data baru
-
Upload
setiowagiyanto -
Category
Documents
-
view
71 -
download
1
description
Transcript of data baru
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Departemen Kesehatan menetapkan visi Indonesia sehat pada tahun 2010,
melalui Keputusan Menkes RI nomor 574/Menkes/SK/IV/2000, visi ini
menggambarkan bahwa pada tahun 2010 bangsa Indonesia hidup dalam lingkungan
sehat, berprilaku hidup bersih dan sehat serta mampu menjangkau pelayanan
kesehatan yang bermutu secara adil dan merata sehingga memiliki derajat kesehatan
yang setinggi-tingginya. Untuk mencapai harapan tersebut kini Departemen
Kesehatan ini menuangkan visi barunya yaitu : “Masyarakat Mandiri Untuk Hidup
Sehat” dengan Misi ”Membuat Masyarakat Sehat” artinya dengan visi baru tersebut
setiap usaha-usaha kesehatan diarahkan untuk menjamin masyarakat yang sehat dan
produktif.
Masa krisis proses tumbuh kembang anak anak adalah masa di bawah usia lima
tahun (Balita). Lebih dari 8 juta anak usia balita meninggal setiap tahun. Hampir 90
% kematian disebabkan enam kondisi, yakni penyebab neonatal, pneumonia, diare,
malaria, campak, dan HIV/AIDS. Selama kurun waktu 1960- 1990, kematian anak di
Negara berkembang adalah 1 di antara 10 meninggal pada usia balita. Oleh karena
itu, salah satu tujuan MDGs 2015 adalah untuk menurunkan angka kematian anak
(Millenium Development Goals.)
Masalah-masalah kesehatan yang banyak terjadi di Indonesia di antaranya adalah
tingginya angka pertumbuhan penduduk, disparitas status kesehatan, beban ganda
1
penyakit, yang mana data epidemiologi menunjukkan terjadi peningkatan prevalensi
penyakit, baik penyakit menular yang baru dan lama (re-emerging dan new emerging
disease) maupun tidak menular, dan penyakit degeneratif (noncommunicable
disease), peningkatan kematian akibat kecelakaan, dan menurunnya mutu kesehatan
keluarga, terutama Kesehatan Ibu Dan Anak (Konas Jen X, 2003: WHO Report,
2002).
Menyambut paradigma sehat 2010 yamg baru dirancang, kualitas sumber daya
manusia tentu saja merupakan faktor yang utama dan keberadaan Thalassemia,
Thalassemia tentu saja akan menurunkan kualitas kesehatan masyarakat. Thalassemia
yaitu penyakit anemi hemolitik herediter yang diturunkan dari kedua orang tua
kepada anak-anaknya secara resesif, menurut hukum mendel. Thalassemia untuk
pertama kali dijelaskan oleh Cooley (1925), yang ditemukan pada orang Amerika
keturunan italia. Penyakit ini ternyata banyak ditemukan di daerah Mediteranean dan
daerah sekitar khatulistiwa. Di Indonesia Thalassemia merupakan penyakit terbanyak
diantara golongan anemia hemolitikdengan penyebab intrakorpuler (Rusepno, 2007).
Di Dunia frekuensi pembawa gen Thalasemia berkisar 8 % sampai 15 % dari
total jumlah penduduk. Berdasarkan data terakhir dari Badan Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO) menyebutkan 250 juta penduduk dunia (4,5%) membawa\ genetik
Thalasemia. Dari 250 juta, 80-90 juta di antaranya membawa genetik Thalasemia
Beta (Iskandar, 2010).
Sementara itu di Indonesia Jumlah penderita Thalasemia hingga tahun 2009 naik
menjadi 8, 3 persen dari 3.653 penderita yang tercatat pada tahun 2006. Hampir 90%
2
para penderita penyakit genetik sintesis Hemoglobin (Hb) ini berasal dari kalangan
masyarakat miskin. Kejadian Thalasemia sampai saat ini tidak bisa terkontrol terkait
faktor genetik sebagai batu sandungan dan belum maksimalnya tindakan screening
untuk Thalasemia khususnya di Indonesia (Ruswandi, 2009).
Angka Kematian Balita per 1.000 kelahiran hidup di Provinsi Bengkulu tahun
2011 adalah 8,5 % per 1.000 kelahiran hidup. Bila dirinci menurut jenis kelamin
ternyata angka kematian balita laki-laki lebih tinggi, yaitu 3,3 per 1.000 kelahiran
hidup dibandingkan angka kematian balita perempuan yaitu hanya 1,5 per 1.000
kelahiran hidup (Profil Kesehatan Provinsi Bengkulu, 2011).
Menurut data di ruangan Edelweis di RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu pada tahun
2010 terdapat 7 kasus penderita Thalassemia, dan mengalami peningkatan pada tahun
2011 terdapat 139 kasus penderita Thalassemia, sedangkan pada tahun 2012 terjadi
sedikit penurunan terdapat 134 kasus penderita Thalassemia.
Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk membahas lebih lanjut melalui
studi kasus dengan judul “Asuhan Kebidanan Pada Anak “ ” Dengan Penanganan
Kasus Thalassemia Di Ruang Edelweis RSUD dr.M. Yunus Bengkulu Tahun 2013.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkang latar belakang diatas, maka dapat diambil perumusan masalah
sebagai berikut : “Bagaimana penatalaksanaan Asuhan Kebidanan Pada Anak dengan
Thalassemia di RSUD dr. M. Yunus Bengkulu tahun 2013” dengan menggunakan
pendekatan manajemen kebidanan menurut pendokumentasian SOAP.
3
1.3 Tujuan Studi Kasus
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk dapat melaksanakan dan meningkatkan kemampuan penulis dalam
penanganan asuhan kebidanan pada anak dengan Thalassemia sesuai teori
manajemen kebidanan pendokumentasian SOAP.
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Penulis mampu melaksanakan pengkajian pada anak dengan Thalassemia
meliputi subjektif dan objektif.
b. Penulis mampu melakukan pendokumentasian hasil analisis dan interpretasi
(kesimpulan) dari data subjektif dan objektif pada anak dengan Thalassemia.
c. Penulis mampu membuat rencana asuhan saat ini dan yang akan datang.
Rencana asuhan disusun berdasarkan hasil analisis dan interpretasi data pada
anak dengan thalassemia.
d. Penulis mampu menganalisa kesejangan antara teori kasus nyata di lapangan
termasuk faktor pendukung dan faktor penghambat.
a. Penulis mampu memberikan alternatif pemecahan masalah jika
terdapat kesenjangan pada asuhan kebidanan yang telah di berikan
pada anak dengan Thalassemia.
4
1.4 Manfaat Studi Kasus
1.4.1 Manfaat teoritis
Menambah wacana ilmu pengetahuan baik untuk penulis maupun pembaca
dalam proses memberikan : “ Asuhan Kebidanan Pada Anak “ “ Dengan
Penanganan Kasus Thalassemia Di Ruang Edelweis RSUD dr. M. Yunus
Bengkulu Tahun 2013” sesuai dengan wewenang bidan.
1.4.2 Manfaat praktis
Menambah keterampilan kearah pelayanan kebidanan secara profesional dan
sesuai dengan kode etik kebidanan.
1.5 Keaslian Studi Kasus
Studi kasus tentang Thalassemia ini pernah dilakukan oleh : Eprianto (2011),
dengan judul “Asuhan Keperawatan Pada An. “C” umur 3 tahun dengan Thalassemia
di RSUD Kebumen Kecamatan Gombong Kabupaten Kebumen”.
Dikaji tanggal 18 Mei 2009 pasien terlihat lemas dan pucat, konjungtiva anemis,
ekstremitas dingin. Tanda-tanda vital N : 106 kali/menit, R : 20 kali/menit, Suhu :
35,6 °C. Gigi pasien terlihat kotor, mukosa bibir kering, rambut tak rapi. Dilakukan
pemasangan inful NaCl 12 temp, pasien mendapatkan terapi oral paracetamol sirup ¼
sendok jika perlu. Berat badan 13 kg, golongan darah B, Hb : 5 g/dl, Tinggi badan :
95 cm. Penatalaksanaan pada Thalassemia : Diberikan kelasi besi (desferoxamine),
Vitamin C 100-250 mg perhari, Asam Folat 2-5 mg perhari, dan Vitamin E 200-400
IU perhari.
5
Perbedaan dengan penelitian studi kasus saya terletak pada perbedaan tempat,
waktu, dan objek yang diteliti. Pada penelitian saya, saya mengambil tempat
penelitian di ruang Edelweis RSUD dr.M. Yunus Bengkulu, tahun 2013, dan objek
yang diteliti mengenai Thalassemia pada anak.
1.6 Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan Karya Tulis Ilmiah ini dibuat sistematika penulisan
meliputi :
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini penulis menjelaskan secara singkat mengenai latar
belakang, perumusan masalah, manfaat studi kasus, tujuan studi kasus,
keaslian studi kasus, dan sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN TEORI
Dalam bab ini berisi tentang teori medis Thalassemia, Thalassemia,
manajemen kebidanan SOAP dan kerangka konsep.
BAB III METODOLOGI
Dalam bab ini berisi tentang jenis studi kasus, lokasi studi kasus,
subjek studi kasus, waktu studi kasus, instrumen studi kasus, teknik
pengumpulan data, dan alat-alat yang dibutuhkan.
BAB IV TINJAUAN KASUS DAN PEMBAHASAN
Bab ini menyajikan laporan kasus dengan menggunakan manajemen
kebidanan menurut pendokumentasian SOAP dan evaluasi.
6
Pembahasan berisi tentang kesenjangan teori praktek yang penulis
temukan sewaktu pengambilan kasus dengan pendekatan asuhan
kebidanan dalam bentuk pendokumentasian SOAP.
BAB V PENUTUP
Berisi tentang kesimpulan dan saran. Kesimpulan dirumuskan untuk
menjawab tujuan penulis dan merupakan inti dari pembahasan
penanganan anak sakit dengan Thalassemia. Saran merupakan
alternatif pemecahan masalah dan anggapan kesimpulan yang berupa
kesenjangan. Pemecahan masalah hendaknya bersifat realitas
operasional yang artinya saran itu dapat dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori Medis
2.1.1 Pertumbuhan Dan Perkembangan Anak
Pengertian
Pengertian anak menurut WHO, yaitu sejak terjadinya konsepsi sampai usia
18 tahun. Anak memiliki suatu ciri yang khas yaitu yang selalu tumbuh dan
berkembang sejak saat konsepsi sampai berakhirnya masa remaja.
Pertumbuhan merupakan bertambahnya ukuran fisik dan struktur tubuh dalam
ari sebagian atau seluruhnya karena adanya multiplikasi sel-sel tubuh dan juga karena
bertambah besarnya sel (Nursalam, 2008).
Perkembangan adalah bertambahnya kemampuan struktur/fungsi tubuh yang
lebih kompleks dalam pola yang teratur, dapat diperkirakan atau diramalkan sebagai
hasil dari proses diferensiasi sel, jaringan tubuh, organ-organ, dan sistemnya yang
terorganisasi (IDAI, 2002).
2.1.2 Tahap Pertumbuhan Dan Perkembangan
Ada beberapa tahapan pertumbuhan dan perkembangan pada masa anak-
anak menurut Soetjiningsih (2002), tahapan tersebut sebagai berikut :
a) Masa pranatal (konsepsi-lahir), terbagi atas :
1. Masa embrio : masa konsepsi-8 minggu
2. Masa janin : 9 minggu- kelahiran
3. Masa pascanatal, terbagi atas :
8
b) Masa neonatal usia 0-28 hari
c) Masa bayi
Masa bayi dini : 1-12 bulan
Masa bayi akhir : 1-2 tahun
d) Masa prasekolah (usia 2-6 tahun), terbagi atas :
Prasekolah awal (masa balita) : mulai 2-3 tahun
Prasekolah akhir : mulai 4-6 tahun
e) Masa sekolah atau masa praburtas, terbagi atas :
Wanita : 10-18 tahun
Laki-laki : 8-12 tahun
2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi tumbuh kembang
Pola pertumbuhan dan perkembangan secara normal antara anak yang satu
dengan yang lainnya pada akhirnya tidak selalu sama, karena dipengaruhi oleh
interaksi banyak faktor. Menurut Soetjiningsih (2002), faktor yang mempengaruhi
tumbuh kembang dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu faktor internal dan
eksternal.
Faktor dalam (internal)
Faktor lingkungan (eksternal)
9
2.2.1 Faktor Dalam (Internal)
a. Genetika
Faktor genetis akan mempengaruhi kecepatan pertumbuhan dan kematangan
tulang, alat seksual, serta saraf sehingga merupakan modal dasar dalam
mencapai hasil akhir proses tumbuh kembang, yaitu :
1. Perbedaan Ras, Etnis, Atau Bangsa
Tinggi badan orang Eropa akan berbeda dengan orang Indonesia atu
bangsa lainnya, dengan demikian postur tubuh tiap bangsa berlainan.
2. Keluarga
Ada keluarga yang cenderung mempunyai tubuh gemuk atau
perawakan pendek.
3. Umur
Masa pranatal, masa bayi, dan masa remaja merupakan tahap yang
mengalami pertumbuhan cepat dibandingkan dengan masa lainnya.
4. Jenis kelamin
Wanita akan mengalami masa prapubertas lebih dahulu dibandingkan
dengan laki-laki.
5. Kelainan kromosom
Dapat menyebabkan kegagalan pertumbuhan, misalnya sindrom
Down.
10
b. Pengaruh hormon
Pengaruh hormon sudah terjadi sejak masa pranatal, yaitu saat janin
berumur 4 bulan. Pada saat itu terjadi pertumbuhan yang cepat.
Hormon yang berpengaruh terutama adalah hormon pertumbuhan
somatotropin yang dikeluarkan oleh kelenjar pituitari.
2.2.2 Faktor Lingkungan (Eksternal)
Faktor lingkungan yang dapat berpengaruh dikelompokkan menjadi tiga
yaitu, pra natal, kelahiran, dan pascanatal.
1. Faktor pra natal
a. Gizi,
Nutrisi ibu hamil mempengaruhi pertumbuhan janin, terutama selama
trimester akhir kehamilan.
b. Mekanis
c. Posisi janin yang abnormal.
d. Zat kimia
e. Kelainan endokrin
f. Infeksi TORCH atau penyakit menular seksual
g. Kelainan imunologi
h. Psikologis ibu
11
2. Faktor Kelahiran
Riwayat kelairan dengan vakum ekstrasi atau forcep dapat
menyebabkan trauma kepala pada bayi sehingga berisiko terjadinya
kerusakan otak.
3. Faktor pascanatal
Seperti pada masa pranatal, faktor yang berpengaruhi terhadap tumbuh
kembang anak adalah gizi, penyakit kronis/kelainan kongenital,
lingkungan fisik dan kimia, psikologis, endokrin, sosial-ekonomi,
lingkungan pengasuh, stimulasi dan obat-obatan.
2.3 Thalassemia
2.3.1 Pengertian
Thalassemia merupakan suatu penyakit kongenital heriditer yang diturunkan
secara autosom berdasarkan kelainan hemoglobin, dimana satu atau lebih rantai
polipeptida hemoglobin kurang atau tidak terbentuk sehingga mengakibatkan
terjadinya anemi hemolitik (Broyles,1997). Dengan kata lain, Thalassemia
merupakan penyakit anemi hemolitik, dimana terjadi kerusakan sel darah merah di
dalam pembuluh darah sehingga umur eritrosit menjadi pendek kurang dari 120 hari
(Nursalam, 2008).
Thalassemia adalah suatu gangguan darah yang diturunkan ditandai oleh
defisiensi produk rantai globin pada hemoglobin (Suriadi, 2010).
12
Thalassemia adalah sekelompok kelainan darah warisan yang ditandai dengan
kurangnya atau tidak adanya produksi salah satu rantai polipeptida globin penyusun
hemoglobin (Abdul Salam , 2012).
2.3.2 Klasifikasi
Secara molekuler Thalassemia dibedakan atas :
1. Thalassemia α (gangguan pembentukan rantai α)
2. Thalassemia β (gangguan pembentukan rantai β)
3. Thalassemia-β-α (gangguan pembentukan rantai β dan α yang letak gen nya
diduga berdekatan)
4. Thalassemia –α (gangguan pembentukan α)
1. Thalassemia α
Pada Thalassemia α terdapat 2 gen α pada tiap haploid kromosom, sehingga
dapatlah diduga dapat terjadi 4 macam kelainan pada Thalassemia α. Kelainan dapat
terjadi pada 1 atau 2 gen pada satu kromosom, atau satu, dua, tiga, empat gen pada
seorang individu.
Pada genetika molekuler dari Thalassemia menunjukkan bahwa pada kelainan
α Thalassemia-1 tidak terbentuk rantai α sama sekali, sedangkan α pada Thalassemia-
2 masih ada sedikit pembentukan rantai α.
13
Tabel kelainan pada Thalassemia
Jumlah gen
yang rusakNomenklatur/nama penyakit
Berat/ringannya
penyakit
% Hb pada
ssat lahir
1 gen α α- Thalassemia-2/ trait
Thalassemia-α tipe 1
Tak ada gejala 3 %
2 gen α α- Thalassemia-1/ trait
Thalassemia- α tipe 2
Ringan 6%
3 gen α Penyakit Hb H Nyata 15%
4 gen β Hidrops fetalis letal 90%
Pada Hb Constant Spring terdapat rantai α dengan 172 asam amino, bearti 31
asam amino lebih panjang daripada rantai α biasa. Kombinasi heterozigot antara
Thalassemia α- dengan Thalassemia α+ . Thalassemia dengan Hb Constant Spring
menimbulkan penyakit Hb H.
Homozigot α+ Thalassemia hanya menimbulkan anemia yang sangat ringan
dengan hipokromia eritrosit. Bentuk homozigot Hb Constant Spring juga tidak
menimbulkan gejala yang nyata, hanya anemia ringan dengan kadang-kadang disertai
Splenomegali ringan.
Pada penyakit Hb H, biasanya ditemukan anemia dengan pembesaran limpa.
Anemianya biasanya tidak sampai memerlukan transfusi darah. Mudah terjadi
hemolisis akut pada serangan infeksi berat. Kadar hemoglobin biasanya sekitar 7-10
14
gr %, sediaan hapus darah tepi memperlihatkan tanda-tanda hipokromia yang nyata
dengan anisositosis dan poikilositosis. Hb H jumlahnya sekitar 5-40% (Rusepno,
2007).
2. Thalassemia-β
Bentuk ini lebih heterogen dibandingkan dengan Thalassemia-α, tetapi untuk
kepentingan klinis umumnya dibedakan antara Thalassemia β- dan Thalassemia β +.
Pada β- Thalassemia tidak dibentuk rantai globin sama sekali, sedangkan pada
Thalassemia β + Thalassemia terdapat pengurangan (10-50%) dari produksi rantai
globin β tersebut. Bentuk homozigot dari β- Thalassemia atau campuran antara
Thalassemia β + dan Thalassemia β- yang berat akan menimbulkan gejala klinis yang
klinis yang berat akan memerlukan transfusi darah.
Secara kinis, Thalassemia dibagi dalam 2 golongan, yaitu:
a) Talasemia mayor (bentuk homozigot), memiliki 2 gen cacat, memberikan
gejala klinis yang jelas.
b) Talasemia minor, dimana seseorang memiliki 1 gen cacat dan biasanya
tidak memberikan gejala klinis.
(Nursalam, 2008)
2.4 Etiologi
Faktor genetik.
Thalassemia diturunkan oleh orang tua yang carier kepada anaknya. Sebagai
contoh, jika ayah dan ibu memiliki gen pembawa sifat Thalassemia, maka
kemungkinan anaknya untuk menjadi pembawa sifat Thalassemia adalah
15
sebesar 50%, kemungkinan menjadi penderita Thalassemia mayor 25% dan
kemungkinan menjadi anak normal yang bebas Thalassemia hanya 25%.
2.5 Patofisiologi
1) Normal hemoglobin adalah terdiri dari Hb A dengan dua polipeptida rantai
alpa dan dua rantai beta.
2) Pada beta Thalassemia yaitu tidak adanya atau kurangnya rantai Beta dalam
molekul hemoglobin yang mana ada gangguan kemampuan eritrosit
membawa oksigen.
3) Ada suatu kompensator yang meningkat dalam rantai alpa, tetapi rantai Beta
memproduksi secara terus-menerus sehingga menghasilkan hemoglobin
defective. Ketidakseimbangan dan disintegrasi. Hal ini menyebabkan sel
darah merah menjadi hemolisis dan menimbulkan anemia atau
hemosiderosis.
4) Kelebihan pada rantai alpa ditemukan pada Thalassemia Beta dan kelebihan
rantai Beta dan gamma ditemukan pada Thalassemia alpa. Kelebihan rantai
polipeptida ini mengalami presipitasi dalam sel eritrosit. Globin
intraeritrositik yang mengalami presipitasi, yang terjadi sebagai rantai
polipeptida alpa dan beta, atau terdiri dari hemoglobin tak stabil badan Heinz,
merusak sampul eritrosit dan menyebabkan hemolisis.
5) Reduksi dalam hemoglobin menstimulasi bone marrow memproduksi RBC
yang lain. Dalam stimulasi yang konstan pada bone marrow, produksi RBC
16
di luar menjadi eritropoitik aktif. Kompensator produksi RBC secara terus
menerus pada suatu dasar kronik, dan dengan cepatnya destruksi RBC,
menimbulkan tidak adekuatnya sirkulasi hemoglobin. Kelebihan produksi
dan destruksi RBC menyebabkan bone marrow menjadi tipis dan mudah
pecah dan rapuh (Suriadi, 2010).
Gambar Patofisiologi Thalassemia.
17
Sel darah merah rusak
Bagan Patofisiologi Thalassemia.
18
Thalassemia β
Messtimulasi eritrosit
HiperplasiaSumsum tulang
Hemopoesis ekstramedula
HemolisisPerubahan skletal Splenomegalilimfadenopati
Anemia
Maturasi seksual dan pertumbuhan
lambat
Kulit kecoklatan
Fibrosis
Hemosiderosis Hemokromatosis
Jantung Liver Pankreas LimpaKantungEmpedu
GagalJantung
Sirosis Kolelitiasis Diabetes Splenomegali
2.5.1 Tanda Dan Gejala
Pada Thalassemia mayor gejala klinis telah terlihat sejak anak baru berumur
kurang dari 1 tahun. Gejala yang tampak ialah anak lemah, pucat, perkembangan fisik
tidak sesuai dengan umur, berat badan kurang. Pada anak yang besar sering dijumpai
adanya gizi buruk, perut membucit, karena adanya pembesaran limpa dan hati yang
mudah diraba. Adanya pembesaran limpa dan hati tersebut mempengaruhi gerak si
pasien karena kemampuannya terbatas. Limpa yang membesar ini akan mudah ruptur
hanya karena trauma ringan saja.
Gejala lain (khas) ialah bentuk muka yang mongoloid, hidung pesek tanpa
pangkal hidung, jarak antara kedua mata lebar dan tulang dahi juga lebar. Hal ini
disebabkan oleh adanya gangguan perkembangan tulang muka dan tengkorak.
(Gambaran radiologis tulang memperlihatkan medula yang lebar, korteks tipis dan
trabekula kasar). Keadaan kulit pucat kekuning-kuningan. Jika pasien telah sering
mendapat transfusi darah, kulit menjadi kelabu serupa dengan besi akibat
penimbunan besi dalam jaringan kulit. Penimbunan besi (hemosiderosis) dalam
jaringan tubuh seperti pada hepar, limpa, jantung akan mengakibatkan gangguan faal
alat-alat tersebut (hemokromatosis) (Ngastiyah, 2005).
19
Gambar Anak Yang Menderita Thalassemia
Gejala klinis penyakit Thalassemia pada anak (Oswari, 2009)
Pada kasus Thalassemia yang berat harus melakukan transfusi.
20
2.5.2 Komplikasi
1) Fraktur patologi
Kompensator produksi RBC secara terus-menerus pada suatu dasar kronik
dan dengan cepatnya dekstruksi RBC, menimbulkan tidak adekuatnya
sirkulasi hemoglobin / kelebihan dan dekstruksi RBC dengan cara reduksi
dalam hemoglobin menstimulasi Bone Morrow sehingga memproduksi RBC
yang lebih dalam stimulasi yang konstan pada Bone Morrow, produksi RBC
diluar menjadi eritropoetik aktif menyebabkan Bone Morrow menjadi tipis
dan sudah pecah dan rapuh fraktur.
2) Hepatosplenomegali / Pembesaran hati dan limfa
Dimana Thalassemia menyebabkan hemafoesis, pembesaran pada limfa,
metabolisme zat besi dengan peningkatan timbunan besi didalam jaringan
hati dan limfe sehingga terjadi pigmentasi coklat pada kulit dan serosis
hepatis / pembentukan jaringan fibrosa secara berlebih dalam struktur hati
dan limfa (hepatosplenomegali).
3) Disfungsi organ
Apabila mengenai organ lain akan menyebabkan disfungsi organ tersebut
seperti pada jantung dan pankreas.
4) Gangguan tumbuh kembang
Thalassemia merupakan kelainan genetik menstimulasikan eritrofoesis
hiperplasia sumsum tulang yang dapat menyebabkan perubahan skletal yang
21
dapat menimbulkan anemia maturasi seksual dan pembentukan terlambat
(Suriadi, 2010).
2.5.3 Manifestasi Klinis
1) Lethargi - Anoreksia
2) Pucat - Pembesaran limpa
3) Kelemahan - Tebalnya tulang kranial
4) Anoreksia - Disrytmia
5) Sesak nafas
(Suriadi, 2010)
2.6 Pemeriksaan Diagnostik/Penunjang
2.6.1 Biasanya dilakukan pemeriksaan hapusan darah tepi didapatkan
gambaran sebagai berikut :
1) Anisiositosis (sel darah tidak terbentuk secara normal)
2) Hipokrom, yaitu jumlah sel berkurang
3) Poikiolositosis, yaitu adanya bentuk sel darah merah yang tidak normal
4) Kadar Fe dalam serum tinggi
2.6.2 Kadar hemoglobin rendah, yaitu kurang dari 6 mg/dL.
Hal ini terjadi karena sel darah merah berumur pendek, sebagai akibat dari
penghancuran sel darah merah di dalam pembuluh darah
(Nursalam, 2008).
22
Gambar sel darah merah normal dengan penderita Thalassemia.
2.7 Penatalaksanaan Terapeutik
Transfusi darah
Diberikan bila kadar hb rendah sekali (kurang dari 6%) atau anak terlihat
lemah dan tidak ada nafsu makan.
Splenektomi.
Dilakukan pada anak berumur lebih dari 2 tahun dan bila limpa terlalu
besar sehingga risiko terjadinya trauma yang berakibatkan perdarahan
cukup besar.
Pemberian Roborantia, hindari preparat yang mengandung zat besi.
23
Pemberian Desferioxamin
Untuk menghambat proses hemosiderosis yaitu membantu ekskresi
Fe. Untuk mengurangi absorpsi Fe melalui usus dianjurkan minum
teh.
Transplantasi sumsum tulang (bone morrow)
untuk anak yang sudah berumur diatas 16 tahun. Di indonesia, hal ini sulit
dilaksanakan karena biayanya sangat mahal dan saranya belum memadai
(Nursalam, 2008).
2.8 Penatalaksanaan Keperawatan
Pada dasarnya perawatan pasien Thalassemia sama dengan pasien anemia
lainnya, memerlukan perawatan tersendiri dan perhatian lebih. Masalah pasien yang
perlu diperhatikan adalah kebutuhan nutrisi (pasien penderita anoreksia), resiko
terjadi komplikasi akibat transfusi yang berulang-ulang, gangguan rasa aman dan
nyaman, dan kurangnya pengetahuan orang tua mengenai penyakit. (Ngastiyah, 2005)
2.9 Kebutuhan nutrisi
Seperti pasien yang anemia pasien Thalassemia juga menderita anoreksia
bahkan hal itulah biasanya merupakan keluhan orang tua yang utama, maka yang
dijumpai adalah pasien dengan keadaan gizi buruk dan pucat. Keadaan demikian jika
tidak diatasi akan makin memperburuk keadaan pasien. Perbaikan anoreksia hanya
dengan cara memperbaiki keadaan anemianya, yaitu dengan memberikan transfusi
24
darah di samping usaha memberikan makanan per oral yang cukup gizi tetapi tidak
boleh diberikan makanan yang mengandung zat besi seperti hati, atau sayuran seperti
kangkung, bayam atau makanan lain yang mengandung zat besi karena di dalam
tubuh pasien telah kelebihan zat besi. Dalam keadaan lemah sekali pasien perlu
disuapi dan dibujuk (cara menyediakan makanan sama dengan pasien penyakit darah
lainnya).
2.10 Resiko terjadi komplikasi akibat transfusi darah
Thalassemia adalah penyakit darah dengan sel darah merah yang berumur
pendek sebagai akibat penghancuran sel darah merah di dalam pembuluh darah.
Untuk memperbaiki anemia tersebut hanya dengan memberikan transfusi harus
diberikan berulang-ulang. Transfusi diberikan jika kadar Hb kurang dari 6% dan
karena jika baru 1 kali transfusi kenaikan kadar Hb belum mencukupi maka setiap
seri diberikan 3-4 kali transfusi (diberikan setiap hari selama 3-4 hari) dan biasanya
setiap seri 3 bulan sekali.
Akibat transfusi berulang-ulang tersebut terjadi penimbunan zat besi dalam
jaringan tubuh seperti pada kulit sehingga berubah warna “kulit” menjadi kelabu, dan
bila pada hati dan limpa terjadi pembesaran kedua organ tersebut. Pembesaran limpa
dapat menimbulkan bahaya ruptur. Jika penimbunan terjadi pada pankreas
menyebabkan anak menderita diabetes melitus dan jika terjadi pada jantung
menyebabkan terjadinya gagal jantung.
25
Oleh karena itu, jika merawat pasien Thalassemia di ruang perawatan harus
memperhatikan perubahan-perubahan yang terjadi pada pasien. Jika ditemukan gejala
aritmia, pasien menjadi makin lemah suatu kemungkinan terjadinya gagal jantung.
Bila pasien berkemih lebih banyak dari pada biasanya dan pasien menjadi makin
lemas dan berat badan sukar bertambah kemungkinan pasien menderita diabetes
melitus. Selain risiko seperti yang disebutkan juga kemungkinan terjadi reaksi akibat
transfusi harus dipahami misalnya akibat urtikaria, kenaikan suhu yang tinggi disertai
menggigil atau pasien mengeluh pusing, mata berkunang dan sebagainya. Jika
terdapat gejala tersebut hentikan dahulu transfusinya, dan beritahukan dokter.
2.11 Gangguan psikososial dan rasa aman/nyaman
Pasien Thalassemia mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan
sebagai akibat penyakitnya yang berat dan lama karena anemia diderita sepanjang
umurnya. Anak sangat lemah, tak bergairah, berbicara jarang, gerakan sangat lamban.
Dalam keadaan demikian semua kebutuhan pasien harus ditolong (mandi, buang air
besar/kecil, makan dan sebagainya). Jika transfusi telah diberikan kadar Hb telah naik
walaupun belum mencapai normal terlihat pasien ada gairah.
Pada pasien yang limpanya telah membesar harus dengan hati-hati, yaitu jika
berbaring beri ganjalan bantal pada bagian perut sebelah kiri, karena pasien trauma
dapat menyebabkan terjadinya perdarahan.
26
Gambar penderita Thalassemia yang mengalami pembesaran limpa.
2.12 Kurangnya pengetahuan orang tua mengenai penyakit
Pada umumnya orang tua pasien tidak mengerti mengenai penyakit anaknya.
Mereka hanya mengatakan anaknya pucat, tidak bafsu makan dan tidak seperti anak
lain yang seumur. Mereka tidak mengetahui bahwa penyebab penyakit tersebut dari
orang tua. Kepada orang tua perlu dijelaskan mengenai penyakit anaknya dan
penyebabnya. Juga mengenai pengobatan terutama transfusi darah yang harus
diberikan sepanjang hidup anak, ini bearti harus dilakukan berulang kali serta
pemeriksaan darah mungkin juga berulang-ulang (hal ini mempersiapkan orang tua
agar tidak cemas akan dilakukan tindakan medis).
27
Jika ternyata kedua orang tua mengidap kelainan Hb atau menderita
Thalassemia lebih baik dianjurkan agar tidak menambah anak lagi karena penyakit ini
akan menyebabkan penderitaan anak sepanjang umurnya. Bukan hanya anak yang
menderita tetapi juga orang tua akan menderita baik secara moral maupun material
karena anak yang sakit memerlukan biaya dan waktu perawatan yang lebih
(Ngastiyah, 2005).
2.13 Pencegahan Thalassemia
Untuk mencegah terjadinya Thalassemia pada anak, pasangan yang akan
menikah harus melihat nilai hemoglobinnya maupun profil sel darah merah dalam
tubuhnya. Peluang untuk sembuh dari Thalassemia memang masih tergolong kecil
karena dipengaruhi kondisi fisik, ketersediaan donor dan biaya. Untuk bisa bertahan
hidup, penderita Thalassemia memerlukan biaya perawatan yang rutin, seperti
melakukan transfusi darah secara teratur untuk menjaga agar kadar Hb didalam
tubuhnya ± 12 gr/dL dan menjalani pemeriksaan feritin serum untuk memantau kadar
zat besi didalam tubuh Thalassemia juga diharuskan untuk menghindari makanan
yang diasinkan atau diasamkan karena dapat meningkatkan penyerapan zat besi
didalam tubuhnya (Wikipedia, 2009)
28
2.14 Teori kebidanan berdasarkan SOAP
2.14.1 Pengertian
SOAP adalah catatan yang bersifat sederhana, jelas, logis dan tertulis.
Pencatatan ini dipakai untuk mendokumentasikan asuhan kebidanan. Berdasarkan
Keputusan Mentri Kesehatan nomor 938 tahun 2007 telah menetapkan bahwa model
pencatatan asuhan kebidanan yang digunakan adalah dalam bentuk catatan
perkembangan dengan menggunakan SOAP. Asuhan kebidanan pada Thalassemia
dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan dalam proses kebidanan meliputi
pengkajian, analisa kebidanan, penatalaksanaan dan evaluasi (Ina Yuniati, 2010).
2.15 Metode Pendokumentasian SOAP :
2.15.1 Pengkajian
Merupakan langkah awal yang dipakai dalam penerapan asuhan kebidanan
pada pasien. Pengkajian adalah mengumpulkan semua data yang dibutuhkan untuk
mengevaluasi keadaan pasien.
2.15.2 Data subjektif
Menurut Varney dalam Sudarti (2010) data subjektif merupakan
pendokumentasian manajemen kebidanan dengan langkah pertama adalah pengkajian
data, terutama data yang diperoleh melalui anamnesis. Data subjektif ini berhubungan
dengan masalah dari sudut pandang pasien. Ekspresi pasien mengenai kekhawatiran
dan keluhannya yang dicatat sebagai kutipan langsung atau ringkasan yang akan
29
berhubungan langsung dengan diagnosis. Biodata yang diambil untuk pasien (orang
tua, atau anak) pengkajian biodata antara lain :
2.16 Biodata
1. Identitas Pasien :
a) Nama : Dikaji dengan nama yang jelas dan lengkap, untuk
menghindari adanya kekeliruan atau membedakan
dengan klien atau pasien lainnya.
b) Umur : Untuk mengetahui faktor resiko dan kurun waktu penyakit
terdahulu.
c) Jenis kelamin : Untuk menentukan faktor resiko dan nilai ambang
batas pemeriksaan laboratorium.
d) Agama : Untuk memberikan motivasi dorongan moril
sesuai dengan agama yang dianut.
e) Alamat : Untuk mempermudah hubungan jika diperlukan
dalam keadaan mendesak sehingga bidan mengetahui
tempat tinggal pasien.
2. Identitas Ibu :
a) Nama : Dikaji dengan nama yang jelas dan lengkap, untuk
menghindari adanya kekeliruan atau untuk membedakan
dengan klien atau pasien lainnya.
30
b) Umur : Untuk mengetahui faktor resiko dan kurun waktu
penyakit terdahulu dalam keluarga.
c) Agama : Untuk memberikan motivasi dorongan moril
sesuai dengan agama yang dianut.
d) Pekerjaan : Untuk mengetahui status ekonomi keluarga
e) Alamat : Untuk mempermudah hubungan jika diperlukan
dalam keadaan mendesak sehingga bidan mengetahui
tempat tinggal pasien.
3. Identitas Ayah :a) Nama : Dikaji dengan nama yang jelas dan lengkap, untuk
menghindari adanya kekeliruan atau untuk membedakan
dengan klien atau pasien lainnya.
b) Umur : Untuk mengetahui faktor resiko dan kurun waktu
penyakit terdahulu dalam keluarga.
c) Agama : Untuk memberikan motivasi dorongan moril
sesuai dengan agama yang dianut.
d) Pekerjaan : Untuk mengetahui status ekonomi keluarga
e) Alamat : Untuk mempermudah hubungan jika diperlukan dalam
keadaan mendesak sehingga bidan mengetahui tempat
tinggal pasien.
31
2.17 Keluhan Utama
Untuk mengetahui keluhan yang dirasakan saat pemeriksaan serta
berhubungan dengan penyakit yang diderita. Pada kasus anak dengan
Thalassemia keluhannya meliputi anorexia, sesak nafas, anak kelihatan pucat.
2.18 Riwayat kesehatan
1) Riwayat kesehatan sekarang
Untuk mengetahui kemungkinan adanya penyakit yang diderita pada saat
ini.
2) Riwayat kesehatan saat dikaji
Untuk mengetahui keluhan dan jenis penyakit yang diderita saat dikaji.
3) Riwayat kesehatan yang lalu
Untuk mengetahui kemungkinan adanya riwayat transfusi darah, penyakit
hepar, infeksi kronis atau pernah menderita penyakit Thalassemia
sebelumnya.
4) Riwayat kesehatan keluarga
Karena merupakan penyakit keturunan, maka perlu dikaji apakah orang tua
yang menderita Thalassemia. Apabila kedua orang tua mengalami
Thalassemia, maka anaknya berisiko menderita Thalassemia.
5) Riwayat kehamilan dan persalinan
1. Riwayat Prenatal
Untuk mengetahui apakah selama kehamilan ibu pernah mengalami
faktor risiko Thalassemia.
32
2. Riwayat Intranatal
Untuk mengetahui apakah pada saat persalinan ibu sedang menderita
penyakit menular, penyakit infeksi atau mendapat transfusi darah.
3. Riwayat Postnatal
Untuk mengetahui apakah setelah persalinan dan dalam masa nifas ibu
pernah mengalami Thalassemia.
2.20 Pola kebiasaan sehari-hari
1) Pola nutrisi
Dikaji untuk mengetahui makanan yang biasa dikonsumsi dan porsi makan
dalam sehari serta ada pantangan atau tidak. Pada anak dengan Thalassemia
melakukan diet biasa (tinggi kalori, tinggi protein), nasi berupa bubur.
2) Pola eliminasi
Menggambarkan kebiasaan buang air besar meliputi frekuensi, warna, dan
jumlah. Dalam kasus balita dengan malaria buang air besar biasanya
mengalami obstipasi atau 1 kali sehari dan buang air kecil dengan jumlah
normal tetapi tidak sesering biasanya.
3) Aktifitas
Dikaji untuk mengetahui apakah malaria disebabkan oleh aktivitas fisik
secara berlebihan.
4) Personal hygiene
Dikaji untuk mengetahui berapa kali anak mandi, gosok gigi, ganti baju untuk
mengetahui kebersihan anak sehari-hari.
33
5) Pola istirahat
Menggambarkan pola istirahat dan tidur pasien, berapa jam pasien tidur,
kebiasaan pasien sebelum tidur, kebiasaan tidur siang, dan penggunaan waktu
luang.
6) Psikososial budaya
Untuk mengetahui apakah ada pantangan makan atau kebiasaan yang tidak
diperbolehkan selama anak sakit Thalassemia dan mengenai kepercayaan
terhadap sumber Thalassemia itu sendiri. Hal ini berguna untuk proses
pengobatan di rumah sakit karena berhubungan dengan sistem perawatan dan
nutrisi terhadap pasien.
7) Efek hospital
Untuk mengetahui reaksi pasien terhadap tenaga kesehatan disekitarnya,
apakah pasien kooperatif dengan petugas kesehatan atau sebaliknya,
ketakutan saat dihampiri oleh petugas kesehatan.
2.21 Data Objektif
Menurut Varney dalam Sudarti (2010) data objektif merupakan
pendokumentasian manajemen kebidanan. Pertama adalah pengkajian data, terutama
data yang diperoleh melalui hasil observasi yang jujur dari pemeriksaan fisik pasien,
pemeriksaan laboratorium atau pemeriksaan diagnostik lain. Catatan medik dan
informasi dari keluarga atau orang lain dapat dimasukkan dalam data objektif ini.
Data ini akan memberikan bukti gejala klinis pasien dan fakta yang berhubungan
dengan diagnosis (Sudarti, 2010).
34
2.22 Pemeriksaan fisik :
(1) Keadaan umum : Untuk mengetahui keadaan
umum anak apakah baik, sedang,
buruk. Pada anak dengan Thalassemia
keadaan umum anak lemah, kurang
bergairah serta tidak selincah anak
seusinya.
(2) Kesadaran : Untuk mengetahui tingkat kesadaran
yaitu compos mentis, apatis,
somnolen. Pada anak dengan
Thalassemia kesadaran compos mentis.
(3) Suhu : Apakah ada peningkatan atau tidak.
Normalnya suhu tubuh berfrekuensi
36,5°C - 37°C.
(4) Denyut nadi : Untuk mengetahui nadi pasien yang
dihitung dalam menit. Batas normal
nadi pada anak 80-100 kali per
menit.
(5) Repirasi : Untuk mengetahui frekuensi
pernafasan yang dihitung dalam 1
menit batas normal. Batas normal
pernafasan anak 25-30 kali per menit
35
2.23 Pemeriksaan Sistematis
a) Kepala
b) Rambut
Untuk menilai warna, ketebalan, ada ketombe atau tidak.
c) Ubun-ubun
Untuk menilai bentuk ubun-ubun apakah ada tanda-tanda dehidrasi pada
saat pemeriksaan.
d) Muka
Untuk menilai kesimetrisan bentuk muka, keadaan muka pucat atau tidak,
adakah kelainan, adakah oedema.
e) Mata
Untuk menilai kesimetrisan mata, konjungtiva berwarna pucat atau
kemerahan, sklera putih atau tidak.
f) Hidung
Untuk menilai kesimetrisan hidung, mengetahui ada tidaknya polip,
melihat apakah ada pengeluaran atau tidak dan menilai kebersihan
hidung.
g) Telinga
Bagaimana keadaan daun telinga, liang telinga, bentuk telinga, besar
telinga, dan posisinya serta melihat kebersihan telinga.
h) Mulut, gigi, gusi
36
Untuk mengetahui apakah mulut bersih dan kering, ada caries dan karang
gigi atau tidak.
i) Laring
Untuk mengetahui keadaan laring, apakah ada massa atau gangguan
fungsi dan melihat kebersihannya sebagai penghasil suara.
j) Faring
Untuk mengetahui keadaan faring, apakah ada massa atau gangguan
fungsi, dan melihat kebersihannya sebagai saluran udara dan saluran
makanan.
k) Leher
Untuk mengetahui apakah leher nyeri dan kaku, pembatasan gerakan,
pembesaran tiroid, kelenjar limfe, dan vena jugolaris.
l) Dada
Untuk melihat kesimerisan dada, mengetahui bunyi jantung, pernafasan
anak, dan adakah nyeri tekan atau tidak.
m) Jantung
Untuk menilai denyut apeks jantung, apakah ada nyeri tekan, menilai
kontraksi otot jantung dan mengetahui jenis bunyi jantung.
n) Paru-paru
Untuk mengetahui kesimetrisan retraksi dada, menilai stem fremitus paru
kiri dan kanan, mengetuk kedua lapang paru dan mendengar bunyi paru
(vesikuler, ronkhi, wheezing).
37
o) Abdomen
p)Untuk mengetahui kesimetrisan abdomen, apakah ada nyeri epigastrium
dan splenomegali atau tidak, dan mendengarkan bising usus ada atau
tidak.
q) Genetalia dan anus
Untuk mengetahui bentuk simetris atau tidak, adakah oedema dan
pengeluaran atau tidak dan menilai kebersihan genetalia dan anus.
r) Ekstremitas
Untuk menilai kesimetrisan ekstremitas, apakah oedema atau tidak,
terdapat varices atau tidak, reflek patella +/-.
2.24 Pemeriksaan Penunjang
Dilakukan pemeriksaan hapusan darah tepi didapatkan gambaran sebagai berikut
1. Anisiositosis (sel darah tidak terbentuk secara normal)
2. Hipokrom, yaitu jumlah sel berkurang
3. Poikiolositosis, yaitu adanya bentuk sel darah merah yang tidak normal
4. Kadar Fe dalam serum tinggi
Kadar hemoglobin rendah, yaitu kurang dari 6 mg/dL.
Hal ini terjadi karena sel darah merah berumur pendek, sebagai akibat dari
penghancuran sel darah merah di dalam pembuluh darah
(Nursalam, 2008).
38
2.25 Analisa
Analisa merupakan pendokumentasian hasil analisis dan interpretasi
(kesimpulan) dari data subjektif dan objektif dalam pendokumentasian manajemen
kebidanan. Karena keadaan pasien yang setiap saat bisa mengalami perubahan, dan
akan ditemukan informasi baru dalam data subjektif maupun data objektif, maka
proses pangkajian data akan menjadi sangat dinamis. Pada anak dengan Thalassemia
adalah sebagai berikut :
Diagnosa kebidanan pada anak dengan Thalassemia : An.......Umur......dengan
Thalassemia.
Diagnosa kebidanan ini muncul didasari oleh :
a) Data Subjektif
Data subjektif pada anak dengan Thalassemia :
(1) Ibu mengatakan anaknya tidak nafsu makan
(2) Ibu mengatakan anaknya tampak pucat dan lemah
(3) Ibu mengatakan anaknya tidak selincah anak seusianya
b) Data Objektif
Data Objektif pada balita dengan malaria :
(1) Pemeriksaan vital sign dan keadaan umum anak (nadi, repirasi,
suhu).
(2) Pemeriksaan fisik konjungtiva anemis atau an anemis.
(3) Pemeriksaan laboratorium darah (DDR).
39
2.30 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan adalah mencatat seluruh perencanaan dan penatalaksanaan
yang sudah dilakukan seperti tindakan antisipatif, tindakan segera, tindakan secara
komprehensif, penyuluhan, dukungan, kolaborasi, follow up dan rujukan. Selain itu,
penatalaksanaan juga bermakna menggambarkan pendokumentasian dari
perencanaan dan evaluasi berdasarkan data subjektif, objektif dan hasil
analisa data. Lalu, alasan catatan SOAP sering digunakan untuk dokumentasi
adalah sebagai berikut :
1. Pendokumentasian dengan metode SOAP berupa kemajuan informasi yang
sistematis yang mengorganisasi penemuan dan kesimpulan sehingga terwujud
rencana asuhan.
2. Metode ini merupakan penyaringan proses penatalaksanaan kebidanan untuk
tujuan penyediaan dan pendokumentasian asuhan.
3. Metode SOAP dapat membantu mengorganisasi pikiran sehingga dapat
memberikan asuhan secara menyeluruh.
4. SOAP adalah catatan yang bersifat sederhana, jelas, logis dan tertulis.
Perencanaan, penatalaksanaan dan evaluasi pada anak dengan Thalassemia
adalah sebagai berikut :
1) Memperbaiki keadaan umum pasien
Evaluasi : Pasien diberi spoel dengan cairan infus 0,9 % Normal
Saline/RL sebelum dan sesudah transfusi
40
2) Memonitor tanda-tanda vital pasien
Evaluasi : Dilakukan pemantauan keadaan umum, kesadaran,
pernafasan, denyut nadi dan pengukuran suhu secara
berkala.
3) Melakukan pemeriksaan darah tepi ulang untuk konfirmasi diagnosis
Evaluasi : Pemeriksaan darah tepi telah dilakukan kembali.
4) Melakukan kolaborasi dengan dokter dalam pemberian Desferioxamin
Evaluasi : Diberikan dengan dosis 25-50 mg/kg/BB/hari.
5) Memberi konseling pada keluarga mengenai pasien Thalassemia yang
meliputi : pengertian, etiologi, gejala, dan tanda pengobatan, serta
tindak lanjut (follow up) rutin.
Evaluasi : Keluarga mengerti mengenai penjelasan yang diberikan.
6) Menganjurkan keluarga untuk memberikan nutrisi yang cukup untuk
menambah daya tahan tubuh anak.
Evaluasi : Keluarga mengerti dan memberikan pasien makan berupa
bubur.
7) Menganjurkan pasien untuk banyak istirahat.
Evaluasi : Pasien istirahat lebih banyak didampingi keluarga.
41
3.31 Kerangka Konsep
INPUT PROSES OUTPUT
Bagan kerangka konsep Thalassemia pada anak menurut Sudarti (2010)
42
Anak dengan
Thalassemia
Pendokumentasian
manajemen kebidanan
dengan SOAP :
1. Subyektif (Hasil
anamnesis)
2. Obyektif (Hasil
pemeriksaan)
3. Analisa
4. Penatalaksanaan
Hasil asuhan
kebidanan :
a. Keadaan umum
dan tanda-tanda
vital normal.
b. Hasil pemeriksaan
Hb meningkat.
c. Pasien sudah mau
makan dan istirahat
lebih banyak.
d. Keluarga pasien
mengerti tentang
penyakit
Thalassemia.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Studi Kasus
Karya tulis ilmiah ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan
studi kasus berupa asuhan kebidanan dengan metode SOAP. Metode
deskriptif yaitu suatu metode yang dilakukan dengan tujuan utama untuk
membuat gambaran atau deskripsi tentang suatu keadaan secara obyektif
sedangkan penelitian dengan pendekatan studi kasus adalah suatu cara untuk
meneliti suatu permasalahan melalui suatu kasus yang terdiri dari unit
tunggal. Unit tunggal yang dimaksud dapat bearti satu orang atau sekelompok
penduduk yang terkena masalah. Studi kasus ini di analisis secara mendalam
meliputi berbagai aspek yang cukup luas serta penggunaan berbagai tekhnik
secara integratif (Notoatmodjo, 2010).
3.2 Lokasi Studi Kasus
Lokasi merupakan tempat dimana pengambilan kasus dilaksanakan
(Notoadmojo, 2010). Pada kasus ini telah dilaksanakan di ruang Edelweis
RSUD Dr. M. YUNUS Bengkulu tahun 2013.
3.3 Subjek Studi Kasus
Merupakan hal atau orang yang akan dikenai kegiatan pengambilan kasus
(Arikunto, 2010).
43
3.4 Waktu Studi Kasus
Waktu studi kasus adalah rentang waktu yang digunakan penulis untuk
pelaksanaan studi kasus (Notoatmodjo, 2010).
3.5 Instrumen Studi Kasus
Merupakan alat pantau fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam
mengumpulakan data agar pekerjaannya lebih mudah dan hasilnya lebih baik,
dalam arti kata lebih cermat, lengkap dan sistematis sehingga lebih mudah
diolah (Notoatmodjo, 2010).
3.6 Teknik Pengumpulan Data
Materi atau kumpulan fakta dapat berupa status, informasi, keterangan dan
lain-lain, mengenai suatu atau beberapa objek yang dikumpulkan sendiri oleh
penelitian atau berasal dari sumber lain, seperti instansi, lembaga, publikasi
atau hasil penelitian orang lain. Data berdasarkan cara memperoleh dibagi
menjadi 2 yaitu data primer dan data sekunder
(Notoatmodjo, 2010).
1. Data primer
Yaitu data yang diperoleh dari pengukuran tinggi badan dan berat badan,
pengukuran t
3.7 Alat-alat yang dibutuhkan
Alat dan bahan yang dibutuhkan dengan teknik pengumpulan data antara lain :
3.7.1 Alat dan bahan pengambilan data :
44
a. Format pengkajian pada anak
b. Alat tulis (buku dan bolpoin)
3.7.2 Alat dan bahan dalam melakukan pemeriksaan fisik dan observasi :
a. Timbang berat badan
b. Termometer
c. Stetoskop
d. Jam tangan
e. Senter
f. Spatel lidah
g. Reflek hammer
3.7.3 Alat untuk pemeriksaan sediaan darah tepi :
1) Mikroskop
2) Objek glass
3) Blood lancet
4) Pipet tetes
5) Larutan Giemsa
3.7.4 Alat dan bahan untuk dokumentasi
1) Status atau catatan pasien
2) Dokumen yang ada di RSUD dr. M. Yunus Bengkulu
45
46