DAN PARADIGMA PENELITIAN A. Tinjauan Pustakadigilib.unila.ac.id/20913/4/Skripsi_Ning_Bab_2.pdf ·...

22
BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR, DAN PARADIGMA PENELITIAN A. Tinjauan Pustaka 1. Kekuasaan Islam Islam pernah mengalami masa keemasannya dan menguasai dunia beberapa abad silam. Ketika itu, wilayah kekuasaan Islam bahkan sampai ke wilayah Spanyol, yaitu ketika Thariq bin Ziyad mulai masuk ke daratan Romawi dan melakukan penaklukan ke wilayah Eropa. Sejak itulah wilayah kekuasaan Islam terus menyebar hingga akhirnya sampai ke seluruh wilayah seluruh penjuru dunia. Wilayah kekuasaan Islam adalah wilayah yang dimana pengaruh Islam masuk ke wilayah tersebut, baik sistem pemerintahannya maupun pandangan hidup masyarakatnya dipengaruhi oleh nilai-nilai keislaman. Dalam konteks masa lalu, yang disebut dengan wilayah kekuasaan Islam adalah suatu tempat, wilayah (negara) yang ditaklukan dan dikuasai oleh tentara Islam ketika masa kekhalifahan. Sebagai contoh, ketikan pasukan tentara Islam melakukan perluasan wilayah ke pelosok-pelosok negeri, seperti Spanyo, Perancis, dan Portugal. Ketiga negara tersebut dulu disebut sebagai wilayah kekuasaan Islam, tetapi sekarang tidak lagi karena konteksnya sudah berbeda (http://www.anneahira.com/kekuasaan-islam.htm).

Transcript of DAN PARADIGMA PENELITIAN A. Tinjauan Pustakadigilib.unila.ac.id/20913/4/Skripsi_Ning_Bab_2.pdf ·...

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR,DAN PARADIGMA PENELITIAN

A. Tinjauan Pustaka

1. Kekuasaan Islam

Islam pernah mengalami masa keemasannya dan menguasai dunia beberapa abad

silam. Ketika itu, wilayah kekuasaan Islam bahkan sampai ke wilayah Spanyol, yaitu

ketika Thariq bin Ziyad mulai masuk ke daratan Romawi dan melakukan penaklukan

ke wilayah Eropa. Sejak itulah wilayah kekuasaan Islam terus menyebar hingga

akhirnya sampai ke seluruh wilayah seluruh penjuru dunia.

Wilayah kekuasaan Islam adalah wilayah yang dimana pengaruh Islam masuk ke

wilayah tersebut, baik sistem pemerintahannya maupun pandangan hidup

masyarakatnya dipengaruhi oleh nilai-nilai keislaman. Dalam konteks masa lalu, yang

disebut dengan wilayah kekuasaan Islam adalah suatu tempat, wilayah (negara) yang

ditaklukan dan dikuasai oleh tentara Islam ketika masa kekhalifahan. Sebagai contoh,

ketikan pasukan tentara Islam melakukan perluasan wilayah ke pelosok-pelosok

negeri, seperti Spanyo, Perancis, dan Portugal. Ketiga negara tersebut dulu disebut

sebagai wilayah kekuasaan Islam, tetapi sekarang tidak lagi karena konteksnya sudah

berbeda (http://www.anneahira.com/kekuasaan-islam.htm).

8

Dalam konteks masa kini, yang dimaksud dengan wilayah kekuasaan Islam adalah

sebuah wilayah dimana wilayah tersebut sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai dan ajaran

Islam. Walaupun negara atau wilayah tersebut bukanlah wilayah yang menggunakan

sistem pemeritahan Islam, tetapi wilayah itu bisa dikatakan sebagai wilayah kekuasaan

Islam (http://www.anneahira.com/kekuasaan-islam.htm). Lebih tepatnya, dipengaruhi

oleh nilai-nilai dan ajaran Islam, seperti misalnya Turki, walaupun merupakan negara

sekuler tapi pengaruh Islam sangat kental, atau seperti di Aceh Darussalam, yang jelas

menerapkan hukum-hukum Islam. Secara de jure, saat ini tidak ada kekhalifahan

Islam seperti konteks masa dahulu, tetapi telah terpecah menjadi negara-negara

sendiri, seperti yang terdapat di Timur Tengah. Tetapi secara de facto, ajaran Islam

sebenar telah menyebar ke seluruh dunia, dan mempengaruhi sendi-sendi kehidupan

umat manusia.

Sejak awal Islam telah dirasakan oleh umat muslim sebagai sebuah kode universal. Di

masa Nabi Muhammad SAW, dua upaya dilakukan untuk memperluas keislaman ke

utara ke Bizantium dan ibukotanya di Konstantinopel, dan dalam sepuluh tahun

setelah kematian Muhammad, muslim telah mengalahkan Sassanid Persia dan

Bizantium, juga telah menaklukkan sebagian besar Persia, Irak, Suriah, dan Mesir.

Penaklukan berlanjut, dan setelah Kekaisaran Sassanid hancur dan pengaruh

Bizantium secara umum telah berkurang (lihat Kekaisaran Bizantium). Selama

beberapa abad tokoh intelektual dan budaya berkembang luas, multinasional, dan

Islam menjadi peradaban yang paling berpengaruh di dunia. Pada gambar berikut

dapat dilihat persebaran kekuasaan Islam pada masa hidup Nabi Muhammad SAW

dan setelah wafatnya beliau.

9

Gambar 1. Daerah Persebaran Islam(Sumber: http://reokta.wordpress.com/2009/10/26/sejarah-persebaran-kekuasaan-

islam/)

a. Masa Kekhalifahan Bani Umayyah

(1) Asal Mula Bani Umayyah

Bani Umayyah diambil dari nama Umayyah, kakeknya Abu Sofyan bin Harb, atau

moyangnya Muawiyah bin Abi Sofyan. Umayyah hidup pada masa sebelum

Islam, ia termasuk bangsa Quraisy. Daulah Bani Umayyah didirikan oleh

Muawiyah bin Abi Sufyan dengan pusat pemerintahannya di Damaskus dan

berlangsung selama 90 tahun (41–132H/661–750M).

Muawiyah bin Abi Sufyan sudah terkenal siasat dan tipu muslihatnya yang licik, dia

adalah kepala angkatan perang yang mula-mula mengatur angkatan laut, dan ia pernah

dijadikan sebagai amir “Al-Bahar”. Ia mempunyai sifat panjang akal, cerdik cendekia

lagi bijaksana, luas ilmu dan siasatnya terutama dalam urusan dunia, ia juga pandai

mengatur pekerjaan dan ahli hikmah.

10

Muawiyah bin Abi Sufyan dalam membangun Daulah Bani Umayyah menggunakan

politik tipu daya, meskipun pekerjaan itu bertentangan dengan ajaran Islam. Ia tidak

gentar melakukan kejahatan. Pembunuhan adalah cara biasa, asal maksud dan

tujuannya tercapai (Umam dan Nawawi, 1995:11).

Daulah Bani Umayyah yang berpusat di Damaskus, telah diperintah oleh 14 orang

kholifah. Namun diantara kholifah-kholifah tersebut, yang paling menonjol adalah

Kholifah Muawiyah bin Abi Sufyan, Abdul Malik bin Marwan, Walid bin Abdul

Malik, Umar bin Abdul Aziz dan Hisyam bin Abdul Malik (Umam dan Nawawi,

1995:17).

(2) Peta Daerah Perkembangan Islam pada Masa Kejayaan Bani Umayyah

Dalam upaya perluasan daerah kekuasaan Islam pada masa Bani Umayyah,

Muawiyah selalu mengerahkan segala kekuatan yang dimilikinya untuk merebut

kekuasaan di luar Jazirah Arab, antara lain upayanya untuk terus merebut kota

Konstantinopel. Ada tiga hal yang menyebabakan Muawiyah terus berusaha merebut

Byzantium. Pertama, karena kota tersebut adalah merupakan basis kekuatan Kristen

Ortodoks, yang pengaruhnya dapat membahayakan perkembangan Islam. Kedua,

orang-orang Byzantium sering melakukan pemberontakan ke daerah Islam. Ketiga,

Byzantium termasuk wilayah yang memiliki kekayaan yang melimpah.

Pada waktu Bani Umayyah berkuasa, daerah Islam membentang ke berbagai negara

yang berada di benua Asia dan Eropa. Dinasti Umayyah, juga terus memperluas peta

kekuasannya ke daerah Afrika Utara pada masa Kholifah Walid bin Abdul Malik ,

dengan mengutus panglimanya Musa bin Nushair yang kemudian ia diangkat sebagai

gubernurnya. Musa juga mengutus Thariq bin Ziyad untuk merebut daerah Andalusia.

11

Keberhasilan Thariq memasuki Andalusia, membuta peta perjalanan sejarah baru bagi

kekuasaan Islam. Sebab, satu persatu wilayah yang dilewati Thariq dapat dengan

mudah ditaklukan, seperti kota Cordova, Granada dan Toledo. Sehingga, Islam dapat

tersebar dan menjadi agama panutan bagi penduduknya. Tidak hanya itu, Islam

menjadi sebuah agama yang mampu memberikan motifasi para pemeluknya untuk

mengembangkan diri dalam berbagai bidang kehidupan sosial, politik, ekonomi,

budaya dan sebaginya. Andalusia pun mencapai kejayaan pada masa pemerintahan

Islam (Murodi, 2003:41).

Gambar 2. Wilayah Kekhalifahan Bani Umayyah(Sumber: http://file.upi.edu/C/FPBS/JUR.PEND.BAHASA.ARAB/196503141992031-

TATANG/ TarikhIslam/KontribusiIslamterhadapKemajuanEropa.pdf)

(3) Keruntuhan Bani Umayyah

Bani Umayyah mengalami keruntuhan oleh banyak hal, diantaranya adalah terbaginya

kekuasaan Daulah Bani Umayyah ke dalam dua wilayah. Kholifah Marwan bin

Muhammad berkuasa di wilayah Semenanjung Tanah Arab, dan Kholifah Yazid bin

Umar berkuasa di wilayah Wasit. Namun yang paling kuat di antara kedua wilayah

tersebut adalah yang berpusat di Semenanjung Tanah Arab. Sehingga para pendiri

kerajaan Daulah Bani Abbasiyah terus menerus mengatur strateginya untuk

12

menumbangkan Kholifah Marwan dengan cara apapun, termasuk menghabisi

nyawanya (Umam dan Nawawi, 1995:17).

b. Masa Kekhalifahan Bani Abbasiyah

(1) Pembangunan Daulah Bani Abbasiyah

Daulah Bani Abbasiyah diambil dari nama Al-Abbas bin Abdul Mutholib, paman

Nabi Muhammad SAW. Pendirinya ialah Abdullah As-Saffah bin Ali bin Abdullah bin Al-

Abbas, atau lebih dikenal dengan sebutan Abul Abbas As-Saffah. Daulah Bani Abbasiyah

berdiri antara tahun 132–656H/750–1258M. Lima setengah abad lamanya keluarga

Abbasiyah menduduki singgasana khilafah Islamiyah. Pusat pemerintahannya di kota

Baghdad.

Tokoh pendiri Daulah Bani Abbasiyah adalah ; Abul Abbas As-Saffah, Abu Ja’far Al-

Mansur, Ibrahim Al-Imam dan Abu Muslim Al-Khurasani. Bani Abbasiyah

mempunyai kholifah sebanyak 37 orang. Dari masa pemerintahan Abul Abbas As-

Saffah sampai Kholifah Al-Watsiq Billah agama Islam mencapai zaman keemasan

(132–232H/749–879 M). Dan pada masa kholifah Al-Mutawakkil sampai dengan Al-

Mu’tashim, Islam mengalami masa kemunduran dan keruntuhan akibat serangan

bangsa Mongol Tartar pimpinan Hulakho Khan pada tahun 656H/1258M.

(2) Peta Daerah Perkembangan Islam Pada Masa Bani Abbasiyah

Pemerintahan daulah Bani Abbasiyah merupakan kelanjutan dari pemerintahan daulah

Bani Umayyah yang telah hancur di Damaskus. Meskipun demikian, terdapat

13

perbedaan antara kekuasaan dinasti Bani Abbasiyah dengan kekuasaan dinasti Bani

Umayyah, diantaranya adalah:

a) Dinasti Umayyah sangat bersifat Arab Oriented, artinya dalam segala hal para

pejabatnya berasal dari keturunan Arab murni, begitu pula corak peradaban yang

dihasilkan pada dinasti ini.

b) Dinasti Abbasiyah, disamping bersifat Arab murni, juga sedikit banyak telah

terpengaruh dengan corak pemikiran dan peradaban Persia, Romawi Timur, Mesir

dan sebagainya

Pada masa pemerintahan dinasti Abbasiyah, luas wilayah kekuasaan Islam semakin

bertambah, meliputi wilayah yang telah dikuasai Bani Umayyah, antara lain Hijaz,

Yaman Utara dan Selatan, Oman, Kuwait, Irak, Iran (Persia), Yordania, Palestina,

Lebanon, Mesir, Tunisia, Al-Jazair, Maroko, Spanyol, Afganistan dan Pakistan, dan

meluas sampai ke Turki, Cina dan juga India (Murodi, 2003:51).

Gambar 3. Wilayah Kekhalifahan Bani Abbasiyah(Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Bani_Abbasiyah)

14

2. Teori Perkembangan dan Keruntuhan Peradaban

Menurut Spengler, peradaban adalah tingkatan kebudayaan ketika tidak lagi memiliki

sifat perodiktif, beku, dan mengkristal. Lebih lanjut lagi, dinyatakan bahwa peradaban

adalah sesuatu yang sudah selesai (it has been), sedangkan kebudayaan sebagai

sesuatu yang menjadi (it becomes) (Rahardjo, 2002:24). Sementara itu, Arnold Joseph

Toynbee menyatakan bahwa peradaban adalah wujud daripada kehidupan suatu

golongan kultur seluruhnya (Lauer, 2001:49). Dengan mengacu pada pemikiran

Spengler dapat diartikan bahwa peradaban merupakan tingkatan ketika masyarakat

yang menjalankan sebuah kebudayaan berada pada suatu posisi yang telah mapan,

telah menjadi. Peradaban dapat pula diartikan sebagai kebudayaan yang telah

mencapai taraf yang tinggi dan kompleks. Dengan demikian, berarti peradaban berasal

dari kebudayaan.

Setelah muncul kebudayaan dalam sebuah kelompok manusia, hal ini terus

berkembang menjadi peradaban. Dalam Modern Dictionary of Sociology, peradaban

yang dalam bahasa Inggris diistilahkan dengan civilization, berarti kebudayaan yang

telah mencapai taraf tinggi atau kompleks. Hal ini ditandai dengan beberapa gejala,

antara lain pengenalan tulisan, kehidupan kota, pembagian kerja secara kompleks,

teknologi yang telah maju, serta berkembangnya pranata-pranata politik, agama,

filsafat, dan seni (Rahardjo, 2002: 27).

Dalam studi tentang peradaban, selalu dipertanyakan mengapa dan bagaimana

peradaban itu muncul dari masyarakat yang primitif, bagaimana proses perkembangan

peradaban manusia sehingga tetap mempertahankan eksistensinya, mengapa terjadi

perpecahan dalam kebudayaan, serta mengapa sebuah peradaban itu bisa hancur.

15

Upaya untuk menjelaskan gejala-gejala dalam peradaban telah dilakukan oleh para

ahli. Antara lain yang terkenal adalah Ibnu Khaldun, Oswald Spengler, Julian H.

Steward, dan Arnold Joseph Toynbee.

Arnold J. Toynbee mengarang buku A Study of History tahun 1933. Teori Toynbee

didasarkan atas penelitian terhadap 21 kebudayaan yang sempurna, seperti Yunani,

Romawi, Maya, Hindu, dan Barat/Eropa, dan 9 kebudayaan yang kurang sempurna,

seperti Eskimo, Sparta, Polinesia, dan Turki. Kesimpulan Toynbee ialah bahwa gerak

sejarah tidak terdapat hukum tertentu yang menguasai dan mengatur timbul

tenggelamnya kebudayaan-keudayaan dengan pasti. Yang disebut kebudayaan

(civilization) oleh Toynbee ialah wujud kehidupan suatu golongan seluruhnya.

Menurut Toynbee gerak sejarah berjalan tingkatan-tingkatan seperti berikut (Lauer,

2001:49-57):

a. Genesis of Civilizations, yaitu lahirnya kebudayaan

b. Growth of Civilizations, yaitu perkembangan kebudayaan

c. Decline of Civilizations, yaitu keruntuhan kebudayaan:

1) Breakdown of Civilizations, yaitu kemerosotan kebudayaan

2) Disintegration Civilization, yaitu kehancuran kebudayaan

3) Dissolution of Civilization, yaitu hilang dan lenyapnya kebudayaan

Suatu kebudayaan terjadi, karena challenge and response atau tantangan dan jawaban

antara manusia dengan alam sekitarnya). Dalam alam yang baik manusia berusaha

untuk mendirikan suatu kebudayaan seperti di Eropa, India, Tiongkok. Di daerah yang

terlalu dingin seolah-olah manusia membeku (Eskimo), di daerah yang terlalu panas

tidak dapat timbul juga suatu kebudayaan (Sahara, Kalahari, Gobi), maka apabila

tantangan alam itu baik timbullah suatu kebudayaan.

16

Pertumbuhan dan perkembangan suatu kebudayaan digerakkan oleh sebagian kecil

dari pemilik kebudayaan. Jumlah kecil itu menciptakan kebudayaan dan jumlah yang

banyak (mayoritas) meniru keudayaan tersebut. Tanpa minoritas yang kuat dan dapat

mencipta, suatu kebudayaan tidak dapat berkembang. Apabila minoritas lemah dan

kehilangan daya mencipta, maka tantangan dari alam tidak dapat dijawab lagi.

Minoritas menyerah, mundur, maka pertumbuhan kebudayaan tidak ada lagi. Apabila

kebudayaan sudah memuncak, maka keruntuhan (decline) mulai tampak. Keruntuhan

itu terjadi dalam tiga masa, yaitu:

a. kemerosotan kebudayaan, terjadi karena minoritas kehilangan daya mencipta serta

kehilangan kewibawaannya, maka mayoritas tidak lagi bersedia mengikuti

minoritas. Peraturan dalam kebudayaan (antara minoritas dan mayoritas pecah dan

tentu tunas-tunas hidupnya suatu kebudayaan akan lenyap.

b. kehancuran kebudayaan mulai tampak setelah tunas-tunas kehidupan itu mati dan

pertumbuhan terhenti. Setelah pertumbuhan terhenti, maka seolah-olah daya hidup

itu membeku dan terdapatlah suatu kebudayaan itu tanpa jiwa lagi. Toynbee

menyebut masa ini sebagai petrification, pembatuan atau kebudayaan itu sudah

menjadi batu, mati dan mejadi fosil.

c. lenyapnya kebudayaan, yaitu apabila tubuh kebudayaan yang sudah membatu itu

hancur lebur dan lenyap.

Untuk menghindarkan keruntuhan suatu kebudayaan yang mungkina dilakukan adalah

mengganti norma-norma kebudayaan dengan norma-norma ketuhanan. Dengan

pergantian itu, maka tujuan gerak sejarah ialah kehidupan ketuhanan atau kerajaan

Allah menurut paham Protestan. Dengan demikian garis besar teori Toynbee mirip

17

dengan Santo Agustinus, yaitu akhir gerak sejarah adalah Civitas Dei atau Kerajaan

Tuhan (Purnomo, 2003:38; Ali, 1961:85-87).

Arnold Toynbee menyebutkan terjadinya ketimpangan yang sangat besar antara sains

dan teknologi yang berkembang sedemikian pesat dan kearifan moral dan

kemanusiaan yang sama sekali tidak berkembang, kalau tidak dikatakan malah

mundur ke belakang. Arnold Toynbee menilai bahwa peradaban besar berada dalam

siklus kelahiran, pertumbuhan, keruntuhan dan kematian. Toynbee lebih menekankan

pada masyarakat atau peradaban sebagai unit studinya Peradaban muncul berdasarkan

perjuangan mati-matian. Peradaban hanya tercipta karena mengatasi tantangan dan

rintangan, bukan karena menempuh jalan yang terbuka (Lauer, 2001:49-57).

Menurut Toynbee, kelahiran sebuah peradaban tidak berakar pada faktor ras atau

lingkungan geografis, tetapi bergantung pada dua kombinasi kondisi, yaitu adanya

minoritas kreatif dan lingkungan yang sesuai. Lingkungan sesuai ini tidak sangat

menguntungkan juga tidak sangat tidak menguntungkan. Mekanisme kelahiran sebuah

peradaban berdasarkan kondisi-kondisi ini terformulasi dalam proses saling

mempengaruhi dari tantangan dan tanggapan (challenge-and-response). Lingkungan

menantang masyarakat dan masyarakat melalui minoritas kreatifnya menanggapi

dengan sukses tantangan itu. Solusi yang diberikan minoritas kreatif ini kemudian

diikuti oleh mayoritas. Proses ini disebut mimesis. Tantangan baru kemudian muncul,

diikuti oleh tanggapan yang sukses kembali. Proses ini terus berjalan. Masyarakat

berada dalam proses bergerak terus dan gerak tertentu membawanya kepada tingkat

peradaban. Bentuk tantangan-tantangan atau rangsangan lingkungan yang melahirkan

peradaban ini, seperti negeri yang ganas (hard country), tanah baru (new ground,

18

karena migrasi misalnya), serangan (blows, perang misalnya), tekanan (pressures,

kompetisi antar masyarakat), hukuman (penalization, hukuman sosial) (Lauer,

2001:49).

Dalam pemikiran Toynbee, pertumbuhan peradaban tidak diukur dari ekspansi

geografis masyarakatnya (kebalikannya malah valid, kemunduran peradaban bisa

diasosiasikan dengan ekspansi geografis). Pertumbuhan peradaban juga tidak diukur

dari kemajuan teknologinya. Pertumbuhan terdiri dari determinasi diri atau artikulasi

diri ke dalam yang progresif dan kumulatif, dalam “etherialisasi” nilai-nilai

masyarakat secara progresif dan kumulatif, dan simplifikasi aparatus dan teknik

peradabannya [etherialisasi, mengarahkan aksi dari luar ke dalam]. Dari aspek

hubungan intrasosial dan antar individu, pertumbuhan adalah tanggapan tak kenal

henti dari minoritas kreatif terhadap tantangan-tantangan lingkungan yang ada.

Peradaban yang berkembang membentangkan potensi dominannya; estetika pada

peradaban Hellenik, religius pada peradaban India dan Hindu, saintifik mekanistik

pada peradaban Barat, dan sebagainya (Lauer, 2001:50).

Peradaban yang jatuh kemudian hancur adalah kenyataan sejarah. Tetapi kejatuhan

atau kehancuran peradaban bukanlah keniscayaan kosmik atau karena faktor geografis

atau karena degenerasi rasial atau karena penyerbuan dari luar. Juga bukan karena

kemunduran teknik dan teknologi. Karena kemunduran peradaban adalah sebab,

sedang kemunduran teknik adalah konsekuensi atau gejala. Pembeda utama masa

pertumbuhan dan disintegrasi adalah pada masa pertumbuhan peradaban sukses

memberikan respon terhadap tantangan sedang pada masa disintegrasi peradaban

gagal memberi respon yang tepat. Toynbee menegaskan bahwa peradaban runtuh

19

karena bunuh diri (sosial), bukan karena pembunuhan (sosial). Civilizations die from

suicide, not by murder. Dalam formulasinya, keruntuhan peradaban berasal dari tiga

hal; kegagalan usaha kreatif para minoritas, penarikan mimesis dari mayoritas dan

hilangnya kesatuan sosial. Kemunduran peradaban melewati fase-fase berikut;

kejatuhan (break-down), distintegrasi dan hancur. Kejatuhan dan disintegrasi bisa

berabad-abad, bakan ribuan tahun. Toynbee memberi contoh, peradaban Mesir mulai

jatuh pada abad ke-16 SM dan hancur pada abad ke-5 M. Selang dua ribu tahun antara

awal jatuh dan kehancurannya adalah masa kehidupan yang membatu (Lauer,

2001:51).

Pada masa pertumbuhan minoritas kreatif memberi respon yang sukses terhadap

tantangan yang muncul, pada periode disintegrasi, mereka gagal. Pada masa kejatuhan,

minoritas kreatif mulai teracuni kemenangan, kemudian memberhalakan nilai-nilai

relatif atas nilai-nilai absolut, kehilangan karisma yang membuat mayoritas mengikuti

mereka. Pada masa disintegrasi, minoritas ini kemudian bergantung pada kekuatan

(force) untuk mengatur masyarakat. Mereka berubah dari minoritas kreatif menjadi

minoritas penguasa. Massa berubah menjadi proletariat. Untuk menjaga kelangsungan

hidup peradaban, dikembangkanlah negara universal, semisal Kekaisaran Roma.

Sebagian masyarakat, mereka yang ada dalam subordinasi minoritas dalam tubuh

peradaban (Toynbee menyebutnya internal proletariat) mulai meninggalkan minoritas

ini, tidak puas, kemudian membentuk gereja universal (misal kristianitas dan

budhisme). Mereka yang berada di luar peradaban pada kondisi kemiskinan,

kekacauan (Toynbee menyebutnya eksternal proletariat) mengorganisasikan diri untuk

menyerang peradaban yang mulai runtuh. Perpecahan (schism) menimpa jiwa dan

20

tubuh peradaban. Peperangan kemudian berkobar. Pada jiwa peradaban, schism ini

mengubah mentalitas dan prilaku anggotanya (Lauer, 2001:53).

Personalitas manusia pada fase keruntuhan ini terbagi menjadi empat golongan besar.

Mereka yang mengidealisasikan masa lalu (archaism), mereka yang

mengidealisasikan masa depan (futurism), mereka yang menjauhkan diri dari realitas

dunia yang runtuh (detachment) dan mereka yang menghadapi keruntuhan dengan

wawasan baru (transendence, transfiguration). Kecuali bagi transfigurator, usaha-

usaha manusia berdasarkan tipe personalitasnya tidak menghentikan proses

disintegrasi peradaban, paling banter hanya membuat peradaban menjadi fosil. Jalan

tranfigurasi, mentransfer tujuan dan nilai kepada spiritualitas baru, tidak menghentikan

disintegrasi peradaban, tetapi membuka jalan bagi kelahiran peradaban baru (Lauer,

2001:54).

3. Kekhalifahan Islam

Khalifah adalah gelar yang diberikan untuk pemimpin umat islam setelah wafatnya

Nabi Muhammad SAW (570–632). Kata "Khalifah" (Khalīfah) sendiri dapat

diterjemahkan sebagai "pengganti" atau "perwakilan". Pada awal keberadaannya, para

pemimpin islam ini menyebut diri mereka sebagai "Khalifat Allah", yang berarti

perwakilan Allah (Tuhan). Akan tetapi pada perkembangannya sebutan ini diganti

menjadi "Khalifat rasul Allah" (yang berarti "pengganti Nabi Allah") yang kemudian

menjadi sebutan standar untuk menggantikan "Khalifat Allah". Meskipun begitu,

beberapa akademis memilih untuk menyebut "Khalīfah" sebagai pemimpin umat

islam tersebut (http://id.wikipedia.org/wiki/Khalifah).

21

Khalifah juga sering disebut sebagai Amīr al-Mu'minīn atau "pemimpin orang yang

beriman", atau "pemimpin umat muslim", yang kadang-kadang disingkat menjadi

"emir" atau "amir". Setelah kepemimpinan Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar bin

Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib), kekhalifahan yang dipegang

berturut-turut oleh Bani Umayyah, Bani Abbasiyah, dan Bani Usmaniyah, dan

beberapa khalifah kecil, berhasil meluaskan kekuasaannya sampai ke Spanyol, Afrika

Utara, dan Mesir (http://id.wikipedia.org/wiki/Khalifah).

Khalifah berperan sebagai kepala ummat, baik urusan negara maupun agama,

mekanisme pengangkatan dilakukan dengan penunjukkan ataupun majelis Syura' yang

merupakan majelis Ahlul Ilmi wal Aqdi yakni ahli Ilmu (khususnya keagamaan) dan

mengerti permasalahan ummat. Khilafah atau Kekhalifahan adalah nama sebuah

sistem pemerintahan yang khas, dengan Islam sebagai ideologi serta undang-undangnya

mengacu kepada Al-Quran dan Hadist (http://id.wikipedia.org/ wiki/Khalifah).

Secara ringkas, Imam Taqiyyuddin An Nabhani (1907-1977) mendefinisikan Daulah

Khilafah sebagai kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk

menegakkan hukum-hukum Syariat Islam dan mengembang risalah Islam ke seluruh

penjuru dunia (Imam Taqiyyuddin An Nabhani, Nizhamul Hukmi fil Islam, hal. 17).

Dari definisi ini, jelas bahwa Daulah Khilafah adalah hanya satu untuk seluruh dunia

(http://id.wikipedia.org/ wiki/Khalifah).

Jabatan dan pemerintahan Khalifah berakhir dan dibubarkan dengan pendirian

Republik Turki pada tanggal 3 Maret 1924 ditandai dengan pengambilalihan

kekuasaan dan wilayah kekhalifahan oleh Majelis Besar Nasional Turki, yang

kemudian digantikan oleh Kepresidenan Masalah Keagamaan (The Presidency of

22

Religious Affairs) atau sering disebut sebagai Diyainah (http://id.wikipedia.org/

wiki/Khalifah).

a. Kekhalifahan Barat

Bani Umayyah (bahasa Arab Banu Umayyah) atau Kekhalifahan Umayyah adalah

kekhalifahan Islam pertama setelah masa Khulafaur Rasyidin yang memerintah dari

661 sampai 750 di Jazirah Arab dan sekitarnya; serta dari 756 sampai 1031 di

Kordoba, Spanyol. Nama dinasti ini dirujuk kepada Umayyah bin 'Abd asy-Syams,

kakek buyut dari khalifah pertama Bani Umayyah, yaitu Muawiyah bin Abu Sufyan

atau kadangkala disebut juga dengan Muawiyah I (http://id.wikipedia.org/wiki/

Bani_Umayyah).

Masa Kekhalifahan Bani Umayyah hanya berumur 90 tahun yaitu dimulai pada masa

kekuasaan Muawiyah bin Abu Sufyan, yaitu setelah terbunuhnya Ali bin Abi Thalib,

dan kemudian orang-orang Madinah membaiat Hasan bin Ali namun Hasan bin Ali

menyerahkan jabatan kekhalifahan ini kepada Mu’awiyah bin Abu Sufyan dalam

rangka mendamaikan kaum muslimin yang pada masa itu sedang dilanda bermacam

fitnah yang dimulai sejak terbunuhnya Utsman bin Affan, pertempuran Shiffin, perang

Jamal dan penghianatan dari orang-orang Khawarij dan Syi'ah, dan terakhir

terbunuhnya Ali bin Abi Thalib (http://id.wikipedia.org/wiki/Bani_Umayyah).

Pada masa Muawiyah bin Abu Sufyan perluasan wilayah yang terhenti pada masa

khalifah Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib dilanjutkan kembali, dimulai

dengan menaklukan Tunisia, lalu ekspansi ke sebelah timur, dengan menguasai daerah

Khurasan sampai ke sungai Oxus dan Afganistan sampai Kabul, sedangkan angkatan

23

lautnya telah mulai melakukan serangan ke ibu kota Bizantium, Constantinopel.

Ekspansi ke timur ini kemudian terus dilanjutkan kembali pada masa khalifah Abdul

Malik bin Marwan. Abdul Malik bin Marwan mengirim tentara menyeberangi sungai

Oxus dan berhasil menundukkan Balkanabad, Bukhara, Khawarizm, Ferghana dan

Samarkand. Tentaranya bahkan sampai ke India dan menguasai Balukhistan, Sind dan

daerah Punjab sampai ke Maltan (http://id.wikipedia.org/wiki/Bani_Umayyah).

Ekspansi ke barat secara besar-besaran dilanjutkan zaman Al-Walid bin Abdul-Malik.

Masa pemerintahan al-Walid adalah masa ketenteraman, kemakmuran dan ketertiban.

Umat Islam merasa hidup bahagia. Pada masa pemerintahannya yang berjalan kurang

lebih sepuluh tahun itu tercatat suatu ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju

wilayah barat daya, benua Eropa, yaitu pada tahun 711 M. Setelah Aljazair dan

Maroko dapat ditundukan, Tariq bin Ziyad, pemimpin pasukan Islam, dengan

pasukannya menyeberangi selat yang memisahkan antara Maroko (magrib) dengan

benua Eropa, dan mendarat di suatu tempat yang sekarang dikenal dengan nama

Gibraltar (Jabal Thariq). Tentara Spanyol dapat dikalahkan. Dengan demikian,

Spanyol menjadi sasaran ekspansi selanjutnya. Ibu kota Spanyol, Cordoba, dengan

cepatnya dapat dikuasai. Menyusul setelah itu kota-kota lain seperti Seville, Elvira dan

Toledo yang dijadikan ibu kota Spanyol yang baru setelah jatuhnya Cordoba. Pasukan

Islam memperoleh kemenangan dengan mudah karena mendapat dukungan dari

rakyat setempat yang sejak lama menderita akibat kekejaman penguasa

(http://id.wikipedia.org/wiki/Bani_Umayyah).

Di zaman Umar bin Abdul-Aziz, serangan dilakukan ke Perancis melalui pegunungan

Pirenia. Serangan ini dipimpin oleh Aburrahman bin Abdullah al-Ghafiqi. Ia mulai

24

dengan menyerang Bordeaux, Poitiers. Dari sana ia mencoba menyerang Tours.

Namun, dalam peperangan yang terjadi di luar kota Tours, al-Ghafiqi terbunuh, dan

tentaranya mundur kembali ke Spanyol. Disamping daerah-daerah tersebut di atas,

pulau-pulau yang terdapat di Laut Tengah (mediterania) juga jatuh ke tangan Islam

pada zaman Bani Umayyah ini (http://id.wikipedia.org/wiki/Bani_Umayyah).

Dengan keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah, baik di timur maupun barat,

wilayah kekuasaan Islam masa Bani Umayyah ini betul-betul sangat luas. Daerahnya

meliputi Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, Jazirah Arab, Irak, sebagian Asia

Kecil, Persia, Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan, Turkmenistan,

Uzbekistan, dan Kirgistan di Asia Tengah (http://id.wikipedia.org/wiki/Bani_Umayyah).

b. Kekhalifahan Timur

Bani Abbasiyah atau Kekhalifahan Abbasiyah (Arab: al-Abbāsidīn) adalah

kekhalifahan kedua Islam yang berkuasa di Baghdad (sekarang ibu kota Irak).

Kekhalifahan ini berkembang pesat dan menjadikan dunia Islam sebagai pusat

pengetahuan dengan menerjemahkan dan melanjutkan tradisi keilmuan Yunani dan

Persia. Kekhalifahan ini berkuasa setelah merebutnya dari Bani Umayyah dan

menundukan semua wilayahnya kecuali Andalusia. Bani Abbasiyah dirujuk kepada

keturunan dari paman Nabi Muhammad yang termuda, yaitu Abbas bin Abdul-

Muththalib (566-652). Oleh karena itu mereka juga termasuk ke dalam Bani Hasyim.

Berkuasa mulai tahun 750 dan memindahkan ibukota dari Damaskus ke Baghdad

(http://id.wikipedia.org/wiki/Bani_Abbasiyah).

Daulah Bani Abbasiyah diambil dari nama Al-Abbas bin Abdul Mutholib, paman

Nabi Muhammad SAW. Pendirinya ialah Abdullah As-Saffah bin Ali bin

25

Abdullah bin Al-Abbas, atau lebih dikenal dengan sebutan Abul Abbas As-Saffah.

Daulah Bani Abbasiyah berdiri antara tahun 132–656 H / 750–1258 M. Lima

setengah abad lamanya keluarga Abbasiyah menduduki singgasana khilafah

Islamiyah. Pusat pemerintahannya di kota Baghdad (Syalabi, 2000:45).

Masa Kedaulatan Abbasiyah berlangsung selama 508 tahun, sebuah rentang

sejarah yang cukup lama dalam sebuah peradaban. Berdasarkan perubahan pola

pemerintahan dan politik, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan

Bani Abbas menjadi lima periode: (1) Periode Pertama (132 H/750 M-232 H/847

M), disebut periode pengaruh Persia pertama; (2) Periode Kedua (232 H/847 M-

334 H/945 M), disebut pereode pengaruh Turki pertama; (3) Periode Ketiga (334

H/945 M-447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Buwaih dalam pemerintahan

khilafah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua; (4)

Periode Keempat (447 H/1055 M-590 H/l194 M), masa kekuasaan dinasti Bani

Seljuk dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah; biasanya disebut juga dengan

masa pengaruh Turki kedua; (5) Periode Kelima (590 H/1194 M-656 H/1258 M),

masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif

di sekitar kota Bagdad (Yatim, 2005:49–50).

Berkembang selama dua abad, tetapi pelan-pelan meredup setelah naiknya bangsa

Turki yang sebelumnya merupakan bahagian dari tentara kekhalifahan yang mereka

bentuk, dan dikenal dengan nama Mamluk. Selama 150 tahun mengambil kekuasaan

memintas Iran, kekhalifahan dipaksa untuk menyerahkan kekuasaan kepada dinasti-

dinasti setempat, yang sering disebut amir atau sultan. Menyerahkan Andalusia kepada

keturunan Bani Umayyah yang melarikan diri, Maghreb dan Ifriqiya kepada Aghlabid

26

dan Fatimiyah. Kejatuhan totalnya pada tahun 1258 disebabkan serangan bangsa

Mongol yang dipimpin Hulagu Khan yang menghancurkan Baghdad dan tak

menyisakan sedikitpun dari pengetahuan yang dihimpun di perpustakaan Baghdad.

Keturunan dari Bani Abbasiyah termasuk suku al-Abbasi saat ini banyak bertempat

tinggal di timur laut Tikrit, Iraq sekarang (http://id.wikipedia.org/wiki/Bani_Abbasiyah).

B. Kerangka Pikir

Sejarah mencatat bahwa kejayaan suatu bangsa pada saatnya akan berakhir.

Berakhir dalam arti kata yang sebenarnya, yakni musnah tanpa tersisa, atau hanya

sekedar berakhir masa kejayaannya. Hal tersebut bukanlah satu peristiwa yang

berdiri sendiri tetapi merupakan rangkaian peristiwa akhirnya memicu keruntuhan

kekuasaan atau kejayaan.

Secara garis besar, hal seperti itulah yang terjadi pada saat runtuhnya Bani

Abbasiyah pada tahun 1258 M. Seperti yang diungkapkan oleh Watt (1990)

bahwa tanda-tanda keruntuhan kekuasaan Bani Abbasiyah sudah terlihat pada

periode kesembilan kekuasaan Bani Abbasiyah. Beliau membacanya dari proses

sosial politik yang terjadi di dalam negeri Kekhalifahan Abbasiyah, yang pada

akhirnya menggeroti kekuatan Bani Abbasiyah dari dalam negeri. Ketika tentara

Mongol melakukan penyerbuan Bani Abbasiyah dalam posisi lemah, sehingga

mudah dikalahkan bahkan dihancurkan.

27

C. Paradigma Penelitian

Keterangan:

: Arah pengaruh: Arah akibat: Faktor yang diteliti

Gambar 4. Paradigma Penelitian

Kekuasaan Bani Abbasiyah

Faktor Internal- Khalifah Abbasyiah lebih

mementingkan urusanpribadi

- Sulitnya komunikasipusat-daerah

- Pengaruh keturunan Turkisemakin kuat

- Ketergantungan angkatanbersenjata kepadaKhalifah

- Korupsi

Faktor Eksternal- Perang Salib- Penyerbuan Pasukan Mongol

Runtuhnya Bani Abbasiyahpada tahun 1258 M

28

REFERENSI

Buku

Ali, R. Moh. 1961. Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia. Jakarta: Bhratara.

Lauer, Robert H. 2001. Perspektif tentang Perubahan Sosial. Jakarta: RinekaCipta.

Murodi. 2003. Sejarah Kebudayaan Islam MA. Semarang: Karya Toha Putra

Purnomo, Arif. 2003. “Pengantar Memahami Filsafat Sejarah”. Paparan Kuliah.Semarang: Universitas Negeri Semarang.

Rahardjo, Supratikno. 2002. Peradaban Jawa: Dinamika Pranata Politik, Agama,dan Ekonomi Jawa Kuno. Jakarta: Komunitas Bambu.

Syalabi, A. 2000. Sejarah dan Kebudayaan Islam Jilid 3. Jakarta: PustakaAlhusna Zikra.

Umam, Chatibul dan Nawawi, Abidin. 1995. Sejarah Kebudayaan Islam MTs,Semarang: Menara Kudus.

Watt, W. Montgomery. 1990. Kejayaan Islam: Kajian Kritis dati TokohOrientalis. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Yatim, Badri. 2005. Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II. Jakarta:PT RajaGrafindo Persada.

Internet

http://id.wikipedia.org/wiki/Khalifah

http://id.wikipedia.org/wiki/Bani_Umayyah

http://id.wikipedia.org/wiki/Bani_Abbasiyah

Ahira, Anne. tt. “Wilayah Kekuasaan Islam”. Artikel pada Blog AnneAhira.com.http://www.anneahira.com/kekuasaan-islam.htm. Diunduh tanggal 9Agustus 2011.

Anonim. 2009. “Sejarah Persebaran Kekuasaan Islam”. Artikel pada BlogMentalBreakdown. http://reokta.wordpress.com/2009/10/26/sejarah-persebaran-kekuasaan-islam. Diunduh tanggal 9 Agustus 2011.