Demam Tifoid (Autosaved)

download Demam Tifoid (Autosaved)

of 11

Transcript of Demam Tifoid (Autosaved)

Tinjauan Pustaka

1. Pendahuluan Demam Tifoid adalah penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan infeksi salmonella Thypi. Organisme ini masuk melalui makanan dan minuman yang sudah terkontaminasi oleh faeses dan urine dari orang yang terinfeksi kuman salmonella. ( Bruner and Sudart, 1994 ). Demam Tifoid adalah penyakit infeksi pada usus halus, Tifoid disebut juga paratyphoid fever, enteric fever, typhus dan para typhus abdominalis (Seoparman, 1996). 2. Epidemiologi Demam tifoid terjadi diseluruh dunia, terutama di Negara berkembang yang memiliki sanitasi yang buruk. Demam tifoid endemik di Asia, Afrika, Amerika latin, dan pasifik. Demam tifod merupakan penyakit endemik di Indonesia. Insidensi demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait dengan sanitasi lingkungan; di daeral rural (Jawa Barat) 157 kasus per 100.000 penduduk, sedangkan di daerah urban ditemukan 760-810 per 100.00 penduduk. Perbedaan insidensi di perkotaan berhubungan erat dengan penyediaan air bersih yang belum memadai serta sanitasi lingkungan dengan pembuangan sampah yang kurang memenuhi syarat kesehatan lingkungan. 3. Patogenesis Masuknya kuman salmonella typhi (S typhi) dan Salmonella paratyphi (S.paratyphi) ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan di dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respons imunitas humral mukosa

(IgA) usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel M) dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak didalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plague peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torakikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia pertama yang asimtomatik), dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotial tubuh terutama hati dan limpa (gambar 3.1 patofisiologi demam tifoid). Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibakan bakterimia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.

gambar 3.1 patofisiologi demam tifoid

Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak dan bersama cairan empedu dieksresikan secara intermitten ke dalam lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskuler, gangguan mental, dan koagulasi. Di dalam plague peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hyperplasia jariangan (S.typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hyperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plaque peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hyperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuclear di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskuler, pernapasan, dan gangguan organ lainnya (gambar 3.2 patofisiologi demam tifoid).

gambar 3.2 patofisiologi demam tifoid

4. Manifestasi Klinis Penegakan diagnosis sedini mungkin sangat bermanfaat agar bias diberikan terapi yang tepat dan meminimalkan komplikasi. Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai berat, dari asimptomatik hingga gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kematian. Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala serupa sengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, dan epitaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat. Sifat demam adalah meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore hingga malam hari. Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardia relatif adalah peningkatan suhu 1cC tidak diikuti dengan

peningkatan denyut nadi 8 kali per menit), lidah yang kotor, hepatomegali, splenomegali, meteroismus, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium atau psikosis. Rosalea jarang ditemukan pada orang Indonesia. 5. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan Rutin Walaupun ada pemeriksaan darah perifer lengkap sering ditemukan leukopenia, dapat pula terjadi kadar leukosit normal atau leukositosis. Leukositosis dapat terjadi walaupun tanpa disertai infeksi sekunder. Selain itu pula dapat ditemukan anemia ringan dan trombositopenia. Pada pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat terjadi aneosinofilia maupun limfopenia. Laju endap darah pada demam tifoid dapat meningkat. SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus. Uji Widal Uji Widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman S. typhi. Pada uji widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S. typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspensi Samonella yang sudah dimatikan dan diolah laboratorium. Maksud uji Widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu: a). Aglutinin O (dari tubuh kuman), b). Aglutinin H (flagella kuman), dan c). Aglutinin Vi (simpai kuman). Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Semain tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini. Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam, kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu ke-empat, dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul aglutinin O,

kemudian diikuti dengan aglutinin H. Pada orang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-2bulan, sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9-12 bulan. Oleh karena itu uji Widal bukan untuk menentukan kesembuhan penyakit. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi uji widal yaitu: 1). Pengobatan dini dengan antibiotik, 2). Gangguan pembentukan antibodi, dan pemberian kortikosteroid, 3). Waktu pengambilan darah, 4). Daerah endemic atau non-endemik, 5). Riwayat vaksinasi, 6). Reaksi anamnestik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada infeksi bukan demam tifoid akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi 7). Faktor tehnik pemeriksaan antar laboratorium, akibat aglutinasi silang dan srtain Salmonella yang digunakan untuk suspense antigen. Saat ini belum ada kesamaan pendapat mengenai titer aglutinin yang bermakna diagnostik untuk demam tifoid. Batas titer yang sering dipakai hanya kesepakatan saja, hanya berlaku setempat dan batas ini bahkan dapat berbeda di berbagai laboratorium setempat. 6. Komplikasi A. Komplikasi intestinal Perdaraha Intestinal Pada plak peyeri usus yang terinfeksi (terutama ileum terminalis) dapat terbentuk tukak/luka berbentuk lonjong dan memanjang terhadap sumbu usus. Bila luka menembus lumen usus dan mengenai pembuluh darah maka terjadi perdarahan. Selanjutnya bila tukak menembus dinding usus maka perforasi dapat terjadi. Selain karena faktor luka, perdarahan juga dapat terjadi karena ganguan koagulasi darah (KID), atau gangguan kedua faktor. Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan minor yang tidak membutuhkan transfuse darah. Perdarahan hebat dapat terjadi hingga penderita mengalami syok. Secara klinis perdarahan akut darurat bedah ditegakan apabila terdapat perdarahan sebanyak 5ml/kgBB/jam dengan

faktor hemostatis dalam keadaan normal. Jika penanganan terlambat, mortalitas cukup tinggi sekitar 10-302%, bahkan ada yang melaporkan sampai 80%. Bila transfusi yang diberikan tidak dapat mengimbangi perdarahan yang terjadi, maka tindakan bedah perlu dipertimbangkan. Perforasi Usus Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Selain gejala umum demam tifoid yang biasa terjadi maka penderita demam tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di daerah kuadran kanan bawah yang kemudian menyebar ke seluruh perut dan disertai dengan tanda-tanda ileus. Bising usus melemah pada 50% penderita dan pekak hati terkadang tidak ditemukan karena adanya udara bebas bebas di abdomen. Tanda-tanda perforasi lainnya adalah nadi cepat, tekanan darah turun, dan bahkan dapat syok. Leukositosis dengan pergeseran ke kiri dapat menyokong adanya perforasi. Gambaran foto polos abdomen ditemukan udara pada rongga peritoneum atau subdiafragma kanan, maka hal ini merupakan nilai yang cukup menentukan terdapatnya perforasi usus pada demam tifoid. Beberapa faktor yang dapat meningkatkan kejadian perforasi adalah umur ( biasanya berumur 20-30 tahun), lama demam, modalias pengobatan, beratnya penyakit, dan mobilitas penderita. B. Komplikasi Ekstra-intestinal Komplikasi hematologi Komplikasi hematologi berupa trombositopenia, hipofibrino-genemia, peningkatan protombine time, peningkatan parthial thromboplastin time, peningkatan fibrin degradation products sampai koagulasi intravaskular. Diseminata (KID) dapat ditemukan pada kebanyakan pasen demam tifoid. trombositopenia saja sering dijumpai, hal ini mungki terjadi karena menurunnya produksi trombosit disumsum tulang selama proses infeksi atau meningkatnya destruksi trombosit di system retikuloendoteal. Obat-obatan juga memegang peranan.

Penyebab KID pada demam tifoid belum jelas. Hal-hal yang sering ditemukan adalah endotoksin mengaktifkan beberapa system biologic, koagulasi, dan fibrinolisis. Pelepasan kinin, prostaglandin, dan histamine menyebabkan vasokontriksi dan kerusakan kerusakan endotel pembuluh darah san selanjutnya mengakibatkan perangasangan mekanisme koagulasi; baik KID kompensata maupun dekompensata. Hepatitis Tifosa Pembengkakan hati ringan sampai sedang dijumpai pada 50% kasus dengan demam tyfid dan lebih banyak dijumpai karena S. typhi daripada S.parathypi. untuk membedakan apakah hepatitis ini karena tifoid, virus, malaria atau amuba maka perlu diperhatikan kelainan fisik, parameter laboratorium, dan bila perlu histopatologik hati. Pada demam tifoid kenaikan ezim transaminase tidak relevan dengan kenaikan serum bilirubin (untuk membedaka hepatitis oleh karena virus). Hepatitis tifosa dapat terjadi pada pasien dengan malnutrisi dan system imun yang kurang. Meskipun sangat jarang, komplikasi hepatoenselopati dapat terjadi. Pankreatitis Tifosa Merupakan komplikasi yang jarang terjadi pada demam tifoid. Pancreatitis sendiri dapat disebabkan oleh mediator pro inflamasi, virus, bakteri, cacing, maupun zat-zat farmakologik. Pemeriksaan enzim amilase dan lipase serta ultrasonografi/CTscan dapat membantu diagnosis penyakit ini dengan akurat. Miokarditis Miokarditis terjadi pada 1-5% penderita demam tifoid sedangkan kelainan elektrokardiografi dapat terjadi pada 10-15% penderita. Pasien dengan miokarditis biasanya tanpa gejala kardiovaskular atau dapat berupa keluhan sakit dada, gagal jantung kongestif, aritmia, atau syok kardiogenik. Sedangkan perikarditis sangat jarang terjadi. Perubahan elektrokardiografi yang menetap disertai aritmia mempunyai prognosa yang buruk. Kelainan ini disebabkan oleh kuman S.typhi dan

miokarditis sring sebagai penyebab kematian. Biasanya dijumpai pada pasein yang sakit berat, keadaan akut dan fulminan. Manifestasi Neuropsikiatrik/Tifoid Toksik Manifestasi neuropsikiatrik dapat berupa delirium dengan atau tanpa kejang, semi-koma atau koma. Terkadang gejala demam tifoid diikuti suatu sindrom klinis berupa gangguan atau penurunan kesadaran akut (kesadaran berkabut, apatis, delirium, somolen, spoor atau koma) dengan atau tanpa disertai kelainan neurologis lainnya dan dalam pemeriksaan cairan otak masih dalam batas normal. Diduga faktorfaktor social ekonomi yag buruk, tigkat pendidikan yang rendah, ras, kebangsaan iklim, nutrisi, kebudayaan dan kepercayaan (adat) yang masih terbelakang ikut mempermudah terjadinya hal tersebut dan akibatnya meningkatkan angka kematian. 1. Penatalaksanaan Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid, yaitu: Istirahat dan Perawatan, dengan tujuan mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan Diet dan Terapi Penunjang (simtomatik dan suportif), dengan tujuan mengembalikan rasa nyaman dan kesehatan pasien secara optimal. Pemberian Anti mikroba, dengan tujuan menghentikan dan mencegah penyebaran kuman

Istirahat dan Perawatan Tirah baring dan perawatan profesional bertujuan untuk mencegah komplikasi. Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurang lebih selama 14 hari. Pasien dengan kesadaran yang menurun, posisi tubuhnya harus diubah-ubah pada waktu-waktu tertentu untuk menghindari komplikasi pneumonia hipostatik dan dekubitus. Diet dan Terapi Penunjang Di masa lampau, pasien demam tifoid diberi bubur saring kemudian bubur kasar dan akhirnya nasi sesuai dengan tingkat kesembuhan pasien. Pemberian bubur saring

tersebut dimaksudkan untuk menghindari komplikasi perdarahan usus atau perforasi usus; karena ada pendapat usus harus diistirahatkan. Banyak pasien tidak menyukai bubur saring, karena tidak sesuai dengan selera mereka. Karena mereka hanya makan sedikit keadaan umum dan gizi pasien semakin mundur dan masa penyembuhan menjadi lama. Beberapa peneliti menunjukkan bahwa pemberian makanan padat dini, yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (pantang sayuran dengan serat kasar) dapat diberikan dengan aman pada pasien demam tifoid. Karena ada juga pasien demam tifoid yang takut makan nasi, maka selain macam/bentuk makanan yang diinginkan, terserah pada pasien sendiri apakah mau makan bubur saring atau nasi dengan lauk pauk rendah selulosa. Pemberian Anti mikroba Obat-obat pilihan pertama adalah kloramfenikol, ampisilin/amoksisilin atau kotrimoksasol. Obat pilihan kedua adalah sefalosporin generasi III. Obat-obat pilihan ketiga adalah meropenem, azithromisin dan fluorokuinolon.

Kloramfenikol merupakan antibiotic berspektrum luas, efektif terhadap organisme gram positif dan negative meskipun penggunaannya terbatas karena toksik diberikan dengan dosis 50 mg/kg BB/hari, terbagi dalam 3-4 kali pemberian, oral atau intravena, selama 14 hari. Bilamana terdapat indikasi kontra pemberian kloramfenikol , diberi

ampisilin dengan dosis 200 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3-4 kali. Pemberian, intravena saat belum dapat minum obat, selama 21 hari, atau amoksisilin dengan dosis 100 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3-4 kali. Pemberian, oral/intravena selama 21 hari, atau kotrimoksasol dengan dosis (tmp) 8 mg/kbBB/hari terbagi dalam 2 kali pemberian, oral, selama 14 hari.

Pada kasus berat, dapat diberi seftriakson dengan dosis 50 mg/kg BB/kali dan diberikan 2 kali sehari atau 80 mg/kg BB/hari, sekali sehari, intravena, selama 5-7

hari. Pada kasus yang diduga mengalami MDR (Multi Drug Resistance), maka pilihan antibiotika adalah meropenem, azithromisin dan fluoroquinolon. Obat-obat simptomatik Antipiretik Antipiretik tidak perlu diberikan secara rutin pada setiap pasien demam tifoid, karena tidak banyak berguna 1. Pencegahan Demam Tifoid Pencegahan demam tifoid diupayakan melalui berbagai cara: umum dan khusus/imunisasi. Termasuk cara umum antara lain adalah peningkatan higiene dan sanitasi karena perbaikan higiene dan sanitasi saja dapat menurunkan insidensi demam tifoid. (Penyediaan air bersih, pembuangan dan pengelolaan sampah). Menjaga kebersihan pribadi dan menjaga apa yang masuk mulut (diminum atau dimakan) tidak tercemar Salmonella typhi.Pemutusan rantai transmisi juga penting yaitu pengawasan terhadap penjual (keliling) minuman/makanan. Pada saat ini telah ada di pasaran berbagai vaksin untuk pencegahan demam tifoid. Vaksin chotypa dari kuman dimatikan (whole cell) tidak digunakan lagi karena efek samping yang terlalu berat dan daya lindungnya pendek. Dua vaksin yang aman dan efektif telah mendapat lisensi dan sudah ada di pasaran. Satu vaksin berdasar subunit antigen tertentu dan yang lain berdasar bakteri (whole cell) hidup dilemahkan. Vaksin pertama, mengandung Vi polisakarida, diberikan cukup sekali, subcutan atau intramuskular. Diberikan mulai usia > 2 tahun. Re-imunisasi tiap 3 tahun. Kadar protektif bila mempunyai antibodi anti-Vi 1 g/ml. Vaksin Ty21a hidup dilemahkan diberikan secara oral, bentuk kapsul enterocoated atau sirup. Diberikan 3 dosis, selang sehari pada perut kosong. Untuk anak usia 5 tahun. Reimunisasi tiap tahun. Tidak boleh diberi antibiotik selama kurun waktu 1 minggu sebelum sampai 1 minggu sesudah imunisasi.