Demam Tifoid Rino

54
BAB I LAPORAN KASUS A. IDENTITAS PASIEN Nama : An. Ganis Ilham Y Umur : 1 tahun 5 bulan Jenis Kelamin : Laki-laki Agama : Islam Alamat : Dusun dawung 1, Rt 02/08 Banjarnegoro, Mertoyudan Magelang Tgl. masuk RS : 22 Maret 2014 melalui IGD RST Soedjono jam 08.50 B. SUBJECTIVE Autoanamnesis dan alloanamnesis dilakukan di bangsal ruang Flamboyan pada, 22 Maret 2014. Keluhan utama: Demam Riwayat penyakit sekarang: Pasien mengeluh demam yang dirasakan sejak 8 hari yang lalu, demam dirasakan hilang timbul dan 2 hari terakhir demam sepanjang hari tidak turun-turun walau sudah diberi obat 1

Transcript of Demam Tifoid Rino

BAB ILAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN Nama: An. Ganis Ilham Y Umur: 1 tahun 5 bulan Jenis Kelamin : Laki-laki Agama: Islam Alamat : Dusun dawung 1, Rt 02/08 Banjarnegoro, Mertoyudan Magelang Tgl. masuk RS: 22 Maret 2014 melalui IGD RST Soedjono jam 08.50

B. SUBJECTIVEAutoanamnesis dan alloanamnesis dilakukan di bangsal ruang Flamboyan pada, 22 Maret 2014. Keluhan utama:Demam

Riwayat penyakit sekarang:Pasien mengeluh demam yang dirasakan sejak 8 hari yang lalu, demam dirasakan hilang timbul dan 2 hari terakhir demam sepanjang hari tidak turun-turun walau sudah diberi obat paracetamol. Pasien beberapa hari ini setiap malam demam disertai menggigil di malam hari.

Keluhan tambahan Pusing Kejang (-) Mimisan (-) Batuk (+) berdahak warna kuning kadang agak kehijauan 3 hari SMRS pilek (+) lendir berwarna putih bening sampai kekuningan encer Badan terasa lemas Nafsu makan menurun, lidah terasa pahit, minum biasa, nyeri menelan (-) Mual (+), muntah (+) isi makanan dan cairan, hampir setiap kali makan muntah BAB lembek sudah 2 hari pertama demam, pernah 1x berwarna coklat kehitaman encer. Sekarang pasien belum BAB sejak kemarin. BAK (+) lancar

Riwayat Penyakit Dahulu: Riwayat kejang demam: 1x Riwayat kejang tanpa demam : disangkal Riwayat penyakit Asma : disangkal Riwayat batuk lama: disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga: Riwayat kejang demam: disangkal Riwayat kejang tanpa demam : disangkal Riwayat penyakit Asma : disangkal Riwayat batuk lama: disangkal Riwayat Pemakaian Obat :Sudah diberikan obat penurun panas yaitu paracetamol syrup sejak pertama kali demam dan demam turun kemudian naik lagi beberapa jam kemudian.

Riwayat Alergi:Alergi obat disangkal

Riwayat Imunisasi:Imunisasi lengkap selama 9 bulan

Riwayat Kehamilan : Saat hamil pasien, ibu pasien rutin ANC ke puskesmas. Kurang lebih ANC sebanyak 1-2x setiap bulan. Riwayat PersalinanPasien lahir spontan (persalinan pervaginam) pada usia kehamilan 39 minggu dengan Berat Badan Lahir 2750 gram.

Riwayat Tumbuh Kembang Tidak ditanyakan

Riwayat Nutrisi:Pasien minum ASI eksklusif sejak lahir sampai sekarang, PASI sejak usia 7 bulan hingga saat ini. PASI berupa bubur bayi instan, bubur pisang, nasi lembek, sayur-sayuran, buah-buahan.

C. OBJECTIVEKeadaan Umum: Sakit Sedang, tampak lemahKesadaran/GCS: Compos Mentis / GCS 15BB : 11,4 kg

Tanda Vital : Tekanan Darah: - Nadi: 120x/menit Suhu: 38,20C per axilla Respirasi: 28x/menit

Kepala & Leher : Konjungtiva anemis -/- Sklera ikterik -/- Pupil isokor Lidah tampak pucat (+) T1-T1, faring hiperemis Tidak ada pembesaran KGB leher

Thorax : PulmoInspeksi : Simetris, datarPalpasi : Vocal fremitus simetrisPerkusi : Terdengar sonor pada kedua lapang paruAuskultasi: Vesikuler +/+, Rhonki -/-, Wheezing -/- Cor Inspeksi: Ictus Cordis tidak terlihatPalpasi : Ictus cordis teraba Perkusi : pembesaran jantung (-)Auskultasi: S1>S2, reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen : Inspeksi : tampak datarAuskultasi: BU (+) Perkusi : Timpani, Palpasi : Supel hepar lien tidak teraba, nyeri tekan semua regio ? karena setiap diperiksa, pasien selalu menangis terus dan orang tua tidak tau pasti anaknya sakit pada perutnya atau tidak.

Ekstremitas : Edema ekstremitas superior et inferior (-), patekie (-) Akral hangat Capillary refill< 2 detik

D. Daftar MasalahSubyektif :1. Demam 2. Pusing 3. Batuk (+) berdahak warna kuning kadang agak kehijauan 3 hari SMRS4. pilek (+) lendir berwarna putih bening sampai kekuningan encer5. Badan terasa lemas6. Nafsu makan menurun, lidah terasa pahit,7. Mual (+), muntah (+) isi makanan dan cairan, hampir setiap kali makan muntah8. BAB lembek sudah 3 hari terakhir, pernah 1x berwarna coklat kehitaman encer

Objektif1. Tampak lemah2. Pemeriksaan Abdomen3. Suhu : 38.2 C4. Lidah tampak pucat (+)5. T1-T1, faring hiperemis

E. Assesment (Hipotesis) Observasi Febris : Infeksi Bakteri (Tyfoid Fever) Infeksi Viral (Dengue Fever (DF), Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) ISPAF. Planning Diagnostik DL, UL, Widal test TerapiSuportif Infus KAEN 3B 1000 ml/24 jamKausatif Zibac 2 x 500 mgSimtomatis Injeksi Zantadin (Ranitidin) 2x1/2 amp Injeksi Norages 3 x 100 mg Alco dmp 3 x cth Monitoring Keadaan umum, vital sign, Efek samping obat, infus Edukasi Istirahat cukup 37

FollowUp Hari ke-1 Tanggal 23 Maret 2014 pkl. 06.00

SOAP

Demam (+) Batuk berdahak (+) susah dikeluarkan Pilek (+) lendir berwarna putih Nafsu makan masih kurang Muntah (-) BAK normal BAB (-) 2 hari

Anak tampak rewel

Keadaan umum : Sakit sedang Kesadaran : GCSE4V5M6, Compos Mentis Vital sign Nadi: 96x/mnt Suhu : 37.4 C Pernafasan: 28x/mnt Kepala & Leher : Mata tidak cekung Konjungtiva anemis: (-/-) Sklera ikterik: (-/-) Hidung: Nafas cuping hidung (-) Mukosa mulut: basah, Tonsil T1-T1Faring hiperemis Lidah:dbn KGB :dbn Thorax: Paru : I: simetris, retraksi (-) P : gerakan nafas hemithorax kanan dan kiri simetris P : perkusi paru sonor kanan dan kiri A : suara nafas dasar vesikuler +/+, wheezing -/-, rhonki -/-

Jantung :A : bj I dan II regular, murmur (-), gallop (-) Abdomen: I : datar A : bising usus (+) di semua regio abdomen, 6x/menit P : Soefl, hepar dan lien tidak teraba, turgor kulit baik P : tympani Ekstremitas : Akral hangat (+), kebiruan (-) Edema (-) Cr < 2

Obs. Febris hari ke-9Dd :Demam tiphoidDengue FeverISPA

Planning Terapi Planning diagnostik : DL, UL, Widal test

Planning Terapi

Terapi Suportif Infus KAEN 3B 1000 cc/ 24 jam

Terapi Simptomatis Inj. Norages 3 x 100 mg Inj. Zantadin 2 x amp Alco dmp 3 x cth

Terapi Kausatif Inj. zibac 3 x 500 mg

Planning monitoring Keadaan Umum Vital sign : RR, Nadi, Temperatur Asupan makanan infus

Planning Edukasi : Bed rest Kompres bila demam Tingkatkan intake minum air putih dan nutrisi

Hasil Pemeriksaan Laboratorium Tanggal 23 Maret 2014

Jenis PemeriksaanHasilReferensi

WBC13,8x 103/mm33,5 -10

RBC4,89 106/mm33,8-5,8

HB8,8 g/dl11,0-16,5

HCT24.4 %35-50

PLT307 x 103/mm3150-390

PCT0.24 %0.10-0.50

MCV49.9 um380-97

MCH17.9 pg26,5-33,5

MCHC36.0 g/dl31,5-35

RDW17.1 %10-15

MPV8.1 um36,5-11

PDW %10-18

Diff Count

JenisHasilReferensiJenisHasilReferensi

% Lym51,9 %17-48# Lym3,9 103/mm31,2-3,2

% Mid13.7 %4-10# Mid1,9 103/mm30,3-0,8

% Gra57.7 %43-76# Gra8.6 103/mm32.0-7,8

FollowUp Hari ke-2 Tanggal 24 Maret 2014 pkl. 06.00

SOAP

Demam (-) Batuk berdahak (+) berkurang Pilek (+) lendir berwarna putih berkurang Nafsu makan masih kurang. Hanya 4 sendok Muntah (-) BAK normal BAB (-) 3 hari

Keadaan umum : Sakit sedang Kesadaran : GCSE4V5M6, Compos Mentis Vital sign Nadi: 136x/mnt Suhu : 36.5 C Pernafasan: 30x/mnt Kepala & Leher : Mata tidak cekung Konjungtiva anemis: (-/-) Sklera ikterik: (-/-) Hidung: Nafas cuping hidung (-) Mukosa mulut: basah, Tonsil T1-T1Faring hiperemis Lidah:dbn KGB :dbn Thorax: Paru : I: simetris, retraksi (-) P : gerakan nafas hemithorax kanan dan kiri simetris P : perkusi paru sonor kanan dan kiri A : suara nafas dasar vesikuler +/+, wheezing -/-, rhonki -/-

Jantung :A : bj I dan II regular, murmur (-), gallop (-) Abdomen: I : datar A : bising usus (+) di semua regio abdomen, 6x/menit P : Soefl, hepar dan lien tidak teraba, turgor kulit baik P : tympani Ekstremitas : Akral hangat (+), kebiruan (-) Edema (-) Cr < 2

Demam tiphoidISK

Planning Terapi Planning diagnostik : UL

Planning Terapi

Terapi Suportif Infus KAEN 3B 1000 cc/ 24 jam

Terapi Simptomatis Inj. Norages 3 x 100 mg Inj. Zantadin 2 x amp Alco dmp 3 x cth

Terapi Kausatif Inj. zibac 3 x 500 mg

Planning monitoring Keadaan Umum Vital sign : RR, Nadi, Temperatur Asupan makanan infus

Planning Edukasi : Bed rest Kompres bila demam Tingkatkan intake minum air putih dan nutrisi

Hasil UL:

Leu + 15 leu/uL pH 6.0 SG 1000

FollowUp Hari ke-3 Tanggal 25 Maret 2014 pkl. 06.00

SOAP

Demam (+) malam hari Batuk berdahak (-) Pilek (-) Nafsu makan masih kurang. Hanya 4 sendok Muntah (-) Kemarin sore mimisan 1x, 3-4 tetes BAK normal, agak sedikit mengedan BAB (+) encer warna kuning, lendir (+), darah(-), ampas(+) sedikit, bau

Keadaan umum : Sakit sedang Kesadaran : GCSE4V5M6, Compos Mentis Vital sign Nadi: 136x/mnt Suhu : 38.8 C Pernafasan: 32x/mnt Kepala & Leher : Mata tidak cekung Konjungtiva anemis: (-/-) Sklera ikterik: (-/-) Hidung: Nafas cuping hidung (-) Mukosa mulut: basah, Tonsil T1-T1 Lidah:dbn Thorax: Paru : I: simetris, retraksi (-) P : gerakan nafas hemithorax kanan dan kiri simetris P : perkusi paru sonor kanan dan kiri A : suara nafas dasar vesikuler +/+, wheezing -/-, rhonki -/-

Jantung :A : bj I dan II regular, murmur (-), gallop (-) Abdomen: I : datar A : bising usus (+) di semua regio abdomen, 6x/menit P : Soefl, hepar dan lien tidak teraba, turgor kulit baik P : tympani Ekstremitas : Akral hangat (+), kebiruan (-) Edema (-) Cr < 2

Demam tiphoidISK

Planning Terapi Planning diagnostik : Planning Terapi

Terapi Suportif Infus KAEN 3B 1000 cc/ 24 jam

Terapi Simptomatis Inj. Norages 3 x 100 mg Inj. Zantadin 2 x amp Alco dmp 3 x cth L-bio 2 x 1 Zinc 1 x 1

Terapi Kausatif Inj. zibac 3 x 500 mg

Planning monitoring Keadaan Umum Vital sign : RR, Nadi, Temperatur Asupan makanan infus

Planning Edukasi : Bed rest Kompres bila demam Tingkatkan intake minum air putih dan nutrisi

Aff infus Antibiotik ganti Biotikol syr 3 x 1 cth Pamol 3 x 125 mg

FollowUp Hari ke-4 Tanggal 26 Maret 2014 pkl. 06.00

SOAP

Demam (+) malam hari Batuk berdahak (-) Pilek (-) Nafsu makan meningkat Muntah (-) BAK normal, agak sedikit mengedan BAB (+) 1x encer warna kuning, lendir (+), darah(-), ampas(+) sedikit, bau

Keadaan umum : Sakit sedang Kesadaran : GCSE4V5M6, Compos Mentis Vital sign Nadi: 136x/mnt Suhu : 37.2 C Pernafasan: 32x/mnt Kepala & Leher : Mata tidak cekung Konjungtiva anemis: (-/-) Sklera ikterik: (-/-) Hidung: Nafas cuping hidung (-) Mukosa mulut: basah, Tonsil T1-T1 Lidah:dbn KGB :dbn Thorax: Paru : I: simetris, retraksi (-) P : gerakan nafas hemithorax kanan dan kiri simetris P : perkusi paru sonor kanan dan kiri A : suara nafas dasar vesikuler +/+, wheezing -/-, rhonki -/-

Jantung :A : bj I dan II regular, murmur (-), gallop (-) Abdomen: I : datar A : bising usus (+) di semua regio abdomen, 6x/menit P : Soefl, hepar dan lien tidak teraba, turgor kulit baik P : tympani Ekstremitas : Akral hangat (+), kebiruan (-) Edema (-) Cr < 2

Demam tiphoidISK

Planning Terapi Planning diagnostik : DL, UL, Widal test

Planning Terapi

Terapi Suportif

Terapi Simptomatis Pamol 3 x 125 mg Alco dmp 3 x cth L-bio 2 x 1 Zinc 1 x 1

Terapi Kausatif Biotikol syr 3 x 1 cth

Planning monitoring Keadaan Umum Vital sign : RR, Nadi, Temperatur Asupan makanan

Planning Edukasi : Bed rest Kompres bila demam Tingkatkan intake minum air putih dan nutrisi

FollowUp Hari ke-5 Tanggal 27 Maret 2014 pkl. 06.00

SOAP

Demam (-) Batuk berdahak (-) Pilek (-) Nafsu makan meningkat Muntah (-) BAK normal, agak sedikit mengedan BAB (+) 3x cair warna kuning, lendir (-), darah(-),

Keadaan umum : Sakit sedang Kesadaran : GCSE4V5M6, Compos Mentis Vital sign Nadi: 136x/mnt Suhu : 36.4 C Pernafasan: 30x/mnt Kepala & Leher : Mata tidak cekung Konjungtiva anemis: (-/-) Sklera ikterik: (-/-) Hidung: Nafas cuping hidung (-) Mukosa mulut: basah, Tonsil T1-T1 Lidah:dbn KGB :dbn Thorax: Paru : I: simetris, retraksi (-) P : gerakan nafas hemithorax kanan dan kiri simetris P : perkusi paru sonor kanan dan kiri A : suara nafas dasar vesikuler +/+, wheezing -/-, rhonki -/-

Jantung :A : bj I dan II regular, murmur (-), gallop (-) Abdomen: I : datar A : bising usus (+) di semua regio abdomen, 6x/menit P : Soefl, hepar dan lien tidak teraba, turgor kulit baik P : tympani Ekstremitas : Akral hangat (+), kebiruan (-) Edema (-) Cr < 2

Demam tiphoidISK

Planning Terapi Planning diagnostik : DL, UL, Widal test

Planning Terapi

Terapi Suportif

Terapi Simptomatis Pamol 3 x 125 mg Alco dmp 3 x cth L-bio 2 x 1 Zinc 1 x 1

Terapi Kausatif Biotikol syr 3 x 1 cth

Planning monitoring Keadaan Umum Vital sign : RR, Nadi, Temperatur Asupan makanan

Planning Edukasi : Bed rest Kompres bila demam Tingkatkan intake minum air putih dan nutrisiPasien Boleh pulang

BAB IITINJAUAN PUSTAKA DANPEMBAHASAN KASUSA. Demam Tifoid1. Defenisi Demam Tifoid Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typoid fever. Demam tipoid ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran.Pada kasus ini Pasien mengeluh demam yang dirasakan sejak 8 hari yang lalu, demam disertai menggigil dirasakan hilang timbul dan 2 hari terakhir demam sepanjang hari tidak turun-turun walau sudah diberi obat paracetamol. Disertai Badan terasa lemas. Nafsu makan menurun, lidah terasa pahit, mual, muntah, BAB cair. Mual (+), muntah (+) isi makanan dan cairan, hampir setiap kali makan muntah BAB lembek sudah 2 hari pertama demam, pernah 1x berwarna coklat kehitaman encer. Sekarang pasien belum BAB sejak kemarin.

2.Infectious Agent Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi dari Genus Salmonella. Bakteri ini berbentuk batang, gram negatip, tidak membentuk spora, motil, berkapsul dan mempunyai flagella (bergerak dengan rambut getar). Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa minggu di alam bebas seperti di dalam air, es, sampah dan debu. Bakteri ini dapat mati dengan pemanasan (suhu 600C) selama 15 20 menit, pasteurisasi, pendidihan dan khlorinisasi. Salmonella typhi mempunyai 3 macam antigen, yaitu : 1. Antigen O (Antigen somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari tubuh kuman. Bagian ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau disebut juga endotoksin. Antigen ini tahan terhadap panas dan alkohol tetapi tidak tahan terhadap formaldehid. 2. Antigen H (Antigen Flagella), yang terletak pada flagella, fimbriae atau pili dari kuman. Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan tahan terhadap formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan alkohol. 3. Antigen Vi yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang dapat melindungi kuman terhadap fagositosis. Ketiga macam antigen tersebut di atas di dalam tubuh penderita akan menimbulkan pula pembentukan 3 macam antibodi yang lazim disebut aglutinin.

3. Epidemiologi Demam Tifoid 3.1. Distribusi dan Frekwensi a. Orang Demam tifoid dapat menginfeksi semua orang dan tidak ada perbedaan yang nyata antara insiden pada laki-laki dan perempuan. Insiden pasien demam tifoid dengan usia 12 30 tahun 70 80 %, usia 31 40 tahun 10 20 %, usia > 40 tahun 5 10 %. b. Tempat dan Waktu Demam tifoid tersebar di seluruh dunia. Pada tahun 2000, insiden rate demam tifoid di Amerika Latin 53 per 100.000 penduduk dan di Asia Tenggara 110 per 100.000 penduduk.6 Di Indonesia demam tifoid dapat ditemukan sepanjang tahun, di Jakarta Utara pada tahun 2001, insiden rate demam tifoid 680 per 100.000 penduduk dan pada tahun 2002 meningkat menjadi 1.426 per 100.000 penduduk.17

3.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi (Determinan) a. Faktor Host Manusia adalah sebagai reservoir bagi kuman Salmonella thypi. Terjadinya penularan Salmonella thypi sebagian besar melalui makanan/minuman yang tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau carrier yang biasanya keluar bersama dengan tinja atau urine. Dapat juga terjadi trasmisi transplasental dari seorang ibu hamil yang berada dalam bakterimia kepada bayinya. b. Faktor Agent Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella thypi. Jumlah kuman yang dapat menimbulkan infeksi adalah sebanyak 105 109 kuman yang tertelan melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi. Semakin besar jumlah Salmonella thypi yang tertelan, maka semakin pendek masa inkubasi penyakit demam tifoid.Karena Pasien masih usia 1,5 tahun yg sedang aktif2nya terkadang sering memasukan tangan/sesuatu yang tidak diketahui kebersihannya kedalam.

c. Faktor Environment Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang dijumpai secara luas di daerah tropis terutama di daerah dengan kualitas sumber air yang tidak memadai dengan standar hygiene dan sanitasi yang rendah. Beberapa hal yang mempercepat terjadinya penyebaran demam tifoid adalah urbanisasi, kepadatan penduduk, sumber air minum dan standart hygiene industri pengolahan makanan yang masih rendah. 4. Sumber Penularan (Reservoir) Penularan penyakit demam tifoid oleh basil Salmonella typhi ke manusia melalui makanan dan minuman yang telah tercemar oleh feses atau urin dari penderita tifoid.Ada dua sumber penularan Salmonella typhi, yaitu :4.1. Penderita Demam Tifoid Yang menjadi sumber utama infeksi adalah manusia yang selalu mengeluarkan mikroorganisme penyebab penyakit, baik ketika ia sedang menderita sakit maupun yang sedang dalam penyembuhan. Pada masa penyembuhan penderita pada umumnya masih mengandung bibit penyakit di dalam kandung empedu dan ginjalnya.

4.2. Karier Demam Tifoid. Penderita tifoid karier adalah seseorang yang kotorannya (feses atau urin) mengandung Salmonella typhi setelah satu tahun pasca demam tifoid, tanpa disertai gejala klinis. Pada penderita demam tifoid yang telah sembuh setelah 2 3 bulan masih dapat ditemukan kuman Salmonella typhi di feces atau urin. Penderita ini disebut karier pasca penyembuhan. Pada demam tifoid sumber infeksi dari karier kronis adalah kandung empedu dan ginjal (infeksi kronis, batu atau kelainan anatomi). Oleh karena itu apabila terapi medika-mentosa dengan obat anti tifoid gagal, harus dilakukan operasi untuk menghilangkan batu atau memperbaiki kelainan anatominya.Karier dapat dibagi dalam beberapa jenis.a. Healthy carrier (inapparent) adalah mereka yang dalam sejarahnya tidak pernah menampakkan menderita penyakit tersebut secara klinis akan tetapi mengandung unsur penyebab yang dapat menular pada orang lain, seperti pada penyakit poliomyelitis, hepatitis B dan meningococcus. b. Incubatory carrier (masa tunas) adalah mereka yang masih dalam masa tunas, tetapi telah mempunyai potensi untuk menularkan penyakit/ sebagai sumber penularan, seperti pada penyakit cacar air, campak dan pada virus hepatitis. c. Convalescent carrier (baru sembuh klinis) adalah mereka yang baru sembuh dari penyakit menulat tertentu, tetapi masih merupakan sumber penularan penyakit tersebut untuk masa tertentu, yang masa penularannya kemungkinan hanya sampai tiga bulan umpamanya kelompok salmonella, hepatitis B dan pada dipteri. d. Chronis carrier (menahun) merupakan sumber penularan yang cukup lama seperti pada penyakit tifus abdominalis dan pada hepatitis B. 5.Patogenesis Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi masuk kedalam tubuh manusia melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus dan berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa IgA usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel terutama sel M dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plaque Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi yang mengakibatkan bakterimia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik, seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala dan sakit perut. Patofisiologi

Bakteri Salmonella typhi dan Salmonella enteriditis bersama makanan atau minuman masuk ke dalam tubuh melalui mulutBakteri melewati lambungBakteri yang masih hidup akan mencapai usus halusDi usus halus, bakteri melekat pada sel-sel mukosaMenginvasi mukosa dan menembus dinding usus di ileum dan yeyunumBakteri mencapai folikel limfe usus halusMengikuti aliran ke kelenjar limfe mesenterika dan melewati sirkulasi sistemik sampai ke jaringan RES di organ hati dan limpaMultiplikasi di dalam sel fagosit mononuklear di dalam folikel limfe, kelenjar limfe mesenterika, hati dan limpaMelalui duktus torasikus masuk ke dalam sirkulasi sistemikBakteri dapat mencapai organ : hati, limpa, sumsum tulang, kandung empedu dan Peyers patch dari ileum terminalEkskresi organisme di empedu dapat menginvasi ulang dinding usus atau dikeluarkan melalui tinja

6. Gejala KlinisGejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika dibanding dengan penderita dewasa. Masa inkubasi rata-rata 10 20 hari. Setelah masa inkubasi maka ditemukan gejala prodromal, yaitu perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat.

Kemudian menyusul gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu : a. Demam Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat febris remiten dan suhu tidak berapa tinggi. Selama minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua, penderita terus berada dalam keadaan demam. Dalam minggu ketiga suhu tubuh beraangsur-angsur turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga. Pasien mengeluh demam yang dirasakan sejak 8 hari yang lalu, demam dirasakan hilang timbul dan 2 hari terakhir demam sepanjang hari tidak turun-turun walau sudah diberi obat paracetamol. Pasien beberapa hari ini setiap malam demam disertai menggigil di malam hari.

b. Ganguan pada saluran pencernaan Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap. Bibir kering dan pecah-pecah (ragaden) . Lidah ditutupi selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan tepinya kemerahan, jarang disertai tremor. Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan perut kembung (meteorismus). Hati dan limpa membesar disertai nyeri pada perabaan. Biasanya didapatkan konstipasi, akan tetapi mungkin pula normal bahkan dapat terjadi diare. Pasien juga mengeluh Nafsu makan menurun, lidah terasa pahit, minum biasa, nyeri menelan (-) Mual (+), muntah (+) isi makanan dan cairan, hampir setiap kali makan muntahBAB lembek sudah 2 hari pertama demam, pernah 1x berwarna coklat kehitaman encer

c. Gangguan kesadaran Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam, yaitu apatis sampai somnolen. Jarang terjadi sopor, koma atau gelisah.

7. Komplikasi Komplikasi demam tifoid dapat dibagi atas dua bagian, yaitu : 7.1. Komplikasi Intestinala. Perdarahan Usus Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan minor yang tidak membutuhkan tranfusi darah. Perdarahan hebat dapat terjadi hingga penderita mengalami syok. Secara klinis perdarahan akut darurat bedah ditegakkan bila terdapat perdarahan sebanyak 5 ml/kgBB/jam. b. Perforasi Usus Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Penderita demam tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di daerah kuadran kanan bawah yang kemudian meyebar ke seluruh perut. Tanda perforasi lainnya adalah nadi cepat, tekanan darah turun dan bahkan sampai syok.

7.2. Komplikasi Ekstraintestinal a. Komplikasi kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi perifer (syok, sepsis), miokarditis, trombosis dan tromboflebitis. b. Komplikasi darah : anemia hemolitik, trombositopenia, koaguolasi intravaskuler diseminata, dan sindrom uremia hemolitik. c.Komplikasi paru : pneumoni, empiema, dan pleuritis d.Komplikasi hepar dan kandung kemih : hepatitis dan kolelitiasis e.Komplikasi ginjal : glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis f.Komplikasi tulang : osteomielitis, periostitis, spondilitis, dan artritis g.Komplikasi neuropsikiatrik : delirium, meningismus, meningitis, polineuritis perifer, psikosis, dan sindrom katatonia.

8. PEMERIKSAAN PENUNJANGGambaran darah tepi berupa anemia normokrom normositik terjadi sebagai akibat perdarahan usus atau supresi pada sumsum tulang. Jumlah leukosit rendah, namun jarang dibawah 3000 /l3. Apabila terjadi abses piogenik maka jumlah leukosit dapat meningkat mencapai 20000 25000 /l3. Trombositopenia sering dijumpai, kadang-kadang berlangsung beberapa minggu.Diagnosis pasti dengan isolasi Salmonella typhi dari spesimen darah, urin, feses atau dari aspirasi sumsum tulang, dan spesimen empedu yang diambil dari duodenum.Uji serologi widal suatu metode serologik yang memeriksa antibodi aglutinasi terhadap antigen somatic (O), flagella (H) banyak dipakai untuk membuat diagnosis demam tifoid. Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin 1/40 dengan memakai uji Widal slide agglutination menunjukkan nilai ramal postif 96%. Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin sekali periksa 1/200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa lampau, sedangkan Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S. typhi (karier).Mendeteksi antibodi S. typhi dalam serum, antigen terhadap S. typhi dalam darah, serum dan urin bahkan DNA S. typhi dalam darah dan faeces. Polymerase chain reaction telah digunakan untuk memperbanyak gen Salmonella ser. Typhi secara spesifik pada darah pasiendan hasil dapat diperoleh hanya dalam beberapa jam.

PEMBAHASAN

TEORITEMUAN KASUS

Uji serologi widal positifJenis PemeriksaanHasil

TYPHI OPARATYPHI AOPARATYPHI BOPARATYPHI CO(+) 1/80(+) 1/320(+) 1/320(+) 1/320

TYPHI HPARATYPHI AHPARATYPHI BHPARATYPHI CH(+) 1/80(-) (+) 1/320 (-)

Mendeteksi antibodi S. typhi dalam serumTidak diperiksa-

Mendeteksi antigen S. typhi dalam darah, serum dan urin Tidak diperiksa-

Mendeteksi DNA S. typhi dalam darah dan faecesTidak diperiksa-

9. DIAGNOSISDiagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis berupa :1. Demam lebih dari 7 hari2. Gangguan gastrointestinal berupa nyeri perut, konstipasi, diare, mual, muntah dan lain-lain3. Perubahan atau gangguan kesadaranDengan kriteria ini maka seseorang klinisi dapat membuat diagnosis tersangka demam tifoid.Gold standard untuk menegakkan diagnosis demam tifoid adalah pemeriksaan kultur darah (biakan empedu) untuk Salmonella typhi. Pemeriksaan kultur darah biasanya akan memberikan hasil positif pada minggu pertama penyakit. Hal ini bahkan dapat ditemukan pada 80% pasien yang tidak diobati antibiotik. Pemeriksaan lain untuk demam tifoid adalah uji serologi Widal dan deteksi antibodi IgM Salmonella typhi dalam serum.

PEMBAHASAN

TEORITEMUAN KASUS

Demam lebih dari 7 hari (demam lebih dari 7hari)

Gangguan gastrointestinal berupa nyeri perut, konstipasi, diare, mual, muntah dan lain-lain (mual, muntah, diare)

Perubahan atau gangguan kesadaran-

II.10.DIAGNOSIS BANDING Pada stadium dini diagnosis bandingnya yaitu influenza, gastroenteritis, bronkitis dan bronkopneumonia. Pada demam tifoid yang berat, sepsis, leukemia, limfoma dan penyakit Hodgkin dapat sebagai diagnosis banding.

II.11.PENATALAKSANAANSebagian besar pasien demam tifoid dapat diobati di rumah dengan tirah baring, isolasi yang memadai, pemenuhan kebutuhan cairan, nutrisi serta pemberian antibiotik. Sedangkan untuk kasus berat harus dirawat di rumah sakit agar pemenuhan cairan, elektrolit serta nutrisi disamping observasi kemungkinan timbul penyulit dapat dilakukan dengan seksama.1. Antibiotik Kloramfenikol merupakan pilihan pertama dosis yang diberikan 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali pemberian selama 10-14 hari atau sampai 5 -7 hari setelah demam turun. Ampisilin memberikan respons perbaikan klinis yang kurang dibandingkan kloramfenikol. Dosis yang dianjurkan 200 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali pemberian secara intravena. Amoksilin dengan dosis 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali pemberian per oral memberikan hasil yang setara dengan kloramfenikol walaupun penurunan demam lebih lama. Kombinasi trimethoprim sulfametoksazol (TMP-SMZ) memberikan hasil yang kurang baik dibanding kloramfenikol. Dosis yang dianjurkan TMP 10 mg/kg/hari atau SMZ 50 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis Seftriakson 100 mg/kg/hari dibagi dalam 1 atau 2 dosis (maksimal 4 gram/hari) selama 5-7 hari diberikan pada strain yang resisten. Sefotaksim 150-200 mg/kg/hari dibagi dalam 3-4 dosis efektif pada isolat rentan. Cefixime oral 10-15 mg/kg/hari selama 10 hari dapat diberikan sebagai alternatif terutama apabila jumlah leukosit < 2000 /l atau dijumpai resistensi terhadap S. typhi 2. Kortikosteroid Deksametason intravena 3 mg/kg diberikan dalam 30 menit untuk dosis awal, dilanjutkan dengan 1 mg/kg tiap 6 jam sampai 48 jam disamping antibiotik yang memadai, dapat menurunkan angka mortalitas dari 33-55% menjadi 10% pada demam tifoid kasus berat seperti delirium, obtundasi, stupor, koma dan shock.3. Transfusi darah bila ditemukan anemia akibat penyulit perdarahan usus.4. Transfusi trombosit dianjurkan untuk pengobatan trombositopenia.5. Intervensi bedah laparatomi apabila diduga terjadi perforasi, adanya cairan pada peritoneum dan udara bebas pada foto abdomen.Pengobatan untuk penderita karier berupa ampisilin atau amoksisilin dosis 40 mg/kg/hari dalam 3 dosis peroral ditambah dengan probenecid 30 mg/kg/hari dalam 3 dosis peroral atau TMP-SMZ selama 4-6 minggu memberikan angka kesembuhan 80% pada karier tanpa penyakit saluran empedu. Kasus demam tifoid yang mengalami relaps diberi pengobatan sebagai kasus demam tifoid serangan pertama.

Pencegahan Demam Tifoid Pencegahan dibagi menjadi beberapa tingkatan sesuai dengan perjalanan penyakit, yaitu pencegahan primer, pencegahan sekunder, dan pencegahan tersier. II.8.1. Pencegahan Primer Pencegahan primer merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi sakit. Pencegahan primer dapat dilakukan dengan cara imunisasi dengan vaksin yang dibuat dari strain Salmonella typhi yang dilemahkan. Di Indonesia telah ada 3 jenis vaksin tifoid, yaitu : 4 a. Vaksin oral Ty 21 a Vivotif Berna. Vaksin ini tersedia dalam kapsul yang diminum selang sehari dalam 1 minggu satu jam sebelum makan. Vaksin ini kontraindikasi pada wanita hamil, ibu menyusui, demam, sedang mengkonsumsi antibiotik . Lama proteksi 5 tahun. b. Vaksin parenteral sel utuh : Typa Bio Farma. Dikenal 2 jenis vaksin yakni, K vaccine (Acetone in activated) dan L vaccine (Heat in activated-Phenol preserved). Dosis untuk dewasa 0,5 ml, anak 6 12 tahun 0,25 ml dan anak 1 5 tahun 0,1 ml yang diberikan 2 dosis dengan interval 4 minggu. Efek samping adalah demam, nyeri kepala, lesu, bengkak dan nyeri pada tempat suntikan. Kontraindikasi demam,hamil dan riwayat demam pada pemberian pertama. c. Vaksin polisakarida Typhim Vi Aventis Pasteur Merrieux. Vaksin diberikan secara intramuscular dan booster setiap 3 tahun. Kontraindikasi pada hipersensitif, hamil, menyusui, sedang demam dan anak umur 2 tahun. Indikasi vaksinasi adalah bila hendak mengunjungi daerah endemik, orang yang terpapar dengan penderita karier tifoid dan petugas laboratorium/mikrobiologi kesehatan. Mengkonsumsi makanan sehat agar meningkatkan daya tahan tubuh, memberikan pendidikan kesehatan untuk menerapkan prilaku hidup bersih dan sehat dengan cara budaya cuci tangan yang benar dengan memakai sabun, peningkatan higiene makanan dan minuman berupa menggunakan cara-cara yang cermat dan bersih dalam pengolahan dan penyajian makanan, sejak awal pengolahan, pendinginan sampai penyajian untuk dimakan, dan perbaikan sanitasi lingkungan.4

II.8.2. Pencegahan Sekunder Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan cara mendiagnosa penyakit secara dini dan mengadakan pengobatan yang cepat dan tepat. Untuk mendiagnosis demam tifoid perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium. Ada 3 metode untuk mendiagnosis penyakit demam tifoid, yaitu :2a. Diagnosis klinik Diagnosis klinis penyakit ini sering tidak tepat, karena gejala kilinis yang khas pada demam tifoid tidak ditemukan atau gejala yang sama dapat juga ditemukan pada penyakit lain. Diagnosis klinis demam tifoid sering kali terlewatkan karena pada penyakit dengan demam beberapa hari tidak diperkirakan kemungkinan diagnosis demam tifoid. b. Diagnosis mikrobiologik/pembiakan kuman Metode diagnosis mikrobiologik adalah metode yang paling spesifik dan lebih dari 90% penderita yang tidak diobati, kultur darahnya positip dalam minggu pertama. Hasil ini menurun drastis setelah pemakaian obat antibiotika, dimana hasil positip menjadi 40%. Meskipun demikian kultur sum-sum tulang tetap memperlihatkan hasil yang tinggi yaitu 90% positip. Pada minggu-minggu selanjutnya hasil kultur darah menurun, tetapi kultur urin meningkat yaitu 85% dan 25% berturut-turut positip pada minggu ke-3 dan ke-4. Organisme dalam tinja masih dapat ditemukan selama 3 bulan dari 90% penderita dan kira-kira 3% penderita tetap mengeluarkan kuman Salmonella typhi dalam tinjanya untuk jangka waktu yang lama. c. Diagnosis serologik Uji Widal Uji Widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap Salmonella typhi terdapat dalam serum penderita demam tifoid, pada orang yang pernah tertular Salmonella typhi dan pada orang yang pernah mendapatkan vaksin demam tifoid. Uji Enzym-Linked Immunosorbent Assay (ELISA)Uji ELISA untuk melacak antibodi terhadap antigen Salmonella typhi belakangan ini mulai dipakai. Prinsip dasar uji ELISA yang dipakai umumnya uji ELISA tidak langsung. Antibodi yang dilacak dengan uji ELISA ini tergantung dari jenis antigen yang dipakai.

. II.8.3. Pencegahan Tersier Pencegahan tersier adalah upaya yang dilakukan untuk mengurangi keparahan akibat komplikasi. Apabila telah dinyatakan sembuh dari penyakit demam tifoid sebaiknya tetap menerapkan pola hidup sehat, sehingga imunitas tubuh tetap terjaga dan dapat terhindar dari infeksi ulang demam tifoid. Pada penderita demam tifoid yang carier perlu dilakukan pemerikasaan laboratorium pasca penyembuhan untuk mengetahui kuman masih ada atau tidak.

TINJAUAN PUSTAKA DAN PEMBAHASAN

II.1 INFEKSI SALURAN KEMIHII.1.1 DEFINISIInfeksi saluran kemih (ISK) adalah keadaan klinis akibat berkembangbiaknya mikroorganisme yang menyebabkan inflamasi pada saluran kemih.1,2ISK merupakan salah satu infeksi yang paling sering dijumpai baik di negara sedang berkembang maupun di negara maju sekalipun. ISK dapat terjadi pada semua usia dan jenis kelamin dengan frekuensi dan gejala yang berbeda-beda pada tiap kelompok umurnya.2ISK pada anak-anak merupakan hal yang perlu diwaspadai karena memiliki gejala yang tidak spesifik sehingga diagnosa sering terlambat, padahal resiko kerusakan ginjal yang progresif pada jangka panjangnya sekitar 25%. Untuk ISK diperlukan perhatian yang khusus oleh para dokter pada lini depan dan pengertian terhadap bahaya ISK pada bayi dan anak. Bila hal ini tidak terdeteksi banyak diantaranya yang akan mengalami ISK berulang yang dapat menyebabkan timbulnya parut pada ginjal bahkan kerusakan ginjal yang permanen.3Mengingat batasan tersebut, maka diagnosis ISK memerlukan biakan mikroorganisme sebagai golden standar diagnosis.1-3 Kuman penyebab ISK yang paling sering ialah golongan Enterobacteriacceae yang berasal dari perineum dan saluran percernaan. E.Coli merupakan bakteri penyebab 80% kasus ISK selain golongan Klebsiella, Proteus, Enterobacter, Pseudomonas, Streptococcus, dan golongan Staphylococcus.1II.1.2 EPIDEMIOLOGIInfeksi saluran kemih pada anak dipengaruhi oleh umur dan jenis kelamin. Angka rasio kejadian infeksi saluran kemih pada anak dilaporkan untuk rasio bayi laki laki dan perempuan pada awal kehidupan bayi adalah antara 3 : 1 dan 5 : 1. setelah masa bayi, anak perempuan lebih sering mengalami infeksi saluran kemih dibandingkan laki laki yaitu dengan rasio L/P 1 : 4 untuk infeksi yang simtomatis dan 1 : 25 untuk infeksi yang asimtomatis pada anak usia sekolah, diduga faktor uretra yang lebih pendek pada perempuan yang berperan dalam hal ini.Data prevalensi rumah sakit RSCM Jakarta dalam periode 3 tahun (1993-1995) didapatkan 212 kasus ISK, dengan rata-rata 70 kasus baru per tahun. Data studi kolaboratif pada 7 rumah sakit pusat pendidikan dokter di Indonesia dalam kurun 5 tahun (1984-1989) dilaporkan angka kejadian kasus baru ISK pada anak berkisar antara 0,1- 1,9% dari seluruh kasus pediatric yang dirawat . Jumlah ISK kompleks di Jakarta lebih sedikit dari ISK simpleks yaitu 22,2% dari 42 kasus ISK. Meskipun lebih sedikit perlu mendapat perhatian khusus karena dapat bersifat progresif. 3 Angka kekambuhan cukup tinggi yaitu pada anak perempuan 30% pada tahun pertama dan 50% dalam 5 tahun kedepan. Sedangkan pada anak laki-laki angka kekambuhan sekitar 15-20% pada tahun pertama dan setelah umur 1 tahun jarang ditemukan kekambuhan. ISK yang terjadi nosokomial di rumah sakit pernah dilaporkan sebanyak 14,2% per 1000 penderita anak, hal ini terjadi biasanya karena pemakaian kateter urin jangka panjang.3 II.1.3 ETIOLOGIKuman penyebab infeksi saluran kemih yang tersering adalah E. Coli yaitu sekitar 80% 90% kasus kasus ISK dan kuman patogen lainnya meliputi Klebsiella-Enterobacter spp., Proteus spp., Enterococcus faecalis, dan stafilokokus koagulase-negatif. Pada infeksi saluran kemih kronis sering kali berkaitan dengan Pseudomonas spp., Proteus spp., enterokokus atau Candida spp.II.1.4 PATOGENESISPatogenesis ISK sangat kompleks karena menyangkut interaksi dari berbagai faktor, baik dari pihak penjamu ( host ) dan dari faktor virulensi kuman. Pada bayi, terutama neonatus biasanya bersifat hematogen sebagai akibat terjadinya sepsis. Sedangkan pada anak-anak infeksi biasanya berasal dari daerah perineum yang kemudian menjalar secara ascendens sampai ke kandung kemih, ureter atau ke parenkim ginjal.1 Bukti terjadinya ISK dengan jalur asendens adalah ditemukannya strain bakteri yang sama didaerah perineum penderita ISK, yang tidak ditemukan pada anak normal. Pada anak laki-laki yang tidak disirkumsisi, bakteri patogen berasal dari flora di bawah preputium dan frekuensi terjadinya ISK juga lebih besar.

Faktor Penjamu (Host)Tiap individu memiliki kerentanan yang berbeda beda terhadap ISK. Hal ini dapat diterangkan oleh adanya faktor-faktor hospes, seperti produksi antibodi uretra dan servikal (IgA), dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi perlekatan bakteri pada epitel introitus dan uretra.4 Tomm- Horsfall glikoprotein dan IgA sekretori mencegah perlekatan bakteri pada uroepitel. Pada anak dengan ISK berulang kadar IgA sekretori lebih sedikit dibandingkan dengan anak normal. Hal ini menunjukkan adanya defek respon imun terhadap infeksi.3 Imunosupresi, diabetes, obstruksi saluran kemih, dan penyakit granulomatosa kronis adalah faktor lain yang dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi. Bila organisme dapat masuk ke dalam kandung kemih, beratnya infeksi dapat menggambarkan virulensi bakteri.4 Refluks vesiko ureter (RVU) merupakan factor penjamu utama untuk terjadinya pielonefritis pada anak. RVU ditemukan pada 25-50% ( rata-rata) penderita ISK. Pada pasien dengan ISK yang disertai RVU,80% menunjukkan gambaran parut ginjal pielonefritikObstruksi dan beberapa kelainan uronefrotapi kongenital juga merupakan faktor predisposisi terjadinya ISK. Obstruksi paling sering terjadi pada hubungan pelvio ureter, vesiko ureter dan uretra posterior. Demikian pula kelainan fungsional saluran kemih seperti buli-buli neurogenik dan non neurogenerik dapat menimbulkan retensio urin atau inkontinesia yang dapat menimbulkan ISK.3 Faktor Virulensi Bakteri3 Bakteri virulen berarti mempunyai kemampuan untuk menimbulkan infeksi. Bakteri uropatogen adalah strain bakteri yang mempunyai faktor virulensi spesifik untuk meninbulkan kolonisasi pada uroepitel.Tahap awal timbulnya infeksi adalah terjadi perlekatan bakteri pada sel epitel. Tahap berikutnya baru terjadi penetrasi bakteri ke jaringan, proses inflamasi dan kerusakan sel. E.Coli mempunyai daya melekat pada uroepitel karena adanya zat adhesion di membran luar bakteri,pada rambut-rambut spesifik yang disebut fimbrie. E. Coli pieloenefritogenik mempunyai fimbrie yang dapat mengaglutinasi eritrosit golongan darah P1, oleh kerena ISK disebut P-fimbrie.Ada 2 tipe fimbrie yaitu tipe I dan II. I ditemukan pada hampir semua E.Coli. karena perlekatan tipe I pada sel dapat dihambat oleh D Mannosa, disebut mannose sensitif. Perlekatan tipe II tidak dapat dihambat oleh D Mannosa karena ISK disebut Mannosa resisten. P- fimbrie termasuk tipe II dan hanya ditemukan pada strain E.Coli tertentu. Reseptor untuk P-fimbrie adalah suatu glikosfingolipid yang terdapat pada membrane sel uroepitel, yaitu galaktosa a 14-galaktosa a (gal-gal pili). E.Coli dengan P-fimbrie inilah yang dapat menyebabkan pielonefritis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa E. Coli pielonefritogenik 76-94% mengandung P-fimbrie, sedangkan pada yang menyebabkan sistitis hanya ditemukan pada 19-23%.Faktor PredisposisiFaktor predisposisi terjadinya ISK3 Anak perempuan Anak laki-laki tidak disirkumsisi Disfungsi miksi Obstipasi kronik Instrumentasi uretra Pemasangan kateter (buli-buli)jangka panjang Infestasi cacing kremi Buli-buli neurogenik dan non neurogenik Membersihkan feses dari bawah keatas Kelainan anatomi saluran kemih Uropati Obstruktif Adhesi labia Refluks vesiko ureter Batu saluran kemihII.1.5 MANIFESTASI KLINISInfeksi saluran kemih dapat simtomatik maupun asimtomatik. Pada bayi baru lahir gejala dapat berupa demam, malas minum, ikterus, hambatan pertumbuhan, atau tanda-tanda sepsis. Pada masa bayi gejala sering berupa panas yang tidak diketahu penyebabnya, nafsu makan berkurang, gangguan pertumbuhan berkurang, kadang kadang diare atau kencing sangat berbau. Pada usia prasekolah berupa sakit perut, muntah, demam, sering kencing, dan mengompol. Pada usia sekolah gejala spesifik makin nyata berupa mengompol, sering kencing sakit waktu kencing, atau sakit pinggang 4.Demam dan sakit pinggang merupakan gejala ISK bagian atas (ureter, pielum, dan ginjal) sedangkan gejala ISK bagian bawah ( kandung kemih dan uretra) biasanya lebih ringan, umumnya berupa disuria, polakisuria, atau kencing mengedan, tanpa demam.Pada infeksi kronis atau berulang dapat terjadi tanda tanda gagal ginjal menahun atau hipertensi serta ganguan pertumbuhan.Secara umum gejala klinis dari infeksi saluran kemih berbeda beda yaitu tergantung dari umurnya, berikut uraiannya :Umur 0 1 bulan : Gangguan pertumbuhan, anoreksia, muntah dan diare, kejang, koma, panas / hipotermia tanpa diketahui sebabnyaUmur 1 24 bulan: Panas / hipotermia tanpa diketahui sebabnya, gangguan pertumbuhan, anoreksia, muntah, diare, kejang, koma, kolik (anak menjerit keras), air kemih berbau / berubah warna, kadang kadang disertai nyeri perut /pinggang.Umur 2 6 tahun : Panas / hipotermia tanpa diketahui sebabnya, tidak dapat menahan kencing, polakisuria, disuria, enuresis, air kemih berbau dan berubah warna, diare, muntah, gangguan pertumbuhan serta anoreksia.Umur 6 18 tahun : Nyeri perut / pinggang, panas tanpa diketahui sebabnya, tidak dapat menahan kencing, polikisuria, disuria, enuresis, air kemih berbau dan berubah warna.

II.1.6 DIAGNOSISPada Infeksi saluran kemih yang simptomatis, diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis yang ditemukan dan dengan adanya jumlah bakteri yang bermakna dalam urin yang seharusnya steril dengan atau tanpa disertai piuria. Bila ditekan silinder leukosit, maka kemungkinan pielonefritis perlu dipertimbangkan.Pemeriksaan laboratorium yang terpenting untuk menegakkan diagnosis Infeksi saluran kemih adalah biakan urine dan pemeriksaan urine lengkap.1. Biakan urinpenanpungan urin untuk pembiakan dapat dilakukan dengan 3 cara :1. Urin pancaran tengah (midstream urien)2. Kateterisasi kandung kemih3. Pungsi kandung kemih (supra public puncture,SPP)Sebelum pengambilan contoh urin perlu dilakukan tindakan asepsis. Pada pengambilan cara a dan b. genetalia eksterna dibersihkan dulu dengan air bersih atau larutan sublimate 1%. Pada anak perempuan labia minor harus dibuka dan pada anak laki- laki preputium perlu ditarik kebelakang pada saat pembersihan. Pungsi kandung kemih dilakukan sebagai berikut: daerah suprapubis dibersihkan dengan larutan jodium 2 dan alcohol 70%. Sebelumnya anak disuruh menahan kencing selama 1 jam dan dilanjurkan banyak minum. Pungsi dilakukan dengan jarum semprit 5 atau 10 ml, pada tempat kira-kira 0,5-1 cm diatas simfisis pubis.Dengan cara a dan b, biakan urin dianggap positif atau bermakna bila didapat jumlah kuman 100.000 atau lebih per-mililiter urin. Jumlah kuman antara 10.000-100.000/ml urin dianggap meragukan dan perlu diulang. Bila jumlah kurang dari 10.000/ml urin maka hasil ini dianggap sebagai kontaminasi. Sebaiknya biakan urin dilakukan dua kali berturut-turut agar didapatkan hasil yang lebih pasti (derajat kepastian 95%).Hasil biakan urin dengan cara pengambilan pungsi kandung kemih dianggap positif atau bermakna bila ditemukan 200 kuman atau lebih per-mililiter urin.Hal lain yang perlu dilakukan ialah waktu antara pengiriman bahan dan penanaman dalam media biakan. Bila urin dibiarkan dalam suhu kamar selama jam atau lebih maka cepat membiak sehingga akan menberikan hasil yang positif palsu. Bila urin tidak segera dikirim kelaboratorium, maka harus disimpan selama 24-48 jam tanpa merubah jumlah kuman.Cara lain yang lebih mudah dan sederhana untuk mendeteksi bakteri urin ialah dengan pemeriksan bakteriologis semikuantitatif misalnya dengan microstix (Ames,co). caranya ialah dengan mencelupkan microstix ke dalam urin yang tampung seperti pada biakan konvensional, kemudian diinkubasi selama 24 jam. Dengan cara ini ternyata ditemukan korelasi yan tinggi dengan hasil biakan secara konvensional dengan kepekaan sebesar 93,8% dan spesifitas 95,5%.2. Pemeriksaan urin lengkapBila pada pemeriksaan sediment urin ditemukan piuria pada 50% kasus ISK. Tidak ada korelasi yang pasti antara piuria dan bakteriuria, tetapi pada seiap kasus dengan piuria haruslah dicurigai kemungkinan adanya ISK.Pemeriksaan yang penting dilakukan ialah Pielografi intravena (PIV) dan Miksio-sisto-uretrografi (MSU).Kedua pemeriksaan tersebut sedapat mungkin dilakukan pada semua penderita ISK. Pemeriksaan PIV dapat memberikan gambaran tentang kemungkinan terjadinya pielonefritis kronis dengan melihat bentuk dan besarnya kedua ginjal, adanya gambaran yang asimetri antara kedua ginjal karena perbedaan bentuk dan ukurannya, kalises yang tumpul dan atau melebar atau terbentuknya jaringan parut. Juga dapat ditemukan tanda tanda kelainan kongenital maupun kelainan obstruktif atau kelaianan anatomis. Pada pemeriksaan MSU dapat ditemukan tanda-tanda refluks vesiko-ureter atau penyempitan pada muara uretra.Pemeriksaan lain yang perlu dilakukan ialah pemeriksaan kadar ureum dan kratinin darah atau yang lebih teliti lagi bila diperiksa klerens ureum dan kratinin untuk mengetahui derajat fungsi ginjal.

ISK bagian atas dan bawahDalam penanganan dan pengobatan perlu diketahui apakah infeksi terdapat pada traktus urinarius bagian atas (ureter,pielum dan ginjal) atau hanya pada bagian bawah (kandung kencing dan uretra).ISK bagian atas dianggap lebih berat karena dapat mengakibatkan kerusakan ginjal. Menbedakan kedua lokasi infeksi ini tindaklah mudah pada seorang anak, terutama pada bayi. Pemeriksaan langsung terhadap infeksi bagian atas dapat dilakukan dengan biakan urin yang diambil dengan kateterisasi dari kedua ureter, namun hal ini jarang dilakukan pada anak karena dapat bersifat traumatis. pemeriksaan secara tidak langsung yang memberi petunjuk kearah ISK baian atas adalah terdapatnya gejala demam, sakit pinggang, terdapatnya silinder leukosit diurin, laju endap darah yang meninggi dan peninggian kadar protein C-reaktif. pemeriksaan lain yang lebih sukar adalah biakan urin dengan bladder washout technique (penampungan urin setelah pencucian buli-buli dengan larutan aseptic), antibodi coated bacteria (pemeriksaan bakteri yang diliputi oleh antibodi ) dan sebagainya. Penurunan pungsi ginjal, hipertensi, azotemia dan terdapatnya parut ginjal (pyelonephiritic scaming) pada pemeriksaan radiology menjurus pada ISK bagian atas.ISK bagian bawah biasanya lebih ringan, umumnya tanpa gejala demam, hanya ditandai dengan gejala lokal seperti disuria, polakisuria atau kencing mengedan. Pada pemeriksaan sedimen urin sering ditemukan leukosit yang berkelompok.

II.1.7 PENATALAKSANAAN1. Pengobatan secara umum, yaitu terhadap panas, muntah, dehidrasi dan lain-lain. Disamping ISK anak juga dianjurkan untuk banyak minum dan jangan menbiasakan menahan kencing. Pengobatan simtomatik terhadap keluhan sakit kencing dapat diberikan penazofiridin (piridium) 7-10 mg/kgbb/hari. Disamping ISK perlu juga mencari dan mengurangi atau menghilangkan factor predisposisi seperti obstipasi, alergi, investasi cacing dan memberikan kebersihan perineum meskipun usaha-usaha ini kadang-kadang tidak selalu berhasil.

2. Pengobatan khususPenanggulangan ISK ditujukan terhadap 3 hal, yaitu:1. pengobatan terhadap infeksi akut2. pengobatan dan pencegahan infeksi berulang3. Mendeteksi dan melakukan koreksi bedah terhadap kelainan anatomis, congenital maupun yang didapat, pada traktus urinarius.1. pengobatan infeksi akut.Pengobatan yang segera dan adekuat pada fase akut dapat mencegah atau mengurangi kemungkinan timbulnya pielonefritis kronis. Pada keadaan berat atau panas tinggi dan keadaan umum yang lemah, pengobatan segera dilakukan tanpa menunggu hasil biakan urin dan uji resistensi kuman. Pada infeksi akut yang simpleks (uncomplicated infection) diberikan antibiotika /kemoterapi oral. Obat yang sering dipakai sebagai pilihan utama (primary drug) ialah ampisilin, kontrimoksazol, sulfisoksazol, asam nalidiksat dan nitrofurantion. Sebagai pilihan kedua (secondary drug) dapat dipakai obat galongan aminoglikosid (gentamisin, sisomisin, amikasin dan lain-lain); sefakleksin, doksisiklin dan sebagainya. Pengobatan diberikan selama 7 hari.62. Pengobatan dan pencegahan infeksi berulangDalam pengamatan selanjutnya 30-50% penderita akan mengalami infeksi berulang dan sekitar 50% diantaranya tanpa gejala. Oleh karena itu perlu dilakukan biakan ulang pada minggu pertama sesudah selesai pengobatan fase akut, kemudian 1 bulan, 3 bulan dan seterusnya setiap 3 bulan selama 2 tahun. Setiap infeksi berulang harus diobati seperti pengobatan pada fase akut. Bila relaps atau reinfeksi terjadi lebih ari 2 kali, maka pengobatan dilanjutkan dengan pengobatan profilaksis, dengan obat-obat anti septis urin, yaitu nitrofurantion, kontrimoksazol, sefaleksin atau metenamin mandelat. Pada umumnya diberikan seperempat dosis normal, satu kali sehari pada malam hari slama 3 bulan. Bila infeksi traktus urinarus disertai dengan kelainan anatomis (disebut ISK kompleks atau complicated urinary infection), maka hasil pengobatan biasanya kurang memuaskan. Pemberian obat disesuaikan dengan hasil uji resistensi dan dilakukan dengan terapi profilaksis selama 6 bulan dan bila perlu sampai 2 tahun.103. Koreksi pembedahanBila pada pemeriksaan radioogis ditemukan obtruksi, maka perlu dilakukan koreksi bedah. Penanganan terhadap refluks tergantung dari derajat stadiumnya. Refluks stadium I sampai III biasanya akan menghilang dengan pengobatan terhadap infeksinya. Pada stadium IV perlu dilakukan koreksi bedah yaitu dengan reimplantasi ureter pada kandung kemih (ureteroneosistostomi). Pada keadaan-keadaan tertentu misalnya pada pionefritis atrofik kronik, tindakan nefrektomi kadang-kadang perlu dilakukan.8Antibiotika * Neonatus Ampisilin : 50-100 mg/kg BB/24 jam IM/1V , dibagi 3-4 dosis Gentamisin : 5-7 mg/kg BB/24 jam IM/1V , dibagi 2-3 dosis Tobramisin : 5-7 mg/kg BB/24 jam im/1V ,dibagi 2-3 dosisAntibiotika diberikan selama 10-14 hari* Anak Kotimoksazol : 4-8 mg TMP /kg BB/24 jam IM/1V , dibagi 2dosis Ampisilin : 50-100 mg/kg BB/24 JAM IM/1V ,dibagi 3-4 dosis Amoksilin : 50-100 mb/kg BB/24 jam IM/1V ,dibagi 3-4 dosis Safaleksin: 50-100 mg/kg BB/24 jam IM/1V , dibagi 3-4 dosis As. nalikdisat : 50 mg/kg BB24 jam IM/1V , dibagi 3 dosis Nitrofurantoin: 3-5 mg/kg BB/jam IM/1V ,dibagi 3 dosis

II.1.8 KOMPLIKASIPielonefritis berulang dapat mengakibatkan hipertensi, parut ginjal, dan gagal ginjal kronik (Pielonefritis berulang timbul karena adanya faktor predisposisi).7II.1.9 PROGNOSISISK tanpa kelainan anatomis menpunyai prognosis lebih baik bila dilakukan pengobatan pada fase akut yang andekuat dan disertai pengawasan terhadap kemungkinan infeksi berulang. Pognosis jangka panjang pada sebagian besar penderita dengan kelainan anatomis umumnya kurang memuaskan meskipun telah diberikan pengobatan yang andekuat dan dilakukan koreksi bedah , hal ini terjadi terutama pada penderita dengan nefropati refluks. Deteksi dini terhadap adanya kelainan anatomis, pengobatan yang segera pada fase akut, kerjasama yang baik antara dokter, ahli bedah urologi dan orang tua penderita sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya perburukan yang mengarah ke fase gagal ginjal kronis Jenis dan dosis antibiotik untuk terapi ISK11Tabel : Dosis antibiotika pareneteral (A), Oral (B), Profilaksis (C) ObatDosis mg/kgBB/hariFrekuensi/ (umur bayi)

(A) Parenteral

Ampisilin100tiap 12 jam (bayi < 1 minggu)

tiap 6-8 jam (bayi > 1 minggu)

Sefotaksim150dibagi setiap 6 jam.

Gentamisin5tiap 12 jam (bayi < 1 minggu)

tiap 8 jam (bayi > 1 minggu)

Seftriakson75sekali sehari

Seftazidim150dibagi setiap 6 jam

Sefazolin50dibagi setiap 8 jam

Tobramisin5dibagi setiap 8 jam

Ticarsilin100 dibagi setiap 6 jam

(B) Oral

Rawat jalan antibiotik oral (pengobatan standar)

Amoksisilin20-40 mg/Kg/hariq8h

Ampisilin50-100 mg/Kg/hariq6h

Amoksisilin-asam klafulanat50 mg/Kg/hariq8h

Sefaleksin50 mg/Kg/hariq6-8h

Sefiksim4 mg/kgq12h

Nitrofurantoin*6-7 mg/kgq6h

Sulfisoksazole*120-150q6-8h

Trimetoprim*6-12 mg/kgq6h

Sulfametoksazole30-60 mg/kgq6-8h

* Tidak direkomendasikan untuk neonatus dan penderita dengan insufisiensi ginja

(C) Terapi profilaksis

Nitrofurantoin*1 -2 mg/kg(1x malam hari)

Sulfisoksazole*50 mg/Kg

Trimetoprim*2mg/Kg

Sulfametoksazole30-60 mg/kg

DAFTAR PUSTAKA

1. Behrman, Kliegman, Arvin. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Jakarta : EGC2. Katzung, BG, (2004). Farmakologi Dasar dan Klinik. Obat-obat Kemoterapi. Edisi 8. Penerbt Salemba Medik3. Mansjoer,A., et al. 2009. Kapita Selekta Kedokteran. Demam Tifoid. Edisi Ketiga. Penerbit Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal: 4254. Mirzanie,H., Leksana. 2004. Buku Saku Anak Pediatricia. Solo : Medical Equipment5. Price,S.A., Lorraine,M.W. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Ed. 6. Jakarta: EGC6. Santoso,A., dkk. 2012. MIMS. Vol.13. Jakarta : Bhuana Ilmu Populer 7. Soedarmo,S.,S.,P., et al. 2008. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Jakarta : Badan Penerbit IDAI8. Department of Vaccines and Biologicals. Background document: The diagnosis, treatment and prevention of typhoid fever. Geneva: WHO; 2003.9. Widodo D. Demam tifoid. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiadi S, penunting. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid III. Edisi ke-5. Jakarta Interna Publishing, 2009; 2797-805.