Dari Komunisme Ke Kapitalisme

15
Dari Komunisme ke Kapitalisme : Pragmatisme Cina Oleh Rum Rosyid China menempuh jalan pragmatis dengan menyerap unsur-unsur pokok kapitalisme pasar, tetapi tetap memelihara nilai-nilai ideologi sosialisme yang berakar kuat dalam tradisi politik mereka(Amich Alhumami, 2009). China mengabaikan pertentangan ideologis dan menjalankan modernisasi dengan memeluk kapitalisme meski tetap setia pada sosialisme, langkah ganjil dan penuh paradoks. Saksikan, negara-negara berideologi serupa, seperti Vietnam dan Laos, mengadopsi strategi pembangunan ekonomi China dan menjadikannya model. Jalan pragmatisme China memberi inspirasi negara-negara serumpun di Asia Timur dalam membangun ekonomi. Bahkan, Iran, Afrika, dan Amerika Latin juga tertarik pendekatan dan strategi China. Mereka mengundang ahli hukum, ekonomi, dan politik China untuk menyampaikan public lecture bagi pejabat pemerintahan, akademisi, dan pengamat bagaimana menjalankan state-led economic development with limited political reforms itu. Banyak orang mengira bahwa naiknya Deng Xiaoping ke tampuk pemerintahan merupakan babak baru dalam hal kebudayaan Cina karena mereka melihat dicabutnya larangan untuk memelihara kebudayaan tradisional. Tetapi, periode ini sebenarnya merupakan babak yang tak kalah radikal dalam hal globalisasi kebudayaan dari periode sebelumnya. Bangsa Cina menariknya, dengan penuh semangat menyambut datangnya globalisasi ini. Deng Xiaoping menciptakan slogan yang tepat: Gaige, kaifang (Reformasi dan Membuka Diri). Slogan ini benar-benar telah membuat Cina masuk dalam arus globalisasi dengan cepat. Sehingga jika masih memperhitungkan resistensi, maka resistensi itu tidak besar dan dapat diatasi oleh kelompok pembaharu dari Deng Xiaoping. Cukup dengan mengatakan “bahaya kiri”, Deng Xiaoping dan kawan-kawan berhasil menghentikan perlawanan mereka. Sebaliknya, walaupun mereka menyatakan sikap hati-hati terhadap “bahaya kanan” pada hakekatnya kelompok ini mendorong Cina untuk lebih cepat masuk dalam irama langkah kapitalisme global.

Transcript of Dari Komunisme Ke Kapitalisme

Dari Komunisme ke Kapitalisme : Pragmatisme CinaOleh Rum RosyidChina menempuh jalan pragmatis dengan menyerap unsur-unsur pokok kapitalisme pasar, tetapi tetap memelihara nilai-nilai ideologi sosialisme yang berakar kuat dalam tradisi politik mereka(Amich Alhumami, 2009). China mengabaikan pertentangan ideologis dan menjalankan modernisasi dengan memeluk kapitalisme meski tetap setia pada sosialisme, langkah ganjil dan penuh paradoks. Saksikan, negara-negara berideologi serupa, seperti Vietnam dan Laos, mengadopsi strategi pembangunan ekonomi China dan menjadikannya model. Jalan pragmatisme China memberi inspirasi negara-negara serumpun di Asia Timur dalam membangun ekonomi. Bahkan, Iran, Afrika, dan Amerika Latin juga tertarik pendekatan dan strategi China. Mereka mengundang ahli hukum, ekonomi, dan politik China untuk menyampaikan public lecture bagi pejabat pemerintahan, akademisi, dan pengamat bagaimana menjalankan state-led economic development with limited political reforms itu.

Banyak orang mengira bahwa naiknya Deng Xiaoping ke tampuk pemerintahan merupakan babak baru dalam hal kebudayaan Cina karena mereka melihat dicabutnya larangan untuk memelihara kebudayaan tradisional. Tetapi, periode ini sebenarnya merupakan babak yang tak kalah radikal dalam hal globalisasi kebudayaan dari periode sebelumnya. Bangsa Cina menariknya, dengan penuh semangat menyambut datangnya globalisasi ini. Deng Xiaoping menciptakan slogan yang tepat: Gaige, kaifang (Reformasi dan Membuka Diri). Slogan ini benar-benar telah membuat Cina masuk dalam arus globalisasi dengan cepat. Sehingga jika masih memperhitungkan resistensi, maka resistensi itu tidak besar dan dapat diatasi oleh kelompok pembaharu dari Deng Xiaoping. Cukup dengan mengatakan “bahaya kiri”, Deng Xiaoping dan kawan-kawan berhasil menghentikan perlawanan mereka. Sebaliknya, walaupun mereka menyatakan sikap hati-hati terhadap “bahaya kanan” pada hakekatnya kelompok ini mendorong Cina untuk lebih cepat masuk dalam irama langkah kapitalisme global.

Di dunia intelek internasional sependapat, bahwa yang berhasil membuat perubahan besar ini adalah ajaran Deng Xiaoping yang bilang bahwa „Tidak perduli kucing hitam atawa putih, selama si kucing bisa menangkap tikus, dia adalah kucing yang baik" (ref.[1,2}). Hanya mereka yang tidak mengerti filsafat saja, yang mengira bahwa teori Deng ini bertentangan dengan ajaran Mao Zedong. Padahal sebenarnya teorinya Deng ini tetap berpijak pada landasan Materialisme Dialektik dan Histori (MDH), yaitu menyimpulkan bahwa dalam perkembangan (Histori) dewasa ini, kaum penjajah sudah berganti rupa dan bisa dimanfaatkan guna pembangunan (ini beda dengan Indonesia yang tidak sanggup memanfaatkannya buat rakyat sampai hari ini). Teori kucingnya Deng ini sama sekali BUKAN ajaran Confucius, melainkan prinsip dari filsafat Pragmatisme yang justru berasal dari filsafat barat, sama halnya dengan Teori Revolusi nya Mao Zedong yang berasal dari Marx dan Lenin.Prof. Wang dan Leo Malamed sama2 menandaskan bahwa landasan dari teori KUCING nya Deng tidak lain adalah filsafat Pragmatisme. Kiranya ini lebih dari cukup untuk membantah anggapan bahwa ajaran Deng ini berasal dari Confucius. Juga analisa Profesor Wang memberikan indikasi yang kuat bahwa teori kucingnya Deng ini adalah perkembangan lebih lanjut dari teori MDHnya Mao, dan dewasa ini sudah menjadi

bahan perdebatan didalam tubuh PKT sendiri.

Ditinjau dari sudut filsafat, baik Marx maupun Pragmatisme kedua2nya merupakan bagian dari filsafat Enlightenment/Aufklaerung. Kedua2nya merupakan solusi dari Dualisme nya filsuf Immanuel Kant yang terkenal, persisnya seputar hakekat dunia luat sebagai "Das Ding An Sich" (the-thing-in-itself) yang tidak mungkin terjangkau oleh manusia. Filsafat MDH (Marx) memilih solusi bahwa dunia luar itu ditetapkan oleh materi yang berkembang menurut hokum-hukumnya sendiri diluar kemauan kita (misalnya hokum-hukum alam, hokum-hukum masyarakat, dlsbnya). Hal mana sebenarnya tidak lain adalah sebuah kepercayaan belaka, sekalipun tarafnya sudah jauh lebih tinggi dari tahayul dan agama.

Aliran Positivisme Logis (Logical Positivism, yang menjadi landasan IPTEK sampai hari ini) dengan sadar menolak solusi apapun buat Dualismenya Kant ini. Tetapi dengan sukarela membatasi diri hanya kepada persepsi pancaindera sebagai satu2nya kebenaran objektif yang bisa diketahui oleh manusia dengan pasti. Hasilnya kita lihat sendiri adalah perkembangan IPTEK yang pesat sejak tahun 1700-an. Kelemahannya, dengan membatasi diri hanya kepada persepsi pancaindera, maka Positivisme Logis tidak mampu menjawab pertanyaan yang hakiki, apakah Tuhan itu eksis, dan apakah ada hidup setelah mati, yaitu pertanyaan2 yang justru merupakan pertanyaan yang sentral bagi hampir setiap manusia.

Setelah terjadi pembantaian di Lapangan Tian’anmen pada 4 Juni 1989, orang menyangka bahwa tamatlah gerakan reformasi di Cina. Hal ini barangkali juga disetujui oleh pemimpin-pemimpin pada waktu itu. Tetapi dugaan dan kekhawatiran tersebut ternyata salah. Ketika melihat ada bahaya ke arah menutup diri, pada tahun 1992, Deng Xiaoping mengadakan gebrakan terakhir tetapi menentukan. Dalam apa yang kemudian terkenal dengan “perjalanan ke selatan” itu, Deng Xiaoping memerintahkan Cina meneruskan gaige, kaifang. Lawan-lawan politik Deng Xiaoping tidak berkutik, dan Cina pun melanjutkan langkahnya masuk dalam arus globalisasi.

Masih banyak orang masih suka memakai sebutan “Cina Komunis”. Sebutan ini tentu diucapkan oleh orang yang datang ke Cina 30 tahun yang lalu. Komunisme kini memang Cuma tinggal slogan, tidak ada orang yang mempercayainya lagi, termasuk pemimpin-pemimpin Partai Komunis Cina. Ideologi yang berlaku sekarang adalah ideologi yang juga menguasai inggris, Amerika Serikat, dan belahan dunia manapun saat ini, yaitu ideologi neoliberalisme. Siapapun dihalalkan untuk berdagang, untuk mengeruk keuntungan. Mereka secara murni mengikuti petuah Deng Xiaoping; zhi fu shi guangrong (menjadi kaya itu mulia).

Sebagai negara komunis Cina pernah mati-matian melawan kapitalisme. Ini tidaklah mengherankan. Ideologi komunisme memang menentang kapitalisme dan para kapitalis yang dianggap menindas kelas proletar. Pada awal berdirinya republik, sekitar tahun 1951, diadakan gerakan yang diarahkan benar-benar untuk membasmi para kapitalis. Ini disusul dengan disitanya aset milik para-istilah mereka dulu-“komprador borjuis”. Perusahaan-perusahaan besar dijadikan perusahaan milik Negara. Perusahaan milik orang

apalagi, semuanya disita oleh pemerintah. Pada pertengahan tahun 1950-an, ketika dinyatakan bahwa “transformasi sosial” telah tercapai, kelas kapitalis benar-benar telah dikikis. Kalau pada tahun 1953 masih terdapat 8,4 juta tukang, pedagang dan pengusaha di kota-kota Cina, pada 1956 jumlah itu merosot menjadi 160.000 orang saja di seluruh Cina. Semakin dalam ideologi komunisme ditancapkan, semakin kuat pula kebencian terhadap orang-orang yang dianggap kelas kapitalis, bahkan jejak-jejak kapitalis yang sekecil apa pun. Masa “Revolusi Kebudayaan” merupakan puncaknya.

Sesudah angin reformasi berhembus pada awal tahun 1980-an. Perlahan-lahan semangat anti-kapitalisme itu hilang. Mekanisme pasar mengambil alih peran Negara dalam menetukan harga barang maupun jasa. Pada saat ini hampir tidak lagi kelihatan jejak semangat anti-kapitalisme di Cina. Uang telah menggantikan :insentif moral” yang dulu sedemikian menguasi rakyat Cina. Dengan kata lain, membuka toko, berdagang kelontong, membuka salon kecantikan, buka restoran, tidak diharamkan. Yang paling menarik dari perkembangan ini adalah merebaknya pengusaha-pengusaha swasta. Kelompok masyarakat yang di masa Mao dahulu dicurigai dan didiskriminasi, dengan cepat menyesuaikan diri. Selama jangka waktu (1989-1992) mengalami penurunan, tetapi sejak tahun 1992 itu jumlah pengusaha swasta – baik yang termasuk getihu maupun siying qiyezhu – bertambah berlipat-lipat. Dua kategori itu didasarkan atas apakah jumlah buruh melebihi delapan orang: kategori kedua yang sebenarnya resmi diakui sebagai “pengusaha swasta” memperkerjakan lebih dari delapan buruh.

Sekedar ilustrasi, antara 1993-1999, jumlah getihu meningkat 1,8 kali, dan asetnya naik 4 kali lipat, sementyara output value naik dengan 5,1 kali. Adapun siying qizeyhu mengalami percepatan lebih tinggi. Jumlah mereka meningkat 6,2 kali, asety mereka naik 15 kali, output value mereka bertambah 18,2 kali. Pada umumnya mereka terdapat di pesisir Timur (getihu 45 persen dan siying qiyezhu 64 persen). Getihu sebagian besar (84%) terjun di dalam sektor industri tersier dan kebanyakan (64%) ada di wilayah pedesaan. Sementara itu Cuma sedikit lebih dari separuh (53%) dari siying qiyezhu tersedot ke sektor industri tersier, sebagian lain terjun dalam indutri sekunder (45%). Tetapi mereka mayoritas (63%) ada di kota, besar ataupun kecil, di pesisir timur. Seluruh pengusaha swasta di Cina saat ini berjumlah sekitar 20 juta.

Tetapi meskipun demikian. Sekalipun ada pertumbuhan yang sedemikian spektakuler, baik getihu maupun siying qiyezhu secara nasional hanya menyumbang 10 persen dari industrial output value dan 11,6 persen dari lapangan kerja. Dengan kata lain, pengusaha swasta belum dapat dikatakan telah “mendominasi” perekonomian Cina. Atau, bahwa pengusaha swasta Cina telah “mencengkram” Cina. Perekonomian cina pada saat ini masih bergantung pada perusahaan-perusahaan milik negara, besar maupun kecil, pada tingkat nasional maupun pada tingkat daerah.

Pada dasarnya pengusaha swasta murni belum mengatur roda ekonomi. Negara masih memainkan peran penting, kalau tidak boleh dikatakan dominan. Dalam UUD (1982) yang telah diamamndemen pada 1999 sekalipun tetap dikatakan sebagai “komponen penting” dari perekonomian Cina. Dalam pidatonya pada kesempatan peringatan hari kemerdekaan RRC ke-50, 1 Oktober 1999, Jiang Zemin menegaskan bahwa “aset publik

akan mendominasi aset masyarakat; sektor yang dimiliki oleh negara mengendalikan jalur kehidupan ekonomi nasional dan memainkan peranan memimpin dalam pembangunan ekonomi”.

Dikalangan pemimpin Cina nampak masih ada kendala ideologis yang sulit untuk ditembus. Kelompok yang sering dijuluki “kelompok kiri” zuopai berpendapat bahwa Cina adalah negara sosialis yang berdasarkan kepemilikan negara. Maka public ownership ini tidak boleh dilanggar. Dengan membiarkan pengusaha swasta menjalankan roda ekonomi di cina, maka tamatlah riwyat sosialisme di Cina. Kelompok kiri sebagai sebuah kelompok memang makin sedikit dalam kuantitas, tetapi kelompok kiri sebagai sebuah aliran pemikiran belum hilang sama sekali di Cina. Mereka tetap waspada dan curiga terhadap sepak terjang para kapitalis.

Kelompok kiri tentu saja mewaspadai gerak-gerik para pengusaha swasta yang berusaha “masuk lewat pintu belakang”. Yaitu orang-orang yang mau mempengaruhi pembuatan kebijakan dengan cara masuk kedalam Partai Komunis Cina. Mereka telah mencium taktik ini, dan mereka menentang kebijakan untuk menerima masuk pengusaha swasta ke dalam Partai. Mereka mengingatkan Jiang Zemin dengan mengutip kata-kata Jiang sendiri 14 tahun yang silam, ketika ia mengatakan bahwa pengusaha swasta tidak boleh masuk menjadi anggota partai. Di dokumen lain, Jiang lebih eksplisit lagi mengatakan: “Partai kita adalah ujung tombak kelas pekerja. Hubungan antara pengusaha swasta dan kelas pekerja adalah hubungan antara yang menindas dan yang tertindas. Maka, tidak diijinkan untuk merekrut pengusaha swasta ke dalam partai”.

Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa masih dibutuhkan waktu panjang bagi pengusaha swasta Cina untuk benar-benar menjadi “pemain” yang utama dalam gelanggang ekonomi di Cina. Meskipun dalam teori “Tiga Perwakilan” kedudukan kelompok pengusaha swasta diakui secara terbuka, Cina ternayata masih mengandalkan perusahaan milik negara untuk menggerakan ekonominya. Economic boom yang terjadi di Cina saat ini harus diterangkan dengan memperhatikan variabel-variabel yang bukan pengusaha swasta lokal. Kalau begitu benar seperti yang dikatakan Deng Xiaoping. Yang dianut oleh Cina sekarang adalah “sosialisme dengan ciri khas Cina” (you zhongguo tese de shehuizhuyi). Dengan ini diam-diam Cina telah memeperkenalkan model ekonomi yang baru, yang unik, sesuai dengan kondisi Cina.

Dari Dogmatisme ke PragmatismePartai Komunis Cina (PKC) dan Negara RRC setelah ditinggalkan Mao Ze Dong, menghadapi permasalahan yang rumit. Dimana yang menjadi masalah adalah pengaruh Hua Guo Feng yang menduduki jabatan ketua PKC merangkap Perdana Menteri RRC, ia merupakan seorang tokoh yang dilahirkan oleh Revolusi Kebudayaan. Hua Guo Feng menganut aliran dogmatik radikal bersama Jiang Qing dan pengikutnya. Hanya saja ketika Mao Ze Dong meninggal, Hua Guo Feng tidak menghendaki Jiang Qing mewarisi kedudukan suaminya sebagai Ketua PKC. Untuk mewujdkan kehendaknya tersebut Hua Guo Feng terpaksa bekerjasama dengan Marsekal Ye Jian Ying untuk bersama-sama menangkap “Kelompok 4 Serangkai”.

Setelah itu terbentuklah triumvirat antara Hua Guo Feng, Ye Jian Ying dan Deng Xiau Ping. Disinilah akar mula permasalahnnya, kedua rekannya tersebut pernah menjadi korban dari Revolusi Kebudayaan yang telah mengangkat namanya ke atas pentas perpolitikan. Sebagai pemegang puncuk pimpinan PKC dan pemerintahan RRC, Hua Guo Feng hanya dapat menyandarkan diri pada bayang-bayang kejayaan usang Mao Ze Dong dengan menyatakan: “Kebijakan apapun yang pernah di anut oleh Mao akan tetap saya junjung tinggi; dan instruksi apapun yang pernah di amanatkan oleh Mao akan tetap saya indahkan”.

Pernyataannya ini kemudian dikenal dengan apapun-isme. Ditanggapi oleh kaum pragmatis dengan menuduhnya sebagai pengekor dari kelompok 4 Serangkai.Konfrontasi terbuka pertama antara Hua Guo Feng dan Deng Xiau Ping terjadi pada rapat kerja politik tentara pembebasan rakyat Cina (mei 1978). Hua Guo Feng dalam pidatonya mengatakan bahwa ia akan meneruskan revolusi dibawah diktatur proletariat ajaran Mao Zhe Dong, bendera mao zhe dong akan terus dikibarkan demi persatuan dan perjuangan.Sementara Deng xiau Ping berpidato bahwa ada kawan-kawan yang setiap hari berbicara tentang pikiran Mao zhe dong, tetapi mereka sering melupakan pandangan asasinya yaitu mencari kebenaran dalam fakta.

Dalam hal ini, Pragmatisme memilih solusi bahwa kebenaran objektif itu tidak ada, melainkan ditetapkan oleh perihal, apakah suatu teori itu membuahkan hasil yang menguntungkan. Jika hasilnya menguntungkan kita, maka teori itu "benar". Jika hasilnya merugikan, teori itu salah. Problimnya disini, perkataan "kita" itu sendiri tidak objektif. Berbeda dengan persepsi pancaindera yang sama bagi setiap manusia, apa yang menguntungkan buat satu pihak kadang-kadang atau seringkali justru merugikan buat orang lain.

Pada bulan november 1978 diadakan rapat-rapat dalam rangka mempersiapkan sidang III dari komite sentral ke 11. dalam rapat tersebut tampak benar adanya dua kelompok yaitu (1). Kelompok yang terdiri dari ahli waris revolusi kebudayaan dibawah pimpinan Hua Gua Feng dan (2). Kelompok yang terdiri dari korban revolusi kebudayaan dibawah pimpinan Deng Xiau Ping.

Hasil rapat memutuskan Deng Xiau Ping menduduki kembali jabatannya dalam PKC sebagai wakil ketua komite Sentral, merangkap anggota dewan harian biropolitik serta wakil ketua komisi militer. Sedangkan dalam pemerintahan RRC ia memperoleh kembali jabatannya sebagai wakil pertama perdana menteri merangkap kepala staf umum tentara pembebasan rakyat. Hal tersebut mnyebabkan posisi Huo Guo Feng menjadi goyah. Semakin jelaslah bahwa Deng XiaoPing memenangkan adu kekuatan dalam sidang pleno komite sentral tersebut. Sidang pleno komite sentral dianggap menjadi titik balik perkembangan dari era dogmatisme dengan gerakan-gerakan massalnya yang beralih menuju ke pragmatisme dan sekaligus merupakan awal dari era kepemimpinan Deng XiaoPing. Dalam suasana pragmatisme dan modernisasi itu hubungan dengan dunia internasional mulai dikembangkan lagi, terutama dengan Amerika Serikat.

Kepustakaan

Alif Lukmanul Hakim, Merenungkan Kembali Pancasila Indonesia, Bangsa Tanpa Ideologi , Newsletter KOMMPAK Edisi I 2007. http://aliflukmanulhakim.blogspot.com

Abdurrohim, Pendidikan Sebagai Upaya Rekonstruksi Sosial, posted by Almuttaqin at 11:41 PM , http://almuttaqin-uinbi2b.blogspot.com/2008/04/

Abdurrohim, Pendidikan Sebagai Upaya Rekonstruksi Sosial, posted by Almuttaqin at 11:41 PM , http://almuttaqin-uinbi2b.blogspot.com/2008/04/

Adnan Khan(2008), Memahami Keseimbangan Kekuatan Adidaya , By hati-itb September 26, 2008 , http://adnan-globalisues.blogspot.com/

Al-Ahwani, Ahmad Fuad 1995: Filsafat Islam, (cetakan 7), Jakarta, Pustaka Firdaus (terjemahan Pustaka Firdaus).

Ary Ginanjar Agustian, 2003: Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ, Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, (edisi XIII), Jakarta, Penerbit Arga Wijaya Persada.

_________2003: ESQ Power Sebuah Inner Journey Melalui Al Ihsan, (Jilid II), Jakarta, Penerbit ArgaWijaya Persada.

A. Sonny Keraf, Pragmatisme menurut William James, Kanisius, Yogyakarta, 1987R.C. Salomon dan K.M. Higgins, Sejarah Filsafat, Bentang Budaya, yogyakarta, 2003 Avey, Albert E. 1961: Handbook in the History of Philosophy, New York, Barnas &

Noble, Inc.Awaludin Marwan, Menggali Pancasila dari Dalam Kalbu Kita, Senin, Juni 01, 2009Bernstein, The Encyclopedia of Philosophy Bagus Takwin. 2003. Filsafat Timur; Sebuah Pengantar ke Pemikiran Timur. Jalasutra.

Yogjakarta. Hal. 28Budiman, Hikmat , Lubang Hitam Kebudayaan , Kanisius, Yogyakarta : 2002 Chie Nakane. 1986. Criteria of Group Formation. Di jurnal berjudul. Japanese Culture

and Behavior. Editor Takie Sugiyama Lembra& William P Lebra. University of Hawaii. Hawai. p. 173

Center for Civic Education (CCE) 1994: Civitas National Standards For Civics and Government, Calabasas, California, U.S Departement of Education.    Dawson, Raymond, 1981, Confucius , Oxford University Press, Oxford Toronto,

Melbourne D. Budiarto, Metode Instrumentalisme – Eksperimentalisme John Dewey, dalam Skripsi,

Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta, 1982Edward Wilson. 1998. Consilience : The Unity of Knowledge. NY Alfred. A Knof.Fakih, Mansour, Dr, Runtuhnya Teori Pembangunan Dan Globalisasi . Pustaka Pelajar.

Yogyakarta : 1997 Fritjof Capra. 1982. The Turning of Point; Science, Society and The Rising Culture.

HaperCollins Publiser. London. Hadiwijono, H, Dr, Sari Sejarah Filsafat 2, Kanisius, Yogyakarta, 1980 Kartohadiprodjo, Soediman, 1983: Beberapa Pikiran Sekitar Pancasila, cetakan ke-4,

Bandung, Penerbit Alumni. Kelsen, Hans 1973: General Theory of Law and State, New York, Russell & Russell Lasiyo, 1982/1983, Confucius , Penerbit Proyek PPPT, UGM Yogyakarta

--------, 1998, Sumbangan Filsafat Cina Bagi Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia , Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Faklutas Filsafat UGM, Yogyakarta

--------, 1998, Sumbangan Konfusianisme Dalam Menghadapi Era Globalisasi , Pidato Dies Natalis Ke-31 Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta.

McCoubrey & Nigel D White 1996: Textbook on Jurisprudence (second edition), Glasgow, Bell & Bain Ltd.

Mohammad Noor Syam 2007: Penjabaran Fislafat Pancasila dalam Filsafat Hukum (sebagai Landasan Pembinaan Sistem Hukum Nasional), disertasi edisi III, Malang, Laboratorium Pancasila.

---------2000: Pancasila Dasar Negara Republik Indonesia (Wawasan Sosio-Kultural, Filosofis dan Konstitusional), edisi II, Malang Laboratorium Pancasila. Murphy, Jeffrie G & Jules L. Coleman 1990: Philosophy of Law An Introduction to

Jurisprudence, San Francisco, Westview Press.mcklar(2008), Aliran-aliran Pendidikan, http://one.indoskripsi.com/node/ Posted July

11th, 2008 Nawiasky, Hans 1948: Allgemeine Rechtslehre als System der rechtlichen Grundbegriffe,

Zurich/Koln Verlagsanstalt Benziger & Co. AC.Notonagoro, 1984: Pancasila Dasar Filsafat Negara, Jakarta, PT Bina Aksara, cet ke-6.Radhakrishnan, Sarpavalli, et. al 1953: History of Philosophy Eastern and Western,

London, George Allen and Unwind Ltd.    Roland Roberton. 1992. Globalization Social Theory and Global Culture. Sage

Publications. London. P. 85-87Sudionokps(2008)Landasan-landasan Pendidikan, http://sudionokps.wordpress.comTitus, Smith, Nolan, Persoalan-Persoalan Filsafat, Bulan Bintang, Jakarta : 1984 UNO 1988: Human Rights, Universal Declaration of Human Rights, New York, UNO UUD 1945, UUD 1945 Amandemen, Tap MPRS – MPR RI dan UU yang berlaku. (1966;

2001, 2003)Widiyastini, 2004, Filsafat Manusia Menurut Confucius dan Al Ghazali, Penerbit

Paradigma, YogyakartaWilk, Kurt (editor) 1950: The Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, New

York, Harvard College, University Press.Ya'qub, Hamzah, 1978, Etika Islam , CV. Publicita, Jakarta Wilk, Kurt (editor) 1950: The Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, New

York, Harvard College, University Press.Andersen, R. dan Cusher, K. (1994). Multicultural and intercultural studies, dalam

Teaching Studies of Society and Environment (ed. Marsh,C.). Sydney: Prentice-Hall  

Banks, J. (1993). Multicultural education: historical development, dimensions, and practice. Review of Research in Education, 19: 3-49.

Boyd, J. (1989). Equality Issues in Primary Schools. London: Paul Chapman Publishing, Ltd.

Burnett, G. (1994). Varieties of multicultural education: an introduction. Eric Clearinghouse on Urban Education, Digest, 98.

Bogdan & Biklen (1982) Qualitative Research For Education. Boston MA: Allyn BaconCampbell & Stanley (1963) Experimental & Quasi-Experimental Design for Research.

Chicago Rand McNellyCarter, R.T. dan Goodwin, A.L. (1994). Racial identity and education. Review of

Research in Education, 20:291-336.

Cooper, H. dan Dorr, N. (1995). Race comparisons on need for achievement: a meta analytic alternative to Graham's Narrative Review. Review of Educational Research, 65, 4:483-508.

Darling-Hammond, L. (1996). The right to learn and the advancement of teaching: research, policy, and practice for democratic education. Educational Researcher, 25, 6:5-Dewantara,

Deese, J (1978) The Scientific Basis of the Art of Teaching. New York : Colombia University-Teachers College Press

Eggleston, J.T. (1977). The Sociology of the School Curriculum, London: Routledge & Kegan Paul.

Garcia, E.E. (1993). Language, culture, and education. Review of Research in Education, 19:51 -98.

Gordon, Thomas (1974) Teacher Effectiveness Training. NY: Peter h. WydenpubHasan, S.H. (1996). Local Content Curriculum for SMP. Paper presented at UNESCO

Seminar on Decentralization. Unpublished.

Hasan, S.H. (1996). Multicultural Issues and Human Resources Development. Paper presented at International Conference on Issues in Education of Pluralistic Societies and Responses to the Global Challenges Towards the Year 2020. Unpublished.

Henderson, SVP (1954) Introduction to Philosophy of Education.Chicago : Univ. of Chicago Press

Hidayat Syarief (1997) Tantangan PGRI dalam Pendidikan Nasional. Makalah pada Semiloka Nasional Unicef-PGRI. Jakarta: Maret,1997

Highet, G (l954), Seni Mendidik (terjemahan Jilid I dan II), PT.PembangunanKi Hajar (1936). Dasar-dasar pendidikan, dalam Karya Ki Hajar Dewantara Bagian

Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.

Kemeny,JG, (l959), A Philosopher Looks at Science, New Hersey, NJ: Yale Univ.PressKi Hajar Dewantara, (l950), Dasar-dasar Perguruan Taman Siswa, DIY:Majelis LuhurKi Suratman, (l982), Sistem Among Sebagai Sarana Pendidikam Moral Pancasila,

Jakarta:Depdikbud

Ki Hajar, Dewantara (1945). Pendidikan, dalam Karya Ki Hajar Dewantara Bagian Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.

Ki Hajar, Dewantara (1946). Dasar-dasar pembaharuan pengajaran, dalam Karya Ki Hajar Dewantara Bagian Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.

Kuhn, Ts, (l969), The Structure of Scientific Revolution, Chicago:Chicago Univ.

Langeveld, MJ, (l955), Pedagogik Teoritis Sistematis (terjemahan), Bandung, Jemmars

Liem Tjong Tiat, (l968), Fisafat Pendidikan dan Pedagogik, Bandung, Jurusan FSP FIP IKIP Bandung

Oliver, J.P. dan Howley, C. (1992). Charting new maps: multicultural education in rural schools. ERIC Clearinghouse on Rural Education and Small School. ERIC Digest. ED 348196.

Print, M. (1993). Curriculum Development and Design. St. Leonard: Allen & Unwin Pty, Ltd.

Raka JoniT.(l977),PermbaharauanProfesionalTenagaKependidikan:Permasalahan dan Kemungkinan Pendekatan, Jakarta, Depdikbud

Twenticth-century thinkers: Studies in the work of Seventeen Modern philosopher, edited by with an introduction byJohn K ryan, alba House, State Island, N.Y, 1964

http://stishidayatullah.ac.id/index2.php?option=com_contenthttp://macharos.page.tl/Pragmatisme Pendidikan.htmhttp://www.blogger.com/feeds/7040692424359669162/posts/defaulthttp://www.geocities.com/HotSprings/6774/j-13.htmlhttp://stishidayatullah.ac.id/index2.phphttp://macharos.page.tl/Pragmatisme Pendidikan, .htmhttp://www.blogger.com/feeds/7040692424359669162/posts/defaulthttp://www.geocities.com/HotSprings/6774/j-13.htmlAliran-Aliran Filsafat Pendidikan Modern, http://panjiaromdaniuinpai2e.blogspot.comKoran Tempo, 12 November 2005 , Revolusi Sebatang Jerami.http://www.8tanda.com/4pilar.htm di down load pada tanggal 2 Desember 2005 http://filsafatkita.f2g.net/sej2.htm di down load pada tanggal 2 Desember 2005 http://spc.upm.edu.my/webkursus/FAL2006/notakuliah/nota.cgi?kuliah7.htm l di down

load pada tanggal 16 November 2005 http://indonesia.siutao.com/tetesan/gender_dalam_siu_tao.php di down load pada tanggal

16 November 2005 http://storypalace.ourfamily.com/i98906.html di down load pada tanggal 16 November

2005 http://www.ditext.com/runes/y.html di down load pada tanggal 2 Desember 2005