demam berdarah
-
Upload
yoga-kharisma -
Category
Documents
-
view
15 -
download
0
description
Transcript of demam berdarah
Demam Berdarah Dengue
Andreas Yoga Kharisma
10.2009.002
Universitas Kristen Krida Wacana, Jakarta
Pendahuluan
Dalam evolusi kehidupan, tubuh telah mengembangkan suatu sistem pertahanan yang
cukup ampuh terhadap infeksi dan peninggian suhu badan memberikan suatu peluang kerja yang
optimal untuk sistem pertahanan tubuh. Demam terjadi karena pelepasan pirogen dari dalam
leukosit yang sebelumnya telah terangsang oleh pirogen eksogen yang dapat berasal dari
mikroorganisme atau merupakan suatu hasil reaksi imunologik yang tidak berdasarkan suatu infeksi.
Demam dengue dan demam berdarah dengue adalah penyakit yang di sebabkan oleh virus
dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot atau nyeri sendi yang di sertai leucopenia,
ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diathesis hemoragik. Pada DBD terjadi perembesan
plasma yang di tandai oleh hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di
rongga tubuh. Sindrom renjatan dengua (dengua shock syndrome) adalah deman berdarah dengue
yang ditandai oleh renjatan/syok.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah selain untuk pemenuhan tugas, juga untuk
memberi penjelasan dan pembahasan lebih lanjut tentang DBD, Dengue Shock Syndrome (DSS),
disertai gejala klinis, pemeriksaan, penyebab dan mekanisme penyakit , serta pencegahannya.
Anamnesis
Anamnesis adalah wawancara terhadap pasien dalam ilmu Kedokteran. Tehnik anamnesis
yang baik disertai dengan empati merupakan seni tersendiri dalam rangkaian pemeriksaan pasien
secata keseluruhan dalam usaha untuk membuka saluran komnunikasi antara dokter dengan pasien.
Anamnesis dapat langsung di lakukan terhadap pasien (auto-anamnesis) ataupun terhadap
keluarganya atau pengantarnya (alo-anamnesis) bila keadaan pasien tidak memungkinkan untuk di
wawancaraai misalnya pada keadaan gawat darurat.
Adapun anamnesis yang baik akan terdiri dari :
1
a. Identitas
b. Keluhan utama
c. Riwayat penyakit sekarang
d. Riwayat penyakit dahulu
e. Riwayat penyakit keluarga,
f. Anamnesis pribadi.1
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan beberapa pemeriksaan
seperti, pemeriksaan tanda-tanda vital (TTV) kepada tubuh si pasien dengan melakukan pengukuran
suhu tubuh, pengukuran frekuensi tekanan darah, frekuensi pernapasan, serta frekuensi nadi
pasien.kemudian melakukan pemeriksaan Inspeksi, Palpasi, perkusi serta auskultasi (IPPA) serta yang
terakhir pemeriksaan uji bendung. Pemeriksaan palpasi pada paru dan hepar. Karena pada kasus
DBD, sering sekali di jumpai pembesaran hati. Pada paru di lakukan fremitus taktil dan melakukan
perkusi.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium2.3
Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menapis pasien tersangka demam dengue
adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin, kadar hematokrit, jumlah trombosit dan hapusan
darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif disertai gambaran limfosit plasma biru.
Diagnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue ataupun deteksi antigen virus RNA
dengue dengan teknik RT-PCR (reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction), namun teknik
yang lebih rumit, saat ini tes serologis yang mendeteksi adanya antibody spesifik terhadap dengue
berupa antibody total, IgM maupun IgG lebih banyak.
Parameter laboratori yang dapat diperiksa:
2
Leukosit: dapat normal atau menurun.
Mulai hari ke-3 dapat ditemui limfositosis relatif (> 45% dari total leukosit) disertai adanya
limfosit plasma biru (LPB) > 15% dari jumlah total leukosit yang pada fase syok akan
meningkat.
Trombosit: umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3-8 akibat depresi sumsum
tulang.
Hematokrit: kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya peningkatan hematokrit ≥
20% dari hematokrit awal. Sering ditemukan mulai hari ke-3.
Hemostasis: dilakukan pemeriksaan PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP pada keadaan
yang dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan pembekuan darah.
Imunoserologi dilakukan pemeriksaan anti-dengue IgG, IgM.
IgM : terdetaksi mulai hari ke 3-5, menigkat sampai minggu ke-3, menghilang setelah 60-90
hari.
IgG : pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke 14, pada infeksi sekunder IgG
mulai terdeteksi pada hari ke-2.
Uji HI : dilakukan pengambilan bahan pada hari pertama serta saat pulang dari perawatan,
uji ini digunakan untuk kepentingan surveilans.
Protein/ albumin dapat terjadi di hipoproteinemia akibat kebocoran plasma.
SGOT/SGPT (serum alanin aminotransferase) dapat meningkat.
Ureum dan kreatinin dapat meningkat pada keadaan gagal ginjal akut.
Gas darah terdapat gangguan pada konsentrasi gas darah sesuai dengan keadaan pasien.
Elektrolit sebagai parameter pemberian cairan.
Golongan darah dan cross match dilakukan sebelum tindakan transfusi darah untuk
keamanan pasien.
Diagnosis demam berdarah bisa di tegakkan hal-hal di bawah ini dipenuhi:
Demam antara 2-7 hari
Terdapat minimal satu dari manifestasi pendarahan berikut :
- Uji bending positif
- Perdarahan mukosa atau di tempat lain
Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ul)
3
Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage sebagai berikut
- Peningkatan hematokrit >20% dibandingan sesuai dengan umur dan jenis kelamin
- Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, di bandingkan dengan nilai
hematokrit sebelumnya
- Tanda kebocoran plasma seperti : efusi pleura asites atau hipoproteinemia
Defferential Diagnose
Demam tifoid
Demam tifoid merupakan penyakit karena kuman Salmonella typhi dan Salmonella
paratyphi yang masuk ke dalam tubuh, terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Masa
tunas demam tifoid berlangsung 10-14 hari ditandai dengan manifestasi klinik pada minggu pertama
ditemukan gejala serupa dengan infeksi akut lainynya sepeti demam,nyeri kepala, pusing, nyeri otot,
mual, muntah, perasaan tak enak diperut, batuk. Pada pemeriksaan fisik didapatkan hanya suhu
badan meningkat, sifat demam meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore hingga malam
hari, lidah yang berselaput (kotor ditengah, tepi dan ujung merah serta tremor).2
Leptospirosis
Suatu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh mikroorganisme Leptospira interogans.
Penularan terhadap manusia, manusia dapat terinfeksi kontak dengan air, atau tanah , lumpur yang
telah terkontaminasi oleh urine binatang yang telah terinfeksi leptospira, infeksi tersebut terjadi jika
terjadi luka pada kulit ataupun selaput lendir. Masa inkubasi penyakit ini 2-26 hari, biasanya 7-13
hari dan rata-rata 10 hari, gejala leptospirosis mempunyai 2 fase penyakit yang khas, fase
Leptospiraemia dengan gejala awal sakit kepala di frontal, sakit pada otot yang hebat terutama betis,
paha dan pinggang dan fase imun terjadi peningkatan titer antibodi, dapat timbul demam mencapai
suhu 40◦C mengigil dan kelemahan umum. 3
Chikungunya
Merupakan penyakit yang memiliki kesamaan vektor terhadap demam berdarah dengue (DBD)
yaitu nyamuk A. aegypti dan A. Albopictus tetapi memiliki perbedaan dalam hal genus nya,
penyakit chikungunya memliki genus Togavirus, keluarga togavirade. Memiliki manisfestasi
klinik yang sama dengan DBD yaitu demam, rasa nyeri tulang, pusing, mual, dll.
4
Working Diagnosis
Berdasarkan keterangan diagnosis sebelumnya, terlihat bahwa perbedaan utama antara
Demam Dengue dan DBD adalah di temukannya kebocoran plasma pada DBD.
DD/DBD Derajat Gejala Laboratorium
DD Demam disertai 2 atau lebih tanda;
sakit kepala,nyeri retro-orbital,mialgia,
arthralgia
- Leucopenia,
- Trombositopenia tidak di
temukan bukti kebocoran
plasma
- Serologi dengue positif
DBD I Gejala di atas di tambah uji bendung
positif
- Trombositopenia
(<100.000/ul), bukti ada
kebocoran plasma
DBD II Gejala di atas di tambah pendarahan
spontan
- Trombositopenia
(<100.000/ul), bukti ada
kebocoran plasma
DBD III Gejala di atas di tambah kegagalan
sirkulasi (kulit dingin dan lembab serta
gelisah)
- Trombositopenia
(<100.000/ul), bukti ada
kebocoran plasma
DBD IV Shock berat disertai dengan tekanan
darah dan nadi tidak terukur
- Trombositopenia
(<100.000/ul), bukti ada
kebocoran plasma
Tabel 1. Klasifikasi Derajat Penyakit Infeksi Virus Dengue
DBD derajat III dan IV juga di sebut sindrom syok dengue (SSD). Seluruh criteria diatas untuk DBD
disertai kegagalan sirkulasi dengan manifestasi nadi yang cepat dan lemah, tekanan darah turun (<20
mmHg), hipotensi di bandingkan standar sesuai umur, kulit dingin dan lembab serta gelisah.2
Demam Berdarah Dengue (DBD) berdasarkan kriteria WHO 1997 diagnosis DBD ditegakan bila
semua hal di bawah ini dipenuhi :
Kriteria Klinis:
o Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus- menerus selama 2-7
hari, biasanya bifasik.
o Terdapat manifestasi perdarahan, termasuk uji bendung positif, petekie, ekimosis,
epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis, dan / melena.
5
o Hepatomegali.
o Uji bendung dilakukan dengan membendung lengan atas menggunakan manset pada
tekanan sistolik ditambah diastolik dibagi dua selama 5 menit. Hasil uji positif bila ditemukan
10 atau lebih petekie per 2.5 cm2 (1 inci). 2,4
Kriteria Laboratorium:
o Trombositopenia (jumlah trombosit < 100.000/ml).
o Peningkatan hematokrit > 20% di bandingkan standar sesuai dengan umur dan jenis kelamin.
o Penurunan hematokrit > 20% setelah mendapat terapi cairan, di bandingkan dengan nilai
hematokrit sebelumnya
o Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites atau hipoproteinemia.
Sindrom Syok Dengue (DSS)
Kondisi pasien yang berkembang ke arah syok tiba-tiba menyimpang setelah demam selama 2-7
hari. Penyimpangan ini terjadi pada waktu, atau segera setelah, penurunan suhu—antara hari ketiga
dan ketujuh sakit. Terdapat tanda khas dari gagal sirkulasi: kulit menjadi dingin, bintul-bintul, dan
kongesti; sinosis sirkumoral sering terjadi, nadi menjadi cepat. Pasien pada awal dapat mengalami
letargi, kemudian menjadi gelisah dan dengan cepat memasuki tahap kritis dari syok. Nyeri
abdominal akut adalah keluhan sering segera sebelum awitan syok.
DSS biasanya ditandai dengan nadi cepat, lemah dengan penyempitan tekanan nadi (<20 mm Hg
[2,7 kPa]), tanpa memperhatikan tingkat tekanan, mis., 100/90 mm Hg (13,3/12,0 kPa) atau
hipotensi dengan kulit dingin dan lembab dan gelisah. Pasien yang syok dalam bahaya kematian bila
pengobatan yang tepat tidak segera diberikan. Pasien dapat melewati tahap syok berat, dengan
tekanan darah atau nadi menjadi tidak terbaca. Namun, kebanyakan pasien tetap sadar hampir pada
tahap terminal. Durasi syok adalah pendek: secara khas pasien meninggal dalam 12-24 jam, atau
sembuh dengan cepat setelah terapi penggantian volume yang tepat. Efusi pleural dan asites dapat
terdeteksi melalui pemeriksaan fisik atau radiografi. Syok yang tak teratasi dapat menimbulkan
perjalanan penyakit terkomplikasi, dengan terjadinya asidosis metabolik, perdarahan hebat dari
saluran gastrointestinal dan organ lain, dan prognosisnya buruk. Pasien dengan hemoragi
intrakranial dapat mengalami konvulsi dan koma. Ensefalopati, yang dilaporkan kadang, dapat
terjadi dalam hubungannya dengan gangguan metabolik dan elektrolit atau perdarahan intracranial.
6
Pemulihan pada pasien dengan DSS teratasi adalah singkat dan tidak rumit. Bahkan pada kasus
syok berat, jika syok telah teratasi, pasien yang dapat bertahan akan membaik dalam 2-3 hari,
meskipun efusi pleural dan asites masih tampak. Tanda prognosis yang baik adalah saluran urine
adekuat dan kembali mempunyai napsu makan.2
Etiologi
Virion dengue berbentuk sferis dengan diameter 40-50 nm, genom, RNA berupa untai
tunggal yang beratnya 10,9 kb, dan tidak bersegmen. Selubungnya terdiri atas lipid dan glikoprotein
(protein E dan protein M), sedangkan nukleokapsid berdiameter 30 nm terdiri atas protein C dan
RNA. Virus dengue termasuk arbovirus (arthropod-borne virus). Arbovirus adalah segolongan virus
yang mempunyai 2 karakteristik utama, yaitu penularan oleh arthopoda dan genomnya RNA. Lebih
dari jenis arbovirus diketahui dapat menginfeksi manusia. Terdapat 4 famili arbovirus yang sering
menyebabkan penyakit pada manusia, yaitu togaviridae, flaviviridae, bunya, dan reoviridae. Virus
dengue termasuk falvivirus. Flavivirus merupakan virus RNA untai tunggal berdiameter 40-50nm dan
memiliki selubung.5
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang termasuk
dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Falvivirus merupakan virus dengan diameter 30nm
terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal denga berat molekul 4x106.
Terdapat 4 serotype virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 yang semuanya dapat
menyebabkan DD atau DBD. Keempat serotype ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan
serotype terbanyak. Terdapat reaksi silang antara serotype dengue dengan Flavivirus lain seperti
Yellow fever, Japanese encehphalitis dan West Nile virus.
Dalam laboratorium virus dengue dapat bereplikasi pada hewan mamalia seperti tikus,
kelinci, anjing, kelelawar dan primate. Survei epidemilogi pada hewan ternak didapatkan atibody
terhadap virus dengue pada hewan kuda, sapi dan babi. Penelitian pada artropoda menunjukkan
virus dengue dapat bereplikasi pada nyamuk genus Aedes (Stegomya) dan Toxorhynchites.2
Epidemiologi
Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia tenggara, Pasifik barat dan Karibis.
Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebarah di seluruh wilayah tanah air. Insiden DBD di
Indonesia antara 6 hingga 15 per 100.000 penduduk (1989 hingga 1995); dan pernah meningkat
7
tajam saat kejadian luar biasa hingga 35 per 100.000 penduduk pada tahun 1998, sedangkan
mortalitas DBD cenderung menurun hingga mencapai 2% pada tahun 1999.2
Penularan infeksi virus dengue terjadi melalui vektor nyamuk genus Aedes (terutama A.
aegypti dan A. albopictus). Peningkatan kasus setiap tahunnya berkaitan dengan sanitasi lingkungan
dengan tersedianya tempat perindukan bagi nyamuk betina yaitu bejana yang berisi air jernih (bak
mandi, kaleng bekas dan tempat penampungan air lainnya).
Beberapa faktor diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi biakan virus dengue
yaitu:
1). vektor: perkembang biakan vektor, kebiasaan menggigit, kepadatan vektor di lingkungan,
transportasi vektor dari satu tempat ke tempat lain;
2). pejamu : terdapatnya penderita di lingkungan/keluarga, mobilisasi dan paparan terhadap
nyamuk, usia dan jenis kelamin;
3). lingkungan ; curah hujan, suhu, sanitasi dan kepadatan penduduk 2
Morfologi dan Daur Hidup
Vektor utama DHF adalah nyamuk kebun yang disebut Aedes aegypti, vektor potensialnya adalah
Aedes albopictus. Aedes aegypti dewasa berukuran lebih kecil daripada Culex quinquefasciatus yang
merupakan nyamuk rumah.
Warna dasar hitam
Bintik-bintik putih terutama pada kakinya
Mempunyai gambaran lira (lyre-form) yang putih pada punggungnya (mesonotum)
Telur Ae. Aegypti mempunyai dinding yang bergaris-garis dan menyerupai gambaran
kain kasa
Larva Ae. Aegypti mempunyai pelana yang terbuka dan gigi sisir yang berduri lateral
Berkembang biak di air jernih yang tidak beralaskan tanah seperti bak mandi,
wc,tempayan, drum, dan barang yang menampung air seperti kaleng, ban bekas, pot
tanaman air, tempat minum burung, dll.
Tahan dalam suhu panas dan kelembaban tinggi
Nyamuk betina meletakkan telurnya di dinding tempat perindukkannya 1-2 cm di atas permukaan
air. Seekor nyamuk betina dapat meletakkan rata-rata 100 butir telur tiap kali bertelur. Setelah kira-
8
kira 2 hari telur menetas menjadi larva lalu mengadakan pengelupasan kulit sebanyak 4 kali, tumbuh
menjadi pupa dan akhirnya menjadi dewasa. Pertumbuhan dari telur sampai dewasa memerlukan
waktu kira-kira 9 hari. Nyamuk betina menghisap darah pada siang baik di dalam atau di luar rumah.
Penghisapandarah dilakukan dari pagi sampai petang dengan dua puncak waktu yaitu jam 8.00-
10.00 dan 15.00-17.00. Umur nyamuk dewasa betina di alam bebas kira-kira 10 hari.6
Patofisiologi
Patogenesis terjadinya demam berdarah dengue hingga saat ini masih di perdebatkan.
Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa mekanisme imunopatologis berperan
dalam terjadinya demam berdarah dengue dan sindrom renjatan dengue.
Gambar1. Hipotesis secondary heterologous infection.2
Respons imun yang diketahui berperan delam patogenesis DBD adalah: a), respons humoral
berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam proses netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi
komplemen dan sitotoksisitas yang dimediasi antibodi. Antibodi terhadap virus dengue berperan
dalam mempercepat replikasi virus pada monosit atau makrofag. Hipotesis ini disebut anti-body
dependent enhancement (ADE); b), limfosit T baik T-helper (CD4) dan T- sitotoksik (CD8) berperan
dalam respon imun seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T helper yaitu TH1 akan memproduksi
interferon gamma, IL-2 dan limfokin, sedangkan TH2 memproduksi IL-4, IL-5, dan IL-10; c), monosit
dan makrofag berperan dalam fagositosis virus dengan optonisasi antibodi. Namun proses
9
fagositosis ini menyebabkan penigkatan replikasi virus dan sekresi sitokin oleh makrofag; d). Selain
itu aktivasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan terbentuknya C3a dan C5a.
Halstead pada tahun 1973 mengajukan hipotesis secondary heterologous infection yang
menyatakan bahwa DHF terjadi bila seseorang terinfeksi ulang virus dengue dengan tipe yang
berbeda. Re-infeksi menyebabkan reaksi amnestik antibodi sehingga mengakibatkan konsentrasi
kompleks imun yang tinggi.
Kurane dan Ennis pada tahun 1994 merangkum pendapat Halstead dan peneliti lain;
menyatakan bahwa infeksi virus dengue menyebabkan aktivasi makrofag yang memfagositosis
kompleks virus-antibodi non netralisasi sehingga virus be replikasi di makrofag. Terjadinya infeksi
makrofag oleh virus dengue menyebabkan aktivasi T-helper dan T-sitotoksik sehingga diproduksi
limfokin dan interferon gamma. Interferon gamma akan mengaktivasi monosit sehingga disekresi
berbagai mediator inflamasi seperti TNF-alfa, IL-1, PAF9platelet activating factor), IL-6 dan histamin
yang mengakibatkan terjadinya disfungsi sel endotel dan terjadi melalui kebocoran plasma.
Peningkatan C3a dan C5a terjadi melalui aktivasi oleh kompleks virus-antibodi yang juga
mengakibatkan terjadinya kebocoran plasma.
Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme:
1). Supresi sumsum tulang, dan
2). destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit.
Gambaran sumsum tulang pada fase awal infeksi (< 5 hari) menunjukkan keadaan
hiposelular dan supresi megakariosit. Setelah keadaan nadir tercapai akan terjadi peningkatan
proses hematopoiesis termasuk megakariopoiesis.
Kadar tromobopoietin dalam darah saat terjadi trombositopenia justru menunjukkan
kenaikan, hal ini menunjukkan terjadinya stimulasi trombopoiesis sebagai mekanisme kompensasi
terhadap keadaan trombositopenia. Destruksi trombosit terjadi melalui pengikatan fragmen C3g,
terdapatnya antibodi VD, konsumsi trombosit selama proses koagulopati dan sekuestrasi di perifer.
Gangguan fungsi trombosit terjadi melalui mekanisme gangguan pelepasan ADP, penigkatan kadar
b-tromboglobulin dan PF4 yang merupakan petanda degrenulasi trombosit.
10
Gambar2. Imunopatogenesis demam dengue2
Koagulopati terjadi sebagai akibat interaksi virus dengan endotel yang menyebabkan
disfungsi endotel. Berbagai penelitian menunjukan terjadinya koagulopati konsumtif pada demam
berdarah dengue stadium III dan IV. Aktvasi koagulasi pada demam berdarah dengue terjadi melalui
aktivasi jalur ekstrinsik (tissue factor pathway). Jalur intrinsik juga berperan melalui aktivasi faktor
Xia namun tidak melalui aktivasi kontak (kalikrein Cl-inhibitoh complex).
Gejala-gejala klinis
Pada penderita penyakit DBD dapat ditemukan gejala-gejala klinis sebagai berikut.
1. Demam tinggi yang berlangsung dalam waktu singkat, yakni antara 2-7 hari, yang dapat
mencapai 40◦C. Demam sering disertai gejala tidak spesifik, seperti tidak nafsu makan
(anoreksia), lemah badan (malaise), nyeri sendi dan tulang, serta rasa sakit di daerah
belakang bola mata (retro orbita) dan wajah yang kemerah-merahan (flushing).
2. Tanda-tanda perdarahan seperti mimisan (epistaksis), perdarahan gusi, perdarahan pada
kulit seperti tes Rumpeleede (+), ptekiae dan ekimosis, serta buang air besar berdarah
berwarna merah kehitaman (melena).
3. Adanya pembesaran organ hati (hepatomegali).
11
4. Kegagalan sirkulasi darah, yang ditandai dengan denyut nadi yang teraba lemah dan cepat,
ujung-ujung jari terasa dingin serta dapat disertai penurunan kesadaran dan renjatan (syok)
yang dapat menyebabkan kematian.
Penatalaksanaan2
Tidak ada terapi yang spesifik untuk demam dengue, prinsip utama adalah terapi suportif.
Dengan terapi suportif yang adekuat, angka kematian dapat diturunkan hingga kurang dari 1%.
Pemeliharaan volume cairan sirkulasi merupakan tindakan yang paling penting dalam penanganan
kasus DBD. Asupan cairan pasien harus tetap dijaga, terutama cairan oral. Jika asupan cairan oral
pasien tidak mampu dipertahankan, maka dibutuhkan suplemen cairan melalui intravena untuk
mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi secara bermakna.
Perhimpunan Dokter Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) bersama dengan Divisi Penyakit
Tropik dan Infeksi dan Divisi Hematologi dan Onkologi Medik Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia telah menyusun protokol penatalaksanaan DBD pada pasien dewasa berdasarkan kriteria:
• penatalaksanaan yang tepat dengan rancangan tindakan yang dibuat sesuai atas indikasi.
• praktis dalam pelaksanaannya.
• mempertimbangkan cost effectiveness.
Protokol ini terbagi dalam 5 kategori:
Protokol 1. Penanganan Tersangka (probable) DBD Dewasa Tanpa Syok (Gambar 3)
Protokol 1 ini digunakan sebagai petunjuk dalam memberikan pertolongan pertama pada penderita
DBD atau yang diduga DBD di Instalasi Gawat Darurat dan juga dipakai sebagai petunjuk dalam
memutuskan indikasi rawat.
Seseorang yang tersangka menderita DBD Unit Gawat Darurat dilakukan pemeriksaan hemoglobin
(Hb), hematokrit (Ht), dan trombosit, bila:
Hb, Ht dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000 - 150.000, pasien dapat
dipulangkan dengan anjuran kontrol atau berobat jalan ke Poliklinik dalam waktu 24 jam
berikutnya (dilakukan pemeriksaan Hb, Ht Lekosit dan trobosit tiap 24jam) atau bila keadaan
penderita memburuk segera kembali ke Unit Gawat Darurat.
Hb, Ht normal tetapi trombosit < 100.000 dianjurkan untuk dirawat.
Hb, Ht meningkat dan trombosit normal atau turun juga dianjurkan untuk dirawat.
Nilai rujukan Ht untuk pria adalah 40-48%, wanita 37-43%.6
12
Gambar 3. Observasi dan pemberian cairan suspek DBD dewasa tanpa renjatan di Unit Gawat
Darurat.2
Protokol 2. Pemberian Cairan pada Tersangka DBD Dewasa di Ruang Rawat. (Gambar 2)
Pasien yang tersangka DBD tanpa pendarahan spontan dan masih dan tanpa syok maka di ruang
rawat di berikan cairan infus kristaloid dengan jumlah seperti rumus berikut ini:
Volume cairan kristaloid per hari yang diperlukan, sesuai rumus berikut:
1500 + {20 x (BB dalam kg - 20)}
Contoh volume rumatan untuk BB 55 kg: 1500 -f {20 X (55-20)} =2200 ml. Setelah pemberian cairan
dilakukan pemeriksaan Hb, Ht tiap 24 jam:
Bila Hb, Ht meningkat 10-20% dan trombosit < 100.000 jumlah pemberian cairan tetap seperti
rumus di atas tetapi pemantauan Hb, Ht trombosit dilakukan tiap 12 jam.
Bila Hb, Ht meningkat > 20% dan trombosit < 100.000 maka pemberian cairan sesuai dengan
protokol penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht > 20%.
Gambar 4. Pemberian cairan pada suspek DBD dewasa di ruang rawat.2
13
Protokol 3. Penatalaksanaan DBD dengan Peningkatan Ht > 20% (Gambar 5)
Meningkatnya Ht > 20% menunjukkan bahwa tubuh mengalami defisit cairan sebanyak 5%.
Pada keadaan ini terapi awal pemberian cairan adalah dengan memberikan infus cairan kristaloid
sebanyak 6-7 ml/kg/jam. Pasien kemudian dipantau setelah 3-4 jam pemberian cairan. Bila terjadi
perbaikan yang ditandai dengan tanda-tanda hematokrit turun, frekuensi nadi turun, tekanan darah
stabil, produksi urin meningkat maka jumlah cairan infus dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam. Dua jam
kemudian dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan tetap menunjukkan perbaikan maka
jumlah cairan infus dikurangi menjadi 3 ml/kgBB/jam. Bila dalam pemantauan keadaan tetap
membaik maka pemberian cairan dapat dihentikan 24-48 jam kemudian.
Apabila setelah pemberian terapi cairan awal 6-7 ml/kgBB/jam tadi keadaan tetap tidak
membaik, yang ditandai dengan hematokrit dan nadi meningkat, tekanan nadi menurun < 20
mmHg, produksi urin menurun, maka kita harus menaikkan jumlah cairan infus menjadi 10ml/kgBB/
jam. Dua jam kemudian dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan menunjukkan perbaikan
maka jumlah cairan dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam tetapi bila keadaan tidak menunjukkan
perbaikan maka jumlah cairan infus dinaikan menjadi 15 ml /kgBB/jam dan bila dalam
perkembangannya kondisi menjadi memburuk dan didapatkan tanda-tanda syok maka pasien
ditangani sesuai dengan protokol tatalaksana sindrom syok dengue pada dewasa. Bila syok telah
teratasi maka pemberian cairan dimulai lagi seperti terapi pemberian cairan awal.
Gambar 5. Penatalaksanaan DBD dengan penigkatan hematokrit > 20%2
Protokol 4. Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada DBD Dewasa (Gambar 6)1
14
Perdarahan spontan dan masif pada penderita DBD dewasa adalah: perdarahan
hidung/epistaksis yang tidak terkendali walaupun telah diberikan tampon hidung, perdarahan
saluran cerna (hematemesis dan melena atau hematoskesia), perdarahan saluran kencing
(hematuria), perdarahan otak atau perdarahan tersembunyi dengan jumlah perdarahan sebanyak 4-
5 ml/kgBB/jam. Pada keadaan seperti ini jumlah dan kecepatan pemberian cairan tetap seperti
keadaan DBD tanpa syok lainnya. Pemeriksaan tekanan darah, nadi, pernafasan dan jumlah urin
dilakukan sesering mungkin dengan kewaspadaan Hb, Ht, dan trombosis serta hemo-stasis harus
segera dilakukan dan pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit sebaiknya diulang setiap 4-6 jam.
Pemberian heparin diberikan apabila secara klinis dan laboratoris didapatkan tanda-tanda
koagulasi intravaskular diseminata (KID). Transfusi komponen darah diberikan sesuai indikasi. FFP
diberikan bila didapatkan defisiensi faktor-faktor pembekuan (PT dan aPTT yang memanjang), PRC
diberikan spontan dan masif dengan jumlah trombosit < 100.000/mm3 disertai atau tanpa KID.
Gambar 6. Penatalaksanaan perdarahan spontan pada DBD dewasa.2
Protokol 5. Tatalaksana Sindrom Syok Dengue pada Dewasa (Gambar 7)2
Bila kita berhadapan dengan Sindrom Syok Dengue (SSD) maka hal pertama yang harus
diingat adalah bahwa renjatan harus segera diatasi dan oleh karena itu penggantian cairan
intravaskular yang hilang harus segera dilakukan. Angka kematian sindrom syok dengue sepuluh kali
lipat dibandingkan dengan penderita DBD tampa renjatan, dan renjatan dapat terjadi karena
keterlambatan penderita DBD mendapatkan pertolongan/pengobatan, penatalaksanaan yang tidak
tepat termasuk kurangnya kewaspadaan terhadap tanda-tanda renjatan dini, dan penatalaksanaan
renjatan yang tidak adekuat
15
Pada kasus SSD cairan kristaloid adalah pilihan utama yang diberikan. Selain resusitasi
cairan, penderita juga diberikan oksigen 2-4 liter/menit. Pemeriksaan-pemeriksaan yang harus
dilakukan adalah pemeriksaan darah perifer lengkap (DPL), hemostasis, analisis gas darah, kadar
natrium, kalium dan klorida, serta ureum dan kreatinin.
Pada fase awal, cairan kristaloid diguyur sebanyak 10-20 ml/kgBB dan dievaluasi setelah 15-30
menit. Bila renjatan telah teratasi (ditandai dengan tekanan darah sistolik 100 mmHg dan tekanan
nadi lebih dari 20 mmHg, frekuensi nadi kurang dari 100 kali per menit dengan volume yang cukup,
akral teraba hangat, dan kulit tidak pucat serta diuresis 0,5-lml/kgBB/jam) jumlah cairan dikurangi
menjadi 7 ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60-120 menit keadaan tetap stabil pemberian cairan
menjadi 5 ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60-120 menit kemudian keadaan tetap stabil pemberian
cairan menjadi 3 ml/kgBB jam. Bila 24-48 jam setelah renjatan teratasi tanda-tanda vital dan
hematokrit tetap stabil serta diuresis cukup maka pemberian cairan perinfus harus dihentikan
(karena jika reabsorpsi cairan plasma yang mengalami ekstravasasi telah terjadi, ditandai dengan
turunnya hematokrit, cairan infus terus diberikan maka keadaan hipervolemi, edema paru atau gagal
jantung dapat terjadi).
Gambar 7. Tatalaksana Sindrom Syok Dengue pada Dewasa.2
Pengawasan dini kemungkinan terjadinya renjatan berulang harus dilakukan terutama dalam
waktu 48 jam pertama sejak terjadi renjatan (karena selain proses patogenesis penyakit masih
berlangsung, ternyata cairan kristaloid hanya sekitar 20% saja yang menetap dalam pembuluh darah
setelah 1 jam saat pemberian). Oleh karena untuk mengetahui apakah renjatan telah teratasi
16
dengan baik, diperlukan pemantauan tanda vital yaitu status kesadaran, tekanan darah, frekuensi
nadi, frekuensi jantung dan napas, pembesaran hati, nyeri tekan daerah hipokondrium kanan dan
epigastrik, serta jumlah diuresis. Diuresis diusahakan 2 ml/kgBB/jam. Pemantauan kadar
hemoglobin, hematokrit, dan jumlah trombosit dapat dipergunakan untuk pemantauan perjalanan
penyakit.
Bila setelah fase awal pemberian cairan ternyata renjatan belum teratasi, maka pemberian
cairan kristaloid dapat ditingkatkan menjadi 20-30 ml/kgBB, dan kemudian dievaluasi setelah 20-30
menit. Bila keadaan tetap belum teratasi, maka perhatikan nilai hematokrit. Bila nilai hematokrit
meningkat berarti perembesan plasma masih berlangsung maka pemberian cairan koloid menjadi
pilihan, tetapi bila nilai hematokrit menurun, berarti terjadi perdarahan (internal bleeding) maka
penderita diberikan transfusi darah segar 10 ml/kgBB dan dap diulang sesuai kebutuhan.
Sebelum cairan koloid diberikan maka sebaiknya kita harus mengetahui sifat-sifat cairan
tersebut. Pemberian koloid sendiri mula-mula diberikan dengan tetesan cepat 10-20 ml/kgBB dan
dievaluasi setelah 10-30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi maka untuk memantau kecukupan
cairan dilakukan pemasangan kateter vena sentral, dan pemberian koloid dapat ditambah hingga
jumlah maksimum 30 ml/kgBB (maksimal 1-1,5 u/hari) dengan sasaran tekanan vena sentral 15-18
cmH20. Bila keadaan tetap belum teratasi harus diperhatikan dan dilakukan koreksi terhadap
gangguan asam basa, elektrolit, hipoglikemia, anemia, KID, infeksi sekunder. Bila tekanan vena
sentral penderita sudah sesuai dengan target tetapi renjatan tetap belum teratasi maka dapat
diberikan obat inotropik/vasopresor.
Prognosis
Kematian telah terjadi pada 40-50% penderita dengan syok, tetapi dengan perawatan
intensif yang cukup, kematian akan kurang dari 25. Ketahanan hidup secara langsung terkait dengan
manajemen awal dan intensif
Kematian dijumpai pada waktu ada pendarahan yang berat, syok yang tidak teratasi, efusi
pleura dan asites yang berat dan kejang. Kematian dapat juga disebabkan oleh sepsis karena
tindakan lingkungan bangsal rumah sakit yang kurang bersih. Kematian dapat juga disebabkan oleh
sepsis karena tindakan dan lingkuan bangsal yang kurang bersih. Kematian terjadi pada kasus berat
yaitu pada waktu muncul komplikasi pada sistem syaraf, kardiovaskular, pernapasan, darah dan
organ lain.7
17
Pencegahan7
Kemungkinan ada vaksinasi dengue dapat mensensitisasi resipien sehingga terjadi infeksi
dengue yang dapat menyebabkan demam berdarah.
Pencegahan /pemberantasan DBD dengan membasmi nyamuk dan sarangnya dengan melakukan
tindakan 3M, yaitu:
Menguras tempat-tempat penampungan air secara teratur seminggu sekali atau
menaburkan bubuk larvasida (abate).
Menutup rapat-rapat tempat penampungan air.
Mengubur/menyingkirkan barang bekas yang dapat menampung air.
o Singkirkan pakaian-pakaian yang tergantung di gantungan pakaian di balik pintu dalam kamar
karena nyamuk Aedes aegypti senang berada di tempat agak gelap seperti kamar tidur dan
istirahat di pakaian yang tergantung atau pada korden yang berwarna agak gelap.
o Hindari tidur siang, terutama di pagi hari jam 9-10 atau sore hari sekitar jam 3-5, karena nyamuk
Aedes mempunyai kebiasaan mengigit pada jam-jam tersebut.
o Gunakan obat racun nyamuk, boleh obat nyamuk bakar, gosok maupun semprot, atau tidur
menggunakan kelambu yang sudah di bubuhi racun nyamuk. Atau gunakan kipas angin di kamar
tidur karena nyamuk umumnya tidak senang dengan lingkungan yang berangin.
Pengobatan
Diperlukan evaluasi segera tanda-tanda vital dan tingkat hemokonsentrasi, dehidrasi, dan
ketidakseimbangan elektrolit. Pemantauan dekat adalah sangat penting selama sekurang-kurangnya
48 jam karena syok dapat terjadi atau kumat dengan cepat pada awal penyakit. Penderita yang
sianosis atau mengalami nafas berat harus di beri oksigen. Penggantian cepat cairan dan elektrolit
intravena sering dapat mempertahankan penderita sampai terjadi penyembuhan secara spontan.
Bila kenaikan hematokrit menetap sesudah pemberian cairan, pemberian plasma atau preparat
koloid plasma terindikasi. Harus hati-hati dilakukan agar tidak terjadi overhidrasi yang mungkin turut
menyebabkan gagal jantung. Transfusi darah segar atau suspense trombosit dalam plasma mungkin
di perlukan untuk mengendalikan perdarahan, transfuse ini tidak boleh di berikan selama
hemokonsentrasi tetapi hanya sesudah evaluasi harga hemoglobin atau hematokrit. Salisilat
terkontraindikasi karena pengaruhnya pada koagulasi darah.
Paraldehid atau kloralhidrat mungkin di perlukan untuk anak yang sangat gelisah.
Penggunaan pressor amin, agen penyekat A-adrenergik, dan aldosteron tidak menyebabkan
18
penurunan mortalitas yang bermakna di banding dengan yang di amati pada terapi pendukung
sederhana. 7,8
.Kesimpulan
Penyakit demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit menular yang disebabkan
oleh virus genus Flavivirus famili Flaviviridae, mempunyai 4 jenis serotipe yaitu den-1, den-2, den-3
dan den-4 melalui perantara gigitan nyamuk Aedes aegypti, dimana den-3 merupakan serotipe yang
dominan dan mengakibatkan gejala yang berat. Penyakit ini menyerang semua usia tetapi pada
anak-anak dapat menyebabkan kematian. DBD memiliki empat derajat, dimana derajat ke-4
merupakan yang paling berbahaya karena disertai oleh syok atau bisa disebut dengue syok syndrom
(DSS). Oleh karena itu, timbulnya gejala DBD atau DSS harus cepat ditangani dengan melakukan
pemeriksaan hematokrit dan trombosit secara teratur.
19
Daftar Pustaka
1. Sehundro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Demam berdarah
dengue. Jilid I. Edisi ke-5. Jakarta: InternaPublishing; 2009:hal 25-7
2. Sehundro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Demam berdarah
dengue. Jilid III. Edisi ke-5. Jakarta: InternaPublishing; 2009:hal 2773-889
3. Rani AA, Soegondo S, Nasir AUZ, Wijaya IP, Nafrialdi, Mansjoer. Panduan pelayanan medik perhimpunan dokter spesialis penyakit dalam indonesia. Jakarta: PB PAPDI; 2008.
4. Zein U. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Leptospirosis. Jilid III. Edisi ke-5. Jakarta: InternaPublishing; 2009:hal 2807-11.
5. Sutanto I, Ismid IS, Sjarifuddin PK, Sungkar S. Parasitologi kedokteran. Edisi ke-4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2008.h.265-7.
6. Leo R. Demam dengue (dengue fever)/demam berdarah dengue. 2008 Jun. Di unduh dari: http://www.dokterku.net/index.php?option=com_content&task=view&id=30&Itemid=1 2014 nov 23
7. Nawangsih EN. Diagnosis demam berdarah dengue. Medika Kartika (Majalah Ilmiah Kedokteran) vol 3 no 2, hal 101-10, 2005.
20