demam tifoid

34
Demam Tifoid Pendahuluan Demam tifoid dan paratifoid merupakan penyakit infeksi akut usus halus. Tifus abdominalis (demam tifoid, enteric fever) ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari 7 hari, gangguan pada saluran pencernaan dan gangguan kesadaran. Demam paratyphoid secara patologik maupun secara klinis sama dengan demam typhoid namun biasanya lebih ringan, penyakit ini disebabkan oleh spesies Samonella enteridis. (1,2) Epidemiologi Penyakit ini termasuk penyakit menular. Kelompok penyakit menular ini merupakan penyakit-penyakit yang mudah menular dan dapat menyerang banyak orang, sehingga dapat menimbulkan wabah. Paling banyak ditemukan di negara Chile, Peru, India, Pakistan, Indonesia, Nigeria, dan Afrika Utara dan Negara-negara lain yang memiliki sanitasi yang buruk dan persediaan air minum yang tidak terlindungi. (3,4,5) Gambar 1. Epidemiologi Demam Tifoid

description

tipes

Transcript of demam tifoid

Page 1: demam tifoid

Demam Tifoid

Pendahuluan

Demam tifoid dan paratifoid merupakan penyakit infeksi akut usus halus. Tifus

abdominalis (demam tifoid, enteric fever) ialah penyakit infeksi akut yang biasanya

terdapat pada saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari 7 hari, gangguan

pada saluran pencernaan dan gangguan kesadaran. Demam paratyphoid secara patologik

maupun secara klinis sama dengan demam typhoid namun biasanya lebih ringan, penyakit

ini disebabkan oleh spesies Samonella enteridis.(1,2)

Epidemiologi

Penyakit ini termasuk penyakit menular. Kelompok penyakit menular ini

merupakan penyakit-penyakit yang mudah menular dan dapat menyerang banyak orang,

sehingga dapat menimbulkan wabah. Paling banyak ditemukan di negara Chile, Peru,

India, Pakistan, Indonesia, Nigeria, dan Afrika Utara dan Negara-negara lain yang

memiliki sanitasi yang buruk dan persediaan air minum yang tidak terlindungi. (3,4,5)

Gambar 1. Epidemiologi Demam Tifoid

Sumber : Information about Typhoid (http://:www.iol.ie/~tmb/Images/Typhoid/JPG.mht)

Stastistik yang terbaru mengemukakan bahwa terjadi setidaknya 16 juta kasus

baru demam tifoid setiap tahunnya di seluruh dunia dengan 600.000 kematian. Angka

Page 2: demam tifoid

kejadian, penyebaran dan penderita demam typhoid berbeda pada negara berkembang

dengan negara maju. Pada negara maju angka kejadian jauh lebih sedikit, di Amerika

Serikat dilaporkan 400 kasus/tahun dalam perbandingan 0.2 / 100.000 populasi. Di daerah

selatan Eropa antara 4.3 – 14.5 / 100.000 populasi. Sedangkan pada Negara berkembang

dapat mencapai 500 kasus dalam 100.000 populasi dan angka kematian yang tinggi. (6)

Demam tifoid dan paratifoid endemik di Indonesia.

Penyakit ini jarang ditemukan secara epidemik, lebih

bersifat sporadis, terpencar-pencar di suatu daerah, dan

jarang terjadi lebih dari 1 kasus pada orang-orang serumah.

Di Indonesia demam tifoid dapat ditemukan sepanjang

tahun, dan insidens tertinggi pada daerah endemik terjadi

pada anak-anak. Di daerah endemik, transmisi terjadi

melalui air yang tercemar Samonella typhi, sedangkan

makanan yang tercemar oleh karier merupakan sumber penularan tersering di daerah non

endemik. Insidensi pada pasien yang berumur antara 12 sampai 30 tahun adalah 70-80%,

10-20% antara 30 dan 40 tahun, dan hanya 5-10% diatas 40 tahun (1,3)

Gambar 2. Distribusi menurut Umur dari Tifoid dan Paratifoid

Sumber : Age distribution of Typhoid and Paratyphoid Feses Cases 1994-1996 (http://:www.uwrf.edu)

Etiologi

Taksonomi genus Salmonella sangat rumit. Salmonela termasuk kelompok

Enterobacteriaceae dan terbagi atas beberapa serogrup berdasarkan antigen somatik (O).

Antigen tersebut terdiri dari lipopolisakarida, yang membentuk lapisan luar dari basil

gram negatif ini. Telah ditemukan lebih dari 40 serotipe, dan 98%-nya diisolasi hanya

Page 3: demam tifoid

pada manusia dengan grup A sampai E. Ada juga yang membagi serotipe berdasarkan

antigen flagelnya (H) dan terdapat 1800 strain. Serotipe yang paling sering menyebabkan

enteric fever adalah serotipe D, dan telah dikenali adanya antigen tambahan pada

serogrup ini yaitu antigen kapsul (Vi) (4)

Gambar 3. Klasifikasi Serogrup/ Serotipe Salmonella

Sumber : Salmonella Classification (http://:www.dupagehealth.org/health/data/images)

Salmonella typhi merupakan basil gram negative, bergerak dengan rambut getar,

tidak berspora, tidak berkapsul. Mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari

oligosakarida, flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein, envelope antigen (Vi) yang

terdiri dari polisakarida dan protein membran hialin. Mempunyai makromolekuler

lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel yang dinamakan

endotoksin. Salmonella typhi juga memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan

resitensi terhadap multipel antibiotik. (1,5,6,7)

Demam paratifoid disebabkan oleh

organisme yang termasuk dalam spesies

Salmonela Enteridis, yaitu Salmonela enteridis

bioserotipe paratyphi A, Salmonela enteridis

bioserotipe paratyphi B, Salmonela enteridis

bioserotipe paratyphi C. Kuman-kuman ini

Page 4: demam tifoid

lebih sering dikenal sebagai Salmonela paratyphi A, Salmonela schottmuelleri, dan

Salmonela hirschfeldii. (1)

Cara Penularan

Ada dua sumber penularan Salmonella typhi: pasien dengan demam tifoid dan

yang lebih sering carier. Orang-orang tersebut mengekskresi 109 sampai 1011 kuman per

gram tinja. Carier adalah orang yang sembuh dari demam tifoid dan masih terus

mengekskresi S. typhi dalam tinja dan air kemih selama lebih dari satu tahun. Disfungsi

kandung empedu merupakan predisposisi terjadinya carier Manusia merupakan reservoir

alami dari salmonella typhi. Penularan dapat langsung atau tidak langsung . Penularan

paling sering melalui makan dan air yang terkontaminasi kuman salmonella. Higienis dan

sanitasi yang buruk meningkatkan penyebaran kumam salmonella dan ini banyak terjadi

di Negara berkembang. Banyak kontaminasi makanan dan minuman didapat dari lalat

yang hinggap dan membawa kuman tifoid. Transmisi congenital dari demam typhoid

dapat terjadi melalui infeksi transplasenta oleh ibu yang bakterimia kepada janin. (3,5,7)

Patogenesis,

Masuknya bakteri ke dalam tubuh

Bakteri salmonella typhi masuk kedalam tubuh lewat mulut melalui makanan atau

minuman yang terkontaminasi. Dibutuhkan jumlah bakteri 105-109 untuk dapat

menimbulkan infeksi. Sebagian bakteri akan mati oleh asam lambung. Bakteri

yang tetap hidup akan melewati lambung melewati usus halus (ileum dan

jejunum) menembus dinding usus dan sampai ke jaringan limfoid plak Peyeri di

ileum terminalis yang hipertrofi. Bila terjadi komplikasi perdarahan dan perforasi

intestinal, kuman menembus lamina propria, masuk aliran limfe mencapai

kelenjar limfe mesenterial, yang juga mengalami hipertrofi, kemudian masuk

aliran darah melalui duktus torasikus mencapai organ retikuloendotelial sistem

(RES) melalui siklus portal dari usus terutama ke hati, limpa, sumsum tulang,

kandung empedu, plaque peyeri dari ileum terminal, kemudian bermultiflikasi

pada organ-organ tersebut. Pada plaque peyeri menimbulkan tukak yang dapat

mengakibatkan perdarahan dan perforasi usus. Kandung empedu merupakan

organ yang sensitif terhadap infeksi Salmonell typhi. (1,2)

Page 5: demam tifoid

Endotoksin

Semula disangka demam dan gejala toksemia pada demam tifoid disebabkan oleh

endotoksemia. Tapi kemudian berdasarkan penelitian eksperimental disimpulkan

bahwa endotoksemia bukan merupakan penyebab utama demam dan gejala-gejala

toksemia pada demam tifoid. Endotoksin Salmonella typhi berperan dalam proses

inflamasi lokal pada jaringan tempat kuman tersebut berkembang biak.

Peranannya belum jelas, diduga endotoksin menstimulasi makrofag di dalam hati,

limpa folikel limfoma usus halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk

memproduksi sitokin dan zat-zat lain. Produk dari makrofag inilah yang

menyebabkan nekrosis sel, system vaskular yang instabil, demam, depresi

sumsum tulang, kelainan pada darah dan juga menstimulasi sistem imunologik. (1,

3,6,7)

Respon imunologik

Pada demam tifoid terjadi respon imun humoral maupun selular baik di tingkat

lokal (gastrointestinal) maupun sistemik, tetapi mekanismenya belum diketahui

dengan pasti, Imunitas selular lebih berperan. (5)

Patologi

Pada stadium awal infeksi, ileum menjadi edematosa dan hiperemis, dengan invasi

sel-sel mononuklear dan menyebabkan limfadenopati. Pada stadium lanjut, seluruh usus

akan mengalami pembesaran dan mukosanya mengalami erosi. Semakin lama, dinding

usus akan menjadi tipis, dan dapat terjadi perdarahan. (8)

Gambar 4. Gambaran Histopatologi Usus Halus yang Terinfeksi Salmonella

Page 6: demam tifoid

Sumber : Typhoid Fever (http://:www.dupagehealth.org/health/data/images)

Manifestasi Klinis

Masa inkubasi biasanya 7 – 14 hari, tapi bisa mencapai 3 – 30 hari tergantung dari

sumber penularan, cara penularan, status nutrisi, status imun. Gejala-gejala yang timbul

amat bervariasi, dari penyakit ringan yang tidak terdiagnosis sampai gambaran penyakit

yang khas dengan komplikasi dan kematian. Selama masa inkubasi mungkin ditemukan

gejala prodromal seperti penyakit infeksi akut pada umumnya, berupa rasa tidak enak

badan, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare,

perasaan tidak enak diperut, batuk, dan epistaksis. (1,2,3)

Gejala yang timbul bervariasi. Pada kasus khas terdapat demam remiten pada

minggu pertama, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat pada sore atau malam

hari. Dalam minggu kedua pasien terus berada dalam keadaan demam, yang turun secara

berangsur-angsur pada minggu ketiga. (2)

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan lidah kotor yang ditutupi selaput

kecoklatan kotor, ujung dan tepi kemerahan, jarang disertai tremor. Hati dan limpa

membesar dan nyeri pada saat perabaan, meteorismus, gangguan kesadaran, roseola

(jarang ditemukan di Indonesia). Biasanya terdapat konstipasi, tetapi mungkin normal

atau mungkin diare. (2,5,6)

Gambar 5. Gambaran Klinis Demam Tifoid

Page 7: demam tifoid

Sumber : Clinical Course Typhoid Fever (http://:www.cdc.com)

Manifestasi klinis di bagi menurut umur yaitu : (5,6)

1. Remaja dan Dewasa.

Minggu pertama : Demam, lemah, susah makan, sakit otot, sakit kepala dan nyeri

perut dalam 2 – 3 hari. Diare, normal dan seringkali konstipasi.

Minggu kedua : demam tinggi, lemah, tidak mau makan, batuk, nyeri perut yang

bertambah. Disorientasi, delirium dan stupor. Terdapat bradikardi,

hepatosplenomegali dan distensi abdomen. Sekitar 50% pasien terdapat rose spot

yang berlangsung selama 7 -10 hari pada dada dan perut. Ronki dapat terdengar

auskultasi paru. Jika terdapat mual dan muntah pada minggu ke-2 dan ke-3

dicurigai adanya komplikasi.

2. Bayi dan anak-anak (< 5 tahun)

Jarang ditemukan usia. Sepsis dapat terjadi tetapi gejala yang timbul tidak jelas

sehingga sulit di diagnosis. Demam ringan dan lemas bisa di interpretasikan

terinfeksi virus. Diare paling sering ditemukan pada usia ini dibandingkan usia

dewasa.

3. Neonatus.

Demam tifoid dapat ditularkan ibu ke janin melalui transprasental. Gejala baru

timbul dalam 3 hari yaitu muntah, diare, dan distensi abdomen. Demam mencapai

Page 8: demam tifoid

40.5 °C. Kejang, hepatomegali, jaundice, malas minum dan kehilangan berat

badan juga dapat ditemukan.

Tempat yang peling sering terinfeksi kuman Salmonella adalah distal ileum, tetapi

tidak jarang usus besar juga terlibat. Pasien dengan colitis berat akan mengalami diare

dengan disertai darah. Pada pemeriksaan sigmoidoskopi sering ditemukan daerah yang

hiperemis dan ulserasi mukosa. Pada pemeriksaan barium enema menunjukkan transverse

ridging, edema mukosa. Biasanya tempat yang terkena adalah kolon bagian disatal dan

bagian transversal. (8)

Gambar 6. Gambaran Foto Roentgen Colitis Salmonela

Sumber : Salmonella Colitis (http://:www.dupagehealth.org/health/data/images)

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Hematologis

Pada pemeriksaan darah tepi dapat ditemukan anemia normokrom normositik

akibat perdarahan usus atau supresi sumsum tulang, lekopenia, limfositosis relatif,

aneosinofilia, dan bila terjadi abses piogenik bisa terjadi leukositosis. Trombositopenia

sering dijumpai, kadang – kadang berlangsung beberapa minggu. (2,5)

Pemeriksaan SGOT dan SGPT

Page 9: demam tifoid

SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi kembali normal setelah sembuhnya

demam tifoid. Kenaikan SGOT dan SGPT ini tidak memerlukan pembatasan pengobatan. (3)

Biakan Darah(3,5)

Biakan darah positif pada 40-60% kasus yang diperiksa pada minggu pertama

sakit, sedankan biakan feses ataupun urin akan positif setelah minggu pertama. Biakan

dari sum-sum tulang akan positif pada penyakit stadium lanjut, dan merupakan

pemeriksaan yang paling sensitif. Biakan darah positif memastikan demam tifoid, tetapi

biakan darah negatif tidak menyingkirkan demam tifoid. Hal ini disebabkan karena hasil

biakan darah bergantung pa beberapa faktor, antara lain:

1. Tehnik pemeriksaan laboratorium

Hal ini tergantung tehnik dan media pembiakan yang digunakan. Karena jumlah

kuman yang berada dalam darah hanya sedikit, yaitu kurang dari 10 kuman/ml darah,

maka untuk keperluan biakan, pada anak-anak diambil 2-5 ml darah. Bila darah yang

dibiak terlalu sedikit hasil biakan bisa negatif, terutama pada orang yang sudah

mendapatkan pengobatan spesifik. Selain itu, darah harus langsung ditanam pada

media biakan sewaktu berada di sisi pasien dan langsung dikirim ke laboratorium.

Waktu pengambilan darah paling baik adalah saat demam tinggi pada waktu

bakteriemia berlangsung.

2. Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit

Pada demam tifoid, biakan darah terhadap S. typhi terutama positif pada minggu

pertama penyakit dan berkurang pada mingu-mingu berikutnya. Pada waktu kambuh,

biakan bisa positif lagi.

3. Vaksinasi di masa lampau

Vaksinasi terhadap demam tifoid di masa lampau menimbulkan antibodi dalam darah

pasien. Antibodi ini dapat menekan bakteriemia, hingga biakan darah mungkin

negatif.

4. Pengobatan dengan anti mikorba

Bila pasien sebelum pembiakan darah sudah mendapat obat antimikroba,

pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil biakan mungkin

negatif.

Page 10: demam tifoid

Kepekaan S. typhi terhadap obat antimikroba

Sejak tahun 1975, S. typhi yang resisten terhadap kloramfenikol dilaporkan secara

sporadik di beberapa daerah di Indonesia, tetapi persentasinya tidak meningkat.

Penelitian di Laboratorium Kesehatan Perum Bio Farma menunjukkan bahwa selama

1984 sampai 1990 s. typhi masih 100% sensitif terhadap kloramfenikol. 83,3%-100%

sensitif terhadap ampisilin, dan 97%-100% sensitif terhadap kotrimiksazol. (3)

Uji Widal

Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara

antigen dan antibodi (aglutinin). Aglutinin yang

spesifik terhadap Salmonella terdapat dalam serum

pasien demam tifoid, juga pada orang yang pernah

ketularan Salmonella dan para orang yang pernah

divaksinasi terhadap demam tifoid. Antigen yang

digunakan pada uji widal adalah suspensi Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di

laboratorium. Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum

pasien yang disangka menderita demam tifoid. (3,5)

Akibat infeksi oleh S.typhi, pasien membuat antibodi (aglutinin), yaitu: (3)

1. Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal dari tubuh kuman).

2. Aglutinin H, karena rangsangan antigen H (berasal dari flagela kuman).

3. Aglutinin Vi, karena rangsangan antigen Vi (berasal dari simpai kuman)

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya

untuk diagnosis. Makin tinggi titernya, makin besar kemungkinan pasien menderita

demam tifoid. Pada infeksi yang aktif, titer uji Widal akan meningkat pada pemeriksaan

ulang yang dilakukan selang paling sedikit 5 hari(3,5,6)

Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ≥ 1/40 dengan memakai uji

widal slide aglutination menunjukkan nilai ramal positif 96 %, apabila negatif tidak

menyingkirkan. Menurut beberapa pendapat ahli bahwa apabila aglutini O sekali periksa

≥ 1/320 atau titer antibodi H ≥ 1/640 dengan gambaran klinis yang khas atau pada titer

sepasang terjadi kenaikan 4 kali selama 2-3 minggu maka diagnosis demam typhoid dapat

ditegakkan. Aglutinin H diakitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa lampau,

sedangkan Vi aglutinin dipakai untuk deteksi karier. Pada beberapa pasien, uji Widal

tetap negatif pada pemeriksaan ulang, walaupun biakan darah positif. (1,6,9)

Faktor-faktor yang mempengaruhi uji Widal:

Page 11: demam tifoid

1. Faktor-faktor yang berhubungan dengan pasien:

a. Keadaan umum

Gizi buruk menghambat pembentukan antibodi.

b. Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit

Aglutinin baru dijumpai dalam darah setelah pasien sakit satu minggu dan

mencapai puncaknya pada minggu kelima atau keenam penyakit.

c. Pengobatan dini dengan antibiotik

Beberapa peneliti berpendapat bahwa pengobatan dini dengan obat antimikroba

menghambat pembentukan antibodi.

d. Penyakit-penyakit tertentu

Pada beberapa penyakit yang menyertai demam tifoid tidak terjadi pembentukan

antibodi, misalnya pada agamaglobulinemia, leukimia, dan karsinoma lanjut.

e. Obat-obat imunosupresif atau kortikosteroid

Obat-obat ini menghambat pembentukan antibodi karena supresi sistem

retikuloendotelial.

f. Vaksinasi dengan kotipa atau tipa

Pada seorang yang divaksinansi, titer aglutinin O dan H meningkat. Aglutinin O

biasanya menghilang setelah 6 bulan samapi 1 tahun, sedangkan titer aglutinin H

menurun perlahan-lahan selama 1 atau 2 tahun. Oleh karena itu, titer aglutinin H

pada seorang yang pernah divaksinasi kurang mempunyai nilai diagnostik.

g. Infeksi klinis atau subklinis oleh Salmonella sebelumnya.

Keadaan ini dapat menyebabkan uji Widal positif, walaupun dengan titer rendah.

h. Reaksi anamnestik

Reaksi anamnestik adalah keadaan dimana terjadi peningkatan titer aglutinin

terhadap S.typhi karena penyakit infeksi dengan demam yang bukan demam tifoid

pada seseorang yang pernah divaksinasi atau ketularan Salmonella di masa lalu. (3)

2. Faktor-faktor teknis

a. Aglutinasi silang

Karena beberapa spesies Salmonella dapat mengandung antigen O dan H yang

sama, maka reaksi aglutinasi pada satu spesies dapat juga menimbulkan reaksi

aglutinasi pada spesies yang lain. Oleh karena itu, spesies Salmonella penyebab

infeksi tidak dapat ditentukan dengan uji Widal.

b. Konsentrasi suspensi antigen

Page 12: demam tifoid

Konsentrasi suspensi antigen yang digunakan pada uji Widal akan mempengaruhi

hasilnya.

c. Strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen

Ada peneliti yang berpendapat bahwa daya aglutinasi suspensi antigen dari strain

Salmonella setempat lebih baik daripada suspensi antigen dari strain lain. (3)

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis berupa demam, gangguan

gastrointestinal, dan mungkin disertai perubahan atau gangguan kesadaran. Diagnosis

pasti dapat ditegakkan melalui isolasi S. Typhi dari darah pada 2 minggu sakit, dapat juga

dengan biakan spesimen empedu yang hasilnya cukup memuaskan. (5,6,9)

Page 13: demam tifoid

Gambar 7. Skema Penatalaksanaan Demam Tifoid

Sumber : Skema Penatalaksanaan Demam Tifoid (dikutip dari Mansjoer, Arif)

Dugaan demam tifoid

Biakan empedu dan widal

Salah satu atau keduanya positif

Cari sebab demam tidak turun

Demam tetapDemam turun

Keduanya negatif

BMP kultur

Tetap tifoidFUOMasalah selsesai

Diagnosis demam tifoid

Demam tetap Demam turun

Diagnosis tifoid Diagnosis demam tifoid

Masalah selesai

Dietmobilisasi Infeksi sekunder Komplikasi Resisten

Edukasi Obati Atasi Kultur dan resitensi (7 hari)

Hari ke-14 ganti antibiotik

Diet dan mobilisasi baik infeksi sekunder tidak adatelah diobati dengan kloramfenikol/antibiotic sesuai resistensi masih demam

stop obat 2 hari

Demam turun

Masalah selesai

Demam tetap

FUODiagnosis drug fever

Page 14: demam tifoid

Diagnosa Banding

Demam tifoid dapat didiagnosa banding dengan demam paratifoid A, B, atau C,

infeksi dengue, malaria, tuberkulosis, atau influenza. (2)

Komplikasi

Komplikasi sering terjadi pada keadaan toksemia berat dan kelemahan umum,

terutama bila perawatan pasien kurang sempurna. Komplikasi demam tifoid dapat dibagi

dalam: (3,5,6)

1. Komplikasi intestinal

a. Perdarahan usus, Bila ringan ditemukan dengan pemeriksaan tinja dengan

benzidin. Bila berat terdapat nyeri perut dan tanda-tanda renjatan.

b. Perforasi usus, terjadi pada minggu ketiga ditandai pekak hati menghilang

terdapat udara antara hati dan diafragma.

c. Ileus paralitik

d. Peritonitis biasanya disertai dengan perforasi tetapi dapat juga tanpa perforasi.

Adanya gejala akut abdomen yaitu nyeri perut yang hebat, defans muscular dan

nyeri tekan.

2. Komplikasi ekstra-intestinal

a. Komplikasi kardiovaskuler: kegagalan sirkulasi perifer (renjatan sepsis),

miokarditis, trombosis, dan trombophlebitis.

b. Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombositopenia, dan/atau disseminated

intravascular coagulation (DIC) dan sindrom urenia hemolitik.

c. Komplikasi paru: pneumonia, empiema, dan pleuritis.

d. Komplikasi hepar dan kandung empedu: hepatitis dan kolesistitis.

e. Komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis.

f. Komplikasi tulang: osteomielitis, periostitis, spondilitis, dan artritis.

g. Komplikasi neuropsikiatrik: delirium, meningismus, meningitis, polineuritis

perifer, sindrom Guillain-Barre, psikosis, dan sindroma katatonia.

Page 15: demam tifoid

Gambar 8. Gambar Skema Komplikasi Demam Tifoid

Sumber : Typhoid Fever Complication (http://:www.dupagehealth.org/health/data/images)

Penatalaksanaan

Perawatan

Pasien demam tifoid perlu dirawat di rumah sakit untuk isolasi, observasi, dan

pengobatan. Tirah baring total selama demam sampai dengan 2 minggu normal kembali.

Seminggu kemudian boleh duduk dan selanjutnya berdiri dan berjalan. Maksud tirah

baring adalah untuk mencegah terjadinya komplikasi perdarahan usus atau perforasi usus.

Mobilisasi pasien perlu dilakukan secara bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan

pasien. (2,3,5)

Pasien dengan kesadaran yang menurun, posisi tubuhnya harus diubah-ubah pada

waktu-waktu tertentu untuk menghindari komplikasi pneumonia hipostatik dan ulkus

dekubitus. Defekasi dan buang air kecil perlu diperhatikan karena kadang-kadang terjadi

obstipasi dan retensi air kemih. (3,5)

Diet

Di masa lampau, pasien demam tifoid diberi bubur saring, kemudian bubur kasar,

dan akhirnya nasi sesuai dengan tingkat kesembuhan pasien. Pemberian bubur saring

tersebut dimaksudkan untuk menghindari komplikasi perdarahan usus atau perforasi usus.

Banyak pasien tidak menyukai bubur saring, karena tidak sesuai dengan selera mereka.

Page 16: demam tifoid

Karena mereka hanya makan sedikit, keadaan umum dan gizi pasien semakin mundur dan

masa penyembuhan menjadi lama. (3,5,9)

Makan lunak, yang mudah dicerna dengan jumlah kalori dan protein sesuai

kebutuhan harian. Tidak boleh mengkonsumsi makanan yang mengandung banyak serat,

tidak merangsang, ataupun yang dapat menimbulkan banyak gas. Beberapa peneliti

menunjukkan bahwa pemberian makanan padat dini, yaitu nasi dengan lauk pauk rendah

selulosa (pantang sayuran dengan serat kasar) dapat diberikan dengan aman pada pasien

demam tifoid. Carian diberikan sesuai kebutuhan harian. Bila tidak dapat peoral beri

cairan infuse dextrose 5% dan elektrolit sesuai dengan kebutuhan harian. (2,3,5)

Obat-obatan

Obat-obat anti mikroba yang sering digunakan, antara lain: (5,9)

1. Kloramfenikol

Di Indonesia, kloramfenikol masih merupakan obat pilihan utama untuk demam

tifoid. Belum ada obat anti mikroba lain yang dapat menurunkan demam lebih cepat

dibandingkan kloramfenikol. Dengan penggunaan kloramfenikol, demam pada tifoid

turun rata-rata setelah 5 hari. Kloramfenikol merupakan obat terpilih tetapi tidak

boleh diberikan bila jumlah leukosit ≤ 2000/ul. Dosis maksimal kloramfenikol 2

gram/hari. Bila pasien alergi terhadap kloramfenikol dapat diberikan golongan

penisilin atau kotrimoksazol. (2a,3a)

2. Tiamfenikol

Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada demam tifoid sama dengan kloramfenikol.

Komplikasi hematologis pada penggunaan tiamfenikol lebih jarang daripada

kloramfenikol. Dengan tiamfenikol demam pada demam tifoid turun setelah rata-rata

5-6 hari.

3. Kotrimoksazol (kombinas trimetoprim dan sulfametoksazol)

Efektivitas kotrimoksazol kurang lebih sama dengan kloramfenikol. Dengan

kotrimoksazol, demam pada demam tifoid turun rata-rata setelah 5-6 hari.

4. Ampisilin dan amoksisilin

Dalam hal kemampuannya untuk menurunkan demam, efektivitas ampisilin dan

amoksisilin lebih kecil dibandingkan kloramfenikol. Indikasi mutlak penggunaannya

adalah pasien demam tifoid dengan leukopenia. Dengan ampisilin atau amoksisilin,

demam pada demam tifoid turun rata-rata setelah 7-9 hari.

Page 17: demam tifoid

5. Sefalosporin generasi ketiga

Beberapa uji klinis menunjukkan bahwa sefoperazon, seftriakson, dan sefotaksim

efektif untuk demam tifoid, tetapi dosis dan lama pemberian yang optimal belum

diketahui dengan pasti.

6. Fluorokinolon

Fluorokinolon efektif untuk demam tifoid, tetapi dosis dan lama pemberian yang

optimal belum diketahui dengan pasti. (3)

Tabel 1. Dosis Antibiotika yang Diberikan pada Penderita Tifoid

Kloramfenikol : 100 mg/kg BB/ hari dibagi 4 dosis/ oral, iv (diberikan

minimal 10 – 12 hari atau minimal 5 hari bebas demam). atau

Ampisilin : 200 mg/kg BB/ hari dibagi 4 dosis/ oral, iv (diberikan

minimal 10 – 12 hari atau minimal 5 hari bebas demam) atau

Amoksixilin : 100 mg/kg BB/ hari dibagi 3 dosis/ oral, iv (diberikan

minimal 10 – 12 hari atau minimal 5 hari bebas demam) atau

Cotrimoxazole : 6 – 9 mg /kg BB/ hari dibagi 2 dosis/ oral, iv (diberikan

minimal 10 – 12 hari atau minimal 5 hari bebas demam) atau

Bila semua telah resisten dengan obat di atas diberi Sefalosporin : Ceftriaxone 100

mg / kg BB / hari dibagi dalam 2 dosis/ iv selama 5 – 10 hari

Karier : Amoksisilin : 200 mg/kg BB/ hari dibagi 3 dosis selama 10 hari dan

dilanjutkan dengan kolesistektomi.

Sumber : Dikutip dari Mansjoer, Arif

Sedangkan obat-obatan simtomatik yang digunakan, antara lain:

1. Antipiretika

Antipiretika tidak perlu diberikan secara rutin pada setiap pasien demam tifoid, karena

tidak banyak berguna.

2. Kortikosteroid

Pasien yang toksik dapat diberikan kortikosteroid oral atau parenteral dalam dosis

yang menurun secara bertahap (tapering off) selama 5 hari. Hasilnya biasanya sangat

memuaskan, kesadaran pasien menjadi jernih dan suhu badan cepat turun sampai

normal. Akan tetapi kortikosteroid tidak boleh diberikan tanpa indikasi, karena dapat

menyebabkan perdarahan intestinal dan relaps. (5)

Page 18: demam tifoid

Tabel 2. Obat-obatan yang Diberikan pada Komplikasi Penderita Tifoid

Keadaan toksik

Prednison : 1 – 2 mg/kg BB/hari dibagi 3 dosis/ oral atau

Deksametason : 0.5 mg/kg BB/ hari dibagi 3 dosis/ iv, oral atau

Hidrokortison : 10 – 15 mg/kg BB/hari dibagi 3 dosis/im

Perdarahan : Transfusi darah

Perforasi : Rujuk bagian bedah

Sumber : Dikutip dari Mansjoer, Arif

Pencegahan

Tifoid dapat dicegah dengan memberikan edukasi tentang cara penularan penyakit

ini. Salah satu contoh yang dapat diberikan adalah memakan makanan yang disiapkan

diluar rumah, makanan yang dipajang dipinggir jalan, minum minuman yang

terkontaminasi, kontak erat dengan penderita tifoid, rendahnya kebersihan lingkungan

sekitar dan perorangan. (5,6,7,9)

Tabel 3. Cara Pencegahan yang Dianjurkan untuk Mencegah Penyebaran Tifoid

"Boil it, cook it, peel it, or forget it"

Jika minum air, beli minuman yang dikemas bersih atau didihkan dulu selama 1

menit

Lebih baik minum air tanpa es, kecuali bila esnya terbuat dari air yang telah

dimasak atau berasal dari air yang telah dikemas dengan bersih

Makan makanan yang telah dimasak atau dalam keadaan panas

Hindari sayuran atau buah-buahan yang belum dicuci bersih

Hindari makanan atau minuman yang dipajang di jalanan.

Sumber : Boil it, cook it, peel it, or forget it (http://:www.cdc.com)

Vaksin

Page 19: demam tifoid

Hingga saat ini dkenal tiga macam vaksin untuk demam typhoid, yaitu dari kuman

Salmonella typhi yang dimatikan diberikan secara subkutan, kuman hidup yang

dilemahkan (Ty-21a) diberikan secara oral dengan perlindungan diatas 2 tahun dan

komponen Vi diberikan secara intramuskular dengan perlindungan 3 tahun. (5,6,9)

Oral typhoid vaccine (Ty21a) mengurangi insidens penyakit sekitar 60-77%.

Vaksin ini direkomendasikan untuk dewasa dan anak-anak yang berumur diatas 6 tahun

yang akan mengadakan perjalanan ke daerah yang tinggi insidensnya atau untuk mereka

yang kontak erat dengan karier. (10)

Vaksin tifoid tidak dapat melindungi 100%, sehingga orang yang telah divaksin

tetap dapat terkena infeksi bila kuman yang masuk dalam jumlah yang besar. Jadi

pencegahan yang paling baik adalah sanitasi yang baik secara perorangan atau

lingkungan. (10)

Tabel 4. Informasi tentang Vaksinasi Tifoid di USA

Vaccine Name How given Number of

doses necessary

Time between

doses

Total time needed to set

aside for vaccination

Minimum age for

vaccination

Booster needed every...

Ty21a (Vivotif Berna, Swiss Serum and Vaccine Institute)

1 capsule by mouth

4 2 days 2 weeks 6 years 5 years

ViCPS (Typhim Vi, Pasteur Merieux)

Injection 1 N/A 2 weeks 2 years 2 years

Sumber : Information on typhoid vaccine (http://:www.cdc.com)

Keseluruhan Ty21a ada 4 kapsul, dimana harus dikonsumsi aga mendapat

perlindungan yang cukup. Konsumsi 1 kapsul setiap 2 hari, sehingga vaksinasi akan

selesai dalam 7 hari. Setiap mengkonsumsi kapsul harus dalam keadaan perut yang

kosong, 1 jam sebelum makan atau 2 jam setelah makan. Booster (4 kapsul berikutnya)

dilakukan setiap 5 tahun sekali(10)

Efek samping yang ditimbulkan biasanya ringan sekali. Karena aman, maka tidak

ada efek yang muncul bila diberikan pada anak umur kurang dari 6 tahun. Alasan kenapa

tidak diberikan pada umur tersebut adalah karena kesulitan anak dibawah umur 6 tahun

menelan kapsul. (10)

Masalah carier

Page 20: demam tifoid

Setiap orang yang ketularan Salmonella, mengekskresi kuman tersebut dengan

feses dan air kemih selama beberapa jangka waktu. Bila tidak terjadi keluhan atau gejala,

orang tersebut dinamakan symptomless excretor. Bila ekskresi kuman berlangsung terus,

orang tersebut dinamakan carier. Hal serupa terjadi pada pasien demam tifoid.

Terbanyak pasien demam tifoid berhenti mengekskresi Salmonella dalam 3 bulan.

Mereka yang tetap mengekskresi Salmonella setelah 3 bulan dinamakan carier. Kira-kira

3% pasien demam tifoid masih mengekskresi Salmonella lebih dari 1 tahun. Carier

didapatkan terutama pada usia menengah, lebih sering pada wanita dibandingkan pria dan

jarang pada anak-anak. Orang yang mengekskresi Salmonella dalam feses (faecal carier)

lebih banyak dan lebih berperan pada penularan daripada orang yang mengekskresi

Salmonella melalui air kemih (urinary carier). Pada faecal carier, kuman menetap di

kandung empedu yang meradang menahun dan kadang-kadang mengandung batu. Pada

urinary carier, Salmonella menetap di saluran kemih, biasanya disebabkan kelainan

saluran air kemih yang sudah ada, misalnya pielonefritis kronik atau kelainan ureter. (5)

Carier dapat dideteksi melalui biakan feses dan air kemih. Karena ekskresi

Salmonella terjadi intermitten, maka diperlukan 3-6 biakan sebelum hasilnya dapat

dikatakan negatif. Pengobatan carier tiofoid merupakan masalah yang sulit. Obat-obat

anti mikroba yang dapat digunakan adalah ampisilin atau amoksisilin dan kotrimoksazol.

Kadang-kadang diperlukan kolesistektomi bersamaan dengan pemberian ampisilin.

Beberapa uji klinis menunjukkan bahwa fluorokinolon oral dapat mengeliminasi

Salmonella dari tinja. (3)

Prognosis

Umumnya baik bila pasien cepat berobat. Prognosis demam tifoid tergantung dari

umur, keadaan umum, derajat kekebalan tubuh, jumlah dan virulensi Salmonella, serta

cepat dan tepatnya pengobatan. Angka kematian pada anak-anak sebesar 2,6%, dan pada

orang dewasa 7,4%, dengan rata-rata 5,7%. Prognosis kurang baik bila terdapat gejala

klinis yang berat seperti hiperpireksia (febris kontinua), penurunan kesadaran, dehidrasi,

asidosis, perforasi usus, atau pada keadaan gizi buruk. (1,2,3)

Eradikasi Tifoid

Kemungkinan untuk mengeradikasi demam tifoid dari muka bumi ini telah

menjadi topik yang hangat untuk dibicarakan. Ada beberapa alasan yang membuat hal

tersebut tidak mungkin. Yang pertama, adanya beberapa jeniskuman yang mengalami

Page 21: demam tifoid

resistensi terhadap beberapa antibiotik (lihat gambar. 9). Jika kondisi tersebut menyebar,

akan menyebabkan epidemi yang besar termasuk didaerah yang belum ada persiapan

sekalipun dan yang sedang mengalami krisis kesehatan. (11)

Gambar 9. Distribusi Daerah yang Mengalami Resistensi Salmonela terhadap Obat-

obatan

Sumber : Global Distribution of Resistance to Salmonela Infection (http://:www.nejm.gov)

Ada beberapa strategi yang telah dipersiapkan untuk mengeradikasi demam tifoid.

Yang paling penting adalah populasi manusia membutuhkan air minum yang aman untuk

dikonsumsi, sistem sanitasi yang efektif, dan persiapan makanan yang higienis. Selain itu

dari pribadinya sendiri dibutuhkan keasdaran untuk menjaga higienisnya sendiri.

Kemungkinan lain juga bisa diciptakan dengan menyediakan vaksinasi di daerah yang

endemis. Masalah yang ditemukan adalah banyaknya orang yang membutuhkan vaksinasi

ini, dan sulit untuk menjaring seluruhnya, selain itu juga dibutuhkan harga yang tidak

sedikit dan membutuhkan booster setiap 3-5 tahunnya. (11)

Masalah lain yang ditemukan adalah tidak dapat dideteksinya kareir kronis yang

dapat menyebarkan penyakit ini secara tidak sadar. Tidak mungkin melakukan

pemeriksaan pada semua orang untuk mengetahui mana yang karier dan yang tidak.(11)

Karena masalah-masalah seperti itu, masih banyak orang yang terinfeksi kuman

Salmonela, dan tidak sedikit yang meninggal karenanya setiap tahunnya. Oleh karena itu

tetap harus diusahakan untuk mengeradikasi penyakit tifoid dengan mengusahakan lebih

baik vaksinasi dan dikombinasi dengan penyediaan sistem yang baik dalam mengatur

Page 22: demam tifoid

higienis personal maupun lingkungan. Dengan begitu kemungkinan untuk mengeradikasi

akan menjadi lebih tinggi, dan setidaknya layak untuk dicoba. (11)

Daftar Pustaka

(1) Mansjoer, Arif; Suprohaita; Wardhani, Wahyu; Setiowulan, Wiwiek. (2000). Demam Tifoid.

Dalam Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ketiga. Jilid 1. Penerbit Media Aesculapius. Jakarta :

halaman 421-425.

(2) Mansjoer, Arif; Suprohaita; Wardhani, Wahyu; Setiowulan, Wiwiek. (2000). Tifus Abdominalis.

Dalam Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ketiga. Jilid 2. Penerbit Media Aesculapius. Jakarta :

halaman 432-433

(3) Juwono, Rachmat. (1996). Demam Tifoid. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi

Ketiga. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. Hal 435 – 441.

(4) NN. (last update : October, 24th 2005). Typhoid Fever. Coordinating Centre for Infectious Disease

/ Divisions of Bacterial and Mycotic Disease. Available at: http://:www.cdc.htm (last login :

February 5th, 2007)

(5) Behrman, Jenson, Kliegman. (2004), Salmonella Infection in Nelson Textbook of Pediatrics, edisi

ketujuhbelas, Saunders, Philadelphia.

(6) Soedarmo, S.S., et al, 2002, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Infeksi dan Penyakit Tropis, edisi 1,

Balai Penerbit FKUI, Jakarta.

(7) NN. (last update : 2006). Background Typhoid Fever. NEJM. Available at:

http://www.nlm.nih.gov/ medlineplus/ency/imagepages/1048.htm (last login : February 5th, 2007)

(8) NN. (last update : 2006). Salmonelosis Thypoid Fever. Available at:

http://:www.dupagehealth.org/health/data/images. (last login : February 5th, 2007)

(9) K.S. Tatang, dkk, 2000, Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak RS Sumber Waras, UPT. Penerbitan

Universitas Tarumanagara, Jakarta.

(10) Public Health. (last update : October 27th, 2003). Oral Thypoid Vaccine (Ty21a). Communicable

Disease and Epidemiology. Seattle and King Country. Available at : http://:www.metrokc.mht (last

login : February, 5th, 2007)

(11) NN. (last update : 2006). Eradication Typhoid Fever. NEJM. Available at: http: //:www.nejm.edu

(last login : February 5th, 2007)