DEMAM TIFOID

34
47 DEMAM TIFOID A. Epidemiologi Penyakit demam tifoid termasuk penyakit menular. Kelompok penyakit menular ini merupakan penyakit-penyakit yang mudah menular dan dapat menyerang banyak orang, sehingga dapat menimbulkan wabah. Paling banyak ditemukan di negara Chile, Peru, India, Pakistan, Indonesia, Nigeria, dan Afrika Utara dan negara-negara lain yang memiliki sanitasi yang buruk dan persediaan air minum yang tidak terlindungi. (3,4,5) Insidens demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait dengan sanitasi lingkungan; di daerah rural (Jawa Barat) 157 kasus per 100.000 penduduk, sedangkan di daerah urban ditemukan 760-810 per 100.000 penduduk. Perbedaan insiden di perkotaan berhubungan erat dengan penyediaan air bersih yang belum memadai serta sanitasi lingkungan dengan pembuangan sampah yang kurang memenuhi syarat kesehatan lingkungan.

description

ws

Transcript of DEMAM TIFOID

Page 1: DEMAM TIFOID

47

DEMAM TIFOID

A. Epidemiologi

Penyakit demam tifoid termasuk penyakit menular. Kelompok

penyakit menular ini merupakan penyakit-penyakit yang mudah menular dan

dapat menyerang banyak orang, sehingga dapat menimbulkan wabah. Paling

banyak ditemukan di negara Chile, Peru, India, Pakistan, Indonesia, Nigeria,

dan Afrika Utara dan negara-negara lain yang memiliki sanitasi yang buruk

dan persediaan air minum yang tidak terlindungi. (3,4,5) Insidens demam tifoid

bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait dengan sanitasi lingkungan; di

daerah rural (Jawa Barat) 157 kasus per 100.000 penduduk, sedangkan di

daerah urban ditemukan 760-810 per 100.000 penduduk. Perbedaan insiden di

perkotaan berhubungan erat dengan penyediaan air bersih yang belum

memadai serta sanitasi lingkungan dengan pembuangan sampah yang kurang

memenuhi syarat kesehatan lingkungan.

Stastistik yang terbaru mengemukakan bahwa terjadi setidaknya 16

juta kasus baru demam tifoid setiap tahunnya di seluruh dunia dengan 600.000

kematian. Angka kejadian, penyebaran dan penderita demam typhoid berbeda

pada negara berkembang dengan negara maju. Pada negara maju angka

kejadian jauh lebih sedikit, di Amerika Serikat dilaporkan 400 kasus/tahun

dalam perbandingan 0.2 / 100.000 populasi. Di daerah selatan Eropa antara

4.3 – 14.5 / 100.000 populasi. Sedangkan pada Negara berkembang dapat

Page 2: DEMAM TIFOID

48

mencapai 500 kasus dalam 100.000 populasi dan angka kematian yang tinggi.

(6)

Demam tifoid dan paratifoid jarang ditemukan secara epidemik, lebih

bersifat sporadis, terpencar-pencar di suatu daerah, dan jarang terjadi lebih

dari 1 kasus pada orang-orang serumah. Di daerah endemik, transmisi terjadi

melalui air yang tercemar Salmonella typhi, sedangkan makanan yang

tercemar oleh karier merupakan sumber penularan tersering di daerah non-

endemik.

Gambar 1. Epidemiologi Tifoid

B. Etiologi

Taksonomi genus Salmonella sangat rumit. Salmonella termasuk

kelompok Enterobacteriaceae dan terbagi atas beberapa serogrup berdasarkan

antigen somatik (O). Antigen tersebut terdiri dari lipopolisakarida, yang

membentuk lapisan luar dari basil gram negatif ini. Telah ditemukan lebih dari

40 serotipe, dan 98%-nya diisolasi hanya pada manusia dengan grup A sampai

Page 3: DEMAM TIFOID

49

E. Ada juga yang membagi serotipe berdasarkan antigen flagelnya (H) dan

terdapat 1800 strain. Serotipe yang paling sering menyebabkan enteric fever

adalah serotipe D, dan telah dikenali adanya antigen tambahan pada serogrup

ini yaitu antigen kapsul (Vi) (4)

Gambar 2. Klasifikasi Serogrup/ Serotipe Salmonella

Salmonella typhi merupakan basil gram negatif, bergerak dengan

rambut getar, tidak berspora, tidak berkapsul. Mempunyai antigen somatik (O)

yang terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein,

envelope antigen (Vi) yang terdiri dari polisakarida dan protein membran

hialin. Mempunyai makromolekuler lipopolisakarida kompleks yang

membentuk lapis luar dari dinding sel yang dinamakan endotoksin.

Salmonella typhi juga memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan

resitensi terhadap multipel antibiotik. (1,5,6,7)

Demam paratifoid disebabkan oleh organisme yang termasuk dalam

spesies Salmonella Enteridis, yaitu Salmonella enteridis bioserotipe paratyphi

Page 4: DEMAM TIFOID

50

A, Salmonella enteridis bioserotipe paratyphi B, Salmonella enteridis

bioserotipe paratyphi C. Kuman-kuman ini lebih sering dikenal sebagai

Salmonella paratyphi A, Salmonella schottmuelleri, dan Salmonella

hirschfeldii. (1)

C. Cara Penularan

Ada dua sumber penularan Salmonella typhi: pasien dengan demam

tifoid dan yang lebih sering karier. Orang-orang tersebut mengekskresi 109

sampai 1011 kuman per gram tinja. Carier adalah orang yang sembuh dari

demam tifoid dan masih terus mengekskresikan S. typhi dalam tinja dan air

kemih selama lebih dari satu tahun. Disfungsi kandung empedu merupakan

predisposisi terjadinya karier. Manusia merupakan reservoir alami dari

Salmonella typhi. Penularan dapat langsung atau tidak langsung . Penularan

paling sering melalui makan dan air yang terkontaminasi kuman Salmonella.

Higienis dan sanitasi yang buruk meningkatkan penyebaran kuman

Salmonella dan ini banyak terjadi di negara berkembang. Banyak kontaminasi

makanan dan minuman didapat dari lalat yang hinggap dan membawa kuman

tifoid. Transmisi kongenital dari demam tifoid dapat terjadi melalui infeksi

transplasenta oleh ibu yang bakteremia kepada janin. (3,5,7)

D. Patogenesis

1. Masuknya bakteri ke dalam tubuh

Page 5: DEMAM TIFOID

51

Bakteri Salmonella typhi masuk ke dalam tubuh lewat mulut

melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi. Dibutuhkan jumlah

bakteri 105-109 untuk dapat menimbulkan infeksi. Sebagian bakteri akan

mati oleh asam lambung. Bakteri yang tetap hidup akan melewati lambung

melewati usus halus (ileum dan jejunum), bila respons imunitas humoral

mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan menembus dinding usus

dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang

biak dan difagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan

berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawah ke plaque

Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika.

Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam

makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia

pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ

retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini

kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di

luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi

darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai

tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.

Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kantung empedu,

berkembang biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara

intermiten ke dalam lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui

feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus.

Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi

Page 6: DEMAM TIFOID

52

dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan

beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala

reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, myalgia, sakit kepala,

sakit perut, instabilitas vaskular, gangguan mental, dan koagulasi.

Di dalam plaque Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi

hiperplasia jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi

hipersensitivitas tipe lambat, hiperplasia jaringan dan nekrosis organ).

Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar

plaque Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hyperplasia akibat

akumulasi sel-sel mononuclear di dinding usus. Proses patologis jaringan

limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan

dapat mengakibatkan perforasi.

2. Endotoksin

Semula disangka demam dan gejala toksemia pada demam tifoid

disebabkan oleh endotoksemia. Tapi kemudian berdasarkan penelitian

eksperimental disimpulkan bahwa endotoksemia bukan merupakan

penyebab utama demam dan gejala-gejala toksemia pada demam tifoid.

Endotoksin Salmonella typhi berperan dalam proses inflamasi lokal pada

jaringan tempat kuman tersebut berkembang biak. Peranannya belum jelas,

diduga endotoksin menstimulasi makrofag di dalam hati, limpa folikel

limfoma usus halus dan kelenjar limfe mesenteri mesenterika untuk

memproduksi sitokin dan zat-zat lain. Produk dari makrofag inilah yang

Page 7: DEMAM TIFOID

53

menyebabkan nekrosis sel, sistem vaskular yang instabil, demam, depresi

sumsum tulang, kelainan pada darah dan juga menstimulasi sistem

imunologik. (1, 3,6,7)

3. Respon imunologik

Pada demam tifoid terjadi respon imun humoral maupun selular baik di

tingkat lokal (gastrointestinal) maupun sistemik, tetapi mekanismenya

belum diketahui dengan pasti, Imunitas selular lebih berperan. (5)

E. Patologi

Pada stadium awal infeksi, ileum menjadi edematosa dan hiperemis,

dengan invasi sel-sel mononuklear dan menyebabkan limfadenopati. Pada

stadium lanjut, seluruh usus akan mengalami pembesaran dan mukosanya

mengalami erosi. Semakin lama, dinding usus akan menjadi tipis, dan dapat

terjadi perdarahan. (8)

Gambar 3. Gambaran Histopatologi Usus Halus yang Terinfeksi

Page 8: DEMAM TIFOID

54

F. Manifestasi Klinis

Masa inkubasi biasanya 7 – 14 hari, tapi bisa mencapai 3 – 30 hari

tergantung dari sumber penularan, cara penularan, status nutrisi, status imun.

Gejala-gejala yang timbul amat bervariasi, dari penyakit ringan yang tidak

terdiagnosis sampai gambaran penyakit yang khas dengan komplikasi dan

kematian. Selama masa inkubasi mungkin ditemukan gejala prodromal seperti

penyakit infeksi akut pada umumnya, berupa rasa tidak enak badan, nyeri

kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare,

perasaan tidak enak diperut, batuk, dan epistaksis. (1,2,3)

Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat. Sifat

demam adalah meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore hingga

malam hari. Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa

demam bradikardia relatif (peningkatan suhu 1oC tidak diikuti peningkatan

denyut nadi 10 kali permenit), lidah kotor yang ditutupi selaput kecoklatan

kotor, ujung dan tepi kemerahan, jarang disertai tremor. Hati dan limpa

membesar dan nyeri pada saat perabaan, meteorismus, gangguan kesadaran

berupa somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis. Roseola (jarang

ditemukan di Indonesia). Biasanya terdapat konstipasi, tetapi mungkin normal

atau mungkin diare. (2,5,6)

Page 9: DEMAM TIFOID

55

Gambar 4. Gambaran Klinis Demam Tifoid

Tempat yang peling sering terinfeksi kuman Salmonella adalah distal

ileum, tetapi tidak jarang usus besar juga terlibat. Pasien dengan colitis berat

akan mengalami diare dengan disertai darah. Pada pemeriksaan sigmoidoskopi

sering ditemukan daerah yang hiperemis dan ulserasi mukosa. Pada

pemeriksaan barium enema menunjukkan transverse ridging, edema mukosa.

Biasanya tempat yang terkena adalah kolon bagian disatal dan bagian

transversal. (8)

Gambar 5. Gambaran Foto Roentgen Colitis Salmonella

Page 10: DEMAM TIFOID

56

G. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Hematologis

Pada pemeriksaan darah tepi dapat ditemukan anemia normokrom

normositik akibat perdarahan usus atau supresi sumsum tulang, lekopenia,

limfositosis relatif, aneosinofilia, dan bila terjadi abses piogenik bisa

terjadi leukositosis. Trombositopenia sering dijumpai, kadang-kadang

berlangsung beberapa minggu. (2,5)

2. Pemeriksaan SGOT dan SGPT

SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi kembali normal

setelah sembuhnya demam tifoid. Kenaikan SGOT dan SGPT ini tidak

memerlukan pembatasan pengobatan. (3)

3. Biakan Darah(3,5)

Biakan darah positif pada 40-60% kasus yang diperiksa pada

minggu pertama sakit, sedangkan biakan feses ataupun urin akan positif

setelah minggu pertama. Biakan dari sum-sum tulang akan positif pada

penyakit stadium lanjut, dan merupakan pemeriksaan yang paling sensitif.

Biakan darah positif memastikan demam tifoid, tetapi biakan darah negatif

tidak menyingkirkan demam tifoid. Hal ini disebabkan karena hasil

biakan darah bergantung pa beberapa faktor, antara lain:

a. Tehnik pemeriksaan laboratorium

Page 11: DEMAM TIFOID

57

Hal ini tergantung tehnik dan media pembiakan yang digunakan. Bila

darah yang dibiak terlalu sedikit hasil biakan bisa negatif, terutama

pada orang yang sudah mendapatkan pengobatan spesifik. Selain itu,

darah harus langsung ditanam pada media biakan sewaktu berada di

sisi pasien dan langsung dikirim ke laboratorium. Waktu pengambilan

darah paling baik adalah saat demam tinggi pada waktu bakteriemia

berlangsung.

b. Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit

Pada demam tifoid, biakan darah terhadap S. typhi terutama positif

pada minggu pertama penyakit dan berkurang pada mingu-minggu

berikutnya. Pada waktu kambuh, biakan bisa positif lagi.

c. Vaksinasi di masa lampau

Vaksinasi terhadap demam tifoid di masa lampau menimbulkan

antibodi dalam darah pasien. Antibodi ini dapat menekan bakteriemia,

hingga biakan darah mungkin negatif.

d. Pengobatan dengan anti mikorba

Bila pasien sebelum pembiakan darah sudah mendapat obat

antimikroba, pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan

hasil biakan mungkin negatif.

4. Kepekaan S. typhi terhadap obat antimikroba

Sejak tahun 1975, S. typhi yang resisten terhadap kloramfenikol

dilaporkan secara sporadik di beberapa daerah di Indonesia, tetapi

Page 12: DEMAM TIFOID

58

persentasinya tidak meningkat. Penelitian di Laboratorium Kesehatan

Perum Bio Farma menunjukkan bahwa selama 1984 sampai 1990 S. typhi

masih 100% sensitif terhadap kloramfenikol. 83,3%-100% sensitif

terhadap ampisilin, dan 97%-100% sensitif terhadap kotrimoksazol. (3)

5. Uji Widal

Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi

(aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap Salmonella terdapat dalam

serum pasien demam tifoid, juga pada orang yang pernah ketularan

Salmonella dan para orang yang pernah divaksinasi terhadap demam

tifoid. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspensi Salmonella

yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud uji widal

adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum pasien yang

disangka menderita demam tifoid. (3,5)

Akibat infeksi oleh S.typhi, pasien membuat antibodi (aglutinin), yaitu: (3)

a. Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal dari

tubuh kuman)

b. Aglutinin H, karena rangsangan antigen H (berasal dari flagela kuman)

c. Aglutinin Vi, karena rangsangan antigen Vi (berasal dari simpai

kuman)

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang

ditentukan titernya untuk diagnosis. Makin tinggi titernya, makin besar

kemungkinan pasien menderita demam tifoid. Pada infeksi yang aktif,

Page 13: DEMAM TIFOID

59

titer uji Widal akan meningkat pada pemeriksaan ulang yang dilakukan

selang paling sedikit 5 hari(3,5,6)

Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama

demam, kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada

minggu ke—empat, dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase

akut mula-mula timbul aglutinin O, kemudian diikuti dengan aglutinin H.

Pada orang yang telah sembuh, aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-

6 bulan sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9-12 bulan.

Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ≥ 1/40 dengan

memakai uji widal slide aglutination menunjukkan nilai ramal positif 96

%, apabila negatif tidak menyingkirkan. Menurut beberapa pendapat ahli

bahwa apabila aglutini O sekali periksa ≥ 1/320 atau titer antibodi H ≥

1/640 dengan gambaran klinis yang khas atau pada titer sepasang terjadi

kenaikan 4 kali selama 2-3 minggu maka diagnosis demam tifoid dapat

ditegakkan. Aglutinin H diakitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi

masa lampau, sedangkan Vi aglutinin dipakai untuk deteksi karier. Pada

beberapa pasien, uji Widal tetap negatif pada pemeriksaan ulang,

walaupun biakan darah positif. (1,6,9)

Faktor-faktor yang mempengaruhi uji Widal:

a. Faktor-faktor yang berhubungan dengan pasien:

1) Keadaan umum

Gizi buruk menghambat pembentukan antibodi

Page 14: DEMAM TIFOID

60

2) Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit

Aglutinin baru dijumpai dalam darah setelah pasien sakit satu

minggu dan mencapai puncaknya pada minggu kelima atau

keenam penyakit.

3) Pengobatan dini dengan antibiotik

Beberapa peneliti berpendapat bahwa pengobatan dini dengan obat

antimikroba menghambat pembentukan antibodi.

4) Penyakit-penyakit tertentu

Pada beberapa penyakit yang menyertai demam tifoid tidak terjadi

pembentukan antibodi, misalnya pada agamaglobulinemia,

leukimia, dan karsinoma lanjut.

5) Obat-obat imunosupresif atau kortikosteroid

Obat-obat ini menghambat pembentukan antibodi karena supresi

sistem retikuloendotelial.

6) Vaksinasi dengan kotipa atau tipa

Pada seorang yang divaksinansi, titer aglutinin O dan H meningkat.

Aglutinin O biasanya menghilang setelah 6 bulan samapi 1 tahun,

sedangkan titer aglutinin H menurun perlahan-lahan selama 1 atau

2 tahun. Oleh karena itu, titer aglutinin H pada seorang yang

pernah divaksinasi kurang mempunyai nilai diagnostik.

7) Infeksi klinis atau subklinis oleh Salmonella sebelumnya.

Keadaan ini dapat menyebabkan uji Widal positif, walaupun

dengan titer rendah.

Page 15: DEMAM TIFOID

61

8) Reaksi anamnestik

Reaksi anamnestik adalah keadaan dimana terjadi peningkatan titer

aglutinin terhadap S.typhi karena penyakit infeksi dengan demam

yang bukan demam tifoid pada seseorang yang pernah divaksinasi

atau ketularan Salmonella di masa lalu. (3)

b. Faktor-faktor teknis

1) Aglutinasi silang

Karena beberapa spesies Salmonella dapat mengandung antigen O

dan H yang sama, maka reaksi aglutinasi pada satu spesies dapat

juga menimbulkan reaksi aglutinasi pada spesies yang lain. Oleh

karena itu, spesies Salmonella penyebab infeksi tidak dapat

ditentukan dengan uji Widal.

2) Konsentrasi suspensi antigen

Konsentrasi suspensi antigen yang digunakan pada uji Widal akan

mempengaruhi hasilnya.

3) Strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen

Ada peneliti yang berpendapat bahwa daya aglutinasi suspensi

antigen dari strain Salmonella setempat lebih baik daripada

suspensi antigen dari strain lain. (3)

6. Tubex Test

Page 16: DEMAM TIFOID

62

Uji TUBEX merupakan uji semi-kuantitatif kolometrik yang

mudah dan cepat, hanya membutuhkan waktu singkat untuk dilakukan

(kurang lebih 5 menit). Hasil positif uji tubex ini menunjukkan terdapat

infeksi Samonella serogrup D walau tidak secara spesifik menunjuk pada

S.typhii. Infeksi oleh S.parathphii akan memberi hasil negatif. Secara

imunologi, antigen bersifat imunodominan. Antigen ini dapat merangsang

respons imun secara independen terhadap timus, dan merangsang mitosis

sel B tanpa bantuan dari sel T. Karena sifat-sifat tersebut, respon terhadap

antigen berlangsung cepat sehingga deteksi terhadap anti dapat dilakukan

lebih dini, yaitu pada hari ke 4-5 untuk infeksi primer dan hari ke 2-3

untuk infeksi sekunder. Uji tubex hanya dapat mendeteksi IgM dan tidak

dapat mendeteksi IgG sehingga tidak dapat dipergunakan sebagai

modalitas untuk mendeteksi infeksi lampau.

Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunakan 3 macam

komponen, meliputi: tabung berbentuk V, yang juga berfungsi untuk

meningkatkan sensitivitas. Reagen A yang mengandung partikel magnetik

yang diselubungi antigen S.typhii O.Reagen B, yang mengandung partikel

lateks berwarna biru yang diselubungi dengan antibodi monoklonal

spesifik untuk antigen O.

Komponen ini stabil disimpan selama satu tahun dalam suhu 40oC

dan selama beberapa minggu dalam suhu kamar. Di dalam tabung satu

tetes serum dicampur selama kurang lebih 1 menit dengan satu tetes

reagen A. Dua tetes reagen B kemudian dicampurkan dan didiamkan

Page 17: DEMAM TIFOID

63

selama 1-2 menit. Tabung kemudian diletakkan pada rak tabung yang

mengandung magnet dan didiamkan. Interpretasi hasil dilakukan

berdasarkan warna larutan campuran yang dapat bervariasi dari kemerahan

hingga kebiruan.

7. Uji Typhidot

Dapat mendeteksi antibody IgM dan IgG yang terdapat pada

protein membrane luar Salmonella typhi. Hasil positif pada uji typhidot

didapatkan 2-3 hari setelah infeksi dan dapat mengidentifikasi secara

spesifik antibody IgM dan IgG terhadap antigen S. typhi.

8. Uji IgM Dipstick

Pemeriksaan ini dapat secara khusus mendeteksi antibody IgM

spesifik terhadap S. typhi pada spesimen serum atau whole blood. Uji ini

menggunakan strip yang mengandung atigen lipopolisakarida (LPS) S.

typhoid dan anti IgM (sebagai kontrol), reagen deteksi yang mengandung

antibody anti IgM yang dilekati dengan lateks pewarna, cairan membasahi

strip sebelum diinkubasi dengan reagen dan serum pasien, tabung uji.

Secara kuantitatif, diberikan penilaian terhadap garis uji dengan

membandingkannya dengan reference strip.

Page 18: DEMAM TIFOID

64

9. Kultur Darah

Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan

tetapi hasil negative tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin

disebabkan beberapa hal sebagai berikut:

a. Telah mendapat terapi antibiotik.

b. Volume darah yang kurang (diperlukan kurang lebih 5 cc darah).

Darah yang diambil sebaiknya bedside langsung dimasukkan ke dalam

media cair empedu (oxgall)

c. riwayat vaksinasi

d. pengambilan darah setelah minggu pertama, pada saat agglutinin

semakin meningkat.

H. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis berupa demam,

gangguan gastrointestinal, dan mungkin disertai perubahan atau gangguan

kesadaran. Diagnosis pasti dapat ditegakkan melalui isolasi S. Typhi dari darah

pada 2 minggu sakit, dapat juga dengan biakan spesimen empedu yang

hasilnya cukup memuaskan. (5,6,9)

I. Diagnosa Banding

Demam tifoid dapat didiagnosa banding dengan demam paratifoid A,

B, atau C, infeksi dengue, malaria, tuberkulosis, atau influenza. (2)

Page 19: DEMAM TIFOID

65

J. Penatalaksanaan

1. Perawatan

Pasien demam tifoid perlu dirawat di rumah sakit untuk isolasi,

observasi, dan pengobatan. Tirah baring total selama demam sampai

dengan 2 minggu normal kembali. Seminggu kemudian boleh duduk dan

selanjutnya berdiri dan berjalan. Maksud tirah baring adalah untuk

mencegah terjadinya komplikasi perdarahan usus atau perforasi usus.

Mobilisasi pasien perlu dilakukan secara bertahap, sesuai dengan pulihnya

kekuatan pasien. (2,3,5)

Pasien dengan kesadaran yang menurun, posisi tubuhnya harus

diubah-ubah pada waktu-waktu tertentu untuk menghindari komplikasi

pneumonia hipostatik dan ulkus dekubitus. Defekasi dan buang air kecil

perlu diperhatikan karena kadang-kadang terjadi obstipasi dan retensi air

kemih. (3,5)

2. Diet

Di masa lampau, pasien demam tifoid diberi bubur saring,

kemudian bubur kasar, dan akhirnya nasi sesuai dengan tingkat

kesembuhan pasien. Pemberian bubur saring tersebut dimaksudkan untuk

menghindari komplikasi perdarahan usus atau perforasi usus. Banyak

pasien tidak menyukai bubur saring, karena tidak sesuai dengan selera

mereka. Karena mereka hanya makan sedikit, keadaan umum dan gizi

pasien semakin mundur dan masa penyembuhan menjadi lama. (3,5,9)

Page 20: DEMAM TIFOID

66

Makan lunak, yang mudah dicerna dengan jumlah kalori dan

protein sesuai kebutuhan harian. Tidak boleh mengkonsumsi makanan

yang mengandung banyak serat, tidak merangsang, ataupun yang dapat

menimbulkan banyak gas. Beberapa peneliti menunjukkan bahwa

pemberian makanan padat dini, yaitu nasi dengan lauk pauk rendah

selulosa (pantang sayuran dengan serat kasar) dapat diberikan dengan

aman pada pasien demam tifoid. Carian diberikan sesuai kebutuhan harian.

Bila tidak dapat peoral beri cairan infuse dextrose 5% dan elektrolit sesuai

dengan kebutuhan harian. (2,3,5)

3. Obat-obatan

Obat-obat anti mikroba yang sering digunakan, antara lain: (5,9)

a. Kloramfenikol

Di Indonesia, kloramfenikol masih merupakan obat pilihan utama untuk

demam tifoid. Belum ada obat anti mikroba lain yang dapat menurunkan

demam lebih cepat dibandingkan kloramfenikol. Dengan penggunaan

kloramfenikol, demam pada tifoid turun rata-rata setelah 5 hari.

Kloramfenikol merupakan obat terpilih tetapi tidak boleh diberikan bila

jumlah leukosit ≤ 2000/ul. Dosis maksimal kloramfenikol 2 gram/hari.

Bila pasien alergi terhadap kloramfenikol dapat diberikan golongan

penisilin atau kotrimoksazol. (2a,3a)

b. Tiamfenikol

Page 21: DEMAM TIFOID

67

Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada demam tifoid sama dengan

kloramfenikol. Komplikasi hematologis pada penggunaan tiamfenikol

lebih jarang daripada kloramfenikol. Dengan tiamfenikol demam pada

demam tifoid turun setelah rata-rata 5-6 hari.

c. Kotrimoksazol (kombinasi trimetoprim dan sulfametoksazol)

Efektivitas kotrimoksazol kurang lebih sama dengan kloramfenikol.

Dengan kotrimoksazol, demam pada demam tifoid turun rata-rata setelah

5-6 hari.

d. Ampisilin dan amoksisilin

Dalam hal kemampuannya untuk menurunkan demam, efektivitas

ampisilin dan amoksisilin lebih kecil dibandingkan kloramfenikol.

Indikasi mutlak penggunaannya adalah pasien demam tifoid dengan

leukopenia. Dengan ampisilin atau amoksisilin, demam pada demam

tifoid turun rata-rata setelah 7-9 hari.

e. Sefalosporin generasi ketiga

Beberapa uji klinis menunjukkan bahwa sefoperazon, seftriakson, dan

sefotaksim efektif untuk demam tifoid, tetapi dosis dan lama pemberian

yang optimal belum diketahui dengan pasti.

f. Fluorokinolon

Fluorokinolon efektif untuk demam tifoid, tetapi dosis dan lama

pemberian yang optimal belum diketahui dengan pasti. (3)

Tabel 1. Dosis Antibiotika yang Diberikan pada Penderita Tifoid

Page 22: DEMAM TIFOID

68

Kloramfenikol : 100 mg/kg BB/ hari dibagi 4 dosis/ oral, iv (diberikan minimal 10 – 12 hari atau minimal 5 hari bebas demam). atauAmpisilin : 200 mg/kg BB/ hari dibagi 4 dosis/ oral, iv (diberikan minimal 10 – 12 hari atau minimal 5 hari bebas demam) atauAmoksixilin : 100 mg/kg BB/ hari dibagi 3 dosis/ oral, iv (diberikan minimal 10 – 12 hari atau minimal 5 hari bebas demam) atauCotrimoxazole : 6 – 9 mg /kg BB/ hari dibagi 2 dosis/ oral, iv (diberikan minimal 10 – 12 hari atau minimal 5 hari bebas demam) atau Bila semua telah resisten dengan obat di atas diberi Sefalosporin : Ceftriaxone 100 mg / kg BB / hari dibagi dalam 2 dosis/ iv selama 5 – 10 hariKarier : Amoksisilin : 200 mg/kg BB/ hari dibagi 3 dosis selama 10 hari dan dilanjutkan dengan kolesistektomi

Sedangkan obat-obatan simtomatik yang digunakan, antara lain:

a. Antipiretika

Antipiretika tidak perlu diberikan secara rutin pada setiap pasien demam

tifoid, karena tidak banyak berguna.

b. Kortikosteroid

Pasien yang toksik dapat diberikan kortikosteroid oral atau parenteral

dalam dosis yang menurun secara bertahap (tapering off) selama 5 hari.

Hasilnya biasanya sangat memuaskan, kesadaran pasien menjadi jernih

dan suhu badan cepat turun sampai normal. Akan tetapi kortikosteroid

tidak boleh diberikan tanpa indikasi, karena dapat menyebabkan

perdarahan intestinal dan relaps. (5)