Desentralisasi fiskal di indonesia : Permasalahan dan Pencapaian
-
Upload
isnu-rahadi-wiratama -
Category
Education
-
view
2.468 -
download
0
Transcript of Desentralisasi fiskal di indonesia : Permasalahan dan Pencapaian
1 | P a g e
DESENTRALISASI FISKAL di INDONESIA:
PENCAPAIAN dan PERMASALAHAN
Fiscal Desentralization in Indonesia : Achievement and it’s problems
Isnu Rahadi Wiratama (7A Reguler/20)
STAN,Tangerang Selatan, [email protected]
Abstrak- Era baru desentralisasi fiskal di Indonesia dimulai setelah reformasi 1998.
Daerah diberikan kewenangan untuk mengelola keuangannya masing-masing. Harapannya adalah, penggunaan sumber daya yang terbatas akan efisien dan efektif serta
mengurangangi ketidakseimbangan vertikal yang pada akhirnya mampu meningkatkan pelayanan publik. Hal ini karena Pemerintah Daerah dianggap sebagai pihak yang paling tahu akan kebutuhan masing-masing. Namun demikian dalam pelaksanaannya
timbul berbagai permasalahan seperti masalah pengelolaan belanja daerah, korupsi, fenomena daerah kaya dan daerah miskin, dan lainnya. Permasalahan-permasalahan
tersebut timbul salah satunya karena sumber daya yang dimiliki tiap daerah berbeda. Kata Kunci : Desentralisasi Fiskal, IPM, PDB, Pertumbuhan Ekonomi Abstract- The new era of fiscal decentralization in Indonesia began after the reform of
1998. The local goverment is given the authority to manage its finances respectively . The hope is, the use of limited resources efficiently and effectively and reduce vertical
imbalance which in turn can improve public services. However, in practice arises various problems such as the problem of managing expenditure, corruption, the phenomenon of rich areas and poor areas, and more. The problems arise because of the availability
resources of each area is different. Keyword :Fiscal Desentralization, HDI, PDB, Economic Growth
A. PENDAHULUAN
Babak baru era desentralisasi di
Indonesia dimulai setelah reformasi tahun
1998 dengan ditandai dikeluarkannya
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah dan
Undang-Undang No. 25 Tahun 1999
tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Daerah. Menurut
Yustika (2008), sebagaimana dikutip
Sampurna (2011), mengemukakan bahwa
tuntutan adanya sebuah model
desentralisasi muncul karena dua alasan
utama. Pertama, secara substantif wilayah
Indonesia yang begitu luas dengan
jumlah penduduk yang besar, beragam,
dan aspirasi politik yang berlainan
menyebabkan sangat sulit untuk dikelola
dengan model sentralistik. Alasan kedua
berhubungan dengan perubahan politik
yang sangat cepat pada awal reformasi
menyebabkan apa saja yang dianggap
sebagai warisan Orde Baru, termasuk di
dalamnya kekuasaan yang sentralistik,
harus dirubah dan digantikan dengan
model baru.
Kemudian penelitian Tim Peneliti
Fisipol UGM yang dikutip Sampurna
(2011) menemukan alasan mengapa
Desentralisasi menjadi penting untuk
2 | P a g e
diterapkan di Indonesia. Beberapa alasan
tersebut adalah :
Semakin langkanya sumber daya
yang dimiliki oleh pemerintah pusat
untuk menyelenggarakan pelayanan
publik dan pembangunan;
Mengurangi ketergantungan pada
pemerintah pusat dalam pelaksanaan
pembangunan;
Banyak sumber pendapatan daerah
yang besar dikelola oleh pemerintah
tingkat provinsi bahkan pungutan
pada level pemerintah propinsi lebih
besar daripada subsidi yang diberikan
kepada kabupaten dan kota.
Bentuk desentralisasi yang
dilakukan salah satunya adalah
desentralisasi fiskal yang ditandai dengan
dialokasikannya Dana Alokasi Umum
(DAU) dan Dana Bagi Hasil (DBH) dari
hasil sumber daya alam yang berada di
daerah yang bersangkutan, dan
diberikannya kewenangan memungut
pajak daerah kepada pemerintah daerah
agar dapat melaksanakan fungsi-fungsi
yang didesentralisasikan.
Kemudian pada tahun 2001,
dikeluarkan Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus
Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh
Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam dan Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus
Provinsi Papua. Dalam perspektif
transfer keuangan dari pusat, Implikasi
dari diberlakukannya Undang-Undang
tersebut adalah adanya tambahan transfer
dari pemerintah pusat bagi daerah
tersebut berupa Dana Otonomi Khusus.
Selanjutnya pada tahun 2004
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999
mengalami amandemen melalui Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan
Undang-Undang No. 25 Tahun 1999
mengalami amandemen dengan
dikeluarkannya Undang-Undang No. 33
tahun 2004 yang membawa implikasi
bahwa basis bagi hasil pajak dari sumber
daya alam yang dimiliki daerah akan
semakin besar sehingga memperbesar
total dana yang menjadi sumber DAU.
Total belanja pemerintah propinsi,
kota, dan kabupaten di seluruh Indonesia
yang tertuang dalam APBD pada tahun
2014 mencapai 855 Trilyun, dengan total
pendapatan sebesar 796 Trilyun, dimana
60% dari pendapatan atau sebesar 481
Trilyun berasal dari dana perimbangan
pemerintah pusat. Dari jumlah tersebut,
403 Trilyun merupakan dana
perimbangan yang diterima pemerintah
kabupaten/kota dan berkontribusi sebesar
73% bagi penerimaan pemerintah
kabupaten/kota. Artinya, dana
perimbangan yang diterima pemerintah
kota/kabupaten merupakan sumber
pendapatan utama bagi kota/kabupaten di
3 | P a g e
Indonesia. Namun demikian, walaupun
dana perimbangan yang diberikan sudah
cukup besar, hasil evaluasi efektifitas
pelaksanaan otonomi daerah yang
dilakukan oleh Bappenas pada tahun
2011, sebagaimana dikutip oleh oswar
(2011), menunjukkan bahwa pelaksanaan
otonomi daerah belum mencapai tujuan
yang hakiki dari otonomi daerah yaitu
meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Bahkan pada awal tahun 2015 gubernur
Kalimantan Timur menuntut diberikan
otonomi khusus agar permasalahan-
permasalahan yang terjadi didaerahnya
dapat terselesaikan.
Oleh sebab itu, dalam makalah ini
akan dibahas mengenai pencapaian dan
permasalahan yang timbul sehubungan
dengan pelaksanaan Desentralisasi
Fiskal.
B. TINJAUAN PUSTAKA
1. Pengertian Desentralisasi Fiskal
Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah, desentralisasi diartikan sebagai
penyerahan kewenangan pemerintah oleh
Pemerintah Pusat kepada Daerah Otonom
untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Desentralisasi merupakan sebuah alat
untuk mencapai salah satu tujuan
bernegara, khususnya dalam rangka
memberikan pelayanan umum yang lebih
baik dan menciptakan proses
pengambilan keputusan publik yang lebih
demokratis.
Salah satu bentuk dari
desentralisasi adalah Desentralisasi
Fiskal yang merupakan komponen utama
dari desentralisasi. Desentralisasi Fiskal
adalah pemberian kewenangan dari pusat
kepada daerah untuk mengatur sendiri
keuangannya sepanjang tidak
bertentangan dengan peraturan yang
berlaku. Hal ini dimaksudkan agar
pemerintah daerah dapat menjalankan
fungsinya dengan efisien dan efektif.
Apabila Pemerintah Daerah
melaksanakan fungsinya secara efektif
dan mendapat kebebasan dalam
pengambilan keputusan pengeluaran di
sektor publik, maka mereka harus
mendapat dukungan sumber-sumber
keuangan yang memadai baik yang
berasal dari Pendapatan Asli Daerah
(PAD), Bagi Hasil Pajak dan Bukan
Pajak, Pinjaman, maupun
Subsidi/Bantuan dari Pemerintah Pusat.
2. Instrumen Pendapatan Daerah
Dalam rangka menjalankan
fungsi-fungsi yang didelegasikan ke
Daerah, maka daerah memerlukan
sumber penerimaan yang terdiri dari
4 | P a g e
beberapa instrumen pendapatan daerah.
Secara garis besar adalah
a. Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Pengeritan pendapatan asli daerah
menurut Undang-Undang No. 28 Tahun
2009 yaitu sumber keuangan daerah yang
digali dari wilayah daerah yang
bersangkutan yang terdiri dari hasil pajak
daerah, hasil retribusi daerah, hasil
pengelolaan kekayaan daerah yang
dipisahkan dan lain-lain pendapatan asli
daerah yang sah.
b. Transfer pemerintah pusat
Dana Perimbangan : DBH, DAU,
DAK
Dana Otonomi Khusus, dana
penyesuaian
c. Hibah
Skema Dana Desentralisasi
Sumber : DJPK
3. Maksud dan Tujuan Desentralisasi
Fiskal
Menurut Mardiasmo (2009),
sebagaimana dikutip Zulyanto (2010),
mengungkapkan bahwa pelaksanaan
desentralisasi fiskal di Indonesia sebagai
salah satu instrument kebijakan
pemerintah mempunyai prinsip dan
tujuan antara lain :
Mengurangi kesenjangan fiskal antara
pemerintah pusat dan pemerintah
daerah (vertical fiscal imbalance) dan
antar daerah (horizontal fiscal
imbalance).
5 | P a g e
Meningkatkan kualitas pelayanan
publik di daerah dan mengurangi
kesenjangan pelayanan publik antar
daerah.
Meningkatkan efisiensi peningkatkan
sumber daya nasional.
Tata kelola, transparan, dan akuntabel
dalam pelaksanaan kegiatan
pengalokasian transfer ke daerah
yang tepat sasaran.
Mendukung kesinambungan fiskal
dalam kebijakan ekonomi makro
Kemudian Hirawan (2007), sebagaimana
dikutip Zulyanto, menyatakan bahwa
otonomi daerah sebagai landasan dari
pelaksanaan desentralisasi adalah untuk
memenuhi tujuan demokratisasi dan demi
mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Pelayanan publik yang paling efisien
seharusnya dapat diselenggarakan oleh
wilayah yang memiliki kontrol geografis
yang paling minimum karena :
Pemerintah lokal sangat menghayati
kebutuhan masyarakatnya;
Keputusan pemerintah lokal sangat
responsif terhadap kebutuhan
masyarakat, sehingga mendorong
pemerintah lokal untuk melakukan
efisiensi dalam penggunaan dana
yang berasal dari masyarakat;
Persaingan antar daerah dalam
memberikan pelayanan kepada
masyarakatnya akan mendorong
pemerintah lokal untuk meningkatkan
inovasinya.
Bahl dan Linn (1992), sebagaimana
dikutip Zulyanto (2010) menyatakan
bahwa dengan diserahkannya beberapa
kewenangan ke pemerintah daerah,
diharapkan pelayanan masyarakat
semakin efisien dan pada gilirannya akan
mendorong pertumbuhan ekonomi dan
kesejahteraan masyarakat lokal. Karena
daerah lebih mengetahui karakteristik
daerahnya masing-masing, maka
pengeluaran infrastruktur dan sektor
sosial akan efektif dalam mendorong
pertumbuhan ekonomi suatu daerah.
Kemudian dalam makalahnya,
Oswar Mungkasa menyebutkan bahwa
melalui desentralisasi, kesejahteraan
masyarakat di daerah akan lebih cepat
terwujud karena pemerintah daerah akan
lebih fleksibel bertindak dalam respons
perubahan lingkungan dan kebutuhan
masyarakat di daerah. Desentralisasi juga
lebih melibatkan partisipasi aktif dalam
pengambilan keputusan ketimbang
menunggu keputusan dari pemerintah
pusat sehingga kehidupan demokrasi
lebih terwujud, lebih memberi ruang
untuk berkreasi dan berinovasi, dan
menghasilkan semangat kerja, komitmen
dan produktivitas yang lebih tinggi.
Selanjutnya dalam Undang-
Undang Otonomi khusus papua, salah
satu pertimbangannya adalah dalam
6 | P a g e
rangka integrasi bangsa dalam wadah
Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang harus tetap dipertahankan dengan
menghargai kesetaraan dan keragaman
kehidupan sosial budaya masyarakat
Papua, melalui penetapan daerah
Otonomi Khusus.
4. Visi dan Misi Desentralisasi Fiskal
Berdasarkan Grand Design
Desentralisasi Fiskal di Indonesia, Visi
jangka panjang yang ingin di capai pada
tahun 2030 adalah Menciptakan Alokasi
Sumber Daya Nasional yang Efisien
Melalui Hubungan Keuangan Pusat dan
Daerah Yang Transparan, Akuntabel, dan
Berkeadilan. Untuk mencapai Visi
tersebut, terdapat 4 misi berikut :
1. Mengembangkan hubungan keuangan
pusat dan daerah yang
meminimumkan ketimpangan vertikal
dan horizontal
2. Mengembangkan sistem pajak daerah
yang mendukung alokasi sumber
daya nasional yang efisien
3. Mengembangkan keleluasaan belanja
daerah yang bertanggung jawab untuk
mencapai standar pelayanan
minimum
4. Harmonisasi belanja pusat dan daerah
untuk penyelenggaraan layanan
publik yang optimal
5. Indeks Pembangunan Manusia
Menurut BPS, Pembangunan
manusia adalah suatu proses untuk
memperbanyak pilihan-pilihan yang
dimiliki oleh manusia. Diantara banyak
pilihan tersebut, pilihan yang terpenting
adalah untuk berumur panjang dan sehat,
untuk berilmu pengetahuan, dan untuk
mempunyai akses terhadap sumber daya
yang dibutuhkan agar dapat hidup secara
layak.
Menurut BPS, komponen Indeks
Pembangunan Manusia adalah sebagai
berikut :
Angka Harapan Hidup
Angka Melek Huruf
Rata-Rata Lama Sekolah
Pengeluaran Riil per Kapita yang
disesuaikan
Desentralisasi
Fiskal IPM
Kesejahteran
Pendidikan
Kesehatan
7 | P a g e
6. Pertumbuhan ekonomi
Pertumbuhan ekonomi adalah
proses perubahan kondisi perekonomian
suatu negara secara berkesinambungan
menuju keadaan yang lebih baik selama
periode tertentu.
Adanya pertumbuhan ekonomi
merupakan indikasi keberhasilan
pembangunan ekonomi. Pertumbuhan
ekonomi nasional merupakan rata-rata
pertumbuhan ekonomi di daerah.
Pertumbuhan ekonomi di daerah
merupakan laju pertumbuhan PDRB di
daerah tersebut.
C. METODOLOGI PENELITIAN
1. Kerangka Berpikir
Variabel yang akan diteliti terkait
pencapaian desentralisasi fiskal adalah
Indeks pembangunan manusia dan
pertumbuhan ekonomi (mewakili
pencapaian pembangunan sosial dan
ekonomi). Selanjutnya penulis akan
mengkaitkan dengan besaran dana
perimbangan yang dterima tiap daerah
dengan pencapaian IPM dan
pertumbuhan ekonomi.
Terdapat perbedaan antara tujuan dari desentralisasi fiskal dan kenyataan di lapangan yang
disebabkan oleh beberapa faktor.
Desentralisasi
Fiskal PDRB Daerah PDB Nasional
Desentralisasi Fiskal IPM, Pertumbuhan
Ekonomi
Terdapat
Permasalahan
Penyebab Penyebab Penyebab Penyebab
8 | P a g e
2. Metode pengumpulan data
Data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah data data sekunder.
Data sekunder yaitu sumber data yang
diperoleh peneliti secara tidak langsung
melalui media perantara (diperoleh dan
dicatat oleh pihak lain).. Pengumpulan
data-data dalam rangka penelitian ini
dilakukan dengan metode penelitian
kepustakaan (Library Research).
Penelitian kepustakaan adalah penelitian
yang dilakukan dengan cara mempelajari
teori dan informasi yang erat kaitannya
dengan objek penelitian.
Beberapa data sekunder yang
dikumpulkan antara lain :
1. Data pertumbuhan ekonomi dari BPS
2. Data Indeks Pembangunan Manusia
dari BPS
3. Data dana perimbangan dari
Kementrian Dalam Negeri
4. Data-data dari Dirjen Perimbangan
Keuangan
5. Data-data dari penelitian sebelumnya
3. Metode Analisis
Metode penelitian menggunakan
penelitian deskriptif kualitatif. Analisis
deskriptif kualitatif yaitu dengan
memberikan ulasan atau interpretasi
terhadap data yang diperoleh sehingga
menjadi lebih jelas dan bermakna
dibandingkan dengan sekedar angka-
angka (dedy dkk;2014). Penulis juga
akan mennggunakan terknik Analisa
sebab akibat dari prof.Ishikawa
(Fishbone Analysis) untuk menganalisis
permasalahan-permasalahan pelaksanaan
desentralisasi.
D. HASIL ANALISIS DAN
PEMBAHASAN
1. Indeks Pembangunan Manusia
Dari grafik Indeks pembangunan
manusia (IPM), dapat diketahui bahwa
sejak era desentralisasi diberlakukan di
Indonesia, IPM terus mengalami
kenaikan. Grafik IPM yang naik
menunjukkan bahwa tingkat kelayakan
hidup, tingkat pendidikan, dan tingkat
harapan hidup juga semakin meningkat.
Namun demikian, dari tabel peringkat
(lampiran 1) IPM, terlihat bahwa
beberapa daerah belum mampu
memperbaiki peringkat IPM nya.
Bahkan beberapa daerah seperti maluku,
maluku utara, dan banten mengalami
penurunan yang sangat turun signifikan.
Selain itu, daerah papua yang menerima
dana transfer (Dana perimbangan dan
Otonomi khusus) yang besar relatif tidak
mampu menaikkan IPM nya. Kemudian
pada tahun 2013, 8 dari 10 peringkat IPM
tertinggi berasal dari provinsi di luar
Jawa yang meliputi, Sumatera,
Kalimantan, dan Sulawesi. Provinsi DIY
memiliki IPM tinggi walaupun dana
perimbangan yang diterima termasuk
yang terkecil di Indonesia (lampiran II).
9 | P a g e
Grafik Indeks Pembangunan Manusia
Sumber : BPS
Dari sudut pandang IPM, pencapaian pelaksanaan desentralisasi di beberapa daerah
dapat dikatakan berhasil, sedangkan di daerah lain masih belum berhasil. Faktor-faktor
yang mempengaruhi keberhasilan tersebut akan dibahas pada bagian selanjutnya.
Tabel Peringkat IPM Provinsi di Indonesia Tahun 2013
Sumber : BPS
58
60
62
64
66
68
70
72
74
761
996
19
99
20
02
20
04
20
05
20
06
20
07
20
08
20
09
20
10
20
11
20
12
20
13
Indonesia (BPS)
Indonesia (BPS)
Peringkat Provinsi 2013
1 DKI Jakarta 78,59
2 Yogyakarta 77,37
3 Sulawesi Utara 77,36
4 Kalimantan Timur 77,33
5 Riau 77,25
6 Kepulauan Riau 76,56
7 Kalimantan Tengah 75,68
8 Sumatera Utara 75,55
9 Sumatera Barat 75,01
10 Kalimantan Utara 74,72
10 | P a g e
2. Pertumbuhan Ekonomi
Tabel Laju PDRB Propinsi di Indonesia
Sumber : BPS
Dari tabel laju PDRB propinsi
yang ada di Indonesia, 12 dari 14
peringkat tertinggi berasal dari daerah
luar jawa. Bahkan di propinsi papua,
pertumbuhan ekonomi mencapai 2 digit.
Namun demikian, propinsi Kalimantan
Timur yang memiliki APBD yang besar
menempati peringkat terakhir dalam tabel
pertumbuhan laju PDRB di Tahun 2013
(Lampiran III). Hal ini menunjukkan
bahwa desentralisasi fiskal di kebanyakan
daerah cukup mampu meningkatkan
perekonomian daerah yang tadinya
dianggap tidak berkembang
perekonomiannya. Selanjutnya dari tabel
angka kemiskinan (lampiran IV), angka
presentase kemiskinan terus turun hingga
50% dari rentang waktu tahun 1998 s.d
2013.
3. Permasalahan Pelaksanaan
Desentralisasi Fiskal
a. Korupsi di Daerah
Berdasarkan keterangan dari
Dirjen Otonomi Daerah kemendagri,
sebagaimana diberitakan dalam
Republika (9/5) sebanyak 325 kepala
daerah terjerat masalah hukum. Dari
jumlah tersebut sebagian sudah menjadi
Narapidana, sementara sebagian lagi
masih berstatus tersangka. Para pejabat
No Provinsi 2013
1 Papua 14,84
2 Sulawesi Tengah 9,38
3 Papua Barat 9,30
4 Jambi 7,88
5 Gorontalo 7,76
6 Sulawesi Selatan 7,65
7 Sulawesi Utara 7,45
8 Kalimantan Tengah 7,37
9 Sulawesi Tenggara 7,28
10 Sulawesi Barat 7,16
11 Jawa Timur 6,55
12 Bengkulu 6,21
13 Sumatera Barat 6,18
14 Kepulauan Riau 6,13
11 | P a g e
kepala daerah yang seharusnya
memimpin jalannya pelaksanaan
desentralisasi, justru banyak yang
bermasalah dengan hukum. Hal ini bisa
menghambat jalannya pembangunan di
Daerah. Faktor yang menyebabkan
banyaknya kasus korupsi ini adalah
karena mahalnya biaya kampanye pilkada
dan kurangnya kesadaran masyarakat
untuk berpartisipasi dalam pelaksanaan
desentralisasi.
Hasil dari penelitian yang
dilakukan oleh Bambang Suprayitno, S.E
sebagaimana dikutip Dedi,dkk., dalam
artikel ilmiah yang berjudul
Desentralisasi Fiskal dan Korupsi: Fakta
dalam Otonomi Daerah di Indonesia,
menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal
berpengaruh positif terhadap korupsi
artinya semakin tinggi tingkat
desentralisasi fiskal daerah tersebut maka
meningkatkan korupsi pada daerah yang
bersangkutan.
b. Daerah kaya dan Daerah Miskin
Fenomena yang timbul dari
desentralisasi fiskal selanjutnya adalah
adanya daerah miskin dan daerah kaya.
Hal ini karena potensi PAD yang dimiliki
setiap daerah pada hakekatnya memang
berbeda. Faktor selanjutnya yang
menyebabkan perbedaan adalah karena
potensi sumber daya alam yang dimiliki
setiap daerah juga berbeda. Daerah yang
memiliki sumber daya alam yang besar
akan menerima DBH yang besar.
Perbedaan sumber pendapatan di tiap
daerah dapat mengakibatkan perbedaan
tingkat pembangunan manusia dan
pertumbuhan ekonomi yang dapat
berakhir dengan kecemburuan antar
daerah. Ketimpangan ini oleh
pemerintah pusat diselesaikan melalui
mekanisme pemberian DAU. Daerah
yang memiliki PAD besar/DBH yang
besar, akan mendapatkan DAU yang
lebih sedikit daripada daerah lain.
Contoh dari daerah kaya adalah Pemda
DKI yang pada tahun 2014 hanya
meneriman DAU sebesar 86 Milyar
dikarenakan PAD yang dimiliki sudah
sangat besar.
c. Pengelolaan Keuangan Daerah
Desentralisasi Fiskal yang
memberikan keweangan kepada
pemerintah daerah untuk mengelola
keuangannya sendiri banyak
menimbulkan masalah pada tahap
pelaksanaannya. Berikut beberapa
masalah terkait dengan pengelolaan
keuangan daerah (DJPK;2011) :
Alokasi Belanja
Alokasi belanja pegawai yang besar.
Bahkan pada tahun 2011 mencapai
39,5% dari total APBD yang digunakan
untuk belanja pegawai baik langsung
maupun tidak langsung. Menurut DJPK,
data di lapangan menunjukkan bahwa
rata-rata belanja pegawai tidak langsung
12 | P a g e
per pegawai per tahun cukup bervariasi
antar daerah. Rata-rata mencapai Rp51
juta per pegawai per tahun (sekitar Rp3,9
juta per bulan). Namun demikian ada
beberapa daerah yang belanja pegawai
tidak langsung per pegawai per tahunnya
mencapai hingga lebih dari Rp100 juta
(sekitar Rp7,7 juta per bulan).
Tabel Proporsi Alokasi Belanja Pegawai
Dengan semakin tingginya porsi belanja pegawai, maka porsi belanja modal semakin
tergerus dari tahun ke tahun. Hal ini berakibat pada minimnya pembangunan infrastruktur
yang produktif yang efeknya memperlambat pertumbuhan ekonomi.
Penyerapan belanja modal
Permasalahan hukum kerap menghantui
aparat pemerintah terkait dengan
pelaksanaan kegiatan belanja modal. Hal
ini menyebabkan aparat tersebut enggan
untuk melaksanakan kegiatan belanja
modal. Belum lagi resiko terkait dengan
pemenang lelang yang kadang tidak
sesuai dengan harapan. Pada akhirnya
banyak anggaran belanja modal yang
tidak terserap diakhir tahun dan
pemerintah.
4. Solusi atas Permasalahan
a. Pemerintah pusat perlu mengatur
sistem pemilukada langsung yang
hemat biaya politik. Selain agar
biaya politik yang timbul tidak besar,
agar pemimpin daerah yang terpilih
merupakan yang terbaik. Dalam
kaitannya untuk meminimalisir
politik dinasti, pemerintah juga perlu
untuk memperketat persyaratan
pencalonan kepala daerah.
b. Pemerintah pusat sebagai regulator
perlu mengupayakan agar pemerintah
daerah dapat mengalihkan porsi
belanja lebih besar untuk peningkatan
infrastruktur yang produktif sehingga
mendukung pertumbuhan ekonomi
daerah.
c. Perlu dibuat mekanisme pengukuran
kinerja dengan Balanced Scrore Card
Sumber : DJPK
13 | P a g e
dalam rangka pemberian reward dan
punishment terkait dengan evaluasi
efektivitas pengelolaan keuangan
daerah. Hal ini perlu dilakukan untuk
mendorong pemerintah daerah
mengelola keuangan daerahnya
dengan lebih baik dan profesional.
E. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal
cukup efektif dilaksanakan di
beberapa daerah seperti DIY, DKI
Jakarta, Riau dan Kepulauan Riau
yang ditunjukkan peringkat
pertumbuhan ekonomi dan indeks
pembangunan manusia yang relatif
tinggi. Sementara daerah lain seperti
papua belum dapat diakatakan
berhasil. Walaupun pertumbuhan
ekonomi di daerah papua sangat
tinggi, namun indeks pembangunan
manusia masih yang terendah.
Sementara daerah Kalimantan Timur
sebagai salah satu daerah kaya,
memiliki indeks pembangunan
manusia yang baik. Namun
pertumbuhan ekonomi tahun 2013 di
Kalimantan Timur adalah yang
terendah.
2. Indikator keberhasilan dari
pelaksanaan desentralisasi fiskal yang
lain adalah :
Tingkat pembangunan ekonomi
yang sudah tidak sentralistik
(Jawa). Tetapi didominasi daerah
luar Jawa.
Peringkat 10 besar terbaik indeks
pembangunan manusia
didominasi daerah luar Jawa.
Rasio penduduk miskin yang
terus menurun semenjak
diberlakukannya desentralisasi
fiskal
3. Bagi daerah yang belum berhasil
menerapkan desentralisasi fiskal
disebabkan antara lain karena :
Korupsi di daerah yang cukup
tinggi
Sumber PAD yang terbatas
sehingga sangat tergantung dari
besaran dana perimbangan
Kesalahan pengelolaan keuangan
daerah
Desentralisasi
tidak sesuai
harapan
Korupsi
Salah kelola keuangan
PAD terbatas
14 | P a g e
4. Solusi yang bisa dilakukan oleh
pemerintah antara lain :
Perbaikan sistem pilkada
Regulasi mengenai pengelolan
keuangan daerah
Penerapan sistem penilaian
kinerja dengan Balanced
Scorecard dan pemberian reward
bagi daerah yang berhasil
menjalankan desentralisasi
dengan baik.
F. DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. 2011. Strategi Peningkatan Efektivitas
Belanja Daerah dalam Kebijakan Transfer ke Daerah tahun 2012.
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. Grand Design Desentralisasi Fiskal
Indonesia.
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. Data APBD di Indonesia. Diakses melalui :
www.depkeu.djpk.go.id
Badan Pusat Statistik. Data Angka Kemiskinan, Data Indeks Pembangunan Manusia, Data
Laju Pertumbuhan PDRB. Diakses melalui : www.bps.go.id
Direktorat Jenderal Keuangan Daerah. Data Keuangan Daerah. Diakses melalui :
www.kemendagri.go.id
Dedi, dkk. STAN. 2014. Perwujudan Desentralisasi Fiskal Yang Efisien Dan Efektif
Menuju Kemandirian Daerah Di Indonesia.
Sampurna Budi Utama. 2011. Seri Desentralisasi Fiskal. Diakses melalui :
https://percikgagasan.wordpress.com/tag/desentralisasi- fiskal/
Oswar Mungkasa. Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Indonesia:Konsep, Pencapaian
dan Agenda Kedepan. Diakses melalui :
http://www.academia.edu/2759012/Desentralisasi_dan_Otonomi_Daerah_di_Indon
esia_Konsep_Pencapaian_dan_Agenda_Kedepan
Aan Zulyanto. UNDIP. 2010. Tesis : Pengaruh Desentralisasi Fiskal terhadap
Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Bengkulu.
SB Hirawan. UI. 2007. Pidato Pengukuhan Guru Besar : Desentralisasi Fiskal Sebagai
Suatu Upaya Meningkatkan Penyediaan Layanan Publik (Bagi Orang Miskin) di
Indonesia.