desember 2018 - I edisi #3 KAREBA PALU KORO · membutuhkan bantuan baik secara materi maupun bentuk...

4
KAREBA PALU KORO KABAR PENANGANAN BENCANA SULTENG desember 2018 - I edisi #3 Warga Kelurahan Lambara mengerjakan MCK secara mandiri. Foto: Martin Dody/ERCB BERSAMA MEMBANGUN UNTUK MANFAAT SEMUA WARGA Tidak dipungkiri bahwa penyintas bencana akan membutuhkan bantuan baik secara materi maupun bentuk bantuan lain. Namun demikian, lembaga pemberi bantuan tidak boleh melupakan bahwa penyintas bencana tetap dapat berdaya. Dengan kata lain, jangan melupakan kapasitas yang dimiliki oleh mereka. Memberi bantuan tanpa memperhitungkan kapasitas yang dimiliki para penerima bantuan maka hanya memberi saja tanpa memberikan penguatan kepada si penerima bantuan. Untuk kondisi tanggap darurat setelah bencana, mungkin hal tersebut tepat untuk dilakukan. Namun untuk tahapan-tahapan lanjutan setelah masa tanggap bencana, seperti yang diberlakukan di Sulawesi Tengah pasca bencana gempa, tsunami, dan likuifaksi yang saat ini memasuki masa transisi ke masa rehabilitasi, perlu kiranya melibatkan masyarakat yang dibantu dalam bentuk intervensi yang dilakukan. Pelibatan masyarakat menjadi penting karena selain memberdayakan kapasitas yang dimiliki, kapasitas tersebut coba untuk ditingkatkan. Peningkatan kapasitas inilah yang disasar oleh Tim ERCB dalam intervensi di sektor WASH (water, sanitation and hygiene), terutama untuk pendirian MCK (mandi, cuci, kakus) di beberapa desa yang ditargetkan. “Prinsip kami adalah bantuan yang kami berikan haruslah bermanfaat dan tidak menimbulkan masalah,” kata Agus Suranto, dari Lembaga Pengembangan Teknologi Pedesaan (LPTP). Bermanfaat karena yang diupayakan adalah benar-benar dibutuhkan oleh para warga. Tidak hanya bermanfaat pada saat masyarakat dalam masa pengungsian pasca bencana, namun tetap terus bisa dimanfaatkan setelahnya. Tidak menimbulkan masalah karena dalam pembuatannya memperhatikan beberapa aspek. Keberadaan ijin atas tanah yang digunakan untuk pendirian MCK, ketersediaan sumber air dan listrik, juga kesadaran untuk tidak menimbulkan pencemaran melalui desain yang dibuat menjadi patokan dalam pelaksanaannya. “Jika pembuatan dan pengelolaannya benar, maka melalui desain ini diharapkan resapannya tidak akan pernah penuh, karena terjadi proses pembusukan. Air yang keluar dari proses akhir adalah air bersih yang tidak mencemari lingkungan,” tambah Agus. Proses transfer ilmu pun terjadi disini, yang merupakan bagian dari penguatan kapasitas melalui penjelasan desain dan pendampingan kepada warga saat membangun fasilitas MCK tersebut. Bersambung ke halaman 4...

Transcript of desember 2018 - I edisi #3 KAREBA PALU KORO · membutuhkan bantuan baik secara materi maupun bentuk...

Page 1: desember 2018 - I edisi #3 KAREBA PALU KORO · membutuhkan bantuan baik secara materi maupun bentuk ... pasca bencana gempa, tsunami, ... pada terbatasnya ketersediaan logistik

KAREBA PALU KOROKABAR PENANGANAN BENCANA SULTENG

desember 2018 - I edisi #3

Warga Kelurahan Lambara

mengerjakan MCK secara mandiri.

Foto: Martin Dody/ERCB

BERSAMA MEMBANGUN UNTUK MANFAAT SEMUA WARGA

Tidak dipungkiri bahwa penyintas bencana akan

membutuhkan bantuan baik secara materi maupun bentuk

bantuan lain. Namun demikian, lembaga pemberi bantuan tidak

boleh melupakan bahwa penyintas bencana tetap dapat berdaya.

Dengan kata lain, jangan melupakan kapasitas yang dimiliki oleh

mereka.

Memberi bantuan tanpa memperhitungkan kapasitas yang

dimiliki para penerima bantuan maka hanya memberi saja tanpa

memberikan penguatan kepada si penerima bantuan. Untuk

kondisi tanggap darurat setelah bencana, mungkin hal tersebut

tepat untuk dilakukan. Namun untuk tahapan-tahapan lanjutan

setelah masa tanggap bencana, seperti yang diberlakukan di

Sulawesi Tengah pasca bencana gempa, tsunami, dan likuifaksi

yang saat ini memasuki masa transisi ke masa rehabilitasi, perlu

kiranya melibatkan masyarakat yang dibantu dalam bentuk

intervensi yang dilakukan.

Pelibatan masyarakat menjadi penting karena selain

memberdayakan kapasitas yang dimiliki, kapasitas tersebut coba

untuk ditingkatkan. Peningkatan kapasitas inilah yang disasar

oleh Tim ERCB dalam intervensi di sektor WASH (water, sanitation and hygiene), terutama untuk pendirian MCK (mandi, cuci, kakus)

di beberapa desa yang ditargetkan.

“Prinsip kami adalah bantuan yang kami berikan haruslah

bermanfaat dan tidak menimbulkan masalah,” kata Agus

Suranto, dari Lembaga Pengembangan Teknologi Pedesaan

(LPTP). Bermanfaat karena yang diupayakan adalah benar-benar

dibutuhkan oleh para warga. Tidak hanya bermanfaat pada saat

masyarakat dalam masa pengungsian pasca bencana, namun

tetap terus bisa dimanfaatkan setelahnya.

Tidak menimbulkan masalah karena dalam pembuatannya

memperhatikan beberapa aspek. Keberadaan ijin atas tanah

yang digunakan untuk pendirian MCK, ketersediaan sumber

air dan listrik, juga kesadaran untuk tidak menimbulkan

pencemaran melalui desain yang dibuat menjadi patokan dalam

pelaksanaannya.

“Jika pembuatan dan pengelolaannya benar, maka melalui

desain ini diharapkan resapannya tidak akan pernah penuh,

karena terjadi proses pembusukan. Air yang keluar dari proses

akhir adalah air bersih yang tidak mencemari lingkungan,”

tambah Agus.

Proses transfer ilmu pun terjadi disini, yang merupakan

bagian dari penguatan kapasitas melalui penjelasan desain dan

pendampingan kepada warga saat membangun fasilitas MCK

tersebut.

Bersambung ke halaman 4...

Page 2: desember 2018 - I edisi #3 KAREBA PALU KORO · membutuhkan bantuan baik secara materi maupun bentuk ... pasca bencana gempa, tsunami, ... pada terbatasnya ketersediaan logistik

KAREBA PALU KORO

PENAMPUNGAN SAMPAH SEMENTARAUntuk membahas salah satu rencana intervensi yang dilakukan

ERCB dalam masa transisi tanggap darurat di Sulawesi Tengah

pasca bencana gempa, tsunami, dan likuifaksi, pada 20 November

2018 lalu diadakan rapat koordinasi yang dihadiri oleh para

anggota organisasi yang tergabung dalam konsorsium ERCB.

“Kami berencana untuk membangun tempat penampungan

sampah sementara di beberapa titik yang dijadikan tempat

pengungsian,” kata Sutikno Sutantio, koordinator ERCB.

Kekhawatiran yang muncul adalah ketika tempat penampungan

tersebut penuh dan tidak segera diangkut oleh truk pengangkut

sampah tentu akan menimbulkan masalah. Selaras dengan itu,

ERCB mencoba untuk mengisi kesenjangan yang ada dari yang

sudah dilakukan oleh pemerintah daerah agar dapat membantu

dalam penanganan sampah.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Sigi, Mohamad Afit,

ST., M.Si, juga turut hadir dalam rapat tersebut.

“Sarana dan prasarana untuk penanganan sampah di Kabupaten

Sigi saat ini hanya memiliki 2 buah truk pengangkut dan 7 buah

bak, dengan 5 hingga 6 tenaga pengangkut,” kata Afit.

Dengan luasan Sigi yang cukup besar, keterbatasan sarana

prasarana dan sumber daya manusia berakibat pada biaya

operasional yang cukup besar dan tidak efisien. Dalam masa pasca

bencana ini, ada tawaran bantuan untuk penambahan unit truk

pengangkut.

“Selain penawaran tambahan unit truk pengangkut sampah,

kami juga mendorong pemberdayaan masyarakat dalam hal

penanganan sampah,” kata Afit.

Pemberdayaan tersebut dimulai dari pembentukan kelompok

masyarakat. Setidaknya ada 4 kelompok pengelola sampah yang

sudah dibentuk. Salah satunya adalah Bank Sampah 45 di wilayah

Desa Kalukubula, Kecamatan Sigi Biromaru, Kabupaten Sigi.

Disampaikan bahwa saat ini tersedia satu unit motor pengangkut

beroda tiga di tiap desa, melalui program Sigi Hijau dari program

Pemerintah Kabupaten Sigi, untuk semakin mendorong masyarakat

untuk peduli dan terlibat dalam pengelolaan sampah di wilayah

mereka masing-masing.

Harus MaksimalUntuk semakin mengerucutkan pembahasan tentang intervensi

yang akan dilakukan, ERCB mengadakan pertemuan kembali

dengan Afit. Ditemui di rumahnya, disinggung kembali tentang

beberapa pilihan yang disimpulkan dari pertemuan sebelumnya.

Yang pertama adalah membangun Tempat Pembuangan Akhir

(TPA) mini. Untuk pilihan ini, tidak hanya tempatnya yang dibangun

namun juga sistemnya. Karena harus menyiapkan sumber daya

manusia untuk melakukan pengelolaan. Pembentukan sistem inilah

yang dianggap agak berat karena durasi waktu keberadaan ERCB

untuk saat ini yang terbatas.

“Namun demikian, jika ini yang akan dilaksanakan, maka teman-

teman dari KARSA Institute sudah siap juga untuk menindaklanjuti

sistem manajemennya,” kata Titik dari Lembaga Pengembangan

Teknologi Pedesaan (LPTP).

Pilihan kedua adalah membangun Tempat Pengolahan Sampah

Terpadu (TPST) lengkap dengan penempatan dua unit bak truk

untuk memisahkan antara sampah basah dan sampah kering. Hal

ini untuk menyelaraskan dengan kebutuhan dari Dinas Lingkungan

Hidup yang dimana saat ini juga sedang menambah jumlah bak

penampungan sampah dan armada truknya.

Sembari menceritakan tentang pembelajaran tentang

berbagai cara pengolahan sampah di beberapa negara lain, Afit

menyampaikan bahwa untuk menentukan langkah apa yang akan

diambil oleh ERCB, hal yang perlu diperhitungkan adalah dimana

intervensi tersebut akan dilakukan dan seberapa besar anggaran

yang dialokasikan untuk itu.

“Hal lain yang saya harapkan adalah adanya pendampingan,

minimal untuk mengarahkan dan kemudian memisahkan minimal

antara sampah basah dan sampah kering,” kata Afit.

Ketika disinggung tentang apakah ada semacam insentif

dari hasil pengumpulan dan pemisahan jenis sampah tersebut,

Afit kembali menyampaikan apa yang sudah dilakukan oleh

Bank Sampah 45. Ada beberapa program yang baik dilakukan,

diantaranya membayar listrik dengan menggunakan sampah,

membayar cicilan kendaran, dan beberapa kegiatan lainnya.

Inti dari pembicaraan pada hari itu mengerucut pada pernyataan

Afit bahwa apapun langkah yang akan diambil oleh ERCB dalam

melaksanakan intervensi yang berkaitan dengan pengelolaan

sampah, sumber daya manusianya harus disiapkan.

“Harus ada orang yang mau melaksanakannya secara maksimal,”

ujar Afit. Keterlibatan masyarakat di setiap prosesnya pun harus

didorong.

“Tapi jangan membicarakan tentang upah terlebih dahulu.

Karena manfaat yang didapatkan akan kembali ke pengelola dan

masyarakat juga.” Tambahnya.

Sebagai langkah tindak lanjut, ERCB menjajaki kemungkinan

untuk melakukan pengadaan truk pengangkut bak sampah dan

jika memungkinkan beserta baknya. (mdk)

Mohamad Afit, ST., M.Si, Kepala Dinas

Lingkungan Hidup Kabupaten Sigi

02

Page 3: desember 2018 - I edisi #3 KAREBA PALU KORO · membutuhkan bantuan baik secara materi maupun bentuk ... pasca bencana gempa, tsunami, ... pada terbatasnya ketersediaan logistik

KAREBA PALU KORO

Angin berhembus sejuk ketika kami tiba di rumah Ramlah yang terletak di Desa Porame, Kecamatan Kinovaro, Kabupaten Sigi. Sedikit berbeda dari para ibu seusianya, Ramlah sangat peduli terhadap sesama. Kegemarannya untuk melakukan kegiatan-kegiatan sosial membuat wanita kelahiran Desa Porame, tanggal 21 Maret 1962 ini dikenal sebagai tokoh perempuan yang aktif di kalangan sekitarnya.

Dalam kesehariannya, Ramlah tinggal

bersama anaknya, Nifa. Menjadi orang

tua tunggal sejak suaminya meninggal di

tahun 2010, tidak membuatnya larut dalam

keputusasaan yang berkepanjangan. Mata

pencaharian utamanya adalah bertani.

Selain menjadi petani, ia juga dilibatkan

dalam program pendampingan di

Kecamatan Marawola Barat sebagai Tenaga

Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK)

oleh Dinas Sosial.

Gempa yang melanda Kabupaten Sigi

tanggal 28 September 2018 lalu, telah

melumpuhkan perekonomian masyarakat,

khususnya desa-desa yang berada di

Kecamatan Marawola Barat. Rasa empati

yang tinggi terhadap peristiwa itu

membuatnya berupaya untuk mencari

solusi yang tepat agar perekonomian di

wilayah tersebut bisa kembali normal

seperti sediakala.

Seperti yang diketahui, seminggu

pasca bencana, dampak ekonomi dan

sosial telah dirasakan di tempat itu.

Desa-desa di Kecamatan Marawola

Barat tergolong wilayah yang terisolir di

Kabupaten Sigi. Ketika itu harga bahan

bakar bensin mencapai Rp. 100.000,00

- Rp. 150.000,00 per botolnya (isi 1 liter).

Selain itu masyarakat cenderung menjadi

lebih individualisme akibat dihadapkan

pada terbatasnya ketersediaan logistik

dan ketidakpastian adanya bantuan dari

pemerintah setempat.

Merespon hal itu, Ramlah yang

dipercaya sebagai pendamping kecamatan

memiliki tanggung jawab secara moril

untuk segera mencari solusi dari persoalan

tersebut. Beruntung ia pernah terlibat

dalam kerja-kerja pengorganisasian

masyarakat. Mengumpulkan informasi

melalui diskusi bersama rekan-rekannya

seakan memberikan semangat baginya

untuk menuntaskan rasa kekhawatiran itu.

“Sesungguhnya saya sudah

kebingungan ketika bencana terjadi,

saya mau kemana untuk membantu,

warga disini (Desa Porame) sudah banyak

yang bantu. Sementara saya kan pekerja

sosialnya di sana (Kecamatan Marawola

Barat). Beruntung saya dihubungi oleh Pak

Erwin dan Karsa Institute,” ujarnya.

Niat tulus dalam meringankan beban

sesama, itulah yang menuntunnya

hingga dipertemukan dengan tim dari

ERCB. Pemahamannya atas masalah

sosial, ekonomi dan budaya masyarakat

di Kecamatan Marawola Barat menjadi

modal penting dalam mengawal tugas

kemanusian ini.

Sebelumnya Ramlah adalah tokoh

perempuan yang menjadi inisiator

berdirinya Bantaya, Organisasi non

pemerintah yang peduli pada persoalan

lingkungan dan masyarakat adat

di Sulawesi Tengah. Pengalaman

berorganisasi dan berjejaring itulah yang

membuat ERCB memberikan kepercayaan

kepadanya untuk mengawal distribusi

logistik di Kecamatan Marawola Barat.

Selama teknis pelaksanaan distribusi

di kediamannya, Ramlah dibantu oleh

beberapa tetangganya yang tergabung

dalam komunitas “Sintuvu Nobesi”.

Kelompok itu memiliki peran yang penting

dalam proses pengepakan logistik. Posko

relawan di kediaman Ramlah mulai

melayani distribusi daripukul 08:00 hingga

pukul 19:00 WITA. Dalam proses distribusi

logistik, Ramlah selalu menghimbau

kepada para penerima manfaat untuk

mengikuti prosedur dengan baik dan

bersikap jujur “Jangan menyalahgunakan

bantuan bencana, jika disalahgunakan

sama saja kita berdoa untuk bencana

lanjutan bagi desa kalian,” tandasnya.

Selain menyampaikan rasa terima

kasih, Ramlah berharap agar ERCB selalu

konsisten dalam melayani masyarakat. Ia

juga berharap untuk terus mendapatkan

pendampingan penguatan kapasitas

terutama bagi masyarakat dalam

menghadapi tantangan ekonomi pasca

bencana ini. (se/mdk)

RAMLAH, PEJUANG

SOSIAL DARI SIGI

03

Page 4: desember 2018 - I edisi #3 KAREBA PALU KORO · membutuhkan bantuan baik secara materi maupun bentuk ... pasca bencana gempa, tsunami, ... pada terbatasnya ketersediaan logistik

KAREBA PALU KORO

Kareba Palu Koro adalah media penyebaran informasi terkait penanganan bencana di Sulawesi Tengah yang dikelola oleh Jaringan Emergency Response Capacity Building (ERCB) pada masa tanggap darurat hingga masa rehabilitasi pasca bencana gempa, tsunami, dan likuifaksi 28 September 2018 di Palu, Sigi, dan Donggala, Sulawesi Tengah. Media ini didukung oleh pendanaan dari SHO dan Cordaid dan terbit dua mingguan.

Pemimpin Redaksi: Arfiana Khairunnisa (KARINA Yogyakarta)

Redaksi: Martin Dody Kumoro (ERCB), Sir Leyf Evan Cryf (Yayasan Merah Putih)

Saran dan masukan dapat dikirimkan melalui [email protected] atau dialamatkan ke Jl. Karanja Lembah, Lorong BTN Polda, Samping Perum Kelapa GadingDesa Kalukubula, Kec. Sigi Biromaru, Kab. Sigi, Sulteng

REDAKSIONAL

Sambungan halaman 1...

Terkait manfaat, Bahtiar, Kepala Desa Tuva,

mengamini ketika Kareba Palu Koro bertanya

apakah pembangunan MCK di wilayahnya

memberi manfaat kepada warga.

“Warga biasanya memanfaatkan sungai

untuk melakukan kegiatan mandi dan buang

air. Sedangkan untuk mencuci, warga di sekitar

sini biasa memanfaatkan sumber air di dekat

sini,” kata Bahtiar. Permasalahannya adalah

ketika malam tiba, warga tidak berani pergi ke

sungai karena kurangnya penerangan.

“Jadi, pembangunan ini (fasilitas MCK)

sangat bermanfaat. Hanya beberapa rumah

saja yang sudah punya. Jadi kalau ini sudah

jadi, warga tidak bingung lagi walaupun malam

tiba,” sambungnya. Rencananya fasilitas MCK

tersebut dibangun di tiga titik. Dalam proses

pembuatannya melibatkan warga. Bahkan

di salah satu titik mereka secara swadaya

membangun peresapannya.

Koordinasi dan keterlibatan masyarakat

terkait pembangunan fasilitas MCK oleh ERCB

ini juga dapat dilihat di desa lain, seperti di

Kelurahan Lambara, Kecamatan Tawaeli, Kota

Palu. Warga yang rumahnya rusak oleh gempa

dan tsunami mengungsi ke sebuah lapangan

bola yang terletak di Desa Lambara ini. Dikelola

oleh sebuah organisasi masyarakat bernama

Lambara Remaja Tawaeli (Lamreta), lokasi di

lapangan tersebut menjadi posko pengungsian

yang cukup tertata.

“Awalnya komunitas ini dibentuk untuk

mewadahi anak-anak muda untuk berkegiatan

positif,” kata Fino, Ketua 2 Komunitas Lamreta.

Keterlibatan mereka dalam pengelolaan posko

tersebut karena mereka merasa terpanggil

untuk membantu sesama. Walaupun yang

berada di posko tersebut sebagian besar

bukanlah warga Desa Lambara.

“Ada beberapa keluarga disini, namun

sebagian besar yang mengungsi disini adalah

warga dari Kelurahan Panau yang terkena

tsunami. Namun kami tidak membeda-

bedakan dalam memberikan pelayanan,”

tambahnya.

Ditemui Kareba Palu Koro di posko, saat

sedang bekerja bakti membangun fasilitas

MCK, Fino dan teman-teman Lamreta sangat

menyambut gembira adanya fasilitas tersebut.

“Sangat bermanfaat,” jawab Fino saat

ditanya tentang keberadaan fasilitas MCK

tersebut.

Lapangan yang digunakan untuk

pengungsian tersebut biasanya digunakan

untuk latihan sepakbola dan kegiatan kemah

pramuka. Selain itu, warga setempat juga

menggunakan lapangan tersebut untuk sholat

Ied.

“Jadi, jika para pengungsi tidak lagi tinggal

disini lagi, akan terus dimanfaatkan dan

dipelihara dengan baik,” tambahnya.

Bahkan mereka memodifikasi luasan bilik,

luasan atap, bagian dinding, dan bagian

terasnya agar lebih nyaman ketika nantinya

digunakan oleh warga. Bahan baku untuk

modifikasi tersebut dari hasil swadaya.

Kemampuan teknis yang cukup baik dari para

anggota Lamreta membuat ERCB mencoba

untuk menjajagi kemungkinan mengajak

mereka untuk menjadi pendamping teknis

di desa-desa lain dimana ERCB bekerja. Di

beberapa titik pembangunan fasilitas MCK

terkadang memang masih ditemui kendala

terkait hal tersebut.

Kendala terbesar yang dihadapi adalah

ketersediaan semen. Permintaan yang cukup

tinggi akan semen membuat semen sulit untuk

didapatkan. Jika pun ada, harganya lumayan

tinggi, walaupun sudah ada penetapan

tentang harga semen untuk wilayah Sulawesi

Tengah. (mdk)

Warga Kelurahan Lambara

mengerjakan MCK secara mandiri.

Foto: Martin Dody/ERCB

04