DAN PARADIGMA PENELITIAN A. Tinjauan Pustakadigilib.unila.ac.id/20913/4/Skripsi_Ning_Bab_2.pdf ·...
Transcript of DAN PARADIGMA PENELITIAN A. Tinjauan Pustakadigilib.unila.ac.id/20913/4/Skripsi_Ning_Bab_2.pdf ·...
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR,DAN PARADIGMA PENELITIAN
A. Tinjauan Pustaka
1. Kekuasaan Islam
Islam pernah mengalami masa keemasannya dan menguasai dunia beberapa abad
silam. Ketika itu, wilayah kekuasaan Islam bahkan sampai ke wilayah Spanyol, yaitu
ketika Thariq bin Ziyad mulai masuk ke daratan Romawi dan melakukan penaklukan
ke wilayah Eropa. Sejak itulah wilayah kekuasaan Islam terus menyebar hingga
akhirnya sampai ke seluruh wilayah seluruh penjuru dunia.
Wilayah kekuasaan Islam adalah wilayah yang dimana pengaruh Islam masuk ke
wilayah tersebut, baik sistem pemerintahannya maupun pandangan hidup
masyarakatnya dipengaruhi oleh nilai-nilai keislaman. Dalam konteks masa lalu, yang
disebut dengan wilayah kekuasaan Islam adalah suatu tempat, wilayah (negara) yang
ditaklukan dan dikuasai oleh tentara Islam ketika masa kekhalifahan. Sebagai contoh,
ketikan pasukan tentara Islam melakukan perluasan wilayah ke pelosok-pelosok
negeri, seperti Spanyo, Perancis, dan Portugal. Ketiga negara tersebut dulu disebut
sebagai wilayah kekuasaan Islam, tetapi sekarang tidak lagi karena konteksnya sudah
berbeda (http://www.anneahira.com/kekuasaan-islam.htm).
8
Dalam konteks masa kini, yang dimaksud dengan wilayah kekuasaan Islam adalah
sebuah wilayah dimana wilayah tersebut sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai dan ajaran
Islam. Walaupun negara atau wilayah tersebut bukanlah wilayah yang menggunakan
sistem pemeritahan Islam, tetapi wilayah itu bisa dikatakan sebagai wilayah kekuasaan
Islam (http://www.anneahira.com/kekuasaan-islam.htm). Lebih tepatnya, dipengaruhi
oleh nilai-nilai dan ajaran Islam, seperti misalnya Turki, walaupun merupakan negara
sekuler tapi pengaruh Islam sangat kental, atau seperti di Aceh Darussalam, yang jelas
menerapkan hukum-hukum Islam. Secara de jure, saat ini tidak ada kekhalifahan
Islam seperti konteks masa dahulu, tetapi telah terpecah menjadi negara-negara
sendiri, seperti yang terdapat di Timur Tengah. Tetapi secara de facto, ajaran Islam
sebenar telah menyebar ke seluruh dunia, dan mempengaruhi sendi-sendi kehidupan
umat manusia.
Sejak awal Islam telah dirasakan oleh umat muslim sebagai sebuah kode universal. Di
masa Nabi Muhammad SAW, dua upaya dilakukan untuk memperluas keislaman ke
utara ke Bizantium dan ibukotanya di Konstantinopel, dan dalam sepuluh tahun
setelah kematian Muhammad, muslim telah mengalahkan Sassanid Persia dan
Bizantium, juga telah menaklukkan sebagian besar Persia, Irak, Suriah, dan Mesir.
Penaklukan berlanjut, dan setelah Kekaisaran Sassanid hancur dan pengaruh
Bizantium secara umum telah berkurang (lihat Kekaisaran Bizantium). Selama
beberapa abad tokoh intelektual dan budaya berkembang luas, multinasional, dan
Islam menjadi peradaban yang paling berpengaruh di dunia. Pada gambar berikut
dapat dilihat persebaran kekuasaan Islam pada masa hidup Nabi Muhammad SAW
dan setelah wafatnya beliau.
9
Gambar 1. Daerah Persebaran Islam(Sumber: http://reokta.wordpress.com/2009/10/26/sejarah-persebaran-kekuasaan-
islam/)
a. Masa Kekhalifahan Bani Umayyah
(1) Asal Mula Bani Umayyah
Bani Umayyah diambil dari nama Umayyah, kakeknya Abu Sofyan bin Harb, atau
moyangnya Muawiyah bin Abi Sofyan. Umayyah hidup pada masa sebelum
Islam, ia termasuk bangsa Quraisy. Daulah Bani Umayyah didirikan oleh
Muawiyah bin Abi Sufyan dengan pusat pemerintahannya di Damaskus dan
berlangsung selama 90 tahun (41–132H/661–750M).
Muawiyah bin Abi Sufyan sudah terkenal siasat dan tipu muslihatnya yang licik, dia
adalah kepala angkatan perang yang mula-mula mengatur angkatan laut, dan ia pernah
dijadikan sebagai amir “Al-Bahar”. Ia mempunyai sifat panjang akal, cerdik cendekia
lagi bijaksana, luas ilmu dan siasatnya terutama dalam urusan dunia, ia juga pandai
mengatur pekerjaan dan ahli hikmah.
10
Muawiyah bin Abi Sufyan dalam membangun Daulah Bani Umayyah menggunakan
politik tipu daya, meskipun pekerjaan itu bertentangan dengan ajaran Islam. Ia tidak
gentar melakukan kejahatan. Pembunuhan adalah cara biasa, asal maksud dan
tujuannya tercapai (Umam dan Nawawi, 1995:11).
Daulah Bani Umayyah yang berpusat di Damaskus, telah diperintah oleh 14 orang
kholifah. Namun diantara kholifah-kholifah tersebut, yang paling menonjol adalah
Kholifah Muawiyah bin Abi Sufyan, Abdul Malik bin Marwan, Walid bin Abdul
Malik, Umar bin Abdul Aziz dan Hisyam bin Abdul Malik (Umam dan Nawawi,
1995:17).
(2) Peta Daerah Perkembangan Islam pada Masa Kejayaan Bani Umayyah
Dalam upaya perluasan daerah kekuasaan Islam pada masa Bani Umayyah,
Muawiyah selalu mengerahkan segala kekuatan yang dimilikinya untuk merebut
kekuasaan di luar Jazirah Arab, antara lain upayanya untuk terus merebut kota
Konstantinopel. Ada tiga hal yang menyebabakan Muawiyah terus berusaha merebut
Byzantium. Pertama, karena kota tersebut adalah merupakan basis kekuatan Kristen
Ortodoks, yang pengaruhnya dapat membahayakan perkembangan Islam. Kedua,
orang-orang Byzantium sering melakukan pemberontakan ke daerah Islam. Ketiga,
Byzantium termasuk wilayah yang memiliki kekayaan yang melimpah.
Pada waktu Bani Umayyah berkuasa, daerah Islam membentang ke berbagai negara
yang berada di benua Asia dan Eropa. Dinasti Umayyah, juga terus memperluas peta
kekuasannya ke daerah Afrika Utara pada masa Kholifah Walid bin Abdul Malik ,
dengan mengutus panglimanya Musa bin Nushair yang kemudian ia diangkat sebagai
gubernurnya. Musa juga mengutus Thariq bin Ziyad untuk merebut daerah Andalusia.
11
Keberhasilan Thariq memasuki Andalusia, membuta peta perjalanan sejarah baru bagi
kekuasaan Islam. Sebab, satu persatu wilayah yang dilewati Thariq dapat dengan
mudah ditaklukan, seperti kota Cordova, Granada dan Toledo. Sehingga, Islam dapat
tersebar dan menjadi agama panutan bagi penduduknya. Tidak hanya itu, Islam
menjadi sebuah agama yang mampu memberikan motifasi para pemeluknya untuk
mengembangkan diri dalam berbagai bidang kehidupan sosial, politik, ekonomi,
budaya dan sebaginya. Andalusia pun mencapai kejayaan pada masa pemerintahan
Islam (Murodi, 2003:41).
Gambar 2. Wilayah Kekhalifahan Bani Umayyah(Sumber: http://file.upi.edu/C/FPBS/JUR.PEND.BAHASA.ARAB/196503141992031-
TATANG/ TarikhIslam/KontribusiIslamterhadapKemajuanEropa.pdf)
(3) Keruntuhan Bani Umayyah
Bani Umayyah mengalami keruntuhan oleh banyak hal, diantaranya adalah terbaginya
kekuasaan Daulah Bani Umayyah ke dalam dua wilayah. Kholifah Marwan bin
Muhammad berkuasa di wilayah Semenanjung Tanah Arab, dan Kholifah Yazid bin
Umar berkuasa di wilayah Wasit. Namun yang paling kuat di antara kedua wilayah
tersebut adalah yang berpusat di Semenanjung Tanah Arab. Sehingga para pendiri
kerajaan Daulah Bani Abbasiyah terus menerus mengatur strateginya untuk
12
menumbangkan Kholifah Marwan dengan cara apapun, termasuk menghabisi
nyawanya (Umam dan Nawawi, 1995:17).
b. Masa Kekhalifahan Bani Abbasiyah
(1) Pembangunan Daulah Bani Abbasiyah
Daulah Bani Abbasiyah diambil dari nama Al-Abbas bin Abdul Mutholib, paman
Nabi Muhammad SAW. Pendirinya ialah Abdullah As-Saffah bin Ali bin Abdullah bin Al-
Abbas, atau lebih dikenal dengan sebutan Abul Abbas As-Saffah. Daulah Bani Abbasiyah
berdiri antara tahun 132–656H/750–1258M. Lima setengah abad lamanya keluarga
Abbasiyah menduduki singgasana khilafah Islamiyah. Pusat pemerintahannya di kota
Baghdad.
Tokoh pendiri Daulah Bani Abbasiyah adalah ; Abul Abbas As-Saffah, Abu Ja’far Al-
Mansur, Ibrahim Al-Imam dan Abu Muslim Al-Khurasani. Bani Abbasiyah
mempunyai kholifah sebanyak 37 orang. Dari masa pemerintahan Abul Abbas As-
Saffah sampai Kholifah Al-Watsiq Billah agama Islam mencapai zaman keemasan
(132–232H/749–879 M). Dan pada masa kholifah Al-Mutawakkil sampai dengan Al-
Mu’tashim, Islam mengalami masa kemunduran dan keruntuhan akibat serangan
bangsa Mongol Tartar pimpinan Hulakho Khan pada tahun 656H/1258M.
(2) Peta Daerah Perkembangan Islam Pada Masa Bani Abbasiyah
Pemerintahan daulah Bani Abbasiyah merupakan kelanjutan dari pemerintahan daulah
Bani Umayyah yang telah hancur di Damaskus. Meskipun demikian, terdapat
13
perbedaan antara kekuasaan dinasti Bani Abbasiyah dengan kekuasaan dinasti Bani
Umayyah, diantaranya adalah:
a) Dinasti Umayyah sangat bersifat Arab Oriented, artinya dalam segala hal para
pejabatnya berasal dari keturunan Arab murni, begitu pula corak peradaban yang
dihasilkan pada dinasti ini.
b) Dinasti Abbasiyah, disamping bersifat Arab murni, juga sedikit banyak telah
terpengaruh dengan corak pemikiran dan peradaban Persia, Romawi Timur, Mesir
dan sebagainya
Pada masa pemerintahan dinasti Abbasiyah, luas wilayah kekuasaan Islam semakin
bertambah, meliputi wilayah yang telah dikuasai Bani Umayyah, antara lain Hijaz,
Yaman Utara dan Selatan, Oman, Kuwait, Irak, Iran (Persia), Yordania, Palestina,
Lebanon, Mesir, Tunisia, Al-Jazair, Maroko, Spanyol, Afganistan dan Pakistan, dan
meluas sampai ke Turki, Cina dan juga India (Murodi, 2003:51).
Gambar 3. Wilayah Kekhalifahan Bani Abbasiyah(Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Bani_Abbasiyah)
14
2. Teori Perkembangan dan Keruntuhan Peradaban
Menurut Spengler, peradaban adalah tingkatan kebudayaan ketika tidak lagi memiliki
sifat perodiktif, beku, dan mengkristal. Lebih lanjut lagi, dinyatakan bahwa peradaban
adalah sesuatu yang sudah selesai (it has been), sedangkan kebudayaan sebagai
sesuatu yang menjadi (it becomes) (Rahardjo, 2002:24). Sementara itu, Arnold Joseph
Toynbee menyatakan bahwa peradaban adalah wujud daripada kehidupan suatu
golongan kultur seluruhnya (Lauer, 2001:49). Dengan mengacu pada pemikiran
Spengler dapat diartikan bahwa peradaban merupakan tingkatan ketika masyarakat
yang menjalankan sebuah kebudayaan berada pada suatu posisi yang telah mapan,
telah menjadi. Peradaban dapat pula diartikan sebagai kebudayaan yang telah
mencapai taraf yang tinggi dan kompleks. Dengan demikian, berarti peradaban berasal
dari kebudayaan.
Setelah muncul kebudayaan dalam sebuah kelompok manusia, hal ini terus
berkembang menjadi peradaban. Dalam Modern Dictionary of Sociology, peradaban
yang dalam bahasa Inggris diistilahkan dengan civilization, berarti kebudayaan yang
telah mencapai taraf tinggi atau kompleks. Hal ini ditandai dengan beberapa gejala,
antara lain pengenalan tulisan, kehidupan kota, pembagian kerja secara kompleks,
teknologi yang telah maju, serta berkembangnya pranata-pranata politik, agama,
filsafat, dan seni (Rahardjo, 2002: 27).
Dalam studi tentang peradaban, selalu dipertanyakan mengapa dan bagaimana
peradaban itu muncul dari masyarakat yang primitif, bagaimana proses perkembangan
peradaban manusia sehingga tetap mempertahankan eksistensinya, mengapa terjadi
perpecahan dalam kebudayaan, serta mengapa sebuah peradaban itu bisa hancur.
15
Upaya untuk menjelaskan gejala-gejala dalam peradaban telah dilakukan oleh para
ahli. Antara lain yang terkenal adalah Ibnu Khaldun, Oswald Spengler, Julian H.
Steward, dan Arnold Joseph Toynbee.
Arnold J. Toynbee mengarang buku A Study of History tahun 1933. Teori Toynbee
didasarkan atas penelitian terhadap 21 kebudayaan yang sempurna, seperti Yunani,
Romawi, Maya, Hindu, dan Barat/Eropa, dan 9 kebudayaan yang kurang sempurna,
seperti Eskimo, Sparta, Polinesia, dan Turki. Kesimpulan Toynbee ialah bahwa gerak
sejarah tidak terdapat hukum tertentu yang menguasai dan mengatur timbul
tenggelamnya kebudayaan-keudayaan dengan pasti. Yang disebut kebudayaan
(civilization) oleh Toynbee ialah wujud kehidupan suatu golongan seluruhnya.
Menurut Toynbee gerak sejarah berjalan tingkatan-tingkatan seperti berikut (Lauer,
2001:49-57):
a. Genesis of Civilizations, yaitu lahirnya kebudayaan
b. Growth of Civilizations, yaitu perkembangan kebudayaan
c. Decline of Civilizations, yaitu keruntuhan kebudayaan:
1) Breakdown of Civilizations, yaitu kemerosotan kebudayaan
2) Disintegration Civilization, yaitu kehancuran kebudayaan
3) Dissolution of Civilization, yaitu hilang dan lenyapnya kebudayaan
Suatu kebudayaan terjadi, karena challenge and response atau tantangan dan jawaban
antara manusia dengan alam sekitarnya). Dalam alam yang baik manusia berusaha
untuk mendirikan suatu kebudayaan seperti di Eropa, India, Tiongkok. Di daerah yang
terlalu dingin seolah-olah manusia membeku (Eskimo), di daerah yang terlalu panas
tidak dapat timbul juga suatu kebudayaan (Sahara, Kalahari, Gobi), maka apabila
tantangan alam itu baik timbullah suatu kebudayaan.
16
Pertumbuhan dan perkembangan suatu kebudayaan digerakkan oleh sebagian kecil
dari pemilik kebudayaan. Jumlah kecil itu menciptakan kebudayaan dan jumlah yang
banyak (mayoritas) meniru keudayaan tersebut. Tanpa minoritas yang kuat dan dapat
mencipta, suatu kebudayaan tidak dapat berkembang. Apabila minoritas lemah dan
kehilangan daya mencipta, maka tantangan dari alam tidak dapat dijawab lagi.
Minoritas menyerah, mundur, maka pertumbuhan kebudayaan tidak ada lagi. Apabila
kebudayaan sudah memuncak, maka keruntuhan (decline) mulai tampak. Keruntuhan
itu terjadi dalam tiga masa, yaitu:
a. kemerosotan kebudayaan, terjadi karena minoritas kehilangan daya mencipta serta
kehilangan kewibawaannya, maka mayoritas tidak lagi bersedia mengikuti
minoritas. Peraturan dalam kebudayaan (antara minoritas dan mayoritas pecah dan
tentu tunas-tunas hidupnya suatu kebudayaan akan lenyap.
b. kehancuran kebudayaan mulai tampak setelah tunas-tunas kehidupan itu mati dan
pertumbuhan terhenti. Setelah pertumbuhan terhenti, maka seolah-olah daya hidup
itu membeku dan terdapatlah suatu kebudayaan itu tanpa jiwa lagi. Toynbee
menyebut masa ini sebagai petrification, pembatuan atau kebudayaan itu sudah
menjadi batu, mati dan mejadi fosil.
c. lenyapnya kebudayaan, yaitu apabila tubuh kebudayaan yang sudah membatu itu
hancur lebur dan lenyap.
Untuk menghindarkan keruntuhan suatu kebudayaan yang mungkina dilakukan adalah
mengganti norma-norma kebudayaan dengan norma-norma ketuhanan. Dengan
pergantian itu, maka tujuan gerak sejarah ialah kehidupan ketuhanan atau kerajaan
Allah menurut paham Protestan. Dengan demikian garis besar teori Toynbee mirip
17
dengan Santo Agustinus, yaitu akhir gerak sejarah adalah Civitas Dei atau Kerajaan
Tuhan (Purnomo, 2003:38; Ali, 1961:85-87).
Arnold Toynbee menyebutkan terjadinya ketimpangan yang sangat besar antara sains
dan teknologi yang berkembang sedemikian pesat dan kearifan moral dan
kemanusiaan yang sama sekali tidak berkembang, kalau tidak dikatakan malah
mundur ke belakang. Arnold Toynbee menilai bahwa peradaban besar berada dalam
siklus kelahiran, pertumbuhan, keruntuhan dan kematian. Toynbee lebih menekankan
pada masyarakat atau peradaban sebagai unit studinya Peradaban muncul berdasarkan
perjuangan mati-matian. Peradaban hanya tercipta karena mengatasi tantangan dan
rintangan, bukan karena menempuh jalan yang terbuka (Lauer, 2001:49-57).
Menurut Toynbee, kelahiran sebuah peradaban tidak berakar pada faktor ras atau
lingkungan geografis, tetapi bergantung pada dua kombinasi kondisi, yaitu adanya
minoritas kreatif dan lingkungan yang sesuai. Lingkungan sesuai ini tidak sangat
menguntungkan juga tidak sangat tidak menguntungkan. Mekanisme kelahiran sebuah
peradaban berdasarkan kondisi-kondisi ini terformulasi dalam proses saling
mempengaruhi dari tantangan dan tanggapan (challenge-and-response). Lingkungan
menantang masyarakat dan masyarakat melalui minoritas kreatifnya menanggapi
dengan sukses tantangan itu. Solusi yang diberikan minoritas kreatif ini kemudian
diikuti oleh mayoritas. Proses ini disebut mimesis. Tantangan baru kemudian muncul,
diikuti oleh tanggapan yang sukses kembali. Proses ini terus berjalan. Masyarakat
berada dalam proses bergerak terus dan gerak tertentu membawanya kepada tingkat
peradaban. Bentuk tantangan-tantangan atau rangsangan lingkungan yang melahirkan
peradaban ini, seperti negeri yang ganas (hard country), tanah baru (new ground,
18
karena migrasi misalnya), serangan (blows, perang misalnya), tekanan (pressures,
kompetisi antar masyarakat), hukuman (penalization, hukuman sosial) (Lauer,
2001:49).
Dalam pemikiran Toynbee, pertumbuhan peradaban tidak diukur dari ekspansi
geografis masyarakatnya (kebalikannya malah valid, kemunduran peradaban bisa
diasosiasikan dengan ekspansi geografis). Pertumbuhan peradaban juga tidak diukur
dari kemajuan teknologinya. Pertumbuhan terdiri dari determinasi diri atau artikulasi
diri ke dalam yang progresif dan kumulatif, dalam “etherialisasi” nilai-nilai
masyarakat secara progresif dan kumulatif, dan simplifikasi aparatus dan teknik
peradabannya [etherialisasi, mengarahkan aksi dari luar ke dalam]. Dari aspek
hubungan intrasosial dan antar individu, pertumbuhan adalah tanggapan tak kenal
henti dari minoritas kreatif terhadap tantangan-tantangan lingkungan yang ada.
Peradaban yang berkembang membentangkan potensi dominannya; estetika pada
peradaban Hellenik, religius pada peradaban India dan Hindu, saintifik mekanistik
pada peradaban Barat, dan sebagainya (Lauer, 2001:50).
Peradaban yang jatuh kemudian hancur adalah kenyataan sejarah. Tetapi kejatuhan
atau kehancuran peradaban bukanlah keniscayaan kosmik atau karena faktor geografis
atau karena degenerasi rasial atau karena penyerbuan dari luar. Juga bukan karena
kemunduran teknik dan teknologi. Karena kemunduran peradaban adalah sebab,
sedang kemunduran teknik adalah konsekuensi atau gejala. Pembeda utama masa
pertumbuhan dan disintegrasi adalah pada masa pertumbuhan peradaban sukses
memberikan respon terhadap tantangan sedang pada masa disintegrasi peradaban
gagal memberi respon yang tepat. Toynbee menegaskan bahwa peradaban runtuh
19
karena bunuh diri (sosial), bukan karena pembunuhan (sosial). Civilizations die from
suicide, not by murder. Dalam formulasinya, keruntuhan peradaban berasal dari tiga
hal; kegagalan usaha kreatif para minoritas, penarikan mimesis dari mayoritas dan
hilangnya kesatuan sosial. Kemunduran peradaban melewati fase-fase berikut;
kejatuhan (break-down), distintegrasi dan hancur. Kejatuhan dan disintegrasi bisa
berabad-abad, bakan ribuan tahun. Toynbee memberi contoh, peradaban Mesir mulai
jatuh pada abad ke-16 SM dan hancur pada abad ke-5 M. Selang dua ribu tahun antara
awal jatuh dan kehancurannya adalah masa kehidupan yang membatu (Lauer,
2001:51).
Pada masa pertumbuhan minoritas kreatif memberi respon yang sukses terhadap
tantangan yang muncul, pada periode disintegrasi, mereka gagal. Pada masa kejatuhan,
minoritas kreatif mulai teracuni kemenangan, kemudian memberhalakan nilai-nilai
relatif atas nilai-nilai absolut, kehilangan karisma yang membuat mayoritas mengikuti
mereka. Pada masa disintegrasi, minoritas ini kemudian bergantung pada kekuatan
(force) untuk mengatur masyarakat. Mereka berubah dari minoritas kreatif menjadi
minoritas penguasa. Massa berubah menjadi proletariat. Untuk menjaga kelangsungan
hidup peradaban, dikembangkanlah negara universal, semisal Kekaisaran Roma.
Sebagian masyarakat, mereka yang ada dalam subordinasi minoritas dalam tubuh
peradaban (Toynbee menyebutnya internal proletariat) mulai meninggalkan minoritas
ini, tidak puas, kemudian membentuk gereja universal (misal kristianitas dan
budhisme). Mereka yang berada di luar peradaban pada kondisi kemiskinan,
kekacauan (Toynbee menyebutnya eksternal proletariat) mengorganisasikan diri untuk
menyerang peradaban yang mulai runtuh. Perpecahan (schism) menimpa jiwa dan
20
tubuh peradaban. Peperangan kemudian berkobar. Pada jiwa peradaban, schism ini
mengubah mentalitas dan prilaku anggotanya (Lauer, 2001:53).
Personalitas manusia pada fase keruntuhan ini terbagi menjadi empat golongan besar.
Mereka yang mengidealisasikan masa lalu (archaism), mereka yang
mengidealisasikan masa depan (futurism), mereka yang menjauhkan diri dari realitas
dunia yang runtuh (detachment) dan mereka yang menghadapi keruntuhan dengan
wawasan baru (transendence, transfiguration). Kecuali bagi transfigurator, usaha-
usaha manusia berdasarkan tipe personalitasnya tidak menghentikan proses
disintegrasi peradaban, paling banter hanya membuat peradaban menjadi fosil. Jalan
tranfigurasi, mentransfer tujuan dan nilai kepada spiritualitas baru, tidak menghentikan
disintegrasi peradaban, tetapi membuka jalan bagi kelahiran peradaban baru (Lauer,
2001:54).
3. Kekhalifahan Islam
Khalifah adalah gelar yang diberikan untuk pemimpin umat islam setelah wafatnya
Nabi Muhammad SAW (570–632). Kata "Khalifah" (Khalīfah) sendiri dapat
diterjemahkan sebagai "pengganti" atau "perwakilan". Pada awal keberadaannya, para
pemimpin islam ini menyebut diri mereka sebagai "Khalifat Allah", yang berarti
perwakilan Allah (Tuhan). Akan tetapi pada perkembangannya sebutan ini diganti
menjadi "Khalifat rasul Allah" (yang berarti "pengganti Nabi Allah") yang kemudian
menjadi sebutan standar untuk menggantikan "Khalifat Allah". Meskipun begitu,
beberapa akademis memilih untuk menyebut "Khalīfah" sebagai pemimpin umat
islam tersebut (http://id.wikipedia.org/wiki/Khalifah).
21
Khalifah juga sering disebut sebagai Amīr al-Mu'minīn atau "pemimpin orang yang
beriman", atau "pemimpin umat muslim", yang kadang-kadang disingkat menjadi
"emir" atau "amir". Setelah kepemimpinan Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar bin
Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib), kekhalifahan yang dipegang
berturut-turut oleh Bani Umayyah, Bani Abbasiyah, dan Bani Usmaniyah, dan
beberapa khalifah kecil, berhasil meluaskan kekuasaannya sampai ke Spanyol, Afrika
Utara, dan Mesir (http://id.wikipedia.org/wiki/Khalifah).
Khalifah berperan sebagai kepala ummat, baik urusan negara maupun agama,
mekanisme pengangkatan dilakukan dengan penunjukkan ataupun majelis Syura' yang
merupakan majelis Ahlul Ilmi wal Aqdi yakni ahli Ilmu (khususnya keagamaan) dan
mengerti permasalahan ummat. Khilafah atau Kekhalifahan adalah nama sebuah
sistem pemerintahan yang khas, dengan Islam sebagai ideologi serta undang-undangnya
mengacu kepada Al-Quran dan Hadist (http://id.wikipedia.org/ wiki/Khalifah).
Secara ringkas, Imam Taqiyyuddin An Nabhani (1907-1977) mendefinisikan Daulah
Khilafah sebagai kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk
menegakkan hukum-hukum Syariat Islam dan mengembang risalah Islam ke seluruh
penjuru dunia (Imam Taqiyyuddin An Nabhani, Nizhamul Hukmi fil Islam, hal. 17).
Dari definisi ini, jelas bahwa Daulah Khilafah adalah hanya satu untuk seluruh dunia
(http://id.wikipedia.org/ wiki/Khalifah).
Jabatan dan pemerintahan Khalifah berakhir dan dibubarkan dengan pendirian
Republik Turki pada tanggal 3 Maret 1924 ditandai dengan pengambilalihan
kekuasaan dan wilayah kekhalifahan oleh Majelis Besar Nasional Turki, yang
kemudian digantikan oleh Kepresidenan Masalah Keagamaan (The Presidency of
22
Religious Affairs) atau sering disebut sebagai Diyainah (http://id.wikipedia.org/
wiki/Khalifah).
a. Kekhalifahan Barat
Bani Umayyah (bahasa Arab Banu Umayyah) atau Kekhalifahan Umayyah adalah
kekhalifahan Islam pertama setelah masa Khulafaur Rasyidin yang memerintah dari
661 sampai 750 di Jazirah Arab dan sekitarnya; serta dari 756 sampai 1031 di
Kordoba, Spanyol. Nama dinasti ini dirujuk kepada Umayyah bin 'Abd asy-Syams,
kakek buyut dari khalifah pertama Bani Umayyah, yaitu Muawiyah bin Abu Sufyan
atau kadangkala disebut juga dengan Muawiyah I (http://id.wikipedia.org/wiki/
Bani_Umayyah).
Masa Kekhalifahan Bani Umayyah hanya berumur 90 tahun yaitu dimulai pada masa
kekuasaan Muawiyah bin Abu Sufyan, yaitu setelah terbunuhnya Ali bin Abi Thalib,
dan kemudian orang-orang Madinah membaiat Hasan bin Ali namun Hasan bin Ali
menyerahkan jabatan kekhalifahan ini kepada Mu’awiyah bin Abu Sufyan dalam
rangka mendamaikan kaum muslimin yang pada masa itu sedang dilanda bermacam
fitnah yang dimulai sejak terbunuhnya Utsman bin Affan, pertempuran Shiffin, perang
Jamal dan penghianatan dari orang-orang Khawarij dan Syi'ah, dan terakhir
terbunuhnya Ali bin Abi Thalib (http://id.wikipedia.org/wiki/Bani_Umayyah).
Pada masa Muawiyah bin Abu Sufyan perluasan wilayah yang terhenti pada masa
khalifah Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib dilanjutkan kembali, dimulai
dengan menaklukan Tunisia, lalu ekspansi ke sebelah timur, dengan menguasai daerah
Khurasan sampai ke sungai Oxus dan Afganistan sampai Kabul, sedangkan angkatan
23
lautnya telah mulai melakukan serangan ke ibu kota Bizantium, Constantinopel.
Ekspansi ke timur ini kemudian terus dilanjutkan kembali pada masa khalifah Abdul
Malik bin Marwan. Abdul Malik bin Marwan mengirim tentara menyeberangi sungai
Oxus dan berhasil menundukkan Balkanabad, Bukhara, Khawarizm, Ferghana dan
Samarkand. Tentaranya bahkan sampai ke India dan menguasai Balukhistan, Sind dan
daerah Punjab sampai ke Maltan (http://id.wikipedia.org/wiki/Bani_Umayyah).
Ekspansi ke barat secara besar-besaran dilanjutkan zaman Al-Walid bin Abdul-Malik.
Masa pemerintahan al-Walid adalah masa ketenteraman, kemakmuran dan ketertiban.
Umat Islam merasa hidup bahagia. Pada masa pemerintahannya yang berjalan kurang
lebih sepuluh tahun itu tercatat suatu ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju
wilayah barat daya, benua Eropa, yaitu pada tahun 711 M. Setelah Aljazair dan
Maroko dapat ditundukan, Tariq bin Ziyad, pemimpin pasukan Islam, dengan
pasukannya menyeberangi selat yang memisahkan antara Maroko (magrib) dengan
benua Eropa, dan mendarat di suatu tempat yang sekarang dikenal dengan nama
Gibraltar (Jabal Thariq). Tentara Spanyol dapat dikalahkan. Dengan demikian,
Spanyol menjadi sasaran ekspansi selanjutnya. Ibu kota Spanyol, Cordoba, dengan
cepatnya dapat dikuasai. Menyusul setelah itu kota-kota lain seperti Seville, Elvira dan
Toledo yang dijadikan ibu kota Spanyol yang baru setelah jatuhnya Cordoba. Pasukan
Islam memperoleh kemenangan dengan mudah karena mendapat dukungan dari
rakyat setempat yang sejak lama menderita akibat kekejaman penguasa
(http://id.wikipedia.org/wiki/Bani_Umayyah).
Di zaman Umar bin Abdul-Aziz, serangan dilakukan ke Perancis melalui pegunungan
Pirenia. Serangan ini dipimpin oleh Aburrahman bin Abdullah al-Ghafiqi. Ia mulai
24
dengan menyerang Bordeaux, Poitiers. Dari sana ia mencoba menyerang Tours.
Namun, dalam peperangan yang terjadi di luar kota Tours, al-Ghafiqi terbunuh, dan
tentaranya mundur kembali ke Spanyol. Disamping daerah-daerah tersebut di atas,
pulau-pulau yang terdapat di Laut Tengah (mediterania) juga jatuh ke tangan Islam
pada zaman Bani Umayyah ini (http://id.wikipedia.org/wiki/Bani_Umayyah).
Dengan keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah, baik di timur maupun barat,
wilayah kekuasaan Islam masa Bani Umayyah ini betul-betul sangat luas. Daerahnya
meliputi Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, Jazirah Arab, Irak, sebagian Asia
Kecil, Persia, Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan, Turkmenistan,
Uzbekistan, dan Kirgistan di Asia Tengah (http://id.wikipedia.org/wiki/Bani_Umayyah).
b. Kekhalifahan Timur
Bani Abbasiyah atau Kekhalifahan Abbasiyah (Arab: al-Abbāsidīn) adalah
kekhalifahan kedua Islam yang berkuasa di Baghdad (sekarang ibu kota Irak).
Kekhalifahan ini berkembang pesat dan menjadikan dunia Islam sebagai pusat
pengetahuan dengan menerjemahkan dan melanjutkan tradisi keilmuan Yunani dan
Persia. Kekhalifahan ini berkuasa setelah merebutnya dari Bani Umayyah dan
menundukan semua wilayahnya kecuali Andalusia. Bani Abbasiyah dirujuk kepada
keturunan dari paman Nabi Muhammad yang termuda, yaitu Abbas bin Abdul-
Muththalib (566-652). Oleh karena itu mereka juga termasuk ke dalam Bani Hasyim.
Berkuasa mulai tahun 750 dan memindahkan ibukota dari Damaskus ke Baghdad
(http://id.wikipedia.org/wiki/Bani_Abbasiyah).
Daulah Bani Abbasiyah diambil dari nama Al-Abbas bin Abdul Mutholib, paman
Nabi Muhammad SAW. Pendirinya ialah Abdullah As-Saffah bin Ali bin
25
Abdullah bin Al-Abbas, atau lebih dikenal dengan sebutan Abul Abbas As-Saffah.
Daulah Bani Abbasiyah berdiri antara tahun 132–656 H / 750–1258 M. Lima
setengah abad lamanya keluarga Abbasiyah menduduki singgasana khilafah
Islamiyah. Pusat pemerintahannya di kota Baghdad (Syalabi, 2000:45).
Masa Kedaulatan Abbasiyah berlangsung selama 508 tahun, sebuah rentang
sejarah yang cukup lama dalam sebuah peradaban. Berdasarkan perubahan pola
pemerintahan dan politik, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan
Bani Abbas menjadi lima periode: (1) Periode Pertama (132 H/750 M-232 H/847
M), disebut periode pengaruh Persia pertama; (2) Periode Kedua (232 H/847 M-
334 H/945 M), disebut pereode pengaruh Turki pertama; (3) Periode Ketiga (334
H/945 M-447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Buwaih dalam pemerintahan
khilafah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua; (4)
Periode Keempat (447 H/1055 M-590 H/l194 M), masa kekuasaan dinasti Bani
Seljuk dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah; biasanya disebut juga dengan
masa pengaruh Turki kedua; (5) Periode Kelima (590 H/1194 M-656 H/1258 M),
masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif
di sekitar kota Bagdad (Yatim, 2005:49–50).
Berkembang selama dua abad, tetapi pelan-pelan meredup setelah naiknya bangsa
Turki yang sebelumnya merupakan bahagian dari tentara kekhalifahan yang mereka
bentuk, dan dikenal dengan nama Mamluk. Selama 150 tahun mengambil kekuasaan
memintas Iran, kekhalifahan dipaksa untuk menyerahkan kekuasaan kepada dinasti-
dinasti setempat, yang sering disebut amir atau sultan. Menyerahkan Andalusia kepada
keturunan Bani Umayyah yang melarikan diri, Maghreb dan Ifriqiya kepada Aghlabid
26
dan Fatimiyah. Kejatuhan totalnya pada tahun 1258 disebabkan serangan bangsa
Mongol yang dipimpin Hulagu Khan yang menghancurkan Baghdad dan tak
menyisakan sedikitpun dari pengetahuan yang dihimpun di perpustakaan Baghdad.
Keturunan dari Bani Abbasiyah termasuk suku al-Abbasi saat ini banyak bertempat
tinggal di timur laut Tikrit, Iraq sekarang (http://id.wikipedia.org/wiki/Bani_Abbasiyah).
B. Kerangka Pikir
Sejarah mencatat bahwa kejayaan suatu bangsa pada saatnya akan berakhir.
Berakhir dalam arti kata yang sebenarnya, yakni musnah tanpa tersisa, atau hanya
sekedar berakhir masa kejayaannya. Hal tersebut bukanlah satu peristiwa yang
berdiri sendiri tetapi merupakan rangkaian peristiwa akhirnya memicu keruntuhan
kekuasaan atau kejayaan.
Secara garis besar, hal seperti itulah yang terjadi pada saat runtuhnya Bani
Abbasiyah pada tahun 1258 M. Seperti yang diungkapkan oleh Watt (1990)
bahwa tanda-tanda keruntuhan kekuasaan Bani Abbasiyah sudah terlihat pada
periode kesembilan kekuasaan Bani Abbasiyah. Beliau membacanya dari proses
sosial politik yang terjadi di dalam negeri Kekhalifahan Abbasiyah, yang pada
akhirnya menggeroti kekuatan Bani Abbasiyah dari dalam negeri. Ketika tentara
Mongol melakukan penyerbuan Bani Abbasiyah dalam posisi lemah, sehingga
mudah dikalahkan bahkan dihancurkan.
27
C. Paradigma Penelitian
Keterangan:
: Arah pengaruh: Arah akibat: Faktor yang diteliti
Gambar 4. Paradigma Penelitian
Kekuasaan Bani Abbasiyah
Faktor Internal- Khalifah Abbasyiah lebih
mementingkan urusanpribadi
- Sulitnya komunikasipusat-daerah
- Pengaruh keturunan Turkisemakin kuat
- Ketergantungan angkatanbersenjata kepadaKhalifah
- Korupsi
Faktor Eksternal- Perang Salib- Penyerbuan Pasukan Mongol
Runtuhnya Bani Abbasiyahpada tahun 1258 M
28
REFERENSI
Buku
Ali, R. Moh. 1961. Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia. Jakarta: Bhratara.
Lauer, Robert H. 2001. Perspektif tentang Perubahan Sosial. Jakarta: RinekaCipta.
Murodi. 2003. Sejarah Kebudayaan Islam MA. Semarang: Karya Toha Putra
Purnomo, Arif. 2003. “Pengantar Memahami Filsafat Sejarah”. Paparan Kuliah.Semarang: Universitas Negeri Semarang.
Rahardjo, Supratikno. 2002. Peradaban Jawa: Dinamika Pranata Politik, Agama,dan Ekonomi Jawa Kuno. Jakarta: Komunitas Bambu.
Syalabi, A. 2000. Sejarah dan Kebudayaan Islam Jilid 3. Jakarta: PustakaAlhusna Zikra.
Umam, Chatibul dan Nawawi, Abidin. 1995. Sejarah Kebudayaan Islam MTs,Semarang: Menara Kudus.
Watt, W. Montgomery. 1990. Kejayaan Islam: Kajian Kritis dati TokohOrientalis. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Yatim, Badri. 2005. Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II. Jakarta:PT RajaGrafindo Persada.
Internet
http://id.wikipedia.org/wiki/Khalifah
http://id.wikipedia.org/wiki/Bani_Umayyah
http://id.wikipedia.org/wiki/Bani_Abbasiyah
Ahira, Anne. tt. “Wilayah Kekuasaan Islam”. Artikel pada Blog AnneAhira.com.http://www.anneahira.com/kekuasaan-islam.htm. Diunduh tanggal 9Agustus 2011.
Anonim. 2009. “Sejarah Persebaran Kekuasaan Islam”. Artikel pada BlogMentalBreakdown. http://reokta.wordpress.com/2009/10/26/sejarah-persebaran-kekuasaan-islam. Diunduh tanggal 9 Agustus 2011.