DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS...
Transcript of DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS...
1
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
PUSAT MATA NASIONAL RUMAH SAKIT MATA CICENDO
BANDUNG
Laporan Kasus : Keberhasilan Klinis Terapi Metilprednisolon Intravena
pada Pseudotumor Retrobulbar
Penyaji : Ivone Caroline
Pembimbing : Dr. Shanti F. Boesoirie, dr. Sp. M(K), M.Kes
Telah diperiksa dan disetujui oleh
Pembimbing Unit Rekonstruksi, Okuloplasti, dan Onkologi
Dr. Shanti F. Boesoirie, dr. Sp. M(K), M.Kes
2
Clinical Outcomes of Intravenous Corticosteroid Therapy in Retro Bulbar Pseudotumor
Introduction: Idiopathic orbital inflammation (IOI), also known as orbital pseudotumor, nonspecific orbital inflammation, orbital inflammatory syndrome, is a benign, noninfective inflammatory condition of the orbit without any identifiable local or systemic cause. First line therapy of orbital pseudotumor is systemic corticosteroid, more than 75% patient show clinical improvement after treatment. Purpose: to report clinical outcomes of intravenous corticosteroid therapy in patient with retro bulbar pseudotumor. Case Report: A 46 years old woman came to Reconstruction, Oculoplasty, and Oncology Unit Cicendo Eye Hospital with chief complaint proptosis in both eyes. Blurry vision +, redness +. Thyroid hormone examination within normal limit. Ophthalmology examination on 14th March 2019 revealed visual acuity right eye was 1/300, left eye CFFC. Eye motion restricted -4 to superior and -3 to medial, lateral, and inferior in both eyes. Hertel exophtalmometer examination in right eye was 26 mm, in left eye was 24 mm. Anterior segment in right eye were proptosis, lagophtalmos 7 mm, chemosis in bulbar conjungtiva, in left eye were proptosis, lagophtalmos 3 mm, conjungtival injection. In funduscopy examination was optic disc swelling in both eyes. CT scan and histopathology examination support the diagnose as pseudotumor. Then the patient was diagnosed as Proptosis RLE ec. Retrobulbar masses ec. Pseudotumor + bilateral compressive optic neuropathy. The patient had given methylprednisolone 3x125 mg IV for 3 days. Ophthalmology condition after corticosteroid therapy was improved. Conclusion: Orbital pseudotumors are pathologic entities that often challenge ophthalmologists and radiologists. Orbital pseudotumor gives good clinical improvement after corticosteroid therapy. Keywods: orbital pseudotumor, corticosteroid therapy, idiopathic orbital inflammation
I. Pendahuluan
Inflamasi orbita idiopatik (IOI) atau lebih dikenal dengan pseudotumor orbita
merupakan kondisi inflamasi jinak yang tidak spesifik tanpa ditemukan adanya
penyebab sistemik atau lokal. Angka kejadian IOI meliputi 8-10% dari seluruh
massa orbital. Pseudotumor dapat ditemukan unilateral maupun bilateral.
Manifestasi klinis IOI sangat beragam, diantaranya dapat meliputi bola mata,
konjungtiva, kelopak mata, saraf, dan otot-otot sekitar bola mata.1,2
3
Diagnosis pseudotumor merupakan sebuah tantangan bagi radiologis dan
oftalmologis. Pseudotumor dapat terlihat seperti massa orbita yang difus,
penebalan uveosklera, penyengatan kontras, proptosis dan pembesaran otot-otot
ekstraokular dan nervus optikus. Terapi kortikosteroid sistemik merupakan
pilihan utama pada pseudotumor. Lebih dari 75% pasien mengalami perbaikan
yang signifikan setelah pemberian terapi kortikosteroid sistemik. Laporan kasus
ini akan membahas mengenai hasil klinis dari terapi metilprednisolon intravena
pada pasien dengan pseudotumor retrobulbar.1,2
II. Laporan Kasus
Seorang wanita berusia 46 tahun datang ke poli Rekonstruksi, Okuloplasti,
dan Onkologi (ROO) Rumah Sakit Mata Cicendo pada tanggal 19 April 2018
dengan keluhan kedua mata menonjol sejak 1 tahun sebelum masuk rumah sakit.
Pasien didiagnosis suspek Grave’s Orbitopathy. Hasil pemeriksaan T3, T4, TSH
dalam batas normal. Pasien kemudian diberikan terapi Metilprednisolon 3x16
mg. Pasien datang kembali ke poli ROO pada tanggal 14 Maret 2019 dengan
keluhan kedua mata semakin menonjol disertai penglihatan semakin bertambah
buram. Pasien memiliki riwayat penggunaan kacamata minus 5, namun sudah
tidak membantu. Riwayat benjolan ditempat lain -, nyeri kepala -, nyeri GBM -,
demam-, mual muntah -. Riwayat penyakit sistemik -.
Status generalis dan tanda vital pasien dalam batas normal. Pemeriksaan
oftalmologi didapatkan visus mata kanan 1/300, visus mata kiri CFFC (close face
finger counting), kedudukan bola mata ortotropia, Gerakan bola mata (GBM)
kanan dan kiri: terhambat -4 ke superior, terhambat -3 ke lateral, medial dan
inferior. TIO palpasi ODS: normal. Pemeriksaan hertel exophtalmometer OD: 26
mm, OS: 24 mm. Pemeriksaan segmen anterior mata kanan: ps/pi: proptosis,
lagophtalmos 7 mm, Cb: injeksi konjungtiva, c: jernih, coa: vh gr III, f/s -/-, p:
bulat, mid dilatasi, RC ↓↓/↓, l: jernih. Pemeriksaan segmen anterior mata kiri:
ps/pi: proptosis, lagophtalmos 3 mm, cb: injeksi konjungtiva, c: jernih, coa: vh
4
gr III, f/s -/-, p: RC ↓/↓↓, l: jernih. Pemeriksaan segmen posterior kedua mata:
papil batas kabur.
Gambar 2.1 Gambaran klinis pasien
Gambar 2.2 CT Scan pasien
Hasil pemeriksaan CT scan: massa solid di ruang retrobulbar bilateral yang
mengobliterasi nervus optikus, muskulus rektus lateralis bilateral, muskulus
medialis bilateral, muskulus rektus inferior bilateral, muskulus rektus superior,
dan mendorong bulbus okuli ke arah anterior e.c. suspek Lymphoma. Pasien
didiagnosa sebagai Proptosis ODS e.c massa retrobulbar + Bilateral compressive
optic neuropathy. Pasien dilakukan biopsy + PA transkonjungtiva pada tanggal
5
26 Maret 2019. Pasien mendapat terapi pascaoperasi: amoksisilin 3x500 mg po,
asam mefenamat 3x500 mg po, dan salep mata kloramfenikol 3xODS.
Pasien datang kembali ke Poli ROO untuk kontrol POD 7 membawa hasil PA:
Inflammatory pseudotumor. Pemeriksaan oftalmologi didapatkan visus mata
kanan persepsi cahaya dengan proyeksi baik ke segala arah, visus mata kiri 1/300.
GBM mata kanan terhambat -4 ke segala arah, mata kiri terhambat -3 ke segala
arah. Pemeriksaan segmen anterior mata kanan: ps/pi: proptosis, lagoftalmos 7
mm, cb: kemosis. Pemeriksaan segmen anterior mata kiri: proptosis, lagoftalmos
3 mm, cb: perdarahan subkonjungtiva. Pasien didiagnosa sebagai Proptosis ODS
e.c massa retrobulbar e.c Pseudotumor + Bilateral compressive optic neuropathy.
Pasien direncanakan rawat inap dan mendapat terapi Metilprednisolon 3x125 mg
IV, Ranitidin 2x50 mg IV, Mecobalamin 1x1000 mg IV, Kalsium dan Vitamin
D3 1x1 PO selama 3 hari.
Gambar 2.3 Gambaran histopatologi mata kanan
Gambar 2.4 Gambaran histopatologi mata kiri
6
Gambar 2.5 Gambaran klinis pasien POD 7
Pemeriksaan oftalmologi hari ketiga perawatan visus mata kanan CFFC, visus
mata kiri 1/60. GBM mata kanan terhambat -3 ke superior, -4 ke medial dan
lateral, -2 ke inferior, GBM mata kiri terhambat -3 ke superior, medial dan lateral,
-2 ke inferior. Pemeriksaan Hertel exophtalmometer mata kanan 25 mm, mata
kiri 23 mm. Pemeriksaan segmen anterior mata kanan: ps/pi: proptosis
berkurang, lagoftalmos 7 mm, cb: kemosis berkurang. Pemeriksaan segmen
anterior mata kiri: proptosis berkurang, lagoftalmos 2 mm, cb: tenang. Pasien
direncanakan rawat jalan dan kontrol 1 minggu. Pasien mendapatkan terapi
Metilprednisolon 1x56 mg PO, Ranitidin 1x150 mg PO, Mecobalamin 1x1000
mg PO, Kalsium dan Vitamin D3 1x1 PO.
Gambar 2.6 Gambaran klinis post perawatan hari ketiga
III. Diskusi
Inflamasi orbita idiopatik atau pseudotumor orbita merupakan penyebab
massa orbita terbanyak ketiga setelah Grave’s orbitopathy dan penyakit
7
limfoproliferatif. Pseudotumor dapat bersifat akut, subakut maupun kronis.
Pseudotumor dapat terjadi unilateral maupun bilateral. Angka kejadian tertinggi
pada usia dekade kelima, tanpa adanya predileksi jenis kelamin. Manifestasi
klinis pseudotumor sangat beragam, meliputi massa fokal pada bola mata (43%),
kelenjar lakrimal (32%), inflamasi orbita difusa (10%), dan myositis (8%),
contoh yang lebih jarang terjadi: perineuritis, periskleritis, kelopak mata. Gunalp
et al menemukan tandan dan gejala yang paling sering ditemui yaitu proptosis
(82%), restriksi gerakan bola mata (54%), dan kehilangan tajam penglihatan
(38%). Pasien ini memiliki gejala awal yaitu proptosis, restriksi gerakan bola
mata, dan kehilangan tajam penglihatan sejak 1 tahun. Diagnosa dugaan pertama,
Grave’s orbitopathy dapat disingkirkan setelah melakukan pemeriksaan hormon
tiroid dalam batas normal.1,2
Pasien dengan proptosis atau massa orbita diperlukan modalitas CT scan dan
MRI untuk mengetahui batas-batas tumor dan diagnosis banding dari massa
orbita tersebut. Pemeriksaan CT scan pada pasien ini menunjukan adanya massa
di rongga retro orbita yang di duga limfoma. Pemeriksaan MRI dapat dilakukan
untuk dapat membedakan limfoma dan pseudotumor dengan melihat nilai
apparent diffusion coefficient (ADC). Biopsi adalah diagnosa definitif yang dapat
dilakukan pada pasien dengan massa orbita. Hasil pemeriksaan patologi anatomi
pasien ini merupakan inflammatory pseudotumor.3,4
Pseudotumor orbita dapat berkaitan dengan kelainan sistemik maupun okular
lainnya meliputi skleritis, rematoid artritis, crohn’s disease, ankylosing
spondylitis, psoriasis, dan lupus. Pemeriksaan penunjang seperti antinuclear
antibody (ANA), C-reactive protein (CRP), laju endap darah (LED), tes fungsi
tiroid, serum IgG4 diperlukan untuk dapat menyingkirkan diagnosis banding
lainnya. Pasien ini telah dilakukan pemeriksaan fungsi tiroid, sehingga dapat
menyingkirkan diagnosis Grave’s orbitopathy.5,6
Terapi kortikosteroid sistemik merupakan pilihan pertama pada pseudotumor.
Lebih dari 75% pasien mengalami perbaikan yang signifikan setelah pemberian
8
terapi kortikosteroid sistemik. Prednison dapat diberikan dengan dosis awal 1-2
mg/kgBB/hari kemudian tapering dengan lambat selama 6-8 minggu jika
memberikan perbaikan secara klinis. Kortikosteroid dosis tinggi memiliki efek
samping sistemik yang perlu diperhatikan diantaranya: hiperglikemia, hipertensi,
cusingoid, osteoporosis, penambahan berat badan. Pasien ini mendapat terapi
metilprednisolon intravena 3x125 mg dan diberikan terapi ranitidine dan tablet
kalsium dan vitamin D3 untuk mengurangi efek samping kortikosteroid. Pasien
ini mengalami perbaikan klinis yang signifikan, dapat dilihat dari peningkatan
tajam penglihatan, perbaikan GBM, proptosis yang berkurang pasca pemberian
terapi metilprednisolon intravena. Terapi kortikosteroid intraorbita,
triamcinolone acetonide, dapat menjadi pilihan terapi yang efektif.7,8
Alternatif terapi dapat diberikan nonsteroidal anti-inflammatory drug
(NSAIDs) memberikan efek samping yang lebih sedikit jika dibandingkan
dengan kortikosteroid. Alternatif terapi lainnya yaitu curcuma dengan dosis 375
mg 3 kali sehari selama 6-22 bulan. Radioterapi dosis rendah dapat diberikan
kepada pasien yang tidak berespon terhadap terapi kortikosteroid sistemik atau
terdapat kontraindikasi terhadap pemberian kortikosteroid. Dosis radioterapi
yang diberikan 20-30 Gy dalam 10 fraksi selama 2-3 minggu. Angka
keberhasilan radioterapi bervariasi antara 50-75%. Efek samping yang dapat
terjadi meliputi, mata kering, keratitis, katarak, retinopati, neuropati optic,
dermatitis periokular. Pasien yang tidak berespon terhadap terapi kortikosteroid
maupun radioterapi dapat diberikan agen-agen kemoterapi seperti
siklopospamid, methotrexate, dan siklosporin. Terapi immunoglobulin intravena
dan plasmaparesis dapat diberikan sebagai alternative lainnya.8,9
Prognosis quo ad vitam pada pasien ini dubia ad bonam karena pasien tidak
memiliki keluhan sistemik yang mengancam jiwa, namun diperlukan
pemeriksaan lebih lanjut mengenai faktor resiko sistemik terjadinya
pseudotumor. Quo ad functionam ad malam Karena pada pasien ini telah terjadi
kompresi pada nervus optikus yang menyebabkan kehilangan penglihatan. Quo
9
ad sanationam ad malam karena pseudotumor beresiko untuk rekuren 33-58%
kasus. Braich et al melaporkan faktor-faktor yang meningkatkan angka rekurensi
pseudotumor, diantaranya: usia muda ≤ 16 tahun, edema diskus optikus, bilateral,
riwayat keluarga, dan gambaran histopatologi. Pasien ini memiliki 2 faktor resiko
terjadinya rekurensi yaitu edema diskus optikus dan penyakit terjadi bilateral.8,10
IV. Simpulan
Pseudotumor orbita merupakan sebuah tantangan dalam menegakkan
diagnosa dan terapi bagi oftalmologis karena manifestasi klinis dan tampilan
radiologis yang bervariasi. Biopsi dapat dilakukan untuk menentukan diagnosa
definitif. Terapi kortikosteroid sistemik merupakan pilihan pertama pada kasus
pseudotumor orbita. Lebih dari 75% pasien mengalami perbaikan yang signifikan
secara klinis.
10
Daftar Pustaka
1. Chaundhry IA, Shamsi FA, Arat YO, Riley FC. Orbital Pseudotumor: Distinct Diagnostic Features and Management. Middle East Afr J Ophthalmol. 2008; 15(1): 17–7.
2. Yesiltas YS, Gunduz AK. Idiopathic Orbital Inflammation: Review of Literature and New Advances. Middle East Afr J Ophthalmol. 2018; 25(2): 71–80.
3. Ren J, Yuan Y, Wu Y, Tao X. Differentiation of orbital lymphoma and idiopathic orbital inflammatory pseudotumor: combined diagnostic value of conventional MRI and histogram analysis of ADC maps. BMC Medical Imaging. 2018; 18:6
4. Khan SN, Sepahdari AR. Orbital masses: CT and MRI of common vascular lesions, benign tumors, and malignancies. Saudi Journal of Ophthalmology. 2012; 26, 373–83
5. Neems L, Echalier EL, Subramanian PS. Orbital Tumors and Inflammatory Disorders: Diagnosis and Management. International Ophthalmology Clinics. 2018;58(2): 181-95
6. Glass LRD, Freitag SK. Orbital inflammation: Corticosteroids first. Survey of Ophthalmology. 2016; 1-14
7. Montagnese F, Wenninger S, Schoser B. ‘‘Orbiting around’’ the orbital myositis: clinical features, differential diagnosis and therapy. J Neurol. 2015; 1-10
8. Young SM, Chan ASY, Jajeh IA, Shen S, Seah L, Choo. CT, et al. Clinical Features and Treatment Outcomes of Orbital Inflammatory Disease in Singapore: A 10-Year Clinicopathologic Review. Ophthal Plast Reconstr Surg 2016;XX:00–00
9. Yaprak G, Kilic AK, Isik N, Yaprak DC, Seseogullari OO. Efficient Treatment of Resistant Orbital Pseudotumor with CyberKnife: Case Series and Short Review of Literature. South. Clin. Ist. Euras. 2018;29(3):198-202
10. Braich Ps, Kuriakose RK, Khokhar NS, Donaldson JC, McCulley TJ. Factors associated with multiple recurrences of nonspecific orbital inflammation aka orbital pseudotumor. Int Ophthalmol. 2017; 1-11