demam tifoid
-
Upload
diah-wisda -
Category
Documents
-
view
48 -
download
5
Transcript of demam tifoid
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh
Salmonella typhi. Demam tifoid dijumpai secara luas di berbagai Negara berkembang yang
terutama terletak di daerah tropis dan subtropis. Data World Health Organization (WHO)
tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia
dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun.
Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia tahun 2009, demam tifoid atau paratifoid
menempati urutan ke-3 dari 10 penyakit terbanyak pasien rawat inap di rumah sakit tahun
2009 yaitu sebanyak 80.850 kasus, yang meninggal 1.747 orang. Sedangkan berdasarkan
Profil Kesehatan Indonesia tahun 2010 demam tifoid atau paratifoid juga menempati urutan
ke-3 dari 10 penyakit terbanyak pasien rawat inap di rumah sakit tahun 2010 yaitu sebanyak
41.081 kasus, yang meninggal 274 orang
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Rohman pada tahun 2010 menjelaskan bahwa
demam tifoid sering terjadi pada anak dalam kelompok umur 5-14 tahun ( 27 %). Lama
terjadi antara 1-14 hari. Gejala pada saluran pencernaan yaitu mual / muntah, dimana
frekuensinya sebesar 70%,nyeri perut sebesar 22%, sedangkan untuk test widal frekuensi
terjadi pada titer 1: 320 dengan jumlah 52%.
Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika dibandingkan dengan
penderita dewasa. Masa tunas rata-rata 10-20 hari. Yang tersingkat 4 hari jika infeksi terjadi
melalui makanan, sedangkan yang terlama 30 hari jika infeksi melalui minuman. Selama
masa inkubasi mungkin ditemukan gejala prodomal yaitu perasaan tidak enak badan, lesu,
nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat kemudian menyusul gejala demam, gangguan
pencernaan dan gangguan kesadaran
Berdasarkan data data maka diatas kami penulis tertarik untuk membahas tentang
perawatan klien dengan demam tifoid sebagai bahan makalah kelompok dengan judul
“Asuhan Keperawatan Pada klien Anak A Dengan Diagnosa Medis Demam Tifoid di Ruang
Tulip Rumah Sakit Umum Daerah Saras Husada Purworedjo.”
B. TUJUAN
1. Tujuan umum
Mahasiswa mampu menerapkan asuhan keperawatan pada klien dengan demam tifoid
2. Tujuan Khusus
a. Mahasiswa mampu meningkatkan pengertian mengenai masalah yang berhubungan
dengan demam tifoid
b. Mahasiswa mampu melakukan pengkajian data pada klien dengan demam tifoid
c. Mahasiswa mampu menganalisa data hasil pengkajian pada klien dengan demam
tifoid
d. Mahasiswa mampu melakukan rencana tindakan pada klien dengan demam tifoid
e. Mahasiswa mampu melakukan tindakan keperawatan pada klien dengan demam
tifoid
f. Mahasiswa mampu mengevaluasi hasil tindakan yang dilakukan pada klien dengan
demam tifoid
C. Metode Penulisan
Dalam penulisan makalah ini, penulis menggunakan metode deskriptif yaitu dengan
penjabaran masalah-masalah yang ada dan menggunakan studi kepustakaan dari literatur
yang ada, baik di buku, jurnal maupun di internet.
D. Sistematika Penulisan
Makalah ini terdiri dari empat bab yang disusun dengan sistematika penulisan sebagai
berikut:
BAB I : Pendahuluan, terdiri dari latar belakang, tujuan penulisan, metode penulisan,
dan sistematika penulisan.
BAB II : Tinjauan teoritis terdiri dari : pengertian, anatomi fisiologis, klasifikasi, etiologi,
patofisiologi dan pathway, manifestasi klinis, penatalaksanaan, komplikasi dan
pemeriksaan penunjang.
BAB III : Laporan kasus terdiri dari : pengkajian, iagnose, intervensi, implementasi dan
evaluasi.
BAB IV : Penutup terdiri dari : kesimpulan dan saran.
BAB II
KONSEP MEDIS
A. Pengertian
Demam Tifoid adalah suatu penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran cerna
dengan gejala demam lebih dari 7 hari, gangguan pada saluran cerna dan gangguan
kesadaran. (Mansjoer, 2009).
Demam tifoid (enteric fever) adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai
saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari satu minggu, gangguan pada
pencernaan, dan gangguan kesadaran (Nursalam dkk.,2005).
Demam tifoid merupakan penyakti infeksi akut pada usus halus dengan gejala demam
satu minggu atau lebih desertai gangguan pada saluran pencernaan dengan atau tanpa
gangguan kesadaran. (Rampengan, 2007).
Tifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh kuman salmonella
thypi dan salmonella para thypi A,B,C. sinonim dari penyakit ini adalah Typhoid dan
paratyphoid abdominalis (Sudoyo, A.W., & B. Setiyohadi, 2006). Tifoid adalah penyakit
infeksi pada usus halus, tifoid disebut juga paratyphoid fever, enteric fever, typhus dan para
typhus abdominalis (Seoparman, 2007)
Dari beberapa pernyataan diatas penulis menyimpulkan bahwa demam tifoid merupakan
penyakit infeksi pada bagian sistem pencernaan terutama pada usus halus yang disebabkan
oleh kuman salmonella thypi yang biasanya menimbulkan demam lebih dari satu minggu.
B. Etiologi
Menurut Wong (2003) etiologi dari demam tifoid adalah
1. 96 % disebabkan oleh salmonella typhi, basil gram negative yang bergerak dengan bulu
getar, tidak berspora mempunyai sekuran-kurangnya 3 macam antigen, yaitu :
a. Antigen O (somatic terdiri dari zat komplek lipolisakarida)
b. Antigen (flagella)
c. Antigen VI dan protein membran hialin
2. Salmonella paratyphi A
3. Salmonella paratyphi B
4. Salmonella paratyphi C
5. Feces dan urin yang terkontaminasi dari penderita typus
Kuman salmonella typosa dapat tumbuh di semua media pH 7,2 dan suhu 37oC dan mati
pada suhu 54,4oC (Simanjuntak, C. H, 2009)
C. Patofisiologi
Transmisi terjadi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi urin/feses dari
penderita tifus akut dan para pembawa kuman/karier.
Empat F (Finger, Files, Fomites dan fluids) dapat menyebarkan kuman ke makanan, susu,
buah dan sayuran yang sering dimakan tanpa dicuci/dimasak sehingga dapat terjadi
penularan penyakit terutama terdapat dinegara-negara yang sedang berkembang dengan
kesulitan pengadaan pembuangan kotoran (sanitasi) yang andal. (Samsuridjal D dan heru S,
2003)
Masa inkubasi demam tifoid berlangsung selama 7-14 hari (bervariasi antara 3-60 hari)
bergantung jumlah dan strain kuman yang tertelan. Selama masa inkubasi penderita tetap
dalam keadaan asimtomatis. (Soegeng soegijanto, 2002)
Menurut Nursalam dkk (2005) mekanisme masuknya kuman diawali dengan infeksi yang
terjadi pada saluran pencernaa. basil diserap diusus halus melalui pembuluh limfe lalu masuk
kedalam peredaran darah sampai diorgan-organ lain, terutama hati dan limpa. basil yang
tidak dihancurkan berkembang biak dalam hati dan limpa sehingga organ-organ tersebut
akan membesar disertai dengan rasa nyeri diperabaan. Kemudian basil masuk kembali
kedalam darah (bakteriemia) dan menyebar keseluruh tubuh terutama kedalam kelenjar
limfoid usus halus; sehingga menimbulkan tukak berbentuk lonjong pada mukosa diatas plak
nyeri. Tukak tersebut dapat mengakibatkan perdarahan dan perferasi usus. Gejala demam
disebabkan oleh endotoksit, sedangkan gejala pada saluran pencernaan disebabkan oleh
kelainan pada usus.
D. Tanda dan Gejala
Inkubasi terjadi selama 10 sampai 14 hari. Demam naik secara bertahap, nyeri kepala,
malaise, dan kadang kadang batuk. Gejala abdomen (nyeri, diare, atau konstipasi) jelas
terlihat pada minggu pertama. Sedangkan diare, hepatosplenomengali ringan, dan roseola
(rose spots) (60%) muncul pad minggu kedua. Syok, gangguan ginjal, dan perubahan status
mental, termasuk koma, muncul pada kasus-kasus berat (Davey, P. 2005).
Berikut gejala Klinis yang biasa ditemukan, yaitu :
1. Demam
Pada kasus–kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu.
a. Minggu I
Dalam minggu pertama penyakit keluhan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut
pada umumnya , yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual,
muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk dan epistaksis. Pada
pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat.
b. Minggu II
Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas dengan demam, bradikardia
relatif, lidah yang khas (kotor di tengah, tepi dan ujung merah dan tremor),
hepatomegali, splenomegali, meteroismus, gangguan mental berupa somnolen,
stupor, koma, delirium atau psikosis, roseolae jarang ditemukan pada orang
Indonesia.
c. Minggu III
Dalam minggu ketiga suhu badan berangsur – angsur turun dan normal kembali pada
akhir minggu ketiga.
2. Gangguan pada saluran pencernaan
Pada mulut terdapat nafas bau tidak sedap, bibir kering dan pecah – pecah. Lidah ditutupi
selaput putih kotor, ujung ditemukan kemerahan , jarang ditemui tremor.Pada abdomen
mungkin ditemukan keadaan perut kembung. Hati dan limfa membesar disertai nyeri
pada perabaan. Biasanya didapatkan konstipasi akan tetapi mungkin pula normal bahkan
dapat terjadi diare.
3. Gangguan keasadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam yaitu apatis
sampai samnolen. Jarang stupor, koma atau gelisah.
Disamping gejala–gejala yang biasanya ditemukan tersebut, mungkin pula ditemukan
gejala lain. Pada punggung dan anggota gerak dapat ditemukan bintik – bintik kemerahan
karena emboli basil dalam kapiler kulit.Biasanya dtemukan alam minggu pertama demam
kadang – kadang ditemukan bradikardia pada anak besar dan mungkin pula ditemukan
epistaksis.
Transmisi terjadi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi urin/feses dari
penderita tifus akut dan para pembawa kuman/karier. Empat F (Finger, Files, Fomites dan
fluids) dapat menyebarkan kuman ke makanan, susu, buah dan sayuran yang sering dimakan
tanpa dicuci/dimasak sehingga dapat terjadi penularan penyakit terutama terdapat dinegara-
negara yang sedang berkembang dengan kesulitan pengadaan pembuangan kotoran (sanitasi)
yang andal (Sudoyo, A.W., & B. Setiyohadi. 2006). Masa inkubasi demam tifoid
berlangsung selama 7-14 hari (bervariasiantara 3-60 hari) bergantung jumlah dan strain
kuman yang tertelan. Selamamasa inkubasi penderita tetap dalam keadaan asimtomatis
(soegijanto,S, 2002).
E. Pathway
Kontaminasi salmonela typhi pada makanan / minuman
Dimusnahkan oleh asam lambung
F. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan medis pada pasien dengan demam tifoid adalah
1. Medis
a. Anti Biotik (Membunuh Kuman) :
1) Klorampenicol
2) Amoxicilin
3) Kotrimoxasol
4) Ceftriaxon
5) Cefixim
b. Antipiretik (Menurunkan panas) :
1) Paracetamol
2. Perawatan
a. Observasi dan pengobatan
b. Pasien harus tirah baring absolute sampai 7 hari bebas demam atau kurang lebih
dari selam 14 hari. MAksud tirah baring adalah untuk mencegah terjadinya
komplikasi perforasi usus.
c. Mobilisasi bertahap bila tidak panas, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien.
d. Pasien dengan kesadarannya yang menurun, posisi tubuhnya harus diubahss pada
waktu-waktu tertentu untuk menghindari komplikasi pneumonia dan dekubitus.
e. Defekasi dan buang air kecil perlu diperhatikan karena kadang-kadang terjadi
konstipasi dan diare.
3. Diet
a. Diet yang sesuai ,cukup kalori dan tinggi protein.
b. Pada penderita yang akut dapat diberi bubur saring.
c. Setelah bebas demam diberi bubur kasar selama 2 hari lalu nasi tim
d. Dilanjutkan dengan nasi biasa setelah penderita bebas dari demam selama 7 hari
(Smeltzer & Bare. 2002).
G. Komplikasi
Komplikasi demam tifoid dibagi dalam :
1. Komplikasi Intestinal
a. Pendaraha usus
b. Perforasi usus
c. Ileus paralitik
2. Komplikasi ektra-intestinal
a. Komplikasi kardiovaskuler. Kegagalan sirkulasi perifel (renjatan sepsis) miokarditis,
trombosis dan tromboflebitis.
b. Komplikasi darah. Anemia hemolitik, trombositoperia dan sidroma uremia hemolitik.
3. Komplikasi paru. Pneumonia, emfiema, dan pleuritis
4. Komplikasi hepar dan kandung empedu, Hepatitis dan kolesistitis
5. Komplikasi ginjal. Glomerulonefritis, periostitis, spondilitis, dan arthritis
6. Komplikasi neuropsikiatrik. Delirium, meningismus, meningistis, polyneuritis perifer,
sindrom, katatoni (Widodo, D. 2007).
H. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada klien dengan typhoid adalah pemeriksaan laboratorium, yang
terdiri dari :
1. Pemeriksaan leukosit
Di dalam beberapa literatur dinyatakan bahwa demam typhoid terdapat leukopenia dan
limposistosis relatif tetapi kenyataannya leukopenia tidaklah sering dijumpai. Pada
kebanyakan kasus demam typhoid, jumlah leukosit pada sediaan darah tepi berada pada
batas-batas normal bahkan kadang-kadang terdapat leukosit walaupun tidak ada
komplikasi atau infeksi sekunder. Oleh karena itu pemeriksaan jumlah leukosit tidak
berguna untuk diagnosa demam typhoid.
2. Pemeriksaan Sgot Dan Sgpt
Sgot Dan Sgpt pada demam typhoid seringkali meningkat tetapi dapat kembali normal
setelah sembuhnya typhoid.
3. Biakan darah
Bila biakan darah positif hal itu menandakan demam typhoid, tetapi bila biakan darah
negatif tidak menutup kemungkinan akan terjadi demam typhoid. Hal ini dikarenakan
hasil biakan darah tergantung dari beberapa faktor :
a. Teknik pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan satu laboratorium berbeda dengan laboratorium yang lain, hal
ini disebabkan oleh perbedaan teknik dan media biakan yang digunakan. Waktu
pengambilan darah yang baik adalah pada saat demam tinggi yaitu pada saat
bakteremia berlangsung.
b. Saat pemeriksaan selama perjalanan Penyakit
Biakan darah terhadap salmonella thypi terutama positif pada minggu pertama
dan berkurang pada minggu-minggu berikutnya. Pada waktu kambuh biakan
darah dapat positif kembali.
c. Vaksinasi di masa lampau
Vaksinasi terhadap demam typhoid di masa lampau dapat menimbulkan antibodi
dalam darah klien, antibodi ini dapat menekan bakteremia sehingga biakan darah
negatif.
4. Pengobatan dengan obat anti mikroba
Bila klien sebelum pembiakan darah sudah mendapatkan obat anti mikroba
pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil biakan mungkin negatif.
5. Uji Widal
Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin).
Aglutinin yang spesifik terhadap salmonella thypi terdapat dalam serum klien dengan
typhoid juga terdapat pada orang yang pernah divaksinasikan. Antigen yang digunakan
pada uji widal adalah suspensi salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di
laboratorium. Tujuan dari uji widal ini adalah untuk menentukan adanya aglutinin
dalam serum klien yang disangka menderita tifoid. Akibat infeksi oleh salmonella
thypi, klien membuat antibodi atau aglutinin yaitu :
a. Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal dari tubuh
kuman).
b. Aglutinin H, yang dibuat karena rangsangan antigen H (berasal dari flagel
kuman).
c. Aglutinin Vi, yang dibuat karena rangsangan antigen Vi (berasal dari simpai
kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya untuk
diagnosa, makin tinggi titernya makin besar klien menderita tifoid.
Uji widal dilakukan untuk mendeteksi adanya antibody terhadap kuman Salmonella
typhi. Uji widal dikatakan bernilai bila terdapat kenaikan titer widal 4 kali lipat (pada
pemeriksaan ulang 5-7 hari) atau titer widal O > 1/320, titer H > 1/60 (dalam sekali
pemeriksaan) Gall kultur dengan media carr empedu merupakan diagnosa pasti demam
tifoid bila hasilnya positif, namun demikian, bila hasil kultur negatif belum
menyingkirkan kemungkinan tifoid, karena beberapa alasan, yaitu pengaruh pemberian
antibiotika, sampel yang tidak mencukupi. Sesuai dengan kemampuan SDM dan
tingkat perjalanan penyakit demam tifoid, maka diagnosis klinis demam tifoid
diklasifikasikan atas:
1. Possible Case dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan gejala
demam,gangguan saluran cerna, gangguan pola buang air besar dan
hepato/splenomegali. Sindrom demam tifoid belum lengkap. Diagnosis ini hanya
dibuat pada pelayanan kesehatan dasar.
2. Probable Case telah didapatkan gejala klinis lengkap atau hampir lengkap, serta
didukung oleh gambaran laboraorium yang menyokong demam tifoid (titer widal O
> 1/160 atau H > 1/160 satu kali pemeriksaan).
3. Definite Case Diagnosis pasti, ditemukan S. Thypi pada pemeriksaan biakan
ataupositif S.Thypi pada pemeriksaan PCR atau terdapat kenaikan titerWidal 4 kali
lipat (pada pemeriksaan ulang 5-7 hari) atau titer widal O> 1/320, H > 1/640 (pada
pemeriksaan sekali) (Widodo, D. 2007).
I. Pengkajian
a. Identitas : umur, alamat (daerah endemis, lingkungan rumah / sekolah ada yang
menderita demam tifoid)
b. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan utama (keluhan yang dirasakan pasien saat pengkajian) : panas, muntah,
epistaksis, perdarahan gusi
2) Riwayat kesehatan sekarang (riwayat penyakit yang diderita pasien saat masuk rumah
sakit) : kapan mulai panas ?
3) Riwayat kesehatan yang lalu (riwayat penyakit yang sama atau penyakit lain yang
pernah diderita oleh pasien)
4) Riwayat kesehatan keluarga (riwayat penyakit yang sama atau penyakit lain yang
pernah diderita oleh anggota keluarga yang lain baik bersifat genetik atau tidak)
5) Riwayat tumbuh kembang : adakah keterlambatan tumbuh kembang ?
6) Riwayat imunisasi
c. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan umum : kesadaran, vital sign, status nutrisi (berat badan, panjang badan,
usia)
2) Pemeriksaan persistem
a) Sistem persepsi sensori :
Penglihatan : edema palpebra, air mata ada / tidak, cekung / normal
Pengecapan : rasa haus meningkat/tidak, lidah lembab / kering
b) Sistem persyarafan : kesadaran, menggigil, kejang, pusing
c) Sistem pernafasan : epistaksis, dispneu, kusmaul, sianosis, cuping hidung, odem
pulmo, krakles
d) Sistem kardiovaskuler : takikardi, nadi lemah dan cepat / tak teraba, kapilary refill
lambat, akral hangat / dingin, epistaksis, sianosis perifer, nyeri dada
e) Sistem gastrointestinal :
Mulut : membran mukosa lembab / kering, lidah kotor, perdarahan gusi
Perut : turgor, kembung / meteorismus, distensi, nyeri, asites, lingkar perut.
Informasi tentang tinja : warna (merah, hitam), volume, bau, konsistensi,
darah, melena
f) Sistem integumen : RL test (+), petekie, ekimosis, kulit kering / lembab,
perdarahan bekas tempat injeksi ?
g) Sistem perkemihan : bak 6 jam terakhir, oliguria / anuria
d. Pola Fungsi Kesehatan
1) Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan : sanitasi
2) Pola nutrisi dan metabolisme : anoreksia, mual, muntah
3) Pola eleminasi
a) BAB : frekuensi, warna (merah, hitam), konsistensi, bau, darah
b) BAK : frekuensi, warna, bak 6 jam terakhir, oliguria, anuria
4) Pola aktifitas dan latihan
5) Pola tidur dan istirahat
6) Pola kognitif dan perceptual
7) Pola toleransi dan koping stress
8) Pola nilai dan keyakinan
9) Pola hubungan dan peran
10) Pola seksual dan reproduksi
11) Pola percaya diri dan konsep diri
J. Diagnosa
1. Hipertermia berhubungan dengan penyakit/ trauma, peningkatan metabolisme,
aktivitas yang berlebih, dehidrasi
2. Nyeri akut berhubungan dengan: agen injuri (biologi, kimia, fisik, psikologis),
kerusakan jaringan
3. Konstipasi berhubungan dengan fungsi:kelemahan otot abdominal, Aktivitas fisik
tidak mencukupi, perilaku defekasi tidak teratur, perubahan lingkungan, Fisiologis:
perubahan pola makan dan jenis makanan, penurunan motilitas gastrointestnal,
dehidrasi, intake serat dan cairan kurang, perilaku makan yang buruk
4. Gangguan pola tidur berhubungan dengan psikologis : usia tua, kecemasan, agen
biokimia, suhu tubuh, pola aktivitas, depresi, kelelahan, takut, kesendirian.
Lingkungan : kelembaban, kurangnya privacy/kontrol tidur, pencahayaan, medikasi
(depresan, stimulan),kebisingan. Fisiologis : Demam, mual, posisi, urgensi urin.
K. Intervensi
Diagnosa Keperawatan/
Masalah Kolaborasi
Rencana keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Hipertermia
Berhubungan dengan :
Penyakit/ trauma
Peningkatan metabolisme
Aktivitas yang berlebih
Dehidrasi
DO/DS:
Kenaikan suhu tubuh diatas
rentang normal
Serangan atau konvulsi
(kejang)
Kulit kemerahan
Pertambahan RR
Takikardi
Kulit teraba panas/ hangat
NOC:
Thermoregulasi
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3x 24 jam
pasien menunjukkan :
Suhu tubuh dalam batas normal
dengan kreiteria hasil:
Suhu 36 – 37C
Nadi dan RR dalam rentang
normal
Tidak ada perubahan warna
kulit dan tidak ada pusing,
merasa nyaman
NIC :
Monitor suhu sesering mungkin
Monitor warna dan suhu kulit
Monitor tekanan darah, nadi dan RR
Monitor penurunan tingkat kesadaran
Monitor WBC, Hb, dan Hct
Monitor intake dan output
Berikan anti piretik:
Kelola Antibiotik
Selimuti pasien
Berikan cairan intravena
Kompres pasien pada lipat paha dan aksila
Tingkatkan sirkulasi udara
Tingkatkan intake cairan dan nutrisi
Monitor TD, nadi, suhu, dan RR
Catat adanya fluktuasi tekanan darah
Monitor hidrasi seperti turgor kulit,
kelembaban membran mukosa)
Diagnosa Keperawatan/
Masalah Kolaborasi
Rencana keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Nyeri akut berhubungan dengan:
Agen injuri (biologi, kimia, fisik,
psikologis), kerusakan jaringan
DS:
Laporan secara verbal
DO:
Posisi untuk menahan nyeri
Tingkah laku berhati-hati
Gangguan tidur (mata sayu,
tampak capek, sulit atau
gerakan kacau, menyeringai)
Terfokus pada diri sendiri
Fokus menyempit
(penurunan persepsi waktu,
kerusakan proses berpikir,
penurunan interaksi dengan
orang dan lingkungan)
Tingkah laku distraksi,
contoh : jalan-jalan,
menemui orang lain dan/atau
NOC :
Pain Level,
pain control,
comfort level
Setelah dilakukan tinfakan
keperawatan selama 3x 24 jam
Pasien tidak mengalami nyeri,
dengan kriteria hasil:
Mampu mengontrol nyeri (tahu
penyebab nyeri, mampu
menggunakan tehnik
nonfarmakologi untuk
mengurangi nyeri, mencari
bantuan)
Melaporkan bahwa nyeri
berkurang dengan
menggunakan manajemen nyeri
Mampu mengenali nyeri (skala,
intensitas, frekuensi dan tanda
nyeri)
NIC :
Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif
termasuk lokasi, karakteristik, durasi,
frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi
Observasi reaksi nonverbal dari
ketidaknyamanan
Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan
menemukan dukungan
Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi
nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan dan
kebisingan
Kurangi faktor presipitasi nyeri
Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan
intervensi
Ajarkan tentang teknik non farmakologi: napas
dala, relaksasi, distraksi, kompres hangat/
dingin
Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri
Tingkatkan istirahat
Berikan informasi tentang nyeri seperti
aktivitas, aktivitas berulang-
ulang)
Respon autonom (seperti
diaphoresis, perubahan td,
perubahan nafas, nadi dan
dilatasi pupil)
Perubahan autonomic dalam
tonus otot (mungkin dalam
rentang dari lemah ke kaku)
Tingkah laku ekspresif
(contoh : gelisah, merintih,
menangis, waspada, iritabel,
nafas panjang/berkeluh
kesah).
Menyatakan rasa nyaman
setelah nyeri berkurang
Tanda vital dalam rentang
normal
Tidak mengalami gangguan
tidur
penyebab nyeri, berapa lama nyeri akan
berkurang dan antisipasi ketidaknyamanan dari
prosedur
Monitor vital sign sebelum dan sesudah
pemberian pertama kali
Diagnosa Keperawatan/
Masalah Kolaborasi
Rencana keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Konstipasi berhubungan dengan
Fungsi:kelemahan otot
abdominal, Aktivitas fisik
tidak mencukupi
Perilaku defekasi tidak
teratur
Perubahan lingkungan
Toileting tidak adekuat:
posisi defekasi, privasi
Psikologis: depresi, stress
emosi, gangguan mental
Farmakologi: antasid,
antikolinergis,
antikonvulsan, antidepresan,
kalsium karbonat,diuretik,
besi, overdosis laksatif,
NSAID, opiat, sedatif.
Mekanis: ketidakseimbangan
elektrolit, hemoroid,
NOC:
Bowl Elimination
Hidration
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3x 24 jam
konstipasi pasien teratasi dengan
kriteria hasil:
Pola BAB dalam batas normal
Feses lunak
Cairan dan serat adekuat
Aktivitas adekuat
Hidrasi adekuat
NIC :
Manajemen konstipasi
Identifikasi faktor-faktor yang menyebabkan
konstipasi
Monitor tanda-tanda ruptur bowel/peritonitis
Jelaskan penyebab dan rasionalisasi tindakan
pada pasien
Konsultasikan dengan dokter tentang
peningkatan dan penurunan bising usus
Kolaburasi jika ada tanda dan gejala konstipasi
yang menetap
Jelaskan pada pasien manfaat diet (cairan dan
serat) terhadap eliminasi
Jelaskan pada klien konsekuensi menggunakan
laxative dalam waktu yang lama
Kolaburasi dengan ahli gizi diet tinggi serat
dan cairan
Dorong peningkatan aktivitas yang optimal
Sediakan privacy dan keamanan selama BAB.
gangguan neurologis,
obesitas, obstruksi pasca
bedah, abses rektum, tumor
Fisiologis: perubahan pola
makan dan jenis makanan,
penurunan motilitas
gastrointestnal, dehidrasi,
intake serat dan cairan
kurang, perilaku makan yang
buruk
DS:
Nyeri perut
Ketegangan perut, Anoreksia
Perasaan tekanan pada
rectum, Nyeri kepala
Peningkatan tekanan
abdominal, Mual
Defekasi dengan nyeri
DO:
Feses dengan darah
segar,Perubahan pola BAB
Feses berwarna gelap,
Penurunan frekuensi BAB
Penurunan volume feses
Distensi abdomen, Feses
keras
Bising usus hipo/hiperaktif,
Teraba massa abdomen atau
rektal
Perkusi tumpu, Sering flatus,
Muntah.
Diagnosa Keperawatan/
Masalah Kolaborasi
Rencana keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Gangguan pola tidur
berhubungan dengan:
Psikologis : usia tua,
kecemasan, agen biokimia,
suhu tubuh, pola aktivitas,
depresi, kelelahan, takut,
kesendirian.
Lingkungan : kelembaban,
kurangnya privacy/kontrol
tidur, pencahayaan, medikasi
(depresan,
stimulan),kebisingan.
Fisiologis : Demam, mual,
posisi, urgensi urin.
DS:
Bangun lebih awal/lebih
lambat
Secara verbal menyatakan
tidak fresh sesudah tidur
DO :
Penurunan kemempuan
fungsi
NOC:
Anxiety Control
Comfort Level
Pain Level
Rest : Extent and Pattern
Sleep : Extent ang Pattern
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3 x 24 jam
gangguan pola tidur pasien teratasi
dengan kriteria hasil:
Jumlah jam tidur dalam batas
normal
Pola tidur,kualitas dalam batas
normal
Perasaan fresh sesudah
tidur/istirahat
Mampu mengidentifikasi hal-
hal yang meningkatkan tidur
NIC :
Sleep Enhancement
Determinasi efek-efek medikasi terhadap
pola tidur
Jelaskan pentingnya tidur yang adekuat
Fasilitasi untuk mempertahankan aktivitas
sebelum tidur (membaca)
Ciptakan lingkungan yang nyaman
Kolaburasi pemberian obat tidur
Penurunan proporsi tidur
REM
Penurunan proporsi pada
tahap 3 dan 4 tidur.
Peningkatan proporsi pada
tahap 1 tidur
Jumlah tidur kurang dari
normal sesuai usia