Depok_Aisyah
Transcript of Depok_Aisyah
Persepsi pemerintah kota dan masyarakat pengguna tentang ruang
publik pejalan kaki di Depok (Indonesia) dan Kitakyushu (Jepang):
sebuah analisis ruang kota dengan konsep spatial triad dari Lefebvre.
Peneliti : S.A. Nataliwati1, C. Wardhani
2, S.D. Anwar
3 dan J. Sumabrata
4
Sponsor : Riset Unggulan program Utama dan Riset Multidisiplin UI 2009
Alamat email : [email protected], [email protected],
[email protected], [email protected]
1 Pusat Studi Jepang, Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia 2 Pusat Studi Representasi Sosial, Jakarta, Indonesia 3 Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia 3 Fakultas Tehnik, Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia
Abstract
The livability of urban space recently is being seen as a common need for pedestrian, since
walking as a basic mode of transportation is getting more consideration of its importance.
Sidewalk, as an open public space for pedestrian, is a part of city’s face and image, because
sidewalks can be seen as an open bowl of perceptions of its stakeholders.
Henry Lefebvre’s spatial triad concept gives the framework for understanding the phenomena
behind urban space production and reproduction by analyzing stakeholder’s perceptions.
One dimension of the triad is representation of space, the dimension of decision makers,
which can be a government, legislative, operator or developer. In the other side is
representational space, a perceived and a lived experiences of users with variety of socio-
cultural background. Both triad’s dimensions influence each other, and give shapes and
characteristic of resulted spatial practice, the third dimension, and its physical environment.
The research was conducted in Margonda street of Depok in Indonesia and Kitakyushu in
Japan. Economic, social and cultural background differences characterized each country’s
spatial triad’s perception on pedestrian public spaces. This research is expected to provide
the framework for self-understanding and knowledge of living ideas in society.
Kata kunci
Spatial triad, persepsi, ruang publik, pejalan kaki, pemerintah kota.
Pendahuluan
Setiap orang adalah pejalan kaki (pedestrian) dan berjalan kaki dianggap sebagai
bentuk paling sederhana moda transportasi untuk berpindah dari satu tempat menuju
tempat lainnya. Orang akan memilih berjalan kaki apabila tersedia jalur pejalan kaki
yang mudah dicapai, aman dan nyaman. Namun, kondisi yang sering ditemui di kota-
kota Indonesia, termasuk di Depok, adalah kurangnya ruang untuk pejalan kaki
(contoh: sidewalk), pedagang kaki lima yang mengokupasi trotoar, infrastruktur yang
rusak, serta tidak jelas batas antara jalur-jalur untuk pejalan kaki dan kendaraan
bermotor. Kota-kota di Jepang yang berkembang dengan jaringan kereta listrik
sebagai sarana transportasi umum utama telah mendorong evolusi pembangunan
untuk pejalan kaki menjadi suatu proses yang terencana dan detil. Hal ini juga tidak
terlepas dari persepsi pemerintah Jepang yang menempatkan pembangunan manusia
sebagai prioritas utama.
Pemahaman tentang persepsi pemerintah kota dan masyarakat pengguna tentang
ruang publik pejalan kaki diperlukan untuk mengkaji fenomena di balik realitas
evolusi produksi dan reproduksi ruang kota. Untuk pengkajian tersebut, peneliti
menggunakan konsep spatial triad dari Henry Lefebvre.
Riset ini bertujuan untuk berkontribusi secara teoretis bagi eksplorasi teori produksi
ruang Lefebvre dalam kajian empiris yang belum banyak dilakukan. Hasil riset
diharapkan dapat menjadi bahan kajian untuk proses kebijakan pembangunan ruang
publik pejalan kaki oleh pemerintah kota di Indonesia, khususnya Depok.
Kerangka teoretis
Konsep spatial triad dikemukakan Henry Lefebvre dalam The Production of Space
merupakan kerangka dialektik dari cara memandang ruang dalam tiga dimensi yang
berbeda. Tiga dimensi ruang tersebut adalah:
Spatial practice, proses produksi dan reproduksi ruang dengan karakteristik dan
formasi sosial tertentu. Praktik sosial memberikan kontinuitas dan kohesi yang tidak
terlepas dari konteks sejarah, politik, ekonomi, budaya dan sosial. Praktis spasial
meliputi pemikiran para pengambil keputusan yang turut memberi kontribusi pada
pembentukan kota. Perilaku masyarakat juga merupakan praktik spasial, dan
penggunaan secara nyata suatu ruang dapat berbeda dari fungsi yang direncanakan
pemerintah dan perencana.
Representations of space, berkaitan dengan hubungan antar proses produksi dan pola
dimana hubungan tersebut terjadi, yang meliputi pengetahuan, tanda, kode dsb.
Representasi ruang mengacu pada cara perancang dan perencana dalam memahami
ruang urban dan realitas sebuah kota. Representasi ini dapat terwujud di atas kertas
dalam bentuk kebijakan publik, cetak biru perencanaan, peta demografi atau
topografi, dll.
Representational space, merupakan kompleksitas symbol dari cara masyarakat
memahami realitas kota. Simbol terutama tampil dalam elemen fisik, yang
memberikan imaji sebuah kota yang ditangkap oleh masyarakat. Jadi ruang
representasional terbuka pada kemungkinan interpretasi yang berbeda-beda, yang
justru dapat digunakan untuk menilai hasil kerja dari para perancang dan perencana
kota.
(Lefebvre 1991:38-39, Xypolia 1999)
Pendekatan dan metode riset
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Metode untuk
menggali persepsi pemerintah Depok dan Kitakyushu, adalah wawancara dengan
pimpinan dan staf dari unit kerja terkait masing-masing pemerintah kota. Untuk
mendapatkan persepsi masyarakat pengguna di Jalan Margonda Depok, digunakan
pendekatan dan metode representasi sosial. Pengambilan data dilakukan dengan:
pertama, wawancara pejalan kaki; kedua, membentuk 4 kelompok diskusi terarah,
yakni kelompok mahasiswa, ibu rumah tangga, karyawan klerk dan pelajar sekolah
dasar; ketiga, pengisian kuesioner. Persepsi pejalan kaki di Kitakyushu digali dengan
diskusi terarah bersama kelompok mahasiswa.
Persepsi tentang ruang publik pejalan kaki di Depok
Depok diresmikan menjadi Kotamadya Daerah Tingkat II pada tanggal 27 April 1999,
yang dinyatakan sebagai hari jadi kota Depok. Kota yang terletak di selatan Jakarta ini
mempunyai luas wilayah 200,29 km2 dengan jumlah penduduk 1.374.522 jiwa pada
tahun 2005 (sumber:www.depok.go.id). Tahun 2008, Depok dikembangkan menjadi
terbagi atas 11 kecamatan, yakni: Beji, Pancoranmas, Cipayung, Sukmajaya,
Cilodong, Limo, Cinere, Cimanggis, Tapos, Sawangan, dan Bojongsari. Jalan
Margonda, sepanjang 5,3 km, merupakan jalan utama kota Depok menuju Jakarta,
dengan status jalan propinsi. Aktifitas utama di sepanjang jalan Margonda adalah
perdagangan dan perkantoran. Pada gambar 1 terlihat ruas sidewalk yang nyaman
karena teduh di depan kantor Walikota Depok. Pada gambar 2 terlihat kondisi
sidewalk di bagian selatan Margonda, tidak terawat, ruas terpotong dan batas tak jelas.
Gbr1. Sidewalk muka kantor Walikota (Jan 2010) Gbr.2.Sidewalk ujung selatan Margonda (Des’09)
Pada saat observasi, sedang dilakukan pelebaran badan jalan Margonda dari semula
total 6 jalur menjadi 8 jalur. Akibatnya, jalur terluar sering digunakan untuk parkir
dan hilangnya ruang untuk sidewalk (lihat gambar 3 dan 4). Secara hukum, ruang
milik jalan Margonda adalah selebar 32 m dengan rencana total lebar jalan dan
median 27,4 m dan sidewalk masing-masing 2,3 m. Kondisi nyata menunjukkan
banyak penguasaan lahan dan bangunan yang tidak sesuai peraturan.
Gbr 3. Daerah utara Jalan Margonda (Feb 2010) Gbr.4.Daerah tengah Jalan Margonda (Feb 2010)
Pemerintah kota Depok memang memberi prioritas utama pada penataan jalan
Margonda. Aspek yang menjadi fokus pembangunan di Depok adalah akomodasi
motorisasi dengan pelebaran dan perbaikan badan jalan-jalan. Perencanaan untuk
fasilitas pejalan kaki memang belum menjadi prioritas bahkan dapat dikatakan
prioritas sangat rendah. Rendahnya APBD Depok juga dianggap tidak memungkinkan
mengangkat fasilitas pejalan kaki sebagai prioritas utama. Namun, pemerintah Depok
juga berpendapat bahwa keberadaan sidewalk merupakan suatu bentuk perlindungan
pemerintah kota terhadap para pejalan kaki. Selanjutnya, bagaimanakah persepsi
tentang ruang publik dan kegiatan berjalan kaki dari pengguna jalan Margonda itu
sendiri?
Wawancara dan diskusi kelompok untuk menggali persepsi masyarakat tentang
kegiatan berjalan kaki dan ruang publik menunjukkan keberagaman persepsi,
khususnya di antara kelompok sosial. Hal ini sejalan dengan hasil analisis kuantitatif.
Survey dilakukan pada bulan April 2010 dengan kuesioner untuk 300 pejalan kaki,
merata pada pembagian zona area Margonda dan waktu. Pertanyaan awal adalah
tentang pemaknaan kegiatan berjalan kaki secara umum, di luar konteks Margonda.
Untuk pemaknaan positif, pilihan jawaban ‘ya’ oleh responden didominasi oleh faktor
kesehatan dan olah raga. Faktor lain yang menonjol juga adalah penghematan (lihat
gambar 5). Sedangkan pengaruh lingkungan seperti kepanasan, polusi dan debu,
mendominasi pemaknaan negatif (lihat gambar 6).
Gbr. 5. Grafis makna positif berjalan kaki Gbr.6. Grafis makna negatif berjalan kaki.
Data semantik tentang pengalaman positif responden ketika berjalan kaki di jalan
Margonda menunjukkan bahwa faktor kesehatan tetap penting setelah pengalaman
yang berkenaan dengan memori kognitif yang menyenangkan seperti memandang dan
menikmati kesejukan pepohonan, melegakan pikiran dsb. (lihat tabel 1). Data
semantik pengalaman negatif menunjukkan faktor lingkungan, termasuk alam, paling
tinggi frekuensinya. Hal yang menarik adalah bahwa ketika faktor bahaya dalam
berjalan kaki tidak menjadi isu persepsi negatif yang penting (lihat gambar 6),
pengalaman negatif pejalan kaki Margonda ternyata menunjukkan dominasi isu yang
berkaitan dengan keselamatan (lihat tabel 2).
Tabel 1. Makna pengalaman positif di Margonda. Tabel 2. Makna pengalaman negatif di Margonda.
No Makna
Pengalaman
Positif
Freku
ensi
%
1 Pengalaman
sensorial
104 26,7
2 Kesehatan 96 24,7
3 Bersosialisasi 90 10,0
4 Hemat 39 10,0
5 Pengalaman baru 26 6,7
6 Belanja &
kegiatan terkait
11 2,8
7 Lain-lain 23 5,9
Total 389
No Makna Pengalaman Negatif Freku
ensi
%
1 Lingkungan (panas, becek) 110 28,1
2 Keselamatan (diserempet,
hampir ditabrak, jatuh,
terpeleset)
73 18,6
3 Akibat perilaku orang lain
(kecipratan dsb)
41 10,5
4 Polusi (asap, debu) 34 8,7
5 Kondisi fisik & kesehatan
(lelah, capek, asma kambuh)
34 8,7
6 Kondisi jalan (trotoar sempit,
jalan berlubang,)
30 7,7
7 Kejahatan 30 7,7
8 Faktor sosial (diejek, diganggu) 21 5,4
9 Lain-lain 19 4,8
Total 392
Persepsi tentang ruang publik pejalan kaki di Kitakyushu
Kitakyushu adalah kota yang terletak di prefektur Fukuoka, pulau Kyushu, Jepang.
Kitakyushu terdiri dari tujuh distrik, yakni Kokurakita-ku, Kokuraminami-ku, Moji-
ku, Tobata-ku, Yahatahigashi-ku, Yahatanishi-ku dan Wakamatsu-ku. Data tahun
2008 menunjukkan bahwa dengan luas kota 487.88 km2, Kitakyushu mempunyai
penduduk 984.953 jiwa, terdiri dari 425.767 keluarga, 23,8% berusia di atas 65 tahun.
Filosofi pembangunan kota (machizukuri) Kitakyushu memberikan prioritas pertama
pada pembangunan sumber daya manusia (hitozukuri) dengan membina manusia dan
melestarikan budaya (hito to bunka o hagukumi). Hal ini yang melandasi seluruh
konsep pembangunan ruang kota sebagai Kitakyushu Bangkit Semangat (Genki
Hasshin Kitakyushu) yang dicanangkan sejak Pasca Perang Dunia keII.
Sejalan dengan fenomena aging society, Kitakyushu merupakan kota dengan laju
peningkatan jumlah penduduk lanjut usia tercepat di Jepang. Hal ini mendorong
pemerintah kota untuk menjadikan Kitakyushu sebagai pionir penerapan konsep
bebas hambatan (barrier free), disebut juga sebagai universal design, pada ruang
publik. Penerapan sejak tahun 1998 ini bertujuan agar seluruh warga tanpa kecuali
(tanpa batas usia, jender, fisik) dapat menikmati kehidupan kesehariannya tanpa
hambatan. Konsep kemudian diberlakukan secara nasional oleh pemerintah Jepang
dengan ditetapkannya undang-undang tentang lalu lintas jalan bebas hambatan pada
bulan Mei tahun 2000 (MLIT, 2004).
Gbr.7. Sidewalk di depan kuil di Kitakyushu. Gbr.8. Sidewalk daerah perkantoran Kitakyushu.
Gbr.9. Zebracross untuk pejalan kaki dan pesepeda. Gbr.10. Sidewalk di depan KIU.
Gambar 7 – 10 diambil pada tgl. 2 & 3 Maret 2010 oleh peneliti.
Konsep barrier free pada sidewalk dapat berupa penambahan alat bantu jalan,
penyesuaian dimensi yang tepat, penghilangan benda-benda yang menjadi hambatan
pejalan kaki, pemberian batas-batas ruang yang jelas, penggunaan ramp,
penghilangan lubang atau celah yang membahayakan dsb. Pada gambar 7 dan 8
terlihat sidewalk yang tertata rapih, lebar memadai, dan tanpa adanya hambatan.
Gambar 9 memperlihatkan daerah zebracross dengan batas yang jelas untuk pejalan
kaki dan pesepeda. Sidewalk pada gambar 8 dan 9 terlihat menggunakan tile khusus
(berwarna terang) untuk petunjuk bagi tunanetra. Gambar 10 memperlihatkan
sidewalk di daerah pendidikan di Kitakyushu yang juga tertata rapi. Pemerintah kota
menentukan alokasi anggaran setiap tahun untuk pembuatan dan perbaikan sidewalk
sepanjang 10 km dan untuk penataan kenyamanannya sepanjang 7 km.Seluruh kabel
infrastruktur dipasang di bawah tanah seperti yang terlihat pada gambar 7 s/d 10.
Pemeliharaan jalan sehari-harinya dilakukan Bagian pemeliharaan jalan kantor
pemerintah distrik (kuyakusho douroijika) setempat. Informasi, keluhan atau
permintaan dari warga yang terkait dengan jalan disampaikan ke kantor ini. Namun
keputusan tetap dilakukan oleh pemerintah kota. Sejak tahun 1998, berkembang
bentuk lain keterlibatan warga yakni jaringan kesejahteraan (fukushi no machizukuri
network) yang berjumlah 16 kelompok, termasuk penyandang cacat, dan setiap 2
bulan sekali mengadakan pertemuan untuk membahas jalan di lingkungannya..
Community center juga dilibatkan dalam menampung pendapat warga, khususnya di
zona-zona sekolah. Gerakan ‘membangun’ jalan (michizukuri) ini menjadi
‘membangun’ kota (machizukuri).
Pemerintah kota Kitakyushu bersikap terbuka dalam aktifitas keterlibatan masyarakat
ini karena pada praktiknya sangat membantu kelancaran dan keberhasilan pekerjaan
pemerintah. Hal yang paling mendesak adalah kebutuhan generasi lanjut usia akan
keleluasaan dan kenyamanan untuk beraktifitas di ruang publik. Pembangunan
sidewalk dengan konsep barrier free merupakan wujud hubungan baik pemerintah
kota dengan masyarakatnya.
Apakah hal tersebut juga direpresentasikan dalam persepsi masyarakat Kitakyushu?
Eksplorasi persepsi melalui diskusi kelompok terarah yang dilakukan dengan tujuh
orang mahasiswa/i Universitas Internasional Kyushu (KIU) menunjukkan bahwa
mereka mengenal dan memahami konsep barrier free. Mereka juga beranggapan
bahwa penerapan konsep tersebut pada ruang publik sangat penting bagi masyarakat
kota Kitakyushu. Para mahasiswa/i ini memberikan perhatian yang cukup rinci pada
masalah-masalah infrastruktur bagi keselamatan dan kenyamanan pejalan kaki. Ide-
ide berikut ini disampaikan dalam diskusi: jalur terpisah untuk pejalan kaki dengan
pembedaan warna terang pada permukaan jalan, penggunaan tekstur permukaan jalan
yang tidak licin khususnya untuk daerah tanjakan, pengaturan waktu lampu hijau
pejalan kaki agar sesuai dengan waktu yang diperlukan untuk menyeberang jalan bagi
orang lanjut usia, penataan daerah belokan agar sudut pandang pengendara kendaraan
bermotor tidak terhalang untuk melihat pejalan kaki yang menyeberang jalan dan
sebagainya. Mereka juga memberikan perhatian pada alam dan penghijauan.
Pembangunan jalan dianggap seharusnya juga tidak mengabaikan luasan permukaan
tanah yang terbuka agar kota tidak kehilangan kedekatan dengan alam. Namun,
menurut mereka yang terpenting adalah sudut pandang yang ramah bagi pejalan kaki
baik dari segi kebijakan maupun dari manusianya itu sendiri. Pengendara kendaraan
bermotor harus mempunyai sikap tenggang rasa, kesadaran dan hati nurani untuk
memberi ruang bagi pejalan kaki agar dapat berjalan dengan aman. Sebaliknya,
pejalan kaki, termasuk orang lanjut usia, juga harus memiliki kesadaran tertib lalu
lintas, seperti menyeberang jalan di tempat penyeberangan jalan.
Analisis dan diskusi
Konsep ruang publik pejalan kaki yang direpresentasikan oleh baik oleh pemerintah
kota maupun masyarakat pengguna di Depok dan Kitayushu berbeda.
Di jalan Margonda Depok, ruang publik pejalan kaki dipersepsikan sebagai ruang
yang memperkaya kontak sosial. Masyarakat juga menunjukkan adanya keberagaman
persepsi (heterogenik). Data juga menunjukkan adanya kesadaran yang tinggi
terhadap kesehatan serta memori kognitif terhadap kedekatan dengan unsur alam. Hal
ini menunjukkan indikasi adanya kebutuhan akan ruang publik untuk kegiatan
berjalan kaki yang memenuhi ekspetasi sesuai dengan representasi persepsi
masyarakat. Namun di sisi lain, pemerintah kota Depok menempatkan pembangunan
ruang publik untuk pejalan kaki pada prioritas yang rendah serta tidak memiliki
persepsi yang dibangun berdasarkan suatu konsep perencanaan yang jelas. Persepsi
pengguna ruang publik dengan kekayaan kontak sosial dan persepsi pemerintah
dengan prioritas pembangunan rendah menunjukkan adanya diskrepansi hubungan
antara masyarakat dan negara. Dimensi representational pedestrian space tidak
memiliki titik temu dengan representation of pedestrian space. Wujud pedestrian
spatial practice di Margonda menunjukkan hal tersebut.
Perubahan-perubahan yang dilakukan tanpa koordinasi yang baik dalam proses
kebijakan publik di tingkat kota, mulai dari perencanaan umum maupun detil sampai
tahapan implementasi, menghambat pembentukan konsepsi dan persepsi yang utuh
dan jelas dari individu-individu di pemerintahan itu sendiri. Hal ini mengakibatkan
bahwa perencanaan ruang di tingkat makro (Rencana Tata Ruang dan Wilayah)
seolah menjadi sebuah ‘mimpi’ yang tidak mungkin tercapai dan sebagai dampak
lebih lanjut, prioritas pembangunan mengabaikan dimensi sosial dan budaya yang
berkembang di masyarakat.
Sedangkan di Kitakyushu, ruang publik pejalan kaki secara representasional
menunjukkan dominasi kontrol sosial dengan adanya konsep batas yang jelas serta
persepsi homogenik, khususnya terhadap faktor keselamatan dan penghijauan.
Persepsi masyarakat ini juga terbentuk karena masyarakat dilibatkan dalam proses
pembangunan. Masyarakat memahami barrier free sebagai konsep untuk ruang publik
pejalan kaki di kotanya. Pemahaman ini membuat masyarakat menaruh perhatian
yang besar pada lingkungan. Lebih jauh lagi, kesadaran akan hak azasi dan kewajiban
sebagai warga kotapun tumbuh. Masyarakatpun menjalani keteraturan spatial practice
dalam implementasi barrier free tersebut. Dimensi representational pedestrian space
yang sejalan dengan representation of pedestrian space ini menunjukkan hubungan
yang kuat antara masyarakat dan negara.
Pemerintah kota Kitakyushu cepat tanggap terhadap kebutuhan penduduknya,
khususnya kebutuhan di tingkat pejalan kaki. Bahkan tindakan tanggap pemerintah
kota ini menjadi acuan kebijakan yang kemudian diterapkan secara nasional.
Konsepsi persepsi dibangun mulai dari tingkat akar rumput sampai pada para
pengambil keputusan tingkat kota. Prioritas pembangunanpun menjadi mudah
dipahami karena menyentuh dan mengutamakan manusia dan masyarakat.
Demikian, ruang publik di perkotaan termasuk sidewalk sebagai ruang untuk pejalan
kaki sesungguhnya merupakan dialektika spatial triad yang berbentuk ‘jendela’ untuk
melihat representasi sosial budaya masyarakatnya.
Kesimpulan
Pengalaman Kitakyushu menunjukkan bahwa pemerintah kota dapat mengambil
inisiatif inovasi dalam pengembangan ruang kotanya. Pengambilan keputusan untuk
memulai suatu inisiatif memerlukan data dan informasi yang rinci tentang kondisi
penduduk kota dan lingkungan yang dihadapinya. Pemahaman akan pentingnya
membangun kualitas manusia dalam berbagai aspek, termasuk kehidupan yang layak
di ruang publik kota, harus dilakukan dengan kontinuitas dan konsistensi
pengembangan persepsi seluruh pemangku kepentingan termasuk masyarakat dalam
setiap tahapan evolusi perkembangan kota. Salah satu cara adalah dengan melibatkan
warga dalam proses pengambilan keputusan. Kebijakan satu arah yang diturunkan
oleh pengelola negara biasanya tidak menyentuh dimensi akar kebutuhan rakyat.
Pemerintah kota dapat menempatkan dirinya sebagai fasilitator dalam proses
akumulasi data dan informasi dari warga kota, kemudian dijadikan sebagai masukan
dalam proses kebijakan publik. Konsistensi implementasi kebijakan tersebut akan
mencerminkan ada tidaknya diskrepansi hubungan antara masyarakat dan negara.
Ucapan terima kasih
Penelitian ini dapat terlaksana berkat dukungan pendanaan Riset Unggulan program
Utama 2009, no kontrak:..............dan Riset Multidisplin 2009, no kontrak:...... dari
Universitas Indonesia. Tim peneliti mengucapkan terima kasih atas dukungan dan
kerjasama Direktorat Riset & Pengabdian kepada Masyarakat UI selaku pengelola
program pendanaan riset. Tim peneliti juga menyampaikan terima kasih atas
kesediaan, keterbukaan dan kerjasama yang hangat dari pemerintah kota Depok dan
Kitakyushu sehingga proses penelitian dapat terlaksana dengan baik.
Daftar Pustaka
Lefebvre H.(1991), The Production of Space, translated by Donald Nicholson-Smith,
Basil Blackwell, Inc., Massachusetts, USA.
MLIT (Ministry of Land, Infrastructure, Transport & Tourism) Japan (2004), Traffic
Safety Measure in Japan, Road Bureau, Regional Road and Environment Division,
Japan.
Xypolia A. (1999). Children’s Perception of Racial Urban Boundaries: A Case Study
in Baton Rouge. Thesis. Agricultural University of Athens.