Danang Priatmodjo - Rencana Detail Dan Zonasi Sebagai Instrumen Pengendalian Tata Ruang

17
Seminar Nasional Tantangan 5 Tahun Pelaksanaan UU 26/2007 Penataan Ruang: Rencana Detail, Pengendalian dan Partisipasi Masyarakat Rencana Detail dan Zonasi sebagai Instrumen Pengendalian Tata Ruang Danang Priatmodjo Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik – Universitas Tarumanagara Universitas Tarumanagara

description

ljklj

Transcript of Danang Priatmodjo - Rencana Detail Dan Zonasi Sebagai Instrumen Pengendalian Tata Ruang

Page 1: Danang Priatmodjo - Rencana Detail Dan Zonasi Sebagai Instrumen Pengendalian Tata Ruang

Seminar NasionalTantangan 5 Tahun Pelaksanaan UU 26/2007 Penataan Ruang:

Rencana Detail, Pengendalian dan Partisipasi Masyarakat

Rencana Detail dan Zonasi sebagai Instrumen Pengendalian Tata Ruang

Danang Priatmodjo

Jurusan ArsitekturFakultas Teknik – Universitas Tarumanagara

Universitas Tarumanagara

Jakarta

25 September 2013

Page 2: Danang Priatmodjo - Rencana Detail Dan Zonasi Sebagai Instrumen Pengendalian Tata Ruang

Rencana Detail dan Zonasi sebagai Instrumen Pengendalian Tata Ruang

Danang PriatmodjoJurusan Arsitektur

Fakultas Teknik – Universitas Tarumanagara

Pengantar

UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (yang merupakan revisi atas UU Nomor 24 Tahun 1992) masih memerlukan upaya sosialisasi, meski telah lebih enam tahun diundangkan. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pelaksanaan UU ini masih terkendala oleh berbagai hal, baik pada tataran penyusunan rencana tata ruang, maupun pada tataran pelaksanaan dan pengawasan penataan ruang.

Perencanaan dan pelaksanaan penataan ruang dihadapkan pada dinamika masyarakat yang bergerak dengan kecepatan sangat tinggi, sehingga produk-produk rencana tata ruang sering kadaluwarsa dan pengawasan atas pelanggaran tata ruang menghabiskan energi para pengelola kota. Betapapun, amanat UU harus dilaksanakan. Untuk itu diperlukan saling pengertian dan kerja sama di antara pihak-pihak yang terkait dengan perencanaan dan pelaksanaan penataan ruang.

Uraian berikut akan membahas permasalahan dalam pengendalian tata ruang kota, terkait dengan peraturan zonasi – yang didasarkan atas rencana detail tata ruang kota – sebagai instrumen pengendalian.

I. Pengendalian Tata Ruang

Tujuan penataan ruang, yaitu terwujudnya: keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan; keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; serta pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang, dapat dicapai apabila ketentuan-ketentuan dalam UU Penataan Ruang dilaksanakan dengan konsisten dari “hulu” ke “hilir”. Pengendalian tata ruang dapat dikatakan sebagai pelaksanaan UU di wilayah “hilir” karena menyangkut satuan ruang terkecil yang perlu dikendalikan dengan mekanisme pengaturan yang rinci.

Dengan posisi di “hilir”, pengendalian tata ruang membutuhkan payung peraturan yang kondusif dan dukungan dari sektor-sektor lain yang terkait. Misalnya, pembatasan penggunaan ruang untuk parkir mobil atau sepeda motor perlu didukung oleh penyediaan transportasi publik yang memadai. Contoh lain, pembatasan penggunaan pagar, gerbang atau “portal” perlu didukung oleh jaminan keamanan yang memadai. Bila payung peraturan serta dukungan sektor lain tidak mencukupi, maka dapat dipastikan pengendalian tata ruang akan “tumpul” atau dihadapkan pada berbagai kendala dalam pelaksanaannya.

1

Page 3: Danang Priatmodjo - Rencana Detail Dan Zonasi Sebagai Instrumen Pengendalian Tata Ruang

UU Penataan Ruang (Pasal 35) menyebutkan bahwa pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan melalui penetapan peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi. Untuk kota seperti DKI Jakarta, pengendalian seperti ini sudah dijalankan selama berpuluh-puluh tahun (kecuali tentang insentif dan disinsentif yang belum memiliki format cukup jelas). Peraturan zonasi telah diterapkan di DKI Jakarta dalam bentuk Lembar Rencana Kota (LRK), yang memuat secara rinci rencana pelebaran jalan dan aturan yang mengikat setiap kaveling, yaitu peruntukan (fungsi bangunan), GSB (Garis Sempadan Bangunan), KDB (Koefisien Dasar Bangunan), KLB (Koefisien Lantai Bangunan), bangunan tunggal atau deret, dan ketinggian maksimal bangunan. Belakangan bahkan ditambah dengan KTB (Koefisien Tapak Basemen) serta KDH (Koefisien Dasar Hijau). Pendeknya, semua hal yang harus diatur dalam peraturan zonasi telah termuat dalam LRK.

Terlepas dari telah diaturnya semua batasan pemanfaatan ruang, LRK DKI Jakarta masih memiliki banyak kelemahan. Rencana jaringan jalan misalnya, banyak yang sekedar memperlebar jalan yang ada, tanpa memperhatikan kebutuhan sirkulasi kawasan. GSB masih ditetapkan secara “pukul rata”. Kawasan deretan pertokoan mestinya tidak perlu setback, melainkan perlu trotoar yang lebar. Kelemahan paling mencolok terletak pada penetapan peruntukan, yang tidak mampu mengantisipasi dinamika masyarakat. Contoh nyata adalah kawasan Kemang dan sekitar Blok M Kebayoran Baru, yang mengalami perubahan sangat cepat dari fungsi hunian menjadi fungsi niaga/hiburan.

Bila DKI Jakarta yang telah puluhan tahun menerapkan LRK masih punya kelemahan, apalagi kota-kota di daerah yang belum memiliki format peraturan zonasi, masalah pengendalian pemanfaatan ruang merupakan kebutuhan yang sangat mendesak. Mengingat keterbatasan sumber daya manusia yang ada di daerah, uluran bantuan dari pemerintah pusat sangat diperlukan.

II. Substansi Pemanfaatan Ruang yang Krusial

Berdasarkan pengamatan atas permasalahan tata ruang yang sering terjadi – khususnya yang banyak terjadi di DKI Jakarta – substansi yang krusial dan perlu mendapat perhatian dalam upaya pengendalian tata ruang antara lain adalah:

2.1. Peruntukan: Perubahan Fungsi

Perubahan fungsi dari kawasan hunian menjadi kawasan niaga merupakan gejala alamiah untuk lokasi-lokasi tertentu serta jalur-jalur tertentu. Kecenderungan ribbon development mestinya telah kita pelajari sejak kasus Jl. Panglima Polim dan Jl. Fatmawati, Jl. Warung Buncit Raya, serta Jl. Radio Dalam. Agak mengherankan bila Bintaro Jaya tidak menyiapkan jalan utama untuk fungsi niaga.

Untuk pertumbuhan yang “tidak terduga” seperti kawasan Kemang, sekitar Blok M serta Jl. Senopati, respons Pemprov DKI Jakarta terkesan terlalu lamban. Bila suasana livable yang tercipta dinilai positif untuk kawasan yang bersangkutan, mestinya dengan menggunakan mekanisme peninjauan RDTR setiap lima tahun, dapat dilakukan pengesahan perubahan fungsi – tentu disertai dengan upaya penanggulangan dampak (kemacetan lalu lintas, kebisingan, dsb.).

2

Page 4: Danang Priatmodjo - Rencana Detail Dan Zonasi Sebagai Instrumen Pengendalian Tata Ruang

Hal terpenting dalam pengesahan perubahan fungsi adalah penarikan batas yang jelas, agar tidak terjadi “perembesan” sampai ke blok-blok di belakangnya, yang berakibat terganggunya fungsi hunian di kawasan tersebut.

Terkait dengan peruntukan, perlu lebih banyak mengalokasikan kawasan tengah kota untuk fungsi campuran (mixed use), karena dapat diharapkan mengurangi pergerakan dan menjamin kehidupan 24 jam. Pengertian mixed use harus ada fungsi hunian di dalamnya.

Khusus untuk peruntukan hunian, hendaknya dibuat pengaturan percampuran strata (mixed housing) karena lebih alamiah dan terbukti mampu menghindari kemungkinan menjadi sasaran kerusuhan dan penjarahan. Pemerintah hendaknya lebih tegas melaksanakan ketentuan hunian berimbang (1 : 3 : 6) dan bukan malah memberi toleransi untuk “ditawar”. Terbentuknya kantong-kantong hunian eksklusif harus dicegah, karena tidak sehat dalam kehidupan perkotaan.

2.2. Intensitas Bangunan: Peningkatan Angka KLB

Dua perangkat utama dalam pengaturan intensitas bangunan adalah batasan KDB (untuk mengendalikan kerapatan bangunan) dan KLB (untuk mengendalikan kepadatan penduduk). KDB perlu dijaga agar ruang kota tidak disesaki oleh bangunan, dan agar sinar matahari serta udara segar mampu menembus bagian-bagian bangunan yang memerlukan. Khususnya bagi kawasan yang diharapkan mampu menyerap sebanyak-banyaknya air hujan, pengaturan KDB hendaknya diperketat.

Peningkatan angka KLB untuk kawasan tengah kota tidak dapat dihindari. Hal ini diperlukan guna menahan pertumbuhan ke arah pinggiran (mencegah terjadinya sprawl). Kota hendaknya dijaga agar kompak, tumbuh vertikal, daripada tumbuh melebar yang akan memboroskan prasarana kota. Pertumbuhan vertikal akan mengurangi pergerakan di dalam kota, sehingga beban lalu lintas pun akan berkurang. Sangat tidak masuk akal untuk kota sebesar Jakarta, dengan jumlah penduduk mencapai 10 juta jiwa, masih banyak kawasan-kawasan di tengah kota yang terdiri atas rumah-rumah satu atau dua lantai (kecuali untuk kawasan Menteng yang telah ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya).

Kendati intensitas bangunan di tengah kota diarahkan untuk ditingkatkan, tetap perlu dicermati angka kepadatan penduduk yang akan dihasilkan dari kenaikan angka KLB, agar masih berada dalam batas daya dukung (fisik maupun sosial) kawasan. Peningkatan intensitas bangunan juga tidak dapat dilakukan dengan “pukul rata”, karena dengan angka KLB yang sama bisa dihasilkan jumlah penduduk yang berbeda. Sebagai contoh, beberapa waktu yang lalu diajukan permintaan ijin membangun beberapa blok bangunan rusunami (sebagai bagian dari program pembangunan “Seribu Tower Rusunami”). Setelah dihitung, ternyata kepadatan penduduk yang akan dihasilkan lebih dari 3.000 jiwa/ha. Angka kepadatan ini terlalu tinggi, dikhawatirkan akan membentuk lingkungan hidup yang tidak nyaman serta tidak sehat. Dengan memanfaatkan angka KLB yang sama, bila dibangun rumah susun mewah, kepadatan penduduk barangkali tidak akan mencapai setengahnya.

3

Page 5: Danang Priatmodjo - Rencana Detail Dan Zonasi Sebagai Instrumen Pengendalian Tata Ruang

2.3. Blok Kawasan: Aglomerasi Kaveling

Konsekuensi logis dari peningkatan intensitas bangunan adalah aglomerasi kaveling (peleburan kaveling-kaveling kecil menjadi kaveling besar), karena pada kaveling kecil tidak bisa diterapkan angka KLB yang tinggi. Dalam kaitan ini, peraturan zonasi harus memberikan panduan aglomerasi kaveling yang mampu memelihara keserasian kehidupan di kawasan.

Contoh populer adalah Hotel Grand Mahakam di Jl. Mahakam - Kebayoran Baru, yang menggabungkan tiga kaveling hunian tunggal satu lantai untuk membangun gedung hotel 8 lantai. Keberadaan gedung raksasa ini telah membinasakan privasi penghuni rumah-rumah di belakangnya. Hal yang sama juga dilakukan oleh The Dharmawangsa – juga di Kebayoran Baru, meski “agak lebih sopan” karena mengambil jumlah kaveling lebih banyak dan gedungnya lebih berjarak terhadap hunian sekitarnya.

Aglomerasi kaveling mulai terjadi di beberapa lokasi di kawasan Menteng. Bila pengelola kota lengah, bisa terjadi pengulangan kasus Grand mahakam. RDTR perlu mengantisipasi dengan menerapkan pengaturan dan persyaratan rinci tentang kemungkinan penggabungan kaveling.

2.4. Ruang Terbuka Hijau (RTH)

Pengelola kota harus bersungguh-sungguh memenuhi amanat UU dalam hal penyelenggaraan RTH. Untuk kota-kota yang belum sepadat Jakarta, tentu tidak terlalu sulit untuk memenuhi kewajiban ini. Bagi kota Jakarta, tidak cukup hanya “menyerah” karena tanah sudah langka. Warga kota membutuhkan tempat rekreasi sekaligus paru-paru lingkungan. Taman-taman lingkungan yang dulu “dipinjam” untuk SPBU serta kantor-kantor pemerintah harus dikembalikan sebagai RTH. Keberhasilan membangun Taman Menteng dan Taman Ayodya perlu dilanjutkan untuk lokasi-lokasi serupa. Upaya membangun taman di sekitar Waduk Pluit dan Waduk Ria-Rio patut diapresiasi dan diharapkan berlanjut. Pemindahan Pekan Raya Jakarta ke Kemayoran sudah benar. Hendaknya tidak ada upaya untuk mengembalikan pekan raya ke kawasan Monas, agar tidak mengganggu RTH Medan Merdeka.

Mengandalkan tanah terbuka yang masih tersisa pasti tidak mencukupi angka kebutuhan RTH. Di lokasi-lokasi sesuai kebutuhan distribusi RTH, Pemprov DKI Jakarta harus mau membeli bangunan-bangunan dan meratakan dengan tanah untuk diwujudkan sebagai taman lingkungan. Contohlah Pemkot Madinah yang membeli menara-menara hotel mewah lalu meratakan dengan tanah untuk perluasan Pemakaman Baqi.

Jakarta punya catatan panjang “sejarah hitam penyerobotan RTH”. Menjadi kewajiban kita bersama untuk menjaga agar di masa mendatang tidak terulang. Catatan dimaksud adalah: Kawasan hijau / olah raga Senayan yang diserobot pinggirannya untuk hotel, convention hall, kantor-kantor pemerintah dan swasta, apartemen, serta pusat-pusat perbelanjaan; Taman lingkungan di Jl. Wijaya - Kebayoran Baru menjadi lahan privat untuk driving range dan townhouses; Taman Pluit menjadi Mega Mall (sekarang Pluit Village); Taman Ria Remaja Senayan dipenuhi bangunan restoran, sarana hiburan komersial, serta pertokoan.

4

Page 6: Danang Priatmodjo - Rencana Detail Dan Zonasi Sebagai Instrumen Pengendalian Tata Ruang

2.5. Ruang Publik di Kepemilikan Privat (Private Public Space)

Substansi ini belum menjadi muatan baku dalam pengaturan zonasi di kota-kota kita, meski dalam skala terbatas telah dipraktekkan. Di Jl. Sudirman Jakarta pernah ada gedung bank swasta yang menyediakan plaza cukup luas di halaman depan dan plaza – tanpa pagar, tanpa gerbang – ini terbuka untuk publik. Ini adalah contoh nyata private public space. Sangat disayangkan, setelah gedung ini berganti pemilik, plaza dilebur dan pagar tinggi dibentangkan sepanjang batas properti. Gedung yang semula ramah telah berubah menjadi pongah.

Peraturan zonasi harus mampu melihat potensi bagian properti privat yang dapat diminta untuk dijadikan ruang publik secara terbatas (misalnya diatur waktu penggunaannya). Bila terdapat potensi ini, kepada pemilik properti dapat diwajibkan untuk menyediakan ruang publik, tentu dengan memberikan insentif sebagai kompensasi. Sebagai contoh, blok bangunan yang bersosok besar dapat diwajibkan menyediakan jalan tembus di lantai dasar (passage) sebagai jalan pintas (dalam arti harfiah) bagi pejalan kaki. Kehadiran private public space dapat memberi sumbangan yang besar dalam mengisi kekurangan ruang publik yang mampu disediakan oleh pengelola kota.

2.6. Ruang Bawah Tanah dan Ruang Udara

Pada saat ini, pengaturan pemanfaatan ruang bawah tanah baru mencakup basemen bangunan gedung – yang digunakan untuk parkir, ruang mekanikal-elektrikal, atau gudang – serta underpass di jalan-jalan raya. Bila pembangunan MRT dapat direalisasikan, akan lahir kebutuhan pengembangan ruang-ruang bawah tanah yang menghubungkan antara stasiun MRT dengan bangunan-bangunan atau pelataran di sekitarnya. Jalur-jalur penghubung seyogyanya bukan berupa lorong-lorong yang kosong, melainkan perlu diberi suasana “kehidupan” (livability) berupa kegiatan niaga (toko-toko dan kafe atau restoran).

Mengingat bahwa sebagian jalur bawah tanah ini berada di bawah jalan raya (milik negara) dan sebagian berada di bawah lahan milik privat, maka diperlukan peraturan zonasi mampu menata aspek teknis sekaligus aspek legal pemanfaatan ruang bawah tanah.

Pemanfaatan ruang udara sudah lebih banyak diterapkan, mulai dari jembatan penghubung Gedung Sarinah dan Jakarta Theater (yang roboh dan tidak dibangun kembali), jembatan Harco Glodok, jembatan penghubung dua mall di Mangga Dua, sampai jembatan penghubung Pondok Indah Mall (PIM) 1 dan PIM 2.

Skywalk semacam itu perlu lebih banyak dikembangkan, guna mengurangi pergerakan manusia di atas tanah. Sama halnya dengan kebutuhan pemanfaatan ruang bawah tanah, dalam pemanfaatan ruang udara juga diperlukan aturan rinci menyangkut hal-hal teknis dan legal, menyangkut kewenangan, hak dan kewajiban pelaku pemanfaatan ruang.

Baik underpass maupun skywalk dapat dimanfaatkan sebagai private public space, di mana pada rentang waktu tertentu, misalnya jam 06.00 – 22.00 publik dapat menggunakan terowongan atau jembatan penghubung antar bangunan yang merupakan milik privat sebagai sarana penyeberangan.

5

Page 7: Danang Priatmodjo - Rencana Detail Dan Zonasi Sebagai Instrumen Pengendalian Tata Ruang

III. Perencanaan Detail Tata Ruang

3.1. Proses Perencanaan

Dalam hal kelemahan LRK DKI Jakarta sebagaimana disebutkan di atas, penyebabnya tentu ketidaksempurnaan (proses) perencanaan. Di masa lalu, LRK diolah sepenuhnya oleh Dinas Tata Kota. Masyarakat tak pernah tahu apa yang terjadi di “dapur” yang mengolah rencana tata ruang. Belakangan, ketika produk rencana tata ruang mensyaratkan harus ada partisipasi masyarakat, ada masukan dari masyarakat melalui forum “musrenbang” (musyawarah perencanaan pembangunan) atau FGD (focus group discussion). Namun, dari pengalaman selama ini, proses musrenbang atau FGD pun sering kurang sempurna dalam hal keterwakilan dan kualitas masukan yang diperoleh. Akibatnya, banyak kalangan menilai forum-forum itu hanya sekedar formalitas untuk memperoleh keabsahan proses perencanaan.

Sebagai contoh, dalam suatu musrenbang di salah satu wilayah di Jakarta, mayoritas masukan hanyalah usulan perbaikan jalan serta perbaikan lampu penerangan jalan yang mati di lingkungan sekitar tempat tinggal mereka. Masukan semacam ini tentu tidak memberi sumbangan signifikan bagi rencana detail tata ruang yang dibutuhkan.

Pada masa kini, penyusunan RDTRK (Rencana Detail Tata Ruang Kota) banyak dilakukan oleh konsultan perencana yang memperoleh penugasan dari Pemda melalui proses pelelangan (tender). Draft rencana yang dihasilkan oleh konsultan ini yang kemudian dibawa ke DPRD untuk dibahas dan disahkan sebagai produk peraturan daerah. Kelemahan dari proses ini adalah banyaknya konsultan yang “ahli” dalam menyusun “usulan teknis” sehingga bisa memenangkan tender, tetapi “kurang ahli” dalam menyusun rencana yang sesungguhnya. Akibatnya, banyak produk RDTR yang kurang memadai. Dalam proses perencanaan, konsultan juga diwajibkan menyelenggarakan FGD dan menyosialisasikan draft rencana. Namun forum-forum ini pun kebanyakan hanya sekedar formalitas.

Melihat kecenderungan di atas, diperlukan upaya perbaikan proses penyusunan RDTR, menyangkut:

- Persyaratan dan penentuan pemenang lelang diperbaiki, sehingga terjaring konsultan yang benar-benar memiliki kapabilitas. Salah satu cara adalah dengan presentasi oleh tenaga ahli yang akan mengerjakan.

- Tim Teknis di pihak pemberi tugas diperkuat dengan pakar/ahli dari lembaga penelitian atau perguruan tinggi. Hal ini diperlukan karena tim teknis sering kelebihan beban.

- Mekanisme FGD diperbaiki, sehingga diperloleh masukan yang berkualitas dan memberi sumbangan berarti dalam penyusunan rencana.

- Sosialisasi draft rencana (hasil akhir pekerjaan konsultan) dilakukan pada khalayak yang lebih luas dan kompeten, sehingga masih memiliki peluang untuk mendapatkan masukan dan koreksi guna melahirkan produk rencana detail tata ruang yang memadai.

6

Page 8: Danang Priatmodjo - Rencana Detail Dan Zonasi Sebagai Instrumen Pengendalian Tata Ruang

3.2. Landasan Perencanaan

Dalam perencanaan detail tata ruang kota, yang kemudian diformulasikan dalam peraturan zonasi, diperlukan visi tentang ruang kota yang baik, sehat, manusiawi, aman dan nyaman bagi warga kota dan pengunjungnya. Kondisi sekarang memang menjadi batasan, namun tidak bisa dijadikan alasan untuk tidak beranjak lebih substansial. Demikian juga desakan pengembang yang memiliki visi lebih jauh ke depan, perlu diakomodasikan namun tetap harus melindungi kepentingan publik yang lebih luas.

Salah satu rujukan yang dapat dijadikan landasaan perencanaan adalah prinsip-prinsip “new urbanism” yang sudah didengungkan oleh para perencana kota sejak era 1980-an, sebagai koreksi atas kecenderungan kota-kota besar di seluruh dunia yang semakin tidak manusiawi. Sepuluh prinsip “new urbanism” adalah: walkability, connectivity, mixed-use and diversity, mixed housing, quality architecture and urban design, traditional neighborhood structure, increased density, smart transportation, sustainability, dan quality of life.

Prinsip mixed-use and diversity, mixed housing serta increase density telah diuraikan di atas sebagai bagian dari substansi pemanfaatan ruang yang krusial. Prinsip walkability dan connectivity perlu diadopsi dalam rencana rinci tata ruang kawasan pusat-pusat pelayanan, di mana sarana-sarana umum saling dihubungkan pada jarak yang dapat ditempuh dengan berjalan kaki. Terkait dengan keterhubungan, diperlukan peraturan zonasi yang mengarahkan adanya jalan tembus (berupa passage, underpass, atau skywalk) dengan menyediakan insentif bagi bangunan yang memenuhinya. Kasus di Jakarta: Plaza Senayan – Senayan City – STC – Ratu Plaza yang satu sama lain tidak ada hubungan adalah contoh tidak diterapkannya prinsip walkability dan connectivity. Tidak memadainya trotoar-trotoar juga terkait dengan pengabaian prinsip ini.

Connectivity juga menjadi masalah di kawasan-kawasan yang dibangun oleh pengembang besar. Penduduk kampung-kampung yang berbatasan dengan area pengembangan baru, sering terputus jalur keterhubungannya dengan tempat-tempat harus sering mereka datangi. Mereka harus menempuh jalan memutar jauh, mengelilingi kawasan pengembangan baru. RDTR harus mampu melindungi kepentingan penduduk kampung ini. Pengembang hendaknya tidak diberi ijin untuk menutup atau memutus jalur sirkulasi penduduk asli yang sudah mereka gunakan lama sebelumnya.

Quality architecture and urban design diwujudkan dalam peraturan zonasi tentang tampilan bangunan (sosok, selubung, penggunaan material, warna, langgam, dsb.) yang memberikan kenyamanan fisik dan estetik, dengan memberikan perhatian pada ruang permukaan jalan (street level) yang dilengkapi sarana-sarana kemudahan (amenities) yang mendorong pergerakan dengan pejalan kaki. Kualitas ini juga berkaitan dengan prinsip sustainability, yaitu perlunya memperhitungkan aspek keberlanjutan (antara lain dengan mempertimbangkan daya dukung dan meminimalkan kebutuhan perawatan sarana-sarana publik) serta quality of life yang menekankan perlunya menciptakan ruang hidup yang sehat dan nyaman dihuni (kualitas udara, air, tanah, dsb.).

7

Page 9: Danang Priatmodjo - Rencana Detail Dan Zonasi Sebagai Instrumen Pengendalian Tata Ruang

Traditional neighborhood structure menyangkut pola hirarki penyediaan fasilitas umum dengan memperhatikan satuan kelompok masyarakat yang berada dalam suatu ikatan “ketetanggaan”. Konsep ini bertujuan untuk membangun interaksi dan harmoni antar warga yang mendiami suatu bagian wilayah kota. Dengan menggunakan sarana umum yang sama, diharapkan tercipta kepedulian antar warga. Kita beruntung memiliki sistem RT (Rukun Tetangga) dan RW (Rukun Warga) yang dapat dijadikan basis pembentukan struktur dimaksud. Melalui perencanaan tata ruang hendaknya tidak terjadi kondisi di mana antar tetangga yang bersebelahan rumah tidak saling mengenal – sebagaimana banyak kita temui di kawasan hunian kota-kota besar kita dewasa ini.

Penyediaan sarana transportasi publik yang dapat dikategorikan sebagai smart transportation (moda transportasi berciri: massal, berkecepatan tinggi, hemat energi dan ramah lingkungan) bukan merupakan ranah rencana detail tata ruang, melainkan porsi rencana kota dalam cakupan yang lebih luas. Namun demikian, pada tataran detail tata ruang perlu dirancang bentuk-bentuk antisipasi yang mampu mendukung penerapan moda transportasi dimaksud. Antisipasi antara lain berupa rancangan linkage antara titik transit (halte bus, stasiun MRT, skytrain, atau monorel) dengan kawasan niaga, hunian, serta sarana-sarana publik di sekitarnya. Linkage diwujudkan dalam bentuk jalur-jalur pejalan kaki (trotoar, underpass, skywalk) dengan ukuran yang memadai, nyaman dan aman.

Prinsip-prinsip di atas perlu diadopsi dan dituangkan dalam rencana detail tata ruang. Dengan demikian, penetapan peruntukan dan arahan perwujudan ruang secara tiga dimensional dijiwai oleh semangat penciptaan ruang kota yang berkualitas dan manusiawi.

IV. Perangkat Operasional Pengendalian Tata Ruang

4.1. Mekanisme Perizinan

Bila dokumen RDTRK serta Peraturan Zonasi / LRK telah disahkan sebagai Perda, maka perangkat operasional selanjutnya adalah mekanisme perizinan. Di sini dibutuhkan kesiapan aparat yang mampu memeriksa dan memberikan arahan kepada pelaku pemanfaatan ruang, guna memastikan bahwa rencana pemanfaatan ruang yang dimintakan izin telah sesuai dengan semua ketentuan yang termuat dalam RDTRK dan Peraturan Zonasi untuk kawasan/lahan yang bersangkutan.

Dalam kaitan ini perlu dicermati kecenderungan yang terjadi di hampir semua kota, yang memandang mekanisme perizinan lebih sebagai sarana memperoleh retribusi untuk mengisi pundi PAD (Pendapatan Asli Daerah) ketimbang sebagai perangkat pengendalian pembangunan. Maka jumlah pengajuan izin – misalnya IMB (Izin Mendirikan Bangunan) – ditargetkan bisa mencapai jumlah tertentu tiap tahun. Semua RAPBD Kabupaten/Kota memasukkan target perolehan retribusi dari IMB sebagai angka pendapatan. Saat ini bahkan banyak Pemkab/Pemkot yang menyelenggarakan pelayanan perizinan dalam “satu atap”, demi efisiensi dan meringkas waktu pemrosesan izin.

8

Page 10: Danang Priatmodjo - Rencana Detail Dan Zonasi Sebagai Instrumen Pengendalian Tata Ruang

Kecenderungan seperti ini perlu diwaspadai, agar tidak berdampak pada kebijakan “permisif” dalam memberikan iizin. Memungut retribusi adalah satu hal yang wajar, namun perlu selalu diingat bahwa fungsi utama mekanisme perizinan adalah pengendalian.

4.2. Insentif dan Disinsentif

Insentif diberikan kepada pelaku pemanfaatan ruang yang memenuhi aturan anjuran (bukan aturan wajib) yang mampu memberikan nilai tambah bagi pembentukan ruang kota yang berkualitas. Kesediaan menyumbangkan private public space adalah contoh pemanfaatan ruang yang layak memperoleh insentif. Penyediaan prasarana dan sarana tambahan, kemudahan perizinan, keringanan atau penghapusan pajak, merupakan bentuk-bentuk insentif yang populer. “Transfer of Development Right” (TDR) secara teoritis cukup logis, namun pelaksanaannya sulit, terutama menyangkut distribusi lokasi intensitas yang dipertukarkan.

Insentif berupa penambahan angka KLB – bila akan diterapkan – memerlukan kecermatan perhitungan, agar dalam skala lokal maupun kawasan tidak merusak rencana kepadatan penduduk.

Disinsentif adalah mekanisme sebaliknya, di mana pemanfaatan ruang yang tidak memenuhi aturan anjuran dibatasi aksesnya untuk mendapatkan kemudahan atau pelayanan tambahan. Perlu diciptakan bentuk-bentuk disinsentif yang mampu mendorong pemanfaatan ruang yang memenuhi aturan anjuran.

4.3. Sanksi

Sanksi dijatuhkan bila pemanfaatan ruang melanggar ketentuan yang termuat dalam RDTR atau peraturan zonasi. Sanksi yang berat misalnya pencabutan izin atau pembongkaran bangunan. Sanksi yang ringan adalah penerapan denda. Terkait dengan hal ini perlu diwaspadai agar pelaku pelanggaran pemanfaatan ruang tidak memperhitungkan denda sebagai “alat pembeli” pelanggaran yang dilakukan. Demikian juga dari pihak pemerintah kota, hendaknya tidak memandang denda sebagai bentuk penghasilan yang kemudian bisa ditargetkan pemasukannya.

Sanksi hukuman badan bagi penanggung jawab pelanggaran (melalui proses pengadilan) perlu diterapkan untuk pelanggaran yang mengakibatkan jatuhnya korban (luka-luka atau meninggal dunia), serta pelanggaran yang berpotensi menimbulkan korban jiwa.

Penutup

Dari uraian di atas diharapkan diperoleh gambaran “potret” kita saat ini dalam kerangka upaya pengendalian pemanfaatan ruang. Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi adalah alat pengendali, yang efektivitas kerjanya tergantung pada keandalan muatan aturannya serta kecermatan pengoperasiannya.

9

Page 11: Danang Priatmodjo - Rencana Detail Dan Zonasi Sebagai Instrumen Pengendalian Tata Ruang

Substansi-substansi pemanfaatan ruang yang krusial merupakan “pekerjaan rumah” kita bersama, yang perlu dicarikan bentuk pengaturan terbaik guna melahirkan produk-produk pengendalian pemanfaatan ruang yang andal, sehingga mampu mewujudkan tujuan-tujuan penataan ruang. Terkait dengan substansi-substansi krusial ini juga diharapkan agar kita bercermin terhadap pelanggaran-pelanggaran serta praktek-praktek keliru dalam pemanfaatan ruang di masa lalu, kemudian bertekad agar di masa mendatang pelanggaran dan praktek keliru serupa tidak terjadi lagi.

Catatan tentang proses penyusunan rencana detail tata ruang dan peraturan zonasi mengajak kita bersama agar memperbaiki proses tersebut serta memperkuat landasan perencanaan yang semua ditujukan untuk mewujudkan ruang kota yang manusiawi dan memiliki kualitas ruang hidup yang baik. Kita harus meyakini bahwa produk-produk penataan ruang (RTRW, RDTR, dan Peraturan Zonasi) yang andal akan mampu mendorong perbaikan kualitas lingkungan kota-kota kita.

Daftar Bacaan

Buchwald, Emilie (ed), 2003, Toward the Livable City, Minneapolis: Milkweed Editions

Calthorpe, Peter, 1993, The Next American Metropolis, New York: Princeton Architectural Press

Lang Robert E. & Dawn Dhavale, 2005, “America’s Megapolitan Areas”, dalam Land Lines, July Vol. 17, No. 3, Cambridge: Lincoln Institute of Land Policy

Masnavi, M.R., 1998, “Sustainability of the Compact City: Can it be a new Paradigm for Urban Planning in the New Millennium?” dalam Freestone, Robert (ed), The Twentieth Century Urban Planning Experience, Sydney: FBE-UNSW

-------------------------------------------------------------------------------------------------

Pengendalian dan Peraturan Zonasi, Balai Informasi Penataan Ruang, Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Jakarta, 27 Februari 2012

Principles of Urbanism (http://www.newurbanism.org/newurbanism/principles.html)

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 20/PRT/M/2011 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi

Town of Washington Zoning Regulations, version: July 15, 2008

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

Zoning Maps City of New York, August 22, 2013, NYC Department of City Planning

Zoning Text of the City of New York, July 24, 2013, NYC Department of City Planning

10