Depok_Aisyah

8
Persepsi pemerintah kota dan masyarakat pengguna tentang ruang publik pejalan kaki di Depok (Indonesia) dan Kitakyushu (Jepang): sebuah analisis ruang kota dengan konsep spatial triad dari Lefebvre. Peneliti : S.A. Nataliwati 1 , C. Wardhani 2 , S.D. Anwar 3 dan J. Sumabrata 4 Sponsor : Riset Unggulan program Utama dan Riset Multidisiplin UI 2009 Alamat email : [email protected], [email protected], [email protected], [email protected] 1 Pusat Studi Jepang, Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia 2 Pusat Studi Representasi Sosial, Jakarta, Indonesia 3 Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia 3 Fakultas Tehnik, Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia Abstract The livability of urban space recently is being seen as a common need for pedestrian, since walking as a basic mode of transportation is getting more consideration of its importance. Sidewalk, as an open public space for pedestrian, is a part of city’s face and image, because sidewalks can be seen as an open bowl of perceptions of its stakeholders. Henry Lefebvre’s spatial triad concept gives the framework for understanding the phenomena behind urban space production and reproduction by analyzing stakeholder’s perceptions. One dimension of the triad is representation of space, the dimension of decision makers, which can be a government, legislative, operator or developer. In the other side is representational space, a perceived and a lived experiences of users with variety of socio- cultural background. Both triad’s dimensions influence each other, and give shapes and characteristic of resulted spatial practice, the third dimension, and its physical environment. The research was conducted in Margonda street of Depok in Indonesia and Kitakyushu in Japan. Economic, social and cultural background differences characterized each country’s spatial triad’s perception on pedestrian public spaces. This research is expected to provide the framework for self-understanding and knowledge of living ideas in society. Kata kunci Spatial triad, persepsi, ruang publik, pejalan kaki, pemerintah kota. Pendahuluan Setiap orang adalah pejalan kaki (pedestrian) dan berjalan kaki dianggap sebagai bentuk paling sederhana moda transportasi untuk berpindah dari satu tempat menuju tempat lainnya. Orang akan memilih berjalan kaki apabila tersedia jalur pejalan kaki yang mudah dicapai, aman dan nyaman. Namun, kondisi yang sering ditemui di kota- kota Indonesia, termasuk di Depok, adalah kurangnya ruang untuk pejalan kaki (contoh: sidewalk), pedagang kaki lima yang mengokupasi trotoar, infrastruktur yang rusak, serta tidak jelas batas antara jalur-jalur untuk pejalan kaki dan kendaraan bermotor. Kota-kota di Jepang yang berkembang dengan jaringan kereta listrik sebagai sarana transportasi umum utama telah mendorong evolusi pembangunan untuk pejalan kaki menjadi suatu proses yang terencana dan detil. Hal ini juga tidak terlepas dari persepsi pemerintah Jepang yang menempatkan pembangunan manusia sebagai prioritas utama.

Transcript of Depok_Aisyah

Page 1: Depok_Aisyah

Persepsi pemerintah kota dan masyarakat pengguna tentang ruang

publik pejalan kaki di Depok (Indonesia) dan Kitakyushu (Jepang):

sebuah analisis ruang kota dengan konsep spatial triad dari Lefebvre.

Peneliti : S.A. Nataliwati1, C. Wardhani

2, S.D. Anwar

3 dan J. Sumabrata

4

Sponsor : Riset Unggulan program Utama dan Riset Multidisiplin UI 2009

Alamat email : [email protected], [email protected],

[email protected], [email protected]

1 Pusat Studi Jepang, Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia 2 Pusat Studi Representasi Sosial, Jakarta, Indonesia 3 Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia 3 Fakultas Tehnik, Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia

Abstract

The livability of urban space recently is being seen as a common need for pedestrian, since

walking as a basic mode of transportation is getting more consideration of its importance.

Sidewalk, as an open public space for pedestrian, is a part of city’s face and image, because

sidewalks can be seen as an open bowl of perceptions of its stakeholders.

Henry Lefebvre’s spatial triad concept gives the framework for understanding the phenomena

behind urban space production and reproduction by analyzing stakeholder’s perceptions.

One dimension of the triad is representation of space, the dimension of decision makers,

which can be a government, legislative, operator or developer. In the other side is

representational space, a perceived and a lived experiences of users with variety of socio-

cultural background. Both triad’s dimensions influence each other, and give shapes and

characteristic of resulted spatial practice, the third dimension, and its physical environment.

The research was conducted in Margonda street of Depok in Indonesia and Kitakyushu in

Japan. Economic, social and cultural background differences characterized each country’s

spatial triad’s perception on pedestrian public spaces. This research is expected to provide

the framework for self-understanding and knowledge of living ideas in society.

Kata kunci

Spatial triad, persepsi, ruang publik, pejalan kaki, pemerintah kota.

Pendahuluan

Setiap orang adalah pejalan kaki (pedestrian) dan berjalan kaki dianggap sebagai

bentuk paling sederhana moda transportasi untuk berpindah dari satu tempat menuju

tempat lainnya. Orang akan memilih berjalan kaki apabila tersedia jalur pejalan kaki

yang mudah dicapai, aman dan nyaman. Namun, kondisi yang sering ditemui di kota-

kota Indonesia, termasuk di Depok, adalah kurangnya ruang untuk pejalan kaki

(contoh: sidewalk), pedagang kaki lima yang mengokupasi trotoar, infrastruktur yang

rusak, serta tidak jelas batas antara jalur-jalur untuk pejalan kaki dan kendaraan

bermotor. Kota-kota di Jepang yang berkembang dengan jaringan kereta listrik

sebagai sarana transportasi umum utama telah mendorong evolusi pembangunan

untuk pejalan kaki menjadi suatu proses yang terencana dan detil. Hal ini juga tidak

terlepas dari persepsi pemerintah Jepang yang menempatkan pembangunan manusia

sebagai prioritas utama.

Page 2: Depok_Aisyah

Pemahaman tentang persepsi pemerintah kota dan masyarakat pengguna tentang

ruang publik pejalan kaki diperlukan untuk mengkaji fenomena di balik realitas

evolusi produksi dan reproduksi ruang kota. Untuk pengkajian tersebut, peneliti

menggunakan konsep spatial triad dari Henry Lefebvre.

Riset ini bertujuan untuk berkontribusi secara teoretis bagi eksplorasi teori produksi

ruang Lefebvre dalam kajian empiris yang belum banyak dilakukan. Hasil riset

diharapkan dapat menjadi bahan kajian untuk proses kebijakan pembangunan ruang

publik pejalan kaki oleh pemerintah kota di Indonesia, khususnya Depok.

Kerangka teoretis

Konsep spatial triad dikemukakan Henry Lefebvre dalam The Production of Space

merupakan kerangka dialektik dari cara memandang ruang dalam tiga dimensi yang

berbeda. Tiga dimensi ruang tersebut adalah:

Spatial practice, proses produksi dan reproduksi ruang dengan karakteristik dan

formasi sosial tertentu. Praktik sosial memberikan kontinuitas dan kohesi yang tidak

terlepas dari konteks sejarah, politik, ekonomi, budaya dan sosial. Praktis spasial

meliputi pemikiran para pengambil keputusan yang turut memberi kontribusi pada

pembentukan kota. Perilaku masyarakat juga merupakan praktik spasial, dan

penggunaan secara nyata suatu ruang dapat berbeda dari fungsi yang direncanakan

pemerintah dan perencana.

Representations of space, berkaitan dengan hubungan antar proses produksi dan pola

dimana hubungan tersebut terjadi, yang meliputi pengetahuan, tanda, kode dsb.

Representasi ruang mengacu pada cara perancang dan perencana dalam memahami

ruang urban dan realitas sebuah kota. Representasi ini dapat terwujud di atas kertas

dalam bentuk kebijakan publik, cetak biru perencanaan, peta demografi atau

topografi, dll.

Representational space, merupakan kompleksitas symbol dari cara masyarakat

memahami realitas kota. Simbol terutama tampil dalam elemen fisik, yang

memberikan imaji sebuah kota yang ditangkap oleh masyarakat. Jadi ruang

representasional terbuka pada kemungkinan interpretasi yang berbeda-beda, yang

justru dapat digunakan untuk menilai hasil kerja dari para perancang dan perencana

kota.

(Lefebvre 1991:38-39, Xypolia 1999)

Pendekatan dan metode riset

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Metode untuk

menggali persepsi pemerintah Depok dan Kitakyushu, adalah wawancara dengan

pimpinan dan staf dari unit kerja terkait masing-masing pemerintah kota. Untuk

mendapatkan persepsi masyarakat pengguna di Jalan Margonda Depok, digunakan

pendekatan dan metode representasi sosial. Pengambilan data dilakukan dengan:

pertama, wawancara pejalan kaki; kedua, membentuk 4 kelompok diskusi terarah,

yakni kelompok mahasiswa, ibu rumah tangga, karyawan klerk dan pelajar sekolah

dasar; ketiga, pengisian kuesioner. Persepsi pejalan kaki di Kitakyushu digali dengan

diskusi terarah bersama kelompok mahasiswa.

Page 3: Depok_Aisyah

Persepsi tentang ruang publik pejalan kaki di Depok

Depok diresmikan menjadi Kotamadya Daerah Tingkat II pada tanggal 27 April 1999,

yang dinyatakan sebagai hari jadi kota Depok. Kota yang terletak di selatan Jakarta ini

mempunyai luas wilayah 200,29 km2 dengan jumlah penduduk 1.374.522 jiwa pada

tahun 2005 (sumber:www.depok.go.id). Tahun 2008, Depok dikembangkan menjadi

terbagi atas 11 kecamatan, yakni: Beji, Pancoranmas, Cipayung, Sukmajaya,

Cilodong, Limo, Cinere, Cimanggis, Tapos, Sawangan, dan Bojongsari. Jalan

Margonda, sepanjang 5,3 km, merupakan jalan utama kota Depok menuju Jakarta,

dengan status jalan propinsi. Aktifitas utama di sepanjang jalan Margonda adalah

perdagangan dan perkantoran. Pada gambar 1 terlihat ruas sidewalk yang nyaman

karena teduh di depan kantor Walikota Depok. Pada gambar 2 terlihat kondisi

sidewalk di bagian selatan Margonda, tidak terawat, ruas terpotong dan batas tak jelas.

Gbr1. Sidewalk muka kantor Walikota (Jan 2010) Gbr.2.Sidewalk ujung selatan Margonda (Des’09)

Pada saat observasi, sedang dilakukan pelebaran badan jalan Margonda dari semula

total 6 jalur menjadi 8 jalur. Akibatnya, jalur terluar sering digunakan untuk parkir

dan hilangnya ruang untuk sidewalk (lihat gambar 3 dan 4). Secara hukum, ruang

milik jalan Margonda adalah selebar 32 m dengan rencana total lebar jalan dan

median 27,4 m dan sidewalk masing-masing 2,3 m. Kondisi nyata menunjukkan

banyak penguasaan lahan dan bangunan yang tidak sesuai peraturan.

Gbr 3. Daerah utara Jalan Margonda (Feb 2010) Gbr.4.Daerah tengah Jalan Margonda (Feb 2010)

Pemerintah kota Depok memang memberi prioritas utama pada penataan jalan

Margonda. Aspek yang menjadi fokus pembangunan di Depok adalah akomodasi

motorisasi dengan pelebaran dan perbaikan badan jalan-jalan. Perencanaan untuk

fasilitas pejalan kaki memang belum menjadi prioritas bahkan dapat dikatakan

prioritas sangat rendah. Rendahnya APBD Depok juga dianggap tidak memungkinkan

mengangkat fasilitas pejalan kaki sebagai prioritas utama. Namun, pemerintah Depok

juga berpendapat bahwa keberadaan sidewalk merupakan suatu bentuk perlindungan

pemerintah kota terhadap para pejalan kaki. Selanjutnya, bagaimanakah persepsi

tentang ruang publik dan kegiatan berjalan kaki dari pengguna jalan Margonda itu

sendiri?

Page 4: Depok_Aisyah

Wawancara dan diskusi kelompok untuk menggali persepsi masyarakat tentang

kegiatan berjalan kaki dan ruang publik menunjukkan keberagaman persepsi,

khususnya di antara kelompok sosial. Hal ini sejalan dengan hasil analisis kuantitatif.

Survey dilakukan pada bulan April 2010 dengan kuesioner untuk 300 pejalan kaki,

merata pada pembagian zona area Margonda dan waktu. Pertanyaan awal adalah

tentang pemaknaan kegiatan berjalan kaki secara umum, di luar konteks Margonda.

Untuk pemaknaan positif, pilihan jawaban ‘ya’ oleh responden didominasi oleh faktor

kesehatan dan olah raga. Faktor lain yang menonjol juga adalah penghematan (lihat

gambar 5). Sedangkan pengaruh lingkungan seperti kepanasan, polusi dan debu,

mendominasi pemaknaan negatif (lihat gambar 6).

Gbr. 5. Grafis makna positif berjalan kaki Gbr.6. Grafis makna negatif berjalan kaki.

Data semantik tentang pengalaman positif responden ketika berjalan kaki di jalan

Margonda menunjukkan bahwa faktor kesehatan tetap penting setelah pengalaman

yang berkenaan dengan memori kognitif yang menyenangkan seperti memandang dan

menikmati kesejukan pepohonan, melegakan pikiran dsb. (lihat tabel 1). Data

semantik pengalaman negatif menunjukkan faktor lingkungan, termasuk alam, paling

tinggi frekuensinya. Hal yang menarik adalah bahwa ketika faktor bahaya dalam

berjalan kaki tidak menjadi isu persepsi negatif yang penting (lihat gambar 6),

pengalaman negatif pejalan kaki Margonda ternyata menunjukkan dominasi isu yang

berkaitan dengan keselamatan (lihat tabel 2).

Tabel 1. Makna pengalaman positif di Margonda. Tabel 2. Makna pengalaman negatif di Margonda.

No Makna

Pengalaman

Positif

Freku

ensi

%

1 Pengalaman

sensorial

104 26,7

2 Kesehatan 96 24,7

3 Bersosialisasi 90 10,0

4 Hemat 39 10,0

5 Pengalaman baru 26 6,7

6 Belanja &

kegiatan terkait

11 2,8

7 Lain-lain 23 5,9

Total 389

No Makna Pengalaman Negatif Freku

ensi

%

1 Lingkungan (panas, becek) 110 28,1

2 Keselamatan (diserempet,

hampir ditabrak, jatuh,

terpeleset)

73 18,6

3 Akibat perilaku orang lain

(kecipratan dsb)

41 10,5

4 Polusi (asap, debu) 34 8,7

5 Kondisi fisik & kesehatan

(lelah, capek, asma kambuh)

34 8,7

6 Kondisi jalan (trotoar sempit,

jalan berlubang,)

30 7,7

7 Kejahatan 30 7,7

8 Faktor sosial (diejek, diganggu) 21 5,4

9 Lain-lain 19 4,8

Total 392

Page 5: Depok_Aisyah

Persepsi tentang ruang publik pejalan kaki di Kitakyushu

Kitakyushu adalah kota yang terletak di prefektur Fukuoka, pulau Kyushu, Jepang.

Kitakyushu terdiri dari tujuh distrik, yakni Kokurakita-ku, Kokuraminami-ku, Moji-

ku, Tobata-ku, Yahatahigashi-ku, Yahatanishi-ku dan Wakamatsu-ku. Data tahun

2008 menunjukkan bahwa dengan luas kota 487.88 km2, Kitakyushu mempunyai

penduduk 984.953 jiwa, terdiri dari 425.767 keluarga, 23,8% berusia di atas 65 tahun.

Filosofi pembangunan kota (machizukuri) Kitakyushu memberikan prioritas pertama

pada pembangunan sumber daya manusia (hitozukuri) dengan membina manusia dan

melestarikan budaya (hito to bunka o hagukumi). Hal ini yang melandasi seluruh

konsep pembangunan ruang kota sebagai Kitakyushu Bangkit Semangat (Genki

Hasshin Kitakyushu) yang dicanangkan sejak Pasca Perang Dunia keII.

Sejalan dengan fenomena aging society, Kitakyushu merupakan kota dengan laju

peningkatan jumlah penduduk lanjut usia tercepat di Jepang. Hal ini mendorong

pemerintah kota untuk menjadikan Kitakyushu sebagai pionir penerapan konsep

bebas hambatan (barrier free), disebut juga sebagai universal design, pada ruang

publik. Penerapan sejak tahun 1998 ini bertujuan agar seluruh warga tanpa kecuali

(tanpa batas usia, jender, fisik) dapat menikmati kehidupan kesehariannya tanpa

hambatan. Konsep kemudian diberlakukan secara nasional oleh pemerintah Jepang

dengan ditetapkannya undang-undang tentang lalu lintas jalan bebas hambatan pada

bulan Mei tahun 2000 (MLIT, 2004).

Gbr.7. Sidewalk di depan kuil di Kitakyushu. Gbr.8. Sidewalk daerah perkantoran Kitakyushu.

Gbr.9. Zebracross untuk pejalan kaki dan pesepeda. Gbr.10. Sidewalk di depan KIU.

Gambar 7 – 10 diambil pada tgl. 2 & 3 Maret 2010 oleh peneliti.

Konsep barrier free pada sidewalk dapat berupa penambahan alat bantu jalan,

penyesuaian dimensi yang tepat, penghilangan benda-benda yang menjadi hambatan

pejalan kaki, pemberian batas-batas ruang yang jelas, penggunaan ramp,

penghilangan lubang atau celah yang membahayakan dsb. Pada gambar 7 dan 8

terlihat sidewalk yang tertata rapih, lebar memadai, dan tanpa adanya hambatan.

Page 6: Depok_Aisyah

Gambar 9 memperlihatkan daerah zebracross dengan batas yang jelas untuk pejalan

kaki dan pesepeda. Sidewalk pada gambar 8 dan 9 terlihat menggunakan tile khusus

(berwarna terang) untuk petunjuk bagi tunanetra. Gambar 10 memperlihatkan

sidewalk di daerah pendidikan di Kitakyushu yang juga tertata rapi. Pemerintah kota

menentukan alokasi anggaran setiap tahun untuk pembuatan dan perbaikan sidewalk

sepanjang 10 km dan untuk penataan kenyamanannya sepanjang 7 km.Seluruh kabel

infrastruktur dipasang di bawah tanah seperti yang terlihat pada gambar 7 s/d 10.

Pemeliharaan jalan sehari-harinya dilakukan Bagian pemeliharaan jalan kantor

pemerintah distrik (kuyakusho douroijika) setempat. Informasi, keluhan atau

permintaan dari warga yang terkait dengan jalan disampaikan ke kantor ini. Namun

keputusan tetap dilakukan oleh pemerintah kota. Sejak tahun 1998, berkembang

bentuk lain keterlibatan warga yakni jaringan kesejahteraan (fukushi no machizukuri

network) yang berjumlah 16 kelompok, termasuk penyandang cacat, dan setiap 2

bulan sekali mengadakan pertemuan untuk membahas jalan di lingkungannya..

Community center juga dilibatkan dalam menampung pendapat warga, khususnya di

zona-zona sekolah. Gerakan ‘membangun’ jalan (michizukuri) ini menjadi

‘membangun’ kota (machizukuri).

Pemerintah kota Kitakyushu bersikap terbuka dalam aktifitas keterlibatan masyarakat

ini karena pada praktiknya sangat membantu kelancaran dan keberhasilan pekerjaan

pemerintah. Hal yang paling mendesak adalah kebutuhan generasi lanjut usia akan

keleluasaan dan kenyamanan untuk beraktifitas di ruang publik. Pembangunan

sidewalk dengan konsep barrier free merupakan wujud hubungan baik pemerintah

kota dengan masyarakatnya.

Apakah hal tersebut juga direpresentasikan dalam persepsi masyarakat Kitakyushu?

Eksplorasi persepsi melalui diskusi kelompok terarah yang dilakukan dengan tujuh

orang mahasiswa/i Universitas Internasional Kyushu (KIU) menunjukkan bahwa

mereka mengenal dan memahami konsep barrier free. Mereka juga beranggapan

bahwa penerapan konsep tersebut pada ruang publik sangat penting bagi masyarakat

kota Kitakyushu. Para mahasiswa/i ini memberikan perhatian yang cukup rinci pada

masalah-masalah infrastruktur bagi keselamatan dan kenyamanan pejalan kaki. Ide-

ide berikut ini disampaikan dalam diskusi: jalur terpisah untuk pejalan kaki dengan

pembedaan warna terang pada permukaan jalan, penggunaan tekstur permukaan jalan

yang tidak licin khususnya untuk daerah tanjakan, pengaturan waktu lampu hijau

pejalan kaki agar sesuai dengan waktu yang diperlukan untuk menyeberang jalan bagi

orang lanjut usia, penataan daerah belokan agar sudut pandang pengendara kendaraan

bermotor tidak terhalang untuk melihat pejalan kaki yang menyeberang jalan dan

sebagainya. Mereka juga memberikan perhatian pada alam dan penghijauan.

Pembangunan jalan dianggap seharusnya juga tidak mengabaikan luasan permukaan

tanah yang terbuka agar kota tidak kehilangan kedekatan dengan alam. Namun,

menurut mereka yang terpenting adalah sudut pandang yang ramah bagi pejalan kaki

baik dari segi kebijakan maupun dari manusianya itu sendiri. Pengendara kendaraan

bermotor harus mempunyai sikap tenggang rasa, kesadaran dan hati nurani untuk

memberi ruang bagi pejalan kaki agar dapat berjalan dengan aman. Sebaliknya,

pejalan kaki, termasuk orang lanjut usia, juga harus memiliki kesadaran tertib lalu

lintas, seperti menyeberang jalan di tempat penyeberangan jalan.

Page 7: Depok_Aisyah

Analisis dan diskusi

Konsep ruang publik pejalan kaki yang direpresentasikan oleh baik oleh pemerintah

kota maupun masyarakat pengguna di Depok dan Kitayushu berbeda.

Di jalan Margonda Depok, ruang publik pejalan kaki dipersepsikan sebagai ruang

yang memperkaya kontak sosial. Masyarakat juga menunjukkan adanya keberagaman

persepsi (heterogenik). Data juga menunjukkan adanya kesadaran yang tinggi

terhadap kesehatan serta memori kognitif terhadap kedekatan dengan unsur alam. Hal

ini menunjukkan indikasi adanya kebutuhan akan ruang publik untuk kegiatan

berjalan kaki yang memenuhi ekspetasi sesuai dengan representasi persepsi

masyarakat. Namun di sisi lain, pemerintah kota Depok menempatkan pembangunan

ruang publik untuk pejalan kaki pada prioritas yang rendah serta tidak memiliki

persepsi yang dibangun berdasarkan suatu konsep perencanaan yang jelas. Persepsi

pengguna ruang publik dengan kekayaan kontak sosial dan persepsi pemerintah

dengan prioritas pembangunan rendah menunjukkan adanya diskrepansi hubungan

antara masyarakat dan negara. Dimensi representational pedestrian space tidak

memiliki titik temu dengan representation of pedestrian space. Wujud pedestrian

spatial practice di Margonda menunjukkan hal tersebut.

Perubahan-perubahan yang dilakukan tanpa koordinasi yang baik dalam proses

kebijakan publik di tingkat kota, mulai dari perencanaan umum maupun detil sampai

tahapan implementasi, menghambat pembentukan konsepsi dan persepsi yang utuh

dan jelas dari individu-individu di pemerintahan itu sendiri. Hal ini mengakibatkan

bahwa perencanaan ruang di tingkat makro (Rencana Tata Ruang dan Wilayah)

seolah menjadi sebuah ‘mimpi’ yang tidak mungkin tercapai dan sebagai dampak

lebih lanjut, prioritas pembangunan mengabaikan dimensi sosial dan budaya yang

berkembang di masyarakat.

Sedangkan di Kitakyushu, ruang publik pejalan kaki secara representasional

menunjukkan dominasi kontrol sosial dengan adanya konsep batas yang jelas serta

persepsi homogenik, khususnya terhadap faktor keselamatan dan penghijauan.

Persepsi masyarakat ini juga terbentuk karena masyarakat dilibatkan dalam proses

pembangunan. Masyarakat memahami barrier free sebagai konsep untuk ruang publik

pejalan kaki di kotanya. Pemahaman ini membuat masyarakat menaruh perhatian

yang besar pada lingkungan. Lebih jauh lagi, kesadaran akan hak azasi dan kewajiban

sebagai warga kotapun tumbuh. Masyarakatpun menjalani keteraturan spatial practice

dalam implementasi barrier free tersebut. Dimensi representational pedestrian space

yang sejalan dengan representation of pedestrian space ini menunjukkan hubungan

yang kuat antara masyarakat dan negara.

Pemerintah kota Kitakyushu cepat tanggap terhadap kebutuhan penduduknya,

khususnya kebutuhan di tingkat pejalan kaki. Bahkan tindakan tanggap pemerintah

kota ini menjadi acuan kebijakan yang kemudian diterapkan secara nasional.

Konsepsi persepsi dibangun mulai dari tingkat akar rumput sampai pada para

pengambil keputusan tingkat kota. Prioritas pembangunanpun menjadi mudah

dipahami karena menyentuh dan mengutamakan manusia dan masyarakat.

Demikian, ruang publik di perkotaan termasuk sidewalk sebagai ruang untuk pejalan

kaki sesungguhnya merupakan dialektika spatial triad yang berbentuk ‘jendela’ untuk

melihat representasi sosial budaya masyarakatnya.

Page 8: Depok_Aisyah

Kesimpulan

Pengalaman Kitakyushu menunjukkan bahwa pemerintah kota dapat mengambil

inisiatif inovasi dalam pengembangan ruang kotanya. Pengambilan keputusan untuk

memulai suatu inisiatif memerlukan data dan informasi yang rinci tentang kondisi

penduduk kota dan lingkungan yang dihadapinya. Pemahaman akan pentingnya

membangun kualitas manusia dalam berbagai aspek, termasuk kehidupan yang layak

di ruang publik kota, harus dilakukan dengan kontinuitas dan konsistensi

pengembangan persepsi seluruh pemangku kepentingan termasuk masyarakat dalam

setiap tahapan evolusi perkembangan kota. Salah satu cara adalah dengan melibatkan

warga dalam proses pengambilan keputusan. Kebijakan satu arah yang diturunkan

oleh pengelola negara biasanya tidak menyentuh dimensi akar kebutuhan rakyat.

Pemerintah kota dapat menempatkan dirinya sebagai fasilitator dalam proses

akumulasi data dan informasi dari warga kota, kemudian dijadikan sebagai masukan

dalam proses kebijakan publik. Konsistensi implementasi kebijakan tersebut akan

mencerminkan ada tidaknya diskrepansi hubungan antara masyarakat dan negara.

Ucapan terima kasih

Penelitian ini dapat terlaksana berkat dukungan pendanaan Riset Unggulan program

Utama 2009, no kontrak:..............dan Riset Multidisplin 2009, no kontrak:...... dari

Universitas Indonesia. Tim peneliti mengucapkan terima kasih atas dukungan dan

kerjasama Direktorat Riset & Pengabdian kepada Masyarakat UI selaku pengelola

program pendanaan riset. Tim peneliti juga menyampaikan terima kasih atas

kesediaan, keterbukaan dan kerjasama yang hangat dari pemerintah kota Depok dan

Kitakyushu sehingga proses penelitian dapat terlaksana dengan baik.

Daftar Pustaka

Lefebvre H.(1991), The Production of Space, translated by Donald Nicholson-Smith,

Basil Blackwell, Inc., Massachusetts, USA.

MLIT (Ministry of Land, Infrastructure, Transport & Tourism) Japan (2004), Traffic

Safety Measure in Japan, Road Bureau, Regional Road and Environment Division,

Japan.

Xypolia A. (1999). Children’s Perception of Racial Urban Boundaries: A Case Study

in Baton Rouge. Thesis. Agricultural University of Athens.