DARI REDAKSI - pii.or.idpii.or.id/wp-content/uploads/EW-XIV-ff.pdfbidang ini dikenali sebagai sumber...

8

Transcript of DARI REDAKSI - pii.or.idpii.or.id/wp-content/uploads/EW-XIV-ff.pdfbidang ini dikenali sebagai sumber...

2

DARI REDAKSI Pendidikan Profesi Insinyur

Setiap negara yang ingin maju dan punya

kemampuan bersaing membutuhkan insinyur. Amerika Serikat pernah memiliki reputasi tinggi dalam pengembangan teknologi. Siapa yang bisa menafikan prestasi luar biasa negara adidaya itu, bersama Rusia, dalam pengembangan teknologi ruang angkasa? Walaupun saat ini banyak negara sudah mengembangkan program luar angkasanya. Dalam beberapa tahun terakhir generasi muda di sana memang makin enggan mengambil studi sains dan teknik. Dampaknya serius. Daya saing mereka melemah. Ketergantungan mereka yang tinggi akan industri keuangan membuat mereka sulit pulih setelah terkena dampak krisis finansial tahun 2008. Lain lagi di beberapa negara seperti Korea Selatan, China dan India. Karir dalam bidang keinsinyuran dan sains masih dipandang tinggi, karena bidang-bidang ini dikenali sebagai sumber sejati kemakmuran dan kepakaran. Untuk urusan minat terhadap keinsinyuran, tampaknya Indonesia mengekor Amerika Serikat. Kalaupun ada penambahan minat, itu hanya terjadi untuk program studi tertentu seperti teknologi informasi. Secara umum, selain kurang dilirik, banyak sarjana teknik tidak berprofesi sebagai insinyur. Seorang sarjana teknik yang kemudian tidak berprofesi sebagai insinyur bukan hanya disebabkan oleh rendahnya remunerasi yang diterima sebagai seorang insinyur. Menurut Djoko Santoso, mantan Dirjen Pendidikan Tinggi, jika sejak awal seorang mahasiswa teknik itu tidak berbakat dan tidak berminat pada keinsinyuran, begitu lulus, secara alamiah, mereka akan lebih tertarik bekerja di bidang non-keinsinyuran. “Buat negara-negara maju hal ini tidak terlalu menjadi masalah, karena mereka sudah melampaui periode hard technology. Yang jadi masalah justru di Indonesia. Karena kita belum lagi memasuki periode itu. Tahu-tahu, trend-nya sudah beralih ke soft technology,” ujarnya.

Selain mengatur hal-hal yang terkait dengan keinsinyuran, pelaksanaan atau implementasi UU Keinsinyuran yang telah disahkan pada 2014 lalu diharapkan juga mampu mendongkrak minat masyarakat, terutama generasi muda, terhadap bidang keinsinyuran. Salah satu aturannya adalah tentang penggunaan gelar insinyur dan lembaga yang diperbolehkan memberikan gelar insinyur. Pada pertengahan April lalu, Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Ristekdikti) menyerahkan mandat pembukaan program studi (prodi) profesi insinyur kepada 40 perguruan tinggi di Indonesia yang harus sudah berjalan pada tahun ajaran 2016/2017. Seorang sarjana teknik yang ingin mendapatkan gelar insinyur dapat mengikuti program profesi ini dengan beban 24 SKS di salah satu perguruan tinggi yang telah diberi mandat tersebut. Berbeda dengan pendidikan selama menempuh program sarjana, pendidikan profesi ini lebih menitikberatkan programnya pada kegiatan praktik. Aries R. Prima Pemimpin Redaksi

Dengan kemitraan PII, kini Engineer Weekly didukung

IKPT, WIJAYA KARYA dan JASA MARGA

3

Kualifikasi Profesional vs Akademik (Bagian I)

Prof. Dr. Ir. Harijono A. Tjokronegoro Guru Besar Teknik Fisika Institut Teknologi Bandung

Terminologi profesional maupun akademik, keduanya adalah kata sifat, yang biasanya digunakan untuk menyatakan pengakuan kualifikasi atas kemampuan maupun kapasitas seseorang untuk menyelesaikan sesuatu tugas. Kualifikasi profesional, umumnya, dinyatakan dalam bentuk sertifikat profesi atau yang dikenal pula sebagai professional credential. Sementara kualifikasi akademik umumnya dinyatakan dalam bentuk ijazah atau dapat pula disebut sebagai academic credential. Sertifikat profesi maupun ijazah diterbitkan dan diberikan kepada seseorang yang telah menunjukan kemampuannya dalam menyelesaikan suatu program sesuai dengan bakuan proses serta prosedur yang ditetapkan. Sertifikat profesi umumnya diberikan oleh asosiasi profesi kepada anggotanya, sementara ijazah diberikan oleh institusi akademik/pendidikan (misalkan perguruan tinggi) kepada lulusannya. Dimana, lulusan atau sering dikenal pula sebagai alumni, diartikan bukan lagi anggota institusi pendidikan yang bersangkutan, yang maknanya tidak lagi terdapat ikatan hukum, baik kewajiban maupun tanggung jawab, antara alumni dan institusi pendidikan yang telah menerbitkan ijazah. Sertifikat profesi diterbitkan oleh asosiasi profesi untuk anggotanya sebagai bentuk pengakuan atas capaian yang bersangkutan pada pengetahuan dan ketrampilan atau kompetensi profesional guna mengerjakan sesuatu tugas atau pekerjaan spesifik dengan benar, dengan cepat, dan tanpa menimbulkan kerugian bagi siapapun yang berhubungan dengan pekerjaan tersebut. Dengan demikian, sertifikat profesi sering pula dikenal sebagai sertifikat kompetensi atau competence credential. Dalam hal ini sertifikat profesional diberikan setelah yang bersangkutan mampu menunjukkan keahlian tertentu sesuai dengan bakuan proses serta prosedur tertentu yang ditetapkan oleh asosiasi yang bersangkutan. Pada umumnya suatu jenis atau bidang professional credential hanya diberikan oleh suatu asosiasi profesi tertentu untuk suatu keahlian (kompetensi) tertentu yang memuat sejumlah batasan yang amat ketat di dalamnya, termasuk batasan kompetensi dan masa dan wilayah keberlakuan. Sebaliknya amat jarang (jika tidak dapat dikatakan tidak ada) suatu asosiasi profesi memberikan lebih dari satu jenis bidang professional credential pada setiap sertifikat profesional yang diterbitkannya. Sementara ijazah

diberikan setelah yang bersangkutan menyelesaikan program pendidikan dengan capaian tertentu yang berhubungan dengan upaya penguasaan kompetensi akademik. Kompetensi akademik yang dimaksud berhubungan dengan penguasaan keilmuan serta ketrampilan yang luas dan komprehensif dengan objektifnya adalah guna menghadapi tugas dan/atau pekerjaan yang bervariasi. Dalam hal ini, suatu jenis academic credential, untuk suatu bidang yang sama, dapat diberikan oleh banyak institusi pendidikan yang berbeda. Tanggung Jawab dan Kewajiban Di balik kualifikasi profesional yang kemudian dinyatakan oleh sertifikat profesional terdapat makna pengakuan oleh asosiasi profesi sekaligus jaminan kompetensi (warrant of competence) dan jaminan keahlian (warrant of experties) pada pemegang sertifikat, yang pada umumnya terbatas dalam bidang spesifik yang dinyatakan pada sertifikat profesional yang diterbitkannya. Dengan menerbitkan sertifikat profesional, asosiasi profesi memberikan jaminan bahwa pemegang sertifikat telah memiliki kompetensi dalam pengetahuan serta ketrampilan yang cukup untuk suatu tugas atau pekerjaan secara benar dan aman, tanpa menimbulkan kerugian bagi siapapun yang berhubungan dengan karya yang bersangkutan. Di sisi yang lain, dengan memegang sertifikat profesional, yang bersangkutan dinyatakan mampu menjalankan kewajiban serta bertanggung jawab atas semua akibat dari tugas serta hasil pekerjaan yang dijalankan sesuai dengan kompetensi dinyatakan di dalam sertifikat.

Dengan kemitraan PII, kini Engineer Weekly didukung

IKPT, WIJAYA KARYA dan JASA MARGA

4

Kualifikasi Profesional vs Akademik (Bagian II)

Prof. Dr. Ir. Harijono A. Tjokronegoro Guru Besar Teknik Fisika Institut Teknologi Bandung

Lebih jauh dari makna sertifkat profesional, pada umumnya berarti pula, asosiasi profesi (di pihak yang menerbitkan sertifikat kompetensi) ikut bertanggung jawab jika terdapat kerugian pada pihak pengguna maupun pemanfaat jasa yang diakibatkan oleh kelalaian anggotanya (pemegang sertifikat kompetensi) dalam menjalankan profesinya. Dengan demikian, atas konsekuensinya, asosiasi profesi memiiki pula kewajiban serta tanggung jawab guna menjaga suasana agar anggotanya selalu memiliki kemampuan menjalankan kewajibannya sesuai dengan kompetensinya, dengan benar dan aman tanpa menimbulkan kerugian di pihak lain. Guna memberikan jaminan maksimum pada keamanan serta kesejahteraan pengguna maupun pemanfaat jasa profesional anggotanya, asosiasi profesi bertanggung jawab pada capaian kompetensi anggotanya. Untuk ini asosiasi profesi bertanggung jawab pada proses sertifikasi dan/atau prosedur competence assessment yang dijalankannya. Oleh karena tanggung jawab yang harus dimiliki, umumnya asosiasi profesi menetapkan bidang yang sangat spesifik (tidak luas). Selanjutnya asosiasi profesi menetapkan suatu bakuan serta proses competence assessment yang amat ketat, cermat dan terukur guna mengungkapkan kemampuan serta kapasitas kompetensi yang bersangkutan. Pada kesempatan tersebut, guna mendapatkan sertifikat pengakuan kualifikasi profesionalnya, yang bersangkutan harus mampu menunjukkan kompetensi yang dimilikinya dengan cara serta prosedur baku yang ditetapkan oleh asosiasi yang bersangkutan. Untuk tujuan di atas, guna mendapatkan kompetensi minimum yang dipersyaratkan, amat sering asosiasi profesi menetapkan prasyarat kualifiasi akademik (gelar akademik) tertentu serta pengalaman kerja tertentu bagi calon anggotanya, di samping sering pula mewajibkannya untuk mengikuti sesuatu program pembelajaran prasyarat tertentu. Meski demikian,

sertifikat profesional hanya diberikan jika yang bersangkutan telah mampu menunjukkan kompetensinya melalui suatu proses competence assessment atau uji kompetensi yang telah ditetapkan. Sebaliknya hampir tidak pernah terdapat suatu institusi pendidikan membuat prasyarat agar peserta didik memiliki kualifikasi profesional tertentu untuk dapat diberikan ijazah atau pengakuan kualifikasi akademik. Institusi pendidikan menerbitkan ijazah (suatu bentuk pengakuan kualifikasi akademik) sebagai tanda pengakuan bahwa pemegang ijazah telah menyelesaikan proses pembelajaran serta prasyarat akademik tertentu yang telah ditetapkan. Institusi pendidikan, dalam hal ini, tidak pernah memberikan jaminan kompetensi bekerja kepada lulusannya. Dalam program akademik, pada umumnya, institusi pendidikan tidak memiliki proses pengukuran kompetensi atau competence assessment untuk tujuan penjaminan kompetensi atas suatu pekerjaan tertentu oleh alumninya kelak. Dan karenanya, institusi pendidikan pada umumnya tidak bertanggung jawab jika lulusannya melakukan kesalahan dalam penggunaan pengetahuan yang telah diberikan, bahkan telah merugikan pihak lain. Lulusan (alumni) suatu institusi pendidikan tidak pula memiliki kewajiban menjalankan ilmu yang dinyatakan di dalam ijazah yang dimilikinya.

Dengan kemitraan PII, kini Engineer Weekly didukung

IKPT, WIJAYA KARYA dan JASA MARGA

5

Kualifikasi Profesional vs Akademik (Bagian III)

Prof. Dr. Ir. Harijono A. Tjokronegoro Guru Besar Teknik Fisika Institut Teknologi Bandung

Hak dan Kewenangan Di balik tanggung jawab serta kewajibannya, pemegang sertifikat profesional memiliki kewenangan serta hak sehubungan dengan profesinya yang pada lazimnya dilindungi oleh undang-undang negara di mana asosiasi profesi yang bersangkutan berada. Di antaranya, pemegang sertifikat profesional mempunyai hak mendapatkan semacam surat tanda registrasi profesi hingga surat ijin praktik sesuai dengan kompetensinya. Sementara, hampir tidak terdapat ketentuan negara yang melindungi maupun yang memberikan hak, kewenangan, kewajiban serta tanggug jawab terhadap lulusan institusi pendidikan sehubungan dengan gelar akademik yang dinyatakan di dalam ijazah yang dimilikinya. Meski terdapat banyak institusi pendidikan yang menerbitkan sejenis “sertifikat”, namun pada dasarnya adalah tanda kelulusan atas suatu program yang dijalankannya, yang pengakuannya tidak menyatakan hak serta kewenangan tertentu. Etika Profesional dan Akademik Asosiasi profesi dalam mengemban tanggung jawab dan kewajibannya sangat berkepentingan dengan etika para anggotanya di manapun mereka berada. Etika profesi adalah bagian yang tak terpisahkan dari praktik keprofesian. Bahkan pelanggaran etika profesi sering merupakan awal dari kerugian yang dilakukan oleh pemegang sertifikat profesional. Oleh karena itu, pada hakikatnya pengertian bahwa asosiasi profesi menjamin kompetensi para anggotanya atau warrant of competence adalah belum cukup. Di dalam kenyataannya asosiasi profesi dituntut pula bukan saja menjamin kompetensi maupun experties tetapi juga menjamin etika profesional para anggotanya. Pernyataan yang kiranya lebih tepat adalah bahwa asosiasi profesi menjamin kepatutan perilaku profesional pada anggotanya. Demikian pentingnya makna etika profesi, jika pada suatu saat yang bersangkutan terbukti telah melakukan pelanggaran etika profesi yang

ditetapkan maka yang bersangkutan dapat dikenakan hukuman hingga dikeluarkan dari keanggotaan asosiasi. Dan dengan demikian yang bersangkutan akan kehilangan hak serta kewenangnnya sebagai profesional. Sementara institusi akademik/pendidikan umumnya hanya berkepentingan pada academic misconduct dari mahasiswanya pada proses sampai dengan yang bersangkutan mendapatkan ijazah atau academic credential. Segera setelah itu institusi akademik/pendidikan tidak lagi memiliki tanggung jawab dalam hubungannya dengan etika akademik maupun profesi alumninya dimanapun mereka berada. Pengembangan Kompetensi Berkelanjutan dan Resertifikasi Guna menjamin kompetensinya, dan tanggung jawab baik pada angota maupun asosiasi profesi, sertifiksi profesonal pada umumnya diberikan untuk jangka waktu yang terbatas. Latar belakang dari ini adalah bahwa professionalisme menuntut jaminan kompetensi justru pada saat penugasan diberikan. Ini berarti mutlak diperlukan proses pembaruan kompetensi secara berkelanjutan, atau terdapat kewajiban resertifikasi, guna menjaga kualifikasi kompetensi seseorang terjamin, semata-mata agar selalu dapat diberikan tanggung jawab sesuai dengan kompetensinya. Sebagai akibatnya, jika seseorang gagal dalam proses resertifikasi maka yang bersangkutan akan kehilangan pengakuan kualifikasi profesional yang dimilikinya beserta seluruh hak dan kewenangan yang melekat. Bahkan yang bersangkutan dapat terkena sangsi baik oleh asosiasi maupun oleh lembaga hukum yang berlaku. Sementara, dalam hal ini, ijazah atau academic credential hampir selalu dinyatakan berlaku tanpa batas waktu bagi pemegangnya, meski ilmu pengetahuan maupun ketrampilan yang dimiliki pada saat diberikan sertifikat kualifikasi akademik telah jauh tertinggal dari jamannya. Hampir tidak terdapat sebuah catatan bahwa suatu ijazah dinyatakan kadaluwarsa.

Dengan kemitraan PII, kini Engineer Weekly didukung

IKPT, WIJAYA KARYA dan JASA MARGA

6

Kualifikasi Profesional vs Akademik (Bagian IV)

Prof. Dr. Ir. Harijono A. Tjokronegoro Guru Besar Teknik Fisika Institut Teknologi Bandung

Pendidikan Profesi dan Akademik Sejauh ini kurang dikenal suatu institusi pendidikan menyelenggarakan program profesi dan menerbitkan sertifikat profesi. Yang lazim ada yaitu institusi akademik/pendidikan bekerjasama dengan asosiasi profesi. Dalam hal ini institusi pendidikan menerbitkan ijazah dan sebutan “gelar profesi” tertentu, sementara asosiasi profesi terkait menerbitkan sertifikat profesi setelah yang bersangkutan menempuh proses uji kompetensi. Umumnya uji kompetensi dilakukan oleh lembaga independen yang ditetapkan oleh asosiasi profesi. Pada dasarnya, gelar profesi yang diberikan, jika ada, umumnya tidak memiliki civil effect yang berarti dalam pekerjaan profesional. Dengan demikian, ultimate goal dari pendidikan profesi adalah sertifikat profesi dengan hak, kewenangan, kewajiban dan tanggung jawab yang melekat, yang diterbitkan oleh asosisasi profesi terkait. Pada sertifikat profesional hampir selalu disebutkan kompetensi yang dimiliki oleh yang bersangkutan serta masa berlaku dari serifikat. Sementara, ultimate goal dari institusi pendidikan adalah guna mendapatkan ijazah, yang hampir tidak tercantum padanya mengenai hak, kewenangan, kewajiban serta tanggung jawab baik pemegang ijazah maupun institusi yang menerbitkan ijazah. Juga tidak terdapat ketentuan “kadaluwarsa” pada ijazah. Badan Akreditasi Independen dan Mutual Recognition Demikian besar tanggung jawab pada asosiasi profesi maupun pada pemegang sertifikat profesional (anggotanya), dan dalam upaya menjaga serta mengembangkan reputasinya, adalah hampir merupakan kewajiban suatu asosiasi profesi berupaya mendapatkan pengakuan amat luas atas kemampuan serta kapasitasnya melakukan competence assessment pada anggotanya. Bahkan upaya saling melakukan assessment penting serta perlu dilakukan untuk mendapatkan saling pengakuan (mutual recognition agreement) di antara asosiasi profesi antarnegara. Tujuannya adalah agar pengakuan profesional yang diberikan oleh suatu asosiasi profesi mendapatkan pengakuan

pula yang sederajat dari asosiasi sejenis yang lainnya. Untuk ini, adalah amat umum sejumlah asosiasi sejenis kemudian “bersepakat” untuk menunjuk suatu badan akreditasi independen guna melakukan assessment kinerja di antara mereka. Lebih dari itu, objektif dari assessment bersama adalah guna melindungi keamanan pengguna/pemanfaat jasa profesional dan menjauhkan resiko lainnya yang merugikan akibat kekeliruan pada pihak profesional dalam menjalankan kewenangan profesinya dimanapun mereka berpraktik. Jika ini terjadi, maka komptensi anggotanya akan mendapatkan pengakuan amat luas dari asosiasi- asosiasi yang bersepakat. Demikian pula halnya, jika dua atau lebih asosiasi profesi yang berbeda negara kemudian bersepakat untuk saling mengakui, maka hak dan kewenangan serta kewajiban anggota dari masing-masing asosiasi juga akan berlaku pula di negara asosiasi-asosiasi yang bersepakat. Dalam proses akreditasi, asosiasi profesi harus mampu menunjukkan dengan amat baik, transparan dan terukur proses sertifikasi dan/atau prosedur competence assessment yang dijalankannya dalam menetapkan kompetensi profesional seseorang. Meski tidak berarti tidak bisa salah, tetapi asosiasi profesi harus mampu menunjukkan bahwa persyaratan sertifikasi, standar serta prosedur competence assessment yang dijalankannya mampu memberikan jaminan perlindungan keamanan serta keselamatan yang cukup kepada publik (pengguna/pemanfaat jasa) atas kerja dari setiap anggotanya (pemegang sertifikat kompetensi). Pada dasarnya, upaya mendapatkan pengakuan biasa pula dilakukan oleh insititusi pendidikan, misalkan dengan mengundang suatu badan akreditasi nasional/internasional atau sejenis, namun dengan objektif pengakuan yang berbeda. Bukan pada kompetensi profesional lulusannya, namun pada proses pendidikan yang diselenggarakannya. Tidak merupakan perhatian adalah tanggung jawab serta kewenangan dari lulusan institusi pendidikan. ♦

Dengan kemitraan PII, kini Engineer Weekly didukung

IKPT, WIJAYA KARYA dan JASA MARGA

Umumnya kemasan minuman bersoda terbuat dari aluminium atau kaca, dan berbentuk silindris. Padahal, bentuk seperti ini lebih mahal dan kurang ekonomis dalam pengaturan penyimpanan dari pada bentuk kotak, seperti kemasan susu pada umumnya. Namun, mengapa para produsen minuman soda ini tidak mengubah bentuk kemasan produknya menjadi berbentuk kotak? Menurut buku The Economic Naturalist: Why Economics Explains Almost Everything, dengan kemasan yang terbuat dari aluminium, bentuk silindris sangat baik untuk menahan tekanan yang dapat terbentu dari minuman bersoda ini. Alasan lainnya adalah, biasanya, orang mengonsumsi minuman bersoda langsung dari kemasannya. Bentuk silindris sangat nyaman di tangan dari pada bentuk kotak. Kenyamanan inilah yang menguatkan alasan untuk membuat kemasan minuman bersoda dengan bentuk ini, walaupun relatif lebih mahal dari bentuk kotak.

Hal ini juga menjelaskan mengapa ada juga kemasan minuman bersoda dari bahan kaca berbentuk silindris, walaupun bila kemasan ini berbentuk kotak tetap dapat menahan tekanan yang ditimbulkan dari gas yang ditimbulkan oleh minuman berkarbonasi ini. Sebaliknya, kenyamanan ini tidak terlalu penting untuk produk susu yang biasanya tidak diminum langsung dari kemasannya. Di pasar swalayan, produk susu disimpan dalam lemari pendingin yang dbeli dengan harga mahal dan biaya pengoperasiannya pun tidak lah murah. Berbeda dengan produk minuman bersoda, yang sebagian besar di simpan pada rak-rak terbuka, produk-produk susu harus disimpan dalam kemasan yang paling efisien dan ekonomis, yaitu dalam bentuk kotak.***

7

INFO RINGAN

Mengapa Kemasan Susu Berbentuk Kotak, Sedangkan Soft Drink Berbentuk Silindris?

Aries R. Prima – Engineer Weekly

Dengan kemitraan PII, kini Engineer Weekly didukung

IKPT, WIJAYA KARYA dan JASA MARGA

Engineer Weekly Pelindung: A. Hermanto Dardak, Heru Dewanto Penasihat: Bachtiar Siradjuddin Pemimpin Umum: Rudianto Handojo, Pemimpin Redaksi: Aries R. Prima, Pengarah Kreatif: Aryo Adhianto, Pelaksana Kreatif: Gatot Sutedjo,Webmaster: Elmoudy, Web Administrator: Zulmahdi, Erni Alamat: Jl. Bandung No. 1, Menteng, Jakarta Pusat Telepon: 021- 31904251-52. Faksimili: 021 – 31904657. E-mail: [email protected]

Engineer Weekly adalah hasil kerja sama Persatuan Insinyur Indonesia dan Inspirasi Insinyur.