DESAIN RUANG DAN PENCAHAYAAN BUATAN UNTUK …
Transcript of DESAIN RUANG DAN PENCAHAYAAN BUATAN UNTUK …
181
DESAIN RUANG DAN PENCAHAYAAN BUATAN UNTUK
MENDUKUNG SUASANA KONTEMPLASI PADA GEREJA
KATOLIK REGINA CAELI, JAKARTA
Ariani Mandala Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Katolik Parahyangan,
Jl. Ciumbuleuit no.94, Bandung
Abstrak
Penelitian ini mengkaji bagaimana tata cahaya (light) dengan desain ruang (space) pada Gereja
Regina Caeli mampu memperkuat impresi kehadiran Allah dan mendukung suasana kontemplasi.
Pembahasan ditinjau per-elemen ruang (ruang peralihan, panti umat, dan panti imam), pelingkup
ruang (lantai, dinding, plafon), serta pengisi ruang (furnitur, dekorasi, simbol). Aspek kajian
pencahayaan meliputi aspek fisik (sumber cahaya, teknik, distribusi, warna, dan intensitas cahaya)
dan aspek persepsi (efek psikologis cahaya). Penelitian menunjukan tata cahaya Gereja Regina
Caeli mendukung kontemplasi dengan menegaskan transisi ruang antara sakral dan ruang sekular
pada ruang peralihan serta memperkuat arah orientasi menuju altar. Pelemahan kontemplasi
diakibatkan implementasi simbol-simbol liturgi yang berlebihan sehingga mengaburkan fokus
umat. Sebagai gereja pluriform, Regina Caeli menerapkan kombinasi efek vertikalitas dan
horisontalitas bentuk dan ruang, namun tata cahaya lebih menekankan efek horisontal, impresi
sebuah gereja yang manusiawi.
Kata kunci: desain ruang, pencahayaan buatan, kontemplasi, Gereja Katolik Regina Caeli Jakarta
Abstract
Title: Space and Lighting Design to Support Contemplation Atmosphere in Regina Caeli
Catholic Church, Jakarta
The study examines how the light and space in the Church of Regina Caeli able to reinforce the
presence of God‟s impression and support contemplation‟s atmosphere. The discussion reviewed
by spatial elements (lobby/narthex, pulpit/nave, and sanctuary/chancel), enclosure elements
(floors, walls, ceilings), and interior elements (furniture, decoration, and symbols). The lighting
aspects explored are physical aspect (light source, technique, light distribution, colour, and level
of light) and perception aspect (psychology of light). The study shows that the lighting support
contemplation by emphasizing the sacred-secular space‟s transition and strengthen the sacred
space‟s orientation. The contemplation is weakened due to the excessive number of liturgical
symbols that blurring the people‟s focus. As a pluriform church, Regina Caeli applying the
combined effect of vertical and horizontal shape and space, but the lighting only emphasizes the
horizontal effect that caused the impression of a church that is humane.
Keywords: space design, lighting, contemplation, Regina Caeli Catholic Church Jakarta
Pendahuluan
Cahaya dalam arsitektur memiliki
peran besar untuk merepresentasikan
bentuk dan ruang. Dalam desain
bangunan religius, tata cahaya harus
dapat mengakomodasi kebutuhan
fungsional (utilitarian) sekaligus
memberikan sentuhan suasana yang
ATRIUM, Vol. 1, No. 2, November 2015, 181-195
182
kondusif untuk beribadah. Pencahayaan
buatan dalam gereja Katolik juga lebih
jauh diharapkan dapat menghadirkan
efek adanya relasi antara Allah dengan
manusia. Kehadiran Allah dalam
perayaan ibadah dapat dicapai dengan
melalui kontemplasi. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, arti kata
kontemplasi didefinisikan sebagai
renungan dengan kebulatan pikiran
atau perhatian penuh. Di dalam Bunga
Rampai Liturgi (1990). kontemplasi
dalam gereja Katolik mengandung
makna menatap seseorang atau sesuatu,
terpesona pada Yang Kudus. Moltmann
dikutip oleh Sheldrake (2001:140)
mendefinisikan kontemplasi sebagai
fokus kepada figur Yesus Kristus
(seperti dalam Injil), memahami secara
mendalam pribadi-Nya. Desain
pencahayaan buatan perlu diupayakan
untuk mendukung suasana kontemplasi
tersebut.
Gereja Regina Caeli, Jakarta
merupakan gereja dengan gaya
arsitektur modern. Berbeda dengan
bentukan gereja sebelumnya (yang
menekankan sifat ke-Ilahi-an sehingga
muncul dampak skala vertikal dan
unsur dekoratif yang kuat), arsitektur
gereja abad ke-20 memiliki gaya
pluriform (Pramudji dalam Bunga
Rampai Liturgi 1990: 78). Penelitian
ini mengkaji bagaimana suasana
kontemplasi digubah dalam desain
arsitektur gereja Regina Caeli sebagai
gereja modern serta peran pencahayaan
buatan dalam menguatkan efek
kontemplasi tersebut.
Penelitian bersifat kualitatif dengan
studi kasus gereja Regina Caeli. Data
yang dikumpulkan mencakup data
kuantitatif dan kualitatif. Data
kuantitatif berupa pengukuran
iluminasi menggunakan alat ukur
(luxmeter) untuk mendapatkan
perbandingan tingkat terang ruang dan
kontras objek dalam ruang. Data
kualitatif berupa hasil observasi dan
dokumentasi objek serta wawancara
kepada arsitek, teknisi dan operator
gereja dan teknisi penyuplai lighting
gereja. Pengolahan data mencakup data
ruang (space) dan cahaya (light),
masing-masing meliputi unit data fisik
dan data persepsi (Tabel 1).
Data fisik ruang dibagi sesuai tipologi
gereja Katolik, yaitu:
1. Lobby/narthex, merupakan tempat
peralihan dari suasana luar
(kehidupan sehari-hari) masuk ke
dalam persekutuan dengan Allah.
2. Panti umat/nave, merupakan ruang
tengah gereja, tempat duduk umat
mengikuti liturgi.
3. Panti imam/chancel, merupakan
tempat tersuci dimana terdapat
altar/meja perjamuan kudus, mimbar
tempat pewartaan sabda, tabernakel,
simbol salib, dan kursi pemimpin.
Analisis dilakukan dengan metode
kualitatif dengan komparasi teori-teori
kontemplasi dan pengolahan data dari
objek studi.
Tabel 1. Variabel data penelitian
Ruang (space) Cahaya (lighting)
Data
fisik:
-Ruang:
chancel,
nave,
narthex
-Peling-
kup
ruang:
lantai,
dinding,
plafon
-Pengisi
ruang:
perabot,
dekorasi
Data
persepsi
/psikolog
i ruang:
Vertikali
-tas,
horison-
talitas,
orientasi/
pengarah
, simbol
Data
persepsi/
Psikologi
cahaya:
luas,
tinggi,
relaks,
hangat,
intim,
terang,
kontras
Data
fisik :
Sumber
cahaya,
teknik,
distribusi
, warna,
iluminasi
Sumber: Data pribadi, 2015
Mandala, Desain Ruang dan Pencahayaan Buatan
183
Kontemplasi pada Gereja
Katolik
Dalam liturgi gereja, jemaat disadarkan
akan kehadiran Allah. Disatu pihak
diperlukan suasana nyaman untuk
beribadah, di lain pihak dibutuhkan
suatu cara dan suasana yang
mengundang kontemplasi (Bunga
Rampai Liturgi, 1990). Indikasi
keberadaan Allah di dalam ruang sakral
dapat ditemukan dalam orientasi/ kiblat
dan transedensi/ imanensi6 (Subagio,
1997). Devosi juga dapat dibantu
dengan penggunaan simbolisasi liturgi
yang berupa benda dan gambar
sehingga lebih mudah meresap dalam
ingatan manusia.
Orientasi pada Altar
Dalam desain gereja, altar simbol
kehadiran Allah yang menjadi pusat
orientasi, tempat sentral (Subagio
1997, Bunga Rampai Liturgi 1990:27).
Dalam bukunya yang berjudul The
Sacred and the Profane, Eliade (1963)
menjelaskan bahwa sakral selalu
didefinisikan sebagai sebuah kenyataan
yang berbeda dengan kenyataan
normal. Kita menjadi sadar akan
sebuah hal dirasakan sakral ketika hal
tersebut berbeda dengan keadaan yang
biasa. Suasana dalam ruang tersebut
harus dibuat sedemikian sehingga
berbeda dengan ruang lainnya sehingga
mendukung kontemplasi berorientasi
pada area tersuci.
Pencahayaan dapat membantu
menciptakan susunan dan memperjelas
area dan aktivitas yang paling relevan
untuk menjadi fokus perhatian
(Lechner, 2007:400). Richard Kelly
6 Istilah Tuhan yang transenden artinya Tuhan
melampaui dunia ini, berjarak, sulit untuk
dipahami manusia. Tuhan yang imanen
berarti Tuhan berada di dalam struktur alam
semesta serta turut serta mengambil bagian
dalam proses-proses kehidupan manusia.
dikutip dalam Lechner (2007:403)
mengatakan fokus sinar dapat
mengkonsentrasikan pikiran, dan
memberi tahu manusia apa yang
seharusnya dilihat, memisahkan yang
penting dengan tidak penting.
Perbedaan tingkat terang yang tinggi
antara panti imam dan ruang lainnya di
dalam gereja mempertegas fokus
perhatian yang mampu mengundang
suasana kontemplasi kepada Yang
Kudus. Teknik accent lighting7 dapat
menarik perhatian umat fokus kepada
area-area tertentu (seperti mimbar,
tempat air suci, atau altar). Pemilihan
jenis armatur adjustable8 juga umum
digunakan untuk fleksibilitas ruang.
Elemen ruang dan pelingkup ruang
juga berperan dalam penekanan
kontemplasi ke altar. Konfigurasi ruang
dalam gereja membentuk aksis menuju
ke chancel (linier maupun konsentris).
Dinding gereja umumnya
menggunakan pola repetisi/ irama
(deretan kolom maupun ornamen
dinding), pola lantai pada area panti
umat, dan peninggian lantai pada area
panti imam sehingga membantu
mengarahkan perhatian umat untuk
fokus ke panti umat.
Vertikalitas dan Horisontalitas
Ruang
Perkembangan arsitektur gereja
menunjukan perubahan konsep gereja
yang transenden menuju imanen.
Gereja-gereja tua menekankan
pentingnya Allah, bangunan gereja
7 Accent lighting banyak digunakan untuk
menampilkan unsur estetika ketimbang
fungsinya sebagai alat penerang. Banyak
digunakan sebagai aksentuasi sesuatu yang
khusus seperti lukisan, benda seni, detail
arsitektur yang menarik, dan sebagainya.
Tipe lampu yang biasanya digunakan di
antaranya adalah spotlight. 8 Jenis armatur/rumah lampu yang dapat
diputar (diarahkan dengan sudut putar
tertentu).
ATRIUM, Vol. 1, No. 2, November 2015, 181-195
184
adalah Allah, oleh sebabnya sifat ke-
Ilahi-an sangat diperhatikan dan
diutamakan. Dampak spatialnya
muncul dalam vertikalitas ruang, bisa
berarti tinggi menjulang atau besar
meluas. Skala ruang besar mampu
menghilangkan atau mengurangi
eksistensi skala manusia dan
menegaskan keberadaan Allah
(Crosbie, 2006). Suasana yang
terbentuk akibat vertikalitas ruang
semakin memperkuat posisi kuasa
Allah dan mengecilkan manusia. Efek
liturgis disini menekankan pada
keagungan dan kebesaran Sang
Pencipta (Subagio, 1997). Karakter
vertikal ini juga didukung dengan
aneka unsur dekorasi maupun
pembentuk suasana lainnya seperti
bahan bangunan, warna dan tata
cahaya. Tata cahaya dapat menguatkan
kesan skala ruang yang lebih luas juga
dengan menyinari kedua dinding yang
berseberangan dengan penerangan
merata dan tingkat terang/ brightness
yang tinggi (Flynn dikutip oleh
Gordon, 2015 ; Livingstone, 2014).
Bentuk-bentuk yang tajam ke atas
(point) pada bidang atap maupun
penekanan pada bidang plafon
membuat rangsangan perspektif terasa
‟jauh ke atas‟ bagi pengamat.
Penekanan pada bagian langit-langit
gereja umumnya menggunakan detail
arsitektural seperti ukiran maupun
lukisan. Cahaya buatan mendukung
penekanan skala vertikal dengan
pemberian hightlight pada bentuk
maupun detail-detail tersebut. Selain
itu, berkas cahaya lembut dari atas
yang jatuh ke altar, kemudian
menyebar ke tempat duduk umat atau
berkas cahaya dari jendela yang jatuh
ke lantai dapat memberi efek
menyerupai tangga menuju surga
(Crosbie, 2006).
Teknik penerangan uplight9 juga umum
digunakan untuk menkankan
vertikalitas. Sumber cahaya diletakan
pada lantai dengan arah cahaya dari
bawah ke atas. Pancaran cahaya yang
dihasilkan kerap digunakan untuk
menghasilkan kesan megah, dramatis,
dan memberi kesan lebih tinggi pada
desain arsitektur bangunan (Akmal,
2006:41). Oleh sebab itu sering
digunakan untuk menonjolkan elemen
vertikal seperti kolom (Livingstone,
2014:15) maupun lekukan vault pada
langit-langit.
Pramudji dalam Bunga Rampai Liturgi,
(1990:68) menuliskan terjadi
perubahan pandangan atas manusia
pada abad 15 dan awal abad 16, yaitu
munculnya pemikiran humanistis.
Allah yang humanis menjadi warna
kental dari horisontalitas imanen10
ini.
Dampak spatialnya adalah ruang sakra
(kudus) yang intim, hangat dan relaks
(Subagio, 1997). Plastisitas ruang dan
gerak menjadi penting, mengalahkan
kekakuan. Gereja melahirkan aneka
bentuk baru, yang lebih merakyat, tidak
menjulang namun membumi. Ini
nampak dalam bangunan gereja
modern. Lebih lanjut Subagio
menyimpulkan efek liturgis dari skala
ruang horisontal ini menekankan pada
sifat manusiawi Kristus, Allah yang
sederhana dan dekat dengan manusia.
Flynn dikutip oleh Gordon (2015),
Livingstone (2014), dan Akmal (2006)
menyebutkan kesan ruang intim dan
9 Sebagai sumber pencahayaan buatan,
penempatan lampu dapat diatur dengan
mudah sesuai kebutuhan dan efek yang
ingin dihasilkan. Armatur/rumah lampu
juga membantu mengarahkan cahaya. Arah
cahaya yang umum digunakan diantaranya:
downlight, uplight, sidelight, frontlight,
backlight (Imelda Akmal, 2006) 10
Berada dalam kesadaran atau dalam akal
budi (pikiran), manusiawi
Mandala, Desain Ruang dan Pencahayaan Buatan
185
relaks dapat ditekankan melalui
beberapa teknik pencahayaan buatan
sebagai berikut:
1. Pemilihan warna cahaya11
hangat
(kekuningan) mampu membentuk
atmosfer ruang yang hangat
sehingga umat menjadi relaks
Selain itu, kuat pencahayaan yang
lebih rendah juga mampu
memperkuat impresi subjektif
relaksasi.
2. Penyebaran titik lampu yang tidak
merata, terutama pada bagian
dinding dan penggunaan dimmer
juga membantu membuat ruang
terasa intim.
Penggunaan armatur jenis striplight12
dapat menghasilkan tampilan cahaya
yang menguatkan kesan horisontal
pada elemen ruang. Untuk
mendapatkan distribusi cahaya berupa
garis umumnya digunakan lampu TL,
LED linier, atau click strip.
Subagio (2007) mengemukakan
munculnya ambiguitas nilai religius.
Disatu pihak ada kecenderungan untuk
kembali pada kesakralan gereja yang
monumental, di lain pihak
menginginkan gereja sebagai rumah
yang akrab. Kombinasi keduanya akan
melahirkan Gereja yang sakral dan real,
mistikal dan merakyat, yang melayani
Allah dan manusia.
Penggunaan Simbol-simbol Liturgi
Menurut Romo Mangunwijaya (1988), pada dasarnya arsitektur merupakan
pencarian makna. Makna tersebut
11
Penggunaan warna-warna hangat (merah)
memberi efek psikologis mendekat,
sedangkan warna dingin (biru) memberi
efek menjauh (The use of color in interior,
Albert O. Halse) 12
Jenis lampu yang bentuknya memanjang
seperti garis. Biasanya digunakan sebagai
penerangan tidak langsung merata dibalik
plafon yang diturunkan/ drop plafon.
diwujudkan dalam bentukan arsitektur
sebagai tanda. Sedangkan simbol,
dipakai sebagai cara untuk
mengekspresikan pikiran dan sarana
untuk berkomunikasi antara pencipta
(arsitek gereja) dengan pemakai
(umat). Identitas aristektur pada gereja
melingkupi tipologi ruang, dengan
pemaknaan sakral tertinggi pada area
altar. Sedangkan simbol yang umum
digunakan adalah tanda salib sebagai
peringatan akan karya keselamatan
Kristus.
Sesuai dengan tradisi gereja kuno,
ruang ibadat umumnya dilengkapi juga
dengan gambar atau patung Tuhan
Yesus, Maria dan para kudus agar
dapat dihormati umat beriman. Akan
tetapi perletakan, jumlah maupun
figurnya harus diperhatikan, agar
jangan sampai perhatian umat
dibelokan dari perayaan liturgi itu
sendiri.
Sehubungan dengan penggunaan
simbol-simbol liturgi, terdapat dua
kecenderungan yang harus dihindari
(Bunga Rampai Liturgi, 1990), yaitu:
1. Kecenderungan untuk melipat
gandakan benda atau tanda-tanda
dalam jumlah yang terlalu banyak
sehingga akan memperlemah daya
dan simbolis benda. Misal: terlalu
banyak elemen salib yang dipasang
akan memperlemah perhatian umat
terhadap simbolisasi salib itu
sendiri.
2. Kecenderungan untuk melebih-
lebihkan hal yang tidak penting,
sehingga mengaburkan simbol
pokok dan terbawa pada devosi
yang kurang tepat.
Teknik yang umum digunakan untuk
penekanan simbol-simbol gereja, yaitu
dengan accent lighting. Agar efektif,
datangnya cahaya diset sekitar 300 dari
ATRIUM, Vol. 1, No. 2, November 2015, 181-195
186
kanan dan kiri atau tengah, dan 450
secara vertikal mengarah kepada objek
(Manning, 1998).
Konsep Tata Ruang dan
Cahaya Gereja
Gereja Regina Caeli13
merupakan stasi
paroki Stella Maris Pluit yang
dibangun dari tahun 2004-2006. PT.
BIAS Tekno-Art Kreasindo (Sardjono
Sani) ditunjuk sebagai konsultan
arsitektur dan juga sebagai perencana
lighting. Supplier tata cahaya dari PT.
Phillips Lighting Indonesia.
Gambar 1. Perbandingan visual gereja
Regina Caeli saat siang (kiri) dan malam
(kanan).
Sumber: Dokumentasi pribadi, 2007
Sosok Gereja Regina Caeli dengan
desain gereja modernnya menjadi
kontras jika dibandingkan dengan
kawasan perumahan elit Pantai Indah
Kapuk yang mengusung gaya neo-
klasik. Skala bangunan proporsional
(horisontal) pada area peralihan dan
dengan ketinggian dan volume
membesar ke arah altar (vertikal)
memberikan kesan megah. Ornamen
tidak banyak diterapkan, material yang
digunakan sebagian besar polos dengan
warna-warna natural.
Dalam penggubahan bentuk, sang
arsitek mencoba menghadirkan sosok
bentuk dari apresiasi sebuah kapal yang
akan berlabuh di sebuah tempat, sebuah
13
Regina Caeli dalam bahasa Latin
berarti Ratu Surga. Merupakan salah satu
gelar untuk Bunda Maria.
bahtera, di mana kapal tersebut di
nahkodai oleh salib Kristus pada
menara. Ruang dalam gereja memiliki
konfigurasi bentuk linier dengan aksis
menuju chancel. Bentuk denah
mengambil analogi bentuk kapal/
bahtera sesuai konsep desain dengan
proporsi seimbang.
Gambar 2. Denah gereja Regina Caeli
Sumber: Dokumentasi pribadi, 2007
Tabel 2. Pembagian zona ruang gereja
Warna Elemen ruang
Ruang peralihan/ Narthex
Tangga foyer, foyer utama
(silinder), lobby interior
Panti umat/Nave
ruang umat utama, ruang umat
bagian sayap kiri dan kanan
(lantai 1), tribun umat sayap
kiri dan kanan (lantai 2)
Panti imam/Chancel
Area pengakuan dosa
Area servis dan lainnya
(ruang sakristi, r.panel, r.audio
system, r.abu, tangga menara,
dan teras)
Gua Maria
Lantai
dasar
Area parkir, ruang servis (toilet,
gudang, ruang sekuriti dan
ruang utilitas)
Sumber: Dokumentasi pribadi, 2007
Gambar 3. Potongan gereja menunjukan
ruang-ruang yang menjadi fokus penelitian
Sumber: Ilustrasi pribadi, 2007
Denah
lantai 1
Denah
lantai 2
Mandala, Desain Ruang dan Pencahayaan Buatan
187
Penelitian akan difokuskan pada ruang
dalam mencakup ruang narthex, nave
dan chancel (Gambar 3).
Secara umum, konsep desain pencahayaan
buatan pada Gereja Regina Caeli meliputi
beberapa perihal berikut ini:
1. Fokus pencahayaan pada pada area
panti imam penekanan pada simbol
salib.
2. Kuantitas cahaya berturut-turut pada
area narthex/lobby ekstrerior, nave, dan
chancel berkisar 17-65 lux, 94-246
lux, dan 83-157 lux.
3. Keseluruhan sumber cahaya
menggunakan warna cahaya (putih-
kekuningan (warm-white) dengan
temperatur warna 27000 K.
4. Jenis lampu yang banyak digunakan
variatif meliputi halogen14
,
fluorescent15
jenis TL-D, compact
fluorescent PL-C dan SL, metal
halide16
, LED17
dan lampu
selang/clickstrip18
untuk beragam
aktivitas fungsional dan teknik cahaya.
14
Lampu halogen merupakan jenis lampu
pijar dengan tingkat renderasi mendekati
sempurna. Kekurangannya adalah cepat
panas sehingga filamen mudah putus (umur
nyala lampu pendek). 15
Lampu fluorescent atau lebih dikenal
dengan lampu neon merupakan lampu yang
relatif umum digunakan. Jenis tabung
menghasilkan cahaya linier, jenis TL-D
memiliki diameter lebih kecil (26mm)
dibanding TL biasa dengan renderasi warna
/CRI lebih baik (>80), sedangkan jenis PL-
C maupun SL (dengan selubung)
merupakan variasi bentuk lebih compact. 16
Metal halide merupakan jenis lampu
berbahan gas dan bubuk metal dengan
efisiensi besar (tingkat iluminasi tinggi).
Kekurangannya adalah waktu penyalaan
cukup lama. 17
LED merupakan jenis lampu dioda (lampu
senter) dengan sumber cahaya berbentuk
titik sehingga mudah dalam penempatan.
Memiliki beragam variasi cahaya dan tahan
benturan. 18
Clickstrip merupakan rangkaian linier
lampu incandescent festoon dengan
5. Distribusi cahaya menggunakan variasi
teknik sistem accent lighting dengan
spotlight untuk pengarah fokus;
backlighting, uplighting dan
sidelighting untuk penekanan pada
elemen-elemen arsitektural.
Desain Ruang dan
Pencahayaan Buatan dalam
Mendukung Suasana
Kontemplasi
Ruang Peralihan/ Narthex
Gambar 4. Ilustrasi tata cahaya area
Narthex
Sumber: Ilustrasi pribadi, 2007
Area narthex dapat dibagi menjadi 3
ruang: area tangga, lobby luar (massa
berbentuk silinder), dan lobby dalam
(ruang dalam gereja, peralihan menuju
panti umat). Pada area tangga foyer,
terdapat lampu steplight LED berseling
pada masing-masing pijakan kiri dan
kanan. Selain berfungsi penerang jalan,
lampu tersebut juga sebagai jalan,
peralihan dari ruang profan masuk ke
ruang sakral (gereja). Area lobby dalam
menggunakan skala horisontal dengan
ruang proporsional dan permainan
ornamen di bidang dinding (terutama
ukiran di pintu masuk). Namun, tata
cahaya yang diaplikasikan banyak
menggunakan distribusi uplighting
yang dapat mempertinggi kesan
selubung bening (nyala lampu lebih tajam)
ataupun selubung es/frosted untuk hasil
cahaya menyebar/difus. Efek yang dibentuk
berupa nyala lampu kontinu yang lembut.
ATRIUM, Vol. 1, No. 2, November 2015, 181-195
188
vertikal dengan penekanan garis pada
deretan kolom arsitektural. Uplight
pada deretan kolom arsitektural juga
menjadi pengarah dari area peralihan
masuk ke ruang sakral gereja. Elemen
bejana suci yang menjadi aksentuasi
ruang dipertegas dengan efek glow
sehingga menonjolkan detail ulir
material bejana.
Gambar 5. Tata cahaya area Narthex
Sumber: Dokumentasi pribadi, 2007
Sebagai ruang peralihan, area narthex
menjadi uang transisi untuk
mengarahkan umat dari luar menuju ke
ruang dalam. Gary Black mengatakan,
umat perlu beradaptasi dari ruang luar
yang terisolasi dan impersonal menuju
ruang ibadah yang dan intim. Dalam
proses peralihan tersebut, faktor tingkat
terang berfungsi untuk menghasilkan
perubahan yang signifikan dalam
performa visual. Peningkatan iluminasi
dari 0 menjadi 50 footcandle akan
meningkatkan terang dan performa
visual akan meningkat sampai 85
persen (Lechner 2007:387). Hasil
pengukuran memperlihatkan
peningkatan intensitas cahaya yang
signifikan dari lobby luar (17-65 lux)
dan lobby dalam (366 lux). Perbedaan
tingkat terang ini penting sebagai
penghantar dari luar/ eksterior yang
dianalogikan sebagai kehidupan
duniawi, masuk ke dalam ruang/
interior gereja yang dianalogikan
sebagai kehidupan surgawi.
Panti Umat/ Nave
Gambar 6. Tata cahaya area panti umat
utama
Sumber: Dokumentasi pribadi, 2007
Gambar 7. Tata cahaya area panti umat
bagian sayap kiri
Sumber: Dokumentasi pribadi, 2007
Gambar 8. Tata cahaya area panti umat
bagian sayap kanan
Sumber: Dokumentasi pribadi, 2007
Panti umat gereja Regina Caeli
memiliki skala ruang proporsional bila
dilhat dari perbandingan dimensi lebar
dan tinggi ruang. Hal ini juga terasa
melalui permainan bidang masif-
bukaan pada bidang dinding horisontal
yang berulang dan penurunan skala
vertikal dengan adanya drop plafond
dan lampu gantung berbentuk salib.
Mandala, Desain Ruang dan Pencahayaan Buatan
189
Intensitas pencahayaan merata didapat
melalui general lighting dari adjustable
pendant lamp (area umat utama) dan
lampu fixed downlight (area umat
bagian sayap). Distribusi cahaya
merata ini selain untuk pemenuhan
standar kuantitas cahaya juga
memperjelas skala ruang horisontal.
Pencahayaan pada elemen dinding
ruang umat utama didesain khusus
dengan perpaduan accent lighting dan
backlighting pada jendela. Elemen
dinding simetris di kiri dan kanan
ruang membentuk komposisi gelap-
terang bidang masif (dinding) dan
transparan (bukaan jendela) yang
menarik dengan teknik cahaya buatan
yang serupa dengan siang hari (dengan
cahaya alami). Pada masing-masing
elemen jendela ditempatkan relief jalan
salib (14 buah) yang disorot dengan
lampu metal halide teknik accent
lighting dan backlighting 4 buah lampu
TL. Cahaya yang berulang dari elemen
dinding tersebut membentuk ritme/
irama terang-gelap (Gambar 9). T.S
Eliot dikutip oleh Dillistone (1986:65)
mengemukakan simbolisme mengenai
terang dan gelap. Kegelapan bukan
berarti terang tidak ada, hanya tidak
terlihat, ia tidak lagi sebagai sesuatu
yang menakutkan, namun dihadapi
dengan ketenangan dan menantikan
akan datangnya terang. Terang dan
gelap adalah sesuatu yang pasti, seperti
siang dan malam, kontinu keseharian
manusia. Gelap-terang menjadi simbol
akan harapan dan ritme kehidupan,
menghadirkan efek psikologis akan
pengharapan akan terang setelah gelap,
ketenangan batin akan cahaya yang
terus menerus kontinu mengikuti jalan
kehidupan manusia. Selain itu, teknik
cahaya yang bermain kontinu
sepanjang elemen dinding juga
memperkuat kesan horisontal ruang.
Efek yang dirasakan konstan mengarah
ke altar maupun pintu masuk karena
tekanan cahaya konstan (tidak terdapat
pembedaan tone cahaya).
Gambar 9. Efek gelap-terang yang berulang
elemen dinding pada siang dan malam hari
Sumber: Dokumentasi pribadi, 2007
Pada drop ceilling berbentuk salib
terdapat dua buah jenis penerangan,
yaitu indirect light TL dan downlight
halogen. Penempatan pinspot halogen
selain berfungsi sebagai penambahan
kuantitas cahaya pada area sirkulasi
juga menegaskan pembedaan ruang
antara sirkulasi dengan area duduk.
Cahaya lampu halogen yang berderet
teratur pada garis aksis ruang
sepanjang plafon salib juga membantu
mengarahkan orientasi perhatian umat
dari lobby menuju altar. Lampu TL
ditempatkan berjejer di sekeliling
plafon dengan ditutup armatur acrylic
memberikan efek dekoratif striplight19
sekaligus menegaskan bentuk plafon
salib.
Gambar 10. Drop ceilling bentuk salib pada
ruang umat utama
Sumber: Dokumentasi pribadi, 2007
19
Biasa juga disebut linier light karena efek
cahaya berbentuk garis. Lampu yang umum
digunakan untuk mendapatkan efek ini
adalah jenis lampu TL (hasil cahaya lebih
kuat), clickstrip, maupun LED strip (unggul
dalam variasi warna)
ATRIUM, Vol. 1, No. 2, November 2015, 181-195
190
Terdapat dua buah patung pada bagian
belakang area umat utama, yaitu patung
Yesus Kristus (sebelah kiri) dan patung
Bunda Maria (sebelah kanan).
Penempatan patung-patung tersebut
kurang strategis sehingga tidak menjadi
fokus perhatian umat dan tidak
diberikan penataan efek cahaya khusus
karena sekitarnya sudah sangat terang
(akibat komposisi pencahayaan pada
elemen dinding ruang). Keberadaan
lilin-lilin permohonan yang sebenarnya
memberikan efek misteri menjadi tidak
terasa. Hal ini kurang mendukung
suasana devosi pada saat berdoa.
Gambar 11. Posisi perletakan figur patung
Yesus dan maria pada area umat utama
Sumber: Dokumentasi pribadi, 2007
Panti Imam/ Chancel
Altar pada gereja Regina Caeli terletak
pada pertemuan garis aksis linier dari
arah pintu masuk utama maupun pusat
orientasi ruang umat kiri dan kanan. Ini
sesuai dengan konsep liturgi biblikal
dimana waktu bergerak linier dan
menuju satu kesimpulan atau titik
tujuan20
. Tujuannya adalah Allah,
dalam arsitektur diinterpretasikan
dalam ruang altar sebagai tempat
tersuci. Skala vertikal ruang pada altar
juga jauh lebih tinggi dengan
20
Konsep ini muncul pada abad ke-4
menggantikan konsepsi Romawi yang
meyakini waktu berjalan berputar (cyclical
sense of time). Bentukan arsitektur pun
berubah dari bentuk basilika melingkar
menjadi bentuk kotak dengan koridor
sempit memanjang (dikelilingi pilar-pilar)
menuju satu titik pusat altar.
peninggian bidang plafon dibandingkan
dengan ruang umat.
Gambar 12. Ruang altar sebagai pusat
orientasi gereja
Sumber: Ilustrasi pribadi, 2015
Penataan cahaya area altar dapat
dikatakan menjadi fokus utama dalam
desain cahaya gereja. Hal ini terlihat
dari variasi teknik cahaya yang
digunakan maupun besarnya beban
daya yang dihasilkan. Tata cahaya yang
utama pada altar dapat diklasifikasikan
menjadi dua buah teknik cahaya, yang
pertama adalah spotlight lampu PAR38
dan indirect lighting menciptakan efek
glowing pada elemen pengisi ruang
altar.
Gambar 13. Teknik glowing pada meja altar
Sumber: Dokumentasi pribadi, 2007
Dalam kegiatan ibadah, tata gerak
pastur merupakan fokus perhatian umat
paling utama. Maka, sudah selayaknya
ditempatkan pada posisi sentral. Tata
cahaya Gereja Regina Caeli dinilai
mengaburkan pusat orientasi ini.
Teknik glowing pada meja altar sangat
dominan sehingga pastur berada pada
area bayangan (gelap). Hanya terdapat
Mandala, Desain Ruang dan Pencahayaan Buatan
191
satu buah lampu spotlight (armatur
tengah) yang menyorot langsung ke
meja altar, namun kurang untuk
menekankan fokus. Tingkat
pencahayaan minimum yang
direkomendasikan menurut Badan
Standarisasi Nasional sebesar 200 lux.
Orientasi pada altar dapat dicapai
dengan memberikan penerangan tinggi
sekitar 2-3 kali lipat di atas level
penerangan nave (Manning 1998).
Kuat penerangan pada area sekitar altar
adalah 83 lux dan pada bidang meja
altar berkisar 157 lux, sehingga
orientasi dari penekanan level cahaya
tidak tercapai.
Penekanan fokus justru dilakukan
kepada elemen pengisi ruang altar
(mencakup meja altar, bangku imam
dan pembantu imam serta peninggian
lantai altar) dengan teknik glowing.
Teknik ini diterapkan dengan distribusi
cahaya indirect lighting menggunakan
deretan lampu TL 36 dan 18W yang
ditutup armatur kaca sandblast.
Terdapat peninggian pada area altar
untuk menekankan perbedaan sifat
dengan ruang lainnya, altar adalah yang
suci. Peninggian ini dikuatkan dengan
efek cahaya glowing yang membentuk
garis linier sekeliling altar. Tingkat
terang altar terbantu dengan teknik
glowing ini, dan material lantai maupun
background tirai yang cerah
(brightness tinggi).
Lechner (2007:391) mengatakan
meskipun dapat membentuk suasana
hati dan estetis, rasio tingkat terang
yang tinggi sebenarnya tidak
dianjurkan untuk menghindari mata
yang beradaptasi terus-menerus.
Teknik glowing ini dapat memberi efek
negatif berupa kelelahan pada mata
karena berakomodasi terus-menerus
(akibat tingkat terang yang tinggi).
Gambar 14. Tata cahaya area altar gereja
Regina Caeli
Sumber: Dokumentasi pribadi, 2007
Beberapa pantulan cahaya ke lantai
(material lantai mengkilap) seperti
pantulan glowing meja altar juga
diamati mengganggu konsentrasi umat.
Penggantian warna dan tekstur material
dapat mengantisipasi efek tersebut.
Dimensi ruang area chancel cukup
besar dan tinggi secara volume
(20mx8mx13,5 m). Sebagai area
tersuci, altar sudah seharusnya didesain
khusus baik secara dimensial maupun
dekoratif. Walau demikian, terdapat
drop plafond pada area nave utama
yang menghalangi view ke arah altar
sehingga skala vertikal berdasarkan
pengamat/umat lebih kecil.
Gambar 15. Grafis potongan gereja
memperlihatkan lebar sudut pandang umat
ke arah chancel
Sumber: Ilustrasi pribadi, 2015
Tata cahaya pada altar menguatkan
kesan luas ruang. Tirai 21
(dengan
21
Pada konsep desain awal tidak
menggunakan tirai (background merupakan
langit gelap malam hari), namun
pembahasan dilakukan pada kondisi aktual
objek.
ATRIUM, Vol. 1, No. 2, November 2015, 181-195
192
warna material terang) yang digunakan
untuk menutupi elemen kaca
(background altar) menghasilkan
refleksi cahaya tinggi sehingga
membantu menekankan spaciousness
(Gambar 14).
Gambar 16. Ilustrasi tata cahaya tampak
muka area chancel
Sumber: Ilustrasi pribadi, 2007
Lampu spotlight digunakan untuk
menampilkan efek simbol liturgi pada
elemen dinding altar. Lampu digantung
pada drop ceilling (ketinggian 18
meter) yang terbuat dari kayu penuh
dengan lambang/ simbol religius
(berupa lubang-lubang) berbentuk
alpha, dan lambang Regina Caeli
(mahkota dengan salib). Lampu yang
digunakan jenis PAR sudut distribusi
380 yang merupakan lampu halogen
dengan parabolic reflector sehingga
cahaya lebih terarah. Tujuh buah lampu
dikelompokkan menjadi tiga buah
armatur (Gambar 16). Sebuah lampu
pada masing-masing kelompok armatur
diarahkan ke simbol salib (accent
lighting) dan lainnya diarahkan
menyorot simbol religius pada plafon
kayu sehingga menampilkan dekoratif
lambang berupa cahaya ke dinding
(mahkota) dan plafon (alpha). Bila
teknik cahaya yang digunakan tepat,
efek dekorasi cahaya ini dapat menarik
perhatian umat ke atas (plafon)
membawa pada efek devosi (vertikal).
Simbol cahaya dekoratif pada dinding
dan plafon dinilai kurang berhasil,
disebabkan empat hal, yaitu:
1. Kuat cahaya lampu PAR kurang
memadai sehingga cahaya tidak
sampai ke bidang pantul (dapat
menggunakan daya yang diperbesar
atau pemilihan jenis lampu berbeda,
misalnya jenis metal halide).
2. Sudut distribusi lampu terlalu lebar
(380) sehingga sinar telah menyebar
sebelum sampai ke bidang pantul
(tidak fokus/kurang spot)
3. Perbandingan kontras22
objek
dengan iluminasi sekitar terlalu
kecil. Terang sekitar dipengaruhi
oleh penggunaan lampu TL 36W
pada dinding kiri dan kanan masing-
masing berjumlah 6 buah. Pada
rencana desain awal, lampu TL ini
sebagai backlight dari
lukisan/gambar religius, namun
karena ornamen tersebut belum
terpasang maka kondisi tersebut
menyebabkan silau dan tata cahaya
altar terganggu secara keseluruhan.
4. Warna cahaya sama dengan warna
permukaan bidang pantul sehingga
kontras tidak terasa.
Simbol salib pada altar diberikan
highlight dengan penembakan dua buah
lampu spotlight mengarah ke simbol
salib (Gambar 17). Teknik accent light pada salib membentuk bayangan
simetris pada tirai altar dan permainan
light-shadow pada figur Yesus.
22
Kontras merupakan tingkat terang antara
detail dengan latar belakangnya. Kontras
yang baik akan menimbulkan kesan
menarik karena objek akan terlihat lebih
menonjol sehingga dapat menjadi point of
interest dalam ruang.
Mandala, Desain Ruang dan Pencahayaan Buatan
193
Gambar 17. Perletakan sudut lampu
spotlight pada salib altar
Sumber: Ilustrasi pribadi, 2007
Efek glow yang diterapkan pada
elemen salib eksterior (belakang altar)
yang menerus ke dalam ruang chancel
memunculkan kesan salib „kedua‟ yang
sama kuat kedudukannya dengan salib
pada pusat altar. Jumlah simbol salib
yang digunakan pada altar cukup
banyak (salib utama bentuk figur,
mimbar berbentuk salib, simbol salib
pada meja tabernakel dengan
lampadarium berupa lampu penanda
kehadiran Allah berwarna merah di
atasnya dan salib glow). Hal ini
menyebabkan berkurangnya suasana
liturgis karena menimbulkan kerancuan
fokus.
Pada area chancel terdapat objek
patung figur pada sisi kiri (patung
Regina Caeli) dan kanan (patung Maria
dan Yesus). Kedua buah objek tersebut
seharusnya layak untuk ditonjolkan
misalnya dengan penggunaan accent
lighting.
Kesimpulan
Orientasi pada Altar
Tata cahaya Gereja Regina Caeli sudah
berusaha menekankan fokus perhatian
umat pada area altar. Ini terlihat dari
banyaknya teknik cahaya (spotlight)
dan cahaya dekoratif pada elemen
arsitektural (glowing) yang digunakan
pada area tersebut. Peralihan ruang dari
narthex-nave-chancel juga sudah
menekankan orientasi menuju altar.
Tata cahaya pada tangga foyer, uplight
pada deretan kolom lobby luar, efek
irama gelap-terang dari dinding panti
umat, dan deretan downlight halogen
teratur pada garis aksis ruang
sepanjang drop plafon salib di panti
umat membantu mengarahkan fokus
umat menuju ruang sakral.
Sebaliknya, tingkat terang area altar
dengan sekelilingnya masih kurang, hal
ini disebabkan karena kebutuhan
tingkat iluminasi area umat untuk
membaca cukup tinggi. Dapat
disimpulkan pada Gereja Regina Caeli
kebutuhan fungsional bertentangan
dengan kebutuhan kontemplasi.
Distribusi cahaya dalam ruang terlalu
merata. Apabila area umat diredupkan,
kebutuhan baca tidak terpenuhi,
sedangkan bila penerangan area altar
dinaikkan, dapat mengganggu aktivitas
fungsional pada area tersebut (panas,
silau, beban daya besar). Kontrol
cahaya (switching & dimming)
disarankan untuk menjadi salah satu
solusi dalam menghasilkan variasi
pergantian fokus cahaya.
Vertikalitas dan Horisontalitas
Ruang
Arsitektur Gereja Regina Caeli dapat
disimpulkan mengadaptasi prinsip-
prinsip gereja klasik dan modern
dengan kombinasi efek vertikalitas dan
horisontalitas bentuk dan ruang. Skala
rruang proporsional di bagian panti
umat dan kemudian meninggi pada
area suci chancel. Kombinasi tersebut
nerupakan perpaduan dari sifat gereja
yang transenden dan imanen. Namun
demikian, dukungan tata cahaya area
altar kurang menekankan efek vertikal
dan skala ruang, cahaya banyak
bermain di bidang dinding yang lebih
memberi efek horisontalitas. Warna
cahaya kekuningan juga memperkuat
efek tersebut. Impresi ruang yang
ATRIUM, Vol. 1, No. 2, November 2015, 181-195
194
dihasilkan menjadi lebih hangat,
sebuah gereja yang manusiawi.
Gambar 18. Skematik tata cahaya potongan
gereja
Sumber: Ilustrasi pribadi, 2007
Penggunaan Simbol-Simbol Liturgi
Gereja Regina Caeli banyak
menggunakan simbol salib untuk
membantu mengarahkan devosi umat
kepada Allah. Simbolisasi salib
diterapkan pada beragam elemen ruang
maupun pengisi ruang (drop plafond
berbentuk salib, salib besar di altar,
salib glow, bentuk mimbar salib,
simbol salib pada tabernakel, elemen
salib pada ke empat dinding dan plafon
massa silinder narthex dan salib
menara). Banyaknya simbol justru
melemahkan makna simbolisasi salib
itu sendiri karena menyebabkan
kerancuan fokus. Aksentuasi pada
simbol patung/ figur orang suci juga
kurang berhasil memberikan efek
devosi.
Referensi
Akmal, I. & Sanjaya, S. (2006).
Lighting. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama.
Badan Standarisasi Nasional. (2001).
Tata cara perancangan sistem
pencahayaan buatan pada
bangunan gedung. SNI 03-
6575-2001. Jakarta: Badan
Standarisasi Nasional
Black, R. G. The art of making sacred
spaces.
http://www.integratedstructures.
com/documents/Sacred%20Spa
ce.pdf (diakses 20 Oktober
2015).
Bunga Rampai Liturgi. (1990).
Disunting oleh Komisi Liturgi
KWI. Bina liturgia 7, tata
ruang ibadat. Jakarta: PD
Penerbit OBOR.
Crosbie, M.J. (2006). What makes a
sacred place?
http://www.aia.org/nwsltr_aiaj.c
fm?pagename=aiaj_a_2005073
0sacred_place (diakses 24 Jul
2007)
Dillistone, F. W . (1986). The power of
symbols, London: SCM Press
Ltd.
Elliade, M. (1963). The sacred and the
profane. Translated Willard R.
Trask, Harcourt. New York:
Brace & World.
Gordon, G. (2014). Interior lighting for
designers 5th edition. New
Jersey: John Wiley & Sons, Inc.
Lechner, N. (2007). Heating, cooling,
lighting: metoda desain untuk
arsitektur. Terjemahan
Sandriana Siti. Jakarta: PT.
RajaGrafinso Perkasa.
Livingstone, J. (2014). Designing with
light. The art, science, and
practice of architectural
lighting design. New Jersey:
John Wiley & Sons, Inc.
Mandala, A. (2007), Integrasi teknik
pencahayaan buatan dan
arsitektur untuk mendukung
suasana liturgis pada gereja
Katolik Regina Caeli, Jakarta.
(Tesis, Universitas Katolik
Parahyangan Bandung, 2007.
Tidak dipublikasikan).
Mangunwijaya, Y.B. (1988). Wastu
citra. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama.
Manning, A. (1998). Church lighting
guide.
http://www.manningltg.com/ch
Mandala, Desain Ruang dan Pencahayaan Buatan
195
urch-lighting-guide.html
(dikakses 21 Oktober 2015).
Sheldrake, P. (2001). Spaces for the
sacred, Maryland: The Johns
Hopkins University Press.
Subagio, R. (1997). Vertikalitas dan
horisontalitas ruang sakral.
Majalah filsafat dan teologi.
Bandung: Universitas Katolik
Parahyangan.
Tellini, S. (1997). Religion and
symbolism, technology and art.
Professional lighting design
magazine.