dan sedang di Kabupaten Wonogiri. Data penelitian yang...
Transcript of dan sedang di Kabupaten Wonogiri. Data penelitian yang...
32
BAB IV HASIL
Bab ini menjelaskan tentang hasil penelitian yang telah
dilakukan dengan tujuan untuk mengeksplorasi pengalaman
anggota keluarga dalam mendukung anak retardasi mental ringan
dan sedang di Kabupaten Wonogiri. Data penelitian yang didapat
berupa trasnkrip data dan catatan lapangan yang didapat saat
wawancara mendalam dengan riset partisipan. Dalam analisa
datanya peneliti menggunakan metode Colaizzi dan memunculkan
dua tingkatan hasil, yaitu tema dan sub tema.
4.1. Setting Penelitian
Penelitian ini dimulai dari beberapa tahap mulai dari
tahap pendekatan dengan keluarga, tahap wawancara hingga
tahap pembuatan esensial struktur. Penelitian ini diawali pada
tanggal 13 April 2013 hingga 21 Mei 2013. Sebelum
dilakukannya penelitian ini, terlebih dahulu desain penelitian ini
diujicoba dalam pilot project dengan karakteristik partisipan
yang berbeda (keluarga dengan anak tunarungu dan
tunawicara).
Partisipan dalam penelitian ini adalah empat keluarga
yang memiliki anak retardasi mental ringan dan sedang yang
bersekolah dalam Sekolah Dasar Luar Biasa di Sekolah Luar
Biasa Ngadirojo, karakteristik partisipan sebagai berikut;
33
1. Ny. K (35 tahun) adalah ibu dari anak W . Ny. K yang
kesehariannya berperan sebagai ibu rumah tangga telah
merawat anak W sejak 12 tahun yang lalu. Pendidikan
terakhir dari ibu ini adalah SD. Anak W sendiri merupakan
anak dengan kasus retardasi mental sedang.
2. Ny. I (44 tahun) yang berprofesi sebagai seorang petani ini
adalah ibu dari anak V yang kini berumur 8 tahun.
Pendidikan terakhir beliau adalah SMP. Anak V sendiri
adalah anak dengan kasus retardasi mental sedang.
3. Ny. Y adalah ibu dari anak D beliau berumur 45 tahun,
pendidikan terakhir Ny. Y adalah SD. Ny. Y yang berprofesi
sebagai seorang petani ini telah merawat anak D selama
13 tahun. Anak D sendiri adalah anak dengan kasus
retardasi mental ringan.
4. Ny. U merupakan seorang petani berumur 45 tahun yang
berpendidikan terakhir SD ini adalah ibu dari anak I yang
sekarang berumur 10 tahun. Anak I sendiri adalah anak
dengan kasus retardasi mental ringan.
Semua partisipan adalah ibu karena di Kecamatan Ngadirojo
Wonogirimemiliki sebuah sistem yang ada sejak turun temurun.
Setiap keluarga memiliki ladang yang pada masa bercocok tanam
akan ditanami bersama (istri, suami dan anak), selama menunggu
masa panen, kepala rumah tangga yaitusuami, pergi merantau
34
keluar kota untuk memenuhi kebutuhan hidup selama menunggu
masa panen, dan ketika panen itu tiba hasil bumi yang telah
ditanami akan dipanen bersama-sama. Penelitian ini dilakukan
pada masa menunggu panen, sehingga hanya ibu yang ada di
rumah dan yang terlibat sebagai partisipan untuk penelitian ini.
4.2. Hasil Penelitian
Dalam sub bab ini peneliti memaparkan kategorisasi tematik dari
hasil wawancara pengalaman partisipan. Dari tiga tema besar ada
dua tema yang memiliki beberapa sub tema dan tema yang lain
berdiri sendiri dengan satu sub tema. Kategori tema yang muncul
dalam studi ini antara lain ; (1) kulakukan segalanya untuk dia yang
kucintai, (2) ku tak tahu apa yang terjadi dengan dirinya, (3) gejolak
dalam dada.
Berikut gambaran dari pengalaman partisipan dalam mendukung
anak dengan retardasi mental ringan dan sedang.
1. Kulakukan segalanya untuk dia yang kucintai
Segala hal dilakukan untuk memberikan hal yang terbaik
kepada orang yang kita cintai, tidak berbeda dengan
anggota keluarga yang memiliki anak atau saudara yang
memiliki kasus retardasi mental. Dalam tema ini peneliti
membaginya menjadi dua sub tema yang berbeda yaitu
35
“kubawa kemanapun untuk menyembuhkannya” dan “harus
kupenuhi semua yang dia minta”
a. Kubawa kemanapun untuk menyembuhkannya
Keluarga membawa kemanapun untuk menyembuhkan
anak atau saudara mereka yang mengalami retardasi
mental, mulai dari dukun, pijat syaraf hingga
membawanya ke dokter spesialis anak.
“Ya sudah, sudah saya bawa kemana-mana itu, sudah alternatif sudah pijat syaraf, gara-gara tidak biasa berbicara dan berjalan, ya sudah kemana-mana, pokoknya orang bilang kemana ya saya turuti begitu, empat tahun baru bisa berjalan itu.“ (R1). “Ya sudah saya upayakan to, disuruh memijatkan syaraf kesana ya saya pijatkan, itu biasanya berjalan sama berbicara bersamaan setelah saya pijatkan ke pasar Jumapolo Pak S namanya, kalau sekarang apakah masih atau tidak beliau , lalu saya kesana tiga atau empat kali saya kesana.“ (R2). “Ke khusus anak itu mas, terus disana di ajari begitu, hanya gambar ini dengan gambar yang ini beda atau tidak, begitu lalu kan tidak bisa, lalu ibu dokternya anu, ini terlambat belajar begitu anu anda diminta untuk menyekolahkannya ke SLB, nanti kalau di SD bisa stres begitu, terus saya langsung sekolahkan kesana (SLB), terus sesampainya disana ya sama saja, disuruh membaca tidak mau cuma begitu lho kalau menulis ya bisa huruf-huruf itu ya bisa tapi kok membacanya tidak bisa begitu lho sampai saya terapikan ke Batu (nama kecamatan di Wonogiri) katanya disini belakang sini lemah, kalau di dekati oleh bu guru begitu malah tidak mau mengerjakan malah diam saja, malah melihat kebawah begitu , lha bagaimana supaya cepat bisa begitu sampai saya suwuk (salah satu prosesi perdukunan jawa) suparanya berani supaya mau belajar rajin begitu saya sampai heran mas.” (R4)
36
b. Harus kupenuhi semua yang dia minta
Harus dipenuhinya semua yang anak atau saudaranya
minta memang menjadi satu hal yang tidak bisa
dilepaskan dari pemberian dukungan dalam studi ini.
Baju, sepatu, ada ataupun tidak ada biaya para
partisipan inipun memberikan apa yang anak-anak
retardasi mental inginkan.
“Ya, kalau minta sesuatu itu harus, kalau tidak hari ini ya besuk kalau belum dibelikan ya belum diam, ya seperti minta ini (binder) ya ini tadi turun pasar, pasar Ngadirojo beli binder “ (R1). “Jajannya itu pokoknya tidak bisa dicegah, sama kalau minta ya harus ada.” (R2). “ya jajannya kuat itu, tidak bisa “direm”, sebenarnya disekolahkan sudah jajan habis tiga ribu empat ribu terus di rumah kan ada “cilok” terus saya bilang udah ndak punya uang begitu ya mengamuk itu, semuanya dibuang begitu, bukunya sendiri saja ya diobrak-abrik kalau tidak cepet dikasih, sebenarnya lima ratus begitu ya mau sebenarnya kalau dikasih, itu jajannya luar biasa kuat.” (R4)
2. Ku tak tahu apa yang terjadi dengan dirinya
Tidak mengerti apa yang terjadi dengan anak atau saudara
mereka menjadikan dukungan mereka tidak tepat sasaran.
Banyak partisipan yang tidak tahu tentang kondisi yang
sebenarnya dialami oleh oleh yang mereka cintai ini. Tema
ini terbagi menjadi tiga sub tema yang mendampinginya
yaitu “kenyataan yang terlambat”, “perlakuan yang sama”,
dan “tidak ada yang harus kuajarkan”
37
a. Kenyataan yang terlambat
Sebagian besar keluarga mengerti apa yang terjadi
dengan anak mereka ketika sang anak telah beranjak
pada usia sekolah, karena menurut mereka tidak ada
gejala apapun sewaktu dia kecil.
“Tidak tau mas, perasaannya kok disuruh ke SLB begitu, masak anak saya di taruh di SLB Cuma begitu soalnya di SD itu lha kok takut begitu lho mas, kalau sama teman-temannya itu sudah dibawah sendiri, ini di SLB mengganggap dirinya pintar sendiri, mengganggap dirinya bisa berbicara sendiri, makanya itu di SLB agak centil begitu, terus kalau di mobil (angkutan umum) itu anak SMEA STM itu sampai heran mas, centil itu dalam angkutan umum itu, coba besok bagaimana anak seperti itu centil banget padahal belum pinter saya bilang begitu,sebenarnya sudah dapat berbicara dieja sendiri sudah bisa, iya pokoknya saya ya ini bu sri itu alhamdulilah yang pegang itu agak baik, dulu kan dipegang bu wahyu terus sekarang diganti ibu sri lagi, bu sri semin pokoh sini ya bagus itu. “ (R3) “tidak tahu, tahunya itu ya sekolah tidak bisa anu begitu, kecilnya itu ya tidak papa mas, ya sehat terus tidak tahu kalau seperti itu, tahunya di SD itu lho tahu kalau seperti itu, penakut terus tidak mau mengerjakan begitu , lalau disarankan ke SLB sama kepala sekolahnya disuruh pindah begitu lha ketinggalan pelajaran terus, tidak mau menulis tidak mau anu tahunya, ya seperti itu bayinya ya tidak sakit-sakitan, tidak kenapa-kenaoa ya sehat sebenarnya, apa ya di bawa weton (penganggalan jawa) juga itu wetonnya sabtu pahing (hari dalam jawa seperti kliwon dan sebagainya) kalau itu nakal ya nakal kalau diam ya diam sabtu pahing itu, itu angan-angannya diambil sendiri” (R4).
38
b. Perlakuan yang sama
Partisipan sebagian besar tidak tahu apa yang harus
dilakukannya dengan kondisi anak yang seperti itu.
Para partisipanpun tidak membedakan perlakuan yang
dia berikan kepada anak tersebut dengan perlakuan
yang dia berikan kepada kakaknya dahulu.
Peneliti: buk kalau seperti adik begini ada perlakuan khusus tidak buk? “Sama saja mas” (R1)
“Tidak, tidak mas malah lebih susah mbaknya itu, mbaknya itu saja jam segini belum mau bekerja samapai SMEA, ya sukurlah ini alhamdulilah sudah bisa ke jakarta sudah bisa, apa mas mandiri begitu, mbaknya tidak pernah bekerja dirumah samapai sekolah SMEA itu ndak mau, ya alhamdulilah lulus SMEA langsung bisa istilahnya berdagang sedikit, sama jadi tukang cuci nyetrika ditempat orang, lalu suaminya jadi tukang pasang plafon” (R3).
Peneliti : buk kalau seperti adik begini ada perlakuan khusus tidak buk? “Tidak “ “ya sama saja” (R4)
c. Tidak ada yang harus kuajarkan.
Berbagai penjelasan partisipan mengungkapkan bahwa
tidak ada hal sebenarnya harus diajarkan kepada anak
ini. Karena sebagian besar anak sudah dapat
mencontoh kegiatan sehari-hari yang dilakukan orang
tuanya di rumah mulai dari menyapu, mengepel dan lain
hal.
39
“Ya apapun, nyuci piring, apa mandi sendiri sudah bisa, memakai baju sendiri juga sudah bisa sekarang.” (R1)
“Tidak, bisa sendiri nyapu juga bersih itu, terus anu ini tadi pagi sudah terus sorenya belum nyapu.” (R3)
“ lha kalau mau tidak usah disuruh itu juga maunya bersih-bersih terus lha kalau mau bersih-bersih ya malah bikin kotor, kalau nyapu ya, liat ini terus dikerubutin semut begitu kotorannya ya disapu langsung di taruh di cikrak” (R4).
3. Gejolak dalam dada
Rasa sakit, bingung bercampur aduk menimbulkan gejolak
dalam hati para partisipan. Tidak dipungkiri lagi kenyataan
yang cukup pahit dirasakan karena memiliki anak yang
berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Dalam tema ini
hanya didampingi dengan satu sub tema yang
mendampinginya yaitu stres yang berkorelasi langsung
dengan tema yang dimunculkan.
“Ya sedih, pegel sama jengkel mas” (R2)
“Lha kalau bapaknya kan tidak mengurus dia sejak kecil pergi bekerja terus, kalau perasaan saya ya sedih ya, orang sekolah kok tidak bisa,kok tidak begini gitu lho sama temen-temennya, kadang sedih ya dihilangkan saja begitu. “ (R4)
40
Berbagai hal telah dipaparkan diatas oleh partisipan
mengenai pengalaman mereka dalam mendukung anak dengan
retardasi mental ringan dan sedang di kabupaten Wonogiri. Hasil
dari paparan partisipanpun kemudian peneliti coba untuk
ungkapkan atau deskripsikan secara lengkap dalam sudut pandang
para partisipan. Hasil paparan partisipan peneliti mulai dari tema
besar pertama hingga mengalir ke tema-tema selanjutnya. Adapun
pemaparannya sebagai berikut;
4.3. Deskripsi Fenomena
4.3.1. Kenyataanya, memang ku tak tahu
Berbagai cara, daya dan upaya telah dilakukan oleh
para partisipan mulai dari pergi ke dukun, tukang pijat
syaraf, semua hal yang dilakukan untuk buah hati mereka
yang tersayang. Berbagai hal yang telah dilakukan memang
luar biasa untuk kesembuhan anggota keluarga mereka. Hal
inilah yang sebenarnya menimbulkan sebuah permasalah
yang kompleks. Berbagai hal yang dilakukan sebagian
besar memang tidak berguna bahkan bisa kita sebut
perlakuan untuk menyembuhkan anak mereka adalah
kurang tepat.
41
Perlakuan yang kurang tepat bukan hanya terjadi
saat kejanggalan-kejanggalan pada anak muncul namun
perlakuan yang kurang tepat pula diberikan setelah
diagnosa akan masalah anak sudah terang terlihat.
Berbagai partisipan memperlakukan anak-anak retardasi
mental sama dengan anak-anak normal pada umunya.
Berbagai penjelasan yang ada memang tidak bisa
dilihat dalam satu sudut pandang. Peneiti tidak dapat
menyalahkan perlakuan yang dilakukan oleh para
partisipan. Kurangnya paparan informasi menjadi hal yang
bisa kita garis bawahi untuk melihat fenomena ini, para
anggota keluarga memang sebenarnya tidak tahu apa yang
harus mereka lakukan dengan tepat untuk proses
perkembangan sang anak nantinya.
4.3.2. Kenyataan yang menyakitkan
Kenyataan terkadang menyakitkan dan juga
datangnya terkadang sudah sangat lama baru dapat
disadari. Hal ini pula juga dirasakan oleh para anggota
keluarga saat menyadari salah satu orang yang mereka
cintai memiliki kondisi yang berbeda dengan orang-orang
pada umumnya. Bingung, sakit hati, jengkel kenapa harus
berbedapun muncul dalam hati mereka. Hal ini memang
menjadi salah satu permasalahan dalam kehidupan mereka.
42
Namun apa mau dikata semua ini memang mereka jalani
dengan penuh keihlasan mulai dari mengantarkan, hingga
menunggu sampai selesainya sekolah si buah hati. Tak
hanya itu kondisi anak atau saudara mereka yang berbeda
membuat mereka tidak bisa meninggalkannya walau barang
sejenak saja.
4.4. Pembahasan
Tujuan dalam pembahasan ini untuk mendiskusikan tentang
intepretasi hasil yang didapatkan dari penelitian yang berfokus
pada pengalaman anggota keluarga dalam mendukung anak
retardasi mental ringan dan sedang. Intepretasi hasil ini dilakukan
dengan cara membandingkannya dengan konsep-konsep teoretikal
atau bahkan situasi dan penelitian sebelumnya.
Dari hasil ekplorasi pengalaman dukungan anggota keluarga
terhadap anak retardasi mental ringan dan sedang dalam bentuk
deskripsi fenomena. Dalam bagian ini peneliti membahas relevansi
penelitian ini dalam kaitannya dengan penelitian sebelumnya.
Konsep-konsep teoretikal yang muncul pada bab 2 pun akan
menjadi acuan pula dalam bagian ini.
43
4.3.1. Kenyataannya, memang ku tak tahu
Kenyataan yang memang begitu terlihat bahwa dalam studi
ini para partisipan tidak mengetahui dukungan-dukungan yang
tepat. Kurangnya pengetahuan membuat para keluarga menjadi
bingung bagaimana mendukung anak-anak dengan retardasi
mental ini dengan tepat sasaran.
Hal ini sependapat dengan penelitian di Iran
(Kermanshahi, Vanaki, Ahmadi, Kazemnejad, Mordoch, &
Azadfalah., 2008) yang menjelaskan bahwa beberapa ibu
(caregiver) tidak mengetahui apapun tentang keadaan anak
mereka, yang secara spesifik digambarkan kurangnya
pengetahuan akan perawatan dan juga komunikasi dengan anak.
Kurang pengetahuan dalam konteks studi ini juga
menjadikan keluarga lambat menyadari masalah yang sedang
dialami oleh sang anak. Lambatnya kesadaran keluarga
mempengaruhi tingkat adapatasi mereka akan masalah yang
sedang dihadapi oleh anggota yang lain.
Hal ini diperkuat oleh sebuah penelitian yang dilakukan di
Tehran Iran, yang menyebutkan bahwa urutan kelahiran anak dan
saat kesadaran akan masalah anak berkaitan erat dengan tingkat
adaptasi pada ibu (Taghvi, Aliakbarzadeh-Arani, & Khari-Arani,
2012).
44
Kurang pahamnya paparan informasi mengakibatkan
berbagai permasalahan termasuk kurang tepatnya tindakan yang
diberikan (Gordon, Roberts and Odeka., 2007). Hal ini juga muncul
di berbagai penelitian dalam isi yang berbeda seperti dalam
masalah kontrasepsi, pemberian layanan kesehatan untuk keluarga
gay dan lesbian serta masih banyak lagi studi-studi yang
menunjukkan pentingnya sebuah iniformasi untuk meningkatkan
kualiatas tindakan di masa yang akan datang (Lim, Mackey, Liam
and He., 2011; Chapman, Wardrop, Freeman, Zappia, Watkins and
Shields 2012; Dalal, Lao, Gifford, Wang 2012;Khowaja,
Khan,Nizam, Omer & Zaidi., 2012).
Beberapa paparan yang ada dalam kaitannya dengan
fenomena yang terjadi, perawat profesional dapat memberikan
informasi mengenai karakteristik anak dan juga dukungan yang
harusnya dapat diberikan dengan tepat dan dapat dipahami oleh
orang tua sehingga meningkatkan kualitas pengetahuan orang tua
akan keadaan masalah anak. Hal inilah yang akan meningkatkan
kualitas peran orang tua dalam mendukung anak (Lim, Mackey,
Liam and He., 2011). Perawat profesional dapat pula memainkan
peran kunci dalam advokasi untuk program penelitian yang
signifikan untuk populasi dalam areal kecamatan Ngadirojo
Wonogiri, yang mengarah ke pengembangan layanan berbasis
bukti yang akan meningkatkan pengalaman hidup orang tua dan
45
anak-anak dengan keterbelakangan mental (Kermanshahi, Vanaki,
Ahmadi, Kazemnejad, Mordoch, & Azadfalah., 2008)
4.3.2. Kenyataan yang Menyakitkan
Kenyataan yang menyakitkan dianggap sebagai pernyataan
yang tepat untuk menggambarkan hal yang terjadi dalam deskripsi
fenomena yang telah dijabarkan. Kenyataan yang terjadi memang
membuat para anggota keluarga merasakan hal yang tidak
mengenakan.
Pernyataan tadi juga diperkuat oleh penelitian dari Iran yang
menyebutkan adanya “painful emosional reaction” disaat
mengetahui anak mereka berbeda dengan anak-anak pada
umumnya (Kermanshahi, Vanaki, Ahmadi, Kazemnejad, Mordoch,
& Azadfalah., 2008).
Dalam studi Kenyataan yang menyakitkan memang
dirasakan oleh semua lini dalam keluarga namun rasa yang
menyakitkan itu terkadang harus langsung diusir jauh-jauh dari hati
mereka. Kehidupan yang ada didepan harus terus diperjuangkan
walaupun ada masalah yang sedang membebani mereka saat ini.
46
Hal ini sependapat dengan penelitian yang mengkaji tentang
perspektif dari kakek dan nenek. Bebagai rasa memang dirasakan
dan menyesakkan namun memberikan pemikiran positif bagi anak-
anak mereka merupakan hal terbaik yang dapat dilakukan pada
saat usia senja mereka. (Miller, Buys & Woodbridge.,2012).
Untuk mengurangi masalah yang lebih parah mekanisme
koping yang adaptif dapat menjadi suatu solusi yang dapat dicoba
oleh para anggota keluarga saat mendapati kenyataan yang tidak
sesuai dengan keinginan setiap manusia (Pence, Thielman,
Whetten, Ostermann, Kumar, and Mugavero., 2008). Dalam salah
satu penelitian disebutkan bahwa mekanisme koping yang adaptif
dapat meningkatkan harga diri seseorang dan meningkatkan
suasana hati kepada suasana yang lebih nyaman dibandingkan
dengan kita meratapi masalah yang kita hadapi (Pavlickova,
Varese, Smith, Myin-Germeys, Turnbull, Emsley, dan Bentall.,
2012). Mekanisme koping yang adaptif pula dapat digunakan
sebagai prediktor signifikan dari kualitas hidup terkait kesehatan
(D’Souza, Karkada and Somayaji., 2013).
Dalam kaitannya mekanisme koping yang adaptif para
keluarga membutuhkan sebuah wadah untuk mengajarkan atau
memberikan sebuah gambaran mekanisme koping yang adaptif.
Disini peran perawat komunitas dapat digunakan sebagai profesi
47
yang dapat merangkul masyarakat untuk memberikan penjelasan
dan gambaran mengenai koping yang adaptif. Namun perlu
diketahui bahwa belum ada mekanisme koping yang tepat yang
dapat diterapkan secara baik untuk masyarakat yang memiliki anak
retardasi mental di kecamatan Ngadirojo hal inilah yang masih
memerlukan adanya sebuah penelitian yang cukup mendalam dari
instansi pendidikan keperawatan.
4.5. Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan dalam sebuah penelitian memang tidak dapat
disangkal keberadaanya. Dalam perjalanan studi ini pun peneliti
menemukan keterbatasan yang muncul diantaranya;
4.5.1. Waktu yang cukup singkat yang dimiliki oleh peneliti
membuat penelitian ini kurang dalam untuk gambaran yang
didapatkan dilapangan selama proses penggalian informasi.
4.5.2. Dalam studi ini hanya didapatkan mengenai pengalaman
anggota keluarga dengan kasus anak retardasi mental
ringan dan sedang. Sehingga dirasa penting untuk menggali
pengalaman keluarga dengan kasus anak retardasi mental
berat dan sangat berat.
4.5.3. Penelitian ini menggali pengalaman dukungan ibu terhadap
anaknya yang menyandang retardasi mental dan tidak
menggali kompleksitas tradisi yang mempengaruhi peran
48
ibu merawat anak dengan retardasi mental selama
menunggu panen / tanpa kehadiran suami.
Direkomendasikan untuk penelitian selanjutnya dapat
meneliti pengalaman peran ibu dan seluruh anggota
keluarga mendukung anak retardasi mental di dalam tradisi
Kecamatan Ngadirojo Wonogiri.