DEMAM TIFOID
-
Upload
bontio-armando-jeremia-hutagalung -
Category
Documents
-
view
41 -
download
15
Transcript of DEMAM TIFOID
DEMAM TIFOID
I. DEFENISI
Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman Salmonella
typhi dan Salmonella paratyphi yang terjadi melalui makanan yang terkontaminasi
kuman. (Widodo, Djoko. 2007)
II. ETIOLOGI
Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi A, B, C. (Widodo, djoko. 2007)
III. PATOFISIOLOGI
Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke dalam tubuh
manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman
dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya
berkembang biak. Bila respons imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik
maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel-M) dan selanjutnya ke
lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel
fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam
makrofag dan selanjutnya dibawa ke plague Peyeri ileum distal dan kemudian ke
kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang
terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan
bakteremia pertama yang asimptomatik) dan menyebar ke seluruh organ
retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limfa. Di organ-organ ini kuman
meninggalakan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang
sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan
bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit
infeksi sistemik.
1
Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak,
dan bersama cairan empedu diekskresikan secara “intermittent” ke dalam lumen usus.
Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam
sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung
makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella
terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan
gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit
perut, instabilitas vascular, gangguan mental, dan koagulasi.
Di dalam plague Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hyperplasia
jaringan (S.typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitifitas tipe lambat,
hyperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi
akibat erosi pembuluh darah sekitar plague Peyeri yang sedang mengalami nekrosis
dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuclear di dinding usus. Proses
patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga lapisan otot, serosa usus, dan
dapat mengakibatkan perforasi.
Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat
timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernafasan,
dan gangguan organ lainnya. (Widodo, djoko. 2007)
IV. MANIFESTASI KLINIS
Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala klinis
yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari asimptomatik
hingga gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kematian.
Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala
serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri kepala,
2
pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak
di perut, batuk, dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan
meningkat. Sifat demam adalah meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore
hingga malam hari. Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa
demam, bradikardia relative (bradikardia relative adalah peningkatan suhu 1°C tidak
diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali per menit), lidah yang berselaput (kotor di
tengah, tepi, dan ujung merah serta tremor), hepatomegali, splenomegali,
meteorismus, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium, atau
psikosis. Roseolae jarang ditemukan pada orang Indonesia. (Widodo, djoko. 2007)
V. DIAGNOSIS BANDING
1. DHF (Dengue Hemorrhagic Fever)
2. Malaria
3. Leptospirosis
4. Semua penyakit infeksi
VI. DIAGNOSIS
A. TRIAS DEMAM TIFOID (Mubin, halim.2008)
1. Demam sore/malam hari
2. Adanya lidah tifoid (tremor, tengah kotor, tepi hiperemis)
3. Nyeri spontan/tekan di daerah Mc Burney, sedangkan sisi kiri
normal/kurang nyeri
B. Pemeriksaan Laboratorium
1. Pada pemeriksaan darah tepi dapat ditemukan adanya penurunan kadar
hemoglobin, trombositopenia, kenaikan LED, aneosinofilia, limfopenia,
dan walaupun pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering ditemukan
leukopenia, dapat pula terjadi kadar leukosit normal atau leukositosis.
Leukositosis dapat terjadi walaupun tanpa disertai infeksi sekunder.
3
2. Gold standard untuk menegakkan diagnosis demam tifoid adalah
pemeriksaan kultur darah (biakan empedu) untuk Salmonella typhi.
Pemeriksaan kultur darah biasanya akan memberikan hasil positif pada
minggu pertama penyakit. Hal ini bahkan dapat ditemukan pada 80%
pasien yang tidak diobati antibiotik.
3. Pemeriksaan lain untuk demam tifoid adalah uji serologi Widal dan
deteksi antibodi IgM Salmonella typhi dalam serum.
Uji serologi widal mendeteksi adanya antibodi aglutinasi terhadap antigen
O yang berasal dari somatik dan antigen H yang berasal dari flagella
Salmonella typhi. Diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan apabila
ditemukan titer O aglutinin sekali periksa mencapai ≥ 1/200 atau terdapat
kenaikan 4 kali pada titer sepasang. Apabila hasil tes widal menunjukkan
hasil negatif, maka hal tersebut tidak menyingkirkan kemungkinan
diagnosis demam tifoid. (Hendarta, dimas. 2008)
4. Uji TUBEX
Uji TUBEX merupakan uji semi-kuantitatif kolometrik yang cepat
(beberapa menit) dan mudah untuk dikerjakan. Uji ini mendetekasi
antibodi anti-S.typhi O9 pada serum pasien, dengan cara menghambat
ikatan antara IgM anti-O9 yang terkonjugasi pada partikel latex yang
berwarna dengan lipopolisakarida S.typhi yang terkonjugasi pada partikel
magnetic latex. Hasil positif uji Tubex ini menunjukkan terdapat infeksi
Salmonella serogroup D walau tidak secara spesifik menunjuk pada
S.typhi. Infeksi oleh S.paratyphi akan memberikan hasil negatif.
Secara imunologi, antigen O9 bersifat imunodominan sehingga dapat
merangsang respons imun secara independen terhadap timus dan
merangsang mitosis sel B tanpa bantuan sel T. Karena sifat-sifat tersebut,
respon terhadap antigen O9 berlangsung cepat sehingga deteksi terhadap
4
anti-O9 dapat dilakukan lebih dini, yaitu pada hari ke 4-5 untuk infeksi
primer dan hari ke 2-3 untuk infeksi sekunder. Perlu diketahui bahwa uji
Tubex hanya dapat mendeteksi IgM dan tidak dapat mendeteksi IgG
sehingga tidak dapat dipergunakan sebagai modalitas untuk mendeteksi
infeksi lampau.
5. Uji Typhidot
Uji Typhidot dapat mendeteksi antibodi IgM dan IgG yang terdapat pada
protein membran luar S.typhi. Hasil positif pada uji Typhidot didapatkan
2-3 hari setelah infeksi dan dapat mengidentifikasi secara spesifik antibodi
IgM dan IgG terhadap antigen S.typhi seberat 50 kD, yang terdapat pada
strip nitroselulosa.
Didapatkan sensitivitas uji ini sebesar 98%, spesifisitas sebesar 76,6%
dan efisiensi iji sebesar 84% pada penelitian yang dilakukan oleh
Gopalakhrisnan dkk (2002) yang dilakukan pada 144 kasus demam tifoid.
Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Olsen dkk, didaptkan sensitifitas
dan spesifisitas uji ini hampir sama dengan uji Tubex yaitu 79% dan 89%
dengan 78% dan 89%.
Pada kasus reinfeksi, respons imun sekunder (IgG) teraktivasi secara
berlebihan sehingga IgM sulit terdeteksi. IgG dapat bertahan sampai 2
tahun sehingga pendeteksian IgG saja tidak dapat digunakan untuk
membedakan antara infeksi akut dengan kasus reinfeksi atau konvalesen
pada kasus infeksi primer. Untuk mengatasi masalah tersebut, uji ini
kemudian dimodifikasi dengan menginaktivasi total IgG pada sampel
serum. Uji ini, yang dikenal dengan nama uji Typhidot-M, memungkinkan
ikatan antara antigen dengan IgM spesifik yang ada pada serum pasien.
Studi evaluasi yang dilakukan oleh Khoo KE dkk pada tahun 1997
terhadap uji Typhidot-M menunjukkan bahwa uji ini bahkan lebih
5
sensitive (sensitivitas mencapai 100%) dan lebih cepat (3 jam) dilakukan
bila dibandingkan dengan kultur.
6. Uji IgM Dipstick
Uji ini secara khusus mendeteksi IgM spesifik terhadap S.typhi pada
spesimen serum atau whole blood. Uji ini menggunakan strip yang
mengandung antigen lipopolisakarida (LPS) S.typhoid dan anti IgM
(sebagai kontrol), reagen deteksi yang mengandung antibodi anti IgM
yang dilekati dengan lateks pewarna, cairan membasahi strip sebelum
diinkubasi dengan reagen dan serum pasien, tabung uji. Komponen
perlengkapan ini stabil untuk disimpan selama 2 tahun pada suhu 4-25°C
di tempat kering tanpa paparan sinar matahari. Pemeriksaan dimulai
dengan inkubasi strip pada larutan campuran reagen deteksi dan serum,
selama 3 jam pada suhu kamar. Setelah inkubasi, strip dibilas dengan air
mengalir dan dikeringkan. Secara semi kuantitatif, diberikan penilaian
terhadap garis uji dengan membandingkannya dengan reference strip.
Garis kontrol harus terwarna dengan baik.
House dkk, 2001 dan Gasem MH dkk, 2002 meneliti mengenai
penggunaan uji ini dibandingkan dengan pemeriksaan kultur darah di
Indonesia dan melaporkan sensitivitas sebesar 65-77% dan spesifisitas
sebesar 95-100%. Pemeriksaan ini mudah dan cepat (dalam 1 hari)
dilakukan tanpa peralatan khusus apapun, namun akurasi hasil didapatkan
bila pemeriksaan dilakukan 1 minggu setelah timbulnya gejala. (Widodo,
djoko. 2008)
6
VII. KOMPLIKASI
1. Perdarahan Intestinal
Pada plak Peyeri usus yang terinfeksi (terutama ileum terminalis) dapat
terbentuk tukak/luka berbentuk lonjong dan memanjang terhadap sumbu
usus. Bila luka menembus lumen usus dan mengenai pembuluh darah
maka terjadi perdarahan. Selanjutnya bila tukak menembus dinding usus
maka perforasi dapat terjadi. Selain karena faktor luka, perdarahan juga
dapat terjadi karena gangguan koagulasi darah (KID) atau gabungan kedua
faktor. Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan
minor yang tidak membutuhkan transfusi darah. Perdarahan hebat dapat
terjadi hingga penderita mengalami syok. Secara klinis perdarahan akut
darurat bedah ditegakkan bila terdapat perdarahan sebanyak 5
ml/kgBB/jam dengan faktor hemostasis dalam batas normal. Jika
penanganan terlambat, mortalitas cukup tinggi sekitar 10-32%, bahkan ada
yang melaporkan sampai 80%. Bila transfuse yang diberikan tidak dapat
mengimbangi perdarahan yang terjadi, maka tindakan bedah perlu
dipertimbangkan.
2. Perforasi Usus
Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya tmbul
pada minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Selain
gejala umum demam tifoid yang biasa terdi maka penderta demam tifoid
dengan perforasi mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di daerah
kuadran kanan bawah yang kemudian menyebar ke seluruh perut dan
disertai dengan tanda-tanda ileus. Bising usus melemah pada 50%
penderita dan pekak hati terkadang tidak ditemukan karena adanya udara
bebas di abdomen. Tanda-tanda perforasi lainnya adalah nadi cepat,
tekanan darah menurun, dan bahkan dapat syok. Leukositosis dengan
pergeseran ke kiri dapat menyokong adanya perforasi.
7
Bila pada gambaran foto polos abdomen (BNO/3 posisi) ditemukan
udara pada rongga peritoneum atau subdiafragma kanan, maka hal ini
merupakan nilai yang cukup menentukan terdapatnya perforasi usus pada
demam tifoid. Beberapa factor yang dapat meningkatkan kejadian
perforasi adalah umur (biasanya berumur 20-30 tahun), lama demam,
modalitas pengobatan, beratnya penyakit, dan mobilitas penderita.
Antibiotik diberikan secara selektif bukan hanya untuk mengobati
kuman S.typhi tetapi juga untuk mengatasi kuman yang bersifat fakultatif
dan anaerobic pada flora usus. Umumnya diberikan antibiotik spektrum
luas dengan kombinasi kloramfenikol dan ampisilin intravena. Untuk
kontaminasi usus dapat diberikan gentamisin/metronidazol. Cairan harus
diberikan dalam jumlah yang cukup serta penderita dipuasakan dan
dipasang nasogastric tube. Transfuse darah dapat diberikan bila terdapat
kehilangan darah akibat perdarahan intestinal.
3. Komplikasi Hematologi
Komplikasi hematologik berupa trombositopenia, hipofibrino-
genemia, peningkatan prothrombin time, peningkatan partial
thromboplastin time, peningkatan fibrin degradation products sampai
koagulasi intravascular diseminata (KID) dapat ditemukan pada
kebanyakan pasien demam tifoid. Trombositopenia saja sering dijumpai,
hal ini mungkin terjadi karena menurunnya produksi trombosit di sumsum
tulang selama proses infeksi atau meningkatnya destruksi trombosit di
sistem retikuloendotelial. Obat-obatan juga memegang peranan.
Penyebab KID pada demam tifoid belumlah jelas. Hal-hal yang sering
dikemukakan adalah endotoksin mengaktifkan beberapa sistem biologik,
8
koagulasi, dan fibrinolisis. Pelepasan kinin, prostaglandin dan histamin
menyebabkan vasokontriksi dan kerusakan endotel pembuluh darah dan
selanjutnya mengakibatkan perangsangan mekanisme koagulasi; baik KID
kompensata maupun dekompensata.
Bila terjadi KID dekompensata dapat diberikan transfusi darah,
substitusi trombosit dan/atau faktor-faktor koagulasi bahkan heparin,
meskipun ada pula yang tidak sependapat tentang manfaat pemberian
heparin pada demam tifoid.
4. Hepatitis Tifosa
Pembengkakan hati ringan sampai sedang dijumpai pada 50% kasus
dengan demam tifoid dan lebih banyak dijumpai karena S.typhi daripada
S.paratyphi. Untuk membedakan apakah hepatitis ini oleh karena tifoid,
virus, malaria, atau amuba maka perlu diperhatikan kelainan fisik,
parameter laboratorium, dan bila perlu histopatologik hati. Pada demam
tifoid kenaikan enzim transaminase tidak relevan dengan kenaikan serum
bilirubin (untuk membedakan dengan hepatitis oleh karena virus).
Hepatitis tifosa dapat terjadi pada pasien dengan malnutrisi dan sistem
imun yang kurang. Meskipun sangat jarang, komplikasi hepatoensefalopati
dapat terjadi.
5. Miokarditis
Miokarditis dapat terjadi pada 1-5% penderita demam tifoid sedangkan
kelainan elektrokardiografi dapat terjadi pada 10-15% penderita. Pasien
dengan miokaditis biasanya tanpa gejala kardiovaskular atau dapat berupa
keluhan sakit dada, gagal jantung kongestif, aritmia, atau syok
kardiogenik. Sedangkan perikarditis sangat jarang terjadi. Perubahan
elektrokardiografi yang menetap disertai aritmia mempunyai prognosis
9
yang buruk. Kelainan ini disebabkan kerusakan miokardium oleh kuman
S.typhi dan miokarditis sering sebagai penyebab kematian. Biasanya
dijumpai pada pasien sakit berat, keadaan akut dan fulminan.
6. Manifestasi Neuropsikiatrik/Tifoid toksik
Manifestasi neuropsikiatrik dapat berupa delirium dengan atau tanpa
kejang, semi-koma atau koma, Parkinson rigidity/transient parkinsonism,
sindrom otak akut, mioklonus generalisata, meningismus , skizofrenia
sitotoksik, mania akut, hipomania, ensefalomielitis, meningitis,
polyneuritis perifer, sindrom Gullain-Barre, dan psikosis.
Terkadang gejala demam tifoid diikuti suatu sindrom klinis berupa
gangguan atau penurunan kesadaran akut (kesadaran berkabut, apatis,
delirium, somnolen, sopor, atau koma) dengan atau tanpa disertai kelainan
neurologis lainnya dan dalam pemeriksaan cairan otak masih dalam batas
normal. Sindrom klinis seperti ini oleh beberapa peneliti disebut sebagai
tifoid toksik, sedangkan penulis lainnya menyebutnya dengan demam
tifoid berat, demam tifoid ensefalopati, atau demam tifoid dengan
toksemia. Diduga faktor-faktor social ekonomi yang buruk, tingkat
pendidikan yang rendah, ras, kebangsaan, iklim, nutrisi, kebudayaan dan
kepercayaan (adat) yang masih terbelakang ikut mempermudah terjadinya
hal tersebut dan akibatnya meningkatkan angka kematian.
Semua kasus tifoid toksik, atas pertimbangan klinis sebagai demam
tifoid berat, langsung diberikan pengobatan kombinasi kloramfenikol
4x400mg ditambah ampisilin 4x1 gram dan deksametason 3x5 mg.
(Widodo, djoko. 2007)
10
VIII. PENATALAKSANAAN (Widodo, djoko. 2007)
A. TERAPI UMUM
1. Istirahat : baring di tempat tidur sampai 5-7 hari apireksi.
2. Diet : tinggi kalori, cukup cairan, langsung diberi nasi/makanan padat
lainnya asal rendah serat.
3. Medikamentosa :
Pemberian Antimikroba :
- Kloramfenikol : dosis 4x500 mg per hari dapat diberikan per oral atau
intravena. Diberikan sampai dengan 7 hari bebas panas. Penyuntikan
intramuskular tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak
dapat diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri. Penurunan demam
dapat terjadi rata-rata setelah hari ke-5.
- Tiamfenikol : dosis 4x500 mg. Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada
demam tifoid hampir sama dengan kloramfenikol, akan tetapi
komplikasi hematologi seperti kemungkinan terjadinya anemia aplastik
lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol. Demam rata- rata
menurun pada hari ke-5 sampai ke-6.
- Kotrimoksazol : dosis untuk orang dewasa adalah 2x2 tablet (1 tablet
mengandung sulfametoksazol 400mg dan 80mg trimetoprim) diberikan
selama 2 minggu. Efektivitas obat ini dilaporkan hampir sama dengan
kloramfenikol.
- Ampisillin dan Amoksisillin : dosis yang dianjurkan berkisar antara
50-150mg/kgbb dan digunakan selama 2 minggu. Kemampuan obat ini
untuk menurunkan demam lebih rendah dibandingkan dengan
kloramfenikol.
- Sefalosporin Generasi III : hingga saat ini golongan sefalosporin
generasi ke-3 yang terbukti efektif untuk demam tifoid adalah
seftriakson, dosis yang dianjurkan adalah antara 3-4 gram dalam
11
dekstrosa 100cc diberikan selama ½ jam per infus sekali sehari,
diberikan selama 3 hingga 5 hari.
- Golongan Fluorokuinolon :
1. Norfloksasin : dosis 2x400mg/hari selama 14 hari
2. Ciprofloksasin : dosis 2x500mg/hari selama 6 hari
3. Ofloksasin : dosis 2x400mg/ hari selama 7 hari
4. Pefloksasin : dosis 400mg/hari selama 7 hari
5. Fleroksasin : dosis 400mg/hari selama 7 hari
IX. PENCEGAHAN (Widodo, djoko. 2007)
1. Preventif dan kontrol penularan
2. Identifikasi dan eradikasi S.typhi pada pasien tifoid asimptomatik, karier dan
akut
3. Pencegahan transmisi langsung dari penderita terinfeksi S.typhi akut maupun
karier
4. Proteksi pada orang yang berisiko tinggi tertular dan terinfeksi
X. PROGNOSIS (Mubin, halim. 2008)
Prognosis buruk bila:
1. Panas tinggi (hiperpireksia) atau kontiniu
2. Kesadaran menurun yaitu sopor, koma, delirium
3. Terdapat komplikasi berat: dehidrasi, asidosis, bronkopneumonia, peritonitis
4. Keadaan gizi penderita buruk
12
KASUS
I. Anamnesis Pribadi
Nama : Januar E. Ferdi
Umur : 30 tahun
Jenis kelamin : laki-laki
Pekerjaan : Pratu / 31040001570182
Alamat : Asmil YMIF 122/ Dolok Masihol
II. Anamnesis Penyakit
Keluhan utama : demam
Telaah : Hal ini dialami pasien sejak ± 5 hari yang lalu. Demam naik
turun. Demam tiba-tiba tinggi saat sore hari, dan merasa sembuh pada
siang hari. Menggigil (+) sejak tadi pagi. Tidak ditemukan kejang.
Tidak ditemukan batuk. Tidak ditemukan penurunan berat badan.
Tidak ditemukan adanya keringat malam. Mual (+), muntah (+) sudah
2 hari, ditemukan tidak nafsu makan dan perasaan tidak enak di perut.
mencret (-), BAB (+) Normal, BAK (+) Normal.
III. Pemeriksaan Fisik
1. Status present
- Sensorium : Compos mentis
- Tekanan darah : 120/70mmHg
- Heart rate : 80x/i
- Respiratory rate : 20x/i
- Temperature : 39,9°C
13
2. Status lokalisata
A. Kepala
- Bentuk kepala : normal
- Rambut : normal, berwarna hitam, dan tidak mudah dicabut
- Mata : refleks cahaya (+), pupil isokor kanan=kiri
- Hidung : bentuk normal
- Telinga : nyeri tekan pada tragus dan mastoid (-), serumen (-)
- Mulut : trismus (-), tonsil dan faring tidak bisa dinilai
B. Leher
- Trakea letak medial
- Tidak ada pembesaran KGB (Kelenjar Getah Bening)
- Kaku kuduk (-)
- Tidak ada pembesaran kelenjar tiroid (-)
C. Thoraks
- Inspeksi : bentuk simetris fusiformis, retraksi iga (-)
intercostals, subcostal, dan epigastrium.
- Palpasi : stem fremitus suara (+) positif paru kanan=kiri
- Perkusi : paru kanan-kiri : sonor
Batas jantung : - atas : ICR II
-bawah : setinggi difragma
-kanan : linea parasternalis dextra
-kiri : 1 cm medial midclavicularis
sinistra
- Auskultasi : - suara pernafasan : vesikuler (+)
- suara tambahan : ronchi basah (-), wheezing (-),
murmur (-)
14
D. Abdomen
- Inspeksi : bentuk simetris kanan = kiri, asites (-)
- Palpasi : hepar tidak teraba, limfa tidak teraba
- Perkusi : tympani, double sound (-)
- Auskultasi : peristaltic usus normal (+)
E. Genitalia
- Laki – laki, tidak ada kelainan.
F. Ekstremitas
- Superior : - cyanosis : (-)
- ptechie : (-)
- oedema : (-)
- reflex fisiologis : - bisep (+), trisep (+)
- Inferior : -oedem : (-)
-ptechie : (-)
- reflex fisiologis : KPR (+), APR (+)
- Refleks patologis : - Babinski : (-)
- Chadoks : (-)
- Oppenheim : (-)
- Gordon : (-)
- Honda : (-)
- Schaefer : (-)
- Refleks meningeal : - Kaku kuduk : (-)
- Brudzinky I : (-)
- Brudzinky II : (-)
- Kernig sign : (-)
- Laseq : (-)
15
3. Pemeriksaan Penunjang
- Widal test (6 September 2012)
Titer O S. typhi : 1/320
Titer H S. typhi : 1/60
Titer O S. paratyphi A : 1/160
Titer H S. paratyphi A : 1/80
- Trombosit : 127.000
- Plasmodium (10 September 2012) : Negatif
DAFTAR ABNORMALITAS
1. Temperature : 39,9°C
2. Demam naik turun. Demam tiba-tiba tinggi saat sore hari. Menggigil (+) sejak
tadi pagi.
3. Mual (+), muntah (+) sudah 2 hari, ditemukan tidak nafsu makan dan perasaan
tidak enak di perut.
4. Pemeriksaan Penunjang
- Widal test (6 September 2012)
Titer O S. typhi : 1/320
Titer H S. typhi : 1/60
Titer O S. paratyphi A : 1/160
Titer H S. paratyphi A : 1/80
- Trombosit : 127.000
16
PENYELESAIAN MASALAH
1. DEMAM TIFOID
Accessment : KOMPLIKASI : Perdarahan usus, perforasi usus, tifoid toksik
IPDX :
- kolonoskopi
- foto polos abdomen (BNO/3 posisi)
IPTX :
- IVFD RL 20 gtt/i
- Inj. Ranitidin 1 ampul/12 jam
- Paracetamol 3x1
- Ciprofloxacin 2x1
- Yudavit 1x1
- Methioson 3x1
IPMX : Vital sign dan tanda-tanda perdarahan saluran cerna
IPAX : Diet rendah selulosa, cuci tangan sebelum makan
17
FOLLOW UP COASS INTERNA
7 September 2012
• KU: demam
• TD: 120/70mmHg
• HR : 80x/i
• RR: 20x/i
• T: 39,9°C
8 September 2012
• KU: (-)
• TD: 120/70 mmHg
• HR: 76x/i
• RR: 24x/i
• T: 36,6°C
10 September 2012
KU: (-)
TD: 150/80 mmHg
HR: 68x/i
RR: 18x/i
T: 36°C
12 September 2012
KU: (-)
TD: 130/80 mmHg
HR: 62x/i
RR: 18x/i
T: 36°C
18