Demam Berdarah Dengue
-
Upload
ricky-depe -
Category
Documents
-
view
219 -
download
0
description
Transcript of Demam Berdarah Dengue
BAB IPENDAHULUAN
Demam berdarah adalah penyakit akut yang disebabkan oleh virus
dengue, yang ditularkan oleh nyamuk. Manifestasi klinis berupa demam,
nyerio otot, dan/ atau nyeri sendi yang disertai leucopenia, ruam,
limfadenopati, trombositopenia dan diathesis hemorragik. Pada demam
berdarah (DBD) terjadi perembesan plasma yang ditandai oleh
hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga
tubuh. Sindrom renjatan dengue (dengue shock sindrom) adalah demam
berdarah yang ditandai oleh renjatan/shock. (Suhendro, 2006)
Epidemi dengue dilaporkan sepanjang abad kesembilan belas dan
awal abad kedua puluh di Amerika, Eropa Selatan, Afrika Utara, Mediterania
Timur, Asia dan Australia dan pada beberapa pulau di Samudra India, pasifik
selatan dan tengah serta Karibia. Dengue Fever telah meningkat sepanjang 40
tahun, dan pada tahun 1996, 2500-3000 juta orang tinggal di area yang secara
potensialberesiko terhadap penularan virus dengue. Setiap tahun, diperkirakan
terdapat 20 juta kasus infeksi dengue, mengakibatkankira-kira 24 juta
kematian (WHO, 1999)
Indonesia dimasukkan dalam kategori “A” dalam stratifikasi DBD
oleh World Health Organization (WHO) 2001 yang mengindikasikan
tingginya angka perawatan rumah sakit dan kematian akibat DBD, khususnya
pada anak.1-3 Data Departemen Kesehatan RI menunjukkan pada tahun 2006
(dibandingkan tahun 2005) terdapat peningkatan jumlah penduduk, provinsi
dan kecamatan yang terjangkit penyakit ini, dengan case fatality rate sebesar
1,01% (2007).(Chen Khie, 2009)
BAB II
1
DEMAM BERDARAH DENGUE
2.1. Definisi
Demam dengue atau dengue fever (DF) dan demam berdarah dengue
(DBD) atau dengue haemorrhagic fever (DHF) adalah penyakit infeksi yang
disebabkan oleh virus dengue yang disebarkan oleh nyamuk aedes aegypti
dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot atau nyeri sendi yang disertai
leucopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia, dan diatesis hemoragik
(Suhendro, 2006). Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai oleh
hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga
tubuh. Sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome) adalah demam
berdarah dengue yang ditandai oleh renjatan/syok.
2.2. Epidemiologi
Pada tahun 2005, virus dengue dan nyamuk aedes aegypti telah
menyebar di daerah tropis dimana terdapat 2.5 miliar orang berisiko terkena
penyakit ini di daerah endemik (Gubler, 2002).
Secara umum, demam dengue menyebabkan angka kesakitan dan
kematian lebih besar disbanding dengan infeksi arbovirus yang lainnya pada
2
manusia. Setiap tahun diperkirakan terdapat 50-100 juta kejadian infeksi
dengue yang mana ratusan ribu kasus demam berdarah dengue terjadi,
tergantung dari aktifitas epidemiknya (WHO, 2000).
Depkes RI melaporkan bahwa pada tahun 2010 di Indonesia tercatat
14.875 orang terkena DBD dengan kematian 167 penderita. Daerah yang
perlu diwaspadai adalah DKI Jakarta, Bali,dan NTB.
2.3. Faktor Risiko
Infeksi virus dengue pada manusia menyebabkan gejala dengan
spektrum luas, berkisar dari demam biasa sampai penyakit perdarahan yang
serius. Pada area endemik, infeksi dengue memiliki gejala klinis yang tidak
spesifik, terutama pada anak-anak. Gejala yang tampak hanya seperti infeksi
virus pada umumnya.
Faktor risiko yang penting dan berpengaruh terhadap proporsi pasien
yang mengalami gejala yang berat selama transmisi endemik di antaranya
strain dan serotipe virus yang menginfeksi, status imunitas dari setiap
individu, usia penderita, faktor genetik dari pasien (WHO, 1997; Gubler,
1998).
2.4. Etiologi
Demam dengue dan DHF disebabkan oleh virus dengue, yang termasuk
dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus
dengan diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan
berat molekul 4x106 (Suhendro, 2006). Virus ini termasuk genus flavivirus
dari family Flaviviridae. Ada 4 serotipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-
4. Serotipe DEN-3 merupakan jenis yang sering dihubungkan dengan kasus-
kasus parah. Infeksi oleh salah satu jenis serotipe ini akan memberikan
kekebalan seumur hidup tetapi tidak menimbulkan kekebalan terhadap
serotipe yang lain. Sehingga seseorang yang hidup di daerah endemis DHF
dapat mengalami infeksi sebanyak 4 kali seumur hidupnya.
Dengue adalah penyakit daerah tropis dan ditularkan oleh nyamuk
Aedes aegypti. Nyamuk ini adalah nyamuk rumah yang menggigit pada siang
3
hari. Faktor risiko penting pada DHF adalah serotipe virus, dan faktor
penderita seperti umur, status imunitas, dan predisposisi genetis. Vektor
utama penyakit DBD adalah nyamuk Aedes aegypti (diderah perkotaan) dan
Aedes albopictus (didaerah pedesaan). Ciri-ciri nyamuk Aedes aegypti
adalah :
Sayap dan badannya belang-belang atau bergaris-garis putih
Berkembang biak di air jernih yang tidak beralaskan tanah seperti bak
mandi, WC, tempayan, drum, dan barang-barang yang menampung air
seperti kaleng, pot tanaman, tempat minum burung, dan lain – lain.
Jarak terbang ± 100 meter
Nyamuk betina bersifat ‘ multiple biters’ (mengigit beberapa orang
karena sebelum nyamuk tersebut kenyang sudah berpindah tempat)
Tahan dalam suhu panas dan kelembapan tinggi
2.5. Patogenesis
Patogenesis terjadinya demam berdarah dengue sampai saat ini masih
diperdebatkan. Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa
mekanisme imunopatologis berperan dalam terjadinya demam berdarah
dengue dan sindrom renjatan dengue (Suhendro, 2006).
Virus dengue (Aedes aegypti), setelah memasuki tubuh akan melekat
pada monosit dan masuk ke dalam monosit. Kemudian terbentuk mekanisme
aferen (penempelan beberapa segmen dari sehingga terbentuk reseptor Fc).
Monosit yang mengandung virus menyebar ke hati, limpa, usus, sumsum
tulang, dan terjadi viremia (mekanisme eferen). Pada saat yang bersamaan sel
monosit yang telah terinfeksi akan mengadakan interaksi dengan berbagai
system humoral, seperti system komplemen, yang akan mengeluarkan
substansi inflamasi, pengeluaran sitokin, dan tromboplastin yang
mempengaruhi permeabilitas kapiler dan mengaktifasi faktor koagulasi.
Mekanisme ini disebut mekanisme efektor.
Selain itu masuknya virus dengue akan membangkitakn respons imun
melalui system pertahanan alamiah (innate immune system), pada system ini
komplemen memegang peran utama. Aktifitas komplemen tersebut dapat
4
memalui monnosa-binding protein, maupun melaui antibody. Komponen
berperan sebagai opsonin yang meningkatkan fagositosis, dekstruksi dan lisis
virus dengue.
Untuk menghambat laju intervensi virus dengue, interferon α dan
interferon β berusaha mencegah replikasi virus dengue di intraselular. Pada
sisi lain limfosit B, sel plasma akan merespons melalui pembentukan
antibodi. Limfosit T mengalami ekpresi oleh indikator berbagai molekul yang
berperan sebagai regulator dan efektor.
Limfosit T yang teraktivasi mengakibatkan ekspresi protein permukaan
yang disebut ligan CD40, yang kemudian mengikat CD40 pada limfosit B,
makrofag, sel dendritik, sel endotel serta mengaktivasi berbagai tersebut.
CD40L merupakan mediator penting terhadap berbagai fungsi efektor sel T
helper, termasuk menstimulasi sel B memproduksi antibodi dan aktivasi
makrofag untuk menghancurkan virus dengue.
Infeksi virus dengue menyebabkan aktivasi makrofag yang
memfagositosis kompleks virus-antibodi non netralisasi sehingga virus
bereplikasi di makrofag. Terjadinya infeksi makrofag oleh virus dengue
menyebabkan aktivasi T helper dan T sitotoksik sehingga diproduksi limfokin
dan interferon gamma. Interferon gamma akn mengaktivasi monosit sehingga
disekresi berbagai mediator radang seperti TNF-, IL-1, PAF (platelet
activating factor), IL-6 dan histamin yang menyebabkan terjadinya disfungsi
endotel dan terjadi kebocoran plasma. Peningkatan C3a dan C5a terjadi
melalui aktivasi kompleks virus-antibodi yang dapat mengakibatkan
terjadinya kebocoran plasma.
2.6. Gambaran Klinis
5
Manifestasi klinis infeksi virus dengue dapat bersifat asimptomatik,
atau dapat berupa demam yang tidak khas, demam, demam berdarah dengue,
atau syndrome syok dengue (SSD).
Pada umumnya pasien mengalami fase demam selama 2-7 hari, yang
diikuti oleh fase kritis selam 2-3 hari. Pada waktu fase ini pasien sudah tidak
demam, akan tetapi mempunyai risiko untuk terjadi renjatan jika tidak
mendapat pengobatan yang adekuat (Suhendro, 2006). Bintik-bintik
perdarahan di kulit sering terjadi, kadang disertai bintik-bintik perdarahan di
farings dan konjungtiva. Penderita juga sering mengeluh nyeri menelan, tidak
enak di ulu hati, nyeri di tulang rusuk kanan dan nyeri seluruh perut.
DHF adalah komplikasi serius dengue yang dapat mengancam jiwa
penderitanya, ditandai oleh :
demam tinggi yang terjadi tiba-tiba
manifestasi perdarahan
hepatomegali/pembesaran hati kadang-kadang terjadi syok manifestasi
perdarahan pada DHF dimulai dari tes torniquet positif dan bintik-bintik
perdarahan di kulit (ptechiae). Ptechiae ini bisa terlihat di seluruh anggota
gerak, ketiak, wajah dan gusi, juga bisa terjadi perdarahan hidung,
perdarahan gusi, perdarahan dari saluran cerna dan perdarahan dalam urin.
2.7. Langkah Diagnostik
Diagnosis dari infeksi dengue dapat ditegakkan melalui tes
laboratorium dengan cara mengisolasi virus, mendeteksi sequence RNA-
spesifik virus dengue dengan tes amplifikasi nukleotida, atau dengan
mendeteksi antibody pada serum pasien (Guzman, 2004).
Langkah diagnostik demam dengue dapat dilakukan melalui:
a. Laboratorium
Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menapis pasien
tersangka demam dengue adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin,
hematokrit, jumlah trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya
limfositosis relative disertai gambaran limfosit plasma biru.
6
Diangnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue (cell culture)
ataupun deteksi antigen virus RNA dengue dengan teknik RT-PCR (Reverse
Transcriptase Polymerase Chain Reaction), namun karena teknik yang lebih
rumit, saat ini tes serologis yang mendeteksi adanya antibody spesifik
terhadap dengue berupa antibody total, IgM maupun IgG lebih banyak.
Parameter laboratorium yang dapat diperiksa antara lain :
Leukosit
Dapat normal atau menurun. Mulai hari ke 3 dapat ditemukan limfositosis
relative (>45% dari leukosit) disertai adanya lifosit plasma biru (LPB) >
15% dari jumlah total leukosit pada fase syok akan meningkat.
Trombosit
Umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3-8.
Hematokrit
Kebocoran plasma dibuktikan peningkatan hematokrin ≥ 20% dari
hematokrin awal, umumnya dimulai pada hari ke-3 demam
Hemostasis
Dilakukan pemeriksaan AP, APTT, Fibrinogen, D- Dimer atau FDP pada
keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan pembekuan darah.
Protein/albumin
Dapat terjadi hipoalbuminemia akibat kebocoran plasma
Elektrolit
Sebagai parameter pemantauan pemberian cairan
Serelogi
Dilakukan pemeriksaan serologi IgM dan IgG terhadap dengue, yaitu:
- IgM muncul pada hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke 3,
menghilang setelah 60-90 hari
- IgG terdeteksi mulai hari ke 14 (infeksi primer), hari ke 2 (infeksi
sekunder).
NS1
Antigen NS1 dapat terdeteksi pada awal demam hari pertama sampai hari
kedelapan. Sensitivitas sama tingginya dengan spesitifitas gold standart
7
kultur virus. Hasil negatif antigen NS1 tidak menyingkirkan adanya
infeksi virus dengue.
b. Pemeriksaan Radiologis
Pada foto dada didpatkan efusi pleura, terutama pada hematoraks kanan
tetapi apabila terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat dijumpai
kedua hemitoraks. Pemeriksaan foto rontgen dada sebaiknya dalam posisi
lateral dekubitus kanan (pasien tidur pada sisi badan sebelah kanan). Asites
dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan pemeriksaan USG.
Masa inkubasi dalam tubuh mausia sekitar 4-6 hari (rentang 3-14 hari),
timbuk gejala prodormal yag tidak khas seperti nyeri kepala, nyeri tulang,
belakang dan perasaan lelah.
2.8. Diagnosis
Masa inkubasi dalam tubuh manusia sekitar 4-6 hari (rentang 3-14
hari), timbul gejala prodormal yang tidak khas, seperti nyeri kepala, nyeri
tulang belakang dan perasaan lelah.
Klasifikasi derajat penyakit Infeksi Virus Dengue, dapat dilihat pada
table berikut:
DD/DBD Derajat Gejala Lab
DD Demam
disertasi 2
atau lebih
tanda : sakit
kepala, nyeri
retro-orbital,
mialgia,
artralgia
Leukopenia
Trombositopenia,
tdk ada kebocoran
plasma
Serologi
dengue
(+)
DBD I Gejala diatas,
ditambah dgn
uji bendung
(+)
Trombositopenia
(<100.000), bukti
ada kebocoran
plasma
II Gejala diatas, Trombositopenia
8
ditambah dgn
perdarahan
spontan
(<100.000), bukti
ada kebocoran
plasma
III Gejala diatas
ditambah
dengan
kegagalan
sirkulasi (kulit
dingin dan
lembab, serta
gelisah)
Trombositopenia
(<100.000), bukti
ada kebocoran
plasma
IV Syok berat
disertai
dengan
tekanan darah
dan nadi tidak
terukur
Trombositopenia
(<100.000), bukti
ada kebocoran
plasma
Sementara untuk diagnosis Sindrom Syok Dengue (SSD) adalah
ditemukannya semua kriteria di atas untuk DBD disertai kegagalan sirkulasi
dengan manifestasi nadi yang cepat dan lemah, tekanan darah turun (≤20
mmHg), hipotensi dibandingkan standar sesuai umur, kulit dingin dan lembab
serta gelisah.
2.9. Tata Laksana
Protokol dibagi dalam 5 kategori :
1. Protokol 1: Penanganan Tersangka (Probable) DBD Dewasa tanpa Syok
Protokol ini digunakan sebagai petunjuk dalam pemberian pertolongan
pertama pada penderita DBD atau yang diduga DBD di Instalasi Gawat
Darurat dan juga dipakai sebagai petunjuk dalam memutuskan indikasi
rawat.
Seseorang yang tersangka menderita DBD Unit Gawat Darurat dilakukan
pemeriksaan hemonglonin (Hb), hematokrin (Ht), dan trombosit, bila :
9
Hb, Ht dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000-150.000,
pasien dapat dipulangkan dengan anjuran kontrol atau berobat jalan ke
Poliklinik dalam waktu 24 jam berikutnya (dilakukan pemriksaan Hb,
Ht, leukosit dan trombosit tiap 24 jam) atau bila keadaan penderita
memburuk segera kembali ke Unit Gawat Darurat.
Hb, Ht normal tetapi trombosit , 100.000 dianjurkan untuk dirawat
Hb, Ht meningkat dan tombosit normal atau turun juga dianjurka untuk
dirawat
2. Protokol 2. Pemberian Cairan pada Tersangka DBD Dewasa di
Ruanag Rawat
Pasien yang tersangka DBD tanpa perdarahan spontan dan masih dan
tanpa syok maka di ruang rawat diberikan cairan infus kristaloid dengan
jumlah seperti rumus berikut ini :
Volume cairan kristaloid / hari yang diperkukan, sesuai rumus berikut :
1500+ (20 x (BB dalam kg – 20 )
Setelah pemberian cairan dilakukan dilakukan pemberian Hb, Ht tiap 24
jam:
Bila Hb, Ht meningkan 10-20% dan tombosit < 100.000 jumlah
pemberian cairan tetap seperti rumus diatas tetapi pemantauan Hb,
Ht, trombo dilakukan tiap 12 jam.
Bila Hb, Ht meningkat > 20% dan trombosit <100.000 maka
pemberian cairan sesuai dengan protocol penatalaksanaan DBD
dengan peningkatan Ht >20%.
3. Protokol 3. Penatalaksaan DBD dengan Peningkatan Ht > 20%
Meningkatnya Ht > 20% menunjukkan bahwa tubuh mengalami defisit
cairan sebanyak 5%. Pada keadaan ini terapi awal pemberian cairan
adalah dengan memberikan infus cairan kristaloid sebanyak 6-7
ml/kg/jam. Pasien kemudian dipantau setelah 3-4 jam pemberian cairan.
Bila terjadi perbaikkan perbaikan yang ditandai dengan tanda-tanda
10
hematokrin turun, frekuensi nadi turun tekanan darah stabil, produksi
urin meningkat maka jumlah cairan infuse dikurangimenjadi 5
ml/KgBB/jam. Dua jam kemudian dilakukan pemantauan kembali dan
bila keadaan tetap menunjukkan perbaikkan maka jumlah cairan infuse
dikurangi 3ml/KgBB/jam. Bila dalam pemantauan keadaan tetap
membaik cairan dapat dihentikan24-48 jam kemudian.
Apabila setelah pemberian terapi cairan awal 6-7 ml/KgBB/jam dalam
tapi keadaan tetap tidak membaik, yang ditndai dengan Ht dan nadi
meningkat, tekanan nadi menurun < 20 mmHg, produksi urin menurun,
maka kita harus menaikkan jumlah cairan infuse menjadi 10
ml/kgBB/jam. Dua jam kemudian dilakukan pemantauan kembali dan
bila keadaan menunjukkan perbaikkan maka jumlah cairan dikuarangi
menjadi 5 ml/KgBB/jam tetapi bila keadaan tidak menunjukkan
perbaikkan maka jumlaah cairan infuse dinaikkan 15ml/KgBB/jam dan
bila dalam perkembangannya kondisi menjadi memburuk dan didapatkn
tanda-tanda syok maka pasien ditananganisesuai protocol tatalaksana
sindrom syok dengue pada dewasa. Bila syok telah teratasi maka
pemberian cairan dimulai lagi seperti terapi pemberian cairan
4. Protokol 4. Penatalaksaan Perdarahan Spontan pada DBD Dewasa
Perdarahan spontan dan masif pada penderita DBD dewasa adalah :
perdarahan hidung/epistaksis yang tidak terkendali walaupun telah
diberikan tampon hidung, perdarahan saluran cerna (hematemesis dan
melena atau hematoskesia), perdarahan saluran kencing ( hematuria,
perdarahan otak atau perdarahan sembunyi dengan jumlah perdarahan
sebanyak 4-5 ml/KgBB/jam. Pada keadaan seperti ini jumlah dan
kecepatan pemberian cairan tetap seperti keadaan DBD tanpa syok.
Pemeriksaan TD, nadi, pernapasan, dan jumlah urin dilakukan sesering
mungkin dengan kewaspadaan Hb, Ht, dan trombosit sebaiknya diulang
setiap 4-6 jam.
11
Pemberian heparin diberikan apabila secara klinis dan laboratoris
didapatkan tanda-tanda koagulasi intravaskuler diseminata (KID).
Taranfusi komponen darah diberikan sesuai indikasi. FFP diberikan bila
didapatkan defisiensi factor-faktor pembekuan darah (PT dan aPTT)
yang memanjang), PRC diberikan bila nilai Hb kurang dari 10 g/dl.
Transfusi trombosit hanya diberikan pada pasien DBD yang perdarahan
spontan dan massif dengan jumlah tromboit <100.000/mm3 disertai atau
tanpa KID
5. Protokol 5. Tatalaksanaan Sindrom Syok Dengue pada Dewasa
Bila berhadapan dengan SSD maka hal pertama yang harus diingat
adalah renjatan harus segera diatasi dan oleh karena itu penggantian
cairan dilakukan intravaskuler yang hilang harus segera dilakukan.
Angka kematian SSD 10 kali lipat dibandingakan dengan penderita
DBD tanpa renjatan. Dan renjatan dapat terjadi karena kerelambatan
penderita DBD mendapat pertolongan.
Pada kasus SSD cairan kritaloid adalah pilihan utama yang diberikan.
Penderita juga diberikan O2 2-4 liter/menit. Pemeriksaan yang harus
dilakukan adalah pemeriksaan darah perifer lengkap (DPL),
hemostalisi, analisis gas darah, kadar natrium, kalium dan klorida, serta
ureum dan kreatinin.
Pada fase awal, cairan kristaloid diguyur sebanyak 10-20ml/kgBB dan
evaluasi 15-30 menit. Bila renjatan telah teratasi ( ditandai dengan TD
sistolik 100mmHg dan tekanan nadi > 20mmHg, frekuensi nadi <100
x/menit dengan volume yang cukup, akral teraba hangat, dan kulit tidak
pucat srta dieresis 0,5-1 ml/kgBB/jam) jumlah cairan dikurangi 7
ml/kgBB/jam. Biala dalam waktu 60-120 menit keadaan tetap stabil
pemberian cairan menjadi 5ml/kgBB/jam. Bila dam waktu 60-120
menit keadaan tetap stabil pemberian cairan dikurangi 3 ml/kgBB/jam.
Bila 23-48 jam setelag renjatan teratasi tanda-tanda vital, hematokrin
tetap stabil srta dieresis cukup maka pemberian cairan perinfus
dihentikan.
12
Pengawan dini tetap dilakukan tertama dalam 24 jam pertama sejak
terjadi renjatan. Oleh karena itu untuk mengetahui apakah renjatan telah
teratasi dengan baik, diperlukan pemantauan tanda vital, pembesaran
hati, nyeri tekan didaerah hipokondrium kana dan epigastrium serta
jumlah dieresis (diusahakan 2ml/kgBB/jam). Pemantauan DPL
dipergunakan untuk pemantauan perjalanan penyakit.
Bila fase awal pemberian ternyata renjatan belum teratasi, maka
pemberan cairan kristaloid dapat ditingkatkan menjadi 20-30ml/kgBB,
dan kemudian dievaluasi setelah 20-30 menit.
Bila keadaan tetap belum teratasi, maka perhatikan nilai Ht.
Bila Ht meningkat berarti perembesan plasma masih berlangsung
maka pemberian cairan koloid merupakan pilihan.
- Pemberian koloid mula-mula diberikan 10-20ml.kgBB dan
dievaluasi setelah 10-30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi
maka pemantaun cairan dilakukan pemasangan kateter vena
sentral, dan pmberian dapat ditambah hingga jumlah maksimum
30ml/kgBB ( maksimal 1-1,5µ/hari) dengan sasaran tekanan
vena sentral 15-18cmH2O
- Bila keadaan belum teratasi harus diperhatikan dan dilakukan
koreksi terhadap gangguan asam basa, elektrolit, hipoglikemia,
anemia, KID, infeksi sekunder.
- Bila tekanan vena sentral penderita sudah sesuai dengan target
tetapu renjatan tetap belum teratasi maka dapat diberikan obat
inotropik / vasopresor.
Bila Ht menurun, berarti terjadi perdarahan (internal bleeding)
maka pada penderita diberikan transfuse darah segar 10ml/kgBB
dan dapat diulang sesuai kebutuhan.
2.10. Prognosis
Pada DBD/DSS mortalitasnya cukup tinggi
13
2.11. Pencegahan
Kegiatan ini meliputi :
1. Pembersihan jentik
- Program pemberantasan serang nyamuk (PSN)
- Menggunakan ikan (cupang, sepat)
2. Pencegahan gigitan nyamuk
- Menggunakan kelambu
- Menggunakan obat nyamuk (bakar, oles)
- Tidak melakukan kebiasaan berisiko (tidur siang, menggantung
baju)
- Penyemprotan
14
DAFTAR PUSTAKA
Suhendro dkk. Demam Berdarah Dengue. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI : 2006 : 1709-1713
WHO. Demam Berdarah Dengue : Diagnosis, Pengobatan, Pencegahan, dan Pengendalian. Jakarta : EGC : 1999
Chen Khie dkk. Diagnosis dan Terapi cairan pada Demam Berdarah Dengue. Dalam : Medicinus. Edisi Maret-Mei. Jakarta : 2009
Epstein, Judith E. dan Stephen Hoffman. 2006. Tropical Infection Disease Principles, Pathogens, and Practice: Typhoid Fever. Elsevier Inc.
Widodo, Djoko. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Demam Tifoid. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Sinha A, Sazawal S, Kumar R, et al: 1999. Typhoid fever in children aged less than 5 years. Lancet 354:734–737.18.
Lin FY, Vo AH, Phan VB, et al: The epidemiology of typhoid fever inthe Dong Thap Province, Mekong Delta region of Vietnam. Am J Trop Med Hyg 62:644–648, 2000.
Crump JA, Luby SP, Mintz ED: The global burden of typhoid fever. Bull World Health Org 82:346–353, 2004.
Departemen Kesehatan RI. Data Surveilans tahun 1994. Jakarta, 1995 p43. Data Surveialns tahun 1996. Ditjen P2M Direktorat Epidemiologi dan Imunisasi Subdirektorat Surveilans. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2996. P. 37.
Gubler, DJ: Epidemic dengue/dengue hemorrhagic fever as a public health, social and economic problem in the 21st century. Trends Micriobiol 10:100, 2002.
Suhendro, dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Demam Berdarah Dengue. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
World Health Organization: Strengthening implementation of the global strategy for dengue fever/dengue haemorrhagic fever prevention and control. Report of the Informal Consultation, World Health Organization, October 18–20, 1999, Geneva, 2000.
World Health Organization: Dengue Hemorrhagic Fever: Diagnosis, Treatment and Control, 2nd ed. Geneva, World Health Organization, 1997.
Gubler DJ: Dengue and dengue hemorrhagic fever. Clin Microbiol Rev 11:480, 1998.
Guzman MG, Kouri G: Dengue diagnosis, advances and challenges. Int J Infect Dis 8:69, 2004.
15