersebut di daerah meraka. Bila kemungkinan mereka dapat bekerja sama dengan pemerintah daerah lainnya yang memiliki pad yang lebih besar, yang membuat mereka bisa mendapatkan sistem subsidi silang .

d. Secara psikologis, mental mereka yang belom siap menghadapi perubahan. Perubahan sebuah kebiscayaan. Namun, tidak semua orang memiliki pandangan dan sikap yang sama terhadap sebuah perubahan. Sebagian di antara mereka melihat perubahan sebagai sesuatu yang samar-samar, tidak jelas, tidak pasti, bahkan sesuatu yang mengkhawitrkan . hal ini tidak tertup akan terjadi pada sebagian aparat atau masyarakat

Page 3: Desentralisasi Pendidikan Melalui Undang

di daerah tertentu. Ketakutan akan masa depan yang diakibatkan oleh perubahan yang terjadi, membuat mereka tidak siap secara mental menghadapimperubahan tersebut.

e. Mereka juga gamang atau takut terhadap upaya perubahan. Salah satu bentuk perubahan yang sering dipakai yaiy=tu upaya pembaruan. Pembaruan dalam bidang pendidikan saat ini kita kenal denga sebutan pembaruan kurikulum. Setiap kali terjadi pembaruan kurikulum, para guru kembali disibukkan dengan berbagaikegiatan seperti penataran, uji coba model, uji coba mekanisme, sosialisasi kurikulum, dan sebagainya. Semuanya itu di tangkap oleh sebagian personil guru kita sebagai sebuah mala petaka atau setidaknya bebean yang cukup berat bagi mereka.

2. Sikap daerahBerbagai sikap yang dipresentasikan oleh beberapa pemda dalam menghadapi implementasi kebijakan desentralisasi pendidikan, diantaranya sebagai berikut.a. Sebagian diantara mereka menunjukkan kegembiraan karena hal itu sudah lama mereka

tunggu-tunggu.b. Ada pula yang menyikapi kebijakan itu dengan biasa-biasa saja. Mereka menganggap

konsep desentralisasi merupakan sebuah konsekuensi dari perubahan sistem politik/pemerintah.

SAM M. CHAN TUTI T. SAM KEBIJAKAN PENDIDIKAN ERA OTONOMI DAERAH. JAKARTA. PT RAJAGRAFINDO PERSADA. 2005