DEMAM TIFOID

5
Patofisiologi demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks mengikuti ingesti organisme Yaitu : (1) penempelan dan invasi sel-sel M Peyer’s patch, (2) bakteri bertahan hidup dan bermultiplikasi di makrofag Peyer’s patch, nodus limfatikus mesenterikus, dan organ-organ ekstra intestinal sistem retikuloendotelial, (3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah, dan (4) produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam lumen intestinal (Soedarmo et all., 2010). Bakteri S.thypi dan S.parathypi masuk ke dalam tubuh manusia melalui makanan atau minuman terkontaminasi. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung dengan pH <2, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel M) dan selanjutnya ke lamina propia (Sudoyo et all., 2009). Sel-sel M adalah sel epitel khusus yang melapisi Peyer’s patch, merupakan tempat internalisasi S.thypi dan S.paratyphi (Soedarmo et all., 2010). Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh makrorag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plak Peyeri ileum distal kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika (Sudoyo et all., 2009). Setelah melalui periode tertentu (periode inkubasi), yang lamanya ditentukan oleh jumlah dan virulensi kuman serta respon imun pejamu mala S.typhi dan S.paratyphi akan keluar dari habitatnya (Soedarmo et all., 2010). Selanjutnya keluar melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang asimptomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sitemik (Sudoyo et all., 2009). Dengan cara ini organisme dapat mencapai organ manapun, akan tetapi tempat yang disukai adalah hati, limpa, sumsum tulang, kandung empedu dan Peyer’s patch dari ileum terminal (Soedarmo et all., 2010). Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan bersama cairan empedu dieksresikan secara intermiten ke dalam lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus (Sudoyo et all., 2009). Kuman pathogen-berikatan dengan susunan molekuler (PAMPs) seperti flagella dan lipopolisakarida yang masih bertahan di dalam dapat dikenali makrofag melalui kuman tool-like receptor (TLR)-5 dan TLR-4/MD2/CD-14 complex, makrofag dan sel epitel intestinal kemudian mengaktivasi sel T dan neutrofil serta interleukin 8 (IL-8), sehingga terjadilah proses

Transcript of DEMAM TIFOID

Page 1: DEMAM TIFOID

Patofisiologi demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks mengikuti ingesti

organisme Yaitu : (1) penempelan dan invasi sel-sel M Peyer’s patch, (2) bakteri

bertahan hidup dan bermultiplikasi di makrofag Peyer’s patch, nodus limfatikus

mesenterikus, dan organ-organ ekstra intestinal sistem retikuloendotelial, (3)

bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah, dan (4) produksi enterotoksin yang

meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan menyebabkan keluarnya

elektrolit dan air ke dalam lumen intestinal (Soedarmo et all., 2010).

Bakteri S.thypi dan S.parathypi masuk ke dalam tubuh manusia melalui makanan

atau minuman terkontaminasi. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung

dengan pH <2, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang

biak. Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman

akan menembus sel-sel epitel (terutama sel M) dan selanjutnya ke lamina propia

(Sudoyo et all., 2009). Sel-sel M adalah sel epitel khusus yang melapisi Peyer’s

patch, merupakan tempat internalisasi S.thypi dan S.paratyphi (Soedarmo et all.,

2010). Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh makrorag.

Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya

dibawa ke plak Peyeri ileum distal kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika

(Sudoyo et all., 2009).

Setelah melalui periode tertentu (periode inkubasi), yang lamanya ditentukan oleh

jumlah dan virulensi kuman serta respon imun pejamu mala S.typhi  dan

S.paratyphi akan keluar dari habitatnya (Soedarmo et all., 2010). Selanjutnya

keluar melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk

ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang asimptomatik)

dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa.

Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang

biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah

lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda

dan gejala penyakit infeksi sitemik (Sudoyo et all., 2009). Dengan cara ini

organisme dapat mencapai organ manapun, akan tetapi tempat yang disukai adalah

hati, limpa, sumsum tulang, kandung empedu dan Peyer’s patch dari ileum terminal

(Soedarmo et all., 2010).

Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan

bersama cairan empedu dieksresikan secara intermiten ke dalam lumen usus.

Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam

sirkulasi setelah menembus usus (Sudoyo et all., 2009). Kuman pathogen-berikatan

dengan susunan molekuler (PAMPs) seperti flagella dan lipopolisakarida yang

masih bertahan di dalam dapat dikenali makrofag melalui kuman tool-like receptor

(TLR)-5 dan TLR-4/MD2/CD-14 complex, makrofag dan sel epitel intestinal

kemudian mengaktivasi sel T dan neutrofil serta interleukin 8 (IL-8), sehingga

terjadilah proses inflamasi. Kuman S.typhimemiliki fimbriae yang mendukung untuk

terjadinya penempelan pada epitel. Selain itu, S.typhi juga memiliki kapsul Vi yang

menutupi PAMPs yang berfungsi untuk melawan neutrofil (Brusch et all., 2009).

Proses yang sama terulang kembali yang selanjutnya akan menimbulkan gejala

reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut,

Page 2: DEMAM TIFOID

instabilitas vaskular, ganguan mental dan koagulasi. Di dalam plak Peyeri,

makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia jaringan

(Salmonellaintramakrofag menginduksi reaksi hipersensitifitas tipe lambat,

hiperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi

akibat erosi pembuluh darah sekitar plak Peyeri yang sedang mengalami nekrosis

dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di dinding usus. Proses

patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa

usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoksin dapat menempel di reseptor

sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan

neuropsikiatrik, kardiovaskuler, pernapasan, dan gangguan organ lainnya (Sudoyo

et all., 2009).

Peran endotoksin dalam patogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut terbukti

dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui

pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin dari Salmonellamenstimulasi makrofag

dalam hati, limpa, folikel limpoma usus halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk

memproduksi sitokin dan zat-zat lain. Produk dari makrofag inilah yang dapat

menimbulkan nekrosis sel, sistem vaskular yang tidak stabil, demam, depresi

sumsum tulang, kelainan pada darah dan juga menstimulasi sistem imunologik.

Pada demam tifoid terjadi respon imun humoral maupun seluler baik di tingkat

lokal (gastrointestinal) maupun sistemik. Akan tetapi, bagaimana mekanisme

imunologik ini dalam menimbulkan kekebalan maupun eliminasi S.typhi tidak

diketahuo dengan pasti. Diperkirakan bahwa imunitas seluler lebih berperan.

Penurunan jumlah limfosit T ditemukan pada pasien sakit berat dengan demam

tifoid. Karier memperlihatkan gangguan reaktivitas seluler terhadap

antigen S.typhipada uji hambatan migrasi leukosit. Pada karier, sejumlah besar

hasil virulen melewati usus setiap harinya dan dikeluarkan dalam tinja, tanpa

memasuki epitel pejamu(Soedarmo et all., 2010).

Page 3: DEMAM TIFOID

Gambar 1. Patofisiologi Demam Tifoid(http.www.exomedindonesia.com)

BAB III. TANDA DAN GEJALA DEMAM TIFOID

Gejala  demam tifoid sering kali muncul setelah 1-3 minggu terpapar mulai dari tingkat sedang hingga parah. Gejala klasik yang muncul mulai dari demam tinggi, malaise, sakit kepaa, konstipasi atau diare, rose-spot pada dada, dan hepatosplenomegali (WHO, 2010). Rose spot adalah suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1-5 mm, sering kali dijumpai pada daerah abdomen, thoraks, ekstremitas dan punggung pada orang kulit putih, tetapi tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia. Ruam ini muncul pada hari ke 7-10 dan bertahan selama 2-3 hari (Soedarmo et all., 2010). Jika tidak ditangani, demam tifoid bisa berkembang menjadi delirium, penurunan kecerdasan, perdarahan intestinal, perforasi usus, dan kematian (Brusch et all., 2009). Sebagian besar anak memiliki lidah tifoid, yaitu di bagian tengah lidah kotor dan di bagian pinggir hiperemis, meteorismus, hepatomegali lebih sering terjadi daripada splenomegali (Pudjiadi, et all., 2010).

Masa tunas atau masa inkubasi demam tifoid pada dewasa berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala klinis yang timbul sangat bervariasi, dari ringan hingga berat, dari asimtomatik hingga gambaran penyakit khas disertai komplikasi. Pada minggu pertama ditemukan gejala klasik yang sama dengan penyakit infeksi akut lain. Sering kali juga ditambah anoreksi, mual, muntah, batuk dan epistaksis. Sifat demam, meningkat perlahan dan terutama pada sore hingga malam hari. Dalam minggu kedua gejala-gejala klasik menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardia relative (peningkatan suhu 1oC tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali per menit), lidah berselaput disertai tremor, hepatomegali, splenomegali, dan gejala penurunan kesadaran lain (Sudoyo et all., 2009). Tetapi bradikardi reltif jarang ditemui ppada anak (Soedarmo et all., 2010).

Pada anak, periode inkubasi demam tifoid antara 5-40 hari dengan rata-rata 10-14 hari. Gejala klinis ringan tidak memerlukan perawatan sedangkan gejala klinis berat harus di rawat. Pada era pemakaian antibiotic seperti sekarang ini, penampilan demam pada kasus demam tifoid mempunyai istilah khusu yaitu step-ladder temperature chart yang ditandai dengan demam timbul insidious, kemudian naik bertahap tiap harinya dan mencapai titik tertinggi pada minggu ke-4. Demam turun perlahan secara lisis, kecuali apabila terjadi fokus infeksi seperti kolesistisis, abses jaringan lunak maka demam akan menetap. Banyak orang tua pasien melaporkan bhwa demam demam lebih tinggi pada sore hingga malam hari, dan turun pada pagi hari. Bahkan banyak juga dijumpai penderita demam tifoid yang dating

Page 4: DEMAM TIFOID

dengan syok hipovolemik sebagai akibat kurang masukan cairan dan makanan (Soedarmo et all., 2010).

Pembagian manifestasi klinis yang muncul dalam empat minggu dadalah sebagai berikut. Pada minggu pertama manifestasi telah mulai muncul seperti nyeri perut difusa. Plak Peyer dan lumen usus yang lebar menyebabkan konstipasi pada akhir durasi nyeri. Gejala lain seperti batuk kering, nyeri kepala bagian frontal, delirium, stupor dan malaise juga ditemua. Akhir dari minggu pertama, plateau demam mencapai 19-40oC. Beberapa pasien dapat dijumpai rose spot. Pada minggu kedua, gejala dan tanda yang ada semakin progresif. Abdomen menjadi terdistensi dan splenomegali halur muncul. Bradikardi relatif dan pulse dicrotic (denyut dua kali, denyut kedua lebih lemah dari denyut pertama) mungkin muncul. Pada minggu ketiga, masih demam dan semakin parah dengan anoreksia serta penurunan berat badan yang signifikan. Konjungtiva sudah terinfeksi, pasien menjadi takipnea dangan ronki pada dasar paru Distensi perut semakin parah. Beberapa pasien menjadi diare barwarna hijau kekuningan, encer seperti pea soup.  Penurunan kesadaran ditemukan, pasien menjadi apati, konfusi dan kadang psikosis. Plak Peyeri nekrosis sehingga mengakibatkan perforasi usus dan peritonitis. Individu yang bertahan hingga minggu ke empat, demam, status mendal dan distensi perut perlahan berkurang dalam beberapa hari. Komplikasi intertinal dan neurologis masih bertahan jika tidak segera ditangani (Brusch et all., 2009)