dasd

120
TERAPI BERFOKUS PADA PERILAKU KOGNITIF PADA ANAK DENGAN POST TRAUMATIC STRESS DISORDER (PTSD) DITINJAU DARI KEDOKTERAN DAN ISLAM Disusun Oleh: ARIEF RACHMAN NPM: 110.2011.044 Skripsi Ini Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Dokter Muslim Pada

description

sadsadsa

Transcript of dasd

TERAPI BERFOKUS PADA PERILAKU KOGNITIF PADA ANAK DENGAN POST TRAUMATIC STRESS DISORDER (PTSD) DITINJAU DARI KEDOKTERAN DAN ISLAM

Disusun Oleh:ARIEF RACHMANNPM: 110.2011.044

Skripsi Ini Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Dokter MuslimPada

Fakultas Kedokteran Universitas YARSIJakartaMaret 2015ABSTRAKTERAPI BERFOKUS PERILAKU DAN KOGNITIF PADA ANAK DENGAN POST TRAUMATIC STRESS DISORDER (PTSD) DITINJAU DARI KEDOKTERAN DAN ISLAM

Kejadian traumatis pada anak merupakan kejadian tidak terduga dan dianggap membahayakan. Untuk menangani trauma ini, maka diperlukan Cognitive Behavior Therapy (CBT) yaitu terapi yang mempergunakan gabungan antara tiga pendekatan yaitu biomedik, intrapsikik dan lingkungan. Dalam melakukan terapi dengan teknik ini banyak mempergunakan prosedur dasar untuk melakukan perubahan kognitif dan perilaku. Tujuan umum penyusunan skripsi ini adalah untuk memahami dan mampu menjelaskan terapi perilaku kognitif pada anak dengan gangguan stres pasca trauma ditinjau dari pandangan kedokteran dan Agama Islam.Berdasarkan hasil pustaka Trauma focused cognitive behavior therapy (TF-CBT) adalah sebuah pendekatan terapi berbasis bukti yang diperuntukan untuk menolong anak atau remaja, dan juga pendamping mereka untuk mengatasi kesulitan yang berhubungan dengan trauma. Terapi ini bertujuan untuk mengurangi emosi negatif dan respon perilaku terkait anak yang mengalami kejahatan seksual, kekerasan rumah tangga, dan kejadian trauma lainnya. Dalam pandangan Islam terapi perilaku kognitif merupakan komponen psikoterapi yang bertujuan untuk mengembalikan fungsi berpikir dan cara bertindak seorang anak. Psikoterapi yang digunakan dalam Agama Islam adalah membaca Al-Quran, shalat malam, dan ibadah lainnya. Yang diperuntukan untuk mencapai ketenangan jiwa sang anak dalam menghadapi stres pasca trauma.Kedokteran dan Islam sependapat, bahwa terapi perilaku kognitif merupakan psikoterapi yang bertujuan untuk merubah cara bertindak dan pola pikir pada anak yang mengalami trauma. Disarankan kepada para peneliti untuk melakukan penelitian lebih lanjut dengan subjek yang lebih banyak dan kepada pemerintah untuk dapat menyediakan fasilitas untuk terapi kognitif dan perilaku. Kepada para ulama untuk menyebarkan agama Islam agar masyarakat mengerti penanganan pada anak dengan stres pasca trauma.

PERNYATAAN PERSETUJUANSkripsi ini telah kami setujui untuk dipertahankan di hadapan komisi penguji skripsi Fakultas Kedokteran Universitas YARSI

Jakarta, Maret 2015

Pembimbing Medik Pembimbing Agama

(Dr. H.Nasruddin, Noor,SpKJ) (Dra. Siti Marhamah, M.Ag)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbilaalamin, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat, rahmat, serta karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Serta tak lupa shalawat dan salam penulis panjatkan kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam beserta keluarga dan para pengikutnya.Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Dokter Muslim pada Fakultas Kedokteran Universitas YARSI. Pada kesempatan ini penulis memilih judul Keberhasilan Penggunaan Plasmapheresis Untuk Terapi Penderita Krisis Tiroid Ditinjau dari Kedokteran dan Islam.Dengan ini penulis ingin menyampai ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:1. DR. dr. H. Artha Budi Susila Duarsa, M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas YARSI.2. Dr. Elita Donanti, M.Biomed selaku Wakil Dekan I Fakultas Kedokteran Universitas YARSI.3. Dr. H. Nasruddin, Noor, SpK selaku dosen Pembimbing Medis yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan serta mengarahkan materi medis, sehingga skripsi ini tersusun baik.4. Dra. Siti Marhamah, M.Ag selaku dosen Pembimbing Agama yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan serta mengarahkan materi agama sehingga skripsi ini selesai.5. Kepala dan Staf Perpustakaan Universitas YARSI yang telah bersedia dan mengizinkan penulis untuk menggunakan ruang referensi serta meminjam buku-bukunya untuk pembuatan skripsi ini.6. Ayahanda (Edi Yunus) dan Ibunda (Aryani) tercinta yang telah memberikan dukungan baik moral maupun materil, kasih sayang, semangat, nasihat dan doa tiada henti yang selalu mengiringi tiap langkah penulis sehingga skripsi ini dapat selesai.7. Kakak (Anne Saffanete) yang telah memberikan nasihat, semangat, dukungan, dan juga turut membantu dan mengarahkan penulis dalam bidang agama dan lainnya sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Dan juga keluarga lainnya yang turut memberikan semangat dan dukungan kepada penulis.8. Joko, Deza, Dewi, Caesaredo, M.Arief, Erni, dan Intan sebagai sahabat yang dapat diandalkan, membantu dalam pelajaran dan selalu membangkitkan semangat dari awal perkuliahan sampai sekarang. 9. Dan teman-teman lainnya yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang telah mendukung saya selama ini.

Penulis sadar bahwa tulisan ini jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis meminta maaf apabila terdapat kesalahan dan berterima kasih apabila terdapat saran dan kritikan yang membangun.Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis secara khusus dan mahasiswa, serta masyarakat lain pada umumnya. Amien.

Jakarta, Maret 2015

Penulis

DAFTAR ISIHALAMAN JUDUL ........................................................................................ iABSTRAK.................................................................................................... iiPERNYATAAN PERSETUJUAN................................................................... iiiKATA PENGANTAR...................................................................................... ivDAFTAR ISI..................................................................................................... vii

BAB I.PENDAHULUAN..................................................................... 11.1. Latar Belakang............................................................................ 11.2. Perumusan Masalah.................................................................... 41.3. Tujuan......................................................................................... 4I.3.1.Tujuan Umum................................................................. 4I.3.2. Tujuan Khusus................................................................ 5 I.4. Manfaat....................................................................................... 5

BAB II.TERAPI BERFOKUS PERILAKU DAN KOGNITIF PADA ANAK DENGAN POST TRAUMATIC STRES DISORDER (PTSD).................................................................. 7

2.1. Post Traumatic Stress Disorder................................................... 72.1.1.Definisi........................................................................... 72.1.2.Epidemiologi.................................................................. 102.1.3. Etiologi........................................................................... 102.1.3.1. Aspek Biologik............................................................... 112.1.3.2. Aspek Psikodinamik...................................................... 132.1.4.Diagnosis Post Traumatic Stress Disorder.................... 152.1.5.Gambaran Klinis Post Traumatic Stress Disorder......... 172.2.Tatalaksana Non-Farmakologis Anak Dengan Post Traumatic Stress Disorder........................................................................... 232.2.1.Cognitive Behavior Therapy.......................................... 232.2.2.Komponen Cognitive Behavior Therapy... 252.2.3.Manfaat Trauma Focused Cognitive Behavior Therapy.. 362.2.4.Hasil Penelitian.............................................................. 37BAB III.TERAPI BERFOKUS PADA PERILAKU KOGNITIF PADA ANAK DENGAN POST TRAUMATIC STRESS DISORDER (PTSD) DITINJAU DARI AGAMA ISLAM........................................................................................ 40

3.1.Pandagan Islam Tentang Anak dan Keluarga............................ 403.2.Pandangan Islam Tentang Trauma Pada Anak.......... 4859

3.3.Pandangan Islam Tentang Terapi Perilaku dan Kognitif.........

BAB IV.KAITAN PANDANGAN ANTARA KEDOKTERAN DAN ISLAM TENTANG TERAPI BERFOKUS PERILAKU KOGNITIF PADA ANAK DENGAN POST TRAUMATIC STRESS DISORDER (PTSD)................................................... 61

BAB V.SIMPULAN DAN SARAN..................................................... 635.1.Simpulan.................................................................................... 63 5.2.Saran.......................................................................................... 64

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 66

1

BAB IPENDAHULUAN1.1. Latar BelakangKejadian traumatis pada anak merupakan kejadian yang tiba-tiba, tidak terduga, dan dianggap membahayakan. Kejadian ini dapat mengakibatkan ancaman maupun bahaya fisik yang nyata, yang menyebabkan rasa takut yang sangat. Hal ini menyebabkan ketidakmampuan anak untuk mengatasi stres akibat trauma. (Bassuk et al, 2005)Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima sebanyak 622 laporan kasus kekerasan terhadap anak sejak Januari hingga April 2014. Terdapat 622 kasus kejahatan terhadap anak terdiri dari kekerasan fisik, kekerasan psikis dan kekerasan seksual. Untuk kasus kekerasan fisik terhadap anak, sejak Januari hingga April 2014 sebanyak 94 kasus, kekerasan psikis sebanyak 12 kasus dan kekerasan seksual sebanyak 459 kasus. Dalam empat tahun terakhir kasus kekerasan terhadap anak tertinggi pada 2013 dengan jumlah kasus sebanyak 1.615. Sedangkan pada 2011 kasus kekerasan terhadap anak sebanyak 261 kasus, 2012 sebanyak 426 kasus. Data kasus trafficking (perdagangan manusia) dan eksploitasi terhadap anak pada 2011 sebanyak 160 kasus, 2012 sebanyak 173 kasus, 2013 sebanyak 184 kasus sedangkan pada 2014 hingga April sebanyak 76 kasus. (Setyawan, 2014)Seseorang dikatakan mengalami gangguan stres pasca trauma, jika mengalami suatu stres emosional yang besar dan menyebabkan trauma bagi hampir setiap orang. Trauma tersebut termasuk peperangan, bencana alam, penyerangan, pemerkosaan, dan kecelakaan yang serius (sebagai contoh, kecelakaan mobil dan kebakaran gedung). Gangguan stres pasca trauma terdiri dari (1) pengalaman kembali trauma melalui mimpi dan pikiran yang membangunkan (waking thought), (2) penghindaran yang persisten oleh penderita terhadap trauma dan penumpulan responsivitas pada penderita tersebut, dan (3) kewaspadaan berlebihan (hyperarousal) yang persisten. Gejala penyerta yang sering dari gangguan stres pasca trauma adalah depresi, kecemasan, dan kesulitan kognitif (sebagai contoh, pemusatan perhatian yang buruk). (Kaplan dkk, 2010)Kebanyakan anak mengalami peristiwa-peristiwa yang mengakibatkan ketakutan, namun sebagian anak mengalami peristiwa-peristiwa traumatis yang tak lazim, tiba-tiba dan menakutkan. Contoh seperti peristiwa- peristiwa seperti penyiksaan anak dan kekerasan masyarakat. Peristiwa-peristiwa itu bisa mengakibatkan cedera serius atau kematian sesungguhnya atau ancaman kepada anak-anak sendiri atau seseorang yang mereka kenal. (Albano, 2006)American Academy of Pediatrics (AAP) mendefinisikan childhood abuse merupakan pola interaksi berulang yang mengganggu anak antar orang tua atau dengan orang dewasa lainnya dan anak menjadi terbiasa dengan keadaan hubungan seperti tersebut. Selain kekerasan fisik, seksual dan verbal, ini dapat mencakup apa saja yang menyebabkan anak merasa tidak berharga, tidak dicintai, tidak aman , dan bahkan perasaan terancam. Contohnya antara lain meremehkan, merendahkan atau mengejek anak, membuat dia merasa tidak aman (termasuk ancaman ditinggalkan), kegagalan untuk mengekspresikan kasih sayang, kepedulian dan cinta, mengabaikan kesehatan mental, medis atau kebutuhan pendidikan. (Murray, 2008)Cognitive Behavior Therapy (CBT) adalah terapi yang mempergunakan gabungan antara tiga pendekatan yaitu biomedik, intrapsikik dan lingkungan. Dalam melakukan terapi dengan teknik ini banyak mempergunakan prosedur dasar untuk melakukan perubahan kognitif dan perilaku. (Gunarsa, 2000)Dalam pandangan Islam, anak adalah amanat dari Allah SWT yang diberikan kepada orang tuanya. Sebagai amanat anak sudah seharusnya mempunyai hak untuk mendapatkan pemeliharaan, bimbingan, dan pendidikan. Dengan memberikan hak-hak dasar kepada anak, diharapkan anak akan berkembang dengan baik sehingga menjadi anak yang berguna bagi orang tua, keluarga, masyarakat, dan bangsa secara keseluruhan. (Amshori, 2007)Trauma disebabkan oleh suatu pengalaman yang sangat menyedihkan atau melukai jiwanya, sehingga karena pengalaman tersebut sejak saat kejadian itu hidupnya berubah secara radikal. Pengalaman traumatis dapat juga bersifat psikologis. Misal mendapat peristiwa yang sangat mengerikan sehingga dapat menimbulkan kepiluan hati, shock jiwa, dan lain-lain. (Kartono, 1989)Allah menjadikan anak begitu dilahirkan dalam keadaan lemah, baik fisik, mental, maupun akalnya, seperti yang terdapat dalam surat Al-Israa(17) ayat 24. Ia belum dapat berbuat apapun, selain menangis. Sudah tentu dalam kondisi yang demikian lemah seorang anak tidak dapat mengurus dirinya sendiri. Karena itu, anak-anak kecil sangat mendambakan perlindungan dari orang tua. (Joban, 2014)Psikoterapi Islami merupakan bagian dari psikologi terapan Islami, yang berupaya menggambarkan dan menjelaskan penyebab penyakit mental dan perilaku abnormal individu dan kelompok serta penyembuhannya. Cabang psikologi ini menggambarkan dan menjelaskan beberapa penyakit mental dan prilaku abnormal individu dan kelompok serta menyembuhkannya. (Mujib, 2002)Dari uraian di atas penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan tersebut dalam penulisan skripsi berjudul Terapi Berfokus Pada Perilaku Kognitif Pada Anak Dengan Post Traumatic Stres Disorder (PTSD) Ditinjau Dari Kedokteran Dan Islam.1.2. Perumusan Masalah1. Bagaimana gambaran klinis anak yang mengalami gangguan stres pasca trauma?2. Bagaimana metode terapi perilaku kognitif pada anak dengan gangguan stres pasca trauma?3. Bagaimana pandangan Islam terhadap terapi perilaku kognitif pada anak?1.3. Tujuan1.3.1 UmumMemahami dan mampu menjelaskan terapi perilaku kognitif pada anak dengan gangguan stres pasca trauma ditinjau dari pandangan kedokteran dan Agama Islam 1.3.2 Khusus1. Mengetahui dan dapat menjelaskan gambaran klinis anak yang mengalamii gangguan stres pasca trauma.2. Mengetahui dan dapat menjelaskan metode terapi perilaku kognitif pada anak dengan gangguan stres pasca trauma.3. Mengetahui dan dapat menjelaskan pandangan kedokteran dan islam terhadap terapi perilaku kognitif pada anak.1.4 Manfaat1.4.1. Bagi PenulisDiharapkan penulis dari skripsi ini dapat bertambahnya pengetahuan tentang terapi perilaku kognitif yang ditujukan pada anak dengan gangguan stres pasca trauma ditinjau dari pandangan kedokteran dan Islam, serta bertambahnya pengalaman dalam cara membuat karya ilmiah yang baik dan benar.1.4.2. Bagi Universitas YARSISkripsi ini diharapkan dapat menambah pengetahuan kepada Civitas Akademika Universitas YARSI mengenai pengaruh terapi perilaku kognitif pada anak dengan gangguan stres pasca trauma dtinjau dari kedokteran dan Islam serta menambah koleksi referensi ilmiah bagi perpustakaan Universitas YARSI.

1.4.3. Bagi MasyarakatMemberi pengetahuan dan pemahaman kepada masyarakat dalam menangani anak dengan gangguan stres pasca trauma dengan menggunakan terapi berfokus perilaku kognitif menurut kedokteran dan Islam.

BAB IITERAPI BERFOKUS PERILAKU DAN KOGNITIF PADA ANAK DENGAN POST TRAUMATIC STRESS DISORDER (PTSD)

2.1. Post Traumatic Stress Disorder2.1.1. DefinisiTrauma psikis merupakan pengalaman yang membingungkan secara psikologis yang mengakibatkan gangguan emosi atau mental, atau jika tidak, telah meninggalkan pengaruh negatif pada pikiran, perasaan, atau perilaku seseorang. (Dorland, 2010)Trauma psikis adalah pengalaman yang tiba-tiba mengejutkan, meninggalkan kesan mendalam pada jiwa orang yang bersangkutan. (Noor, 1997)Seseorang dikatakan mengalami gangguan stres pasca trauma, jika mengalami suatu stres emosional yang besar dan menyebabkan trauma bagi hampir setiap orang. Trauma tersebut termasuk peperangan, bencana alam, penyerangan, pemerkosaan, dan kecelakaan yang serius (sebagai contoh, kecelakaan mobil dan kebakaran gedung). Gangguan stres pasca trauma terdiri dari (1) pengalaman kembali trauma melalui mimpi dan pikiran yang membangunkan (waking thought), (2) penghindaran yang persisten oleh penderita terhadap trauma dan penumpulan responsivitas pada penderita tersebut, dan (3) kewaspadaan berlebihan (hyperarousal) yang persisten. Gejala penyerta yang sering dari gangguan stres pasca trauma adalah depresi, kecemasan, dan kesulitan kognitif (sebagai contoh, pemusatan perhatian yang buruk). (Kaplan, 2010)Peristiwa traumatik dapat terjadi pada siapa saja. Seseorang bisa secara tiba-tiba mengalami bencana, baik karena bencana alam ataupun tindak kejahatan tertentu sehingga menyebabkan trauma. Peristiwa tersebut datang tanpa dapat diprediksi sebelumnya, sehingga kondisi psikologis menjadi terganggu. Reaksi terhadap suatu peristiwa dapat berbeda-beda pada setiap orang. Pada sebagian orang suatu bencana tidak menyebabkan trauma, tapi pada orang lain dapat menyebabkan trauma yang mendalam. Terkadang trauma menyebabkan seseorang tidak mampu menjalankan kesehariannya seperti yang biasanya dilakukan, bayangan akan peristiwa tersebut senantiasa kembali dalam ingatannya dan mengusiknya, ia juga merasa tak mampu untuk mengatasinya. (National Institute of Mental Health, 2008)PTSD, atau gangguan stres pasca trauma, merupakan gangguan kecemasan yang berkembang pada beberapa orang setelah terjadinya peristiwa traumatis berat. Ketika dalam keadaan bahaya, merupakan hal yang wajar untuk merasa ketakutan. Ketakutan ini memicu perubahan yang cepat dalam tubuh untuk mempertahankan tubuh melawan bahaya ataupun menghindarinya. Respon Ini disebut fight-or-flight yang berguna untuk melindungi diri dari bahaya. Tetapi, dalam PTSD reaksi ini berubah atau terganggu. Orang dengan PTSD merasa stres ataupun ketakutan meskipun mereka sudah tidak lagi dalam bahaya. (National Institute of Mental Health, 2008)Kebanyakan anak mengalami peristiwa-peristiwa yang mengakibatkan ketakutan, namun sebagian anak mengalami peristiwa-peristiwa traumatis yang tak lazim, tiba-tiba dan menakutkan. Contoh seperti peristiwa-peristiwa seperti penyiksaan anak, kekerasan masyarakat. Peristiwa-peristiwa itu bisa mengakibatkan cedera serius atau kematian sesungguhnya atau ancaman kepada anak-anak sendiri atau seseorang yang mereka kenal (Albano, 2006)

2.1.2. EpidemiologiPrevalensi seumur hidup gangguan stres pasca trauma diperkirakan dari 1 sampai 3 persen populasi umum, walaupun suatu tambahan 5 sampai 15 persen mungkin mengalami bentuk gangguan yang subklinis. Di antara kelompok risiko tinggi yang merupakan anggota yang mengalami peristiwa traumatik, angka prevalensi seumur hidup terentang dari 5 sampai 75 persen. Kira-kira 30 persen veteran Vietnam mengalami gangguan stres pasca trauma, dan tambahan 25 persen mengalami bentuk gangguan subklinis. (Kaplan et al, 2010)Walaupun gangguan stres pasca traumatik dapat tampak pada setiap usia, gangguan ini paling menonjol pada usia muda, karena sifat situasi yang mencetuskannya. Tetapi, anak-anak dapat mengalami gangguan stres pasca trauma. Trauma untuk laki-laki biasanya pengalaman peperangan, dan trauma untuk wanita paling sering adalah penyerangan atau pemerkosaan, Gangguan kemungkinan terjadi pada mereka yang sendirian, bercerai, janda, mengalami gangguan ekonomis, atau menarik diri secara sosial. (Kaplan et al, 2010)Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima sebanyak 622 laporan kasus kekerasan terhadap anak sejak Januari hingga April 2014. Terdapat 622 kasus kejahatan terhadap anak terdiri dari kekerasan fisik, kekerasan psikis dan kekerasan seksual. Untuk kasus kekerasan fisik terhadap anak, sejak Januari hingga April 2014 sebanyak 94 kasus, kekerasan psikis sebanyak 12 kasus dan kekerasan seksual sebanyak 459 kasus. Dalam empat tahun terakhir kasus kekerasan terhadap anak tertinggi pada 2013 dengan jumlah kasus sebanyak 1.615. Sedangkan pada 2011 kasus kekerasan terhadap anak sebanyak 261 kasus, 2012 sebanyak 426 kasus. Data kasus trafficking (perdagangan manusia) dan eksploitasi terhadap anak pada 2011 sebanyak 160 kasus, 2012 sebanyak 173 kasus, 2013 sebanyak 184 kasus sedangkan pada 2014 hingga April sebanyak 76 kasus. (Setyawan, 2014)

2.1.3. EtiologiBeberapa faktor predisposisi bagi seorang individu untuk mengalami gangguan stres pasca trauma adalah : (Elvira, 2010)A. Adanya gangguan psikiatrik sebelum trauma baik pada individu yang bersangkutan maupun keluarganya.B. Adanya trauma masa kecil, seperti kekerasan fisik maupun seksual.C. Kecenderungan untuk mudah menjadi khawatir.D. Ciri kepribadian ambang, paranoid, dependen, atau anti sosial.E. Mempunyai karakter yang bersifat introvert atau isolasi sosial; adanya kesulitan menyesuaikan diri.F. Adanya kebutuhan emosional yang tidak terpenuhi secara bermakna.G. Terpapar oleh kejadian-kejadian dalam kehidupan yang luar biasa sebelumnya baik tunggal maupun ganda dan dirasakan secara subjektif oleh suatu kondisi atau peristiwa yang menimbulkan penderitaan bagi dirinya. Tipe kejadian yang cenderung akan meningkatkan angka kejadian gangguan stres pasca trauma dapat dikategorikan menjadi :a) Mereka yang mengalami tindakan kekerasan interpersonalb) Mereka yang mengalami kecelakaan atau bencana alam yang mengancam nyawa, baik berupa kejadian yang alamiah atau kejadian yang dibuat oleh manusiac) Trauma berulang dan bersifat kronik

2.1.3.1. Aspek BiologikGejala-gejala gangguan stres pasca trauma timbul sebagai akibat dari respons biologik dan juga psikologik seorang individu. Kondisi ini terjadi oleh karena aktivitasi dari beberapa sistem di otak yang berkaitan dengan timbulnya perasaan takut pada seseorang. Terpaparnya seseorang oleh peristiwa yang traumatik akan menimbulkan respons takut sehingga otak dengan sendirinya akan menilai kondisi berbahaya yang dialami, serta mengorganisasi suatu respons perilaku yang sesuai. Dalam hal ini, Amigdala merupakan bagian otak yang sangat berperan besar. Amigdala akan mengaktivasi beberapa neurotransmitter serta bahan-bahan neurokimiawi di otak jika seseorang menghadapi peristiwa traumatik yang mengancam nyawa sebagai respons tubuh untuk mengahadapi peristiwa tersebut. Dalam waktu beberapa milidetik setelah mengalami peristiwa tersebut, amigdala dengan segera akan bereaksi dengan memberikan stimulus berupa tanda darurat kepada : (Elvira, 2010)1. Sistem saraf simpatis (katekolamin)2. Sistem saraf parasimpatis3. Poros hipotalamus-hipofisis-kelenjar adrenal (poros HPA)Akibat dari perangsangan pada sistem saraf simpatis segera setelah mengalami peristiwa traumatik, maka akan terjadi peningkatan denyut jantung dan tekanan darah. Kondisi ini disebut flight or fight reaction. Reaksi ini juga akan meningkatkan aliran darah dan jumlah glukosa pada otot-otot skletal sehingga membuat seseorang sanggup untuk berhadapan dengan peristiwa tersebut atau jika mungkin memberikan reaksi interaktif terhadap ancaman yang optimal. Reaksi sistem saraf simpatis pada beberapa jaringan tubuh, namun respons ini bekerja secara bebas dan tidak berkaitan dengan respons yang berkaitan oleh sistem saraf simpatis. Poros HPA juga akan terstimulasi oleh beberapa neuropeptida otak pada waktu orang berhadapan dengan peristiwa traumatik. Hipotalamus akan mengeluarkan Corticotropin Releasing Factor (CRF) dan beberapa neuropeptida regulator lainnya, sehingga kelenjar hipofisis akan terangsang dan mensekresi pengeluaran Adenocorticotropic Hormone (ACTH) yang akhirnya menstimulasi pengeluaran hormon kortisol dari kelenjar adrenal. (Elvira, 2010)Jika seseorang mengalami tekanan maka tubuh secara alamiah akan meningkatkan pengeluaran katekolamin dan hormon kortisol, pengeluaran ke dua zat ini tergantung pada derajat tekanan yang dialami oleh individu. Katekolamin berperan dalam menyediakan energi yang cukup dari beberapa organ vital tubuh dalam bereaksi terhadap tekanan tersebut. Hormon kortisol berperan dalam menghentikan aktivasi sistem saraf simpatik dan beberapa sistem tubuh yang bersifat defensif tadi yang timbul akibat dari peristiwa traumatik yang dialami oleh individu tersebut. Dengan kata lain, hormon kortisol berperan dalam proses terminasi dari respons tubuh dalam menghadapi tekanan. Peningkatan hormon kortisol akan menimbulkan efek umpan balik negatif pada poros HPA tersebut. (Elvira, 2010)Pitman (1989) menghipotesiskan bahwa pada individu yang cenderung untuk mengalami gangguan dalam regulasi neuropeptida dan juga katekolamin di otak pada waktu menghadapi peristiwa traumatik. Katekolamin yang meningkat ini akan membuat individu tetap berada dalam kondisi siaga terus menerus. Jika hormon kortisol gagal menghentikan proses ini, maka aktivasi katekolamin akan tetap tinggi dan kondisi ini dikaitkan dengan terjadinya konsolidasi berlebihan dari ingatan-ingatan peristiwa traumatik yang dialami. (Elvira, 2010)

2.1.3.2. Aspek PsikodinamikModel psikodinamik ini menjelaskan bahwa gangguan stres pasca trauma terjadi oleh karena reaktivasi dari konflik-konflik psikologis yang belum terselesaikan dari masa lampau. Dengan adanya peristiwa traumatik yang dialami maka konflik-konflik psikologis yang belum diselesaikan itu akan tereaktivasi kembali. Sistem ego akan kembali teraktivasi dan berusaha untuk mengatasi masalah dan meredakan kecemasan yang terjadi. Hal-hal yang berkaitan dengan aspek psikodinamik dari gangguan stres pasca trauma adalah: (Elvira, 2010)1. Arti subjektif dari stresor yang dialami mungkin menentukan dampak dari peristiwa traumatik yang dialami oleh seseorang.2. Kejadian traumatik yang dialami mungkin mereaktivasi konflik-konflik psikologis akibat peristiwa traumatik di masa kanak.3. Peristiwa traumatik akan membuat seseorang gagal untuk meregulasi sistem afeksinya.4. Refleksi peristiwa traumatik yang dialami mungkin akan timbul dalam bentuk somatisasi atau aleksitimia (ketidak mampuan mengungkapkan emosi).5. Beberapa sistem defensi yang sering digunakan pada individu dengan gangguan stres pasca trauma adalah penyangkalan, splitting, projeksi, disosiasi dan rasa bersalah.6. Model relasi objek yang digunakan adalah projeksi dan introjeksi dari berbagai peran seperti penyelamat yang omnipoten atau korban yang omnipoten.

2.1.4. Diagnosis Post Traumatic Stress DisorderBerikut ini adalah kriteria diagnostik untuk gangguan stres pasca trauma menurut DSM-IV yaitu: (Kaplan et al, 2010)A. Seseorang yang terpapar dengan suatu kejadian traumatik dimana kedua dari berikut ini terdapat:1. Orang tersebut mengalami, menyaksikan, atau dihadapkan dengan suatu kejadian atau kejadian-kejadian yang berupa ancaman kematian atau kematian yang sesungguhnya cedera yang serius atau ancaman kepada integritas fisik diri sendiri atau orang lain.2. Respon orang tersebut berupa takut yang kuat, rasa tidak berdaya atau horor. Catatan: pada anak-anak hal ini diekspresikan dengan perilaku yang kacau atau teragitasi.B. Kejadian traumatik secara menetap dialami kembali dalam satu (atau lebih) cara berikut:1. Kenangan penderitaan, berulang, dan mengganggu tentang kejadian, termasuk bayangan, pikiran atau persepsi. Catatan: pada anak kecil, dapat menunjukan permainan yang berulang bertuju dengan tema atau aspek trauma.2. Mimpi menakutkan yang berulang tentang kejadian. Catatan: pada anak-anak, mungkin terdapat mimpi menakutkan tanpa isi yang dapat dikenali. 3. Berkelakuan atau merasa seakan-akan kejadian traumatik terjadi kembali (termasuk perasaan yang menghidupkan kembali pengalaman trauma, ilusi, halusinasi, dan episode kilas balik disosiatif, termasuk yang terjadi selama terbangun atau saat terintoksikasi). Catatan: pada anak kecil, dapat menghidupkan kembali yang spesifik dengan trauma.4. Penderitaan psikologis yang kuat saat terpapar dengan tanda internal atau eksternal yang menyimbolkan atau menyerupai suatu aspek kejadian traumatik.5. Reaktifitas psikologis saat terpapar dengan tanda internal atau eksternal yang menyimbolkan atau menyerupai suatu aspek kejadian traumatik.C. Penghindaran stimulus persisten yang berhubungan dengan trauma dan kaku karena responsivitas umum (tidak ditemukan sebelum trauma), seperti yang ditujukan oleh tiga (atau lebih) berikut ini:1. Usaha untuk menghindari pikiran, perasaan atau percakapan yang berhubungan dengan trauma.2. Usaha untuk menghindari aktivitas, tempat atau orang yang menyadarkan kenanangan dengan trauma.3. Tidak mampu untuk mengingat aspek penting dari trauma.4. Hilangnya minat atau peran serta yang jelas dalam aktivitas yang bermakna.5. Perasaan terlepas atau asing dari orang lain.6. Rentang efek yang terbatas (misalnya tidak mampu memiliki perasaan cinta).7. Perasaan bahwa masa depan menjadi pendek (misalnya, tidak berharap memiliki karir, menikah, anak-anak, atau panjang kehidupan normal).D. Gejala menetap adanya peningkatan kesadaran (tidak ditemukan sebelum trauma), seperti yang ditujukan oleh dua (atau lebih) berikut:1. Kesulitan untuk tidur atau tetap tertidur.2. Iritabilitas atau ledakan kemarahan.3. Sulit berkonsentrasi.4. Kewaspadaan yang berlebihan.5. Respon kejut yang berlebihan.E. Lama gangguan (gejala dalam kriteria 1, 2, 3, dan 4) adalah lebih dari satu bulan.F. Gangguan menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain.Akut : Jika lama gejala adalah kurang dari 3 bulan.Kronis : Jika lama gejala adalah 3 bulan atau lebih.Dengan onset lambat : Onset gejala sekurangnya enam bulan setelah stresor.

2.1.5. Gambaran Klinis Post Traumatic Stress DisorderKetika trauma terjadi maka akan memberikan respons secara total, baik secara emosional, kognitif, perilaku, maupun psikologis. Di bawah ini merupakan respon orang yang mengalami trauma. (Mendatu, 2010)1. Respon emosionalA. Respon seseorang jika menghadapi traumatik yaitu seperti kesulitan mengontrol emosi.B. Lebih mudah tersinggung dan marah.C. Gampang diagitasi dan mudah terpancing.D. Mood mudah berubah, dari baik keburuk dan sebaliknya terjadi begitu cepat.E. Panik, cemas, gugup, dan tertekan.F. Sedih, berduka, dan depresi.G. Merasa ditolak dan diabaikan.H. Takut dan khawatir terhadap efek kejadiannya, peristiwanya akan terjadi lagi, akan menimpa orang-orang terdekatnya.I. Memberikan respon emosional yang tidak sesuai.2. Respon kognitifA. Sering mengalami flashback, atau mengingat kembali kejadian traumatiknya. Saat mengalaminya, seolah-olah kejadiannya dialami kembali secara nyata.B. Mimpi buruk.C. Kesulitan berkomunikasi, mengambil keputusan, dan memecahkan masalah.D. Kesulitan mengingat dan memaksa melupakan kejadian.E. Mudah bingung.F. Menyalahkan diri sendiri atau orang lain.G. Memandang diri sendiri secara negatif.H. Merasa sendirian dan sepi.I. Ingin menyembunyikan diri.J. Berpikir untuk bunuh diri.K. Merasa tanpa harapan, merasa kehilangan harapan akan masa depan.L. Merasa lemah tak berdaya.M. Kehilangan minat serta aktivitas yang bisa dilakukan.N. Mengingat kembali kejadian traumatik setiap menemui hal-hal yang ada kaitannya dengan trauma.3. Respon perilakuA. Kesulitan mengontrol tindakan.B. Lebih banyak berkonflik dengan orang lain.C. Menghindari kebiasaan lama.D. Menghindari orang, tempat, atau sesuatu yang berhubungan dengan peristiwa traumatik, dan enggan membicarakanya.E. Melamun.F. Kurang memperhatikan diri sendiri.G. Kesulitan melakukan aktifitas sehari-hari.H. Sering menangis tiba-tiba.I. Sulit belajar atau bekerja.J. Mengalami ganguan tidur seperti sulit tidur, sering terbangun, tidur sangat larut dan bangun siang, tidur berlebihan.K. Mengalami ganguan makan, yang diantaranya kehilangan selera makan.L. Gampang terkejut.4. Respon fisiologis atau fisikA. Sakit kepala.B. Nyeri.C. Sakit dada atau dada sesak.D. Sulit bernafas.E. Sakit perut.F. Berkeringat berlebihan.G. Gemetar.H. Lemah dan lesu.I. Letih.J. Otot tegang atau kulit dingin.K. Hilang keseimbangan tubuh atau merasa berguncang.5. Beberapa respon anak-anak masa sekolah dasar yang mengalami traumatikA. Mimpi buruk.B. Sulit tidur.C. Rasa takut dan tidak beralasan.D. Merasa sangat malu atau sangat bersalah.E. Menolak masuk sekolah atau khawatir berangkat kesekolah.F. Kesulitan memberikan perhatian atau konsentrasi.G. Mengeluh sakit perut dan sakit lainnya padahal tidak ada masalah medis apapun.H. Cemas, melamun, kadang menanggis dan merasa bersalah.

Secara umum gejala PTSD dibagi menjadi tiga macam, yaitu: (Smith & Segal, 2008)1. Merasakan kembali peristiwa traumatik tersebut (Re-Experiencing Symptoms)A. Secara berkelanjutan memiliki pikiran atau ingatan yang tidak menyenangkan mengenai peristiwa traumatik tersebut. Terulangnya bayangan mental akibat peristiwa traumatik yang pernah dialami.B. Mengalami mimpi buruk yang terus menerus berulang.C. Bertindak atau merasakan seakan-akan peristiwa traumatik tersebut akan terulang kembali, terkadang ini disebut sebagai "flashback".D. Memiliki perasaan menderita yang kuat ketika teringat kembali peristiwa traumatik tersebut.E. Terjadi respon fisiologis, seperti jantung berdetak kencang atau berkeringat ketika teringat akan peristiwa traumatik tersebut.2. Menghindar (Avoidance Symptoms)A. Berusaha keras untuk menghindari pikiran, perasaan atau pembicaraan mengenai peristiwa traumatik tersebut.B. Berusaha keras untuk menghindari tempat atau orang-orang yang dapat mengingatkan kembali akan peristiwa traumatik tersebut.C. Tidak ingin mengingat kembali bagian penting dari peristiwa traumatik.D. Kehilangan ketertarikan atas aktivitas positif yang penting.E. Merasa "jauh" atau seperti ada jarak dengan orang lain.F. Mengalami kesulitan untuk merasakan perasaan-perasaan positif, seperti kesenangan, kebahagiaan atau cinta, dan kasih sayang.G. Ketakberdayaan atau ketumpulan emosional dan menarik diri.H. Merasakan seakan-akan hidup seperti terputus ditengah-tengah. Tidak mempunyai harapan untuk dapat kembali menjalani hidup dengan normal, menikah dan memiliki karir.I. Terjadi gangguan yang menyebabkan kegagalan untuk berfungsi secara efektif dalam kehidupan sosial (pekerjaan, rumah tangga, pendidikan, dll)3. Hyperarousal SymptomsA. Sulit untuk tidur atau tidur tapi dengan gelisah.B. Mudah atau lekas marah yang meledak-ledak.C. Memiliki kesulitan untuk berkonsentrasi.D. Selalu merasa seperti sedang diawasi atau merasa seakan-akan bahaya mengincar di setiap sudut.E. Menjadi gelisah, tidak tenang, mudah terpicu atau sangat waspada.F. Terlalu siaga atau waspada yang disertai ketergugahan atau keterbangkitan secara kronis. Jika PSTD tidak ditangani dengan benar, maka akan mempengaruhi kepribadian seseorang (perubahan kepribadian). Seperti paranoid (mudah curiga) misalnya. Kesulitan hal ini adalah jarang sekali penderita dengan kesadaranya datang ke para ahli. Apalagi stigma yang beredar dimasyarakat bahwa psikiater identik dengan orang sakit jiwa atau gila.

2.2. Tatalaksana Non-Farmakologis Anak Dengan Post Traumatic Stress Disorder2.2.1. Cognitive Behavior TherapyCognitive Behavior Therapy (CBT) adalah terapi yang mempergunakan gabungan antara tiga pendekatan yaitu biomedik, intrapsikik dan lingkungan. Dalam melakukan terapi dengan teknik ini banyak mempergunakan prosedur dasar untuk melakukan perubahan kognitif dan perilaku, misal seperti: pengamatan diri, kontrak dengan diri sendiri, dan artian lebih luas teknik ini mengajarkan keterampilan kepada klien dalam menghadapi suasana yang menimbulkan kegoncangan dikemudian hari. Terapi ini didasarkan pada teori bahwa efek keadaan emosi, perasaan, dan tindakan seseorang, sebagian besar ditentukan oleh bagaimana seseorang tersebut membentuk dunianya. Jadi bagaimana seseorang berfikir, menentukan bagaimana perasaan dan reaksinya. Pikiran seseorang memberikan gambaran tentang rangkaian kejadiaan di dalam kesadarannya. Gejala perilaku yang berkelainan atau menyimpang, berhubungan erat dengan isi pikiran, misalnya seorang menderita ansietas atau ganguan kecemasan, ketakutan, kekhawatiran yang kuat karena mengantisipasi akan mengalami hal-hal yang tidak enak pada dirinya. Dalam hal seperti ini, perilaku kognitif dipergunakan untuk mengidentifikasi, memperbaiki perilaku yang tidak sesuai, dan fungsi kognisi yang terhambat, yang mendasari aspek kognitifnya yang ada. Terapis dengan pendekatan perilaku kognitif mengajarkan klien agar berpikir lebih realistik dan sesuai sehingga dengan demikian akan mengilangkan atau mengurangi gejala berkelainan yang ada. (Gunarsa, 2000).Trauma focused cognitive behavior therapy (TF-CBT) adalah sebuah pendekatan terapi berbasis bukti (evidence based treatment) yang diperuntukan untuk menolong anak atau remaja, dan juga pendamping mereka untuk mengatasi kesulitan yang berhubungan dengan trauma. Terapi ini bertujuan untuk mengurangi emosi negatif dan respon perilaku terkait anak yang mengalami kejahatan seksual, kekerasan rumah tangga, trauma kehilangan (keluarga meninggal), dan kejadian trauma lainnya. (Child Welfare Information Gateway, 2006)Terapi ini berbasis pembelajaran dan teori kognitif yang dialamatkan kepada keyakinan menyimpang dan tabiat yang terkait dengan penyiksaan dan menyediakan lingkungan yang bersifat membantu anak agar dapat berani membicarakan kejadian traumatik yang dialaminya. TF-CBT juga membantu orangtua untuk mengatasi tekanan emosialnya. Dan juga membantu mengembangkan keterampilan anak. (Child Welfare Information Gateway, 2006)

2.2.2. Komponen Cognitive Behavior TherapyBerikut adalah komponen dari Trauma Focused Cognitive Behavior Therapy (TF-CBT): (Child Welfare Information Gateway, 2006)1. Cognitive TherapyBertujuan untuk merubah perilaku atau kebiasaan dengan cara mengatasi persepsi pemikiran seseorang, khususnya pola pikir yang menyimpang.2. Terapi Perilaku (Behavior Therapy)Terapi ini berfokus merubah respon perilaku seseorang contohnya seperti marah dan ketakutan untuk dapat mengidentifikasi situasi atau stimulus.3. Family Therapy Terapi ini mengidentifikasi pola interaksi antar keluarga untuk mengidentifikasi dan mengatasi masalah.TF-CBT merupakan terapi jangka pendek yang biasanya membutuhkan 12 sampai 18 sesi dengan jangka waktu 60 sampai 90 menit atau lebih, tergantung dari kebutuhan. Biasanya intervensi ini membutuhkan rawat jalan di fasilitas kesehatan, tetapi sekarang sudah menggunakan rumah sakit, kelompok rumah, sekolah, komunitas, dan pengaturan di rumah. Terapi ini membutuhkan sesi untuk anak dan orang tua (pendamping) secara terpisah dan tergabung. Setiap sesi dibentuk untuk meningkatkan hubungan terapetik sekaligus menyediakan edukasi, keterampilan dan lingkungan yang aman untuk mengatasi dan memproses ingatan tentang trauma. Gabungan sesi orang tua dan anak dibuat untuk menolong orang tua dan anak dalam menggunakan keeterampilan yang mereka pelajari, sementara juga mendorong lebih efektif komunikasi orang tua dan anak dalam mengatasi kekerasan dan masalah terkait lainnya. (Child Welfare Information Gateway, 2006)Komponen protokol TF-CBT dapat diringkas dengan kata "PPRACTICE" yang terdiri dari psikoedukasi, pengasuhan (parenting), relaksasi, modulasi afektif, coping kognitif (usaha untuk mengatasi stres), narasi trauma serta trauma processing, in-vivo exposure (paparan secara langsung terhadap trauma), Conjoint Sessions (sesi gabungan), Enchancing Safety (meningkatkan keselamatan). (Feldman, 2010)Tabel 1. Komponen TF-CBT PPRACTICEP:Psychoeducation (information about trauma and trauma reactions)

P:Parenting skills (behavior management skills)

R:Relaxation skills (managing physiologic reactions to trauma)

A:Affective modulation skills (managing affective responses to trauma)

C:Cognitive coping skills (connections between thoughts, feelings, behaviors)

T:Trauma narrative and processing (correcting cognitive distortions related to trauma)

I:In vivo mastery of trauma reminders (overcoming generalized fear related to trauma)

C:Conjoint child-parent sessions (variety of joint child-parent activities)

E:Enchancing safety and future development (safety planning for future)

Sumber : Cohen (2010)Penilaian secara umumTujuan:1. Mengidentifikasi riwayat pajanan traumatis.2. Mengidentifikasi gejala PTSD.3. Menentukan dasar (baseline).4. Mengamati klien atau keluarga selama proses penilaian (pengamatan klinis).Metode:1. Formal, metode penghitungan yang sudah di standarisasi (misalnya CPSS dan UCLA PTSD RI).2. Meminta untuk menceritakan kisah mengidentifikasi pikiran atau perasaan, keterampilan mengatasi kejadian.3. Untuk anak-anak dapat melalui bacaan buku seperti A Terrible Thing Happened dan mendiskusikan gejala (Penilaian informal).4. Mendapatkan perspektif perawat tentang gejala atau perilaku anak.5. Menilai konteks trauma dengan menanyakan tentang lingkungan, perkembangan dan faktor sosial.Pelaksanaan secara umumTujuan:1. Mendapatkan solusi untuk menerapi klien atau keluarga.2. Menetapkan tujuan terapi bersama.3. Mengurangi resistensi sehingga memungkinkan pengobatan sesuai fungsi yang telah di tentukan.Metode:1. Merujuk kembali kepada penilaian hasil dan gejala.2. Mengidentifikasi dan menghubungkan tujuan anak atau pengasuh dan indikator kemajuan atau keberhasilan.3. Mengidentifikasi penghargaan dari luar dan motivasi yang dapat di manfaatkan.4. Ketika motivasi menjadi penghalang, gunakan teknik motivasi wawancara: (lembar kerja keseimbangan keputusan: penilaian kepentingan dan kepercayaan diri untuk berubah).P - PsikoedukasiTujuan:1. Mengajar, menormalisasi, dan memvalidasikan gejala PTSD: Bahwa kau waras (Youre not crazy).2. Menormalisasikan paparan dari trauma: Anda tidak sendirian atau bukan satu-satunya.3. Mengurangi penyalahan diri: ini bukanlah salahmu.4. Menjelaskan TF-CBT (komponen dan struktur): Bahwa ada harapan, kita mempunyai terapi yang dapat berhasil.5. Memperjelas tujuan dari terapi: Mengapa terapi penting tiap minggunya untuk melakukan latihan.Metode:Untuk masing-masing pertanyaan menggunakan teknik Socrates.1. Buku2. Games (permainan kata, apa yang kamu tahu? Atau game berpura-pura).3. Melalui pencarian internet, video youtube.4. Lembar kerja diskusi.P - Parenting (pengasuhan)Tujuan: 1. Meningkatkan hubungan.2. Membantu pengasuh mempelajari keterampilan untuk mengelola kesulitan atau kebiasaan yang tidak pantas terkait dengan trauma untuk mendukung anak menggunakan keterampilan di rumah.3. Keterampilan termasuk (namun tidak terbatas pada) : Pujian, waktu One-on-One, perhatian atau menghiraukan yang selektif, menghindari pertengkaran dengan kekuatan, imbalan, dan konsekuensi.Metode:1. Lembar Kerja.2. Permainan peran (Role Play).3. Follow model : Pengajaran.4. Discuss model. 5. Umpan balik.6. Praktek mingguan.7. Mengamati interaksi dengan anak, pelatihan dan pengajaran keterampilan baru.

R - RelaksasiTujuan:1. Memberikan keterampilan kepada klien untuk digunakan dalam lingkungan mereka (rumah dan sekolah) untuk menangani stres mereka.2. Membuat toolbox untuk merujuk kembali kapan saatnya bekerja pada narasi trauma.3. Mengajarkan perbedaan antara relaksasi dan toleransi stres untuk mengidentifikasi yang mana lebih berpengaruh pada klien.Metode:1. Mengidentifikasi dan meningkatkan keterampilan yang sudah dipakai (hobi, musik, olahraga, dll.).2. Memainkan game relaksasi (melempar bola atau bermain basket).3. Mengajarkan yoga, kesadaran, panduan pencitraan, kontrol pernapasan, relaksasi otot pernafasan.4. Mendengarkan lagu.A - Modulasi AfektifTujuan:1. Membantu anak mengidentifikasi perasaan dan mengembangkan kosakata untuk digunakan diluar sesi dan di dalam sesi.2. Membantu anak mengerti perasaan berbeda atau bertentangan secara sekaligus yang bertujuan menormalkan simulasi perasaan yang berganda.3. Mengajarkan segitiga kognisi (Triangle of Cognitive): Hubungannya diantara pikiran, perasaan, dan perilaku.4. Dapat merasakan perasaan pada intensitas yang berbeda. (menggunakan gambaran thermometer atau jumlah sebuah makanan).5. Mengidentifikasi perasaan terkait dengan peristiwa traumatis, memikirkan hal itu ketika itu terjadi dan sekarang ketika hal itu telah terjadi.6. Mengidentifikasi hal yang harus dilakukan ketika mersa sedih, down, tidak waras, cemas, dll.Metode:1. Brainstorming perasaan.2. Buku tentang perasaan dan kartu tentang perasaan (books and card about feelings).3. Games tentang perasaan (bingo, jenga, mengambil stik).4. Mengajarkan tentang intensitas dan mengembangkan skala intensitas. 5. Diagram pie perasaan (Feelings pie) (satu kejadian, menunjukkan perasaan yang berbeda dan seberapa banyak).6. Mengembangkan daftar yang harus dilakukan untuk meregulasi dan menoleransi emosi ketika stres (perilaku, kognitif, mencari dukungan, memecahkan masalah).C - Coping kognitif (usaha untuk mengatasi stres):Tujuan: 1. Mengajarkan tentang segitiga kognitif: hubungan antara pikiran, perasaan, dan perilaku.2. Membantu klien untuk mengakses pikiran diluar kendali yang pada awalnya klien tidak menyadarinya dan menjadi sadar akan apa yang menyebabkan stresnya atau traumanya.3. Membantu klien dan pengasuh memahami kemampuan untuk mengubah perasaan dan perilaku dengan menjadi sadar dan mengubah pikiran tidak membantu atau tidak akurat.Metode:1. Mengidentifikasi pikiran, perasaan, dan perilaku secara hipotesis, yang berhubungan dengan non-trauma, skenario kehidupan nyata (ruang makan, ulang tahun, dll).2. Membaca buku atau melakukan tugas yang mengidentifikasi atau melabelkan pikiran, perasaan, dan perilaku.3. Bermain game memasangkan sebuah pikiran, perasaan dan perilaku.4. Mengidentifikasi manfaat atau keakuratan cara berpikir untuk merasa lebih baik, ketika pikiran sedang dalam keadaan kesulitan perasaan maupun perilaku.T Narasi TraumaTujuan:1. Memberikan paparan kenangan trauma yang membuat klien menghindari penyebab stresnya (pikiran mengganggu, mimpi buruk, flash back).2. Mengidentifikasi kognisi tidak membantu atau tidak akurat yang perlu di proses.3. Mengidentifikasi pikiran yang berhubungan dengan pandangan terhadap dunia yang berubah atau melihat diri, terkait paparan trauma atau dalam konten trauma (mungkin saat ini bersama pengasuh ).Metode:1. Hampir semua yang melibatkan klien dapat berasal dari buku, gambar, acara radio, lagu, puisi, video, rekaman suara bersama terapis menuliskan secara narasi.2. Bekerja bersama pengasuh.3. Mengingatkan kejadian menyenangkan di akhir.4. Mengingatkan tentang analogi (contoh: bola di kolam berenang, dll).Cognitive processing atau trauma processingTujuan:1. Mengidentifikasi pikiran yang tidak membantu dan tidak akurat; membantu klien atau pengasuh melihat dan mengevaluasi cara paparan trauma yang mungkin telah merubah cara pandangnya pada dirinya, dunia, keluarga, atau masa depan.2. Mengidentifikasi cara yang lebih akurat dan membantu untuk memikirkan paparan traumanya, diri, dunia, keluarga, masa depan, dan bekerja secara konsisten menggantikan pikiran yang telah lalu dengan yang baru.3. Terpenting dalam TF-CBT : Pastikan klien tidak mendefinisikan dirinya karena trauma, memandang diri atau masa depan sebagai tidak punya harapan atau telah rusak.

Metode:1. Mengidentifikasikan pikiran yang bermasalah melalui terapi berasal dari trauma tersebut.2. Menggunakan teknik pertanyaan Socrates dan klasifikasikan pikiran (akurat atau tidak; membantu atau tidak; menyesal atau bertanggung jawab).3. Bermain peran sebagai teman baik. Dan klien di kondisikan menjadi terapis. Membuat diagram pie tanggung jawab, mengidentifikasi bukti, dan pertanyaan yang logis.I in-vivo exposure (paparan secara langsung terhadap trauma)Tujuan:1. Memisahkan ingatan trauma atau pemicu rasa takut (mempelajari respon kecemasan misalnya, takut gelap).2. Mengurangi penghindaran (avoidance) yang mengganggu fungsi sehari-hari.Metode:1. Membuat daftar tangga ketakutan (pemicu dan spesifik yang berkaitan pemicunya).2. Dalam sesi latihan dikombinasikan dengan latihan mingguan di rumah.3. Perlu untuk memanfaatkan atau mendapat dukungan dari perawat dan pendukung klien dari lingkungan hidup.4. Memanfaatkan insentif dan penghargaan (dalam sesi; di rumah: Keterampilan sang orang tua memuji dan memberi imbalan).5. Menggunakan keterampilan coping (termasuk mengatasi kognitif) yang telah diajarkan sebelumnya.C Conjoint Sessions (sesi gabungan)Tujuan:1. Memberikan kesempatan untuk memuji, mendukung, memberi dorongan dari orang dewasa yang terpercaya.2. Menghargai apapun yang telah dicapai anak dengan orang dewasa yang terpercaya.3. Membiarkan orang dewasa mendengarkan pandangan anak.4. Membiarkan kesempatan untuk berdiskusi antara pengasuh dan anak (pertanyaan, kekhawatiran, umpan balik, dll.).Metode:1. Menyiapkan sesi bersama dengan membaca narasi trauma yang dilakukan oleh pengasuh.2. Menyiapkan dan memainkan peran tanya jawab, dan umpan balik, dengan pengasuh dan anak.3. Mengidentifikasi bantuan keterampilan coping untuk pengasuh. Jika diperlukan.E Enchancing Safety (Meningkatkan Keselamatan)[Ini didahulukan jika keamanan menjadi prioritas]Tujuan: 1. Memberikan rencana keamanan untuk membantu anak (dan pengasuh) merasakan rasa aman (ini juga merupakan keterampilan coping)2. Mengembangkan rencana keamanan dalam hal cedera diri, pikiran untuk bunuh diri, dan lain-lain.3. Mengajarkan keterampilan keselamatan yang dapat digunakan klien untuk masa depan atau ketika sudah tidak melakukan terapi.Metode:1. Membentuk rencana keselamatan yang formal.2. Mengidentifikasi resiko, pemicu, peringatan tanda bahaya (diri sendiri maupun orang lain).3. Keterampilan bermain peran, biasanya dengan pengasuh.4. Mengajarkan batas-batas yang tepat, persahabatan, dll.

2.2.3. Manfaat Trauma Focused Cognitive Behavior TherapyTF-CBT mengurangi gejala stres pasca-trauma, yang ditandai oleh masalah yang mempengaruhi regulasi, fungsi perilaku, hubungan, perhatian dan kesadaran, persepsi diri, somatisasi, dan sistem makna. Ini dibuktikan dengan berkurangnya kondisi-kondisi sebagai berikut: (Cohen & Mannarino, 2004)A. Berkurangnya kenangan mengganggu, pikiran atau mimpi tentang trauma.B. Berkurangnya gejala menghindari trauma (avoidance symptoms).C. Berkurangnya mati rasa emosional.D. Berkurangnya hiperarousal (kewaspadaan berlebih) secara fisiologis maupun psikologis. E. Berkurangnya gangguan bermakna dalam kehidupan sehari-hari.Manfaat TF-CBT untuk anak dan remaja adalah dalam perbaikan gejala sebagai berikut:A. Depresi.B. Kecemasan.C. Masalah perilaku.D. Masalah seksual.E. Malu yang berhubungan dengan trauma.F. Kepercayaan interpersonal.G. Kompetensi sosial.Manfaat TF-CBT untuk orang tua yang anaknya mengalami trauma seperti kekerasan seksual. Dapat secara efektif menolong orang tua dalam:A. Mengatasi perasaan depresi orang tua secara umum.B. Mengatasi gejala PTSD pada orang tua.C. Mengatasi tekanan emosional terhadap trauma anak.D. Meningkatkan keahlian mengasuh.E. Meningkatkan keterampilan mendukung anak.

2.2.4. Hasil PenelitianDalam penelitian dengan menggunakan metode TF-CBT (trauma focused cognitive behavior therapy), yang dilakukan pada 124 anak berusia 7 14 tahun. Penelitian ini dilakukan diantara bulan September 2004 sampai Juni 2009. Penelitian ini mengintervensi ibu dan anak yang mengalami masalah kekerasan pasangan intim antara suami dan istri. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan. TF-CBT dengan CCT (children-centered therapy). (Cohen dkk, 2011)Terapi dilakukan 8 sesi diantara 12 sesi yang seharusnya dilakukan. Dilakukan 45 menit sesi individu selama 8 minggu, sampai seluruh keluarga menyelesaikan 8 sesi. TF-CBT pada penelitian ini dilakukan (1) komponen pengaman dilakukan pada awal terapi dan tidak dilakukan ketika akhir terapi. (2) Narasi trauma tidak berfokus pada memori yang lalu, melainkan berbagi pengalaman IPV (intimate partner violence) dan kewaspadaan pada ibu yang ditujukan pada kelainan adapsi kognitif (menyalahkan diri ibu). (3) Penelitian ini tidak bertujuan menguasai ingatan masa lalu IPV melainkan bertujuan untuk mengoptimalkan kemampuan anak untuk mendiskriminasikan antara bahaya nyata dengan bahaya umum. (Cohen dkk, 2011)Menurut K-SADS-PL (Kiddie Schedule for Affective Disorders and Schizophrenia for School-Age Children-Present and Lifetime) total skor untuk menilai gejala. TF-CBT menunjukan hasil peningkatan yang lebih bermakna dibandingkan CCT. (mean difference, 1.63; 95% CI, 0.44 - 2,82). Reaction Index (RI) score (mean difference, 5.5.; 95% CI, 0.22 - 1.20), K-SADS-PL hyperarousal score (0.71, 95% CI, 0.22 - 1.20). K-SADS-PL avoidance score (0.55;95% CI, 0.07 - 1.03), dan Screen for Child Anxiety Related Emotional Disorders (SCARED) (Mean difference, 5.13;95% CI, 1.31 - 8.96). Yang menyelesaikan TF-CBT mengalami perbedaan yang bermakna dalam mengurangi angka PTSD. TF-CBT mengurangi angka gejala PTSD dari 32 anak menjadi 8 anak (75%), sedangkan CCT mengurangi angka gejala PTSD dari 18 anak menjadi 10 anak (44%) (X = 4.67 , P= 0.03) dan mengalami sedikit efek samping. (Cohen dkk, 2011)Dalam penelitian PTSD pada anak dengan kekerasan seksual dilakukan penelitian berdasarkan terapi narasi trauma dan panjang waktu terapi. Pada 87 anak berumur 4-11 tahun dan orang tua melakukan TF-CBT dengan 8 sesi dan 92 anak dan orang tua melakukan 16 sesi. Disetiap kelompok tersebut dibagi kembali dengan kelompok dengan narasi trauma dan dengan yang tidak. Didapatkan bahwa 63 (72%) orang pada 8 sesi menyelesaikannya dengan lengkap dan hanya 50 (54%) orang yang mengikuti 16 sesi dapat menyelesaikannya. (Deblinger, 2011)Hasilnya didapatkan TF-CBT menunjukan hasil yang positif, dengan beberapa perbedaan. Pada kelompok dengan 8 sesi narasi trauma efektif dalam menurunkan ketakutan yang berhubungan dengan kekerasan seksual dan kecemasan secara umum, dan juga mengurangi stres orang tua pada masalah penyiksaan. Sedangkan 16 sesi TF-CBT tanpa narasi trauma menuju pada perubahan paling besar dalam melatih orang tua mengasuh dan mengurangi masalah eksternal perilaku pada anak. (Deblinger, 2011)

BAB IIITERAPI BERFOKUS PADA PERILAKU KOGNITIF PADA ANAK DENGAN POST TRAUMATIC STRESS DISORDER (PTSD)DITINJAU DARI AGAMA ISLAM

3.1. Pandangan Islam Tentang Anak dan KeluargaDalam pandangan Islam, anak adalah amanat dari Allah SWT yang diberikan kepada orang tua. Sebagai amanat, anak sudah seharusnya mempunyai hak untuk mendapatkan pemeliharaan, bimbingan, dan pendidikan. Dengan memberikan hak-hak dasar kepada anak, diharapkan anak akan berkembang dengan baik sehingga menjadi anak yang berguna bagi orang tua, keluarga, masyarakat, dan bangsa secara keseluruhan. (Amshori, 2007)Fungsi anak bagi ayah dan ibu dinyatakan oleh Allah SWT dalam Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan. (QS.Al-Kahfi(18):46)

Ayat diatas menjelaskan fungsi anak bagi kedua orang tua. Anak digambarkan sebagai perhiasan kehidupan. Harta dan anak merupakan perhiasan kedua orang tua. Orang tua menginginkan seorang anak dapat menjadi penghibur, serba bisa, menjadikan dirinya terhormat, dan menjadi tumpuan kesejahteraan hidup orang tuanya.. (Thalib, 1995)Keluarga merupakan pilar pertama bagi pendidikan anak. Pembentukan kepribadian seorang anak bersumber dari keluarga. Oleh karena itu, hak-hak seorang anak dalam keluarga dapat dibagi menjadi dua bagian: hak-hak sebelum kelahiran dan hak-hak setelah kelahiran. Berdasarkan hal ini, dalam pandangan Islam, kewajiban ayah dan ibu dimulai sejak anak belum lahir. Jika kewajiban-kewajiban tersebut tidak ditunaikan oleh kedua orang tua, hal ini akan berdampak negatif bagi pendidikan dan perkembangan kejiwaan anak. (Amini, 2006) Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil". (QS. Al-Israa(17): 24)Dalam ayat di atas anak sejak kecil adalah makhluk yang lemah dan membutuhkan banyak bimbingan dari kedua orang tua.Allah menjadikan seorang anak begitu dilahirkan dalam keadaan lemah, baik fisik, mental, maupun akalnya. Ia belum dapat berbuat apapun, selain menangis. Sudah tentu dalam kondisi yang demikian lemah seorang anak tidak dapat mengurus dirinya sendiri. Karena itu, anak-anak kecil sangat mendambakan perlindungan dari orang tua. (Joban, 2014)Selain perlindungan fisik, anak-anak juga membutuhkan bimbingan mental. Pada umumnya orang tua mengira bahwa pada permulaan kehadirannya di dunia ini anak-anak belum memerlukan bimbingan mental. Anggapan semacam ini tidaklah benar. Sebab anak-anak pada masa bayi sudah memerlukan bimbingan mental, seperti cara mengasihi, cara memahami orang lain, dan lain-lain. (Joban, 2014)Orang tua telah melakukan tarbiyah kepada anak-anaknya semasa kecilnya. Tarbiyah ialah usaha memperhatikan, melindungi, memenuhi kebutuhan makan dan minum, membimbing pertumbuhan mental, dan mengajarkan akhlak yang baik. (Joban, 2014)Ketika anak hadir ke dunia ini, ia begitu lembut. Ia memiliki akal, namun belum dapat berpikir. Ia melihat dengan matanya, namun belum mampu mengenali objek yang terdapat di sekitarnya. Ia tak memiliki kemampuan untuk mengenali warna dan rupa. Ia juga belum mengetahui jarak. Ia mendengar suara, namun belum mampu memahaminya. Demikian pula dengan inderanya yang lain. Namun demikian, anak memiliki kemampuan untuk menggunakan indera-inderanya itu, melalui kejadian yang dialaminya. (Amini, 2006)Sikap yang benar sebagai orang tua ketika mendapatkan rizki berupa anak, baik laki-laki maupun perempuan. Menurut tuntunan Allah dan Rasul-Nya dalam QS. Huud (11) ayat 69:

Dan sesungguhnya utusan-utusan Kami (malaikat-malaikat) telah datang kepada lbrahim dengan membawa kabar gembira, mereka mengucapkan: "Selamat". Ibrahim menjawab: "Selamatlah," maka tidak lama kemudian Ibrahim menyuguhkan daging anak sapi yang dipanggang.(QS. Huud(11): 69)

Ayat ini menjelaskan ketika Nabi Ibrahim diberi kabar oleh malaikat bahwa Allah akan mengaruniani seorang putra, Ibrahim menyatakan kegembiraan dengan ucapan selamat sejahtera. Sikap seperti ini mendidik orang tua untuk bersikap penuh kegembiraan dan syukur bila dikaruniani Allah seorang putra atau putri. (Thalib, 1995) Dan Allah mengeluarkan kamu dari rahim ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun. Dan dia memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu bersukur. (QS. An-Nahl(16): 78)

Dalam ayat ini menunjukkan bahwa seorang anak pada awalnya tidak memiliki pengetahuan apapun. Seorang ibu akan memberikan pengajaran dan pendidikan untuk anak kedepannya. Allah SWT yang memberikan anak-anak penglihatan, pendengaran, dan hati yang bertujuan agar manusia selalu bersyukur dengan anugerah yang telah diberikan.Anak adalah sosok manusia kecil, dan secara fitrah merupakan makhluk sosial. Ia memerlukan pertolongan dan dukungan orang lain untuk hidup. Ia akan memfokuskan perhatiannya pada orang lain. Ia akan mengambil manfaat dari mereka, dan sebaliknya, akan memberikan manfaat pada mereka. Namun, selama beberapa bulan sejak kelahirannya, bayi belum mengenal siapa-siapa, dan belum mampu memberikan perhatian pada mereka. Setelah mencapai usia empat bulan, fitrah sosialnya mulai terlihat dalam aksinya. (Amini, 2006)Baik buruknya anak tidak terlepas dari didikan dan asuhan orang tua. Mengasuh, mendidik, dan membesarkan anak merupakan salah satu dari sekian banyak kewajiban orang tua terhadap anaknya. Sebaliknya, anak harus patuh dan menghormati orang tua. Keberhasilan mendidik anak sangat tergantung bagaimana orang tua memperlakukan anak. Apabila orang tua terlalu keras akan berdampak buruk terhadap anak. Sebaliknya, para orang tua yang hangat, yang menggunakan penjelasan dan tidak mengandalkan hukuman keras dalam mendisiplinkan anak cenderung menumbuhkan rasa empati dalam diri anak-anak mereka. (Pamilu, 2007)Pendidikan tidak hanya milik anak-anak saja. Orang tua pun juga memerlukan pendidikan dan pengajaran. Demi mencapai sukses anak-anaknya, orang tua perlu membekali diri dengan ilmu yang menunjang perannya dalam mendidik anak. Tanpa bekal yang memadai, mustahil ia dapat memainkan perannya dengan baik. Satu hal yang perlu diingat bahwa bekal yang terkait dengan pendidikan anak adalah bersifat wajib. (Pamilu, 2007) (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.(QS.Ali-Imran(3): 134)

Cara yang baik menurut ayat di atas dalam mendidik anak yaitu dengan cara tidak mudah marah dan gemar memaafkan kekeliruan anak-anaknya. Selain itu, dalam bergaul dengan anak-anak ayah dan ibu hendaknya memberikan kasih sayang. Karena sikap kasih sayang akan menumbuhkan kecintaan pada diri anak-anak terhadap kedua orang tua. (Thalib, 1995)Dalam pandangan Islam, ayah dan ibu memiliki kedudukan mulia. Allah swt dan Rasulullah saw telah memperingatkan hal ini. Terdapat banyak ayat yang terkait dengannya, yang mana kelakuan baik anak terhadap orang tuanya dianggap sebagai salah satu doa terbaik. Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamumembentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. (QS.Al-Isra(17): 23)

Menurut ayat di atas ini menjelaskan kedudukan seorang ayah dan ibu Kedudukan mereka disebut mulia karena di dalam Al-Quran pun disebutkan perkataan ah itu dilarang. Perkataan yang hanya sedikit itupun dibenci oleh Allah SWT. Karena itu sebagai anak tidak diperbolehkan melawan orang tua dan selalu menuruti perkataan baik orang tua.Orang tua sebaiknya membentuk anak-anak mereka sedemikian rupa sehingga mereka berhasil di dunia dan akhirat. Hanya orang-orang seperti itulah yang diberkahi dengan kedudukan mulia orang tua. Bukan mereka yang melahirkan anak kemudian membiarkannya menjaga dirinya sendiri dan membawanya ke jurang kejahatan. Anak adalah individu sosial yang lemah. Tanpa pertolongan orang lain, ia tak akan dapat hidup dan memperoleh makan. Bila orang lain tak membantunya dan tak memenuhi kebutuhannya, ia akan mati. Orang-orang yang merawat bayi juga bertanggung jawab atas pendidikannya, termasuk pendidikan moral dan agama. (Amini, 2006)Seorang ibu pada umumnya mengemban tanggung jawab lebih besar dalam mengasuh anak. Anak-anak umumnya menghabiskan sebagian besar waktu kanak-kanak mereka berasama ibu. Fondasi dari arah masa depan mereka terletak di sana. Oleh karena itu, kunci dari sikap buruk atau baik seseorang, dan kemajuan ataupun kemunduran masyarakat, terletak pada ibu. Kedudukan kaumwanita sebagai seorang ibu, kaum ibu semestinya adalah penghasil manusia-manusia sempurna. (Amini, 2006)Seorang ibu dipandang sebagai teladan, maka ia harus selalu berkata benar dalam setiap perkataannya baik terhadap anak dan suaminya dan orang lain dari kalangan keluarga, atau siapapun dari anggota masyarakat lainnya. (Shabir, 2001)Pembicaraan Al-Quran yang terkait dengan anak sangat banyak, yangkesemuanya menekankan pentingnya rasa cinta dan kasih sayang. Tentang makna kehadiran anak-anak dalam sebuah rumah tangga menurut perspektif Al-Quran bisa disimpulkan bahwa: kehadiran anak merupakan karunia serta nikmat dari Allah SWT yang harus disyukuri, seperti firman Allah: (Amini, 2006) Kemudian Kami berikan kepadamu giliran untuk mengalahkan mereka kembali dan Kami membantumu dengan harta kekayaan dan anak-anak dan Kami jadikan kamu kelompok yang lebih besar.. (QS.Al-Isra(17):6)Dari ayat di atas disebutkan bahwa tujuan dari mempunyai keturunan adalah agar dapat memperbanyak populasi manusia di bumi ini. Digambarkan anak-anak disejajarkan dengan harta kekayaan. Yang dimaksudkan bahwa anak-anak yang lahir di bumi sama dengan karunia serta nikmat dari Allah SWT yang wajib disyukuri. (Amini, 2006)Kedudukan anak tidak hanya itu saja, anak juga bisa menjadi musuh, cobaan atau pun fitnah. (Amini, 2006) () ()Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka; dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagiMaha Penyayang. Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu): di sisi Allah-lah pahala yang besar. (QS.-At-Taghaabun(64): 14-15)

Menurut ayat diatas, seorang anak bisa menjadi musuh. Tergantung bagaimana cara orang tua mendidik anak. Kasih sayang orang tua dan cara mendidik yang halus dan islami agar kelak anak menjadi penerus orang tua dan tidak melawan kehendak orang tua. (Amini, 2006)Keluarga merupakan pilar pendidikan seorang anak. Keluarga yang harmonis ditandai dengan tidak ada kekerasan di dalamnya. Menghargai keberadaan anak dan kedudukan masing-masing peran keluarga. Cinta merupakan alat yang mendasari tingkah laku antar keluarga. Dengan landasan seperti ini maka kelak tidak akan terbentuk istilah kekerasan dalam keluarga. Ayah menentukan keharmonisan antara keluarga sedang ibu menentukan keharmonisan antara dirinya dengan anak. Karena ibu meluang kan waktu lebih banyak dibandingkan seorang ayah. Telah disebutkan bahwa sudah keharusan menjaga perhiasan dunia anak yang telah dikaruniakan oleh Allah SWT.

3.2. Pandangan Islam Tentang Trauma Pada AnakTrauma disebabkan oleh suatu pengalaman yang sangat menyedihkan atau melukai jiwanya, sehingga karena pengalaman tersebut sejak saat kejadian itu hidupnya berubah secara radikal. Pengalaman traumatis dapat juga bersifat psikologis. Misal mendapat peristiwa yang sangat mengerikan sehingga dapat menimbulkan kepiluan hati, shock jiwa dan lain-lain. (Kartono, 1989)Para pakar psikologi anak menilai bahwa anak pada tahun pertama boleh jadi memperlihatkan ketakutannya terhadap suara yang mengagetkannya, atau jatuhnya sesuatu secara tiba-tiba, atau semacamnya. Sang anak juga takut terhadap orang asing sejak usia enam bulan kurang lebih. Adapun anak usia tiga tahun, biasanya takut terhadap berbagai hewan, kendaraan, jalan curam, air dan semacamnya. (Al-Juhany, 2013)Otak anak rentan terhadap trauma, baik terhadap ucapan yang keras maupun tindakan yang menyakitkan, susunan otak terbentuk dari pengalaman. Jika pengalaman anak takut dan stres, respon otak dapat mengganggu perkembangan psikis, mental, dan kecerdasan anak. Untuk itu, orang tua harus menghindari untuk memarahi atau memukul anak agar tidak terjadi trauma, baik dalam tindakan langsung maupun terhadap orang lain. (Kasdu, 2004)Secara umum, anak perempuan lebih menampakkan ketakutan daripada anak laki-laki. Tingkat ketakutan biasanya berkaitan dengan tingkat fantasinya. Semakin banyak fantasinya, semakin tinggi rasa takutnya. Bertambahnya rasa takut terhadap anak memiliki beberapa sebab, di antaranya: (Al-Juhany, 2013)1. Sang ibu yang suka menakut-nakuti sang anak, misalnya dengan hantu, burung hantu, polisi, kegelapan, ifrit, atau makhluk halus, dst.2. Sang anak yang terlalu manja dan terlalu khawatir serta sensitif.3. Anak dididik untuk mengisolir diri, pemalu, dan berlindung di balik tembok rumah.4. Sering mengisahkan cerita-cerita yang berkaitan dengan jin, ifrit, dan sebab-sebab lainnya.5. Boleh jadi sang anak memperlihatkan kesiapan yang besar untuk menangkap ketakutan kedua orang tuanya berdasarkan pengetahuan atau pemandangan langsung. Ketakutan seperti ini dikenal memiliki daya tahan lebih lama.Ulama telah membagi rasa takut menjadi beberapa bagian. Takut sirri (takut terhadap sesuatu yang gaib), takut yang haram, takut thobiI, takut wahm (khayalan). Takut sirri seperti takut kepada Allah yang mendatangkan ketaqwaan dan ketaatan, selain itu juga terdapat takut kepada selain Allah merupakan ketakutan yang merupakan kesyirikan seperti kepercayaan pada berhala. Takut yang haram merupakan takut selain Allah yang bukan ibadah sehingga ia melakukan perbuatan haram atau meninggalkan kewajiban. Takut ThobiI merupakan takut kepada hal-hal yang dapat membahayakan diri seperti binatang buas. Takut wahm merupakan takut kepada hal-hal yang tidak jelas seperti hantu. (Rumman, 2009)Untuk mengatasi gejala ketakutan di kalangan anak-anak dapat diatasi oleh kedua orang tua dengan memperhatikan beberapa faktor, di antaranya: (Al-Juhany, 2013)1. Mendidik anak sejak dini untuk beriman kepada Allah SWT dan beribadah kepada-Nya serta berlindung kepada-Nya dari setiap yang menakutkan.2. Memberinya kebebasan beraktifitas, memikul tanggul jawab dan melakukan segala sesuatu yang sesuai dengan usianya.3. Tidak menakut-nakutinya, khususnya saat menangis, dengan burung hantu, atau landak, atau orang jahat, atau jin dan ifrit, dan sebagainya. Hal tersebut masuk pada keumuman kebaikan yang dinyatakan dalam hadis "Seorang mukmin yang kuat dan baik, lebih Allah cintai dari seorang mukmin yang lemah." (HR. Muslim)

Dalam hadis ini menjelaskan bahwa Allah SWT mencintai mukmin yang kuat baik iman maupun psikologinya. Perasaan ketakutan merupakan kelemahan dari jiwa seseorang maka sebagai manusia yang selalu ingin dicintai Allah SWT. Manusia diharuskan untuk selalu kuat dalam menerima cobaan. (Al-Juhany, 2013) Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah syaitan yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya (orang-orang musyrik Quraisy), karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu benar-benar orang yang beriman.(QS. Ali-Imran(3): 175).

Dalam ayat ini menjelaskan bahwa ketakutan kepada selain Allah tidak akan meningkatkan iman seseorang. Ketakutan seseorang pada hal lain akan mendatangkan kesyirikan jika itu berhubungan dengan kepercayaan. (Rumman, 2009).Di antara yang dianjurkan para pakar kejiwaan dan pendidikan adalah memberikan kesempatan kepada anak untuk mengenal ketakutannya. Jika dia takut kegelapan, maka tidak mengapa mengajak bercanda sang anak dengan mematikan lampu lalu menyalakannya lagi. Jika dia takut air, maka tidak mengapa membiarkannya bermain di air yang sedikit pada sebuah wadah kecil, begitu seterusnya. (Al-Juhany, 2013)Jika ketakutan pada anak berbentuk kegamangan jiwa, maka biasanya sebabnya kembali kepada sejumlah faktor yang berkaitan satu sama lain. Ajaran Nabi mengatasi hal semacam ini dengan hati-hati. Di antaranya faktor-faktor penyebab tersebut adalah: (Al-Juhany, 2013)Membebani sang anak apa yang tidak mampu dia pikul. Dalam hal ini, Rasulullah sallahualaihi wa sallam berbsabda, "Siapa yang tidak menyayangi anak kecil dan tidak mengenal hak orang tua, maka dia bukan golongan kami." (HR. Al-Bukhari)

Hadis diatas melarang orang tua untuk membebankan tugas secara berlebihan kepada seorang anak diluar batas kemampuannya. Orang tua tidak diperbolehkan untuk membuat anak merasa tertekan karena keinginan atau keputusan sebagai orang tua. Berlebihan dalam memberikan hukuman fisik serta kasar dalam memperlakukannya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda "Siapa yang terhalang berbuat lembut, dia akan terhalang dari seluruh kebaikan." (HR. Muslim)

Dalam hadis ini menjelaskan ketika memang harus memberikan hukuman dalam bentuk fisik. Orang tua seharusnya dapat mengukur berat atau rasa sakit yang ditimbulkan dari hukuman tersebut. Sebagai sesama umat muslim diharuskan selalu berbuat baik dan lembut kepada sesama. (Al-Juhany, 2013)Metode pendidikan anak yang keras seperti bentakan dan pemukulan sebagai sanksi ketika anak melakukan perbuatan yang tidak wajar, bisa menghilangkan rasa percaya diri atau menimbulkan rasa takut pada si anak. Walaupun perilaku anak membuat orang tua marah dan kehilangan kesabaran, tetaplah untuk mengeluarkan kata-kata atau umpatan yang baik sebagai doa kepada si anak. Memang diperbolehkan untuk memukul anak ketika anak tidak mengerjakan sholat di usia 10 tahun, tapi perlu diingat bahwa pukulan tersebut tidak menyakitkan (di ambil bagian-bagian yang tidak menyebabkan rasa sakit seperti bokong), itupun masih ada aturan-aturan besar alat pukul yang digunakan dan kerasnya pukulan yang diperbolehkan. (Wisudanti, 2013)Kondisi kehidupan yang sulit sehingga mendorong kedua orang tua menumpahkan kekesalannya terhadap anak-anak mereka, seperti hubungan rumah tangga yang tidak harmonis, atau ibu yang bekerja, atau tidak puas terhadap pekerjaan. Dalam hal ini, Rasulullah SAW bersabda, "Bukanlah orang yang kuat adalah dia yang menang gulat, akan tetapi orang yang kuat adalah orang yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah." (HR. Bukhari)

Hadis ini menggambarkan bahwa kekerasan bukanlah pintu akhir dari masalah. Anak bukanlah menjadi pereda amarah bagi orang tua. Pengendalian dirilah yang menunjukan seseorang mempunyai kekuatan yang kuat sebagai seorang mukmin. (Al-Juhany, 2013)Orang tua merupakan salah satu sumber pendidikan terbesar oleh seorang anak. Untuk mengatasi kenakalan anak atau memberikan hukuman pada anak lebih baik diberikan dengan suatu teguran halus atau mendidik. Hukuman fisik hanya membuat seorang anak takut terhadap orang tuanya. Orang tua sebaiknya tidak menakuti anak secara berlebihan karena itu akan membekas membuatnya teringat selalu.3.3. Pandangan Islam Tentang Terapi Perilaku dan KognitifPsikoterapi Islami merupakan bagian dari psikologi terapan Islami, yang berupaya menggambarkan dan menjelaskan penyebab penyakit mental dan perilaku abnormal individu dan kelompok serta penyembuhannya. Cabang psikologi ini menggambarkan dan menjelaskan beberapa penyakit mental dan prilaku abnormal individu dan kelompok serta menyembuhkannya. Tujuan psikologi ini didasarkan pada. (Vahab, 1996)

Hai manusia, susungguhnya telah datang kepada mu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang beriman. (QS. Yunus(10): 57).

Menurut ayat diatas bahwa penyakit jiwa atau penyakit hati dapat disembuhkan. Allah SWT telah memberikan petunjuknya agar manusia selalu berusaha untuk menyembuhkan penyakit hati yang terdapat dalam dirinya.(Vahab, 1996)

aspek terapi terhadap gangguan jiwa juga terdapat di dalam (Ancok, 1994) Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagiorang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang- orang yang zalim selain kerugian.(QS. Al-Isra(17): 82)

Menurut ayat di atas menjelasan bahwa Al-Quran salah satu obat hati yang dapat membantu melupakan trauma yang pernah terjadi. Bagi mukmin dengan membaca Al-Quran maka hati dapat menjadi lebih tenang.Menurut Dadang Hawari dalam bukunya manajemen stres, cemas, dan depresi. Psikoterapi dibagi menjadi delapan yaitu: (Hawari, 2001)1. Psikoterapi suportif dimaksudkan untuk memberikan motivasi semangat, dan dorongan agar klien yang bersangkutan tidak merasa putus asa dengan diberi keyakinan serta kepercayaan diri sehingga ia mampu mengatasi stresor psikosial yang sedang dihadapinya. 2. Psikoterapi re-edukatif dimaksudkan dengan memberikan pendidikan ulang dan koreksi bila dinilai tidak mampu mengatasi stres, kecemasan, dan depresi yang disebabkan faktor psiko-edukatif masa lalu dalam periode anak-anak dan remaja. Diharapkan dengan terapi ini dapat mengatasi stresor psikosial yang dihadapinya.3. Psikoterapi Rekonstruktif dimaksudkan untuk memperbaiki kembali/rekonstruksi kepribadian yang telah mengalami goncangan akibat stresor psikososial yang tidak mampu diatasi oleh klien yang bersangkutan.4. Psikoterapi Kognitif dimaksudkan untuk memulihkan fungsi kognitif klien, yaitu kemampuan untuk berpikir secara rasional, konsentrasi, dan daya ingat. Selain daripada itu yang bersangkutan mampu membedakan nilai-nilai moral etika mana yang baik dan buruk, mana yang boleh dan tidak, dan mana yang haram dan halal.5. Psikoterapi Psikodinamik dimaksudkan untuk menganalisa dan menguraikan proses dinamika kejiwaan yang dapat menjelaskan mengapa seseorang itu tidak mampu mengatasi stresor psikososial sehingga ia jatuh sakit (stres, cemas, dan atau depresi). Dengan mengetahui dinamika psikologis itu diharapkan yang bersangkutan mampu mencari jalan keluarnya.6. Psikoterapi Perilaku dimaksudkan untuk memulihkan gangguan perilaku yang maladaptif (ketidakmampuan beradaptasi) akibat stresor psikososial yang dideritanya. Dari terapi ini diharapkan klien yang bersangkutan dapat beradaptasi dengan kondisi yang baru sehingga bisa berfungsi kembali secara wajar dalam kehidupannya sehari-hari baik di rumah, sekolah, kampus, tempat kerja, dan lingkungan sosialnya yang lain.7. Psikoterapi Keluarga pada seseorang dalam keadaan stres, kekecewaan, atau depresi yang disebabkan oleh stresor psikososial faktor keluarga. Dengan terapi ini dimaksudkan untuk memperbaiki hubungan kekeluargaan, agar faktor keluarga tidak lagi menjadi faktor penyebab dan faktor keluarga dapat dijadikan sebagai faktor pendukung bagi pemulihan klien yang bersangkutan. Dengan demikian pada terapi ini tidak hanya ditujukan kepada klien yang bersangkutan saja, tetapi juga terhadap anggota keluarga lainnya.8. Psikoanalisa adalah sejenis psikoterapi yang mencari sebab seseorang jatuh sakit. Berbeda dengan psikoterapi konvensional maka psikoanalisa menganalisa sampai jauh akar permasalahan. Psikoterapi dalam Islam dapat menyembuhkan semua aspek psikopatologi, baik yang bersifat duniawi maupun ukhrawi. Psikoterapi hati itu ada lima macam berdasarkan ungkapan dari Ali bin Abi Thalib :(Mujib, 2002).1. Membaca Al-Quran sambil mencoba memahami artinya. Al-Quran dianggap sebagai terapi yang pertama dan utama. Menurut al-Faidh al-Kasyani dalam Tafsirnya mengemukakan bahwa lafal-lafal al-Quran dapat menyembuhkan penyakit badan sedangkan maknanya dapat menyembuhkan penyakit jiwa. Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyah bacaan Al-Quran mengobati penyakit jiwa dan badan manusia. 2. Melakukan shalat malam memiliki banyak hikmah. Allah SWT menjanjikan surga bagi yang melakukannya. Jiwanya selalu hidup dan mudah mendapatkan ilmu dan ketentraman. Shalat juga merupakan terapi psikis yang bersifat kuratif, perventif dan konstruktif. Shalat membina seseorang untuk melatih konsentrasi yang integral dan komprehensif. Hal itu tergambar dalam niat dan khusyu. Shalat dapat menjaga kesehatan potensi-potensi psikis manusia, seperti potensi kalbu untuk merasa (emosi), potensi akal untuk berpikir (kognisi), dan potensi syahwat (appetite) dan ghadab (defense) untuk berkarsa (konasi).3. Bergaul dengan orang yang baik atau salih. Orang yang salih adalah orang yang mampu mengintegrasikan dirinya dan mampu mengaktualisasikan potensinya semaksimal mungkin dalam berbagai dimensi kehidupan. Menurut al-Syarqawi, adalah al-thabib al-murabbi (dokter pendidik). Dokter seperti ini lazimnya memberikan resep penyembuhan kepada pasiennya melalui dua cara, negatif (al-salabi), dengan cara membersihkan diri dari segala sifat-sifat dan akhlak yang tercela. Positif (al-ijabi), dengan mengisi diri dari sifat-sifat atau akhlak yang terpuji.4. Puasa adalah menahan diri dari segala perbuatan yang dapat merusak citra fitri manusia. Pembagian puasa ada dua yaitu fisik (makan dan minum) dan psikis (menahan hawa nafsu dari segala perbuatan maksiat). Hikmah lapar menurut Al-Ghazali dapat menjernihkan Qalbu dan mempertajam pandangan, melembutkan Qalbu, menyehatkan badan dan jiwa serta, menolak penyakit 5. Zikir malam hari yang lama dalam arti sempit memiliki makna menyebut asma-asma Allah dalam berbagai kesempatan. Sedangkan dalam arti luas mengingat segala keagungan dan kasih sayang Allah SWT yang telah diberikan,serta dengan menaati perintahnya dan menjauhi larangannya. Menurut At-Thabathabai zikir mempunyai dua makna yaitu kegiatan psikologis yang memungkinkan seseorang memelihara makna sesuatu yang diyakini berdasarkan pengetahuan atau ia berusaha hadir padanya (istikdhar), dan hadirnya sesuatu pada hati dan ucapan seseorang. Melakukan zikir sama halnya nilainya dengan terapi rileksasi, yaitu satu bentuk terapi dengan menekankan upaya mengantarkan pasien bagaimana cara ia harus beristirahat dan bersantai-santai melalui pengurangan ketegangan atau tekanan psikologis. Kunci utama keadaan jiwa mereka itu adalah karena melakukan zikir. Firman Allah SWT:(Mujib, 2002) (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, Hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.(QS. Ar-Rad(13):28)

Menurut ayat diatas dengan selalu mengingat Allah SWT melalui berzikir maka dapat mengurangi ketakutan pada diri seseorang.Cara berzikir dibagi dua yaitu zikir jabar atau zikir yang dikeraskan baik melalui suara maupun gerakan. Fungsinya adalah untuk menormalisasikan kembali fungsi system jaringan syaraf, sel-sel, dan semua organ tubuh. Zikir sirr, zikir yang diucapkan dalam hati.(Mujib, 2002)Kesimpulan kelima terapi diatas adalah terapi dengan doa dan munajat. Doa adalah permohonan kepada Allah SWT agar segala gangguan dan penyakit jiwa yang dideritanya hilang. Allah yang memberikan penyakit dan Dia pula yang memberikan kesembuhan. Doa dan munajah banyak didapat dalam setiap ibadah, baik dalam shalat, puasa, haji, maupun dalam aktivitas sehari-hari. Agar doa dapat diterima maka diperlukan syarat-syarat khusus, diantaranya dengan membaca istigfar terlebih dahulu. Istigfar tidak hanya berarti memohon ampunan kepada Allah, tetapi lebih esensial lagi yaitu memiliki makna taubat. (Mujib, 2002)Dari seluruh psikoterapi menurut islam yang telah dijabarkan diatas. Terapi perilaku dan kognitif merupakan salah satu bagian dari psikoterapi islami, yang bertujuan menyembuhkan kemampuan berfikir dan perilaku yang maladaptif. Menurut islam tujuan dari terapi diatas adalah untuk mencapai ketenangan hati agar mereka dapat menjalani kehidupannya seperti semula seperti mengembalikan fungsi perilaku dan kemampuan berkonsentrasi.

BAB IVKAITAN PANDANGAN ANTARA KEDOKTERAN DAN ISLAM TENTANG TERAPI BERFOKUS PERILAKU KOGNITIF PADA ANAK DENGAN POST TRAUMATIC STRESS DISORDER(PTSD)

Seperti yang telah dibahas dalam bab II, dalam pandangan kedokteran, post traumatic stress disorder (PTSD) merupakan keadaan kecemasan yang berkembang pada beberapa orang setelah terjadinya peristiwa traumatis berat. Stres pasca trauma terjadi pada anak yang mengalami pengalaman kekerasan fisik maupun psikis. Kejadian ini dapat menyebabkan respon emosi, kognitif, perilaku, dan fisik. Anak-anak akan menderita kesulitan tidur, kesulitan berkonsentrasi, dan mudah cemas. Terapi perilaku kognitif yang terdapat dalam Trauma Focused Cognitive Behavior Therapy (TF-CBT) melibatkan orang tua dan anak. Terapi ini memperbaiki gejala post traumatic stress disorder pada anak seperti avoidance, depresi, kecemasan, dan hubungan antara anak dan orang tua. Terapi perilaku kognitif bertujuan untuk merubah pola pikir dan perilaku yang menyimpang. Terapi ini menunjukan hasil yang positif dibandingkan dengan terapi lainnya. Terapi ini memerlukan 8-16 sesi yang dilakukan setiap minggu. Berdasarkan pandangan Agama Islam dalam bab III terapi perilaku kognitif merupakan psikoterapi yang merubah perilaku tidak sesuai dan cara berpikir. Psikoterapi ini bertujuan untuk mengatasi ketakutan atau trauma pada anak yang dapat dilakukan melalui membaca Al-Quran, melaksanakan shalat malam, dan ibadah lainnya yang dapat mendekatkan dirinya kepada Allah SWT.Kedokteran dan Islam sependapat, bahwa terapi perilaku kognitif merupakan psikoterapi yang bertujuan untuk merubah cara bertindak dan pola pikir pada anak yang mengalami trauma. Yang dapat dicapai melalui TF-CBT melalui bidang kedokteran dilengkapi dengan membaca Al-Quran, shalat malam, berteman dengan orang shaleh, berzikir, dan melakukan ibadah lainnya untuk mencapai ketenangan jiwa melalui bidang Agama Islam. Menurut keterkaitan dalam kedua bidang tersebut, maka trauma terfokus terapi perilaku kognitif sebagai basis terapi perlu dilakukan untuk menolong anak dalam menangani stres pasca trauma.

BAB VSIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan1. Gangguan stres pasca trauma mempunyai gejala seperti merasakan kembali peristiwa traumatik (re-experiencing symptoms), menghindar (avoidance symptomps), dan kewaspadaan berlebih (hyperarousal symptoms).2. Komponen dari terapi perilaku kognitif yang terdapat pada Trauma Focused Cognitive Behaviot Therapy (TF-CBT) merupakan terapi jangka pendek yang biasanya membutuhkan 12 sampai 18 sesi dengan jangka waktu 60 sampai 90 menit. TF-CBT mempunyai komponen-komponen yang disebut dengan PPRACTICE yang dibagi menjadi psikoedukasi, parenting, relaksasi, modulasi afektif, cognitive coping, narasi trauma serta trauma processing, in-vivo exposure, conjoint sessions (sesi gabungan), enchanting safety (meningkatkan keselamatan).3. Dalam pandangan Islam terapi perilaku kognitif merupakan komponen psikoterapi yang bertujuan untuk mengembalikan fungsi berpikir dan cara bertindak seorang anak. Psikoterapi yang digunakan dalam Agama Islam adalah membaca Al-Quran, shalat malam, puasa, dan berzikir. Yang diperuntukan untuk mencapai ketenangan jiwa sang anak dalam menghadapi stres pasca trauma.

5.2. Saran1. Kepada DokterDisarankan kepada dokter untuk membekali dan menambah pengetahuan tentang Post Traumatic Stress Disorder (PTSD), terutama anak yang membutuhkan penggobatan segera sehingga dokter dapat memilih terapi mana yang paling baik. Dokter juga diharapkan dapat memberikan edukasi yang baik mengenai aspek medis dan agama kepada keluarga pasien agar dapat mengambil keputusan yang baik untuk terapi PTSD2. Kepada MasyarakatDiharapkan agar masyarakat dapat mengetahui tanda-tanda dari Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) sehingga dapat mencegah terlambatnya penanganan pada anak di Indonesia.3. Kepada PenelitiDisarankan kepada para peneliti untuk melakukan penelitian lebih lanjut dengan subjek yang lebih banyak dan lebih tepat, karena masih kurangnya data dan jumlah penelitian yang ada pada terapi perilaku kognitif pada PTSD sehingga kedepannya hasil penelitian itu dapat menjadi dasar yang baik untuk dilakukannya penanganan pada kasus stres pasca trauma.4. Kepada PemerintahDiharapkan pemerintah dapat menunjang penelitian dan terapi perilaku kognitif pada Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) secara fasilitas (peralatan) maupun biaya. Terutama pada terapi Trauma Focused Cognitive Behavior Therapy (TF-CBT) yang belum banyak dipakai di Indonesia dalam menangani kasus stres pasca trauma pada anak.5. Kepada UlamaDiharapkan ulama dapat menyebarkan dakwah agama Islam dan juga mengenai cara menagani stres pasca trauma kepada masyarakat sehingga masyarakat dapat mengerti penanganan pada anak dengan stres pasca trauma.

DAFTAR PUSTAKA

Dewan Penerjemah Al-Quran. (1413H). Al-Quran dan Terjemahnya. Madinah : Komplek Percetakan Al-Quran Raja fahd

Al-Juhany, H.A. (2013). Menyikapi Ketakutan Anak. http://islamqa.info/id/21390. Diakses tanggal 30 januari 2015.

Albano, A.M. (2006). Mendampingi Anak Pasca Trauma. p.73. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher.

Amini, I. (2006). Anakmu Anaknya. Jakarta : Al-Huda.Amshori, I. (2007). Pelindungan Anak Menurut Perspektif Islam. P.1. Jakarta: KPAI.

Ancok, D. Suroso, F.N. (1994). Psikologi Islam: solusi islam atas problem-problem psikologi. Pustaka Pelajar.

Bassuk, E.L. Et al. (2006). Understanding traumatic stress ini children.U.S: The National Center on Family Homelessness.

Child Welfare Information Gateway. (2006). Trauma-focused cognitive behavioral therapy: Addressing the mental health of sexually abused children. Washington, DC: U.S. Department of Health and Human Services.

Cohen, J.A. & Mannarino, A. (2004). How to Implement Trauma-Focused Cognitive Behavioral Therapy.DC: U.S. Department of Health and Human Services.

Cohen, J.A. Et al. (2010). Trauma focused CBT for children with co-ocurring trauma and behavior problems. Pittsburgh : Department of Psychiatry.

Cohen, J.A. Mannarino, A. Lyengar S. (2011). Community Treatment of Posttraumatic Stres Disorder for Children Exposed to Intimate Partner Violence. U.S. : American Medical Association

Deblinger, E. Et al. (2011). Trauma-Focused Cognitive Behavioral Therapy For Children: Impact Of The Trauma Narrative And Treatment Length. Depression and Anxiety. 28. P.67-75

Dorland, W.A. Newman (2010). Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 31, p.2281. Jakarta : EGC

Elvira, D. Sylvia, G.H. (2010). Buku Ajar Psikiatri.Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.

Feldman. Dorsey, U.W. (2010). TF-CBT PRACTICE Checklist .https://depts.washington.edu. Diakses tanggal 25 Januari 2015.

Gunarsa, S.D. (2000). Konseling dan Psikoterapi. P.227. Jakarta : PT. BPK Gunung Mulia.

Hawari, D. (2001). Manajemen Stres, Cemas, dan Depresi. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Joban, M. (2014). Memahami 10 Sifat Fitrah Anak. http://joban.apiktechsolution.com. Diakses tanggal 7 Januari 2015.

Kaplan, H.I. Sadock, B.J. Grebb, J.A. (2010). Sinopsis Psikiatri: Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis. Jilid dua.p.68-75. Ciputat-Tanggerang: Binarupa Aksara.

Kartono, K. Andari, J.(1989). Hygiene Mental dan Kesehatan Mental Dalam Islam, p.44. bandung: mandar maju.

Kasdu, D. (2004). Anak Cerdas. P.142. Jakarta: Puspa Swara.

Mendatu, A. (2010)