DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

124
i DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN N A U F A L P3700212006 PROGRAM STUDI ILMU KEHUTANAN PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2014

Transcript of DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

Page 1: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

i

DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT

KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

N A U F A L

P3700212006

PROGRAM STUDI ILMU KEHUTANAN

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2014

Page 2: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

ii

TESIS

DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT DI KABUPATEN BARRU

Disusun dan diajukan oleh

N A U F A L

Nomor Pokok P3700212006

Telah dipertahankan di depan Panitian Ujian Tesis

Pada tanggal 22 Agustus 2014

sehingga dinyatakan telah lulus dan memenuhi syarat

Menyetujui Komisi Penasihat,

Ketua Anggota

Prof. Dr. Ir. Daud Malamassam, M.Agr

Prof. Dr. Ir. Baharuddin Nurkin, M.Si

Ketua Program Studi

Ilmu Kehutanan

Direktur Program Pascasarjana

Universitas Hasanuddin

Prof. Dr. Ir. Muh Dassir, M.Si Prof. Dr. Syamsul Bahri, SH.MH

Page 3: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

iii

ABSTRAK

NAUFAL. Desain Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat Kabupaten Barru (dibimbing oleh Daud Malamassam dan Baharuddin Nurkin) Penelitian ini bertujuan (1) menentukan dan menganalisis kesesuaian lokasi untuk pembangunan Hutan Tanaman Rakyat di Kabupaten Barru, (2) menganalisis kesesuain lahan untuk jenis tanaman yang dapat dikembangan pada areal yang sesuai untuk pengembagan Hutan Tanaman Rakyat, dan (3) mendesain Rancangan Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat dengan basis spasial yang terintegrasi dengan tata ruang, kesesuaian lahan, menejemen pengelolaan, preferensi pasar dan industri.

Penelitian akan membuat model desain pembangunan hutan tanaman rakyat yang terintegrasi dengan tata ruang, kesesuaian lahan, pengelola/masyarakat, lokasi dan kebutuhan bahan baku industri yang berbasiskan spasial.

Dari hasil analisis spasial didapatkan areal – areal yang sesuai, agak sesuai, dan tidak sesuai. Masing masing kelas sesuai seluas 1.095 ha (6.5%), agak sesuai seluas 6.373 (37.8%) dan tidak sesuai untuk dikembangkan HTR 9.388 ha seluas (55.7%). Kesimpulan hasil penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan dalam pengusulan HTR dimasa yang akan datang. Kata kunci : hutan tanaman rakyat, kesesuain lahan, desain pembangunan

Page 4: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

iv

ABSTRACT

NAUFAL. Design of the Development of Community Forest in the Barru Regency (Supervised by Daud Malamassam dan Baharuddin Nurkin) The study aims to : (1) determine and analyse the suitability of location for the development of community forest in Barru regency; (2) analyse the suitability of the area for plants suistable for community forest development; (3) provide a design of community forest development with a spatial base integrated to the space pattern, land suitability, management, market and industry preferences. A model of community forest development design was made. It was integrated with space pattern, land suitability, management, market, location, and spatial-based need of industrial raw material. Result of analysis reveals that the suitable land (1.095 hectares / 6.5%), partly-suistable land (6.373 hectares / 37.8%), and non-suitable land (9.388 hectares / 55.7%). Be Used as reference to be considered in proposing the design of community forest development in the future of HTR. Keywords : community forest plantation, location suitability, development design

Page 5: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

v

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah Rabbil Alamin, puji dan syukur penulis panjatkan

kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan Berkat dan Kasih-Nya

sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Desain

Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat Kabupaten Barru”, yang skaligus

merupakan syarat untuk memperoleh gelar Magister di Program

Pascasarjana Universitas Hasanuddin.

Begitu banyak doa, dukungan, dan perhatian yang penulis dapatkan

selama penyusunan tesis ini berlangsung, sehingga segala hambatan yang

ada dapat terlewati dan dapat dihadapi dengan penuh sukacita. Oleh

karena itu, dengan penuh kerendahan hati, penulis menghaturkan ucapan

terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang telah

banyak membantu dan meluangkan waktunya dalam penyelesain tesis ini:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Daud Malamassam, M. Agr dan Bapak Prof. Dr. Ir.

Baharuddin Nurkin, M.Sc sebagai dosen pembimbing yang telah

banyak mencurahkan tenaga dan pikirannya, meluangkan waktunya

yang begitu berharga untuk memberi bimbingan dan pengarahan

dengan baik, dan memberikan dukungan serta motivasi dalam

penyelesaian tesis ini.

2. Bapak Prof.Dr. Supratman, S.Hut, M.P, Prof. Dr. Ir. Muh. Dassir, M.Si, dan

Dr. Suhasman, S.Hut, M.Si sebagai dosen penguji yang telah

meluangkan waktunya dan banyak memberi masukan, koreksi serta

arahan sehingga tesis ini dapat terselesaikan dengan lebih baik.

3. Direktur Pascasarjana, Ketua Program Studi Ilmu Kehutanan beserta

staf pengajar dan pegawai yang telah memberikan sumbangsih yang

sangat besar kepada penulis.

4. Bapak Bupati Barru dan Kepala Dinas Kehutanan beserta staff yang

telah memberikan kesempatan melaksanakan kegiatan di wilayah

penelitian, dan telah memfasilitasi dalam kelancaran dan pelaksaan

penelitian ini.

Page 6: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

vi

5. Kanda Haudec Herawan atas segenap bantuannya yang sangat berarti

dalam penyelesaian penelitian ini. Terimkasih sekali lagi kanda.

6. Teman dan Adinda tercinta di Tim Layanan Kehutanan Masyarakat :

Haeruddin, Ismed Tanunata, Aksan Firmansyah, Faisal Hidayat, Ikha

rurul, Laode Muh Ikbal, Mulyadi, Laode Ifrisal, Nurul, Afif, Ridwan, Muh

Ickhwan terimakasih atas dukungan tenaga dan pikirannya serta

anugrahandini nasir, selalu menyelesaikan masalah yang tidak dapat

diselesaikan oleh penulis. Kalian adalah anak muda yang sukses

dimasanya, semoga impian kalian segera tercapai.

7. Seluruh Staf di Sulawesi Community Foundation (SCF), yang telah

memfasilitasi secara tidak langsung tapi sangat berdampak dalam

merangkumkan dan menyelesaikan studi ini.

8. Seluruh Staf di Medialingkungan.com yang telah memberikan

sumbangsih pikiran dan wawasan sehingga memberikan jalan dan

pikiran yang segar dalam menyelesaikan tiap masalah yang dihadapi

selama penelitian ini. Terimakasih sekali lagi untuk prosesnya.

9. Kawan-kawan peneliti di Tropical Rain Forest, yang selalu menjadi

lawan diskusi dan teman berfikir, sehingga membuka wawasan baru

dalam penyelesai studi ini.

10. Teman teman seperjuangan Ilmu kehutanan Program Pascasarjana

Universitas Hasanuddin 2012, terimakasih atas segala canda tawa, dan

waktu suka duka yang telah dilalui bersama. Kalian semua bisa, ini

hanya persoalan waktu.

11. Secara khusus penghargaan, rasa hormat dan rasa terima kasih yang

tak terhingga ku persembahkan kepada kedua orang tua ku tercinta:

Asmin Dunggio dan Adam Achmad yang telah membesarkan,

mendidik dan mendoakan dengan segala kasih sayang dan perhatian

beliau selama ini, sehingga selalu diberikan jalan untuk menyelesaikan

studi hingga jenjang Magister.

Dengan kerendahan hati, penulis menyadari bahwa tesis ini masih

memiliki kekurangan. Untuk itu, kritik dan saran dari pembaca yang sifatnya

Page 7: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

vii

membangun sangat penulis harapkan. Kiranya tesis ini dapat bermanfaat

serta dapat menjadi salah satu bahan informasi pengetahuan bagi pembaca

sekalian.

Makassar, Agustus 2014

N a u f a l

Page 8: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

viii

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ......................................................................... i

HALAMAN PENGESAHAN............................................................ ii

ABSTRAK ...................................................................................... iii

KATA PENGANTAR ...................................................................... iv

DAFTAR ISI .................................................................................... viii

DAFTAR TABEL ............................................................................ xi

DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xii

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.......................................................................... 1

B. Rumusan Masalah .................................................................... 5

C. Tujuan Penelitian ...................................................................... 5

D. Kegunaan Penelitian ................................................................. 6

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengelolaan Hutan........................................................... 7

1. Pengelolaan Hutan Konvensional & Permasalahan .......... 7

2. Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) ............ 9

B. Perkembangan Industri Perkayuan & Permasalahan

Bahan Baku ........................................................................... 17

1. Kebijakan Industri Perkayuan ........................................... 17

2. Degradasi/Penurunan Potensi Hutan ................................ 20

3. Kesenjangan antara Pontensi Hutan & Kebutuhan

Bahan Baku ...................................................................... 24

C. Pembangunan HTR .............................................................. 27

1. Konsep HTR ..................................................................... 27

2. Model Pembangunan HTR ............................................... 31

3. Permasalahan HTR .......................................................... 37

4. Rencana Pembangun HTR di Kabupaten Barru ............... 39

D. Kerangka Pikir ...................................................................... 42

Page 9: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

ix

III. METODE PENELITIAN

A. Lokasi dan Waktu Peneltian .................................................. 45

B. Jenis dan Sumber Data ......................................................... 45

C. Populasi & Teknik Sampel ...................................................... 46

D. Teknik Pengumpulan Data ..................................................... 47

E. Analisis Data .......................................................................... 47

1. Analisis Spasial ................................................................ 47

2. Analisis Kesesuain Lahan ................................................. 50

3. Skenario Pola HTR ........................................................... 51

F. Kerangka Penelitian ................................................................. 52

IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

A. Kawasan Hutan ...................................................................... 55

B. Hutan Tanaman Rakyat & Perkembangannya ....................... 56

C. Kondisi BIofisik Kawasan ....................................................... 56

1. Penutupan Lahan ............................................................. 56

2. Iklim .................................................................................. 57

3. Topografi .......................................................................... 60

4. Jenis Tanah ...................................................................... 61

5. Kondisi Geologi ................................................................ 61

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kesesuain Lokasi Pengembangan HTR ................................ 63

B. Penyusunan Kelas Kesesuian Lahan .................................... 66

1. Penyusunan Karekteristik Lahan ..................................... 66

2. Penyusunan Persyaratan Tumbuh .................................. 68

3. Kesesuain Lahan ............................................................. 68

C. Evaluasi Kondisi Eksisting HTR ............................................. 71

D. Skenario Pengembangan HTR .............................................. 74

1. Skenario Pesimis .............................................................. 76

2. Skenario Moderat .............................................................. 77

3. Skenario Optimis ............................................................... 77

E. Pengembangan Industri ........................................................ 80

1. Jenis Industri....................................................................... 80

2. Kapasitas Industri .............................................................. 82

3. Lokasi Industri – Tata Ruang Wilayah ................................. 83

Page 10: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

x

F. Pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat .................................... 86

1. Kelembagaan...................................................................... 86

2. Adaptibilty ........................................................................... 88

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ............................................................................ 91

B. Saran ..................................................................................... 92

DAFTAR PUSTAKA....................................................................... 93

LAMPIRAN

Page 11: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

xi

DAFTAR TABEL

No Teks

Halaman

1. Pergeseran Konseptual Dari Paradigma Kehutanan Negara ke

Kehutanan Masyarakat………...…………..………………….......

11

2. Hutan Produksi disetiap Kecamatan/Desa Barru ….…………... 40

3. Luas Pencanagan & Izin HTR Kabupaten Barru…….…………. 41

4. Bobot Landuse terhadap HTR……………………………………. 48

5. Bobot Jarak Pemukiman terhadap HTR……………………….… 48

6. Bobot Kelas Lereng terhadap HTR………………………………. 49

7. Klasifikasi Kelas Kesesuian Pengembangan HTR……………... 50

8. Luas Kawasan Hutan dalam setiap Kecamatan………………... 55

9. Penggunaan Tanah………………………………………………... 59

10. Perensentase Kemiringan Lahan……………..………………….. 60

11. Persentase Ketinggian Lahan…………………………………….. 62

12. Jenis Tanah…………………………………………………………. 62

13. Kelas Kesesuain Pengembangan HTR………………………….. 64

14. Daftar jenis tanaman yang berpotensi dikembangkan…………. 69

15. Kesesuian Lahan HPT…………………………………………….. 69

16. Skenario Pembangunan HTR, melalui jenis Sengon & Jati…… 76

17. Volume dan Nilai Produksi HTR untuk Skenario Pesimis……... 78

18. Volume dan Nilai Produksi HTR untuk Skenario Moderat...…... 78

19. Volume dan Nilai Produksi HTR untuk Skenario Optimis……... 78

20. Perizinan Industri Primer Hasil Hutan Kayu…………………….. 82

Page 12: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

xii

DAFTAR GAMBAR

No Teks

Halaman

1. Grafik PDB Nasional Sektor Kehutanan.……………………... 26

2. Hutan Produksi disetiap Kecamatan/Desa Barru……………. 40

3. Kerangka Pikir…………………………………………………… 42

4. Kerangka Penelitian……………………...……………,………. 52

5. Curah Hujan Rata-Rata Bulanan Kabupaten Barru..….….…. 59

6. Histogram Hari Hujan Rata-Rata Bulanan……………………. 60

7. Kelembapan Udara Rata-Rata Bulanan……………..……..… 61

8. Peta Kelas Kesesuian Pengembangan HTR………………… 67

9. Peta Kesesuain Lahan HPT..…………..…………………...…. 70

10.

Peta Kelas Kesesuain Pengembangan Terhadap Eksisting HTR………………………………………………………….….…

73

11 Peta Penetapan Kawasan Strategis Kabupaten Barru...…… 85

12.

Persentase Jawaban Responden……………………………... 89

Page 13: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

1

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejak tahun 2007 Pemerintah, khususnya Kementerian Kehutanan

telah menggiatkan program pembangunan Hutan Tanaman Rakyat

(HTR). Program pembangunan HTR merupakan kebijakan Pemerintah

yang bertujuan untuk mengentaskan kemiskinan (pro-poor),

menciptakan lapangan kerja baru (pro-job) dan memperbaiki kualitas

pertumbuhan melalui investasi yang proporsional antar pelaku ekonomi

(pro-growth). Kebijakan HTR memberikan akses lebih kepada

masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya hutan, dalam Peraturan

Pemerintah No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan Dan Penyusunan

Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan.

Berdasarkan P.10/Menhut-II/2011, salah satu dari enam kebijakan

prioritas pembangunan kehutanan tahun 2010-2014 adalah Revitalisasi

Pemanfaatan Hutan dan Industri Kehutanan. Pemanfaatan hutan alam

dalam memenuhi kebutuhan industri kehutanan saat ini sudah tidak

dapat diharapkan lagi. Kondisi hutan alam yang terdegradasi akibat

illegal logging dan kebakaran hutan, menyebabkan kurangnya suplai

kayu untuk industri kehutanan dan pembangunan nasional secara

kompleks. Pengembangan hutan tanaman, baik hutan tanaman industri

maupun hutan tanaman rakyat merupakan salah satu cara pemenuhan

Page 14: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

2

kebutuhan industri kayu nasional agar tetap dapat berjalan dan tumbuh

untuk masa kini dan masa yang akan datang.

Permasalahan lainnya dalam pengelolaan hutan di Indonesia

adalah rendahnya pendapatan masyarakat dari usaha kehutanan.

Hal tersebut mengindikasikan bahwa peran hutan rakyat dan hutan

produksi yang dapat diakses oleh masyarakat melalui skema

pengelolaan hutan yang berbasiskan masyarakat, belum berfungsi

secara optimal. Rendahnya pendapatan masyarakat melalui usaha

kehutanan berdampak terhadap tingginya kegiatan konversi lahan

hutan menjadi usaha non kehutanan. Selain itu kehidupan

masyarakat desa sekitar hutan tidak bisa dipisahkan dengan hutan

sebagai tempat menggantungkan hidupnya. Paradigma baru

pembangunan pengelolaan kehutanan yang melibatkan masyarakat

menjadi harapan baru untuk memecahkan permasalahan kehutanan

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Universitas Hasanuddin

bekerjasama dengan Balai Penelitian dan Pengembangan Daerah

Sulawesi Selatan mengindikasikan bahwa terdapat beberapa

kendala terkait dengan implementasi program Hutan Tanaman

Rakyat di Sulawesi Selatan. Kendala-kendala tersebut antara lain

meliputi, belum adanya kesepahaman bersama mengenai pentingnya

HTR dalam membangun kesejahteraan masyarakat dan

perekonomian daerah, belum adanya inisiatif Pemerintah Kabupaten

memberikan porsi anggaran pada pembangunan hutan tanaman

Page 15: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

3

rakyat, mekanisme yang birokratis, hingga kurangnya komunikasi

antara Kementerian Kehutanan dengan Pemerintah Kabupaten.

Permasalahan tersebut di atas disebabkan oleh belum adanya model

pengelolaan di tingkat tapak yang mengatur fungsi stakeholder terkait

(Alif, dkk, 2010)

Masalah lain yang cukup serius adalah masalah yang ditemukan

pada Industri Kehutanan. Berkurangnya sumber bahan baku dari hutan

alam sangat menggangu keberlangsungan industri kehutanan yang saat

ini masih menggantungkan supplai bahan bakunya pada hutan alam.

Karena kayu yang dihasilkan dari hutan alam cenderung memiliki

karakteristik diameter besar, termasuk jenis-jenis komersial yang

disenangi pembeli (buyer), variasi produk yang dihasilkan lebih banyak

dan rendemen output lebih maksimal yang berasal dari hutan alam.

Sehingga Industri pengolahan kayu harus mencari alternative bahan

baku seperti dari hutan tanaman rakyat atau kayu rakyat. Potensi paling

besar yang memungkinkan supplai untuk industri kehutanan adalah

berasal dari Hutan Tanaman Industri (HTI) dan Hutan Tanaman Rakyat

(HTR). Sedangkan pada konteks pengelolaan hutan tanaman rakyat

proses management untuk membuat kayu yang ditanam dapat memiliki

nilai yang tinggi dan diserap oleh industri kehutanan tidak dilakukan

karena keterbatasan pengetahuan masyarakat dan pradigma

pengelolaan ditingkat tapak.

Page 16: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

4

Kabupaten Barru memiliki potensi yang cukup besar untuk

pengembangan hutan tanaman rakyat, Berdasarkan data yang

didapatkan di Dinas Kehutanan, Barru memiliki pontensi hutan produksi

yang cukup besar dan dapat dikelolah dengan baik untuk kepentingan

pengembangan HTR dan HTI yaitu sebesar 17.312 ha (Dishut Barru,

2012)

Pada tahun 2010-2012 Kementerian Kehutanan telah

mencanangkan pembangunan Hutan tanaman Rakyat (HTR) oleh seluas

1.497 ha di Kabupaten Barru, yang terdiri dari 3 kecamatan, yaitu

kecamatan Balusu, Kecamatan Barru dan Kecamatan Pujananting. Areal

ini telah mendapatkan Izin Usaha Pemanfatan Hasil Hutan Kayu

(IUPHHK HTR) dari Bupati dan telah diverifikasi seluas 1.481 ha. Angka

tersebut dipastikan akan naik, karena Dinas Kehutanan Barru pada

pertengahan tahun 2013 kembali mengusulkan Pencangan HTR sebesar

14.000 ha yang tersebar hampir disetiap kecamatan, dengan model

pengelolaan yang menggunakan skema mandiri.

Dalam rangka mendukung kelancaran dan keberhasilan

pembangunan Hutan Tanaman Rakyat termaksud diatas, dibutuhkan

suatu perencanaan yang bersifat komperhensif. Sehubungan dengan itu

maka penelitian ini difokuskan pada upaya untuk mendesain

pembangunan Hutan Tanaman Rakyat secara kompleks, guna

mendukung optimalisasi pengelolaan hutan tanaman rakyat yang

Page 17: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

5

terintegrasi pada pola ruang, kesesuian lahan, pengelolaa/kelompok

tani, pasar dan industri.

B. Rumusan Masalah

Melihat hal diatas, Potensi Pengembangan Hutan Tanaman Rakyat

secara nasional dan perregion, termasuk di Kabupaten Barru terus

mengalami peningkatan dari tahun ketahun sedangkan riset dan

pengembangan pengelolaan pada level pengelolaan HTR masih sangat

minim, disisi lain banyaknya kasus industri kehutanan di Indonesia yang

bangkrut karna sulitnya mendapatkan bahan baku pasokan kayu yang

legal, hal ini lah yang kemudian menjadikan kenapa riset ini penting untuk

dilakukan, agar bagaimana mendesain pembagunan Hutan Tanaman

Rakyat secara kompleks untuk menjawab beberapa gap kebutuhan

Industri, Pengelolaah HTR, dan Pemda pada konteks pengelolaan hutan

tanaman rakyat yang terintegrasi pada pola ruang, kesesuaian lahan,

pengelola/masyarakat, pasar, lokasi dan kebutuhan bahan baku industri

C. Tujuan Penlitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menganalisis dan menentukan tingkat kesesuaian lokasi untuk

pembangunan Hutan Tanaman Rakyat di Kabupaten Barru.

2. Menganalisis kesesuain lahan untuk jenis – jenis tanaman yang

dapat dikembangan pada areal yang sesuai untuk pengembagan

Hutan Tanaman Rakyat

Page 18: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

6

3. Mendesain Rancangan Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat

dengan basis spasial yang terintegrasi dengan pola ruang,

kesesuaian lahan, pengelola/masyarakat, pasar dan industri. Desain

tersebut meliputi areal-areal yang sesuai untuk dikembangkan, jenis-

jenis tanaman, skenario pengelolaan, kelembagaan, serta jenis dan

lokasi industri.

D. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi model rancangan

pembangunan hutan Tanaman Rakyat yang secara kompleks dan

terintegrasi dengan pola ruang, kesesuain lahan, pasar dan industri,

sehingga diharapkan mendapatkan manfaat yang lebih dalam

pembangunan kehutanan yang berbasiskan “suistanable forest

management” pada suatu kabupaten.

Page 19: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

7

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengelolaan Hutan

1. Pengelolaan Hutan Konvensional dan Permasalahannya

Selama dua dasawarsa terakhir strategi pengusahaan hutan

telah terbukti mampu memberikan peranan besar dalam

pembangunan ekonomi, namun pembangunan ekonomi di sektor

kehutanan yang selama ini dilakukan tidak memperhatikan aspek

pelestarian terhadap lingkungan. Akibatnya terjadi bencana alam

yang disebabkan oleh kerusakan hutan. Masih lemahnya komitmen

lembaga-lembaga yang berwenang dalam melakukan pengawasan

terhadap kelestarian hutan semakin memperparah laju tingkat

kerusakan hutan (Kartodihardjo, 2008).

Masalah yang sangat kompleks pada hutan dan kehutanan di

Indonesia sangat tinggi baik dari segi administrasi sampai pada

proses implemntasi dilapangan, kurangnya pengetahuan mengenai

dinamika hutan, serta dominasi kepentingan dan keuntungan jangka

pendek, telah mengakibatkan kegagalan sebagian besar program

penanaman kembali.

Karena prosedur pembangunan kembali hutan tropis bekas

tebangan belum dikembangkan dengan baik, maka badan

kehutanan mengalami kesulitan untuk menetapkan dana reboisasi

yang dengan tepat mencerminkan biaya penanaman kembali. Lebih

Page 20: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

8

lanjut, kebijakan perundang-undangan masa lalu hanya mempunyai

sedikit pengaruh untuk memperbaiki manajemen pengusahaan

kayu, seringkali disebabkan karena kebijakan tersebut tidak

mempertimbangkan kemampuan Departemen Kehutanan untuk

melaksanakan perundang-undangan tersebut (Lahjie, 2003).

Mengantisipasi permasalahan yang telah disebutkan

sebelumnya maka Lahjie (2003) sepakat dengan konsep

pengelolaan hutan lestari. Pengelolaan hutan lestari lebih dikenal

dengan istilah sustainable forest management. ITTO

mendefinisikannya sebagai proses pengelolaan lahan hutan untuk

mencapai satu atau lebih tujuan yang ditetapkan menyangkut

keseimbangan produksi dari hasil hutan dan jasa yang diinginkan

serta tidak mendapatkan dampak buruk yang tidak diinginkan.

Secara operasional, definisi tersebut mencakup unsur-unsur sebagai

berikut :

1. Hasil yang berkesinambungan berupa hasil hutan kayu, hasil

hutan non kayu dan jasa pengelolaan hutan.

2. Mempertahankan tingkat biodiversitas yang tinggi dalam konteks

perencanaan tata guna lahan integratif mencakup jaringan kerja

kawasan lindung dan kawasan konservasi.

3. Menjaga stabilitas fungsi dan ekosistem hutan dengan

penekanan pada pemeliharaan produktivitas tempat tumbuh (site

Page 21: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

9

productivity), menjaga sumber benih dan unsur biodiversitas

hutan yang diperlukan untuk regenerasi dan pemeliharaan hutan.

4. Meningkatkan dampak positif pada kawasan hutan dan

mengambil langkah-langkah untuk meminimalkan dampak yang

merugikan.

5. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan

dan berupaya menyelesaikan potensi konflik.

2. Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM)

Pemanfaatan hutan menurut Undang-Undang Kehutanan

Nomor 41 Tahun 1999 bertujuan memperoleh manfaat yang optimal

bagi kesejahteraan masyarakat secara berkeadilan dengan tetap

menjaga kelestariannya. Definisi tersebut memberikan kata kunci

bagi pengelolaan hutan yaiitu konservasi dan kesejahteraan

masyarakat. Pengelolaan hutan harus memberikan manfaat bagi

masyarakat yang berada pada kawasan hutan (Nadia, 2011).

Dalam mewujudkan konservasi dan kesejahteraan masyarakat,

diperlukan upaya bersama dalam pengelolaan hutan. Pengelolaan

hutan berbasis masyarakat menjadi konsep alternatif pengelolaan

saat ini. Pengelolaan hutan berbasis masyarakat sering kali disebut

Community Based Forest management (CBFM). Menurut

Supratman (2006), nilai inti pembangunan CBFM adalah ideologi

dasar yang bersifat permanen tidak berubah menurut waktu, tempat,

dan kondisi masyarakat di mana CBFM tersebut berlangsung. Nilai

Page 22: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

10

inti pembangunan CBFM dikonstruksi dari nilai-nilai kearifan

masyarakat membangun dan mengelola hutan seperti nilai spiritual,

modal sosial, prinsip hidup, inisiatif lokal pelayanan publik kehutanan

oleh lembaga lokal, dan nilai manfaat ekonomi langsung. Nilai-nilai

tersebut menyatu dalam suatu konsep nilai inti.

Hingga saat ini perkembangan kebijakan pembangunan

kehutanan terus didorong kearah CBFM. Pergerakan yang

mendorong kearah kebutuhan paradigma baru kehutanan dapat

dilihat dari gerakan kehutanan masyarakat oleh semua pihak, baik

dari masyarakat, pemerintah, pemerhati lingkungan, perguruan

tinggi, dan lembaga swadaya masyarakat. Gerakan ini terlihat jelas

dengan semakin banyak pemikiran-pemikiran dan berbagai konsep

untuk mewujudkan CBFM menjadi dasar pembangunan kehutanan.

Gerakan masyarakat dan LSM dalam mewacanakan sistem

pengelolaan hutan masyarakat setempat dan penguatan hukum adat

semakin mewarnai dorongan perubahan (Patiung, dkk, 2006).

Awang (2001) mengatakan bahwa gagasan community forestry

(CF) atau kehutanan masyarakat diyakini menjadi cara terbaik untuk

membangun sumberdaya hutan. Dalam konteks Indonesia,

kehutanan masyarakat diartikan sebagai sistem pengelolaan hutan

yang dilakukan oleh individu, komunitas atau kelompok. Pengelolaan

tersebut dilakukan pada lahan negara, lahan adat, atau lahan milik

(individu atau keluarga), untuk memenuhi kebutuhan individu/rumah

Page 23: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

11

tangga dan masyarakat serta dapat dilakukan secara komersial

ataupun non komersial (subsisten). Pengertian ini akan berimplikasi

pada sistem pengelolaan hutan. Apabila dibandingkan karakteristik

antara pengelolaan hutan yang state based dengan community

based maka akan terlihat berbagai perubahan paradigmatik seperti

yang ditunjukkan oleh tabel di bawah ini :

Tabel 1. Pergeseran konseptual dari paradigma kehutanan negara

dengan kehutanan masyarakat.

No. Kehutanan Negara (dari) Kehutanan Masyarakat

(Menuju) A. SIKAP DAN ORIENTASI 1. Pengendalian Dukungan/fasilitasi

2. Penerima manfaat Mitra kerja

3. Pengguna Pengelola

4. Pembuatan keputusan uni

lateral Partisipatif

5. Orientasi peneriman Orientasi sumberdaya

6. Keuntungan nasional Orientasi keadilan lokal

7. Diarahkan oleh negara Proses belajar/evolusi

B. INSTITUSIONAL DAN ADMINISTRATIF 8. Sentralisasi Desentralisasi

9.

Manajemen (perencanaan,

pelaksanaan, monitoring)

oleh pemerintah

Kemitraan

10. Top down Partisipatif/negosiatif

11. Orientasi target Orientasi proses

12. Anggaran kaku untuk

rencana kerja besar

Anggaran fleksibel dengan

rencana mikro

Page 24: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

12

13. Aturan-aturan untuk

menghukum Penyelesaian konflik

C. METODA MANAJEMEN 14. Kaku Fleksibel

15. Tujuan tunggal Tujuan ganda/beragam

16. Keseragaman Keanekaragaman

17. Produk tunggal Produk beragam

18.

Menu manajemen yang

tetap dengan aturan

silvikultur tunggal

Beragam pilihan aturan

silvikultur untuk spesifik

lokasi

19. Tanaman Spesifik lokal

20. Tenaga kerja/buruh

pengumpul

Manajer/pelaksana/

pemroses/pemasar

Pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM) merupakan

alternatif pengembangan pengelolaan hutan ke depan. Di bawah ini

terdapat 8 kriteria yang menyatakan pentingnya konsep PHBM

dilaksanakan (Suwarno, 2011).

a) Pendapatan Nasional

Melalui PHBM pendapatan nasional dari sub sektor kehutanan

akan meningkat secara nyata. Peningkatan terjadi karena

pengaruh efek massal positif dari pengerahan sumberdaya

manusia sekitar 40 juta orang dalam memanfaatkan sumberdaya

hutan, baik manfaat aktual maupun manfaat potensial. Manfaat

aktual antara lain berupa kayu, hasil hutan non kayu dan jasa

wisata sedangkan manfaat potensial antara lain berupa

optimalisasi manfaat lahan untuk tanaman sela, pengembangan

Page 25: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

13

usaha lebah madu, ulat sutera, dan lain-lain. Peningkatan

pendapatan masyarakat dari sub sektor kehutanan ini akan

memberikan multiflier effect terhadap sektor ekonomi lainnya.

b) Pendapatan Negara

Pendapatan negara dari sub sektor kehutanan akan diperoleh

secara langsung dari usaha komersial bersama masyarakat

(produksi kayu, getah, rotan, ekowisata, dll), dan secara tidak

langsung diperoleh melalui pajak dan retribusi yang dikenakan

kepada masyarakat. Program PHBM juga diharapkan bisa

mengurangi kebocoran kas negara dengan memperkecil

terjadinya praktek-praktek KKN dalam tata usaha kayu dan hasil

hutan lainnya.

c) Pemerataan Pendapatan dan Lapangan Kerja

Dengan PHBM tidak ada lagi monopoli penguasaan hutan oleh

segelintir orang. Masyarakat diharapkan tidak lagi hanya

berstatus sebagai penonton atau buruh rendahan di negeri

sendiri. Masyarakat diharapkan memperoleh hak-hak akses

terhadap hutan, mampu menjadi tuan untuk mengatur dan

memanfaatkannnya secara bertanggung jawab. Sekitar 40 juta

jiwa bangsa Indonesia yang hidup di dalam kawasan

hutan. PHBM akan memberikan prioritas lapangan kerja kepada

orang-orang tersebut.

Page 26: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

14

d) Kekuatan struktur ekonomi

PHBM sejiwa dengan program ekonomi kerakyatan. Masyarakat

Indonesia yang tinggal di dalam kawasan hutan umumnya masih

berada dalam kontinum budaya meramu pertanian

tradisional. Mereka memiliki ketergantungan yang sangat tinggi

terhadap flora dan fauna hutan, juga terhadap ketersediaan lahan

garapan. Pola tersebut apabila bisa dicegah dari praktek-praktek

destruktif, akan menjadi bagian dari basis struktur ekonomi

nasional yang handal.

e) Neraca Sumber Daya Alam

Kegiatan eksploitasi sumberdaya alam dalam PHBM akan sangat

dipengaruhi oleh kualitas institusi (kelembagaan) yang

dibentuk. Institusi yang baik akan dapat menyeimbangkan unsur

input dan output, sehingga kelestarian hutan tetap

terjaga. PHBM memiliki potensi yang lebih tinggi membentuk

institusi pengelolaan hutan yang lebih baik dan kuat dibanding

sistem lainnya yang telah ada saat ini. Dikatakan memiliki

potensi yang lebih tinggi karena masyarakat hutan sejak dahulu

telah mempunyai nilai-nilai kearifan tradisional berkaitan dengan

alam. Saat ini kearifan tersebut sedang mengalami degradasi

luar bisaa disebabkan ekspasi sistem ekonomi pasar. Tugas

pemerintah adalah bagaimana menghidupkan kembali sistem

Page 27: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

15

pengelolaan berbasis kearifan tradisional ini dan diintegrasikan

dengan ilmu pengetahuan modern.

f) Nilai Ekonomi

Keragaman produk hasil hutan khas Indonesia, diyakini memiliki

keunggulan komparatif di pasaran dunia. Keunggulan tersebut

ada bukan karena polesan teknologi, melainkan kekhasan

kualitas alamiahnya. Sebagai contoh, rotan Indonesia dikenal

sebagai rotan berkualitas terbaik di dunia. Selain rotan, produk-

produk seperti kayu jati dan getah damar menjadi ciri khas

tersendiri karena negara lain jarang atau bahkan tidak bisa

memproduksi produk tersebut.

Keunggulan komparatif ini sangat ditentukan oleh kemampuan

dan strategi kepemimpinan pemerintah. Bila PHBM mampu

mengalihkan orientasi pemanfaatan hutan dari timber

oriented menjadi pengambilan manfaat-manfaat lainnya

(terutama hasil hutan non kayu) yang tidak merusak kelestarian

ekosistem, maka multiproduk hutan ini sangat berpotensi untuk

meningkatkan perolehan keuntungan dari hutan. Banyak jenis-

jenis hasil hutan non kayu yang setiap unitnya memiliki nilai

ekonomi jauh lebih tinggi daripada kayu, misalnya gaharu, madu,

tanaman obat, rotan, dan lain-lain. Hal tersebut semakin baik bila

kita mampu menciptakan bentuk-bentuk inovasi usaha yang

semakin mempertinggi produktifitas hutan.

Page 28: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

16

g) Kapasitas Lingkungan Hidup

Ada kekhawatiran terhadap pengerahan massal sejumlah besar

masyarakat kedalam hutan untuk mengelola dan memanfaatkan

hutan bisa menimbulkan resiko kerusakan hutan. Namun di sisi

lain apabila kita merefleksikan praktek-praktek di masa lalu,

sesungguhnya masyarakat sekitar hutan telah memiliki nilai-nilai

kearifan tradisional yang diwariskan secara turun-temurun dalam

mengelola sumberdaya lingkungan. Oleh karena itu, pengaruh

PHBM terhadap kapasitas lingkungan akan ditentukan oleh hidup

tidaknya kembali kearifan lokal serta penerapan inovasi teknologi

baru yang ramah lingkungan.

h) Sumberdaya Genetik Generasi Mendatang

Nilai-nilai kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat mempunyai

semacam pantangan untuk merusak sumberdaya lingkungan

dengan semena-mena. Institusi sosial yang dibangun sesuai

dengan karakteristik sumberdaya alam yang dikelola, akan

memberikan perlindungan yang efektif terhadap sumberdaya

alam itu sendiri. Pelanggaran oleh satu anggota masyarakat,

akan mendatangkan sanksi sosial yang keras dari kesatuan

anggota masyarakat yang lainnya. Ketika keanekaragaman

sumberdaya hayati telah menjadi unsur yang disepakati untuk

dilindungi, maka keberadaannya akan lebih terjamin untuk

generasi di masa yang akan datang.

Page 29: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

17

B. Perkembangan Industri Perkayuan dan Permasalahan Bahan

Baku

1. Kebijakan Industri Perkayuan

Pengelolaan sumber daya hutan secara lestari dan

berkelanjutan merupakan kewajiban bagi bangsa Indonesia untuk

menjawab amanat dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 “bumi,

air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai

oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran

rakyat”. Pasal ini diatribusi ke dalam UU No. 41 T ahun 1999

tentang Kehutanan, yang kemudian mengalami perubahan

berdasarkan Perpu No. 1 T ahun 2004. Perpu ini kemudian

disahkan sebagai UU No. 19 Tahun 2004.

Dalam pasal 2 UU No. 41 T ahun 1999 disebutkan bahwa

“Penyelenggaraan kehutanan berasaskan manfaat dan lestari,

keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan“. Secara

teoritis, dalam asas ini terlihat upaya pemerintah untuk

mengimplementasikan 4 prinsip good governance dalam

penyelenggaraan kehutanan guna menjamin dan melindungi serta

mengamankan fungsi hutan (Forest Watch Indonesia, 2011).

Selanjutnya pada masa orde baru, kewenangan perizinan

industri pengelolahan kayu dikuasi oleh pemerintah pusat, dibawah

kewenangan Departemen Perindustrian dan Pedagangan, Upaya

mempercepat tumbuhnya industri pengelolaan kayu juga didukung

Page 30: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

18

dengan kemudahan birokrasi. Wujud sentratlistik tersebut

ditegaskan dalam PP No.17 Tahun 1986 yang menyebutkan bahwa

kewenangan industri berada ditangan presiden yang

pelakasanaannya diserahkan kepada Menteri Perindustrian, serta

tanggung jawab menteri-mentri lain sesuai dengan bidangnya

(Greenomics Indonesia, 2004).

PP No. 17 Tahun 1986 ditindaklanjuti dengan PP No.13 tahun

1987 tentang Izin Usaha Industri, yang mengatur ketentuan bahwa

izin usaha industri merupakan kewenangan Manteri Perindustrian.

Bentuk perizinan idnustri yang menjadi kewenangan Departemen

Perindustrian tersebut terdiri dari izin tetap dan izin perluasan.

Kewenangan Departemen Perindustrian tidak hanya mencakup

kewenangan perizinan, namun juga diperluas dalam bentuk

kewenangan pembinaan terhadap iklim usaha, sarana, usaha, dan

produksi dari industri pengelolaan kayu. Selain pembinaan jufa

dilakukan pengawsan terhadap perusahan industri yang telah

mendapatkan izin usaha industri (Greenomics Indonesia, 2004).

Pada tahun 1997, Menteri Perindustrian dan Perdagangan

melimpahkan kewenangan perizinan dibidang industri dan

perdagangan kepada Dirjen Industri Hasil Pertanian dan Kehutanan,

dengan pertimbangan untuk kelancaran proses perizinan bidang

industri dan perdagangan. Pelimpahan kewenagan tersebut

dituangkan dalam Kepmenperindag No. 255/MPP/Kep/7/1997.

Page 31: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

19

Menteri Kehutanan juga melimpahkan kewenangan dalam hal

pelaksanaan kepemilikan dan keterkaitan HPH dengan industri

pengelolaan kayu kepada Dirjen Pengusahaan Hutan, dengan

pertimbangan untuk efisiensi dan mempercepat pelayanan

(Greenomics Indonesia, 2004).

Bentuk kewenangan yang diberikan kepada Direktur Jendral

Industri Hasil Pertanian dan Kehutanan meliputi kewenangan dalam

pemberian izin, kewenangan menoloak permohonan, pemberian

peringatam, pembekuan dan pencabutan izin industri (Greenomics

Indonesia, 2004).

Setelah rezim orde baru yang ditandai dengan lahirnya era

otonomi daerah, memberikan dampak pada dimulainya proses

desentralisasi kewenangan terkait dengan perizinan industri

pengelolaan kayu. Pelimpahan sebagaian urusan dan kewenagan

pusat kepada daerah yang diatur melalui UU No.22 tahun 1999 dan

UU No.25 tahun 1999 juga mencakup kewenangan perizinan industri

pengelolaan kayu. Pada oktober 1999, Menteri Perindustrian dan

Perdagangan menetapkan pelimpahan kewenangann pemberian

izin bidang industri dan perdaganan kepada Kabupaten/Kota dan

Provinsi.

Kewenangan tersebut mencakup kewenangan untuk

memberikan peringatan, pembekuan, dan pencabutan izin.

Pembagian wewenang perizinan industri tersebut hanya

Page 32: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

20

berdasarkan nilai investrasi perusahaan industri yang bersangkutan,

tanpa memperhatikan volume atau kapasitas produksi industri itu

sendiri (Greenomics Indonesia, 2004).

Izin usaha industri pengolahan kayu dapat diberikan kepada

perorangan, perusahan, persekutuan atau badan hukum yang

berkedudukan di Indonesia. Pelimpahan kewenangan pemberikan

perizinan industri pengelolaan kayu tersebut mencakup industri

penggergajian kayu, industri pengawetan kayu, industri kayu lapis,

industri kayu lapis laminasi termasuk Decorative Plywood, industri

panel kayu lainnya, industri venner dan industri moulding dan

komponen bahan bangunan.

Dengan adanya pelimpahan kewenangan perizinan industri

pengelolaan kayu kepada pemerintah daerah, maka pemerintah

pusat berperan dalam pembinaan industri. Kewenagan pembinaan

berada pada Direktur Jendral Industri Kimia, Agro dan Hasil Hutan

untuk perusahaan dengan nilai ivenstasi diatas 1 Milyar. Sedangkan

untuk perusahaan industri dengan nilai investasi sampai dengan 1

milyar, kewenangan pembinaannya berada pada Direktur Jendral

Industri Kecil dan Dagangan Kecil (Greenomics Indonesia, 2004).

2. Degradasi / Penurunan Potensi Hutan

Berdasarkan hasil temuan Forest Watch Indonesia (2011),

mengemukakan beberapa temuan-temuan terkait deradasi yang

berimpact pada penurutunan potensi hutan sebagai berikut :

Page 33: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

21

Pertama, Laju deforestasi pada periode tahun 2000-2009 adalah

sebesar 1,51 juta ha/tahun, dengan laju deforestasi terbesar

terjadi di Kalimantan yaitu sebesar 550.586,39 ha/tahun. Jika laju

deforestasi tidak ditekan, diperkirakan pada tahun 2020 tutupan

hutan di Jawa akan habis dan pada tahun 2030 tutupan hutan di

Bali-Nusa T enggara juga akan habis.

Kedua, Pada tahun 2003, sektor kehutanan memberikan

sumbangan 1,09% terhadap produk domestik bruto, menurun

menjadi 1,05 persen pada tahun berikutnya. Pada tahun 2008,

kontribusi ini hanya 0,79 persen. Kecenderungan penurunan

kontribusi ini menjadi pertanyaan mengingat pada rentang waktu

yang relatif sama, produksi kayu bulat nasional justru meningkat

drastis dalam jangka 4 tahun, yaitu dari 11,42 juta meter kubik pada

tahun 2003 menjadi 31,49 juta meter kubik pada tahun 2007 dan

meningkat lagi menjadi 31,98 juta meter kubik pada tahun 2008.

Ketiga, kebijakan produksi kayu nasional selama ini menopang

pengrusakan hutan alam Indonesia:

a) Tingginya total produksi tahunan dari seluruh izin pemanfaatan

kayu mengindikasikan adanya aktivitas pembukaan hutan alam

setiap tahun dengan luasan yang berbading lurus

b) Kebutuhan kawasan hutan untuk aktivitas di luar sektor

kehutanan, terutama perkebunan dan pertambangan

Page 34: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

22

c) Pemegang konsesi hutan tanaman industri banyak melakukan

pemanenan terhadap kayu hutan alam secara besar-besaran

dengan memanfatakan izin pemanfaatan kayu

Keempat, berkurangnya luas areal kerja Hak Pengusahaan Hutan

berjalan seiring dengan berkurangnya tutupan hutan. Pada tahun

2000, luas areal Hak Pengusahaan Hutan seluas 39, 16 juta ha,

sedangkan tahun 2009 menurun menjadi 26,16 juta ha. Pada

rentang waktu yang sama tutupan hutannya berkurang dari 22,01

juta ha menjadi 20,42 juta ha.

Kelima, laju deforestasi di kawasan hutan produksi dan hutan

produksi terbatas yang dilakukan oleh perusahaan pemegang

konsesi Hak Pengusahaan Hutan antara lain disebabkan oleh:

perusahaan tidak melakukan kewajiban silvikultur tebang pilih

tanam Indonesia yang dipersyaratkan bagi unit manajemen Hak

Pengusahaan Hutan, tidak mel akukan pengayaan, menyusun

laporan realisasi fiktif, Laporan Hasil Cruising fiktif, tidak

melakukan inventarisasi tegakan, tidak melakukan penataan

batas secara lugas, menebang di luar areal kerja tahunan,

menebang melebihi jatah tebangan, menerima hasil-hasil

pembalakan liar.

Forest Watch Indonesia (2011), juga menuliskan bahwa terjadi

tekanan terhadap kawasan hutan secara tidak langsung dapat

diakibatkan oleh kebijakan penataan ruang wilayah dan kawasan

Page 35: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

23

hutan. Mekanisme paduserasi tataguna hutan kesepaatan dengan

rencana tata ruang wilayah Provinsi, tidak diikuti dengan aturan

yang jelas dan tegas. Tidak ada mekanisme penyelesaian konflik

kepentingan antara Kementerian Kehutanan dengan Pemda

dalam proses paduserasi.

Akibatnya, meski belum melalui proses paduserasi, pemda

kerap menjadikan Rencana Tata Ruang Wilayah. Ditambah lagi

Kebijakan-kebijakan yang kontra produktif menjadi katalis

perusakan hutan alam menjadi perkebunan terutama perkebunan

sawit. Peraturan yang ada sebenarnya mengatur kriteria pelepasan

untuk keperluan perkebunan dimana hutan yang dapat

dilepaskan adalah HutanProduksi yang dapat dikonversi.

Namun karena ketidakjelasan aturan, Hutan Produksi dapat

dirubah menjadi Hutan Produksi Konversi yang tidak lama

berselang dapat dilepaskan secara parsial menjadi perkebunan.

Pada berbagai kasus, perusahaan tidak segan-segan untuk

melakukan pembukaan lahan dengan membabat hutan tanpa izin

pelepasan kawasan.

Sektor pertambangan juga memberi tekanan yang besar

terhadap kawasan hutan. Hingga tahun 2011 lebih dari 6.000

kuasa pertambangan diterbitkan di dalam kawasan hutan dan

hanya sekitar 200 unit yang telah memiliki izin pinjam pakai

kawasan hutan. Ketika legalitas dan legitimasi kawasan hutan

Page 36: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

24

diragukan , praktik-praktik ilegal pertambangan di kawasan hutan

seolah tidak tersentuh oleh hukum (Forest Watch Indonesia, 2011).

3. Kesenjangan antara Potensi Hutan dan Kebutuhan Bahan Baku

Memasuki abad 21, pembangunan kehutanan Indonesia

dihadapkan pada permasalahan yang makin kompleks dan bersifat

multidimensional. Salah satu masalah yang cukup menonjol adalah

masalah tidak seimbangnya antara pasokan kayu bulat terhadap

permintaan bahan baku industri pengolahan kayu. Beberapa faktor

dominan yang menyebabkan tidak seimbangnya antara pasokan

dan permintaan kayu antara lain adalah menurunnya potensi

produksi hutan alam yang diakibatkan oleh menyusutnya hutan

perawan (virgin forest) dan meningkatnya luas areal bekas tebang

(log over forest). Selain itu pasokan kayu bulat yang berasal dari

hutan tanaman yang telah lama dicanangkan oleh pemerintah

sampai saat ini belum menunjukkan hasil yang menggembirakan

(Prahasto & Nurfatriani 2001).

Dalam konteks industrialisasi di Indonesia, industri kayu

memiliki peluang untuk dapat dikembangkan, mengingat Indonesia

memiliki keunggulan komparatif berupa tersedianya lahan yang luas

untuk menyediakan bahan baku kayu sebagai sumber daya alam

dari hutan tanaman. Industri kayu mempunyai potensi yang kuat dari

sisi internal supply serta sebagai salah satu unsur dalam pilar industri

agro. Namun demikian, perlu diingat bahwa ketersediaan

Page 37: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

25

sumberdaya alam seringkali terbatas meskipun sumber daya

tersebut termasuk yang dapat diperbaharui (Clawson & Sedjo, 1982)

mengingatkan bahwa ketersediaan sumber daya hutan dan jaminan

manfaat jangka panjang tergantung pada tindakan saat ini dan yang

akan datang.

Permasalahan utama industri perkayuan adalah terjadinya

penurunan produksi kayu yang diambil dari hutan, sehingga terjadi

kekurangan pasokan bahan baku bagi industri. Akibat kesenjangan

supply dan demand yang paling ekstrim adalah berhentinya operasi

industri kayu. Dampak terjadinya penurunan pasokan terhadap

ekonomi nasional dapat dilihat dari adanya kecenderungan

menurunnya kontribusi kehutanan yang tercermin dari menurunnya

nilai PDB sektor kehutanan (Gambar 1). Departemen Perindustrian

(2005) juga mencatat. bahwa penurunan ekspor barang-barang kayu

pada periode tahun 2001 – 2005 sebesar 1,7%.

Sedangkan Kebutuhan industri perkayuan Indonesia

diperkirakan 70 juta meter kubik per tahun dengan kenaikan rata-

rata sebesar 14,2%/tahun (Pryono, 2001). Untuk produksi kayu

bulat sendiri diperkirakan hanya sebesar 25 juta meter kubik per

tahun atau dengan kata lain terjadi defisit sebesar 45 juta meter

kubik. Hal ini menujukkan bahwa sebenarnya daya dukung hutan

sudah tidak dapat memenuhi kebutuhan kayu (Setyawati, 2003).

Page 38: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

26

Gambar 1. Grafik PDB Nasional Sektor Kehutanan

Menyikapi kondisi ini industri perkayuan harus memiliki

strategi yang tepat dalam menjaga kelanjutan proses produksinya

ditengah krisis ekonomi yang berkepanjangan. Industri perkayuan

harus dapat mempertahankan kondisi dimana bahan baku kayu

bulat tetap dalam kondisi yang stabil khususnya dari segi jumlah.

Jika persediaan bahan baku kayu bulat terlalu besar maka

industri akan mengalami kerugian, demikian pula jika persediaan

bahan baku dalam jumlah yang lebih kecil dari kapasitas mesin

maka industri juga akan mengalami kerugian. Agar proses

produksi dapat berlangsung secara berkesinambungan, maka

industri harus dapat memperkirakan seberapa besar kebutuhan

Page 39: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

27

bahan baku kayu bulat yang diperlukan di masa yang akan datang

(Makarennu dkk, 2009)

C. Pembangunan HTR sebagai salah satu Model PHBM

1. Konsep HTR

Hutan tanaman rakyat (HTR) adalah hutan tanaman pada

hutan produksi yang dibangun oleh masyarakat untuk meningkatkan

potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan sistem

silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan.

Dengan konsep integrasi antara kepastian produksi dan pasar

dengan basis pemberdayaan masyarakat lokal diharapkan program

HTR dapat menjadi salah satu agenda pengurangan kemiskinan,

pengurangan pengangguran, peningkatan kontribusi kehutanan

terhadap pertumbuhan ekonomi nasional dan memenuhi permintaan

bahan baku industri kayu (Alif, dkk, 2010).

Pembangunan HTR sebagaimana menjadi agenda

revitalisasi pertanian, kelautan dan kehutanan. Kebijakan HTR juga

merupakan implementasi dari Kebijakan Prioritas Sektor Kehutanan

dan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat setempat sehingga sektor

kehutanan diharapkan dapat memberikan kontribusi pada

pertumbuhan ekonomi nasional, perbaikan lingkungan hidup,

mensejahterakan masyarakat dan memperluas lapangan kerja pada

areal sekitar hutan (Emila dan Suwito, 2007).

Page 40: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

28

HTR berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan

No.23/Menhut-II/2007 adalah hutan tanaman yang dibangun oleh

perorangan atau koperasi untuk meningkatkan potensi dan kualitas

Hutan Produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka

menjamin kelestarian sumber daya hutan. Dengan kata lain HTR

adalah kegiatan rehabilitasi Hutan Produksi yang dilaksanakan oleh

masyarakat baik perorangan maupun koperasi untuk kelestarian

sumber daya hutan, di mana masyarakat dapat memperoleh manfaat

ekonomi dari apa yang ditanamnya untuk peningkatan

kesejahteraan.

Kawasan hutan yang dapat dijadikan lokasi pembangunan

HTR adalah Hutan Produksi yang tidak produktif dan tidak dibebani

hak (ijin) serta telah ditetapkan oleh Menteri Kehutanan sebagai

lokasi HTR dengan luasan 15 Ha tiap Kepala Keluarga (KK) atau

sesuai kemampuan untuk koperasi. Lokasi HTR diutamakan berada

dekat dengan industri hasil hutan untuk memudahkan pemasaran.

Pengembangan HTR juga biasanya dilakukan dengan

mengkombinasikan berbagai varietas tanaman pokok. Hal tersebut

dilakukan sebagai upaya untuk mendapatkan penghasilan tambahan

dari tanaman budidaya tahunan selama masa menunggu waktu

penebangan kayu, di samping hasil tambahan lain melalui kegiatan

tumpang sari tanaman hortikultura/palawija. Prosentase komposisi

jenis tanaman untuk pembangunan HTR yang menggunakan

Page 41: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

29

tanaman pokok berbagai jenis ditetapkan sebagai berikut: tanaman

hutan berkayu ± 70%, tanaman budidaya tahunan berkayu ± 30%.

(Pemegang ijin dapat melakukan kegiatan tumpangsari tanaman

budidaya musiman/palawija diantara tanaman pokok sampai dengan

2–3 tahun).

Pengaturan letak komposisi jenis tanaman pokok disesuaikan

dengan jarak tanam, kesesuaian persyaratan tempat tumbuh dan

kondisi fisiografi lapangan. Di samping tanaman pokok, pada batas

areal kerja atau batas antar blok/ petak tanaman pokok dapat

dikembangkan jenis-jenis tanaman lain yang dapat berfungsi

sebagai tanaman tepi yaitu berupa tanaman pagar, tanaman sekat

bakar, tanaman pelindung dan tanaman kehidupan (Prijono, 2010).

Alif, dkk (2010) mengatakan bahwa peraturan mengenai

hutan rakyat kemudian diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan

Nomor P.23/Menhut-II/2007 tentang Tata Cara Permohonan Izin

Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Rakyat

dalam Hutan Tanaman yang mengalami revisi pada tahun 2008

melalui Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.5/Menhut-II/2008

tentang Perubahan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor

P.23/Menhut-II/2007. Adapun aturan-aturan lanjutan mengenai

hutan tanaman rakyat lebih rinci dan dilengkapi oleh beberapa

Peraturan Menteri Kehutanan dan Peraturan Direktur Jenderal Bina

Produksi Kehutanan :

Page 42: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

30

1. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.9/Menhut-II/2008 tentang

Persyaratan Kelompok Tani Hutan untuk Mendapatkan Pinjaman

Dana Bergulir Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat.

2. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.62/Menhut-II/2008

tentang Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu

Hutan Tanaman Industri dan Hutan Tanaman Rakyat.

3. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.64/Menhut-II/2009

tentang Standart Biaya Pembangunan Hutan Tanaman Industri

dan Hutan Tanaman Rakyat.

4. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.14/Menhut-II/2009

tentang Perubahan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor

P.62/Menhut-II/2008 tentang Rencana Kerja Usaha

Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Tanaman Industri dan Hutan

Tanaman Rakyat.

5. Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor

P.06/VI-BPHT/2007 tentang Petunjuk Teknis Pembangunan

Hutan Tanaman Rakyat.

6. Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan P.06/VI-

BPHT/2008 tentang Perubahan Peraturan Direktur Jenderal Bina

Produksi Kehutanan Nomor P.06/VI-BPHT/2007 tentang

Petunjuk Teknis Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat.

Berdasarkan pembelajaran terhadap beberapa program

pemberdayaan masyarakat sebelumnya, Emila dan Suwito (2007)

Page 43: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

31

menyimpulkan bahwa HTR harus dijalankan dengan prinsip-prinsip

pemberdayaan masyarakat yaitu :

a. Masyarakat mengorganisasikan dirinya berdasarkan

kebutuhannya ( people organized themselves based on their

necessity) yang berarti pemberdayaan hutan beserta

masyarakatnya ini bukan digerakkan oleh proyek

ataupun bantuan luar negeri karena kedua hal tersebut tidak

akan membuat masyarakat mandiri dan hanya membuat

“kebergantungan” masyarakat.

b. Kegiatan pemberdayaan masyarakat harus bersifat padat karya

(labor-intensive) sehingga kegiatan ini tidak mudah ditunggangi

pemodal (cukong) yang tidak bertanggung jawab.

c. Pemerintah memberikan pengakuan/rekognisi dengan

memberikan aspek legal sehingga kegiatan masyarakat yang

tadinya informal di sektor kehutanan dapat masuk ke sektor

formal ekonomi kehutanan/ekonomi lokal, nasional dan global

sehingga bebas dari pemerasan oknum birokrasi

dan premanisme pasar

2. Model Pembagunan HTR

Pemanfaatan kawasan hutan dapat dilakukan pada semua

kawasan hutan kecuali pada hutan cagar alam serta pada wilayah

zona inti dan zona rimba taman nasional. Pemanfaatan hutan

dimaksudkan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi

Page 44: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

32

kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap

menjaga kelestariannya baik kelestarian lingkungan (ekologi),

maupun kelestarian fungsi produksi dan fungsi sosialnya.

Pemanfaatan setiap fungsi hutan adalah sebagai berikut

(Malamassam, 2009) :

1. Pemanfaatan hutan produksi dapat berupa pemanfaatan

kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil

hutan kayu dan hasil hutan bukan kayu, serta pemungutan hasil

hutan kayu dan bukan kayu. Pemanfaatan hutan produksi hanya

bisa dilakukan oleh pihak yang memiliki ijin, seperti ijin usaha

pemanfaatan kawasan hutan (IUPKH), izin usaha pemanfaatan

jasa lingkungan (IUPJL), ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu

(IUPHHK), ijin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu

(IUPHHBK), atau ijin usaha pemungutan hasil hutan kayu dan

bukan kayu.

2. Pemanfaatan hutan lindung juga dapat berupa pemanfaatan

kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan dan pemungutan hasil

hutan bukan kayu (yang tidak mengganggu fungsi pokok).

Dengan demikian, pemanfaatan hutan lindung hanya dapat

dilaksanakan oleh pihak yang memiliki ijin usaha pemanfaatan

kawasan hutan, ijin usaha pemanfaatan jasa lingkungan dan ijin

pemungutan hasil hutan bukan kayu.

Page 45: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

33

3. Pemanfaatan kawasan hutan pelestarian alam dan kawasan

hutan suaka alam serta taman buru diatur sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pengelolaan kehutanan seharusnya mengikuti paradigma baru

pembangunan kehutanan yang menekankan pada konsep

manajemen hutan lestari dan berbasis pada masyarakat. Soedirman

(1995) mengatakan bahwa pengelolaan hutan secara lestari adalah

proses pengelolaan areal hutan permanen untuk mencapai satu atau

lebih tujuan yang telah ditentukan dengan berdasarkan kontinuitas

produksi dan manfaat lainyang diinginkan, tanpa mengakibatkan

kemunduran nilai produktivitas hutan di masa dating dan timbulnya

akibat yang diharapkan pada komponen fisik dan lingkungan

sosialnya.

Selain itu Alam (2011) mengungkapkan betapa pentingnya

konsep pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang dimuat melalui

kehutanan masyarakat. Kehutanan masyarakat (community forestry)

merupakan suatu konsep pengelolaan hutan yang menempatkan

masyarakat sekitar hutan sebagai pelaku utama dalam mengelola

sumberdaya hutan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka dan

melestarikan fungsi hutan.

Pemanfaatan dan penggunaan hutan oleh masyarakat selama

ini, umumnya masih tergolong kegiatan yang bersifat illegal dan

cenderung merusak hutan. Selain itu, sebagian warga masyarakat

Page 46: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

34

cenderung mengkonversi lahan hutan menjadi lahan usaha komoditi

pangan/ perkebunan umumnya belum mengusahakan komoditi

kehutanan. Bentuk pemanfaatan hutan yang dilakukan masyarakat

umumnya hanya berupa kegiatan pemungutan kayu, hasil hutan non

kayu dan pemanfaatan kawasan hutan untuk tanaman

pangan/perkebunan.

Mereka pada dasarnya belum mengusahakan komoditas

kehutanan dan karena itu pula maka kegiatan-kegiatan yang mereka

lakukan belum dapat meningkatkan kesejahteraan mereka dan

belum berorientasi pada upaya pelestarian fungsi hutan.oleh karena

itu diperlukan sebuah model yang membangun hutan lestari dan

dikelola oleh masyarakat sekitar hutan (Alam, 2011).

Model didefinisikan sebagai suatu perwakilan atau abstraksi

dari sebuah objek atau situasi aktual. Model memperlihatkan

hubungan-hubungan langsung maupun tidak langsung serta kaitan

timbal balik dalam istila sebab akibat. Oleh karena suatu model

adalah suatu abstraksi dari realitas, maka pada wujudnya kurang

kompleks daripada realitas itu sendiri. Model dapat dikatakan

lengkap apabila dapat mewakili berbagai aspek dari realitas yang

sedang dikaji (Eriyatno, 2003).

Eriyatno (2003) mengklasifikasikan model, Klasifikasi

perbedaan dari model dapat memberikan pendalaman pada tingkat

kepentingannya, karena dapat dijelaskan dalam banyak cara. Model

Page 47: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

35

dapat dikategorikan menurut jenis, dimensi, fungsi, tujuan pokok

pengkajian atau derajat keabstrakannya. Kategori umum adalah

jenis model yang pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi :

1. Model ikonik (model fisik)

Model ikonik adalah perwakilan fisik dari beberapa hal baik dalam

bentuk ideal ataupun dalam skala yang berbeda. Model ikonik

mempunyai karakteristik yang sama dengan hal yang diwakili,

dan terutama amat sesuai untuk menerangkan kejadian pada

waktu yang spesifik. Model ikonik dapat berdimensi dua (foto,

peta, cetak biru) atau tiga dimensi (prototip mesin, alat). Apabila

model berdimensi lebih dari tiga maka tidak mungkin lagi

dikonstruksi secara fisik sehingga diperlukan kategori model

simbolik.

2. Model analog (model diagramatik)

Model analog dapat mewakili situasi dinamik, yaitu pada keadaan

berubah menurut waktu. Model ini lebih sering dipakai daripada

model ikonik karena kemampuannya untuk mengetengahkan

karakteristik dari kejadian yang dikaji. Model analog banyak

berkesesuaian dengan penjabaran hubungan kuantitatif antara

sifat dan klas-klas yang berbeda.

Dengan melalui transformasi sifat menjadi analognya,

makakemampuan untuk membuat perubahan dapat ditingkatkan.

Contoh dari model analog ini adalah kurva permintaan, kurva

Page 48: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

36

distribusi frekuensi pada statistik dan diagram alir. Model analog

dipakai karena kesederhanaan namun efektif pada situasi yang

khas seperti pada proses pengendalian mutu industri (Operating

Characteristic Curve).

3. Model simbolik (model matematik)

Pada hakekatnya, ilmu sistem memusatkan perhatian pada

model simbolik sebagai perwakilan dari realitas yang dikaji.

Format model simbolik dapat berupa bentuk angka, simbol dan

rumus. Jenis model simbolik yang umum dipakai adalah suatu

persamaan.

Terdapat beberapa hal/informasi yang perlu diperhatikan dalam

rangka pembentukan unit pengelolaan hutan, sebagai unit

pengelolaan hutan terkecil pada hamparan lahan hutan, untuk

mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Hal atau informasi

termaksud adalah sebagai berikut (Malamassam, 2009) :

1. Karakteristik lahan

2. Tipe hutan

3. Fungsi hutan

4. Kondisi daerah aliran sungan (DAS)

5. Kondisi sosial ekonomi masyarakat di sekitar dan di dalam

kawasan hutan

6. Kelembagaan masyarakat setempat termasuk masyarakat

hukum adat

Page 49: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

37

7. Batas administrasi pemerintahan

8. Hamparan yang secara geografis merupakan satu kesatuan

9. Batas alam dan atau buatan yang bersifat permanen

10. Penggunaan lahan

3. Permasalahan HTR

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Universitas

Hasanuddin bekerjasama dengan Balai Penelitian dan

Pengembangan Daerah Sulawesi Selatan menyebutkan bahwa

ada beberapa kendala terkait implementasi program Hutan

Tanaman Rakyat di Sulawesi Selatan. Kendala-kendala tersebut

mulai dari kesepahaman bersama mengenai pentingnya HTR

dalam membangun kesejahteraan masyarakat dan perekonomian

daerah, belum adanya inisiatif Pemerintah Kabupaten

memberikan porsi anggaran pada pembangunan hutan tanaman

rakyat, mekanisme yang birokratis, hingga kurangnya komunikasi

antara Kementerian Kehutanan dengan Pemerintah Kabupaten.

Permasalahan tersebut di atas disebabkan oleh belum adanya

model pengelolaan di tingkat tapak yang mengatur fungsi

stakeholder terkait (Alif, dkk, 2010)

Masalah lainya adalah masalah yang ditemukan pada Industri

Kehutanan. berkurangnya sumber bahan baku dari hutan alam

sangat menggangu keberlangsungan industri kehutanan yang saat

ini masih menggantungkan supplai bahan bakunya pada hutan alam.

Page 50: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

38

Karena kayu yang dihasilkan dari hutan alam cenderung memiliki

karakteristik diameter besar, termasuk jenis-jenis komersial yang

disenangi pembeli (buyer), variasi produk yang dihasilkan lebih

banyak dan rendemen output lebih maksimal yang berasal dari hutan

alam.

Sehingga Industri pengolahan kayu harus mencari alternative

bahan baku seperti dari hutan tanaman rakyat atau kayu rakyat.

Potensi paling besar yang memungkinkan supplai untuk industri

kehutanan adalah berasal dari Hutan Tanaman Industri (HTI) dan

Hutan Tanaman Rakyat (HTR). Sedangkan pada konteks

pengelolaan hutan tanaman rakyat proses management untuk

membuat kayu yang ditanam dapat memiliki nilai yang tinggi dan

diserap oleh industri kehutanan tidak dilakukan karena keterbatasan

pengetahuan masyarakat dan pradigma pengelolaan ditingkat tapak.

4. Rencana Pembangunan HTR di Sulsel dan Khususnya di

Kabupaten Barru

Pada kasus pengembangunan HTR di Kabupaten Barru, Barru

memiliki pontensi yang cukup besar untuk pengembangan hutan

tanaman rakyat, dari data yang didapatkan di dinas kehutanan

Kabupaten Barru sendiri memiliki potensi hutan produksi yang cukup

besar dan dapat dikelolah baik untuk pengembangan HTR dan HTI

yaitu sebesar 17.312 ha (Tabel. 2)

Page 51: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

39

Data tahun 2010-2012 dikabupaten barru sendiri telah dilakukan

pencanangan Hutan tanaman Rakyat (HTR) oleh Kementiran

Kehutanan seluas 1.497 ha yang terdiri dari 3 kecamatan (lihat Tabel

3). Sedangkan yang telah mendapatkan Izin Usaha Pemanfatan

Hasil Hutan Kayu (IUPHHK HTR) Kayu dari Bupati dan telah

diverifikasi oleh sebesar 1.481 ha. Pada tahun pertengan tahun 2013

angka tersebut naik, menurut Dinas Kehutanan Barru pertengahan

tahun ini dinas kehutanan kembali mengusulkan Pencangan HTR

sebesar 14.000 ha yang tersebar hampir disetiap kecamatan, model

pengelolaannya pun menggunakan skema mandiri.

Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa potensi Hutan Produksi yang telah

mendapatkan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK HTR)

sebesar 1.481 ha yang berarti masih ada 1.147 ha yang sudah di

canangkan akan melakukan pengusulan izin dan 14.000 ha sedang dalam

pengusulan pencangan di kementerian kehutanan.

Page 52: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

40

Tabel 2. Hutan Produksi disetiap Kecamatan/Desa Kabupaten Barru

Kecamatan Desa Hutan Produksi

Luas (ha)

Balusu Balusu 800.90

Binuang 1,029.70

Kamiri 2,782.58

Takkalasi 49.35

Total 4,662.54

Barru Galung 1,729.11

Mangempang 2.97

Sepee 482.93

Siawung 217.52

Tompo 302.18

Total 2,734.72

Mallusetasi Manuba 21.17

Nepo 7.01

Total 28.18

Pujananting Bacu-bacu 2,479.50

Gattareng 267.61

Pattappa 1,720.84

Pujananting 390.08

Total 4,858.03 Soppeng

Riaja Ajakkang 343.25

Paccekke 763.74

Total 1,106.98

Tanete Riaja Harapan 1,733.74

Libureng 94.30

Lompo Riaja 723.30

Mattirowalie 1,370.66

Total 3,922.00

Grand Total 17,312.45

Sumber : Dinas Kehutanan Kabupaten Barru 2013

Page 53: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

41

Tabel 3. Luas Pencanangan & Izin HTR di Kabupaten Barru

KECAMATAN DESA HPT (ha)

PENCANDANGA

N

HTR

Usulan Izin

Kelompok LUAS (ha)

Kelompok LUAS (ha)

Ballusu Kammiri 2,782 1.273 KTH Semangat 258 KTH Semangat 251

KTH Coppo Barraming 299

KTH Coppo Barraming 312

Balusu 800 800 KTH Bolong Ringgi 300 KTH Bolong Ringgi 274

KTH Jempo Salo 200 KTH Jempo Salo 200

Barru Galung 1,729 170 KTH Samuddae 170 KTH Samudae 170

Sepee 482 115 KTH Deae 155 KTH Deae 66

Pujananting Bacu-bacu 2,479 411 KTH Padang Pobbo 270 KTH Padang Pobbo 208

Jumlah 8,272 1,497 1,652 1,481

Sumber : Dinas Kehutanan Barru 2012

Potensi Pengembangan Hutan Tanaman Rakyat secara

nasional dan per region seperti halnya kabupaten barru terus

mengalami peningkatan dari tahun ketahun tetapi riset dan

pengembangan pengelolaann dilevel masyarakat masih sangat

minim, disisi lain banyaknya kasus industri kehutanan di Indonesia

yang gulung tikar atau bangkurt karna sulitnya mendapatkan bahan

pasokan kayu yang legal, hal ini lah yang kemudian menjadikan

kenapa riset ini penting untuk dilakukan, untuk menjadikan justifikasi

pengelolaan hutan tanaman rakyat dilakukan dengan menajemen

yang kompleks mempertimbangakan beberapa aspek seperti pola

ruang, kesesuaian lahan, pengelola/masyarakat, pasar dan industri,

sehingga dapat memberikan jaminan kepada masyarakat,

pemerintah daerah, Industri dan hutan akan kebutuhan setiap

stakholder dapat terpenuhi.

Page 54: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

42

5. Kerangka Pikir

Gambar 2. Kerangka Pikir

Pada kerangka pikir (Gambar 2), maksud yang melatar belakangi

penelitian ini jika dilihat secara makro ialahpengelolaan hutan dari

dua bagian; Pertama sektor industri yang berada pada hilir, yang

mengelola hasil kayu dari hutan dan sektor Hutan Tanaman Rakyat

yang berada di daerah hulu yang memproduksi kayu dari hutan

produksi.

Dari penjelasan tinjauan pustaka, bahwa sektor industri

mempunyai masalah yang cukup penting dalam perkembangannya

Pengelolaan Hutan

Industri Kehutanan Pembangunan HTR

Pontensi Produksi Kayu Penyusutan Bahan Baku

Desain Pembangunan HTR

Page 55: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

43

saat ini. Hal tersebut ditandai dengan penurunan produksi kayu

sehingga terjadi kekurangan pasokan bahan baku bagi industri.

Akibat dari kesenjangan supply dan demand yang paling ekstrim

adalah berhentinya operasi industri kayu.

Berkurangnya sumber bahan baku dari hutan alam sangat

menggangu keberlangsungan industri kehutanan yang saat ini masih

menggantungkan supplai bahan bakunya pada hutan alam. Karena

kayu yang dihasilkan dari hutan alam cenderung memiliki

karakteristik diameter besar, termasuk jenis-jenis komersial yang

disenangi pembeli (buyer), variasi produk yang dihasilkan lebih

banyak dan rendemen output lebih maksimal yang berasal dari hutan

alam.

Sehingga Industri pengolahan kayu harus mencari alternative

bahan baku seperti dari hutan tanaman rakyat atau kayu rakyat.

Potensi paling besar yang memungkinkan supplai untuk industri

kehutanan ialah bahan baku yang berasal dari Hutan Tanaman

Industri (HTI) dan Hutan Tanaman Rakyat (HTR). Sedangkan pada

konteks pengelolaan hutan tanaman rakyat proses menejemen

untuk membuat kayu yang ditanam dapat memiliki nilai yang tinggi

dan diserap oleh industri kehutanan tidak dilakukan karena

keterbatasan pengetahuan masyarakat dan pradigma pengelolaan

ditingkat tapak.

Page 56: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

44

Disatu sisi pembangunan HTR terus dilakukan oleh pemerintah,

hal tersebut terkait dengan program pemerintah sebagai upaya

dalam melakukan pengentasan kemiskinan (pro-poor), menciptakan

lapangan kerja baru (pro-job), dan memperbaiki kualitas

pertumbuhan melalui investasi yang proporsional antar pelaku

ekonomi (pro-growth).

Pembangunan HTR sebagaimana menjadi agenda revitalisasi

pertanian, kelautan dan kehutanan. Kebijakan HTR juga merupakan

implementasi dari Kebijakan Prioritas sektor kehutanan dan

pemberdayaan ekonomi masyarakat setempat sehingga sektor

kehutanan diharapkan dapat memberikan kontribusi pada

pertumbuhan ekonomi nasional, perbaikan lingkungan hidup,

mensejahterakan masyarakat dan memperluas lapangan kerja pada

areal sekitar hutan (Emila dan Suwito, 2007).

Maka dengan konsep integrasi antara kepastian produksi dan

pasar dengan basis pemberdayaan masyarakat lokal diharapkan

program HTR dapat menjadi salah satu agenda pengurangan

kemiskinan, pengurangan pengangguran, peningkatan kontribusi

kehutanan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional dan memenuhi

permintaan bahan baku industri kayu (Alif, dkk, 2010). Hal

tersebutlah yang mendorong penelitian ini untuk Mendesain

Pembangunan Hutan Tanaman rakyat yang lebih kompleks

Page 57: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

45

III. METODE PENELITIAN

A. Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Kawasan Hutan Kabupaten Barru

Propinsi Sulawesi Selatan. Penelitian ini mencoba meddesain

pembangunan hutan tanaman rakyat dengan mengintegrasikan dengan

pola ruang, kesesuaian lahan, pengelola/masyarakat, pasar, lokasi dan

kebutuhan bahan baku industri berbasis spasial.

Waktu pelaksanaan penelitian berlangsung dari bulan Maret 2014

hingga bulan Juni 2014. Penelitian dilaksanakan melalui 3 tahap yaitu,

(1) Penelitian pendahuluan (2) Pengambilan data lapangan & data

skunder, (3) Rancangan Desain dan Rekomendasi.

B. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas data primer

dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui observasi pada areal

kawasan hutan kabupaten barru dan wawancara langsung dengan

petani hutan pemegang IUPHHK-HTR dan masyarakat sekitar hutan,

dinas kehutanan kabupaten Barru, penyuluh kehutanan dan lembaga

pendamping lokal. Data primer termaksud antara lain meliputi jenis

tanaman yang diminati dan ditanam masyarakat, dan model

pengelolaan HTR.

Data sekunder diperoleh dari berbagai hasil penelitian, literatur

buku, data-data dari instansi terkait, dan informasi lainnya yang terkait

dengan penelitian ini. Data sekunder termaksud berupa kondisi umum

Page 58: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

46

wilayah sekitar hutan seperti : sejarah kawasan, kondisi biofisik

kawasan, dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Data

sekunder lainnya berupa informasi dan data lainnya yang mendukung

kegiatan penelitian serta bahan pustaka yang dijadikan bahan referensi

landasan teori.

C. Populasi dan Teknik Sampel

Populasi dalam penelitian ini berupa :

1. Kawasan Hutan Produksi seluas 17.312 ha di Kabupaten Barru

2. Masyarakat pengelola hutan tanaman rakyat yang telah

mendapatkan izin, pengusulan dan masyarakat yang

menggantungkan langsung hidupnya pada sekitar hutan.

3. Industri pengolah kayu yang berada di sekitar kawasan pengelolaan

hutan tanaman rakyat

4. Dinas kehutanan Kabupaten Barru serta dinas pertanian dan

perkebunan Kabupaten Barru.

Teknik sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Pengambilan sampel kawasan dan masyarakat dilakukan dengan

menggunakan purposive sampling, yaitu memilih individu pewakil

kelompok HTR yang telah mendapatkan izin, yang terdiri dari ketua

kelompok, sekertaris dan anggota kelompok.

2. Pengambilan responden dilingkungan dinas kehutanan dan

penyuluh kehutanan dilakukan dengan memilih sebagian anggota

populasi yang berhubungan dengan tujuan penelitian.

Page 59: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

47

D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data primer :

1. Kondisi Biofisik Kawasan diperoleh melalui analisis spasial dan

survei lapangan.

2. Pengelola izin HTR yang sudah ada, Kelompok tani yang dalam

pengusulan dan masyakat sekitar hutan yang bergantung pada hasil

hutan kayu, sebanyak 45 responden diwawancarai secara langsung

dengan pendekatan partisipatif. Data yang diperoleh berupa kondisi

sosial ekonomi masyarakat.

3. Dinas kehutanan dan penyuluh diwawancarai secara langsung. Data

yang diperoleh berupa peran dan fungsi instansi terkait dalam

pengelolaan HTR serta perencanaan pengelolaan instansi terkait

kawasan penelitian.

Data sekunder diperoleh dari instansi terkait, dengan mengutip terhadap

bahan referensi yang menunjang penelitian. Data sekunder dijadikan

bahan pendukung dan sebagai landasan teori bagi penelitian.

E. Analisis Data

Analisis dalam rangka pembuatan desain pembangunan hutan

tanaman rakyat Kabupaten Barru dilakukan sebagai berikut :

1. Analisis Spasial

Analsis ini digunakan untuk mengekstraksi lokasi hutan di wilayah

penelitian yang sesuai untuk pengembangan HTR melalui variabel

Page 60: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

48

penggunaan lahan, jarak hutan dari lokasi pemukiman, dan

kelerengan. Dari ketiga variabel tersebut dilakukan pembobotan

dengan skala Likert, seperti yang tertera berturut-turut pada Tabel 4,

Tabel 5 dan Tabel 6.

Tabel 4. Bobot Landuse terhadap HTR

Pada Tabel 4 bagian kawasan yang berpenutupan semak belukar

diberi bobot tertinggi atau 4 karena bagian ini merupakan areal –

areal bekas ladang yang telah lama ditinggalkan oleh

pemilik/penggarapnya, disisi lain semak belukar juga lebih mudah

dikonversi ke tanaman kayu dibanding kebun atau tegalan yang telah

ditumbuhi tanaman masyarakat, sehingga kebun dan tegalan diberi

bobot lebih yakni sebesar 2. Sedangkan bagian kawasan yang

berpenutupan Hutan diberi bobot terendah atau 0 karena bagian ini

harus tetap dipertahankan keberadaannya atau pada bagian ini tidak

perlu dilakukan pembangunan HTR.

Tabel 5. Bobot Jarak Pemukiman terhadap HTR

No. Jarak Pemukiman Bobot

1 < 1 km 4

2 2 km 3

3 3 km 2

4 > 4 km 1

No. Landuse Bobot

1 Semak Belukar 4

2 Kebun dan Tegalan 2

3 Hutan 0

Page 61: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

49

Pada Tabel 5, indikator aksesibilitas lokasi HTR yang dimaksudkan

adalah jarak lokasi HTR ke lokasi pemukiman terdekat, dengan

asumsi bahwa kondisi jalan dan sarana angkutan pada semua lokasi

adalah sama. Jarak pemukiman terdekat ke areal calon lokasi HTR

diberi bobot 4 (bobot tertinggi), dan sebaliknya pada jarak terjauh

diberi bobot terendah atau 1. Hal tersebut dapat dimaknai bahwa

semakin dekat jarak lokasi HTR terhadap pemukiman maka akan

semakin mudah bagi masyarakat mencapai ke lokasi HTR yang

bersangkutan.

Tabel 6. Bobot Kelas Lereng terhadap HTR

No. Kelas Lereng Bobot

1 0-8 % 4

2 8-15% 3

3 15-25% 2

4 25- 45% 1

5 >45% 0

Pada Tabel 6 diperlihatkan bahwa kelas lereng 0-8% diberi nilai

bobot 4 atau nilai tertinggi karena dengan kelas lereng tersebut

tergolong datar dan lebih menguntungkan dalam pengelolaan HTR

daripada lokasi yang memiliki kelerengan yang terjal. Berbeda

halnya dengan kelas lereng >25% yang tergolong curam sampai

sangat curam, hal tersebut membuat pengelolaan HTR jauh lebih

sulit dibanding kelas datar dan landai. Kelas lereng berpengaruh

terhadap erosi, dimana kelerengan yang lebih besar potensial

menyebabkan erosi yang juga lebih besar.

Page 62: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

50

Berdasarkan hasil pembobotan dari ketiga variabel tersebut

diatas maka disusun kategori kelas kesesuain lahan di wilayah

Kabupaten Barru untuk pembangunan HTR seperti yang tertera

pada tabel 7.

Tabel 7. Klasifikasi Kelas Kesesuain Pengembangan HTR

No. Klasifikasi Tot. Bobot

1 Sesuai 9 -12

2 Agak Sesuai 5 - 8

3 Kurang Sesuai 1 - 4

2. Analisis Kesesuain Lahan

Setelah mendapatkan hasil ektraksi areal kawasan hutan yang

sesuai untuk pengembangan HTR dari beberapa variabel, maka

analsis kesesuain lahan dilakukan untuk menentukan jenis-jenis

tanaman yang sesuai untuk dikembangkan pada areal kawasan

hutan tersebut.

Proses penyusunan arahan penggunaan lahan untuk kebutuhan

HTR dilakukan dalam beberapa tahap, sebagai berikut:

Penyusunan karakteristik lahan

Penyusunan persyaratan tumbuh tanaman/penggunaan lahan

(LURs)

Proses evaluasi kesesuaian lahan (Matching )Kesesuaian lahan

Page 63: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

51

3. Skenario Pola HTR

Sebelumnya telah didapatkan lokasi pembangunan HTR dengan

jenis-jenis tanaman yang sesuai untuk dikembangkan pada areal

tertentu. Tahapan ini selanjutnya dilakukan simulasi pada luas areal

pemanfaatan yang akan dikembangkan, rotasi (tergantung jenis

tanamanya), dan produksi (m3/thn), kualitas tempat tumbuh atau

bonita dan luas penanaman. Dari hal tersebut diperoleh gambaran

tentang potensi kayu, kontinyuitas, dan kuantitas potensi tegakan

dalam pembangunan HTR dalam wilayah penelitian

Page 64: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

52

F. Kerangka Penelitian

Gambar 3. Kerangka Penelitian

Wilayah/Areal

Kabupaten

Karekteristik

- Landuse

- Jarak Pemukiman

Overlay &

Analisis

Faktor Biofisik

- Kelerengan

- Fungsi Hutan

Ekstraksi Wilayah Penelitan yang

Mendukung Hutan Tanaman Rakyat

Parameter :

1. Jenis Tanah

2. Curah

Hujan

3. Ketinggian

Potensi Bahan Baku (jarak tanam, jenis,

rotasi) & Jenis Industri Yang Sesuai

Hasil evaluasi Kelas kesesuaian lahan

tanaman Hutan untuk Kebutuhan Bahan

Baku Industri

Kesesuain Lahan Jenis-Jenis

tanaman kayu :

1. Sengon

2. Jabon

3. Jati

Arahan Pola Kesusainya HTR pada

setiap Unit Lahan

Rekomendasi Desain Pembanguan HTR

dalam Suatu Kabupaten

Page 65: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

53

Langkah pertama pada penelitian ini seperti Gambar 3 diatas, adalah

Ekstraksi wilayah penelitian yang mendukung HTR, maksud dari hal

tersebut memisahkan areal penelitian sesuai dengan kebijakan HTR

yang berada hanya pada hutan produksi. Dari beberapa fungsi kawasan

hutan yang ada di Kabupaten Barru, hanya hutan produksi yang diambil

sebagai fokus penelitian.

Dari hal tersebut kemudian setiap unit lahan pada peta klas lereng,

peta fungsi hutan, peta landuse, dan buffer jarak pemukiman masing-

masing diberikan bobot menggunakan skala likert. Dari pembobotan

tersebut bobot tertinggi diberikan pada unit-unit lahan yang mendukung

pada pengembangan HTR, misalnya klas lereng yang landai diberi

bobot tinggi dan berbanding terbalik dengan klas lereng curam. Dari

hasil pembobotan tersebut dibuat 3 klas dari bobot tersebut masing-

masing klas sesuai, agak sesuai, tidak sesuai.

Tahap selanjutnya membuat klas kesesuain lahan terhadap jenis-

jenis tumbuhan yang ingin dikembangkan. Hal ini dimulai dengan

penyusunan krakteristik lahan dengan cara penetapan satuan peta

lahan (SPL). Dari hal tersebut kemudian dilakukan matching dengan

persyaratan tumbuh tanaman/penggunaan lahan (LURs). Outputnya

adalah peta kesesuain lahan untuk kebutuhan tanaman HTR.

Setelah matching antara syarat tumbuh dan satuan peta lahan maka

didapatkan tanaman yang akan direkomendasikan dan ditanam. Dari

hal tersebut dilakukan skenario terhadap jarak tanam, jenis tanaman,

Page 66: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

54

rotasi dan luas yang kemudian akan dikembangkan. Hal tersebut akan

dapat memproyeksi berapa kuantitas dan kontinyuitas kayu yang akan

dihasilkan dari areal tersebut. Dari data tersebut juga akan dapat

menggambarkan industri apa yang cocok dikembangkan berdasarkan

hasil pengembangan, jika skenario tersebut dijalankan. Penempatan

industri juga diperhitungkan apabila memang layak secara pemenuhan

bahan baku, karena penempatan industri akan mengikuti pola ruang

yang berada di Kabupaten Barru.

Page 67: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

55

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

A. Kawasan Hutan

Kawasan Hutan Kabupaten Barru berdasarkan fungsinya dapat

dibedakan atas Kawasan Hutan Lindung dan Kawasan Hutan Produksi.

Luas Kawasan Hutan Kabupaten Barru bardasarkan SK Menhut No.

434 Tahun 2009 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Konservasi

Perairan Propinsi Sulawesi Selatan dan Perda No. 09 Tahun 2009

Tentang RTRW Propinsi Sulawesi Selatan adalah 68.179,99 ha yang

terdiri dari :

Hutan Lindung : 51.266,03 ha

Hutan Produksi Terbatas : 16.913,96 ha

Secara detail sebaran kawasan hutan pada tujuh kecamatan yang

berada di Babupaten Barru, dapat Tabel 8.

Tabel 8. Luas Kawasan Hutan dalam setiap Kecamatan di Kabupaten

Barru Tahun 2012.

No. Kecamatan Jenis Hutan

Hutan Lindung

Hutan Produksi Terbatas

Jumlah Luas (Ha)

1. Pujananting 19.447,25 4.858,08 23.601,99 2. Tanete Riaja 3.499,65 3.922,82 8.142,47 3. Tanete Rilau 2.164,09 - 2.164,09 4. Barru 6.978,28 2.734,72 10.135,96 5. Balusu 1.649,38 4.662,54 5.996.60 6. Soppeng Riaja 1.526,84 1.106,98 2.464,76 7. Mallusetasi 16.000,54 28,18 16.137,68

JUMLAH 51.266,03 17.312,45 68.179,99 Sumber : Dinas Kehutanan Tahun 2013.

Page 68: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

56

B. Hutan Tanaman Rakyat & Perkembangannya

Barru memiliki pontensi yang cukup besar untuk pengembangan

hutan tanaman rakyat, dari data yang didapatkan di dinas kehutanan

Kabupaten Barru sendiri memiliki potensi hutan produksi yang cukup

besar dan dapat dikelolah dengan baik untuk pengembangan HTR yaitu

sebesar 17.312 ha, seperti yang dapat dilihat pada Tabel 8.

Pada tahun 2010-2013 Kementerian Kehutanan telah melakukan

pencanangan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) di Kabupaten Barru seluas

1.497 ha, yang meliputi 3 kecamatan (llihat pada Tabel 3). Sedangkan

yang telah mendapatkan izin usaha pemanfatan hasil hutan kayu

(IUPHHK HTR) dari Bupati dan telah diverifikasi adalah seluas 1.481 ha

(llihat pada Tabel 3). Pada pertengahan tahun 2013 Dinas Kehutanan

kembali mengusulkan areal pencadangan HTR sebesar 14.000 ha yang

tersebar hampir disetiap kecamatan, dengan model pengelolaan yang

menggunakan skema mandiri.

C. Kondisi Biofisik Kawasan

1. Penutupan lahan

Luas Kawasan Hutan Kabupaten Barru, berdasarkan SK

Menhut No. 434 Tahun 2009 tentang Penunjukan Kawasan Hutan

dan Konservasi Perairan Propinsi Sulawesi Selatan serta Perda No.

09 Tahun 2009 Tentang RTRW Propinsi Sulawesi Selatan adalah

sebesar 68.179,99 ha atau 58,04% dari total luas wilayah Kabupaten

Page 69: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

57

Barru dengan rincian Kawasan Hutan Lindung seluas 51.266,03 ha

dan Kawasan Hutan Produksi Terbatas seluas 16.913,96 ha.

Wilayah Kabupaten Barru yang masih berpenutupan vegetasi

berupa hutan (berhutan) adalah seluas 16.377,00 Ha dan yang

bukan berupa hutan (non hutan) adalah seluas 100.648,00 ha

(terdapat 1.867,00 ha tertutup awan). Kawasan hutan di Kabupaten

Barru telah ditata batas 100 % pada tahun 1997/1998 dengan

panjang batas luar sebesar 554,12 km. Tata batas fungsi hutan

lindung/hutan produksi terbatas tahun 2000 dengan panjang tata

batas 31,23 km. Pola tata guna hutan di kawasan hutan ini selain

terdiri dari kawasan hutan lindung, dan hutan produksi terbatas juga

terdapat kawasan budidaya, yang terdiri dari sawah dan lahan

kering. Luas dan sebaran kawasan budidaya dapat dilihat pada

Tabel 9.

2. Iklim

Berdasarkan pembagian tipe iklim dengan metoda zone

agroklimatologi yang menggunakan perbandingan jumlah bulan

basah (curah hujan lebih dari 200 mm/bulan) dan bulan kering (curah

hujan kurang dari 100 mm/bulan). Wilayah Kabupaten Barru teridiri

atas 84.340 ha atau sekitar 71,79 % bagian bertipe iklim C dengan

bulan basah 5 – 7 bulan (Oktober – April) dan bulan kering kurang

dari 2 bulan (Mei – September). Curah hujan tertinggi diwilayah ini

terjadi pada bulan Desember, sedangkan curah hujan terendah

Page 70: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

58

terjadi pada pada bulan Agustus. Data curah hujan rata-rata bulanan

di wilayah Kabupaten Barru periode tahun 1998 – 2007, yang

diperoleh dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Stasiun

Klimatologi Kelas I Panakkukang-Maros, dapat dilihat pada Gambar

4.

Total hari hujan pertahun di Wilayah Kabupaten Barru ialah

sebanyak 113 hari dengan jumlah curah hujan sebesar 5.252 mm.

Curah hujan di Kabupaten Barru berdasarkan hari hujan terbanyak

pada bulan Desember dan Januari adalah masing-masing sebesar

1.335 mm dan 1.138 mm, sedangkan hari hujan masing-masing 2

hari dengan jumlah curah hujan masing-masing 104 mm dan 17 mm.

Data hari hujan rata-rata bulanan di wilayah Kabupaten Barru dapat

dilihat pada Gambar 5.

Untuk kelembaban udara rata – rata di sekitar wilayah

Kabupaten Barru dapat dilihat pada Gambar 6, yang

mengindikasikan bahwa kelembapan udara rata-rata di wilayah

Kabupaten Barru berkisar 66 – 88 %, dengan suhu maksimum dan

minimum rata-rata 29 oC dan 27 oC.

Page 71: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

59

Tabel 9. Penggunaan Tanah di Kabupaten Barru Tahun 2012.

No. Penggunaan Tanah Luas dan Persentase

ha (%)

1. Kampung / Pemukiman 2.767,92 2,36

2. S a w a h 15.959,23 13,59

3. Kolam / Tambak 2.903,55 4,47

4. Kebun Campuran 18.586,95 15,82

5. Ladang / Tegalan 5.138,70 4,37

6. Lahan Terbuka 3.367,53 2,87

7. M a n g r o v e 288,89 0,25

8. Semak Belukar 12.712,11 10,82

9. Alang – alang 265,32 0,23

10. H u t a n 55.481,80 47,23

TOTAL 117.472,00 100,00

Sumber : Badan Pertanahan Kabupaten Barru, 2012.

Gambar 5. Histogram Hari Hujan Rata - Rata Bulanan di Lokasi Studi.

Sumber : BMG Stasiun Klimatologi Kelas I Panakkukang, Maros, 2012

Hari Hujan Rata - Rata Bulanan Kab. Barru

0

5

10

15

20

25

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop Des

B u l a n

Ha

ri H

uja

n

Hari Hujan

Page 72: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

60

Gambar 6. Kelembaban Udara Rata - Rata Bulanan di Lokasi Studi.

Sumber : BMG Stasiun Klimatologi Kelas I Panakkukang, Maros, 2012.

3. Topografi

a. Kemiringan Lereng

Kondisi topografi Kabupaten Barru merupakan dataran tinggi dan

perbukitan yang berada pada ketinggian 100 – 500 meter dari

permukaan laut (mdpl) dengan persentase kemiringan mencapai

0 – <40 %. Persentase kemiringan lahan Kabupaten Barru dapat

dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Persentase Kemiringan Lahan

Sumber : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJM)

KELEMBABAN UDARA RATA - RATA BULANAN

0

20

40

60

80

100

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop Des

Bulan

Ke

lem

ba

ba

n U

da

ra (

%)

No Kemiringan (%) Luas Areal

(Ha) (%) 1 0 - 2 26.596 22,64

2 3 – 15 7.043 5,49

3 16 – 40 33.246 28,31

4 > 40 50.587 43,06

Page 73: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

61

b. Ketinggian wilayah

Luas wilayah Kabupaten Barru berdasarkan ketinggian dapat

diklasifikasikan seperti pada Tabel 11. Areal tersebut didomonasi

dengan ketingggian 100-500 mdpl dengan persentase luas

sebesar 50.07%, dan areal yang ketinggian >1500 hanya sebesar

0.07%.

c. Jenis Tanah

Jenis tanah yang terdapat di Kabupaten Barru terdiri atas

beberapa jenis tanah antara lain jenis regosol, mediteran, litosol

dan alluvial. Besarnya luas dan persentase jenis tanah tersebut

dapat dilihat pada Tabel 12.

d. Kondisi Geologi

Kabupaten Barru memiliki sifat geologi yaitu seri endapan gunung

api yang meliputi 27,59 % dari total wilayah Kabupaten, dengan

berbagai jenis batuan penyusunnya. Litologi penyusun Wilayah

Kabupaten Barru dapat dibagi menjadi 11 kelompok antara lain:

- Kompleks Ophiolit Barru, Batuan Malihan, Kompleks Melange,

Formasi Belang Barru, Formasi Mallawa, Formasi Tonasa,

Formasi Camba, Anggota Batuan Gunung Api Camba, Anggota

Batu Gamping Formasi Camba, Batu Gamping Formasi

Walanae dan Endapan Alluvium

Page 74: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

62

Tabel 11. Persentase Ketinggian Lahan di Kabupaten Barru

No Ketinggian (mDPL) Luas Areal

(Ha) (%)

1 0 – 25 17.229 14,67

2 25 – 100 17.683 15,05

3 100 – 500 58.814 50,07

4 500 - 1000 23.663 20,14

5 > 1500 84 0,07

Sumber : Barru dalam Angka Tahun 2012.

Tabel 12. Luas dan Persentase Jenis Tanah

No Jenis Tanah Luas Areal

(Ha) (%)

1 Regosol 41.254 38,20

2 Mediteran 32.516 27,68

3 Litosol 29.043 24,72

4 Alluvial 4.659 12,48

Sumber : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJM)

Page 75: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

63

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kesesuan Lokasi Pengembangan HTR

Dengan dasar bahwa persyaratan areal untuk bisa dijadikan areal

pengembangan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) menurut Peraturan

Menteri Kehutanan Nomor P.55/Menhut-II/2011 adalah areal tersebut

harus berada di kawasan hutan produksi yang tidak produktif dan

tidak dibebani hak.

Maka dipenelitian ini pada tahap untuk membuat kesesuain lokasi

pengembangan HTR dilakukan dengan analisis spasial dengan

mengekstraksi peta kawasan hutan produksi, untuk membentuk unit

lahan dan membuat kelas kesesuain lahan untuk arahan penggunaan

HTR. Hal tersebut didapatkan dari hasil analisis pada peta penggunaan

Lahan, Aksesibilitas, dan Kelas Lereng yang berfokus pada areal HPT

Kabupaten Barru. Beberapa parameter tersebut di beri bobot dengan

mengunakan Skala likert. Variabel – variabel yang akan berdampak

positive atau memberikan daya dukung yang baik bagi pengembangan

HTR akan diberi bobot tertinggi dan begitu pula sebaliknya jika

parameter tersebut tidak mendukung kearah pengembangan HTR akan

diberi bobot terendah.

Dari hasil analisis spasial terhadap klasifikasi kelas bobot terhadap

kesesuain pengembangan HTR tersebut didapatkan masing masing

luasan kelas seperti yang ada pada Tabel 13.

Page 76: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

64

Tabel 13. Kelas Kesesuain Pengembangan HTR

Masing-masing luas yang didapatkan dari hasil analisis spasial ialah

kelas “Sesuai” seluas 1.095,0 ha atau sebesar 6.5% dari total luasan

HPT di Kabupaten Barru. “Agak Sesuai” sebesar 6.373,2 ha atau

sebesar 37.8% dan yang dikategorikan “Tidak Sesuai” sebesar 9.388,7

atau sebesar 55.7%. Sedangkan sebaran kelas tersebut dapat dilihat

pada Gambar 7.

Pada Gambar 7 tersebut dapat dijelaskan bahwa pada kelas “Tidak

Sesuai” memiliki faktor-faktor pembatas berdasarkan variabel

penyusunnya, seperti jarak yang cukup jauh dari pemukiman terdekat,

didominasi kelerengan yang cukup curam, dan areal yang masih

berhutan. Dari hasil analisis yang telah dilakukan maka pada areal

tersebut direkomendasikan untuk dihindari dalam pembangunan hutan

tanaman rakyat karena akan menyebabkan pengelolaan hutan yang

tidak optimal.

Kelas Luas (ha) %

Sesuai 1.095,0 6.5

Agak Sesuai 6.373,2 37.8

Tidak Sesuai 9.388,7 55.7

TOTAL 1.6856,83 100

Page 77: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

65

Gambar 7. Peta Kelas Kesesuain Pengembangan HTR

Page 78: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

66

Pada kelas “Sesuai” dimaksudkan adalah areal yang layak dapat

dikembangakan HTR berdasarkan variabel penyusunnya. Sehingga

areal tersebut merupakan areal yang prioritas atau direkomendasikan

untuk pembangunan hutan tanaman rakyat untuk terciptanya

pengelolaannya yang optimal. Sedangkan pada kelas “Agak Sesuai”

merupakan areal yang dapat dikembangkan tetapi dengan beberapa

kondisi tertentu agar dari segi pengelolaannya dapat berjalan dengan

optimal.

Kondisi-kondisi tertentu yang dimaksudkan pada kelas “Agak

Sesuai” ialah, pada beberapa areal yang ditemukan pada kelas lereng

25% hingga >45% dapat ditanami tanaman-tanaman yang berakar

dalam sehingga mengidarkan dari erosi dan longsor, memperpendek

jarak tanam, atau mengindari areal tersebut jika kemiringan lereng

cukup tinggi dan bervegateasi rapat. Untuk kondisi areal yang cukup

jauh dari pemukiman masyarakat, akan sangat terbantu bila kondisi

jalan tersebut baik dan memiliki kendaraan yang dapat digunakan.

B. Penyusunan Kelas Kesesuain Lahan untuk Kebutuhan HTR

1. Penyusunan Karakteristik Lahan

Penyusunan karekteristik lahan dengan cara penetapan satuan

peta lahan (SPL). Setiap SPL akan menggambarkan karakteristik

lahan yang merupakan gabungan dari sifat-sifat lahan dan

lingkungannya diperoleh dari data yang tertera pada legenda peta

tanah dan uraiannya, peta/data iklim dan peta topografi/elevasi.

Page 79: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

67

Karakteristik lahan diuraikan pada setiap satuan peta tanah (SPT)

dari peta tanah, yang meliputi: bentuk wilayah/lereng, drainase

tanah, kedalaman tanah, PH tanah, KTK. Data iklim terdiri dari curah

hujan rata-rata tahunan dan jumlah bulan kering, serta suhu udara

diperoleh dari stasiun pengamat iklim yang tergambar pada peta

landsystem. Secara sistimatik dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Bagan Penyusunan Karakteristik Lahan

Dari hasil overlay dan analisis spasial yang dilakukan maka

dapat dilihat beberapa karakteristik lahan pada setiap SPL yang

berada di kawasan Hutan Produksi Terbatas Kabupaten Barru. Dari

setiap SPL tersebutlah yang digunakan untuk menyamakan

persyaratan beberapa jenis tanaman untuk kebutuhan pembagunan

HTR di kabupaten barru Karekterisitik lahan pada setiap SPL dibuat

dengan tingkatan pada tingkat semi detail disajikan pada Tabel

PERSYARATAN TANAMAN

Data/Peta Iklim - Curah Hujan - Temperatur

Data/Peta Tanah - Lereng - Karakteristik Tanah

Data/Topografi - Relief - Elevasi

KARAKTERISTIK LAHAN

KESESUAIN LAHAN UNTUK KOMODITAS

Page 80: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

68

Karekteristik lahan pada Setiap Satuan Peta Lahan (SPL) yang

dapat dilihat dalam lampiran.

2. Penyusunan persyaratan tumbuh tanaman/penggunaan lahan

(LURs)

Persyaratan tumbuh dapat diperoleh dari berbagai referensi,

seperti pada Djaenudin et al. (2003). Sedangkan untuk pemilihan

jenis tanaman sendiri yang dijadikan bahan untuk mencocokan

dengan karakteristik lahan pada setiap SPL adalah hasil dari

wawancara yang dilakukan dilapangan dan masukan peneliti

terhadap beberapa kayu komersil. Jenis-jenis tanaman tersebut

dapat dilihat pada Tabel 14. Proses Kesesuain Lahan (Matching)

Gambar 9 & Tabel 15 memperlihatkan hasil matching antara

karakteristik lahan dan persayaratan tumbuh beberapa tanaman

yang berpotensi dikembangkan di HPT Kabupaten Barru. Secara

umum Tanaman Jati dapat tumbuh diseluruh wilayah tersebut

dengan kelas yang mendominasi ialah kelas kesesuaian lahan S2

untuk tanaman Jati.

Page 81: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

69

Tabel 14. Daftar Jenis tanaman yang berpontesi dikembangkan

No. Jenis Tanaman Jumlah Pemilih Persentase % Ranking

Jangka Panjang

1 Jabon 10 22.2 3

2 Sengon 7 15.5 4

3 Jati lokal 13 28.8 1

4 Aren 4 8.8 5

5 Kemiri 11 24.4 2

Jangka Pendek

1 Jagung 15 33.3 1

2 Kacang Tanah 8 17.7 2

3 Lombok 6 13.3 4

4 Rumput gajah 6 13.3 3

5 Jahe 5 11.1 5

Tabel 15. Kesesuaian Lahan HPT Kab.Barru

Page 82: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

70

Gambar 9. Peta Kesesuaian Lahan HPT Kab.Barru

Page 83: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

71

Untuk tanaman sengon sendiri, berdasarkan hasil analisis

spasial dan proses matching yang telah dilakukan, maka didapatkan

jenis sengon merupakan tanaman yang paling baik dikembangkan

karena dapat tumbuh diseluruh areal HPT dan didominasi pada kelas

kesesuaian lahan S1 untuk tanaman sengon tersebut. Hal serupa

sama dengan tanaman semusim rumput gajah, karena rumput gajah

dapat tumbuh pada seluruh wilayah HPT di Kabupaten Barru. Dari

Hasil analisis juga didapatkan rumput gajah sangat sesuai ditanam

pada hampir seluruh wilayah tersebut.

Gambar 9 & Tabel 15 juga menjelaskan bahwa ada beberapa

areal yang memiliki kendala pembatas terhadap tumbuhnya suatu

tanaman. Kendala pembatas tersebut seperti kurangnya unsur hara

yang tersedia, Kedalaman tanah dibawah 50 cm sehingga

menyulitkan perakaran tanaman yang mebutuhkan lebih dari itu,

kondisi lereng yang sangat curam diatas 45% pada beberapa areal,

dan kekurangan unsur hara.

C. Evaluasi Kondisi Eksisting HTR terhadap Kesesuian Lahan

Pengembangan HTR

Evaluasi kondisi eksiting HTR dimaksudkan untuk melihat kondisi

existing yang ada terhadap hasil analisis yang telah dilakukan. Hal

tersebut akan memberikan masukan tambahan untuk pengembangan

HTR secara umum. Dari hal ini juga dapat dilihat beberapa kendala-

kendala masyarakat terkait kondisi existing izin yang telah diterima

Page 84: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

72

masyarakat. Dengan metode overlay peta izin HTR yang telah ada

sampai dengan 2013 dengan peta kesesuaian pengembangan HTR

yang telah dibuat sebelumnya.

Pada Gambar 10 dari hasil analisis spasial, dapat dilihat bahwa

kelompok HTR Dae adalah satu-satunya kelompok HTR yang lokasinya

berada pada kelas “Sesuai” pada penelitian ini. Hal tersebut

menggambarkan untuk jalannya proses pengembagan HTR jika ditinjau

dari beberapa variabel seperti landuse, kelerengan, dan aksesibilitas

maka kelompok tani HTR Dae secara teknis dapat mengoptimalkan

hasil dari pengelolaan HTR.

Kelompok HTR Coppo Beramming mungkin perlu melakukan hal hal

khusus dalam rencana pengembangannya karena sebesar 99.1% atau

seluas 285.4 ha wilayahnya berada dalam kelas “Kurang Sesuai” hal

tersebut mengindikasikan bahwa areal tersebut sulit dioptimalkan

berdasarkan beberapa variabel yang digunakan dalam penelitian ini. Hal

tersebut juga terverifikasi dari hasil wawancara yang dilakukan pada

kelompok HTR Coppo Beramming. Seperti halnya Pak Saharudding (55

tahun) dan Pak Lahewo (57 tahun) mengemukakan bahwa sangat sulit

mengelolaa lahan HTR yang dimilikinya, karena areal-areal tersebut

sudah padat ditumbuhi pohon-pohon jenis kenanga, gantungan, wajo,

bikatte dan cendana, sehingga mereka sangat sulit untuk bisa menanam

lagi jika memanfaatkan ruang-ruang kecil yang terbuka.

Page 85: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

73

Gambar 10. Peta Kelas Kesesuain HPT terhadap Existing HTR

Page 86: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

74

Begitu pula pada kelompok HTR Padang Pabbo dan HTR Bolong

Ringgi lebih didominasi oleh kelas “Kurang Sesuai” masing-masing

sebesar 98.5% dan 58.2%, yang menggambarkan dalam teknis

pengelolaannya kedepan kedua kelompok HTR ini akan mendapatkan

hasil yang kurang optimal berdasarkan asumsi pada variabel yang

dibangun penelitian ini.

D. Skenario Pengembangan HTR

Dalam rencana pengembangan HTR dalam penelitian ini akan

dilakukan melalui 3 skenario, yaitu skenario pesimis, skenario moderat

dan skenario optimis.

1. Skenario pesimis ialah skenario bilamana luas areal yang

dimanfaatkan hanya terbatas pada lahan yang berada pada kelas

“Sesuai” dan luas efektif yang dapat dimanfaatkan dari kelas

“Sesuai” hanya sebesar 65%, serta diasumsikan pula bahwa kualitas

tempat tumbuh areal yang diusahakan tergolong rendah (bonita I -

II).

2. Skenario moderat ialah skenario bilamana areal yang dimanfaatkan

meliputi lahan kelas “Sesuai + Agak Sesuai”, luas efektif yang

dimanfaatkan dari kelas “Sesuai” dan sebagian lahan “Agak Sesuai”

yang tadinya ± 65% (pada skenario pesimis) berubah menjadi ±70%,

serta kualitas tempat tumbuh yang rendah (bonita I & II) pada

skenario pesimis dapat dirubah ke bonita III - IV. Perlakukan yang

dilakukan didalamnya sehingga beberapa faktor pembatas dapat

Page 87: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

75

berubah, antara lain melalui pemberian pupuk untuk menaikkan

kesuburan tanag pada lahan-lahan yang kurang subur, menambah

alokasi tenaga ataupun pendanaan sehingga dapat menambah luas

efektif lahan yang dapat dikelola.

3. Skenario optimis ialah skenario bilamana kondisi faktor-faktor dalam

pengelolaan dioptimalkan sebaik mungkin. Dalam skenarion ini luas

efektif areal yang dimanfaatkan pada lahan yang berada pada kelas

“Sesuai + Agak Sesuai”, dapat mencapai ±75%, serta kualitas

tempat tumbuh setelah dioptimalkan dapat menjadi bonita V.

Perlakukan yang dilakukan antara lain pemberian pupuk untuk

menaikan unsur hara pada lahan-lahan yang kurang unsur hara,

menambah alokasi tenaga ataupun pendanaan, penerapan silvikutur

intensif sehingga dapat menambah luas efektif lahan yang dapat

dikelola, penguatan keterampilan kelompok dan pengelolaan

kelembagaan sampai penerapan peralatan dan teknologi yang lebih

maju.

Sedangkan untuk asumsi produksi tiap skenario terhadap pada jenis

tanaman sengon dan jati di dapatkan dari tabel tegakan dalam buku

Vademecum Kehutanan Indonesia (1987).

Page 88: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

76

Tabel16.aSkenario pembangunan Hutan Taanaman Rakyat, melalui pengembangn jenis Sengon (daur 8 tahun) dan jenis Jati (daur 16 tahun)

Skenario Pesimis Moderat Optimis

Tingkat kesesuaian Lahan Sesuai Sesuai Agak

sesuai Sesuai Agak

sesuai Luas Total 1.095 1.095 6373 1.095 6373

Luas efektif 720 768 4464 816 4800 Luas penanaman per tahun (ha)

Sengon 30 32 186 34 200 Jati 30 32 186 34 200

Bonita Sengon I-II III-IV I-II V III-IV Jati I-II III-IV I-II V III-IV

Produksi (m3 per ha)

Sengon 130 180 130 250 180 Jati 70 150 70 200 150

Total Produksi (m3/ha)

Sengon 3.900 5.760 24.180 8.500 36.000 Jati 2.100 4.8000 13.020 6.800 30.000

Produksi mulai tahun ke-9 (m3)

Sengon 3.900 29.940 44.500 Jati - - -

Produksi mulai tahun ke-17 (m3)

Sengon 3.900 29.940 44.500 Jati 2.100 17.820 36.800

Keterangan : Alokasi luas penanaman tahunan untuk Sengon dan Jati adalah sama untuk semua skenario

1. Skenario Pesimis

Skenario pesimis pengembangannya dilakukan dengan pemilihan

tanaman komposisi jenis sengon dan jati pada tingkat kesesuaian

lahan kelas “Sesuai”. Dengan asumsi pada skenario pesimis ini ±

65% adalah luas lahan yang efektif dapat dimanfaatkan. Serta

masing-masing alokasi luas penanaman tahunan untuk jenis sengon

dan jati adalah sama. Dengan asumsi produktivitas sengon pada

bonita yang rendah, maka didapatkan volume dengan nilai produksi

pengusahaan HTR di Kabupaten Barru, seperti yang tertera pada

tabel 17.

Page 89: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

77

2. Skenario moderat

Skenario moderat pengembangannya dilakukan dengan

pemilihan tanaman komposisi jenis sengon dan jati pada tingkat

kesesuaian lahan kelas “Sesuai + Agak Sesuai”. Dengan asumsi

pada skenario optimis luas lahan efektif yang dapat dimanfaatkan

sebesar ±75%. Serta masing-masing alokasi luas penanaman

tahunan untuk jenis sengon dan jati adalah sama. Dengan asumsi

produktivitas sengon pada kisaran bonita III-IV, maka didapatkan

volume dengan nilai produksi pengusahaan HTR di Kabupaten

Barru, seperti yang tertera pada tabel 18.

3. Skenario optimis

Pada skenario optimis pengembangannya dilakukan dengan

pemilihan tanaman komposisi jenis sengon dan jati pada tingkat

kesesuaian lahan kelas “Sesuai + Agak Sesuai”. Dengan asumsi

pada skenario optimis luas lahan efektif yang dapat dimanfaatkan

sebesar ±75%. Serta masing-masing alokasi luas penanaman

tahunan untuk jenis sengon dan jati adalah sama.

Rancangan sekenario optimis, Sengon apabila berada pada

bonita V - VI maka volume dan nilai produksi pengusahaan HTR di

Kabupaten Barru seperti yang dapat dihasilkan tertera pada Tabel

19.

Page 90: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

78

Tabel 17. Volume dan Nilai Produksi HTR Kabupaten Barru , untuk Skenario Pesimis (Bonita I-II)

Jenis Luas Tanam per

Kelas Umur Daur (ha)

Tahun Mulai Berproduksi

Volume Produksi (m3/thn)

Nilai Produksi (Rp/thn)

Sengon 30 Thn ke 9 3.900 2.34 M

Jati 30 Thn ke 17 2.100 3.36 M

Sengon + Jati 60 Thn ke 17 6.000 5.70 M

Keterangan : Harga sengon dan jati masing – masing Rp.600.000/m3 dan Rp.2.000.000/m3, biaya diasumsikan sebesar 20% dari pendapatan bruto

Tabel 18. Volume dan Nilai Produksi HTR Kabupaten Barru , untuk Skenario Pesimis (Bonita I-II)

Jenis Luas Tanam per

Kelas Umur Daur (ha)

Tahun Mulai Berproduksi

Volume Produksi (m3/thn)

Nilai Produksi (Rp/thn)

Sengon 218 Thn ke 9 29.940 19.96 M

Jati 218 Thn ke 17 18.820 35.64 M

Sengon + Jati 236 Thn ke 17 47.760 53.60 M

Keterangan : Harga sengon dan jati masing – masing Rp.600.000/m3 dan Rp.2.000.000/m3, biaya diasumsikan sebesar 40% dari pendapatan bruto

Tabel 19. Volume dan Nilai Produksi HTR Kabupaten Barru , untuk Skenario Pesimis (Bonita I-II)

Jenis Luas Tanam per

Kelas Umur Daur (ha)

Tahun Mulai Berproduksi

Volume Produksi (m3/thn)

Nilai Produksi (Rp/thn)

Sengon 234 Thn ke 9 44.500 26.70 M

Jati 234 Thn ke 17 36.800 73.60 M

Sengon + Jati 468 Thn ke 17 81.300 110.30 M

Keterangan : Harga sengon dan jati masing – masing Rp.600.000/m3 dan Rp.2.000.000/m3, biaya diasumsikan sebesar 50% dari pendapatan bruto

Dari hasil simulasi antara skenario pesimis, moderat dan optimis

yang masing masing dijelaskan pada Tabel 17, 18, dan 19 dapat dilihat

Page 91: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

79

bahwa dari skenario pesimis sampai ke skenario optimis menggambarkan

hasil produksi yang terus naik dan berbanding lurus dengan luasan yang

dimanfaatkan serta kelas bonita. Meskipun biaya pengelolaan untuk

skenario optimis semakin besar kerena banyaknya perlakuan yang

dilakukan untuk mengoptimalkan hasil produksi akan tetapi hal tersebut

tetap berbanding lurus dengan keuntungan yang diberikan. Dengan

masing-masing omset yang didapatkan pada skenario optimis, moderat dan

optimis berturut-turut sebesar 5.70 M, 53.60 M dan 110.30 M.

Sehingga pilihan skenario pesimis ideal digunakan apabila faktor-

faktor pembatas menjadi kondisi yang tidak bisa diatasi. Faktor pembatas

tersebut kerena areal yang hanya dapat dikembangakan hanyalah pada

areal yang sesuai (luas areal yang kecil), modal masyarakat yang minim

untuk pegembangan HTR, tenaga kerja, minimnya pengetahuan dan

keterampilan pengelolaan.

Skenario moderat dapat digunakan jika beberapa beberapa faktor

pembatas dapat dioptimalkan sehingga menaikkan manfaat dan nilai

produksi. Faktor tersebut seperti penambahan luasan areal sehingga areal

yang agak sesuai juga dimanfaatkan, sesuai dengan variabel

pembangunnya maka hal tersebut dapat terjadi jika aksesibilitas baik

sarana angkutan dan kondisi jalan dapat diperbaiki. Areal semak belukar

dapat dikonversi menjadi lahan HTR, serta sebagian kebun dan tegalan

atau yang tidak produktif lagi dapat dikonversi ke HTR.

Page 92: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

80

Sedangkan skenario optimis dapat digunakan jika beberapa

beberapa faktor pembatas dapat diatasi dengan mengoptimalkan segala

sumberdaya. Seperti penambahan modal, perbaikan jalan dan sarana

angkutan, penguatan keterampilan dan kelembagaan, pemberian pupuk,

penerapan silvikultur intensif dan penerapan peralatan dan teknologi yang

lebih maju.

E. Pengembangan Industri

Dalam penelitian ini yang akan dilihat pada pengembagan industri ialah

variable; 1.Jenis Industri, 2. Kapasitas Industri dan 3.Lokasi Industri

(RTRW). Masing variable tersebut dapat dijelaskan seperti di bawah ini:

1. Jenis Industri

Jenis industri yang akan dikembangkan akan erat kaitannya

dengan jenis kayu yang dapat tumbuh dengan baik serta

hubungannya dengan masyarakat sebagai pemegang izin

pemanfaatan hutan ditingkat tapak. Seperti yang telah dijelaskan

pada bagian sebelumnya bahwa penelitian ini akan memfokuskan

pada jenis kayu sengon & jati dengan dasar dari hasil analisis

kesesuain lahan bahwa beberapa jenis dapat tumbuh sangat baik di

HPT Kabupaten Barru seperti Sengon, sengon hampir dapat

dikembangkan diseluruh wilayah HPT Kabupaten Barru, dengan

kelas kesesuaian lahan dominasi S1. Meskipun dalam

perangkingkan sengon mendapatkan rangking 4 dari hasil tabulasi

jenis-jenis yang dipilih oleh masyarakat. Sama halnya dengan jati,

Page 93: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

81

dari hasil tabulasi pilihan masyarakat kayu jatilah yang paling

diminati oleh masyarkat.

Disamping mereka dapat menggunakan kayu tersebut untuk

kebutuhan rumah, kayu jati juga dapat dijual dengan harga yang

cukup tinggi meskipun butuh waktu yang cukup lama. Dari hasil

analisis kesesuaian lahanp didapatkan bahwa kayu jati hampir dapat

tumbuh diseluruh wilayah HPT Kabupaten Barru dengan dominasi

kelas kesesuaian lahan S2. Dari komposisi tersebut melihat dari

kelas kesesuaian lahan, daur, ekonomis, pemanfaatan masyarakat

maka penelitian ini memilih sengon dan jati.

Seperti yang diketahui kayu sengon dapat dimanfaatkan oleh

baku pembuat peti, papan penyekat, pengecoran semen dalam

kontruksi, industri korek api, pensil, papan partikel, bahan baku

industri pulp kertas. Sengon juga merupakan kayu serba guna untuk

konstruksi ringan, kerajinan tangan, kotak cerutu, veneer, kayu lapis,

korek api, alat musik, pulp. (Siregar, 2009).

Dari Hal tersebut jika dilihat dengan potensi hasil yang

dapatkan dari setiap sekenario maka arahan untuk industri nantinya

akan mengarah pada pemenuhan bahan baku industri Venner, atau

plywood dan chip wood untuk jenis sengon apabila kondisi industri

kayu lokal sudah tidak dapat menyerap seluruh hasil dari

pembangunan HTR yang dilakukan cukup massif dan besar-

Page 94: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

82

besaran. sedangkan kayu jadi untuk Industri penggergajian dan kayu

pertukangan.

2. Kapasitas Industri

Kapasitas industri adalah hal yang cukup penting dipertimbangkan

dalam hal pengembangan HTR di Kabupaten Barru. Masuknya

investasi untuk industri dipengaruhi ketersedian bahan baku yang

ada dilokasi tersebut. Mengingat juga ada batasan-batasan

kapasitas produksi kayu untuk setiap izin jenis industri primer. Pada

Peraturan Pemerintah No. 34 tahun 2002 tentang tata hutan dan

penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan dan

penggunaan kawasan hutan dapat dilihat Tabel 20.

Tabel 20 . Perizinan industri primer hasil hutan kayu

Sumber : PP No.32 Tahun 2002

Dari tabel diatas untuk setiap izin usaha baik penggergajian, veneer,

playwood dan chip wood masing-masing maksimal kapasitas

produksinya 6.000 m3/tahun. Sedangkan dari hasil skenario pesimis

yang mengasilkan kayu (paling sedikit dari ketiga skenario itu)

sebesar 3.900 m3/tahun kayu sengon dari total luasan efektif 720 ha.

Artinya bahwa secara pemenuhan bahan baku terkait kapasitas

suatu industri, jika HPT tersebut dimanfaatkan hanya dengan

Page 95: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

83

menggunakan skenario pesimis maka kebutuhan untuk pemenuhan

bahan baku satu industri tidak dapat terpenuhi. Kebutuhan bahan

baku terseebut akan terpenuhi jika menerapkan skenario moderat

atau optimis dengan volume masing – yang dihasilkan untuk

skenario moderat dan optimis ialah sebesar 47.760 m3 dan 81.300

m3.

3. Lokasi Industri - Tata Ruang Wilayah

Berdasarkan Rencana Tata Ruang Kabupaten Barru tahun

2011 – 2013, bahwa lokasi Kawasan Strategis Kabupaten (KSK)

Industri berada di Kecamatan Balusu (Gambar 11). Hal tersebut

sangat menguntungkan bagi perkembangan industri kehutanan

sendiri terkait aspek jarak bahan baku. Dikarenakan hamparan hutan

produksi terbatas yang berada pada daerah Utara Kabupaten Barru

seperti yang berada di Kecamatan Soppeng Riaja, Barru, dan Balusu

sendiri tepat berhimpitan dengan KSK Industri pada Rencana tata

ruang 2011-2013. Untuk Exiting HTR sendiri, 6 dari 7 HTR yang telah

mendapat izin terdapat pada sekitar KSK Industri tersebut yaitu :

HTR Semangat, HTR Dae, HTR Samudae, HTR Jempo Sallo, HTR

Coppo Barraming dan HTR Bollong Ringgi.

Sedangkan pada hamparan HPT yang berada diwilayah

selatan Kabupaten Barru seperti pada Kecamatan Tanete Riaja dan

Kecamatan Pujananting, mempunyai jarak yang cukup dekat yaitu

Page 96: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

84

sekitar 35 km ke KSK Industri. Adapun kelompok HTR yang telah

mendapat izin yaitu HTR Padang Pabbo.

Page 97: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

85

Gambar 11. Peta Penetapan Kawasan Strategis Kab.Barru

Page 98: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

86

F. Pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat

Ada beberapa faktor internal pengelolaan HTR yang dilihat pada

penelitian yang akan berdampak pada pemenuhan bahan baku industri

dengan pemegang izin HTR, baik itu dari segi kuantitas, kontinyuitas,

dan kualitas kayu yang dihasilkan.

1. Kelembagaan Pengelolaan HTR

Kelembagaan pengelolaan merupakan ujung tombak

keberhasilan Pembangunan HTR. Maksud dari kelembagaan

pengelolaan HTR adalah pilihan-pilihan model kelembagaan dari

kelompok tani sampai koperasi yang akan menjalankan dan

melakukan pengelolaan nantinya. Hasil wawancara yang telah

dilakukan pada 3 kelompok tani; HTR Semangat, HTR Samudae,

HTR Coppo Beramming, menggambarkan bahwa masing-masing

kelompok pada tingkat tapak pengelolaannya hampir seluruh

kelompok tani berjalan sendiri-sendiri.

Seperti halnya anggota masyarakat yang mempunyai banyak

modal lebih banyak menanam secara besar-besaran dilahannya,

dan dapat menentukan jenis tanaman apa yang ingin ditanam. Disisi

lain ada juga masyarakat yang hanya mencari bibit cabutan didalam

hutan, yang jumlahnya dan jenisnya belum pasti bisa ditentukan tapi

tergantung hasil pencariannya. Ada juga beberapa masyarakat yang

hanya menunggu bantuan bibit. Jika ditinjau dari waktu tanam, jenis,

dan hasillnya pasti akan berbeda pada setiap anggota dalam setiap

Page 99: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

87

kelompok. Belum lagi didapatkan beberapa masyarakat yang lokasi

HTR tidak diuntungkan karena jauh, kondisi bebatuan, lereng, dan

berhutan.

Maka dari hal tersebut penelitian ini merekomendasikan

kelembagaan HTR haruslah model kelembagaan pengelolaan yang

sifatnya makro atau tidak terpisah-pisah antar anggota kelompok dan

menerapkan sistem bagi hasil tergantung dari luasan masing-masing

yang dikelola. Baik kelembagan tersebut dalam bentuk kelompok

tani HTR ataupun yang jauh lebih baik jika dalam bentuk koperasi,

agar setiap anggota mendapatkan manfaat dari pengelolaan HTR.

Jika hal tersebut dilakukan dengan lahan-lahan dan pengelolaan

yang kompak maka secara tidak langsung kapasitas dan

kontinyuitas kayu akan lebih banyak dan stabil serta kualitas kayu

yang dihasilkan relative sama, sehingga disatu sisi akan menjadi

pertimbangan masuknya atau didirikannya suatu industri

pengelolaan kayu. Yang diperkuat dengan asumsi potensi hasil

produksi kayu yang akan dihasilkan dalam suatu Kabupaten Barru.

Seperti yang dijelaskan dalam P.23/Menhut-II/2007, diketahui

bahwa apabila pemegang izin maksimal 15 hektar dan koperasi 700

hektar. Jika pilihan sekenarionya adalah skenario pesimis yang

berarti total luasan yang dimanfaatkan sebesar 1.095 ha, maka

hanya dibutuhkan 1 koperasi dan ditambah existing HTR yang sudah

ada. Dengan hasil dari skenario moderat-optimis, dan melihat

Page 100: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

88

standar kapasiatas terpasang industri 2.000-6.000 m3/tahun maka

hal yang wajar pembangunan industri pengelolan kayu dapat

dilakukan apabila industri kayu lokal sudah tidak dapat menyerap

hasil kayu tersebut.

2. Adaptability Pemegang Izin

Maksud Adaptability Pemegang izin dalam penelitian ini ialah,

apakah HTR nantinya dalam keterkaitannya dengan pemenuhan

bahan baku Industri dan manajemen ditingkat tapak dapat berjalan

atau tidak. Seperti, pemenuhan bahan baku industri pertahun, jika

asumsinya adalah pemegang izin kelompok tani atau masyarakat

perseorangan maka tentunya akan sangat sulit menyamakan pola

tanam & waktu tanam atau dengan kata lain menyamakan

manajemen HTR pada yang lebih makro, seperti minimal pada

satuan kelompok dan hasilnya dibagi dengan adil atau sesuai

dengan proporsi masing-masing.

Untuk menjawab hal tersebut telah dilakukan wawancara

yang pertanyaan : Kesedian masyarakat untuk mengganti tanaman

yang sementara tumbuh atau baru akan ditanam nantinya, menanam

jenis-jenis tertentu berdasarkan kebutuhan industri dan masyarakat

atau hasil analisis tertentu, dan pengaturan hutan/ menajemen hutan

untuk mendapatkan kepastian pasar suatu industri. Dari hasil

wawancara tersebut didapatkan tabulasi seperti gambar dibawah ini

:

Page 101: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

89

Gambar 15. Persentase Jawaban Masyarakat

Dapat dilihat gambar 15 di atas, bahwa responden yang

menjawab iya dan bersedia sebesar 66.67% atau sebanyak 30

orang, 8.89% atau sebanyak 4 orang menjawab tidak bersedia, dan

24.44% atau sebanyak 11 orang menjawab tergantung aturan

kelompok. Dari hasil survei yang telah dilakukan terdapat perbedaan

tersebut karena persepsi dan pengalaman masyarakat yang

diwawancarai juga berbeda. Seperti halnya yang mengatakan tidak

sepakat, Pak Abdul rahim dari kelompok HTR Coppo baramming,

ternyata telah memiliki kebun jati berumur 3-5 tahun lebih dari 1000

pohon. Sehingga latar belakang untuk menolaknya jelas, tetapi

diakhir wawancara mengatakan bersedia dengan asumsi kalau

kedepan jati tersebut sudah dipanen dan kemudian mau dilakukan

pengaturan yang jelas dengan MoU yang jelas pula untuk kebutuhan

industri.

0.00

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

60.00

70.00

Ya Tidak Tergantung Aturan

66.67

8.89

24.44

Persentase Jawaban

Page 102: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

90

Sedangkan contoh untuk yang menjawab iya, pada

kelompok HTR Semangat Pak Marmi dan kelompok HTR Samudae

Pak Sugianto sama-sama mengatakan sangat sepakat perihal

tersebut. Pengaturan-pengaturan baik secara umum oleh kelompok

dan pihak lain yang jelas MoU yang ditandatangani jelas dan saling

menguntungkan satu sama lain. Jawaban iya dari hasil wawancara

didominasi untuk mendapatkan kepastian pasar.

Page 103: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

91

BAB VI. KESIMPULAN & SARAN

A. KESIMPULAN

1. Berdasarkan hasil analisis spasial, kawasan HPT yang tergolong

sesuai, agak sesuai, dan kurang sesuai untuk pengembangan HTR

di Kabupaten Barru ialah masing-masing seluas 1.095 ha (6.5%),

6.373 (37.8%) dan 9.388 ha (55.7%). Angka-angka ini diharapkan

dapat menjadi bahan pertimbangan dalam pengusulan HTR

kedepannya.

2. Kabupaten Barru mempunyai pontensi HTR yang sangat besar, jika

HPT yang tersedia dapat dimanfaatkan untuk pembangunan HTR.

Berdasarkan skema pesimis, pembangunan dan pengelolaan HTR

di Kabupaten Barru dapat memberikan keuntungan sebesar 4.56

M. Pada skenario ini diasumsikan bahwa : a. Bagi lahan yang

diusahakan hanya dilakukan pada lahan yang sesuai, b. Jenis yang

ditanam ialah sengon dengan daur 8 tahun dan jati daur 16 tahun,

c. Harga kayu sengon ialah sebesar Rp 600.000/m3 dan jati Rp

2.000.000./m3, d. Biaya pengelolaan 20% dari pendapatan Bruto.

3. Jika pembangunan HTR juga dilakukan pada lahan yang tergolong

“Agak Sesuai”, maka nilai manfaat yang dapat diperoleh dari HTR

pada skenario moderat menjadi sebesar 58.97 M/thn dan untuk

skenari optimis sebesar 110.66 M setelah tahun ke 16.

Page 104: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

92

4. Hadirnya Industri sangat dibutuhkan untuk kepastian pasar dari

hasil HTR. Untuk menjamin hal tersebut Industri juga membutuhkan

kepastian bahan baku, baik secara kapasitas, kontinyuitas dan

kualitas agar harganya dapat saling menguntungkan. Melihat dari

besarnya potensi tersebut maka hal yang wajar jika industri

dibangun. Baik itu dari sektor swasta maupun dari sektor

pemerintah sendiri seperti Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)

5. Dari Hasil wawancara, hampir setiap petani pengelolaa HTR dapat

menerima jika dilakukan manajemen yang lebih menyeluruh terkait,

rotasi, jenis, jarak tanam, bagi hasil, sampai pada kayu tersebut

panen. Dengan landasan yang jelas baik internal kelompok maupun

eksternal seperti industri dan pemerintah

B. SARAN

Pembangunan HTR sebaiknya dimulai dengan skenario pesimis,

dengan mempriotitaskan pada lahan-lahan yang tergolong sesuai.

Pada tahap selanjutnya dapat diperluas melalui penerapan skenario

moderat dan optimis, yaitu pembangunan HTR pada lahan yang

tergolong agak sesuai. Hal ini dimaksudkan agar pembangungan

HTR di bagian lahan yang sesuai dapat lebih menyempurnakan

bagian pembangunan HTR pada lahan yang tergolong agak sesuai.

Page 105: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

93

DAFTAR PUSTAKA

Awang, S.A. 2001. Kehutanan Masyarakat : Konsep, Peluang dan Tantangan. Makalah disampaikan pada lokakarya Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat di Sumatera Barat.

Alam, Syamsu. 2011. Pelestarian Hutan dan Pengentasan Kemiskinan

Melalui Pengembangan Kehutanan Masyarakat (Suatu Tinjauan Ekonomi Kehutanan). Pidato Penerimaan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Kehutanan Universitas Hasanuddin. Makasar.

Alif, dkk. 2010. Studi Implementasi Program Hutan Tanaman Rakyat di

Sulawesi Selatan. Makassar : Universitas Hasanuddin. Clawson, Sedjo. 1982. Changes in Land Use and Land Cover : A Global

Perspective. Cambridge University Press. USA Emila dan Suwito. 2007. Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Agenda Baru

Untuk Pengentasan Kemiskinan?. Warta Tenure Nomor 4 Februari 2007.

Eriyatno. 2003. Ilmu Sistem Meningkatkan Mutu dan Efektifitas

Manajemen. Bogor .IPB Press. Forest Watch Indonesia. 2011. Potret Keadaan Hutan Indonesia 2000-

2009. FWI Bogor Greenomics Indonesia. 2004. Industri Pengelolaan Kayu : Evaluasi

Terhadap Mekanisme Perizinan, Kewenangan dan Pembinaan Industri Pengelolaan Kayu. Jakarta

Kartodihardjo, Hariadi. 2008. Dibalik Kerusakan Hutan dan Bencana

Alam : Masalah Transformasi Kebijakan Kehutanan. Banten : Wana Aksara.

Lahjie, A. M. 2003. Pengusahaan Hutan Bagi Masyarakat. Surabaya :

Whiheng Purbono. Malamassam, Daud. 2009. Modul Pembelajaran Mata Kuliah :

Perencanaan Hutan. Makassar : Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin.

Makarennu, Putranto, B. dan Dessarutu, M.D. 2009. Analisis kebutuhan bahan baku kayu bulat pada Industri Kayu Lapis Pt. Katingan Timber Celebes. Jurnal Perennial, 6(2) : 116-122. Universitas Hasanuddin

Page 106: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

94

Nadia, 2011. Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat. (Online),

(http://pipitkecilku.blogdrive.com/archive/97.html), diakses pada tanggal 10 Desember.

Patiung, dkk. 2006. Perjalanan Kebijakan Kehutanan Mengenai Akses

Masyarakat Pada Kawasan Hutan. Jakarta : Departemen Kehutanan Republik Indonesia.

Prahasto, Nurfatriani. 2001. Nurfatriani nalisis Kebijakan Penyediaan

Kayu Dalam Negeri. Jurnal Sosial ekonomi Vol.2 (2001) pp.111-138 Prijono, Herry. 2010. Artikel : Pengembangan Hutan Tanaman Rakyat.

(Online), (http://www.ilusa.net/newsletter/berita.php?id=137), diakses pada tanggal 20 Desember.

Soedirman, Soeyitno. 1995. Tinjauan Secara Komprehensif Pengelolaan

Hutan Alam Produksi Lestari Hal.42. Proceedings Lokakarya Pembangunan Timber Estates 29-31 Maret di Fakultas Kehutanan IPB Darmaga Bogor.

Supratman. 2006. Nilai Inti CBFM Sulsel : Menghargai Inisiatif Individu

dan Kelompok dalam Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat. Jakarta : Departemen Kehutanan Republik Indonesia.

Sedjo, R.A., and M, Clawson. 1984. Global Forest. In The Resourceful

Earth: A Response to Global 2000 (J.L. Simon and H.Kahn, eds.), Basil Blackwell, Oxford, U.K 128-171

Setyawati D. 2003. Komposit Serbuk Kayu Plastik Daur Ulang:

Teknologi Alternatif Pemanfaatan Limbah Kayu dan Plastik. (Online),(http://tumoutou.net/702_07134/Dina_Setyawati.htm) diakses pada tanggal 10 Desember.

Suwarno. 2011. PHBM : Alternatif Sistem Pengelolaan Hutan

Indonesia.(Online),(http://121.52.132.148/berita.php?pil=4&jd=PHBM%3A+Alternatif+Sistem+Pengelolaan+Hutan+Indonesia&dn=20071024061450), diakses pada tanggal 10 Desember.

Page 107: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

95

Lampiran .1

Daftar Nama-nama responden yang di wawancarai :

Tabel 18. Nama nama responden

No. Nama Kelompok Tani Koordinat Luas

(Ha) X Y

1 Marawi Coppo Baramming 798613.2551 9519641.519 12

2 Sukri Coppo Baramming 800963.0021 9520029.191 15

3 Abd. Rahim Coppo Baramming 798855.9787 9520000.065 10

4 La Sau Coppo Baramming 798553.0147 9519292.938 10

5 H. Laniang Coppo Baramming 799496.0467 9519816.907 15

6 Saharuddin Coppo Baramming 799126.3219 9519989.889 10

7 La Ming Coppo Baramming 798976.0793 9519399.164 10

8 Labaco Coppo Baramming 799250.4105 9519586.572 10

9 Naharuddin Coppo Baramming 799915.2724 9519502.034 10

10 Amiruddin Coppo Baramming 801240.2058 9519093.585 10

11 Lahewo Coppo Baramming 800480.8379 9519263.167 10

12 Rustan Coppo Baramming 800921.4413 9519180.765 10

13 Alamsyah Coppo Baramming 800852.8551 9519767.567 15

14 Hj. Munira Coppo Baramming 801007.5798 9520283.862 15

15 Abd. Rahman Samudae 800642.846 9516050.203 10

16 Ahmad Suhada Samudae 800790.789 9515747.759 12

17 Andi Arif Samudae 800377.163 9515594.506 10

18 Hj. Saleha Samudae 800042.874 9516312.612 10

19 Iskandar Samudae 800840.631 9515260.808 10

20 Lakambe Samudae 800385.889 9515271.273 10

21 Lapide Samudae 800900.925 9516253.120 10

22 Latuge Samudae 800293.201 9516073.151 10

23 Mahrung Samudae 800527.937 9514697.630 4

24 Muh. Asrang Samudae 800739.025 9514896.617 9

25 Muh. Damis Samudae 800354.549 9515824.807 10

26 Muh. Syukur Samudae 800310.423 9516380.175 10

27 Muh. tang Samudae 800965.899 9514865.477 8

28 Ridwan Samudae 800612.182 9515353.544 8

29 Sugianto Samudae 800642.846 9516364.692 12

30 Suhardin Samudae 800476.966 9514943.339 10

31 Zainal Semangat 801820.488 9518560.797 9

32 A. Farida Semangat 802122.157 9518731.923 9

33 Syamsuddin Semangat 802202.209 9518936.083 8

34 A. Muh. aras Semangat 802384.654 9519101.918 8

Page 108: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

96

35 Marmi, s.ag Semangat 802580.402 9518777.921 8

36 Suraidah Semangat 802365.892 9518613.855 8

37 Sumarni Semangat 802059.972 9518364.215 8

38 Heriani Semangat 802333.411 9518205.857 8

39 La mansu Semangat 802531.802 9518449.354 8

40 Muhtar Semangat 803056.977 9518438.841 8

41 Kamaruddin Semangat 802683.892 9518280.373 8

42 Abdul kadir Semangat 802427.537 9518033.843 8

43 Herman as Semangat 803292.211 9518051.182 10

44 Rasnah Semangat 803349.583 9518289.123 11

45 Irwan t Semangat 803471.959 9518626.467 12

Page 109: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

97

Lampiran .2

Tabel 19. Hasil Analisis Kesesuain Pembanguan HTR

NO LANDUSE Lereng Jarak

Bobot Lereng

Bobot Landuse

Bobot Jarak

Total Bobot

Kelas Luas (ha)

1 Semak Belukar 25% - 45% 1 1 4 4 9 Sesuai 37.1

2 Semak Belukar > 45% 1 0 4 4 8 Agak Sesuai 32.3

3 Semak Belukar 15% - 25% 1 2 4 4 10 Sesuai 4.0

4 Semak Belukar > 45% 1 0 4 4 8 Agak Sesuai 49.8

5 Kebun / Perkebunan 25% - 45% 1 1 2 4 7 Agak Sesuai 2.9

6 Kebun / Perkebunan 0% - 8% 1 4 2 4 10 Sesuai 7.1

7 Kebun / Perkebunan > 45% 1 0 2 4 6 Agak Sesuai 0.1

8 Kebun / Perkebunan > 45% 1 0 2 4 6 Agak Sesuai 22.7

9 Pemukiman 15% - 25% 1 2 0 4 6 Agak Sesuai 0.0

10 Pemukiman > 45% 1 0 0 4 4 Kurang Sesuai 1.3

11 Sawah Tadah Hujan 25% - 45% 1 1 0 4 5 Agak Sesuai 1.7

12 Sawah Irigasi 25% - 45% 1 1 0 4 5 Agak Sesuai 12.4

13 Sawah Irigasi 0% - 8% 1 4 0 4 8 Agak Sesuai 3.2

14 Sawah Irigasi 25% - 45% 1 1 0 4 5 Agak Sesuai 0.9

15 Sawah Irigasi 25% - 45% 1 1 0 4 5 Agak Sesuai 3.7

16 Sawah Irigasi 8% - 15% 1 3 0 4 7 Agak Sesuai 0.0

17 Tegalan 25% - 45% 1 1 2 4 7 Agak Sesuai 47.1

18 Tegalan > 45% 1 0 2 4 6 Agak Sesuai 3.2

19 Tegalan 8% - 15% 1 3 2 4 9 Sesuai 0.3

20 Tegalan > 45% 1 0 2 4 6 Agak Sesuai 4.7

21 Tegalan 25% - 45% 1 1 2 4 7 Agak Sesuai 0.2

22 Tegalan 25% - 45% 1 1 2 4 7 Agak Sesuai 7.1

23 Tegalan 25% - 45% 1 1 2 4 7 Agak Sesuai 39.9

24 Tegalan 8% - 15% 1 3 2 4 9 Sesuai 13.7

25 Hutan 25% - 45% 1 1 0 4 5 Agak Sesuai 37.0

26 Hutan > 45% 1 0 0 4 4 Kurang Sesuai 9.0

27 Kebun / Perkebunan 0% - 8% 1 4 2 4 10 Sesuai 304.4

28 Sawah Tadah Hujan 25% - 45% 1 1 0 4 5 Agak Sesuai 22.8

29 Sawah Tadah Hujan 25% - 45% 1 1 0 4 5 Agak Sesuai 1.0

30 Sawah Irigasi 25% - 45% 1 1 0 4 5 Agak Sesuai 8.8

31 Sawah Irigasi 0% - 8% 1 4 0 4 8 Agak Sesuai 10.8

32 Sawah Irigasi > 45% 1 0 0 4 4 Kurang Sesuai 1.9

33 Tegalan 25% - 45% 1 1 2 4 7 Agak Sesuai 14.0

34 Tegalan 25% - 45% 1 1 2 4 7 Agak Sesuai 8.6

35 Tegalan 25% - 45% 1 1 2 4 7 Agak Sesuai 2.0

36 Tegalan 25% - 45% 1 1 2 4 7 Agak Sesuai 1.3

Page 110: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

98

37 Tegalan > 45% 1 0 2 4 6 Agak Sesuai 4.6

38 Semak Belukar > 45% 1 0 4 4 8 Agak Sesuai 18.6

39 Kebun / Perkebunan > 45% 1 0 2 4 6 Agak Sesuai 7.7

40 Kebun / Perkebunan 8% - 15% 1 3 2 4 9 Sesuai 0.1

41 Sawah Irigasi 8% - 15% 1 3 0 4 7 Agak Sesuai 0.5

42 Tegalan > 45% 1 0 2 4 6 Agak Sesuai 290.9

43 Tegalan 25% - 45% 1 1 2 4 7 Agak Sesuai 6.3

44 Tegalan 25% - 45% 1 1 2 4 7 Agak Sesuai 8.5

45 Hutan 25% - 45% 1 1 0 4 5 Agak Sesuai 331.8

46 Hutan 0% - 8% 1 4 0 4 8 Agak Sesuai 14.1

47 Hutan > 45% 1 0 0 4 4 Kurang Sesuai 739.8

48 Hutan 15% - 25% 1 2 0 4 6 Agak Sesuai 399.7

49 Hutan 15% - 25% 1 2 0 4 6 Agak Sesuai 40.3

50 Hutan 25% - 45% 1 1 0 4 5 Agak Sesuai 335.7

51 Hutan 8% - 15% 1 3 0 4 7 Agak Sesuai 9.0

52 Hutan 8% - 15% 1 3 0 4 7 Agak Sesuai 15.1

53 Hutan 8% - 15% 1 3 0 4 7 Agak Sesuai 0.1

54 Sawah Irigasi 0% - 8% 1 4 0 4 8 Agak Sesuai 12.2

55 Sawah Irigasi 0% - 8% 1 4 0 4 8 Agak Sesuai 2.1

56 Sawah Irigasi > 45% 1 0 0 4 4 Kurang Sesuai 1.0

57 Tegalan > 45% 1 0 2 4 6 Agak Sesuai 27.7

58 Tegalan 15% - 25% 1 2 2 4 8 Agak Sesuai 39.6

59 Tegalan 25% - 45% 1 1 2 4 7 Agak Sesuai 5.4

60 Tegalan 0% - 8% 1 4 2 4 10 Sesuai 6.6

61 Tegalan > 45% 1 0 2 4 6 Agak Sesuai 15.4

62 Tegalan 25% - 45% 1 1 2 4 7 Agak Sesuai 3.1

63 Tegalan 25% - 45% 1 1 2 4 7 Agak Sesuai 6.0

64 Sawah Tadah Hujan 0% - 8% 1 4 0 4 8 Agak Sesuai 66.5

65 Sawah Tadah Hujan > 45% 1 0 0 4 4 Kurang Sesuai 0.9

66 Sawah Tadah Hujan 8% - 15% 1 3 0 4 7 Agak Sesuai 0.1

67 Sawah Irigasi 25% - 45% 1 1 0 4 5 Agak Sesuai 2.7

68 Sawah Irigasi 8% - 15% 1 3 0 4 7 Agak Sesuai 0.8

69 Tegalan 25% - 45% 1 1 2 4 7 Agak Sesuai 6.2

70 Tegalan 8% - 15% 1 3 2 4 9 Sesuai 0.5

71 Tegalan 15% - 25% 1 2 2 4 8 Agak Sesuai 4.0

72 Tegalan 25% - 45% 1 1 2 4 7 Agak Sesuai 0.8

73 Tegalan 8% - 15% 1 3 2 4 9 Sesuai 6.6

74 Tegalan 25% - 45% 1 1 2 4 7 Agak Sesuai 0.8

75 Tegalan > 45% 1 0 2 4 6 Agak Sesuai 13.3

76 Tegalan 15% - 25% 1 2 2 4 8 Agak Sesuai 274.7

77 Tegalan 25% - 45% 1 1 2 4 7 Agak Sesuai 47.2

Page 111: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

99

78 Semak Belukar 25% - 45% 2 1 4 3 8 Agak Sesuai 26.7

79 Semak Belukar 0% - 8% 2 4 4 3 11 Sesuai 0.0

80 Semak Belukar 25% - 45% 2 1 4 3 8 Agak Sesuai 110.9

81 Semak Belukar > 45% 2 0 4 3 7 Agak Sesuai 119.8

82 Semak Belukar 15% - 25% 2 2 4 3 9 Sesuai 50.5

83 Semak Belukar > 45% 2 0 4 3 7 Agak Sesuai 153.5

84 Semak Belukar 15% - 25% 2 2 4 3 9 Sesuai 5.0

85 Semak Belukar 25% - 45% 2 1 4 3 8 Agak Sesuai 18.0

86 Semak Belukar 25% - 45% 2 1 4 3 8 Agak Sesuai 16.5

87 Semak Belukar 25% - 45% 2 1 4 3 8 Agak Sesuai 2.5

88 Kebun / Perkebunan 25% - 45% 2 1 2 3 6 Agak Sesuai 4.1

89 Kebun / Perkebunan 25% - 45% 2 1 2 3 6 Agak Sesuai 0.7

90 Kebun / Perkebunan 25% - 45% 2 1 2 3 6 Agak Sesuai 10.5

91 Kebun / Perkebunan 0% - 8% 2 4 2 3 9 Sesuai 0.6

92 Kebun / Perkebunan > 45% 2 0 2 3 5 Agak Sesuai 55.1

93 Sawah Tadah Hujan 25% - 45% 2 1 0 3 4 Kurang Sesuai 9.0

94 Sawah Tadah Hujan 25% - 45% 2 1 0 3 4 Kurang Sesuai 1.0

95 Sawah Irigasi 25% - 45% 2 1 0 3 4 Kurang Sesuai 16.6

96 Sawah Irigasi 8% - 15% 2 3 0 3 6 Agak Sesuai 10.6

97 Tegalan 25% - 45% 2 1 2 3 6 Agak Sesuai 1.5

98 Tegalan 25% - 45% 2 1 2 3 6 Agak Sesuai 1.2

99 Tegalan 25% - 45% 2 1 2 3 6 Agak Sesuai 1.2

100 Tegalan 25% - 45% 2 1 2 3 6 Agak Sesuai 12.2

101 Tegalan 25% - 45% 2 1 2 3 6 Agak Sesuai 25.2

102 Tegalan 25% - 45% 2 1 2 3 6 Agak Sesuai 30.8

103 Tegalan 25% - 45% 2 1 2 3 6 Agak Sesuai 59.5

104 Tegalan > 45% 2 0 2 3 5 Agak Sesuai 7.5

105 Tegalan 25% - 45% 2 1 2 3 6 Agak Sesuai 4.0

106 Tegalan 25% - 45% 2 1 2 3 6 Agak Sesuai 5.0

107 Tegalan 25% - 45% 2 1 2 3 6 Agak Sesuai 5.3

108 Tegalan 25% - 45% 2 1 2 3 6 Agak Sesuai 0.2

109 Tegalan 25% - 45% 2 1 2 3 6 Agak Sesuai 17.0

110 Tegalan 25% - 45% 2 1 2 3 6 Agak Sesuai 2.4

111 Tegalan 8% - 15% 2 3 2 3 8 Agak Sesuai 46.8

112 Semak Belukar 25% - 45% 2 1 4 3 8 Agak Sesuai 1.2

113 Semak Belukar > 45% 2 0 4 3 7 Agak Sesuai 1.4

114 Kebun / Perkebunan 0% - 8% 2 4 2 3 9 Sesuai 572.3

115 Sawah Irigasi 25% - 45% 2 1 0 3 4 Kurang Sesuai 7.8

116 Sawah Irigasi 25% - 45% 2 1 0 3 4 Kurang Sesuai 2.2

117 Sawah Irigasi 8% - 15% 2 3 0 3 6 Agak Sesuai 6.2

118 Tegalan 25% - 45% 2 1 2 3 6 Agak Sesuai 24.6

Page 112: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

100

119 Tegalan 25% - 45% 2 1 2 3 6 Agak Sesuai 10.7

120 Tegalan 25% - 45% 2 1 2 3 6 Agak Sesuai 18.9

121 Tegalan 25% - 45% 2 1 2 3 6 Agak Sesuai 46.3

122 Tegalan 25% - 45% 2 1 2 3 6 Agak Sesuai 24.4

123 Tegalan 25% - 45% 2 1 2 3 6 Agak Sesuai 19.8

124 Tegalan 25% - 45% 2 1 2 3 6 Agak Sesuai 20.5

125 Tegalan > 45% 2 0 2 3 5 Agak Sesuai 3.0

126 Tegalan > 45% 2 0 2 3 5 Agak Sesuai 3.0

127 Tegalan 25% - 45% 2 1 2 3 6 Agak Sesuai 13.5

128 Tegalan 25% - 45% 2 1 2 3 6 Agak Sesuai 2.1

129 Semak Belukar > 45% 2 0 4 3 7 Agak Sesuai 120.2

130 Semak Belukar 15% - 25% 2 2 4 3 9 Sesuai 74.9

131 Kebun / Perkebunan 25% - 45% 2 1 2 3 6 Agak Sesuai 0.6

132 Kebun / Perkebunan 25% - 45% 2 1 2 3 6 Agak Sesuai 4.5

133 Kebun / Perkebunan 8% - 15% 2 3 2 3 8 Agak Sesuai 2.0

134 Sawah Irigasi 25% - 45% 2 1 0 3 4 Kurang Sesuai 2.6

135 Tegalan > 45% 2 0 2 3 5 Agak Sesuai 390.0

136 Tegalan 25% - 45% 2 1 2 3 6 Agak Sesuai 22.4

137 Tegalan 0% - 8% 2 4 2 3 9 Sesuai 8.8

138 Tegalan 0% - 8% 2 4 2 3 9 Sesuai 1.0

139 Tegalan 25% - 45% 2 1 2 3 6 Agak Sesuai 21.6

140 Tegalan 25% - 45% 2 1 2 3 6 Agak Sesuai 73.7

141 Hutan 25% - 45% 2 1 0 3 4 Kurang Sesuai ####

142 Hutan > 45% 2 0 0 3 3 Kurang Sesuai 0.4

143 Hutan > 45% 2 0 0 3 3 Kurang Sesuai 5.4

144 Hutan > 45% 2 0 0 3 3 Kurang Sesuai ####

145 Hutan 15% - 25% 2 2 0 3 5 Agak Sesuai 232.5

146 Hutan 15% - 25% 2 2 0 3 5 Agak Sesuai 64.2

147 Hutan 25% - 45% 2 1 0 3 4 Kurang Sesuai 518.9

148 Hutan 8% - 15% 2 3 0 3 6 Agak Sesuai 7.5

149 Hutan 8% - 15% 2 3 0 3 6 Agak Sesuai 12.9

150 Sawah Irigasi 0% - 8% 2 4 0 3 7 Agak Sesuai 5.2

151 Tegalan > 45% 2 0 2 3 5 Agak Sesuai 136.2

152 Tegalan 15% - 25% 2 2 2 3 7 Agak Sesuai 328.3

153 Tegalan 25% - 45% 2 1 2 3 6 Agak Sesuai 33.5

154 Tegalan > 45% 2 0 2 3 5 Agak Sesuai 2.5

155 Tegalan 25% - 45% 2 1 2 3 6 Agak Sesuai 10.2

156 Tegalan > 45% 2 0 2 3 5 Agak Sesuai 0.3

157 Tegalan 25% - 45% 2 1 2 3 6 Agak Sesuai 49.1

158 Tegalan 25% - 45% 2 1 2 3 6 Agak Sesuai 10.4

159 Tegalan 25% - 45% 2 1 2 3 6 Agak Sesuai 16.7

Page 113: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

101

160 Tegalan 8% - 15% 2 3 2 3 8 Agak Sesuai 0.5

161 Tegalan 25% - 45% 2 1 2 3 6 Agak Sesuai 2.6

162 Tegalan 25% - 45% 2 1 2 3 6 Agak Sesuai 0.0

163 Tegalan > 45% 2 0 2 3 5 Agak Sesuai 5.1

164 Tegalan 15% - 25% 2 2 2 3 7 Agak Sesuai 75.0

165 Tegalan 25% - 45% 2 1 2 3 6 Agak Sesuai 11.2

166 Semak Belukar 25% - 45% 3 1 4 2 7 Agak Sesuai 96.4

167 Semak Belukar 25% - 45% 3 1 4 2 7 Agak Sesuai 27.2

168 Semak Belukar > 45% 3 0 4 2 6 Agak Sesuai 0.0

169 Semak Belukar 15% - 25% 3 2 4 2 8 Agak Sesuai 15.3

170 Semak Belukar > 45% 3 0 4 2 6 Agak Sesuai 16.7

171 Semak Belukar > 45% 3 0 4 2 6 Agak Sesuai 0.5

172 Semak Belukar 25% - 45% 3 1 4 2 7 Agak Sesuai 1.2

173 Semak Belukar 25% - 45% 3 1 4 2 7 Agak Sesuai 0.0

174 Semak Belukar 25% - 45% 3 1 4 2 7 Agak Sesuai 46.6

175 Semak Belukar 8% - 15% 3 3 4 2 9 Sesuai 1.6

176 Semak Belukar 25% - 45% 3 1 4 2 7 Agak Sesuai 12.2

177 Semak Belukar 25% - 45% 3 1 4 2 7 Agak Sesuai 21.4

178 Kebun / Perkebunan 25% - 45% 3 1 2 2 5 Agak Sesuai 0.6

179 Kebun / Perkebunan 15% - 25% 3 2 2 2 6 Agak Sesuai 0.8

180 Sawah Tadah Hujan 25% - 45% 3 1 0 2 3 Kurang Sesuai 0.6

181 Sawah Irigasi 8% - 15% 3 3 0 2 5 Agak Sesuai 14.6

182 Tegalan 25% - 45% 3 1 2 2 5 Agak Sesuai 11.0

183 Tegalan 25% - 45% 3 1 2 2 5 Agak Sesuai 2.2

184 Tegalan 25% - 45% 3 1 2 2 5 Agak Sesuai 132.8

185 Tegalan 25% - 45% 3 1 2 2 5 Agak Sesuai 55.2

186 Tegalan 25% - 45% 3 1 2 2 5 Agak Sesuai 5.6

187 Tegalan 25% - 45% 3 1 2 2 5 Agak Sesuai 0.4

188 Tegalan 25% - 45% 3 1 2 2 5 Agak Sesuai 2.8

189 Tegalan 25% - 45% 3 1 2 2 5 Agak Sesuai 0.2

190 Tegalan 8% - 15% 3 3 2 2 7 Agak Sesuai 0.8

191 Tegalan 8% - 15% 3 3 2 2 7 Agak Sesuai 0.4

192 Tegalan 25% - 45% 3 1 2 2 5 Agak Sesuai 9.9

193 Tegalan 8% - 15% 3 3 2 2 7 Agak Sesuai 10.7

194 Semak Belukar > 45% 3 0 4 2 6 Agak Sesuai 0.2

195 Semak Belukar > 45% 3 0 4 2 6 Agak Sesuai 3.0

196 Semak Belukar 25% - 45% 3 1 4 2 7 Agak Sesuai 18.6

197 Semak Belukar 25% - 45% 3 1 4 2 7 Agak Sesuai 14.5

198 Kebun / Perkebunan 0% - 8% 3 4 2 2 8 Agak Sesuai 115.5

199 Sawah Irigasi 8% - 15% 3 3 0 2 5 Agak Sesuai 3.2

200 Tegalan 25% - 45% 3 1 2 2 5 Agak Sesuai 19.7

Page 114: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

102

201 Tegalan 25% - 45% 3 1 2 2 5 Agak Sesuai 8.3

202 Tegalan 25% - 45% 3 1 2 2 5 Agak Sesuai 31.0

203 Tegalan 25% - 45% 3 1 2 2 5 Agak Sesuai 13.7

204 Tegalan 25% - 45% 3 1 2 2 5 Agak Sesuai 1.9

205 Tegalan 25% - 45% 3 1 2 2 5 Agak Sesuai 1.7

206 Tegalan 25% - 45% 3 1 2 2 5 Agak Sesuai 2.7

207 Tegalan 25% - 45% 3 1 2 2 5 Agak Sesuai 6.3

208 Semak Belukar > 45% 3 0 4 2 6 Agak Sesuai 16.0

209 Semak Belukar 15% - 25% 3 2 4 2 8 Agak Sesuai 162.6

210 Kebun / Perkebunan 25% - 45% 3 1 2 2 5 Agak Sesuai 0.0

211 Kebun / Perkebunan 25% - 45% 3 1 2 2 5 Agak Sesuai 11.9

212 Kebun / Perkebunan 8% - 15% 3 3 2 2 7 Agak Sesuai 49.6

213 Tegalan > 45% 3 0 2 2 4 Kurang Sesuai 1.9

214 Tegalan 25% - 45% 3 1 2 2 5 Agak Sesuai 20.2

215 Hutan 25% - 45% 3 1 0 2 3 Kurang Sesuai ####

216 Hutan > 45% 3 0 0 2 2 Kurang Sesuai 8.1

217 Hutan > 45% 3 0 0 2 2 Kurang Sesuai 55.6

218 Hutan > 45% 3 0 0 2 2 Kurang Sesuai 928.6

219 Hutan 15% - 25% 3 2 0 2 4 Kurang Sesuai 83.1

220 Hutan 25% - 45% 3 1 0 2 3 Kurang Sesuai 323.8

221 Hutan 8% - 15% 3 3 0 2 5 Agak Sesuai 15.4

222 Sawah Irigasi 25% - 45% 3 1 0 2 3 Kurang Sesuai 0.0

223 Sawah Irigasi 8% - 15% 3 3 0 2 5 Agak Sesuai 4.3

224 Tegalan > 45% 3 0 2 2 4 Kurang Sesuai 14.6

225 Tegalan 15% - 25% 3 2 2 2 6 Agak Sesuai 191.1

226 Tegalan 25% - 45% 3 1 2 2 5 Agak Sesuai 1.6

227 Tegalan > 45% 3 0 2 2 4 Kurang Sesuai 0.9

228 Tegalan 25% - 45% 3 1 2 2 5 Agak Sesuai 9.0

229 Tegalan 8% - 15% 3 3 2 2 7 Agak Sesuai 4.1

230 Tegalan 25% - 45% 3 1 2 2 5 Agak Sesuai 100.6

231 Tegalan > 45% 3 0 2 2 4 Kurang Sesuai 0.7

232 Tegalan 25% - 45% 3 1 2 2 5 Agak Sesuai 1.8

233 Tegalan 8% - 15% 3 3 2 2 7 Agak Sesuai 9.4

234 Semak Belukar 25% - 45% 4 1 4 1 6 Agak Sesuai 7.2

235 Semak Belukar > 45% 4 0 4 1 5 Agak Sesuai 0.6

236 Semak Belukar 25% - 45% 4 1 4 1 6 Agak Sesuai 1.9

237 Semak Belukar 25% - 45% 4 1 4 1 6 Agak Sesuai 7.5

238 Kebun / Perkebunan 15% - 25% 4 2 2 1 5 Agak Sesuai 22.3

239 Tegalan 25% - 45% 4 1 2 1 4 Kurang Sesuai 24.3

240 Tegalan 25% - 45% 4 1 2 1 4 Kurang Sesuai 0.1

241 Tegalan 25% - 45% 4 1 2 1 4 Kurang Sesuai 16.0

Page 115: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

103

242 Tegalan 25% - 45% 4 1 2 1 4 Kurang Sesuai 0.1

243 Semak Belukar > 45% 4 0 4 1 5 Agak Sesuai 1.2

244 Semak Belukar 15% - 25% 4 2 4 1 7 Agak Sesuai 4.9

245 Tegalan 25% - 45% 4 1 2 1 4 Kurang Sesuai 17.7

246 Tegalan 25% - 45% 4 1 2 1 4 Kurang Sesuai 11.1

247 Semak Belukar 15% - 25% 4 2 4 1 7 Agak Sesuai 47.7

248 Hutan 25% - 45% 4 1 0 1 2 Kurang Sesuai 820.2

249 Hutan > 45% 4 0 0 1 1 Kurang Sesuai 164.0

250 Hutan > 45% 4 0 0 1 1 Kurang Sesuai 59.5

251 Hutan 15% - 25% 4 2 0 1 3 Kurang Sesuai 23.3

252 Hutan 25% - 45% 4 1 0 1 2 Kurang Sesuai 5.3

253 Tegalan 15% - 25% 4 2 2 1 5 Agak Sesuai 24.0

254 Tegalan 25% - 45% 4 1 2 1 4 Kurang Sesuai 53.6

255 Semak Belukar > 45% 2 0 4 3 7 Agak Sesuai 0.0

256 Tegalan > 45% 2 0 2 3 5 Agak Sesuai 0.0

257 Tegalan > 45% 2 0 2 3 5 Agak Sesuai 0.0

258 Tegalan > 45% 2 0 2 3 5 Agak Sesuai 0.0

Page 116: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

104

Page 117: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

105

Page 118: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

106

Page 119: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

107

Page 120: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

108

Page 121: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

109

Page 122: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

110

Page 123: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

111

Page 124: DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

112