DAN NURUL JADID PAITON JAWA TIMUR Pondok Pesantren ...digilib.uinsby.ac.id/14528/50/Bab...
Transcript of DAN NURUL JADID PAITON JAWA TIMUR Pondok Pesantren ...digilib.uinsby.ac.id/14528/50/Bab...
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
BAB III
PROFIL PONDOK PESANTREN TEBUIRENG JOMBANG DAN NURUL JADID PAITON JAWA TIMUR
A. Pondok Pesantren Tebuireng Jombang
1. Sejarah Berdiri dan Dinamika Sosialnya
Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, didirikan pada tanggal 26 Rabi’ul
Awal 1317 H bertepatan dengan tanggal 3 Agustus 1989 M, dirintis oleh KH.
Muhammad Hasyim Asy’ari (selanjutnya dalam tulisan ini disebut Kiai Hasyim).
Missi dari pendirian pesantren ini, mengembangkan penyiaran agama Islam untuk
melenyapkan kemungkaran di muka bumi. Penempatan Pondok Pesantren
Tebuireng, di Dusun Tebuireng, Desa Cukir, Kecamatan Diwek, Kabupaten
Jombang, cukup menjadi bukti yang menguatkan missi tersebut, karena Dusun
Tebuireng pada masa sebelumnya dikenal sebagai sarang perjudian, perampokan,
pencurian, pelacuran, mabuk-mabukan dan berbagai kemungkaran lainnya.1
Pada tahap-tahap awal, warga pesantren Tebuireng selalu mendapat
tantangan dari penduduk setempat, berupa ancaman fisik yang membahayakan
keselamatan santri. Kemudian, setelah para santri dibekali ilmu bela diri2, dan
memiliki keberanian menghadapi ancaman fisik para penjahat, serta berhasil
mengungguli kekuatan para penjahat, akhirnya satu demi satu komplotan penjahat
di sekitar pesantren menyerahkan diri, bahkan belajar ilmu bela diri di pesantren
dan bersedia mengikuti jejak perjuangan Kiai Hasyim. Sejak itulah keberadaan
1 H.M. Ridlwan Nasir, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal Pondok Pesantren di Tengah Perubahan, (Yogjakarta: Pustaka Pelajar. 2005), 250 2 Kiai Hasyim mengutus santri ke Cirebon Jawa Barat untuk menemui shahabat lama Kiai Hasyim yaitu Kiai Saleh Benda, Kiai bdullah Panguragan, Kiai Sansuri Wanantara, dan Kiai Abdul Jamil Buntet. Mereka didatangkan ke Tebuireng untuk melatih pencak silat dan kanuraganan selama kurang lebih 8 bulan. lihat : A Mubarok Yasin, Fathurrahman Karyadi, Profil Pesantren Tebuireng, (Jombang: Pustaka Tebuireng Pondok Pesantren Tebuireng, 2011), 15
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
152
pesantren Tebuireng mendapatkan perhatian dari masyarakat, bahkan Kiai Hasyim
diakui sebagai bapak, guru dan pemimpin yang patut ditauladani.3
Keteguhan hati Kiai Hasyim dalam misi penyiaran agama Islam, walaupun
banyak kiai menyarankan agar tidak melanjutkan niatnya mendirikan pesantren di
Dusun Tebuireng yang penuh dengan resiko tersebut, namun dengan tekadnya
yang membaja, dan berpegang pada prinsip bahwa berjihad di jalan Allah pasti
menghadapi kesukaran, dan membutuhkan pengorbanan, serta menyiarkan agama
Islam bagi Kiai Hasyim berarti memperbaiki manusia yang masih jauh dari ajaran
Islam,4 maka Pesantren Tebuireng bukan hanya kokoh berdiri, dan mendapat
pengakuan dari Pemerintah Kolonial Balanda, tujuh tahun setelah berdirinya (6
Pebruari 1906), bahkan terus berkembang dan memberikan pengaruh positif
terhadap kehidupan masyarakat di sekitar Tebuireng, baik dalam bidang
keagamaan, sosial kemasyarakatan, maupun dalam bidang perekonomian.5
Pondok Pesantren Tebuireng pada awal berdirinya, hanya mementingkan
pelajaran agama, karena pembelajaran umum seperti bahasa asing, huruf latin, dan
berhitung, dianggap haram diajarkan, bahkan menggunakan bangku dan papan
tulis dipandang tidak sesuai dengan kehidupan agama. Pandangan awal ini,
dipengaruhi jiwa agama yang sangat menentang penjajahan.6 Namun dalam
perkembangan berikutnya, melalui reformasi sistem pendidikan yang dilakukan
oleh Kiai Ilyas dan Kiai A. Wahid Hasyim (putra sulung Kiai Hasyim), berbagai
3 Mardiyah, Kepemimpinan Kiai dalam Memelihara Budaya Organisasi, (Malang: Aditya Media Publishing, 2012), 341-344. 4 H.M. Ridlwan Nasir, Mencari Tipologi, 251 5 Ibid, 252 6 Marwan Saridjo, et al. Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, (Jakarta : Darma Bhakti, 1982), 30
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
153
pengetahuan umum, termasuk bahasa asing dan berhitung dimasukkan ke dalam
sistem kurikulum madrasah yang didirikannya.7
Pembacaan Zamakhsyari Dhofir, posisi Pesantren Tebuireng yang
didirikan di dekat pabrik gula Cukir, merupakan fenomena yang menggambarkan
sikap konfrontatif Kiai Hasyim terhadap kemajuan teknologi barat, karena pada
saat itu pabrik gula bukan hanya menjadi mesin devisa bagi pemerintah kolonial
Belanda, melainkan sekaligus menjadi simbol kemajuan teknologi bangsa Eropa
yang sekaligus dapat memberikan pengaruh terhadap pola prilaku dan pemikiran
santri .8
Di samping itu, Pondok Pesantren Tebuireng juga hadir di tengah-tengah
masyarakat, dengan gaya hidup yang lebih berorientasi duniawi. Di mana kondisi
prekonomian masyarakat relatif makmur, terjadi pula pergeseran nilai dari sikap
hidup masyarakat Jawa lama yang berorientasi pada harmoni dengan Tuhan dalam
suatu kehidupan serba keagamaan, menjadi masyarakat yang secara budaya
berwatak rawan, sebagai akibat kehidupan ekonomi liberal, yang mendukung
eksistensi pabrik gula. Namun demikian, secara lambat laun Pesantren Tebuireng
berhasil melakukan transformasi nilai dalam kehidupan masyarakat, menuju pola
kehidupan baru yang kembali memposisikan kehidupan berorientasi keagmaan
mendapatkan tempat yang dominan. Dan implikasi dari peran transformatif
tersebut, masyarakat sekitar pesantren memposisikan Pesantren Tebuireng sebagai
lembaga yang memiliki kedudukan kultural relatif lebih kuat, dibandingkan
7 Mujamil Qomar, Pesantren dari Transformasi Metodologi menuju Demokratissasi Institusi, (Jakarta : Penerbit Erlangga, tt), 131-132 8 Zamakhsyari Dhofir, Tradisi Pesantren Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia, Edisi Revisi, (Jakarta : LP3ES, 2011), 171
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
154
dengan institusi lainnya dalam masyarakat.9 Sehingga, kehadiran pesantren
Tebuireng semakin mendapat dukungan dari masyarakatnya.
Pergumulan budaya dalam kehidupan masyarakat di sekitar Pesantren
Tebuireng, memberikan corak yang kelihatan paradoks. Pada satu sisi Tebuireng
itu kampung atau dusun, tapi di sisi yang lain bersifat urban, dan pada satu sisi
mayoritas penduduknya petani dan pedagang miskin, tapi kelompok elitnya relatif
bercorak kosmopolitan. Begitu pula Pesantren Tebuireng sendiri memainkan
peran ganda, satu sisi mempertahankan pikiran-pikiran Islam yang tradisional,
pada sisi lain memberikan sumbangan dalam pembentukan watak urban
Tebuireng Desa Cukir.10
Kapasitas Kiai Hasyim sebagai Ulama yang memiliki reputasi
Internasional (karena telah dipercaya mengajar di Mekah), menjadi faktor penting
perkembangan pesat Pesantren Tebuireng. Apalagi setelah Kiai Cholil Bangkalan
wafat, maka kiblat para kiai berpindah kepada Kiai Hasyim, dan Pesantren
Tebuireng menjadi salah satu ikon keulamaan dan keilmuan Islam kalangan
tradisional, serta dijadikan sebagai salah satu pesantren alternatif, bagi masyarakat
dalam mengarahkan pendidikan anak-anaknya.11
2. Dinamika Pendidikan.
Pesantren Tebuireng seperti pesantren pada umumnya, menjadikan kitab
klasik sebagai rujukan utama dalam pembelajaran agama Islam. Sejumlah kitab
klasik diajarkan sejak masa awal berdirinya, terutama dalam bidang fikih,
tasawuf, tafsir, hadis, dan ilmu alat (nahwu-sharraf), dengan menggunakan
9 Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan Nilai-Nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan, (Jakarta: The Wahid Institut, 2007), 95-96. 10 Zamkhsyari Dhofir, Tradisi Pesantren, 171. 11 Zuhairi Misrawi, Hadartussyaikh Hasyim Asy’ari, Moderasi, Keumatan, dan Kebangsaan, (Jakarta: Kompas, 2010), 60.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
155
metode bandongan dan sorogan. Kemudian pada tahun 1916, sistem madrasah
dibuka di Pesantren Tebuireng, dengan nama Madrasah Salafiyah Syafi’iyah.
Pada tiga tahun berikutnya (1919), kurikulum pendidikan di madrasah tersebut
mengapresiasi dinamika ilmu pengetahuan di luar keagamaan, yaitu dengan
menambahkan materi pembelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, dan Geografi.
Dalam kurun beberapa tahun berikutnya, materi pembelajaran ditambah
lagi dengan pembelajaran Bahasa Belanda, Bahasa Ingris, dan Sejarah. Putra Kiai
Hasyim, Abdul Wahid Hasyim – ayah Gus Dur – yang ditugaskan untuk
mengajarkan bahasa Belanda dan Ingris. Namun demikian, walaupun transformasi
kurikulum telah dilakukan - dengan menambahkan materi pembelajaran umum -
Kiai Hasyim tetap memberikan perhatian pada pendidikan keagamaan yang
mengacu pada kitab klasik atau kitab kuning, sebagai bacaan utama di pesantren.
Ibarat kaki, berpijak di atas bumi harus kokoh, walaupun pikiran di kepala
menerawang jauh ke atas langit.12
Tekad bulat Kiai Hasyim untuk memajukan sistem pendidikan Pesantren
Tebuireng semakin kuat, terutama setelah memperoleh tambahan SDM yang
dapat membantu dalam mengelola pesantrennya. Dalam perkembangan awal, Kiai
Hasyim dibantu oleh menantunya; yaitu Kiai Ma’shum Ali (suami Ny Khoiriyah
Hasyim) yang dikenal ahli dalam ilmu falak dan ilmu sharraf. Melalui kiprah Kiai
Ma’shum Ali, Madrasah Salafiyah Syafi’iyah yang didirikannya pada tahun 1916
dikelola dengan sistem klasikal.
Dinamika pendidikan pesantren semakin berkembang lagi setelah pada
awal tahun 1930 an, Kiai Hasyim memperoleh tambahan dua orang tenaga baru
12 Ibid, 61-68.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
156
lagi; yaitu Kiai Muhammad Ilyas13, dan Kiai Wahid Hasyim,14 yang keduanya
baru pulang dari Mekah dan menetap di Pesantren Tebuireng.. Duet Kiai Ilyas dan
Kiai Wahid Hasyim, pada tahun 1934 melakukan trobosan baru dengan
memperpanjang masa belajar di Madrasah, yang semula lima tahun menjadi enam
tahun. Hal itu dilakukan, karena semakin banyak pengetahuan umum yang
ditambahkan ke dalam kurikulumnya. Kiai Wahid Hasyim pada tahun itu juga
melakukan eksperimen dengan mendirikan Madrasah Nizhamiyah, materi
pengetahuan umumnya lebih banyak dari pengetahuan agamanya. Kemudian pada
tahun 1936, beliau berdua mendirikan taman bacaan yang menyediakan lebih dari
1000 judul buku, dan dilengkapi pula dengan berbagai macam koran dan
majalah.15
Terobosan Kiai Wahid Hasyim, dalam eksperimennya mendirikan
madrasah dengan komposisi kurikulum 70 % materi umum dan 30 % agama,
walaupun kelangsungan madrasah tersebut tidak lama, karena kesibukan Kiai
Wahid Hasyim di luar pesantren dalam pentas politik nasional menyita waktunya,
namun hal tersebut memberi pengalaman di kalangan pesantren tentang
pengelolaan lembaga pendidikan yang komposisi pelajaran umum lebih dominan,
13 Kiai Muhammad Ilyas adalah keponakan Kiai Hasyim yang mengenyam pendidikan HIS (Hollands Inlandse School) di Surabaya, dan mendapat pendidikan keagamaan selain dari ayahnya sendiri, juga memperoleh bimbingan ilmu agama dari Kiai Hasyim, karena waktu liburan sekolahnya senantiasa digunakan untuk datang ke Tebuireng dan mengaji kepada Kiai Hasyim. Setelah menamatkan pendidikannya di HIS, beliau menetap di Tebuireng untuk memperdalam kemampuan bahasa Arab dan pengetahuan agamanya. Karena kecakapannya, Kiai Hasyim mempercayakan lurah pondok kepada beliau dan dalam beberapa waktu berikutnya dipercaya menjadi Kepala Madrasah menggantikan Kiai Ma’shum Ali. Lihat : A Mubarok Yasin, Fathurrahman Karyadi, Profil Pesantren , 12. 14 Kiai Wahid Hasyim adalah putra kelima pasangan Kiai Hasyim Asy’ari dengan Ny Nafiqah, dan merupakan anak laki-laki pertama dari 10 bersaudara. Beliau selain menempuh pendidikan di Madrasah Tebuireng, beliau juga menjadi santri kelana, belajar pengetahuan agama dari pesantren-ke pesantren, dan pernah belajar di Mekah bersama Kiai Ilyas. Ibid, 67-69 15 Ibid, 13-14.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
157
bahkan menginspirasi berdirinya lembaga-lembaga serupa di masa-masa
berikutnya, baik di Pesantren Tebuireng sendiri maupun di pesantren lainnya.16
Setelah Kiai Hasyim wafat pada 25 Juli 1947, posisi pengasuh pesantren
digantikan oleh Kiai Wahid Hasyim. Dalam masa kepemimpinannya sistem
pendidikan di Pesantren Tebuireng tidak banyak mengalami perubahan, beliau
hanya melanjutkan eksperimennya dalam mengembangkan lembaga pendidikan
yang materi pelajaran umumnya lebih banyak dari materi pelajaran agama. Kiai
Wahid Hasyim mendirikan lembaga pendidikan tingkat Tsanawiyah yang dibagi
menjadi dua kategori; yaitu kelas A dengan pembelajaran agama 75 % dan umum
25 %, sedang kelas B sebaliknya 25 % agama dan 75 % umum.17
Perjalanan berikutnya, setelah Kiai Wahid Hasyim disibukkan dengan
kegiatan di luar pesantren, terutama setelah menjadi Menteri Agama, maka pada
tahun 1950 Kiai Wahid Hasyim melepaskan jabatan sebagai pengasuh Pesantren
Tebuireng, dan keluarga besar Bani Hasyim sepakat menunjuk Kiai Abdul Karim
sebagai penggantinya. Pada masa kepemimpinan Kiai Karim yang hanya satu
tahun, menjadi tonggak dimulainya era pendidikan formal, di mana unit-unit
madrasah di Tebuireng diformalkan sesuai dengan sistem persekolahan nasional.
Lembaga pendidikan formal di Pesantren Tebuireng pada saat itu, berupa
Madrasah Ibtidaiyah (6 tahun), Madrasah Tsanawiyah (3 tahun), dan Madrasah
Aliyah (3 tahun), serta didirikan pula Madrasah Mu’allimin (6 tahun). Madrasah
Mu’allimin diorientasikan pada penyiapan calon guru yang memiliki kompetensi
mengajar, karenanya pembelajaran di Madraah Mu’allimin meliputi pelajaran
16 Arief Subhan, Lembaga Pendidikan Islam Indonesia Abad ke 20 Pergumulan antara Modernitas dan Identitas, (Jakarta : KENCANA PRENADA MEDIA GROUP, 2012), 126-127. 17 A Mubarok Yasin, Fathurrahman, Karyadi, Profil Pesantren, 15.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
158
agama dan umum, serta dibekali teori mengajar baik didaktik-metodik maupun
psikologi anak.18
Kepemimpinan Pesantren Tebuireng berikutnya, diserahkan pada Kiai
Baidlowi (salah seorang menantu Kiai Hasyim). Belaiu hanya memimpin selama
satu tahun pula, dan tidak ada perubahan apapun dalam sistem pendidikan, karena
beliau hanya melanjutkan dan memelihara warisan Kiai Karim. Kemudian pada
tahun 1952, Kiai Baidlowi menyerahkan tanggungjawab kepengasuhan kepada
Kiai Abdul Kholik Hasyim. Karena kesibukan Kiai Kholik dalam bidang politik
menyita waktunya dalam kegiatan di luar pesantren, maka pembinaan ilmu
keagamaan lebih banyak dilakukan para Kiai yang lain, khususnya Kiai Idris
Kamali (kakak ipar Kiai Kholik) yang sengaja didatangkan dari Cirebon.
Di saming Kiai Idris Kamali, beberapa kiai lainnya yang ikut membina
kemampuan santri dalam ilmu keagamaan; termasuk dalam kemampuan membaca
kitab klasik, antara lain Kiai Adlan Ali (adik kandung Kiai Ma’shum Ali yang
menikah dengan salah seorang keponakan Kiai Hasyim), dan Kiai Syamsuri
Baidlowi (salah seorang santri senior murid Kiai Hasyim yang menikah dengan
penduduk setempat dan menetap di Tebuireng). Pada masa kepemimpinan Kiai
Kholik ini, pembinaan kegiatan olahraga santri dalam berbagai cabang olahraga
digalakkan, gedung pendidikan mulai ditata rapi, dan berbagai sarana penunjang
lainnya seperti Koperasi didirikan pula.19
Setelah Kiai Kholik wafat pada tahun 1965, kepemimpinan Pesantren
Tebuireng dipegang oleh Kiai Muhammad Yusuf Hasyim yang dikenal dengan
sebutan Pak Ud. Beliau adalah putra bungsu pasangan Kiai Hasyim Asy’ari
18 Ibid, 16. 19 Ibid, 17-20.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
159
dengan Ny Nafiqah. Dalam masa kepemimpinan Pak Ud, pola kepengasuhan
kolektif mulai dikenalkan. Pada awal kepemimpinannya, Pak Ud berbagi tugas
dengan Kiai Idris.
Kebijakan yang bersifat manajerial dan administratif menjadi
tanggungjawab Pak Ud, sedang pembinaan santri khususnya dalam pengajaran
kitab klasik, menjadi tanggungjawab Kiai Idris. Setelah Kiai Idris menetap di
Mekah, posisinya digantikan Kiai Syamsuri yang sekaligus menduduki jabatan
wakil pengasuh bersama Kiai Hadzik Mahbub.
Selain ada wakil pengasuh, kepemimpinan Pak Ud juga diperkuat oleh
Dewan Kiai, yang diketuai Kiai Adlan Ali dengan beberapa anggota Kiai sepuh
Tebuireng, antara lain : Kiai Mahfudz Anwar dan Kiai Yusuf Masyhar. Tugas
Dewan Kiai ini, memberikan nasehat dan pertimbangan untuk kemaslahatan
pondok pesantren. Sedang untuk membantu operasional pelaksanaan kegiatan
harian, dibentuk lembaga kepengurusan pondok pesantren yang diberi nama
Majelis al Tarbiyah wa al Ta’lim, dan kemudian berubah menjadi Badan Pembina
Santri (BPS) dengan keanggotaan terdiri dari para guru dan santri senior.20
Selama 41 tahun, KH. Muhammad Yusuf Hasyim memimpin Pesantren
Tebuireng (1965-2006), banyak trobosan yang dilakukannya. Pada tahun 1967, di
Pesantren Tebuireng didirikan Universitas Hasyim Asy’ari dengan tiga fakuktas;
Syari’ah, Dakwah, dan Tarbiyah, yang kemudian berubah nama menjadi Institut
Keislaman Hasyim Asy’ari (IKAHA). Pada tahun 1971 didirikan Madrasatul
Huffazh yang diperuntukkan untuk para santri yang beminat menghafal al-Qur an.
Dalam perkembangannya, Madrasatul Huffazh – pada saat penelitian ini
20 Ibid, 21-22.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
160
dilakukan - telah berubah menjadi Pondok Pesantren Madrasatul Qur an. Pada
tahun 1972 didirikan Sekolah Persiapan Tsanawiyah dengan masa pendidikan dua
tahun. Sekolah ini diperuntukkan bagi santri baru lulusan SD, yang belum
memiliki dasar untuk mengikuti pembelajaran kitab klasik. Selanjutnya pada
tahun 1975, atas inisiatif Gus Dur – keponakan Pak UD - di Pesantren Tebuireng
didirikan SMP dan SMA, dengan kurikulum campuran antara kurikulum nasional
dan kurikulum pesantren.
Berbagai inovasi lainnya banyak dilakukan di masa kepemimpinan Pak
Ud, termasuk mendirikan Pondok Putri (2003), untuk memfasilitasi murid-murid
putri yang sebelumnya bertebaran di pondok-pondok putri sekitar Tebuireng.
Menjelang mengundurkan diri dari jabatan sebagai pengasuh, Pak Ud menggagas
untuk mendirikan Ma’had Aly yang konsen dalam pengembangan ilmu-ilmu
keislaman klasik dan kontemporer.21
Sebelum Pak Ud meninggal dunia, posisi pengasuh diserahkan kepada
keponakannya; yaitu KH. Shalahuddin Wahid (Gus Sholah). Dalam masa
kepemimpinan Gus Sholah (2006-sekarang), pendidikan warisan Pak Ud,
dilanjutkan dengan disertai langkah-langkah revitalisasi, baik dalam manajemen
maupun kurikulum. Sejak awal tahun 2007, semua unit pendidikan formal
menerapkan full day school. Pengangkatan pimpinan lembaga formal, dilakukan
melalui fit and proper test. Melembagakan Madrasah Diniyah dengan sistem
klasikal, dan kelas takhassus. Mendirikan perguruan tinggi Ma’had Aly dan
mendirikan kembali Madrasah Mu’allimin.
21 Ibid, 22-28.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
161
Penguatan lembaga pendidikan keagamaan, bertujuan di samping
melestarikan pengajian kitab klasik dengan sistem bandongan yang diasuh oleh
beberapa Kiai dan Ustad, sekaligus merupakan langkah revitalisasi pembelajaran
kitab klasik. Langkah revitalisasi pebelajaran kitab klasik tersebut, agar khit{t{ah
ma’hadiyah tetap menjadi corak pendidikan pesantren, tidak terreduksi oleh
hadirnya lembaga pendidikan persekolahan, yang orientasinya lebih pada
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.22
Pembacaan Zuhairi Misrawi, ada dua hal penting yang menjadi konstribusi
Pesantren Tebuireng dalam pengembangan pendidikan Islam di Indonesia23,
Pertama, Pesantren Tebuireng mewariskan urgensi kitab klasik, sebagai basis
pendasaran dan penempaan wawasan keagamaan. Kitab klasik atau kitab kuning,
merupakan kitab tentang kehidupan, baik yang berkaitan dengan ubudiyah
maupun amal sosial, bukan kitab yang mengajarkan kekerasan dan terorisme.
Melalui tradisi kitab kuning, kiai membangun solidoritas keumatan, bukan untuk
merebut kekuasaan. Kiai Hasyim selalu berpesan kepada santri yang telah
menyelesaikan studinya, “Pulanglah ke kampungmu, mengajarlah di sana,
minimal mengajar ngaji”.
Kedua, Pesantren Tebuireng menginspirasi inklusifitas pendidikan
pesantren dalam menerima perubahan, tetapi tetap kokoh mempertahankan
khit{t{ah ma’hadiyah{. Sehingga para santri tidak hanya memiliki keluasan di
bidang ilmu keagamaan, melainkan juga memiliki dasar ilmu pengetahuan sosial,
ilmu pasti, dan bahasa asing, serta berbagai keterampilan hidup, yang dapat
mengantarkan alumni pesantren, eksis di segala medan dan keadaan.
22 Ibid. 23 Zuhairi Misrawi, Hadaratussyaikh, 69-71
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
162
Transformasi sistem pendidikan di Pesantren Tebuireng, dengan berbagai inovasi
yang dilakukan sepanjang sejarahnya, ibarat menggali kanal antara
tradisionalisme dan modernisme.
Tradisi pendidikan pesantren sebagai lembaga pendidikan agama Islam
yang menjadikan kitab klasik sebagai rujukan utama dengan sistem pembelajaran
bandongan dan sorogan, serta sebagai lembaga penjaga doktrin-doktrin Islam
tradisional, tidak tergantikan dengan hadirnya materi pelajaran umum, dan sistem
klasikal dari madrasah dan sekolah yang dikembangkannya sejak masa-masa
pertumbuhan. Inovasi yang dilakukan Pesantren Tebuireng lebih pada
managemen pendidikan dan perluasan kurikulum dalam upaya meningkatkan
relevansinya.24
Reformasi krusial terjadi di Pesantren Tebuireng, saat managemen
pesantren menerapkan perkuliahan bersama antara Mahasiswa dan Mahasiswi.
Protes keras datang dari para Kiai, karena dipandang bukan hanya bertentangan
dengan tradisi pesantren, melainkan merupakan pelanggaran syari’ah. Menyikapi
protes keras para kiai yang datang ke Tebuireng, KH. Muhammad Yusuf Hasyim
selaku pimpinan pesantren menjawabnya dengan lugas, bahwa perkuliahan
bersama di Tebuireng tidak dimaksudkan untuk membolehkan Mahasiswa-
Mahasiswi bergaul bebas, tetapi dengan menyadari bahwa masyarakat tidak
memisahkan dalam pergaulan kehidupan sehari-hari antara pria dan wanita, maka
tidak bijaksana bila mereka dipisahkan dalam sistem pendidikannya. Untuk tujuan
membina dan membimbing agar tidak melakukan pergaulan bebas dalam relasi
24 Zamakhsyari Dhofir, Tradisi Pesantren, 196-197.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
163
pria dan wanita, maka dipandang perlu untuk mengarahkan intraksi mereka pada
tujuan-tujuan yang baik dan berguna. 25
Pada era revitalisasi Pesantren Tebuireng di bawah kepemimpinan Gus
Sholah, beberapa langkah ikhtiari dilakukan mulai dari peningkatan mutu
pendidikan, peremajaan sarana fisik, dan pembenahan struktur serta manajemen
organisasi. Langkah awal yang dilakukan Gus Sholah dalam langkah
revitalisasinya, menggandeng seluruh keluarga besar bani Hasyim Asy’ari untuk
ikut serta dalam membangun Pesantren Tebuireng, sebagai warisan perjuangan
KH. Muhammad Hasyim Asy’ari dalam melakukan pencerahan umat, baik dalam
kehidupan keagamaan maupun sosial kemasyarakatan. Anggota keluarga bani
Hasyim yang telah menyebar di berbagai pelosok tanah air dengan berbagai
latarbelakang profesinya, dirajut dalam forum silaturrahim yang dilaksanakan
secara berkala, dan dalam forum tersebut selain berupaya mempertemukan
anggota keluarga dari beberapa generasi, yang terpenting curah pendapat dan urun
rembuk serta komitmen untuk ikut serta dalam membangun Pesantren Tebuireng.
Keikutsertaan itu bisa berwujud pemikiran, bantuan pendanaan, dan bantuan
tenaga teknis sesuai dengan kapasitas, kompetensi, keminatan, dan kondisi
masing-masing.26
Gus Sholah dalam memimpin Pesantren Tebuireng, memantapkan pola
rasional-menejerial yang telah diterapkan sejak kepemimpinan Pak Ud. Dalam
langkah pengembangan Pesantren Tebuireng, selain melakukan konsolidasi
dengan keluarga bani Hasyim, langkah awal juga dilakukan dengan melakukan
kajian masalah, mendiagnosa penyakit atau kendala yang dihadapi di masing-
25 Ibid, 200-201. 26 A Mubarok Yasin, Fathurrahman, Karyadi, Profil Pesantren, 115-117
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
164
masing unit dengan melaksanakan pertemuan berkala seluruh komponen yang ada
dibawah naungan Yayasan Hasyim Asy’ari. Langkah berikutnya melakukan
penguatan SDM dengan mengadakan pelatihan bagi para guru dengan
mendatangkan konsultan pendidikan Konsorsium Pendidikan Islam (KPI) dan
dosen-dosen Universitas Negeri Surabaya (UNESA).27
Upaya meningkatkan pelayanan sosial baik kepada warga pesantren,
maupun masyarakat sekitar, Gus Sholah mendirikan Lembaga Sosial Pesantren
Tebuireng (LSPT) yang diberi tugas untuk secara aktif memberikan bantuan sosial
kepada masyarakat tanpa melihat latarbelakangnya. Selain itu, Gus Sholah juga
menghidupkan kembali penerbitan majalah Tebuireng, mendirikan unit penerbit
Pustaka Tebuireng, membentuk Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan, dan
meningkatkan kinerja kesekretariatan pesantren sebagai pusat pengelolaan
administrasi dan menejemen pesantren.28
3. Nilai-Nilai Dasar Kepesantrenan
Nilai-nilai yang dikembangkan di pesantren Tebuireng merupakan falsafah
kehidupan baik yang digali dari agama, maupun budaya masyarakat yang
mendasari dan membentuk kepribadian santri secara integral. Nilai-nilai tersebut
dapat dikatagorikan menjadi dua : Pertama, nilai-nilai esensial, dan Kedua, nilai
instrumental.29
Nilai esensial yang dikembangkan di pesantren Tebuireng, meliputi :
a. Al-Jiha<d (perjuangan)
Jihad, merupakan nilai utama yang ditanamkan Kiai Hasyim dalam
pembinaan santri Tebuireng. Kiai Hasyim mendirikan Pesantren di Tebuireng, 27 Ibid, 109-110. 28 Ibid, 111. 29 Mardiyah, Kepemimpinan Kiai, 350.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
165
merupakan bagian dari jihadnya dalam memperjuangkan pembumian ajaran
Islam, mencerahkan kehidupan masyarakat, dan sekaligus melindungi masyarakat
dari kez{aliman. Sikap pantang menyerah Kiai Hasyim dalam merintis dan
mengembangkan Pesantren Tebuireng, walaupun memperoleh tantangan dari
masyarakat sekitar, bahkan juga mendapat tekanan dari pemerintah kolonial
Belanda dan Jepang, merupakan hiden curiculum dalam penanaman nilai jihad
kepada para santri.
Bagi Kiai Hasyim berjihad tidak selamanya menggunakan senjata di
medan perang, jihad bisa dilakukan dengan memerangi kebodohan, rasa malas,
dan berbagai penyakit hati dalam dirinya sendiri. Jihad bisa pula diwujudkan
dengan menginfaqkan harta bendanya di jalan Allah, dan jihad dengan fisik bisa
dilakukan melalui perang opini, perang informasi, dan perang budaya. Jihad
dalam konteks qita<l (peperangan fisik dengan melakukan pembunuhan), hanya
bisa dilakukan dalam keadaan yang diijinkan agama, baik dalam kepentingan
melindungi keselamatan diri dan harta dari serangan musuh, maupun dalam
kepentingan melindungi kebebasan umat menjalankan ajaran agama.30
b. Al-Ittih{ad (persatuan)
Kiai Hasyim dapat dikatakan sebagai Ulama inklusif yang memandang
perbedaan sebagai keniscayaan, dan tidak perlu dijadikan sebagai titik
persinggungan yang menimbulkan reaksi keras, sehingga mengakibatkan
permusuhan dan kehidupan yang bercerai berai. Bagi Kiai Hasyim, persatuan
digalang tidak hanya di kalangan internal pesantren, bahkan bukan hanya di
kalangan muslim tradisionalis, Kiai Hasyim juga merajut persatuan dengan
30 Ibid, 350-354.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
166
muslim modernis, dengan mengajak seluruh komponen umat Islam untuk bersatu,
mengesampingkan perbedaan-perbedaan paham keagamaan, dan mengakhiri sikap
fanatisme golongan.
Kiai Hasyim menyerukan kepada seluruh komponen umat Islam, untuk
menyadari bahwa dalam perbedaan-perbedaan yang terjadi, tetap menyatu dalam
Allah sebagai Tuhan bersama, Muhammad sebagai Nabi dan utusan Allah yang
menjadi rahmat untuk semuanya, menyatu pula dalam al-Qur an dan al-Sunnah
sebagai sumber dari semua sumber rujukan, apalagi sama-sama bertempat di bumi
nusantara. Berdirinya MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) yang anggotanya
terdiri dari tiga belas ormas Islam, merupakan bagian dari kontribusi Kiai Hasyim
dalam menggali kanal perbedaan antar kelompok-kelompok Islam yang ada di
Indonesia, dan menjadi bukti komitmen Kiai Hasyim terhadap nilai persatuan.31
c. Al-Tasa<muh (toleransi)
Nilai toleransi di Tebuireng sudah ditanamkan dan dikembangkan sejak
masa Kiai Hasyim Asy’ari, keberadaan Pesantren Tebuireng yang berada di
sekitar pabrik gula Cukir, membawa konsekwensi terjadinya interaksi sosial
keluarga Pesantren, dengan keluarga Administratur pabrik gula yang
latarbelakang budaya, bahkan agamanya berbeda. Sejak awal pula Kiai Hasyim
telah mengenalkan metode musyawarah dalam pembelajaran, hal ini tidak hanya
memiliki makna demokratisasi, melainkan juga sebagai bentuk penanaman nilai
toleransi, yaitu kesediaan menerima perbedaan pendapat dan menghargainya.
Diantara sesama umat Islam, menyikapi perbedaan pandangan dalam
hukum Islam, Kiai Hasyim menunjukkan sikap toleran. Misalnya dalam kasus
31 Ibid, 355-357.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
167
bedug, walaupun Kiai Hasyim memandang bahwa hukum bedug itu mubah
(boleh), tetapi ketika ada Kiai yang mengharamkan bedug akan bertamu ke
Tebuireng, Kiai Hasyim memerintahkan santri untuk menyembunyikan bedug
yang ada di Mesjid.
Bagi Kiai Hasyim, adanya perkumpulan, persatuan, kebersamaan dan
kasih sayang, merupakan keniscayaan dalam membangun toleransi di antara
sesama ummat. Toleransi dipandang sebagai nilai paling fundamental dalam
membangun tatanan kehidupan yang damai di tengah-tengah masyarakat yang
plural.32
Nilai toleransi semakin berkembang di Tebuireng, terutama setelah Gus
Dur – Kiai Abdurrahman Wahid – menunjukkan sikap inklusif dan pluralisnya di
ranah publik. Interaksi sosial Gus Dur yang tidak mengenal sekat, pendekatan Gus
Dur dalam penyelesaian masalah-masalah kemanusiaan, melalui komunikasi
lintas kultur, dan lintas agama, menginspirasi warga Pesantren Tebuireng. untuk
meneguhkan sikap membuka diri terhadap siapapun tanpa melihat latarbelakang
budaya bahkan agamanya, dengan sikap menerima dan menghargai perbedaan
sebagai keniscayaan dalam kehidupan sosial.
d. Al-I’tima<d ala< al-Nafsi (kemandirian)
Jiwa kemandirian, merupakan cirri umum dari pendidikan pesantren. Sejak
pesantren didirikan oleh Kiai dan keluarganya atau Kiai bersama-sama
masyarakat, warga pesantren mengambil sikap independen, tidak terikat kepada
siapapun dan tidak menggantungkan kehidupannya kepada pihak lain, termasuk
pemerintah.
32 Zuhairi Misrawi, Hadaratussyaikh Hasyim Asy’ari, Moderasi, Keumatan, dan Kebangsaan, (Jakarta : Penerbit Buku Kompas, 2013), 257-258
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
168
Pondok Pesantren Tebuireng, walaupun setelah delapan tahun dari awal
brdirinya, telah mendapat pengakuan dari Pemerintah Kolonial Belanda, bukan
berarti Pesantren Tebuireng sejak itu ada pada posisi sebagai lembaga pendidikan
yang diseponsori Pemerintah Kolonial. Sikap Pesantren Tebuireng tetap non-
koperasi, bahkan menolak tawaran subsidi dari pemerintah (Belanda), sehingga
kepercayaan masyarakat terhadap pesantren semakin kuat.33
Jiwa kemandirian terpancar pula dari pribadi Kiai Hasyim, sebagai seorang
Kiai beliau juga berprofesi sebagai petani dan pedagang. Hari Selasa dan Jum’at
kegiatan pengajian di pesantren diliburkan, pada waktu itulah beliau pergunakan
untuk kepentingan mengurus usaha pertanian dan perdagangannya.34
e. Al-Ikhla<s{ (ketulusan).
Nilai keikhlasan, merupakan nilai yang fundamental dalam pendidikan
pesantren, karena keikhlasan merupakan salah satu indikator kesungguhan dalam
penghambaan diri pada Allah. Pesantren sebagai lembaga pendidikan agama,
memiliki tugas dan tanggungjawab dalam menanamkan nilai ikhlas kedalam jiwa
para santri, sehingga menjadi bagian dari karakter luhur yang dimilikinya.
Jiwa keikhlasan, tidak mudah untuk diukur karena terkait dengan niat dan
tujuan dalam melaksanakan segala bentuk aktifitas, dan tidak sekedar diucapkan
tapi ada dalam hatinya, namun dapat dilihat dari gejala yang muncul dalam
tindakan. Dalam pendidikan pesantren, jiwa keikhlasan dapat dilihat dari
komitmen warga pesantren, dalam menjalani kehidupan di pesantren. Kiai
memiliki komitmen dan konsistensi dalam mendidik para santri, walaupun para
33 Mardiyah, Kepemimpinan Kiai, 360 34 Ibid, 360-361
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
169
kiai tidak mendapatkan imbalan apapun, baik dari santri, wali santri,
kelembagaan, maupun dari pemerintah.
Walaupun kiai bisa mendapatkan sesuatu (uang, barang, atau jasa) dari
walisantri, alumni, dan simpatisan, yang diberikan saat datang bertamu pada kiai,
tapi kalau diukur dari jerih payah mengelola pesantren, apa yang diterima tidak
sebanding dengan apa yang diberikan. Kiai Hasyim bukan saja banyak berkorban
untuk pengelolaan Pesantren Tebuireng, bahkan beliau terbiasa menyerahkan
sebagaian penghasilan pertanian dan perdagangannya, kepada siapapun yang
beliau temui di jalan, kepada para tetangga, dan kepentingan organisasi yang
digelutinya.35
f. Uswah H{asanah (ketauladanan)
Karakter luhur yang ditunjukkan Kiai Hasyim dalam kehidupan sehari-
hari, merupakan bentuk uswah hasanah kepada santri dan masyarakat. Nilai atau
ajaran agama, tidak hanya diucapkan, tapi dipraktekkan dalam kehidupan beliau,
sehingga santri dan masyarakat, dapat dengan mudah mencerna dan menghayati
nilai-nilai yang diajarkan beliau.
Ketauladanan Kiai Hasyim dalam penerapan nilai-nilai luhur dalam
kehidupan, seperti memberikan perhatian kepada setiap tamu yang datang apapun
latarbelakngnya, mengutamakan kepentingan masyarakat dari kepentingan dirinya
sendiri, kerendahan hati, kesederhanaan, dan sikap populisnya, membawa sosok
Kiai Hasyim semakin memperoleh apresiasi dari masyarakat, diakui sebagai orang
yang dipercaya (ama<nah), sebagai pemimpin bukan hanya dalam bidang
keagamaan, tapi pemimpin masyarakat yang disegani, bahkan diakui sebagai
35 Ibid, 361-362
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
170
orang tua masyarakat, yang dapat dijadikan tempat bertanya dan mengadukan
masalah-masalah yang dihadapi masyarakat.36
Sedangkan nilai-nilai instrumental, yang dikembangkan di Pesantren
Tebuireng, meliputi : wisdom (kebijaksanaan), bebas terpimpin, kolektivitas,
relasi kiai-santri-masyarakat, etos belajar, dan kesederhanaan.37 Dari berbagai
nilai dasar yang tercermin dalam pola kehidupan warga pesantren Tebuireng, pada
saat penelitian ini dilaksanakan telah dirumuskan dan menjadi nilai dasar yang
dijadikan prinsip dalam pendidikan pesantren, dan diinternalisasi dalam proses
pembentukan karakter santri. Nilai-nilai dasar yang ditetapkan dalam
kepemimpinan Gus Sholah ini, meliputi : 1) Ikhlas, 2) Jujur, 3) Kerja Keras, 4)
Tanggung Jawab, dan 5) Tasa<muh (Toleransi, Pen).38 Pada saat penelitian ini
dilakukan (2015), lima nilai dasar yang dirumuskan dalam kepemimpinan Gus
Salah tersebut, masih dalam proses perumusan strategi pengembangannya dalam
pendidikan pesantren.
B. Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton
1. Sejarah Berdiri dan Dinamikanya
Pondok Pesantren Nurul Jadid, didirikan oleh KH. Zaini Mun’im, yang
sebelumnya telah mengasuh Pondok Pesantren warisan ayahnya di Galis
Pamekasan Madura. Pada awal kedatangannya di Tanjung (sekarang Desa
Karanganyar) sekitar tahun 1948, Kiai Zaini sebenarnya tidak bermaksud
mendirikan pesantren, melainkan sekedar mengisolasi diri dari kekejaman tentara
Belanda yang kembali lagi masuk Indonesia pada masa kemerdekaan. Setelah
36 Ibid, 362-363 37 Ibid, 350. 38 Dokumen Lembaga Kendali Mutu Pendidikan Pesantren Tebuireng, Jombang, 20 Pebruari 2015
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
171
terdesak oleh kekuatan musuh yang menerapkan gerakan bumi hangus, Kiai Zaini
terpaksa meninggalkan Madura menuju daerah Asembagus Situbondo melalui
jalur laut. Di Asembagus Kiai Zaini menetap di Pondok Pesantren Salafiyah
Syafi’iyah Sukorjo yang diasuh KH. Syamsul Arifin. Kemudian dari Asembagus
melanjutkan perjalanannya untuk bergabung dengan teman-teman seperjuangan
yang berada di pedalaman Yogyakarta, namun setelah singgah di daerah
Kraksaan, Kiai Zaini mendapatkan tawaran beberapa lahan untuk ditempatinya.
Dan setelah dikonsultasikan pada KH. Syamsul Arifin Sukorejo Asembagus,
disarankan untuk menetap di Tanjung Paiton.39
Desa Tanjung (sekarang Karanganyar), yang ada di wilayah Kecamatan
Paiton, Kabupaten Probolinggo, pada awalnya merupakan daerah yang tanahnya
tidak produktif dan masyarakatnya terbelakang. Kepercayaan animisme dan
dinamisme, menjadi keyakinan dalam hidupnya, prilaku patologis seperti
perampokan, perjudian, dan prostitusi, kental dalam kehidupan masyarakat.40
Setelah menetap dalam beberapa waktu yang tidak lama, Kiai Zaini
mendapatkan amanah dua orang santri: yaitu Syaifuddin (dari Sidodadi Paiton)
dan Syafi’uddin (dari Gondosuli Kotaanyar ). Saat itu, mereka berdua hidup
tinggal bersama Kia Zaini, ditempatkan di surau kecil, selain berfungsi sebagai
tempat shalat, juga untuk ruang tamu, ruang mengajar, dan tempat tidur santri.
Kemudian, beberapa saat kemudian disusul oleh para santri lainnya, baik yang
berasal dari Madura, maupun yang berasal dari daerah sekitar kabupaten
39 Mastuki HS, M.Ag, M. Ishom El-Saha, M.Ag (Ed), Intelektualisme Pesantren, Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Keemasan Pesantren, (Jakarta: Diva Pustaka, 2003), 212-213 40 M. Masyhur Amin, M. Nasikh Ridlwan, KH. Zaini Mun’im, Pengabdian dan Karya Tulisnya, (Yogyakarta: LKPSM, 1996), 11-12
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
172
Probolinggo, dan dari beberapa Kabupaten tetangga, seperti Situbondo.41
Sehingga, para santri yang belajar kepada Kiai Zaini, semakin bertambah.
Bersama dengan keberadaan santri semakin bertambah, keberadaan Kiai
Zaini di Tanjung akhirnya terpantau oleh Belanda. Setelah kurang lebih dua bulan
menempati rumah dan surau yang telah dibangunnya, ujian pertama yang dihadapi
Kiai Zaini dan para santri, beliau ditangkap oleh Belanda dan dimasukkan ke
penjara probolinggo selama 4 bulan (12 Desember 1948-18 Maret 1949), dengan
tuduhan melanggar ketentuan pemerintah Belanda, karena keterlibatannya sebagai
Sabilillah Leider.42
Setelah keluar dari penjara, Kiai Zaini melanjutkan kegiatan mendidik para
santri yang terus semakin bertambah. Santri awal yang ikut berpengaruh terhadap
perkembangan Pondok Pesantren Nurul Jadid, adalah Kiai Muntaha yang
sebelumnya sebagai santri dan ustad dari Pondok Pesantren Bata-Bata Madura,
dan Kiai Sofyan yang semula sebagai santri di Pondok Pesantren Zainul Hasan
Genggong, yang diperintah oleh Kiai Hasan (Pengasuh Ponpes Zainul Hasan
Genggong), untuk menambah ilmu dan membantu Kiai Zaini Mun’im dalam
merintis Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton.
Kedua Kiai tersebut, datang ke Tanjung, pada saat Kiai Zaini bertugas
sebagai penasehat dan pimpinan rombongan jamaah haji Indonesia ke Mekah.
Beliau berdua ikut membina pengajaran kitab kepada para santri yang terus
berdatangan, bahkan kedua Kiai ini berinteraksi dengan masyarakat sekitar
melakukan fungsi sosial yang melekat dalam fungsi pesantren.43
41 Mastuki HS, M.Ag, M. Ishom El-Saha, M.Ag (Ed), Intelektualisme Pesantren, 214. 42 M. Masyhur Amin, M. Nasikh Ridlwan, KH. Zaini Mun’im, 15 43 Mastuki HS, M.Ag, M. Ishom El-Saha, M.Ag (Ed), Intelektualisme Pesantren, 213-214.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
173
Pengalaman KH Zaini Mun’im yang luas dalam dunia pesantren, baik
sebagai santri kelana dari berbagai pesantren di Madura, Jawa dan bahkan di Arab
Saudi44, maupun pengalamannya memimpin Pondok Pesantren Panggung Galis
Pamekasan sejak tahun 1934,45 menjadi modal utama KH Zaini Mun’im dalam
pengelolaan Pondok Pesantren Nurul Jadid, sehingga dalam kurun yang tidak
terlalu lama dapat berkembang secara pesat baik kuantitas santrinya maupun
kelembagaannya.
Sebagai sosok kiai yang amat mencintai ilmu pengetahuan, KH. Zaini
Mun’im tidak sekedar rajin mengajar kitab kepada para santri, melainkan beliau
juga produktif dalam menyusun kitab. Beberapa kitab yang berhasil disusun oleh
beliau adalah :
1) Tafsir al-Us{u<l fi< al-Ilmi al-Us{u<l. Kitab ini beliau tulis sebagai upaya memudahkan santri dalam memahami Qa’idah Us{u<liyyah dengan metode cepat dan praktis 2) Naz{am Safi<natu al-Najah, kitab ini ditulis pada tahun 1377 H/1956 M. sebagai penyempurnaan dari kitab-kitab Fiqh li al-Mubtadiin.
44 Beliau memperdalam Al-Qur’an beserta tajwidnya kepada KH. M. Kholil dan KH. Muntaha, (menantu Kiai Kholil) di Pondok Pesantren Kademangan Bangkalan Madura. Setelah itu, pada tahun 1922 beliau melanjutkan proses belajarnya ke Pondok Pesantren Banyuanyar Pamekasan yang diasuh oleh KH. R. Abdul Hamid dan puteranya KH. Abdul Madjid. Pada tahun 1925, beliau mulai merantau ke tanah Jawa dan mondok di Pesantren Sidogiri Pasuruan. Di Sidogiri beliau hanya belajar satu tahun, karena ayahnya meninggal dunia dan sebagai putera sulung harus pulang ke Madura mengantikan posisi ayahnya mengurus pertanian dan perdagangan, terutama pengoperasian pabrik sepatu dan pabrik koper yang telah diwariskan kepadanya. Di usia 22 tahun, beliau dapat mengendalikan dan mengembangkan usaha pertanian dan perdagangan yang diwariskan ayahnya. Hasil usahanya, beliau gunakan untuk menimba ilmu ke Pondok Pesantren Tebuireng Jombang yang diasuh oleh KH. Hasyim Asy'ari. Di pesantren ini, beliau mendalami ilmu agama dan ilmu bahasa Arab pada tingkatan yang lebih tinggi, baik kepada KH Hasyim Asy’ari, KH. Maksum (menantu Kiai Hasyim) maupun kepada KH. Wahid Hasyim (Putera Kiai Hasyim). Pada pertengahan tahun 1928 bersama dengan nenek, ibu dan adik kandungnya, beliau berangkat ke Makkah untuk melaksanakan ibadah haji dan terus menetap untuk menuntut ilmu. Beliau belajar di Makkah selama lima tahun. Para ulama yang menjadi guru beliau antara lain: KH. M. Baqir (berasal dari Yogyakarta), Syekh Umar Hamdan AI-Maghribi, Syekh Alwi Al-Maliki (Mufti Maliki di Makkah), Syekh Sa’id Al-Yamani (mufti Syafi’i di Makkah), Syekh Umar Bayunid (mufti Syafi’i di Makkah), Syekh Yahya Sangkurah (berasal dari Malaysia), dan Syekh Syarif Muhammad bin Ghulam As-Singkiti. Sebelum pulang ke tanah air, beliau sempat mukim di Madinah selama enam bulan. Di sini beliau mengikuti berbagai pengajian di Masdjid Nabawi dari beberapa ulama terkemuka saat itu, di antaranya Syekh lbrahim Al-Barry. Lihat : Ibid, 211 45 Ibid.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
174
3) Naz{am Shu’a<bi al-I<man. Naz{am sebanyk 313 bait, menjelaskan tentang Tauhid dan akhlaq. Belaiu memulai menulis kitab ini sejak tahun 1387 H/1966, dan pada tahun 1392 H/1972, diterjamahkan ke dalam bahasa Indonesia. Kitab ini merupakan rangkuman dari kitab Shu’a<bi al- I<man karya al-Imam al-Baihaqi. 4) Tafsir al-Qur’an bi al-Imla’. Kitab ini merupakan bahan acuan yang digunakan beliau dalam mengajar Fi< Kulliyati al-Tafsi<r.46
Kiai Zaini Mun’im, sebagai pendiri dan pengasuh pertama Pondok
Pesantren Nurul Jadid, memiliki kepribadian yang tidak sama dengan kebanyakan
Kiai lainnya yang kental dengan watak feodalistik. Kiai Zaini adalah sosok yang
santun dalam tutur kata, tidak keras sekalipun dalam menghadapi santrinya yang
nakal, selalu mengedepankan musyawarah dalam menyelesaikan setiap masalah
yang muncul.47 Sikap demokratis Kiai Zaini dalam memimpin pesantren –
sebagaimana disaksikan peneliti sebagai insider – tercermin dalam kebijakan
beliau yang terus dilanjutkan para penerusnya; yaitu diadakannya rapat berkala
dengan seluruh komponin pengurus pesantren, bahkan dalam setiap tahun
ditradisikan acara rapat wali santri dan alumni yang berfungsi sebagai wahana
evaluasi, kritik, dan penampungan aspirasi dalam pengembangan pesantren.
2. Dinamika Pendidikan.
Dalam upaya mengembangkan pendidikan bagi masyarakat, pada tahun
1950, Kiai Zaini mendirikan Madrasah Ibtidaiyah Agama (MIA), dan Taman
Kanak-Kanak Nurul Mukmin yang ditempatkan di luar pondok. Penempatan
lembaga pendidikan di luar pondok, sebagai layanan pendidikan pada masyarakat
sekitar, yang pada saat itu masih banyak yang enggan menyekolahkan anaknya ke
dalam pondok. Sementara di dalam pondok sendiri didirikan lembaga pendidikan
yang diberi nama Manhal al-Nashi’ah al-Isla<miyyah, dan sebagai sekolah
46 Ibid, 212 47 Mastuki HS, M.Ag, M. Ishom El-Saha, M.Ag (Ed), Entelektualisme Pesantren, 210.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
175
lanjutannya didirikan Flour Class. Kemudian pada tahun 1961 dua lembaga
tersebut diubah menjadi Madrasah Mu’allimin, dan pada tahun 1969, Madrasah
Mu’allimin diubah menjadi Madrasah Tsnawiyah dan Madrasah Aliyah yang
kemudian dinegerikan menjadi MTsAIN (sekarang MTsN) dan MAAIN
(sekarang MAN).
Pada tahun yang sama (1969), atas amanat Musyawarah Alim Ulama NU
Jawa Timur, di Pondok Pesantren Nurul Jadid didirikan Akademi Dakwah dan
Ilmu Pendidikan Nahdlatul Ulama (ADIPNU), yang kemudian berubah menjadi
Perguruan Tinggi Ilmu Dakwah (PTID) program sarjana muda. Semangat
melayani kebutuhan masyarakat dalam bidang pendidikan, tidak hanya
diwujudkan dalam bentuk madrasah yang lebih berorientasi pada pembelajaran
ilmu agama, Kiai Zaini Mun’im memiliki kepedulian pula dalam pembelajaran
ilmu pengetahuan dan teknologi yang ditandai dengan langkah mendirikan SMP
dan SMA Nurul Jadid pada tahun 1970. Kemudian pada tahun 1974, mendirikan
PGA (Pendidikan Guru Agama) 4 tahun. Setelah ada kebijakan pemerintah
tentang pengurangan sekolah keguruan, maka PGA diubah menjadi MTs Nurul
Jadid dan MA Nurul Jadid.48
Setelah Kiai Zaini Wafat pada tanggal 26 Juli 1976 M/29 Rajab 1396 H
dalam usia 70 tahun, kepemimpinan Pondok Pesantren Nurul Jadid dikendalikan
oleh KH. Muhamad Hasyim Zaini (Putra Sulungnya), sebagai pengasuh keua
yang pada saat itu juga menjabat sebagai Kepala Madrasah Aliyah Negeri (MAN)
Paiton.
48 Ibid 215-216. Lihat juga, KH. Hefni Razaq dkk (Tim Penyusun), Profil Pondok Pesantren Nurul Jadid, (Probolinggo, Humas Sekretariat Pondok Pesantren Nurul Jadid, t.th), 13-14.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
176
Dibawah kepemimpinan Kiai Hasyim yang dibantu oleh KH. A. Wahid
Zaini (pada saat itu masih aktif sebagai anggota DPRD Tk 1 Jatim dari fraksi
PPP), KH. Hasan Abd Wafi (menantu KH. Zaini Mun’im/Suami Ny Hj. A’isyah
Zaini yang pada saat itu juga a ktif sebagai anggota DPRD Kabupaten
Probolinggo dari fraksi PPP), dan K. Faqih Zawawi (keponakan Kiai Zaini/putra
K. Zawawi Mun’im), usaha pengembangan pendidikan terus dilakukan, antara
lain mendirikan Madrasah Tah{ass{us{ al-Di<ni,< yaitu lembaga pendidikan
khusus keagamaan dengan sistem klasikal, dan membuka kelas khusus
pendalaman kitab salaf yang diasuh oleh KH. Hasan A. Wafi.
Dalam pengembangan lembaga pendidikan formal, pada tahun 1983
lembaga pendidikan tinggi yang ada – Perguruan Tinggi Ilmu Dakwah - dikuatkan
dengan didirikan Sekolah Tinggi Ilmu Syari’ah (STIS), sehingga pada saat itu ada
dua lembaga pendidikan tinggi di Pondok Pesantren Nurul Jadid; yaitu PTID
(Perguruan Tinggi Ilmu Dakwah) dan STIS.49
Untuk membekali santri memiliki keterampilan hidup, pada masa Kiai
Hasyim Zaini diadakan berbagai kegiatan kursus keterampilan sesuai dengan
minat santri, antara lain keterampilan jahit/tata busana, pertukangan,
perbengkelan, dan teknologi tepat guna, bekerjasama dengan berbagai NGO
seperti LP3ES, P3M, dan NGO lainnya.
Pada tahun 1984, KH. Muhamad Hasyim Zaini wafat dalam usia yang
relatif muda (45 tahun). Kepemimpinan Pondok Pesantren Nurul Jadid,
selanjutnya diteruskan oleh KH. A. Wahid Zaini. Dalam kepemimpinan Kiai A.
Wahid Zaini, beberapa langkah pengembangan pendidikan dilakukan, baik pada
49 Hefny Rozaq, Mahrus Syamwel (Ed), Riwayat Singkat Al Marhumin Pondok Pesantren Nurul Jadid, (Probolinggo: Sekretariat Pondok Pesantren Nurul Jadid, 2011), 21-22.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
177
lembaga pendidikan formal maupun non formal. Lembaga pendidikan khusus
keagamaan (Tah{ass{us{ al-Di<ni) yang didirikan pada masa kepemimpina Kiai
Hasyim, digantikan dengan sistem pengajian terpadu yang diselenggarakan di
masing-masing asrama santri sesuai dengan tingkat pendidikannya. Kemudian
pada tahun 1986 pendidikan keagamaan dalam sistem pengajian terpadu,
dilembagakan menjadi Madrasah Diniyah, dan seluruh santri wajib mengikuti
pendidikan Madrasah Diniyah.
Untuk penguatan santri dalam penguasaan ilmu, baik ilmu agama maupun
IPTEK, Kiai A. Wahid Zaini membuat trobosan baru, dengan menetapkan
standart minimal keimuan santri yang disesuaikan dengan varian lembaga
pendidikan yang ada. Untuk santri yang menempuh pendidikan MTs dan MA,
disamping mendalami ilmu-imu yang terkait dengan furu<d{u al-‘Ainiyyah juga
harus bisa membaca kitab minimal Fath{u al-Qari<b, sedangkan untuk santri
yang menempuh pedidikan di SMP dan SMA, dalam bidang keagamaan cukup
menguasai ilmu agama yang terkait dengan furu<d{u al-‘Ainiyyah, tanpa
kewajiban bisa membaca kitab, tapi harus menguasai di bidang MAFIKIB
(Matematika, Fisika, Kimia, dan Biologi).
Kiai A. Wahid Zaini juga memberi perhatian yang tinggi pula terhadap
peningkatan penguasaan santri dalam bidang bahasa Arab dan Inggris. Untuk
penguatan dalam bidang bahasa Arab dan Inggris ini, didirikan Lembaga
Pengembangan Bahasa Asing (LPBA). Para santri yang berminat dalam bidang
bahasa Arab dan Inggris, diasramakan tersendiri, dan dilakukan pembinaan secara
intens dengan penekanan pada kemampuan berbicara dengan dua bahasa tersebut.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
178
Begitu pula untuk membekali santri memiliki kemampuan dalam bidang
teknologi informatika, pada masa kepemimpinan Kiai Wahid Zaini, kegiatan
kursus keterampilan yang telah dirintis sejak masa Kiai Hasyim Zaini,
dikembangkan dengan membuka kursus computer. Dan berbagai kegiatan
pelatihan, terus dilakukan pengembangan varian keterampilan yang diajarkan,
yang dikelola melalui lembaga Biro Pengembangan Pesantren dan Masyarakat
(BP2M).
Dalam pengembangan lembaga pendidikan formal, Kiai A. Wahid Zaini
pada awal kepemimpinannya, melakukan penguatan lembaga pendidikan tinggi
dengan mendirikan Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT), sehingga kelembagaan
pendidikan tinggi di Pondok Pesantren Nurul Jadid berubah menjadi Institut
Agama Islam Nurul Jadid, dengan tiga fakultas yaitu : Dakwah, Syari’ah dan
Tarbiyah. Dan ada tahun 1992, didirikan Madrasah Aliyah Program Keagamaan
(MAPK), kemudian pada tahun 1999, kursus komputer yang dibuka pada awal
tahun 1990 an, dikembangkan menjadi Akademi Komputer Indonesia (AKOMI),
dan selanjutnya dikembangkan menjadi Sekolah Tinggi Teknologi (STT).50
Kapasitas ketokohan Kiai A. Wahid Zaini baik di tingkat regional, maupun
nasional51, berpengaruh pada inklusifitas Podok Pesantren Nurul Jadid dalam
membangun jaringan kerjasama dalam proyek-proyek kemanusiaan, di bidang
kesehatan, ekonomi, dan pendidikan, baik dengan lembaga pemerintah maupun
non pemerintah, baik dengan komunitas lintas paham keagamaan dalam Islam
maupun dengan komunitas lintas agama.
50 KH. Hefni Razaq dkk (Tim Penyusun), Profil Pondok Pesantren, 18-19. 51 Kiai Wahid Zaini disamping pernah menjadi anggota DPRD Jatim selama dua periode (1977-1987), Kiai Wahid juga aktif sebagai Pengurus NU baik di tingkat PC, PW, dan PB.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
179
Setelah Kiai A. Wahid Zaini wafat ditahun 2001, kepemimpinan Pondok
Pesantren Nurul Jadid dipercayakan kepada KH. M. Zuhri Zaini BA. Dan sejak
kepemimpinan Kiai Zuhri, dilakukan pembagian peran antara lembaga Pesantren
dengan Badan Hukum Yayasan. Kiai Zuhri sebagai pengasuh lebih diposisikan
sebagai penanggungjawab umum dari seluruh kegiatan kepesantrenan di luar
kegiatan lembaga formal. Untuk pengelolaan lembaga pendidikan formal ada
dalam kendali Badan Hukum Yayasan, yang pada saat itu ketua yayasan
dipercayakan kepada KH. Abdul Haq Zaini. Kiai Zuhri sebagai pengasuh, dalam
Badan Hukum Yayasan diposisikan sebagai pembina, sehingga kendali kebijakan
umum Yayasan juga tetap ada pada Kiai Zuhri.
Setelah KH. Abdul Haq Zaini wafat pada tahun 2009, dan Ketua Yayasan
dipercayakan kepada KH. Nurchotim Zaini, hubungan yayasan dengan pesantren
diatur kembali. Ketua Yayasan sekaligus menempati posisi sebagai Kepala
Pesantren, sehingga tidak hanya bertanggungjawab pengelolaan lembaga
pendidikan formal tapi sekaligus membantu tugas pengasuh dalam pelaksanaan
teknis kegiatan kepesantrenan secara umum. Kebijakan ini yang terus
dipertahankan sampai sekarang, dimana setelah KH Nurchotim Zaini wafat pada
tahun 2013 ketua yayasan dipercayakan kepada KH. Abdul Hamid Wahid.
Pada masa kepemimpinan Kiai Zuhri ini, upaya-upaya pengembangan
terus dilakukan baik secara institusional, managemen, kurikulum dan sarana
prasarana. Dalam pengembangan kelembagaan antara lain : mendirikan Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK), membuka jurusan bahasa (inggris dan mandarin) di
SMA, mendirikan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES), mendirikan
Program Pascasarjana (S2) Pendidikan Agama Islam, pembukaan prodi Ekonomi
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
180
Shari’ah, prodi Ilmu al-Qur an dan Tafsir, prodi Managemen Pendidikan Islam,
dan berbagai prodi lainnya sebagai langkah pengembangan IAI Nurul Jadid.52
Untuk menguatkan pencapaian standart minimal penguasaan santri dalam
bidang furu<d{u al-‘ainiyyah, di semua jenjang pendidikan diterapkan sistem
evaluasi standart kompetensi keagamaan, yang dievaluasi secara berkala oleh wali
pembina, dan dilakukan pembinaan baik di sekolah maupun di asrama. Program
keagamaan yang dikembangkan dalam kepemimpinan Kiai Zuhri, antara lain
rintisan program tah{fi<z{u al Qur an yang dibuka sejak masa kepemimpinan Kiai
Wahid Zaini, dikuatkan dengan pembentukan lembaga Pusat Pembinaan Ilmu al-
Qur an (PPIQ). Dalam pembinaan kemampuan membaca kita salaf, dibentuk unit
kegiatan santri Lembaga Pembinaan Baca Kitab, dan dalam penyiapan kader
fuqaha didirikan Pendidikan Tinggi Ma’had ‘Ali<.53
3. Nilai-Nilai Dasar Kepesantrenan
Pondok Pesantren Nurul Jadid yang memiliki visi “Terbentuknya manusia
yang beriman, bertaqwa, berakhlak al-karimah, berilmu, berwawasan luas,
berpandangan ke depan, cakap, terampil, mandiri, kreatif, memiliki etos kerja,
toleran, bertanggung jawab kepada masyarakat, serta berguna bagi agama bangsa
dan negara”.54 Pada dasarnya sama dengan pesantren pada umumnya, dalam
pengembangan nilai-nilai yang ditanamkan ke dalam jiwa santri; yaitu nilai-nilai
yang digali dari ajaran Islam dan kearifan lokal yang bersifat universal.
Namun demikian, pendiri dan pengasuh pertama Pondok Pesantren Nurul
Jadid, sejak awal telah merumuskan ideologi pesantren sebagai acuan dalam
52 H. Hefni Razaq (Sekretaris yayasan), wawancara, Paiton, 2 Maret 2015. 53 KH. Zuhri Zaini, Wawancara, Paiton, 20 Pebruari 2015. 54 KH. Hefni Razaq dkk (Tim Penyusun), Profil Pondok Pesantren, xviii,
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
181
pembinaan karakter santri dan pengembangan program pesantren, yaitu Trilogi
Satri dan Panca Kesadaran Santri.
a. Trilogi Santri 1) Al-Ihtima<m bi al-Furu<d{ al-‘Ainiyyah (Berkomitmen dalam menjalankan kewjiban-kewajiban individu yang mendasar) 2) Al-Ihtima<m bi tarki al-Kaba<ir (Berkmitmen dalam meninggalkan dosa-dosa besar) 3) Husnu al-adab ma’a Allahi wa ma’a al-khalqi (Berbudi luhur baik kepada Allah maupun kepada semua ciptaan Allah) b. Panca Kesadaran Santri 1) Kesadaran Beragama 2) Kesadaran Berilmu 3) Kesadaran Bermasyarakat 4) Kesadaran Berbangsa dan Bernegara. 5) Kesadaran Berorganisasi.55
Trilogi Santri merupakan fondasi dalam pengembangan kualitas
keberagamaan santri, baik dalam kaitan dengan Allah maupun dalam kaitan
dengan sesama manusia, bahkan dengan semua mahkluq Allah. Penetapan al-
furu<d{ul ‘ainiyyah{ dan tarki al-kaba<ir, merupakan standart minimal, yang
harus menjadi perhatian dan komimen santri dalam menjalankan kewajiban
agama, sehingga melalui komitmen tersebut, para santri diharapkan mampu terus
menyempurnakan amaliah keagamaannya.56
Panca Kesadaran Santri yang memposisikan kesadaran beragama,
menempati posisi kesadaran pertama, menjadikan kesadaran beragama sebagai
titik utama yang harus mendasari kehidupan santri agar seluruh aktifitasnya benar-
benar diletakkan di atas rel kehidupan yang ditunjukkan Allah. Kesadaran ini,
meliputi tiga aspek pokok dalam agama; yaitu aqidah, ibadah dan akhlaq, yang
55 Ibid, xiv-xv. Lihat juga : M. Rahwini Anwar, Sejarah Almarhum KH. Zaini Mun'im dan Pondok Pesantren Nurul Jadid (Paiton: Biro Umum, 1997), 34. 56 KH. Zuhri Zaini, wawancara, Paiton, 22 Januari 2015
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
182
tiga aspek tersebut dibangun diatas tiga landasan pokok; yaitu wawasan
keagamaan yang luas, tanggugjawab keagamaan yang tinggi, dan penghayatan
keagamaan yang mendalam.57
Kesadaran berilmu yang menjadi kesadaran kedua dalam Panca Kesadaran
Santri, merupakan sikap dasar santri yang senantiasa menempatkan ilmu sebagai
sesuatu yang urgen dalam kehidupannya, karena hidup tanpa ilmu akan tersesat.
Dalam pembinaan kesadaran berilmu, yang menjadi titik tekan dalam pembinaan
santri di Pondok Pesantren Nurul Jadid, adalah kesadarn berilmu yang dijiwai
oleh kesadaran beragama,. Karena itu penanaman ilmu, senantiasa dikaitkan
dengan pembinaan amaliahnya dalam menjalankan kewajiban-kewajiban pokok
dalam agama, termasuk kewajiban dalam menyebarkan ajaran agama sebagai
bentuk komitmen dalam meneruskan kerisalahan Nabi Muhammad SAW.
Dengan demikian pula, maka santri Pondok Pesantren Nurul Jadid, tidak hanya
diarahkan untuk menguasai ilmu-ilmu keagamaan, tetapi juga diarahkan untuk
menguasai berbagai ilmu pengetahuan yang menunjang dalam penyebaran agama,
baik ilmu-ilmu sosial maupun ilmu pengetahuan alam, dan teknologi.58
Kesadaran bermasyarakat yang diposisikan sebagai kesadaran ketiga
dalam Panca Kesadaran Santri, bertolak dari prinsip bahwa kehidupan
bermasyarakat merupakan kebutuhan pokok setiap manusia, karena sebagai
makhluk sosial manusia tidak bisa hidup sendiri, manusia yang satu
membutuhkan manusia yang lain. Melalui pembangunan kesadaran bermasyarakat
ini, diharapkan pondok pesantren dan seluruh santrinya tidak menjadi menara
gading yang jauh dari masyarakatnya, melainkan bisa menjadi menara air yang
57 KH. Hefni Razaq dkk (Tim Penyusun), Profil Pondok Pesantren, 24 58 Ibid, 26‐30.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
183
dapat memberikan banyak manfaat kepada masyarakat. Pesantren dan santri harus
menyatu dengan masyarakat, saling bergandeng tangan dalam pembangunan
agama dan pengembangan ilmu pengetahuan, sehingga terwujud masyarakat yang
religius dan tercerahkan dalam kehidupannya.59
Kebijakan Pondok Pesantren Nurul Jadid sejak pengasuh pertama sampai
sekarang, dalam memantapkan kesadaran bermasyarakat, mengharuskan setiap
kegiatan yang dilaksanakan organisasi daerah santri atau forum alumni di
masyarakat harus menggandeng organisasi masyarakat yang ada di daerahnya
masing-masing. Bahkan Kiai Zaini selalu menyatakan agar santri Nurul Jadid
tidak bersikap eksklusif, tidak boleh membangun fanatisme kelompok termasuk
fanatik kepada Pondok Pesantren Nurul Jadid, sehingga kegiatan para santri
melalui organisasi daerah, diarahkan pula tidak hanya menggandeng organisasi
kemasyarakatan yang ada di daerahnya, tapi juga menggandeng santri dan alumni
dari pesantren yang lain. Kebijakan Kiai Zaini sebagai pendiri dan pengasuh
pertama tersebut terus dijadikan acuan sampai sekarang.60
Kesadaran Berbangsa dan Bernegara yang diposisikan sebagai kesadaran
keempat dalam Panca Kesadaran Santri, dimaksudkan bahwa santri harus
memiliki pandangan, dan sikap atau wawasan, serta tanggungjawab dalam
pembangunan bangsa dan negara, sebagai bagian dari tugas keagamaan. Sikap
nasionalisme dan patriotisme, merupakan bagian penting dari jiwa kesantrian,
sebagai bentuk tanggungjawab terhadap kelangsungan hidup bangsa dan Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Pengalaman KH. Zini Mun’im yang terlibat
langsung dalam perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia, tentu ikut
59 Ibid, 31‐32. 60 KH. Zuhri Zaini, wawancara, Paiton, 22 Januari 2015
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
184
menginspirasi dalam perumusan kesadaran berbangsa dan bernegara, karena itu
pula beliau senantiasa menyampaikan bahwa satri Nurul Jadid harus menjadi
muslim aktif, harus berjuang di masyarakat untuk agama, bangsa dan negara,
sesuai dengan bakat dan keahlian serta profesinya masing-masing.61
Kiai Zaini dalam pengembangan nilai kebangsaan, antara lain dengan
mengembangkan sikap moderat dalam menghadapi realitas pluralitas ummat
Islam dan bangsa Indonesia. Bagi Kiai Zaini perbedaan itu suatu keniscayaan,
karena itu dalam pembangunan kehidupan berbangsa tidak perlu mempersoalkan
perbedaan-perbedaan yang ada, melainkan harus lebih diarahkan untuk mencari
titik temu atau persamaan-persamaannya, sehingga persatuan dan kesatuan bangsa
semakin kokoh.62
Kesadaran berorganisasi yang menempati pada posisi kesadaran kelima
dalam Panca Kesadaran Santri, memiliki makna bahwa dalam pengelolaan segala
sumber daya dalam pembangunan kualitas keberagamaan, pembangunan
pendidikan, dan berbagai aspek kehidupan dalam bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara, harus ditata dengan baik, sehingga tercapai keberhasilan yang efektif
dan efisien. Melalui kesadaran berorganisasi ini, diharapkan santri Nurul Jadid
akan selalu mengedepankan kepentingan dan tujuan bersama dalam setiap derap
langkahnya.63 Karena itu, dapat disaksikan dengan jelas, kehidupan organisasi di
Pondok Pesantren Nurul Jadid, sangat bergairah dan mendapat dukungan secara
kelembagaan, baik organisasi intra di semua tingkat lembaga pendidikan maupun
organisasi ekstra.
61 KH. Hefni Razaq dkk (Tim Penyusun), Profil Pondok Pesantren, 32-35. 62 M. Masyhur Amin, M Nasikh Ridwan, KH. Zaini Mun’im……., 73. 63 KH. Hefni Razaq dkk (Tim Penyusun), Profil Pondok Pesantren, 35-36.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
185
Disamping nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi pesantren tersebut,
berbagai nilai universal yang juga ditanamkan kepada santri antara lain :
kesederhanaan, kemandirian, keadilan, persaudaraan, persamaan, persatuan,
toleransi, moderat, demokrasi, dan amar ma’ruf nahi munkar.64
Proses penanaman nilai-nilai dasar kepesantrenan tersebut, secara kognisi
diawali dengan pengenalan nilai-nilai tersebut pada saat masa orientasi santri baru
(OSABAR), yang dilanjutkan dengan pendalaman pengetahuan nilai-nilai
tersebut, di masing-masing lembaga yang integral dalam berbagai mata
pelajaran/mata kuliah, khususnya mata pelajaran aswaja dan mata kuliah
kepesantrenan. Kekuatan utama dalam penanaman nilai tersebut, adalah
ketauladan para pembina, baik jajaran pengasuh, pengurus, pembina asrama, dan
para guru serta dosen. Kemudian dikokohkan melalui proses pembiasaan hidup
santri di atas nilai-nilai dasar tersebut. Peneguhan nilai-nilai tersebut, kembali
dilakukan secara terprogram, pada setiap santri mengakhiri masa studinya di
masing-masing tingkatan, dengan diadakan program orientasi santri kelas akhir
(Oskar), dengan harapan setelah para santri keluar dari pesantren Nurul Jadid,
dimanapun berada tetap mempertahankan nilai-nilai dasar kepesantrenan.65
Nilai-nilai yang dikembangkan dan ditanamkan pada santri di Pondok
Pesantren Nurul Jadid, selaras dengan kepribadian pendirinya – KH. Zaini
Mun’im – yang dalam pembacaan M. Mashur Amin dan M. Nasikh Ridwan, Kiai
Zaini memiliki sepuluh kepribadian utama; yaitu :
Pertama, Populis. Walaupun Kiai Zaini keturunan Kiai dan Bangsawan,
dengan kondisi ekonomi yang ada di atas rata-rata, Kiai Zaini tampil sebagai
64 KH. Zuhri Zaini, wawancara, Paiton, 22 Januari 2015 65 Ibid
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
186
sosok yang sederhana, dan bergaul dengan masyarakat umum tanpa membangun
sekat antara dirinya dan orang lain, bahkan gelar kebangsawanan sebagai raden
tidak pernah dilekatkan dengan namanya.66
Kedua, Cinta Ilmu. Sebagaimana digambarkan di muka, bahwa beliau
dapat dikatagorikan santri kelana yang masa mudanya dihabiskan untuk menggali
ilmu Allah dari pesantren ke pesantren, bahkan sampai ke tanah suci Mekah,
Dalam diskripsi penelitian M. Masyhur Amin dan M. Nasikh Ridwan dikisahkan
bahwa ketika beliau berguru pada Syekh Syarif Ahmad Bin Ghulam di Mekah,
beliau tidak hanya menimba ilmu dari gurunya, tapi sekaligus menjadi
pembantunya. Pada suatu ketika, di saat menimba air untuk mengisi bak air di
kamar mandi gurunya, tiba-tiba timba yang digunakan menimba air dari sumur
berisi emas. Beliau tidak mengambil emas tersebut bahkan memasukkan kembali
emas tersebut ke dalam sumur. Alasan beliau mengembalikan emas tersebut ke
dalam sumur, karena yang beliau inginkan ilmunya bukan emasnya.67
Ketiga, Jujur dan Ikhlas. Sejak Kiai Zaini masih muda saat mondok di
Tebuireng, beliau mendapat julukan dari KH.Hasyim Asy’ari Zaini al-Khalis{i.68
Pemberian julukan ini, tentu tidak lepas dari penilaian sang guru pada muridnya
yang dinilai memiliki jiwa keikhlasan tinggi. Begitu pula pada saat Kiai Zaini
berguru pada Syekh Syarif Ahmad bin Ghulam di Mekah, beliau sering diperintah
oleh gurunya untuk melakukan sesuatu, yang bagi kebanyakan orang dapat
menimbulkan rasa malu, seperti membuang kotoran binatang, mencari dan
memikul rumput untuk pakan binatang, dan berbagai pekerjaan di rumah sang
guru layaknya sebagai pembantu. Ini menunjukkan, bahwa penempaan jiwa 66 M. Masyhur Amin, M. Nasikh Ridwan, KH. Zaini Mun’im……, 32. 67 Ibid, 33-34. 68 Ibid, 34
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
187
keikhlasan, ketawad{uan dan berbagai akhlaq luhur telah ditempuh sejak masa
muda di tangan guru-gurunya.69
Keempat, Hidup sederhana. Kesederhanaan Kiai Zaini, tercermin dari
pakaian yang digunakan sendiri maupun pakaian yang dibeli untuk putra putrinya
dan keluarga yang lain. Beliau selalu berpakaian seperti layaknya masyarakat
umum, sehingga keberadaan beliau di tengah-tengah kumpulan masyarakat, tidak
mencolok bahkan banyak orang tidak menyangka kalau beliau adalah seorang
Kiai.70 Kesederhanaan Kiai Zaini, menjadi tauladan bagi putra-putrinya, dimana
dari pengamatan peneliti selama berada di Pondok Pesantren Nurul Jadid, pola
hidup putra-putrinya mencerminkan kehidupan yang sederhana, dari pakaian,
tempat tinggal, dan kendaraannya.
Kelima, Memulyakan dan menghormati orang lain. Walau Kiai Zaini
keturunan Bangsawan dan seorang Kiai yang diakui kedalaman ilmunya, beliau
selalu merendah dan menghormati siapapun baik kepada masyarakat awam, anak-
anak muda, lebih-lebih kepada orang yang dipandang memiliki kedalaman ilmu,
dan orang-orang yang lebih tua, serta kepada para tamu beliau walaupun tamu itu
wali santri.71
Keenam, Sabar dan tabah. Kiai Zaini juga dikenal sebagai sosok yang
sabar dalam menghadapi ujian yang menimpa dirinya, baik ketika beliau
dipenjarakan oleh Belanda pada masa perang kemerdekaan – pada saat baru
beberapa bulan menetap bersama beberapa orang santri di tanjung – maupun
ketika tembakau barang dagangan beliau, disita oleh Polisi dengan tuduhan
69 Ibid. 70 Ibid, 35. 71 Ibid, 35-36.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
188
menimbun tembakau tanpa ijin usaha, beliau menghadapinya dengan kesabaran
dan ketabahan.72
Ketujuh, Lentur. Dalam penerapan hukum di tengah-tengah masyarakat,
Kiai Zaini selalu menerapkan hukum sesuai dengan kondisi masyarakat.
Walaupun beliau sendiri menerapkan hukum Islam yang ketat, namun ketika
hukum tersebut berkaitan dengan masyarakat, penerapannya diarahkan pada
hukum yang lebih longgar. Seperti dalam kasus bunga Bank, walaupun dirinya
dengan tegas menyatakan haram dan tidak pernah berhubungan dengan pinjaman
dana bank, namun ketika masyarakat yang menanyakan hukum tersebut, beliau
menjawab bahwa hukum bunga bank ada tiga – sesuai keputusan NU – yaitu
haram, mubah dan makruh.73
Kedelapan, Gigih dan Pemberani. Kiai Zaini dikenal sebagai pejuang yang
gigih dan pemberani dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat, apalagi dalam
perjuangan amar ma’ruf nahi munkar. Ketika ada tindakan ketidak adilan terhadap
masyarakat, beliau turun tangan secara pribadi mendatangi pihak-pihak yang
terkait untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat, begitu pula ketika ada pihak-
pihak yang berupaya menghalangi pelaksanaan kegiatan kegamaan, beliau
mendatangi pihak yang menghalangi untuk meminta penjelasan, dan minta agar
masyarakat diberi kebebasan dalam menjalankan agama dan kegiatan
keagamaan.74
Kesembilan, Bercita-cita tinggi dalam keilmuan. Kiai Zaini yang dikenal
sebagai sosok yang mencintai ilmu, senantiasa mengarahkan masyarakat untuk
72 Ibid, 36-37. 73 Ibid, 37. 74 Ibid, 37-38.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
189
meningkatkan pengetahuannya terutama dalam ilmu keislaman.75 Beliau gigih
dalam penyebaran ilmu bukan hanya di pesantren, tapi juga di tengah-tengah
masyarakat. Ketika beliau menjadi Rais Syuriah NU di PC NU Kraksaan pada
tahun 1953, salah satu program beliau untuk membasmi kemungkaran dengan
program sullamisasi (meratakan pengajian kitab Sullam di tengah-tengah
masyarakat).76 Para santri di Pondok Pesantren Nurul Jadid, sejak masa
kepemimpinan beliau sebagai pendiri dan pengasuh pertama, diwajibkan
mengikuti pendidikan formal minimal lulus tingkat SLTA.77
Kesepuluh, Demokratis dan terbuka. Dalam pengelolaan pesantren, Kiai
Zaini sering menyampaikan prinsip dasar dipegangi dirinya bahwa, Pondok
Pesantren Nurul Jadid didirikan untuk ummat Islam, dan bukan milik pribadi
melainkan milik ummat Islam, karena itu siapapun yang akan memberikan
masukan dan berpartisipasi, sepanjang tidak menyimpang dari prinsip agama dan
tidak mengikat, akan diterima dan dipertimbangkan sebagai in-put dalam
pengembangan pesantren.
Salah satu sarana yang digunakan untuk menampung keterlibatan
masyarakat, adalah rapat umum walisantri dan alumni yang dilaksanakan
bersamaan dengan peringatan HARLAH pada setiap tahun. Dalam forum itulah,
para peserta rapat bebas menyampaikan kritikan, pandangan, usulan dan
pertimbangan dalam upaya pengembangan pendidikan di Pondok Pesantren Nurul
Jadid.78
75 Ibid, 38. 76 Ibid, 72. 77 Pada saat peneliti baru masuk Pondok Pesantren Nurul Jadid sebagai santri pada tahun 1975, Kiai Zaini marah kepada walisantri yang meminta izin anaknya untuk berhenti mondok untuk diikahkan pada saat anaknya baru duduk di kelas dua Aliyah. 78 M. Masyhur Amin, M. Nasikh R idwan, KH. Zaini Mun’im….., 39.