demam tifoid
description
Transcript of demam tifoid
Demam Tifoid
Pendahuluan
Demam tifoid dan paratifoid merupakan penyakit infeksi akut usus halus. Tifus
abdominalis (demam tifoid, enteric fever) ialah penyakit infeksi akut yang biasanya
terdapat pada saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari 7 hari, gangguan
pada saluran pencernaan dan gangguan kesadaran. Demam paratyphoid secara patologik
maupun secara klinis sama dengan demam typhoid namun biasanya lebih ringan, penyakit
ini disebabkan oleh spesies Samonella enteridis.(1,2)
Epidemiologi
Penyakit ini termasuk penyakit menular. Kelompok penyakit menular ini
merupakan penyakit-penyakit yang mudah menular dan dapat menyerang banyak orang,
sehingga dapat menimbulkan wabah. Paling banyak ditemukan di negara Chile, Peru,
India, Pakistan, Indonesia, Nigeria, dan Afrika Utara dan Negara-negara lain yang
memiliki sanitasi yang buruk dan persediaan air minum yang tidak terlindungi. (3,4,5)
Gambar 1. Epidemiologi Demam Tifoid
Sumber : Information about Typhoid (http://:www.iol.ie/~tmb/Images/Typhoid/JPG.mht)
Stastistik yang terbaru mengemukakan bahwa terjadi setidaknya 16 juta kasus
baru demam tifoid setiap tahunnya di seluruh dunia dengan 600.000 kematian. Angka
kejadian, penyebaran dan penderita demam typhoid berbeda pada negara berkembang
dengan negara maju. Pada negara maju angka kejadian jauh lebih sedikit, di Amerika
Serikat dilaporkan 400 kasus/tahun dalam perbandingan 0.2 / 100.000 populasi. Di daerah
selatan Eropa antara 4.3 – 14.5 / 100.000 populasi. Sedangkan pada Negara berkembang
dapat mencapai 500 kasus dalam 100.000 populasi dan angka kematian yang tinggi. (6)
Demam tifoid dan paratifoid endemik di Indonesia.
Penyakit ini jarang ditemukan secara epidemik, lebih
bersifat sporadis, terpencar-pencar di suatu daerah, dan
jarang terjadi lebih dari 1 kasus pada orang-orang serumah.
Di Indonesia demam tifoid dapat ditemukan sepanjang
tahun, dan insidens tertinggi pada daerah endemik terjadi
pada anak-anak. Di daerah endemik, transmisi terjadi
melalui air yang tercemar Samonella typhi, sedangkan
makanan yang tercemar oleh karier merupakan sumber penularan tersering di daerah non
endemik. Insidensi pada pasien yang berumur antara 12 sampai 30 tahun adalah 70-80%,
10-20% antara 30 dan 40 tahun, dan hanya 5-10% diatas 40 tahun (1,3)
Gambar 2. Distribusi menurut Umur dari Tifoid dan Paratifoid
Sumber : Age distribution of Typhoid and Paratyphoid Feses Cases 1994-1996 (http://:www.uwrf.edu)
Etiologi
Taksonomi genus Salmonella sangat rumit. Salmonela termasuk kelompok
Enterobacteriaceae dan terbagi atas beberapa serogrup berdasarkan antigen somatik (O).
Antigen tersebut terdiri dari lipopolisakarida, yang membentuk lapisan luar dari basil
gram negatif ini. Telah ditemukan lebih dari 40 serotipe, dan 98%-nya diisolasi hanya
pada manusia dengan grup A sampai E. Ada juga yang membagi serotipe berdasarkan
antigen flagelnya (H) dan terdapat 1800 strain. Serotipe yang paling sering menyebabkan
enteric fever adalah serotipe D, dan telah dikenali adanya antigen tambahan pada
serogrup ini yaitu antigen kapsul (Vi) (4)
Gambar 3. Klasifikasi Serogrup/ Serotipe Salmonella
Sumber : Salmonella Classification (http://:www.dupagehealth.org/health/data/images)
Salmonella typhi merupakan basil gram negative, bergerak dengan rambut getar,
tidak berspora, tidak berkapsul. Mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari
oligosakarida, flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein, envelope antigen (Vi) yang
terdiri dari polisakarida dan protein membran hialin. Mempunyai makromolekuler
lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel yang dinamakan
endotoksin. Salmonella typhi juga memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan
resitensi terhadap multipel antibiotik. (1,5,6,7)
Demam paratifoid disebabkan oleh
organisme yang termasuk dalam spesies
Salmonela Enteridis, yaitu Salmonela enteridis
bioserotipe paratyphi A, Salmonela enteridis
bioserotipe paratyphi B, Salmonela enteridis
bioserotipe paratyphi C. Kuman-kuman ini
lebih sering dikenal sebagai Salmonela paratyphi A, Salmonela schottmuelleri, dan
Salmonela hirschfeldii. (1)
Cara Penularan
Ada dua sumber penularan Salmonella typhi: pasien dengan demam tifoid dan
yang lebih sering carier. Orang-orang tersebut mengekskresi 109 sampai 1011 kuman per
gram tinja. Carier adalah orang yang sembuh dari demam tifoid dan masih terus
mengekskresi S. typhi dalam tinja dan air kemih selama lebih dari satu tahun. Disfungsi
kandung empedu merupakan predisposisi terjadinya carier Manusia merupakan reservoir
alami dari salmonella typhi. Penularan dapat langsung atau tidak langsung . Penularan
paling sering melalui makan dan air yang terkontaminasi kuman salmonella. Higienis dan
sanitasi yang buruk meningkatkan penyebaran kumam salmonella dan ini banyak terjadi
di Negara berkembang. Banyak kontaminasi makanan dan minuman didapat dari lalat
yang hinggap dan membawa kuman tifoid. Transmisi congenital dari demam typhoid
dapat terjadi melalui infeksi transplasenta oleh ibu yang bakterimia kepada janin. (3,5,7)
Patogenesis,
Masuknya bakteri ke dalam tubuh
Bakteri salmonella typhi masuk kedalam tubuh lewat mulut melalui makanan atau
minuman yang terkontaminasi. Dibutuhkan jumlah bakteri 105-109 untuk dapat
menimbulkan infeksi. Sebagian bakteri akan mati oleh asam lambung. Bakteri
yang tetap hidup akan melewati lambung melewati usus halus (ileum dan
jejunum) menembus dinding usus dan sampai ke jaringan limfoid plak Peyeri di
ileum terminalis yang hipertrofi. Bila terjadi komplikasi perdarahan dan perforasi
intestinal, kuman menembus lamina propria, masuk aliran limfe mencapai
kelenjar limfe mesenterial, yang juga mengalami hipertrofi, kemudian masuk
aliran darah melalui duktus torasikus mencapai organ retikuloendotelial sistem
(RES) melalui siklus portal dari usus terutama ke hati, limpa, sumsum tulang,
kandung empedu, plaque peyeri dari ileum terminal, kemudian bermultiflikasi
pada organ-organ tersebut. Pada plaque peyeri menimbulkan tukak yang dapat
mengakibatkan perdarahan dan perforasi usus. Kandung empedu merupakan
organ yang sensitif terhadap infeksi Salmonell typhi. (1,2)
Endotoksin
Semula disangka demam dan gejala toksemia pada demam tifoid disebabkan oleh
endotoksemia. Tapi kemudian berdasarkan penelitian eksperimental disimpulkan
bahwa endotoksemia bukan merupakan penyebab utama demam dan gejala-gejala
toksemia pada demam tifoid. Endotoksin Salmonella typhi berperan dalam proses
inflamasi lokal pada jaringan tempat kuman tersebut berkembang biak.
Peranannya belum jelas, diduga endotoksin menstimulasi makrofag di dalam hati,
limpa folikel limfoma usus halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk
memproduksi sitokin dan zat-zat lain. Produk dari makrofag inilah yang
menyebabkan nekrosis sel, system vaskular yang instabil, demam, depresi
sumsum tulang, kelainan pada darah dan juga menstimulasi sistem imunologik. (1,
3,6,7)
Respon imunologik
Pada demam tifoid terjadi respon imun humoral maupun selular baik di tingkat
lokal (gastrointestinal) maupun sistemik, tetapi mekanismenya belum diketahui
dengan pasti, Imunitas selular lebih berperan. (5)
Patologi
Pada stadium awal infeksi, ileum menjadi edematosa dan hiperemis, dengan invasi
sel-sel mononuklear dan menyebabkan limfadenopati. Pada stadium lanjut, seluruh usus
akan mengalami pembesaran dan mukosanya mengalami erosi. Semakin lama, dinding
usus akan menjadi tipis, dan dapat terjadi perdarahan. (8)
Gambar 4. Gambaran Histopatologi Usus Halus yang Terinfeksi Salmonella
Sumber : Typhoid Fever (http://:www.dupagehealth.org/health/data/images)
Manifestasi Klinis
Masa inkubasi biasanya 7 – 14 hari, tapi bisa mencapai 3 – 30 hari tergantung dari
sumber penularan, cara penularan, status nutrisi, status imun. Gejala-gejala yang timbul
amat bervariasi, dari penyakit ringan yang tidak terdiagnosis sampai gambaran penyakit
yang khas dengan komplikasi dan kematian. Selama masa inkubasi mungkin ditemukan
gejala prodromal seperti penyakit infeksi akut pada umumnya, berupa rasa tidak enak
badan, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare,
perasaan tidak enak diperut, batuk, dan epistaksis. (1,2,3)
Gejala yang timbul bervariasi. Pada kasus khas terdapat demam remiten pada
minggu pertama, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat pada sore atau malam
hari. Dalam minggu kedua pasien terus berada dalam keadaan demam, yang turun secara
berangsur-angsur pada minggu ketiga. (2)
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan lidah kotor yang ditutupi selaput
kecoklatan kotor, ujung dan tepi kemerahan, jarang disertai tremor. Hati dan limpa
membesar dan nyeri pada saat perabaan, meteorismus, gangguan kesadaran, roseola
(jarang ditemukan di Indonesia). Biasanya terdapat konstipasi, tetapi mungkin normal
atau mungkin diare. (2,5,6)
Gambar 5. Gambaran Klinis Demam Tifoid
Sumber : Clinical Course Typhoid Fever (http://:www.cdc.com)
Manifestasi klinis di bagi menurut umur yaitu : (5,6)
1. Remaja dan Dewasa.
Minggu pertama : Demam, lemah, susah makan, sakit otot, sakit kepala dan nyeri
perut dalam 2 – 3 hari. Diare, normal dan seringkali konstipasi.
Minggu kedua : demam tinggi, lemah, tidak mau makan, batuk, nyeri perut yang
bertambah. Disorientasi, delirium dan stupor. Terdapat bradikardi,
hepatosplenomegali dan distensi abdomen. Sekitar 50% pasien terdapat rose spot
yang berlangsung selama 7 -10 hari pada dada dan perut. Ronki dapat terdengar
auskultasi paru. Jika terdapat mual dan muntah pada minggu ke-2 dan ke-3
dicurigai adanya komplikasi.
2. Bayi dan anak-anak (< 5 tahun)
Jarang ditemukan usia. Sepsis dapat terjadi tetapi gejala yang timbul tidak jelas
sehingga sulit di diagnosis. Demam ringan dan lemas bisa di interpretasikan
terinfeksi virus. Diare paling sering ditemukan pada usia ini dibandingkan usia
dewasa.
3. Neonatus.
Demam tifoid dapat ditularkan ibu ke janin melalui transprasental. Gejala baru
timbul dalam 3 hari yaitu muntah, diare, dan distensi abdomen. Demam mencapai
40.5 °C. Kejang, hepatomegali, jaundice, malas minum dan kehilangan berat
badan juga dapat ditemukan.
Tempat yang peling sering terinfeksi kuman Salmonella adalah distal ileum, tetapi
tidak jarang usus besar juga terlibat. Pasien dengan colitis berat akan mengalami diare
dengan disertai darah. Pada pemeriksaan sigmoidoskopi sering ditemukan daerah yang
hiperemis dan ulserasi mukosa. Pada pemeriksaan barium enema menunjukkan transverse
ridging, edema mukosa. Biasanya tempat yang terkena adalah kolon bagian disatal dan
bagian transversal. (8)
Gambar 6. Gambaran Foto Roentgen Colitis Salmonela
Sumber : Salmonella Colitis (http://:www.dupagehealth.org/health/data/images)
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Hematologis
Pada pemeriksaan darah tepi dapat ditemukan anemia normokrom normositik
akibat perdarahan usus atau supresi sumsum tulang, lekopenia, limfositosis relatif,
aneosinofilia, dan bila terjadi abses piogenik bisa terjadi leukositosis. Trombositopenia
sering dijumpai, kadang – kadang berlangsung beberapa minggu. (2,5)
Pemeriksaan SGOT dan SGPT
SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi kembali normal setelah sembuhnya
demam tifoid. Kenaikan SGOT dan SGPT ini tidak memerlukan pembatasan pengobatan. (3)
Biakan Darah(3,5)
Biakan darah positif pada 40-60% kasus yang diperiksa pada minggu pertama
sakit, sedankan biakan feses ataupun urin akan positif setelah minggu pertama. Biakan
dari sum-sum tulang akan positif pada penyakit stadium lanjut, dan merupakan
pemeriksaan yang paling sensitif. Biakan darah positif memastikan demam tifoid, tetapi
biakan darah negatif tidak menyingkirkan demam tifoid. Hal ini disebabkan karena hasil
biakan darah bergantung pa beberapa faktor, antara lain:
1. Tehnik pemeriksaan laboratorium
Hal ini tergantung tehnik dan media pembiakan yang digunakan. Karena jumlah
kuman yang berada dalam darah hanya sedikit, yaitu kurang dari 10 kuman/ml darah,
maka untuk keperluan biakan, pada anak-anak diambil 2-5 ml darah. Bila darah yang
dibiak terlalu sedikit hasil biakan bisa negatif, terutama pada orang yang sudah
mendapatkan pengobatan spesifik. Selain itu, darah harus langsung ditanam pada
media biakan sewaktu berada di sisi pasien dan langsung dikirim ke laboratorium.
Waktu pengambilan darah paling baik adalah saat demam tinggi pada waktu
bakteriemia berlangsung.
2. Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit
Pada demam tifoid, biakan darah terhadap S. typhi terutama positif pada minggu
pertama penyakit dan berkurang pada mingu-mingu berikutnya. Pada waktu kambuh,
biakan bisa positif lagi.
3. Vaksinasi di masa lampau
Vaksinasi terhadap demam tifoid di masa lampau menimbulkan antibodi dalam darah
pasien. Antibodi ini dapat menekan bakteriemia, hingga biakan darah mungkin
negatif.
4. Pengobatan dengan anti mikorba
Bila pasien sebelum pembiakan darah sudah mendapat obat antimikroba,
pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil biakan mungkin
negatif.
Kepekaan S. typhi terhadap obat antimikroba
Sejak tahun 1975, S. typhi yang resisten terhadap kloramfenikol dilaporkan secara
sporadik di beberapa daerah di Indonesia, tetapi persentasinya tidak meningkat.
Penelitian di Laboratorium Kesehatan Perum Bio Farma menunjukkan bahwa selama
1984 sampai 1990 s. typhi masih 100% sensitif terhadap kloramfenikol. 83,3%-100%
sensitif terhadap ampisilin, dan 97%-100% sensitif terhadap kotrimiksazol. (3)
Uji Widal
Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara
antigen dan antibodi (aglutinin). Aglutinin yang
spesifik terhadap Salmonella terdapat dalam serum
pasien demam tifoid, juga pada orang yang pernah
ketularan Salmonella dan para orang yang pernah
divaksinasi terhadap demam tifoid. Antigen yang
digunakan pada uji widal adalah suspensi Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di
laboratorium. Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum
pasien yang disangka menderita demam tifoid. (3,5)
Akibat infeksi oleh S.typhi, pasien membuat antibodi (aglutinin), yaitu: (3)
1. Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal dari tubuh kuman).
2. Aglutinin H, karena rangsangan antigen H (berasal dari flagela kuman).
3. Aglutinin Vi, karena rangsangan antigen Vi (berasal dari simpai kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya
untuk diagnosis. Makin tinggi titernya, makin besar kemungkinan pasien menderita
demam tifoid. Pada infeksi yang aktif, titer uji Widal akan meningkat pada pemeriksaan
ulang yang dilakukan selang paling sedikit 5 hari(3,5,6)
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ≥ 1/40 dengan memakai uji
widal slide aglutination menunjukkan nilai ramal positif 96 %, apabila negatif tidak
menyingkirkan. Menurut beberapa pendapat ahli bahwa apabila aglutini O sekali periksa
≥ 1/320 atau titer antibodi H ≥ 1/640 dengan gambaran klinis yang khas atau pada titer
sepasang terjadi kenaikan 4 kali selama 2-3 minggu maka diagnosis demam typhoid dapat
ditegakkan. Aglutinin H diakitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa lampau,
sedangkan Vi aglutinin dipakai untuk deteksi karier. Pada beberapa pasien, uji Widal
tetap negatif pada pemeriksaan ulang, walaupun biakan darah positif. (1,6,9)
Faktor-faktor yang mempengaruhi uji Widal:
1. Faktor-faktor yang berhubungan dengan pasien:
a. Keadaan umum
Gizi buruk menghambat pembentukan antibodi.
b. Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit
Aglutinin baru dijumpai dalam darah setelah pasien sakit satu minggu dan
mencapai puncaknya pada minggu kelima atau keenam penyakit.
c. Pengobatan dini dengan antibiotik
Beberapa peneliti berpendapat bahwa pengobatan dini dengan obat antimikroba
menghambat pembentukan antibodi.
d. Penyakit-penyakit tertentu
Pada beberapa penyakit yang menyertai demam tifoid tidak terjadi pembentukan
antibodi, misalnya pada agamaglobulinemia, leukimia, dan karsinoma lanjut.
e. Obat-obat imunosupresif atau kortikosteroid
Obat-obat ini menghambat pembentukan antibodi karena supresi sistem
retikuloendotelial.
f. Vaksinasi dengan kotipa atau tipa
Pada seorang yang divaksinansi, titer aglutinin O dan H meningkat. Aglutinin O
biasanya menghilang setelah 6 bulan samapi 1 tahun, sedangkan titer aglutinin H
menurun perlahan-lahan selama 1 atau 2 tahun. Oleh karena itu, titer aglutinin H
pada seorang yang pernah divaksinasi kurang mempunyai nilai diagnostik.
g. Infeksi klinis atau subklinis oleh Salmonella sebelumnya.
Keadaan ini dapat menyebabkan uji Widal positif, walaupun dengan titer rendah.
h. Reaksi anamnestik
Reaksi anamnestik adalah keadaan dimana terjadi peningkatan titer aglutinin
terhadap S.typhi karena penyakit infeksi dengan demam yang bukan demam tifoid
pada seseorang yang pernah divaksinasi atau ketularan Salmonella di masa lalu. (3)
2. Faktor-faktor teknis
a. Aglutinasi silang
Karena beberapa spesies Salmonella dapat mengandung antigen O dan H yang
sama, maka reaksi aglutinasi pada satu spesies dapat juga menimbulkan reaksi
aglutinasi pada spesies yang lain. Oleh karena itu, spesies Salmonella penyebab
infeksi tidak dapat ditentukan dengan uji Widal.
b. Konsentrasi suspensi antigen
Konsentrasi suspensi antigen yang digunakan pada uji Widal akan mempengaruhi
hasilnya.
c. Strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen
Ada peneliti yang berpendapat bahwa daya aglutinasi suspensi antigen dari strain
Salmonella setempat lebih baik daripada suspensi antigen dari strain lain. (3)
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis berupa demam, gangguan
gastrointestinal, dan mungkin disertai perubahan atau gangguan kesadaran. Diagnosis
pasti dapat ditegakkan melalui isolasi S. Typhi dari darah pada 2 minggu sakit, dapat juga
dengan biakan spesimen empedu yang hasilnya cukup memuaskan. (5,6,9)
Gambar 7. Skema Penatalaksanaan Demam Tifoid
Sumber : Skema Penatalaksanaan Demam Tifoid (dikutip dari Mansjoer, Arif)
Dugaan demam tifoid
Biakan empedu dan widal
Salah satu atau keduanya positif
Cari sebab demam tidak turun
Demam tetapDemam turun
Keduanya negatif
BMP kultur
Tetap tifoidFUOMasalah selsesai
Diagnosis demam tifoid
Demam tetap Demam turun
Diagnosis tifoid Diagnosis demam tifoid
Masalah selesai
Dietmobilisasi Infeksi sekunder Komplikasi Resisten
Edukasi Obati Atasi Kultur dan resitensi (7 hari)
Hari ke-14 ganti antibiotik
Diet dan mobilisasi baik infeksi sekunder tidak adatelah diobati dengan kloramfenikol/antibiotic sesuai resistensi masih demam
stop obat 2 hari
Demam turun
Masalah selesai
Demam tetap
FUODiagnosis drug fever
Diagnosa Banding
Demam tifoid dapat didiagnosa banding dengan demam paratifoid A, B, atau C,
infeksi dengue, malaria, tuberkulosis, atau influenza. (2)
Komplikasi
Komplikasi sering terjadi pada keadaan toksemia berat dan kelemahan umum,
terutama bila perawatan pasien kurang sempurna. Komplikasi demam tifoid dapat dibagi
dalam: (3,5,6)
1. Komplikasi intestinal
a. Perdarahan usus, Bila ringan ditemukan dengan pemeriksaan tinja dengan
benzidin. Bila berat terdapat nyeri perut dan tanda-tanda renjatan.
b. Perforasi usus, terjadi pada minggu ketiga ditandai pekak hati menghilang
terdapat udara antara hati dan diafragma.
c. Ileus paralitik
d. Peritonitis biasanya disertai dengan perforasi tetapi dapat juga tanpa perforasi.
Adanya gejala akut abdomen yaitu nyeri perut yang hebat, defans muscular dan
nyeri tekan.
2. Komplikasi ekstra-intestinal
a. Komplikasi kardiovaskuler: kegagalan sirkulasi perifer (renjatan sepsis),
miokarditis, trombosis, dan trombophlebitis.
b. Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombositopenia, dan/atau disseminated
intravascular coagulation (DIC) dan sindrom urenia hemolitik.
c. Komplikasi paru: pneumonia, empiema, dan pleuritis.
d. Komplikasi hepar dan kandung empedu: hepatitis dan kolesistitis.
e. Komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis.
f. Komplikasi tulang: osteomielitis, periostitis, spondilitis, dan artritis.
g. Komplikasi neuropsikiatrik: delirium, meningismus, meningitis, polineuritis
perifer, sindrom Guillain-Barre, psikosis, dan sindroma katatonia.
Gambar 8. Gambar Skema Komplikasi Demam Tifoid
Sumber : Typhoid Fever Complication (http://:www.dupagehealth.org/health/data/images)
Penatalaksanaan
Perawatan
Pasien demam tifoid perlu dirawat di rumah sakit untuk isolasi, observasi, dan
pengobatan. Tirah baring total selama demam sampai dengan 2 minggu normal kembali.
Seminggu kemudian boleh duduk dan selanjutnya berdiri dan berjalan. Maksud tirah
baring adalah untuk mencegah terjadinya komplikasi perdarahan usus atau perforasi usus.
Mobilisasi pasien perlu dilakukan secara bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan
pasien. (2,3,5)
Pasien dengan kesadaran yang menurun, posisi tubuhnya harus diubah-ubah pada
waktu-waktu tertentu untuk menghindari komplikasi pneumonia hipostatik dan ulkus
dekubitus. Defekasi dan buang air kecil perlu diperhatikan karena kadang-kadang terjadi
obstipasi dan retensi air kemih. (3,5)
Diet
Di masa lampau, pasien demam tifoid diberi bubur saring, kemudian bubur kasar,
dan akhirnya nasi sesuai dengan tingkat kesembuhan pasien. Pemberian bubur saring
tersebut dimaksudkan untuk menghindari komplikasi perdarahan usus atau perforasi usus.
Banyak pasien tidak menyukai bubur saring, karena tidak sesuai dengan selera mereka.
Karena mereka hanya makan sedikit, keadaan umum dan gizi pasien semakin mundur dan
masa penyembuhan menjadi lama. (3,5,9)
Makan lunak, yang mudah dicerna dengan jumlah kalori dan protein sesuai
kebutuhan harian. Tidak boleh mengkonsumsi makanan yang mengandung banyak serat,
tidak merangsang, ataupun yang dapat menimbulkan banyak gas. Beberapa peneliti
menunjukkan bahwa pemberian makanan padat dini, yaitu nasi dengan lauk pauk rendah
selulosa (pantang sayuran dengan serat kasar) dapat diberikan dengan aman pada pasien
demam tifoid. Carian diberikan sesuai kebutuhan harian. Bila tidak dapat peoral beri
cairan infuse dextrose 5% dan elektrolit sesuai dengan kebutuhan harian. (2,3,5)
Obat-obatan
Obat-obat anti mikroba yang sering digunakan, antara lain: (5,9)
1. Kloramfenikol
Di Indonesia, kloramfenikol masih merupakan obat pilihan utama untuk demam
tifoid. Belum ada obat anti mikroba lain yang dapat menurunkan demam lebih cepat
dibandingkan kloramfenikol. Dengan penggunaan kloramfenikol, demam pada tifoid
turun rata-rata setelah 5 hari. Kloramfenikol merupakan obat terpilih tetapi tidak
boleh diberikan bila jumlah leukosit ≤ 2000/ul. Dosis maksimal kloramfenikol 2
gram/hari. Bila pasien alergi terhadap kloramfenikol dapat diberikan golongan
penisilin atau kotrimoksazol. (2a,3a)
2. Tiamfenikol
Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada demam tifoid sama dengan kloramfenikol.
Komplikasi hematologis pada penggunaan tiamfenikol lebih jarang daripada
kloramfenikol. Dengan tiamfenikol demam pada demam tifoid turun setelah rata-rata
5-6 hari.
3. Kotrimoksazol (kombinas trimetoprim dan sulfametoksazol)
Efektivitas kotrimoksazol kurang lebih sama dengan kloramfenikol. Dengan
kotrimoksazol, demam pada demam tifoid turun rata-rata setelah 5-6 hari.
4. Ampisilin dan amoksisilin
Dalam hal kemampuannya untuk menurunkan demam, efektivitas ampisilin dan
amoksisilin lebih kecil dibandingkan kloramfenikol. Indikasi mutlak penggunaannya
adalah pasien demam tifoid dengan leukopenia. Dengan ampisilin atau amoksisilin,
demam pada demam tifoid turun rata-rata setelah 7-9 hari.
5. Sefalosporin generasi ketiga
Beberapa uji klinis menunjukkan bahwa sefoperazon, seftriakson, dan sefotaksim
efektif untuk demam tifoid, tetapi dosis dan lama pemberian yang optimal belum
diketahui dengan pasti.
6. Fluorokinolon
Fluorokinolon efektif untuk demam tifoid, tetapi dosis dan lama pemberian yang
optimal belum diketahui dengan pasti. (3)
Tabel 1. Dosis Antibiotika yang Diberikan pada Penderita Tifoid
Kloramfenikol : 100 mg/kg BB/ hari dibagi 4 dosis/ oral, iv (diberikan
minimal 10 – 12 hari atau minimal 5 hari bebas demam). atau
Ampisilin : 200 mg/kg BB/ hari dibagi 4 dosis/ oral, iv (diberikan
minimal 10 – 12 hari atau minimal 5 hari bebas demam) atau
Amoksixilin : 100 mg/kg BB/ hari dibagi 3 dosis/ oral, iv (diberikan
minimal 10 – 12 hari atau minimal 5 hari bebas demam) atau
Cotrimoxazole : 6 – 9 mg /kg BB/ hari dibagi 2 dosis/ oral, iv (diberikan
minimal 10 – 12 hari atau minimal 5 hari bebas demam) atau
Bila semua telah resisten dengan obat di atas diberi Sefalosporin : Ceftriaxone 100
mg / kg BB / hari dibagi dalam 2 dosis/ iv selama 5 – 10 hari
Karier : Amoksisilin : 200 mg/kg BB/ hari dibagi 3 dosis selama 10 hari dan
dilanjutkan dengan kolesistektomi.
Sumber : Dikutip dari Mansjoer, Arif
Sedangkan obat-obatan simtomatik yang digunakan, antara lain:
1. Antipiretika
Antipiretika tidak perlu diberikan secara rutin pada setiap pasien demam tifoid, karena
tidak banyak berguna.
2. Kortikosteroid
Pasien yang toksik dapat diberikan kortikosteroid oral atau parenteral dalam dosis
yang menurun secara bertahap (tapering off) selama 5 hari. Hasilnya biasanya sangat
memuaskan, kesadaran pasien menjadi jernih dan suhu badan cepat turun sampai
normal. Akan tetapi kortikosteroid tidak boleh diberikan tanpa indikasi, karena dapat
menyebabkan perdarahan intestinal dan relaps. (5)
Tabel 2. Obat-obatan yang Diberikan pada Komplikasi Penderita Tifoid
Keadaan toksik
Prednison : 1 – 2 mg/kg BB/hari dibagi 3 dosis/ oral atau
Deksametason : 0.5 mg/kg BB/ hari dibagi 3 dosis/ iv, oral atau
Hidrokortison : 10 – 15 mg/kg BB/hari dibagi 3 dosis/im
Perdarahan : Transfusi darah
Perforasi : Rujuk bagian bedah
Sumber : Dikutip dari Mansjoer, Arif
Pencegahan
Tifoid dapat dicegah dengan memberikan edukasi tentang cara penularan penyakit
ini. Salah satu contoh yang dapat diberikan adalah memakan makanan yang disiapkan
diluar rumah, makanan yang dipajang dipinggir jalan, minum minuman yang
terkontaminasi, kontak erat dengan penderita tifoid, rendahnya kebersihan lingkungan
sekitar dan perorangan. (5,6,7,9)
Tabel 3. Cara Pencegahan yang Dianjurkan untuk Mencegah Penyebaran Tifoid
"Boil it, cook it, peel it, or forget it"
Jika minum air, beli minuman yang dikemas bersih atau didihkan dulu selama 1
menit
Lebih baik minum air tanpa es, kecuali bila esnya terbuat dari air yang telah
dimasak atau berasal dari air yang telah dikemas dengan bersih
Makan makanan yang telah dimasak atau dalam keadaan panas
Hindari sayuran atau buah-buahan yang belum dicuci bersih
Hindari makanan atau minuman yang dipajang di jalanan.
Sumber : Boil it, cook it, peel it, or forget it (http://:www.cdc.com)
Vaksin
Hingga saat ini dkenal tiga macam vaksin untuk demam typhoid, yaitu dari kuman
Salmonella typhi yang dimatikan diberikan secara subkutan, kuman hidup yang
dilemahkan (Ty-21a) diberikan secara oral dengan perlindungan diatas 2 tahun dan
komponen Vi diberikan secara intramuskular dengan perlindungan 3 tahun. (5,6,9)
Oral typhoid vaccine (Ty21a) mengurangi insidens penyakit sekitar 60-77%.
Vaksin ini direkomendasikan untuk dewasa dan anak-anak yang berumur diatas 6 tahun
yang akan mengadakan perjalanan ke daerah yang tinggi insidensnya atau untuk mereka
yang kontak erat dengan karier. (10)
Vaksin tifoid tidak dapat melindungi 100%, sehingga orang yang telah divaksin
tetap dapat terkena infeksi bila kuman yang masuk dalam jumlah yang besar. Jadi
pencegahan yang paling baik adalah sanitasi yang baik secara perorangan atau
lingkungan. (10)
Tabel 4. Informasi tentang Vaksinasi Tifoid di USA
Vaccine Name How given Number of
doses necessary
Time between
doses
Total time needed to set
aside for vaccination
Minimum age for
vaccination
Booster needed every...
Ty21a (Vivotif Berna, Swiss Serum and Vaccine Institute)
1 capsule by mouth
4 2 days 2 weeks 6 years 5 years
ViCPS (Typhim Vi, Pasteur Merieux)
Injection 1 N/A 2 weeks 2 years 2 years
Sumber : Information on typhoid vaccine (http://:www.cdc.com)
Keseluruhan Ty21a ada 4 kapsul, dimana harus dikonsumsi aga mendapat
perlindungan yang cukup. Konsumsi 1 kapsul setiap 2 hari, sehingga vaksinasi akan
selesai dalam 7 hari. Setiap mengkonsumsi kapsul harus dalam keadaan perut yang
kosong, 1 jam sebelum makan atau 2 jam setelah makan. Booster (4 kapsul berikutnya)
dilakukan setiap 5 tahun sekali(10)
Efek samping yang ditimbulkan biasanya ringan sekali. Karena aman, maka tidak
ada efek yang muncul bila diberikan pada anak umur kurang dari 6 tahun. Alasan kenapa
tidak diberikan pada umur tersebut adalah karena kesulitan anak dibawah umur 6 tahun
menelan kapsul. (10)
Masalah carier
Setiap orang yang ketularan Salmonella, mengekskresi kuman tersebut dengan
feses dan air kemih selama beberapa jangka waktu. Bila tidak terjadi keluhan atau gejala,
orang tersebut dinamakan symptomless excretor. Bila ekskresi kuman berlangsung terus,
orang tersebut dinamakan carier. Hal serupa terjadi pada pasien demam tifoid.
Terbanyak pasien demam tifoid berhenti mengekskresi Salmonella dalam 3 bulan.
Mereka yang tetap mengekskresi Salmonella setelah 3 bulan dinamakan carier. Kira-kira
3% pasien demam tifoid masih mengekskresi Salmonella lebih dari 1 tahun. Carier
didapatkan terutama pada usia menengah, lebih sering pada wanita dibandingkan pria dan
jarang pada anak-anak. Orang yang mengekskresi Salmonella dalam feses (faecal carier)
lebih banyak dan lebih berperan pada penularan daripada orang yang mengekskresi
Salmonella melalui air kemih (urinary carier). Pada faecal carier, kuman menetap di
kandung empedu yang meradang menahun dan kadang-kadang mengandung batu. Pada
urinary carier, Salmonella menetap di saluran kemih, biasanya disebabkan kelainan
saluran air kemih yang sudah ada, misalnya pielonefritis kronik atau kelainan ureter. (5)
Carier dapat dideteksi melalui biakan feses dan air kemih. Karena ekskresi
Salmonella terjadi intermitten, maka diperlukan 3-6 biakan sebelum hasilnya dapat
dikatakan negatif. Pengobatan carier tiofoid merupakan masalah yang sulit. Obat-obat
anti mikroba yang dapat digunakan adalah ampisilin atau amoksisilin dan kotrimoksazol.
Kadang-kadang diperlukan kolesistektomi bersamaan dengan pemberian ampisilin.
Beberapa uji klinis menunjukkan bahwa fluorokinolon oral dapat mengeliminasi
Salmonella dari tinja. (3)
Prognosis
Umumnya baik bila pasien cepat berobat. Prognosis demam tifoid tergantung dari
umur, keadaan umum, derajat kekebalan tubuh, jumlah dan virulensi Salmonella, serta
cepat dan tepatnya pengobatan. Angka kematian pada anak-anak sebesar 2,6%, dan pada
orang dewasa 7,4%, dengan rata-rata 5,7%. Prognosis kurang baik bila terdapat gejala
klinis yang berat seperti hiperpireksia (febris kontinua), penurunan kesadaran, dehidrasi,
asidosis, perforasi usus, atau pada keadaan gizi buruk. (1,2,3)
Eradikasi Tifoid
Kemungkinan untuk mengeradikasi demam tifoid dari muka bumi ini telah
menjadi topik yang hangat untuk dibicarakan. Ada beberapa alasan yang membuat hal
tersebut tidak mungkin. Yang pertama, adanya beberapa jeniskuman yang mengalami
resistensi terhadap beberapa antibiotik (lihat gambar. 9). Jika kondisi tersebut menyebar,
akan menyebabkan epidemi yang besar termasuk didaerah yang belum ada persiapan
sekalipun dan yang sedang mengalami krisis kesehatan. (11)
Gambar 9. Distribusi Daerah yang Mengalami Resistensi Salmonela terhadap Obat-
obatan
Sumber : Global Distribution of Resistance to Salmonela Infection (http://:www.nejm.gov)
Ada beberapa strategi yang telah dipersiapkan untuk mengeradikasi demam tifoid.
Yang paling penting adalah populasi manusia membutuhkan air minum yang aman untuk
dikonsumsi, sistem sanitasi yang efektif, dan persiapan makanan yang higienis. Selain itu
dari pribadinya sendiri dibutuhkan keasdaran untuk menjaga higienisnya sendiri.
Kemungkinan lain juga bisa diciptakan dengan menyediakan vaksinasi di daerah yang
endemis. Masalah yang ditemukan adalah banyaknya orang yang membutuhkan vaksinasi
ini, dan sulit untuk menjaring seluruhnya, selain itu juga dibutuhkan harga yang tidak
sedikit dan membutuhkan booster setiap 3-5 tahunnya. (11)
Masalah lain yang ditemukan adalah tidak dapat dideteksinya kareir kronis yang
dapat menyebarkan penyakit ini secara tidak sadar. Tidak mungkin melakukan
pemeriksaan pada semua orang untuk mengetahui mana yang karier dan yang tidak.(11)
Karena masalah-masalah seperti itu, masih banyak orang yang terinfeksi kuman
Salmonela, dan tidak sedikit yang meninggal karenanya setiap tahunnya. Oleh karena itu
tetap harus diusahakan untuk mengeradikasi penyakit tifoid dengan mengusahakan lebih
baik vaksinasi dan dikombinasi dengan penyediaan sistem yang baik dalam mengatur
higienis personal maupun lingkungan. Dengan begitu kemungkinan untuk mengeradikasi
akan menjadi lebih tinggi, dan setidaknya layak untuk dicoba. (11)
Daftar Pustaka
(1) Mansjoer, Arif; Suprohaita; Wardhani, Wahyu; Setiowulan, Wiwiek. (2000). Demam Tifoid.
Dalam Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ketiga. Jilid 1. Penerbit Media Aesculapius. Jakarta :
halaman 421-425.
(2) Mansjoer, Arif; Suprohaita; Wardhani, Wahyu; Setiowulan, Wiwiek. (2000). Tifus Abdominalis.
Dalam Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ketiga. Jilid 2. Penerbit Media Aesculapius. Jakarta :
halaman 432-433
(3) Juwono, Rachmat. (1996). Demam Tifoid. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi
Ketiga. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. Hal 435 – 441.
(4) NN. (last update : October, 24th 2005). Typhoid Fever. Coordinating Centre for Infectious Disease
/ Divisions of Bacterial and Mycotic Disease. Available at: http://:www.cdc.htm (last login :
February 5th, 2007)
(5) Behrman, Jenson, Kliegman. (2004), Salmonella Infection in Nelson Textbook of Pediatrics, edisi
ketujuhbelas, Saunders, Philadelphia.
(6) Soedarmo, S.S., et al, 2002, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Infeksi dan Penyakit Tropis, edisi 1,
Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
(7) NN. (last update : 2006). Background Typhoid Fever. NEJM. Available at:
http://www.nlm.nih.gov/ medlineplus/ency/imagepages/1048.htm (last login : February 5th, 2007)
(8) NN. (last update : 2006). Salmonelosis Thypoid Fever. Available at:
http://:www.dupagehealth.org/health/data/images. (last login : February 5th, 2007)
(9) K.S. Tatang, dkk, 2000, Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak RS Sumber Waras, UPT. Penerbitan
Universitas Tarumanagara, Jakarta.
(10) Public Health. (last update : October 27th, 2003). Oral Thypoid Vaccine (Ty21a). Communicable
Disease and Epidemiology. Seattle and King Country. Available at : http://:www.metrokc.mht (last
login : February, 5th, 2007)
(11) NN. (last update : 2006). Eradication Typhoid Fever. NEJM. Available at: http: //:www.nejm.edu
(last login : February 5th, 2007)