dampak pencabutan gigi

download dampak pencabutan gigi

of 9

Transcript of dampak pencabutan gigi

dampak pencabutan gigiassalamualikum,dokter.saya ingin tanya apakah benar mitos yang selama ini dipercaya masyarakat bahwa pencabutan gigi bagian atas bisa menyebabkan gangguan pada sistem penglihatan kita? misalnya mata minus.sekian pertanyaan dari saya.terimakasih. Jawab: Dear Fariz, wassalam mualaikum wr. wb. ........ Memang ada semacam mitos / anggapan pada sebagian kalangan masyarakat bahwa mencabut gigi (terutama yang atas) bisa menyebabkan kerusakan syaraf mata atau mata jadi buta. Sebetulnya hal ini hanya sebatas mitos saja karena secara ilmiah tidak terbukti. Yang pasti, bila gigi hendak dicabut harus mengikuti prosedur yang baku, seperti bila gigi sedang meradang atau infeksi, gigi harus disembuhkan dulu. Sebab bila tidak, pasca pencabutan gigi bisa terjadi bakteriaemia yaitu beredarnya bakteri ke seluruh tubuh karena di sekitar jaringan akar gigi memang sedang berkumpul banyak kuman. Pada saat pencabutan akan terjadi perdarahan, yang berarti ada pembuluh darah yang memang pecah. Karena pecahnya pembuluh darah, kuman yang ada di sekitar gigi akan bercampur dengan darah dan beredar ke seluruh tubuh. Bila hal ini terjadi, sangat berbahaya. Pada saat terjadinya peradangan atau infeki, pencabutan gigi juga bisa gagal, karena obat bius tidak bekerja, sehingga pada saat pencabutan, akan terjadi rasa sakit luar biasa. Ini yang biasanya membuat pencabutan gagal dan akhirnya menimbulkan trauma. Pada prosedur yang benar dan normal, pencabutan gigi tidak akan menimbulkan sakit karena sudah dilakukan pembiusan yang efektif. Sebelum pencabutan, pasien juga dianjurkan makan dulu, sebab bila tidak, ia bisa pusing sesaat setelah disuntik obat bius gigi. Secara singkat dapat dipastikan bahwa bila dilakukan sesuai prosedur baku, pencabutan gigi akan berlangsung aman dan nyaman. Bila ada orang yang karena cabut gigi matanya jadi berkurang daya penglihaannya, mungkin perlu ditelaah dulu apakah memang ini ada akitannya atau sekedar kebetulan (koinsidensi) saja ? Yang lebih ilmiah adalah yang disebut focal infection. Sudah sejak puluhan tahun lalu dikenal teori yang dikenal luas sebagai Teori Focal Infection. Secara singkat teori ini mengungkapkan bahwa gigi yang sudah busuk dan dibiarkan hadir di dalam mulut bisa menyebabkan peradangan-peradangan atau keluhan pada beberapa bagian tubuh lain seperti otot jantung, ginjal, artritis sendi, sakit kepala tak berkesudahan dan tak jelas sebabnya, keluhan pada mata dsb. Hal ini dikaitkan dengan adanya kuman dalam gigi yang sudah membusuk itu. Suatu waktu pernah seorang dokter gigi diminta dokter mata untuk memeriksa dan melakukan perawatan yang dibutuhkan pada seorang anak berusia 14 tahun yang ukuran kacamatanya berubah tajam dari ukuran 1,5 menjadi 3,5 dalam waktu singkat. Setelah diperiksa, ternyata dijumpai adanya beberapa gigi yang sudah busuk. Setelah gigi ini diobati dan akhirnya dicabut, ternyata ukuran kacamata anak ini kembali turun lagi. Ini salah satu contoh dan bukti terjadinya focal infection ini. Naun, perlu dikemukakan juga bahwa hal seperti ini tidak selalu otomatis terjadi karena gigi, jadi jangan mengkambing-hitamkan gigi begitu saja.

Salam hangat dari drg Susanti (bibiAGe) Semoga info ini bermanfaat ! Dokter, benarkah mencabut gigi atas dapat mengakibatkan kebutaan/ mengganggu saraf mata? terimakasih( perempuan, 29 thn,158 cm,50 Kg)

Sdri yang terhormat, Terima kasih atas pertanyaan Anda. Persyarafan yang mempersyarafi gigi geligi atas berbeda dengan yang mempersyarafi mata. Asalkan dokter gigi melakukan pencabutan sesuai dengan prosedur standar dari mulai anestesi (pembiusan) hingga pencabutan gigi, sangat kecil kemungkinannya terjadi efek samping yang membahayakan syaraf mata. Kemungkinan komplikasi yang cukup berat dan cukup umum terjadi adalah bila ujung akar gigi atas sangat dekat dengan dinding sinus, atau bahkan terletak dalam rongga sinus, sehingga beresiko terbukanya rongga sinus setelah pencabutan. Namun hal ini terjadi dengan presentasi yang kecil, dan dapat diantisipasi dengan pemeriksaan rontgen sebelum pencabutan. Demikian informasi yang dapat Saya sampaikan, semoga dapat membantu Anda. Drg. Martha Mozartha Pengasuh Rubrik Kesehatan Gigi dan Mulut Klikdokter.comcelah pada palatum atau langit-langit mulut (cleft palate),

(Temporomandibular Disorders)

Sendi rahang atau Temporomandibular Joint (TMJ) belum banyak dikenal orang awam, padahal bila sendi ini terganggu dapat memberi dampak yang cukup besar terhadap kualitas hidup. TMJ adalah sendi yang kompleks, yang dapat melakukan gerakan meluncur dan rotasi pada saat mandibula berfungsi. Mekanismenya unik karena sendi kiri dan kanan harus bergerak secara sinkron pada saat berfungsi. Tidak seperti sendi pada bagian tubuh lain seperti bahu, tangan atau kaki yang dapat berfungsi sendiri-sendiri. Gerakan yang terjadi secara simultan ini dapat terjadi bila otot-otot yang mengendalikannya dalam keadaan sehat dan berfungsi dengan baik. Istilah Temporomandibular Disorders (TMD) diusulkan oleh Bell pada tahun 1982, yang dapat diterima oleh banyak pakar. Gangguan sendi rahang atau TMD adalah sekumpulan gejala klinik yang melibatkan otot pengunyahan, sendi rahang, atau keduanya. Gejala-gejala TMDy y y

Gejalanya biasanya lebih dari satu, yaitu : Nyeri di sekitar sendi rahang Nyeri kepala

y y y

Gangguan pengunyahan Bunyi sendi ketika membuka/menutup mulut Terbatasnya buka mulut

dapat disertai atau tanpa rasa nyeri

Selain gejala diatas, mungkin juga terjadi gejala lain, seperti :y y y y

Nyeri otot terutama otot leher dan bahu Nyeri telinga Telinga berdengung Vertigo

TMD adalah kejadian yang kompleks dan disebabkan oleh banyak faktor. Perawatan TMD dapat mencapai keberhasilan bila faktor-faktor penyebab tersebut dapat dikenali dan dikendalikan. Untuk itu seorang dokter gigi harus melakukan anamnesa yang seksama untuk mencari penyebab utama terjadinya TMD, sebelum melakukan perawatan. Faktor-faktor etiologi TMJ 1. Kondisi oklusi. Dulu oklusi selalu dianggap sebagai penyebab utama terjadinya TMD, namun akhir-akhir ini banyak diperdebatkan 2. Trauma Trauma dapat dibagi menjadi dua :y

Macrotrauma : Trauma besar yang tiba-tiba dan mengakibatkan perubahan struktural, seperti pukulan pada wajah atau kecelakaan. Microtrauma : Trauma ringan tapi berulang dalam jangka waktu yang lama, seperti bruxism dan clenching. Kedua hal tersebut dapat menyebabkan microtrauma pada jaringan yang terlibat seperti gigi, sendi rahang, atau otot.

y

3. Stress emosional Keadaan sistemik yang dapat mempengaruhi fungsi pengunyahan adalah peningkatan stres emosional. Pusat emosi dari otak mempengaruhi fungsi otot. Hipotalamus, sistem retikula, dan sistem limbik adalah yang paling bertanggung jawab terhadap tingkat emosional individu. Stres sering memiliki peran yang sangat penting pada TMD. Stres adalah suatu tipe energi. Bila terjadi stres, energi yang timbul akan disalurkan ke seluruh tubuh. Pelepasan secara internal dapat mengakibatkan terjadinya gangguan psikotropik seperti hipertensi, asma, sakit jantung, dan/atau peningkatan tonus otot kepala dan leher. Dapat juga terjadi peningkatan aktivitas otot nonfungsional seperti bruxism atau clenching yang merupakan salah satu etiologi TMD.

4. Deep pain inputy

Aktivitas parafungsional

Aktivitas parafungsional adalah semua aktivitas di luar fungsi normal (seperti mengunyah, bicara, dan menelan), dan tidak mempunyai tujuan fungsional. Contohnya adalah bruxism, dan kebiasaan-kebiasaan lain seperti menggigit-gigit kuku, pensil, bibir, mengunyah satu sisi, tongue thrust, dan bertopang dagu. Aktivitas yang paling berat dan sering menimbulkan masalah adalah bruxism, termasuk clenching dan grinding. Beberapa literatur membedakan antara bruxism dan clenching. Bruxism adalah mengerat gigi atau grinding terutama pada malam hari, sedangkan clenching adalah mempertemukan gigi atas dan bawah dengan keras yang dapat dilakukan pada siang ataupun malam hari. Pasien yang melakukan clenching atau grinding pada saat tidur sering melaporkan adanya rasa nyeri pada sendi rahang dan kelelahan pada otot-otot wajah saat bangun tidur. Tanda dan gejala TMD dapat ditemukan pada semua tingkatan usia, dari anak-anak hingga lansia. Gejala TMD paling banyak diderita oleh populasi yang berusia antara 20-40 tahun, dengan jumlah penderita wanita lebih banyak daripada pria. Pada anak-anak bruxism bersifat self-limiting, yang ditunjukkan oleh suatu penelitian yang dilakukan pada 126 anak bruxism berusia 6-9 tahun di mana 5 tahun kemudian hanya 17 anak yang masih melakukan bruxism namun tanpa disertai keluhan TMD. Pada anak bruxism yang juga disertai keluhan nyeri kepala, perlu dilakukan pemeriksaan fungsi mastikasi dan TMD-nya untuk mengetahui apakah ada hubungan antara keduanya. Bila ternyata tidak ada hubungan, anak tersebut harus dirujuk ke spesialis lain. Sehubungan dengan adanya rasa nyeri, beberapa peneliti menemukan bahwa 70-85 % pasien TMD sering merasakan nyeri kepala dan 40 % melaporkan adanya nyeri wajah. Nyeri tersebut bertambah pada saat membuka dan menutup mulut. 50 % pasien TMD sering mengeluhkan nyeri telinga, namun pada saat diperiksa tidak ditemukan tanda infeksi. Bunyi sendi juga sering dilaporkan oleh pasien TMD ,tanpa atau disertai rasa nyeri. Pening (dizziness) juga dilaporkan oleh 40 % pasien, selain itu 33 % melaporkan telinga terasa penuh dan berdengung. Gejala-gejala tersebut lokasinya berada di daerah orofasial namun karena tidak berada dalam rongga mulut seperti sakit gigi, maka pasien tidak mencari pengobatan ke dokter gigi melainkan ke dokter umum atau spesialis lain seperti THT, neurologi, rehabilitasi medik maupun chiropractor. Nyeri kepala adalah masalah yang paling sering dijumpai. Nyeri kepala bukan suatu gangguan, namun suatu gejala yang disebabkan oleh gangguan tersebut. Jadi sebelum perawatan dilakukan, penyebab nyeri kepala harus diidentifikasi dahulu. Banyak penelitian yang dilakukan untuk mengetahui apakah nyeri kepala merupakan salah satu gejala TMD. Dari hasilnya didapati bahwa 70-85% pasien TMD menderita nyeri kepala, dan nyeri kepala rekuren lebih sering terjadi

pada pasien TMD. Salah seorang peneliti menyatakan bahwa gejala nyeri kepala dan leher berkurang setelah pasien mendapat perawatan untuk sendi rahangnya. Studi di Finlandia menemukan bahwa banyak pasien TMD mengalami overdiagnosis dan overtreatment karena tanda dan gejala TMD sering tidak betul-betul dipahami oleh para praktisi. Namun karena TMD banyak berhubungan dengan mastikasi, dokter gigilah yang merupakan tenaga medis pertama yang harus dapat mendiagnosa dan merawat pasien dengan tanda dan gejala TMD.awaban : Halo Waty, keponakan Anda menderita sumbing langit-langit (Cleft Palate). Sumbing langit-langit adalah terpisahnya (gagal bersatu) bagian langit-langit mulut. Kita biasa mengenal sumbing pada bagian oralfacial yaitu sumbing bibir, yang biasanya meliputi pemisahan struktur pada bibir dan diikuti juga pemisahan pada langit-langit, dan juga sumbing langit-langit (saja). Penderita sumbing langit-langit lebih jarang jika dibandingkan sumbing bibir, dengan kemunculan 1 di antara 2000 orang bayi, tersebar di semua ras, dan bayi perempuan lebih banyak mengalami sumbing langit-langit dibanding bayi laki-laki. Penyebab sumbing langit-langit ini tidak bisa diketahui dengan pasti. Ada yang karena pengaruh genetika (keturunan), dan bisa juga karena infeksi, penyakit saat hamil, ibu hamil yang merokok dan atau minum alkohol, dan kemungkinan juga kekurangan asam folat dapat berpengaruh pada terbentuknya sumbing ini. Pembentukan langit-langit akan terbentuk pada saat janin berusia 10 minggu, jadi artinya gangguan ini terjadi pada saat masa-masa awal kehamilan (trimester pertama). Sumbing ini dapat diperbaiki dengan jalan operasi. Waktu dan tipe operasinya tentunya bergantung pada beberapa faktor seperti jenis operasi yang dipilih, kondisi kesehatan bayi, dan juga bentuk sumbing itu sendiri. Perbaikan pada sumbing langit-langit, umumnya yang terpenting adalah pembentukan partisi (batas) antara hidung dan mulut, yang dilakukan sesegera mungkin, seringkali antara usia 9 sampai 18 bulan. Biasanya gangguan yang menyertai anak-anak dengan kondisi sumbing bibir atau langit-langit adalah gangguan makan seperti susu yang keluar dari hidung, persis seperti yang Anda ceritakan, atau sulit menghisap puting saat menyusu, dan juga sering tersedak, penyakit pada telinga bagian dalam, gangguan kemampuan bicara, dan juga gangguan pada gigi. Yang paling berbahaya adalah gangguan pada telinga bagian dalam, dimana sumbing tersebut dapat menyebabkan menumpuknya cairan di telinga bagian dalam, dan bisa menyebabkan kehilangan pendengaran ringan sampai dengan sedang. Semoga bisa memberikan sedikit pencerahan. Salam dari mediasehat!

PENATALAKSANAAN Penanganan kecacatan pada celah bibir dan celah langit-langit tidaklah sederhana, melibatkan berbagai unsur antara lain, ahli Bedah Plastik, ahli ortodonti, ahli THT untuk mencegah menangani timbulnya otitis media dan kontrol pendengaran, dan anestesiologis. Speech therapist untuk fungsi bicara. Setiap spesialisasi punya peran yang tidak tumpang-tindih tapi saling saling melengkapi dalam menangani penderita CLP secara paripurna. 16 1. Terapi Non-bedah Palatoschisis merupakan suatu masalah pembedahan, sehingga tidak ada terapi medis khusus untuk keadaan ini. Akan tetapi, komplikasi dari palatoschisis yakni permasalahan dari intake makanan, obstruksi jalan nafas, dan otitis media membutuhkan penanganan medis terlebih dahulu sebelum diperbaiki.3 Perawatan Umum Pada Cleft Palatum Pada periode neonatal beberapa hal yang ditekankan dalam pengobatan pada bayi dengan cleft palate yakni:

a. Intake makanan Intake makanan pada anak-anak dengan cleft palate biasanya mengalami kesulitan karena ketidakmampuan untuk menghisap, meskipun bayi tersebut dapat melakukan gerakan menghisap. Kemampuan menelan seharusnya tidak berpengaruh, nutrisi yang adekuat mungkin bisa diberikan bila susu dan makanan lunak jika lewat bagian posterior dari cavum oris. pada bayi yang masih disusui, sebaiknya susu diberikan melalui alat lain/ dot khusus yang tidak perlu dihisap oleh bayi, dimana ketika dibalik susu dapat memancar keluar sendiri dengan jumlah yang optimal artinya tidak terlalu besar sehingga membuat pasien menjadi tersedak atau terlalu kecil sehingga membuat asupan nutrisi menjadi tidak cukup. Botol susu dibuatkan lubang yang besar sehingga susu dapat mengalir ke dalam bagian belakang mulut dan mencegah regurgitasi ke hidung. Pada usia 1-2 minggu dapat dipasangkan obturator untuk menutup celah pada palatum, agar dapat menghisap susu, atau dengan sendok dengan posisi setengah duduk untuk mencegah susu melewati langit-langit yang terbelah atau memakai dot lubang kearah bawah ataupun dengan memakai dot yang memiliki selang yang panjang untuk mencegah aspirasi. (5) b. Pemeliharaan jalan nafas Pernafasan dapat menjadi masalah anak dengan cleft, terutama jika dagu dengan retroposisi (dagu pendek, mikrognatik, rahang rendah (undershot jaw), fungsi muskulus genioglossus hilang dan lidah jatuh kebelakang, sehingga menyebabkan obstruksi parsial atau total saat inspirasi (The Pierre Robin Sindrom) c. Gangguan telinga tengah Otitis media merupakan komplikasi yang biasa terjadi pada cleft palate dan sering terjadi pada anak-anak yang tidak dioperasi, sehingga otitis supuratif rekuren sering menjadi masalah. Komplikasi primer dari efusi telinga tengah yang menetap adalah hilangnya pendengaran. Masalah ini harus mendapat perhatian yang serius sehingga komplikasi hilangnya pendengaran tidak terjadi, terutama pada anak yang mempunyai resiko mengalami gangguan bicara karena cleft palatum. Pengobatan yang paling utama adalah insisi untuk ventilasi dari telinga tengah sehingga masalah gangguan bicara karena tuli konduktif dapat dicegah.(5) 2. Terapi bedah Terapi pembedahan pada palatoschisis bukanlah merupakan suatu kasus emergensi, dilakukan pada usia antara 12-18 bulan. Pada usia tersebut akan memberikan hasil fungsi bicara yang optimal karena memberi kesempatan jaringan pasca operasi sampai matang pada proses penyembuhan luka sehingga sebelum penderita mulai bicara dengan demikian soft palate dapat berfungsi dengan baik. Ada beberapa teknik dasar pembedahan yang bisa digunakan untuk memperbaiki celah palatum, yaitu: 1. Teknik von Langenbeck Teknik ini pertama kali diperkenalkan oleh von Langenbeck yang merupakan teknik operasi tertua yang masih digunakan sampai saat ini. Teknik ini menggunakan teknik flap bipedikel mukoperiosteal pada palatum durum dan palatum molle. Untuk memperbaiki kelainan yang ada, dasar flap ini disebelah anterior dan posterior diperluas ke medial untuk menutup celah palatum. 2. Teknik V-Y push-back Teknik V-Y push-back mencakup dua flap unipedikel dengan satu atau dua flap palatum

unipedikel dengan dasarnya disebelah anterior. Flap anterior dimajukan dan diputar ke medial sedangkan flap posterior dipindahkan ke belakang dengan teknik V to Y akan menambah panjang palatum yang diperbaiki. 3. Teknik double opposing Z-plasty Teknik ini diperkenalkan oleh Furlow untuk memperpanjang palatum molle dan membuat suatu fungsi dari m.levator. 4. Teknik Schweckendiek Teknik ini diperkenalkan oleh Schweckendiek pada tahun 1950, pada teknik ini, palatum molle ditutup (pada umur 4 bulan) dan di ikuti dengan penutupan palatum durum ketika si anak mendekati usia 18 bulan. 5. Teknik palatoplasty two-flap Diperkenalkan oleh Bardach dan Salyer (1984). Teknik ini mencakup pembuatan dua flap pedikel dengan dasarnya di posterior yang meluas sampai keseluruh bagian alveolar. Flap ini kemudian diputar dan dimajukan ke medial untuk memperbaiki kelainan yang ada. Speech terapi mulai diperlukan setelah operasi palatoplasty yakni pada usia 2-4 tahun untuk melatih bicara benar dan miminimalkan timbulnya suara sengau karena setelah operasi suara sengau masih dapat terjadi suara sengau karena anak sudah terbiasa melafalkan suara yang salah, sudah ada mekanisme kompensasi memposisikan lidah pada posisi yang salah. Bila setelah palatoplasty dan speech terapi masih didapatkan suara sengau maka dilakukan pharyngoplasty untuk memperkecil suara nasal (nasal escape) biasanya dilakukan pada usia 4-6 tahun. Pada usia anak 8-9 tahun ahli ortodonti memperbaiki lengkung alveolus sebagai persiapan tindakan alveolar bone graft dan usia 9-10 tahun spesialis bedah plastic melakukan operasi bone graft pada celah tulang alveolus seiring pertumbuhan gigi caninus.16 Perawatan setelah dilakukan operasi, segera setelah sadar penderita diperbolehkan minum dan makanan cair sampai tiga minggu dan selanjutnya dianjurkan makan makanan biasa. Jaga hygiene oral bila anak sudah mengerti. Bila anak yang masih kecil, biasakan setelah makan makanan cair dilanjutkan dengan minum air putih. Berikan antibiotik selama tiga hari. Pada orangtua pasien juga bisa diberikan edukasi berupa, posisi tidur pasien harusnya dimiringkan/tengkurap untuk mencegah aspirasi bila terjadi perdarahan, tidak boleh makan/minum yang terlalu panas ataupun terlalu dingin yang akan menyebabkan vasodilatasi dan tidak boleh menghisap /menyedot selama satu bulan post operasi untuk menghindari jebolnya daerah post operasi.16 KOMPLIKASI Anak dengan palatoschisis berpotensi untuk menderita flu, otitis media, tuli, gangguan bicara, dan kelainan pertumbuhan gigi. Selain itu dapat menyebabkan gangguan psikososial. 13 Komplikasi post operatif yang biasa timbul yakni: a. Obstruksi jalan nafas Seperti disebutkan sebelumnya, obstruksi jalan nafas post operatif merupakan komplikasi yang paling penting pada periode segera setelah dilakukan operasi. Keadaan ini timbul sebagai hasil dari prolaps dari lidah ke orofaring saat pasien masih ditidurkan oleh ahli anastesi. Penempatan Intraoperatif dari traksi sutura lidah membantu dalam menangani kondisi ini. Obstruksi jalan

nafas bisa juga menjadi masalah yang berlarut-larut karena perubahan pada dinamika jalan nafas, terutama pada anak-anak dengan madibula yang kecil. Pada beberapa instansi, pembuatan dan pemliharaan dari trakeotomi perlu sampai perbaikan palatum telah sempurna. b. Perdarahan Perdarahan intraoperatif merupakan komplikasi yang potensil terjadi. Karena kayanya darah yang diberikan pada paltum, Intraoperative hemorrhage is a potential complication. Because of the rich blood supply to the palate, perdarahan yang berarti mengharukan untuk dilakukannya transfuse. Hal ini bisa berbahaya pada bayi, yakni pada meraka yang total volume darahnya rendah. Penilaian preoperative dari jumlah hemoglobin dan hitung trombosit sangat penting. Injeksi epinefrin sebelum di lakukan insisi dan penggunaa intraoperatif dari oxymetazoline hydrochloride capat mengurangi kehilangan darah yang bisa terjadi. Untuk menjaga dari kehilangan darah post operatif, area palatum yang mengandung mucosa seharusnya diberikan avitene atau agen hemostatik lainnya. c. Fistel palatum Fistel palatum bisa timbul sebagai komplikasi pada periode segera setelah dilakukan operasi, atau hal tersebut dapat menjadi permasalahan yang tertunda. Suatu fistel pada palatum dapat timbul dimanapun sepanjang sisi cleft. Insidennya telah dilapornya cukup tinggi yakni sebanyak 34%, dan berat-ringannya cleft telah dikemukanan bahwa hal tersebut berhubungan dengan resiko timbulnya fistula. Fistel cleft palate post operatif bisa ditangani dengan dua cara. Pada pasien yang tanpa disertai dengan gejala, prosthesis gigi bisa digunakan untuk menutup defek yang ada dengan hasil yang baik. Pasien dengan gejala diharuskan untuk terapi pembedahan. Sedikitnya supply darah, terutama supply ke anterior merupakan alasan utama gagalnya penutupan dari fistula. Oleh karena itu, penutupan fistula anterior maupun posterior yang persisten seharusnya di coba tidak lebih dari 6-12 bulan setelah operasi, ketika supply darah telah memiliki kesempatan untuk mengstabilkan dirinya. Saat ini, banyak centre menunggu sampai pasien menjadi lebih tua (paling tidak 10 tahun) sebelum mencoba untuk memperbaiki fistula. Jika metode penutupan sederhana gagal, flap jaringan seperti flap lidah anterior bisa dibutuhkan untuk melakukan penutupan. d. Midface abnormalities Penanganan Cleft palate pada beberapa instansi telah fokus pada intervensi pembedahan terlebih dahulu. Salah satu efek negatifnya adalah retriksi dari pertumbuhan maksilla pada beberapa persen pasien. Palatum yang diperbaiki pada usia dini bisa menyebabkan berkurangnya demensi anterior dan posteriornya, yakni penyempitan batang gigi, atau tingginya yang abnormal. Kontrofersi yang cukup besar ada pada topik ini karena penyebab dari hipoplasia, apakah hal tersebut merupakan perbaikan ataupun efek dari cleft tersebut pada pertumbuhan primer dan sekunder pada wajah, ini tidak jelas. Sebanyak 25% pasien dengan cleft palate unilateral yang telah dilakukan perbaikan bisa membutuhkan bedah orthognathic. LeFort I osteotomies dapat digunakan untuk memperbaiki hipoplasia midface yang menghasilkan suatu maloklusi dan deformitas dagu.3 e. Wound expansion Wound expansion juga merupakan akibat dari ketegangan yang berlebih. Bila hal ini terjadi,

anak dibiarkan berkembang hingga tahap akhir dari rekonstruksi langitan, dimana pada saat tersebut perbaikan jaringan parut dapat dilakukan tanpa membutuhkan anestesi yang terpisah. f. Wound infection Wound infection merupakan komplikasi yang cukup jarang terjadi karena wajah memiliki pasokan darah yang cukup besar. Hal ini dapat terjadi akibat kontaminasi pascaoperasi, trauma yang tak disengaja dari anak yang aktif dimana sensasi pada bibirnya dapat berkurang pascaoperasi, dan inflamasi lokal yang dapat terjadi akibat simpul yang terbenam. g. Malposisi Premaksilar Malposisi Premaksilar seperti kemiringan atau retrusion, yang dapat terjadi setelah operasi. h. Whistle deformity Whistle deformity merupakan defisiensi vermilion dan mungkin berhubungan dengan retraksi sepanjang garis koreksi bibir. Hal ini dapat dihindari dengan penggunaan total dari segmen lateral otot orbikularis. i. Abnormalitas atau asimetri tebal bibir Hal ini dapat dihindari dengan pengukuran intraoperatif yang tepat dari jarak anatomis yang penting lengkung.3 PROGNOSIS Meskipun telah dilakukan koreksi anatomis, anak tetap menderita gangguan bicara sehingga diperlukan terapi bicara yang bisa diperoleh disekolah, tetapi jika anak berbicara lambat atau hati-hati maka akan terdengar seperti anak normal.11