Den Ham
-
Upload
yossi-hagaita-tarigan -
Category
Documents
-
view
112 -
download
1
Transcript of Den Ham
![Page 1: Den Ham](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022082703/5571f90449795991698e9a18/html5/thumbnails/1.jpg)
NAMA : Rachmad P PanjaitanNIM : 070906066Depert : Ilmu PolitikMt Kuliah : Demokrasi dan HAM
KASUS PELANGGARAN HAM
Sejarah Singkat HAM
Inggris sering disebut sebagai negara yang pertama kali mempelopori HAM. Salah satu tonggak kemenangannya ialah Perjanjian magna charta tahun 1215. prinsip dasarnya pembatasan kekuasaan raja dan hak azasi manusia lebih penting dari kedaulatan raja. Dari masa ke masa di inggris mengalami hal yang pesat terkait dengan perjanjian-perjanjian dalam menengakkan HAM. Seperti petition of rights 1628 (jaminan HAM), hobeas corpus act 1679 (UU penahanan seseorang),bill of rights 1689 (kebebasan berserikat,berkumpul dan mengeluarkan pendapat)Tetapi yang menjadi perkembangan yang sangat maju dalam menegakkan HAM yaitu melalui Universal Declration of human Rights desember 1948 yang terdiri dari 30 pasal oleh PBB. yang isi merupakan pernyataan sejagat raya bangsa-bangsa untuk mengakui HAM. Lalu pada tahun 1966 ditandatanganinya covenant yaitu bukan hanya sekedar perjanjian tetapi mengikat dan memaksa.Andil besar dari lembaga Internasional PBB untuk tetap menegakkan HAM sedunia pasca perang dunia ke2 yang berujung perang dingin. Yang dimana negara-negara mendambakan perdamaian dunia. Lalu pada tahun 1997, ditandatanganinya kewajiban-kewajiban azasi yang tujuannya memadukan hak dengan kewajiban.
KASUS Pelanggaran HAM atas Perampasan Tanah dan kekerasaan terhadap kaum Tani di desa paya bagas sergai bedagai
Perampasan tanah untuk kepentingan akumulasi modal sepertinya belum menunjukkan
tanda-tanda akan berakhir, malah semakin hari semakin meningkat. Perampasan juga
senantiasa disertai dengan tindak kekerasan terhadap kaum tani dengan melibatkan
aparat keamanan seperti POLRI dan preman. Berbagai penangkapan dan kriminalisasi
mewarnai kehidupan para petani disaat petani berjuang untuk hidup. Hidup dalam
kehidupan atau setidaknya memperpanjang nafas mereka. Mereka malah dihadapkan
pada perampasan sumber-sumber produksi utama mereka yaitu tanah. Peristiwa
kriminalisasi terhadap kaum tani terjadi lagi hari ini (6/4/10). Kali ini peristiwa kriminalisasii
terjadi di Desa Paya Bagas, Kecamatan Tebing Tinggi, Kabupaten Serdang Bedagai,
Sumatera Utara. Peristiwa ini sampai perkembangan terakhir telah mengakibatkan belasan
orang petani tertangkap dan mengakibatkan satu orang luka akibat bentrok dengan
petugas keamanan.
![Page 2: Den Ham](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022082703/5571f90449795991698e9a18/html5/thumbnails/2.jpg)
Peristiwa perampasan disertai dengan kriminalisasi ini berawal dari keputusan
pengadilan yang memenangkan lahan sekitar 82 hektar yang dikelola petani menjadi milik
PTPN III. Menindaklanjuti keputusan tersebut, kemudian tim sita aset dari kejaksaanpun
melakukan eksekusi pada tanggal 6 April 2010 di atas lahan sengketa. Menyikapi
pembacaan eksekusi ini, sekitar 200 Kepala Keluarga (KK), warga Desa Paya Bagas
menghadang dan menolak tindakan eksekusi. Alasannya, mereka sudah lama tinggal di
lahan tersebut dan sudah lama mengelola lahan tersebut sebagai sumber penghasilan
mereka sebagai petani. Kemarahan ini kemudian berujung pada terjadinya bentrok dengan
diwarnai aksi melempari petugas eksekusi dengan batu.
Pada akhirnya peristiwa ini mengakibatkan belasan orang petani ditangkap,
sementara bentrok yang terjadi telah melukai satu orang petani.
Sekilas tentang Sejarah Lahan
Secara historis, Tanah Desa Paya Bagas ini merupakan lahan garapan
masyarakat yang telah dikuasai dan dikelola sejak tahun 1936. Di atas lahan ini
masyarakat bercocok tanam untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Hingga pada
tahun 1966, dengan dalih kerjasama atau semacamnya plus iming-iming bagi hasil, secara
perlahan tanah itu kemudian diambil alih dan dikuasai pihak PTPN III (dulu masih PNP V
atau PTP V), yang ketika itu memang mengelola dan menguasai 4.737,78 hektar, tanpa
ganti rugi kepada masyarakat.
Munculnya keinginan masyarakat untuk mengelola lahan tersebut dimulai sejak
tahun1995.ketika itu ada keinginan dari PTPN III ingin menguasai secara penuh lahan
tersebut dalam bentuk HGU. Kemudian sejak itu, upaya-upaya masyarakat secara kontiniu
tetap dilakukan untuk supaya bagaimana lahan tersebut bisa dikelola oleh masyarakat
untuk kesejahteraannya. Bentuk-bentuk usaha yang dilakukan juga bervariasi, dari aksi-
aksi demonstrasi, dan dialog-dialog dengan pihak-pihak yang berkepentingan. Namun
upaya tersebut tidak pernah mencapai hasil yang maksimal seiring dengan tidak adanya
upaya serius dari pemerintah untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Hingga pada
puncaknya, PTPN III lah yang kemudian berhasil memenangkan lahan tersebut lewat jalur
hukum dengan adanya sertifikat HGU no 1/Desa Paya Bagas seluas 4.373,78 Ha sampai
berakhir haknya tanggal 31 Desember 2025. Sertifikat HGU no 1/Paya Bagas tersebut
diterbitkan oleh kantor BPN Deli Serdang berdasarkan Surat Keputusan Menteri Negara
Agraria/Kepala BPN no 51/GHU/BPN/1995 tertanggal 4 Agustus 1995.
Cara-cara Primitif menjadi Pilihan
![Page 3: Den Ham](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022082703/5571f90449795991698e9a18/html5/thumbnails/3.jpg)
Peristiwa kriminalisasi semacam ini menunjukkan bahwa cara-cara primitif menjadi
pilihan utama dalam penyelesaian sengketa agraria. Pelibatan aparat keamanan dan
preman dalam menghadapi persoalan rakyat menjadi pilihan satu-satunya rezim yang
berkuasa saat ini dibanding dengan jalan pemenuhan hak sosial ekonomi kaum tani. Satu-
satunya tujuannya adalah supaya kepentingan modal aman dalam melakukan ekspansi
tanpa peduli kondisi masyarakat yang bersentuhan langsung dengan sumber-sumber
agraria menjadi korban. Cara ini juga dilakukan untuk membungkam masyarakat sehingga
pasrah terhadap yang terjadi, pasrah terhadap penindasan oleh perkebunan-perkebunan
besar baik kebun swasta maupun kebun negara seperti BUMN.
Munculnya perlawanan kelompok tani Desa Paya Bogas tidak lepas dari kondisi
yang senantiasa berada dalam ketertindasan. Sebagai petani, tentu saja tanah merupakan
hal yang pokok sebagaii sumber produksi utama. Di sanalah mereka memperoleh
penghasilan dari bercocok tanam, memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka dengan hidup
seadanya dan disana juga mereka mengembangkan kehidupan mereka. Bertahun-tahun
mereka sudah menjalani hidup demikian bahkan dari nenek moyang mereka sejak 1936,
nenek moyang mereka sudah tinggal dan hidup di tanah yang menjadi sengketa tersebut.
Namun kerakusan kapitalisme telah merampas tanah tersebut dari tangan
mereka, tanah yang dulunya mereka kuasai sekarang telah dikuasai oleh PTPN III yang
nota bene adalah milik negara. Bermodalkan HGU yang diberikan pemerintah, PTPN
berhak merampas sekaligus menguasai tanah-tanah rakyat untuk alasan peningkatan
pembangunan ekonomi. Berbagai cara yang lazim digunakan selama ini dan kebanyakan
terjadi di Sumatera Utara adalah dengan jalan Intimidasi dan teror. Dituduh sebagaii antek-
antek PKI, menurunkan militer untuk menakut-nakuti menjadi hal yang biasa diterima
warga yang sesungguhnya masih didominasi oleh feodalisme. Dimana kesadaran
masyarakatnya masih terbelakang baik secara ekonomi, politik dan budaya.
Negara dalam hal ini tidak memberikan perlindungan akan hak-hak masyarakat sebagai
warga negara, tetapi negara malah turut terlibat dalam perampasan sumber-sumber
produksi rakyat. Akumulasi ketertindasan yang dialami masyarakat kemudian
memunculkan kesadaran maju bagi mereka untuk menuntut haknya atas hidup mereka
dan sumber penhidupan mereka. Kesadaran maju tersebutlah yang mendorong
masyarakat Paya Bagas untuk menolak eksekusi atas tanah mereka seluas 82 hektar oleh
Juru Sita yang berujung pada bentrok dengan aparat keamanan.
Kesimpulan
![Page 4: Den Ham](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022082703/5571f90449795991698e9a18/html5/thumbnails/4.jpg)
Dari situasi kongkrit diatas, jelas dapat kita lihat Hak azasi manusia untuk hidup
telah dikangkangi pemilik-pemilik modal PTPNIII yang bersekutu dengan pemerintah untuk
mendapatkan legitmasi dalam merampas tanah-tanah rakyat. Tanah yang menjadi alat
produksi tani kini menjadi milik segelir orang,kelompok,korporasi bahkan diambil ahli oleh
negara. Tani telah kehilangan segala-gala untuk dapat bertahan hidup. Kondisi kekinian
tani akan semakin terpuruk seiring mahalnya biaya hidup yang diiringi menurunnya daya
beli masyarakat.
Ternyata hal ini Tidak seperti yang digembor-gemborkan oleh Rezim SBY-
Boediono untuk tiap-tiap manusia harus menghargai Hak Azasi Manusia. Tetapi realitanya
pemimpin ini lebih berpihak pada pemilik modal untuk senantiasa merampas hak-hak
untuk hidup rakyat yang jelas-jelas melanggar HAM.